THE INFLUENCE OF 10% TRICHLOROACETIC ACID ON COVERING OF TYMPANIC MEMBRANE PERFORATION WITHOUT BRIDGE Wahju Budi Martono1, Jogjahartono2, Noor Pramono3
ABSTRACK Background: Up to now, the covering of tympanic membrane perforation on human either or without operation has always been using the bridge. The covering of tympanic membrane perforation without operation by attempting epithelization of perforation edge which initially perform by injuring the perforation edge. The material that can be used to make the injuring is 10% trichloroacetic acid (TCA). The covering of perforation without bridge was conductive on guinea pig and proven that spontaneous covering take place. And there for the covering of tympanic membrane perforation without bridge can also happened on human being, by making the injuring on the perforation edge using 10% TCA. Objective: The objective of the research to prove that application of 10% TCA on the edge of tympanic membrane perforation can cause the perforation covering although without using the bridge. Method: This is the experimental research using pre and post test design. The chronic tympanic membrane perforation patiens without infection with normal Eustachii tube function, the size of tympanic membrane perforation 25% were treated with 10% TCA application on their perforation edge every 2 weeks until the covering take place or maximal 5 times application if no covering take place. Measurement of perforation size was conducted prior to first application and after the treatment. Result: From 36 ears suffering chronic tympanic membrane perforation with normal Eustachii tube function and without infection with the size of perforation 25% were selected to the sample of the research. The perforation that can be covered after the treatment of 10% TCA application were higher in number than those were not covered (63,9%:39,1%). Conclusion: The application of 10% TCA on the edge of tympanic membrane perforation can cause perforation covering although without the use of bridge. Keywords: Tympanic membrane perforation, Trichloroacetic acid 1
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang Bag Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNDIP/RSDK Semarang. 3 Program Studi Magister Ilmu Biomedik UNDIP 2
http://jurnal.unimus.ac.id
101
PENDAHULUAN Sampai saat ini, belum ada survei epidemiologi tentang angka kejadian penderita perforasi membrana timpani. Dalam lingkup internasionalpun angka kejadian perforasi membrana timpani juga belum diketahui. Penelitian terhadap anak-anak suku Aborigin, mendapatkan 136 dari 436 telinga (31,2%) mengalami perforasi membrana timpani 1. Perforasi membrana timpani, ada yang bersifat akut ada pula yang kronik. Perforasi akut, terutama yang berukuran kurang dari atau sama dengan 25% secara teori dapat menutup spontan dalam waktu beberapa hari sampai beberapa bulan 2,3. Menurut banyak ahli tindakan operasi merupakan metode pilihan untuk penatalaksanaan perforasi 4, sedangkan cara lain adalah tanpa operasi yaitu dengan mengusahakan epitelisasi tepi perforasinya 5. Selama ini penutupan perforasi membrana timpani pada manusia tanpa operasi selalu menggunakan jembatan, untuk mempermudah epitel menyeberang melintasi perforasi, sehingga dapat terjadi penutupan. Ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan, di antaranya kertas sigaret yang ditempelkan di atas perforasi setelah tepinya dilukai dengan asam trikloroasetat (trichloroacetic acid /TCA) 10% 5. Beberapa tahun terakhir telah dilakukan beberapa penelitian tentang penutupan perforasi membrana timpani tanpa jembatan pada binatang percobaan, dan didapatkan hasil yang menggembirakan karena terbukti perforasi membrana timpani dapat menutup secara spontan walaupun tanpa penggunaan jembatan 6-8. Berdasarkan latar belakang tersebut, muncul permasalahan, yaitu apakah aplikasi TCA 10% pada tepi perforasi membrana timpani yang bersifat kronik dengan ukuran kurang dari atau sama dengan 25% dapat menyebabkan terjadinya penutupan walaupun tanpa penggunaan jembatan? Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa aplikasi TCA 10% pada tepi perforasi membrana timpani kronik dapat menyebabkan pertumbuhan tepi perforasi, sehingga terjadi penutupan membrana timpani walaupun tanpa penggunaan jembatan. Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1). Menggali metode alternatif penatalaksanaan perforasi membrana timpani, terutama mengenai penutupan perforasi tanpa menggunakan prosedur operasi. 2). Metode ini sangat sederhana, menggunakan alat dan bahan yang sederhana pula, serta sangat murah, sehingga diharapkan dapat diterapkan oleh sejawat dokter THT saat bertugas di daerah yang hanya memiliki fasilitas seadanya. 3). Menambah wawasan keilmuan di bidang THT-KL, terutama mengenai penatalaksanaan perforasi membrana timpani. METODE PENELITIAN Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah studi eksperimental, pre and post test design. Tempat dilangsungkannya penelitian ini adalah klinik THT RS Dr Kariadi Semarang, dengan waktu penelitian mulai dari Januari 2005 sampai dengan Oktober 2005. Besar sampel pada penelitian ini adalah 24 telinga. Kriteria inklusi penelitian ini adalah: 1). Telinga dengan perforasi membrana timpani kronik tanpa infeksi, atau terbebas infeksi minimal 2 minggu. 2). Fungsi tuba Eustachii baik. 3). Perforasi pada pars tensa, sentral dengan luas kurang dari atau sama dengan 25% luas membrana timpani. 4). Tepi perforasi membrana timpani dapat terlihat. 5). Kooperatif. Sedangkan kriteria eksklusinya
http://jurnal.unimus.ac.id
102
adalah: 1). Sedang menjalani terapi kortikosteroid. 2). Penderita diabetes [ ditentukan dengan kriteria American Diabetes Assciation (ADA) tahun 2004 ] . 3). Penderita malnutrisi [ bila Body Mass Index (BMI) < 18,5 ]. 4). Sedang menjalani terapi radiasi di daerah kepala dan leher. 5). Terdapat tanda-tanda infeksi pada liang telinga. 6). Sedang menderita infeksi saluran pernapasan atas. 7). Terdapat jaringan patologis baik berupa jaringan granulasi, polip mukosa, hiperplasi mukosa. 8). Usia lebih dari 60 tahun. 9). Penderita tidak tahan terhadap rasa nyeri segera setelah aplikasi (sebelum aplikasi komplit pada seluruh tepi). Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan TCA 10%, kapas steril, aplikator kapas dari logam, corong telinga, otoskop Welch Allyn yang dihubungkan dengan TV monitor, TV monitor Sony 14 inci, kamera digital Sony DCR HC30E, timpanometry amplaid 702, pengukur berat badan dan tinggi badan. Pada penelitian ini, telinga dengan perforasi membrana timpani kronik ditentukan terlebih dahulu, termasuk dalam keadaan terinfeksi (aktif) atau tidak. Bila aktif, ditentukan dahulu apakah termasuk OMSK benigna atau maligna. Bila OMSK benigna maka diberikan terapi terlebih dahulu. Setelah dicapai keadaan tenang, dilakukan evaluasi sampai 2 minggu untuk meyakinkan keadaan tersebut. Telinga dengan perforasi membrana timpani kronik tanpa infeksi maupun OMSK benigna fase tenang, bila didapatkan hasil fungsi tuba baik, maka diperlakukan sebagai subjek terpapar. Sampel dilihat perforasi membrana timpaninya dengan menggunakan otoskop yang dihubungkan dengan monitor televisi. Gambar yang muncul di layar monitor diabadikan, lalu diukur luas perforasi dan dibandingkan dengan luas membrana timpani. Setelah itu dilakukan aplikasi TCA 10% pada tepi perforasi dengan cara sebagai berikut; kapas yang telah dipilin kuat setipis mungkin pada aplikator logam (gambar 1), dibasahi larutan TCA 10%. Kapas yang basah tersebut, diperas secukupnya sehingga larutan TCA 10% tidak menetes dari kapas. Untuk memperjelas pandangan terhadap membrana timpani, dapat dibantu dengan penggunaan corong telinga (gambar 2). Kapas yang telah dibasahi TCA 10% ditempelkan beberapa saat pada tepi bebas perforasi membrana timpani untuk membuat luka baru (gambar 3). Kapas yang ditempelkan tersebut diangkat setelah terbentuk warna putih pada seluruh tepi bebas perforasi (gambar 4). Subjek disarankan kontrol setiap dua minggu. Setiap kali kontrol diamati luas perforasi membrana timpaninya. Apabila belum terjadi respon berupa pertumbuhan tepi perforasi, maka aplikasi TCA diulang dengan cara yang sama. Untuk sampel yang telah menunjukkan respon berupa pertumbuhan tepi perforasi, maka pada saat kontrol tersebut tidak dilakukan aplikasi, tetapi diharapkan datang lagi seminggu kemudian untuk dilakukan evaluasi lanjutan, demikian seterusnya. Tetapi apabila telah terjadi penutupan perforasi membrana timpani segera diabadikan dan dicatat pada saat kontrol ke berapa hal itu terjadi. Untuk yang perforasinya belum menutup saat kontrol ke 5 (minggu ke 10) dilakukan aplikasi terakhir dan subjek diminta kontrol dua minggu lagi. Apabila membrana timpani belum juga menutup pada saat kontrol dua minggu setelah aplikasi terakhir, dilakukan pengukuran ulang dengan cara yang sama. Setelah itu kepada subjek ditawarkan meneruskan beberapa kali aplikasi jika ukuran perforasinya dapat
http://jurnal.unimus.ac.id
103
mengecil dan diperkirakan dapat menutup secara spontan. Apabila ukurannya tetap, ditawarkan metode lain, yaitu operasi.
dok.wbm Gambar 1. Kapas yang dipilin setipis mungkin Gambar 2.Corong telinga dimasukkan sebelum pada aplikator. dilakukan aplikasi.
dok.wbm Gambar 3. Pilinan kapas yang telah dibasahi dioleskan tepat pada tepi perforasi.
dok.wbm Gambar 4. Tepi perforasi pasca aplikasi TCA 10%.
HASIL Untuk mencapai sampel sebesar 24 telinga telah dilakukan penelitian selama 10 bulan, dan didapatkan 36 telinga dengan perforasi membrana timpani kronik. Dari 36 sampel, yang dapat menjalani penelitian sampai dengan selesainya perlakuan sebesar 24 sampel, 12 sampel tidak dapat menjalani perlakuan sampai selesai, karena 5 sampel mengalami fase aktif, 2 sampel mengundurkan diri dari, 1 mastoiditis, 1 otomikosis sisanya tidak penah datang lagi setelah tidak adanya keluhan pada telinganya. Penentuan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling, semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan sampel penelitian dan mendapatkan perlakuan. Tiap kali pengukuran luas perforasi pada layar monitor dilakukan oleh 2 orang, kemudian hasil pengukuran keduanya dirata-rata. Selama penelitian tidak terjadi efek samping maupun komplikasi seperti nyeri hebat, gangguan pendengaran dan bertambah luasnya perforasi.
http://jurnal.unimus.ac.id
104
Tabel 1. Sampel yang berhasil dan tidak berhasil mengalami penutupan. No.
1. 2. 3.
Jumlah sampel
23 1 12
Menutup ya tidak + + +
Keterangan
selesai perlakuan selesai perlakuan tidak selesai perlakuan
Pada penelitian ini dilakukan intention to treat analysis, sehingga dari 36 sampel, 12 sampel (33,3%) yang telah mendapat perlakuan tetapi tidak mengikuti penelitian sampai dengan selesai tetap disertakan dalam analisis dan dianggap terjadi kegagalan penutupan perforasi. Sisanya, 23 sampel (63,9%) terjadi penutupan dan 1 (2,8%) dapat mengikuti penelitian sampai selesai tetapi tidak terjadi penutupan (tabel 1). Sampel yang ikut serta dalam penelitian ini, umur termuda 18 tahun dan tertua 56 tahun, berdasarkan jenis kelamin didapatkan laki-laki 14 sampel (38,9%) perempuan 22 (61,1%), BMI terendah 18,8 dan tertinggi 29,5, kondisi kering telinga tengah yang lebih dari 2 minggu sebesar 32 sampel (88,9%) dan lebih dari 12 minggu sebesar 4 sampel (11,1%). Luas perforasi sebelum aplikasi pertama untuk ukuran terkecil 6,0% dan terbesar 24,7%, hasil akhir atau luas perforasi peforasi setelah mendapatkan perlakuan memiliki ukuran terkecil 0% dan terbesar 20%, jumlah aplikasi yang dialami sampel bervariasi dari 1 kali sampai dengan 5 kali, serta persentase pertumbuhan/penutupan membrana timpani terkecil 0% dan terbesar 100% (tabel 2). Semua variabel yang tersebut di atas dilakukan uji Saphiro-Wilk untuk menentukan normalitas datanya. Distribusi data tidak normal (p<0,05) didapatkan pada variabel gender, lama fase kering, luas hasil akhir, jumlah aplikasi dan persentase pertumbuhan/penutupan (tabel 3). Pada penelitian ini, untuk melihat perbedaan luas perforasi membrana timpani sebelum aplikasi dan hasil akhirnya dapat dilihat pada gambar 5, sedangkan untuk melihat pertumbuhan awal dan akhir membrana timpani dapat dilihat pada gambar 6. Penelitian ini menggunakan metode statistik non parametrik, dengan uji beda 2 variabel yang berhubungan memakai Wilcoxon rank sum test (tabel 4). Hasil Wilcoxon rank sum test terhadap variabel luas perforasi membrana timpani sebelum dilakukan aplikasi dengan luas akhir, serta pertumbuhan awal sebelum aplikasi dan pertumbuhan akhir didapatkan p<0,0001, sehingga dapat dikatakan hasil uji beda yang didapatkan adalah bermakna. Secara klinik mempunyai arti terjadinya pertumbuhan tepi perforasi setelah dilakukan aplikasi TCA 10% sehingga dapat terjadi penutupan perforasi membrana timpani.
http://jurnal.unimus.ac.id
105
Tabel 2. Demografi, kondisi telinga tengah dan membrana timpani. Luas perfotrasi (%) No. Umur (th)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
35 51 41 27 35 43 42 56 41 52 52 20 53 31 37 22 37 25 37 43 36 40 44 29 53 22 19 55 30 22 43 35 35 26 18 29
Gender
L L L L L L L L L L L L L L P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P
BMI
25,7 18,9 25 28,5 26,5 26,7 25,4 25,2 25,7 26,4 26,4 19 20,9 22,9 23 19,5 23,8 25,8 29,5 22,7 22,9 24 19,2 21,7 22,1 18,8 19,2 23,5 19,6 20 21,9 20,7 20,7 18,9 20,51 22,9
http://jurnal.unimus.ac.id
Lama kering
>2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >12mgg >12mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >2mgg >12mgg >12mgg >2mgg >2mgg >2mgg
Sebelum aplikasi
Sesudah aplikasi
21,7 15,2 14,5 19,5 24,3 15,7 17,3 14,3 18,4 9,5 13,0 13,0 21,0 18,0 15,2 18,9 16,3 24,7 12,1 20,1 18,8 20,8 14,6 12,8 11,9 9,7 17,5 15,0 11,0 17,0 14,0 24,0 24,0 6,0 11,0 14,0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 17 3 0 0 0 0 0 16,5 0 0 0 0 0 0 0 7 4 15 10 19 20 2 11 8
Jumlah aplikasi
3 3 1 1 4 3 1 2 1 1 1 1` 2 2 1 1 2 3 1 5 2 4 2 1 1 2 2 2 2 4 1 3 2 4 2 3
pertumbuhan tepi perforasi (%)
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 0 20 84 100 100 100 100 100 18 100 100 100 100 100 100 100 54 64 12 29 21 17 67 0 43
106
Tabel 3. Nilai modus, median, mean, SD dan hasil uji normalitas data untuk umur, gender, BMI, lama kering, luas sebelum aplikasi, luas hasil akhir (sesudah perlakuan), jumlah aplikasi, persentase penutupan. modus
umur gender BMI kering sebelum sesudah jumlah pertumb
median
35 2 22,9 2 9,5 0 1 100
35,50 22,90 2,00 15,45 0,00 2,00 100,00
mean
SD
36,28 22,89 3,11 16,34 4,09 2,11 75,55
11,021 2,995 3,187 4,345 6,518 1,116 36,339
p
0,150 <0,0001 0,073 <0,0001 0,235 <0,0001 <0,0001 <0,0001
Signifikan jika p< 0,05 30
20
33 32
10
0
-10 N=
36
36
SEBELUM
SESUDAH
Gambar 5. Grafik box-plot yang menunjukkan luas perforasi sebelum aplikasi dan hasil akhirnya.
Gambar 6. Grafik persentase / pertumbuhan penutupan perforasi membrana timpani.
Tabel 4. Hasil Wilcoxon rank sum test antara variabel luas sebelum aplikasi dan sesudah perlakuan, serta pertumbuhan awal dan pertumbuhan akhir. Z p sebelum-sesudah* <0,0001 awal-akhir** <0,0001
-5,087 -5,285
* luas perforasi sebelum aplikasi pertama dan sesudah perlakuan selesai ** pertumbuhan tepi perforasi awal aplikasi dan pertumbuhan akhir
Berikut ini gambar beberapa sampel penelitian dengan 1, 2, 3, 4 dan 5 kali aplikasi TCA 10%.
http://jurnal.unimus.ac.id
107
dok.wbm
dok.wbm
Gambar 7. Contoh perforasi membrana timpani sebelum diaplikasi TCA 10%(kiri), dan terjadi penutupan (kanan) setelah 1 kali aplikasi. Luas perforasi pada gambar ini 18,9%.
PEMBAHASAN Pada penelitian ini telah berhasil membuktikan bahwa penutupan perforasi membrana timpani yang bersifat kronik dapat terjadi walaupun tanpa penggunaan jembatan. Dari seluruh sampel yang telah diaplikasi dengan TCA 10% didapatkan hasil yang menutup lebih banyak dari yang tidak menutup. Untuk memulai proses penutupan perforasi membrana timpani yang bersifat kronik terlebih dahulu dilakukan perlukaan pada tepi perforasinya. Perlukaan tepi perforasi dapat dilakukan secara tajam maupun dengan pengolesan zat kaustik kimiawi 5. Salah satu zat kaustik kimiawi yang dapat digunakan adalah TCA 10%9, dengan dasar konsentrasinya yang rendah hanya menimbulkan perlukaan pada epidermis, karena tingkat keparahan akibat aplikasi TCA tergantung pada konsentrasi dan lamanya paparan 10,11. Perforasi membrana timpani yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah perforasi yang bersifat kronik. Akibat perlukaan oleh TCA 10% pada tepinya, perforasi yang bersifat kronik dibuat seolah-olah menjadi akut, selanjutnya akan terjadi proses penyembuhan luka yang memungkinkan terjadinya proses epitelisasi, dan pada akhirnya akan terjadi penutupan perforasi. Perlukaan oleh TCA 10% akan menyebabkan rangasangan pada fibroblas untuk menghasilkan kolagen, elastin, dan glikosaminoglikan yang penting untuk proses penyembuhan luka. Dalam suatu literatur disebutkan bahwa perforasi akut (perforasi yang terjadinya kurang dari 2 bulan atau 8 minggu) dapat terjadi penutupan secara spontan sebesar 90%, terutama pada perforasi dengan ukuran kurang dari 25%, yang berlangsung dalam waktu beberapa hari sampai dengan beberapa bulan 2,12,13. Angka keberhasilan pada penelitian ini sebesar 63,9% dengan perforasi ukuran kurang dari 25%. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya penutupan perforasi pada penelitian ini tidak diketahui dengan pasti, karena sampel datang hanya tiap 2 minggu sekali, bahkan ada yang lebih. Diperkirakan waktu yang dibutuhkan bervariasi dari lebih kurang 2 minggu hingga 10 minggu. Keberhasilan penutupan perforasi membrana timpani pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan aplikasi TCA 10% dengan pemberian jembatan membrana amnion pada perforasi ukuran kurang dari 25%, yang
http://jurnal.unimus.ac.id
108
memiliki angka keberhasilan sebesar 100%, dan aplikasi TCA 10% dengan jembatan kapas yang memiliki angka keberhasilan 84,2% 14,15. Pada penelitian penggunaan TCA 10% dengan jembatan membrana amnion dan TCA 10% dengan jembatan kapas memiliki keberhasilan lebih tinggi, karena penggunaan jembatan dapat membantu mengarahkan migrasi epitel untuk menyeberangi perforasi 14,15. Di samping itu kemampuan membrana amnion dapat mempercepat pembentukan epitel normal 15. Waktu yang dibutuhkan dalam keadaan kering pada penelitian aplikasi TCA 10% dengan jembatan membrana amnion minimal 1 bulan 15 sehingga lebih menjamin status bebas infeksinya bila dibandingkan penelitian ini, yang hanya menetapkan waktu selama 2 minggu. Hal ini terbukti, pada penelitian ini banyak terjadi kegagalan penutupan karena adanya infeksi, baik pada liang telinga maupun telinga tengahnya. Waktu yang dibutuhkan dalam keadaan kering pada penelitian aplikasi TCA 10% dengan jembatan kapas minimal 2 minggu 14, atau sama dengan penelitian ini. Penelitian tersebut memiliki angka keberhasilan lebih tinggi dibandingkan penelitian ini kemungkinan dikarenakan perlatan pada penelitian tersebut lebih modern sehingga dapat menentukan keadaan telinga yang benarbenar bebas infeksi, serta kesadaran hidup sehat masyarakat setempat yang lebih tinggi bila dibandingkan tempat dilakukannya penelitian ini. Telah disebutkan sebelumnya bahwa penutupan perforasi membrana timpani tanpa jembatan pada binatang percobaan didapatkan hasil yang menggembirakan. Pada penelitian dengan menggunakan aplikasi keratinocyte growth factor (KGF) terhadap tikus yang telah dihilangkan setengah membrana timpaninya bagian posterior, ternyata tidak didapatkan perbedaan antara penutupan membrana timpani yang diberi KGF dibandingkan dengan kontrol. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat menutup spontan pada membrana timpani yang terpapar adalah 11,05 ± 1,91 hari dan untuk kelompok kontrol 11,05 ± 1,79 hari 6. Penelitian lain dengan menggunakan acidic fibroblast growth factor (AFGF), live yeast cell derivate (LYCD) dan kontrol pada membrana timpani tikus yang telah dibuat perforasi subtotal, ternyata didapatkan hasil waktu yang dibutuhkan untuk penutupan perforasi tidak menunjukkan perbedaan, yaitu lebih kurang 31 hari 7. Seorang ahli yang telah melakukan penelitian tentang efek aplikasi pentoxyfyllin terhadap penutupan perforasi membrana timpani pada guinea pig yang dibuat dengan ukuran 1x2 mm, didapatkan hasil 80% terjadi penutupan perforasi selama 14 hari, dibandingkan dengan kontrol, 100% dapat menutup spontan dalam waktu yang sama 9. Pada pernyataan di atas dapat diketahui penutupan perforasi membrana timpani binatang percobaan pada kelompok kontrol (tidak mendapatkan paparan), ternyata memiliki angka keberhasilan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Kemungkinan adanya perbedaan ini adalah pada penelitian terhadap binatang percobaan, perforasinya bersifat akut sehingga benarbenar terbebas dari infeksi dan jaringan patologik, serta kemungkinan respon jaringan pada binatang mengenai proses penyembuhan luka lebih baik apabila dibandingkan dengan manusia.
http://jurnal.unimus.ac.id
109
Seluruh sampel pada penelitian ini tidak mengalami infeksi pada telinga tengahnya, dan memiliki fungsi tuba Eustachii yang baik. Tidak terdapatnya infeksi pada telinga tengah dapat diketahui dari keringnya telinga tengah yang dapat dilihat melalui perforasi membrana timpani. Sedangkan untuk mengetahui fungsi tuba Eustachii dapat digunakan alat timpanometry amplaid 702. Pada operasi miringoplasti ada berbagai macam pendapat mengenai perlu tidaknya status tenang telinga tengah; di antaranya yaitu miringoplasti klasik, dilakukannya miringoplasti setelah penderita sekurang-kurangnya tiga bulan sembuh klinis dari peradangan telinga tengah dan miringoplasti dini apabila segera dilakukan miringoplasti begitu keadaan kering. Menurut suatu penelitian, tingkat keberhasilan miringoplasti dini sama baiknya dengan miringoplasti klasik 16 . Untuk penutupan perforasi tanpa operasi seorang ahli pada penelitiannya menentukan waktu sedikitnya 2 minggu dalam fase tenang pada penderita OMSK benigna 14. Sedangkan penelitian lain menetapkan lamanya kering setidaknya 1 bulan 15. Sampel pada penelitian ini, 32 sampel telah mengalami fase kering setidaknya selama 2 minggu dan 4 sampel telah mengalami fase kering setidaknya selama 3 bulan. Dari hasil penelitian tersebut ternyata perforasi membrana timpani kronik dengan fase kering 2 minggu terbukti dapat mengalami penutupan walaupun memiliki angka kegagalan yang lebih tinggi karena terjadinya infeksi yang berulang. Pada penelitian ini 12 sampel tidak mengikuti penelitian sampai dengan selesai dan tidak terjadi penutupan. Penyebab kegagalan ini sebagian besar karena terjadinya infeksi. Terjadinya infeksi dan terdapatnya kelainan pada telinga tengah sulit untuk diprediksikan, karena pada penelitian ini untuk mengetahui kondisi telinga tengah hanya digunakan pemeriksaan otoskopi, sehingga tidak diketahui dengan pasti kondisi yang sesungguhnya. Metode yang dilakukan pada penelitian ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu sederhana, murah dan mudah. Dapat dikatakan demikian karena hanya membutuhkan alat-alat yang sederhana, yaitu lampu kepala, corong telinga dan aplikator/pemilin kapas. Biaya yang murah karena 30 cc TCA 10% hanya seharga Rp 29.000,00 dapat digunakan untuk apilkasi ratusan kali dan relatif tidak memerlukan obat lain. Teknik aplikasi ini mudah dipelajari oleh para klinisi. Kelebihan yang lain adalah, metode ini relatif aman dan tanpa efek samping, karena sifat trauma yang kecil, hanya mengakibatkan perlukaan pada tepi perforasi. Tidak membahayakan penderita, baik bahaya langsung maupun tidak langsung akibat efek obatnya karena konsentrasinya yang rendah dan tidak toksik 10,11. Efek samping yang mungkin dapat terjadi yaitu rasa tidak nyaman atau nyeri, tetapi ringan derajatnya dan akan segera hilang setelah aplikator diangkat. Efek samping lain yang dapat pula terjadi yaitu bertambah luasnya perforasi. Rasa nyeri dan bertambah luasnya perforasi dapat dihindari bila aplikasi TCA 10% tepat mengenai tepi bebas perforasi dan harus segera diangkat bila sudah timbul warna putih pada seluruh tepi bebasnya. Metode ini tidak menyita banyak waktu, karena aplikasi dilakukan dengan interval dua minggu, dan pada saat kontrol hanya membutuhkan waktu lebih kurang lima belas menit dari saat persiapan sampai dengan selesainya aplikasi. Di
http://jurnal.unimus.ac.id
110
samping itu, tidak mengganggu aktivitas penderita, karena setelah dilakukan aplikasi penderita dapat melakukan aktivitas sehari-harinya. SIMPULAN Penelitian ini telah menjawab hipotesis yaitu aplikasi TCA 10% pada tepi perforasi membrana timpani yang kronik dapat menyebabkan perlukaan ulang, sehingga apabila luas perforasinya kurang dari atau sama dengan 25% akan dapat menyebabkan terjadinya penutupan walaupun tanpa penggunaan jembatan. Angka keberhasilan pada penelitian ini adalah 63,9% dengan waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya penutupan berkisar antara 2 sampai dengan 10 minggu. Jumlah aplikasi bervariasi dari 1 hingga 5 kali dengan rata-rata lebih kurang 3 kali. SARAN Perlunya pemeriksaan yang lebih teliti dengan menggunakan alat-alat yang lebih canggih (misalnya mikroskop dan CT Scan), untuk menjamin telinga yang dijadikan sampel benar-benar bebas dari infeksi dan jaringan patologis. Perlunya evaluasi yang lebih sering (bila memungkinkan setiap hari) untuk dapat mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan terjadinya penutupan perforasi membrana timpani. Perlunya follow up jangka panjang pasca penelitian ini untuk megevaluasi membrana timpani yang telah mengalami penutupan, apakah akan bersifat permanen atau hanya sementara..
RUJUKAN 1. Foreman A, Boswell J, Mathews J. Prevalence of otitis media in Aboriginal children of pre-schoolu age in three northern territory rural communities. Conference Proceedings Medical Option for Prevention and Treatment of Otitis Media in Australian Aboriginal Infants Menzies School of Health Research and the Australian Doctors Fund; 1992; Darwin, Northern Territory Autralia. 2. Ott MC, Lundy LB. Tympanic membrane perforation in adults: how to manage, when to refer. Postgrad Med 2001; 110 (5): 81-4. 3. Guneri EA, Tekin S, Yilmaz O, Ozkara Erdag TK, Ikiz AO, et al. The effect of hyaluronic acid, epidermal growth factor, and mitomycin in an experimental model of acute traumatic tympanic membrane perforation. Otology & Neurotology 2003; 24: 371-6. 4. Katzenmeyer K, Friedman N, Quinn FB. Tympanoplasty. Grand Rounds Presentation, UTMB, Dept of Otolaryngology 1999. [on line]: URL. http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Tplasty-9906/Tplasty-9906.htm. 5. Kelompok Studi Otologi Perhati-KL. Panduan penatalaksanaan otitis media supuratif kronik (OMSK) di Indonesia. Jakarta; 2002. 6. Clymer MA, Schwaber MK, Davidson JM. The effect of keratinocyte growth factor on healing of tympanic membrane perforation. Laryngoscope 1996; 106 (3 Pt 1): 280-5. 7. Goldman SA, Siegfield J, Scoleri P, Aydogen LB, Coss SP. Te effect of acidic fibroblast growth factor and live yeast cell derivate on tympanic membrane
http://jurnal.unimus.ac.id
111
regeneration in rat model. Otolaryngology-Head and Neck Surgery 1997; 117 (6). 8. Washington AP, Greenwald JH, Lassen LF, Holtel MR. Effect of pentoxifylline on the healing of guinea pig tympanic membrane. Ann Otol Rhinol Laryngol 2000; 109: 262-4. 9. Howard ML. Middle ear, tympanic membrane, perforations. In: Bauer CA, Talavera F, Gianoli GJ, Slack CL, Meyers AD, editors. Emedicine 2003. [on line]: URL. http://www.emedicine.com/ent/topic206.htm. 10. Sung MW, Oh SH, Koh TY, Kim IS. Pyriform sinus fistula: management with chemocauterization of the internal opening. Ann Otol Rhinol Laryngol 2000; 109: 452-6. 11. Occupational safety and health guidline for trichloroacetic acid. OSHA 1996. [on line]: URL. http://www.osha.gov/sltc/healthguidelines/trichloroaceticacid/recognition.html 12. Ruptured or perforated eardrum. Medline Plus Medical Encyclopedia. [on line]: URL. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001038.htm. 13. Sand NF. Skin peel. Allure Eye & Cosmetic Center 2004. [on line]: URL. http://www.losangeleslsereye.com/pages/skin/htm. 14. Scaramella LF, Farell BP, Kooiker PD, Marra S. Effectiveness of nonsurgical office closure of tympanic membrane pars tensa perforation. ENT-Ear Nose& Throat 2002: 556-60. 15. Hartanto D. Daya guna klinis membran amnion sebagai bahan bridge pada penutupan perforasi membran timpani permanen secara konservatif [tesis spesialis]. Yogyakarta: Universitas Gajahmada; 2004. 16. Boesoirie MTS. Miringoplasti pasca radang telinga tengah. Bandung: Bag IK THT KL FK Unpad; 2000.
http://jurnal.unimus.ac.id
112