THE EVALUATION OF USE MANANASE IN THE DIET LAYING HENS TO THE PRODUCTION AND EGG QUALITY Cinta Butarbutar Yatno , Wiwaha Anas Sumadja, Adrizal*, Yusrizal, and Noverdiman email:
[email protected]
Studies Program Faculty of Animal Faculty of Jambi University
ABSTRACT This research intended to know how production and egg quality of through the addition of mannanase enzyme (0.05%) in the diet of laying hens. The program that used is the Completely Randomized Design (CRD) with two treatments and 20 replications. The tested treatments consisting of : P0 (ration with 15% protein without mannanase enzyme) P1 (ration with 15% protein + mannanase enzyme (0.05%)), a treatment was repeated as much as 20 times and to each treatment filled 5-6 chickens. The parameters observed are feed intake, feed conversion, daily egg production, egg mass production, egg weight, yolk color index and Haugh units (HU). The results of research showed that P0 and P1 respectively each earned average feed consumption - average 118 and 117 g/bird/day, average feed conversion - average 2.7 and 2.5, the average daily egg production - average 76 and 78%, average egg mass production - average 44.41 and 46.83 g/bird/day, average egg weight - average 61.09 and 59.55 g/bird, yolk color index average - average 7.92 and 8.16, Haugh units 71.13 and 72.93. The results of this research can be concluded that the addition of 0.05% in the diet of laying hens mannanase not improve egg production and quality significantly. Keyword Explanation
: egg quality, laying hens, mannanase enzyme, production,. : *Corresponding Author
1
EVALUASI PENGGUNAAN MANNANASE DALAM RANSUM AYAM PETELUR TERHADAP PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR Cinta Butarbutar Yatno , Wiwaha Anas Sumadja, Adrizal*, Yusrizal, dan Noverdiman Fakultas Peternakan Universitas Jambi email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi dan kualitas telur melalui penambahan enzim mannanase (0.05%) dalam ransum ayam petelur. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 20 ulangan. Perlakuan yang diujikan terdiri dari : P0 (Ransum dengan protein 15% tanpa enzim mannanase) P1 (Ransum dengan protein 15% + enzim mannanase (0.05%)), setiap perlakuan diulang 20 kali dan setiap ulangan diisi 5-6 ekor ayam. Peubah yang diukur yaitu konsumsi ransum, konversi ransum, produksi harian telur, produksi massa telur, berat telur, indeks warna kuning telur dan haugh unit (HU). Hasil penelitian menunjukkan bahwa P0 dan P1 masing – masing diperoleh: konsumsi ransum rata – rata 118 dan 117 gr/ekor/hari, konversi ransum rata – rata 2.7 dan 2.5, produksi telur harian rata – rata 76 dan 78%, produksi massa telur rata - rata 44.41 dan 46.83 gr/ekor/hari, berat telur rata – rata 61.09 dan 59.55 gr/ekor, indeks warna kuning telur rata – rata 7.92 dan 8.16, haugh unit 71.13 dan 72.93. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan 0.05% mananase dalam ransum ayam petelur belum memperbaiki produksi dan kualitas telur secara nyata. Kata Kunci Keterangan
: ayam petelur, enzim mannanase, kualitas telur, produksi. : *Corresponding Author
2
PENDAHULUAN Penggunaan bahan pakan lokal yang mudah didapatkan, tersedia dalam jumlah besar, berkualitas, berkesinambungan dan murah seperti bungkil inti sawit merupakan jenis bahan pakan yang potensial dan penggunaan bungkil inti sawit memberikan keuntungan ganda yaitu menambah keragaman dan persediaan pakan dan mengurangi pencemaran lingkungan, namun demikian penggunaan bungkil inti sawit dalam pakan ternak mempunyai keterbatasan yaitu adanya kandungan serat yang sulit di cerna oleh enzim pencernaan jika diberikan secara langsung. Penggunaan bungkil inti sawit pada ternak monogastrik terbatas karena adanya struktur mannan dalam ikatan beta-manan yang sulit di pecah oleh enzim pencernaan. Faktor pembatas penggunaan bungkil inti sawit yang terutama pada ternak monogastrik yaitu serat yang tinggi yang komponen dominannya adalah berupa manan yang mencapai 56.4% dari total dinding sel bungkil inti sawit (Daud et al., 1993). Seperti halnya sifat fraksi serat kasar secara umum yang dapat menghalangi kerja enzim pencernaan terhadap digesta (Ching, 2002). Penelitian Silaban. R., (2013) penggunaan 15 dan 17% protein kasar dalam ransum ayam petelur Isa-Brown mendapat hasil bahwa penurunan protein kasar menjadi 15% menurunkan produksi telur harian namun tidak mempengaruhi kualitas telur. Namun protein kasar 15% baik terhadap amoniak volatilisasi. Dewasa ini banyak upaya yang telah dilakukan peneliti untuk meningkatkan kecernaan zat gizi bahan pakan berserat, diantaranya
adalah penggunaan enzim (Meng et al., 2005). Penggunaan enzim adalah salah satu cara yang sering dilakukan peneliti untuk mengatasi sifat negatif serat kasar dalam ransum sebagai pakan unggas. Downie et al., (1994) mengatakan bahwa enzim mananase dapat dimanfaatkan sebagai campuran dalam ransum ternak unggas sehingga meningkatkan nilai gizi dan konversi bahan pakan kaya manan seperti bungkil inti sawit. Degradasi manan dengan enzim mannanase dapat menghasilkan mannooligosakarida dan manosa yang dapat berfungsi sebagai prebiotik. Oleh karena itu, telah dilakukan penelitian evaluasi penggunaan enzim mananase dalam ransum ayam petelur terhadap produksi dan kualitas telur. MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kandang layer JSPS (Japan Society for the Promotion of Science) bertempat di Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Laboratorium Dasar dan Terpadu Universitas Jambi dimulai dari tanggal 19 September sampai 21 Oktober 2014. Materi dan Peralatan Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam petelur tipe medium strain Isa Brown umur 42 minggu sebanyak 225 ekor. Bahan pakan yang digunakan untuk menyusun ransum adalah bungkil kedelai, jagung kuning, dedak padi, minyak sawit, DL-Metionin, L-Lysin HCl, L-Isoleusin, L-Valin, kalsium phospat, CaCO3, NaCl, sodium bikarbonat, vit-min mix dan BIS.
3
Kandungan Zat Makanan Ransum dapat dilihat pada Tabel 2. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kandang individual dengan ukuran 40 x 40 x 20 cm, tempat pakan, tempat minum, lampu pijar, timbangan. Alat yang digunakan untuk analisis kualiatas telur yaitu egg analyzer dan timbangan. Pelaksanaan penelitian Penempatan ayam dan pemberian perlakuan didalam kandang dilakukan secara acak, setiap unit kandang diberi nomor atau kode ulangan. Pada saat penelitian ini dimulai ayam berumur 42 minggu sebanyak 225 ekor. Penimbangan ayam secara individual kemudian secara acak ayam dimasukan ke dalam cage, 1 ekor per cage (40 x 40 x 20 cm). Pemeliharaan dilakukan selama 1 bulan. pemberian ransum dan air minum secara ad-libitum selama penelitian. Konsumsi ransum diukur
setiap minggunya. Produksi telur diukur setiap hari untuk mengetahui Hen-day. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 perlakuan dan 20 ulangan. Adapun 2 perlakuan tersebut adalah sebagai berikut: P0 = Ransum dengan protein 15% tanpa enzim mananase. P1 = Ransum dengan protein 15% + enzim mananase (0,05%) Setiap perlakuan terdiri dari 20 ulangan dan setiap ulangan diisi 5 sampai 6 ekor ayam. Data di analisis statistik dengan menggunakanan analysis of variance (ANOVA). Peubah yang diamati Peubah yang diamati dari penelitian ini adalah konsumsi ransum, produksi harian telur, produksi massa telur, konversi ransum, berat telur, indeks warna kuning telur dan haugh unit.
4
Tabel 1. Komposisi dan kandungan Zat-zat makanan ransum penelitian1. Komposisi Bahan Proporsi (%) Jagung kuning 53.22 Bungkil kedelai 17.18 Dedak padi 5.96 Bungkil inti sawit 1,5 mm 11.00 Minyak sawit 2.14 DL-Metionin 0.16 L-Lysin HCl 0.08 L-Isoleusin 0.15 L-Valin 0.10 Kalsium phospat 0.86 CaCO3 8.45 NaCl 0.20 Sodium bikarbonat 0.30 Vit-min mix 0.20 TOTAL 100 Kandungan Zat-zat Makanan Energi Metabolis (Kkal/kg) 2750.03 Protein kasar (%) 15.01 - Metionin (%) 0.41 - Metionin + Sistein (%) 0.65 - Lisin (%) 0.76 Serat kasar (%) 8.37 Lemak kasar (%) 4.74 - Asam linoleat (%) 1.33 Kalsium (%) 3.60 Total P (%) 0.68 NPP (%) 0.28 Na (%) 0.18 Cl (%) 0.15 1 Mannnase ditambahsebanyak 0,05% kedalamransumpenelitianuntukmembuatransumperlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Performan Ayam Petelur strain Isa-Brown Data performan (konsumsi ransum, produksi harian telur,
konversi ransum, produksi massa telur) ayam petelur strain Isa-Brown yang memperoleh perlakuan 0% dan 0.05% mananase selama 4 minggu disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan performan ayam petelur strain Isa-Brown selama 4 minggu yang yang diberi ransum dengan atau tanpa suplementasi Mannanase1 Perlakuan Parameter SER P>F P0 P1 Konsumsi ransum (gr/ekor/hari) 118 117 11.67 0.0579 Konversi ransum 2.7 2.5 0.0759 0.0637 Produksi telur harian (%) 76 78 1.8644 0.3279 Produksi massa telur (gr/ekor) 44.41 46.83 0.8401 0.9998 1 Tidak ada pengaruh nyata terhadap performan ayam petelur
Konsumsi Ransum Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan mananase 0.05% dalam ransum ayam petelur tidak mempengaruhi konsumsi ransum selama 4 minggu penelitian (Tabel 2). Hal ini mengindikasikan bahwa ransum pada perlakuan 0% dan
0.05% memiliki palatabalitas yang sama seperti yang pernah dilaporkan oleh Adrizal et al., (2011) pentingnya palatabalitas sebagai peningkat konsumsi. Penambahan mananase dalam ransum tidak mempengaruhi konsumsi ransum karena alasan utama penambahan 5
mananase adalah untuk mengurangi sifat negatif (viskositas) serat kasar ransum sehingga bisa diharapkan adanya peningkatan efisiensi utilisasi zat makanan. Penelitian yang dilakukan oleh Jaelani (2011) juga tidak memperlihatkan signifikansi pengaruh penembahan enzim terhadap konsumsi ransum. Rata – rata konsumsi ransum perhari pada penelitian ini yaitu perlakuan 0% dan 0.05% masing – masing 118 dan 117 gr/ekor/hari, lebih rendah dari penelitian Croswell (2003) yang menyatakan bahwa konsumsi ransum untuk ayam Isa Brown adalah 120 gr/ekor/hari. Dan lebih tinggi dari NRC (1994) yaitu 110 gr/ekor/hari. Lebih lanjut Ardiansyah (2012) menyatakan bahwa rata-rata konsumsi ransum pada perlakuan strain Isa Brown dan Lohman yaitu 111.93 dan 109.97 gr/ekor/hari. Konversi Ransum Data konversi ransum selama penelitian (Tabel 2) semakin menjelaskan bahwa semakin rendahnya kecernaan dan utilisasi zat makanan akibat peningkatan kandungan SK dalam ransum. Hasil penelitian ini (data konversi ransum) menjelaskan bahwa kandungan SK adalah fakta dominan pembatas kecernaan ransum mengingat sifat viskositas serat (Sundu et al., 2005) tanpa mengabaikan pengaruh rendahnya daya cerna protein dan asam amino ransum yang mengandung BIS (Ravindra dan Brair, 1992). Upaya memperbaiki angka konversi ransum ternyata belum berhasil dengan penambahan mananase pada level 0.05%, sebuah indikasi belum efektifnya kerja mananase secara individual. Penambahan mannanase 0.05%
belum memberi gambaran optimalnya sistem pencernaan ayam petelur ini dalam mengubah 1 gram pakan menjadi 1 gram telur. Semakin kecil angka konversi ransum menandakan ayam lebih baik dalam mengubah pakan menjadi telur dan ransum dapat dikatakan baik (Wahju, 1997). Konversi ransum yang di hasilkan pada penelitian ini (Tabel 2) lebih tinggi dari penelitian (Bintang et al., 2008) rata-rata konversi ransum ayam petelur stain Isa Brown yaitu 2.45 dan 2.26. lebih lanjut Ardiansyah (2012) menyatakan bahwa rata – rata konversi ransum pada perlakuan strain Isa Brown dan Lohman yaitu masing – masing 2.07 dan 2.09. Anggorodi (1995) menyatakan bahwa konversi ransum dapat dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain laju perjalanan ransum dalam saluran pencernaan, bentuk fisik ransum, komposisi ransum dan imbangan zat – zat gizi dalam ransum. Produksi Harian Telur Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukan bahwa penggunaan mananase 0.05% dalam ransum ayam petelur tidak mempengaruhi produksi harian telur (Tabel 2). Hal ini menegaskan bahwa ketersediaan nutrisi ransum yang di konsumsi belum menjamin peningkatan kecernaan atau utilisasi zat makanan yang sama pula meskipun secara kuantitas kandungan zat – zat makanan ransum sama (Adrizal et al., 2011). Menurut Hutagalung (1978) faktor pembatas dalam penggunaan BIS adalah serat kasar yang tinggi dan kecernaan asam amino yang rendah. Hal ini akan berpengaruh pada serapan nutrisi dan produksi harian telur.
6
Penambahan enzim awalnya diharapkan dapat berpengaruh secara tidak langsung pada produksi, seperti yang dikatakan Downie et al., (1994) yang menyatakan bahwa enzim mananase dapat dimanfaatkan sebagai campuran dalam pakan unggas sehingga akan meningkatkan nilai gizi dan konversi ransum pakan kaya manan seperti BIS, ternyata pada penelitian ini belum terlihat. Hal ini diduga karena kompleksitas SK ransum (Tabel 1) sangat mungkin bahwa penambahan mananase semata tidak cukup untuk mendegradasi fraksi SK (manan) ransum secara utuh untuk menimbulkan pengaruh nyata. Beberapa hasil penelitian (Sundu dan Dingle, 2007; Iyayi dan Davies, 2005; Chong et al., 2008) menunjukan efektifitas penambahan enzim campuran (selulose, glukanase, xylanase, dan fitase) dalam ransum yang mengandung bungkil inti sawit lebih terlihat pada kecernaan protein, lemak, abu, dan energi metabolisme ransum dibandingkan dengan penambahan enzim tunggal. Produksi harian telur yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Nuraini et al., (2008) yang mendapatkan produksi harian telur 71.40% pada umur 28 – 36 minggu. Produksi Massa Telur Rataan produksi massa telur ayam petelur yang memperoleh perlakuan 0% dan 0.05% mananase masing – masing 44.41 dan 46.83 gr (Tabel 2). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukan bahwa produksi massa telur ayam petelur Isa-Brown yang memperoleh perlakuan 0% dan 0.05% berbeda
tidak nyata (P>0.05). Hal ini disebabkan karena produksi harian telur pada perlakuan 0% dan 0.05% setelah di analisis ragam memberi hasil yang sama yaitu berbeda tidak nyata (P>0.05). Produksi massa telur merupakan hasil perkalian antara presentasi produksi harian telur dengan berat telur yang menunjukan tingkat efisiensi dari produksi untuk tiap hari. Semakin tinggi berat telur maka semakin tinggi produksi massa telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Kartasudjana (2006) yang menyatakan bahwa nilai produksi massa telur tergantung dari produksi telur harian dengan berat telur, apabila produksi massa telur meningkat maka produksi harian telur meningkat juga sebaliknya produksi massa telur turun produksi harian telur menurun. Lebih lanjut ditambahkan oleh Amrullah (2004) yang menjelaskan bahwa penggunaan massa telur dibandingkan jumlah telur merupakan cara menyatakan perbandingan kemampuan produksi antara kelompok atau galur unggas oleh akibat pemberian pakan dan program pengolahan yang lebih baik. Lesson dan Summer (2001) menyatakan bahwa produksi massa telur ayam petelur umur 22 - 28 minggu adalah sebanyak 45.03 g/ekor/hari. Lebih lanjut, ISA (2010) produksi massa telur untuk ayam petelur strain Isa Brown 59.1 gr/ekor/hari. KualitasTelurAyam PetelurStrain Isa-Brown Data kualitas telur (berat telur, indeks warna kuning telur dan haugh unit) ayam petelur strain IsaBrown yang memperoleh perlakuan 0% dan 0.05% mananase selama 4 minggu disajikan pada Tabel 3.
7
Tabel 3.Kualitas telur ayam petelur strain Isa-Brown umur 43 dan 45 minggu atau tanpa suplementasi Mannanase1 Perlakuan Umur (minggu) Berat telur Indeks warna Mannanase (gr) kuning telur 0% 43 60.20 8.05 45 61.98 7.78 Rataan 61.09 7.92 SER 0.99 0.22 P
Berat Telur Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan level mannanase 0.05% dalam ransum ayam petelur tidak mempengaruhi berat telur. Hal ini mengindikasikan bahwa ransum 0.05% mananase dan 0% mananase memiliki utilisasi zat makanan yang sama sehingga mempengaruhi pada serapan nutrisi untuk pembentukan telur. Jika diasumsikan susunan ransum secara kuantitas seimbang (Tabel 1). Faktor pakan terpenting yang diketahui mempengaruhi berat telur adalah asam amino yang cukup dalam ransum (Anggorodi, 1995). Persentasi penggunaan asam amino dalam ransum relatif sama antara kedua perlakuan, menurut Adrizal et al., (2011) bahwa banyaknya ransum yang di konsumsi juga belum menjamin peningkatan kecernaan atau utilisasi zat makanan yang sama pula meskipun secara kuantitas kandungan zat – zat makanan ransum sama. Penambahan enzim mananase pada level 0.05% dalam ransum yang awalnya diharapkan dapat berpengaruh secara tidak langsung pada kualitas telur, dalam penelitian ini belum terlihat. Berat telur yang di hasilkan dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Pasaribu et al., (2006) yakni 65.16 g. ISA (2010) yaitu 64.8 g.
yang di beri ransum dengan Haugh unit 72.99 69.26 71.13 1.32 0.7948 72.51 73.36 72.93 2.39 0.2328
Indeks Warna Kuning Telur Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukan bahwa indeks warna kuning telur ayam petelur Isa-Brown yang memperoleh perlakuan 0% dan 0.05% berbeda tidak nyata (P>0.05). Hal ini di duga karena kandungan zat – zat makanan yang mempengaruhi warna kuning telur seperti jagung memiliki proporsi yang sama antara ke dua perlakuan. Castellini et al., (2006) yang menyatakan bahwa jagung kuning dapat menyebabkan warna pekat pada kuning telur. Warna atau pigmen yang terdapat dalam kuning telur sangat dipengaruhi oleh jenis pigmen yang terdapat dalam ransum yang dikonsumsi (Winarno, 2002) dan setiap ayam mempunyai kemampuan berbeda untuk mengubah pigmen karoten tersebut menjadi warna kuning telur (Ramanoff, 1963). Indeks warna kuning telur yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dari penelitian Tristiarti dan Mangisah, (2013) pada ayam arab petelur umur ± 9 bulan indeks warna kuning telur yang dipeoleh yaitu sekitar 10.4.
Haugh Unit (HU) Haugh Unit yaitu hubungan antara tebal atau tinggi albumen 8
dengan keseluruhan bobot telur, merupakan dasar pengukuran indeks mutu telur. Hasil pengukuran haugh unit telur yang diamati selama penelitian disajikan dalam Tabel 3. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukan bahwa HU ayam petelur Isa-Brown yang memperoleh perlakuan 0% dan 0.05% berbeda tidak nyata (P>0.05), Nilai HU berhubungan dengan bobot telur dengan tinggi albumin. Semakin tinggi HU maka semakin tinggi pula kualitas telurnya (Scott et al.,1982). Bahan pakan yang digunakan untuk kedua perlakuan memiliki persentase protein yang sama, sehingga akan mempengaruhi berat telur yang erat hubunganya dengan nilai HU. Produksi telur dipengaruhi oleh konsumsi ransum terutama protein (Rasyaf, 1992). Ditambahkan oleh Anggorodi (1994) bahwa faktor pakan yang mempengaruhi produksi telur adalah kandungan protein dari pakan tersebut, sebab lebih kurang 50% berat kering dari telur terdiri dari protein. Kandungan protein yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 15% (Tabel 1). HU yang diperoleh pada perlakuan 0.05% yaitu 72.93, seperti yang diungkapkan oleh Sudaryani (2003) yang menyatakan bahwa nilai HU yang normal berkisar lebih dari 72 digolongkan kualitas AA. Sesuai standar yang ditetapkan oleh USDA (2000) telur dengan nilai HU > 72 termasuk memiliki kualitas AA. Stadelman dan Cotterill (1977) menyatakan bahwa nilai HU tergantung pada tinggi rendahnya berat telur dan tebal albumen. Jika bobot telur rendah maka ada kecenderungan tebal albumen dan nilai HU akan menurun juga. Nilai HU pada penelitian ini yaitu 71.13% dan 72.93 (Tabel 3) yang lebih
rendah dibanding dengan nilai HU yang ditetapkan oleh ISA (2011), yakni 82. Lebih lanjut, Tritiarti dan Mangisah (2013) yang menyakan bahwa rata – rata HU yang diperoleh adalah 91.98 dengan protein ransum 16%. Wilson (1975) mengemukakan bahwa bentuk telur merupakan ekspresi dari kandungan protein pakan. Protein pakan akan mempengaruhi viskositas telur yang mengindentifikasi kualitas interior telur selanjutnya akan mempengaruhi haugh telur. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian menujukkan penambahan 0.05% mananase dalam ransum ayam petelur belum memperbaiki produksi dan kualitas telur secara nyata. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh enzim mannanase dalam ransum terhadap performan dan kualitas telur dengan meningkatkan level penggunaan mannanase dalam ransum ayam petelur. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapakan trimakasih kepada Tim penelitian JSPS (Japan Society for the Promotion of Science) yang telah membiayai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adrizal, A., Y. Yusrizal., S. Fakhri., W. Haris., E. Ali and C. Angel. 2011. Feeding native laying hens diets containing palm kernel meal with or
9
without enzyme suplementations: 1. Feeding conversion ratio and egg production. J. Appl. Poult. Res. 20: 40-49. Amrullah, I.K. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Penebar Swadaya. Jakarta. Anggorodi R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. PT. Gramedia, Jakarta. Ardiansyah. F. 2012. Perbandingan Performa dua strain ayam Jantan Tipe Medium yang diberi ransum komersial broiler. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung Bintang, I. A. K., A. P. Sinurat dan T. Purwadaria. 2008. Penambahan antibiotik dan bioaktif ampas mengkudu terhadap produksi telur ayam. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 13(2):83-88. Castellini, C., F. Perella, C. Mugnai, and A. Dal Bosco. 2006. Welfare, productivity and quality traits of egg in laying hens reared under different rearing systems. National Journal of Animal Science. 54 (2) : 147155. Chong, C. H., Zulkifli, I. and Blair, R. 2008. Effects of dietary inclusion of palm kernel cake and palm oil, and enzyme supplementation on performance of laying hens.
Asian Aust. J. Anim. Sci. 21:1053–1058. Ching, F. Y. 2002. Utilization of palm kernel cake as feed in Malaysia. Asian Livestock 26 (4):19-26 Croswell. 2003. Optimum Production and Nutrition of Layer. Asian Poultry Magazine September 2003:18-20 Daud, M. J. And Jarvis, M. C. 1993. Mannan of oil palm kernel. Phytochemistry 31:463-464 Downie, B., H.W.M. Hilhorst., and J.D. Bewtey. 1994. A new assay for quantifying endo-β-D-mannanase activiying using congo red dye. Phytochemistry 32:829-835 Hutagalung, R. I. 1978. Non traditional feeding stuffs for livestock. Symposium. On Feeding Stuffs for Livestock in South East Asia, Kuala Lumpur. ISA. 2011. Nutrition Management Guide. A Hendrix Genetics Company. www.hendrixgenetics.com. Diakses 11 Februari 2014. Iyayi, E. A. and B. I. Davies. 2005. Effect of enzym suplementation of palm kernel meal and Brewer’s dried grain on the performance . Int. J. Poult. Sci. 4(2): 76-80. Jaelani, A. 2011. Performans ayam pedaging yang diberi enzim betamananase dalam ransum yang berbasis bungkil inti
10
sawit. Media Sains, 3(2):228237 Kartasudjana, E. 2006. Ilmu Dasar Ternak Unggas.Penebar Swadaya. Jakarta Lesson, S. Dan J. D. Summer. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Ed. University Books, Guelph, Canada. Meng X, Slominski BA, Nyachoti CM, Campbell LD, Guenter W. 2005. Degradation of cell wall polysaccharides by combinations of carbohydrase enzymes and their effect on nutrient utilization and broiler chicken performance. Poult Sci. 84:37-47 National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. Ninth Revised Edition. National Academy Press, Washington, D. C. Nuraini, Sabrina and S. A. Latif. 2008. Performan ayam dan kualitas telur yang menggunakan ransum mengandung enzim dan onggok fermentasi dengan Neurodpora crasa. Jurnal Media Peternakan 31(3): 195 – 202. Pasaribu, T., A. P. Sinurat dan T. Purwadaria. 2006. Efektifitas bioaktif lidah buaya (Aloe vera barbadensis) terhadap ayam petelur di tingkat peternak komersial. Jurnal Ilmu Ternak dan Veterien 11:8591 Ramanoff, A. L. 1963. The Avian Egg. Jhon Wiley and Sons. New York. 113-143, 321328.
Rasyaf, M. 1992. Produksi dan Pemberian Ransum Unggas. Kanisius, Yogyakarta. Ravindran, V dan R. Blair. 1992. Feed resources for poultry production in asia and the pasific. II. plant protein sources. World Poultry Sciences. 48:206-231. Scott, M, L., M. C. Nesheim and R, J, Young, 1982. Nutrition of The Chiken. 3rd Ed. M. L. Scott and Associate, Ithaca. New York. Silaban, R. 2013. Produksi dan kualitas telur ayam Isa-Brown yang diberi ransum rendah protein pada pemeliharaan terintegrasi dengan kolam azolla dalam upaya mitigasi amonia. Makalah Seminar. IPB. Bogor Stadelman, J. W., J. O. Cotterill, 1977. Egg Science and Technology. 2nd Ed. AVI Publishing Company, Inc, Connecticut. Sudaryani, T. 2003. Kualitas Telur Cet. 4. Penebar Swadaya, Jakarta Sundu, B., Kumar, A. and Dingle, J. 2005. Comparior of feeding values of palm kernel meal and copra meal for broiler. Recent advances in animal nutrion Australia 15:16. Sundu, B. And J. Dingle. 2007. Use of enzyme to improve the nutrition value of palm kernel meal and copra meal. Hal. 115 dalam : Proc. Quensland poult. Sci. Symp. Univ. Of Sydney, NSW, Australia. Tristiarti dan I. Mangisah. 2013. Kualitas fisik telur ayam 11
petelur fase I dengan berbagai level Azolla microphylla. Animal Agricultural Journal, 2(1): 445 - 457 United
States Department of Agriculture [USDA]. 2000. Egg Grading Manual. Agricultural Handbook, No. 75, Washington, D.C.
Wahju J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke empat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Wilson, B.J. 1975. The performance of male ducklings given starting diets with different concentration of energy and protein. British poult Sci. 16: 625 – 657. Winarno, F. G. 2002. Telur. Komposisi, Penggunaan dan Pengolahannya. M-Brio Press, Bogor.
12