TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK PERTUNJUKKAN SENI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
DESYANTI SUKA ASIH K. TUS
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
1
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK PERTUNJUKKAN SENI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
DESYANTI SUKA ASIH K. TUS NIM : 0890561055
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
i
PERLINDUNGAN HUKUM CERITA RAKYAT YANG DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK PERTUNJUKKAN SENI MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
DESYANTI SUKA ASIH K. TUS NIM : 0890561055
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 10 JULI 2014
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM
Dr. I Wayan Wiryawan,S.H.,M.H.
NIP.196111011986012001
NIP.195503061984031003
Mengetahui Ketua Program Studi
Direktur Program Pascasarjana
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S.(K)
NIP.196111011986012001
NIP.195902151985102001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada 8 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor 2030/UN 14.4/HK/2014 Tanggal 7 Juli 2014
Ketua
: Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.
Sekretaris
: Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H.
Anggota
: 1. Prof. R. A. Retno Murni, S.H., M.H., Ph.D. 2. Dr. I Ketut Westra, S.H., M.H. 3. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: Desyanti Suka Asih K. Tus
Program Studi : Ilmu Hukum Judul Tesis
: Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku.
Denpasar, 30 Juni 2014 Yang menyatakan
Desyanti Suka Asih K. Tus
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik”. Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM selaku Pembimbing I yang dengan tulus telah memberikan bimbingan, saran, nasehat, serta dukungan dalam penulisan tesis ini 2. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H.,M.H. selaku Pembimbing II yang dengan tulus telah memberikan bimbingan, saran, nasehat, serta dukungan dalam penulisan tesis ini. 3. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
vi
4. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Pascasarjana Universitas Udayana. 5. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. 6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana atas segala bantuan, perhatian dan bimbingannya selama ini. 7. Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan. 8. Seluruh Pegawai Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan dan selama proses penulisan tesis ini berlangsung. 9. Kedua orang tua penulis, I Nengah Suantra, S.H., M.H dan Ni Wayan Rumiati, S.Pd serta adik tercinta Kadek Dwi Tusidhi,S.H atas segala doa, kesabaran, dukungan dan bantuan yang diberikan selama penulis menjalani perkuliahan hingga penulisan tesis ini selesai.
vii
10. Christopher Gerard Sperduto selaku atasan serta rekan-rekan kerja atas dukungannya selama penulis menjalani perkulihan hingga penulisan tesis ini selesai. 11. Sahabat-sahabat dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas segala dukungan dan semangat yang diberikan selama penulis menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua. Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, menambah kepustakaan bagi Program Magister (S2) Ilmu Hukum serta memberi manfaat bagi masyarakat.
Denpasar, 30 Juni 2014
Penulis
viii
ABSTRAK Perlindungan hukum terhadap karya-karya tradisional telah dilakukan pemerintah melalui Pasal 10 UU No.19 tahun 2002 Hak Cipta yang menyatakan bahwa segala ciptaan tradisional, hak ciptanya dipegang oleh negara termasuk didalamnya folklor. Cerita rakyat sendiri merupakan bagian hak cipta atas folklor dalam bidang sastra. Perlindungan terhadap cerita rakyat dirasa semakin penting karena semakin banyak cerita rakyat yang dialihwujudkan kedalam seni pertunjukkan seperti film pendek, sendratari maupun film televisi. Penelitian ini membahas 2 (dua) pokok permasalahan yaitu mengenai perlindungan hukum bagi keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional dan perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan kedalam bentuk pertunjukkan seni di dalam dan di luar negeri melalui media elektronik. Penelitian ini mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan koseptual (conseptual approach) yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Teknik analisis yang dipergunakan adalah teknik deskripsi dan interpretasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keaslian merupakan syarat bagi suatu ciptaan dalam hal ini cerita rakyat untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. Cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor, perlindungannya telah diatur dalam Pasal 10 UU No.19 tahun 2002. Berkaitan dengan cerita rakyat yang dialihwujudkan kedalam bentuk pertunjukkan seni di dalam dan diluar negeri telah mendapatkan perlindungan hukum melalui ketentuan Pasal 12 huruf (l) UU No.19 tahun 2002. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Keaslian Cerita Rakyat, Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan.
ix
ABSTRACT The legal protection for the traditional works have been carried out by the government through Article 10 of Law Number 19 of 2002 on the Copyright which stipulates that all traditional creation’s copyright is held by the state including the folklore. Folktale itself is part of the copyrighted folklore in literature. The protection of folktale becomes even more important as more and more folk tales are transformed into performing arts such as short films, ballet and television movies. The study discusses 2 (two) subject matters namely about the originality of legal protection for expressions of folktale as a traditional cultural property and the legal protection of the ownership of the folk tales which are transformed into performance art either nationally or internationally through the electronic media. The study uses a normative legal research method. The method used is the statute and the conceptual approaches that derived from the views and doctrines developed in the science of law. The analysis was conducted by using description and interpretation techniques. The findings of the study indicate that originality is a requirement for a creation, in this case a folk tale to obtain the copyright protection. Folktales that are part of the folklore; its protection is provided by Article 10 of Law Number 19 of 2002. In connection with the folk tales that are transformed into performance arts locally or abroad have gained legal protection through the provision of Article 12 paragraph (l) of Law Number 19 of 2002.
Keywords: Legal Protection, Originality of the Folktale, Derivative Work of Folktale
x
RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik yang dituangkan kedalam 5 (lima) bab pembahasan yang disusun sebagai berikut: Bab I menguraikan tentang Pendahuluan yang merupakan awal pembahasan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian. Penelitian ini membahas 2 (dua) pokok permasalahan yaitu: (1) bagaimanakan perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional dalam dimensi hak cipta?; (2) bagaimanakah perlindungan hukum terkait kepemilikan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik baik nasional maupun internasional? Lebih lanjut mengenai kedua permasalahan tersebut dibahas kedalam bab selanjutnya. Bab II menguraikan tentang tinjauan umum tentang hak cipta folklor yang dialihwujudkan (dervaitve work) dalam media eletronik. Pada bab ini dibahas mengenai pengertian hak cipta serta dasar hukumnya, subjek dan obejek hak cipta, folklor sebagai salah satu wujud ciptaan, dan system perlindungan cerita rakyat sebagai wujud dari folklor. Pada bab ini juga dibahas tentang kosep derivative work dalam dimensi hak cipta, pengaturan mengenai derivative work, dan mekanisme pengalihwujudan suatu karya cipta dan system perlindungannya. Selain itu bab ini juga membahas tentang pengaturan karya derivative yang dituangkan dalam media elektronik dan bentuk-bentuk derivative work yang dipublikasikan dalam media elektronik. Bab III menguraikan tentang pokok permasalahan 1 (satu) yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional. Pada bab ini dibahas mengenai konsep orisinalitas suatu karya cipta menurut Undang-Undang No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Berne Convention, dan TRIPs Agreement. Membandingkan konsep orisinalitas yang terdapat dalam masing-masing ketentuan tersebut. Bab ini kemudian menguraikan tentang dokumentasi sebagai mekanisme penentuan kepemilikan asal suatu cerita rakyat tradisional dan keasliannya. Disini dibahas mengenai peran penting dokumentasi dalam upaya memberi kepastian hukum dalam kepemilikan cerita rakyat serta peran dokumentasi dalam menentukan keaslian suatu cerita rakyat. Bagian akhir bab ini membahas mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat tradisional. xi
Bab IV menguraikan mengenai permasalahan 2 (dua) yaitu perlindungan hukum terkait kepemilikan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan melalui media elektronik baik nasional maupun internasional. Pada bab ini diuraikan bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan terhadap karya derivative yang berasal dari cerita rakyat sebagai karya cipta asli pada saat derivative work tersebut di sebarluaskan dalam bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik di dalam negeri dan diluar negeri. Bab V yang merupakan bab penutup mengemukakan simpulan serta saran berkaitan dengan penelitian ini. Keaslian merupakan syarat untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, dimana terhadap cerita rakyat berhak mendapatkan perlindungan hak cipta yang didasarkan pada isi cerita yang berbeda serta pendokumentasian sebagai sarana menentukan keasliannya. Sementara terhadap cerita rakyat yang dialihwujudkan, perlindungannya telah diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf (l) Undang-Undang No.19 tahun 2002. Adapun saran yang dapat disampaikan antaralain dibuatnya peraturan tersendiri tentang pengetahuan tradisional serta diperhatikannya penerapan peraturan perundangundangan agar sesuai dengan budaya hukum masyarakat.
xii
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DALAM…………………………………………………i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER…………………………..ii HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................................iii HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI ...................................................................iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ....................................................................v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................vi HALAMAN ABSTRAK..………………………………………………………..ix HALAMAN ABSTRACT ...................................................................................................x RINGKASAN ..................................................................................................................... xi DAFTAR ISI .................................................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 10 1.3. Ruang Lingkup Masalah............................................................................ 11 1.4. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 12 1.4.1. Tujuan Umum. ................................................................................. 12 1.4.2. Tujuan Khusus. ................................................................................ 12 1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12 1.5.1. Manfaat Teoritis. .............................................................................. 13
xiii
1.5.2. Manfaat Praktis. ............................................................................... 13 1.6. Orisinalitas Tesis ....................................................................................... 14 1.7. Landasan Teoritis ...................................................................................... 16 1.8. Metode Penelitian ...................................................................................... 27 1.8.1. Jenis Penelitian................................................................................. 27 1.8.2. Jenis Pendekatan. ............................................................................. 28 1.8.3. Sumber Bahan Hukum. .................................................................... 29 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. .............................................. 30 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum. ....................................................... 31 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA FOLKLOR YANG DIALIHWUJUDKAN (DERIVATIF WORK) DALAM MEDIA ELEKTRONIK ................................................................................................. 32 2.1. Hak Cipta Folklor ..................................................................................... 32 2.1.1. Pengertian Hak Cipta Dan Dasar Hukumnya. .................................. 32 2.1.2. Subjek dan Objek Hak Cipta. ........................................................... 41 2.1.3. Folklor Sebagai Salah Satu Wujud Ciptaan. .................................... 45 2.1.4. Sistem Perlindungan Cerita Rakyat Sebagai Wujud Folklor. .......... 51 2.2. Derivative Work Dalam Hak Cipta........................................................... 53 2.2.1. Konsep Derivative Work Dalam Dimensi hak Cipta........................ 53 2.2.2. Pengaturan Derivative Work. ........................................................... 56
xiv
2.2.3. Mekanisme Pengalihwujudan Suatu Karya Cipta Dan Sistem Perlindungannya. .............................................................................. 59 2.3. Media Elektronik Berkaitan Dengan Hak Cipta Derivatif Work ............. 60 2.3.1. Pengaturan Karya Derivative Work Yang Dituangkan Dalam Media Elektronik. ........................................................................................ 60 2.3.2. Bentuk-bentuk Derivative Work Yang Dipublikasikan Dalam Media Elektronik. ........................................................................................ 61 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEASLIAN CERITA RAKYAT SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL........................................ 64 3.1. Konsep Orisinalitas Suatu Karya Cipta Menurut UUHC, Berne Convention, TRIPs Agrement ................................................................... 64 3.2. Dokumentasi Sebagai Mekanisme Penentuan Kepemilikan Asal Suatu Cerita Rakyat Tradisional Dan Keasliannya ............................................ 76 3.3. Perlindungan Hukum Terhadap Keaslian Cerita Rakyat Tradisional ...... 83 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT KEPEMILIKAN CERITA RAKYAT YANG TELAH DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK PERTUNJUKKAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BAIK NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL ........................................................................ 96 4.1. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat yang Dialihwujudkan dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik di dalam Negeri (Nasional) ................................................................................................. 98
xv
4.2. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik Di Luar Negeri (Internasional) ........................................................................................ 111 BAB V
PENUTUPAN ................................................................................................ 122 5.1. Simpulan .................................................................................................. 122 5.2. Saran ........................................................................................................ 123
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 125
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki daya pikir, rasa, dan karsa yang berpotensi
untuk menciptakan karya intelektual. Karya tersebut dapat dituangkan dalam berbagai macam bentuk karya cipta mulai dari kreasi bangunan, kreasi seni budaya, desain dan teknologi. Karya cipta tersebut merupakan aset kekayaan individual yang berpotensi untuk mendapatkan perlindungan hukum karena memiliki nilai ekonomi yang mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya. Proses kreativitas ini berlangsung terus-menerus sejak dahulu sampai sekarang dan diwariskan dari generasi ke generasi, hingga saat ini ciptaan tersebut merupakan ciptaan tradisional atau folklor (folklore). Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan bahwa yang dimaksud dengan folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi tidak dibukukan.1 Indonesia merupakan negara yang kaya akan adat budaya juga cerita rakyat. Tetapi masyarakat Indonesia jarang melihat pengetahuan tradisional, cerita rakyat dan kekayaan tak berwujud, dari aspek ekonomi. Masyarakat Indonesia memandang ketiga hal itu sebagai nilai-nilai
1
Lukman Ali, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Cetakan ketujuh, Perum Balai Pustaka, Jakarta, hal.279.
1
spiritual, jalan hidup, identitas budaya dan ikatan sosial yang mempersatukan negara.2 Seiring perkembangan dunia, Indonseia tidak luput dari arus perubahan zaman yang terus mengalami perkembangan. Perkembangan disegala bidang termasuk dalam bidang yang awalnya asing bagi masyarakat bangsa ini, yaitu Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya akan ditulis HKI) Masyarakat asli Indonesia pada umumnya tidak mengenal konsep-konsep yang bersifat abstrak termasuk konsep tentang hak atas kekayaan intelektual.3 Keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan dunia membuat masyarakat Indonesia harus melek dan beradaptasi dengan konsep yang begitu asing bagi mereka. Karena masyarakat adat Indonesia tidak pernah membayangkan bahwa buah pikiran (intellectual creation) adalah kekayaan (property) sebagaimana cara berpikir orang-orang Barat.4 Konsep HKI sendiri berawal dari keinginan untuk memberikan penghargaan kepada hasil karya intelektual seseorang kemudian berkembang semakin pesat. Keberadaan HKI merupakan bentuk penghargaan hasil kreatifitas manusia, baik dalam bentuk penemuan-penemuan (inventions ) maupun hasil karya cipta dan seni (art and literary work ), terutama ketika hasil karya kreatif tersebut dipergunakan untuk kepentingan komersial.
2
Afifah Kusumadara, Dosen FH Presentasi Di Konfesensi ASLI Jepang, http://prasetya.ub.ac.id/berita/Dosen-FH-Presentasi-di-Konferensi-ASLI-Jepang-3777-id.html, Diakses 09 Maret 2012. 3
Agus Sardjono, 2009, Membumikan HKI Di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung,
4
Ibid.
hal.29.
2
Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang HKI yang sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berlaku di negari Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai Negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi. Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang HKI adalah sebagai berikut: 1
Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta; S.1912-600).
2
Reglement Industriele Kolonien 1911 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; 1912-545 jo. S.1913-214).
3
Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33. Yis S.1911-33, S.1922-54).5 Sejak menjadi bangsa yang merdeka, Indonesia tercatat memiliki 4
(empat) buah Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) di bidang Hak Cipta, yaitu: UU No.6 Tahun 1982, UU No.7 Tahun 1987, UU No. 12 Tahun 1997, dan UU No. 19 Tahun 2002. Revisi terakhir yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dilandasi oleh 2 alasan. Pertama, pemerintah menyadari bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa dengan didukung oleh masyarakat yang sangat kreatif. Potensi tersebut perlu dilindungi dalam bentuk
5
Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan Pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hal.1.
3
undang-undang yang modern dan selalu mengikuti jaman. Alasan kedua yakni terkait dengan konsekwensi Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade Organization). Meskipun pemerintah telah menyesuaikan isi UUHC (UndangUndang Hak Cipta) tahun 1997 dengan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intelectual Property Rights), revisi tetap perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan yang lebih komprehensif terhadap ciptaan yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia.6 Semakin ditingkatkannya perlindungan terhadap HKI ternyata tidak mengurangi terjadinya pelanggaran terhadap HKI di Indonesia. Indonesia memiliki catatan terburuk dalam melindungi hak kekayaan intelektual (HKI). Sebuah survei yang dilakukan kepada para pelaku bisnis asing menunjukkan Indonesia berada di daftar teratas negara paling buruk dalam perlindungan HKI untuk tingkat Asia.7 Pelanggaran terhadap hak cipta terjadi tidak tanggung-tanggung. Pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh individu dengan alasan ekonomi, tetapi pelanggaran juga dilakukan oleh negara lain khususnya pelanggaran atas budaya dearah seperti tari-tarian, lagu daerah, cerita rakyat dan motif batik. Contoh
6
Tomi Suryo Utomo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Cetakan pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.69. 7
Tri Wahono, Perlindungan Hak Cipta, Indonesia Terburuk Di Asia, http://tekno.kompas.com/read/2010/08/25/17502973/Perlindungan.Hak.Cipta.Indonesia.terburuk.d i.Asia, Diakses 09 Maret 2012, hal. 1.
4
pelanggaran hak cipta atas budaya daerah antara lain kasus lagu Rasa Sayange dan Tari Pendet. Kedua karya cipta tersebut adalah milik bangsa Indonesia yang merupakan budaya daerah, tetapi keduanya di manfaatkan oleh Malaysia dalam promosi pariwisatanya. Ada beberapa kasus klaim negara lain dalam hal ini Malaysia atas budaya daerah Indonesia antara lain klaim atas Angklung, Reog Ponorogo, batik, Hombo Batu, Tari Folaya. Pelanggaran hak cipta atas budaya daerah yang terbaru adalah kasus Tari Tor Tor dan Gondang Sambilan. Beberapa contoh kasus di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya perlindungan hak cipta atas budaya daerah oleh Indonesia karena negara ini kaya akan seni budayanya khususnya cerita rakyat dan pengalihwujudannya yang perlu mendapat perlindungan dari pelanggaran hak cipta. Beberapa contoh cerita rakyat Bangsa ini yang banyak di kenal seperti cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari dari Jawa Tengah, Sangkuriang dari Jawa Barat, Malin Kundang dari Sumatera Barat, Cupak Gerantang dari Bali, Ande-ande Lumut, Bawang Merah Bawang Putih, Timun Mas serta masih banyak lagi cerita lain yang tumbuh dan berkembang, diwariskan turun temurun kepada generasi berikutnya. Cerita-cerita tersebut juga acap kali dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan lain. Saat ini di lingkup internasional tengah berkembang isu baru yang berkaitan dengan HKI, yaitu perlindungan terhadap pengetahuan Tradisional. Pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional ini disebabkan komunitas lokal atau tradisional ternyata memiliki banyak karya-karya kreatif yang perlu
5
dilindungi. Kekayaan intelektual komunitas lokal sangat beragam dan luas cakupannya, mulai dari cerita rakyat, seni tradisional, sistem kepercayaan, aktivitas upacara adat, pengobatan hingga berbagai bentuk teknologi tradisional yang dimiliki dan dikembangkan oleh masyarakat lokal.8 Upaya perlindungan HKI atas Pengetahuan Tradisional (selanjutnya disingkat PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional (selanjutnya disingkat EBT) muncul sebagai reaksi terhadap sistem perlindungan HKI modern yang tidak memadai. Karakteristik hukum HKI modern bahwa perlindungan diberikan kepada karya-karya baru yang bersifat individual dan identitas penciptanya jelas, serta jangka waktu perlindungannya dibatasi. Hal tersebut berbeda dengan karakteristik PT dan EBT yang sudah ada sejak lama yakni penciptanya tidak jelas dan kepemilikannya bersifat komunal serta jangka waktu perlindungannya sulit untuk dibatasi karena suatu PT dan EBT sangat erat kaitannya dengan jati diri komunitas atau masyarakat tradisional yang memilikinya.9 Di Indonesia perlindungan atas budaya daerah terdapat dalam Pasal 10 UUHC Nomor 19 Tahun 2002 yang mengenai “Hak Cipta atas Ciptaan yang
8
Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Terhadap Pengetahuan Tradisional, http://alsaindonesia.org/site/perlindungan-hak-atas-kekayaan-intelektual-terhadappengetahuan-tradisional-2/, Diakses 25 Juni 2012. 9
Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Perlindungan Pengetahuan tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional, www.budpar.go.id/userfiles/file/Art_11_Konsinyering%20WBT%20710.pdf, Diakses 10 Maret 2013, hal.5.
6
Penciptanya Tidak Diketahui”. Dalam ketentuan Pasal 10 tersebut tampak bahwa cerita rakyat merupakan bagian dari kebudayaan daerah yang hak ciptanya dipegang oleh negara. Namun pada kenyataannya, cerita-cerita rakyat masih belum
mendapat
perlindungan
bahkan
sampai
saat
ini
belum
ada
pendokumentasian yang layak bagi cerita-cerita rakyat tersebut. Pasal 10 sesungguhnya ditujukan secara khusus untuk melindungi budaya penduduk asli. Namun bagi masyarakat tradisional akan mendapatkan kesulitan untuk menggunakannya demi melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa alasan. Pertama, kedudukan Pasal 10 UUHC belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UUHC. Kedua, suku-suku etnis atau suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan gugatan terhadap orang-orang asing yang mengekploitasi karya-karya tradisional tanpa seizin pencipta karya tradisional, melalui Negara cq. Instansi terkait.10 Dilema antara tuntutan perlindungan hak cipta atas budaya daerah dalam hal ini cerita rakyat dan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang memadai dalam memberikan perlindungan mengakibatkan keberadaan cerita rakyat
semakin
terancam
dieksploitasi
oleh
pihak-pihak
yang
hanya
mementingkan nilai ekonomi saja tanpa memperdulikan nilai moral yang ada. Masyarakat Indonesia yang kental dengan budaya komunal belum memandang
10
Tim Lindsey, dkk., 2004, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Cetakan ke-3, PT. Alumni, Bandung, hal.267.
7
penting adanya perlindungan bagi buah karya mereka. Bagi mereka cerita-cerita rakyat tersebut hanya bagian dari keseharian mereka yang tumbuh dan berkembang dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut tanpa mereka ketahui siapa penciptanya dan biasanya tidak terdokumentasi. Bagi kakek dan nenek, cerita-cerita rakyat tersebut hanya dongeng sebelum tidur bagi cucu mereka dengan harapan cucu mereka bisa mengambil pelajaran dan hikmah baik dari tiap dongeng yang di sampaikan. Bagi mereka tidak pernah terbersit di benaknya bahwa cerita-cerita yang mengandung nilai philosofi tentang kebaikan, nilai-nilai moral, ekonomi dan hubungan sosial tersebut, yang mereka sampaikan kepada anak cucunya sesunguhnya bisa mendapatkan perlindungan hukum jika dikaji dari perspektif hak cipta. Cerita-cerita rakyat tersebut berhak atas perlindungan hukum untuk menyelamatkan dari usaha eksploitasi dan plagiasi yang dilakukan oleh individu atau negara lain. Perlindungan terhadap karya-karya tradisional khususnya cerita rakyat menjadi semakin penting mengingat dalam perkembangannya tidak jarang ceritacerita tersebut diangkat menjadi seni pertunjukkan lain seperti film pendek, sendratari, drama radio, pementasan budaya, dan pertunjukkan seni lainnya. Perkembangan stasiun televisi yang semakin banyak saat ini juga menjadi salah satu media untuk mengekspose karya-karya tradisional yang ada tidak hanya dalam lingkup nasional tetapi juga hingga lingkup internasional. Pada saat karyakarya cerita tradisional tersebut dituangkan dalam wujud yang berbeda,
8
perlindungan kepemilikkannya menjadi semakin penting, mengingat bahwa menurut UUHC, siapapun yang menghasilkan suatu karya berhak mendapatkan perlindungan. Pada saat cerita rakyat dituangkan dalam wujud yang berbeda seperti film misalnya, di dalamnya akan muncul orisinalitas lain seperti efek suara, yang menimbulkan pertanyaan siapa pemilik hak ciptanya. Namun demikian dalam UUHC Nomor 19 Tahun 2002 hanya terdapat satu pasal yang menentukan perlindungan ciptaan atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional serta folklor yaitu Pasal 10. Itu pun tidak ada pengaturan lebih lanjut. Sebab Pasal 10 ayat (4) menghendaki adanya Peraturan Pemerintah sebagai pengaturan lebih lanjut terhadap hak cipta yang dipegang oleh negara. Sementara itu, pendelegasian pengaturan dengan Peraturan Pemerintah tersebut tidak dilakukan hingga saat ini sehingga tidak ada ketentuan hukum yang dapat digunakan sebagai instrument untuk memberikan perlindungan hukum terhadap ciptaan karya tradisional dan folklor. Hal itu berarti terjadi kekosongan norma atau ketiadaan norma atas perlindungan karya cipta tersebut. Selain itu, di dalam Pasal 10 juga terdapat permasalahan kekaburan norma, yakni: pertama mengenai apakah orang Indonesia yang akan mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang termasuk kekayaan tradisional dan folklor harus terlebih dahulu mendapat izin sebagaimana halnya jika itu dilakukan oleh orang asing. Kedua, sipakah yang dimaksudkan dengan instansi terkait yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin untuk mengumumkan atau
9
memperbanyak ciptaan berupa karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional serta folklor. Di dalam Pasal 1 UUHC, yang merupakan interpretasi otentik atas konsep-konsep yang digunakan di dalam Batang Tubuh UUHC, tidak ada menentukan batasan pengertian instansi terkait. Penjelasan Pasal 10 menyatakan cukup jelas norma pada ayat (1), (3) dan (4). Penjelasan ayat (2) menegaskan mengenai tujuan melindungi dan pengertian serta ruang lingkup folklor. Jadi, tidak ada penjelasan mengenai siapa instansi terkait dan apakah diperlukan izin oleh orang Indonesia yang akan mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang termasuk kekayaan tradisional dan folklor. Karena itulah menarik untuk dikaji secara normatif terhadap ketentuan UUHC Nomor 19 Tahun 2002, khususnya ketentuan Pasal 10 sebagai suatu penelitian tesis mengenai perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan khususnya dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini, sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional dalam dimensi hak cipta?
10
2.
Bagaimanakah perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik baik nasional maupun internasional?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Begitu banyaknya karya cipta milik bangsa Indonesia yang merupakan ekpresi budaya tradisional khususnya cerita rakyat, menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang kreatif dan tidak henti berkarya serta tidak mementingkan sisi komersial dari karya mereka. Hal itu justru menjadi kelemahan bangsa ini. Sistem komunal yang kental membuat bangsa ini sering mengalami pelanggaran hak cipta. Hasil-hasil ciptaan yang merupakan budaya daerah seperti cerita rakyat tidak terdata dengan baik. UUHC merupakan instrumen yang penting dalam memberikan perlindungan terhadap semua hasil karya cipta rakyat yang berkaitan dengan budaya daerah khususnya cerita rakyat. Namun akan menjadi persoalan apabila instrumen yang seharusnya bisa memberikan perlindungan ternyata didalamnnya tidak terdapat aturan yang jelas, bahkan tidak mengatur lebih lanjut mengenai perlindungan budaya daerah. Untuk membatasi kajian ini, maka ruang lingkupnya akan terbatas pada perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekpresi budaya tradisional dan perlindungan hukum terkait kepemilikan cerita rakyat yang
11
dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan melalui media elektronik baik nasional maupun internasional. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. 1.4.1. Tujuan Umum. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisa mengenai Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik. 1.4.2. Tujuan Khusus. Melalui pemaparan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat diketahui yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1
Untuk menganalisis mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional dalam dimensi hak cipta.
2
Untuk menganalisis mengenai perlindungan hukum terkait kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan melalui media elektronik baik nasional maupun internasional.
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
12
1.5.1. Manfaat Teoritis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang HKI. 1.5.2. Manfaat Praktis. Manfaat praktis dari penelitian ini bagi para pembentuk peraturan perundang-undangan bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran agar dalam membentuk peraturan prundang-undangan di masa yang akan datang dalam bidang HKI khususnya hak cipta lebih memperhatikan kepentingan masyarakat dimana peraturan perundang-undangan tersebut akan diterapkan. Demikian pula dalam meratifikasi perjanjian internasional, hendaknya lebih memperhatikan budaya hukum masyarakat negara peratifikasi sehingga ratifikasi perjanjian internasional tersebut dapat diterapkan secara optimal. Bagi masyarakat khususnya pencipta, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam peningkatan kesadaran para pencipta yang ada di Indonesia untuk mendaftarkan ciptaannya. Dengan demikian, buah karya yang dihasilkan dari daya inovasi dan kreativitas tersebut membuahkan hasil berupa insentif dan konstribusi nilai ekonomis bagi penciptanya. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat lebih memacu kinerja pemerintah untuk membuat daftar karya-karya tradisional yang Penciptanya telah
13
tiada atau tidak diketahui penciptanya, sehingga klaim karya tradisional oleh pihak lain – negara lain tidak terjadi. Selain itu, diharapkan hasil penelitian ini sebagai masukan terhadap materi muatan regulasi atas perlindungan karya-karya tradisional yang akan dibentuk oleh pemerintah sehingga regulasi tersebut akomodatif bagi tumbuh kembangnya upaya penciptaan karya-karya inovatif lainnya. 1.6. Orisinalitas Tesis HKI merupakan hal baru bagi bangsa ini tetapi pergaulan dunia internasional membuat bangsa ini tidak bisa menghindar dan mengabaikannya begitu saja. Bangsa ini harus ikut meratifikasi berbagai ketentuan internasional tentang HKI termasuk didalamnya ketentuan tentang hak cipta. Berbagai masalah mengenai perlindungan hak cipta pun tidak luput dialami bangsa ini khususnya pelanggaran terhadap ekspresi budaya daerah yang merupakan warisan asli bangsa ini. Beberapa penelitian yang membahas mengenai hak cipta atas ekspresi budaya daerah antara lain: 1. Penelitian yang dilakukan oleh I Ketut Sandhi Sudarsana dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pertunjukan Karya Cipta Seni Tari Bali Yang Disakralkan. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut antara lain: a. Bagaimanakah pengaturan tentang Tari Bali yang disakralkan menurut Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta?
14
b. Apakah pertunjukan secara komersial terhadap Tari Bali yang disakralkan merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta? Penelitian tersebut spesifik membahas permasalahan pengaturan Tari Bali yang disakralkan sehingga ruanglingkup penelitiannya terbatas pada aspek pengaturan di dalam UUHC. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Anak Agung Sri Indrawati dengan judul Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Berkaitan Dengan Sistem Hak Kekayaan Intelektual. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitan tersebut antara lain: a. Apakah Pengetahuan Tradisional mendapat perlindungan dalam sistem Hak Kekayaan Intelektual? b. Bagaimana bentuk pengaturan bagi Pengetahuan Tradisional tersebut? 3. Penelitian yang dilakukan oleh Sadhiyaning Wahyu Arifani dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Atas Lagu Yang Tidak Diketahui Penciptanya. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut antara lain: a. Bagaimanakah pelaksanaan untuk menentukan pemegang Hak Cipta atas lagu yang tidak diketahui penciptanya menurut Undang-undang Hak Cipta di Indonesia? b. Bagaimanakah perlindungan terhadap Hak Cipta lagu yang tidak diketahui penciptanya oleh Undang-undang Hak Cipta di indonesia?
15
c. Upaya apakah yang ditempuh untuk penegakan hukum terhadap pelanggaran terhadap Hak Cipta atas lagu yang tidak diketahui penciptanya? Berdasarkan beberapa penelitian tersebut di atas, belum ada yang membahas permasalahan mengenai “Perlindungan Hukum Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan dalam Bentuk Pertunjukkan Seni Melalui Media Elektronik”. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut. 1.7. Landasan Teoritis Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi akan mendorong semakin tingginya tingkat peradaban manusia. Hal itu ditandai dengan munculnya penemuan-penemuan teknologi, karya cipta sastra dan seni, cerita dan image dan lain sebagainya. Dengan diratifikasinya persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) dalam Undang-Undang No.7 tahun 1994, Indonesia tidak hanya mempunyai kewajiban mengatur HKI dalam hukum nasional, melainkan juga harus menyesuaikan dengan ketentuan TRIPs dan menegakkannya secara konsisten serta memberikan perlindungan secara maksimal. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang antara lain dapat terdiri dari buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato,
16
dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta.11 Hak cipta besifat originality dan individuality. Hak cipta diperoleh tanpa harus mendaftarkan, karena hak cipta besifat automatic protection.12 Menurut UUHC dalam Pasal 1 angka (1) Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasanpembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemegang Hak Cipta menurut ketentuan Pasal 1 angka (4) UUHC adalah pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima tersebut. Ada dua subjek (pemegang) hak cipta, subjek yang pertama adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama menciptakan sesuatu berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Subjek hak cipta yang kedua adalah pihak-pihak yang menerima hak cipta dari pencipta; atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak cipta dari pihak yang menerima hak cipta itu. Subjek hukum ini berupa badan hukum atau bahkan negara, jika objek hak ciptanya (ciptaannya) adalah karya-karya peninggalan prasejarah, sejarah, benda
11
Tim Lindsey, dkk., Op.Cit., hal.6.
12
Endang Purwaningsih, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi, Cetakan Ke-I, CV. Manda Maju, Bandung, hal. 35.
17
budaya nasional lainnya, folklore, hasil kebudayaan yang menjadi milik bersama dan ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan.13 Hak cipta yang melindungi ide yang telah berwujud dan asli. Ide yang mendapatkan perlindungan hak cipta hanyalah ide yang diformulasikan dalam bentuk tertentu dan bersifat original. Dengan demikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa adanya suatu bentuk nyata dan berwujud (expression) dan sesuatu yang berwujud itu adalah asli (original) atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta.14 Dalam UUHC ciptaan yang mendapat perlindungan diatur dalam Pasal 12 UU No.19 tahun 2002 yaitu melindungi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Yang dilindungi dalam hak cipta adalah haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut.15 Sebagai hak ekslusif (exclusive rights), Hak Cipta mengandung dua esensi hak, yaitu: hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Kandungan hak ekonomi meliputi hak untuk mengumumkan (performing rights) dan hak memperbanyak (mechanical rights). Ada pun hak moral meliputi hak
13
Haris Munandar, dkk, 2008, Mengenal Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek Dan Seluk-beluknya, Erlangga, Jakarta, hal.16. 14
Otto Hasibuan, 2008, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Bagi Hak Cipta Lagu, Neigbouring Rights, Dan Collecting Society, PT. Alumni, Bandung, hal.66. 15
Oka Saidin, 2007, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Edisi Revisi 6, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.55.
18
pencipta untuk dicantumkan namanya dalam ciptaannya, termasuk judul atau pun anak judul ciptaan.16 Sementara itu Traditional Culture Expresions menurut Dokument WIPO (World Intelectual Property Organization) sebagai berikut: “... bentuk apapun, kasat mata maupun tak kasat mata, di mana pengetahuan dan budaya tradisional diekspresikan, tampil atau dimanifestasikan dan mencakup bentuk-bentuk ekspresi atau kombinasi berikut ini...”17 Ekspresi budaya tradisional merupakan cara hidup bangsa Indonesia, yang mengajarkan tradisi, kearifan, nilai-nilai, pengetahuan komunal, yang di kemas dan diturunkan kepada anak cucu melalui hikayat, legenda, kesenian, dan upacara yang berangsur-angsur membentuk norma sosial dan tata hidup bangsa Indonesia.18 Dengan demikian, norma-norma sosial dan tata hidup bangsa Indonesia
itu
sejatinya
merupakan
ekspresi
budaya
tradisional
yang
dimanifestasikan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Di Indonesia perlindungan atas ciptaan tradisional ditentukan dalam Pasal 10 UUHC No.19 tahun 2002 bahwa:
16
Henry Soelistyo, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT. RajagrafindoPersada, Jakarta,
hal.47 17
Afrillyanna Purba, 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, hal. 94-95. 18
Penelitian Hukum Perlu Regulasi: Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Di Jawa Barat,www.depkumham.go.id/berita-kanwil/go-kanwil-jawa-barat/964-penelitian-hukum-perluregulasi--perlindungan-ekspresi-budaya-tradisional-di-jawa-barat, Diakses 15 April 2013.
19
(1). Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (2). Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita rakyat, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (3). Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tersebut pada ayat (2), orang yang bukan Warga Negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi terkait dalam masalah tersebut. (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 10 tersebut di atas dengan tegas memberikan perlindungan terhadap ciptaan tradisional yang dilindungi terutama Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Upaya perlindungan dilakukan dengan cara negara memegang hak cipta tersebut dan pengumuman serta penggandaan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari negara. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut tentang hak cipta yang dipegang negara atas Pengetahuan Tradisional, sebagaimana ditentukan pada ayat (4) belum ada hingga saat ini. Perlindungan mengenai karya cipta yang dialihwujudkan (derivative work) atau karya turunan diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf l. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Pasal 12
20
ayat (2) menyebutkan bahwa karya cipta yang dialihwujudkan mendapatkan perlindungan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. Pasal 12 tersebut di atas menentukan secara limitatif mengenai pengalihwujudkan
hak
cipta
yang
mendapatkan
perlindungan,
yakni
pengalihwujudkan dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Hal itu berarti bahwa pengalihwujudkan ke bentuk lain selain yang ditentukan tersebut berada di luar ruanglingkup Pasal 12 sehingga belum ada regulasi yang memberikan perlindungan hukum terhadap pengalihwujudkan tersebut. Namun dalam tesis ini dibatasi hanya pada perlindungan hukum cerita yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik. Permasalahan perlindungan hukum cerita yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik dikaji dengan mempergunakan teori Perlindungan Terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood, Teori Hukum Alam (Natural Right Theory) oleh John Locke, dan Doktrin Penggunaan Yang Pantas (Fair Use) oleh Paul Goldstein. Robert M. Sherwood mengemukakan bahwa terdapat berbagai teori yang mendasari perlunya suatu bentuk perlindungan hukum bagi HKI. Teori yang pertama yang dikemukakanya adalah Reward Theory yang memiliki makna yang sangat mendalam berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah
21
dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual tersebut.19 Jadi pengakuan dan perlindungan
terhadap
HKI
merupakan
suatu
penghargaan
kepada
penemu/pencipta atau pendesain atas karya intelektual yang sudah dihasilkan. Teori lain yang sejalan dengan Reward Theory adalah Recovery Theory yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penemu/pencipta/pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektual harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut.20 Jadi pengakuan dan perlindungan atas HKI tersebut dimaksudkan untuk memulihkan kembali segala pengeluaran biaya, tenaga dan waktu yang terjadi dalam upaya yang telah dilakukan untuk menghasilkan karya intelektual. Teori lain yang juga sejalan dengan teori reward adalah Incentive Theory. Teori ini
mengaitkan
pengembangan
bagi
kreativitas
dengan
memberikan
insentif
para
penemu/pencipta/ atau pendesain tersebut. Bedasarkan teori ini insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna.21 Teori insentif memposisikan HKI sebagai motivator meningkatkan
19
Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta, hal.44. 20
Ibid., hal.45.
21
Ibid.
22
aktivitas penemuan atau penciptaan karya intelektual yang bermanfaat bagi umat manusia. Ketiga teori tersebut di atas pada intinya memiliki visi yang sama berupa pemberian penghargaan kepada penemu/pencipta dan pendesain atas karya intelektual yang telah dihasilkannya. Dalam perkembangannya pemberian penghargaan tersebut harus dikaitkan dengan upaya untuk menciptakan iklim kondusif agar masyarakat tetap kreatif, sebab penghargaan yang tidak memadai, yang tidak sepadan dengan daya yang diperlukan untuk berkreativitas, maka akan membunuh kreativitas masyarakat itu sendiri.22 Teori keempat yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood adalah Risk Theory. Teori ini mengakui HKI merupakan suatu hasil kerja yang mengandung resiko. HKI yang merupakan hasil dari suatu penelitian mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya sehingga dengan demikian adalah wajar untuk memberikan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut.23 Berdasarkan teori perlindungan HKI di atas jelas bahwa perlindungan terhadap hasil karya cipta seseorang adalah mendapat pengakuan karena dalam
22
Ibid.
23
Ibid.
23
setiap karya yang diciptakan tertuang ide intelektual seseorang untuk menciptakan suatu karya. Sebab untuk menghasilkan suatu karya tersebut diperlukan pengorbanan waktu, biaya serta tenaga. Maka dari itu diperlukan adanya penghargaan terhadap pencipta guna merangsang pencipta untuk lebih giat dan kreatif dalam menciptakan karya-karya berikutnya. Selain itu perlindungan juga diperlukan mengingat bahwa dalam setiap penciptaan karya intelektual, terdapat resiko bagi si pencipta dimana selama proses penciptaannya, pihak lain dapat saja menirunya.
John Locke mengemukakan bahwa hak atas property lahir dan ada karena adanya usaha dan pengorbanan waktu dan tenaga yang telah diberikan dan diinvestasikan untuk menghasilkan property tersebut. Oleh karena itu lahirlah hak yang melekat pada karya intelektual sebagai hasil investasi kreatif seseorang (Creative people have an inherent right to their intellectual property because of the labour they have invested in it).24 Manusia secara alamiah memiliki dorongan dalam dirinya atas kepemilikan atau hak atas sesuatu bahkan dari sejak hal tersebut masih berupa suatu ide dalam pikirannya. Dalam konsep hak cipta yang mendapat perlindungan adalah ide yang sudah berwujud. Dengan demikian semakin menegaskan bahwa
24
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2011, Hak Kekayaan Intelektual Dan Harmonisasi Hukum Global (Rekonstruksi Pemikiran Terhadap Perlindungan Program Komputer), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.47.
24
Pencipta memiliki hak atas ciptaaannya yang harus dilindungi. Karena sesuatu yang dihasilkan oleh Pencipta adalah haknya bahkan sejak masih berupa suatu ide.25 Doktrin yang menjadi dasar perlindungan hak cipta adalah doktrin penggunaan yang pantas atau fair use. Menurut Paul Goldstein, di Amerika Serikat, sejarah doktrin ini panjang, bermula dari putusan Hakim Joseph Story. Doktrin fair use mengandung pengertian bahwa penggunaan yang pantas adalah pemberian izin kepada pihak masyarakat untuk membuat salinan karya yang dilindungi hak cipta, jika dipakai untuk tujuan yang bermanfaat bagi masyarakat dan
pertimbangan-pertimbangan
dimaksudkan
untuk
lain
menyeimbangkan
yang antara
mendukungnya. kepentingan
Doktrin pencipta
ini dan
kepentingan masyarakat. Penggunaan secara wajar itu, antara lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan dan sebagainya.26 Doktrin fair use selain bertujuan melindungi juga memberikan kesempatan bagi pihak lain untuk mempergunakan suatu ciptaan untuk tujuan yang dibenarkan seperti halnya keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya
25
Thomas E. Davitt, 2012, Nilai-Nilai Dasar Di dalam Hukum Menganalisa ImplikasiImplikasi Legal-Etik Psikologi Dan Antropologi Bagi Lahirnya Hukum, Terjemahan Yudi Santosa, S.Fil, Cetakan I, Pallmal Yogyakarta, Yogyakarta, hal.32-33. 26
Muhamad Djumhana, 2006, Perkembangan Doktrin Dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.48-49.
25
ilmiah dan penyusunan laporan. Fair use dalam sebuah karya ilmiah, misalnya dengan tetap mencantumkan sumber atau penulis dari karya asli yang dikutip dalam sebuah karya tulis. Dengan tetap mencantumkan penulis aslinya, hak moral dari pencipta tetap diakui sekaligus wujud perlindungan hak cipta. Teori-teori tersebut menjadi justifikasi dari pentingnya perlindungan HKI khususnya cerita rakyat. Penghargaan serta pengakuan yang diberikan kepada pencipta merupakan upaya menumbuhkembangkan daya kreatifitas mereka sehingga mereka tidak akan merasa sia-sia telah mengasilkan sebuah karya. Perlindungan atas cerita rakyat bertujuan mencegah terjadinya penggunaan cerita tersebut secara ilegal yang menimbulkan kerugian bagi pencipta. Teori tersebut menjadi landasan hukum bagi perlindungan cerita rakyat sehingga pelanggaran terhadap cerita rakyat dapat dihindari atau diminimalisir. Melalui teori-teori inilah, muncul satu konsep perlindungan hukum terhadap ciptaan yang telah dilahirkan seorang penciptanya. Bisa dilakukan melalui perlindungan hak ekonominya atau perlindungan dalam hak moralnya atau juga bahkan keduanya. Perlu adanya perlindungan tersebut dilakukan untuk menjamin eksistensi dari sebuah ciptaan yang terlahir tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan teori-teori tersebut, maka perlu dilakukan sebuah upaya untuk
26
memproteksi hasil karya ciptaan dengan melalui satu sarana atau satu konsep tertentu.27 1.8. Metode Penelitian Metode penelitian hukum adalah suatu jalan yang ditempuh peneliti dalam suatu penelitian tertentu yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu.28 Metode penelitian menyajikan cara atau langkah-langkah dalam melakukan penelitian secara sistematis dan logis sehingga hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Secara garis besar metode penelitian tesis ini mencakup mengenai jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum. 1.8.1. Jenis Penelitian.
Sebagaimana diketahui, Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian, yakni penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum mengkaji dan menganalisis norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu.29 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori,
27
Arif Lutviansori, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal.16. 28
Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif¸ Bayu Publishing, Malang, hal.26. 29
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.13
27
sejarah, filosofis, perbandingan, struktur dan posisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya. Karena tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi, maka penelitian hukum normatif sering juga disebut “penelitian hukum dogmatik atau penelitian hukum teoritis” (dogmatic or theoretical law research).
30
Penelitian tesis ini merupakan penelitian hukum
normatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan jawaban terhadap permasalahan hukum yang diteliti yakni perlindungan hukum cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik. 1.8.2. Jenis Pendekatan. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan. Karena itu, peraturan perundang-undangan dijadikan sebagai obyek kajian dalam penelitian ini. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach) dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu jenis peraturan perundang-undangan dengan jenis yang lainnya atau
30
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.101-102.
28
antara regulasi dan undang-undang. Hasil telaah tersebut merupakan suatu argument untuk menghadapi isu yang dihadapi.31 Disamping itu, dalam penelitian tesisi ini digunakan juga pendekatan konseptual. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, akan diketemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsepkonsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang sedang diteliti. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi.32 1.8.3. Sumber Bahan Hukum. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan baik melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang merupakan hasil pengolahan orang lain yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku ilmiah atau dokumentasi. Dalam penelitian hukum terdapatdua jenis sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.33
31
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal.93.
32
Ibid.
33
Ibid.,hal.142
29
Stephen Elias mengemukakan bahwa all legal resources can be broken into two categories: primary and secondary sources.34 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.35 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian tesis ini yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (disingkat UUD 1945), Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Berne Convention, TRIPS Agreement, Copyright Law of The United States and Related Laws Contained in Title 17 of the United States Code. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.36 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah studi kepustakaan/studi dokumen. Penelitian dilakukan terhadap berbagai dokumen dan bahan-bahan hukum pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang 34
Stephen Elias, 2009, Legal Research How To Find And Understand The Law, Fifteenth Edition, Nolo, California, hal.22. 35
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit.,hal.141.
36
Ibid.
30
dibahas dalam penelitian ini. Bahan-bahan hukum yang ada seperti peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur dikaji dan ditelaah. Selanjutnya, hasil pengkajian tersebut dibuatkan ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian dokumen. 1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum. Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini, baik berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dianalisa dengan teknik deskripsi dan interpretasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunanya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.37 Sedangkan teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual dan lain-lain.38
37
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis, 2008, Studi Magister Ilmu Hukum,
38
Ibid
hal.14.
31
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA FOLKLOR YANG DIALIHWUJUDKAN (DERIVATIF WORK) DALAM MEDIA ELEKTRONIK
2.1. Hak Cipta Folklor 2.1.1. Pengertian Hak Cipta Dan Dasar Hukumnya. Masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya sangat sering menemukan istilah-istilah seperti hak cipta, hak paten, maupun merek. Istilah-istilah tersebut semakin sering muncul setelah terjadinya banyak tindak kejahatan seperti yang merupakan pelanggaran atas hak cipta, hak paten maupun merek. Istilah-istilah hak cipta, hak paten maupun merek bersumber dari satu konsep yaitu HKI. HKI secara sederhana berarti suatu hak timbul bagi hasil pemikiran yang menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi manusia. Hal ini timbul dari pemikiran sederhana bahwa apabila menikmati suatu hasil dari pemikiran orang lain, maka sudah sepantasnya terhadap orang tersebut diberikan imbalan atas hasil karyanya.39 Sementara itu, Mahadi mengatakan, HKI adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil rasio yang mana hasil 39
Haris Munandar dan Sally Sitanggang, 2008, Mengenal HAKI Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya, Erlangga, Jakarta, hal.2.
32
kerjanya adalah benda tidak berwujud. Hanya orang yang mampu saja yang dapat mempekerjakan otaknya untuk menghasilkan sesuatu yang disebut sebagai intellectual property rights.40 Dengan demikian pekerjaan untuk menghasilkan hak kekayaan intelektual bukanlah pekerjaan yang ringan sehingga tidak setiap orang mampu melakukan aktivitas hak kekayaan intelektual. HKI dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: hak cipta (copyrights) dan hak kekayaan industrial (industrial property rights). Di Indonesia hak kekyaan industrial dibagi menjadi beberapa sub jenis antara lain: paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varietas tanaman.
41
Menurut persetujuan TRIPs, HKI yang mendapatkan
perlindungan meliputi Hak Cipta dan hak-hak terkait (Copy Right and Related Right), Merek (Trade Mark), Indikasi Geografis (Geographical Indication), Desain Industri (Industrial Design), Paten (Patent), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design, Topographies of Integrates Circuit), Control of Anti Competitive Protection of Contractual Licences, Informasi yang dirahasiakan (Protection of Information).42
40
41
OK. Saidin, Op.Cit., hal.9 – 11. Haris Munandar dan Sally Sitanggang, Op.Cit., hal.3.
42
Budi Agus Riswandi dan Siti Sumartiah, 2006, Masalah-Masalah HAKI Kontemporer, Gitanagari, Yogyakarta, hal.12.
33
Penjelasan mengenai konsep HKI di atas jelas menyebutkan bahwa hak cipta (copyright) merupakan bagian dari HKI yang dilindungi. Konsepsi perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh sejak ditemukannya mesin cetak pada abad pertengahan di Eropa. Dengan kehadiran mesin cetak, karya-karya cipta dapat diperbanyak dengan mudah secara mekanikal; inilah yang menumbuhkan copyright. Dalam perkembangannya, perlindungan hukum ini mendapat kritik karena timbulnya anggapan bahwa yang mendapat perlindungan hanyalah penerbit, bukan penciptanya. Kritik ini berkembang atas dasar bahwa karya tersebut merupaka refleksi dari penciptanya, maka digantilah konsep copy rigth dengan author right. Hingga saat ini konsep perlindungan hak cipta tetap sama yaitu menitik beratkan pada pelindungan terhadap pencipta. Menurut hukum perdata barat, hak cipta termasuk dalam hak kebendaan yang tidak berwujud. Hak kebendaan adalah hak yang memberikan kekuasaan langsung pada seseorang yang berhak menguasai sesuatu benda dalam tangan siapapun benda tersebut berada. Hal ini menimbulkan hak kebendaan yang bersifat mutlak atas sesuatu benda.43 Pengertian lain tentang hak kebendaan menyebutkan secara lebih jelas bahwa hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan
43
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta, Hal.163-164.
34
dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.44 Jika dikaitkan dengan hak cipta, maka dapat dikatakan hak cipta merupakan bagian dari hak kebendaan. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 UUHC yang mengatakan bahwa Hak Cipta adalah hak khusus yang dimiliki oleh Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan natau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Jelaslah bahwa hak cipta hanya dimiliki oleh pencipta atau yang menerima hak. Artinya bahwa hanya pencipta dan penerima hak tersebut yang boleh mempergunakan hak cipta dan mendapat perlindungan dalam memepergunakan haknya dari pihak lain yang memanfaatkan haknya dengan cara yang tidak diperkenankan oleh hukum. Kententuan pidana dalam UUHC juga semakin menegaskan bahwa hak cipta dapat dipertahankan dari siapa saja yang mencoba mengganggu keberadaannya dan ini menunjukkan bahwa hak cipta merupakan hak yang absolut. Hak atas kepemilikan intelektual yang lahir dari daya kreasi dan inovasi intelektualitas manusia, dimana hak cipta dan hak milik intelektual merupakan hak atas kebendaan tidak berwujud atau immaterial, yaitu suatu hak kekayaan yang objek bendanya tidak berwujud. Semua benda yang objek hukumnya tidak dapat dilihat, diraba atau dipegang dapat digolongkan dalam hak kekayaan
44
Djaja S. Meliala, 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan II, Nuansa Aulia, Bandung, Hal.111.
35
immaterial.45 Untuk melihat kedudukan hak cipta sebagai bagian dari benda, dapat dilihat secara tersirat dalam ketentuan Pasal 499 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.46 Menurut ketentuan pasal ini hak cipta dapat dikategorikan sebagai benda karena dapat dijadikan objek hak milik. Seperti yang dikutip oleh Mahadi dari buku Pitlo yang menyatakan bahwa ada hak absolut yang objeknya tidak berwujud dan hak inilah yang dinamakan dengan hak milik intelektual.47 Ketentuan mengenai hak cipta benda tidak berwujud tertuang dalam UUHC Pasal 3 dan penjelasan Pasal 4 ayat (1). Pasal 3 menyatakan bahwa Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak. Sehingga dapat dialihkan sebagaimana sifat dari benda bergerak. Sementara penjelasan Pasal 4 secara eksplisit menentukan bahwa sifat dari Hak Cipta adalah suatu hak yang tidak berwujud dan manunggal dengan penciptanya. Berne Convention 1886 tidak merumuskan dalam pasal tersendiri tetang pengertian Hak Cipta. Pengertian hak cipta tersirat dalam rumusan Article 2, 3, 11 dan 13 yang isinya kemudian diserap dalam Auteurwets 1912 dalam Pasal 2 jo
45
OK. Saidin, Op.Cit., Hal.52.
46
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (penerjemah), 2002, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet.32, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Hal.157. 47
OK. Saidin, Op.Cit., Hal.53.
36
Pasal 10.48 Istilah hak cipta pertama kali diusulkan oleh Sutan Mohammad Syah pada Kongres Kebudayaan di Bandung pada tahnun 1951. Istilah tersebut kemudian diterima oleh kongres sebagai pengganti istilah hak pengarang yang diaganggap memiliki makna yang kurang luas dan memberikan penyempitan maksa, dimana yang cakupannya hanya pengarang dan hak bagi pengarang, sementara cakupan hak cipta lebih luas dari itu. Istilah hak cipta yang merupakan pengganti copy right yang artinya lebih luas dibanding dengan hak pengarang.49 Pasal 1 ayat 1 UUHC menyatakan: Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumunkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Auteurswet 1912 dalam Pasal 1 menyebutkan “hak cipta adalah hak tunggal atau hak yang mendapatkan hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusasteraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.50 Sementara itu, Universal Copyright Convention dalam Pasal V menyatakan sebagai berikut, “hak cipta meliputi hak tunggal si pencipta untuk
48
OK. Saidin, Op.Cit., Hal.61
49
Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual:Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, bandung, hal. 85. 50
BPHN, Seminar Hak Cipta, Bandung, Binacipta, 1976, hlm.44, dalam Oka Saidin, Op.Cit., hal.58-59.
37
membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini.51 Mencermati ketiga ketentuan tersebut di atas, ketiganya memberikan pengertian yang sama mengenai hak cipta. Dalam Auteurswet dan Universal Copyright Convention mempergunakan istilah hak tunggal yang melekat pada pencipta, sementara itu dalam UUHC mempergunakan istilah hak khusus bagi pencipta. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) UUHC di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak khusus atau hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya, dalam hal ini pencipta; tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin dari penciptanya. Istilah tidak ada pihak lain, memiliki pengertian yang sama dengan “hak tunggal” yang menunjukkan hanya pencipta yang memiliki hak ini. Inilah yang menunjukkan sifat eksklusif tersebut. Eksklusif berarti khusus, spesifikasi, unik. Keunikan ini sesuai dengan sifat dan cara melahirkan suatu ciptaan. Keunikan ini juga mempresentasikan originalitas suatu ciptaan atau temuan sehingga hak yang menjadi bawaannya itu hanya ada pada penciptanya dan mustahil diklaim sebagai ciptaan orang – pihak lain. Tidak semua orang dapat secara serta merta melahirkan suatu ciptaan, tidak semua orang dapat menjadi seniman yang kemudian melahirkan karya seni
51
Ibid., hal.59.
38
berupa tari, lagu maupun cerita karena dalam setiap ciptaan terdapat sifat dan keunikan sendiri dan proses penciptaannya. Namun untuk mendapat perlindungan, ciptaan tersebut harus dituangkan dalam suatu wujud, tidak cukup hanya berupa ide di alam pikiran pencipta. Seorang ilmuwan harus mewujudkan ciptaanya dalam sebuah buku, seniman menuangkan ciptaannya dalam wujud tari, lagu maupun cerita. Tanpa berwujud nyata, karya cipta tidak akan mendapat pelindungan. Hak cipta memiliki dua unsur penting yaitu, yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain seperti yang tertuang dalam Pasal 3 ayat (2). Dalam hak cipta terdapat hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun hak tersebut tetap melekat sekalipun hak cipta telah beralih, kecuali dengan persetujuan pencipta atau ahli warisnya seperti yang tertuang dalam kentuan Pasal 24 UUHC. Hak cipta juga memiliki hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari suatu ciptaan dan produk terkait. Sementara hak moral adalah hak yang melekat pada pencipta yang tidak dapat dihilangkan atau dihapuskan walaupun hak cipta telah dialihkan. Dengan demikian jelas bahwa hak ekonomi dapat dialihkan kepada pihak lain oleh pencipta sementara hak moral tetap melekat pada diri pencipta walaupun hak ekonominya telah beralih. Dengan hak ekonomi, pencipta dapat mengeksploitasi ciptaanya guna mendapatkan manfaat ekonomi, sementara hak moral adalah manunggal dengan penciptanya. Seseorang tidak dapat mengubah, atau mengganti
39
judul, isi apalagi penciptanya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan izin dari pencipta atau ahli warisnya jika pencipta telah meninggal dunia. 52 Article 6 Berne Convention mengatur tentang perlindungan hak moral dari Pencipta. Ditentukan bahwa pencipta tetap dapat menuntut kepemilikan atas karyanya sekalipun telah dialihkan kepada pihak lain apabila terhadap karyanya dilakukan perubahan maupun perubahan lain yang menghina kehormatan dari Pencipta berkaitan dengan karyanya. Dari ketentuan ini diketahui walaupun hak ekonomi sudah beralih dari pencipta kepada pihak – orang lain, namun hak moral tetap melekat dalam ciptaan tersebut yang memberikan hak kepada pencipta untuk tetap dihormati sebagai pencipta. Hak ini melekat pada ciptaan sepanjang hak ekonominya berlaku bahwa sampai setelah Pencipta meninggal dunia hingga saat ciptaan tersebut diwariskan kepada pihak lain. Pasal 1 ayat (3) UUHC merumuskan ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Dari rumusan tersebut jelas bahwa yang mendapat perlindungan hak cipta adalah ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas inspirasi, gagasan, atau ide berdasarkan kemampuan dan kreativitas pikiran, imajinasi, kecekatan dan keterampilan pencipta. Ciptaan juga harus dituangkan dalam bentuk yang berwujud dan menunjukkan keaslian untuk mendapatkan
52
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 112.
40
perlindungan hak cipta. Hak cipta tidak melindungi gagasan atau ide yang belum berwujud. Ciptaan juga harus menunjukkan keaslian, tidak meniru ciptaan orang lain dan merupakan refleksi diri penciptanya. Apabila suatu ciptaan telah memenuhi unsur keaslian dan kreativitas, cerasa otomatis ciptaan tersebut akan mendapat perlindungan. 2.1.2. Subjek dan Objek Hak Cipta. Pasal 1 ayat (4) UUHC menentukan secara inklusif mengenai subyek hak cipta. Di sana ditentukan bahwa pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Dengan demikian, yang menjadi subjek hak cipta adalah pencipta. Sebagai subjek hak cipta, terhadapnya melekat hak dan kewajiban. Dalam ilmu hukum, subjek hukum adalah terjemahan dari bahasa Belanda recthssubject yang dalam bahasa Inggris disebut legal person untuk menunjukkan sesuatu yang mempunyai hak. Dalam perkembangannya pengertian legal person menjadi sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban. Subjek hukum dibedakan menjadi manusia dan bukan manusia atau badan hukum, sehingga di dalam bahasa Inggris disebut legal person.53
53
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, Hal. 241 – 243.
41
Pencipta merupakan pemegang dari hak cipta itu sendiri dan atas diri Pencipta melekat hak dan kewajiban berkaitan dengan hak cipta tersebut. Dengan kata lain pemegang hak cipta adalah pencipta itu sendiri atau pihak lain yang menerima hak dari pencipta. Pasal 1 ayat (2) UUHC merumuskan Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. UUHC menggolongkan pemegang hak cipta terdiri dari: 1. Pencipta. Pencipta adalah otomatis pemegang dari hak cipta, pemilik hak cipta itu sendiri, sedangkan yang menjadi pemegang hak cipta tidak harus penciptanya, tetapi bisa pihak lain yang menerima hak tersebut dari pencipta. 2. Lembaga atau Instansi Pemerintah. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUHC menyebutkan bahwa yang menjadi pemegang hak cipta dalam ikatan instansi pemerintah adalah instansi pemerintah yang untuk dan dalam dinas pegawai negeri sipil ciptaan itu dikerjakan, dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas. 3. Pagawai swasta.
42
Seorang pegawai perusahaan swasta dianggap sebagai pencipta dan pemegang sebuah ciptaan apabila dalam hubungan kerja menciptakan suatu ciptaan, kecuali diperjanjikan lain diantara kedua belah pihak (Pasal 8 ayat 3). 4. Pekerja Lepas Hak cipta yang dibuat berdasarkan suatu pesanan, penciptanya adalah pemilik hak cipta dan pemegang hak cipta atas ciptaan tersebut. Kecuali diperjanjikan lain oleh kedua belah pihak. Biasanya perusahaan yang memesan ciptaan dari pencipta dapat memanfaatkan dan mengekploitasi ciptaan tersebut sesuai dengan tujuan dibuatnya ciptaan tersebut. 5. Negara Negara sebagai pemegang hak cipta ditentukan dalam Pasal 10 UUHC, sebagai berikut: (1). Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. (2). Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyatyang menjadi milik bersama, cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Badan Hukum Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa suatu ciptaan berasal dari badan hukum tersebut tanpa menyebutkan seseorang sebagai penciptanya,
43
maka badan hukum tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika terbukti sebaliknya (Pasal 9 UUHC).
Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan yang diatur dalam ketentuan ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus mendapatkan izin dari instansi yang terkait dengan masalah tersebut. Objek hak cipta adalah ciptaan itu sendiri. Berne Convention memberikan perlindungan pada ciptaan-ciptaan karya tertulis seperti buku dan laporan, musik, karya drama seperti sandiwara dan koreografi, karya seni seperti lukisan, gambar dan foto, karya arsitektur, karya sinematografi seperti film dan video. Selain itu perlindungan juga diberikan pada karya adaptasi seperti terjemahan karya tulis dari satu bahasa ke bahasa lain, karya adaptasi dan aransemen music serta kumpulan seperti ensiklopedia dan antologi.54 Pasal 12 UUHC menentukan ciptaan yang mendapat perlindungan hak cipta antara lain: (1). Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. lagu dan musik dengan atau tanpa teks; e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim; 54
Tim Lindsey, dkk, Op.Cit., Hal.99.
44
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. arsitektur; h. peta; i. seni batik; j. fotografi; k. sinematografi; l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. (2). Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. (3). Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu. Dengan demikian jelas ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan yang terbatas pada ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang memiliki wujud nyata, dapat dilihat, dibaca atau didengar juga. 2.1.3. Folklor Sebagai Salah Satu Wujud Ciptaan. Upaya perlindungan atas Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (selanjutnya disingkat menjadi PTEBT) semakin mendapat perhatian semenjak munculnya berbagai sengketa kepemilikan PTEBT oleh negara lain. Misalnya sengketa antara Indonesia dengan Malaysia atas kepemilikan PTEBT Indonesia antara lain tari Pendet Reog Ponorogo dan lagu Rasa Sayange yang dipergunakan Malaysia dalam iklan pariwisata budayanya. PTEBT merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia karena di
45
dalamnya terkandung tradisi, kearifan, nilai-nilai, pengetahuan komunal yang dikemas dan diturunkan ke anak cucu melalui hikayat, legenda, kesenian, upacara, yang lama-kelamaan membentuk Norma Sosial dan tata kehidupan bangsa Indonesia. Hilangnya PTEBT berarti hilang pula Norma Sosial dan tradisi bangsa yang dapat menggiring bangsa yang multi etnik ini kearah perpecahan yang timbul di antara komunitas-komunitas yang ada.55 Perlindungan atas PTEBT tidak hanya menjadi tututan Indonesia semata, melainkan sudah memasuki ranah internasional. Hal itu dapat dilihat dari pembahasan mengenai perlindungan PTEBT juga sudah menjadi pembahasan di dunia internasional. Banyaknya pemanfaatan PTEBT secara tidak hormat oleh negara-negara
maju
memberikan dampak
merugikan bagi
negar-negara
berkembang. Contoh pemanfaatan yang merugikan PTEBT tersebut antara lain produksi benda kerajinan adat yang tidak sah di pasar souvenir, penggunaan pakaian adat daerah tertentu yang tidak mengindahkan kepentingan masyarakat lokal, produk makanan, atau mainan, penggunaan yang tidak sah dari nama asli atau frase sebagai merek dagang, penggunaan yang tidak sah atas tari tradisional menjadi pertunjukkan komersial, dan penggunaan yang tidak sah dari musik tradisional dalam produksi musik komersial.
55
Afifah Kusumadara, 2011, Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan Intlektual, Jurnal Hukum: Vol.18 Januari. No.1., Malang.
46
Modul 8 tentang Traditional Knowledge diterangkan bahwa yang dimaksudkan dengan traditional knowlegde is generally understood to encompass four types of creative works: verbal expressions, musical expression, expressions by action, and tangible expression.56 Istilah Pengetahuan Tradisional (selanjutnya disingkat menjadi PT)
digunakan bergantian dengan EBT, dimana keduanya
merujuk pada musik, seni, desain, nama, tanda-tanda dan simbol-simbol, pertunjukkan, bentuk arsitektur, kerajinan dan narasi. EBT merupakan bagian integral dari identitas budaya dan sosial masyarakat adat dan lokal yang merupakan perwujudan dari pengetahuan dan keterampilan masyarakat lokal dan terdapat nilai-nilai inti dan keyakinan di dalamnya. Rancangan Undang-Undang PTEBT mendefinisikan PT sebagai karya intelektual di bidang pengetahuan dan teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan, dikembangkan dan dipelihara oleh komunitas atau masyarakat
tertentu.
Ekpresi
Budaya
Tradisional
dipergunakan untuk mengganti istilah folklor. Ekpresi Budaya Tradisional didefinisikan sebagai karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi sastra yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan,
56
Module
8:
Traditional
Knowledge,
Available
at
http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional_Knowledge, Accessed 21 February 2014.
47
dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas masyarakat tertentu.57 Jika PT merupakan karya itelektual dalam bidang pengetahuan dan teknologi yang memilik warisan budaya, makan EBT adalah karya intelektual dalam bidang seni termasuk sastra yang memiliki karakteriktik budaya di dalamnya. Pertemuan WIPO dan UNESCO pada pertengahan tahun 1980-an mendefinisikan EBT (folklor) sebagai berikut: Folklore (in the broader sense, traditional and popular folk culture) is a group-oriented and tradition-based creation of groups or individuals reflecting the expectations of the community as an adequate expression of its cultural and social identity; its standards are transmitted orally, by imitation or by other means. Its forms include, among others, language, literature, music, dance, games, mythology, rituals, customs, handicrafts, architecture and other arts.58 Melalui definisi tersebut dijelaskan bahwa folklor adalah hasil kreasi kelompok masyarakat tertentu yang terinspirasi dari tradisi kelompok atau individu dimana di dalamnya terdapat identitas budaya dan sosial dari kelompok masyarakat tersebut yang biasanya disampaikan secara lisan, imitasi ataupun dengan cara lain yang bentuk-bentuknya meliputi bahasa, sastra, tari, musik, permainan, mitologi, ritual, adat-istiadat, kerajinan, aritekstur dan seni lainnya. Penjelasan Pasal 10 ayat (2) dijelaskan bahwa folklor merupakan bagian dari ciptaan mendapat perlindungan. Dalam upaya melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau
57
Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan Dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional. 58
Anonim, Protecting Traditional Cultural Expressions: The International Dimension, Available at http://www.copyright.bbk.ac.uk/contents/workshops/blakem.pdf, Accessed 28 February 2014.
48
komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai pemegang hak cipta. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat
oleh
sekelompok
maupun
perorangan
dalam
masyarakat,
yang
menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun-temurun, termasuk: a. Cerita rakyat, puisi rakyat; b. Lagu-lagu rakyat dan musik instrument tradisional; c. Tari-tarian rakyat, permainan tradisional; d. Hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran-ukiran, pahatan, mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional. Dengan demikian folklor sudah mendapat perlindungan dalam UUHC. Menurut Pasal 30 UUHC menyatakan bahwa folklor yang hak ciptanya dipegang oleh negara berlaku tanpa batas dan bagi orang yang bukan warga negara harus terlebih dahulu mendapatkan izin untuk memanfaatkannya. Pasal 2 paragraf viii Agreement Established the World Intellectual Property Organization antara lain menyebutkan yang dimaksud dengan HKI adalah “... and all rights resulting from intellectual activity in the industrial, scientific, literary, or artistic fields”. Sebagian pihak berpendapat bahwa frasa
49
tersebut mengandung pengertian memberi ruang kepada karya-karya yang dihasilkan melalui kekuatan pemikiran di luar dari yang sudah ada.59 Convention on Biological Diversity (selanjutnya disingkat menjadi CBN) dalam Padal 8 (j) merumuskan bahwa: … subject to its national legislation, respect, preserve and maintain knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity and promote their wider application with the approval and involvement of the holder of such knowledge, innovations and practices and encourage the equitable sharing of the benefits arising from the utilization of such knowledge, innovations and practices.60 Pengetahuan tradisional merupakan konsep kunci yang terdapat dalam rumusan tersebut dimana dalam Pasal 8 (j) ditekankan pentingnya peran pengetahuan tradisional. Pembentukan Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic Resources Traditional Knowledge and Floklore
(selanjutnya
disingkat menjadi IGC GRTKF) oleh WIPO yang telah melakukan sidang sebanyak 18 sesi sejak tahun 2001 hingga saat ini. IGC GRTKF adalah sebuah forum perlindungan untuk mencari kesepakatan mengenai pengaturan yang paling
59
Basuki Antariksa, Op.Cit., hal.1.
60
Convention On Biological Diversity 5 June 1992, hal. 6.
50
tepat mengenai perlindungan PT dan EBT, termasuk sumber daya genetik, pada tingkat internasional.61 2.1.4. Sistem Perlindungan Cerita Rakyat Sebagai Wujud Folklor. Berne Convention dalam Article 1 menyatakan bahwa the countries to which Convention applies constitute a Union for the protection of the right of authors in their literary and artistic works. Jelas tampak bahwa negara-negara yang menerapkan Berne Convention memberikan perlindungan pada Pencipta dari karya-karya sastra dan karya artistik. Berne Convention tidak memberikan pengertian hak cipta, tetapi dalam Article 2 (1) diberikan penjelasan yang tergolong dalam ekspresi dari literary and artistic works yang di dalamnya antara lain termasuk semua hasil produksi dalam bidang sastra, ilmiah dan artistik seperti buku, pamphlet dan karya tulis lainnya. Lebih lanjut dalam Article 2 (2) disebutkan bahwa perlindungan atas hak cipta hanya diberikan kepada karya yang telah tertuang dalam suatu wujud tertentu misalnya sebuah buku atau drama. Perlindungan hak cipta tidak melindungi sebuah ide. UUHC tidak menyebutkan secara gamblang dalam pasal tersendiri bahwa suatu karya harus tertuang dalam wujud atau bentuk tertentu untuk mendapatkan pelindungan hak cipta. Tidak dituangkan dalam ketentuan tersendiri bahwa hak cipta tidak melindungi ide sebagaimana yang menjadi persyaratan
61
Basuki Antariksa, Op.Cit., hal.2.
51
perlindungan hak cipta yang terdapat dalam Berne Convention Article 2 (3). Namun dalam penjelasan Pasal 7 UUHC yang berkaitan dengan Pencipta atas suatu rancangan yang dikerjakan dan diwujudkan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka yang disebut penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan itu. Dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa perancang disebut pencipta apabila rancangannya itu dikerjakan secara detail menurut desain yang sudah ditentukan dan tidak sekedar gagasan atau ide saja. Dengan demikian, seseorang yang memiliki rancangan tetapi masih berupa gagasan atau ide saja, tidak dapat disebut sebagai pencipta, maka secara otomatis, karyanya yang masih berupa gagasan atau ide, tidak dapat perlindungan hak cipta kecuali telah dituangkan dalam suatu bentuk nyata dan detail. Cerita rakyat sendiri jika dilihat dalam ketentuan Berne Convention Article 1 dan Article 2 (1) termasuk dalam bidang literary atau sastra. Sastra meliputi ekspresi yang dituangkan dalam bentuk tulisan “literary works covers: works which is expressed in print or writing, irrespective of question whether the quality or style is high”.62 Karena sifatnya yang biasanya berupa karya lisan, cerita rakyat tetap menjadi bagian dari karya sastra yang mendapatkan pelindungan dalam lingkup EBT seperti halnya karya sastra lain yang tertuang dalam bentuk tulisan. Konsep pelindungan atas cerita rakyat yang biasanya bersifat lisan telah menjadi satu perhatin dalam RUU PTEBT dalam Pasal 2 ayat 62
William Cornish dan David Llewelyn, 2003, Intellectual Property: Patens, Copyright, Trade Marks, and Allied Rights, Fifth Edition, Sweet and Maxwell, London, hal.389.
52
(3) yang secara jelas menyebutkan bahwa yang teramasuk di dalam perlindungan PTEBT adalah karya verbal tekstual, baik lisan maupun tulisan. Perlindungan cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor telah dilakukan sejak berlakunya UUD 1945 yakni melalui Pasal 32 yang menyatakan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia dan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Dengan demikian perlindungan terhadap cerita rakyat yang merupakan bagian dari warisan budaya telah mendapat perlindungan dalam UUD 1945. Perlindungan lain terhadap cerita rakyat terdapat dalam UUHC dalam Pasal 10 yang secara lebih tegas menyebutkan bahwa cerita rakyat merupakan bagian dari folklor yang hak ciptanya dipegang oleh Negara dan merupakan hak cipta yang dilindungi, namun teknis perlindungan ketentuan Pasal 10 UUHC melalui Perturan Pemerintah Tentang Hak Cipta atas folklor yang dipegang oleh Negara masih berupa rancangan sehingga belum memiliki kekuatan hukum. 2.2. Derivative Work Dalam Hak Cipta 2.2.1. Konsep Derivative Work Dalam Dimensi hak Cipta. Hak cipta memberikan hak eksklusif kepada pamilik suatu karya untuk membuat karya turunan (derivative work) dari karya cipta yang telah dibuat sebelumnya. Karya derivative adalah karya baru yang terwujud karena didasarkan
53
pada suatu karya yang telah ada sebelumnya.63 A derivative work exists as a functional variation of a preexsisting work that is either protected by copyright or in the public domain.64 Karya derivative merupakan variasi dari karya yang telah ada sebelumnya baik itu karya yang mendapatkan perlindungan maupun karya yang telah menjadi public domain. 17 United State Copyright (U.S.C) Pasal 101 menjelaskan bahwa a derivative work is a work based upon one or more preexisting works, such as a translation, musical arrangement, dramatization, fictionalization, motion picture version, sound recording, art reproduction, abridgment, condensation, or any other form in wich a work may be recast, transformed, or adapted.65 Penjelasan ini hampir serupa dengan penjelasan mengenai derivative work di atas. Dimana derivative work merupakan karya yang didasarkan dari karya yang telah ada sebelumnya dapat berupa terjemahan, aransemen musik, dramatisasi, fiksionalisasi, versi film, merekam suara, reproduksi seni, ringkasan, kondensasi, atau bentuk lain yang merupakan hasil kerja ulang, ditransformasi, atau diadaptasi.
63
Yusran Isnaini, 2009, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.29-30. 64
Steven S. Boyd, 2000, Deriving Originality in Derivative Works: Considering the Quantum of Originality Needed to Attain Copyright Protection in a Derivative Work, Jurnal at Santa Clara Law Digital Commons, Vol.40. No.2., Available at: http//digitalcommons.law.scu.edu/lawreview/vol40/iss2/1, p.349. Accessed 1 March 2014. 65
Copyright Law of The United State and Related Laws Contained in Title 17 of the United States Code, hal.3.
54
Suatu karya derivative contain an element of creative authorship and may be copyrighted independently of the underlaying work.66 Karya derivative harus mengandung kreativitas dari penciptanya untuk mendapat pelindungan hak cipta. Kendatipun wujudnya yang merupakan karya turunan dari karya-karya yang telah ada sebelumnya, tetapi unsur kreativitas dari penciptanya tetap diperlukan untuk memberikan elemen pembeda antara karya original yang telah ada sebelumnya dengan karya derivative. Perlindungan hak cipta atas derivative work tetap akan diberikan bagi pencipta karya derivative sekalipun karya asli dari derivative work tersebut telah dihibahkan kepada ahli waris dari pencipta asli. Perlindungan tetap berlaku sepanjang berlakunya perlindungan atas karya asli bahkan setelah pencipta aslinya meninggal dan ciptaan tersebut telah dihibahkan kepada pewarisnya. Pemegang hibah dari pencipta asli tidak dapat membatalkan hak cipta dari pencipta derivative work sepanjang masa waktu perlindungan masih berlaku dan sepanjang derivative work tersebut telah dituangkan dalam wujud nyata, bukan hanya berupa persiapan untuk membuat derivative work. Pengecualian perlindungan hak cipta bagi pencipta derivative work berlaku apabila pada masa berlakunya berlakunya perlindungan ciptaan asli yang telah dihibakan, derivative work masih berupa persiapan.
66
Joseph Hubicki, 2011, Protecting Performance Rights under the Derivative Work Exception, Law Journal: Vol.2, Issue 1., The Berkeley Electronic Press, hal.54.
55
A derivative work prepared under authority of the grant before its termination may continue to be utilized under the terms of the grant after its termination, but this privilage does not extend to the preparation after the termination of other derivative works based upon copyright work covered by the terminated grant. The exception protects the copyright owners of derivative works from having to renegotiate agreement prepared under the original grant.67 Hak cipta yang dilindungi dalam UUHC terbagi menjadi 2 jenis. Hak cipta yang bersifat asli (orisinil) tertuang dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan hak cipta yang bersifat derivative yang diatur dalam ketentaun Pasal 30 ayat (1). Karya derivative adalah karya yang didasarkan dari satu atau lebih karya yang telah ada sebelumya, seperti terjemaahan, aransemen musik, dramatisasi, fictinalization, film, rekaman suara, reproduksi seni ringkasan, kondensasi atau bentuk perubahan lain dari suatu karya yang ditransformasi atau diadaptasi. Dengan kata lain, karya derivative adalah sebuah wujud baru dari suatu karya yang didalamnya terdapat unsur pembeda namun tidak mengurangi format dasar dari ciptaan awalnya. Seperti misalnya ketika sebuah cerita rakyat di pentaskan dalam sebuah drama panggung atau drama televisi. 2.2.2. Pengaturan Derivative Work. Derivative work dalam Berner Convention tertuang dalam ketentuan Article 2 (3) yang menyatakan “translations, adaptations, arrangements of music and other of music and other alterations of literary of artictic work shall be protected as original works without prejudice to the copyright in the original
67
Ibid., hal.59.
56
work”. Berner Convetnion tidak menyebutkan ketentuan mengenai derivative work secara ekplisit, tetapi ketentuan mengenai derivative work melalui istilah terjemahan, adaptasi, aransemen musik,
dijelaskan
dan karya gubahan
lainnya. Dimana setiap karya baik itu karya musik maupun karya lain selain karya musik, termasuk adaptasi harus mendapat perlindungan seperti karya asli tetapi tidak mengurangi perlindungan hak cipta atas karya aslinya. Mengingat pada dasarnya karya yang dialihwujudkan adalah penambahan unsur kreasi baru, baik itu penambahan dalam kapasitas besar maupun sedikit ke dalam karya yang telah ada terlebih dahulu. Pengaturan lain yang melindungi derivative work dapat juga dilihat pada 17 U.S.C. § 101 yang di dalamnya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan derivative work, dan 17 U.S.C. § 103 (a) yang di dalamnya menyatakan “the subject matter of copyright as specified by section 102 includes compilations and derivative works….”68 Dinyatakan pula bahwa karya cipta derivative mendapat perlindungan
sebagai
karya
cipta
yang
independen
tanpa
mengurangi
perlindungan atas karya cipta aslinya. Yang mendapat perlindungann adalah substansi baru yang ditambahkan ke dalam karya cipta derivative. Hak cipta yang dilindungi dalam UUHC terbagi menjadi dua yaitu hak cipta atas ciptaan asli (orisinil) dan hak cipta atas ciptaan yang bersifat
68
Copyright Law of The United State and Related Laws Contained in Title 17 of the United States Code,Op.Cit., hal.9.
57
turunan (derivative). Perlindungan atas ciptaan asli tertuang dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan karya derivative tertuang dalam Pasal 30 ayat (1). Ciptaan asli adalah ciptaan dalam bentuk atau wujud aslinya sebagaimana yang diciptakan oleh pencipta, belum dilakukan perubahan bentuk atau pengalihwujudan kedalam bentuk berbeda. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang merupakan ciptaan asli adalah: a. Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya; b. Drama atau drama musical, tari, koreografi; c. Segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, seni patung; d. Seni batik; e. Lagu atau music dengan atau tanpa teks; f. Arsitektur; g. Cermah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lainnya; h. Alat peraga; i. Peta; j. Terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai. Sedangkan yang tergolong dalam derivative work menurut ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf (e) UUHC yaitu melindungi karya hasil pengalihwujudan. Karya cipta asli mendapat perlindungan seumur hidup dan 50 tahun setelah penciptanya meniggal dunia, sedangkan derivative work perlindungannya berlangsung selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan.
58
2.2.3. Mekanisme Pengalihwujudan Suatu Karya Cipta Dan Sistem Perlindungannya. UUHC menyebutkan bahwa karya cipta yang dialihwujudkan mendapat perlindungan. Perkembangan yang terjadi menyebabkan semakin banyak karya cipta asli yang dialihwujudkan menjadi bentuk-bentuk lain. Seperti cerita rakyat menjadi film televisi. Produser film sebagai pemegang hak cipta atas karya turunan (derivative) harus meminta ijin kepada pencipta asli yaitu penulis cerita rakyat tersebut atau Negara sebagai pemegang hak cipta atas folklor. Dalam pengalihwujudan tersebut terjadi peralihan hak-hak yang ada di dalam hak cipta dan hak terkait melalui perjanjian pengalihan atau perjanjian lisensi. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta kepada siapapun baik untuk mengumumkan maupun memperbanyak ciptaannya. Dengan adanya perjanjian lisensi, penerima lisensi memiliki hak untuk menikmati hak ekonomi dari ciptaan tersebut. Pelisensian hak cipta disertai dengan kewajiban pemberian royalty kepada pemegang hak cipta. Perjanjian lisensi juga harus dicatatkan di Direktorat Jederal HKI. Pemberian lisensi tidak berarti pemberian kepemilikan hak, tetapi hanya bersifat persetujuan pemberian izin untuk melaksanakan hak eksklusif dari pemegang hak cipta. Perlindungan terhadap mekanisme pengalihwujudan hak cipta diatur dalam Pasal 45 UUHC yang menyatakan bahwa pelisensian hak cipta dilakukan dengan perjanjian lisensi. Pasal ini juga mengatur mengenai pemberian royalti
59
kepada pemegang hak cipta oleh pemegang lisensi. Dimana jumlah besarnya royalti disepakati oleh kedua belah pihak. Ruang lingkup perjanjian lisensi dapat dapat diperjanjikan untuk seluruhnya atau sebagian. Pemberian lisensi dapat berupa lisensi hanya untuk mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan saja. Pemberian lisensi juga dapat untuk melarang atau mengizinkan menyewakan suatu program komputer dan sinematografi. 2.3.
Media Elektronik Berkaitan Dengan Hak Cipta Derivatif Work
2.3.1. Pengaturan Karya Derivative Work Yang Dituangkan Dalam Media Elektronik. Media
elektronik adalah media yang
menggunakan elektronik atau
energi elektro mekanis bagi pengguna akhir untuk mengakses isi dari media tersebut. Sumber media elektronik yang banyak dikenal bagi pengguna umum antara lain adalah rekaman video, rekaman audio, presentasi multimedia, dan konten daring. Media elektronik dapat berbentuk analog maupun digital, walau pun media baru pada umumnya berbentuk digital.69 Contoh media elektronik seperti: radio, televisi, film (layar lebar), dan internet, termasuk juga telepon selular.70
69
Media Elektronik, http://id.wikipedia.org/wiki/Media_elektronik, Diakses Selasa, 22 April 2014. 70
Hydriana Ananta Win, Efek Media Elektronik Terhadap Anak Usia Sekolah, http://www.stikstarakanita.ac.id/files/Tarakanita%20News%20No.%202/Opini/28%20Efek%20Media%20elektron ik.pdf, Diakses Selasa, 22 April 2014.
60
Melihat dari jenis ciptaan yang dilindungi, maka ada dua jenis ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta yaitu ciptaan asli atau orisinil dan ciptaan yang bersifat derivative. Pengaturan atas ciptaan asli diatur dalam ketentaun Pasal 29 UUHC sementara pengaturan atas ciptaan yang merupakan derivative work diatur dalam ketentuan Pasal 30 huruf (e) UUHC. Pengaturan perlindungan ini berkaitan dengan jangka waktu perlindungan suatu ciptaan. Hak cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak diterbitkan sementara hak cipta atas program komputer dan sinematografi serta hak cipta yang diiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dimumumkan. Ketentuan Pasal 30 menyebutkan bahwa jangka waktu perlindungan karya cipta atas program komputer, sinematografi, fotografi, database, dan karya pengalihwujudan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumukan. Dengan demikian jelas bahwa perlindungan derivative work dalam media elektronik mendapat perlindungan dalam ketentuan pasal ini. 2.3.2. Bentuk-bentuk Derivative Work Yang Dipublikasikan Dalam Media Elektronik. Derivative work yang merupakan karya baru yang lahir berdasarkan pada karya yang telah ada sebelumnya, melahirkan adanya hak adaptasi yang merupakan hak untuk menciptakan karya derivative. Hak adaptasi ini memberikan kemudahan sekaligus menimbulkan permasalahan berkaitan dengan peredaran
61
komunikasi online melalui internet. Dimana karya-karya asli semakin mudah untuk diubah, dimodifikasi atau dihubungkan dengan karya lain secara digital. 71 Perubahan-perubahan karya asli menjadi karya derivative bisa berupa revisi dari karya yang asli, terjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau dapat pula berupa suatu karya yang disusun, diubah atau diadopsi menjadi bentuk lain. Seperti misalnya film berdasarkan cerita novel, mengubah film hitam putih menjadi berwarna, versi revisi dari sebuah software.72 Penjelasan Pasal 12 huruf (l) menjelaskan yang dimaksud dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Sebuah karya derivative harus didasari oleh karya asli. Karya derivative yang dilindungi hak cipta adalah karya yang menambahkan unsur baru dalam suatu ciptaan yang orisinil, dimana unsur tambahannya juga harus merupakan sesuatu yang asli. Bentuk-bentuk derivative work dalam media elektronik misalnya adalah dramatisasi, aransemen musik, film, reproduksi suara, reproduksi seni. Dalam film misalnya, pengalihwujudan dari cerita rakyat menjadi karya film yang di dalamnya menambahkan unsur-unsur baru dan asli baik dalam cerita, musik, maupun pengaturan suara. Dalam reproduksi seni, dimana sebuah cerita rakyat dikemas dalam bentuk baru disiarkan melalui radio. 71
Yusran Isnaini, Op.Cit., hal.30.
72
Ibid.
62
Karya derivative dilindungi
oleh hak cipta. Untuk mendapat
perlindungan tersebut, suatu karya derivative harus memiliki unsur pembeda yang mencukupi dan konten atau material baru dalam jumlah tertentu sehingga penambahan unsur kecil suatu karya cipta asli tidak dapat digolongkan sebagai derivative work.73
73
Feri Sulianta, Seri Referensi Praktis: Konten Internet, dilihat (On-line) di:http://books.google.co.id/books?id=f9Vurjx2D8C&pg=PA56&lpg=PA56&dq=buku,+hak+cipta ,+derivatif,+karya+turunan&source=bl&ots=4nGPhr0Bv9&sig=iuOfIeNANaoTGKnsJV1s8C5O MA&hl=id&ei=KO19TfKkKMfprQfs06XMBQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&v ed=0CCsQ6AEwBg#v=onepage&q=buku%2C%20hak%20cipta%2C%20derivatif%2C%20karya %20turunan&f=false.
63
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEASLIAN CERITA RAKYAT SEBAGAI EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL
Kajian atas perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat sebagai ekspresi budaya tradisional di awali dengan menelaah konsep orisinalitas suatu karya cipta berdasarkan UUHC, berne Convention, dan TRIPs Agreement. Setelah itu, dikaji mengenai dokumentasi sebagai mekanisme penentuan kepemilikan asal suatu cerita rakyat tradisional dan keasliannya. Dalam kaitan itulah relevansi kajian mengenai perlindungan hukum terhadap keaslian cerita rakyat tradisional. 3.1. Konsep Orisinalitas Suatu Karya Cipta Menurut UUHC, Berne Convention, TRIPs Agrement Dalam Black’s Law Dictionary diterangkan bahwa istilah Originality Hak Cipta memiliki dua arti, yaitu: 1. “The quality or state of being the product of independent creation and having a minimum degree of creativity” 2. “The degree to which a product claimed for copyright is the result of an author’s independent efforts”.74
74
Bryan A. Gerner, 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West, Dallas, Texas, hal. 1133.
64
Dari dua pengertian tersebut di atas maka suatu karya cipta akan mengandung unsur originality atau keaslian apabila di dalamnya terdapat unsur karya yang independen, terdapat kreativitas dan merupakan hasil karya dari penciptanya. Suatu karya cipta akan dianggap asli apabila dihasilkan sendiri oleh penciptanya terdapat kreativitas di dalammnya dan mencerminkan kharakter pribadi dari penciptanya. Secara akontrario dapat dikatakan bahwa suatu karya cipta yang dihasilkan dengan meniru karya cipta orang lain sehingga tidak tampak adanya kreativitas dan karakteristik penciptanya, maka hal itu tidak menunjukkan originalitas suatu karya cipta. Berne Convention sendiri tidak secara eksplisit menentukan dalam satu ketentuan secara jelas mengenai originality dalam suatu karya. Artinya bahwa dalam Berne Convention tidak ada satu pasal khusus yang menentukan dan sebagai interpretasi otentik atas orisinalitas karya cipta. Berne Convention menentukan secara inklusif aspek orisinalitas ciptaan yang diberikan perlindungan hak cipta. Suatu karya cipta baru dapat mendapat perlindungan hak cipta apabila karya tersebut telah tertuang dalam suatu bentuk tertentu seperti buku dan komposisi musik, bukan merupakan ide atau gagasan semata yang masih berada di alam pikiran pencipta. Di situ jelas tampak aspek formulasi – pemberian bentuk yang jelas – tertentu sebagai kualifikasi pemberian perlindungan hak cipta. Namun demikian, tidak ada standar minimum internasional mengenai originality atau keaslian dalam Berne Convention.
65
Originalitas merupakan salah satu persyaratan dalam memberikan perlindungan hak cipta di dunia barat. Namun ketentaun mengenai syarat originality atau keaslian dalam Berne Convention yang merupakan perjanjian tertua dalam perlindungan hak cipta hanya terdapat sedikit ketentaun yang tersirat mengenai originality atau keaslian, sementara bagi pencipta, sangatlah penting mempertahankan keaslian dari karya yang diciptakannya.75 Originality dalam Berne Convention tersirat dalam ketentuan Article 2 (3) yang menyatakan bahwa terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan perubahan lain suatu karya sastra atau seni harus dilindungi sebagai karya asli tanpa mengurangi hak cipta atas karya asli. Ketentaun ini secara tidak langsung menetapkan bahwa suatu karya haruslah karya asli, sekalipun karya tersebut telah menjadi derivative work tetapi unsur keaslian tetap dibutuhkan dalam perlindungannya. Ketentuan lain yang juga menyiratkan tentang originality atau keaslian adalah Aticle 2 (5) yang menyatakan suatu karya sastra atau seni seperti ensiklopedia dan antologi yang dengan alasan pemilihan dan penyusunan isinya, merupakan pembuktian kreativitas intelektual yang harus dilindungi, tanpa
75
Cliff Kuehn, 2012, The “Originality” Requrement for Copyright Protection in Western Societies, Selasa, 28 Januari 2014, http://trademarkcopyrightlaw.wordpress.com/2012/09/18/theoriginality-requirement-for-copyright-protection-in-western-societies/
66
mengurangi hak cipta di setiap membentuk bagian dari karya tersebut.76 Dalam ketentuan ini tidak jelas terlihat tentang unsur originality dalam sebuah karya, tetapi dalam ketentuan ini disebutkan bahwa ensiklopedia and antologi merupakan pembuktian kreasi intelektual yang mana jika dihubungkan dengan pengertian originality atau keaslian menurut Black’s Law Dictionary memenuhi unsur originality karena karya tersebut dihasilkan melalui daya kreativitas. Seorang pencipta dalam menghasilkan suatu karya menungkan kreativitasnya kedalam suatu bentuk yang nyata yang didalamnya terdapat ciri pribadi dari pencipta tersebut. Article 14 bis Berne Conventiaon menyebutkan bahwa karya yang telah diadaptasi atau direproduksi kembali dan cinematographi harus mendapat perlindungan sebagai karya cipta asli. Sementara Article 14 ter (1) menyatakan bahwa penulis, bahkan setelah penulis tersebut meninggal, karyanya harus tetap mendapat perlindungan dari penggunaan oleh pihak lain sebagai karya atau naskah asli. Dalam beberapa ketentuan Berne Convention tersebut di atas disinggung perlindungan karya asli atau original tetapi tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas tentang standar keaslian.
76
James Koessler, Something For Nothing? The Standard Of ‘Originality’ In Copyright Law: An Elusive Yet Essential Requirement (2/5), Available at http://www.jameskoessler.com/something-for-nothing-the-standard-of-originality-in-copyrightlaw-an-elusive-yet-essential-requirement-25/#identifier_0_231, Accessed 28 January 2014.
67
Seperti halnya Berne Convention, TRIPs Agreement juga menetapkan originality atau keaslian sebagai syarat suatu karya cipta mendapatkan pelindungan Hak Cipta. Neither the Bern Convention not the TRIPS Agreement expressly requires originality for a work to be protedted by copyright.77 Ketentuan Article 9 Perjanjian TRIPS menyatakan bahwa setiap anggota dari Perjanjian TRIP harus memenuhi ketentuan Article 1 sampai Article 21 Bern Convention beserta lampirannya. Dengan demikian standar internasional originality tidak ditemukan dalam perjanjian TRIPS. Daniel J. Gervais menyatakan bahwa “one can thus refer to the Bern to interpret the meaning of the word ‘originality’ in the Bern Convention as incorporated into TRIPs”.78 Analisis ini melahirkan kesimpulan bahwa istilah "orisinalitas", adalah istilah yang dipergunakan dalam konvensi ini dan yang tidak hanya berlaku untuk negara-negara yang penandatangannya tetapi juga untuk para anggota WTO, dimana orisinalitas tersebut terkait erat dengan kreativitas penulis. Berne Convention menentukan standar orisinalitas dengan kreativitas penulis. Dimana segala hasil karya ciptanya merupakan hasil kreativitas murni dari penulis atau pencipta tanpa dipengaruhi oleh alat kerjanya maupun kendala
77
Module 3: The Scope of Copyright law, Available at, ,http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_3:_The-Scope_of_Copyright_Law, Accessed 28 January 2014 78
Daniel J. Gervais, 2004, The Compatibility Of The Skill And Labour Originality Standard With The Berne Convention And The TRIPS Agreement, Sweet and Maxwell Limited and Contibutors, Available at, http://aix1.uottawa.ca~dgervaispublications/Skilland/Labour/aspublished/pdf , Accessed 27 January 2014.
68
dalam menghasilkan tulisannya. Standar ini pula berlaku secara penuh dalam perjanjian TRIPS, mengingat kentuan perjanjian TRIPS mengadopsi ketentuan Berne Convention. Berne Convention dan TRIPS
Agreement
menentukan orisinalitas
sebagai syarat untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, tetapi hampir seluruh Negara menginginkan tingkat orisinalitas dari suatu karya untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, tetapi belum ada standar minimum secara internasional mengenai orisinalitas. Masing-masing Negara menentukan sendiri standar orisinalitas dari suatu karya. Amerika dan kanada misalnya, menetapkan standar orisinalitas berdasarkan konsep yang independen dan hanya mensyaratkan kreativitas yang minimum. Sementara di Prancis, Spanyol dan dalam negaranegara berkembang mendefinisikan orisinalitas sebagai penggambaran ciri khas dari penciptanya. Perjalanan peradaban suatu bangsa terus berkembang seiring dengan perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahaun. Perkembangan ini pula dibarengi dengan perkembangan hukum yang berlaku di masyarakat yang berubah secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan dunia juga memicu perkembangan hukum yang berlaku. Keterlibatan Indonesia dalam WTO membuat Indonesia harus menyesuaikan seluruh perangkat
69
hukumnya yang berkaitan dengan HKI sesuai dengan TRIPs agreement dan Bern Convention. Dibidang hak cipta, Indonesia beberapa kali melakukan perubahan terhadap UUCH sampai dengan UUHC yang berlaku saat ini. Perubahan tersebut juga dipicu oleh perkembangan hukum yang ada dan keikutsertaan Indonesia dalam konvensi internasional yang mewajibkan anggotanya meratifikasi peraturan hukum yang berlaku sesuai dengan hasil kesepakatan konvensi tersebut. Berkaitan dengan konsep keaslian atau orisinalitas suatu ciptaan, Pasal 1 angka 3 UUHC menyatakan bahwa ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keaslian dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Suatu ciptaan tidak akan ada tanpa adanya pencipta dimana dalam upaya melahirkan suatu ciptaan, pencipta telah meuangkan seluruh daya imajinasi, pengetahuan, ketrampilan atau keahliannya dalam suatu bentuk yang khas dan bersifat abadi. Tidak semua ciptaan dilindungi hak cipta. Ciptaan yang mendapat perlindungan adalah ciptaan yang memenuhi standar keaslian, kreativitas dan berwujud. Keaslian bukan berarti karya tersebut harus benar-benar baru, karya yang telah ada sebelumnya dan milik umum bisa saja karya asli dan merupakan karya dari penciptanya. Kreativitas yang tinggi dibutuhkan dalam menciptakan suatu karya yang bisa mendapat perlindungan hak cipta karena kreativitas yang tinggi bisa menunjukkan keaslian dari suatu karya. Bahkan untuk suatu karya yang umum dan tidak asli, dengan adanya kreativitas yang tinggi, karya tersebut
70
bisa menjadi suatu karya asli. Kreativitas tersebut merupakan hasil cipta, rasa dan karya manusia. Perwujudan, dimana suatu karya harus dituangkan dalam bentuk tertentu, hak cipta melindungi dalam bentuk material bukan hanya sebuah ide atau gagasan.79 Ciptaan seharusnya
memiliki
aspek keaslian untuk
menikmati
perlindungan yang diberikan oleh undang-undang. Keaslian sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan. Oleh karena itu, suatu ciptaan baru dianggap asli apabila tertuang dalam sebuah wujud seperti misalnya dalam bentuk buku. Tetapi buku tersebut bukanlah merupakan buku yang dihasilkan dari jiplakan karya berwujud lainnya.80 UUHC menyebutkan ciptaaan yang dilindungi adalah ciptaaan dalam bidang ilmu pengetahuna, seni dan sastra. Lebih lanjut di UUHC memperinci apa saja yang yang termasuk di dalam ciptaan yang dilindungi: a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibut untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
79
Djumikarsih, 2012, “Analisa Yuridis Sengketa Ciptaan Antara Yayasan Hwa Ing Fonds Dengan Budi Haliman Halim”, dalam Perspektif, Volume XVII, No.3, Edisi September, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal.193. 80
Eddy Damian, 1999, Hukum hak Cipta Menurut Beberapa Konvensi Internasiona, Undang-Undang Hak Cipta 1997 Dan Perlindungan Terhadap Buku Serta Perjanjian Penerbitannya, Alumni, Bandung, hal.100.
71
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime; f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi; l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Dari rincian tersebut di atas, ciptaan dari butir (a) sampai (k) merupakan ciptaan asli, sedangkan butir l merupakan pengolahan selanjutnya dari ciptaan-ciptaan asli. Hasil pengolahan dari ciptaan asli juga harus mendapat perlindungan karena merupakan hasil ciptaan baru serta memerlukan kemampuan intelaktual tersendiri untuk menghasilkannya. Keaslian atau originalitas merupakan salah satu kriteria dari pemberian perlindungan atas suatu ciptaan. Keaslian juga harus ada dalam suatu karya derivative work walaupun karya itu merupakan hasil pengolahan dari karya cipta asli yang telah ada. Suatu karya harus merupakan karya asli yang dihasilkan oleh yang menciptakan karya itu sendiri. Ciptaan atau karya cipta yang mendapat perlindungan adalah:
72
1. Ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas ide, gagasan, inspirasi berdasarkan kemampuan kreativitas berpikir, imajinasi, kecekatan serta keterampilan pencipta. 2. Dituangkan dalam suatu bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian, bukan merupakan gagasan atau ide semata. Menunjukkan keaslian dimana suatu karya tersebut merupakan hasil kemampuan kreativitas, buah pikiran, keterampilan atau keahlian dari pencipta, tidak meniru atau menjiplak karya orang lain dan merupakan hasil refleksi dari penciptanya sehingga terdapat ciri pribadi dari penciptanya.81 Dengan demikian semakin jelas bahwa keaslian merupakan persyaratan pokok dalam mendapatkan perlindungan hak cipta. Apabila pencipta telah menerapkan tingkat pengetahuan serta keterampilan yang tinggi dalam proses menghasilkan suatu karya, hal itu sudah dianggap cukup memenuhi sifat keaslian untuk mendapat perlindungan hak cipta. Asli adalah benar merupakan ciptaan dari pencipta. Sebagai produk yang merupakan ekspresi dari kreativitas ide yang diwujudkan dalam bentuk yang materiil, suatu ciptaan harus memiliki unsur keaslian, namun UUHC tidak memberikan kriteria tentang keaslian itu sendiri. Padahal unsur keaslian memegang peranan penting dalam tolak ukur suatu ciptaan
81
Rachmadi Usman, Op.Cit., hal.121-122.
73
tersebut dilindungi hak cipta atau tidak. UUHC juga tidak memberikan pengaturan mengenai perlindungan hak cipta akan diberikan kepada semua jenis ciptaan atau hanya kepada ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni. Suatu ciptaan dapat dikatakan asli apabila ciptaan tersebut berasal dari ide yang sudah umum, tetapi dituangkan dalam bentuk yang yang baru atau tidak sama dengan ciptaan yang sudah ada sebelumnya yang juga menggunakan ide umum yang sama. Perlindungan hak cipta dalam ciptaan ini berfokus pada pelindungan ekspresi ide dari ciptaan tersebut. Ciptaan juga dapat disebut asli apabila dalam mewujudkan ciptaan tersebut terdapat unsur kegiatan intelekatual yang melibatkan daya upaya, kreativitas, dan keahlian dari pencipta sehingga tampilan ide tersebut berbeda dengan ekepresi ide yang sudah ada sebelumnya. Aspek kegiatan intelektual mendapat apresiasi dalam mewujudkan suatu ciptaan. Berdasarkan kedua aspek tersebut di atas, maka suatu ciptaan tidak harus suatu ciptaan baru untuk di sebut mengandung unsur keaslian di dalamnya, melainkan bagaimana mewujudkan suatu hal yang baru dari ide yang telah ada.82 Henry Soelistyo menekankan pada aspek kreativitas sebagai penciri keaslian. Suatu ciptaan dikatakan mengandung unsur keaslian apabila dihasilkan atau berasal dari diri si pencipta sendiri dimana kreativitas menjadi faktor penentu yang memberi ciri dari pencipta pada ciptaan yang dihasilkannya. Di dalam
82
Elyta Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.136-138.
74
menunjukkan keaslian suatu ciptaan, melekat pula hak moral dari pencipta. Dengan menjaga keaslian suatu ciptaan berarti menjaga pula hak moral dari pencipta yang tidak boleh diciderai, karena perubahan, perusakan atau pemotongan maupun tindakan lain yang dapat mengganggu pribadi dan hak moral dari pencipta.83 Selanjutnya ditegaskan pula bahwa keaslian tidak berarti unik atau khas, melainkan suatu prinsip yang harus dipegang adalah suatu ciptaan tidak boleh sama dengan ciptaan lainnya. Suatu ciptaan diklaim sebagai ciptaan orisinal apabila ciptaan itu dihasilkan oleh atau berasal dari pencipta sendiri.84 Namun unsur unik atau khas sebagai identitas suatu ciptaan asli sesungguh merupakan unsur bawaan sebagai konsekuensi dari ciptaan sebagai sebuah karya kreativitas. Kreativitas dan inovativnya suatu karya cipta menunjukkan adanya kekhasan ciptaan tersebut yang membedakannya dengan ciptaan lain. Keunikan ini sesuai dengan sifat dan cara melahirkan suatu ciptaan sehingga menunjukkan keaslian ciptaan tersebut. Sebab ciptaan itu memiliki kharateristik yang sesuai dengan penciptanya.
83
Henry Soelistyo, 2011, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, Kanisius, Yogyakarta, hal.57-58. 84 Henry Soelistyo, Ibid.
75
3.2. Dokumentasi Sebagai Mekanisme Penentuan Kepemilikan Asal Suatu Cerita Rakyat Tradisional Dan Keasliannya Indonesia memiliki banyak karya-karya yang saat ini dikenal dengan nama Pengetahuan Tradisional (PT) atau Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang masih belum terinventarisir dengan optimal. Permasalahan ini berkaitan dengan apakah suatu kekayaan tradisional atau ekspresi budaya tradisional tersebut yang sebenarnya merupakan warisan budaya bangasa Indonesia adalah ciptaan milik bangsa Indonesia. Di sinilah relevansi keberadaan dukumen atas karya cipta tersebut sehingga kekayaan tradisional atau ekspresi budaya tradisional itu dapat diklaim sebagai milik Bangsa Indonesia. Dokumentasi suatu karya cipta merupakan upaya untuk menunjukkan adanya suatu karya cipta tersebut. Sebab dalam pendokumentasian tersebut mencakup aspek identitas karya cipta dan penciptanya. Dalam kaitan dengan kekayaan tradisional atau ekspresi budaya tradisional, bahkan juga karya cipta lainnya perlu diinventarisir melalui pendokumentasian. Inventarisasi itu sendiri memiliki arti yang penting bagi bangsa pemilik kekayaan tradisional atau ekspresi budaya tradisional itu sendiri untuk menentukan bahwa bangsa Indonesia adalah benar-benar sebagai pemegang hak cipta atas kekayaan budaya tersebut sehingga dapat memberikan perlindungan secara maksimal terhadap ciptaan tradisional. Salah satu cara melakukan inventarisir atas PT atau EBT adalah dengan
76
melakukan
dokumentasi
atas
ciptaan
tersebut.85
Dengan
demikian
pendokumentasian merupakan suatu model mekanisme untuk menentukan status kepemilikan asal suatu cerita rakyat tradisional dan sekaligus sebagai upaya perlindungan keasliannya. Dokumentasi diartikan sebagai pengumpulan, pemilihan, pengolahan, dan penyimpanan informasi dalam bidang pengetahuan. Selain itu, dokumentasi juga berarti pemberian atau pengumpulan bukti-bukti dan keteranganketerangan.86 Dengan demikian, dokumentasi merupakan hal penting berkaitan dengan keberadaan suatu karya cipta sehingga lebih mudah dan cepat diketahui adanya penyimpanan informasi. Namun demikian secara normatif tidak ada ketentuan mengenai pendokumentasian ciptaan di dalam UUHC. Di situ hanya ditentukan mengenai pendaftaran ciptaan. Penyelenggara pendaftaran dilakukan oleh pemerintah yakni Direktorat Jenderal HKI di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini pemerintah bersifat pasif yakni hanya menunggu adanya inisiatif pencipta untuk mendaftarkan ciptaannya. Di lain pihak pencipta kurang menyadari akan pentingnya pendaftaran ciptaanya. Hal itu terutama terhadap karya cipta tradisional yang sudah dianggap umum dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehingga dianggap tidak perlu didaftarkan. 85
Eddy Damian, 2009, Hukum Hak Cipta, Edisi ke-3, PT. Alumni, Bandung, hal.137.
86
Lukman Ali, Op.Cit., hal. 240.
77
Terdapat dualism dalam UUHC berkaitan dengan pendaftaran untuk pendokumentasian karya cipta. Pendaftaran ciptaan bukan suatu kewajiban sebab tanpa didaftarkan, ciptaan sudah mendapatkan perlindungan. Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis setelah ciptaan tersebut dilahirkan dalam suatu wujud nyata. Jadi perlindungan terhadap karya cipta bukan karena adanya pendaftaran.
Di
lain
pihak,
pendaftaran
diperlukan
pendokumentasian atas suatu karya cipta sehingga
sebagai
upaya
dapat digunakan sebagai
pembuktian apabila adanya pelanggaran atas ciptaan tersebut. Pendaftaran Hak Cipta bukan suatu hal yang mutlak harus dilakukan oleh pencipta. Pencipta dapat mendaftarkan ciptaannya dapat pula tidak mendaftarkannya. Karena UUHC menegaskan bahwa pendaftaran hak cipta tidak mengesahkan isi dari ciptaan tersebut.87 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 36 UUHC dimana Direktorat Jenderal sebagai penyelenggara pendaftaran ciptaan tidak bertanggung jawab atas isi, arti, maksud dan bentuk dari ciptaan yang didaftarkan. Bisa saja ciptaan yang didaftarkan tersebut hanya sebagian saja yang asli dan sebagian lagi merupakan jiplakan dan hal ini tidak menjadi tanggung jawab dari penyelenggara pendaftaran. Setiap pendaftaran ciptaan akan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan yang dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenakan
87
Syahmin AK, 2007, Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi Analitis, Ed.1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 141.
78
biaya. Tetapi jika akan mendapatkan Petikan Daftar Umum Ciptaan, maka dapat diperoleh dengan dikenakan biaya. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 35 UUHC. Berbeda
dengan
UUHC,
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (selanjutnya disingkat menjadi RUU PT-EBT) menentukan secara eksplisit tentang pendokumentasian ciptaan tradisional. Di situ terdapat satu bab khusus yang mengatur hal itu. Pemerintah diwajibkan untuk melakukan pendataan dan pendokumentasian atas PT-EBT. Tujuan pendokumentasian adalah untuk memberikan informasi yang benar tentang PT-EBT yang ada di masyarakat dan sebagai referensi bagi upaya perlindungan ciptaan tradisional. RUU PT-EBT juga menentukan
mengenai
subyek
yang
dapat
melakukan
pendataan
dan
pendokumentasian. Otoritas yang pertama-tama berkewajiban untuk itu ialah Menteri. Namun ada pula pihak lain yang dapat menyelenggarakan pendataan dan pendokumentasian ialah Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian, dan pihak lain yang berkepentingan. Hal itu menunjukkan bahwa RUU PT-EBT menganut sistem aktif yang mengharuskan pemerintah untuk melakukan pendataan dan pendokumentasian PT-EBT. Pendaftaran
sendiri
berfungsi
dalam
hal
pembuktian,
dengan
didaftarkannya hak cipta, apabila terjadi sengketa hak cipta, maka pembuktiannya akan lebih mudah. Hak cipta yang tidak didaftarkan, pembuktiannya akan lebih sukar dan memakan waktu lebih lama. Dengan demikian maka pendaftaran bukan
79
merupakan syarat untuk sahnya diakui suatu hak cipta, tetapi hanya untuk mempermudah pembuktian dalam hal terjadinya sengketa hak cipta.
88
Apabila
ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya, bahwa dia adalah pemilik dari ciptaan yang didaftarkan tersebut, maka kekuatan hukum dari pendaftaran tersebut dapat dihapuskan. Sistem pendaftaran yang dianut dalam UUHC adalah sistem pendaftaran deklaratif dimana pendaftar akan dianggap sebagi pencipta kecuali dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 5 UUHC yang menyatakan bahwa kecuali dibuktikan sebaliknya yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang namanya terdapat dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal dan orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan. Pendaftaran juga dapat berfungsi memberi kepastian hukum dan mempermudah prosedur pengalihan haknya. Berne Convention dan Perjanjian TRIPS, menganut sistem perlindungan otomatis dan tidak meminta adanya pendaftaran bagi suatu karya cipta untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. Hak ini tertuang dalam Article 5 (2) “the enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality; such enjoyment and such exercise shall be independent of the existence of protection in the country of origin of the work…” pendaftaran yang dilakukan
88
OK. Saidin, Op.Cit., Hal. 90-91
80
oleh anggota konvensi ini di negaranya masing-masing dilakukan secara sukarela tanpa adanya kewajiban untuk mendaftarkan ciptaan mereka.89 Meskipun pendaftaran bukan merupakan suatu keharusan bagi setiap pencipta, tetapi mengingat peran penting dari pendaftaran suatu ciptaan, maka pendaftaran suatu ciptaan menjadi penting khususnya bagi ciptaan yang merupakan karya tradisional seperti misalnya cerita rakyat. Cerita rakyat diartikan sebagai cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan.90 Pada umumnya cerita rakyat mengisahkan tentang asal muasal suatu daerah atau suatu kejadian di suatu tempat. Dalam cerita rakyat biasanya tokoh-tokohnya digambarkan dalam bentuk manusia, binatang maupun para dewa. Ciri-ciri dari cerita rakyat itu sendiri antara lain: 1.
Disampaikan turun-temurun secara lisan
2.
Tidak diketahui siapa penciptanya atau bersifat anonim
3.
Kaya akan nilai-nilai luhur Di Indonesia, cerita rakyat tersebar hampir diseluruh wilayahnya.
Masing-masing daerah memiliki cerita rakyat masing-masing yang mengandung nilai luhur dan diwariskan turun-temurun. Nilai-nilai tersebut ditanamkan sebagai
89
Lesley Ellen Harris, 2010, To Register or Not, http://www.copyrightlaws.com/wpcontent/uploads/2010/03/Registration1.pdf, Diakses Kamis, 23 Januari 2014. 90
Lukman Ali, Op.Cit., Hal.187.
81
nilai positif dalam kehidupan masyarakatnya. Cerita rakyat yang merupakan hasil kreatifitas dan daya intelektual penciptanya mendapatkan perlindungan hak cipta sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 10 UUHC. Dimana negara memegang hak cipta atas cerita rakyat dan hasil kebudayaan lain yang menjadi milik bersama. Mengingat ciri-ciri cerita rakyat yang biasanya diwariskan secara lisan dan turun-temurun serta bersifat anonim, menjadi polemik tersendiri bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan secara pasti. Indonesia kerap kali mengalami masalah penggunaan karya cipta tradisional Indonesia oleh pihak lain tanpa bertanggung jawab. Pendokumentasian menjadi salah satu solusi mencegah pemanfaatan cerita rakyat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Persoalan yang dihadapi adalah banyak dari cerita rakyat tersebut yang tidak diketahui penciptanya dan daerah asalnya. Fungsi dokumentasi yang memudahkan dalam pembuktian apabila terjadi sengekta hak Cipta, memberikan kepastian hukum dan mempermudah pengalihan haknya juga menunjang diketahuinya keaslian suatu cerita rakyat. Orignalitas suatu cerita rakyat sulit diketahui secara pasti karena proses penyebarannya yang turun termurun secara lisan, tidak diketahui siapa penciptanya dan sifatnya yang komunal. Dengan dokumentasi, bisa diketahui cerita rakyat apa saja yang dimiliki suatu daerah dan dapat ditelusuri apakah cerita tersebut asli berasal dari daerah tersebut, walaupun penciptanya tidak diketahui.
82
Hal mana seperti yang diatur dalam ketentaun Pasal 10 UUCH, ciptaan yang penciptanya tidak diketahui dan menjadi milik bersama dipegang oleh negara. Sekalipun pencipta secara perorangan tidak diketahui dan sulit untuk diketahui, tetapi harus tetap mendapatkan perlindungan karena merupakan bagian dari hasil kebudayaan rakyat. Dokumentasi atas cerita rakyat mencegah dimanfaatkannya cerita tersebut oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan merugikan negara sebagai pemegang hak ciptanya. Dimana kerugian yang diderita bisa kerugian ekonomi dan kerugian moral. Kerugian ekonomi, tidak adanya kompensasi secara ekonomi kepada pemegang hak cipta, tidak ada permohonan penggunaan cerita rakyat tersebut oleh pihak lain selain pemegang hak cipta. Sementara kerugian moral, dimana tidak dicantumkannya pencipta (jika diketahui) ataupun daerah asal cerita rakyat tersebut berasal. Dengan sistem dokumentasi yang baik, yang menurut ketentuan Pasal 35 UUHC diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal, mempermudah Indonesia dalam mengklaim setiap cerita rakyat yang disalah gunakan oleh pihak lain karena sifat pendaftaran yang juga memberikan kepastian hukum kecuali dibuktikan sebaliknya. 3.3.
Perlindungan Hukum Terhadap Keaslian Cerita Rakyat Tradisional Folklor memiliki ciri-ciri khusus yang melekat di dalamnya yaitu:
diajarkan dan dilaksanakan dari generasi ke generasi, merupakan pengetahuan yang meliputi pengetahuan tentang lingkungan dan hubungannya dengan segala
83
sesuatu, tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang membangunnya dan merupakan jalan hidup yang dipergunakan bersama-sama oleh komunitas yang didalmnya terdapat nilai-nilai masyarakat.91 Dari ciri-ciri tersebut terdapat kharakteristik folklor yang tidak dimiliki karya intelektual lain yaitu diturunkan dari generasi ke generasi, bersifat holistik, dan merupakan jalan hidup. Keaslian merupakan syarat umum ciptaan untuk mendapatkan perlindungan hak cipta, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1 ayat (2) UUHC. Demikian pula halnya dengan folklor. Sebagai suatu karya cipta, Folklor pun, dalam hal ini cerita rakyat membutuhkan orisinalitas sebagai kualifikasi untuk dapat dilindungi hak ciptanya. Keaslian menjadi syarat penting dalam mendapatkan perlindungan hak cipta. Sebab tanpa adanya unsur keaslian, suatu ciptaan tidak mendaptkan perlindungan hak cipta. Sifat folklor yang diwariskan turun-temurun, dari generasi ke generasi menyebabkan terjadinya pengulangan, tidak ada perubahan terhadap ciptaan tersebut dari satu generasi ke generasi betikutnya. Generasi berikutnya hanya meneruskan apa yg diwariskan. Seperti misalya cerita Cupak Gerantang asal Bali yang diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi. Cerita tersebut dianggap asli pada saat diciptakan pertama kalinya. Untuk selanjutnya, setelah diteruskan tidak lagi memenuhi unsur keaslian, sementara penciptanya pun tidak
91
Arif Lutviansori, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal.101.
84
diketahui. Namun dari sisi lain, keaslian dari suatu folklor juga dapat dilihat dari wujudnya yang berbeda dari karya cipta lainnya. Misalnya, cerita Jaka Tarub dan Keong Mas. Sekalipun sama-sama merupakan cerita rakyat, tetapi mengisahkan hal yang berbeda dan berasal dari daerah yang berbeda pula. Cerita jaka Tarub merupakan cerita rakyat asal Jawa Tengah, sementara Keong Mas berasal dari Jawa Timur. Secara otomatis pula mengandung nilai-nilai yang berbeda bagi masyarakat tempat cerita itu dibangun dan tumbuh. Dari sudut keaslian wujud ciptaan, maka cerita rakyat bisa mendapat pelindungan hak cipta. John Lock, sebagaimana pendapatnya sudah dikutip sebagai salah satu teori di landasan teori pada sub-bab 1.7, mengemukakan bahwa hak atas suatu karya lahir karena adanya usaha dan pengorbanan waktu dan tenaga dari penciptanya sehingga di dalamnya terdapat konstribusi dan investasi kreativitas dari penciptanya.92 Hal inilah yang terjadi pada cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan hasil kreativitas penciptanya dengan tujuan menanamkan nilai-nilai positif pada kehidupan mereka dan ditanamkan dari generasi ke generasi. Apa yang diciptakan dan merupakan hasil kreativitas pencipta tidak boleh di salah gunakan dan kepada pencipta dan harus diberikan perlindungan hukum demi menjaga kelestarian dan keaslian cerita tersebut. Dalam penciptaan Cerita Rakyat terdapat upaya kreativitas yang sangat luar biasa sebagai investasi dan konstribusi yang dilakukan oleh penciptanya. Upaya kreativitas untuk menciptakan cerita
92
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit
85
rakyat itu membutuhkan pengorbanan tenaga fisik dan mental, waktu dan biaya (atau dapat disebut sebagai pengorbanan material dan inmaterial) yang tidak sedikit sehingga terciptalah cerita rakyat tersebut. Di situ saja sudah terdapat investasi dan konstribuasi yang tidak ternilai yang dilakukan oleh penciptanya. Selain itu, diperlukan pula upaya kreativitas dan bahkan inovasi dalam penyampaian dan pewarisan cerita rakyat tersebut kepada generasi berikutnya. Penyampaian secara verbal kepada anak-cucu memiliki keterbatasan ruang lingkup sasaran, sehingga memerlukan upaya yang lebih daripada itu untuk dapat mewariskan misi filosofis, teleologis dan estetis yang terkandung di dalam cerita rakyat tersebut kepada generasi-generasi selanjutnya. Upaya-upaya tersebut misalnya melalui pengalihwujudkan ke dalam bentuk pementasan. Pada saat mencipta, seperti teori yang dikemukakan oleh Robert M. Sherwood, dalam Reward Theory bahwa perlu adanya pengakuan terhadap karya intelektual
yang
telah
dihasilkan
oleh
seseorang
sehingga
kepada
penemu/pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual. Hal ini mengingat dalam menghasilkan suatu karya diperlukan adanya pengorbanan yang besar baik itu pengorbanan pikiran, tenaga serta materi. Untuk menciptakan suatu karya, pencipta harus menuangkan seluruh kreativitasnya serta memastikan ciptaannya tersebut berbeda dengan ciptaan orang lain. Pencipta harus meletakkan unsur keaslian dalam ciptaannya dan semua itu bukan hal yang
86
mudah dilakukan, sehingga sebuah pengakuan menjadi salah satu wujud perlindungan bagi pencipta. Pencipta yang dalam menghasilkan suatu ciptaan, yang telah mengorbankan dan menginvestasikan tidak hanya pikiran tetapi juga materi berhak atas insentif dari setiap karyanya (Incentive Theory) mengingat dalam melahirkan suatu karya juga terdapat resiko dimana karyanya bisa saja dicuri oleh pihak lain.93 Insentif diberikan kepada pencipta karena pencipta telah berjasa dalam menciptakan karya cipta asli. Ini sebagai dasar bahwa perlindungan keaslian cerita rakyat harus mendapat perlindungan hak cipta. Cerita rakyat yang dalam hak cipta dalam bidang sastra telah menjadi warisan budaya yang di dalamnya terdapat hak ekonomi dan moral. Berdasarkan uraian Reward Theory dan Insentive Theory keberadaan cerita rakyat baru mendapatkan perlindungan. Perlindungan ini berkaitan dengan keasliannya karena dalam setiap ciptaan terdapat kharakteristik dari penciptanya yang tidak boleh ditiru oleh orang lain tanpa izin. Kharakteristik ini menjadi salah satu pembeda antara ciptaan yang satu dengan yang lain. Cerita rakyat bisa memiliki satu tema dasar yang sama, misalnya tema tentang cinta, tetapi setelah dituangkan dalam sebuah cerita, tema tersebut akan lahir menjadi cerita yang berbeda satu dengan yang lainnya dan di dalamnya terdaapat kharakteristik penciptanya. Cerita cinta
93
Robert M. Sherwood., Loc.Cit.
87
Sangkuriang dan Jayaprana sama-sama memiliki tema utama tentang kisah cinta, tetapi setelah menjadi cerita, memiliki kharakter yang berbeda. Misalnya dari penggunaan bahasa, Sangkuriang yang berasal dari daerah Jawa barat menggunakan bahasa Sunda sementara cerita Jayaprana menggunakan bahasa Bali. Daerah asal dipergunakan sebagai sarana memberi kharakteristik adalah karena kebanyakan dari cerita rakyat bersifat lisan dan tidak diketahui siapa penciptanya. Daerah asal adalah yang menjadi pembeda paling jelas antara satu cerita rakyat dengan cerita rakyat lainya. Terhadap usaha mencipta, diberikan insentif kepada pencipta. Berkaitan dengan cerita rakyat dan keasliannya, yang sewajarnya mendapatkan insentif atas karya tersebut adalah daerah asal atau masyarakat dimana cerita tersebut hidup. Mereka adalah yang memelihara dan meneruskan cerita tersebut sehingga sudah selayaknya mendapatkan manfaat juga dari penggunaan cerita tersebut oleh orang lain. Insentif yang diberikan dapat bermanfaat dalam mengembangkan daerah tersebut juga mendorong masyarakat untuk lebih menghargai serta menjaga keaslian karya-karya tradisioanl khususnya cerita rakyat. Perlindungan
juga
dilakukan
dengan
menerapkan
pembatasan-
pembatasan dalam pemanfaatan hak cipta seperti menerapkan prinsip fair use. Pembatasan dalam penetuan keaslian suatu karya cipta diperlukan karena 2 hal “first, it reduce to minimum the element of subjective judgment (and attendant uncertainties) in deciding what qualifies for protection. Secondly, it allows
88
protection for any investment of labour and capital that in some way produces a literary result”.94 Pembatasan terhadap level keaslian bertujuan menimimalisir penilaian subjektif dalam menentukan kualifikasi keaslian dalam memberikan perlindungan
terhadap
suatu
ciptaan.
Pembatasan
juga
memungkinkan
perlindungan pada setiap investasi dari tenaga kerja dan modal yang telah dikeluarkan dalam menghasilkan suatu ciptaan. Investasi berupa tenaga kerja dan modal ini yang nantinya memberikan ciri dalam suatu ciptaan. Ciri dari Penciptanya yang membedakannya dengan ciptaan lain. Fair use sendiri dapat dikatakan merupakan wujud dari fungsi sosial atas suatu hak cipta. Fair use mewajibkan pencipta untuk mengikhlaskan atau mengijinkan
ciptaannya
dipergunakan
oleh
masyarakat
untuk
berbagai
kepentinganya. Syarat dalam fair use adalah harus tetap diakuinya ciptaan tersebut adalah ciptaan asli milik pencipta aslinya. Pengakuan itu diwujudkan dengan tetap mencantumkan pencipta asli atau menyebutkan sumber asal ciptaan yang dipergunakan.95 Penggunaan sistem fair use sebagai wujud dari perlindungan hukum adalah seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15 UUHC yang menyatakan bahwa “dengan syarat sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta…” dengan mencantumkan nama 94
William Cornish dan David Llewelyn, Op.Cit, hal.391.
95
Henry Soelistya, Op.Cit.,hal.96-97.
89
pencipta asli, sekalipun ciptaan tersebut dipergunakan oleh banyak pihak, ciptaan tersebut akan tetap terjaga keasliannya dan tetap dapat memberi manfaat bagi pihak lain. Berkaitan dengan penggunaan cerita rakyat yang dipergunakan secara turun-temurun sehingga sulit unutk menentukan keasliannya bahkan Penciptanya tidak diketahui, fair use dapat dipergunakan untuk memberikan perlindungan bagi keasliannya. Dengan adanya fair use, cerita rakyat tetap dapat dipergunakan oleh banyak pihak demi berbagai kepentingan yang tidak bertentangan dengan ketetuan Pasal 15 UUHC seperti misalnya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, pertunjukkan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran tanpa menciderai hak moral dari pencipta atau pemegang hak cipta atas ciptaan aslinya. Untuk cerita rakyat yang tidak diketahui penciptanya, perlindungan dengan menerapkan system fair use dapat dilakukan dengan mencantumkan daerah asal dari cerita rakyat tersebut. Hal ini karena sifat dari cerita rakyat yang merupakan bagian dari ekspresi budaya tradisional yaitu tidak diketahui siapa penciptanya dan tumbuh serta berkembang dalam masyarakat secara turun-temurun. Mencantumkan daerah asal ciptaan tersebut telah memberikan apa yang menjadi hak moral bagi pencipta atau pemegang hak cipta yaitu daerah dimana cerita rakyat tersebut tumbuh dan menjadi nilai-nilai bagi masyarakatnya. Undang-undang
memang
tidak
mewajibkan
pencipta
untuk
mencantumkan identitas dirinya dalam ciptaannya. Undang-undang hanya
90
mewajibkan untuk menghormati hak moral dari pencipta dengan tetap mencantumkan nama dari pencipta aslinya. Pencipta juga tetap memiliki haknya untuk meniadakan namanya dan tidak menampilkan identitas aslinya dalam ciptaannya96 sehingga sekalipun pencipta tidak mencantumkan identitas sebenarnya dari pencipta, identitasnya tetap harus dicantumkan demi melindungi hak moral dari pencipta meskipun identitas tersebut hanya nama daerah dari cerita rakyat dimana cerita itu hidup. Mencantumkan identitasnya berarti memberikan perlindungan hak moral pada masyarakat dimana cerita itu lahir dan berkembang. Pasal 10 UUHC belum memberikan perlindungan yang memadai bagi cerita rakyat sebagai bagian dari folklor. Sebab, sesuai dengan Penjelasannya, ketentuan Pasal 10 merupakan tujuan melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain. Perlindungan itu dimaksudkan untuk mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin nega sebagai Pemegang Hak Cipta. Selain itu juga dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. Keberadaan Pasal 10 seperti tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah lahirnya HKI yang merupakan konsep barat yang bersifat individu, sementara masyarakat Indonesia masih memandang folklor sebagai hal komunal yang merupakan milik bersama tidak untuk tujuan komersil. Selain itu syarat suatu ciptaan harus bersifat asli dan berwujud juga menjadi kesulitan bagi cerita rakyat 96
Ibid.,hal.86-87.
91
untuk mendapatkan pelindungan hak cipta. Karena cerita rakyat diwariskan turuntemurun secara lisan (tidak berwujud) dan yang memegang sifat asli adalah pengarang yang pertama (tidak diketahui). Selain itu sifat beberapa karya tradisional juga diilhami adat yang telah ada dan melibatkan pola meniru secara berulang-ulang, sehingga kriteria keaslian menjadi sulit terpenuhi. UUHC Pasal 55 yang menyatakan “penyerahan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat yang tanpa persetujuannya: meniadakan nama Pencipta yang tercantum pada Ciptaan itu, mencantumkan nama Pencipta pada Ciptaan, mengenai atau mengubah judul Ciptaan atau mengubah isi Ciptaan”. Ketentuan tersebut merupakan perlindungan dari pelanggaran atas hak moral dari Pencipta. Hak moral untuk tetap diakui sebagai pencipta asli atas suatu ciptaan dan diakuinya ciptaannya sebagai ciptaan asli. Dengan adanya ketentuan ini sekalipun suatu cerita rakyat telah diketahui secara luas, diceritakan dari generasi ke generasi, jika tetap di sertai dengan menyebutkan Penciptanya dalam hal ini dapat dilakukan dengan mencantumkan daerah asal cerita rakyat tersebut, keasliannya akan mendapat perlindungan karena tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 55 UUHC. Ketentuan Pasal 55 juga mencegah dilakukannya perubahan atas judul dan isi dari suatu ciptaan. Dengan demikian ciptaan tersebut akan tetap dikenal sebagai ciptaan asli. Misalnya cerita Cupak Gerantang, kemanapun cerita ini dibawa, diceritakan kepada siapapun, isinya diterjemahkan dalam apapun,
92
judulnya akan tetap Cupak Gerantang. Cupak Gerantang tetap akan dikenal sebagi cerita rakyat yang memiliki keaslian sebagai cerita rakyat yang berasal dari Bali. Contoh lain misalnya cerita Asal Usul Danau Toba dan Pulau Samosir. Walaupun judul dari cerita ini diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi The Origin of Lake Toba and Samosir Island, apabila tetap mempertahankan judulnya, akan tetap berarti Asal Usul Danau Toba dan Pulau Samosir dalam bahasa Indonesia dan tetap akan dikenal sebagai cerita rakyat yang asli dan berasal dari Sumatra Barat. Ketentuan lain yang merupakan bentuk perlindungan keaslian cerita rakyat adalah Pasal 56. Bentuk perlindungan ini adalah dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Niaga. Menuntut ganti rugi dan menuntut penyerahan baik sebagian maupun seluruhnya penghasilan yang dihasilkan dari pelanggaran terhadap keaslian ciptaan yang berkaitan dengan pelanggaran hak moral dari pencipta. Perlindungan yang tertuang dalam Pasal 55 dan Pasal 56 UUHC menjadi kurang maksimal tanpa dibarengi dengan adanya ketentuan lebih lanjut yang berkaitan dengan PT dan EBT (Pasal 10 UUHC) karena ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 lebih memberikan perlindungan kepada ciptaan modern tidak kepada ciptaan yang merupakan karya tradisional seperti cerita rakyat. Dimana ciptaan modern jelas penciptanya, jelas tertuang dalam wujud yang pasti sehingga keasliannya juga lebih terjamin. Berbeda halnya dengan PT dan EBT khususnya
93
cerita rakyat yang biasanya bersifat lisan dan tidak diketahui siapa penciptanya, sehingga bukan hal yang mudah untuk menentukan keasliannya. Meskipun demikian, perlindungan terhadap keaslian cerita rakyat mutlak tetap diperlukan dan daerah asal cerita tersebut dapat dipergunakan sebagai acuan perlindungannya. Setiap cerita rakyat sekalipun terdapat pola pengulangan pada tema dari cerita tersebut, tetapi isi dari ceritanya akan berbeda-beda dan nilai yang terkandung di dalamnya pun berbeda-beda. Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 UUHC Nomor 19 Tahun 2002 perlindungan terhadap karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya serta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama dilakukan dengan: 1. Negara bertindak sebagai pemegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya serta Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Hal itu dimaksudkan untuk untuk mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara sebagai Pemegang Hak Cipta dan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. 2. Menentukan secara limitatif ruang lingkup atau jenis folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, yakni antara lain: cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian,
94
kaligrafi, dan karya seni lainnya. Artinya bahwa jenis folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama yang tidak ditentukan di dalam Pasal 10 hak ciptanya tidak berada pada negara sehingga tidak mendapatkan perlindungan oleh negara. Namun harus diakui bahwa penyebutan jenis-jenis itu belum tuntas, terbukti dari adanya frasa “karya seni lainnya”. 3. Perlindungan melalui instrument administrasi negara yakni izin. Orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan atas karya tradisional dan foklor. 4. Perlindungan melalui regulasi delegasian yakni dengan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
95
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERKAIT KEPEMILIKAN CERITA RAKYAT YANG TELAH DIALIHWUJUDKAN DALAM BENTUK PERTUNJUKKAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK BAIK NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL
Di abad ke-20 ini infrastruktur komunikasi, jaringan computer, satelit televisi mengalami perkembangan yang semakin pesat. Penduduk di negaranegara maju dan berkembang semakin leluasa mendapatkan informasi. Perkembangan ini juga berdampak pada perkembangan budaya masyarakatnya. Sebelumnya perusahaan penerbitan, penyiaran, rekaman dan film hanya bekerja dengan alat seadanya, tetapi sekarang mereka mendapatkan akses fasilitas teknologi yang jauh lebih canggih. Hal ini juga seiring dengan tingkat intelektual dan kreativitas manusia. Jika sebelumnya hanya bisa menciptakan sebuah cerita yang bahkan tidak tertuang dalam sebuah naskah, maka sekarang cerita tersebut tidak hanya sebatas cerita saja. Cerita tersebut telah dialihwujudkan ke dalam bentuk-bentuk lain yang lebih menarik. UUHC mengakui adanya karya yang dialihwujudkan. Untuk menjadi karya derivative, suatu karya harus tetap memiliki unsur keaslian. Derivative dalam hak cipta berarti relating to, or constituting a work that is taken from, translate from adapted from, or in some way further
96
developed from a previous work.97 Penjelasan Pasal 12 UUHC menjelaskan yang dimaksud dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung menjadi bentuk lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Salah satu bentuk pengalihwujudan yang sangat terkenal adalah pengalihwujudan novel karya J. K Rowling yang berjudul Harry Potter kedalam bentuk film. Pengalihwujudan ini tidak terbatas pada novel menjadi film, mengingat begitu banyak pertunjukkan seni yang ada. Pengalihwujudan ini bisa jadi berupa cerita rakyat menjadi sendratari atau teater lengkap dengan efek suara dan penataan lampunya. Dapat pula berupa pengalihwujudan dari cerita rakyat menjadi film televisi, dapat pula pengalihwujudan dari cerita rakyat menjadi sandiwara radio maupun dari film hitam putih menjadi film berwana. Perkembangan media elektronik juga menjadi pemicu kreatifitas dalam menciptakan karya-karya baru maupun karya derivative dari karya asli yang telah ada sebelumnya. Media elektronik sendiri berarti sarana media massa yang mempergunakan alat-alat elektronik modern seperti radio, televisi dan film. Media film berarti sarana media massa yang disiarkan dengan menggunakan peralatan film (film, proyektor, layar).
98
Karena itu, kajian terhadap permasalahan
perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk 97
Bryan A. Gerner, Op.,Cit.,Hal.475.
98
Lukman Ali, Op.Cit., Hal. 640.
97
pertunjukan seni melalui media elektronik dalam ranah nasional maupun internasional dipilah menjadi kajian atas perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik di dalam negeri dan perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni melalui media elektronik di luar negeri. 4.1. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat yang Dialihwujudkan dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik di dalam Negeri (Nasional)
Pada mulanya masyarakat Indonesia tidak begitu mempermasalahkan mengenai aspek hukum pengalihwujudan suatu karya dalam bentuk lain oleh pihak lain yang mengambil keuntungan dari ciptaan tersebut. Kesediaan berbagi atas suatu ciptaan yang telah lama ada dapat dilihat dari sikap masyarakat Bali yang dengan rela membagi ilmunya dalam memahat patung, masyarakat Jawa yang berbagi resep masakan tradisional mereka dan cara membatik, berbagi cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun tanpa memikirkan aspek ekonomi yang mereka bisa dapatkan dari berbagi karya cipta asli kepada pihak lain.99 Pemanafaatan yang demikian tidak selamanya merugikan sepanjang dimanfaatkan demi kepentingan seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15
99
Besar, 2012, Pengalihwujudan Dalam Kerangka Konsep Hukum Hak Cipta, Humaniora: Vol.3 No.1., Jakarta, http://eprint.binus.ac.id/25653/1/02_HK_Besar.pdf, Diakses 15 Desember 2013, Hal.19.
98
UUHC. Penggunaan ciptaan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut biaya, penggadaan ciptaan untuk tujuan huruf Braille dan lain-lain diperkenankan untuk dilakukan. Tetapi belakangan ini semakin marak pemanfaatan karya asli yang merugikan bangsa Indonesia sehingga karya derivative pun harus dilindungi kepemilikannya. Penjelasan umum UUHC menjabarkan alasan lahirnya UUHC yang berlaku saat ini yaitu mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki keanenakragaman etnik/suku bangsa dan budaya serta kekayaan dibidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembangannya yang perlu mendapatkan perlindungan. Terlebih lagi kenyataan bahwa kekayaan seni dan budaya tersebut dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi penciptanya tetapi juga bagi bangsa dan negara.100 Perkembangan ilmu pengetahuan juga mendorong kreativitas masyarakat untuk mengembangkan karya-karya yang ada ke dalam bentuk-bentuk lain daripada bentuk aslinya.
Landasan teori sudah mengemukakan teori dari John Locke yang mengatakan bahwa hak atas property lahir dan ada karena adanya usaha dan pengorbanan waktu dan tenaga yang telah diberikan dan diinvestasikan untuk menghasilkan property tersebut. Oleh karena itu lahirlah hak yang melekat pada
100
Sophar Maru Hutagalung, 2012, Hak Cipta Kedudukan Dan Peranannya Dalam Pembangunan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 251-252.
99
karya intelektual sebagai hasil investasi kreatif seseorang (Creative people have an inherent right to their intellectual property because of the labour they have invested in it).101
Berdasarkan pada teori tersebut maka dalam tujuan memberikan penghargaan terhadap kerja keras dan usaha yang dilakukan untuk menghasilkan suatu ciptaan, perlindungan atas ciptaan semakin perlu diberikan, terlebih perlindungan terhadap karya-karya derivative yang perkembangannya begitu pesat seiring dengan perkebangan teknologi. Suatu karya asli dapat dengan mudah diubah, dijiplak, diumumkan sebagai milik orang lain dengan tidak mencantum nama pencipta aslinya. Karena itulah, perlindungan terhadap ciptaan harus dilakukan sebagai apresiasi kepada penciptanya.
Perlindungan cerita rakyat
yang dialihwujudkan dalam bentuk
pertunjukkan melalui media elektronik merupakan salah satu karya cipta yang perlu mendapatkan perlindungan karena untuk menghasilkannya diperlukan pengorbanan waktu dan tenaga sekalipun derivative work biasanya berasal dari cipataan yang telah ada sebelumnya yang merupakan ciptaan asli, tetapi dalam menghasilkan derivative work
tetap harus menambahkan unsur-unsur yang
menjadikannya sebagai karya cipta yang tidak menjiplak dan untuk itu diperlukan pengorbanan serta tingkat pengetahuan.
101
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit.
100
Perlindungan dapat dilakukan dengan memberikan standar pembeda antara ciptaan asli dengan derivative work. Suatu karya derivative harus memiliki materi pembeda dan baru untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. Yang mendapatkan perlindungan adalah material baru yang ditambahkan kedalam ciptaan asli yang telah ada sebelumnya. Contoh spesifik yang tergolong sebagai karya derivatif yaitu: 1. Dokumentasi stasiun televisi yang didasari pada catatan kaki yang diambil dari sebuah arsip atau gambar fotografi terdokumentasi. 2. Gambar bergerak yang didasari pada cerita. 3. Karya seni pahat yang didasari pada gambar. 4. Novel dalam bahasa Inggris terjemahan yang didasari pada novel berbahasa lain. 5. Gambar yang didasari pada karya fotografi. 6. Peta yang dibukukan berdasarkan peta yang tergolong public domain yang di Dalamnya ditambahkan beberapa peta baru. 7. Sound recording (CD yang beberapa isinya mungkin pernah dipublikasikan). 8. Biografi seseorang yang didasari pada jurnal dan surat-surat orang yang bersangkutan. 9. Drama, berkenaan dengan seseorang yang didasari pada jurnal dan surat-surat orang yang bersangkutan. 10. CD yang isinya sudah pernah di-release dan di-remix kemudian di-release. 11. Karya litografi yang didasari pada lukisan/gambar.102 Dengan adanya unsur pembeda, akan lebih mudah ditentukan apakah suatu karya tersebut mendapat perlindungan sebagai derivative work atau menjiplak. Dalam pengalihwujudan cerita rakyat menjadi bentuk pertunjukkan, cerita rakyat akan menjadi derivative work pada saat didalamnya ditambahkan materi pembeda seperti menampilkannya dalam bentuk pertunjukkan film televisi. Setelah menjadi
102
Aryani Nauli Hasibuan, 2011, Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif Dalam Prakteknya:Studi Kasus Buku Ensiklopedia Al Quran: Al-Maushuah Al-Quraniyah AlMuyassarah, (tesis) Program Pascasarjana Hukum Ekonomi, Jakarta, Hal.47.
101
film televisi, cerita rakyat yang tadinya hanya tertuang dalam bentuk tulisan bahkan tidak sedikit yang masih berupa cerita lisan, mendapatkan unsur-unsur baru antara lain diwujudkannya tokoh-tokoh dalam cerita itu oleh para aktor, terdapat penambahan efek suara dalam adegan-adegannya, terdapat tambahan lagu yang bisa lebih menghidupkan isi cerita tersebut, film yang ditayangkan berwarna sehingga menarik untuk di tonton dimana semua penambahan tersebut dihasilkan dari kemampuan intelektual, pengorbanan dan investasi yang besar. Pembedaan yang diberikan pada film televisi yang berasal dari cerita rakyat menjadikan film televisi sebagai derivative work yang mendapat perlindungan. Tidak hanya dalam bentuk film televisi, cerita rakyat yang juga dapat dialihwujudkan dalam bentuk sendratari yang didalamnya terdapat unsur pembeda dari ciptaan asli antara lain penambahan efek cahaya, penambahan efek suara,
penggunaan
kostum
yang
lebih
menghidupkan
tokoh-tokohnya,
penambahan pada dialog diantara para tokohnya yang semuanya itu tidak ada pada cerita rakyat yang hanya tertuang dalam tulisan. Pembeda antara karya asli dengan derivative work dapat dilihat dari seberapa besar materi substansial yang ada pada karya asli dipergunakan dalam derivative work. Karya asli dikatakan memiliki nilai keaslian apabila tidak meniru bagian yang substansial dari karya yang sudah ada sebelumnya. Pengecualin diberikan kepada peniruan terhadap karya yang telah menjadi public domain. Pada derivative work perlindungan akan diberikan kepada karya yang walaupun
102
berasal dari tema yang sudah umum atau berasal dari ciptaan yang sudah ada sebelumnya, sepanjang didalamnya ditambahkan unsur-unsur pembeda dan baru maka karya derivative tersebut juga dianggap asli. Yang dilindungi disini adalah kemampuan pencipta berkreasi, kemampuan intelektual, serta investasinya dalam menghasilkan karya baru. Upaya perlindungan tersebut selain perlindungan terhadap derivative work yang dihasilkan perlu juga perlindungan terhadap karya asli yang merupakan ide dari lahirnya derivative work tersebut. Perlindungan terhadap karya aslinya dapat dilakukan dengan tetap mencantumkan nama dari Pencipta aslinya. Untuk cerita rakyat yang umumnya tidak diketahui siapa Penciptanya, dapat dicantumkan daerah asal dari cerita tersebut. Hal ini adalah penghargaan dan pengakuan bagi daerah dan masyarakat setempat tempat cerita itu hidup. Teori lain yang merupakan dasar perlindungan terhadap karya yang dialihwujudkan adalah Recovery theory yang menyatakan bahwa pencipta berhak mendapatkan kembali semua pengorbanannya dalam menghasilkan suatu ciptaan dan Risk theory yang menyatakan bahwa HKI merupakan suatu hasil kreativitas yang mengandung resiko.103 Recovery theory menekankan bahwa atas suatu hasil karya cipta, sudah selayaknya pencipta mendapatkan manfaat kembali dari ciptaannya, karena dalam menciptakan suatu karya derivative yang berasal dari
103
Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauzi Mayana, Loc.Cit.
103
cerita rakyat bukan hal yang mudah. Banyak pengorbanan dan investasi baik berupa tenaga maupun materi yang dikorbankan. Hal ini yang menyebakan kepada pencipta harus diberikan pengembalian baik berupa materi maupun pengakuan dari hasil pemanfaatan karyanya oleh pihak lain atau jika ciptaannya disebarluaskan sendiri oleh pencipta dengan tujuan komersial. Menghasilkan karya derivative merupakan hal yang beresiko, dimana setiap saat dalam proses menciptakannya, pihak lain dapat saja mendahului menemukan cara baru untuk memperbaiki atau mengubah suatu ciptaan asli sehingga menjadi karya derivative seperti yang akan dibuat pencipta. Sehingga perlindungan terhadap karya derivative dan pencipta karya derivative menjadi sangat diperlukan. Perlindungan atas cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan melalui media elektronik diatur dalam UUHC. Perlindungan atas cerita rakyat yang merupakan bagian dari folklor dalam ketentuan Pasal 10. Dimana dijelaskan bahwa yang memegang hak cipta atas cerita rakyat yang kebanyakan bersifat anonim atau tidak diketahui penciptanya adalah negara. Sementara peraturan lebih lanjut mengenai ketentuan ini akan diatur dalam Peratuan Pemerintah yang hingga saat ini berlum ada. Lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 10 adalah bahwa Negara memegang Hak Cipta atas folklor dengan tujuan mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta
104
tindakan merusak atau pemanfaaatan komersial tanpa izin negara Republik Indonesia, terutama menghindari pemanfaatan yang merugikan oleh pihak asing. Pasal 12 ayat (1) UUHC menyebutkan ciptaan yang mendapatkan perlindungan Hak Cipta, termasuk didalamnya adalah terjemahan, tafsiran, sarudan, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Pasal 12 ayat (2) bahwa ciptaan yang sebagai mana disebutkan dalam huruf (l) dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas ciptaan asli. Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf l menyebutkan yang dimaksudkan dengan pengalihwujudan adalah pengubahan bentuk, misalnya dari bentuk patung menjadi lukisan, cerita roman menjadi drama, drama menjadi sandiwara radio, dan novel menjadi film. Melalui penjelasan Pasal 10 diketahui jika cerita rakyat tersebut merupakan satu kesatuan asli, sekalipun tidak diketahui penciptanya, akan tetap mendapat perlindungan hak cipta dimana hak ciptanya akan dipegang oleh negara. Setiap pihak yang akan memanfaatkannya harus mendapat izin terlebih dahulu dari kepada negara selaku pemegang hak cipta. Mengingat dalam setiap ciptaan melekat hak ekonomi dan hak moral yang harus dipenuhi. Penyalahgunaan hakhak tersebut akan merugikan bangsa dan negara Indonesia. Namun di lain sisi, cerita rakyat yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat, akan menjadi kurang adil apabila hasil dari pemanfaatannya tidak sampai kepada tempat dimana cerita rakayat tersebut tumbuh dan berkembang karena masyarakat
105
tempat cerita rakyat tersebut tumbuh dan berkembang lebih berhak atas kebudayaannya daerahnya dan memanfaatkan hasil kebudayaannya untuk memajukan kreatifitas masyarakat setempat. Karya-karya yang dialihwujudkan juga mendapat perlindungan bahkan dianggap sebagai karya tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan aslinya. Sehingga karya-karya seperti novel yang dialihwujudkan menjadi film telah mendapatkan perlindungan hak cipta. Yang mendapat perlindungan adalah materi-materi baru yang terkadung dalam film tersebut, karena novel sendiri telah mendapat perlindungan tersendiri sebagai karya asli. Hak cipta atas novel dipegang oleh pengarang sedangkan hak cipta atas film dipegang oleh produser film tersebut. Demikian pula dengan hak cipta atas cerita rakyat yang di pegang oleh negara. Apabila cerita rakyat dialihwujudkan kedalam bentuk pertunjunkan lain seperti drama, sendratari maupun film, pihak yang akan mengalih wujudkan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari negara selaku pemegang hak cipta. Hanya saja mekanisme pengajuan izin tersebut masih awam bagi masyarakat Indonesia. Apakah pengajuan izin pengalihwujudan cerita rakyat dapat diajukan melalui Dewan Hak Cipta, karena Direktorat Jederal Hak Cipta hanya bertugas menyelenggarakan pendaftaran hak cipta seperti ketentuan Pasal 35 UUHC. Setelah cerita rakyat tersebut dialihwujudkan, maka yang memegang hak cipta atas pengalihwujudannya pihak-pihak yang melakukan pengalihwujudan, pihak-
106
pihak yang dengan daya intelektualitas yang tinggi telah menambahkan materimateri baru sehingga hasil pengalihwujudannya tersebut dapat di kategorikan asli. RUU PT dan EBT yang akan segera di sahkan, terdapat ketentuan yang lebih jelas berkaitan dengan perlindungan cerita rakyat yang merupakan bagian dari EBT. Ketentuan perlindungan PT dan EBT meliputi: kualifikasi PT dan EBT yang dilindungi, ruanglingkup dan waktu perlindungan PT dan EBT, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2, 3 dan 4 RUU. Kualifikasi PT dan EBT yang dilindungi meliputi unsur budaya; kecakapan teknik (know how), keterampilan, inovasi, konsep, pembelajaran dan praktik kebiasaan lainnya yang membentuk gaya hidup masyarakat tradisional termasuk di antaranya pengetahuan pertanian, pengetahuan teknis, pengetahuan ekologis, pengetahuan pengobatan termasuk obat terkait dan tata cara penyembuhan, serta pengetahuan yang terkait dengan sumber daya genetic. Selain itu, kualifikasi juga juga mencakup salah satu atau kombinasi bentuk ekspresi verbal tekstual, music, gerak, teater, seni rupa, dan upacara adat. Lingkup
perlindungan
meliputi
perlindungan
pencegahan,
dan
pelarangan. Pencegahan dilakukan dengan keharusan mendapatkan izin atas akses pemanfaatan dan perjanjian pemanfaatan PT dan EBT oleh orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing. Sedangkan pelarangan dilakukan terhadap:
107
1. Pemanfaatan oleh orang asing atau badan hukum asing atau badan hukum Indonesia penanaman modal asing
yang tidak mendapatkan izin
aksespemanfaatan. 2. Pemanfaatan oleh setiap orang atau badan hukum baik asing maupun Indonesia yang tidak menyebutkan dengan jelas asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber PT dan EBT. 3.
Pemanfaatan PT dan EBT oleh setiap orang atau badan hukum baik asing maupun Indonesia yang dilakukan secara tidak patut, menyimpang dan menimbulkan kesan tidak benar terhadap masyarakat terkait, atau yang membuat masyarakat tersebut merasa tersinggung, terhina, tercela, dan/atau tercemar.
Jangka waktu perlindungan PT dan EBT ditentukan dalam Pasal 4 RUU, bahwa jangka waktu perlindungan diberikan selama masih dipelihara oleh Kustodiannya. Rancangan Penjelasan Pasal 4 menerangkan mengenai yang dimaksud dengan kata dipelihara adalah disamping dijaga kelestariannya dari kepunahan juga termasuk pengembangan sejauh pengembangan tersebut tidak terlalu jauh menyipang dari keaslian PT-EBT tersebut. Salah satu unsur penting yang ditentukan di dalam RUU sebagai kualifikasi menentukan perlindungan yaitu penyebutan dengan jelas asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber PT dan EBT. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari adanya pemanfaatan yang membuat masyarakat
108
umum mendapat informasi yang salah tentang asal dari PT-EBT tersebut. Pasal 3 (b) menyebutkan bahwa salah satu pemfaatan PT dan EBT yang dilindungi adalah PT dan EBT yang dalam pelaksanaan pemanfaatannya tidak menyebutkan dengan jelas daerah asal wilayah dan komunitas atau masyarakat yang menjadi sumber dari PT dan EBT tersebut. Mengalihwujudkan cerita rakyat kedalam bentuk seni pertunjukkan melalui media elektronik berarti memanfaatkan cerita rakyat untuk menghasilkan Ciptaan baru. Pemanfaatan ini harus dilakukan dengan benar dan tanpa mengurangi Hak Moral dari Pencipta aslinya. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 7 RUU PT dan EBT menyebutkan bahwa dalam tujuan memanfaatkan PT dan EBT dalam hal ini cerita rakyat diperlukan adanya proses permohonan izin yang juga dibarengi dengan pembuatan perjanjian pemanfaatan dengan kustodian (komunitas atau masyarakat tradisional yang memelihara dan mengembangkan PT dan EBT secara tradisional dan komunal) PT dan EBT tersebut. Setiap permohonan pemanfaatan PT dan EBT diajukan kepada Menteri dengan menyertakan keterangan antara lain wilayah sumber atau asal PT dan EBT yang akan dimanfaatkan. Perlindungan kepemilikian cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan seni melalui media elektronik semakin diperluas dengan adanya Undang – Undang No.11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik. Ketentuan Pasal 25 UU ini menyatakan bahwa informasi elektronik atau dokumen elektronik digolongkan sebagai karya intelektual dan mendapatkan
109
perlindungan sebagai HKI. Karya derivative dari cerita rakyat melalui media elektronik mendapatkan perlindungan karena merupakan derivative work melalui media elektronik dikatagorikan dalam dokumen elektronik yang terdari dari suara, gambar, peta atau photo yang ditampilkan, dilihat atau didengar melalui komputer atau system elektronik. Dengan demikian mengacu kepada ketentuan Pasal 25 tersebut, maka perlindungan mengenai kepemilikannya dikembalikan kepada UUHC. Uraian tersebut di atas menjelaskan dasar dan pentingnya diberikan perlindungan atas kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan seni dimana berdasarkan uraian tersebut diatas, cerita rakyat sebagai ciptaan aslinya mendapatkan perlindungan dan kepemilikannya juga diakui sebagai milik negara yang bertindak sebagai pemegang hak cipta atas karya tersebut seperti yang tertuang dalam UUHC Pasal 10. Karya derivative yang mempergunakan cerita rakyat sebagai dasarnya juga mendapatkan perlindungan seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 12 huruf (l) dan kepemilikannya diakui sebagai milik dari pencipta yang telah berhasil menuangkan cerita rakyat dalam bentuk yang baru. Apabila cerita rakyat itu dituangkan dalam bentuk film, maka yang menjadi pemilik dari karya tersebut adalah produser film. Usaha
memberikan
perlindungan
terhadap
cerita
rakyat
yang
dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukkan tidak akan maksimal mengingat masih kosongnya peraturan yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara permohonan
110
pengajuan izin dalam menggunakan cerita rakyat yang merupakan karya tradisional sebagai dasar dari karya derivative. Peran serta dan kesadaran dari masyarakat juga penting dalam perlindungan hak cipta bagi karya-karya mereka khususnya bagi masyarakat lokal yang tidak menempatkan semata-mata hanya berkarya demi memenuhi kebutuhan hidup. 4.2. Perlindungan Hukum Kepemilikan Cerita Rakyat Yang Dialihwujudkan Dalam Bentuk Pertunjukkan Melalui Media Elektronik Di Luar Negeri (Internasional) Pada Masa lalu penulis buku, penyanyi, musisi, penari dapat hidup dengan tenang tanpa khawatir karyanya akan dimanfaatkan secara ilegal. Hal ini bukan karena moral masyarakat pada saat itu yang lebih baik, tetapi lebih kepada karena sarana teknologi yg belum memadai pihak-pihak tersebut untuk melakukan pemanfaat karya cipta secara ilegal. Dalam perkembangannya muncul sarana teknologi yang memungkinkan pemanfaatan yang merugikan tersebut. Teknologi yang mempermudah akses dengan dunia luar, sehingga apa yang sedang dipentaskan di Indonesia dapat secara langsung diakses di luar negeri.104 I La Galigo merupakan naskah cerita rakyat yang berasal dari Bugis dan merupakan naskas cerita terpanjang di dunia sehingga memiliki nilai yang sangat tinggi. Sebagai salah satu bentuk folklor, I La Galigo harus mendapat
104
Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, 2008, Pengenalan HKI: Konsep Dasar Kekayaan Intelektual Untuk Penumbuhan Inovasi, PT. Indeks, Jakarta, Hal.120-121.
111
perlindungan Hak Cipta, namun perlindungan Hak Cipta masih kurang memadai. Hal ini terakit dengan adanya pementasan I La Galigo di kota besar didunia oleh orang asing sehingga merugikan Indonesia secara ekonomi dan moral.105 I La Galigo hanya satu dari beberapa kasus pemanfaatan kekayaan tradisional bangsa ini oleh pihak asing yang tidak bertanggung jawab. Beberapa perjanjian internasional mulai marak membahas perlindungan pengetahuan tradisional. Seperti misalnya dalam Berne Convention, “Traditional knowledge (TK) is generally understood to encompass four types of creative works: verbal expressions (stories, epics, legends, folk tales, poetry, riddles, etc.), musical expression, expression by action and tangible expression….”106 Dari pengertian tersebut diatas, cerita rakyat tergolong didalam pengetahuan tradisional yang harus mendapat perlindungan. Article 15(4) Berne Convention dapat ditafsirkan memberikan kepada negara masing-masing untuk membentuk kebijakan sendiri yang mengatur mengenai perlindungan terhadap ciptaan yang tidak diketahui penciptanya seperti halnya dalam melindungi cerita rakyat. Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional juga dicanangkan dalam WIPO Draft Provisions on Traditional Cultural Expression/Forlklore and
105
Aris Ideanto, Perlindungan Folklor Indonesia: Perbandingan Sistem Hukum Dalam Studi Kasus I La Galigo, http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jps?id=83480&lokasi=lokal, Diakses 7 Desember 2013. 106
Module 8: Traditional Knwoledge, Available at http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional_Knowledge, Accessed 20December 2013.
112
Traditional Knowledge. Walapun masih berupa draft, tetapi dapat dijadikan sebagai pijakan dalam forum-forum diskusi ditingkat nasional, regional maupun internasional akan pentingnya perlindungan pengetahuan tradisional diantaranya cerita rakyat. Tujuannya antara lain mencegah penyalahgunaan pengetahuan tradisional, mendorong kreativitas masyarakat lokal, dan tentunya memberikan kepastian hukum bagi perlindungan Hak Cipta tradisional. Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expression menyebutkan "the importance of traditional knowledge as a source of intangible and material wealth, and in particular the knowledge systems of indigenous peoples, and its positive contribution to sustainable development, as well as the need for its adequate protection and promotion…." (Article 1 h.) Konvensi ini menyadari betul betapa pengetahun tradisional harus mendapatkan perlindungan dan menyerahkan sepenuhnya kepada negara-negara yang bersangkutan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan guna memberikan perlindungan dan promosi atas keanekaragaman ekspresi budaya daerah mereka sendiri. Perlindungan hukum terhadap pemegang hak cipta khususnya atas karya tradisional dimaksudkan untuk menumbuhkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya keinginan mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan
113
sastra.107 Perlindungan atas karya cipta tradisional juga harus dibarengi dengan perlindungan atas karya derivative dari karya cipta tradisional tersebut. Perlindungan dirasa semakin penting mengingat banyaknya penyalahgunnan pemanafaat karya cipta tradisional kedalam derivative work oleh pihak asing. Misalnya penggunaan lagu Rasa Sayange dalam iklan pariwisata Malaysia. Pada awalnya lagu Rasa Sayange hanya lagu daerah Maluku, kemudian di kemas sedemikian rupa serta di tampilkan sebagai lagu iklan pariwisata budaya Malaysia tanpa adanya permohonan izin penggunaan dari Indonesia. Suatu ciptaan merupakan hasil kreativitas peciptanya dan merupakan investasi kreatif yang memerlukan pengorbanan besar alam menciptakannya.108 Hal ini seperti yang dikemukakan oleh John Lock dan merupakan salah satu dasar bagi perlindungan hak cipta. Teori lain yang juga menjadi dasar perlindungan dari hak cipta adalah Recovery theory yang menekankan pada pengembalian atas segala pengorbanan yang telah dilakukan oleh pencipta dalam menghasilkan suatu ciptaan dan Risk theory yang menyatakan bahwa dalam proses mencipta, terdapat resiko dimana orang lain dapat saja melahirkan ciptaan yang sama kapan saja.109 Sebuah karya derivative lahir dari usaha keras pencipta untuk menambahkan unsur-unsur baru kedalam ciptaan asli hingga menjadi sebuah karya derivative. Cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam sebuah pertunjukkan
107
Hery Firmansyah, 2011, Perlindungan Terhadap Merek, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal.16. 108
Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan, Loc Cit
109
Robert M. Sherwood dikutip oleh Ratni Fauzi Mayana, Loc.Cit
114
seni membutuhkan banyak kemampuan kreatif dalam mewujudkannya. Pencipta harus menambahkan paling tidak elemen efek suara, pencahayaan, dan musik didalamnya yang membedakannya dari ciptaan asli. Untuk semua kerja keras pencipta dalam menghasilkan karya derivative, pencipta harus mendapatkan perlindungan atas karya ciptanya. Pencegahan terhadap pelanggaran yang mungkin akan terjadi bagi harus dilakukan. Dokumentasi dapat menjadi cara mencegah pelanggaran tersebut. Dokumentasi atas karya tradisional asli dapat dijadikan patokan dalam memberikan perlindungan terhadap karya cipta derivative. Jika suatu karya tradisional telah secara jelas dan terdaftar merupakan ciptaan masyarakat Indonesia yang kemudian dituangkan dalam bentuk derivative work oleh siapapun hingga dipertunjukkan secara internasional dengan tanpa memperoleh izin pemanfaatan dari pemerintah Indonesia, maka derivative work tersebut tidak berhak mendapatkan perlindungan hak cipta karena didalamnya terdapat unsur penjiplakan dan penggunaan ciptaan tanpa izin. Negara pun dapat secara tegas mengajukan klaim atas terjadinya pelanggaran tersebut dengan menyertakan Daftar Umum Ciptaan sebagai salah satu bukti bahwa ide awal atau materi dari karya derivative tersebut baik seluruhnya atau sebagian merupakan milik bangsa Indonesia dan telah dipergunakan tanpa izin. Ketentuan mengenai pendafataran hak cipta tertuang dalam Pasal 35 UUHC
ayat
(1)
yang menyatakan bahwa
115
Direktorat
Jenderal
adalah
penyelenggara pendaftaran Ciptaan dan akan di catat dalam Daftar Umum Ciptaan. Namun ketentuan Pasal 35 ayat (4) UUHC menyatakan bahwa pendafataran ciptaan bukan merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta, karena timbulnya perlindungan hak cipta telah ada sejak ciptaan itu terwujud, bukan karena pendaftran. Lebih lanjut ketentuan Pasal 37 UUHC menyebutkan bahwa pendaftaran ciptaan dilakukan atas permohonan, dengan demikian tanpa adanya permohonan pendaftaran, suatu ciptaan tidak akan terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan. Pemerintah disini bersifat pasif dan menunggu masyarakat yang melakukan pendaftaran. Hal ini menjadi faktor yang menyulitkan dalam memberikan perlindungan ciptaan tradisional karena kebanyakan ciptaan tradisional tidak terdaftar serta kurangnya kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan ciptaannya. Perlindungan Internasional atas karya derivative sendiri juga telah diatur dalam konvensi-konvensi internasional seperti dalam Berne Convention Article 2 yang menyebutkan karya-karya yang mendapatkan perlindungan antara lain “1. Literari and artistic works; 2. Possible requirement of fixation; 3. Derivative works; 4. Official texts; 5. Collections; 6. Obligation to protect; beneficiaries of protection; 7. Works of applied art and industrial designs; 8. News”110
110
F. Scott Kieff and Ralph Nack, 2006, International, United States, and European Intellectual Property, Aspen Publishers, New York, hal.269.
116
Lebih jelas mengenai perlindungan derivative work dijabarkannya dalam Article 2 (3) "Translations, adaptations, arrangements of music and other alterations of a literary or artistic work shall be protected as original works without prejudice to the copyright in the original work". Disebutkan bahwa karya terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan perubahan lain dari suatu karya sastra harus mendapat perlindungan sebagai karya asli tanpa mengurangi hak cipta atas karya aslinya. Berne Convention tidak menyebutkan derivative work secara tegas tetapi mempergunakan istilah terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan perubahan lain dari suatu karya sastra. Semua itu merupakan wujud dari derivative work menurut Berne Convention yang mendapatkan perlindungan. Undang-undang Hak Cipta Amerika Serikat misalnya dalam Act 17 U S C menyebutkan “derivative work is a work based upon one or more preexisting works,
such
as
a
translation,
musical
arrangement,
dramatization,
fictionalization, motion picture version, sound recording, art reproduction, abridgment, condensation, or any other form in which a work may be recast, transformed, or adapted. A work consisting of editorial revisions, annotations, elaborations, or other modifications, which, as a whole, represent an original work of authorship, is a derivative work”111 Pengaturan ini menunjukkan bahwa derivative work adalah karya yang didasarkan atas karya yang telah ada
111
Copyright Law of United States and Related laws Contained in Title 17 of the United States Code, Op.Cit.hal.3.
117
sebelumnya, seperti terjemahan, aransemen musik, dramatisasi, fictionalization, versi film, rekaman suara, reproduksi seni, ringkasan, kondensasi, atau bentuk lainnya yang merupakan perubahan atau adaptasi dari karya yang telah ada sebelumnya. Sebuah karya yang terdiri dari revisi editorial, penjelasan, elaborasi, atau modifikasi lain juga merupakan derivative work dan secara keseluruhan, merupakan karya asli penulis serta mendapat pelindungan sebagai sebuah karya asli. Lebih lanjut dalam 17 U.S.C. § 103 (a) yang didalamnya menyatakan “the subject matter of copyright as specified by section 102 includes compilations and derivative works but protection for a work employing preexisting material in which copyright subsists does not extend to any part of the work in which such material has been used unlawfully”112 ketentuan Pasal ini jelas menyatakan bahwa perlindungan atas derivative work tidak diberikan kepada karya yang dipergunakan secara tidak sah. Dari uraian beberapa ketentuan internasional diatas yang mengatur mengenai perlindungan atas pengetahuna tradisional yang didalamnya termasuk cerita rakyat sebagai karya cipta asli mendapatkan perlindungan hak cipta bahkan secara internasional yang mana penerapan kebijakan perlindungannya di kembalikan ke negara-negara asal karya cipta tersebut. Sebagai karya yang
112
Copyright Law of United States and Related laws Contained in Title 17 of the United States Code, Loc.Cit.
118
dialihwujudkan juga demikian, bahwa setiap cerita rakyat yang dialihwujudkan dalam bentuk pertunjukan seni lainnya di dunia internasional mendapatkan perlindungan hak cipta sebagai ciptaan asli sepanjang didalamnya tidak terdapat penggunaan yang tidak sah dari karya cipta asli. Menghidari penggunaan yang tidak sah, setiap orang yang hendak memanfaatkan karya cipta asli menjadi derivative work tidak boleh melupakan mencantumkan pencipta atau asal dari karya cipta aslinya. Untuk dapat mempergunakan karya cipta tradisioanl seperti misalnya Naskah I La Galigo oleh pihak asing untuk kepentingan komersial, harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari negara sebagai pemegang hak cipta atas folklor. Persoalan muncul, ketika dalam peraturan perundang-undangan tidak mengatur kepada siapa permohonan izin tersebut diajukan. Indonesia sebagai pemilik dari cerita rakyat yang dialihwujudkan seharusnya memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi karya-karya tradisional bangsa sendiri di dunia Internasional, karena negara adalah pemilik dari hak cipta atas folklor dan karya warisan budaya yang tidak diketahui penciptanya dalam hal ini cerita rakyat. Perlindungan terhadap karya derivative juga berkaitan dengan hak ekonomi dan hak moral yang terkandung di dalam hak cipta. Perlindungan hukum yang baik atas karya derivative yang berasal dari cerita rakyat tidak hanya memberi manfaat ekonomi bagi pemegang hak cipta derivative tetapi juga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat atau daerah asal dimana cerita rakyat sebagai ciptaan asli tumbuh dan berkembang. Seharusnya didalam
119
setiap pemanfaatan dari karya cerita rakyat sebagi ciptaan asli khususnya saat dimanfaatkan menjadi derivative work yang bersifat komersial, masyarakat atau daerah asal cerita rakyat tersebut mendapatkan hasil dari pemanfaatan karya mereka. Hak moral dari pencipta dan pemegang hak cipta asli, khususnya yang dimanfaatkan menjadi derivative work merupakan suatu pengakuan dan penghargaan serta diatur di dalam UUHC Pasal 24. Derivative work mendapat perlindungan sebagai karya cipta asli tetapi tidak mengurangi hak cipta atas karya cipta aslinya. Dengan demikian menjadi kewajiban bagi pencipta dan pemegang hak cipta dari karya derivative untuk menghormati hak moral dari pencipta asli. Ketentuan mengenai perlindungan hukum kepemilikan cerita rakyat yang dialihwujudkan melalui bentuk pertunjukkan melalui media elektronik di luar negeri dirasa kurang memadai. Hal ini antara lain disebakan karena masih adanya ketidak jelasan mengenai tata cara permohonan izin pemanfaatan karya Cipta tradisional khususnya yang umumnya mendasari lahirnya karya-karya derivative dalam bidang pertunjukkan. Sifat pemerintah yang pasif dalam melakukan
dokumentasi
juga
menjadi
penghambat
dalam
memberikan
perlindungan Hak Cipta, dari beberapa kasus pelanggaran Hak Cipta atas karya tradisinal yang telah dijadikan karya derivative oleh pihak asing, pemerintah belum bisa secara langsung memberikan jawaban tegas bahwa karya tersebut milik bangasa Indonesia. Yang sering terjadi adalah, pelanggaran terjadi baru
120
kemudian pemerintah bergerak mengumpulkan bukti-bukti bahwa Indonesia adalah pemilik dari karya tradisional tersebut.
121
BAB V PENUTUPAN
5.1. Simpulan Berdasarkan atas pemaparan yang sesuai dengan inti pokok permasalahan, maka dapat diambil suatu kesimpulan sebagai berikut; 1. Keaslian merupakan syarat mutlak bagi suatu ciptaan untuk mendapatkan perlindungan Hak Cipta. Keaslian disini adalah terdapat ciri khas atau kharakteristik dari penciptanya. Perlindungan Hak Cipta dapat dilakukan dengan pendaftaran Hak Cipta di Direktorat Jenderal. Sifat pendaftaran sendiri adalah tidak wajib karena Hak Cipta yang memberikan perlindungan secara otomatis saat ciptaan terwujud. Cerita rakyat sebagai bagian dari folklor mendapat perlindungan sebagai ciptaan asli sekalipun telah melalui proses turun-temurun dari generasi ke generasi. Perlindungan ini didasarkan pada bentuk dari cerita rakyat itu sendiri yang memiliki isi berbeda-beda walaupun untuk lebih memberikan kepastian hukum, penuangannya cerita-cerita tersebut dalam sebuah pendokumentasian akan lebih baik. 2. Di Indoensia perlindungan hukum cerita rakyat yang telah dialihwujudkan telah mendapatkan perlindungan tersendiri yaitu dalam ketentuan Pasal 12
122
huruf (l). Meskipun mekanisme pelaksanaan perlindungannya yang belum jelas. Secara internasional, berbagi konvensi telah mengatur mengenai perlindungan
pengetahuan
tradisional
serta
ciptaan
yang
telah
dialihwujudkan yang pada dasarnya menyerahkan kepada negara masingmasing dari peserta konvensi untuk menata kebijakan di negaranya mengenai perlindungan cerita rakyat yang telah dialihwujudkan. 5.2. Saran Dari
latar
belakang
permasalahan
sebagaimana
yang
telah
diungkapkan di atas dapat disarankan sebagai berikut: 1. Dalam upaya perlindungan hukum cerita rakyat yang dialih wujudkan dalam pertunjukan seni melalui media elektronik, pemerintah hendaknya segera membentuk Peraturan Pemerintah yang dikehendaki oleh Pasal 10 ayat (4) UUHC sehingga dalam implementasi UUHC tidak ada kekosongan peraturan berkaitan dengan keaslian dan kepemilikan pengetahuan tradisional yang telah dialihwujudkan beserta mekanisme pelaksanaannya.
Peraturan
Pemerintah
tersebut
hendaknya
juga
memperjelas ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) tentang instansi terkait yang dimaksud,dalam hal ini adalah Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Atau segera mengesahkan RUU Perlinduangan dan pemanfaatan kekayaan intelektual pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.
123
2. Pembentukan Peraturan Pemerintah, hendaknya tetap memperhatikan budaya hukum yang berlaku terutama berkaitan dengan kekayaan tradisional dan folklor. Karena itu masyarakat selaku pihak yang terkena peraturan serta yang wajib mendapatkan perlindungan sepatutnya memberikan masukan-masukan mengenai nilai-nilai tradisional yang perlu mendapatkan perlindungan. 3. Pihak-pihak yang hendak memanfaatkan kekayaan tradisonal dalam hal ini cerita rakyat, baik untuk tujuan komersil maupun tidak, sepatutnya menghormati hak ekonomi dan hak moral dari pencipta maupun pemegang hak cipta dari cerita rakyat tersebut.
124
DAFTAR PUSTAKA AK, Syahmin, 2007, Hukum Dagang Internasional Dalam Kerangka Studi Analitis, Ed.1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ali, Lukman, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Cetakan ketujuh, Perum Balai Pustaka, Jakarta. Cornish, William dan David Llewelyn, 2003, Intellectual Property: Patens, Copyright, Trade Marks, and Allied Rights, Fifth Edition, Sweet and Maxwell, London. Djumhana, Muhamad, 2006, Perkembangan Doktrin Dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Djumikarsih, 2012, “Analisa Yuridis Sengketa Ciptaan Antara Yayasan Hwa Ing Fonds Dengan Budi Haliman Halim”, dalam Perspektif, Volume XVII, No.3, Edisi September, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Davitt, Thomas E., 2012, Nilai-Nilai Dasar Di dalam Hukum Menganalisa Implikasi-Implikasi Legal-Etik Psikologi Dan Antropologi Bagi Lahirnya Hukum, Terjemahan Yudi Santosa, S.Fil, Cetakan I, Pallmal Yogyakarta, Yogyakarta. Damian, Eddy, 2009, Hukum Hak Cipta, Edisi ke-3, PT. Alumni, Bandung.
Firmansyah, Hery, 2011, Perlindungan Terhadap Merek, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Elias, Stephen, 2009, Legal Research How To Find And Understand The Law, Fifteenth Edition, Nolo, California. Gerner, Bryan A., 2004, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West, Dallas, Texas. Ginting, Elyta Ras, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hariyani, Iswi, 2010, Prosedur Mengurus HAKI Yang Benar, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
125
Hasibuan, Otto, 2008, Hak Cipta Di Indonesia Tinjauan Khusus Bagi Hak Cipta Lagu, Neigbouring Rights, Dan Collecting Society, PT. Alumni, Bandung. Hasibuan, Aryani Nauli, 2011, Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Derivatif Dalam Prakteknya:Studi Kasus Buku Ensiklopedia Al Quran: AlMaushuah Al-Quraniyah Al-Muyassarah, (tesis) Program Pascasarjana Hukum Ekonomi, Jakarta. Hutagalung, Sophar Maru, 2012, Hak Cipta Kedudukan Dan Peranannya Dalam Pembangunan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta. Ibrahim, Jhony, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif¸ Bayu Publishing, Malang. Isnaini, Yusran, 2009, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia, Jakarta. Kieff, F. Scott and Ralph Nack, 2006, International, United States, and European Intellectual Property, Aspen Publishers, New York. Kinney &Lange PA dalam Ni Ketut Supasti Dharmawan,2011, Hak Kekayaan Intelektual Dan Harmonisasi Hukum Global (Rekonstruksi Pemikiran Terhadap Perlindungan Program Komputer), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Lindsey, Tim, dkk., 2004, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Cetakan ke-3, PT. Alumni, Bandung. Lutviansori, Arif, 2010, Hak Cipta Dan Perlindungan Folklor Di Indonesia, Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta. _______, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Prenada Media Group, Jakarta. Meliala, Djaja S., 2013, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Cetakan II, Nuansa Aulia, Bandung. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Munandar, Haris dan Sally Sitanggang, 2008, Mengenal HAKI Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya, Erlangga, Jakarta.
126
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2013, Studi Magister Ilmu Hukum. Purba, Afrillyanna , 2012, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung. Purwaningsih, Endang, 2012, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dan Lisensi, Cetakan Ke-I, CV. Manda Maju, Bandung. Riswandi, Budi Agus dan Siti Sumartiah, 2006, Masalah-Masalah HAKI Kontemporer, Gitanagari, Yogyakarta. Saidin, OK, 2007, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), Edisi Revisi 6, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Sardjono, Agus, 2009, Membumikan HKI Di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung. . Setiadharma, Prayudi, 2010, Mari Mengenal HKI, Cetakan I, Goodfaight Production¸ Jakarta. Sherwood, Robert M. dalam Ratni Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta. Soelistyo, Henry, 2011, HakCiptaTanpaHak Moral, PT. RajagrafindoPersada, Jakarta. Soelistyo, Henry, 2011, Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan Etika, Kanisius, Yogyakarta.
Sunggono, Bambang, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan Kelima, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Suprapedi, dan Muhammad Ahkam Subroto, 2008, Pengenalan HKI: Konsep Dasar Kekayaan Intelektual Untuk Penumbuhan Inovasi, PT. Indeks, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan Pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta. Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka, Jakarta.
127
Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual:Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di indonesia, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung. Utomo, Tomi Suryo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Cetakan pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta. PeraturanPerundang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undangRepublik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 TentangHakCipta R. Subekti dan R. Tjitrosudibio (penerjemah), 2002, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet.32, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Copyright Law of The United States and Related Laws Conteined in Title 17 of the United States Code. Convention On Biological Diversity 5 June 1992. Berne Convention TRIPS Agreement (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Rancangan Undang-undang Tentang Perlindungan Dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional. Jurnal Afifah
Kusumadara, 2011, Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan Intlektual, Jurnal Hukum: Vol.18 Januari. No.1., Malang.
Besar, 2012, Pengalihwujudan Dalam Kerangka Konsep Hukum Hak Cipta, Humaniora: Vol.3 No.1., Jakarta, http://eprint.binus.ac.id/25653/1/02_HK_Besar.pdf, Diakses 15 Desember 2013. Joseph Hubicki, 2011, Protecting Performance Rights under the Derivative Work Exception, Law Journal: Vol.2, Issue 1., The Berkeley Electronic Press, Available at:
128
http://ir.lawnet.fordham.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1016&context= iplj, p.54. Accessed 1 March 2014.
Steven S. Boyd, 2000, Deriving Originality in Derivative Works: Considering the Quantum of Originality Needed to Attain Copyright Protection in a Derivative Work, Jurnal at Santa Clara Law Digital Commons,Vol.40. No.2., Available at: http//digitalcommons.law.scu.edu/lawreview/vol40/iss2/1, p.349. Accessed 1 March 2014. ArtikelDalam Format Elektronik (Internet) Afifah
Kusumadara, Dosen FH Presentasi Di Konfesensi ASLI Jepanghttp://prasetya.ub.ac.id/berita/Dosen-FH-Presentasi-di-Konferensi-
ASLI-Jepang-3777-id.html, Diakses 09 Maret 2012. PerlindunganHakAtasKekayaanIntelektualTerhadapPengetahuanTradisional,http ://alsaindonesia.org/site/perlindungan-hak-atas-kekayaan-intelektualterhadap-pengetahuan-tradisional-2/ Tri
Wahoho, PerlindunganHakCipta, Indonesia Terburuk Di Asia,http://tekno.kompas.com/read/2010/08/25/17502973/Perlindungan. Hak.Cipta.Indonesia.terburuk.di.Asia, Diakses 09 Maret 2012.
KBRI: SoalTari Tor TorTerjadiKesalahpahaman,http://id.berita.yahoo.com/kbrisoal-tari-tor-tor-terjadi-kesalahpahaman-075350450.html PenelitianHukumPerluRegulasi:PerlindunganEkspresiBudayaTradisional Di Jawa Barat,www.depkumham.go.id/berita-kanwil/go-kanwil-jawabarat/964-penelitian-hukum-perlu-regulasi--perlindungan-ekspresibudaya-tradisional-di-jawa-barat PengetahuanTradisionalDalamRuangLingkup PerlindunganHukumHakKekayaanIntelektual.http://taeblues.tumblr.com /post/13416491119/traditional-knowledge. Basuki Antariksa, 2012, Peluang Dan Tantangan Perlindungan Pengetahuan tradisional Dan Ekspresi Budaya Tradisional,www.budpar.go.id/userfiles/file/Art_11_Konsinyering%20 WBT%20710.pdf. Feri
Sulianta, Seri Referensi Praktis: Konten Internet, dilihat (On-line) di:http://books.google.co.id/books?id=f9Vurjx2D8C&pg=PA56&lpg=PA56&dq
129
=buku,+hak+cipta,+derivatif,+karya+turunan&source=bl&ots=4nGPhr0Bv9&si g=iuOfIeNANaoTGKnsJV1s8C5OMA&hl=id&ei=KO19TfKkKMfprQfs06XM BQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=7&ved=0CCsQ6AEwBg#v=on epage&q=buku%2C%20hak%20cipta%2C%20derivatif%2C%20karya%20turu nan&f=false
Cliff Kuehn, 2012, The “Originality”Requrement for Copyright Protection in Western Societies, Selasa, 28 Januari 2014, http://trademarkcopyrightlaw.wordpress.com/2012/09/18/the-originalityrequirement-for-copyright-protection-in-western-societies/ James Koessler, Something For Nothing? The Standard Of ‘Originality’ In Copyright Law: An Elusive Yet Essential Requirement (2/5), Selasa, 28 Januari 2014, http://www.jameskoessler.com/something-for-nothing-thestandard-of-originality-in-copyright-law-an-elusive-yet-essentialrequirement-25/#identifier_0_231 Module 3: The Scope of Copyright law, Selasa, 28 Januari 2014, http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_3:_TheScope_of_Copyright_Law Daniel J. Gervais, 2004, The Compatibility Of The Skill And Labour Originality Standard With The Berne Convention And The TRIPS Agreement, Sweet and Maxwell Limited and Contibutors, Senin, 27 Januari 2014, http://aix1.uottawa.ca~dgervaispublications/Skilland/Labour/aspublished/ pdf Lesley Ellen Harris, 2010, To Register or Not, Kamis, 23 Januari 2014, http://www.copyrightlaws.com/wpcontent/uploads/2010/03/Registration1.pdf Module 8: Traditional Knwoledge, Available at http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional _Knowledge, Accessed 20 December 2013. Aris Ideanto, Perlindungan Folklor Indonesia: Perbandingan Sistem Hukum Dalam Studi Kasus I La Galigo,http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jps?id=83480&lokasi=lokal, Diakses 7 Desember 2013.
Module 8: Traditional Knowledge, Available at http://cyber.law.harvard.edu/copyrightforlibrarians/Module_8:_Traditional _Knowledge, Accessed 21 February 2014.
130
Anonim, Protecting Traditional Cultural Expressions: The International Dimension, Available at http://www.copyright.bbk.ac.uk/contents/workshops/blakem.pdf, Accessed 28 February 2014. Media Elektronik, http://id.wikipedia.org/wiki/Media_elektronik, Diakses 22 April 2014. Hydriana Ananta Win, Efek Media Elektronik Terhadap Anak Usia Sekolah, http://www.stikstarakanita.ac.id/files/Tarakanita%20News%20No.%202/Opini/28%20Efe k%20Media%20elektronik.pdf, Diakses Selasa, 22 April 2014.
131