Dampak Penyimpangan Iklim Global terhadap Hasil Pertanian The Effect of Climate Change on Agriculture Production MTh. Sri Budiastuti
ABSTRACT
The
influence of climate change is a global spectrum of course on an agriculture and forestry activities. Flooding, landslides and drought are as actual impact of the climate change which have occur annually and tend difficult to overcome. This moment indirectly decreasing the agriculture production mainly food crops especially on dryland area. The condition become worst since the knowledge about the natural resources used efficiency still low so the atention to the cause of climate deviation low too. The impact of the climate change clearly on the changing of rainy and dry season pattern. Rainy or dry season period are longer than normal condition (La-nina and El-nino). The strongest impact of the deviation climate is plant growth and development. For examples, the increasing temperature will distrub plant metabolism such as photosyntesis, transpiration and respiration those are determining plant production. Now it's time to do the best for improving plant production by environment approach. The existention of natural resources such as water, soil and vegetation have to be developed in each of land using activity. "Land system as a subject not as an object in development program" Key word: Global Climate, Agriculture Production
PENDAHULUAN Budidaya tanaman telah berkembang jauh dan mengalami jaman keemasan saat masyarakat pertanian dunia menyatakan terjadi revolusi hijau (green revolution) di tahun 1970 an. Pada kisaran tahun tersebut terjadi penemuan varietas unggul berproduksi tinggi melalui rekayasa genetika. Berkat penemuan varietas unggul itu (padi PB 5) Indonesia pernah mencapai swasembada beras di tahun 1984. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena kemudian terjadi kemandekan produksi sebagai akibat dari keterbatasan tanaman untuk berproduksi (kemampuan tanaman telah mencapai batas tidak dapat ditingkatkan lagi (levelling off ) dan diperparah oleh berbagai dampak lingkungan yang timbul (Purnomo, 2006). Penyimpangan iklim mulai terjadi namun belum terlalu parah dan kurang diperhatikan karena intensifikasi yang tinggi terhadap lahan pertanian. Pengetahuan dan kesadaran yang rendah terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
menyebabkan penyimpangan iklim makin kuat dan tampak pada peristiwa banjir, longsor dan kekeringan yang terjadi secara periodik dari tahun ke tahun. Dengan demikian periode revolusi hijau hanya berorientasi pada peningkatan produksi pangan (Budiastuti, 2002). Berbagai forum ilmiah tingkat dunia diadakan secara intensif untuk memecahkan penyimpangan iklim ini dan berawal dari Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil yang membahas upaya menstabilkan emisi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer pada tingkat tertentu. Emisi gas yang terjadi adalah sebagai akibat dari penggunaan bahan bakar fosil dan alih guna lahan yang seluruhnya merupakan kegiatan pembangunan. Perundingan terus dilakukan hingga pada tahun 1997 di Kyoto, Konferensi para pihak (CoP:Conference of Parties) menelurkan sebuah tata cara penurunan emisi GRK yang dikenal dengan Protokol Kyoto. Emisi gas yang dihasilkan oleh negara industri maju harus diturunkan hingga mencapai
Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian UNS Solo
22
Agrosains 11(1): 22-27, 2009
5,2% dari emisi GRK tahun 1990 dan hal itu hendaknya dicapai pada periode tahun 2008-2012. Akhir tahun 2007 digelar kembali Conference of Parties 13 di Nusa Penida Bali untuk membuat pedoman negosiasi perjanjian multilateral pengganti Protokol Kyoto. Didalam pertemuan tersebut ditetapkan bahwa emisi GRK harus dicapai pada tingkat tertentu saat ekosistem mampu beradaptasi dengan perubahan iklim (Soemarwoto, 2001; Murdiyarso, 2002, 2003a, 2003b, Kompas, Des 2007). Disamping pertemuan tingkat Internasional tentang perubahan iklim, bahasan tersebut juga dilakukan oleh forum ilmiah perguruan tinggi, lembaga pemerintahan maupun organisasi independen di Indonesia. Seperti halnya LAPAN (Lembaga Antariksa Nasional) pada tahun 2003 mengadakan temu ilmiah di Bandung dengan salah satu topik mengenai penyimpangan iklim global yang mengganggu ketahanan pangan. Periode musim hujan dan musim kemarau tidak dapat lagi diramalkan secara pasti. Beberapa kali terjadi kesalahan dalam menentukan saat tanam karena cuaca yang mengalami penyimpangan berkepanjangan. Saat tulisan ini dibuat, seharusnya telah memasuki periode musim kemarau, namun yang terjadi tidak demikian sehingga tidak sedikit dari tanaman buah seperti mangga akan mengalami penurunan produksi karena bunga yang terbentuk lebih dulu gugur sebelum pembuahan. Akankah ketahanan pangan dapat bertahan, jawaban sesungguhnya bersumber pada niat manusia untuk berbesar hati menjaga lingkungan melalui kegiatan pembangunan yang mengkombinasikan kepentingan lingkungan dan kebutuhan hidup dengan serasi (Budiastuti, 2006). PERUBAHAN IKLIM DAN SISTEM PERTANIAN Dewasa ini lahan pertanian semakin terdesak oleh kepentingan lain yang bukan pertanian seperti jaringan jalan, bangunan, waduk dan berbagai fasilitas umum. Dengan sendirinya terjadilah penyusutan luas lahan pertanian yang berakibat semakin menurun pula fungsi lahan sebagai fungsi produksi (Zadrach, 2002). Luas lahan pertanian yang menyusut dan diperparah dengan perubahan cuaca hingga menimbulkan banjir dan kekeringan menyebabkan penurunan produksi pertanian yang cukup besar. Sekitar 2-3 tahun yang lalu petani berusaha meningkatkan produksi pangan khususnya padi, namun secara ekonomis tidak menguntungkan karena sarana produksi yang terimbas oleh krisis ekonomi global (Hartono, 2009).
Petani sebagai pelaku dalam sistem pertanian sering tidak memiliki pengetahuan untuk memanipulasi lingkungan sebagai suatu cara mengantisipasi gejala perubahan iklim. Itu tercermin pada cara budidaya yang kurang memperhatikan kondisi lahan seperti kemiringan tanah, ketersediaan sumberdaya air, pemilihan jenis tanaman dan terlebih budaya memperhitungkan iklim. Selain itu, telah terjadi perubahan persepsi terhadap kebiasaan makan sehari-hari yang mengutamakan nasi sebagai makanan pokok dan menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap tanaman padi. Kebiasaan tersebut terpatri sebagai bagian dari hidup layak dan bergengsi dalam masyarakat dan menyebabkan hampir semua bentuk usaha tani selalu mengedepankan padi sebagai tanaman pangan utama. Dengan demikian kebutuhan lahan untuk tanaman padi makin besar dan berhubung lahan-lahan datar beririgasi makin sempit maka lahan miringpun telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian. Anomali iklim membuat lahan semakin rentan terhadap bahaya erosi dan longsor. Penyimpangan iklim global seperti El-nino dan La-nina yang melanda Indonesia telah dianalisa oleh para ahli kilmatologi dan dinyatakan dalam empat kategori yaitu lemah, sedang, kuat dan sangat kuat. El-nino kuat pernah dialami Indonesia pada tahun 1982/1983 dan 1997/ 1998 dan dirasakan sebagai bencana kekeringan dan kelaparan. Musim kering yang panjang berakibat buruk pada pertumbuhan tanaman karena seluruh aktifitas fisiologi seperti fotosintesis, respirasi, transpirasi, laju pertumbuhan dan akhirnya produksi tanaman terganggu. Sayangnya, informasi tentang cuaca jarang menyentuh para pelaku kegiatan pertanian. Ini sangat penting diketahui agar masyarakat khususnya petani segera menentukan langkah-langkah pengelolaan dalam sistem pertanian. Hasil-hasil penelitian dibidang agrohidrologi atau hidrologi untuk pertanian sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi faktor iklim atau cuaca yang tidak menguntungkan dan sekaligus memberdayakan petani dalam melakukan budidaya tanaman (Zadrach, 2002). Kegiatan pembangunan yang cukup pesat membutuhkan modal dasar yang kuat yang berupa sumberdaya alam. Bentuk pembangunan seringkali kurang mempertimbangkan sumberdaya alam yang dapat bermanfaat dalam jangka panjang selama eksistensi terjaga. Sumberdaya alam memiliki kemampuan alami untuk mendaur ulang yaitu mendaur materi dan menetralisir zat-zat tertentu (Soemarwoto, 1999). Apabila emisi zat tersebut berjumlah besar dan melampaui
Dampak Penyimpangan Iklim Global terhadap Hasil Pertanian ...... (MTh. Sri Budiastuti)
23
kemampuan alam untuk mendaur ulang maka zat tersebut akan terakumulasi dan menimbulkan pencemaran. Akumulasi zat dalam waktu lama dipastikan sebagai penyebab perubahan iklim. Sebagai ilustrasi bahwa terjadi peningkatan kandungan CO2 atmosfer sebesar 1,8 ppm setiap tahun. Selama satu abad terjadi peningkatan sekitar 90 ppm dan akan terus meningkat hingga 165 ppm dalam 50 tahun mendatang (Kompas, 2007). Simulasi model komputer suatu ekosistem meramalkan bahwa terjadi peningkatan suhu dari 1,5°C sampai dengan 4,5°C untuk setiap dua kali peningkatan konsentrasi CO2. Peningkatan suhu inilah yang diikuti
Gambar 1. Laju peningkatan hasil beberapa jenis tanaman
dengan penyimpangan curah hujan di permukaan bumi sehingga terjadilah La-nina (Hall et al., 1999). Peningkatan kadar CO2 di atmosfer terjadi sebagai akibat dari ketidak seimbangan antara source (sumber) dan sink (lubuk) (Hairiah et al., 2001). Laju emisi gas
sebagai akibat dari dua kali peningkatan konsentrasi
yang tinggi dari kegiatan pembangunan (source) didaur ulang oleh alam (tumbuhan/sink) dalam jumlah yang relatif kecil. Ini berakibat pada akumulasi CO2 yang relatif tinggi dan menghalangi pantulan radiasi surya dari permukaan tanah yang berupa sinar infra merah ke angkasa. Efek
Peningkatan konsentrasi CO juga mempengaruhi 2 efektifitas penggunaan air dan pupuk oleh tanaman serta fotorespirasi yang menjadi lebih rendah (tanaman C3) (Hall et al., 1999). Selanjutnya perilaku tanaman karena pola iklim yang menyimpang ini membawa perkembangan
pemanasan terjadi dalam jangka lama dan muncul istilah pemanasan global dengan seluruh dampak buruk terhadap lingkungan seperti perubahan cuaca, kenaikan permukaan air laut, banjir, kekeringan, dan badai. Demikian pula berbagai aktifitas industri dengan emisi
pengetahuan pada fisiologi cekaman (stres) lingkungan dan ekofisiologi.
gas SO , NO yang menyebabkan hujan asam serta 2 x akumulasi CFC yang membuat ozon berlubang di lapisan stratosfer sehingga bahaya dari sinar ultra violet berenergi tinggi menghadang di depan mata. Tidak dapat dipungkiri bahwa aktifitas manusia telah meningkatkan gas-gas rumah kaca seperti CO , CH , N O 2 4 2 dan NO sehingga keseimbangan antara radiasi surya x yang datang dan panas yang dipancarkan oleh bumi menjadi terganggu (Noordwijk et al., 2008). Penelusuran lebih jauh menunjukkan bahwa selain industri maka perubahan tata guna lahan memiliki andil yang cukup besar dalam peningkatan gas CO . Luas 2 permukaan lahan yang tertutup vegetasi diketahui makin menurun oleh karena pembangunan jaringan jalan, pembuatan waduk, dan bangunan-bangunan lain untuk berbagai kebutuhan hidup manusia. Keberadaan tanaman merupakan lubuk yang efektif menyerap CO untuk 2 fotosintesis dan hasil fotosintesis bersih sangat dipengaruhi oleh konsentrasi CO yang tinggi (Sinclair 2 et al., 1998) (Gambar 1).
24
CO2 (doubling atmospheric carbon concentration)
SUHU DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Sumber panas bumi yang terbesar berasal dari radiasi surya (solar radiation) yang terdiri dari sinar-sinar dengan berbagai panjang gelombang elektromagnetik. Kandungan energi dari sinar-sinar tersebut berbanding terbalik dengan panjang gelombang, energi tinggi dimiliki oleh sinar bergelombang elektromegnetik pendek dan begitu pula sebaliknya. Secara alami terdapat hubungan antara suhu udara dengan energi surya, namun hubungan tersebut kurang begitu jelas karena pancaran surya ke permukaan bumi melewati berbagai materi seperti partikel udara dan gas-gas di atmosfer sehingga menjadi penghalang yang cukup efektif. Kondisi tersebut tentunya berpengaruh secara langsung pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman (morfogenesis). Kisaran suhu untuk pertumbuhan tanaman yang normal adalah antara 15°-40°C. Dibawah atau diatas kisaran tersebut suhu akan mengganggu proses fisik maupun kimia dalam tubuh tanaman yang tidak lain adalah reaksi fisiologi. Hubungan suhu dan pertumbuhan tanaman menunjukkan hubungan linier sampai batas
Agrosains 11(1): 22-27, 2009
tertentu dan setelah mencapai batas optimum keduanya akan menunjukkan hubungan parabolik. Laju pertumbuhan meningkat dengan jelas saat tahap awal pertumbuhan tanaman terpapar oleh suhu. Energi panas meningkatkan aktifitas seluruh sistem pertumbuhan dan dalam kondisi tersebut efisiensi penggunaan panas menjadi tinggi (Craufurd, 1999). Energi panas demikian dibutuhkan dalam jumlah tertentu untuk setiap jenis tanaman. Dalam kondisi ekstrim baik suhu tinggi maupun rendah mengganggu aktifitas molekul organik dalam sel sehingga reaksi kimia berjalan lambat ataupun cepat dan yang terakhir ini dapat merusak ensim dan biokatalisator lainnya. Kecepatan pertumbuhan menurun saat suhu mendekati optimum dan terjadi pula fluktuasi kecepatan pertumbuhan yang disebabkan oleh faktor pembatas seperti air, cahaya, ketersediaan O dan CO serta hara 2
2
yang semuanya dapat dikendalikan tanaman. Peningkatan suhu pada tahap selanjutnya akan menurunkan laju pertumbuhan karena makin tinggi suhu, aktifitas ensim pertumbuhan makin menurun yang berarti merusak protein sebagai bahan baku ensim (Brum et al., 1994). Hasil temuan lain menyatakan bahwa jaringan tanaman dengan kandungan karbohidrat tinggi mampu bertahan lebih baik terhadap suhu tinggi dibanding dengan jaringan tanaman berkandungan protein tinggi. Hal lain yang dipengaruhi suhu adalah laju respirasi, untuk tanaman tropis laju respirasi maksimum terjadi pada suhu 40°C dan tanaman sub tropis pada suhu 30°C. Secara umum tingkat kerusakan tanaman sebagai akibat suhu tinggi terjadi pada jaringan muda karena proses denaturasi sitoplasma oleh karena dehidrasi (Craufurd, 1999). Mengingat betapa kuatnya hubungan antara suhu dengan pertumbuhan tanaman, maka penyimpangan iklim seperti peningkatan suhu udara yang dialami saat ini bukan hal yang sepele dan hendaknya dicari suatu cara yang lebih intensif untuk mengantisipasi dampak buruk yang dapat terjadi. Pertemuan CoP di Nusa Penida Bali tahun 2007 telah mengemukakan bahwa kondisi suhu meningkat sebesar 0,74°C dalam kurun waktu 100 tahun (1906-2005). Sungguh merupakan peristiwa yang sangat mengkhawatirkan bagi keberlanjutan kehidupan di bumi, dan perhatian harus diarahkan kepada vegetasi atau tumbuhan sebagai salah satu penopang eksistensi ekosistem.
AIR DAN PERTUMBUHAN TANAMAN Tubuh organisme tergantung pada air yang dikandungnya. Tanaman memerlukan air dalam jumlah tertentu untuk melarutkan garam-garam mineral, gas dan zat-zat terlarut lain yang diedarkan dari organ satu ke organ lain melalui difusi, osmosis dalam proses transpirasi. Secara lengkap air dalam tubuh tanaman merupakan bagian yang esensial bagi sitoplasma dan membentuk 80-90% bobot segar jaringan aktif tanaman (Brum et al., 1994; Salisbury et al., 1995). Karena itu ketersediaan air bagi tanaman sangat menentukan hasil akhir tanaman yang bersangkutan. Ketersediaan air berada dalam bentuk lengas tanah dan ini tergantung pada curah hujan dalam tanah yang dapat diubah menjadi lengas tanah (kelembaban tanah) yang akhirnya berfungsi sebagai pelarut hara atau nutrisi tanaman. Anomali iklim mengganggu pembentukan lengas tanah karena curah hujan yang tinggi mengalir di atas permukaan tanah tanpa ada kesempatan bagi air untuk meresap ke dalam tanah berhubung intensitas alih guna lahan yang tinggi. Akibat selanjutnya berupa stres air baik kelebihan ataupun kekurangan air yang biasa disebut drought (Sugito, 1996). Khususnya untuk kekeringan, terjadi karena: 1). Kadar lengas tanah di daerah berakaran berkurang dan 2). Laju evapotranspirasi lebih tinggi daripada laju penyerapan air oleh akar (Craufurd, 1999). Tingkat ketersediaan air di daerah perakaran juga akan menentukan proses fotosintesis sebagai penyedia elektron yang dibutuhkan dalam reaksi terang sebagai pengganti elektron yang tereksitasi oleh pigmen 680 maupun pigmen 700 (Kimbal, 1990; Brum et al., 1994; Salisbury et al., 1995). Dalam kondisi kekeringan yang berkepanjangan, tanaman akan menjaga suhu permukaan daun dengan menguapkan air sehingga daun tidak terbakar. Efek selanjutnya sel-sel daun akan menarik air dari batang dan akhirnya akar melalui proses difusi, osmosis. Dengan demikian, tanaman akan memperoleh nutrisi dari dalam tanah melalui perjalanan air tersebut. Apabila kekeringan berlangsung lama, maka akan terjadi penurunan kelembaban tanah (lengas tanah) dan proses difusi, osmosis tidak berjalan. Seluruh proses fisiologi tanaman terganggu dan dalam jangka waktu tertentu tanaman akan mati. Namun, masing-masing jenis tanaman memiliki daya tahan terhadap stres yang berbeda-beda. Setiap jenis tanaman memiliki suatu mekanisme pertahanan diri terhadap gangguan yang dihadapi. Laju
Dampak Penyimpangan Iklim Global terhadap Hasil Pertanian ...... (MTh. Sri Budiastuti)
25
transpirasi akan berkurang dan laju absorpsi air oleh akar akan meningkat disaat lingkungan kering. Hal itu terjadi
semakin mengkhawatirkan seperti peningkatan suhu udara sebesar 0,74°C dalam kurun waktu 100 tahun (1906-
secara spontan dan sangat teratur dalam kehidupan ini dan sering disebut sibernetika (cybernetic) (Odum, 1983). Penurunan laju transpirasi nampak pada peristiwa pengguguran daun, pembentukan lapisan lilin pada permukaan daun dan memperkecil stomata aktif.
2005), kenaikan permukaan air laut sebesar 0,7 mm per tahun (1961-2003), perubahan flora dan fauna di hutan, perubahan pola dan musim tanam karena musim yang tidak tentu (seperti kondisi saat tulisan ini dibuat). Gejala tersebut bersifat kumulatif terhadap penurunan produksi
Adapunpeningkatan laju absorpsi air oleh akar dilakukan tanaman dengan memperbaiki sistem perakaran yang terdistribusi secara baik atau bersimbiosis dengan organisme tertentu (mikoriza). Kondisi sebaliknya terjadi pada saat air tersedia
pertanian karena gangguan pada proses metabolisme tanaman. Langkah konkrit untuk memecahkan masalah pertumbuhan dan perkembangan tanaman harus dilandasi dengan pemahaman terhadap prinsip-prinsip
secara berlebihan di lingkungan seperti banjir yang menyebabkan genangan. Genangan air pada suatu tempat akan mempengaruhi aerasi tanah yang berarti suplai oksigen menjadi terganggu. Oksigen diperlukan dalam proses respirasi akar yang akan menghasilkan
fisiologi dan pemuliaan tanaman sehingga diperoleh jenis-jenis tanaman yang tahan terhadap stres lingkungan. Wacana pemanfaatan lahan berbasis ekologi dan ekonomi perlu dikembangkan dalam arti menciptakan bentuk kegiatan yang mempertimbangkan
energi untuk mendukung aktifitas akar dalam menyerap air maupun hara. Karena itu tanaman yang tergenang dalam waktu cukup lama akan mengalami chlorosis sebagai akibat dari pembongkaran protein di daun. Selain itu, kekurangan oksigen dapat mengganggu proses
keanekaragaman hayati, pemeliharaan kesuburan tanah dan mengedepankan fungsi tanaman sebagai cadangan karbon (stock carbon), disamping kontinyuitas produksi tanaman sebagai pangan maupun pakan.
nitrifikasi yang akhirnya menurunkan kandungan N dalam tubuh tanaman (Sugito, 1996). Aerasi yang buruk menyebabkan dinding sel akar menipis dan distribusi akar berkurang, sehingga pertumbuhan tunas terhambat. Disamping itu, aerasi buruk meningkatkan respirasi
DAFTAR PUSTAKA
anaerob dan terbentuklah senyawa fenol yang bersifat racun yang akan mengurangi permeabilitas membran sel serta kecepatan transpirasi. PENUTUP
Budiastuti, S. 1993. Pemapanan Pertanian Lahan Kering Menurut Konsep Keterlanjutan Fungsi Lingkungan. Thesis . Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta Budiastuti, S. 2002. Dasar-dasar Ekologi. Makalah disampaikan dalam Kursus Dasar Amdal A. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian Universitas Mendalo Darat. Jambi.
Penyimpangan iklim global yang dihadapi saat ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri melainkan merupakan keterkaitan antara berbagai komponen. Perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi lahan
Budiastuti, S. 2006. Sistem Agroforestri: Bentuk Pemanfaatan Lahan Untuk Keberlanjutan Fungsi Agronomi dan Ekologi. Buku Teks. Dalam Proses.
pertanian dan peruntukan lain membangkitkan kegiatan pembangunan yang cenderung tidak ramah lingkungan. Berbagai kegiatan pembangunan seperti penebangan hutan dengan metode tebang bakar, intensifikasi, ekstensifikasi lahan pertanian dan pembakaran bahan
Brum, G.L., Mc Kane and G.Krap. 1994. Biology Exploring Life. John Wiley and Sons.
bakar fosil (industri) menyebabkan atmosfer ini penuh dengan polutan gas yang menghalangi pancaran radiasi surya ke permukaan bumi dan pantulannya ke angkasa, dan akhirnya menimbulkan efek pemanasan. Pemanasan bersifat global dan menyebabkan perubahan iklim dengan tanda-tanda alam yang sudah
26
Craufurd, P.Q., T.R. Wheeler, R.H.Ellis, R.J. Summerfield. 1999. Effect of Temperature and Water Deficit on Water Use Efficiency and Spesific Leaf Area in Peanut. Crop Sci. 39:136-142 Hairiah, K., S.M.Sitompul, Meine van Noordwijk and Cheryl Palm. 2001. Carbon Stock of Tropical Land Use System as Part of Global C Balance. ICRAF. Bogor Hall, D.O. and K.K. Rao. 1999. Photosynthesis. Sixth Ed. Agrosains 11(1): 22-27, 2009
Cambridge University Press.
Berkelanjutan dan Fleksibel Terhadap Berbagai Perubahan. Makalah Semnas Pendidikan
Hartono, R. 2009. Krisis Keuangan Global. Lembaga Pembebasan Media dan Ilmu Sosial (LPMIS).
Agroforestri. UNSOdum, E.P. 1983. Basic Ecology. Hold Saunders International Editions
Jakarta Kimball, J.W. 1983. Biology. Addison Wesley Pub. Co, Inc. Terjemahan oleh S. Sutarmi dan N. Sugiri (1991). Gelora Aksara Pratama. Bogor. Penerbit Erlangga
Purnomo, D. 2006. Kebutuhan Pangan, Ketersediaan Lahan, dan Potensi Tanaman. Pidato Pengukuhan Buru Besar. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Kompas, 12 Desember 2007. Konsolidasi Sebelas Negara Pemilik Hutan. Gramedia. Jakarta
Salisbury, F. P.and C. W. Ross. 1992. Plant Physiology.
Murdiyarso, D., Upik R Wasain and K. Gimoga. 2002.
Sinclair, T. R and F. P. Gardner. 1998. Environmental Limits Plant Productions Principle of Ecology. Plant Production (Eds: T. R. Sinclair and F. P. Gardner). CAB. International. p. 63-78
Sustainable Development Criteria and Indicators for Sink Project. Proceedings International Symposium on Forest Carbon Sequestration and Monitoring. November. 11-15, 2002. Taipeh, Taiwan
The Benyamin/Cunmings. Pub. Co. California.
Soemarwoto, O. 1999. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Murdiyarso, D. 2003a. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih. Seri Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Murdiyarso, D. 2003b. Protokol Kyoto, Implikasi Bagi Negara Berkembang. Seri Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas. Jakarta Noodwijk, K. Hairiah. 2008. Agroforestri Sebagai Solusi Mitigasi dan Adaptasi Pemanasan
Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sugito, Y. 1996. Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang Zadrach L Dupe. 2002. El-nino, kekeringan dan Ketahanan Pangan. Kompas 22 September 2002
Global:Pengelolaan Sumberdaya Alam Yang
Dampak Penyimpangan Iklim Global terhadap Hasil Pertanian ...... (MTh. Sri Budiastuti)
27