The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012
PERMODELAN PROSES PEMBUATAN NICKEL PIG IRON (NPI) DENGAN BLAST FURNACE UNTUK MENENTUKAN KEBUTUHAN KOKAS, KOMPOSISI PRODUK DAN TERAK SERTA KAPASITAS PABRIK SEBAGAI FUNGSI DARI KANDUNGAN NIKEL DI BIJIH DAN VOLUME BLAST FURNACE Zulfiadi Zulhan1, Yusuf2, Yuli Andi Sata3, Solichin2, Widi Astuti4, David Sibarani5, M Dye Ralang Nugok5, Indra Bagoes R A5 1. Teknik Metalurgi, Institut Teknologi Bandung 2. Pusat Penelitian Metalurgi LIPI – Puspitek Serpong 3. Technology Development, PT Antam Tbk 4. UPT Balai Pengolahan Mineral Lampung – LIPI 5. Alumni Teknik Metalurgi, Institut Teknologi Bandung, (sekarang bekerja di PT Krakatau POSCO)
ABSTRACT Pembuatan nickel pig iron (NPI) dengan teknologi blast furnace telah dilakukan di China sejak tahun 2005. Tanur blast furnace yang berukuran mini (volume < 500 m 3) dilarang digunakan di China untuk pembuatan pig iron dan dibolehkan untuk pembuatan ferroalloy karena masalah lingkungan. Tanur-tanur yang berukuran kecil ini kemudian digunakan untuk membuat nickel pig iron yang mengandung nikel lebih kecil dari 15% bergantung pada kandungan nikel dalam bijih. Kokas digunakan sebagai reduktor dan sumber energi pada proses di blast furnace. Kebutuhan kokas per ton produk sangat bergantung kepada jenis bijih nikel serta kandungan nikel dan besi yang digunakan. Oleh karenanya, sebuah model perhitungan dibutuhkan untuk memperkirakan kebutuhan kokas per ton produk yang dihasilkan. Selain itu, terak yang dihasilkan akan lebih banyak pada pengolahan bijih nikel saprolit dibandingkan dengan bijih nikel limonit. Bahan imbuh ditambahkan untuk mengatur komposisi terak yang sesuai. Produkfitas tanur juga sangat bergantung pada jenis bijih nikel yang dilebur. Jumlah nikel pig iron yang dihasilkan dari bijih limonit dan bijih saprolit akan sangat berbeda. Komposisi kimia dari produk dan terak yang dihasilkan dari peleburan bijih nikel laterit dengan teknologi blats furnace diharapkan dapat diprediksi dengan menggunakan model yang dikembangkan ini. Kata kunci: nickel pig iron, blast furnace, kokas, limonit, saprolit. I. PENDAHULUAN Pengolahan nikel laterit dengan menggunakan jalur pirometalurgi pada umumnya menggunakan teknologi Rotary Kiln – Electric Furnace atau sering disingkat dengan RKEF. Survei yang telah dilakukan oleh JOM pada tahun 2005[1] menunjukkan bahwa sekitar 72% nikel laterit diolah dengan teknologi RKEF menjadi produk ferronikel sedangkan sisanya dalam bentuk nickel matte dan luppen. Kondisi saat ini, produksi ferronikel dengan teknologi RKEF dapat mencapai lebih dari 90% dengan selesai pembangunan beberapa pabrik baru seperti SNNC di Korea Selatan serta ekspasi dari beberapa pabrik seperti yang dilakukan oleh PT Antam dengan mengoperasikan line-3 pada tahun 2006. Teknologi RKEF adalah merupakan teknologi yang efisien dan memiliki biaya produksi yang rendah dibandingkan dengan teknologi lainnya[2].
1
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012 Teknologi blast furnace mulai dioperasikan di China pada sejak tahun 2005 untuk menghasilkan nickel pig iron yang didorong oleh harga nikel yang cenderung meningkat pada saat itu dan permintaan nikel di dalam negeri China tinggi untuk menghasilkan baja tahan karat. Selain itu, usaha untuk menghasilkan besi mengandung nikel (nickel pig iron) dari bijih nikel laterit jenis limonit juga dipicu oleh harga baja bekas / besi tua (scrap baja) yang tinggi dan langka sebagai salah satu bahan pembuatan baja tahan karat serta langkah yang diambil oleh pemerintah China untuk menutup blast furnace yang berukuran < 500 m3 untuk menghasilkan pig iron karena permasalahan lingkungan. Blast furnace berukuran mini ini (mini blast furnace, MBF) diizinkan untuk memprouduksi ferroalloy termasuk nickel pig iron. Peningkatan produksi nickel pig iron di China dari tahun 2005 – 2011 diperlihatkan pada Gambar 1.
Produksi NPI di China 300
Nikel [Ribu Ton]
250 200 150 100 50
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 1. Produksi NPI di China dari tahun 2005 - 2011[3]. Produksi nickel pig iron dibagi dalam tiga grade yaitu: 1. Low grade (LG) – NPI, kandungan nikel 1,6-17% 2. Medium grade (MG) – NPI I, kandungan nikel 4-6% dan MG-NPI II, kandungan nikel 6-8%. 3. High grade (HG) – NPI, kandungan nikel 10-15% Perbandingan produksi ketiga grade tersebut ditunjukkan pada Gambar 2 dimana terlihat bahwa produksi LG-NPI (Ni<2%) cenderung menurun yang disebabkan oleh pemerintah China menutup beberapa blast furnace dan pasar (market) untuk LG-NPI relatif kecil. Perusahaan-perusahaan yang memproduksi NPI di China serta teknologi yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 1.
2010
2009
18%
39%
40% 52% 30%
21%
<2% Ni
4-8% Ni
<2% Ni
>10% Ni
4-8% Ni
>10% Ni
Gambar 2. Persentase produksi NPI berdasarkan grade di China pada tahun 2009 dan 2010[3].
2
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012 Tabel 1. Perusahaan dan teknologi yang digunakan untuk memproduksi NPI serta kapasitas produksi di China. Perusahaan
Teknologi
Produk
Kapasitas (ribu ton Ni/th)
BF, SAF
10-15% Ni
30
Zhanhua Weiye
SAF
10-15% Ni
20
Inner Mongolia
SAF
10-15% Ni
20
Fujian Dingxin
SAF
10-15% Ni
20
Zhanhua Hugo
BF
6-8% Ni
10
Xuzhou Jinxiang
SAF
10-15% Ni
10
Shanxi
BF
4-6% Ni
9
Henan Qingpu
BF
4-7% Ni
8
Sichuan
SAF
10-12% Ni
6
Huaibei
SAF
10-15% Ni
6
Guangxi Xinheli
BF
1-2% Ni
4
Sichuan
BF
1-2% Ni & 4-6% Ni
4
SAF
10-15% Ni
4
Shandong Haixin
Fujian
Dengan keluarnya UU No. 4 tahun 2009 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral, teknologi blast furnace untuk memproduksi nickel pig iron banyak dikaji oleh perusahaan-perusahan, lembaga penelitian dan universitas untuk melihat kemungkinan aplikasinya di Indonesia. Kendala dari aplikasi teknologi ini adalah kebutuhan kokas yang relatif tinggi dan harga kokas yang mahal di Indonesia. Kebutuhan kokas sangat bergantung pada jenis bijih nikel laterit (limonit atau saprolit) yang akan diolah serta kandungan nikel dan besi dalam bijih tersebut. Oleh karenanya, sebuah model dikembangkan untuk menentukan kebutuhan kokas sebagai sumber energi dan reduktor, jumlah bahan imbuh yang dibutuhkan untuk mendapatkan terak yang baik serta kapasitas produksi dari pabrik untuk volume blast furnace tertentu. II. PEMBUATAN MODEL Model blast furnace yang dibuat menggunakan prinsip dari neraca massa dan neraca panas dengan tujuan untuk menentukan kebutuhan kokas yang merupakan fungsi dari kandungan besi, nikel serta oksida-oksida pengotor lainnya dalam bijih. Prediksi kandungan pengotor dalam produk seperti silikon, posfor, sulfur, mangan, kromium dilakukan dengan menggunakan data-data kesetimbangan termodinamika dan persamaan-persamaan empirik berikut: 1. Kesetimbangan silikon dengan silika (SiO2) dalam terak[4]: (SiO2) + 2[C] = [Si] + 2{CO} KSi = 10 (-30.935 / T + 20,455) [%Si]/(%SiO2) = 6,73 * 10-4 * KSi * SiO2 / (pCO)2 2. Kesetimbangan mangan dengan mangan oksida (MnO) dalam terak[4]:
3
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012 (MnO) + [C] = [Mn] + {CO} KMn = 10 (-15.090 / T + 10,97) [%Mn]/(%MnO) = 1,07 * 10-2 * KMn * MnO / pCO 3. Kesetimbangan kromium dengan kromium oksida (Cr2O3) dalam terak: (Cr2O3) + 3[C] = 2[Cr] + 3{CO} KCr = e (-803.200 / (8,314*T) + (541,5/8,314)) [%Cr]2/(%Cr2O3) = KCr * Cr2O3 / (pCO)3 4. Distribusi posfor dalam terak dan dalam lelehan logam[5]: (%P) terak /[%P]logam = 10 (11.570 / T – 10,52 + 0,072 * (%CaO + 0,3 * %MgO) + 2,5 * Log(%Fe slag-10,52) 5. Distribusi sulfur dalam terak dan dalam lelehan logam[6,7]: (%S)terak / [%S]logam = 10 ((-935 / T) + 1,375) * CS * fS / aO Dimana: SiO2 = Koefisien aktivitas SiO2 dalam terak MnO = Koefisien aktivitas MnO dalam terak Cr2O3 = Koefisien aktivitas Cr2O3 dalam terak aO = aktivitas oksigen dalam lelehan logam fS = koefisien aktivitas sulfur dalam lelehan logam CS = kapasitas sulfida (kemampuan terak untuk mengikat sulfur) Kapasitas sulfida (CS) ditentukan dengan menggunakan persamaan yang diintroduksi oleh KTH berikut ini[6,7]:
Kandungan karbon dalam produk diasumsikan tetap yaitu sekitar 4%. Model yang dibuat terdiri dari neraca nikel, rotary dryer, sintering, blast furnace, dimensi furnace untuk menentukan kapasitas produksi per tahun. Neraca nikel tipikal dan input-output neraca massa diperlihatkan pada Gambar 3 dan Gambar 4 secara berurutan.
Gambar 3. Neraca nikel.
4
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012
Gambar 4. Input output program NPI - blast furnace.
Diagram Rist dan diagram Baur-Glaesner digunakan untuk melihat apakah reaksi langsung dan reaksi tidak langsung yang diasumsikan dapat terjadi (Gambar 5). Kapasitas produksi ditentukan berdasarkan volume efektif dari blast furnace (Gambar 6). Selain itu, model blast furnace yang dibuat ini juga menghitung jumlah tuyere yang dipasang di sekeliling blast furnace berdasarkan persamaan Pavlov dan Rice[8].
100
Fe3O4
Fe
80
%CO/(%CO + %CO 2) or %H2/(%H2 + %H2O)
90
70 60
50
30
FeO
40
Fe
%Oxygen Removed (100*O/430)
100
20
10
90 80
Fe-O-CO-CO2 70
Fe-O-H2-H2O C-CO-CO2
60
Ni-O-CO-CO2
50
Ni-O-H2-H2O
40 30 20 10
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 0
%CO2 / (%CO + %CO2) or %H2O / (%H2 + %H2O)
200
400
600
800
Temperature [ oC]
Gambar 5. Diagram Rist dan Baur-Glaesner.
5
1000
1200
1400
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012
Gambar 6. Dimensi blast furnace, produktivitas, jumlah tuyere.
III. HASIL PERMODELAN DAN PEMBAHASAN Beberapa data kebutuhan kokas untuk produksi pig iron dan nickel pig iron dari literatur serta dari data industri digunakan sebagai pembanding dari model yang dibuat. Hasil perbandingan diperlihatkan pada Gambar 7. Kebutuhan kokas untuk menghasilkan satu ton pig iron berkisar antara 0,32 – 0,45 ton sedangkan untuk menghasilkan satu ton nickel pig iron maka jumlah kokas yang dihasilkan sangat bervariasi dari 1,3 – 1,7 ton bergantung pada jenis bijih nikel laterit yang diolah (limonit atau saprolit), kandungan besi, kandungan nikel serta kandungan oksida-oksida MgO, SiO2, Al2O3 dalam bijih. Gambar 7 secara umum memperlihatkan bahwa model yang dibuat dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan kokas baik untuk blast furnace yang memproduksi pig iron maupun nickel pig iron. Untuk menentukan kebutuhan kokas dari tipikal bijih nikel di Indonesia, bijih nikel limonit dan saprolit seperti diperlihatkan pada Tabel 2 digunakan sebagai input komposisi bijih ke dalam program (model). Kebutuhan kokas dialurkan sebagai fungsi dari pencampuran bijih nikel limonit dan saprolit. Hasil perhitungan kebutuhan kokas, komposisi nikel dalam nickel pig iron ditunjukkan pada Gambar 8. Kebutuhan kokas meningkat seiring dengan meningkatnya persentase bijih nikel saprolit dalam pencampuran (blending) yang diumpankan ke dalam blast furnace. Peningkatan konsumsi kokas ini disebabkan oleh jumlah besi yang menurun dan jumlah oksida-oksida SiO2 dan MgO pembentuk terak yang meningkat dengan penambahan proporsi bijih nikel saprolit dalam campuran sehingga energi yang dibutuhkan untuk melebur terak menjadi lebih besar. Korelasi antara kandungan besi dan nikel dalam bijih, kandungan nikel dalam NPI dan jumlah terak yang dihasilkan per ton nickel pig iron diperlihatkan pada Gambar 9.
6
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012
Konsumsi Kokas, Industri (t/t pig iron)
2.0
Pig Iron
Nickel Pig Iron
1.5
1.0
0.5
0.0 0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Konsumsi kokas, Model (t/t pig iron)
Gambar 7. Perbandingan kebutuhan kokas untuk pig iron dan nickel pig iron dari model dan dari data industri.
Tabel 2. Tipikal komposisi bijih nikel laterit di Indonesia. ORE Limonit Saprolit
%Ni 1,34
%Fe 38,55
%SiO2 15,63
%CaO 0,12
%MgO 4,63
%Al2O3 7,88
%P2O5 0,09
%Cr2O3 2,16
%MnO 1,07
LOI 11,30
% H2Ofree 33,00
1,74
11,96
41,02
0,43
27,11
2,40
0,02
0,75
0,27
8,70
33,00
12.00
% Ni dalam NPI % Ni dalam Bijih (blending) Konsumsi Kokas
11.00 10.00
2.80
%Ni dalam NPI
9.00
2.30
8.00 7.00 6.00
1.80
5.00
4.00 3.00
1.30
2.00 1.00
-
% Ni dalam Bijih, Konsumsi Kokas (t/t NPI)
13.00
0.80 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
%Bijih Saprolit
%Bijih Limonit
Gambar 8. Hasil perhitungan kebutuhan kokas dan kandungan nikel dalam NPI sebagai fungsi dari pencampuran bijih nikel limonit dan bijih nikel saprolit.
7
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012 40
Jumlah terak
12
% Ni dalam NPI
11
35
% Ni dalam bijih
10
% Fe dalam Bijih
9
30
8 7
25
6 5
20
4
% Fe dalam bijih
Terak (t/t NPI); % Ni dalam NPI; % Ni dalam bijih
13
3 15
2 1 0
10 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
% Bijih Saprolit % Bijih Limonit
Gambar 9. Hasil perhitungan hubungan antara kandungan besi dan nikel dalam bijih nikel, kandungan nikel dalam NPI dan jumlah terak yang dihasilkan sebagai fungsi dari campuran bijih nikel limonit dan saprolit. Kapasitas produksi pabrik per tahun untuk tanur berukuran 210 m3 diperlihatkan pada Gambar 10. Produksi nikel dan NPI per tahun sangat bergantung pada kandungan nikel dan besi serta kandungan oksida-oksida pembentuk terak. Jumlah nikel yang diproduksi per tahun meningkat seiring dengan peningkatan proporsi bijih nikel saprolit dalam umpan ke dalam blast furnace. Sebaliknya, jumlah NPI produksi NPI menurun dengan meningkatnya proporsi bijih nikel saprolit dalam umpan. Perbandingan ketinggian terak dan lelehan logam serta komposisi kimia NPI untuk pengolahan bijih nikel laterit dan limonit diperlihatkan pada Gambar 11. 4,500
100,000 90,000 80,000 70,000
3,500 60,000 50,000 3,000 40,000
NPI (ton/tahun)
Nikel (ton/tahun)
4,000
30,000
2,500 Nickel
20,000 NPI 2,000
10,000
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
%Bijih Saprolit %Bijih Limonit
Gambar 10. Kapasitas produksi nikel dan NPI per tahun untuk blast furnace dengan volume 210 m3.
8
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012
Komposisi NPI
%Ni %C %Si %Mn %P %S %Cr
Limonit
Limonit 3,62 4,00 0,24 0,64 0,05 0,17 1,91
Saprolit 11,59 4,00 0,34 0,10 0,11 0,34 1,89
Saprolit
Gambar 11. Perbandingan ketinggian lelehan dalam blast furnace dan komposisi kimia untuk pengolahan bijih limonit dan saprolit. Pengolahan bijih nikel saprolit 100% menghasilkan terak yang lebih banyak dibandingkan dengan bijih nikel limonit. Selain jumlah oksida-oksida pembentuk terak yang lebih besar dalam bijih nikel saprolit dibandingkan dengan bijih nikel limonit, jumlah bahan imbuh (fluks) yang harus ditambahkan ke dalam bijih nikel saprolit juga lebih besar. Jumlah terak yang banyak mungkin dapat menyebabkan permasalahan pada proses peleburan bijih nikel saprolit. Oleh karenanya, sebelum mengaplikasikan teknologi ini untuk mengolah bijih nikel saprolit, pabrik-pabrik blast furnace yang sudah teruji kemampuannya di China sebaiknya dikunjungi untuk mengumpulkan data-data lebih lanjut mengenai pengoperasian teknologi blast furnace ini. Kebutuhan kokas yang tinggi per ton NPI seperti diperlihatkan pada Gambar 8 merupakan kelemahan dari teknologi blast furnace ini. Alternatif bahan reduktor dan sumber energi, misal arang kayu, arang batok kelapa atau kokas dari batubara noncoking coal sebaiknya diteliti dan dicari kemungkinan aplikasinya untuk mensubstitusi kokas, mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku dan menjamin kesinambungan dari operasi blast furnace. Kandungan nikel dalam produk dari pengolahan bijih nikel saprolit dengan menggunakan data komposisi kimia bijih nikel pada Tabel 2 adalah 11,59%. Sedangkan pada peleburan bijih nikel limonit, kandungan nikel dalam produk (NPI) adalah 3,62%. Mengacu ke Peraturan Menteri ESDM No. 7 tahun 2012, maka nickel pig iron yang dihasilkan dari peleburan bijih nikel limonit tidak dapat diekspor karena kandungan nikelnya lebih kecil dari 6%. Pasar NPI lebih besar di China sebagai bahan baku untuk pembuatan baja tahan karat (stainless steel). Pasar NPI untuk konsumsi dalam negeri belum tersedia hingga saat ini karena belum ada industri pembuatan baja tahan karat di Indonesia. Produk NPI ini hampir sama dengan ferronikel dan nickel matte yang hampir 100% diekspor ke luar negeri baik untuk dimurnikan lebih lanjut untuk produk nickel matte atau sebagai bahan baku industri baja tahan karat. Berdasarkan Gambar 9, untuk mencapai nikel lebih besar dari 6% dalam produk nickel pig iron, maka bijih nikel limonit harus dicampur dengan bijih nikel saprolit dengan 9
The third Indonesian Process Metallurgy Conference (IPM III) 2012 perbandingan bijih nikel saprolit minimal 60%. Bijih nikel saprolit pada umumnya digunakan untuk menghasilkan ferronickel atau nickel matte di Indonesia dan bijih nikel limonit belum dimanfaatkan. Oleh karenanya, aturan dari pengolahan level minimum untuk nickel pig iron, kandungan nikel diturunkan dari sebelumnya 6% menjadi 3% sehingga pengolahan nickel pig iron dengan teknologi blast furnace dapat berkembang di Indonesia dan pemanfaatan bijih nikel limonit dapat dilakukan. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Sebuah model untuk mensimulasikan proses pembuatan nickel pig iron (NPI) dengan blast furnace telah dikembangkan. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan kokas, komposisi kimia dari lelehan logam dan terak, serta kapasitas produksi dari blast furnace. Kapasitas pabrik (jumlah NPI yang diproduksi per tahun) sangat bergantung pada jenis bijih nikel yang diolah (limonit – saprolit atau campuran keduanya). Ouput dari program dapat digunakan untuk menentukan keekonomian dan mengoptimalkan proses pembuatan NPI dengan teknologi blast furnace. Peleburan bijih nikel limonit dengan teknologi blast furnace menghasilkan NPI dengan kandungan nikel sekitar 3-4%. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 7 tahun 2012, produk ini belum dapat diekspor karena kandungan nikel dalam NPI untuk pengolahan bijih nikel limonit lebih kecil dari 6%. Oleh karenanya, disarankan untuk menurunkan level minimum kandungan nikel dalam produk NPI menjadi 3% sehingga bijih nikel limonit yang hingga saat ini belum diolah di Indonesia dapat dimanfaatkan.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
8.
Warner, A.E.M., Diaz, C.M., Dalvi, A.D., Mackey, P.J., Tarasov, A.V., 2006. JOM World Nonferrous Smelter Survey, Part III: Nickel: Laterite, JOM, April, 11-20. Von Krueger, A.E.M., Diaz, C.A., Vieira, C.B., Araujo, F.G.S., Seshadri, V., 2010. Relevant Aspects Related to Production of Iron Nickel Alloys (Pig Iron Containing Nickel) in Mini Blast Furnace, Proceedings of the 12th International Ferroalloys Congress, Helsinki, Finland, 671-680. Cartman, R., 2012. Nickel Pig Iron – A Long Term Solution? 3rd Euronickel Conference, Helsinki. Biswas, A.K., 1981. Principles of Blast Furnace Ironmaking, Cootha Publishing House. Suito, H., Inoue R., 2006. Behavior of Phosphorous Transfer from CaO-FetO-P2O5 (-SiO2) Slag to CaO Particles, ISIJ International, 11: 180-187. Nzotta, M.M., Sichen, D., Seetharaman, S., 1998. Sulphide Capacities in Some Multi Component Slag Systems. ISIJ International, 11: 1170-1179. Anderson, M.A.T., Joensson, P.G., Nzotta, M.M., 1999. Apllication of the Sulphide Capacity Concept on High-Basicity Ladle Slags Used in Bearing-Steel Production. ISIJ International, 11: 1140-1149. Wegmann, Eu F., 1984. A Reference Book for Blast Furnace Operators, Mir Publisher.
10