THE EFFECT OF EMOTION REGULATION TRAINING TO REDUCE STRESS AMONG UNEMPLOYED INDIVIDUAL AT SALAFUSOLIKHIN PEKALONGAN CENTRAL JAVA Emir Muttaqin Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Jalan kapas no 9 Semaki, Yogyakarta Abstract This study aimed to determine the effect of emotion regulation training to reduce stress on the unemployment rate. Subjects were unemployed person who live in the boarding school Salafusolikhin Pekalongan Central Java. The research methods in this study used an experimental method. Methods of data collection used the stress scale. The method of data analysis in this study used t-test analysis techniques. The results showed a significance level of p = 0.000 (p <0.01) on the difference in the stress level of subjects. It shows that there is a significant difference in stress between the experimental group were given training in emotion regulation with the control group were not given the treatment. The categorization of stress of the subjects showed in the medium category. The research concluded that there is a difference in stress levels after the subjects are given emotional regulation training. This means that the hypothesis is accepted and shows that emotion regulation training can reduce stress on the unemployed. Keywords: emotional stress, unemployed, and emotion regulation training.
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan regulasi emosi untuk mengurangi stres pada individu yang mengangur. Subyek penelitian adalah individu yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tinggal di pondok pesantren Salafusolikhin Pekalongan Jawa Tengah. Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Metode pengumpulan data menggunakan skala stres. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis t-test. Hasil penelitian menunjukkan tingkat signifikansi p = 0,000 (p <0,01) dimana ada perbedaan tingkat stres antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen yang diberi pelatihan regulasi emosi menunjukkan tingkat stress yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan. Kategorisasi stres dari subyek menunjukkan dalam kategori sedang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada perbedaan tingkat stres setelah subyek diberikan pelatihan regulasi emosional. Ini berarti bahwa hipotesis diterima dan menunjukkan bahwa pelatihan regulasi emosi dapat mengurangi stres pada pengangguran. Kata kunci: stress emosional, pengangguran, dan pelatihan regulasi emosi.
Emir Muttaqin
69
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang berkembang sebagian besar masyarakatnya memiliki pemikiran untuk mencari ilmu setinggi yang bisa dicapai, kondisi tersebut membuat sebagian besar masyarakat dalam rentang usia sekolah berlomba-lomba untuk menuntut ilmu. Ketersediaan tempat menuntut ilmu hingga jenjang sarjana membuka kesempatan yang besar bagi siapapun untuk mencari ilmu. Kondisi tersebut menguntungkan bagi sebagian besar perusahaan dan pemerintahan karena tenaga profesional yang diharapkan tersedia. Tenaga kerja yang tersedia terus bertambah setiap tahunnya, hal tersebut didukung oleh berbagai perguruan tinggi yang terus meluluskan puluhan hingga ratusan mahasiswa didikannya. Sedikitnya lapangan pekerjaan dibanding dengan jumlah para ratusan mahasiswa yang diluluskan tiap tahunnya membuat para sarjana bingung untuk mencari pekerjaan-pekerjaan yang layak, begitu juga dengan kesulitan modal apabila mahasiswa ingin membuka lapangan pekerjaan. Ditambah dengan kebijakan pemerintah yang kadang kala tidak menguntungkan rakyatnya, serta paham-paham kapitalisme para pemodal besar yang memonopoli beberapa sector ekonomi di Indonesia sehingga sampai sekarang banyak sekali penganggur. Pada umumnya penganggur mengalami tekanan dan beban secara psikis dikarenakan tidak mempunyai pekerjaan. Jumlah pengangguran semakin meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah lulusan pendidikan yang tidak mempunyai pekerjaan karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Penelitian Jahoda (Hoare & Machin, 2009) menemukan bahwa pengangguran mengakibatkan hilangnya manfaat psikososial pekerjaan karena kesehatan mental yang lemah yang dialami penganggur. Fryer (Hoare & Machin, 2009) berpendapat bahwa keuangan yang terbatas akan membatasi individu untuk melakukan kontrol pada hidupnya dalam membuat rencana masa depan yang berdampak pada kesejahteraan hidup. Seperti diketahui, dari segi ekonomi, penganggur tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, sehingga masih membutuhkan bantuan dari orang lain. Ketergantungan pada pihak lain tersebut, menyebabkan kehidupan penganggur ibarat “parasit”. Simbol “parasit” yang melekat pada pengganggur memiliki dampak negatif terhadap kondisi individu yang menganggur. Penggangur merasa sebagai orang yang tidak berguna dan merepotkan orang lain. Kondisi seperti ini menyebabkan individu yang mengganggur mengalami krisis moral, sehingga pengannggur menjadi kehilangan jati dirinya. Penganggur mudah sekali terbawa oleh situasi yang tidak mengenakkan dirinya. Penelitian Putrama (2007), memperoleh hasil para sarjana ini merasa putus asa, dan tidak berguna karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga dan lingkungannya. Tuntutan dari keluarga yang mengharapkan agar bisa membantu perekonomian keluarga terutama di saat yang sulit ini dan tuntutan dari lingkungan yang mengharapkan sarjana berharga di lingkungannya untuk kemajuan lingkungan sosialnya, ada juga tuntutan lain yang harus dipenuhi yaitu tuntutan dari perguruan tinggi tempat sarjana tersebut menimba ilmunya. Penganggur yang belum mendapatkan pekerjaan tetap dan adanya beban tanggung jawab terhadap keluarga mengakibatkan muncul reaksi-reaksi stres yang hampir sama, seperti cemas, takut akan masa depan yang suram, sulit tidur, pusing, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam hal ini yang dimaksud stres adalah stres pada penganggur setengah pengangguran. Berbicara mengenai stres pada penganggur, menurut Atkinson, dkk (1990) stres dapat diartikan sebagai reaksi fisik atau ketegangan yang muncul secara otomatis ketika seseorang menghadapi situasi stres berupa situasi baru, situasi tidak menyenangkan, situasi yang menuntut, mengancam atau keadaan berbahaya. Situasi stres menghasilkan reaksi emosional mulai dari
70
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
kegembiraan sampai emosi umum kecemasan, kemarahan, kekecewaan dan depresi. Jika situasi stres terus terjadi, emosi mungkin akan berpindah bolak-balik di antara emosi-emosi tersebut, tergantung pada keberhasilan menyelesaikannya. Keadaan pengalaman stres yang tinggi, seseorang akan mengalami gangguan kognisi, gangguan ekspresi maupun emosi, serta gangguan penyesuaian secara umum. Gangguan tersebut akan tampak sebagai gejala sulit berkonsentrasi, mudah lupa, menjadi tidak peduli, atau berperilaku kasar terhadap orang lain. Individu yang stres menunjukkan reaksi emosional yang negatif seperti sedih, cemas, mudah marah, mudah tersinggung, gelisah, sensitif, gugup dan perasaan bersalah (Sarafino, 1998). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan strategi terfokus emosi untuk menangani stres penganggur. Tujuan dari intervensi fokus emosi mempunyai empat prinsip yaitu (a) meningkatkan kesadaran emosi, (b) memperbaiki regulasi emosi, (c) mengubah emosi, dan (d) merefleksikan emosi (Greenberg, 2002). Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan intervensi regulasi emosi. Konsep regulasi emosi ini dikembangkan oleh beberapa ahli di antaranya Gross dan Thompson (2007) dan salah satunya adalah Greenberg (2002). Keterampilan regulasi emosi dipilih sebagai intervensi karena meskipun penganggur sudah bekerja atau pernah bekerja akan tetapi dalam menghadapi permasalahan dikehidupannya penganggur tidak mampu mengelola emosi-emosi negatif yang muncul secara efektif sehingga mengakibatkan penganggur tidak bisa bekerja dengan baik dan tidak bisa mendapatkan pendapatan (penghasilan). Ketidakmampuan penganggur dalam meregulasi emosi-emosi negatif mengharuskan penganggur untuk melatih dirinya agar bisa menghadapi masalah dengan koping yang efektif. Intervensi regulasi emosi dilakukan dengan melatih penganggur setengah pengangguran untuk mengenal emosi-emosi yang muncul pada dirinya, baik itu emosi positif maupun emosi negatif. Selanjutnya mengekspresikan emosi yang dirasakannya secara verbal dan non verbal, mengelola emosi dan mengubah emosi negatif menjadi emosi positif dengan mengurangi emosi negatif dan memperbesar emosi positif (Greenberg, 2002). Regulasi emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menilai, mengatasi, mengelola dan mengungkapkan emosi dengan tepat dalam rangka mencapai keseimbangan emosional (Greenberg, 2002; Lazarus, 1991; Richard & Gross, 2000; Bonanno, 2001; Kostiuk & Fouts, 2002). Penelitian mengenai regulasi emosi yang dilakukan oleh Barret, Gross, Christensen & Benvenuto (2001) menemukan bahwa emosi negatif dapat mempengaruhi aktivitas seseorang dan bahwa kemampuan meregulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi negatif akibat pengalaman-pengalaman emosional serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian hidup, memvisualisasikan masa depan yang positif dan mempercepat pengambilan keputusan. Selain itu, regulasi emosi akan mempengaruhi koping individu terhadap masalah. Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa setiap penganggur mengalami emosi stres tetapi tingkat stres pada setiap individu itu berbeda-beda. Dikarenakan emosi stres terdapat indikator berpikir negatif maka emosi stres penting untuk di regulasi emosi sehingga bisa merubah pikiranpikiran negatif menjadi pikiran yang positif. Maka diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam lagi tentang cara meregulasi emosi stres pada pengangguran. Stres adalah suatu keadaan yang tertekan baik secara fisik maupun psikologis. Keadaan yang tercipta ini merupakan suatu keadaan yang sangat mengganjal dalam diri individu karena adanya perbedaan antara yang diharapkan dengan yang ada (Chaplin, 2002). Taylor (1995) mendefinisikan stres sebagai kondisi yang tidak seimbang antara sumber pribadi (personal resources) dengan tuntutan yang dimiliki. Ketidakseimbangan tersebut dinilai oleh individu sebagai sebuah kondisi yang berbahaya dan mengancam keberadaannya.
Emir Muttaqin
71
Stres adalah tuntutan terhadap sistem yang menghasilkan ketegangan, kecemasan dan kebutuhan energi, usaha fisiologis, dan usaha psikologis ekstra (Sundberg dkk, 2007). Markam (2003), menganggap stres merupakan keadaan ketika beban yang dirasakannya terlalu berat dan tidak sepadan dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi beban yang dialaminya. Sarafino (1998) mendefinisikan stres sebagai perasaan tidak mampu untuk menghadapi banyaknya tuntutan dari lingkungan sehingga menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan. 1. Aspek-aspek Stres (Hardjana, 2002): a. Fisikal, misalnya timbul sakit kepala, pusing, insomnia, dan tekanan darah tinggi. b. Emosional, misalnya adanya rasa gelisah, depresi, sedih, gugup dan mudah marah. c. Intelektual, misalnya individu sulit konsentrasi, mudah lupa, pikiran kacau, mutu kerja rendah, dan melamun secara berlebihan. d. Interpersonal, misalnya kehilangan kepercayaan pada orang lain, mudah menyalahkan orang lain, dan suka mencari kesalahan orang lain. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres (Prokop dkk, 1991): a. Faktor perilaku Saat individu menghadapi stresor dalam lingkungannya ada dua karakteristik dari stresor tersebut yang akan mempengaruhi reaksi individu, yaitu: 1) Durasi. Lamanya individu menghadapi stres akan berpengaruh pada efek stres yang ditimbulkan. 2) Dapat diramalkan. Satu hal yang penting berhubungan dengan stresor adalah kemungkinan untuk meramalkan. Beberapa penyebab stres dapat diketahui ketika individu mampu memprediksi stresor sehingga dapat dipikirkan strategi yang dapat membantu untuk mengurangi penderitaan emosional akibat stres. b. Faktor psikologis 1) Kontrol yang dirasakan (perceived control) adalah keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai stresor. Individu dengan pusat kendali internal (internal locus of control) cenderung lebih mampu menguasai stresor dan mengatasi stres daripada individu dengan pusat kendali eksternal (external locus of control). Individu percaya bahwa peristiwa yang terjadi adalah hasil dari perilaku dan bukan tergantung pada nasib, keberuntungan, kesempatan dan pengaruh kekuatan orang lain sehingga tidak mudah menyerah dan terkena stres. 2) Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) adalah reaksi tidak berdaya seseorang akibat seringnya mengalami peristiwa di luar kendalinya. Reaksi ini berupa pengurangan motivasi (motivational deficit) yaitu menyimpulkan bahwa semua usaha sia-sia, pengurangan secara kognisi (cognitive deficit) yaitu kesulitan mempelajari respon-respon yang dapat membawa hal positif dan pengurangan secara emosional (emotional deficit) yaitu rasa tertekan karena melihat bahwa individu tidak dapat berbuat apa-apa dan situasinya tidak terkendali lagi. 3) Kepribadian tabah (hardiness) adalah keberanian dan ketangguhan seseorang menghadapi situasi stres berupa keyakinan mampu mengendalikan sesuatu; komitmen, keterlibatan dan makna dari sesuatu yang dilakukan sehari-hari; fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan, seakan-akan perubahan merupakan tantangan untuk pertumbuhannya. Semakin mereka tangguh dan berani maka mereka semakin mampu menghadapi stres. c. Faktor sosial Kejadian-kejadian yang utama dalam hidup seperti menikah atau kehilangan pekerjaan dapat menjadi penyebab stres dan merupakan stresor sosial. Selain itu tugas rutin sehari-hari juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa seperti kecemasan dan
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
72
depresi. Semakin banyak perubahan dalam hidup maka semakin mudah individu terserang masalah fisik dan psikologisnya. Penganggur Menganggur adalah suatu kondisi individu yang sedang tidak melakukan aktivitas ekonomi (bekerja) yang memadai untuk mendapatkan penghasilan, walaupun sebenarnya individu tersebut sedang aktif mencari kerja ataupun sedang menunggu panggilan kerja yang diharapkannya (Samuelson & Nordhaus, 1995). Nanga (dalam Budiani, 2007) mendefinisikan pengangguran sebagai keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja, tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif sedang mencari pekerjaan. Pada umumnya kita mengenal ada dua macam pengangguran adalah pengangguran terbuka dan setengah pengangguran atau pengangguran terselubung. Profesor Edward menyatakan bahwa pengangguran terbuka (open unemployment), yakni mereka yang benar-benar tidak bekerja, baik secara sukarela (orang-orang yang sebenarnya bisa saja memperoleh suatu pekerjaan permanen, namun atas dasar alasan-alasan tertentu, misalnya karena mereka sudah cukup makmur tanpa bekerja, mereka tidak mau memanfaatkan kesempatan kerja yang tersedia) maupun karena terpaksa (mereka yang sesungguhnya sangat ingin bekerja secara permanen namun tidak kunjung mendapatkannya). Adapun pengangguran terselubung (under unemployment) yakni para pekerja yang jumlah jam kerjanya lebih sedikit dari yang sebenarnya mereka inginkan (sebagian besar bekerja hanya secara harian, mingguan, atau musiman) (Micheal, 2000). Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pengangguran adalah kelompok angkatan kerja yang tidak memiliki lapangan kerja. Kelompok ini dibedakan menjadi dua golongan, pengangguran terbuka (pengangguran mutlak) dan pengangguran tidak kentara (setengah pengangguran). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimaksud pengangguran terbuka adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, baik penuh (bekerja di atas 35 jam dalam seminggu) ataupun tidak penuh (bekerja di bawah 35 jam dalam seminggu), dan mereka sedang berusaha mencari kerja. Berdasarkan pengertian tersebut, maka individu yang terlibat di dalamnya adalah termasuk mereka yang sedang menunggu panggilan bekerja, mereka yang sedang tidak bekerja, ataupun mereka yang sedang tidak mencari kerja karena beranggapan tidak ada kesempatan. Walaupun ia mau dan sanggup untuk bekerja. Penganggur yang peneliti maksud dalam penelitian ini adalah penganggur yang bekerja dengan jumlah jam yang lebih sedikit dari yang sebenarnya mereka inginkan, dimana sebagian besar bekerja hanya sacara harian, mingguan, atau musiman yang menyebabkan penghasilan tidak tercukupi sehingga membutuhkan pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Regulasi Emosi Prinsip dalam proses emosi meliputi meningkatkan kesadaran emosi, memperbaiki regulasi emosi, mengubah emosi dan merefleksikan emosi. Regulasi emosi sebagai prinsip kedua dalam proses emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menilai, mengatasi, mengelola dan mengungkapkan emosi dengan tepat dalam rangka mencapai keseimbangan emosional (Greenberg, 2002; Lazarus, 1991; Richard & Gross, 2000; Bonanno, 2001; Kostiuk & Fouts, 2002). Kostiuk (2002) menyatakan bahwa kemampuan regulasi emosi merupakan salah satu aspek yang penting dari perkembangan emosi seseorang. Regulasi emosi menurut Denham (Kostiuk & Gregory, 2002) adalah suatu reaksi emosional termasuk strategi untuk mempertahankan,
Emir Muttaqin
73
meningkatkan, dan mengendalikan emosi dalam menyelesaikan tujuan. Menurut Thompson (Kostiuk & Gregory, 2002), ada 3 aspek dari regulasi emosi , yaitu : a. Memonitor emosi (emotions monitoring) adalah kemampuan individu dalam memahami dan menyadari proses yang terjadi dalam dirinya, perasaannya, pikirannya dan latar belakang dari tindakannya secara keseluruhan. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan individu untuk dapat terhubung dengan emosinya, pikirannya, sehingga individu tersebut dapat memaknai serta dapat mengenali setiap emosi yang dirasakan. b. Mengevaluasi emosi (emotions evaluating) adalah kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Kemampuan mengelola emosi-emosi ini, khususnya emosi yang negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam, dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara mendalam, sehingga mengakibatkannya tidak mampu lagi berpikir rasional. c. Memodifikasi emosi (emotions modification) merupakan suatu cara dalam merubah emosi sehingga dapat memotivasi dirinya untuk dapat terhindar dari keadaan yang negatif (seperti cemas, marah, dan putus asa) sehingga dengan keadaan yang demikian dapat menumbuhkan rasa optimis dalam menjalankan kehidupannya, sehingga menjadi lebih baik. Hipotesis Ada pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap stres pada penganggur di wilayah pondok pesantren salafuskholihin kabupaten Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian ekperimen dengan rancangan pre post control group design. Pada desain ini, diawal penelitian dilakukan pengukuran terhadap variabel tergantung pada subjek. Kemudian setelah diberikan perlakuan dilakukan pengukuran kembali terhadap variabel tergantung pada subjek dengan alat ukur yang sama (Seniati dkk, 2005). Rancangan eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kelompok KE KK
Pre test
Perlakuan
Y1 Y1
X -
Post test Y2 Y2
Keterangan : KE : Kelompok Eksperimen KK : Kelompok Kontrol Y1 : Pengukuran Pre-test Y2 : Pengukuran Post-test X : Perlakuan
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik. Metode yang digunakan adalah analisis uji Gained Score independent sample t-test, untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pelatihan regulasi emosi dalam mengurangi tingkat stres pada pengangguran.
74 HASIL DAN PEMBAHASAN
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui distribusi sebaran normal atau tidak. Uji normalitas sebaran menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov Goodness of Fit Test (K-S Z). Hasil uji normalitas pada gained skor dari variabel stres pada subjek penelitian diperoleh KS Z = 0,607 dengan p= 0,855 (p > 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa gained skor variabel stres mempunyai sebaran normal, artinya tidak ada perbedaan antara sebaran skor sampel dan skor populasi. Uji homogenitas dilakukan untuk menentukan apakah frekuensi atau proporsi antara variabel dalam satu kelompok yang diujikan tersebut tidak berbeda secara signifikan. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan teknik Homogenity-of-variance One-way ANOVA program SPSS 19.0 release for Windows. Berdasarkan hasil analisis uji beda Gaint Score Independent Samples t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan nilai t = -3,953 dan nilai p = 0,001. Hasil penelitian dapat disimpulkan ada perbedaan tingkat stres pada kelompok subjek eksperimen dan kelompok subjek kontrol. Berdasarkan skor tingkat stres mayoritas subjek termasuk kategori sedang sebesar 70 % dari 20 subjek. (hasil uji hipotesisnya tidak ada) Diterimanya hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sesuai dengan pendapat dari Sundberg dkk, (2007), stres adalah tuntutan terhadap sistem yang menghasilkan ketegangan, kecemasan dan kebutuhan energi, usaha fisiologis, dan usaha psikologis ekstra. Markam (2003), menganggap stres merupakan keadaan ketika beban yang dirasakannya terlalu berat dan tidak sepadan dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi beban yang dialaminya. Sarafino (1998) mendefinisikan stres sebagai perasaan tidak mampu untuk menghadapi banyaknya tuntutan dari lingkungan sehingga menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan. Berbagai macam permasalahan yang dihadapi penganggur ini menunjukkan mereka tertekan yang memunculkan gangguan-gangguan psikis sehingga mengembangkan sikap dan emosi yang tidak adaptif. Pengangguran mengakibatkan hilangnya manfaat psikososial pekerjaan karena kesehatan mental yang lemah yang dialami penganggur Jahoda (Hoare & Machin, 2009) dan keuangan yang terbatas akan membatasi individu untuk melakukan kontrol pada hidupnya dalam membuat rencana masa depan yang berdampak pada kesejahteraan hidup Fryer (Hoare & Machin, 2009). Penganggur merasakan dampak yang menganggu dirinya, kondisi ini memunculkan emosi-emosi negatif seperti mudah marah, mudah tersinggung, cemas, gelisah, dan muncul rasa bersalah pada dirinya. Selain itu juga berdampak pada kondisi fisiknya seperti sering pusing, susah tidur, berat badan menurun, dan sebagainya. Pengangguran mengalami distres karena kehilangan manfaat psikososial (Hoare & Machin, 2009). Tidak mendapatkan pekerjaan tetap merupakan salah satu sumber stres yang dialami oleh penganggur. Ketidakmampuan mengontrol peristiwa tersebut menyebabkan stres sehingga memunculkan perasaan ketidakberdayaan (Taylor, 1995). Penganggur merasa cemas dan takut apabila tidak mendapatkan pekerjaan dan tidak bisa membahagiakan keluarganya. Keadaan yang dialami oleh penganggur merupakan keadaan stres yang dituntut oleh lingkungan di sekitarnya seperti istri, anak dan orang tua sehingga menyebabkan muncul ketegangan, ketidaknyamanan dan ketidakberdayaan. Penganggur setengah pengangguran mengalami stres karena ada penilaian negatif berupa pandangan pesimis terhadap stresor. Individu yang stres menunjukkan reaksi emosional yang negatif seperti sedih, cemas, mudah marah, mudah tersinggung, gelisah, sensitif, gugup dan perasaan bersalah (Sarafino, 1998). Akan tetapi emosi juga mempengaruhi kognitif seseorang, dimana emosi-emosi negatif seperti sedih, gelisah, cemas yang dialami penganggur setengah pengangguran
Emir Muttaqin
75
mengakibatkan terjadi penilaian negatif yang menyebabkan kehilangan semangat, serta dibayangi kegagalan dan rasa putus asa (Ramadhina, 2007) sehingga akan selalu berada dalam ketidakberdayaan menghadapi suatu tantangan atau permasalahan yang mana tantangan tersebut diyakini akan terpecahkan. Pada saat individu berada dalam kondisi tertekan, individu yang pesimis mempunyai pandangan negatif (Seligman dalam Lestari, 1999). Penjelasan terhadap keyakinan yang ada pada dirinya sendiri mengenai tantangan atau permasalahan akan menimbulkan sikap yang positif atau negatif. Individu yang pesimis mempunyai pandangan negatif yang mengakibatkan seseorang tidak mempunyai cita-cita dan harapan yang tinggi karena hidup selalu dibayangi dengan kesempitan, keputusasaan, kegagalan, kehilangan semangat serta berkeluh kesah (Ramadhina, 2007) sehingga akan selalu berada dalam ketidakberdayaan menghadapi suatu tantangan atau permasalahan yang mana tantangan tersebut diyakini akan terpecahkan (Seligman dalam Lestari, 1999). Situasi yang tertekan menimbulkan reaksi emosional negatif yang membuat penganggur tidak nyaman dan tidak bisa memvisualisasikan masa depannya lebih baik sehingga memberikan dampak tidak baik untuk kesejahteraan hidupnya dan keluarganya karena penganggur tersebut memiliki tanggung jawab untuk diri dan keluarganya. Kondisi ini memotivasi individu untuk melakukan sesuatu guna menghilangkannya. Emosi-emosi negatif yang muncul membuat penganggur setengah pengangguran harus meregulasi emosi-emosi negatif seperti gelisah dan tegang secara efektif sehingga muncul emosi-emosi positif (Barret, Gross, Christensen & Benvenuto, 2001). Emosi-emosi negatif yang dialami oleh penganggur setengah pengangguran ini bisa berubah menjadi emosi-emosi positif. Salah satu cara yang dilakukan untuk merubahnya dengan intervensi. Intervensi yang diberikan adalah pelatihan regulasi emosi. Regulasi emosi mengarah pada proses yang mempengaruhi individu terhadap emosi-emosi yang dimilikinya dan bagaimana mereka mengalami dan mengekspresikan emosi-emosi itu (Yoo, Matsumoto & Leriux, 2006). Selain itu, kemampuan meregulasi emosi dapat mengurangi emosi-emosi negatif akibat pengalamanpengalaman emosional serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi ketidakpastian hidup, memvisualisasikan masa depan yang positif dan mempercepat pengambilan keputusan (Barret, Gross, Christensen & Benvenuto, 2001). Keterampilan mengenal emosi, keterampilan mengenal emosi merupakan suatu kemampuan untuk mengidentifikasi, menjelaskan, dan memberikan label dari emosi yang dialami, tidak hanya sebatas mengenali adanya perasaan positif maupun negatif saja (Greenberg, 2002). Individu yang memiliki kemampuan mengenal emosi dengan baik, akan dapat memberikan reaksi emosi yang tepat dan pada akhirnya dapat terhindar dari keadaan distres psikologis (Gohm, 2003). Ketika menjalani perkenalan diri subyek bercerita tentang pengalaman hidupnya yang negatif seperti menceritakan mereka ketika berpacaran sering meminta pulsa dengan pacarnya, berkelahi dengan teman karena rebutan rokok dan ibu-ibu selingkuh dengan orang lain cuma sekerdar untuk berbelanja dan ditraktir makan. Dari segi positif subyek senang memberi sedekah ke orang lain, dan senang ketika membantu teman berkelahi bahkan dari pernyataan subyek ibu-ibu mereka bangga dengan member hasil masakan hari ini ke tetangga sekitar mereka. Keterampilan mengekspresikan emosi, keterampilan mengekspresikan emosi adalah kemampuan individu untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya, baik positif maupun negatif kepada orang lain (Greenberg, 2002). Kemampuan mengekspresikan emosi yang dilakukan baik secara lisan maupun tulisan dapat membantu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan psikologis dan fungsi fisik pada seseorang saat menghadapi peristiwa traumatik dalam hidupnya dan membantu mengatasi distres psikologis, mengurangi emosi-emosi negatif dan menurunkan
76
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
simtom-simtom depresi (Greenberg & Stone, 1992). Pada hasil observasi subyek setelah menonton film Crow Zero subyek kebanyakan agresinya meningkat seperti mengajak temannya berkelahi. Keterampilan mengelola emosi, keterampilan mengelola emosi adalah kemampuan individu untuk menjaga emosi di dalam dirinya dan mencoba mengendalikan serta merasionalisasikan emosi tersebut, terutama pada saat diekspresikan (Greenberg, 2002). Salah satu tehnik untuk mengelola emosi adalah dengan melakukan relaksasi. Relaksasi pernafasan bekerja dengan cara memberikan oksigen yang cukup pada tubuh sehingga tubuh bekerja secara teratur dan relaks atau tenang. Hasil observasi subyek banyak mengikuti tetapi da sekitar empat orang yang mengeluh bahwasannya relaksasi ini tidak mempunyai efek apapun kemudian fasilitator menjelaskan sedikit tentang relaksasi tersebut agar smua subyek bisa mengikuti pelatihan dengan baik yang akhirnya mereka mengikuti sampai akhir. Pertama kebanyakan subyek melakukan relaksasi sambil senyumsenyum dan tertawa kemudian setelah diulang kedua kalinya subyek melakukan relaksasi sambil terpejam merasa tenang karena para subyek tidak banyak berbicara lagi. Keterampilan mengubah emosi negatif menjadi emosi positif, keterampilan mengubah emosi negatif menjadi emosi positif adalah kemampuan individu untuk menilai dan bertangung jawab terhadap emosi-emosi yang dirasakannya sehingga individu tersebut dapat membuat keputusan yang tepat dalam kehidupannya sehari-hari (Greenberg, 2002). Emosi positif baik berupa optimisme, kebahagiaan, perilaku memaafkan, harapan, cinta maupun rasa syukur, terbukti dapat mengatasi dan mengurangi kecenderungan stres dan depresi (Tugade & Fredrickson, 2004). Individu yang memiliki emosi positif lebih dapat bersikap adaptif terhadap berbagai stresor kehidupan. Hasil observasi dari mengubah emosi negatif menjadi emosi positif ini agak susah karena harus merasionalisasikan emosi negatif yang timbul dipikirannya dengan cara berdiskusi, banyak yang masih kurang terima dengan rasional pikiran subyek. Subyek banyak yang kurang paham karena dendam yang sudah lama seperti dendam ibu-ibu yang diselingkuhi oleh suaminya oleh karena itu logika berfikir positif benar-benar menjadi jalan keluar yang baik. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa Ada perbedaan penurunan stres pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Penurunan stres kelompok eksperimen lebih besar dari pada kelompok kontrol. Artinya dengan mengikuti pelatihan regulasi emosi maka subjek dapat memahami dan mengelola emosi dengan baik sehingga akan berdampak pada menurunnya tingkat stres yang dialami. Dalam penelitian ini peneliti belum memperhatikan variabel lain yang dapat mempengaruhi tingkat stres seperti variabel individu, karakteristik kepribadian, sosial kognitif, hubungan dengan lingkungan sosial, dan strategi koping. Oleh karena itu pada penelitian yang akan datang sebaiknya perlu memperhatikan variabel-variabel tersebut di atas. Peneliti selanjutnya disarankan menambahkan variabel yang mungkin akan mempengaruhi stres seseorang seperti yang diungkapkan sebelumnya. Wilayah cakupan penelitian agar diperluas tidak hanya terbatas pada satu tempat tertentu, tetapi bisa melihat di beberapa tempat lain yang lebih luas, seperti yang tinggal di rumah singgah atau di daerah yang memiliki angka penganguran yang tinggi. Hal ini untuk melihat latar belakang lingkungan yang dimiliki subjek.
Emir Muttaqin
77
DAFTAR PUSTAKA Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., & Bern, D.J. (1990). Introduction to psychology. New York: Harcout Brace Javanovich, Publisher. Barret, L.F., Gross, J., Christensen, C.T., & Benvenuto. M. (2001). Knowing what you’re feeling and knowing what to do about it: Mapping the relation between emotion differentiation and emotion regulation. Journal of Cognition and Emotion. 15. 713724. Budiani, N.W. (2007). Efektivitas program penanggulangan pengangguran karang taruna “Eka Taruna Bhakti” Desa Sumerta Kelod Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar. Jurnal Ekonomi dan Sosial INPUT . 2, 49-57. Chaplin, J.P. (2002). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Gohm, C. (2003). Mood regulation and emotional intelligence: Individual diffrences. Journal of Personality and Social Psychology. 84 (1), 594-607. Greenberg, L.S. (2002). Emotion-focused therapy: Coaching clients to work through their feelings. Washington, DC: American Psychological Association. Greenberg, M.A., & Stone, A.A. (1992). Emotional disclosure about traumas and its relation to pealth: Effect of previous disclosure and trauma severity. Journal of Personality and Social Psychology. 63 (1), 75-84. Gross, J.J. & Thompson, R.A. (2007). Emotion regulation. Handbook of Emotion Regulation. New York: Guillford Publication. Hardjana, A.M. (2002). Stres tanpa distres: Seni mengelola stres. Yogyakarta: Kanisius. Hoare, P.N, & Machin, M.A. (2009). Some implications of the psychological experience of unemployment. Australian Journal of Career Development. 18 (3), 57-61 Kostiuk, L.M., & Foutz, G.T. (2002). Understanding of emotions and emotions regulations in adolescent females with conduct problems: A Qualitative Analysis, The Qualitative Report. 7 :1. Lestari, A. (1999). Pelatihan berpikir positif untuk menangani sikap pesimis dan gangguan depresi. Tesis. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Markam, S. (2003). Pengantar psikologi klinis. Yogyakarta: UII Press. Micheal P. (2000). Pembangunan ekonomi di dunia ketiga. (Terjemahan: Todaro). Jakarta: Erlangga. Najar, M.Y. (2007). Struktur pekerjaan, pengangguran dan kebijakan perluasan kesempatan kerja di kabupaten Halmahera Selatan. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
78
EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012
Prokop, C.K., baradley, L.A., Burish, T.G., Anderson, Ko & Fox J. E. (1991). Health psychology, clinical methods & research. New York: Macmillan Publishing. Putrama, P. (2007). Stres pada pengangguran sarjana. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII. Ramadhina, R. (2007). Don’t worry: Bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Yogyakarta: Uswah. Samuelson, P.A., and Nordhaus, W.D. (1995). Economics. New York : McGraw-Hill, Inc. Seniati,L.,Yulianto, A., Setiadi, B.N. (2005). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT.Indeks Kelompok Gramedia. Sarafino, E.P. (1998). Health psychology biopsychosocial interaction. (Third Edition). New York: John Wiley & Sons, Inc. Sundberg, D.N., Winebarger, A.A., Taplin, J.R. (2007). Psikologi klinis, (Edisi keempat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Taylor, S.E. (1995). Health psychology. Singapore: Mc.Graw Hill. Inc. Tugade, M.M., & Fredrickson, B.L. (2004). Resilient individual use positive emotions to bounce back from negative emotional experiences. Journal of Personality and Social Psychology. 86 (2), 320-333.