BAB 1 PENDAHULUAN Dalam
sebuah
workshop
bertajuk “Membangun Sistem
Layanan
Kesehatan Mental di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia” yang diadakan oleh Center for Public Mental Health (CPMH) di Fakultas Psikologi UGM pada 1 Mei 2013, hadir para narasumber antara lain Kepala LAPAS Klas II A Cebongan, Kepala LAPAS Wanita Semarang, dan Kepala Seksi Pembinaan dan Pemasyarakatan LAPAS Anak Kutoarjo, Psikolog yang bertugas di LAPAS Nusakambangan, serta Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Berdasarkan uraian yang disampaikan oleh para narasumber, dapat diambil suatu benang merah bahwa permasalahan-permasalahan di LAPAS Indonesia membutuhkan kajian komprehensif yang dapat diperoleh melalui berbagai sudut pandang keilmuan terutama kajian Psikologi. Beberapa permasalahan ekstrim yang baru-baru saja terjadi di LAPAS menjadikan tema LAPAS sangat menarik untuk dikaji dalam lingkup kajian ilmu Psikologi. Menurut media online (http://birokrasi.kompasiana.com), pada tahun 2012, kerusuhan terjadi di beberapa LAPAS di Indonesia diantaranya kerusuhan di LAPAS Kerobokan yang dipicu oleh persoalan internal WBP dan kerusuhan di LAPAS Banda Aceh yang dipicu oleh permasalahan kesalahpahaman antara WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) dan staf LAPAS. Pada tahun 2013, terjadi beberapa peristiwa seperti kerusuhan di LAPAS Kuala Tungkai yang mengakibatkan kaburnya 21 WBP dengan pemicu berupakegagalan mendapat persyaratan remisi, kerusuhan di LAPAS Tulung Agung yang berakibat beberapa orang WBP kabur, kerusuhan dan pembakaran di LAPAS Labuhan Ruku yang mengakibatkan 30 orang WBP kabur serta kerusuhan dan pembakaran terjadi di LAPAS Klas I Tanjung Gusta Medan. Ratusan WBP kabur dari LAPAS tersebut dan beberapa staf LAPAS disekap oleh WBP. Permasalahan lain yang lebih ekstrim baru saja terjadi yaitu pada tahun 2013 di LAPAS Cebongan berupa kasus bunuh diri WBP dan kerusuhan antar WBP. Dengan begitu banyaknya peristiwa kerusuhan yang terjadi di LAPAS di Indonesia, peran psikolog di LAPAS merupakan hal yang bersifat mendesak. Bukan hanya dalam penanganan-penanganan krisis seperti yang terjadi pada peristiwa Cebongan,
1
tetapi juga penanganan yang berkesinambungan dan berorientasi jangka panjang. Penjara atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan tempat untuk membina orang-orang yang telah melakukan tindakan kriminal. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 12 tahun
1995
mengenai
pemasyarakatan adalah
pemasyarakatan,
menjelaskan
bahwa
sistem
suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan WBP berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas WBP agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Perubahan fungsional penjara sebagai tempat menghukum tahanan menjadi tempat pembinaan WBP menciptakan iklim baru yang lebih nyaman bagi para staf. Meskipun demikian, menjadi staf LAPAS yang bekerja langsung dengan komunitas kriminal bukanlah suatu hal yang mudah. Mereka memiliki peranan yang besar untuk meminimalkan penderitaan WBP atas kurungan dan membatasi bahaya yang disebabkan oleh WBP (O’Donnel, 1999). Menurut House of Commons (2009) bahwa staf LAPAS memiliki peranan yang penting dalam pembinaan WBP. Mereka memiliki posisi yang unik untuk memberikan pengaruh yang paling besar terhadap WBP karena memiliki waktu interaksi yang banyak. Kualitas dan profesionalitas dari seorang staf adalah kunci untuk membina kualitas dari pembinaan LAPAS terhadap WBP (Irene, Sarri, Shook, & Stoffregen, 2012). Setiap interaksi yang terjalin antara staf LAPAS dan WBP merupakan kesempatan untuk menjalin keterikatan yang membangun dan positif. Liebling (2000) menguraikan dengan lebih jelas peran dari staf LAPAS yaitu, (1) untuk menjaga keamanan atsmosfer LAPAS, mengamankan orang-orang yang bersalah, (2) menyediakan perlindungan atau kepedulian bagi tahanan dengan dasar kemanusiaan, (3) menyediakan kesempatan kepada WBP untuk mendapatkan kesempatan belajar dan memperbaiki kesalahan mereka, dan (4) mengelola lingkungan komunitas yang komplek dari LAPAS.
2
Begitu pentingnya peranan staf LAPAS seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya maka idealnya kualifikasi individu yang menjadi staf harus lebih ditingkatkan. Di Indonesia, kualifikasi seseorang untuk dapat menjadi staf di LAPAS adalah minimal lulusan SMA sederajat. Informasi ini diperoleh dari hasil wawancara dari KALAPAS di LAPAS Wirogunan (2014), Yogjakarta. Tidak hanya itu, menurut Direktur Program Center For Detention Studies (CDS), Gatot Goei dalam sebuah wawancara oleh media online (Actual.co,2013) menyatakan bahwa kompetensi pendidikan dari staf LAPAS terutama staf keamanan dan staf pembinaan sampai sejauh ini masih belum memenuhi standar (Marwan,2013). Menurut Gatot Goei, pelatihan khusus misalnya dalam hal penggeledahan, penggunaan borgol ataupun modal bela diri tidak pernah dilakukan untuk staf LAPAS khususnya staf LAPAS. Begitu pula dengan staf LAPAS bagian pembinaan, kualifikasinya idealnya minimal sarjana psikologi atau pekerja sosial. Besarnya kesenjangan antara kompetensi dan tanggung jawab juga dapat menjadi stresor tersendiri bagi staf di LAPAS. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di Inggris bahwa keterbatasan dalam pengadaan pelatihan bagi staf LAPAS berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan stres dan dapat pula mengurangi kepercayaan diri dari staf dalam menghadapi berbagai situasi yang traumatik di LAPAS (Holmes & Maclnnes, 2003). Hal tersebut juga dijelaskan lebih spesifik oleh IACFP (International Association for Correctional and Forensic Psychology) Practice Standards Commite (2010) menjelaskan standar ideal staf dalam hal pelayanan kebutuhan di LAPAS adalah paling tidak terdapat satu staf yang telah dilatih oleh tenaga ahli kesehatan mental dalam hal mengenali tanda-tanda atau simptom dari stres atau gangguan mental pada WBP. Di sisi lain, para staf sering mengeluhkan resiko pekerjaan yang besar terkait dengan interaksi mereka dengan orang-orang yang berhadapan dengan hukum. Terus-menerus berhadapan dengan orang-orang yang mengalami perasaan negatif seperti cemas, marah, kecewa, merasa bersalah, dan sedih merupakan beban bagi staf LAPAS. Meskipun para staf berinteraksi dengan WBP dalam konteks pekerjaan tetapi berurusan dengan WBP terus menerus bisa menyebabkan kelelahan tersendiri bagi staf LAPAS (Bennet, Crewe & Wahidin, 2009; Nurse, Woodcock & Ormsby, 2003; Schaefuli & Pearlin, 2000;Woodal, 2013;). Ancaman terhadap keamanan fisik merupakan tekanan
3
yang
tinggi
bahkan
kebiasaan
dalam
berkomunikasi,
mengatur
atau
mendisiplinkan WBP juga menuntut toleransi fisik dan psikologis yang besar. Lingkungan LAPAS mempengaruhi kesehatan mental staf
yang
bekerja di
LAPAS. Jumlah waktu yang mereka habiskan bersama dengan WBP mempengaruhi kesehatan mental dan menimbulkan tingkat stres yang lebih besar (Neveu, 2007; Nurse, dkk, 2003; Lambert, 2005; Woodal, 2013). Sumber stres pada staf LAPAS sangat beragam. Menurut Nurse, dkk (2003) mengatakan bahwa sumber stres pada staf LAPAS sangat bertumpuk dan menjadi sebuah lingkaran stres yang berkesinambungan. Beberapa hal yang yang menyebabkan stres pada staf penjara adalah berkurangnya jumlah staf, budaya LAPAS, manajemen LAPAS, ketakutan akan
rasa aman saat
berinteraksi dengan WBP. Tidak hanya itu, sumber stres pada staf juga dapat berasal dari non-pekerjaannya sehingga menjadi tumpukan stres. Menurut Bogeman (2007) staf yang bekerja di penjara memiliki kerentanan untuk mengalami stres. Secara lebih spesifik gambaran kesehatan mental para staf penjara yang terdiri dari penjaga penjara, staf administratif, pekerja edukasi sosial, teknisi penjara, pekerja medis dan manajer. Stres pada para staf tersebut digambarkan lebih spesifik dalam bentuk simptom kecemasan, depresif dan sulit tidur. Pada penelitian tersebut daitemukan bahwa simtom depresif, kecemasan dan sulit tidur berkaitan dengan stres dalam pekerjaan yang diantaranya lingkungan pekerjaan yang mengancam, jadwal kerja, hubungan dengan tahanan, dan sebagainya (Goldberg dkk, 1996; Shannon, 2001). Untuk mengawali penelitian ini, peneliti melakukan studi awal penelitian dengan mewawancarai dari beberapa orang staf LAPAS Wirogunan Yogjakarta. Berdasarkan hasil wawancara, beberapa hal yang disampaikan pada penjelasan diatas juga dirasakan oleh staf yang bekerja di LAPAS Wirogunan, Yogjakarta. Berikut kutipan dari hasil wawancara: Perasaan waspada terhadap WBP “Ada ketakutan untuk berinteraksi dengan WBP.. Memang tidak semua WBP yang memiliki sikap yang buruk, tetapi perasaan was-was itu selalu ada apalagi berhadapan dengan WBP dengan hukuman mati karena biasanya mereka lebih kasar dan nekat.”(S,33 tahun) “Berhadapan sama WBP gak bisa kayak berhadapan sama masyarakat normal lainnya,kalau mereka gak puas sama pelayanan kesehatan kita, ancaman untuk dipukulin diluar pernah saya dapatkan dari WBP dan itu membuat saya cukup menjaga jarak dengan WBP” (R, 38 tahun)
4
Berkurangnya jumlah staf pengamanan “Takut secara personal sih enggak tapi sikap waspada itu selalu ada. Perasaan waspada itu akan meningkat menjadi stres tersendiri ketika berkurangnya petugas keamanan karena suatu hal terjadi misalnya ada WBPyang dirujuk ke rumah sakit sehingga mengurangi penjagaan di LAPAS.” (M, 28 tahun) Konflik dengan staf lain “Beban kerja yang tidak seimbang dan cara kerja yang didasarkan kekeluargaan membuat pekerjaan semakin berat. Konflik antara junior dan senior sering terjadi karena senior selalu melimpahkan pekerjaan pada juniorjuniornya”. Tekanan pekerjaan “Pekerjaan saya disini membuat saya menjadi cukup tegang karena kepikiran dengan tanggung jawab di LAPAS cukup membebani. Di rumah, saya sering terganggu dengan ketakutan apakah pintu LAPAS sudah terkunci, jangan-jangan ada WBP yang kabur atau apakah hitung-hitungan masa tahanan sudah benar saya kerjakan.” (T, 45 tahun) Lingkungan yang tidak menentu “Lingkungan disini kalau tidak ada perkelahian maka tentram dan damai tetapi jika ada perkelahian antar WBP maka hal tersebut membuat kondisi tegang. Lingkungan LAPAS menjadi tidak menentu karena kami gak tau kapan WBP akan berkelahi. Ditambah lagi jika staf keamanan sedang tidak ditempat”. (G,35 tahun) Kebermaknaan pekerjaan “Bekerja disini ya begitu aja, dihargai gak dihargai, ngurusin orang yang udah ada catatan hitamnya ya mentok aja. Disini kita bertugas buat jagain WBP biar tidak bikin masalah dan biar gak kabur. Ditambah lagi, resiko pekerjaan besar tapi kesejahteraan sedikit”. (M, 45 tahun) Beberapa sumber stres pada staf tersebut mampu menempatkan staf pada posisi yang mendekati kondisi stres jika mereka tidak mampu mengatasi hal tersebut. Stres merupakan perasaan tidak mampu menghadapi banyaknya tuntutan dari lingkungan sehingga menimbulkan ketegangan dan ketidaknyaman (Sarafino, 1994). Menurut Taylor (2009) dampak dari stres dapat berakibat secara fisiologis (berkeringat, detak jantung meningkat, gelisah, kerongkongan kering dan mudah letih), kognitif (sulit berkonsentrasi, mudah lupa, penghargaan terhadap diri rendah), emosional (merasa cemas, merasa takut dan merasa mudah marah) dan perilaku (sulit bicara, sulit bekerja sama, menangis tanpa alasan, dan tidak mampu rileks). Stres yang dirasakan oleh staf di LAPAS dapat 5
menghadirkan efek langsung pada penyediaan kepeduliaan bagi WBP (Goldberg dkk, 1996; Marston, 1993). Hal yang sama disampaikan oleh penelitian dari Proborani, Hartati dan Sawitri (2008) bahwa stres kerja pada pada seseorang dapat menimbulkan perubahan di dalam diri seseorang yang kemudian dapat menimbulkan ketidakseimbangan berupa emosi yang berlebihan sehingga kemampuan empati yang berkurang. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menemukan hal yang menarik dari penelitian sebelumnya bahwa keadaan stres akan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berempati terhadap orang lain. Goleman (2006) menjelaskan bahwa saat perhatian seseorang terbagi, sinkroni seseorang berlangsung tidak maksimal, dan seseorang akan kehilangan detail-detail penting terutama yang emosional. Saat seorang staf merasa tertekan maka hal tersebut akan mengganggu keseimbangan psikisnya. Sumber stres dapat berasal dari mana saja baik dari pekerjaan ataupun di luar pekerjaan. Seseorang yang mengalami stres akan mengalami pelemahan perhatian dalam menangkap informasi yang relevan sehingga memori jangka pendek juga akan berkurang karena pemanggilan memori sangat tergantung pada jumlah informasi yag masuk (Byrne, 2008; Lazarus, 1999; Watanabe, Evengard, Natelson, Jason,& Kuratsune, 2008). Kondisi tersebut dapat mengakibatkan staf mengalami penurunan kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi emosi WBP. Kemampuan empati diperlukan oleh para staf untuk menunjang terciptanya sistem baru LAPAS yaitu sebagai lembaga pembinaan WBP. Smith dan Schweitzer (2012) menjelaskan bahwa untuk menciptakan iklim penjara yang terapeutik, seleksi staf penjara harus mempertimbangkan kualitas personalnya seperti staf harus memiliki kehangatan, kelekatan, humor, bersikap fleksibel, tidak menyalahkan, matang, genuine, dan empati. Pada sistem pembinaan, staf LAPAS berfungsi tidak hanya untuk mengamankan, mengontrol komunitas tetapi juga memberikan kepedulian dan membina WBP. Hubungan antara staf LAPAS dan WBP memiliki peranan yang sangat krusial untuk keselamatan, keamanan dan menghadirkan lingkungan yang rehabilitatif (Gilbert, 1997; Irene, dkk, 2012). Penelitian terdahulu menjelaskan bahwa sistem penjara di Inggris dan Wales telah menerapkan pentingnya staf menerapkan kompetensi “soft power” (seperti: empati) dibandingkan dengan penerapan hard power (seperti: menghardik, memerintah dan memukul) pada WBP. Kebijakan ini
6
mendorong WBP untuk mengatur perilaku mereka sendiri, meletakkan tanggung jawab pada mereka untuk mengatur tingkah laku mereka, terlibat secara positif di dalam kegiatan dan bertanggung jawab atas kegagalan yang dilakukan (Crewe, 2011; Nielsen, 2010). Van der Helm, Stams, Van der Stel, Van Langen, dan Van der Laan (2012) juga menegaskan bahwa lingkungan yang penuh empati akan mempengaruhi perubahan sikap yang positif pada WBP. Berdasarkan wawancara dari salah seorang paramedis dan beberapa orang WBP di LAPAS di daerah Yogjakarata menjelaskan bahwa stres yang muncul terkait tekanan lingkungan mempengaruhi sikap mereka terhadap WBP. Hal ini juga dirasakan oleh WBP bahwa perilaku para staf kepada WBP tergantung suasana hati mereka. Tidak jarang mereka akan bertindak agresif baik verbal maupun fisik saat berhadapan dengan WBP. Dari data wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa tekanan yang dirasakan
oleh staf LAPAS terkait dengan perasaan terancam dari WBP
mempengaruhi kualitas interaksi antara staf dan WBP. Bentuk perilaku dari pewujudan kecemasan atau perasaan tertekan itu bermacam-macam dari staf yaitu salah satunya menghindari berinteraksi dengan WBP, sulit memahami kebutuhan WBP ataupun perilaku agresi baik dalam bentuk verbal maupun fisik. Perilaku staf tersebut dirasakan dan dinilai oleh WBP sebagai suatu hal yang perasaan negatif (perasaan tidak diterima, dinilai buruk, dan perasaan tidak dipahami) yang menimbulkan ketidaknyaman dalam hubungan antara staf dan WBP. Hal ini didukung oleh penelitian dari Vigoda (2002) bahwa kondisi kerja yang memiliki tingkat stres yang tinggi akan memunculkan perilaku-perilaku yang agresif dalam lingkungan tersebut sehingga menyulitkan seseorang untuk berempati di dalam lingkungan kerja. Padahal kemampuan empati staf sangat diperlukan dalam terwujudnya fungsi LAPAS sebagai tempat pembinaan bagi WBP. Hal ini sesuai dengan temuan yang disampaikan pada riset Kolaborasi Giorgia Silani, pada tahun 2014 dari International School for Advance Studies (SISSA) yaitu dalam keadaan stres atau tertekan seseorang akan mengalami kesulitan utuk mengenali kebutuhan orang lain, memahami emosi orang lain, mengambil perspektif mereka dan cenderung untuk mementingkan kepentingan sendiri (http://www.riset.me). Lebih spesifik, penelitian Tomova, van Dowans, Heinrichs, Silani, dan Lamm (2014) juga menemukan bahwa stres berdampak pada kemampuan individu dalam membedakan kepentingan diri dan orang lain.
7
Kemampuan ini sangat berperan penting dalam meningkatkan keterampilan sosial seperti empati. Temuan tersebut menemukan bahwa saat stres, perempuan berada dalam kondisi ambigu saat membedakan kepentingan orang lain dengan kepentingan dirinya sehingga hal tersebut membuat perempuan tidak dapat memunculkan respon sosial yang akurat (empati). Sementara laki-laki merespon dengan peningkatan egosentris dan kurang adaptif dalam situasi yang menekan. Dengan kata lain, kondisi stres pada seseorang dapat membuat mereka sulit untuk berempati terhadap orang lain. Harrington (2013) menjelaskan bahwa stres dapat menyebabkan kelelahan pada tubuh seseorang. Taylor (2009) juga menjelaskan hal yang serupa yaitu tubuh dihadapkan pada suatu kondisi yang sangat mengancam, otak mengaktifkan sistem saraf simpatis dan secara otomatis yang menyebarkan sinyal tersebut ke seluruh organ tubuh, saluran darah, hormon, kelenjar-kelenjar di dalam tubuh seseorang. Selanjutnya, hormon epinephrine dan norepinephrine dikeluarkan di dalam tubuh seseorang yang akhirnya dapat memicu peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan saliva, dan konstruksi pembuluh darah. Pada kondisi saraf simpatis teraktivasi, semua energi yang disimpan ditubuh digunakan untuk sistem tubuh yang bekerja. Seseorang yang berada di dalam kondisi stres berakibat pada kegiatan tubuhnya yaitu dia akan kesulitan untuk menyimpan energi yang akan digunakannya untuk aktivitas yang lain. Dengan kata lain, kondisi stres akan menguras energi seseorang sehingga mereka akan kehabisan banyak energi untuk melakukan aktivitas fisik dan mental lainnya. Brothers (dalam Stebnicki, 2008) menjelaskan bahwa jalur amigdala-korteks di dalam otak merupakan bagian dari lingkaran saraf penting yang mengatur emosi yang berkaitan dengan respon empati. Fungsi amigdala juga mempengaruhi aktivitas otak seperti membaca, mengintrepretasi, atau mencoba memahami emosi orang lain. Dengan demikian saat seseorang berada dalam kondisi yang tertekan (stres), seseorang akan sulit berempati kepada orang lain. Penelitian-penelitian sebelumnya banyak membahas mengenai penyebab stres pada staf penjara (Nurse, dkk, 2003; Snoha, Jean, Mora, & Ernesto, 2011), stres pekerjaan, pelatihan kompetensi terhadap staf penjara (O’Toole, 2000), pelatihan kesehatan mental bagi para staf penjara (Walsh & Freshwater, 2009) penjara yang terapeutik dengan mengoptimalkan staf penjara dan tenaga ahli
8
lainnya (Day, Casey, Vess, & Huisy, 2012; Smith & Scheweitzer, 2012;), staf penjara dan stres kerja: pengaruh emosional (Tewksbury & Heggins, 2006). Crawley (2004) menjelaskan bahwa bekerja di tempat yang sangat emosional, staf penjara dituntut untuk memiliki performa sikap yang baik serta strategi mengelola stres yang baik. Bayne (2004) juga menyimpulkan hal yang sama dari penelitiannya
bahwa
program
pelatihan
pengelolaan
stres
sangat
direkomendasikan diberikan kepada staf-staf di LAPAS untuk mewujudkan kesehatan mental bagi staf dan memberikan harapan pembinaan yang lebih baik bagi WBP dari staf LAPAS. Di Indonesia sendiri, penelitian terkait pemberian perlakuan psikologis pada staf LAPAS baru sedikit dilakukan. Penelitian dengan setting LAPAS lebih banyak terfokus pada bentuk terapi-terapi untuk menurunkan simtom-simtom psikologis pada para WBP (Fahruliana, 2011; Mukhlis, 2011) dan pembinaan mental WBP (Astuti, 2011). Penelitian dengan tema yang sama yaitu pengelolaan stres pernah dilakukan oleh Segarahayu (2007) namun diberikan pada WBP sedangkan penelitian dengan memberikan perlakuan psikologis pada staf LAPAS belum banyak dilakukan. Dengan demikian, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai pemberian perlakuan psikologis terhadap staf LAPAS dalam mengelola stres mereka sehingga peran-peran sebagai staf LAPAS dapat berfungsi optimal. Pengelolaan stres yang akan diberikan pada staf LAPAS berpijak dari kerangka berfikir dari Lazarus mengenai stres itu sendiri. Stres timbul sebagai respon individu terhadap kondisi-kondisi yang muncul di tempat kerjanya. Respon yang dikeluarkan oleh individu sangat bergantung pada interpretasinya terhadap suatu keadaan. Lazarus menekankan pentingnya interpretasi terhadap stresor. Pertama, pernilaian terhadap stresor itu sendiri apakah dinilai mengancam atau tidak. Kedua penilaian tentang sumber daya yang dimiliki individu. Sumber daya pada individu dapat berupa fisik, psikis, sosial, maupun materi. Sumber-sumber ini selanjutnya akan digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi stres (Lazarus, 1999). Penelitian lain yang serupa juga telah membahas mengenai pengoptimalan sumber-sumber daya personal dan sosial dapat menurunkan tingkat stres pada seseorang (Schieman & Turner, 2001). Peningkatan aspek-aspek lain yang akan meningkatkan sumber daya pada individu dapat membantu staf LAPAS dalam mengelola stres yang mereka
9
rasakan. Persiapan sumber daya di dalam diri seseorang staf untuk meningkatkan kemampuan mengelola stres tersebut dirancang menggunakan teori kecerdasan emosi dari Goleman (2001). Goleman (2001) mengemukakan pandangan mengenai kematangan seseorang dipengaruhi oleh faktor emosional. Kecerdasan emosional merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki seseorang untuk mengelola stres. Kemudian Ramdhani dan Ancok (2013) melakukan pengembangan dari pendapat Goleman (1998) mengenai dimensidimensi kecerdasan emosi yang dibaginya ke dalam kompetensi personal dan kompetensi sosial. Kompetensi personal dibagi menjadi dua yaitu kesadaran diri dan manajemen diri sedangkan kompentensi sosial dibagi ke dalam dua aspek yaitu kesadaran sosial dan manajemen hubungan. Program ASPIRASI (Atasi Stres Pilihan Kerja Staf Efektif) dirancang sebagai
sebuah
program
pengelolaan
stres
yang
terintegrasi
yang
menggabungkan peningkatan kompetensi personal dan sosial, pengetahuan tentang stres, mengelola kelelahan fisik dan emosional bagi staf LAPAS. Modul program ini diintegrasikan dengan modul kompetensi personal dan sosial yang dirancang oleh Ramdhani dan Ancok (2013) sebagai sumberdaya pada individu untuk mengelola stres dan modul pelatihan pengelolaan stres yang dirancang oleh Davis, Eshelmen, dan M’kay (2008) yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan para staf LAPAS sehingga menghasilkan cara mengelola stres yang komprehensif. Pengelolaan stres pada penelitian ini (ASPIRASI) mempersiapkan sumberdaya pada seseorang untuk menghadapi stressor yang mereka hadapi. Sumber daya tersebut didasarkan pada teori Goleman (2001) bahwa seseorang yang telah cerdas secara emosi maka akan mampu mengelola stres dengan baik. Sumber daya tersebut tersebut berupa kompetensi personal dan kompetensi sosial. Kompetensi personal banyak bermuatan pengenalan diri, meninjau kembali komitmen profesi dan motivasi diri. Kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan mengenali orang lain, menyadari keberbedaan WBP serta mengelola konflik sosial. Pengelolaan stres (ASPIRASI) yang akan diberikan juga menyasar pada pengurangan reaksi stres (Karim, Mir, & Bengi, 2005; Smet, 1994). Pengelolaan stres akan diberikan pengenalan mengenai stres dan cara mengenali sumber stres yang muncul dalam kehidupannya. Staf LAPAS diajak untuk mengenali reaksi-reaksi saat mereka merasa dalam kondisi yang tidak nyaman yaitu stres. Teknik-teknik lain yang akan digunakan antara
10
lain teknik relaksasi dan teknik stabilisasi emosi lainnya. Tidak hanya itu, psikoedukasi stres juga dilakukan untuk mencapai restrukturisasi kognitif pada tingkat pemahaman staf terhadap stres. Tujuan pengelolaan stres adalah untuk mengontrol stres sehingga menjadi tidak berbahaya dan tidak lagi mengancam. Pada penelitian ini, kemampuan empati merupakan salah satu variabel yang akan dilihat perubahannya akibat dari intervensi yang diberikan. Empati merupakan salah satu bentuk emosi positif yang diperlukan dalam interaksi sosial seseorang. Pengertian empati ini adalah respon individu terhadap keadaan orang lain sehingga individu dapat mengenal dan memahami emosi, pikiran, serta sifat orang lain. Dengan demikian dalam bersikap empatik, seseorang seolah-olah mengalami sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh orang lain tersebut
(Eusenberg & Faber dalam Baron & Byrne, 1994).
Empati juga dapat diartikan sebagai kemampuan pengambilan perspektif sosial yang melibatkan pemahaman kognitif terhadap perasaan-perasaan dan motifmotif orang lain (Davis,1983). Menurut Decety dan Ickes (2009) empati adalah mengetahui personal state dari orang lain baik itu pikiran maupun perasaannya. Dengan mengetahui pikiran dan perasaan orang lain, seseorang dapat termotivasi untuk merespon dengan peduli terhadap perasaan dan pemikiran orang lain. Benson (1976) terkait pengelolaan stres (seperti: relaksasi otot, meditasi, pengenalan sumber stres, dan rekonstruksi kognitif terhadap stresor) kepada para pekerja dapat menurunkan psikosomatis dan gangguan psiko-fisiologis. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Murphy dan Sorenson (1988) terkait pengelolaan stres (seperti biofeedback dan relaksasi otot) kepada para pekerja juga telah terbukti secara signifikan meningkatkan tingkat kehadiran pekerja setiap harinya. Pada penelitian Scieman dan Gundy (2000) menjelaskan bahwa empati dapat ditingkatkan dengan mengolah distres pribadi pada seseorang. Saat staf LAPAS dapat mengelola stresnya, mereka akan berada dalam kondisi optimumnya sehingga ia dapat menggunakan energi tubuh dengan efektif untuk aktivitas fisik dan aktivitas mental lainnya. Hal tersebut tidak terjadi pada staf LAPAS yang berada dalam kondisi stres. Saat mereka berada dalam kondisi yang dianggapnya mengancam (misal: berinteraksi dengan WBP), otak akan mengaktifkan saraf simpatis serta aktivitasnya meningkat. Peningkatan aktivitas simpatis ini akan menstimulasi bagian medula kelenjar adrenalin sehingga terjadi
11
pelepasan epinefrindan norepinefrin. Peningkatan aktivitas simpatis ini pada akhirnya memicu peningkatan pada sistem tubuh seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan saliva,dan konstruksi darah perifer. Pada saat itu, semua energi didalam tubuh dikerahkan untuk semua sistem yang bekerja akibat peningkatan aktivitas simpatis. Hal ini menyebabkan energi tubuh terkuras dan staf LAPAS rentan mengalami kelelahan. Staf LAPAS yang berada di dalam kondisi stres berakibat pada kegiatan tubuhnya yaitu dia akan kesulitan untuk menyimpan energi yang akan digunakannya untuk aktivitas yang lain. Dengan kata lain, kondisi stres akan menguras energi seseorang sehingga mereka akan kehabisan banyak energi untuk melakukan aktivitas fisik dan mental lainnya. Salah satu sistem yang terganggu pada saat stres adalah jalur amigdala-korteks dimana bagian ini merupakan bagian dari lingkaran saraf penting yang mengatur emosi yang berkaitan dengan respon empati. Fungsi amigdala juga mempengaruhi aktivitas otak seperti membaca, mengintrepretasi, atau mencoba memahami emosi orang lain. Agar fungsi amigdala dapat berfungsi secara optimal, staf LAPAS harus melakukan suatu usaha untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan mengelola stresnya sehingga staf LAPAS dapat mampu berempati terhadap orang lain. Penelitian lain yaitu dari Schieman dan Turner (2001) menemukan bahwa terdapat hasil yang signifikan dari pelatihan sumber-sumber psikososial diantaranya adalah rekonstruksi kognitif terhadap sumber stres, pengambilan perspektif dan penanganan respon stres terhadap respon empati pada seseorang. Hal tersebut mendukung temuan Selye (2000) bahwa seseorang yang mampu mengelola stres dengan baik dapat meningkatkan kemampuan empati seseorang dan menimbulkan dorongan yang positif yang mendatangkan keuntungan bagi komunitas. Penelitian-penelitian tersebut mendukung dari rancangan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Pendekatan pelatihan dipilih karena pelatihan merupakan suatu metode pembelajaran yang bertujuan untuk mengubah aspek kognitif, afektif serta hasil keterampilan atau keahlian). Bandura menyatakan bahwa metode pelatihan berdasarkan prinsip experintial learning, yaitu bahwa perilaku manusia terbentuk berdasarkan hasil pengalaman yang terlebih dahulu dimodifikasi untuk menambah efektivitas dan semakin lama perilaku menjadi suatu kebiasaan dan berjalan dengan otomatis serta individu semakin berusaha memodifikasi perilaku
12
yang sesuai dengan situasi. pembelajaran ini bersifat terstruktur yaitu situasi pembelajaran memberikan pengalaman belajar langsung daripada lewat pengalaman orang lain, dan para partisipan diberi kesempatan menemukan sendiri makna hasil belajarnya serta menguji sendiri kesahihan pengalamannya itu. Dalam metode pembelajaran yang menuntuk keterlibatan pribadi yang tinggi, makna dari isi proses pembelajaran terletak dalam diri pembelajaran. Manfaat program ini adalah agar staf LAPAS memiliki keterampilan aplikatif yang mendukung perannya sebagai pembina di LAPAS. Program ini akan dilaksanakan selama empat hari pertemuan yang terdiri dari 11 sesi. Hasil akhir yang diharapkan melalui pelatihan ASPIRASI ini adalah staf LAPAS dapat meningkatkan kemampuan berempati, sehingga pada akhirnya staf LAPAS mampu menjalin interaksi yang lebih baik dengan WBP dan dapat meningkatkan kualitas pembinaan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah pelatihan ASPIRASI dapat meningkatkan kemampuan empati pada staf LAPAS pada kelompok eksperimen. Peningkatan tersebut akan tetap bertahan selama proses pengambilan data lanjutan (follow-up).
Tabel. 1 Blue Print Modul Pelatihan
13
No
SESI
WAKTU
KEGIATAN
1
Pembukaan
08.00 – 09.00 (sesi 1)
Pre test Ice Breaking Overview Materi Aturan dasar Game
2
Komitmen Profesi
09.45 – 11.30 (sesi 2)
Penayangan Film Diskusi Materi Pemaknaan Materi
3
Motivasi Diri
12.30 – 14.00 (sesi 3) 14.00-15.00 (Sesi 4)
TUJUAN
Pengisian Lembar Kerja Game Penayangan Film Kartu matahari, rumput, api dan Langit Diskusi
4
Pemahaman Diri
5
Memahami Orang Lain
08.00 – 09.00 (sesi 5)
Lembar Kerja Window Penayangan Film Feedback Diskusi
6
Pandangan terhadap WBP
09.30 – 10.30 (sesi 6)
7
Kreatifitas diri
10.30- 12.00 (sesi 7)
Lembar Kerja Tahanan atau WBP ideal Role Play Pemahaman terhadap keragaman karakter Tahanan dan WBP Game Materi Diskusi
8
Komunikasi dan pengelolaan konflik
13.00-14.30 (Sesi 8)
9
Psikoedukasi Stres
08.00-09.30 (sesi 9)
10
Mengenali Stres di dalam diri
09.45-10.45 (sesi 10)
11
Intervensi Rangsangan Emosi
10.45 – 12.30 (sesi 11)
Johari
Games Evaluasi Post test Kesimpulan Materi Stres Pemaparan kasus (video) Game Game Role play Lembar Kerja
Relaksasi Kesimpulan
Partisipan dapat melebur di dalam kelompok pelatihan Partisipan dapat membuat formulasi peraturan yang dapat diaplikasikan selama pelatihan Partisipan dapat menemukan motivasi untuk bergabung dalam pelatihan ini Partisipan memahami pentingnya peran seorang staf Lapas Partisipan memiliki pemahaman mengenai idealnya seorang staf Lapas yang seharusnya Partisipan menemukan alasan untuk menjadi staf Lapas yang Profesional Peserta diharapkan dapat memahami peran motivasi dalam meningkatkan komitmen Staf LAPAS Partisipan memahami diri mereka dan kebiasaan mereka Partisipan memahami karakter mereka Partisipan mengenali kepribadian mereka dan kepribadian orang lain Partisipan dapat mengambil pelajaran dari mengenali diri mereka dan orang lain sehingga dapat menyokong kemampuan mereka Partisipan melakukan teknik umpan balik Partisipan memahami bagaiman pandangan mereka mempengaruhi terhadap proses rehabilitasi warga binaan Partisipan memahami cara mengembangkan sikap yang positif terhadap warga binaan. Partisipan dapat berpikir secara kreatif Partisipan memahami bagaimana cara mengembangkan kreativitas. Partisipan memahami faktor apa yang menghambat kreativitas diri. Partisipan mampu memunculkan ide bagaimana menghadapi penghambat kreativitas diri Peserta memahami pentingnya kejelasan dalam berkomunikasi. Peserta memahami pentingnya komunikasi yang jelas dalam kerja kelompok Untuk mengenalkan pengetahuan tentang stres kepada para partisipan Mengetahui pemikiran partisipan mengenai permasalahan yang terdapat di dalam kasus Memahami respon yang dilakukan partisipan ketika mereka menghadapi stres Menunjukkan bahwa terdapat respon yang berbedabeda yang ditunjukkan oleh individu terhadap satu masalah Partisipan dapat memiliki sumber daya eksternal yang bisa mereka gunakan untuk mengatasi stres
14