TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH MMI
TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Ilmu-Ilmu Humaniora (M.Hum)
Oleh NASRULLAH NURDIN NIM: 211-30222-0000-1
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB PASCASARJANA FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M.
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ASLI Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Magister Strata 2 (Dua) di Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan Tesis ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Juknis (Petunjuk Teknis) Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan (plagiat) dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kembangan Selatan, 1 Maret 2016
Nasrullah Nurdin
ii
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING Tesis saudara Nasrullah Nurdin (NIM: 211-30222-0000-1) yang berjudul “Terorisme dan Teks Keagamaan: Studi Komparatif Atas Terjemah Al-Qur’an Kemenag RI dan Terjemah Tafsiriyah MMI” telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diujikan ke Sidang Terbuka Ujian Promosi Magister.
Jakarta, 4 April 2016
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. NIP : 19690415 199703 1 004
iii
TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI DAN TERJEMAH TAFSIRYAH MMI
TESIS Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Ilmu-Ilmu Humaniora (M.Hum)
Oleh NASRULLAH NURDIN NIM: 211-30222-0000-1
Di Bawah Bimbingan
PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG. NIP : 19690415 199703 1 004
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB PASCASARJANA FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M. iv
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis ini berjudul TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH MMI yang ditulis oleh Nasrullah Nurdin (NIM: NIM: 211-30222-0000-1 telah diperbaiki sesuai dengan saran tim penguji dalam Ujian Promosi Magister Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 30 Mei 2016 sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum).
Jakarta, 30 Mei 2016
Tim Penguji
Ketua Sidang,
Pembimbing/Merangkap Penguji I,
Dr. Abdullah, M.Ag
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag
NIP: 19610825 199303 1 002
NIP: 19690415 199703 1 1004
Anggota, Penguji II,
Penguji III,
Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum
Jajang Jahroni, Ph.D
NIP: 19791229 200501 1 004
NIP: 19670612 199403 1 006
Sekretaris Sidang,
Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum NIP: 19730224 200801 1 009
v
KATA-KATA MUTIARA
: قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم ) ولن يشاد الدين إال غلبو (رواه البخاري،إن الدين يسر Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh agama adalah kemudahan. Siapa saja yang bertindak ekstrim terhadapnya, pasti kalah.” (HR. Bukhârī).
"Setiap perbuatan terorisme dan radikalisme haruslah dipahami sebagai kriminalisasi yang dilakukan oleh seseorang yang boleh jadi menganut agama tertentu. Terorisme dapat lahir dari ketidakadilan, didesain dan dipelihara pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Terorisme juga dapat lahir karena kebodohan dalam memahami agama.” (Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA) Imam Besar Masjid Istiqlal 2005-2016 dan Pemimpin Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences Indonesia-Malaysia Sumber: akun Twitter @AliMustafaYaqub.
If You Want to Stop Terrorism, Stop Killing Muslims ! (Jika Anda ingin menghentikan terorisme, berhentilah membunuhi orang Islam !) Prof Noam Chomsky, Guru Besar Emiritus Linguistik di Institut Teknologi Massachusetts Amerika Serikat. Sumber: Youtube https://www.youtube.com/watch?v=dW0eiPiuUuk
vi
ABSTRAK NASRULLAH NURDIN. NIM: 211-30222-0000-1 “TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH MMI” DI BAWAH BIMBINGAN PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG. Tujuan penelitian ini membuktikan bahwa terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI bukan penyebab timbulnya aksi terorisme di Indonesia. Terorisme agama muncul di antaranya faktor literal/tekstual dalam memahami teks keagamaan. Riset ini menegaskan, terjemah tafsiriyah MMI yang mereka anggap sebagai solusi/koreksi bukan merupakan bentuk deradikalisasi, sebab mereka sendiri termasuk kelompok Islam radikal. Tesis ini berkesimpulan bahwa terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI Tahun 2002 disusun menggabungkan dua metode sekaligus: harfiyah dan tafsiriyah. Redaksi ayat/nash Al-Qur‟an yang bisa dialihbahasakan secara harfiyah, maka diterjemahkan secara harfiyah, sedangkan yang tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah. Teknik penerjemahan ini mendukung argumentasi ulama tafsir sebelumnya, semisal al-Syâthibī, Ibnu Qutaibah, dan alMarâghī. Dalam konteks Indonesia, metode ini pernah dilakukan A. Hassan dalam Al-Furqân Tafsīr Al-Qur’an, T.M. Hasbi al-Shiddīqī dalam Tafsīr al-Bayân, dan M. Quraish Shihab dalam Al-Qur’an dan Maknanya. Riset ini berseberangan dengan teori strukturalisme Ferdinand de Saussure yang menyarankan kajian bahasa bersifat intralinguistik yang sinkronik (ta’âshuriyyah), dan berupaya memperkuat teori mentalistik atau kognitivistik (nazhariyyah ‘aqliyyah) Noam Chomsky, yang memandang bahasa merefleksikan pikiran penuturnya/penulisnya/penerjemahnya (mutakallim/kâtib/mutarjim). Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian deskriptif-analitis berbasis ilmu humaniora, penulis menganalisis dua variabel: hubungan terorisme dan terjemah Al-Qur‟an. Objek riset ini adalah menganalisis terjemahan ayat-ayat jihâd melalui analisis semantik leksikal dan gramatikal dengan membandingkan terjemah Al-Qur‟an Kemenag 2002 dan terjemah tafsiriyah MMI 2013. Jenis semantik ini mengusung pengkajian suatu makna leksikal yang ditentukan oleh kata, baik sebelum maupun sesudahnya dan mengkaji tata bahasa dalam terjemahan MMI. Konteks yang dijadikan pijakan analisis adalah konteks sosio-historiskultural yang menyelimuti teks keagamaan tersebut. Gagasan ini juga yang dikemukakan Benny Hoedoro Hoed, bahwa sebuah teks terjemahan dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) memerlukan pemahaman semantik yang utuh. Keywords: Terjemah Al-Qur’an, Semantik, Literalisme, Terorisme, dan Teks Keagamaan
vii
ABSTRACT NASRULLAH NURDIN. NIM: 211-30222-0000.1 "TERRORISM AND RELIGIOUS TEXTS: COMPARATIVE STUDY OF MMI CRITICISM AS AN ISLAMIC FUNDAMENTALISM TOWARDS THE QUR'AN TRANSLATION OF MINISTRY OF RELIGIOUS AFFAIRS, RI" UNDER THE GUIDANCE OF PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG. This study found that the Qur'an translation of the Ministry of Religious Affairs is not the cause of terrorism acts in Indonesia. The religious terrorism emerged among literal/textual factors in understanding the religious texts. This research confirmed that MMI‟s tafsiriyah translation of which they consider as a solution/correction is not a form of de-radicalization, because they themselves belong to the group of political Islamic radicalism. This thesis revealed that the Qur'an translation of the Ministry of Religious Affairs year 2002 was arranged by combination of two methods: harfiyah and tafsiriyah. Editor‟s verse/nash of the Qur'an that can be translated as harfiyah is (then) translated as harfiyah, and for those which cannot, then being translated as tafsiriyah. This translation technique encourages the argumentation of earlier scholars‟ interpretations, such as al-Syâthibī, Ibnu Qutaibah, and al-Marâghī. In the Indonesian context, this method had been implemented by A. Hassan on Al-Furqân Tafsir Al-Qur’an, T.M. Hasbi al-Shiddīqī on Tafsir al-Bayân, and M. Quraish Shihab on Al-Qur’an dan Maknanya. This research is contrary to the structuralism theory of Ferdinand de Saussure who suggested that the study of language is a synchronic intra-linguistics (ta’âshuriyyah), and attempts to strengthen the mentalism or cognitivism (nazhariyyah ‘aqliyyah) theory of Noam Chomsky, who views the language as a reflection to the speaker/author‟s (mutakallim/kâtib) thoughts. By using a qualitative approach, the research type is descriptive-analytical with the basis of humanities sciences, the author analyzed two variables: the relationship between terrorism and translation of the Qur'an. This research analyzed the translation of jihâd verse through the syntactical semantic analysis by comparing the Qur'an translation of the Ministry of Religious Affairs year 2002 and MMI‟s tafsiriyah translations year 2013. This semantic type is carrying a lexical meaning of which the assessment is determined by words, either before or afterwards. Contextuality used as the basis of analysis is the context of sociohistorical-cultural that surrounds the religious texts. This idea was also expressed Benny Hoedoro Hoed, that a translation from the source language text (BSu) to the target language (BSa) requires the understanding of semantics and analysis processes of the BSU. Keywords: Qur'an Translation, Semantics, Literalism, Terrorism and Religious Texts
viii
الملخص اإلرىاب والنص الديني :دراسة مقارنة حول انتقادات مجلس المجاىدين االندونيسى كاألصولية اإلسالمية على ترجمة القرآن الكريم لوزارة الشؤون الدينية باندونيسيا تحت االشراف األستاذ الدكتور شكران كامل الماجستير ***
كشفت ىذه الدراسة على أن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة الشؤون الدينية باندونيسيا ليست سببا لإلرىاب يف إندونيسيا .كان ظهور اإلرىاب الديىن بسبب العوامل العديدة ،منها الفهم احلريف للنصوص الدينية .ويؤكد ىذا البحث على أن الرتمجة التفسًنية جمللس اجملاىدين االندونيسى الذي يعتربوهنا حال أو تصحيحا ال يشكل ضد التطرف ،ألهنم أنفسهم ينتوون إ ى مجووعة من األوولية اإلسالمية السياسية. ىذه الدراسة تكشف على أن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة الشؤون الدينية باندونيسيا سنة 2002جتوع بٌن الطريقتٌن:حرفيا و تفسًنيا ،قد تكون الرتمجة حرفيا ان أمكن ،و اال فتكون تفسًنيا .ىذه التقنية ىف الرتمجة أكدىا العلواء السابقون ،منهم الشاطىب وابن قتيبة واملراغي .ويف إندونيسيا ،هنج ىذا املنهج عبد اهلل حسن ىف تفسًنه الفرقان تفسًن القرآن و تينكو حمود حسيب الصديقي يف تفسًن البيان وحمود قريش شهاب يف القرآن الكرمي ومعناه. ىذا البحث خيالف نظرية البنيوية لـفرديناند دي سوسًن الذي يؤكد أن دراسة اللغة تكون على أساس اللغوية التعاورية أو التصورية ،ويسعى إ ى تعزيز نظرية عقلية لـنعوم تشومسكي ،الذي يرى أن اللغة تعكس أفكار املتكلم هلا .كانت ىذه الرسالة دراسة مقارنة املستود من العلوم اإلنسانية مبنهج نوعى ،حلل الكاتب من خالهلا متغًنين :العالقة بٌن اإلرىاب وترمجة القرآن .يقارن ىذا البحث ترمجة آية اجلهاد بٌن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة الشؤون الدينية باندونيسيا سنة 2002و ترمجة مجلس اجملاىدين االندونيسى سنة 2002من خالل التحليل الداليل والنحوي .حدد النوع الداليل معنا معجويا من قبل الكلوات ،سواء قبلو أو بعده .مع استخدام سياق االجتواعية والتارخيية والثقافية اليت حتيط بالنص الديين كأساس التحليل .وأعرب عن ىذه الفكرة بيين ىودورو ىويد الذى يرى أن ترمجة النص من لغة األم إ ى لغة اهلدف تتطلب فهوا لغويا ومعناويا وتطبيقيا جبانب معرفة املرتادفات والتحاليل. كلمات البحث :ترمجة القرآن ،علم الداللة ،احلرفية ،اإلرىاب ،النصوص الدينية
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Dalam Tesis ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007. 1. Padanan Aksara Huruf Arab
Huruf Latin
Huruf Arab
ا
Huruf Latin
ط
T
ب
B
ظ
Z
ت
T
ع
„
ث
Ts
غ
Gh
ج
J
ف
F
ح
H
ق
Q
خ
Kh
ك
K
د
D
ل
L
ذ
Dz
م
M
ر
R
ن
N
ز
Z
و
W
س
S
ة
H
ش
Sy
ء
`
ص
S
ي
Y
ض
D
x
2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. A. Vokal tunggal Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ----
A
Fathah
----َ
I
Kasrah
-----َ
U
Dammah
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ي---َ
Ai
a dan i
و---َ
Au
a dan u
B. Vokal rangkap Tanda Vokal Arab
C. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu : Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ي/ا----َ
Â
a dengan topi di atas
َي----
Î
i dengan topi di atas
َو---
Û
u dengan topi di atas
xi
3. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda---َ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
الضرورة
tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah,
demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh No.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’at) atau kata sifat (contoh No.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh No. 3) No.
Kata Arab
Alih Aksara
1
طريقة
Tarîqah
2
الجامعة اإلسالمية
al-jâmi’ah al-islâmiyah
3
وحدة الوجود
wihdat al-wujûd
6. Huruf kapital Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a) tidak boleh kapital.
xii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur terpanjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik dan cepat. Salawat dan salam terlimpahkan kepada suri teladan (uswah hasanah) Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW, Rasul terakhir tiada lagi makhluk yang lebih mulia selain beliau (afdhal al-makhluqīn). Semoga kita termasuk orangorang yang mendapatkan syafa‟at-Nya di padang mahsyar kelak. Amin Ya Rabbal ‘Âlamin. Salam ta’dzim dan rasa cinta kasih terhaturkan kepada dua inspirator gemilang penulis yaitu Ayahanda Ustadz H. Nurdin Jasan dan Ibunda Ustadzah Hj. Syamsiah Saman yang benar-benar menyentuh sanubari penulis dengan pesannya agar selalu beribadah, belajar, dan bekerja atas nama Allah (fillâh, billâh, wa ilallâh) dan Rasul-Nya, doa keduanya mendorong gerak tubuh ini dalam jalan yang diridhai-Nya. Keduanya dengan sentuhan keikhlasan hati mendidik, membesarkan, dan memohonkan doa untuk penulis sejak 28 tahun silam. Semoga kedua orangtua penulis dalam naungan Allah SWT, diberikan umur panjang, rezeki yang halal, berkah, dijaga dari pintu neraka, dan masuk Jannat al-na’im. Amin. Doa dan sayangku kepada dua adikku yang cantik nan cerdas; adinda Siti Robiah alAdawiyah, S.Pd.I dan adinda Siti Qotrun Nada serta keponakan Siti Aisyah Lutfiyah. Dalam sekapur sirih ini, izinkan Penulis menghaturkan ekspresi terima kasih kepada: 1) Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang berupaya keras melanjutkan cita-cita pendahulunya menjadikan UIN Jakarta dari Teaching University menjadi Research University and World Class University. 2) Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora sekaligus pembimbing Tesis dan promotor Magister Humaniora. Masukan, saran, dan kritik konstruktif yang telah diberikan amat bermanfaat bagi penulisan Tesis ini. Begitu juga diucapkan kepada pembimbing Tesis lainnya, Prof. Dr. KH. Ahmad Satori Ismail, MA., yang telah berkenan meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau. 3) Ketua Program dan Sekretaris Program Pascasarjana FAH, Dr. Abdullah, M.Ag., dan Dr. Adib Misbahul Islam, M.Hum. Untuk keduanya, diucapkan terima kasih atas arahan dan support-nya beserta segenap Dosen Pascasarjana FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak/Ibu Dosen Profesor dan Doktor tercinta atas perhatian dan nasehatnya. Untuk dua penguji pendahuluan Tesis ini sekaligus penguji ujian promosi Magister, Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M.Hum dan Jajang Jahroni, Ph.D Peneliti Senior PPIM, disampaikan terima kasih atas koreksi dan coretan evaluatifnya. xiii
4) Tak lupa kepada Khadim al-Ma’had Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, MA. Doaku selalu menyertaimu, Tuan Guruku. 5) Penulis berhutang budi kepada Bapak Menteri Agama RI, Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin; Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. H. Abdurrahman Mas‟ud, Ph.D; Sekretaris Balitbang Dr. H. Rohmat Mulyana Sapdi, M.Pd; Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. H. Machasin, MA; Dr. H. Hamdar Arraiyyah, M.Ag; H. Muharram Marzuki, Ph.D; Drs. H. Choirul Fuad Yusuf, M.A. Exclusively for Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA selaku Imam Besar Masjid Istiqlal 2016-2020; dan Prof. Dr. H. Mahfud, MD yang keduanya berkenan memberikan “jalan” dan networking, Bpk Drs. Djubaidi Adih, M.Si sebagai Ketua BAZIS DKI; Ketua MUI DKI Jakarta KH. Ahmad Syarifuddin Abdul Gani, MA; Rois Syuriah PWNU DKI Jakarta KH. Mahfuz Asirun; KH. Drs. Imron Rosyadi, ZA; KH. Drs. Taufiqurrahman, SQ (ustadz pantun). Tak lupa Dr. M. Yusuf di Kemenlu RI; dan Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA di LPMQ Badan Litbang Kemenag RI; dan Dr. KH. Ahmad Lutfi Fathullah, MA (Direktur Pusat Kajian Hadis).
Harapan sepenuh hati kepada pemegang tampuk jiwa ini, Allah SWT, semoga karya ilmiah yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi peminat penerjemahan/penafsiran, kajian gerakan keagamaan kontemporer di Indonesia, dan pecinta studi Al-Qur‟an. Pepatah Arab menuturkan: (Idzâ tamma al-amru, bada naqsuhu, bila suatu perkara telai selesai, pasti ada saja sisi kurangnya). Oleh karena itu, kritik konstruktif dan saran-saran dari semua khayalak pembaca sangat dinantikan demi kesempurnaan Tesis ini.
Kembangan Selatan, 1 Januari 2016 Penulis
Nasrullah Nurdin
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………. i LEMBAR PERNYATAAN KARYA ASLI ……………………………………………… ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………. iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………………………………... v LEMBAR KATA MUTIARA ……………………………………………………………. vi ABSTRAK ………………………………………………………………………………… vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ………………………………………… x KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. xiii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..... xv
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………...…………………….. 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….. 1 B. Identifikasi, Rumusan, dan Batasan Masalah …….................................... 11 C. Riset Terdahulu yang Relevan ………………………………………….. 14 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………….. 26 E. Metodologi Penelitian …………………………………………………… 28 1. Objek dan Jenis Penelitian …………………………………………... 28 2. Sumber/Teknik Pengumpulan Data ………………………………..... 30 3. Teknik Penulisan/Metode Analisis Data …………………………….. 33 F. Sistematika Penulisan …………………………………………………… 37
xv
BAB II
KERANGKA TEORITIK FUNDAMENTALISME, TERORISME, DAN TEKS KEAGAMAAN …………………………………………………….. 39 A. Sekilas Mengenai Fundamentalisme Islam ………………………………. 39 B. Klasifikasi Fundamentalisme Islam ……………………………………… 47 C. Terorisme dan Agama ……………………………………………………. 57 1) Keterkaitan Radikalisme dan Terorisme Agama …………………….... 61 2) Terorisme di Belahan Dunia …………………………………………... 64 3) Menelisik Definisi Terorisme dan Aksinya di Indonesia ……………... 76 4) Menginterpretasi Jihâd dan Terorisme secara Tepat ………………….. 90 5) Penerapan Jihâd yang Salah …………………………………………. 104 6) Penyebab Lahirnya Terorisme ……………………………………….. 109 7) Negara Islam: Doktrin Paling Strategis saat ini ……………………....116 D. Teks Keagamaan dan Pola Keislaman ………………………………….. 119 E. Teori Semantik Mentalisme Noam Chomsky (Kajian Kebahasaan) ……. 126 1. Pengantar Semantik …………………………………………………... 126 2. Teori Mentalistik dan Generatif-Transformatif Noam Chomsky …….. 144 3. Kritik atas Konsep Strukturalisme Ferdinand De Saussure dan Behaviorisme Leonard Bloomfield …………………………........ 161 F. Ulasan Singkat Terjemah Harfiyah dan Tafsiriyah …………………........168
BAB III
MMI SEBAGAI GERAKAN FUNDAMENTALISME ISLAM……….. 187 A. Memotret Profil MMI dari Dekat ………………………………………. 187 B. MMI sebagai Gerakan Fundamentalisme Islam …. ………….………… 196 a) Visi dan Ideologi MMI …………………………………………….…. 196 b) Misi MMI …………………………………………………………….. 200
xvi
c) Struktur Organisasi MMI ……………………………………………... 200 d) Basis Keanggotaan MMI ……………………………………….…….. 201 e) Kongres dan Sumber Dana MMI …………………………………….. 202 f) Estafet Kepemimpinan MMI …………………………………………. 203 C. Sekilas Penjelasan Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah…………..……........ 212
BAB IV
KRITIK MMI ATAS TERJEMAHAN AL-QUR’AN KEMENAG RI………………..…... ………………………………………... 217 A. Terjemahan Al-Qur‟an Kemenag secara Umum …………………………... 222 B. Terjemahan Al-Qur‟an Kemenag dan Terorisme ……….......……………... 237 C. Menguji Terjemah Tafsiriyah MMI sebagai Deradikalisasi …...…...……... 246 D. Kategorisasi dan Identifikasi Ayat-Ayat Jihâd …..……………….………. 253 E. Studi Kasus Teks Terjemahan bernada Jihâd/Terorisme …………..……. 265 1) Ayat-Ayat Makkiyyah Pertama, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 6 ....................................................... 270 Kedua, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 8 ........................................................... 272 Ketiga, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 69 ......................................................... 274 Keempat, QS. al-Nahl (16) : ayat 110 ........................................................... 276 Kelima, QS. al-Furqân (25) : ayat 52 ............................................................ 277 Keenam, QS. Luqmân (31) : ayat 15 ............................................................ 278 Ketujuh, QS. al-Nahl (16) : ayat 38 ............................................................... 279 Kedelapan, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 6 ..................................................... 280 Kesembilan, QS. al-Furq ân (25) : ayat 52 .................................................... 280 2) Ayat-Ayat Madaniyyah Pertama, QS. al-Baqarah [2] : ayat 190-193 .................................................. 281 xvii
Kedua, QS. al-Shâf [61] : ayat 11 .................................................................. 286 Ketiga, QS. al-Anfâl [8] : ayat 39 ................................................................... 288 Keempat, QS. al-Taubah [9] : ayat 5 ............................................................... 290 Kelima, QS. al-Hajj [22] : ayat 78 ................................................................... 292 Keenam, QS. al-Tahrīm [66] : ayat 9 .............................................................. 294 Ketujuh, QS. al-Taubah [9] : ayat 20 .............................................................. 296 Kedelapan, QS. al-Taubah (9) : ayat 73 .......................................................... 297 Kesembilan, QS. Muhammad (47) : ayat 31 ................................................... 299
BAB V
PENUTUP .................................................................................................. 302 A. Kesimpulan ........................................................................................... 302 B. Saran-saran / Rekomendasi
................................................................. 303
DAFTAR PUSTAKA ............... ...................................................................................... 304 DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................... 314 GLOSARIUM ..................................................................................................................... 316 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................................. 318 CURRICULUM VITAE .................................................................................................... 326
xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Awal abad ke-21 sekarang ini, dunia masih terus menyaksikan rentetan perubahan cepat dan mendasar yang pada gilirannya mempengaruhi proses transformasi pada konfigurasi politik dan ekonomi global. Secara politik, muncul gelombang demokrasi yang syarat dengan nilai-nilai kebebasan dan persamaan. Secara ekonomi, timbul gejala globalisasi ekonomi pasar yang kental akan nuansa kapitalisme global dan pandangan bebas. Perubahan politik dan ekonomi global tersebut telah menempatkan negara-negara pada pola hubungan saling ketergantungan (interdependensi) dan saling keterkaitan (interlingkage). Bersamaan dengan perubahan global ini, telah lahir pula isu baru yang sangat besar pengaruhnya terhadap tatanan politik ekonomi global saat ini. Isu baru ini adalah isu seputar terorisme. Meskipun isu mengenai terorisme telah ada secara dominatif pada masa Perang Dingin (cold war) dan sesudahnya, namun klimaks dari menguatnya gejala ini adalah meletusnya tragedi 11 September 2001.1 Terorisme disebut sebagai ancaman non-tradisional (non-conventional threats). Sulit disangkal, di era globalisasi ini terorisme justru bertambah kembang dengan pesatnya.2 Diskursus terorisme dan jihâd semakin aktual pasca peristiwa 11 September 2001, pengeboman WTC (World Trade Center), Menhattan, New York dan Gedung Pentagon, Washington DC. WTC adalah simbol supremasi ekonomi Amerika, sementara Pentagon merupakan ikon keperkasaan militer negeri Paman Sam tersebut. Peristiwa itu telah menimbulkan dampak psikologis, perekonomian dunia dan ketegangan hubungan antara 1
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 1-2. Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Konsentrasi Syariah. 2 Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 2.
1
Amerika (Barat) dengan dunia Islam karena Presiden Amerika Serikat, George W. Bush mengklaim bahwa pelaku pengeboman adalah jaringan Islam radikal (Al-Qaeda) pimpinan Osamah bin Laden.3 Sebaliknya, kalangan Islam radikal meyakini bahwa perbuatan mereka merupakan aktualisasi doktrin jihâd yang diperintahkan dalam Islam. Perdebatan terorisme dan jihâd eksis ketika para pemikir terorisme, media massa, dan teroris, terutama dari kalangan fundamentalis Muslim, memberikan argumentasi yang kontroversial tentang paradigma terorisme dan jihâd.4 Menurut Ready Susanto, seperti dikutip Kasjim Salenda, pesawat yang menabrak menara utara WTC New York tersebut adalah Boeing 767 American Airlines dengan nomor penerbangan 11, jurusan Boston-Los Angeles (LA) pada pukul 08.48, menewaskan 92 orang termasuk 9 orang kru dan 2 pilot, sementara pesawat yang menabrak selatan WTC yakni Boeing 757 United Airlines dengan nomor penerbangan 175 jurusan Bandara Dulles, Washington DC menuju Los Angeles pada pukul 09.05, yang menewaskan 65 orang termasuk 7 kru dan 2 pilot. Adapun pesawat yang menabrak sisi barat Pentagon, Washington DC pada pukul 09.40 adalah American Airlines dengan nomor penerbangan 77 jurusan Virginia-Los Angeles, menewaskan 64 orang termasuk 4 kru dan 2 pilot. Satu pesawat lainnya, United Airlines dengan nomor penerbangan 93 jurusan New Jersey-San Francisco diarahkan ke Gedung Putih namun terjatuh di Stony Creek, Pennsylvania, yang menewaskan 45 orang termasuk 5 kru dan 2 pilot.5
3
Organisasi Al-Qaeda (tanzhim Al-Qaidah) menurut Syaikh Mamduh al-Harbi seperti dikutip Ali Mustafa Yaqub bahwa organisasi ini dikenal dengan sebutan Laskar Islam (al-Jaisy al-Islamy) atau Front Islam Dunia untuk Jihâd Melawan Yahudi dan Kristen (al-Jabhah al-Islâmiyyah al-„Âlamiyyah li al-Jihâd Dhidd alYahûd wa al-Shâlibiyyah), alias Laskar Islam untuk Pembebasan Wilayah Palestina (al-Jaisy al-Islamy li Tahīr al-Arâdhī al-Muqaddasah), alias Jaringan Usamah bin Laden (Syabakah Usamah bin Laden), Lembaga Pemurnian Islam (al-Khalâsh al-Islâmy), dan Kelompok Penjaga Tempat-Tempat Suci. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme (Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2015), h. 46-47. 4 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 1-2. Buku ini berawal dari Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008. 5 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 4. Buku ini berawal dari Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008.
2
Wajah Islam yang damai dan sejuk, kini telah tercoreng oleh munculnya berbagai tindakan ekstrimisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris atau individu ekstrimis yang mengatasnamakan Islam. Sebut saja fenomena ISIS, peristiwa Charlie Hebdo, dan serangan Paris yang belakangan ini meluas ke mana-mana termasuk bom Sarinah Thamrin di Jakarta Pusat. Padahal perbuatan semacam itu tidak dapat diterima oleh seluruh agama, bertentangan dengan hati nurani dan moralitas. Pergeseran politik dunia akibat gelombang globalisasi memberi dampak besar bagi dunia dan Islam. Salah satu kondisi nyata adalah konflik di negara-negara Timur Tengah yang digerakkan oleh kelompok radikal menimpa hampir semua negara. Kondisi seperti itu mengakibatkan tergusurnya kekuatan Islam Ahlussunnah wal Jamâ‘ah, demikian juga di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan.6 Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan masyarakat dunia. Berbagai stigma dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme,7 radikalisme dan sebagainya. Dengan menggalang kekuatan internasional, Amerika Serikat melancarkan kampanye antiteror. Atas nama itu, Afganistan dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan gerakan keagamaan juga menjadi sasaran, terutama jaringan Al-Qaeda Internasional. Tuduhan tersebut menemukan relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang menyebutkan motivasi keagamaan di balik aksi mereka, sehingga banyak pengamat mengaitkan gerakan Islam garis keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak faktor yang melatarbelakanginya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial, psikologi, dan
6
https://www.isomil.id/nu diunduh pada Senin, 25 April 2016, pukul 11.45 WIB. Afadlal secara umum membagi kaum fundamentalis ke dalam dua golongan. Pertama, fundamentalis yang hanya bergerak pada tataran pemurnian praktek keagamaan. Kelompok ini menekankan pada pemurnian bentuk-bentuk peribadatan dari praktek-praktek yang disebut sebagai takhâyul, bid‟ah, dan khurâfat. Sementara itu, kelompok kedua adalah fundamentalisme yang bercorak gerakan politik. Gerakan ini bercita-cita menjadikan syariat Islam sebagai dasar dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara secara formal (pilar-pilar Negara). Kelompok ini menjadikan Islam sebagai ideologi yang harus diterapkan oleh sebuah Negara. Lihat riset Afadlal dkk., dalam Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Press, 2005), h. 280. 7
3
lainnya, tetapi faktor keyakinan dan pemahaman terhadap beberapa doktrin keagamaan agaknya yang paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan tertentu, yang notabene berbeda agama, dalam berbagai dimensi kehidupan mendapat legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nasshi), parsial (juz‟i), dan ekstrim/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga terkesan konflik bukan lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan meluas kepada konflik agama.8 Terorisme sebagai gerakan yang membawa ambisi kebenaran, menggunakan pelbagai kendaraan. Ada yang menggunakan kendaraan agama, politik, dan ekonomi. Apapun kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba hegemonik, anarkis dan radikal. Inilah kesan yang bisa ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh gambarannya buruk dan tidak manusiawi. Ironisnya, berbagai tindakan kekerasan dan terorisme dikaitkan dengan Islam. Terorisme identik dengan Islam. Stigma ini diusung kalangan Barat, terutama Amerika Serikat. Segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam atau kalangan yang tidak sejalan dengan Amerika Serikat diklaim sebagai aksi terorisme.9 Dalam konteks Indonesia, munculnya gerakan-gerakan Islam radikal terutama pasca Orde Baru tahun 1998, dengan mengatasnamakan agama dan kelompok tertentu telah menimbulkan kerusakan pada tata kehidupan bangsa yang sangat majemuk. Bangsa kita lebih mudah curiga terhadap sesuatu yang “berbeda”, sesuatu yang dipandang “asing”. Bahkan, tak jarang perbedaan yang terlanjur dipandang sebagai “yang asing” secara ekstrim juga disebut sebagai “sesat”. Penyebutan diksi “sesat” dan “menyimpang” begitu mudah keluar untuk menyebut relasi sosial yang heterogen ini. Pada saat yang bersamaan, radikalisme agama juga terindikasi dipengaruhi konflik sektarian yang memang memiliki kesejarahan dalam perjalanan umat 8
Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan, dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 2-3. 9 Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia. Tesis dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2004, dengan mengambil konsentrasi Syariah, h. 4-5.
4
Islam. Konflik yang kini terjadi di beberapa negara muslim dan melibatkan sesama muslim pula, telah dimaknai sebagai konflik teologis dan beberapa kalangan mencoba menariknya ke dalam konteks keindonesiaan. Kelompok ini begitu massif melakukan propaganda dan menggiring opini publik bahwa konflik tersebut adalah jihâd dalam memerangi kelompok muslim tertentu.10 Pembacaan yang literal dan tidak holistik menjadi salah satu pemicu timbulnya terorisme agama. Isu ini harus dihadapi oleh para pemikir agama, termasuk para sarjana Muslim di era modern dan postmodern.11 Tantangan ini memang sangat berat. Masalah ini merupakan isu modernitas yang belum ada pada masa sebelumnya, seperti isu kesetaraan gender, hak asasi manusia, humanisme, liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan isu-isu modernitas lainnya. Hal ini semua menuntut para pemegang otoritas dan cendekiawan agama untuk melakukan pembacaan kembali (rereading) terhadap kitab suci,12 sumber rujukan agama mereka masing-masing. Bagi para sarjana Muslim modern, pembacaan ulang ini bukan hanya berupa pembacaan yang berpijak pada otoritas teks semata (secara literal), tetapi lebih dari itu mereka berusaha menunjukkan signifikansi dan nilai kontributif teks keagamaan13 tersebut bagi kehidupan modern yang sedang dihadapi. 10
Lukman Hakim Saifuddin, kata Sambutan Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Menuju Islam Indonesia yang Ramah dan Moderat (Jakarta: Direktur Jenderal Bimas Islam, 2014), h. vii – x. 11 Dalam catatan Alwi Shihab, pada 1960-an bangkit suatu gerakan kultural intelektual baru akibat rasa cemas terhadap janji-janji gerakan modern yang dianggap gombal. Gerakan ini menamakan dirinya posmodernisme. Gerakan ini secara konkret menunjukkan kepanikannya terhadap gerakan modern dengan suatu aksi nyata di St. Louis, AS, pada tahun 1972. Gerakan modern atau modernitas tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang menjanjikan pembebasan manusia dari berbagai belenggu keterbelakangan dan irasionalitas yang mengunggulkan rasio atau emosi, akal atas hati. Sebaliknya, posmodernisme menyanggah dan menolak gerakan modern yang menempatkan akal (intellect/reason) di atas wahyu, gerakan ini menghidupkan kembali relevansi nilai-nilai tradisional suci terhadap kehidupan manusia yang selama ini dicampakkan oleh modernitas. Semangat baru kembali ditiupkan kepada nilai-nilai tradisional keagamaan. Iman dalam posmodenisme sesuatu yang otentik, suci, agar kembali pada posisinya semula. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1998), h. 50-53. 12 Kitab suci adalah sebuah teks, bila teks dipahami sebagai ―segala bentuk wacana yang dipancangkan (fixed) melalui tulisan.‖ Teks berarti segala bentuk ‗produk‘ dari discourse, apakah berupa ucapan (speech), tulisan (writing), gambar (visual text), bahkan benda-benda (artefact). Yasraf Amir Piliang, Agama dan Tamasya Hermeneutika dalam pengantar buku Memahami Bahasa Agama (Bandung: Mizan, 2011), h. 17-18. 13 Teks keagamaan di sini adalah teks yang substansinya didominasi oleh tema dan topik-topik yang bersumber pada satu agama atau lebih. Kitab suci adalah teks keagamaan yang bersumber pada satu agama. Fokus pembicaraan kita akan difokuskan pada teks yang bersumber pada satu agama, khususnya Al-Qur‘an. Tentu saja ada teks keagamaan yang bukan kitab suci, seperti karya teologis dan karya sastra keagamaan. Dunia
5
Dalam kasus lain yang sejenis, problem literalisme tersebut pada gilirannya tersemat pada kelompok sosial/ormas Islam keagamaan fundamentalisme, dalam konteks Indonesia yaitu fundamentalisme dakwahis (seperti salafi Jamaah Tabligh), fundamentalisme Islam politis (seperti MMI dan HTI) dan fundamentalisme Islam jihadis (seperti Jamaah Islamiyah, Ansharut Tauhid, dan NII) sebagaimana nanti akan diulas secara detail pada bab II. Bahkan lebih dalam lagi, ditemukan sejumlah akar permasalahan yang melahirkan pola keagamaan dan bahasa pada fundamentalisme jihadis yang melakukan terorisme atas nama Islam. Tentu saja problem literalisme yang telah diungkap di atas itu berubah menjadi radikalisme (salafi-jahadis) sampai bergeser pada aksi terorisme (jihadis-teroris) saat bertemu faktor-faktor lain, yaitu perasaan adanya ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan dan ketidakberdayaan. Sebagai muslim, kaum teroris seperti Imam Samudera, merasa diperlakukan tidak adil oleh kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat/USA (United State of America).14 Dalam perjalanannya, literalisme (harfiyah) dalam memahami teks keagamaan dalam konteks ini, kitab suci Al-Qur‘an, dipersoalkan oleh kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dalam banyak literatur (sebagaimana nanti akan dipaparkan pada bab III), ormas keagamaan Islam ini amat vokal dalam pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Pendirian Negara Islam (Islamic state) dan penerapan syariat Islam menjadi isu politis yang mereka cita-citakan karena mereka ingin mengganti NKRI yang berlandaskan ideologi Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika (dasar-dasar Negara/pilar-pilar Negara) yang sudah final dirumuskan oleh the founding fathers kita. Kelompok ini (MMI) masuk
teks keagamaan adalah teologi dan budaya agama tertentu, seperti Islam dan Kristiani. Oleh karena itu, untuk memahami teks keagamaan kita wajib menguasai teologinya. Kalau tidak, bisa saja terjadi kesalahan dalam menafsirkan teks atau bagian teks yang bersangkutan dan menafsirkan calon pembacanya. Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 33-34. 14
Sukron Kamil, dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman Kontemporer, dalam Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. iii.
6
dalam kategori ciri-ciri fundamentalisme Islam (penyebutan lain dari Islam radikal), yakni gerakan ormas keagamaan yang sejak berdirinya tahun 2000 identik dengan kekerasan, eksklusif, intoleran, anti modernitas, dan stigma negatif lainnya. Di sisi lain, istilah fundamentalisme Islam menurut Asep Syamsul M. Romli, sebagaimana yang dikutip Arif Gunawan Santoso (2015), adalah sebuah terminologi yang digunakan oleh Barat untuk melakukan demonologi Islam. Label tersebut ditujukan kepada setiap kelompok mana saja yang berjuang untuk pemberlakuan syariat Islam.15 Kelompok MMI sebagai fundamentalisme Islam menuding bahwa terjemah AlQur‘an Kementerian Agama RI telah menyuburkan benih-benih radikalisme dan terorisme agama di Indonesia. Penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag dengan menggunakan metode harfiyah (tekstualis/skriptualis) disebut-sebut sebagai faktor utamanya. Ditemukan ada sekitar 3.229 jumlah keseluruhan ayat (dari 6.236 ayat) yang dipermasalahkan M. Thalib selaku Amir MMI, baik dari aspek akidah, syariah, ekonomi, dan sosial dengan mengelompokkan ayat-ayat pilihan serta prinsipil sebanyak 171 ayat dengan perincian 78 ayat di bidang akidah, 42 ayat di bidang syariah, 35 ayat bidang muamalah, dan bidang ekonomi sebanyak 16 ayat.16 Kegelisahan M. Thalib dengan terjemahan Al-Qur‘an Kemenag membuatnya kritis mendalami segala aspek kesalahan—baik faktor linguistik maupun nonlinguistik—yang ada di dalamnya. Dalam masa kurang lebih 10 tahun, M. Thalib akhirnya menerbitkan karyanya yaitu Al-Qur‘an Terjemah Tafsiriyah sebagai koreksi dan alternatif terjemahan Al-Qur‘an Kemenag. Namun, sayangnya produk yang dihasilkannya ini masih banyak menuai pro-kontra, komentar, kritik pedas, dan tanggapan dari para pengkaji bahasa dan terjemah/tafsir Al-Qur‘an. Alih-alih sebagai terjemahan terbaik dengan menggunakan pendekatan terjemah tafsiriyah, hasil terjemahan M. Thalib/MMI justru 15
Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 1. Buku ini merupakan Tesis yang dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014. 16 M. Thalib, Koreksi Terjemah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013), h. 852-1025.
7
menimbulkan permasalahan baru yang bila ditelaah lebih dalam, maka didapati terjemahannya cukup keras, ekstrim, bias dari penafsiran ulama tafsir yang menjadi rujukannya (tidak sesuai dengan sebagian besar referensi kitab tafsir), dan cenderung menggiring pembaca untuk mendukung garis-garis perjuangan atau basis idelologi MMI sendiri yaitu penegakan syariat Islam, syariat perang, dan jihâd. Di sinilah letak permalasahannya. Problem terorisme yang menurut mereka bersumber dari terjemahan AlQur‘an Kemenag belakangan masuk menjadi ranah politis, seakan-akan MMI ingin menunjukkan ke publik bahwa mereka bukan kelompok radikal, mereka menuding bahwa pemerintahlah (melalui terjemah Al-Qu‘ran Kemenag) yang memberi andil munculnya terorisme. Untuk itu mereka membuat Al-Qur‘an terjemah tafsiriyah, yang mana terjemahan tafsriyah mereka sendiri lebih mencerminkan pola pikir penyusunnya/penerjemahnya, jauh berbeda dari pola penerjemahan/penafsiran ulama pada umumnya. Perlu diketahui, faktor umum kebringasan para teroris tidaklah diawali pada bacaan mereka dari terjemahan Al-Qur‘an Kemenag semata-mata (an sich), kalaupun itu ada lagilagi soal interpretasi dan sempitnya pemahaman agama seseorang saja, akan tetapi lebih mengarah kepada fakta genealogi ekonomi dan politik global yang akhirnya mereka beraksi kejam. Menurut Azyumardi Azra dalam KTT Madrid Summit 11 Maret 2005, akar-akar terorisme sangat kompleks dan merupakan penggabungan dari sejumlah faktor: sosial, psikologi, ketidakpuasan politik domestik dan internasional, ekonomi, kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, dan alienasi ketercerabutan budaya.17 Lebih luas lagi, pada kerangka ini, fakta yang muncul, aksi teroris ini bisa dimaknai sebagai bentuk ketidakpuasan pada kebijakan global yang lebih berpihak kepada kalangan borjouis yang akhirnya merembes pada persoalan laten yaitu interpretasi nilai-nilai agama sebagai legitimasi
17
Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim dari Australia hingga Timur Tengah (Jakarta: Hikmah Mizan, 2007), h. 97-98.
8
tindakan mereka.18 Bahkan, Komaruddin Hidayat menambahkan, mengerasnya ideologi Islam ini dipengaruhi juga oleh krisis Palestina-Israel yang tak kunjung selesai yang telah membangkitkan solidaritas keislaman anti AS (Amerika Serikat) yang diyakini berada di belakang Zionisme.19 Bertolak dari uraian dan hipotesa perdebatan ilmiah-akademik di atas, sangat menarik untuk dikaji keterkaitan antara tindakan terorisme dan teks keagamaan, mengingat terorisme semakin mengguncang rasa takut seluruh umat manusia dalam peta pemikiran global abad 21 saat ini.20 Terlebih dalam konteks Indonesia, di mana aksi teror tidak ada matinya, sekaligus penelitian ini menjawab stigma bahwa radikalisme agama dan terorisme yang terjadi karena pemahaman agama seseorang yang kerdil, literalis, parsial, dan tidak komprehensif. Dalam melakukan analisis riset ini, bertolak belakang dengan pendekatan teori Ferdinand De Saussure yang menjelaskan bahwa perilaku bertutur (speech act) sebagai rangkaian hubungan antara dua orang atau lebih seperti A dengan B. Perilaku bertutur ini terdiri dari dua bagian kegiatan, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar dibatasi oleh mulut dan telinga, sedangkan bagian dalam melingkupi jiwa dan akal pikiran yang terdapat dalam otak pembicara dan pendengar. Jika A berbicara, maka B menjadi pendengar, dan jika
18
Keterangan ini sebagaimana yang diteliti Stephen Sulaiman Schwartz dan Stephen Vertigans dalam riset M. Abzar Duraesa. Dalam penelusuran M Abzar Duraesa, ada sejumlah penelitian tentang teroris dan perilaku terorisme dengan berbagai varian yang melatarbelakanginya. Di antaranya apa yang ditulis Babun Suharto yang mengangkat “Kekerasan Atas Nama Agama: Akar Masalah dan Alternatif Solusinya” yang dimuat dalam Jurnal Edu-Islamika: The Indonesian Journal of Education and Islamic Studies, Vol. 3, No. 1, Maret 2012. Lalu Stephen Sulaiman Schwartz dengan tema “Dua Wajah Islam: Moderatisme vs Fundamentalisme Dalam Wacana Global‖ dan Stepehen Vertigans tentang ―Militant Islam: a Sociology of Characteristics; Causes and Cinsequences‖ yang dimuat di The Wahid Institute dan Center for Islamic Pluralism, 2007. Lihat M. Abzar Duraesa, Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi Terhadap Perkembangan Teologi Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding in Annual International Conference (AICIS) XIV, Buku 4, Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities, (STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 633. 19 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books Mizan, 2012), h. 182. 20 Peristiwa terorisme paling terkini adalah apa yang terjadi di Brussels, Belgia. Serangan bom bunuh diri di bandara Zaventem tersebut menelan korban 31 orang. Menurut mantan Kepala Keamanan Dalam Negeri Perancis Bernard Cazeneuve sebagaimana dalam reportase harian Kompas, serangan Paris dan Brussels dirancang oleh jaringan teroris yang sama dan paling berbahaya di Eropa. Disebutkan, dugaan pelakunya adalah Ibrahim El Bakraoui dan Khalid El Bakroui, dua bersaudara pelaku serangan bom Belgia kemudian Saleh Abdeslam yang bergabung dalam milisi Negara Islam di Suriah dan Irak (NIIS). Disunting dari Harian Kompas dalam liputan Internasional, Minggu, 27 Maret 2016, h. 4.
9
B berbicara, maka A menjadi pendengar.21 Teori de Saussure dengan linguistik sinkronik biasa disebut juga linguistik deskriptif (washfiyyah) berupaya mendeskripsikan bahasa secara apa adanya pada suatu masa tertentu. Sebaliknya, riset ini mendukung teori mentalisme atau kognitivisme (nazhariyyah „aqliyyah) Noam Chomsky yang mengungkapkan bahwa bahasa merefleksikan pola pikir penuturnya, dan bahasa adalah cermin terbaik akal pikiran manusia,22 diperkaya dengan pisau analisis semantik leksikal, gramatikal, dan semantik kontekstual. Selain itu, riset ini juga sebanding dengan pendekatan kebahasaan kontekstual (tharīqah siyâqiyyah) seperti yang digagas oleh Firth.23 Bagaimana ketika seseorang membaca teks-teks keagamaan, harus pula melihat konteks yang mengitarinya, tidak ditelan mentah-mentah.
Sebuah teks24 harus bisa dianalisis dari segala aspek (sosio-historis-
kultural). Makna teks harus diinterpretasikan dengan konteks. Sebab sangat berbahaya, tatkala seseorang menelaah teks yang bernada perang dan menyuruh ber-jihâd—sebagai doktrin paling utama/strategis oleh kaum jihadis/teroris ISIS—misalnya, maka dia akan melakukan aksi keji dan memilukan hati seperti pengeboman. Keberadaan kelompok keagamaan radikal ini dapat dikatakan sebagai bentuk perkembangan yang paling ekstrim saat ini, sekaligus menakutkan karena mengakibatkan korban nyawa dari kalangan sipil,
21
Abdul Chaer, Psikololinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66. Noam Chomsky, Knowledge of Languange: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger Publishers, 1986), h. 1. 23 Menurut Firth sebagaimana menurut S. Chapman, seperti dirujuk Muhbib Abdul Wahab, dalam kajian linguistik yang paling penting adalah konteks. Karena konteks itu menjadi penentu makna bahasa. Bahkan inti atau proses sentral studi linguistik adalah makna dan konteks. Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 51. Disertasi pada konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab. 24 Teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan, sedangkan wacana (discourse) adalah suatu aktivitas sharing (saling berbagi dan tukar-menukar) pendapat dan perasaan. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan, 2011), h. 215. 22
10
kerusakan terhadap berbagai tempat bangunan (seperti tempat ibadah, kafe, restoran, mall, dan lain-lain) dan kerugian secara material lainnya.25
B. Identifikasi,26 Rumusan, dan Batasan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, landasan teoritis dan kasuistik literalisme teks terjemahan mutakhir, muncul permasalahan mendasar yang menjadi central problem dan pokok penelitian ini (major research question), yaitu: bagaimana korelasi antara terorisme dan teks keagamaan yang belakangan menjadi polemik wacana dalam pola penerjemahan Al-Qur‘an Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Kementerian Agama RI? Kemudian apakah penerjemahan Al-Qur‘an yang dilakukan oleh tim penerjemah Kemenag sudah sesuai dengan teori penerjemahan Al-Qur‘an secara ilmiah? Pokok masalah tersebut selanjutnya dapat dijabarkan dalam rumusan masalah dengan mengemukakan bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1) Bagaimana keabsahan argumen MMI bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag telah berperan dalam melahirkan terorisme Islam? 2) Bagaimana hasil terjemahan tafsiriyah MMI yang mereka anggap sebagai solusi dalam memahami Al-Qur‘an, sementara mereka sendiri termasuk kelompok Islam radikal?
25
Syamsul Arifin, Multikulturalisme dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan Keagamaan Radikal di Indonesia, paper dalam Proceeding Annual International Conference (AICIS) XIV, Buku 2 subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems, Editor Muhammad Zain, dkk., (STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 165. 26 Identifikasi berasal dari bahasa Inggris, identification yang berarti ‗penyamaan; mempersamakan; meneliti dan menetapkan nama sesungguhnya. Identifikasi dalam bahasa Arab, sebagaimana dikutip Ismail Lubis, sama dengan penegasan sesuatu masalah
(الشيء
)حتقيق ذاتية. Jadi, identifikasi masalah dan ruang
lingkup pembahasan penetapan; penegasan masalah, dan pembatasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 28.
11
Fokus kajian masalah27 ini dibatasi pada aspek penerjemahan ayat-ayat jihâd, dengan membandingkan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI Edisi Tahun 2002,28 dan AlQur‘an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‘an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan Tahun 2013 milik MMI yang lebih ditekankan (stressing) pada aspekaspek yang telah teridentifikasi dalam poin di atas. Ruang lingkup pembahasan penelitian ini diharapkan dilakukan secara komprehensif dan ilmiah dengan memadukan teori/teknik penerjemahan Al-Qur‘an, ilmu tafsir dengan melihat asbâb nuzûl al-ayat, dan diperkaya pendekatan linguistik/semantik (leksikal, gramatikal, dan kontekstual). Teori yang dipakai dalam riset ini adalah teori mentalistik Noam Chomsky yang memandang bahasa jelas mencerminkan pikiran penafsirnya atau penerjemahnya. Sebab, pikiran manusia menurut M. Amien Rais sebagaimana yang diungkap Muhammad Chirzin, merupakan ekspresi proses komunikasi pemikir dengan lingkungannya. Pemikiran yang radikal tidak akan pernah muncul dalam situasi masyarakat yang mantap secara sosial, politik, dan ekonomi. Ideologi atau pemikiran itu dikembangkan oleh manusia dalam memberikan jawaban terhadap situasi yang berkembang.29
27
Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka ada dua hal penting yang perlu disorot dalam riset ini, yaitu unit masalah dan kedua fokus kajian masalah yang dijadikan sebagai masalah utama (central problem) yang dipilih, yang kemudian ditemukan solusinya melalui kajian ini. Untuk keduanya sudah dijelaskan di atas. Menurut Lexy Moleong, fokus masalah telah ditentukan akan berfungsi selain tidak hanya membatasi studi, melainkan juga untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau memasukkan-mengeluarkan (inclusion-exclusion criteria). Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 62. 28 Al-Qur‘an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002 ini tampil dengan format yang lebih tipis, yaitu 924 halaman (selain daftar kepustakaan), di mana ada pengurangan 370 halaman dari edisi sebelumnya Tahun 1990 sekitar 1.294 halaman. Untuk catatan kaki (footnote) juga berkurang, Tahun 1990 ada 1.610 footnote, namun edisi 2002 ini hanya 930 footnote saja (berkurang 680). Selain aspek footnote yang diminimalisir, juga ada mukadimah yang berjumlah 172 halaman dibuang. Khusus edisi Tahun 2002 ini, mukadimah yang berisikan kajian Ulumul Qur‟an tidak dimuat, dan bagi mereka yang ingin mempelajarinya dipersilahkan untuk membaca buku-buku Ulumul Qur‟an. Dengan demikian, penerjemahan ayat pula diusahakan lebih singkat dan padat, sedangkan bagi mereka yang ingin mempelajarinya secara lebih mendalam, dipersilahkan membaca kitab-kitab tafsir, termasuk Tafsir Al-Qur‟an Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002 ini harus disadari lebih praktis, mudah dibawa dan mudah dipelajari dan terbuka untuk penyempurnaan pada edisiedisi berikutnya. Lihat Kata Pengantar Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an dalam Al-Qur‟an dan Terjemahnya, yang kemudian edisi Tahun 2002 ini dicetak sebanyak 400.000 eksemplar, dicetak oleh PT. Sinergi Pustaka Indonesia dan diadakan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar), Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam), Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2012, h. vi. 29 Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Jurnal Hermenia, Kajian Islam Kontemporer, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 95.
12
Jenis semantik yang digunakan dalam Tesis ini menyarankan pengkajian atas satu makna leksikal (makna dalam kamus) yang ditentukan kata dan atau kalimat sebelum dan sesudahnya. Konteks yang dijadikan dasar analisis juga adalah konteks sosial budaya yang melingkupi teks keagamaan saat teks itu lahir. Ini sesuai dengan konsep asbâb nuzûl al-ayat dalam ranah ilmu tafsir di mana teks Al-Qur‘an muncul disesuaikan dengan latar belakang sosio-historis-kulturalnya, begitu pula asbâb wurûd al-hadīs dalam domain kajian hadis. Dalam teori kebahasaan modern, teori ini selaras dengan gagasan/teori kontekstual (siyâq) sebagaimana disarankan oleh Firth dan Lyons. Dengan begitu, kita bisa berasumsi apakah ‗tuduhan miring‘ MMI itu objektif atau hanya sekadar persoalan ideologi penerjemahan/beda pemahaman saja, atau hanya beda metode/teknik/prosedur penerjemahan saja,30 atau boleh jadi ada motif tertentu misalnya sudah masuk ke dalam ranah politik sampai ‗berani‘ menuduh ada tim oknum siluman yang menyelinap di tubuh Tim Ahli Penerjemah dan Penafsir Al-Qur‘an Kemenag RI. Pada interpretasi selanjutnya diungkap bahwa segala bentuk penjelasan terhadap Al-Qur‘an adalah upaya menyingkap tabir makna untuk memperoleh pesan dan petunjuk yang terkandung di dalamnya. Varian bentuk dan motivasi penulisannya, sebagai contoh penulisan Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah MMI31 itu pun turut mempengaruhi arah dan kecenderungan
30
Metode dan prosedur adalah dua istilah teknis dalam penerjemahan. Ada sisi perbedaan di antara keduanya. Untuk metode (method) adalah suatu cara melakukan penerjemahan, bisa pula bermakna memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (BSu) dan memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Adapun prosedur (procedure) adalah perbuatan atau cara kerja dalam segala tindakan atau proses. Perbedaan antara metode dan prosedur terletak pada satuan penerapannya. Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan teks, sedangkan prosedur terjemahan berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil seperti klausa, frasa, kata, dan seterusnya. Sebagai metode, penerjemahan harfiyah dapat dianggap sebagai prosedur penerjemahan yang paling penting karena pada dasarnya penerjemahan harfiyah dilakukan pada tataran klausa atau kalimat. Lihat Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo Gramedia, 2000), h. 4849 dan 62-63. 31 Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan disusun oleh Al-Ustadz Muhammad Thalib sebagai Penerjemah; kemudian Slamet Suripto sebagai Asisten Penerjemah; Penyelaras Bahasa oleh Irfan Suryahardi ‗Awwas; Zaky Imadudin Rabbany selaku Pemeriksa Khat Al-Qur‘an; lalu Abu Labib sebagai Penata Letak; dan Budi Yuwono bertugas sebagai Desain Cover. Berdasarkan penelusuran Penulis, karya MMI ini sudah sampai cetakan keempat di mana Edisi I terbit pada Muharram 1433 H/Desember 2011 M; Edisi II pada Rabi‘ul Awwal 1433 H/Februari 2012 M; Edisi III pada bulan Rajab 1433 H/Mei 2012 M; dan Edisi IV terbit pada Rabi‘ul Awwal 1434 H/Februari 2013 M. Diterbitkan oleh Penerbit Ma‘had An-Nabawy Markaz Pusat Majelis Mujahidin Indonesia, Alamat: Jl. Karanglo
13
penerjemahan ataupun penafsiran. Sebab, tak bisa kita pungkiri ada sejumlah karya terjemahan atau tafsir Al-Qur‘an yang hadir ke permukaan dengan mengusung perspektif tersendiri, baik dari segi pendekatan maupun latar belakang akademik penulisnya (penerjemahnya atau penafsirnya). Bisa jadi juga, muncul dan terbit ke khalayak pembaca sebagai reaksi terhadap karya yang sudah ada sebelumnya, semacam bantahan (counter discourse) ataupun korektif.
C. Riset Terdahulu yang Relevan Untuk mendapatkan hasil penulisan yang baik dan komprehensif, maka penulis menggunakan acuan-acuan sebagai berikut: sejauh pengamatan penulis, ada sejumlah penelitian terdahulu yang mengangkat isu-isu penerjemahan dan penafsiran Al-Qur‘an Kemenag; tentang teori mentalisme Chomsky; terorisme dan isu deradikalisasi; membincang bahasa dan pola keagamaan fundamentalisme Islam; serta riset yang menjadikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai objek kajiannya. Oleh karena itu, penulis akan membuat langkah-langkah riset terdahulu/kajian literatur ini agar lebih sistematis, kronologis, tematis, dan komprehensif. 1) Kajian terdahulu yang mengangkat isu-isu terjemah Al-Qur‘an Kemenag termutakhir, dan penafsiran Al-Qur‘an kontekstual kontemporer. Di antaranya adalah Syahrullah, seorang Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menulis ―Tarjamah Tafsiriyah Terhadap Al-Qur‘an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi,‖ yang dimuat dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies. Ia menyoroti bahwa karya MMI ini memiliki beberapa kelebihan dan juga kekurangan. Salah satu kelebihannya adalah M. Thalib mengetengahkan sebuah kemasan terjemahan yang ringkas, namun berani memberi keputusan makna yang tegas atas sebuah term atau ayat Al-Qur‘an. Dari segi kebahasaan, masih menurut Syahrullah, No. 94 Kotagede, Yogyakarta, Tlp/Fax (0274) 451665 dan Hak Penerbitan dan Publikasi dipegang oleh (Muassasah) Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia.
14
karya terjemahan ini terbilang istimewa. Upaya singkronisasi antara teks bahasa sumber (source text) dengan bahasa sasaran (target text) bahkan dia menyebutnya bahasa ketiga, secara leksikal dapat dikatakan tercapai dengan baik, dengan tidak membingungkan pembaca yang hendak menerima dengan cepat keputusan makna di tengah pembacaannya terhadap naskah terjemahan tafsiriyah dalam karya tersebut. Upaya pembedaan makna dari dua kosakata yang umumnya diterjemahkan serupa dalam sebuah karya terjemahan lain dikemas dengan redaksi yang mudah dipahami. Pemilihan kosakata (mufradât) yang tepat dalam menyusun redaksi terjemahan menjadi kelebihan tersendiri dari karya terjemahan tafsiriyah ini.32 Berikutnya Muchlis M. Hanafi, ―Problematika Terjemahan Al-Qur‘an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur‘an dan Kasus Kontemporer,‖ dalam Jurnal Suhuf Vol. 4, No. 2, 2011. Artikelnya mengulas seputar Problematika Terjemahan Al-Qur‘an mutakhir seperti kasus Terjemahan Kemenag, Terjemah Al-Qur‘an per Kata terbitan Sygma (2007), Tafsir AlQur‘an per Kata terbitan Penerbit Maghfirah (2009) dan Penerbit Kalim (2011), dan tak kalah pentingnya Muchlis mengulas perseturuan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag dengan Tarjamah Tafsiriyah MMI. Ia mengemukakan bahwa Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI bukanlah pemicu timbulnya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Boleh jadi pemahaman agama yang kurang lengkap dan memadai ketika seseorang membaca terjemahan kitab suci itu.
33
Riset yang sangat relevan dengan kasus terjemahan Al-Qur‘an Kementerian
Agama, adalah Ismail Lubis yaitu ―Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‘an Departemen Agama Edisi 1990.‖ Disertasinya cukup komprehensif dalam menganalisis kesalahan dalam terjemahan Al-Qur‘an Depag tersebut. Berkaitan dengan itu, judul buku menggunakan istilah 32
Syahrullah, Tarjamah Tafsiriyah terhadap Al-Qur‟an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi, Bandung: Journal of Qur‘an and Hadith Studies, Vol. 2, No. 1, 2013, h. 60. 33 Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an; Studi pada Beberapa Penerbitan AlQur‟an dan Kasus Kontemporer (Lajnah Pentashihahan Mushaf Al-Qur‘an: Jakarta, 2011), Jurnal Suhuf, vol 4, No. 2, h. 169-170.
15
―falsifikasi‖ yang dapat diartikan memberikan gambaran kepada pembaca atas proses penelitian terhadap ketidaktepatan penerjemahan Al-Qur‘an Depag edisi 1990. Sebelumnya dibahas penerjemahan yang salah dalam Penerjemahan Al-Qur‘an Depag Edisi Tahun 1990 dan sebab-sebab terjadinya penerjemahan yang salah. Dalam disertasi doktoralnya bidang ilmu-ilmu agama Islam di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ismail Lubis merumuskan identifikasi masalah, batasan masalah, dan ruang lingkup pembahasan sekurang-kurangnya ada tujuh masalah yang perlu diselesaikan. (1) Kata yang berlebihan dalam kalimat terjemahan karena mengandung arti yang sama, sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 71 surat al-Baqarah halaman 21, kalimat terjemahan ayat 99 surat Yunus halaman 322, kalimat terjemahan ayat 13 surat al-Hujurât halaman 847, dan kalimat terjemahan ayat 111 surat al-An‘âm halaman 206. (2) Frasa yang digunakan dalam kalimat terjemahan ayat tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, yakni frasa berjalan di atas perut. Akibatnya membuat kalimat terjemahan ayat tidak efektif karena frasa tersebut tidak mengandung makna ayat secara tepat dan tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, misalnya kalimat terjemahan ayat 45 surat al-Nur halaman 552. 34 Selanjutnya riset seputar ―Koherensi Terjemahan Al-Qur‘an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‘an Depag RI Edisi Tahun 2002,‖ Tesis yang ditulis Tardi Mahasiswa SPs UIN Jakarta 2008. Dalam penelitiannya, Tardi membuktikan bahwa Terjemahan Al-Qur‘an Depag 2002 itu menggunakan teori-teori terjemahan secara umum yang ditawarkan oleh Newmark. Teori tersebut dikembangkan melalui prosedur penerjemahan yang tidak hanya mengikuti salah satu langkah, tetapi tiga langkah/strategi penerjemahan yaitu analisis, transfer, dan restrukturisasi. Ketiga langkah ini dalam kesimpulannya tidak dapat
34
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 29-30.
16
memecahkan kesulitan penerjemahan dalam tataran kata, frasa, dan kalimat.35 Selain itu, Edi Junaedi menulis ―Polemik Terjemahan Al-Qur‘an antara MMI dan Kementerian Agama dalam Perspektif Percakapan.‖ Dalam bahasannya, dipaparkan seputar Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sebuah ormas yang lahir pada tahun 2000 di Yogyakarta dan dicap sebagai organisasi radikal, pada bulan Agustus 2010, membuka polemik dengan Kementerian Agama. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag dianggap mereka mengalami kekeliruan karena menggunakan tarjamah harfiyah, yang berpotensi melahirkan paham sesat bahkan sikap radikal pada masyarakat. Dalam suratnya yang dikirimkan secara resmi kepada Menteri Agama, MMI mengharapkan uji shahih secara publik hasil penelitian mereka atas Terjemahan Al-Qur’an tersebut. Sejak itu terjadi ‚perang‛ wacana antara MMI dan Kemenag RI soal terjemahan Al-Qur’an di media, terutama di Majalah Gatra. Akhirnya, pada 29 April 2011, Kemenag melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, membuka ruang untuk berdialog secara ilmiah di TMII. 36 Selanjutnya, Istianah tentang ―Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah AlQur‘an Kemenag RI‖, Tesis pada Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi AlQur‘an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Tesisnya menguraikan hal yang melatarbelakangi Muhammad Thalib melakukan penerjemahan Al-Qur‘an, di antaranya karena adanya penerjemahan Al-Qur‘an secara harfiyah yang dilakukan oleh Dewan Penerjemah Depag RI, sedangkan metode penerjemahan yang satu ini adalah sesuatu yang mustahil. Ia pun menyadari perlunya sebuah terjemah yang dapat membantu umat Islam non Arab dalam memahami makna ayat-ayat Al-Qur‘an dengan benar, mudah, dan lebih cepat tanpa melenceng dari maksud kalimat aslinya. Maka dari itu, ia melakukan alih bahasa
35
Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag RI Edisi Tahun 2002 (Jakarta: SPs UIN Jakarta, 2008). Tesis pada Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab. 36 Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam Perspektif Percakapan (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 2. Tesis pada SPs UIN Jakarta.
17
seluruh ayat-ayat Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia secara tafsiriyah. Lebih dari itu, Muhammad Thalib menegaskan bahwa apa yang dilakukannya merupakan koreksi atas terjemah versi Kemenag RI (selanjutnya akan disebut dengan QTK/Al-Qur‘an Terjemah Kemenag) dan juga sebagai counter attack atas pemikiran-pemikiran sekuler dan liberal di Indonesia yang semakin gencar mendeskreditkan Al-Qur‘an sebagai kitab suci yang mengandung unsur-unsur kekerasan dan kebencian terhadap non Islam.37 Kemudian riset Moch. Nur Ichwan tentang ―Negara, Kitab Suci dan Politik: Terjemah Resmi Al-Qur‘an di Indonesia.‖ Dalam pembahasannya, penulis menyampaikan bahwa dalam penerjemahan Al-Qur‘an, salah satunya yang diterbitkan Depag RI, memungkinkan adanya keterpengaruhan terjemah tersebut dengan unsur lain seperti misalnya politik, di mana melalui hasil karya terjemah Al-Qur‘an ini, pemerintah juga ingin menunjukkan eksistensinya sebagai pelindung Islam dan masyarakat muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Hal itu dilandasi pada bacaannya terkait AlQur‘an dan Terjemahnya tahun 1974, halaman 129. Bunyinya sebagai berikut: ―Terjemah alQur‟an ini disusun dan diterbitkan oleh pemerintah, dengan maksud agar terjemah alQur‟an ini dapat dipelajari secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia dengan mudah. Terjemah ini disusun oleh para ahli menurut vaknya masing-masing. Pelaksanaannya diserahkan kepada suatu Lembaga Negara yang diberi nama: Lembaga Penyelenggaraan Penterjemah Kitab Suci Al-Qur‟an.” Pada penelitiannya, Moch. Nur Ichwan mengungkapkan sejarah terjemahan Al-Qur‘an di Indonesia, perdebatan boleh dan tidaknya sebuah kitab suci diterjemahkan, dan yang terpenting aspek sebuah Al-Qur‘an dan Terjemahnya milik Depag RI sebagai sebuah karya yang memiliki otoritas yang besar, di mana karya tersebut diterjemahkan oleh ulama-ulama terkenal, yang kebanyakan terkait dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), pakar bahasa serta para ahli tafsir lainnya. Tak bisa disangkal bahwa 37
Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 5-6. Tesis pada SPs UIN Yogyakarta.
18
Al-Qur‘an dan Terjemahnya versi Depag adalah yang paling terkenal yang diterbitkan di Indonesia. Kitab suci tersebut diterbitkan tidak hanya oleh Depag sendiri, tetapi juga oleh beberapa pihak swasta dan organisasi Islam tertentu. Karya agung itu juga merupakan terjemahan versi Indonesia yang paling banyak dipergunakan oleh berbagai homepage Islam di internet.38 Asyhari tentang ―Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis terhadap Al-Qur‘an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI.‖ Ia menyoroti keberadaan terjemah Al-Qur‘an Kemenag ternyata membawa dampak negatif bagi umat Islam, sebab berkurangnya minat umat Islam untuk mempelajari kitab-kitab para ulama terdahulu dan para Kiai.39 Ibrahim Syuaib Z, mengangkat bahasan ―Dakhil al-Naqli dalam Al-Qur‘an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004‖. Pengertian al-dakhil dalam tafsir adalah Penafsiran Al-Qur‘an dengan al-ma‟tsûr yang tidak sahih, atau bisa juga diartikan penafsiran Al-Qur‘an dengan al-ma‟tsûr yang sahih akan tetapi tidak memenuhi syarat-syarat penerimaan atau penafsiran dengan pendapat yang salah. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah kemungkinan keberadaan al-dakhil al-naqli dalam sepuluh juz pertama Al-Qur‘an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004, bentuk dan faktornya. Kemungkinan itu dijaring dengan sembilan bentuk al-dakhil al-naqli. Contoh kerja penelitian ini sebagai berikut; bila Al-Qur‘an dan Tafsirnya merujuk hadis dalam menafsirkan ayat, maka diteliti kualitas kesahihannya. Bila data-data yang ditemukan menunjukkan bahwa hadis tersebut dhaif yang tidak layak dijadikan hujjah, maka tafsir dikategorikan sebagai dakhil al-naqli pertama. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan terhadap pokok
38
Moch. Nur Ichwan, Negara, Kitab Suci, dan Politik: Terjemah Resmi Al-Qur‟an di Indonesia,dalam buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Penyunting: Henri Chambert-Loir (Jakarta: Kepustakaan Populer (KPG) Gramedia, Forum Jakarta-Paris bekerja sama dengan Pusat Bahasa, dan Universitas Padjajaran Bandung, 2009), h. 417-419. 39 Asyhari, Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis terhadap Al-Qur‟an Terjemah Kementerian Agama RI (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2015), h. 3. Proposal Disertasi pada SPs UIN Sunan Ampel.
19
permasalahan ternyata dalam sepuluh juz pertama Al-Qur‘an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004 terdapat 16 (enam belas) tafsir dakhil al-naqli.40 Sebagai pamungkas apa yang ditulis Abdullah Saeed, seorang Guru Besar Arab dan Islamic Studies di University of Melbourne, Australia. Beliau menulis Tafsir Kontekstual Al-Qur‘an Abad 21 sekaligus menyoroti perkembangan tafsir al-Qur‘an serta mengangkat perdebatan mutakhir tentang pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu tafsir.41 2) Kajian terdahulu yang mengangkat tema Teori Linguistik, Pemikiran dan Orientasi Semantik. Adalah Muhbib Abdul Wahab tentang ―Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân.‖ Disertasi doktoralnya ini dilatarbelakangi oleh stigma negatif bahwa bahasa Arab terutama Nahwu dianggap sulit dipelajari. Padahal, setiap bahasa di dunia ini memiliki tingkat kesulitan dan kemudahan masing-masing, sesuai dengan karakteristik bahasa itu sendiri. Sementara itu, penelitian nahwu merupakan penelitian yang syarat dengan perdebatan dan kontroversi. Pada saat yang sama, materi nahwu yang diajarkan di lembaga-lembaga penelitian masih cenderung berorientasi kepada aspek mabna, dan belum dilandasi oleh hasil-hasil penelitian yang memadai. Metode pembelajarannya pun dipandang belum efektif, fungsional, dan kontekstual.42 Orientasi pemikiran Semantik misalnya, Zulkifli Agus, ―Orientasi Pemikiran Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu Tinjauan dari Segi Makna.‖ Salah satu tujuannya adalah mengkaji pemikiran Ibnu Jinnī tentang semantik baik dari segi leksikal, struktural dan makna sosial. Kemudian untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Ibnu
40
Ibrahim Syuaib Z, “Dakhil al-Naqli Dalam Al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004”. (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2009), h. 2. Laporan hasil penelitian. 41 Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, dalam versi terjemahan Indonesia Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, Penerjemah: Ervan Nurtawab (Bandung: Mizan Media Utama, 2016), h. 12. 42 Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. xv. Disertasi pada SPs UIN Jakarta, konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab.
20
Jinnī dalam menetapkan suatu arti kata dalam kalimat maupun wacana.43 Riset ―Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī: Kajian Kitab al-Muzhir.‖ Tesis ini ditulis oleh Ahyani, yang ingin membuktikan bahwa al-Suyûthī produktif dalam menyumbangkan pemikiran orisinil dan benar peranannya dalam perkembangan ilmu kebahasaan, khususnya dalam konteks semantik bahasa Arab. Penelitian ini juga membuktikan tidak adanya hal baru dari kitab alMuzhir dan karya al-Suyûthī lainnya ketika dia menguraikan teori tentang rolling (al-isytiqâq al-akbar) dari Ibnu Jinnī dan Ibnu Fâris, selain penambahan bentuk baru derivasi, yakni dalam konteks makna, sebagaimana ahyani tidak menemukan hal baru dalam pembahasan al„âmm wa al-khâs, selain penambahan bab yang berbeda dari apa yang disebutkan al-Tsa‘âlibī pada pembahasan al-Kulliyyât.44 3) Kajian terdahulu yang membahas radikalisme agama, terorisme, dan deradikalisasi, yaitu Tim Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI. Buku ini merupakan kumpulan materi hasil Seminar Nasional tentang Fenomena Bahaya ISIS bagi NKRI dan Islam rahmatan lil „âlamin pada tanggal 9 Agustus 2014 di Auditorium KH. M. Rasjidi Thamrin, yang telah disempurnakan dan dilengkapi dengan tulisan-tulisan lain yang terkait. Banyak perspektif dan gagasan menarik dari para narasumber terkait dengan isu mutakhir gerakan radikalisme agama di Indonesia. Buku ini disebarluaskan kepada masyarakat sebagai salah satu upaya Ditjen Bimas Islam yang telah berkontribusi dalam pencegahan munculnya gerakan radikalisme berbasis agama dan tantangan kebangsaan serta beberapa pemikiran menyimpang dan menggoyangkan pilar-pilar kenegaraan dan merusak keutuhan NKRI, terutama agama Islam yang luhur ini. Buku ini mengupas radikalisme agama dalam sejarah Islam, apa itu radikalisme, genealogi radikalisme agama,
43
Zulkifli Agus, Orientasi Pemikiran Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu Tinjauan dari Segi Makna (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 14. Tesis UIN Jakarta. 44 Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâl al-Dīn al-Suyûtī: Kajian Kitab al-Muzhir (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. v. Tesis UIN Jakarta.
21
faktor pemicu radikalisme agama dalam Islam, ISIS dan fenomena radikalisme modern. Kemudian bagaimana menyikapi agama dan menerapkan nilai-nilai Islam untuk konteks keindonesiaan dan kebangsaan, bagaimana memahami Islam yang rahmatan lil „âlamin, Indonesia dan model moderasi Islam, dan NKRI sebagai semangat kekhalifahan.45 Soal terorisme oleh Rohmawati dengan tema, ―Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia‖. Dalam risetnya dijelaskan sejumlah fenomena terorisme di Indonesia serta dilihat dari peta gerakan terorisme global, dan kapan Indonesia mulai terperangkap dalam jaringan terorisme sekaligus faktor-faktor yang dapat menimbulkan tindak terorisme.46 Lalu ―Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia.‖ Kajian ini merupakan hasil penelitian berkaitan dengan terpidana terorisme yang bermotif keagamaan, sehingga yang diteliti dan dikaji adalah profil keagamaannya. Dalam temuan riset ini dijumpai bahwa masing-masing pelaku terorisme dan jihadis tidak berangkat dari ruang kosong. Mereka melandasi perbuatannya dengan suatu faham keagamaan yang dikemas secara baik dan tidak kalah logisnya dibanding dengan logika mereka yang menentangnya.47 Kajian terkait deradikalisasi adalah karya Nasaruddin Umar. Beliau menulis ―Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‘an dan Hadis.‖ Buku ini diharapkan bisa menjadi acuan perbandingan dengan buku-buku yang berbahasa Indonesia yang agaknya terlalu ―bersemangat‖ untuk memperjuangkan Islam. Padahal, Al-Qur‘an dan pengalaman Rasulullah SAW menunjukkan bahwa jihâd itu tidak mesti harus selamanya dengan kekerasan, apalagi untuk melayangkan jiwa-jiwa yang tak berdosa. Selain itu, penulisnya 45
Tim Ahli Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Editor: Jaja Zarkasyi dan Thobib al-Asyhar (Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2014), h.vii-xii. 46 Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia. (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 9. Tesis SPs UIN Jakarta. 47 Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h, iii dan x.
22
juga berharap buku ini bisa memberikan pemahaman yang komprehensif dan sebagai counter terhadap berbagai buku lainnya.48 Mayjen TNI bintang dua yang cukup fenomenal Agus Surya Bakti (SB), menulis penanggulangan terorisme. Bukunya ―Merintis Jalan Mencegah Terorisme, Sebuah Bunga Rampai.‖ Buku ini layak menjadi bacaan yang memadai dan menjadi referensi berharga bagi semua pihak untuk menangkap dan memahami fenomena gerakan radikal yang menggunakan simbol agama atau yang mengatasnamakan agama. Buku ini merupakan bunga rampai yang diekspresikan oleh seorang pengambil/pembuat kebijakan (policy maker) dalam pencegahan terorisme di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).49 Satu lagi buku referensi yang sangat representatif untuk riset terdahulu, ditulis Agus SB yaitu ―Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan dan Deradikalisasi.‖ Buku ini adalah perwujudan dari pengalaman empiris yang dialami oleh Agus SB yang diberikan amanah sebagai Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT. Pengalaman menjabat sebagai Deputi I BNPT telah memberikan pengalaman sekaligus membentuk pemahaman komprehensif penulis, mengenai kebijakan penanggulangan terorisme, khususnya dalam bidang pencegahan terorisme. Penulis juga mengulas mengenai strategi deradikalisasi. Strategi ini ditujukan kepada kelompok masyarakat yang telah terpapar oleh ideologi radikal terorisme. Strategi ini bertujuan untuk mengurangi tingkat radikal (less radical) dari napi, mantan napi, keluarga dan jaringan kelompok teroris tersebut agar tidak kembali terjerumus ke dalam lingkaran terorisme yang memicu permusuhan sesama anak bangsa karena cenderung merasa paling benar di jalan yang salah.50 4) Riset terdahulu yang mengupas gerakan dan pola keagamaan kontemporer, fundamentalisme Islam; dan kajian kritis terhadap MMI. Yakni dari Pusat Pengkajian Islam 48
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Kata Pengantar: Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia ke-6 (Jakarta: Quanta Gramedia, 2014), h. xii. 49 Agus SB, Merintis Jalan Mencegah Terorisme: (Sebuah Bunga Rampai) (Jakarta: Semarak Lautan Warna, 2004). 50 Agus SB, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. xiii.
23
dan Masyarakat (PPIM) yang diedit oleh Jamhari dan Jajang Jahroni, ―Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.‖ Buku ini mengulas kelompok-kelompok Islam garis keras di dunia sunni sekarang ini berkaitan dengan reformulasi ideologi salaf, sebuah paham yang mengajarkan umat Islam agar mencontoh perilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Ideologi salaf yang pada awalnya menekankan pada pemurnian akidah, mengalami metamorfosa pada abad ke-20. Salafisme tidak hanya gerakan purifikasi keagamaan semata, tapi menjadi ideologi perlawanan terhadap berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilainilai agama. Buku ini mencoba menjelaskan fenomena gerakan Islam radikal dalam bingkai kehidupan sosial politik masyarakat Muslim Indonesia, dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam hubungannya dengan kelompok mayoritas Muslim di negeri ini yang dikenal dengan moderat dan toleran. Setelah memetakan empat kelompok salafi radikal di Indonesia (FPI, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir), buku ini selanjutnya dilengkapi dengan data survei PPIM UIN Jakarta mengenai Islam dan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa meskipun dalam beberapa tahun terakhir Indonesia dilanda fenomena gerakan salafi radikal, tapi ternyata survei membuktikan bahwa mayoritas muslim Indonesia masih setia dengan ideologi Islam yang moderat dan toleran.51 Wacana Islam radikal dipaparkan dengan sangat apik oleh Khamami Zada, ―Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia.‖ Buku ini, menjelaskan hampir semua corak dan ragam gerakan-gerakan Islam ―radikal‖ di tanah air yang kini dapat disaksikan aksi-aksinya. Mereka menjangkau mulai dari persoalan umat yang sederhana hingga yang pelik, seperti demokrasi, dari persoalan domestik (dalam negeri) hingga persoalan dunia Islam, terutama Palestina dan Afghanistan. Kehadiran Islam radikal ini dalam wacana perpolitikan kita, menurut penulisnya, karena didorong dua faktor; interen dan 51
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h.
xi.
24
eksteren.52 Selain itu, Tesis Arif Gunawan Santoso di SPs UIN Jakarta. Judulnya: ―Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan Sosial”. Menurutnya, gerakan fundamentalisme Islam seringkali dimaknai secara pejoratif. Gerakan ini diasosiasikan sebagai gerakan politis yang seringkali memaksakan kehendak dengan menggunakan aktivitas kekerasan dalam mencapai tujuannya. Selain itu, gerakan ini juga selalu dianggap sebagai kelompok eksklusif, intoleran, dan anti modernitas. Namun demikian, di tengah stigma yang disematkan ke dalam gerakan fundamentalisme Islam, gerakan HTI ini terbukti mampu menunjukkan eksistensinya. Di era reformasi, gerakan ini seolah mendapat momentum untuk menunjukkan eksistensi diri. Tidak hanya itu, reformasi telah menjadi media yang cukup menguntungkan bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan fundamentalisme. Selain faktor sistem politik yang terbuka, gerakan ini ternyata tidak berorientasi politik. Tesis ini membuktikan bahwa gerakan fundamentalisme Islam juga menjalankan fungsi sosial budaya. Bahkan fungsi inilah yang menyebabkan gerakan ini mampu eksis dalam berbagai kondisi sosial politik. 53 Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa riset terhadap penafsiran Al-Qur‘an dan gerakan fundamentalis Islam MMI lebih banyak muncul dan mendominasi dibanding melihatnya dari aspek semantik (‗ilm al-dalâlah). Adapun korpus penelitian penulis kali ini meneropong lebih jauh karya Tarjamah Tafsiriyah MMI dari segi semantik leksikal dan gramatikal, terutama soal Penerjemahan Al-Qur‘an dan Terorisme dengan basis pendekatan kebahasaan modern, diperkaya dengan alat analisis Noam Chomsky sebagai pintu memahami teks-teks keagamaan. Pemilihan tema Tesis ini menjadi amat penting dikarenakan M. Thalib pun
52
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju Grup Mizan Publika, 2002), h. viii. 53 Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan Sosial (Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015), h. 1. Tesis ini telah dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
25
menamai buah tangannya tersebut dengan ―Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan.” Di situ tertera kata makna AlQur‟an yang tidak lain adalah fokus kajian dalam disiplin ilmu Semantik, yang lagi-lagi mengulas soal makna. Di sinilah letak kebaruan, orisinalitas, dan sisi distingtif riset ini dibanding penelitian-penelitian sejenis lainnya. Meskipun demikian, ada delapan penelitian yang berusaha mengelaborasi serta mengeksplorasi Penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag dan Linguistik/Semantik Kontekstual, Penafsiran Al-Qur‘an Kontemporer, Isu Terorisme dan Deradikalisasi dan Studi Gerakan Fundamentalisme Islam (MMI) tersebut, terutama yang bertalian dengan Terjemah Tafsiriyah MMI dan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI yang berkaitan dengan teks-teks keagamaan bernada jihâd (perang), yaitu apa yang diteliti oleh Syahrullah, Ismail Lubis, Muhbib Abdul Wahab, Rohmawati, Jamhari dan Jajang Jahroni, Sukron Kamil, dkk, Nasaruddin Umar, dan Tim Peneliti buku Ilusi Negara dari The Wahid Institute dan Maarif Institute. Dengan demikian, semoga semakin memperkaya literatur/studi kepustakaan dalam kepenulisan Tesis ini dan mewarnai cakrawala keilmuan bagi kalangan akademis serta siapa saja yang ingin mengenal lebih jauh persoalan Penerjemahan Al-Qur‘an, Literalisme, Terorisme, Semantik, Teks Keagamaan, dan gerakan fundamentalisme Islam. Terkait penamaan judul riset yaitu: “Terorisme dan Teks Keagamaan: Studi Komparatif Atas Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI dan Terjemah Tafsiriyah MMI.”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berkaitan dengan pokok permasalahan serta rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan Tesis ini adalah: menjelaskan latar belakang argumentasi dan temuan MMI atas AlQur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan Kementerian Agama RI yang isinya diduga
26
mengandung radikalisme agama dan pemicu terorisme. Dalam perspektif mereka, Islam selalu acap kali dijadikan objek isu terorisme dan deradikalisasi. Mencari sebabnya, pihak MMI berkesimpulan ada keterkaitan dengan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI. Ada terjemah yang salah karena diterjemahkan secara harfiyah/literal, dan kesalahan itu berkisar pada aspek akidah, syariah, sosial, dan ekonomi. Di samping itu, semoga riset ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah dalam kajian penerjemahan dan penafsiran, terutama yang bertalian dengan teks-teks penerjemahan Al-Qur‘an bernuansa jihâd, terorisme, dan perang. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan semangat dan kesadaran untuk terus berupaya mendialogkan serta mendekatkan pemahaman Terjemahan Al-Qur‘an yang ramah, moderat (tawassuth), toleran (tasâmuh), keseimbangan (tawâzun/i‟tidâl), dan terbuka dengan dinamika di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang multikultur, multietnik, dan multiras serta multirelijius. Kemudian lebih luas, sejatinya kajian ini ingin membahas persoalan aktual yang terkait dengan Terjemah dan Tafsir Al-Qur‘an dalam menjawab tantangan zaman. Selanjutnya, penulis menjelaskan bantahan dan tanggapan Kementerian Agama atas tuduhan MMI yang berkesimpulan ada keterkaitan terorisme dengan Terjemah Al-Qur‘an milik Kementerian Agama RI melalui data faktual-empirisisme, fakta termutakhir, otentik, serta objektif-kritis. Selain itu, semoga riset ini dapat menjadi salah satu referensi dalam mengurai problematika nasional yakni gejala radikalisme dan terorisme yang berjubah agama yang semakin mencekam keamanan, rasa kenyamaan, dan menumbuhkan disintegrasi NKRI. Semoga terorisme benar-benar hilang dari bumi pertiwi Indonesia tercinta ini. Diharapkan pula nantinya, penelitian ini berguna sekaligus berkontribusi besar bagi segenap pembuat kebijakan (policy maker), terlebih kepada Badan Intelijen Negara (BIN) yang dipimpin Bapak Sutiyoso, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru dilantik Presiden RI Ir. H. Joko Widodo di Istana Negara yaitu Bapak Tito Carnavian beserta 27
jajarannya, Tim Anti Teror Densus 88, Polri, dan pemerintah yang diwakili Kementerian Agama untuk membuat tahapan-tahapan jitu dalam memberangus terorisme di Indonesia.
E. Metodologi Penelitian 1) Objek dan Jenis Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan langkah kerja yang dimulai dari teknik pengumpulan data, dengan memperoleh data primer (al-mashdar al-awwal) dan data sekunder (al-mashdar al-tsâni), menuliskan, lalu mengklasifikasikan bahan pustaka (literature) dengan studi kepustakaan (library research), kemudian menelusuri berbagai sumber terpercaya-relevan, aktual lagi faktual, buku-buku terkini, jurnal kajian Islam (Islamic studies) terakreditasi nasional dan terindeks Internasional (DOAJ/SCOPUS), majalah, koran ter-update, menelusuri data via situs/laman website online,54 artikel termutakhir teks-teks Terjemahan Al-Qur‘an yang mengungkap ayat-ayat jihâd, dan teori Semantik/kebahasaan modern, kesemua data itu dianalisis sekaligus dipaparkan/ditampilkan, salah satunya membedah bangunan dasar terorisme tersebut, sehingga dengan mengetengahkannya diharapkan memberikan cakrawala dan informasi yang lebih akurat dan valid tentang kajian/objek yang sedang dibahas. Secara sederhana, kajian ini juga berusaha menjembatani antara normativitas teks ilahi dengan historisitas realitas empiris gerakan fundamentalisme agama MMI dengan cara ‖memadukan‖ pendekatan tekstual (normative) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris) 54
Perkembangan internet yang sudah semakin maju pesat serta telah mampu menjawab berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para akademisi mau ataupun tidak menjadikan media online seperti internet sebagai salah satu medium atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penulusuran informasi, mulai dari informasi teoritis maupun data-data primer atau sekunder yang diinginkan peneliti untuk kebutuhan penelitian. Sehubungan dengan itu, maka mau ataupun tidak, kita harus menciptakan metode untuk memanfaatkan data online yang begitu banyak tersebar di internet dan begitu banyak yang dapat dimanfaatkan. Pada mulanya banyak akademisi meragukan validitas data online sehubungan apabila data atau informasi itu digunakan dalam karya-karya ilmiah, seperti penelitian, karya tulis, skripsi, tesis, maupun disertasi. Namun, ketika media internet berkembang begitu pesat dan sangat akurat, maka keraguan menjadi sirna, kecuali bagi kalangan akademisi konvensional-ortodoks yang kurang memahami perkembangan teknologi informasi sajalah yang masih mempersoalkan akurasi media online sebagai sumber data. Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (Editors), The Sage Handbook of Qualitative Research (California USA: Sage Publication, 2005), h. 85.
28
yang ditawarkan oleh ulama tafsir Al-Qur‘an dan teori Semantik mentalistik/kognitivistik (nazhariyyah ‟aqliyyah) yang digagas Noam Chomsky secara simultan, ilmiah, objektif, dan komprehensif. Demikian pula dokumen-dokumen yang ada yang berkaitan dengan dinamika Terjemah Al-Qur‘an sebagai representasi bahasan akan diungkap secara kritis. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan memadukan beberapa analisis secara sistematis, menampilkan data dan informasi hasil-hasil riset representatif dan akurat sesuai dengan fakta-fakta, sifat-sifat dan jenis data/objek studi yang akan diteliti.55 Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif–analisis. Dalam konteks ini, berarti penulis menyajikan data-data yang telah diperoleh tentang terorisme dan teks-teks keagamaan, bagaimana pengaruh pemahaman seseorang dalam menginterpretasi ayat-ayat bernada jihâd atau perang (qitâl), serta persoalan munculnya gerakan keagamaan fundamentalisme Islam politis di Indonesia pasca Orde Baru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan untuk menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu variabel hubungan terorisme dan penerjemahan Al-Qur‘an, serta pengaruh teks-teks keagamaan terhadap munculnya radikalisme/terorisme agama. Apakah benar faktor pembacaan seseorang terhadap teks-teks keagamaan yang keliru dapat memicu aksi terorisme? Adakah faktor keterpengaruhan lain sampai munculnya terorisme? Penggunaan pendekatan kualitatif menurut Lexy J. Moleong dipergunakan pada tiga pertimbangan pokok; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan gejala yang kompleks. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.56 Selain itu pertimbangan lainnya ialah bahwa
55 56
Sumaidi Suyasubrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 19 – 20. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 4-8.
29
pendekatan kualitatif dapat menampilkan data-data dan informasi pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi.
2) Sumber / Teknik Pengumpulan Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam riset ini adalah buku-buku atau sesuatu yang dapat dijadikan rujukan untuk memenuhi keperluan penelitian yang terdiri dari sumber primer (primary resources) dan sumber sekunder (secondary resources) serta wawancara (interview)57 dengan sumber informasi kunci (key informants) yakni pihak Kemenag RI yang diwakili Muchlis M. Hanafi dan Irfan S. Awwas dari MMI. A. Sumber-sumber primer, meliputi: (1) Buku-buku yang khusus mengulas soal penerjemahan Al-Qur‘an dan penafsirannya, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama Edisi Tahun 2002; AlQur‟an dan Tafsirnya Kementerian Agama Tahun 2012; serta Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah MMI terbitan keempat Tahun 2013. Oleh karena terjemahan tidak dapat dipisahkan dari gramatika bahasa sumber (Bsu), sejumlah kitab tafsir yang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an secara langsung terkait dengan masalah gramatikal dirujuk pula, misalnya Tafsīr al-Jalâlain58 karya Imâm Jalâluddīn al-Suyûthī dan Imâm Jalâluddīn alMahallī (W. 864/1459); Marâh Labīd al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl buah karya
57
Wawancara melalui teknologi via type recorder/rekaman di handphone, melalui surat elektronik misalnya email, fax, atau situs jejaring media sosial seperti BBM, Whatsapp, atau situs web saat ini menjadi andalan sebagai satu sarana pengumpulan informasi, dengan begitu hal tersebut boleh saja dilakukan dalam riset. Perangkat lunak yang memungkinkan peneliti untuk menyimpan data wawancara dengan responden/informan pun kini tersedia dalam chatting. Fontana dan Frey, Wawancara: Dari sikap netral hingga keterlibatan Politis dalam The Sage Handbook of Qualitative Research by Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (Editors) (California USA: Sage Publication, 2005), h. 87. 58 Menurut Azyumardi Azra, kitab Tafsīr Jalâlain ini ditulis oleh dua orang Jalâl, dua tokoh utama yang kepadanya sebagian besar ulama terkemuka kita dalam jaringan ulama melacak silsilah intelektual dan spiritual mereka. Lebih jauh lagi, menurut Johns, seperti ditilik Azra, Tafsīr Jalâlain merupakan Tafsīr AlQur‟an yang sangat bagus, jelas, dan ringkas. Pengarangnya memberikan asbâb al-nuzûl (latar belakang pewahyuan) ayat-ayat yang sangat membantu pemahaman lebih sempurna atas penafsiran yang dikemukakan. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Perenial (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h, 258-259.
30
Syaikh Nawawi al-Bantanī (lebih dikenal dengan laqob Sayyid Ulama Hijâz).59 Selain itu juga dirujuk kitab-kitab mu‟tabar dan mu‟tamad seperti Tafsīr al-Thabarī, Tafsīr al-Qurtubī, dan Tafsīr Ibnu Katsīr. (2) Kamus-kamus Arab-Indonesia-Inggris, atau Kamus Arab (klasik, modern dan kontemporer) dan Indonesia saja, Kamus Linguistik serta Kamus Istilah Keagamaan (kontemporer), untuk membedah makna jihâd, perang, kekerasan, dan sekaligus membedakannya dengan terorisme, seperti Kitab al-Ta‟rīfât Ali al-Jurjâni; al-Mu‟jam alMufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarīf Syaikh Muhammad Fu‘âd Abd al-Bâqī; Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia Munir Ba‘albaki dan Rohi Ba‘albaki yang diterjemahkan Achmad Sunarto; Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia oleh KH. Ahmad Warson Munawwir; Kamus Kontemporer (Kamus al-‟Ashri) Arab-Indonesia yang ditulis Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor; Kamus Syawarifiyyah Kamus Modern Sinonim Arab-Indonesia oleh Kamaluddin Nurdin Marjuni; Kamus Kontemporer ArabIndonesia Istilah Politik dan Ekonomi (al-Mu‟jam al-‟Arabiy al-Indûnisi al-Mu‟âshir fī alMushtalahât al-Siyâsiyyah wa al-Iqtishâdiyyah) Muhammad Nafis Juwaini; Kamus Linguistik Harimurti Kridalaksana; Kamus Indonesia Arab (Istilah Umum dan Kata-Kata Populer) oleh M. Abdul Ghaffar E.M; dan Kamus Istilah Keagamaan (kontemporer) Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu yang disusun Tim Ahli Pusat Penelitian Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, cetakan kedua, tahun 2015. 59
Abdurrahman Mas‘ud mengungkapkan bahwa Syaikh Nawawi al-Bantanī menjadi ulama Jawa kenamaan lagi „alim yang pada abad XIX mendapat julukan (laqob) Sayyid Ulama al-Hijâz, menjadi seorang guru yang sangat termasyhur baik di Mekkah maupun di Madinah. Salah satu karyanya, Safīnah al-Najât diselesaikan dalam rentang waktu dua bulan selama studinya di bawah bimbingan seorang „alim di kota Mekkah, yaitu Syaikh Dahlan. Syaikh Nawawi al-Bantanī menghabiskan waktu 30 tahun untuk kegiatan belajar dan menulis, serta memberi ‗mata kuliah‘ antara tahun 1860 sampai 1870. Karyanya yang lain, Marâh Labīd Tafsīr al-Nawawī, sebuah kita tafsir yang cukup besar terdiri dari dua jilid, ditulis dalam bahasa Arab telah digunakan secara luas di berbagai Negara muslim. Syaikh Nawawi adalah model bagi orang Jawa yang ada di Arab maupun di Jawa serta tidak terbantah lagi pengaruh dan kontibusi besarnya bagi perkembangan tipikal ulama Sunni Jawa, misalnya mengorbitkan Hadratus Syaikh M. Hasyim Asy‘ari (1871-1947) yang telah menjadi Pendiri Organisasi NU pada tahun 1926. Abdurrahman Mas‘ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 22-23.
31
B)
Sumber-sumber
sekunder
(secondary
resources)
yaitu
data-data
pendukung terhadap objek penelitian yang sedang dilakukan, di antaranya mencakup: (1) Buku-buku yang mengulas Tafsir Kontekstual Abad ke-21, asbâb al-nuzûl, misalnya Al-Qur‟an Abad 21 (Tafsir Kontekstual) oleh Abdullah Saeed; Asbâb al-Nuzûl oleh al-Wâhidī al-Naisabûrī. (2) Buku-buku yang mengupas fundamentalisme Islam, radikalisme dan terorisme, dan deradikalisasi pemahaman Al-Qur‘an dan hadis. Oleh karena itu, langkahlangkah yang penulis ambil untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut: Pertama, memanfaatkan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag yang sudah diterbitkan. Kedua, menelusuri koleksi data/objek penelitian seputar problem penerjemahan Al-Qur‘an dan polemik terorisme dalam teks-teks keagamaan dengan menyusuri lemari buku di sejumlah perpustakaan, terutama Perpustakaan Nasional RI Salemba Raya, lalu Perpustakaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat, Perpustakaan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) dan Museum Istiqlal (TMII), Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kampus 1, Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kampus 2, Perpustakaan Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Yayasan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus Jakarta Selatan, dan Library of Anas Corner Jakarta Barat. Terdapat dua pertimbangan dalam hal memilih metode/teknik pengumpulan data dan informasi, yaitu hubungan antara pertanyaan penelitian (research question), dan penggunaan sumber-sumber informasi dengan metode yang beragam. Untuk itu, agar memperoleh informasi yang memadai dari segenap pertanyaan penelitian ini, maka dimungkinkan mengombinasikan dua teknik, yaitu: studi dokumentasi dan studi literatur yang relevan. Studi/metode dokumentasi yakni dengan merujuk sumber-sumber dimaksud antara lain buku-buku yang mengungkap teori kebahasaan modern, kajian radikalisme dan terorisme dalam teks keagamaan, kitab-kitab tafsir terkemuka, dan juga jurnal kajian ilmiah.
32
Seperti diketahui bahwa metode dokumentasi berarti mengumpulkan data-data yang bersifat benda mati sebagai dokumentasi yang berupa catatan, transkrip, surat kabar, agenda, rapat dan sebagainya guna menunjang serta memperkuat pengumpulan data yang ada sebagaimana teori yang dicetuskan Suharsimi Arikunto.60 Kemudian studi literatur yakni tahapan-tahapan riset dengan cara mempelajari tulisan-tulisan, riset-riset termutakhir berkenaan dengan tafsir Al-Qur‘an, terjemah AlQur‘an, faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi teroris, pemanfaatan Al-Qur‘an dan hadis digital (software/aplikasi). Pengumpulan data diperkaya juga melalui selective coding, yaitu memilih secara selektif kasus-kasus yang sesuai dengan topik pembahasan terhadap semua data. Secara garis besar, penulis menganalisis studi kasus61 kajian Terjemah Al-Qur‘an Kemenag dan Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah MMI terutama ayat-ayat bernada jihâd yang telah ditetapkan dengan berangkat pada pisau analisis kebahasaan/linguistik dan teori penerjemahan. Untuk memperkaya kajian, bisa saja dikomparasi objek ayat terjemah yang sudah difokuskan dengan menganalisis terjemah Al-Qur‘an sejenis dalam Al-Qur‟an dan Maknanya buah pemikiran Quraish Shihab dan Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus.
3) Teknik Penulisan/Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode deskriptif–analitis (descriptive analysis) dengan pendekatan normatif–realitas berbasiskan studi ilmu-ilmu humaniora. Analisa itu dimaksudkan untuk menghasilkan proposisi-proposisi teoritis tentang terorisme dan teks-teks keagamaan. Karena itu proses analisis yang ditempuh merupakan langkah-langkah tertentu
60
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.
206. 61
Studi kasus adalah salah satu strategi dan metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis. Studi kasus pun dapat dilakukan pada penelitian dengan sumber data yang sangat kecil seperti satu orang, satu keluarga, satu RT, satu RW, satu desa/kelurahan, satu kecamatan, satu kabupaten, satu provinsi, satu Negara, dan bahkan satu benua. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 229.
33
seperti metode deskriptif, metode interpretasi, dan juga komparatif. Data-data yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber (primer-sekunder) dirangkaikan ke dalam hubunganhubungan data dan fakta, sehingga membentuk pengertian-pengertian yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk penulisan deskriptif-analitis, yakni penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek serta objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya saja.62 Pada penelitian deskriptif yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan ayat-ayat terjemahan
yang
mengandung
unsur
terorisme
(ayat
jihâd)
untuk
kemudian
membandingkannya; antara terjemahan Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI dan Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah milik MMI. Setelah itu penulis mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam teori semantik leksikal, gramatikal, dan kontekstual sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa seluruh data yang terkumpul untuk dipilih berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam perumusan masalah. Analisis data merupakan kegiatan yang berkaitan dengan data yang meliputi pengorganisasian, pengklasifikasian, mensintesakannya, mencari pola-pola hubungan, menemukan apa yang dianggap penting dan apa yang telah dipelajari serta pengambilan keputusan yang akan disampaikan kepada orang lain.63 Dikarenakan kualitatif, maka analisis datanya bersifat iteratif atau berkelanjutan yang kemudian dikembangkan sepanjang program. Dengan kata lain, analisis data tidak dilakukan setelah pengumpulan data selesai saja, akan tetapi dilaksanakan/ditampilkan mulai penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah
62
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003),
63
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 30.
h. 63.
34
data dikumpulkan. Dengan begitu, peneliti dapat mengatahui kekurangan data yang harus dikumpulkan dan juga mengetahui metode mana yang harus dipakai pada tahap berikutnya. Kegiatan analisis data dalam riset ini menggunakan tiga tahapan; yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data merupakan usaha menyederhanakan temuan data dengan cara mengambil intisari data sehingga ditemukan tema pokoknya, yaitu fokus masalahnya, dan juga pola-polanya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Miles dan Huberman dalam Rohmawati (2008) dan dipotret pula M. Abzar Duraesa (636: 2014), bahwa reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstarakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Dalam proses reduksi data, penulis menganalisis bahan-bahan yang telah terkumpul, menyusunnya secara sistematis dan menonjolkan pokok-pokok permasalahannya. Untuk jelasnya, analisis data model Miles dan Huberman dapat dilihat di bawah ini: Gambar 1. Teori Miles dan Huberman untuk analisis data, M. Abzar Duraesa (636: 2014): Pengumpulan
Penyajian Data
Reduksi
KesimpulanKesimpulan penarikan/verifikasi
Reduksi data adalah proses penyederhanaan data, memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Jadi, dengan cara ini data penelitian yang sangat banyak, 35
dipilih sesuai dengan kriteria penelitian ini yaitu penanggulangan teroris dan konsep tentang teologi teroris yang dibangun sehingga dapat dianalisis dengan mudah. Reduksi data ini bukan merupakan suatu kegiatan yang terpisah dan berdiri sendiri dari proses analisis data, akan tetapi merupakan bagian dari proses analisis itu sendiri. Display data adalah suatu proses pengorganisasian data sehingga mudah dianalisis dan disimpulkan. Proses ini dilakukan dengan cara membuat gambar, tabel, matrik, atau grafik. Dengan demikian, penulis dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data yang begitu banyak. Sedangkan dalam mengambil kesimpulan data dan verifikasi, merupakan langkah ketiga dalam proses analisis. Langkah ini dimulai dengan mencari pola, tema, hubungan, hal-hal yang sering timbul, dan sebagainya yang mengarah pada penanggulangan teroris dan konsep tentang teologi teroris, dan kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil dari temuan di lapangan.64 Data dipolakan, difokuskan, dan disusun secara sistematis tersebut diambil kesimpulan sehingga makna baru data bisa ditemukan. Namun, kesimpulan itu bersifat sementara saja dan masih bersifat umum. Agar kesimpulan diperoleh secara final, maka data lainnya perlu dicari. Data baru tersebut bertugas melakukan pengujian terhadap berbagai kesimpulan tentatif tadi.65 Strategi analisis data dilakukan dengan dua cara pula; yaitu pemetaan dan kategorisasi data. Data atau informasi yang dikumpulkan terlebih dahulu dipetakan yang pada akhirnya menghasilkan pengelompokkan yang sesuai dengan pembabakan data yang telah dirancang. Kemudian, data serta informasi dikategorisasikan, mana ayat-ayat/teks-teks terjemah yang bercorak jihadisme/terorisme yang diperdebatkan
64
M. Abzar Duraesa, Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi terhadap Perkembangan Teologi Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding AICIS XIV, Buku 4 Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities, Editor: Muhammad Zain, Mukhammad Ilyasin dan Mustakim, Kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI dengan STAIN Samarinda, 2014, h. 636. 65 Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 24-25. Tesis pada SPs UIN Jakarta, konsentrasi Syariah.
36
untuk seterusnya dianalisis sesuai dengan kontekstualisasinya. Secara teknis, penulisan Tesis ini mengacu pada ‖Buku Pedoman Penulisan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.‖
F. Sistematika Penulisan Agar pembaca mendapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif tentang isi penelitian ini, penulis beranggapan perlu menjabarkan sistematika penulisannya. Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan sistematika sebagai berikut : Bab Pertama, untuk mengantar para pembaca dan pemerhati ilmu spesifik penerjemahan Al-Qur‘an ini kepada gambaran umum (generale picture) tentang pokok pembahasan dan penyajian hasil penelitian sementara (hipotesa). Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah; identifikasi permasalahan, rumusan dan batasan masalah; riset terdahulu yang relevan demi mencari titik persamaan dan perbedaan dalam riset ini.; tujuan dan kegunaan penelitian; metodologi penelitian yang digunakan, sumber/teknik pengumpulan data, dan sistematika pembahasan. Bab I ini merupakan kerangka penelitian yang menjadi dasar-dasar bagi bab-bab selanjutnya. Bab Kedua, merupakan kerangka teori yang merupakan alat pengupas terhadap masalah yang akan ditelaah, sehingga riset memperoleh hasil yang maksimal. Pada bab ini, Penulis memberikan sketsa umum tentang Kerangka Teoritik. Ada dua bahasan besar yang terdiri dari sub-sub bahasan dan perdebatan terkini seputar fundamentalisme Islam, klasifikasi fundamentalisme Islam, terorisme dan agama, dan teks keagamaan. Bagaimana korelasi terorisme dan teks-teks keagamaan, adakah keterpengaruhannya. Selain, itu
37
interpretasi makna jihâd perang pun ditampilkan secara gamblang, wacana pendirian Negara Islam (Islamic state), terorisme di belahan dunia, menelisik definisi terorisme dan aksinya di Indonesia, penyebab munculnya terorisme agama, dan ulasan singkat tentang terjemah harfiyah dan tafsiriyah. Bab Ketiga, pada bab ini dipaparkan sketsa Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah MMI, dilanjutkan pada bahasan profil MMI dan agenda formalisasi syariat Islam, bagaimana latar belakang lahirnya MMI sekaligus memotret MMI sebagai serakan fundamentalisme Islam politis. Pada bab ini, bisa menjadi bahan untuk kepentingan analisis bab IV. Bab Keempat, dalam bab ini penulis mengulas kritik MMI terhadap penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag, lalu masuk kategorisasi dan identifikasi objek riset ini yaitu ayat-ayat jihâd (makkiyyah dan madaniyyah), lalu menimbang parameter kritik MMI, menguji terjemah tafsiriyah MMI sebagai deradikalisasi, dan studi kasus teks terjemahan ayat-ayat Al-Qur‘an yang berbasis jihâd dan analisisnya. Pembahasan ayat-ayat yang mengandung unsur terorisme dibedah secara apik dengan pisau analisis yang tajam. Bab Kelima, adalah penutup. Yang sub kajiannya adalah tentang kesimpulan dan rekomendasi yang ditawarkan. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik sebuah kesimpulan sebagai sintesa dari seluruh hasil analisis yang telah dilakukan. Kemudian diajukan saran-saran serta masukan konstruktif dan daftar pustaka yang representatif sebagai bahan rujukan dalam akhir kepenulisan penelitian ini.
38
BAB II KERANGKA TEORITIK FUNDAMENTALISME, TERORISME, DAN TEKS KEAGAMAAN
Pada bagian pertama, kita telah mendiskusikan latar belakang masalah, pokok permasalahan, identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian sebagai bangunan dasar untuk selanjutnya menggali lebih dalam bahasan demi bahasan pada riset ini. Dalam bab kedua ini, lebih lanjut penulis akan mendedahkan perdebatan-perdebatan mutakhir seputar fundamentalisme Islam, klasifikasi fundamentalisme Islam di Indonesia, terorisme, dan agama. Perbincangan itu dibagi ke dalam lima tema besar: teks keagamaan, pola keislaman, pengantar semantik, teori mentalistik generatif-transformatif Noam Chomsky, kritik atas konsep strukturalisme Ferdinand de Saussure dan behaviorisme Bloomfield, dan sekilas mengenai terjemah harfiyah dan tafsiriyah. Dengan demikian, akan tergambar secara utuh bagaimana perdebatan-perdebatan ilmiah tersebut berlangsung.
A. Sekilas Mengenai Fundamentalisme Islam Salah satu fenomena Islam di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru (1998) adalah menguatnya fundamentalisme Islam (al-ushûliyyah al-islâmiyyah). Fenomena ini bisa dilihat dari fenomena munculnya Laskar Jihâd (LJ), Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Ketiganya memiliki persamaan agenda yang mengklaim tengah berjuang untuk menegakkan syariat Islam sebagai manhaj salaf (cara hidup Islam ortodoks di masa Nabi SAW dan khulafâ al-râsyidīn). Ekspresi gerakan ketiga organisasi ini memang berbeda. MMI, misalnya, ingin memperjuangkan agenda penerapan syariat tradisional Islam yang harfiyah lewat cara damai dalam bingkai sistem politik demokrasi yang diusung Orde
39
Reformasi.66 Sementara Laskar Jihâd (LJ) dan Front Pembela Islam (FPI) sering menampilkan tindak kekerasan. FPI banyak melakukan razia terhadap tempat hiburan yang diduga sebagai sarang maksiat yang dalam praktiknya tidak dibarengi perundingan yang memadai. Sedangkan kelompok Laskar Jihâd adalah kelompok yang tampaknya paling banyak mengkirim laskarnya ke Maluku, Ambon (sebanyak 1300 orang yang dikirim secara bergilir dari anggotanya yang berjumlah sekitar 10.000 orang) untuk ikut membantu kaum muslimin dalam konflik berdarah yang berbau agama.67 Bahkan lewat pimpinannya Ja‘far Umar Thalib,68 Laskar Jihâd pernah melakukan eksekusi hukum rajam (istilah teknis dalam bab hudûd/jinâyah, yaitu dilempar dengan batu hingga mati) di Maluku kepada Abdullah, pengikutnya yang sudah berkeluarga dan berzina. Karena itu, ia pun sempat diancam oleh pemerintah dengan pasal 359 KUHP tentang tindak penganiyaan sampai meninggal. Namun, ketiga ormas radikal itu melihat penerapan syariat Islam secara menyeluruh sebagai solusi krisis bagi Indonesia. Secara harfiyah, fundamentalis berarti sekelompok orang yang taat dan setia pada dasar-dasar ajaran agamanya, dengan kata lain mereka yang berpegang teguh kepada fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur‘an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Bisa pula diartikan: kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah (syar‟iyyah al-hukm). Formulasi ini, seperti terlihat, menekankan dimensi politik gerakan
66
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 263. 67 Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah (Jakarta: Pusat Studi Indonesia Arab (PSIA) UIN Jakarta, 2013), h. 163. 68 Ja‘far Umar Thalib termasuk tokoh kontroversial, arsitek Laskah Jihâd (LJ). Secara singkat, pendidikan formalnya dimulai dari Pesantren al-Irsyâd, lalu Pendidikan Guru Agama (PGA) yang kemudian dilanjutkan ke Pesantren Persis (Persatuan Islam) di Bangil. Dari Bangil, tahun 1983, Ja‘far hijrah ke Jakarta dan kuliah di LIPIA. Di sinilah, ia mulai berkenalan dengan ide-ide salafi-wahabi. Dari sini, ia mendapat beasiswa dari Arab Saudi untuk melanjutkan studinya di Maududi Institute, Lahore, Pakistan. Selama di Pakistan, ia pernah mengikuti latihan mujâhidīn bersama-sama dengan rekannya dari Afghanistan, Pakistan, Mesir, Burma, Sudan, Thailand, dan Filipina. Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Radikal Indonesia, Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h, 349-350.
40
Islam, ketimbang aspek keagamaannya.69 Istilah fundamentalis bukan berasal dari terminologi Islam, akan tetapi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu fundament. Dalam bahasa Arab, kaum fundamentalis disebut dengan ushûliyyûn (yang berpegang pada dasardasar agama) yang hampir sama dengan istilah salafi (ortodoksi Islam), meski tidak sama persis. Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiyah positif, yaitu konsisten dengan ajaran dasar agama, kemudian dalam pergerakannya/perjalanannya mengalami konotasi negatif.70 Sebagaimana dijelaskan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seperti yang dikutip Sukron Kamil, fundamentalisme adalah paham atau gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner, yang selalu merasa perlu kembali pada ajaran agama yang asli seperti yang tersurat dalam kitab suci yang cenderung memperjuangkan keyakinannya secara radikal.71 Kamus Webster dalam Sukron Kamil, menjelaskan kata fundamentalis dengan menunjuk pada dua arti, yaitu: (1) ‗‘gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan penafsiran pada Alkitab secara literal/harfiyah sebagai sesuatu yang mendasar bagi hidup dan pengajaran Kristen.‖ (2) ―Suatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan ketaatan secara harfiyah terhadap sejumlah prinsip-prinsip dasar.72 Dalam pengertian ini Sukron Kamil mengkategorisasikan fundamentalisme sebagai fenomena agama-agama. Di sisi lain, ada pendapat yang mengemuka bahwa fundamentalisme adalah fenomena yang tidak hanya soal fenomena keagamaan saja, melainkan sosial-politik, dan juga budaya. Adalah Yusril Ihza Mahendra yang menuturkan hal itu. Akan tetapi, Yusril
69
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina University, 1996), h. 109. Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 164. Lihat pula dalam Sukron Kamil, dkk, Laporan Penelitian Kolektif Kompetitif, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keagamaan Kontemporer (Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 15 71 Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah dan Neng Dara Affiah (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama, 2007), h. 63. 72 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 249250. 70
41
mengulasnya
dengan
membandingkan
antara
disiplin
kajian
modernisme
dan
fundamentalisme. Keduanya merupakan dua fenomena global yang dapat dijumpai dalam berbagai masyarakat yang menganut ―agama-agama dunia‖, seperti Yahudi, Hindu, Kristen73 dan Islam. Dalam hubungannya dengan agama yang disebutkan terakhir ini, kedua fenomena itu telah banyak diperbincangkan oleh media massa, masyarakat luas dan juga kalangan intelektual. Keduanya digunakan untuk membedakan dua kecenderungan pemikiran yang ada dalam masyarakat pemeluk agama dan diterapkan untuk mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat muslim.74 Sebelum beranjak pada ulasan serta diskusi fundamentalisme yang lebih jauh, penulis ingin menghadirkan perdebatan-perdebatan menarik juga yang mana telah ditelaah Yusril dalam karyanya. Ia mengatakan bahwa modernisme (dalam istilah Arab dikenal tajdīd, ishlâh, atau salaf) dan fundamentalisme (dalam terminologi Arab dikenal dengan alushûliyyah
al-islâmiyah,
al-ba‟ats
al-islâmī/kebangkitan
Islam,
atau
shahwah
islâmiyah/kebangunan Islam) bukanlah istilah yang berasal dari perbendaharaan kata dalam bahasa masyarakat muslim. Kedua istilah itu dimunculkan oleh kalangan akademisi Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. Modernisme, pada awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama Kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan pemikiran modern. Adapun fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada ―fundamen‖ agama Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis. 75
73
Bukti paling sahih kasuistik fundamentalisme Kristen seperti pada era Presiden George W. Bush yang menjadi pendukung utama rezim neo-imperialis ini. Di dunia Islam, secara sporadis sejak beberapa tahun terakhir, dalam catatan Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling ekstrim di antara mereka mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrrahman Wahid (Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif Institute, 2009), h. 8. 74 Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Pespektif Modernis dan Fundamentalis, Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 96. 75 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina University, 1999), h. 3-5.
42
Istilah modernisme dan fundamentalisme kemudian digunakan oleh sarjanasarjana Orientalis dan pakar ilmu sosial dan kemanusiaan Barat untuk membedakan dua kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam agama Kristen itu, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain. Hal serupa juga mereka terapkan untuk mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat-masyarakat muslim. Sungguh pun demikian, dalam perkembangan ilmu sosial dan kemanusiaan masa kini, baik ilmuan Barat maupun Muslim telah menggunakan istilah yang tidak sama dalam mengkategorikan kedua aliran/faham tersebut. Istilah ―modernisme‖ sering juga diganti dengan istilah-istilah lain, seperti “reformism”, “reawakening”, “renaissance”, dan “renewal”. Sedangkan istilah ―fundamentalisme‖ sering diganti pula dengan istilah-istilah “revivalisme”, “militancy”, “reasertion”, dan “resurgence”, “activism”, dan “reconstruction”.76 Definisi lain dapat dirujuk pada Masykuri Abdillah bahwa fundamentalisme adalah sebuah gerakan keagamaan yang pada mulanya menjadi aktif di berbagai kalangan Lembaga Protestan di Amerika Serikat setelah perang tahun 1914-1918. Gerakan mereka didasarkan pada ketaatan yang keras kepada ajaran-ajaran tertentu yang dipegangi menjadi dasar kepercayaan Kristen (misalnya, pemahaman ke dalam kitab suci yang literal). Gerakan ini berhadapan dengan liberalisme dan modernisme. Sebaliknya, fundamentalisme Islam berhadapan dengan liberalisme tetapi tidak pada modernisme sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Istilah yang lebih akurat untuk mendeskripsikan pandangan yang maju, interpretatif dan bahkan inovatif, membutuhkan rekonstruksi tatanan sosial. Jadi, dalam pengertian Barat, ia betul-betul menyerupai gerakan pembebasan Katolik daripada fundamentalisme Protestan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa apa yang disebut dengan ‗fundamentalis Muslim‘ menolak istilah dan konsep demokrasi. Para fundamentalis Islam yang dirujuk di sini, adalah mereka yang membela doktrin Islam dan yang menegaskan 76
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina University, 1999), h. 6.
43
superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara total. Untuk mendukung keyakinan ini, mereka pada akhirnya menolak tatanan yang dibuat oleh manusia untuk digunakan sebagai dasar sistem sosial Islam.77 Kecenderungan utama fundamentalisme Islam menurut Farid Esack, sebagaimana yang dinyatakan Muhammad Chirzin, adalah memiliki komitmen pada praktik keagamaan ketat, komitmen untuk menaati teks apa adanya, komitmen untuk menegakkan negara Islam (Islamic state) dengan kedaulatan di tangan Tuhan, berpandangan bahwa Islam mampu menjawab semua persoalan umat manusia sepanjang masa, perlunya menerapkan syariat yang dipraktikkan dalam era Nabi Muhammad SAW di Madinah, bermusuhan dengan semua yang menolak pandangan mereka, dan menyangkal kebaikan apapun yang terdapat pada nonIslam. Secara sosiologis, fundamentalisme terkait dengan fenomena sektarianisme. Orangorang yang ada di luar mereka dianggap bukan orang beriman sebenarnya. Fundamentalisme historis berarti keagamaan konservatif yang berusaha kembali pada asal-usul suatu keimanan dengan kerinduan pada zaman khulafâ al-râsyidīn. Dalam arti politik, fundamentalisme menunjuk pada usaha untuk melakukan revolusi atas nama agama. Fundamentalisme berakar pada gerakan-gerakan dalam sejarah Islam sebagai perlawanan terhadap kelas penguasa yang dianggap menyimpang, seperti kehadiran golongan Khawârij yang menentang Khalīfah Ali bin Abi Thâlib.78 Ada sejumlah teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia Islam. Yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai sangat menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk ―menghibur diri‖ dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika sekadar ―menghibur‖, barangkali tidak akan 77
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 9. 78 Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Pespektif Modernis dan Fundamentalis, Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 98-99.
44
menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari. Ini tidak berarti bahwa umat Islam yang menentang cara-cara mereka itu telah lalu dalam modernitas. Golongan penentang ini tidak kurang kritikalnya menghadapi arus modern ini, tetapi cara yang ditempuh dikawal oleh kekuatan nalar dan pertimbangan yang jernih, sekalipun tidak berhasil. Teori lain mengatakan bahwa membesarnya gelombang fundamentalisme di berbagai negara muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq. Perasaan solider ini sesungguhnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas yang sejauh mungkin menghindari kekerasan dan tetap mengibarkan panji-panji perdamaian, sekalipun peta penderitaan umat di kawasan konflik itu sering tidak tertahankan lagi. Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia yang relatif aman, kemunculan kekuatan fundamentalisme, dari kutub yang lunak sampai ke kutub yang paling ekstrim (terorisme), sesungguhnya berada di luar penalaran. Kita ambil misalnya praktek bom bunuh diri sambil membunuh manusia lain (kasus bom Bali, JW Marriot, dan lain-lain), sama sekali tidak bisa difahami. Indonesia bukan Palestina, bukan Kashmir, bukan Afghanistan, dan bukan Iraq, tetapi praktik biadab itu dilakukan di sini? Teori ketiga, khusus di Indonesia, maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi masih menggurita adalah bukti nyata dari kegagalan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini. Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan; melaksanakan syariat Islam melalui kekuasaan. Jika secara nasional belum
45
mungkin, maka diupayakan melalui perda-perda (peraturan daerah). Dibayangkan dengan pelaksanaan syariah ini, Tuhan akan meridai Indonesia. Anehnya, semua kelompok fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis untuk menyalurkan cita-cita politiknya.79 Berdasarkan definisi di atas dan literatur lain yang telah disebutkan, ada beberapa ciri fundamentalisme termasuk di dalamnya fundamentalisme Islam. Yaitu: 1) Cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan80 secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual); 2) cenderung memonopoli kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir agama yang paling absah), sehingga menganggap sesat kelompok lain yang tidak sealiran; 3) meniscayakan hubungan yang harmonis antara agama dan negara; 4) memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti pluralisme maupun sebagai tatanan sosial politik, di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka; 5) mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekular, dan terakhir 6) cenderung radikal (menggunakan caracara kekerasan, termasuk penafsiran agama yang cenderung keras, kasar juga batinnya) dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.81 Tampaknya, karena kompleksitas ontologis yang dipengaruhi oleh realitas fundamentalisme sebagai entitas intelektual dan gerakan yang berkembang dari masa ke masa, sebagian kalangan ahli Islam, melihat bahwa radikalisme sebagai ciri fundamentalis kontemporer tidak disepakati sebagai ciri fundamentalisme secara umum. Muhammad Sa‘id 79
Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, dalam Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrrahman Wahid, Epilog: Ahmad Syafi‘i Ma‘arif dan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif Institute, 2009), h. 8-9. 80 Dalam penerjemahan teks keagamaan, pemahaman atas konsep-konsep teologi menentukan bagaimana memahami teks asli dan bagaimana menetapkan terjemahannya/maksudnya/interpretasinya. Di samping itu, kita juga harus memahami alat kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi tertulis ataupun lisan. Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 34. 81 Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2007), h. 64 .
46
al-Asymawī pun misalnya, beliau mengatakan bahwa ada perbedaan antara “activist political fundamentalism” dan “rationalist spiritualist fundamentalist”. Istilah pertama merujuk pada sekelompok muslim yang memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik. Sedangkan istilah berikutnya merujuk pada sekolompok muslim yang menginginkan kembali pada ajaran AlQur‘an dan hadis sebagaimana dipraktikkan generasi pertama (al-salaf al-shâlih). Dalam sejarah Islam, kelompok pertama sebagaimana yang diperlihatkan gerakan Salafiyah Ibn Taimiyah. Pembedaan lain disampaikan oleh Bruce Lawrence. Ia membagi kaum fundamentalis, terutama fundamentalisme agama secara umum pada tiga bagian: yakni fundamentalisme literalis, fundamentalisme teroris, dan fundamentalisme aktivis politik.82
B. Klasifikasi Fundamentalisme Islam Pada perkembangan selanjutnya, gerakan fundamentalisme mengalami pergeseran dan perubahan orientasi. Jika gerakan Wahabi tidak menjadikan aktifitas politik sebagai basis perjuangannya, maka corak gerakan fundamentalisme pada era awal abad 20 lebih mencirikan gerakan politik sebagai basis purifikasi pemahaman Islam. Para pemikir seperti Jamâluddin al-Afghânī,83 Ayatullah Khomaeni, al-Maududi, Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, merupakan inspirator bagi gerakan fundamentalisme Islam modern. Taqiyyuddīn alNabhâni melihat fundamentalisme Islam sebagai reaksi yang timbul atas dilenyapkannya institusi khilâfah Islam pada awal abad ke-20.
82
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, h. 250. Selain itu lihat penulis yang sama dalam Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 167, dan buku Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, h. 64. 83 Menurut Jajang Jahroni, modernisme Islam tidak bisa dipisahkan dari tiga tokoh Timur Tengah: Jamâluddin al-Afghânī, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Al-Afghânī adalah seorang tokoh Pan-Islamisme yang memberi inspirasi terhadap gerakan perlawanan terhadap penjajahan Barat di banyak negeri Islam. Adapun Abduh adalah seorang pemikir yang mencoba mempertemukan Islam dengan modernitas. Dan yang terakhir, Rasyid Ridha, adalah seorang ulama yang mencari otentisitas agama lewat akidah salaf. Ketiga tokoh ini, tidak diragukan lagi telah menyediakan cetak biru bagi perkembangan gerakan modernisme Islam di dunia muslim termasuk di Indonesia. Jajang Jahroni, Modernisme dan Radikalisme Islam di Indonesia: Menafsirkan Warisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004, h, 578.
47
Fundamentalisme Islam tidak hadir pada ruang hampa. Gerakan ini lahir sebagai respon atas realitas kehidupan yang lahir dari modernitas yang melanda seluruh penjuru negeri. Brian Beary dan Aris Humaidi mengajukan dua faktor penyebab utama munculnya fundamentalisme Islam. Faktor pertama adalah sebagai respon atas tindakan dunia Barat, khususnya Amerika, terhadap dunia Islam. Perlakuan diskriminatif yang ditunjukkan oleh Barat, terutama Amerika dan Israel, terhadap umat Islam mendapatkan respon dari umat Islam dengan berdirinya gerakan-gerakan fundamentalisme. Mereka hadir sebagai upaya perlawanan terhadap hegemoni Amerika dan Israel terhadap dunia Islam. Faktor kedua adalah bahwa gerakan fundamentalisme Islam hadir sebagai reaksi atas modernitas. Sebagaimana dipahami bahwa modernitas tidak hanya membawa dampak positif. Modernitas juga telah menghadirkan dampak negatif berupa rusaknya tatanan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, gerakan fundamentalisme Islam bereaksi atas ekses negatif yang ditimbulkan. Reaksi yang dilatarbelakangi basis ideologi Islam tersebut pada akhirnya menempuh penolakan modernitas secara menyeluruh. Reaksi atas modernitas juga lahir karena ketidakmampuan dunia Islam dalam menghadapi modernitas dan perubahan. Syamsul Bakri dalam Arif Gunawan Santoso (2014) menyatakan bahwa faktor sosial politik, emosi keagamaan, kultural, ideologi keagamaan, kebijakan pemerintah, dan faktor media massa Barat telah melahirkan fundamentalisme Islam. Syamsul Arifin melihat bahwa fundamaentalisme Islam tidak bisa dilepaskan dari faktor pemahaman keagamaan. Ini dikarenakan di dalam ajaran agama terdapat aspek ortodoksi dan sekaligus aspek ortopraksis. Aspek ortodoksi memuat ajaran-ajaran yang menuntut penerimaan doktrindoktrin agama sebagai sebuah kepercayaan. Sementara itu ortopraksis merupakan aspek yang menuntut pelaksanaan sebuah ajaran keagamaan sebagai bukti dari adanya kepercayaan. Pandangan berbeda diungkapkan oleh Taqiyyuddīn al-Nabhânī. Dalam pandanganya, gerakan fundamentalisme Islam modern merupakan respon langsung atas 48
runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani. Runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani telah mendorong lahirnya berbagai macam gerakan keagamaan di dunia Islam. Gerakan ini lahir sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan Islam. Berdasarkan beberapa pandangan para sarjana, akar fundamentalisme dapat ditelusuri berdasarkan kategori sebagaimana diungkapkan oleh Bruce Lawrence dan ICG (International Crisis Group). Untuk gerakan fundamentalisme literalis/dakwahis, akar gerakan ini dapat ditelusuri dari gerakan Wahabisme. Gerakan yang kemudian dikenal dengan gerak salafi ini merupakan embrio awal dari fundamentalisme Islam yang bergerak secara literalis/dakwahis. Dilihat dari faktor penyebab munculnya, fundamentalisme Islam dapat dibagi dalam dua faktor. Faktor pertama adalah faktor yang menjadi entry point. Faktor ini merupakan penyebab awal munculnya gerakan fundamentalisme Islam. Faktor ini bukanlah faktor inti, melainkan faktor perantara. Faktor perantara tersebut adalah faktor yang berasal dari eksternal umat Islam, yaitu faktor sosial politik berupa respon atas tidakan Barat terhadap dunia Islam, penolakan terhadap sekulerisme, modernitas, kegagalan ideologi Barat dalam menghadirkan kesejahteraan dan keamanan, dan faktor westernisasi dunia Islam, serta faktor eksternal lainnya. Faktor ini merupakan pemicu munculnya gerakan fundamentalisme Islam. Sementara itu, faktor kedua adalah faktor inti, faktor yang menjadi penyebab genuine fundamentalisme Islam. Faktor ini berasal dari internal pemahaman umat Islam terhadap ajaran serta norma yang terkandung dalam agama Islam. Sikap pandang skriptualis, literal, dan purifikasi agama serta keyakinan akan kebenaran ajaran agama menjadi faktor kuat yang melahirkan sikap millitansi serta keras dalam beragama.84 Fenomena fundamentalisme Islam kontemporer, sebagai diakui Naisbitt, Aburdene, dan Oliver Roy, terkait dengan realitas sosial politik. Gerakan ini merupakan counter trend (reaksi balasan) terhadap globalisasi
84
Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan Sosial (Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015), h. 22-26. Tesis dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2014.
49
yang berarti homogenisasi global Barat, khususnya Amerika Serikat, reaksi terhadap imperialisme kultural yang telah mengorupsi peraturan konservatif Islam, dan juga reaksi terhadap kegagalan nation state dalam membawa negara dan bangsa pada kehidupan sosial ekonomi
yang lebih
baik.
Dalam sejarah Timur Tengah (al-syarq
al-awsath),
fundamentalisme Islam selain terkait dengan kegagalan modernisasi rezim yang berkuasa seperti yang diperlihatkan Revolusi Iran di bawah Ayatullah Khomeini juga menurut Bassam Tibi, terkait dengan kekalahan militer Arab di tangan Israel pada Perang Juni 1976. Sebagai produk dialog antara teks dan konteks, fenomena fundamentalisme pun sebagaimana diakui Karen Amstrong, bukan saja ada dalam Islam, tetapi juga ada dalam agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu, dan Yahudi yang sama-sama menolak butir-butir nilai-nilai budaya liberal, berperang atas nama agama, dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan negara. Pada agama yang terakhir disebut, misalnya, gejala fundamentalisme tersebut antara lain bisa dilihat dari peristiwa 25 Februari 1994. Pada peristiwa tersebut, sekelompok fundamentalis Yahudi melakukan penembakan secara brutal terhadap ratusan warga muslim Palestina yang sedang melakukan salat subuh di Masjid Hebron yang menewaskan 63 orang. Bahkan, kata fundamentalisme itu sendiri diperkenalkan oleh Protestanisme Amerika, terutama Gereja Baptist, Desciple, Persbyterian, sebagai perlawanan terahadap kaum liberal yang menurut mereka telah merusak keimanan Kristen.85 Sama dengan pemikir-pemikir modernis, pemikir-pemikir fundamentalis yakin pada Islam sebagai agama yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam dipandang sebagai sebuah sistem, mencakup seluruh wilayah kultural (cultural universal). Tapi pemikir-pemikir fundamentalis juga menekankan perbedaan (distinctiveness) dan pertentangan antara Islam dan Barat, dan yakin
85
Sukron Kamil, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, h. 64 – 67.
50
pada kebenaran Islam yang menghadapi tantangan dari Barat. Dalam wilayah politik, kaum fundamentalis cenderung menghindar dari setiap ide yang dipandang terbaratkan, dan karena itu dianggap tidak Islami. Dengan pemahaman atas Islam secara literal dan tekstual, kaum fundamentalis lebih berupaya mengembangkan konsep-konsep mereka sendiri dari perspektif Islam sebagai alternatif atas konsep-konsep Barat.86 Dalam persepektif kesejarahan, fundamentalisme dapat dikonsepsikan sebagai satu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjaga, membela dan melestarikan kemurnian Islam dari pengaruh-pengaruh asing dengan cara kembali pada pondasi-pondasi skriptual (secara sederhana berarti pemahaman berdasar bunyi teks apa adanya). Sumber-sumber skriptual yang merupakan fundamen-fundamen Islam adalah Al-Qur’an dan hadis. Fundamentalisme skriptual, sesungguhnya menjadi instrumen yang tangguh dalam menyebarkan Islam di kalangan strata masyarakat bawah dari masyarakat kota sepanjang sejarah penyebaran Islam, dan juga telah menjadi bagian yang integral dari proses-proses Islamisasi yang intensif. Di belakang proyek Islamisasi konservatif yang dijalankan Negara saat itu, terdapat banyak kelompok yang menaruh harapan dan kemudian mengafiliasikan diri ke dalamnya, atau paling tidak merasa tengah menapaki arah yang sama. Hal semacam ini, dipandang oleh banyak kalangan sebagai hal yang sangat menjijikkan. Umat Islam yang selama ini dipaksa bermain di pinggiran dan tidak diberikan banyak kesempatan dalam konstelasi politik nasional, menemukan jalan untuk menaiki panggung politik, sosial, dan ekonomi nasional. Kelompok-kelompok yang menaruh harapan tersebut datang dari berbagai segmen kekuatan masyarakat.87 Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam dakwahis secara umum tersemat pada kelompok Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah 86
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 140. Wakhid Sugiyarto, Direktori Paham, Aliran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, Editor: Wakhid Sugiyarto dan Syaiful Arif (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), h. 141-142. 87
51
kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Secara umum, HTI sebanding dengan MMI. MMI menekankan doktrin keharusan mendirikan daulah Islâmiyah (negara Islam). Bagi MMI, meskipun
daulah Islâmiyah
(negara Islam) dalam Al-Qur‘an tidak ada perintahnya yang jelas (qath‟î) untuk ditegakkan, tetapi kedudukannya sebagai wasâ‟il (perantara atau institusi) bagi tegaknya kewajiban dari Allah seperti qishâsh (hukuman yang sebanding) dan rajam, menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib ditegakkan pula. Hal ini karena hukum pidana Islam (jinâyah) semisal qishâsh dan rajam sama wajibnya dengan salat untuk dilaksanakan (QS. 4: 45).88 Jika tidak, maka hal itu merupakan pengingkaran (kekufuran) terhadap syarî‟ah (QS. al-Mâidah [5] : 44, 45, dan 47)89 dan merupakan dosa, karena telah menyalahi perintah Tuhan. Lebih dari itu, pengingkaran terhadap pidana Islam juga mengakibatkan lahirnya kepemimpinan yang sesat dan Tuhan pun kemudian memberi adzab (siksa) dengan krisis yang berkepanjangan hingga dewasa ini. Pada saat Tuhan telah memberi adzab ini, sebagaimana dijelaskan QS. 23 : 6465,90 Tuhan tidak lagi memperkenankan doa hamba-Nya. Bagi MMI, Al-Qur‘an adalah kitab suci yang sempurna, yang harus diimani secara keseluruhan. Tidak boleh diimani sebagian 88
Berikut ini ayatnya:
٥٤ شا١ظ ِ ٔ ِ ثِٱ َّللٝوفٚ ب١ٌِٚ ِ ثِٱ َّللٝوفٚ ُٱ َّلله أعٍ هُ ثِأعذائِ هىٚ
Terjemah: “Dan Allah lebih mengetahui tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi pelindung dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu).” (QS. al-Nisâ [4] : 45). 89 Berikut ini ayatnya:
ٱلحجب هسٚ ُّْٛ١َِٕٱٌ َشثٚ اٚٓ ٘ب هد٠ا ٌٍَِ ِزّٛٓ أعٍ ه٠ْ ٱٌَ ِزُّٛ١ِب ٱٌَٕجِٙح هى هُ ث٠ سٛٔهٚ ٜب ٘هذٙ١ِسىخ فَٛئَِٔب أٔضٌٕب ٱٌز ل١ٍِ ثّٕب لٟر ِ ا ِِٓ ِوزٛثِّب ٱعزهحفِظه ِ ب٠ا ثِأٚل رشزشهٚ ِْ ٛٱخشٚ ا ٱٌَٕبطٛذاء فل رخش هٙ ِٗ هش١ٍا عٛوبٔهٚ ِت ٱ َّلل ه ِٓ ١ٓ ثِٱٌع١ٱٌعٚ ظ ِ ب أ َْ ٱٌَٕفظ ثِٱٌَٕفٙ١ُِ فِٙ ١ٍوزجٕب عٚ ٥٥ ٌْٚئِه ٘ه هُ ٱٌىفِشهٚح هىُ ثِّب أٔضي ٱ َّلله فأ٠ ٌَُ ِٓٚ ُح هى٠ ٌَُ ِٓٚ وفَبسح ٌَٗۥهٛهٙح لِظبص فّٓ رظ َذق ثِ ِٗۦ فٚٱٌ هجشهٚ ِّٓٱٌغ َِّٓ ثِٱٌ ِّغٚ ِْ ٱله هرْ ثِٱله هرٚ ِ ٔٱلٔ ثِٱلٚ سى ِخَٛ ِٗ ِِٓ ٱٌز٠ذ٠ ٓ١ُ هِظذِّلب ٌِّّب ث٠ ٱث ِٓ ِشٝغ١ ءاث ِش ُِ٘ ثِ ِعٍٕٝب ع١َلفٚ ٥٤ ٌّْٛئِه ٘ه هُ ٱٌظٍَِ هٚثِّب أٔضي ٱ َّلله فأه ًح هىُ أ٘ ه١ٌٚ ٥٤ ٓ١ِ ِعظخ ٌٍِّ هّزَمِٛٚ ٜ٘هذٚ سى ِخَٛ ِٗ ِِٓ ٱٌز٠ذ٠ ٓ١ هِظذِّلب ٌِّّب ثٚ سٛٔهٚ ٜ ِٗ ٘هذ١ًِ ف١ٔج ِ ٕٗه ٱ ِل١ءارٚ ٥٤ ٌْٛئِه ٘ه هُ ٱٌف ِغمهٚح هىُ ثِّب أٔضي ٱ َّلله فأه٠ ٌَُ ِٓٚ ِٗ ١ًِ ثِّب أٔضي ٱ َّلله ف١ ِ ٱ ِلٔ ِج 90 Berikut ini ayatnya:
٤٤ َْٚ ئَِٔ هىُ َِِّٕب ل رهٕظشهٛ١ٌا ٱٚل رجئشه
٤٥ ْٚجئشه٠ ُة ئِرا ٘ه ِ ُ ثِٱٌعزاِٙ ١ِ ئِرا أخزٔب هِزشفَٝحز
Terjemah: “Sehingga apabila Kami timpakan siksaan kepada orang-orang yang hidup bermewahmewah di antara mereka, seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong. Janganlah kamu berteriak-teriak meminta tolong pada hari ini! Sungguh, kamu tidak akan mendapat pertolongan dari Kami.“ (QS. alMukminûn [23] : 64-65).
52
dan diingkari sebagian lainnya sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi (QS. 2 : 85).91 Semuanya merupakan sesuatu yang tak ada tawar menawar untuk ditegakkan (iqâmah aldîn). Semua urusan kaum Muslimin hendaknya diserahkan kepada Allah, lewat ajarannya dalam Al-Qur‘an (QS. al-Ahzâb [33] : 36).92 Itu berarti penegakan syariat Islam secara komprehensif, termasuk hukum pidananya yang mesti diberlakukan sebagai hukum positif. Alasannya, pertama, menurut MMI, Islam adalah agama yang mengatur dunia dan akhirat. Kedua, secara historis daulah Islam, dari masa Nabi, khulafâ‟ al-râsyidīn hingga Usmani, mengakui supremasi syarî‟ah secara komprehensif. Ketiga, fenomena globalisasi yang memungkinkan kekuatan thâghût (setan) semakin berani menawarkan alternatif sekularnya. Untuk merealisir hal itu, MMI bersedia mengikuti sistem politik yang ada, tidak menempuh jalur kekerasan.93 Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia adalah NII (negara Islam Indonesia). Menurut temuan riset Sukron Kamil, NII memiliki pandangan: pertama, keharusan mengikrarkan iman, yaitu persaksian Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasulullah di hadapan aktivis organisasi ini, karena mereka mengklaim dirinya
91
Berikut ini ayatnya:
ِْئٚ ِْ ٚٱٌعهذٚ ُِ ُ ثِٱ ِلثِٙ ١ٍْ عٚشهٙ ِش ُِ٘ رظ٠مب ِِّٕ هىُ ِِّٓ ِد٠ْ ف ِشٛرهخ ِشجهٚ ُْ أٔفهغ هىٛثه َُ أٔزهُ ٘ هإل ِء رمزهٍه ه ِٓ ْ ثِجعغ فّب جضا هءٚرىفهشهٚ ت ِ غ ٱٌ ِىز ِ ْ ثِجعٛهُ أفزهإ ِِٕهٙ هىُ ئِخشا هج١ٍ هِحشََ عٛ٘هٚ ُ٘هٚ رهف هذٜ هوُ أعشٛأره٠ ِْٛب ٱ َّلله ثِغفًِ ع َّب رعٍّهٚ ة ِ أش ِّذ ٱٌعزاٌِْٝ ئٚهش ُّد٠ ّ ِخ١َِ ٱٌمٛ٠ٚ ب١ٔ ِح ٱٌ ُّذٛ١ ٱٌحِٟ فٞفع هً رٌِه ِِٕ هىُ ئِ َل ِخض٠ ٥٤ Terjemah: “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu) dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2] : 85). 92
Berikut ini ayatnya:
ض ِ ع٠ ِٓٚ ُِ٘ شحه ِِٓ أِ ِش١ه هُ ٱٌ ِخٌٙ ْٛ هى٠ ٌْهٗۥه أِشًا أٛسعهٚ ٱ َّللهٝل هِإ ِِٕخ ئِرا لؼٚ ِِٓ ِب وبْ ٌِ هّإٚ ٦٤ ٕب١ٌِٗۥه فمذ ػ ًَ ػٍل ُِّجٛسعهٚ ٱ َّلل 93
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013). Dalam Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif Direktorat PTAI Pendidikan Islam Kemenag Tahun 2013, h. 22-23.
53
sebagai pelanjut kenabian, dengan merujuk QS. al-Qashash: 75. Kegiatan ini oleh para aktivis NII disebut dengan istilah taslîm. Bagi aktivis NII, kaum Muslimin di luar NII, karena belum mengucapkan syahâdat di hadapan mereka, dianggapnya sebagai kafir (non Islam). Dalam praktik, prosesi taslîm adalah prosesi seseorang yang telah bersedia bergabung dengan gerakan dan ini disebut dengan prosesi bai‟at (sumpah setia) kepada pemimpin organisasi. Berbeda secara ekstrim dengan bai‟at kepada mereka sebagai sebuah keharusan agama, maka bagi para aktivisnya, keharusan taat atau ber-bai‟at terhadap negara Indonesia tidak ada. Argumennya adalah karena negara ini tidak dipimpin oleh orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebuah negara yang tidak berdasarkan syariat Islam. Selain itu, sebagai kafir (non Islam), kaum Muslimin di luar angggota NII, halal darah dan hartanya. Kedua, ideologi selain Islam merupakan bentuk berhala masa kini, yang karenanya Burung Garuda dan Pancasila juga termasuk kategori berhala tersebut. Mereka juga mengartikan kata Islam dalam ayat inna ad-dîn „inda Allâh al-Islâm adalah agama, keyakinan, pandangan hidup, dan ideologi. Ketiga, doktrin yang berisi 3 prinsip nilai, yaitu prinsip persamaan, di mana manusia hanya dibedakan karena ketakwaannnya saja; prinsip persaudaraan; dan keharusan berdakwah pada masyarakat sekeliling. Praktik dari 3 prinsip ini, di tingkat bawah sangat tampak, tetapi di tingkat elitenya semakin hilang. Dalam menjalankan dokrinnya, NII adalah organisasi bawah tanah, atau tanzhīm sirri, sebagai organisasi rahasia dan tertutup. Untuk kepentingan organisasi pun, seorang aktivis NII boleh berbohong, selain boleh mengambil harta orang di luar anggota NII dan boleh membunuhnya karena dianggap kafir. Menurut Nasir Abbas, mantan aktivis Jamaah Islamiyyah, Jamaah Islamiyyah adalah faksi NII yang didirikan 1994, yang di antara programnya adalah takwînul quwwah wa istikhdâmuh (membentuk kekuatan seperti kelompok bersenjata dan menggunakannya saat dibutuhkan). Kebalikan dari fundamentalisme/radikalisme Islam di atas adalah moderatisme
54
Islam. Moderatisme Islam dalam riset ini adalah kelompok keislaman yang tidak memiliki ciri-ciri/ukuran fundamentalisme/radikalisme Islam, kecuali ciri penggunaan teknologi yang memang netral. Yang termasuk moderatisme dalam riset ini adalah NU (Nahdhatul Ulama) sebagai faksi Islam tradisional dan Muhammadiyah sebagai faksi Islam modernis. Keduanya merupakan model Islam mainstream di Indonesia. Ada banyak faktor pendorong yang mengakibatkan lahir dan berkembangnya fundamentalisme Islam (kebalikan moderatisme) dalam tiga bentuk itu. Antara lain adalah doktrin fundamentalisme agama, terutama dari Sayyid Qutub, aktivis Ikhwan al-Muslimin yang dieksekusi mati tahun 1966 oleh Pemerintah Jamal ‗Abd an-Nashir, karena pandanganya dalam buku Ma‟alim fî at-Tharîq (Rambu-Rambu [Petunjuk] Menuju Jalan Lurus). Gagasan utama buku ini adalah pencanangan kekuasaan mutlak Allah (alhâkimiyyah) lewat doktrin lâ hukma illâ li Allâh (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) sebagai ciri berlangsungnya pemerintahan-Nya. Menurut Qutub, saat ini, masyarakat Muslim sedang berada dalam kondisi Jahiliyyah seperti sebelum Islam ada, bahkan lebih buruk lagi. Termasuk kategori Jahiliyyah juga sebagian apa yang selama ini dianggap Islam, karena telah bercampur dengan non Islam, terutama Yunani dan Kristiani. Tugas utama seorang Muslim adalah mengubah realitas Jahiliyyah agar kembali pada Islam. Qutub pun memahami jihad bukan dalam arti bertahan tetapi opensif, yaitu proklamasi atas pembebasan manusia dari menghamba selain kepada Tuhan atau memerangi setiap kelompok yang menolak penerapan kaidah Islam yang benar yang disepakati. Selain itu, Sayyid Qutub menafsirkan kata yahkum dalam QS 5: 44,45, 46, bukan dengan arti ―memutuskan‖ tetapi ―memerintah‖ bukan dengan hukum yang diwahyukan Allah sebagai tindakan kafir. Meskipun Qutub tidak secara eksplisit menganjurkan serangan terhadap pemerintahan Nashir, tetapi argumen-argumennya memberikan dasar bagi organisasi radikal Islam setelehanya pada periode Sadat untuk
55
melakukannya. Pandangannya itu kemudian menjadi proyek tandingan melawan proyek modernisasi yang dilakukan rezim Nashir dan setelahnya di Mesir. Selain faktor doktrin, sebagaimana diakui Naisbitt, Aburdene, dan Oliver Roy, fenomena radikalisme Islam kontemporer, terutama di dunia Islam, terkait dengan realitas sosial politik. Gerakan ini merupakan counter trend (reaksi balasan) terhadap globalisasi yang berarti homogenisasi global Barat, khususnya Amerika Serikat;
reaksi terhadap
imperialisme kultural yang telah mengorupsi peraturan konservatif agama; dan juga reaksi terhadap kegagalan nation state dalam membawa negara dan bangsa pada kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Menurut Bernard Lewis, selain kegagalan modernisasi ekonomi yang diperparah oleh tingginya angka kelahiran, yang juga mempengaruhi munculnya radikalisme Islam adalah gagalnya modernisasi dalam bidang politik, terutama untuk kasus Timur tengah. Masih kuatnya tirani di Timur tengah mempengaruhi suburnya radikalisme Islam. Dalam sejarah Timur Tengah, radikalisme Islam, selain terkait dengan kegagalan modernisasi rezim yang berkuasa—seperti yang diperlihatkan Revolusi Iran di bawah Ayatullah Khomeini dalam menggulingkan Syah Reza—juga menurut Basam Tibi, terkait dengan kekalahan militer Arab di tangan Israel pada Perang Juni 1976. Namun demikian, Oliver Roy menolak relasi antara kemiskinan dan radikalisme Islam. Menurut Roy, penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kemiskinan dengan radikalisasi. Ia lebih percaya bahwa radikalisme Islam muncul karena sebagai reaksi terhadap imperialis, gerakan ketiga di dunia terhadap Barat dan khususnya Amerika Serikat.94
94
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013). Dalam Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif Direktorat PTAI Pendidikan Islam Kemenag Tahun 2013, h. 23-25.
56
B. Terorisme dan Agama95 Beberapa sarjana melihat aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama (fundamentalisme Islam) berakar pada gerakan Khawârij yang lahir pada masa pemerintahan
Khalīfah Ali bin Abi Thalib. Kekacauan politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib merupakan faktor penyebab munculnya fundamentalisme. Diangkatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalīfah menggantikan Utsman bin Affan yang terbunuh telah meningkatkan ketegangan antara Ali dengan Muawiyah bin Abi Sofyan. Ketegangan ini dipicu oleh sikap politik khalīfah Ali yang cenderung membiarkan pembunuh Usman bin Affan membuat pihak Muawiyah marah. Ketegangan kedua kelompok ini sampai menimbulkan peperangan di antara mereka yang berimplikasi terbunuhnya beberapa pendukung keduanya, termasuk golongan sahabat. Peristiwa ini akhirnya terselesaikan dengan kedamaian kedua kelompok yang terkenal dengan peristiwa tahkīm (arbitrase/perundingan). Di tengah kekacauan politik akibat peristiwa tahkīm tersebut, muncul sebuah gerakan yang kemudian dikenal dengan sebutan Khawârij.96 Kelompok ini pada mulanya merupakan pendukung Ali bin Abi Thalib yang membelot. Penyebab membelotnya kelompok ini adalah karena ketidakpuasan atas keputusan Ali yang menerima hasil tahkīm tersebut. Kelompok ini berpandangan bahwa baik Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib telah
95
Menurut M. Quraish Shihab, kata Agama terdiri dari kata ―A‖ yang berarti tidak dan ―Gama” yang berarti kacau, sehingga agama bermakna ―tidak kacau‖ atau bisa diistilahkan sebagai tuntunan yang melahirkan keteraturan/ketiadaan kekacauan. Pakar lain berpendapat, kata ―agama‖ terambil dari bahasa Indo-Germania yang berarti ―jalan‖ sehingga ―agama‖ adalah jalan menuju kebahagiaan/nirwana. Dalam bahasa Al-Qur‘an, kata ―agama‖ ditunjuk dengan kata
( دينdīn). Huruf ) دdal), ( يya), dan ( نnun), mengandung arti hubungan
antara dua pihak, yang salah satu keduanya mempunyai kedudukan lebih tinggi. M. Quraish Shihab, dalam kata pengantar buku Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 6. 96 Khawârij adalah suatu aliran sempalan yang muncul karena kecewa terhadap arbitrase (tahkīm) yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan pada perang Siffīn (37 H/658 M). Khawârij memandang bahwa Ali, Mu‘awiyah, ‗Amr bin ‗Ash dan Abu Musa al-‗Asy‘ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir berdasarkan tafsir literal mereka atas QS. al-Mâidah/5: 44. Karena Ali dan lainnya dianggap telah keluar dari Islam, maka mereka dianggap telah murtad (apostase) yang mesti dibunuh. Dalam perkembangannya, yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan AlQur‘an, tetapi orang yang berbuat dosa besar atau murtakib al-kabâir, juga dipandang kafir. Muchlis M. Hanafi, Tafsir terhadap Dasar-Dasar Ideologi Takfir Kelompok Islam Radikal, dalam Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Volume 7, No. 2, November 2014, h. 158.
57
kafir dan meninggalkan hukum Islam. Ciri utama dari kelompok ini adalah paham takfīrī. Yaitu paham yang senang mengkafirkan setiap kelompok atau individu yang tidak sesuai dengan pemahaman kelompoknya. Dengan jargon ‚la hukma Illa Allâh‛ (tiada hukum selain hukum Allah) kelompok ini telah menorehkan sejarah sebagai kelompok fundamentalisme pertama dalam sejarah Islam. Gerakan fundamentalisme Islam selalu mengalami perkembangan
dan
perubahan
orientasi.
Dengan
semangat
tajdīd
(pembaharuan/modernisme), gerakan ini selalu hadir pada setiap kurun sejarah peradaban Islam. Dalam konteks gerakan fundamentalisme modern, beberapa sarjana berpendapat bahwa akar fundamentalisme yang berkembang pada era modern berakar pada gerakan keagamaan Wahabisme. Gerakan ini memfokuskan diri pada ajakan untuk meneladani para salaf. Gerakan ini menjadikan pemahaman-pemahaman Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1792), Ibnu Taimiyah, Ibnu Bâz, al-Albâni, Ibnu Utsaimin, dan Ibnu Fauzân sebagai standar kebenaran dalam memahami Islam. Gerakan ini menekankan pada purifikasi pengamalan peribadatan Islam dari pengaruh paham-paham yang tidak berlandaskan pada ajaran Islam.97 Gerakan ini terbagi dua yakni gerakan Wahabi Haraki dan Wahabi Tarbawi. Dalam rangka purifikasi ajaran Islam, Wahabi Haraki mengumandangkan jihâd dengan cara yang destruktif dan ofensif, antara lain dengan terjadinya pertumpahan darah di Mekkah dan di Madinah berbarengan dengan penghancuran monumen historis yang dianggap sebagai penyimpangan ajaran agama yang murni. Sedangkan gerakan Wahabi
Tarbawi
melaksanakan jihâd melalui prasarana pendidikan, ibadah, pengadaan buku dan brosur untuk mensosialisasikan dan berdakwah tentang ide dan pemahaman mereka.98 Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa berkaitan dengan fundamentalisme Islam yang akrab dilabeli pada pembacaan literalis terhadap teks-teks 97
Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 22-23. 98 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 7.
58
keagamaan, maka kemunculan gerakan radikal dan terorisme secara sporadis di berbagai belahan dunia tidak muncul dari ruang kosong. Akar masalahnya harus diteliti secara cermat, hati-hati, dan adil. Cermat dalam arti jangan sampai terjebak dalam mengurai asal-usul gerakan terorisme dengan menyalahkan atau menuduh kelompok lain secara membabi buta. Hati-hati, karena isu terorisme menjadi isu yang sangat sensitif, dan adil dalam arti harus bisa mendudukkan persoalan terorisme ini secara proporsional, sehingga tidak merugikan orang atau kelompok yang tidak bersalah. Kenyataan yang muncul di tengah masyarakat internasional sekarang ini adalah sikap gegabah yang menuduh Islam sebagai biang keladi munculnya gerakan terorisme. Hanya karena sekelompok kecil orang yang mengakui muslim dan melakukan tindakan terorisme. Islam pun kemudian dianggap sebagai ancaman bagi ketenteraman dan kedamaian umat manusia di seluruh dunia. Mereka yang tidak memliki pemahaman yang benar tentang Islam, akan sangat mudah menerima pandangan-pandangan atau stigma negatif yang disebarkan oleh pihak yang tidak menyukai Islam.99 Oleh karena itu, perlu diupayakan sebuah tindakan konkret berupa sosialisasi tentang Islam yang ‗benar‘ ke seluruh masyarakat internasional. Mengenalkan wajah Islam yang moderat (tawassuth), Islam yang ‗benar‘ sebagaimana yang Rasulullah SAW contohkan, yang lemah lembut, ramah, walaupun misalkan harus keras namun membawa rahmat ini memang harus dikenalkan ke publik, terutama masyarakat Barat. Hal demikian pula menjadi isu sentral dalam Konferensi ke-4, International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Malang, Jawa Timur. Dunia Islam dalam beberapa dekade terakhir hancur porakporanda karena diadu domba. Karenanya, ulama berkewajiban memberikan pemahaman moderasi Islam, terutama kawasan Islam di Asia Tenggara bisa dijadikan model wajah Islam
99
Berita paling teranyar adalah ceramah pidato pencapresan Donald Trump yang mengatakan bahwa jika saya terpilih nanti menjadi Presiden Amerika Serikat, ke depan umat Islam atau masyarakat muslim tidak boleh masuk ke Amerika. Diunduh dari http://news.detik.com/bbc-world/3091179/larang-muslim-masuk-keamerika-trump-dikecam-pro-yahudi, Rabu, 20 Januari 2016 pukul 12.56 WIB.
59
yang moderat. Kita tahu bahwa Asia Tenggara merupakan wilayah dengan banyak penduduk muslim. Sekitar sepertiga penduduk muslim dunia tinggal di Asia Tenggara. Terlebih bangsa kita Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Corak keagamaan yang dianut oleh mayoritas Muslim di kawasan ini sangat toleran, damai, dan berperadaban. Bahkan, dunia Islam berharap besar kebangkitan Islam akan muncul dari kawasan ini, begitu kata Direktur Foundation Cultural Azzagra, Spanyol, A Romero Roman. Pandangan tersebut bukan tanpa alasan. Umat Islam di Asia Tenggara, menurutnya, memiliki modal sejarah, potensi sosial, dan realitas aktual yang membuktikan wajah Islam yang ramah tersebut. Ia melihat, geliat peradaban Islam (Islam hadhârī) terkini yang menggembirakan, mulai dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, Asia Tenggara Masa Depan. Konsep Islam berperadaban yakni Islam tidak hanya dipahami sebagai sebuah doktrin teologi, tetapi sebagai jalan hidup yang integral. Pentingnya kasih sayang (rahmah) sebagai fondasi penguatan Islam yang moderat. Kasih sayang itu harus menjadi asas dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam bidang pendidikan. Pendidikan menurut Abdullah Ahmad Badawi, berkontribusi besar dalam membangun generasi dan SDM yang unggul. Melalui pendidikan yang berbasis kasih sayang pula, moderasi Islam bisa direalisasikan. Selain itu, Hassan Wirajuda Mantan Menteri Luar Negeri RI, mengatakan bahwa peran pendidikan itu tak hanya dimiliki oleh institusi formal, tetapi juga ulama. Kaum agamawan didorong memberikan pemahaman yang moderat (tawassuth), cinta perdamaian (mahabbah), dan toleran (tasâmuh).100 Mengedepankan nilai-nilai Islam sebagai agama yang rahmatan lil „âlamin juga di antara cara menanggulangi gerakan radikalisme agama ini. Radikalisme dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan syiddah al-tanattu‟ yang memiliki semantikal keras, eksklusif, berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam
100
Khazanah Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25 November 2015/13 Shafar 1437 H.
60
yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam memandang agama-agama lainnya. Kelompok radikal selalu ada pada setiap agama, termasuk dalam agama Islam. Dalam sejarahnya, kelompok radikal muncul semenjak terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, menyusul kemudian terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Saat itu, radikal diwakili oleh kelompok Khawârij sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.101
1) Keterkaitan Radikalisme dengan Terorisme Agama Dalam Islam memang tidak dikenal istilah radikal. Sebab yang radikal/keras bukan Islam sebagai agama, melainkan pemeluknya. Pada masa lalu, istilah Islam garis keras ini belum ada. Yang ada istilah Islam ekstrim. Kata ekstrim, berasal dari bahasa Inggris yakni extreme yang berarti keras, berlebihan, berada di ujung atau di pinggir. Dengan arti yang sama, dalam bahasa Arab disebut tatharruf (berawal dari kata tharaf, berarti pinggir atau ujung), sedang pelakunya disebut mutatharrif. Dalam teks-teks agama (Al-Qur‘an dan hadis), istilah tatharruf sering disebut dengan kata-kata ghuluw, tasydīd, dan tanattu‟ artinya sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Adakalanya istilah faham garis keras ini disebut pula dengan fanatik. Ada pula yang menerjemahkannya dengan ekstrimitas keagamaan (altatharruf al-dīnī). Tetapi istilah ini tampaknya perlu diluruskan, karena seperti disinggung di atas, bahwa yang ekstrim itu bukan agamanya, melainkan pemeluknya dalam beragama.102 Perkataan radikal berasal dari bahasa Latin yaitu radix yang artinya akar. Dan dalam bahasa Inggris, kata radikal dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra dan fundamental. Radikal dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought seperti dikutip Imam Tolkhah, diartikan sebagai tindakan-tindakan dan pandangan-
101
Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 100. 102 Ali Mustafa Yaqub, Menanggulangi Faham Islam Radikal dalam buku Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 40-41.
61
pandangan politis yang cenderung ekstrim. Sedangkan radicalism artinya doktrin atau praktek penganut paham radikal atau paham ekstrim. Berkembangnya gerakan sosial yang bersifat radikal tersebut, termasuk gerakan Islam radikal dan organisasi lain mencuat secara dramatis sejak adanya krisis ekonomi, sosial budaya dan politik menjelang runtuhnya rezim kuat Orde Baru, hingga lahirnya rezim-rezim yang relatif rentan pada awal era reformasi. Rezim kuat ini ditandai dengan adanya hegemoni rezim penguasa terhadap berbagai sektor kehidupan, terutama ideologi, politik, ekonomi, sosial dan keamanan, sehingga tidak ada kekuatan oposisi yang muncul ke permukaan. Hegemoni ini berlangsung di bawah satu orang Presiden selama kurang lebih 30 tahun. Sedangkan rezim lemah ditandai dengan sering munculnya kerusuhan-kerusuhan sosial, tindakan-tindakan anarkis dari berbagai kelompok masyarakat dan cepatnya pergantian pimpinan Negara, presiden, serta rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.103 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seperti dikutip Tim Direktorat Jenderal Bimas Islam, radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan sosial dan politik, dengan cara menggunakan tindakan kekerasan sebagai batu loncatan untuk menjustifikasi keyakinan mereka yang dianggap benar. Dari sini, radikalisme bisa dipahami sebagai paham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan revolusi besarbesaran, sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan yang signifikan. Definisi yang terakhir ini cenderung bermakna positif yang bisa melahirkan kemajuan besar bagi peradaban dunia. Kecenderungan makna radikalisme yang melahirkan bias politik maupun ekonomi, pada dasarnya tidak lepas dari pandangan para penganutnya, yang memiliki argumentasi berbeda untuk memaknai gerakan radikalisme yang tumbuh pesat di kalangan umat Islam. Tidak heran bila pandangan positif dan negatif terhadap munculnya gerakan radikalisme sangat bergantung pada keyakinan dasar penganutnya. 103
Imam Tolkhah, Dimensi Baru Gerakan Islam Radikal Pasca Orde Baru dalam buku Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah dan Neng Dara Affiah (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2005), h. 23-24.
62
Pada dasarnya, perlu dibedakan antara radikal, radikalisme, dan radikalisasi. Menurut KH Hasyim Muzadi, Mantan Ketua PBNU dan Anggota Wantimpres RI, pada dasarnya seseorang yang berpikir radikal (berpikir mendalam, sampai ke akar-akarnya) boleh-boleh saja, dan memang berpikir sudah seharusnya seperti itu. Katakanlah misalnya, seseorang yang dalam hatinya berpandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik, disebabkan Indonesia tidak menerapkan syariat Islam, oleh karena itu, misalnya, dasar Negara Indonesia harus diganti dengan sistem pemerintahan Islam (khilâfah islâmiyyah). Pendapat radikal seperti itu sah-sah saja. Sekeras apapun pernyataan di atas jika hanya dalam wacana atau pemikiran, tidak akan menjadi persoalan publik. Sebab, pada hakikatnya, apa yang muncul dalam benak atau pikiran tidak dapat diadili (kriminalisasi pemikiran), karena tidak termasuk tindak pidana. Kejahatan adalah suatu tindakan (omissi). Dalam pengertian ini, seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam betindak. Adapun
term
―radikalisme‖,
masih
menurut
KH
Hasyim
Muzadi
mendefinisikannya, ―radikal dalam paham atau ismenya‖. Biasanya mereka akan menjadi radikal secara permanen. Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secara demokratis, force (kekuatan) masyarakat dan teror. Dengan kata lain, radikalisme adalah radikal yang sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Seorang berpotensi menjadi radikal dan penganut paham radikal (radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan radikalisasi, menurut Wantimpres ini adalah seseorang yang tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di masyarakat. Biasanya radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketidakadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan hukum dan seterusnya. Jadi, jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap, lalu radikalisme hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan selalu muncul di masyarakat. Keadilan itu menyangkut banyak aspek, baik aspek hukum,
63
politik, pendidikan, sosial, hak asasi, maupun budaya. Hukum itu berbeda dengan keadilan. Hukum adalah aspek tertentu, sedangkan keadilan adalah akhlak dari hukum itu.104 Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), karena dampak (impact) yang diakibatkan aksi dan tindakan terorisme tidak saja menyebabkan kehilangan nyawa. Akan tetapi, kehilangan material juga, dampak psikologis, budaya, agama hingga persoalan ideologis. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, terorisme sebagai salah satu jenis dari Activities of Transnational/Criminal Organizations, yang merupakan kejahatan yang sangat ditakuti karena ancaman dan akibat yang ditimbulkannya cukup luas. Ancaman tersebut meliputi ancaman terhadap kedaulatan sebuah negara, keamanan masyarakat, individu, mengganggu stabilitas ketahanan nasional, nilai-nilai demokratis, dan lembagalembaga publik, ekonomi nasional, dan arah laju perkembangan.
2) Terorisme di Belahan Dunia Islamofobia kini kian meningkat ketika terjadi penembakan di pusat layanan difabel San Bernardino, California, Amerika Serikat. Istilah Islamofobia (rasa takut terhadap agama Islam) menjadi kata yang kerap ditemui pada paruh akhir tahun 2015. Bahkan awal 2016, intensitas Islamofobia tak juga mereda. Ketakutan akan tindakan kekerasan yang dikaitkan dengan Islam pun mengemuka, sampai-sampai di Brussels, Belgia, mereka membatalkan perayaan malam Tahun Baru 2016. Pihak berwenang Belgia mengatakan bahwa pertunjukan kembang api dan perayaan menyambut tahun baru tidak akan dilakukan setelah mengungkap dugaan rencana teror yang diarahkan ke ibu kota pada saat liburan tahun baru. Berbeda dengan di Paris, pertunjukan kembang api tahunan di Champs-Elysees juga dibatalkan. Sebanyak 11 ribu aparat polisi, tentara, dan pemadam kebakaran akan berpatroli di ibu kota Perancis tersebut. Kemudian, lapangan Merah Moskow, Rusia, yang biasanya 104
Tim Penyusun buku Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama, Editor: Jaja Zarkasyi dan Thobib al-Asyhar, Prolog: Menteri Agama RI (Jakarta: Bimas Islam, 2014), h. 3-5.
64
menjadi tempat berkumpul masyarakat untuk memperingati malam tahun baru akan ditutup untuk umum pada tanggal 31 Desember 2015. Sementara di Wina, Austria, juga meningkatkan pengamanan sebelum perayaan. Selain itu, polisi di Munich, Jerman, memperingatkan serangan teror yang telah direncanakan dan meminta orang-orang untuk menghindari keramaian. Polisi dalam kicauan Twitter-nya mengatakan, stasiun utama kota dan stasiun Pasing telah dievakuasi dan mengatakan kereta tidak lagi berhenti di sana. Dalam sebuah unggahan di Facebook, pihak berwenang mengaku memiliki informasi serius serangan ISIS itu telah direncanakan padaa saat malam Tahun Baru. Seperti dilansir Harian Umum Republika, semenjak serangan Paris, Prancis, pada tanggal 13 November 2015 yang telah menewaskan 129 jiwa akibat penembakan massal yang dilakukan kelompok militan ISIS, bangunan resmi dan tempat ibadah di Eropa dan Amerika bahkan di dunia, menjadi sasaran empuk yang dapat mengkerdilkan dan memojokkan agama Islam. Seluruh dunia berkabung dan mengutuk peristiwa tersebut dan mengaitkannya dengan agama Islam yang dituding melegalkan term jihâd dan qitâl dengan membunuh orang-orang yang dianggap musuh agama ini. Padahal, ketika penembakan terjadi, Muslim asal Al-Jazair bernama Safer saat itu sedang bekerja di belakang bar restoran Casa Nostra. Hal ini dilakukan menurut mereka sebagai perlawanan dan perang terhadap terorisme.105 Pada perkembangan mutakhir ini, kekerasan atas nama agama atau teror yang terjadi di belahan dunia seringkali diidentikkan dengan umat Islam. Hal itu terlihat dari upaya pencarian tokoh muslim yang diduga berada di balik berbagai peristiwa yang meresahkan bangsa, termasuk umat Islam sendiri. Kenyataan ini tentu saja merugikan Islam dan umat Islam, karena ada kesan bahwa Islam identik dengan kekerasan, intoleran, anarkis, dan kasar.106 Terkait masalah terorisme, terutama kejadian mutakhir dalam dua minggu 105
Harian Umum REPUBLIKA, Islamofobia dan Standar Ganda Terorisme, dimuat pada kolom Internasional, Rabu 6 Januari 2016, h. 9. 106 Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa image negatif tersebut muncul karena dalam Islam dikenal adanya ajaran jihâd, bahkan dalam sejumlah hadis dan kitab fiqih (yurisprudensi Islam) ada penjelasan
65
belakangan ini, yakni tragedi bom Paris dan sekitarnya yang telah menewaskan 129 orang jiwa di tujuh tempat107 di Perancis, Jum‘at malam, yang diduga dilakukan oleh gerakan militan teroris yang mengatasnamakan diri dari ideologi agama. Seperti diberitakan bahwa yang melakukan aksi keji itu ialah kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).108 Semua agama tidak membenarkan tindakan terorisme, dengan dalih apapun. Islam pun mengutuk keras perbuatan keji itu. Dalam Al-Qur‘an ditegaskan bahwa membunuh satu manusia yang tidak berdosa ibarat membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. (QS. alMâidah [5] : 32) seperti ayat berikut:
khusus mengenai tema itu, yaitu kitâb al-Jihâd atau bâb al-Jihâd atau fasal-fasal. Dalam disiplin ilmu Fiqih, ulasan mengenai tema jihâd dipaparkan secara terang-benderang, dan komprehensif. Misalnya dalam kitâb Nihâyat al-Zain fī Irsyâd al-Mubtadiīn, Syarah „ala Qurrat al-„Ain bi Muhimmât al-Dīn fī al-Fiqh „ala Madzhab al-Syâfi‟ī, karya masterpiece Syaikh Nawawi al-Bantanī. Beliau memulai bahasan jihâd dengan Bâb al-Jihâd diawali hukumnya, lalu golongan yang wajib ber-jihâd. Syaikh Nawawi al-Bantanī, Nihâyat al-Zain fi Irsyâd al-Mubtadiīn (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), h. 328-334. Selain itu penulis dapati juga dalam kitab Fiqih yang lain, misalnya bahwa jihâd itu wajib, dan kewajiban itu terfokus pada tujuh persyaratan sampai pada pembagian ghanīmah (harta rampasan perang), lihat kitâb buah karya Taqiyyuddīn al-Dimasyqī, Kifâyat alAkhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 165-178. 107 Adapun tujuh tempat itu seperti diberitakan Koran TEMPO, yaitu 1) Stadion Stade De France. 2) Restoran Le Carillon dan Le Petit Cambodge. 3) Area Veneu De La Republique. 4) Bar La Belle Equipe. 5) Café Camptoir Voltaire. 6) Gedung Konser Bataclan Theater. 7) Jalan Beaumarchais Boulevard. Selama dua pekan itu, teror ISIS benar-benar membuat geram pemimpin Negara Eropa. Perjalannya dimulai pada 31 Oktober 2015, pesawat Airbus Metrojet Rusia yang mengangkut 224 orang rute Sharm el-Sheikh St Petersburg, Rusia, jatuh di Semenanjung Sinai, Mesir. Tim investigasi yakin 99 persen bahwa penyebabnya adalah bom di koper. Kelom pok teroris Mesir pendukung ISIS mengklaim bertanggung jawab. Kemudian pada 12 November 2015, ISIS merilis video berupa ancaman menyerang Rusia dan di wilayahnya. Dua bom bunuh diri di Beirut Lebanon yang menewaskan 43 orang dan puluhan lainnya terluka, lokasinya di wilayah Hezbollah, penyokong Damaskus. Lalu pada tanggal 13 November, terjadi serangan teroris di tujuh tempat, di Paris, Perancis. Puncaknya, 14 November 2015 empat anggota milisi ISIS tewas saat penggebrekan oleh polisi Turki di perbatasan Turki-Suriah. TEMPO, Senin 16 November 2015, edisi No. 5092 tahun XIV. 108 Dilansir dari Harian KOMPAS pada Senin 16 November 2015. Kejadian terorisme ini sontak mendapatkan perlawanan dari pemimpin Negara di dunia. Pemimpin dunia yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20, di Antalya, Turki, Minggu, bersatu mengumumkan perlawanan terhadap terorisme. Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengecam serangan itu sebagai tindakan biadab dan menyerukan semua Negara bersatu dan meningkatkan usaha menghancurkan ISIS. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berharap KTT G-20 bisa memberi pesan kuat melawan terorisme. Terorisme tidak hanya menyerang Perancis, tetapi ―kemanusiaan kita semua‖. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa terorisme global bisa diatasi jika semua bangsa bersatu. Adapun Presiden Dewan Eropa Donald Tusk meminta agar dunia fokus melawan terorisme. Sementara itu Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin mengatakan terorisme dalam berbagai bentuk, motif, dan siapapun pelakunya tidak dapat dibenarkan. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir mengecam keras tragedi di Paris. Serangan itu bertentangan dengan nilai agama dan kemanusiaan secara universal. Haedar meminta serangan teror itu tidak dikaitkan dengan agama Islam. Di Eropa, Islam telah diterima sebagai kelompok yang adaptif dengan kehidupan berbangsa di sana.
66
ض َ َسا بِ َغي ِر نَفس أَو ف َ ً أَٔٗۥه َمن قَتَ َل نَف٠ ئِعش ِءِٟٕ ثٍِِٝٓ أج ًِ رٌِه وزجٕب ع ِ ساد فِي ٱلَر َُ ذ ثه َ َّاس َج ِميعا َو َمن أَحيَاهَا فَ َكأَنَّ َما أَحيَا ٱلن َ َّفَ َكأَنَّ َما قَتَ َل ٱلن ِ ِّٕ١هُ هس هعٍهٕب ثِٱٌجٌٙمذ جبءرٚ اس َج ِميعا ٦٣ ْٛع ٌ هّغ ِشفه ِ ٱلسِٟهُ ثعذ رٌِه فِِّٕٙ شا١ِئِ َْ وث ―Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.‖ (QS. alMâidah [5] : 32). terlebih korban terorisme tidak hanya puluhan, bahkan ratusan nyawa. Ketika dunia dipenuhi dengan ancaman teror, agama sebagai ajaran cinta dan kasih sayang menjadi sirna, karena itu agama sebagai ajaran cinta dan kasih sayang harus dihidupkan kembali untuk melawan ancaman ideologi teror tersebut. Terorisme telah melahirkan sekat dan jarak cinta antar sesama manusia. Islam menawarkan cinta kasih dan perdamaian untuk meredam terorisme.109 Gambaran dan stigma negatif terhadap Islam sebagai agama teror berkembang luas di Barat, terutama di Amerika Serikat, pasca peristiwa 11 September 2001. Pada saat itu, dunia digemparkan oleh peristiwa bom bunuh diri spektakuler yang menghancurkan menara kembar WTC (World Trade Center) di New York yang menjadi simbol kapitalisme global dan kemajuan perekonomian dan gedung markas besar pertahanan USA Pentagon, Amerika Serikat. Ibukota USA hancur lebur ditabrak oleh pesawat jet komersial yang sampai saat ini masih misterius. Upaya menabrakkan pesawat kedua gedung pencakar langit tersebut telah melumpuhkan, untuk sementara waktu urat saraf penting di Negeri Paman Sam itu. WTC sebagai pusat saraf ekonomi dan Pentagon sebagai pusat militer Amerika telah melumpuhkan keangkeran dan arogansi negara adidaya (super power) tersebut dalam tata pergaulan dunia internasional. Osamah bin Laden dan Jaringan Internasional Al-Qaeda sering disebut-sebut
109
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual (Jakarta: Serambi, 2014), h. 126-127.
67
sebagai aktor di balik tragedi kemanusiaan yang spektakuler tersebut. Lebih tragis lagi, ratusan, mungkin ribuan, umat Islam yang berwajah (beridentitas) dari Timur Tengah, baik di Amerika Serikat maupun di Eropa ditangkap, disiksa, dan ditahan. Dan pada tanggal 7 Oktober 2001, Amerika Serikat dan sekutunya menyerbu dan menghancurkan Afghanistan serta membubarkan Taliban. Namun sampai detik ini tidak ditemukan fakta di lapangan dan diuji di depan sidang pengadilan secara terbuka bahwa Osamah bin Laden dan Al-Qaeda adalah pelaku teror 11 September 2001.110 Sebelum terjadi peristiwa 9 September, di Amerika Serikat telah berkembang wacana tentang pembenturan peradaban atau konflik peradaban (clash of civilization) yang diungkapkan oleh Samuel P. Huntington, seorang analis politik sekaligus penasehat George W Bush (mantan Presiden Amerika Serikat). Dalam risalah buku berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), Huntington menyatakan bahwa sumber konflik yang dominan dewasa ini bukan sesuatu yang bersifat ideologis dan ekonomis, melainkan kultural. Konflik akan terjadi antara negara dan kelompok berbagai peradaban yang berbeda. Huntington mendefinisikan peradaban sebagai entitas kultural tertinggi dan identitas terbesar yang dimiliki manusia. Ia mengidentifikasi tujuh peradaban besar, yaitu: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-Ortodoks, dan Amerika Latin. Dari tujuh peradaban besar itu, Huntington secara provokatif menilai bahwa Islam merupakan peradaban yang paling potensial mengancam peradaban Barat yang kini sedang berada di puncak kekuasaannya. Tesis Huntington111 di atas kemudian diterima luas di Amerika
110
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002, Tesis SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada konsentrasi Syariah tahun 2004, h. 2. 111
Selain Huntington, para futurolog lainnya semisal Alvin Toffler dalam Future Shock dan Third Wave-nya, Jhon L. Esposito dengan Islamic Threat: Myth or Reality-nya serta Mark Jurgensmeyer dengan The New Cold War-nya, semuanya menggambarkan bahwa Islam sebagai sebuah ideologi yang siap menjadi pesaing baru dalam menghadapi peradaban Barat, setelah jatuhnya Komunisme sebagai sebuah sistem dan Sosialisme sebagai sebuah ideologi. Lihat M. Adlin Sila, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Nusakambangan Jawa Tengah (kasus Amrozi dan Mukhlas) dalam buku Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia, Editor: Wakhid Sugiyarto (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 45.
68
Serikat. Akibatnya, bisa ditebak, Islam menjadi kambing hitam dari seluruh oposisi terhadap peradaban Barat. Islam disebut-sebut sebagai dalang dari seluruh aksi kerusuhan dan radikalisme di dunia. Umat Islam yang tinggal di negara Barat dimusuhi, dihina, dan dicurigai setiap aktivitasnya. Mereka tidak lagi mendapatkan apa yang digembor-gemborkan Barat sebagai kebebasan untuk semua (freedom for all). Terlepas dari beberapa kritik yang kemudian dialamatkan kepada Huntington, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pasca runtuhnya komunisme di Soviet, kecurigaan terhadap Islam semakin menguat. Oleh Barat, Islam dipandang sebagai kekuatan besar yang harus diwaspadai. Hal ini terjadi karena setelah keruntuhan komunisme di Soviet. Barangkali belum ada satu kekuatan besar yang mampu menegasi dominasi dan hegemoni Barat. Jauh sebelum berakhirnya Perang Dingin (cold war), para sarjana yang concern terhadap fenomena gerakan politik global telah mengakui politisasi agama sebagai fenomena global yang baru. Para sarjana ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama. Namun, tema fundamentalisme agama, menurut Bassam Tibi, sebagaimana dikutip Ali Masykur Musa, menjadi problematis lantaran penerapannya yang sensasional pada Revolusi Ayatullah di Iran pada tahun 1979 dan iklim fanatisme dan ekstremisme agama yang berlanjut di sana. Satu dekade berikutnya, pasca runtuhnya Tembok Berlin, beberapa pengamat dari sayap kiri membantah bahwa dengan runtuhnya komunisme, Barat telah kehilangan musuhnya. Sejak saat itu, Barat kemudian mengintai satu kekuatan raksasa baru yang akan menggantikan ancaman komunisme, dan fundamentalisme Islam dipandang memiliki kualifikasi yang tepat. Barat perlu mengidentifikasi musuh baru untuk menjamin kontinuitas serta hegemoni politik dan militer mereka tidak terganggu. Asumsi ini diterima secara taken for granted (apa adanya) oleh beberapa pemangku kepentingan militer di Barat. Willy Claes (mantan Sekretaris Jenderal NATO) menyebut fundamentalisme Islam sebagai ancaman
69
utama bagi peradaban Barat berikutnya. Pertanyaannya, tepatkah fundamentalisme Islam dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) masyarakat dunia hanya karena menentang Barat dan meyakini bahwa dunia tengah menyaksikan keruntuhannya, dan karena itu para fundamentalis ingin segera memproklamasikan tatanan baru untuk menggantikan tatanan dunia Barat yang sudah tidak dipercayai. Bryan S. Turner menengarai runtuhnya komunisme Soviet menjadikan kedudukan global Islam amat penting, tetapi bermasalah. Bisa diasumsikan bahwa dengan adanya sejarah dunia Islam sejak Revolusi Perancis, Islam kini berfungsi sebagai alternatif besar, bahkan barangkali satu-satunya alternatif dari hegemoni kapitalis Barat. Beberapa pemikir Islam, seperti Ali Shari‘ati, menyatakan bahwa Islam secara konsisten dan terus-menerus menentang sekularisme, komunisme, dan konsumerisme dunia Barat. Dengan demikian, peran Islam sebagai kekuatan oposisi menjadi sangat signifikan dan diperhitungkan dalam percaturan politik global. Tesis Huntington dengan telak menyerang Islam sebagai agama kebencian. Islam yang dipersepsi Huntington adalah agama yang keras dan menakutkan; suatu agama yang disebarkan dengan pedang dan akan melawan seluruh capaian modernitas dan kemajuan Barat. Tidak mengherankan kalau kemudian tesisnya ini banyak dikritik. John L. Esposito, misalnya, mempertanyakan validitas argumen yang dikemukakan Huntington. Menurutnya, berbagai gerakan yang ada tidaklah menakutkan seperti yang umumnya digambarkan oleh media-media massa di Barat. Menyamakan berbagai gerakan itu dengan ancaman khomeinisme, terorisme, ekstremisme, fundamentalisme, dan sejenisnya merupakan sebuah simplikasi yang berlebihan. Dalam jangka panjang, pandangan monolitik seperti ini akan merugikan kepentingan umat manusia secara keseluruhan, sebab yang akan berlangsung adalah ―penyetanan‖ satu sama lain (mutual satanization) dan penghancuran satu sama lain (mutual assured destruction). Esposito juga menyatakan bahwa berbagai gerakan yang ia sebut
70
dengan istilah revivalisme Islam yang muncul di banyak belahan dunia lebih tepat untuk disebut sebagai sebuah ―tantangan‖ (challenge) daripada ―ancaman‖ (threat), karena gerakangerakan tersebut lebih merupakan gerakan sosial bukan gerakan politik yang berorientasi pada pembentukan tatanan masyarakat yang islami.112 Perkembangan terorisme termutakhir abad ini, munculnya gerakan Islam radikal yaitu Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Gerakan Islam garis ekstrim ini menjadi teror menakutkan karena telah menanamkan pengaruhnya di berbagai negara, termasuk Indonesia. Gerakan ISIS tidak akan pernah berhenti sebelum cita-cita besarnya tercapai untuk membentuk khilâfah islâmiyah yaitu kepemimpinan universal bagi seluruh umat muslim yang bertanggungjawab mengimplementasikan syariat Islam di seluruh dunia. Secara normatif dan historis, Negara Islam (Islamic state) atau khilâfah islâmiyah yang menjadi cita-cita besar ISIS ternyata tidak memiliki legitimasi dalam ajaran Islam maupun dalam sejarah peradaban Islam. Selain itu, apa yang dicita-citakan ISIS itu tidak memiliki bentuk kejelasan (hanya semu), baik dari segi mekanisme dan teknis penerapannya, argumentasi naqlī yang menjadi pijakannya (yang bersumber dari Al-Qur‘an dan hadis) maupun individu-individu yang ada di dalamnya. Dari segi sistem politik, ISIS sebenarnya mengajak kita melakukan langkah mundur. Sebab, sistem politik pemerintahan yang kita pakai saat ini di Indonesia jauh lebih baik dari apa yang diperjuangkan ISIS, bahkan selaras dengan nilai-nilai keislaman.113
112
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual (Jakarta: Serambi, 2014), h. 129-132. 113 Abdul Waid, ISIS: Perjuangan Islam Semu dan Kemunduran Sistem Politik (Menyoal Nilai-Nilai Keislaman ISIS Secara Normatif dan Historis dan Mengkomparasikannya Dengan Sistem Politik Kekinian), paper in Annual International Conference (AICIS), XIV, Buku 3, Subtema: Nusantara Islamic Civilization: Value, History, and Geography, Editor: Muhammad Zain, dkk, (STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 131.
71
Berikut ini daftar aksi teror terhadap kemanusiaan di Dunia.114 Tabel. 1 Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Seluruh Dunia No
Tanggal Aksi Teror
Deskripsi/Keterangan
1
Konflik Israel-Palestina 1967-sekarang
Konflik Palestina-Israel ini sudah berlangsung kurang lebih 31 tahun sejak invasi Israel ke sejumlah negara Arab pada tahun 1967. Sudah ribuan orang tewas baik dari pihak Palestina maupun Israel dan rata-rata adalah warga sipil. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebut korban tewas pada 2014 adalah jumlah tingginya perang Palestina-Israel sejak tahun 1967. Menurut PBB, pada 2014, jumlah total korban tewas mendekati 2.200 orang. Penderitaan 1,8 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza meningkat dan mengalami keadaan terburuk sejak tahun 1967. Lebih dari 1.500 warga Palestina tewas pada 2014, 550 kurang lebih di antaranya adalah anak-anak, lebih dari 11.000 orang cedera, dan sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal.
2
Pengeboman Sinagoga di Antwerp, Belgia (1981)
Sebuah teror bom mengerikan terjadi pada tahun 1981 di Kota Antwerp, Belgia. Kejadian mengerikan ini membunuh sekitar 100 orang akibat ledakan dari sebuah mobil van yang masuk ke area Sinagoga saat sedang ada perayaan besar. Setelah itu mobil mendadak meledak dan membuat banyak orang meninggal di tempat.
3
Tragedi Lockerbie (21 Desember 1988)
21 Desember 1988 pesawat Boeing 747-100 dari maskapai Pan American World Airways dari Bandara International Heathrow, London ke Bandara International Jhon F. Kennedy, New York, meledak di udara pada saat terbang di atas Lockerbie, Dumfries dan Galloway, Skotlandia, ketika sebuah 340-450 gram peledak plastik diledakkan di tempat kargo depan. Sebanyak 271 penumpang meninggal dalam tragedi ini.
4
Bom Oklahoma City (19 April 1995)
Kasus ini adalah serangan teroris domestik terbesar kedua dalam sejarah Amerika Serikat yang menewaskan 168 orang. Bom tersebut diletakkan dalam sebuah truk sewaan, diledakkan di jalan depan gedung tersebut pada 19 April 1995 pukul 09.02 pagi waktu setempat
114
Sumber (source): The War on Rocks, sebagaimana yang dikutip oleh Tim Redaksi Liputan Koran SINDO MNC Group Jakarta, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015, h. 8-9.
72
(local time). Bom mobil tersebut berisi 2.300 kg bahan peledak, dibuat dari amonia nitrat, sejenis pupuk yang digunakan dalam pertanian, dan nitrometan, sejenis bahan bakar untuk mobil balap. 5
7 Agustus 1998
Pengeboman Kedubes AS di Kenya dan Tanzania. Sebanyak 200 orang tewas dan lebih dari 1.000 orang luka-luka setelah serangan bom di dua Kedubes (embassy) AS di Kenya dan Tanzania. Laman stasiun televisi BCC mengungkapkan bahwa dua insiden itu terjadi bersamaan dalam selisih beberapa menit. Ledakan pertama terjadi di Kedubes AS di Dar es Salaam, ibukota Tanzania. Lima menit kemudian, bom menghancurkan gedung Kedubes AS di ibukota Kenya, Nairobi. Ledakan Nairobi melukai Duta Besar AS, Prudence Bushnell.
6
Tragedi WTC 11 September 2001
Serangan 11 September 2001 adalah serangkaian empat serangan bunuh diri yang telah diatur terhadap beberapa target di New York dan Washington DC Amerika Serikat pada 11 Spetember 2001. Para pembajak sengaja menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York City USA. Menurut Laporan tim investigasi 911, sekitar kurang lebih 3.000 orang tewas dalam serangan ini.
7
Perang Afganistan (2001-sekarang)
Setelah serangan terhadap gedung WTC 11 September 2001, Amerika Serikat memulai kampanye perang Melawan Terorisme. Mereka di Afganistan memiliki tujuan menggulingkan kekuasaan Taliban yang dituduh melindungi Al-Qaeda serta untuk menangkap Osamah bin Laden. Sekitar 15.000 pasukan tewas yang terdiri atas Amerika Serikat, NATO, dan pasukan keamanan Afganistan dan 50.000 pasukan luka-luka. Korban sipil diperkirakan mencapai 20.000 orang tewas dan ratusa ribu lainnya cidera.
8
Bom Bali, Indonesia (tahun 2002)
Bom ini terjadi pada malam hari 12 Oktober 2002 di Bali yang telah menewaskan 202 orang dan melukai 209 lainnya, kebanyakan merupakan wisatawan asing. Peristiwa ini sering dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
9
Teror di Moskow, Rusia (2002)
Pada 23 Oktober 2002, teroris Chechnya yang berjumlah 50 orang menyandera sekitar 700 warga Rusia di Bali-Bearing Palnt‘s Palace of
73
Culture, sebuah gedung teater megah di Moskow. Dalam penyanderaan itu, militer Chechnya meminta pasukan Rusia menarik diri dari wilayahnya yang terletak di utara pegunungan Kaukasus. Setelah 57 jam penyanderaan, pada 26 Oktober 2002, pasukan khusus Rusia, Spetsnaz, yang mengirim Alpha Group dan Vympel, berhasil membebaskan ratusan orang yang disandera. Operasi ini harus dibayar mahal dengan tewasnya 120 sandera akibat baku tembak. 10
Serangan bom di Istanbul Turki (2003)
Pada 15 November hingga 20 November 2003, sebanyak empat truk bom meledak di sekitar Kota Istanbul, Turki. Serangan itu menewaskan total 57 orang dan 700 lainnya mengalami luka serius. Pemerintah Turki meyakini militan AlQaeda berada di balik serangan itu.
11
Invasi Amerika Serikat ke Irak (2003)
Saat menginvasi Irak pada 2003, Amerika Serikat memiliki tiga dalih yakni menghancurkan senjata pemusnah massal, menyingkirkan ancaman teroris internasional dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan rezim Saddam Hussein dengan cara memulihkan demokrasi di Irak. Dari tiga alasan itu ternyata semuanya dipenuhi kebohongan. Sekitar setengah juta orang tewas di Irak akibat tragedi perang Irak sejak invasi pasukan AS dari 2003-pertengahan 2011. Bahkan hingga kini meski perang sudah usai, namun Irak masih dilanda konflik sektarian berkepanjangan.
12
Bom Madrid, Spanyol (2004)
Peristiwa peledakan bom Madrid pada 11 Maret 2004, terdiri dari beberapa ledakan di dalam empat kereta komuter. Terdapat 192 korban jiwa dan 2.050 korban luka-luka. Peristiwa ini serangan teroris terparah di Eropa setelah peristiwa Lockerbie pada 21 Desember 1988.
13
Bom Karachi, Pakistan (2007)
Pada 18 Oktober 2007, 139 orang terbunuh dalam serangan bom mobil di Kota Karachi, Pakistan. Militan Al-Qaeda dan Taliban diyakini bertanggungjawab atas serangan itu.
14
Serangan Mumbai, India (28 Nov 2008)
Pada tahun 2008, India terguncang akibat penembakan brutal di Mumbai yang menyebabkan 174 orang meninggal dunia. Kejadian ini dinobatkan sebagai kejadian teror terburuk dalam sejarah India pada tahun 2000an. Namun, di tempat sama sekitar 15 tahun silam pernah terjadi aksi teror super
74
mengerikan di mana anggota keluarga teroris melakukan pengeboman di hampir seluruh wilayah dalam waktu 75 menit. 15
Serangan Boko Haram di Negeria (2009)
Lebih dari 5.000 orang telah terbunuh akibat serangan teror yang dilakukan pejuang Boko Haram di Negeria sejak tahun 2009 hingga saat ini.
16
Perang Suriah (2011)
Perang Suriah awalnya dipicu keinginan rakyat Suriah menghendaki perubahan dari penguasa otoriter serta dipicu angin perubahan di dunia Arab (Arab spring). Namun, kini perang Suriah justru meluas dan menghadapkan antara Amerika Serikat dengan sekutunya yang mendukung oposisi Suriah melawan pemerintah Suriah dengan dukungan Rusia dan China. Organisasi masyarakat dunia, Observatorium HAM untuk Suriah (SOHR), menyebutkan, jumlah korban tewas akibat perang di Suriah selama 4 tahun sudah mencapai 320.000 orang dan ribuan warga yang mengungsi ke berbagai belahan dunia.
17
Serangan ISIS (2011)
Kelompok militan ISIS telah membunuh ribuan orang menggunakan banyak serangan bom saat berupaya menguasai seluruh wilayah Suriah dan Irak. Bahkan kelompok ekstrimis telah melebarkan sayapnya dengan mencoba menguasai banyak wilayah seperti Mesir, Libya, Nigeria, dan Somalia.
18
Pembunuhan Massal di Peshawar, Pakistan (2014)
Pada tanggal 16 Desember 2014, lebih dari 145 orang termasuk 132 orang anak sekolah berusia antara delapan sampai 18 tahun, dan beberapa orang karyawan di sekolah, dibunuh secara massal di sebuah sekolah di Kota Peshawar, Pakistan. Serangan itu dilakukan tujuh pria bersenjata yang diyakini merupakan militan Taliban Pakistan.
Tabel 2. Negara dan Kasus Kematian Akibat Terorisme (sepanjang tahun 2013)115
No
Negara
Total Kematian (jiwa)
1 2 3
Thailand Yaman Filipina
292 orang 291 orang 292 orang
Presentase Total Kematian 1,6 % 1,6 % 1,6 %
115
Dilansir dari sumber (source): Global Terrorism Index, sebagaimana yang dikutip oleh Tim Redaksi Liputan Koran SINDO, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015, h. 8-9.
75
4 5 6 7 8 9 10
India Somalia Suriah Nigeria Pakistan Afganistan Irak
404 orang 405 orang 1.078 orang 1.826 orang 2.1345 orang 3.111 orang 6.362 orang
2,2 % 2,3 % 6,0 % 10,2 % 13,1 % 17,3 % 25,4 %
Berdasarkan fakta di atas, jenis dan tipe serangan terorisme di belahan dunia beraneka ragam dan dikerucutkan seperti berikut ini: jenis serangan bersenjata; bermotif pembunuhan; pengeboman; menyerang fasilitas umum; pembajakan; penculikan; serangan non bersenjata. Kemudian, indeks terorisme global menunjukkan, aksi terorisme justru meningkat drastis ke tingkat amat mencemaskan. Tahun 2013 tercatat 10.000 kali serangan teror yang menewaskan 18.000 orang. Jika disimpulkan, perang melawan teror ternyata menciptakan lebih banyak teror. Dalam indeks juga disebutkan, 80 % organisasi teroris menghentikan aksinya karena mereka telah mencapai target yang digariskan. Hanya 10 % organisasi teroris menghentikan aksinya karena mereka telah mencapai target yang digariskan. Menurut catatan lain dari sebuah database aksi terorisme, Global Terrorism Database (GTD), sejak 1970 sampai tahun 2012, telah tercatat 113.000 aksi terorisme. Secara rinci dari 113.000 serangan teroris terdiri dari 52.000 pengeboman, 14.400 pembunuhan, 5.600 penculikan. Negara-negara yang paling menderita akibat aksi terorisme, yakni Irak, Pakistan, Nigeria, Suriah, dan juga Afghanistan.116
3) Menelisik Definisi Terorisme dan aksinya di Indonesia Wacana tentang terorisme telah muncul sejak ribuan tahun silam dan menjadi legenda dunia, disebutkan Adjie Suradi seperti dalam Kasjim Salenda, praktek aksi terorisme telah eksis sejak kekaisaran Romawi, masa kekuasaan Tiberius (14-37 M) dan Caligula (37-
116
Dilansir dari sumber (source): Global Terrorism Index dan The War on Rocks, sebagaimana yang dikutip oleh Tim Redaksi Liputan Koran SINDO MNC Group Jakarta, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015, h. 8-9.
76
41 M) dengan cara membunuh, mengintimidasi, mengasingkan, dan merampas harta milik para oposan. Akan tetapi, hingga kini belum ada satu kesepakatan dari semua pihak tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan terorisme, baik dalam hukum internasional, berbagai organisasi yang berskala internasional maupun regional. Kendati demikian, para pakar politik, hukum, bahasa, dan sosiologi mengemukakan rumusan istilah terorisme sesuai dengan persepsi dan latar belakang keilmuannya.117 Dalam kamus Oxford, kata terrorist dalam Muchlis M. Hanafi diartikan dengan orang yang melakukan kekerasan terorganisasi untuk mencapai tujuan politik tertentu. aksinya disebut terrorism, yaitu penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman, terutama untuk tujuan-tujuan politis. Sementara dalam bahasa Arab, istilah yang populer untuk aksi ini adalah al-Irhâb, dan pelakunya disebut al-Irhâby. Para penyusun kamus alMu‟jam al-Wasīth masih dalam kutipan Muchlis M. Hanafi, memberikan makna kata alIrhâby dengan sifat yang dimiliki oleh mereka (perorangan maupun kelompok) yang menempuh kekerasan dan menebar kecamasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. AlIrhâb dengan pengertian semacam ini tidak ditemukan penggunaannya dalam pengertian modern dalam Al-Qur‘an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik, sebab ini merupakan istilah baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan penggunaan kata ini (irhâb) dalam bentuk derivasinya (kata turunannya), yakni turhibûn atau lainnya, dalam Al-Qur‘an seperti pada surat al-Anfâl [8]: 60 bermakna positif.118 Sebab melalui ayat ini, Allah memerintahkan
117
Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 76. 118
Ayat tersebut berbunyi:
ُ لِٙ ِٔٚٓ ِِٓ ده٠ءاخ ِشٚ ُ هوَٚ ع هذٚ ِ ٱ َّللَٚ ْ ثِ ِٗۦ ع هذٛ ًِ رهش ِ٘جه١بؽ ٱٌخ ِ ِِٓ سِّثٚ حَٛ هُ َِب ٱعزطعزهُ ِِّٓ لهٌٙ اَٚأ ِع ُّذٚ َ ٛه٠ ًِ ٱ َّلل١ ٤٦ ّْٛأٔزهُ ل رهظٍ هٚ ُ هى١ٌف ِئ ِ ِ عجِٟء فٟا ِِٓ شِٛب رهٕفِمهٚ ُهّٙعٍ ه٠ ه هُ ٱ َّللهّٙٔٛرعٍ ه Terjemah: “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah
77
umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan berbekal kekuatan apa saja yang dapat menggentarkan (turhibûn) musuh Allah dan musuh mereka. Tidak jauh berbeda dengan pengertian di atas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam Muchlis M. Hanafi, mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Makna terorisme adalah: penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).119 Terorisme menurut Azra seperti dikutip Rohmawati, merupakan masalah moral yang sangat sulit sehingga mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam mendefinisikannya. Sampai detik ini, belum ditemukan definisi yang diakui secara universal. Pendefinisian yang ada masih bersifat subjektif dan relatif, tergantung kepada subjek yang mendefinisikannya. Sebagai sebuah paham, terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, intimidasi, dan ekstrimitas. Para pelakunya disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme seringkali menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung. Dalam insiden WTC dan Bom Bali, membuktikan bahwa ribuan nyawa manusia yang tak berdosa raib akibat ulah para teroris. Orangtua-renta, dewasa, anak muda, dan bayi turut menanggung akibat dari pertarungan politik dan ideologi. Pada titik ini, terorisme mendapat sorotan yang serius dari masyarakat dunia, karena cara-cara yang ditempuh para teroris dapat mewujudkan instabilitas, kekacauan, dan kegelisahan yang berkepanjangan. Masyarakat senantiasa dihantui perasaan was-was dan tidak aman. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian, ―Siapa sebenarnya yang melakukan aksi-aksi terorisme?‖ Pada tahap ini, kita akan memasuki kerumitan tersendiri, sebab identifikasi terorisme tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan.
niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (QS. al-Anfâl [8] : 60). 119
Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 9-11.
78
Apalagi, jikalau menyangkut sebuah kelompok atau negara tertentu, niscaya dibutuhkan datadata yang akurat dan tepat. Konsepsi teror dan terorisme merupakan masalah yang sulit sehingga mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam mendefinisikannya. Tarik ulur seputar terorisme apakah bermakna positif atau negatif berlangsung hingga kini, tergantung siapa yang memunculkan dan yang membuat definisinya. Sulit sekali menarik definisi objektif dan akurat tanpa terkandung di dalamnya sentimen yang sarat ideologi atau kepentingan. Usahausaha untuk mendefinisikan terorisme ini sering didasarkan pada asumsi bahwa sejumlah tindakan kekerasan terutama yang menyangkut politik (political violence) ada yang dapat dibenarkan (justifiable) dan ada yang tidak dapat dibenarkan (unjustifiable). Kekerasan yang dikategorikan sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan inilah yang sering disebut sebagai teror atau terorisme. Namun, untuk menentukan standar dan ukuran yang jelas dari masing-masing kategori tidaklah mudah sebab subjek yang mendefinisikan mempunyai determinasi yang kuat dalam menentukan mana yang justifiable dan mana unjustifiable. Dengan demikian, menurut Azra seperti dalam Rohmawati, batas dan standar tindakan kekerasan bersifat relatif, tergantung siapa yang mengelompokkan. Kekerasan politik yang bagi sebagian orang dianggap unjustifiable mungkin dianggap justifiable bagi pihak lainnya.120 Subjektifitas dan relativitas pendefinisan teror dan terorisme terlihat jelas pada pandangan orang, misalnya terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Di satu pihak, khususnya Barat, memandang aksi kekerasan oleh PLO–atau garis keras PLO–sebagai terorisme. Bahkan, laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memasukkan PLO sebagai organisasi teroris yang tidak memiliki legitimasi politik yang menggunakan metode kekerasan yang tidak sah untuk mencapai tujuan120
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 27-28. Tesis pada konsentrasi Syariah.
79
tujuannya yang tidak dapat dibenarkan. Sebaliknya, pihak yang lain memandang PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina yang tertindas. Tindakan kekerasan yang dilakukan adalah untuk mencapai tujuan-tujuan yang adil, sah, dan tidak terelakan. Dari pandangan yang subjektif dan relatif ini, menurut Juliet Lodge seperti dalam Rohmawati, kita dihadapkan pada dilema: “one man‟s terrorist is another man‟s freedom fighter” (seorang teroris adalah pejuang kemerdekaan bagi pihak lain). Dengan demikian, pengertian teror dan terorisme terletak pada pembenaran (justifiable) moral yang mendefinisikannya. Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun 1973 sebagai akibat revolusi Perancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan era baru yang disebut Reign of Terror (10 Maret 1793-27 Juli 1794). Teror menjadi agenda penting para pengawal revolusi dan menjadi keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik. Sasarannya bukan hanya politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat, pedagang, agamawan, dan lain sebagainya. Selama berlangsung Revolusi Perancis, Robespierre dan yang sejalan dengannya seperti St. Just dan Couthon melancarkan kekerasan politik dengan membunuh 1366 penduduk Perancis, laki dan perempuan, hanya dalam waktu 6 minggu terakhir masa teror. Bahkan dalam sidang umum PBB melalui Dewan Khusus Terorisme Internasional pernah membahas isu terorisme internasional pada tahun 1972. Perdebatan tentang definisi terorisme mengalami deadlock. Akhinya sidang memandang tidak mungkin untuk memutuskan sebuah definisi yang dapat disepakati bersama dan dapat mengakomodir berbagai persepsi yang ada. Menurut Charles W. Kegley Jr, penulis buku International Terrorism: Characteristics, Causes, Control, sebagaimana dikutip Alif Arrosyid (2008), mengatakan: “There is no single definition of terrorism that can possibly cover all the varieties of terrorism that have appeared throughout history.” ―(Tidak ada definisi tunggal tentang terorisme yang bisa
80
mencakup semua isi fenomena terorisme yang telah muncul sepanjang sejarah).‖ 121 Di Indonesia sendiri, bahkan di kalangan pakar sosial-politik Barat, belum ada kesepakatan tentang definisi terorisme. Karena belum ada formulasi definisi yang jelas dan baku yang diakui secara universal inilah telah berdampak pada biasnya pemahaman masyarakat dunia terhadap berbagai upaya memerangi terorisme, sehingga merugikan pihak tertentu dan tidak menutup kemungkinan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan definisi yang jelas, gamblang, transparan, dan diterima secara universal, kita tidak akan salah menunjuk orang atau kelompok tertentu sebagai teroris dan memeranginya. Meskipun demikian, setidaknya ada beberapa definisi yang dapat penulis suguhkan dalam penelitian ini agar bisa memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana sebenarnya terorisme. Sebelum melangkah lebih jauh tentang pendefinisian terorisme, agaknya perlu diungkapkan perbedaan antara teror dan terorisme. Sebagai metode kekerasan, teror dan terorisme memiliki pengertian yang berbeda meski asal-usul namanya sama-sama berasal dari bahasa Latin, “terrere” yang berarti menimbulkan ketakutan yang mendalam. Penggunaan kekerasan atau teror tidak langsung merupakan terorisme karena aksi teror merupakan aktivitas yang dilakukan untuk tujuan-tujuan kriminal yang bercorak spontan dan tidak terorganisir rapi serta cenderung bersifat personal/perorangan. Sebaliknya, terorisme bersifat sistematis, terorganisir rapi dan dilakukan oleh sebuah organisasi atau kelompok sebagai pelaku dari aktivitas teror tersebut. Makna kata teror dan terorisme telah mengalami perubahan yang cukup signifikan sejak akhir abad ke-19. Dalam Webster‟s International Dictionary seperti dirujuk Rohmawati, edisi 1890 memberikan definisi teror sebagai “Extreme fear, fear that agitates body and mind; violent dread; fright” (rasa takut yang luar biasa, rasa takut yang mengganggu tubuh dan pikiran, ketakutan yang mendalam). Pada perkembangan selanjutnya, Webster‟s New Twentieth Century Dictionary
meng-cover
121
Alif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia 2000-2005 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008), awal bab II, t.h. Tesis di SPs UIN Jakarta.
81
pengertian yang sama secara esensial: 1) Intens fear (rasa takut yang mendalam); 2) a person or thing that causes intense fear (seseorang atau sesuatu yang menimbulkan rasa takut yang mendalam); 3) a period characterized by political executions, as during the French Revolution (suatu periode yang ditandai dengan eksekusi politik yang berlangsung selama Revolusi Prancis); 4) a program of terrorism or a party, group, etc, resorting to this (suatu program terorisme atau suatu partai, kelompok, dan lain-lain yang menggunakan tindakan kekerasan/terorisme). Dengan penambahan akhiran “isme” pada kata teror, timbul perbedaan pengertian di kalangan para ilmuan. Menurut Rourke masih dalam Rohmawati, terorisme merujuk pada “aksi-aksi kekerasan secara luas yang dapat menimbulkan ketakutan yang besar secara kontinyu (berlanjut) yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain.” Adapun Noam Chomsky juga memberikan definisi terorisme sebagai berikut: “Penggunaan intimidasi atau ancaman dengan menggunakan cara-cara kekerasan secara sistematis yang dilakukan oleh sekelompok, baik suatu penguasa maupun negara atau mereka yang tidak berkuasa atau sedang menjadi oposisi terhadap penguasa.” Istilah terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 terutama untuk menunjukkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan pemerintah (penguasa) yang ditujukan untuk menjamin ketaatan rakyat.122 Dalam kajian akademis, memang dibedakan antara teror dan terorisme. Ada yang memandang bahwa terorisme adalah bentuk pemikiran, sedangkan teror adalah aksi atau tindakan yang terorganisir. Kebanyakan memang memandang teror bisa terjadi tanpa adanya terorisme. Teror menjadi unsur asli yang melekat pada terorisme. Terorisme adalah puncak aksi kekerasan. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Menyitir Rikard Bagun, seperti dalam Said Aqil Siradj, terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan 122
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002, Tesis pada SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2005, h. 29-39.
82
terorisme tidak. Kaum teroris hanya ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan perjuangan mereka. Kaum teroris modern justru suka mengeluarkan pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya. Cara pandang dalam ―tatapan akademis‖ tersebut perlu dikedepankan. Ini dalam rangka membedakan dari ―tatapan ideologis‖ yang eksklusif dan cenderung reaktif. Ketika terjadi bom di Alam Sutera, sontak dari kalangan ini menyebutnya (kaum akademisi) sebagai titik balik yang bisa meruntuhkan stigmatisasi agama dalam isu terorisme. Stigmatisasi yang dituduhkan sebenarnya terlalu berlebihan. Negara memahami teroris bisa datang dari mana saja. Namun, menyitir Brian Michael Jenkins, teroris tidak jatuh dari langit, mereka muncul dari seperangkat keyakinan yang dipegang kuat. Mereka adalah radikal. Kemudian mereka menjadi teroris. Aksi teror yang muncul akibat ideologis inilah yang selama ini muncul di negeri kita. Peristiwa bom, hingga penembakan terhadap aparat, telah terkuak dilakukan oleh mereka yang berasal dari jaringan radikal keagamaan. Walaupun model jaringan sudah mulai melemah, sel-selnya masih bergerak hingga metamorfosis terorisme ―sel hantu‖ yang berangkat dari individu. Di sinilah perlu pembacaan secara bijak. Pemerintah sudah mengeluarkan Perppu Antiterorisme yaitu Perppu No. 1 Tahun 2002 dan Perppu No.2 Tahun 2002, dan kita sudah punya UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai dasar hukum di Indonesia. Ada unsur-unsur terorisme yang telah ditetapkan, yaitu perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan kedaulatan bangsa dan negara. Dan itu dilakukan dengan menggunakan kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda dari orang lain (Pasal 1 Ayat 1). Dikeluarkannya Perppu itu tidaklah lain karena untuk memproteksi
83
masyarakat dari masalah terorisme yang muncul pascareformasi pada tahun 1999 hingga 2003, khususnya pada tahun 2000-2002, kemudian tahun 1999 adalah era transisi demokrasi yang ditandai oleh lahirnya gerakan-gerakan militan Islam yang secara sosiologis muncul karena merasa tertindas atau tertekan selama rezim Orde Baru. Di era Orde Lama, bentuk pola aksi teror didominasi oleh aksi-aksi separatis yang marak terjadi di masa itu. Aksi-aksi ini mayoritas dilakukan oleh organisasi seperti PRRI/Permesta, PKI, dan DI/TII. Aksi-aksi yang dilakukan berorientasi pada penggulingan pemerintahan yang sah, mengingat masih labilnya kondisi politik di masa itu. Naiknya Mayjen TNI Soeharto, yang sebelumnya menjabat sebagai Pangkostrad, menjadi Presiden RI menggantikan Ir. Soekarno membuka babak baru dalam sistem pemerintahan NKRI. Di masa Orde Baru, terjadi perubahan drastis dan menyeluruh di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi dan politik.123 Tahun 2000 diasumsikan sebagai indikasi awal dan menjadi stimulan bagi kerja jaringan terorisme di Indonesia. Dan selanjutnya, tahun 2002 meletus tragedi kemanusiaan yaitu Bom Bali yang sangat hebat di Indonesia di mana dampaknya pada krisis multidimensional yang dialami bangsa kita. Kejahatan teror akan terus beralih rupa. Bisa saja ada pergeseran motif politik menuju motif ekonomi, atau berwujud kejahatan transnasional melalui kejahatan dunia maya. Dan, dari yang berakar etnosentrisme beralih wajah menjadi kejahatan katarsis (amuk personal). Kita perlu mewaspadai, perubahan demografis akibat mobilitas manusia secara massif bisa memengaruhi keamanan nasional. Pertumbuhan populasi yang tidak terkendali juga bisa meningkatkan peluang instabilitas, radikalisme, dan terorisme.124 Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa dan negara Indonesia kita tak lepas dari guncangan teror bom. Dari mulai tahun 2000 sampai sekarang sudah banyak korban tewas
123
Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi (Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 10-11. 124 Said Aqil Siradj Ketua PBNU, Membaca Bom Alam Sutera, artikel kolom Opini Harian KOMPAS pada Rabu, 4 November 2015.
84
dari masyarakat sipil, polisi, dan warga asing. Berikut ini daftar peristiwa ledakan teroris yang pernah terjadi di Indonesia. Tabel. 3 Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Indonesia No
Tanggal Kejadian
Deskripsi/Keterangan
1
1 Agustus 2000
Bom meledak di Kedutaan Besar (Kedubes/Embassy) Filipina. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Dubes Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas, dan 21 orang luka-luka. Termasuk Dubes Filipina, Leonides T Caday
2
27 Agustus 2000
Sebuah granat meledak di Kompleks Kedutaan Besar Malaysia, Kuningan Jakarta. Tidak ada korban jiwa
3
13 September 2000
Bom meledak di lantai parkir Bursa Efek Jakarta (BEJ), 10 orang tewas dan 90 orang luka-luka, baik luka berat maupun luka ringan. 161 mobil rusak, dan sarana gedung rusak berat.
4
24 Desember 2000
Serangan bom meledak pada malam Natal di Jakarta, Bandung, Ciamis, Bekasi, Sukabumi, Mataram, Pematang-Siantar, Medan, Mojokerto, Batam, dan Pekanbaru. Aksi pengeboman ini terjadi bersamaan dengan memanasnya konflik horizontal bernuansa agama di Maluku dan sekitarnya. 16 jiwa tewas, 96 orang luka-luka, dan 37 mobil rusak.
5
22 Juli 2001
bom meledak di Gereja Santa Anna dan gereja Huria Kristen Batak Protestan (KHBP) di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. 5 orang meninggal dunia.
6
31 Juli 2001
bom meledak di Gereja Bethel Tabernakel Kristus Alfa Omega, Jl. Gajah Mada Semarang, Jawa Tengah
7
23 September 2001
bom meledak di Plaza Atrium Senen, Jakarta Pusat. Ledakan tersebut menyebabkan 6 orang terluka dan merusak beberapa mobil.
8
12 Oktober 2001
Sebuah bom meledak di KFC Makassar yang mengakibatkan kaca-kaca, langit-langit, dan lampu neon pecah.
9
6 November 2001
bom rakitan meledak di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta Selatan.
85
10
12 Oktober 2002
bertempat di Paddy‘s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali yang mengguncang Bom. Dua bom meledak spektakuler dalam waktu yang hampir bersamaan yaitu pukul 23.05 WITA. Lebih dari 200 orang tewas, dan 200 lebih lainnya luka berat maupun ringan dalam peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali Satu. Jumlah korban dan dampak/implikasinya mendunia. Turis mancanegara menjadi takut berkunjung ke Indonesia.
11
3 Februari 2003
bom rakitan meledak di Lobi Wisma Bayangkari Mabes Polri Jakarta.
12
27 April 2003
bom meledak di bandara Soekarno Hatta Cengkareng tereminal 2F, 2 orang luka berat, dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
13
5 Agustus 2003
bom berkekuatan tinggi meledak di kawasan Hotel JW Marriot kawasan Mega Kuningan. Bom meledak sekitar pukul 12.45 WIB. Sebanyak 14 orang tewas, dan sekitar 150 orang cedera.
14
10 Januari 2004
bom meledak di sebuah cafe Palopo, Sulawesi. 4 orang tewas.
15
9 September 2004
bom meledak di Kedubes Australia Jl. HR Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan. Akibat peristiwa itu 6 orang tewas.
16
28 Mei 2005
bom meledak di tentena, Poso, Sulawesi Tengah. 22 orang tewas.
17
1 Oktober 2005
bom meledak di RAJA‘s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah pantai Kuta, Bali dan di Nyoman Café Jimbaran. 22 orang tewas dalam peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali Dua
18
22 Maret 2006
sekitar pukul 19.00 WITA, bom meledak di pos kamling dusun Landangan, Desa Toni, Kecamatan Poso Pesisir.
19
1 Juli 2006
sebuah bom meledak di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Eklesia jalan Pulau Seram, Poso. Tidak ada korban jiwa maupun kerusakan materil.
20
3 Agustus 2006
bom meledak di Stadion Kasintuwu Poso. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu
21
6 September 2006
22
17 Juli 2009
bom meledak di Tangkura Poso Pesisir Selatan
terjadi ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot, Jakarta. Seperti diketahui 9 korban
86
tewas. 23
pada 15 April 2011
tiga bom meledak di tiga kota di Indonesia. Bom pertama, meledak di Masjid Malporesta Cirebon. Peristiwa ini menewaskan pelaku teror pengeboman dan melukai 25 orang. Kedua, kota Tangerang di mana polisi berhasil menggagalkan aksi pemboman terhadap Gereja Christ Cathedral. Kota berikutnya adalah Solo. Sebuah bom bunuh diri kembali diledakkan di GBIS Kepunten Solo, Jawa Tengah. Satu orang pelaku tewas dalam peristiwa ini sedangkan 28 orang lainnya terluka.
24
19 Agustus 2012
pengeboman terjadi di Pospom Gladak, Solo Jawa Tengah. Tidak ada korban dalam peristiwa tersebut.
25
3 Juni 2013.
bom bunuh diri di halaman Mapolres, Poso Sulawesi Tengah
26
4 Agustus 2013
Ledakan terjadi di Vihara Ekayana Amara jalan Mangga II/8 RT 08/08 Kelurahan Duri Kepa, Tanjung Duren, Jakarta Barat, pada pukul 18.50 WIB. Satu paket bom gagal meledak dam 3 orang luka-luka
Sumber: http://news.detik.com/read/2009/07/17/161656/1167203/10/data-ledakan-bom-diindonesia-2000-2009.125 Selain itu data didapat dan disarikan dari Tim Redaksi Sindo serta Litbang Kompas. 126
Di bumi Indonesia, apa yang diharapkan dari pemuka agama tidak lain adalah mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat mengacu ke arah radikalisme dan kekerasan. Dalam lingkungan Islam, di atas pundak pemuka agama terletak kewajiban untuk mensosialisasikan konsep moderasi yang menghindari sikap ekstrem atau berlebihan dalam kedua sisinya, guna menciptakan masyarakat penengah dan adil, atau dalam bahasa Al-Qur‘an yaitu ummatan wasathan (QS. al-Baqarah [2] : 143). Segala bentuk moderasi keagamaan, baik dalam menilai, berinteraksi dengan kelompok lain, maupun dalam menjalankan tuntunan agama perlu mendapat tekanan. Untuk itu, usaha-usaha untuk mencari titik temu dalam ajaran agama-agama dunia guna mencegah terjadinya kekerasan atau 125
Sumber kejadian bom dapat dilihat pula http://news.detik.com/read/2009/07/17/161656/1167203/10/data-ledakan-bom-di-indonesia-2000-2009 diakses 10 Juni 2014 pukul 12.07 WIB. 126 Tim Redaksi SINDO, Teror Bom yang Guncang Indonesia, Topik Pilihan Koran SINDO, pada Jum‘at 15 Januari 2016, h. 8-9.
87
radikalisme perlu terus ditingkatkan. Dan sebelum melangkah ke arah itu, rekonsiliasi intern dari setiap kelompok harus menjadi prioritas utama dalam agenda tiap agama. Dalam bahasa Islam popular upaya tersebut dikenal dengan istilah taqrīb baina al-madzâhib (pendekatan antar sekte/mazhab). Kiranya dengan pendekatan ini benih radikalisme keagamaan akan dapat kita bendung agar tidak tumbuh di tanah air kita.127 Terkait terorisme di Indonesia, dalam catatan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sepanjang tahun 2015 telah menangkap 74 orang terduga teroris, yang 65 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Polisi juga terus mencegah aksi keji terorisme ini dengan kontinyu dan mengawasi pergerakan kelompok NIIS di tanah air. Terbukti, polisi juga mencegah sembilan teror. Karena itu, penanganan tindak pidana terorisme dan deradikalisasi tetap menjadi skala prioritas Polri di tahun 2016 dan selanjutnya sampai terkikis habis. Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menjelaskan dari 74 orang yang ditangkap, 9 orang di antaranya dipulangkan karena tidak cukup bukti. Jumlah itu termasuk 10 terduga teroris yang ditangkap pada operasi 18-23 Desember 2015 terkait dengan rencana aksi teror yang didukung kelompok militan ISIS dan jaringan Jamâah Islâmiyah (JI). Aksi teror yang dicegah kepolisian antara lain penangkapan terduga teroris yang akan melakukan teror jelang perayaan hari Kemerdekaan RI di Solo, Jawa Tengah, penangkapan empat orang di Tasikmalaya Jawa Barat yang diduga merencanakan aksi jelang Natal, serta penangkapan satu orang di Bekasi Jawa Barat yang akan dieksekusi menjelang akhir tahun atau saat pergantian awal tahun baru. Menurut Badrodin Haiti, selama pencegahan terorisme periode 2004-2015, sebanyak 35 polisi meninggal dunia dan 67 polisi lainnya luka-luka. Penyebabnya antara lain aksi baku tembak dengan kelompok radikal teroris tersebut. Dari 171 aksi terorisme yang diungkap pada sepanjang tahun 2000-2015, Polri telah menangkap 1.064 terduga teroris. Dari 127
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), h.
149.
88
jumlah itu, 451 orang sudah bebas dari penjara. Selain itu, saat ini dari data Polri, sebanyak 408 Warga Negara Indonesia (WNI) berada di Suriah bergabung dengan NIIS (Negara Islam Iraq-Suriah). Adapun di Tanah Air, Indonesia, terdapat 543 orang yang menjadi kelompok inti NIIS, 246 orang penduduk NIIS, dan 296 orang menjadi simpatisan kelompok itu. Dalam menyampaikan refleksi akhir tahun kinerja Kepolisian di Mabes Polri Jakarta, dihadiri oleh Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris yang mengatakan kepolisian harus bersinergi dan berkoordinasi dengan Detasemen khusus 88 anti teror untuk melaksanakan program deradikalisasi.128 Di negeri kita, belum berselang lama, juga pernah terjadi kasus teror bom di ITC Depok, Jawa Barat, yang hingga kini pelakunya belum tertangkap. Dalam sederet contoh kasus tersebut, motif (faktor pemicu) menjadi penting dalam membaca misteri di balik sebuah aksi. Terbacalah beberapa motif (faktor pendorong), seperti depresi, penggunaan akibat narkoba, xenofobia, kriminal dan juga motif rasial, politik dan keagamaan. Begitu pun, adanya dampak yang ditimbulkan akibat aksi tersebut menjadi hitung-hitungan dalam pembacaannya. Keragaman motif dan dan kekuatan dampak ini menandakan, dalam aksi kekerasan tidak semua aksi kekerasan semata dapat dinyatakan sebagai aksi teroris. Mengapa? Aksi teroris yang bersumbu dari ―paham teror‖ mempunyai ―daya ledak‖ secara masif sehingga membawa pada keguncangan stabilitas negara. Bom Bali, misalnya ditetapkan sebagai ―dampak nasional‖ karena dampaknya yang sangat besar bagi negara.129 Berita paling termutakhir di awal tahun 2016 apa yang terjadi di kawasan jalan protokol Sarinah MH Thamrin. Ledakan bom dan baku tembak itu menewaskan tujuh orang meninggal, lima di antaranya teroris dan satu warga asing, dan satu lagi warga negara Indonesia seorang office boy (OB) pada sebuah perkantoran Sarinah yang waktu itu 128
Source: dilansir dari Harian Nasional KOMPAS dalam berita Politik dan Hukum, Rabu 30 Desember 2015, h. 5. 129 Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU, Membaca Bom Alam Sutera, artikel OPINI dimuat di Harian KOMPAS, Rabu 4 November 2015.
89
berkerumunan dengan masyarakat melihat peristiwa nahas, dan sekitar 20 orang luka-luka.130 Serangan bom di jalan Thamrin diduga melibatkan dua kelompok di Jakarta dan Cirebon. Para saksi yang ditangkap mengungkap skema perencanaan. Menggunakan cara dan bahanbahan sederhana, biaya perakitan bom tak sampai 2 juta rupiah. Bahkan dalam laporan utama Majalah Tempo, kepolisian republik Indonesia menyebutkan para pelaku teror di kawasan Thamrin, Jakarta, beberapa bulan lalu, terhubung dengan sejumlah pentolan kelompok radikal Tanah Air pendukung Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS). Setelah peristiwa berdarah itu, belasan orang ditangkap di sejumlah tempat. Sebagian dari mereka pemain yang disebut-sebut berhulu ke Aman Abdurahman, pemimpin Jamaah Ansharut Daulah yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kembang Kuning, Nusakambangan, Cilacap.131
4) Menginterpretasi Jihâd dan Terorisme secara Tepat Meskipun ‗mungkin benar‘ bahwa sebagian tindakan terorisme dilakukan oleh para fundamentalis yang menjustifikasi gerakannya sebagai jihâd fī sabīlillah, namun konsep jihâd sendiri itu harus dipahami secara komprehensif. Hampir bisa dipastikan, istilah jihâd merupakan salah satu konsep Islam yang paling sensitif, sering disalahpahami, diselewengkan dan dicemarkan, khususnya di dunia Barat modern. Pertanyaan penting yang dapat kita ajukan kepada penganjur radikalisme atau terorisme yang notabene beragama Islam adalah apakah benar tindakan mereka itu jihâd seperti yang diajarkan Islam? (meskipun secara sadar dan penuh keyakinan bahwa para teroris itu tidak memiliki jubah agama apapaun). Jangan-jangan para teroris yang mengaku berjihad itu tidak memahami makna jihâd yang sebenarnya. Mereka hanya tahu kulitnya saja, tanpa mengetahui isinya. Lebih berbahaya lagi, kalau ternyata apa yang mereka sebut sebagai jihâd itu ternyata adalah upaya penyelewengan teks (nash) Al-Qur‘an dan hadis (pendistorsian). 130
Headline News pada Harian Umum Republika, Jumat 15 Januari 2016 / 4 Rabi‘ul Awwal 1437 H, nomor 12 Tahun ke-24. 131 Majalah TEMPO, edisi 4448/25-31 Januari 2016, h. 30-33.
90
Dalam Al-Qur‘an dan hadis memang terdapat ayat-ayat dan matan (teks hadis)132 yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad. Namun, ayat dan matan yang berkaitan dengan konsep jihâd atau peperangan (qitâl)133 seringkali ditafsirkan secara serampangan. Penafsiran secara subjektif dan jauh dari nilai ilmiah inilah yang kemudian menjadi justifikasi sekaligus stimulus bagi banyak gerakan politik (harakah siyâsiyah) Islam yang pada gilirannya mencoreng wajah umat Islam secara keseluruhan. Dari sini kemudian muncul gerakan-gerakan yang mempolitisasi agama yang pada hakikatnya bertentangan dengan substansi agama itu sendiri dan kepentingan politik sekaligus dengan cara menafsirkan ayatayat Al-Qur‘an dan menggunakan hadis-hadis untuk melegitimasi kepentingan gerakan tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan peninjauan ulang terhadap pemaknaan konsep jihâd pada pemikiran klasik yang sudah sekian lama ditulis dan dipaparkan oleh para ulama yang kredibel dan autentik. Dibutuhkan semacam langkah kembali pada nilai-nilai pemahaman modern dan kontemporer. Menoleh makna dasar jihâd, pada prinsipnya jihâd berkonotasi pada upaya pengekangan hawa nafsu yang dimulai dari kondisi individu dan kemudian bisa mengkristal secara kolektif. Makna dasar ini penting untuk tetap dipegang, sebab pemaknaan ini mempunyai filosofi tentang eksistensi diri manusia sendiri. Dalam arti manusia terdapat sifat-sifat yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, diperlukan upaya netralisasi dan
132
Dalam literatur kitab hadis, pembahasan mengenai hadis-hadis jihâd ini diberikan space yang cukup besar. Biasanya dimulai dengan Kitâb al-Jihâd, atau Kitâb Fadhâil al-Jihâd, dan Bâb seperti Bâb mâ dzukira anna Abwâba al-Jannah tahta Dzhilâl al-Suyûf. Tercantum kitab Tuhfah al-Ahwadzī bi Syarhi Jâmi‟ al-Tirmidzī (Syarah Sunan al-Tirmidzī), oleh Imam al-Mubârakfûrī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2001), juz ke-5, h. 595-597. 133 Yang menjadi central problem adalah kata qitâl yang tidak boleh diartikan secara tekstual, harus kontesktual. Penelitian/pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis yang tertuju pada beberapa objek: misalnya struktur bahasanya apakah susunan kata dalam matan hadis itu sesuai dengan kaidah bahasa Arab atau tidak? Lalu apakah menggunakan kata-kata yang lazim dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad SAW atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literatur modern? Kemudian apakah redaksi hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian? Dan terakhir apakah makna kata tersebut misalnya dalam kasuistik ini qitâl, ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sama dengan makna yang dipahami oleh pembaca terjemahan hadis itu atau penelitinya, hal ini dilakukan demi menjaga otentisitas hadis dan jauh dari unsur politik. Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 76.
91
pembersihan diri secara kontinu agar eksistensi tersebut bisa terjaga dan berkembang secara sehat. Rupanya wacana tentang jihâd telah menarik atensi ilmuwan dan para pengamat Barat (Orientalis, mustasyriqûn) untuk menelusurinya lebih dalam. Kalangan orientalis mengumandangkan bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Bagi mereka, menurut Azyumardi Azra sebagaimana dirujuk Enizar, ketika mendengar ungkapan jihâd, maka muncul dalam ingatan mereka adalah angkatan perang muslim yang menyerbu ke berbagai wilayah dengan tujuan memaksa nonmuslim untuk memeluk Islam.134 Dapat diasumsikan bahwa nilai atraktif yang berkelindan di balik doktrin jihâd dalam Islam ini dilatari oleh dua asumsi. Pertama, secara tekstual, Al-Qur‘an dan hadis selaku pedoman dominan dasar ajaran Islam banyak mengurai tentang jihâd, sehingga memicu penggelut studi keislaman, baik dari kalangan ilmuan Muslim maupun non Muslim, untuk menemukan konteks pemaknaan dari signifikansinya dalam kehidupan kekinian. Kedua, menggejalanya paradigma keislaman yang revolusioner, skriptualis, ataupun radikal di kalangan umat Islam. Fenomena keislaman seperti ini, tak ayal telah meminimalisasi keagungan risalah Islam yang dikenal ―ramah‖ dan ―damai‖. Dalam hal ini, Dawam Rahardjo dalam Nasaruddin Umar, menyebut lima ilmuwan Barat (orientalis) yang mengulas doktrin jihâd. Di antara yang tertua adalah karya Andrean Reland (1718) yang mengulas hukum perang melawan Kristen yang membahas masalah jihâd sebagai doktrin utamanya. Dalam konteks Indonesia, Snouck Hurgronje dalam bukunya De Achehers (1894) yang mengurai doktrin jihâd dalam konteks masyarakat Aceh. Ilmuan lainnya adalah H. TH. Bobbrink (1901) yang menulis sebuah penelitian disertasi mengenai gerakan Cheragh ‗Ali di India yang memfokuskan kajiannya pada doktrin jihâd.
134
Enizar, Jihad ! the Best Jihad for Moslems (Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2007), h. xii.
92
Tokoh selanjutnya adalah A.J. Wensinck (1930) yang menghasilkan sebuah buku pedoman tentang hadis yang dalam versi Inggrisnya dijuduli The Handbook of Early Muhammadan Tradition. Buku ini juga memuat banyak uraian ―jihâd‖, kendati harus merujuknya pada entri ―perang‖. Ilmuan lainnya adalah Rudolf Peters dari Universitas Amsterdam dalam sebuah satu karyanya yang berjudul Islam and Colonialism: The Doctrine of Jihâd in Modern History (1979). Karya ini lebih menitikberatkan pada relasi antara Islam dan kolonialisme Barat, khususnya dampak kolonialisme terhadap Islam. Dalam Tesis ini, penulis mencoba menghadirkan pemikiran keislaman dari seorang ilmuan kontemporer yang terbilang kontroversial. Tokoh tersebut menamai dirinya Mark A. Gabriel yang hingga kini belum diketahui nama aslinya. Ia adalah seorang pemikir liberal di tengah kelompok dan lingkungan Muslim garis keras di Mesir. Dalam bukunya yang terkenal Islam and Terrorism (2002) yang setebal 235 halaman. Gabriel secara lugas mengukuhkan terjadinya relasi antara Islam dan terorisme, mulai dari akar terorisme dalam Islam hingga perkembangan jihâd di era kontemporer. Paling tidak, sejumlah pemikiran Gabriel akan penulis sajikan sebagai starting point untuk dievaluasi secara sistematis. Gabriel menyoroti eksistensi surat al-Qitâl sebagai nama lain dari surat Muhammad (47). Dari artinya, dapat dipahami bahwa surat al-Qitâl artinya adalah peperangan, dan tidak dijumpai nama surat lainnya yang bernuansa perdamaian. Berdasar pada penamaan surah ini, Gabriel dengan tegas menyatakan bahwa jihâd dan perang merupakan ajaran paling utama dalam Islam. Atas dasar itu juga, Gabriel menilai sejarah Islam sebagai ―sungai darah‖ (a river of blood). Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa (doktrin) Islam-lah agama yang berada di balik segala tindak terorisme, bukan kaum Muslimin. Gabriel berpandangan bahwa motif utama dari jihâd adalah untuk membasmi manusia yang tidak menerima Islam sebagai agamanya. Ia memahami bahwa praktik jihâd di zaman Nabi Muhammad SAW adalah memerangi warga Kristen dan Yahudi ataupun orang-
93
orang yang menyembah berhala. Salah satu ayat Al-Qur‘an yang dijadikan legitimasi pandangan bias Gabriel terhadap Islam adalah QS. al-Anfâl [8] : 39, yaitu:
ْ ٱٌذ هٛ هى٠ٚ ْ فِزٕخٛ ل ر هىَٝ٘هُ حزٛلزٍِهٚ ش١ظ ِ ْ ثٛعٍّه٠ ا فا ِ َْ ٱ َّلل ثِّبّٛٙلل فا ِ ِْ ٱٔز ِ َ ِ ٓ هوٍُّٗۥه٠ِّ ٦٦ ―Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.‖ (QS. al-Anfâl [8] : 39). Dalam ayat ini, term “jihad” dimaknai dengan term “struggle” yang didefinisikan sebagai berikut: “Fighting anybody who stands in the way of spreading Islam. Or fighting anyone who refuse to enter into Islam.” “Memerangi orang yang menghalangi penyebaran Islam. Atau, memerangi orang yang menolak untuk masuk Islam.”
Di samping itu, Gabriel juga menyatakan bahwa wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad SAW yang menceritakan perihal Yahudi tidak pernah bernilai positif, tetapi setelah Muhammad berhijrah ke Madinah, wahyu Al-Qur‘an yang menyebut term “Ahlul Kitâb” bahkan menjadi sangat dimusuhi. Di antara ayat yang dimaksud adalah QS. al-Anfâl [8] : 39 di atas. Pandangan lainnya adalah doktrin jihâd dalam Islam lebih memprioritaskan membunuh musuh, ketimbang menjadikannya tawanan perang, sebagaimana termaktub dalam QS. al-Anfâl [8] : 67, yaitu:
ٱ َّلل هٚ ب١ْٔ عشع ٱٌ ُّذٚ هذ٠ع ره ِش ِ ٱلسِٟهث ِخٓ ف٠ َٝ حزْٜ ٌٗۥه أعشٛ هى٠ ْ أِِٟب وبْ ٌِٕج ٤٤ ُ١ض ح ِى٠ٱ َّلله ع ِضٚ هذ ٱل ِخشح٠ ِهش٠ ―Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‖ (QS. al-Anfâl [8] : 67).
Penulis berasumsi mengutip Nasaruddin Umar, bahwa paradigma keislaman ala Mark Gabriel ini adalah paradigma yang banyak dipahami oleh mayoritas orientalis, terutama 94
terkait dengan doktrin jihâd dan perang135 dalam Islam. Penyebutan Mark A. Gabriel sebagai pengantar dalam uraian ini tidaklah bermaksud menafikan pemikiran Orientalis lainnya, tetapi telah dianggap representatif untuk mengetahui permasalahan krusial yang patut dievaluasi secara sistematis terkait dengan doktrin jihâd.136 Berikut ini pengulasan tentang terminologi jihâd serta prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai rujukan dalam membedah semantikal jihâd sampai ke akar-akarnya. Ulasan tersebut sangat penting mengingat pemaknaan dan pengaplikasian jihâd dalam wacana global internasional dan regional terjadi pergeseran, agar Islam benar-benar tercermin sebagai agama yang rahmatan lil „âlamīn, bukan agama teror. Makna jihâd yang berasal dari term j-h-d, jahada, yajhadu, juhdan, wa jihâdan, bila kita telaah dalam kamus mempunyai turunan kata (musytaq/derivasi) dari akar kata jâhada, yujâhidu, jihâdan, wa mujâhadatan lalu mujâhid (pelaku, pejuang di jalan Allah, orang yang melakukan aksi jihâd).
ِ ُم-ً وُماى َدة-اى ُد – ِجهادا ِ جاى َد – ُي اى ٌد َ َََ ًَ ََ َ
137
berusaha dengan sungguh-sungguh
َجد: يف األمر مبعٌت. أولو َج َه َد بزيادة األلف: جاىد
.أحرف ماضيو ثالثةً فقط من غَت زيادةٍ عليها ما كانت: وىو،ب ُمَرٌد ثُالَثِي ُ َ ََج َه َد َوْزنُوُ َكت 135
Di antara matan hadis bernada jihâd/perang yang bisa dianalisis lewat pendekatan bahasa yakni hadis dalam Sahīh Muslim Kitâb al-Īmân, bab al-Amr bi qitâl al-Nâs hatta Yaqûlû: Lâ ilâha illa Allâh. Hadis tersebut berbunyi: ―Aku diperintahkan untuk memerangi manusia (non-muslim) sampai mereka benar-benar mengucapkan syahadat, lalu mengakui bahwa Muhammad utusan Allah, mereka mendirikan salat, dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka melakukan perintah itu, maka selamatlah jiwa (darah) dan harta benda mereka karena memeluk Islam, dan semua urusannya milik Allah.‖ (HR. Muslim). Lihat Muslim al-Naisabûrī, al-Jâmi‟ al-Sahīh al-Musamma Sahīh Muslim (Semarang: Toha Putra, t.t), juz ke-1, h. 38. 136 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Pengantar: Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono Presiden RI ke-6 (Jakarta: Quanta Kompas Gramedia, 2014), h. 86-90. 137
Kata ini seimbang (wazan) dalam bidang ilmu Shorof, dengan kata
قَاتَ َل يُ َقاتِ ُل ُم َقاتَلَةً َوقِتَاالً ُم َقاتِ ٌل
yakni masuk dalam pembahasan kedua (al-mabhats al-tsâni), mazīd al-tsulâsī bi harfin wâhidin (dengan tambahan satu huruf setelah fa‟ fi‟il dan sebelum „ain fi‟il, lihat dalam Shorof Praktis: Metode Krapyak, oleh Muhtarom Busyro, Pengantar: KH. Ahmad Warson Munawwir dan KH. Atabik Ali (Yogyakarta: Menara Kudus, 2007), h. 82.
95
Kata jahada sepadan (wazan/seimbang) dengan kata kataba yang merupakan tsulasi mujarrad, di mana huruf madhi-nya hanya tiga huruf saja tanpa ada tambahan.138 Adapun derivasi-nya seperti berikut di bawah ini: mencurahkan segala kemampuan
: بذل وسعو: جاىد
perjuangan/berjuang di jalan Allah
: اجلهاد يف سبيل اهلل
percurahan tenaga, pikiran untuk mengambil hukum (bukan qoth‟ī) dari :
اإلجتهاد إصطالحا suatu dalil139
Dalam kamus Kontemporer Arab-Indonesia, makna jihâd seperti di bawah ini: tanah yang keras, tidak bertumbuh-tumbuh
140
Jihâd, perjuangan, jihâd (berjuang di jalan Allah)
: اد ج ُج ُه ٌد ٌ َج َه
جهاد يف سبيل اهلل: جهاد
Dalam versi lain, secara praktis, makna jihâd diinterpretasikan oleh al-Jurjâni, yaitu: seruan atau panggilan menuju agama Allah yang benar141
ِ : اْلَق ْ ُى َو الد َعاءُ إِ ََل الديْ ِن: اد ُ اجل َه
Pemaknaan jihâd dipaparkan juga dalam kamus al-Maurid, disebutkan: jihad; holy war; struggle (jihad; perang suci; perjuangan) :
effort; endeavor; attempt; exertion; strain; hard work
جهاد
: ُج ْه ٌد
138
Syaikh Musthafâ al-Ghalâyainī, Jâmi‟ al-Durûs al-„Arabiyyah: Mausû‟ah fī Tsalâtsati Azjâ‟ (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2005), h. 44. 139 KH. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 217-218. 140 Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus (al-„Ashri) Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998), h. 702. 141 Ali al-Jurjâni, al-Ta‟rīfât (Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003), h. 84.
96
(Usaha; upaya; percobaan; penggunaan; ketegangan; bekerja dengan keras)142 Dalam Kamus Istilah Kegamaan (KIK), makna jihâd diinterpretasikan: (1) perjuangan tiada henti dengan mencurahkan segala yang dimilikinya, baik nyawa, harta, maupun ilmu, hingga tercapai apa yang diperjuangkan dengan niat semata-mata mengharap rida Allah, (2) perjuangan menegakkan kalimah Allah.143 Jihâd dalam Al-Qur‘an adalah jalan terbaik untuk umat Islam demi merengkuh kesenangan di akhirat kelak, di mana di dalamnya manusia akan melihat sorga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir. Balasan tersebut akan diberikan kepada mereka yang mau berjihad/berjuang dengan harta dan jiwa mereka di dunia ini. Perhatikan firman Allah (QS. al-Shâf [61] : 10-12)
ِْ ثِٱ َّللٛ رهإ ِِٕه٠٦ ُ١ٌِ هىُ ِِّٓ عزاة أ١ ِرجشح رهٕ ِجٍٝا ً٘ أ هدٌُّ هىُ عٛٓ ءإِه٠ب ٱٌَ ِزُّٙ٠أ٠ ُغفِش ٌ هى٠ ٠٠ ّْٛش ٌَ هىُ ئِْ هوٕزهُ رعٍ ه١أٔفه ِغ هىُ رٌِ هىُ خٚ ٌُِ هىِٛ ًِ ٱ َّللِ ثِأ١ِ عجِْٟ فٚ هذِٙ رهجٚ ٌِ ِٗۦٛسعهٚ ُ ه١ هص ٱٌع ِظٛذ عذْ رٌِه ٱٌف ِ َٕ جِِّٟجخ ف١ِغ ِىٓ ؽٚ هشٙٔب ٱلِٙ ِِٓ رحزٞهذ ِخٍ هىُ جَٕذ رج ِش٠ٚ ُث هىٛهرٔه ٠٣ ―Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan menguntungkan yang akan dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan ber-jihâd di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika mau mengetahui. Niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga ‗Adn. Itulah kemenangan yang agung.‖ (QS. al-Shâf [61] : 10-12).
Di dalam Al-Qur‘an Al-Karim, term jihâd disebutkan sebanyak 41 kali, 9 di antaranya ada dalam ayat Makkiyah dan sisanya 32 kali disebut dalam ayat Madaniyyah.144 Ayat-ayat yang berbicara tentang jihâd di antaranya adalah (QS. al-‗Ankabût [29]: 6). Seperti di bawah ini ayatnya:
142
Munir Ba‘albaki dan Rohi Ba‘albaki, Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Penerjemah: Achmad Sunarto (Surabaya: Halim Jaya, 2006), h. 267. 143 Choirul Fuad Yusuf, dkk., Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu) (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015), h. 81. 144 M. Fuâd Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm (Kairo: Dâr el-Hadith Publishing, 2007), h. 224-225.
97
٤ ٓ١ِّ ٍ ع ِٓ ٱٌعِٟٕ هذ ٌِٕف ِغ ِٗۦ ئِ َْ ٱ َّلل ٌغِٙ هج٠ ذ فأَِّبِٙٓ جٚ ―Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. al-‗Ankabût [29]: 6).
Ayat lain yang bertemakan jihâd dan mengangkat senjata untuk berperang adalah seperti tercantum di bawah ini:
ِِٓ اٛٓ أهخ ِشجه٠ ٱٌَ ِز٦٦ ش٠ ٔظ ِش ُِ٘ ٌم ِذٍٝئِ َْ ٱ َّلل عٚ اّٛهُ ظهٍِ هَْٙٔ ثِأٛهمزٍه٠ ٓ٠أ ه ِرْ ٌٍَِ ِز ِِ هعٛهذِِّذ طٌَٙ هُ ثِجعغٙل دف هع ٱ َّللِ ٱٌَٕبط ثعؼٌٛٚ ا سثُّٕب ٱ َّللهٌٛهٛمه٠ ْ ِش حك ئِ َل أ١ ِش ُِ٘ ثِغ٠ِد ض٠ ع ِضِٞٛ ظ هشٖۥه ئِ َْ ٱ َّلل ٌم ٕ ه٠ ِٓ ٕظهش َْ ٱ َّلله١ٌٚ شا١ِّلل وث ِ َ ب ٱع هُ ٱٙ١هزو هش ِف٠ ِغ ِج هذٚ دٍٛطٚ ع١ ِثٚ ٥٦ ―Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.‖ (QS. al-Hajj [22] : 39-40. Jihâd secara leksikal (makna dalam kamus) adalah ―mengerahkan upaya‖, ―berusaha‖, ―berjuang keras‖, atau lebih tepatnya ia melukiskan usaha maksimal untuk melawan sesuatu yang salah. Para ahli linguistik membedakan definisi jahd dan juhd. Menurut Ibnu Manzhûr, seperti disitir Nasaruddin Umar, mereka memaknai juhd dengan kemampuan/kekuatan (thâqah), sedangkan jahd dengan rintangan (masyaqqah). Ada juga yang mengartikan sebaliknya, yaitu term jahd diartikan sebagai ‗rintangan‘, sedangkan juhd dengan ‗kemampuan‘. Jika dikatakan jâhada fi al-amr, berarti ia akan bersungguh-sungguh dalam urusan tersebut, sehingga merasa lelah karena berusaha maksimal mungkin untuk memperolehnya. Jika dikaitkan dengan musuh, maka frasa jâhada al-„aduwwa diartikan
98
sebagai ―membunuh musuh, mencurahkan segenap tenaga untuk memeranginya, dan mengeluarkan segenap kesungguhuhan dalam membela diri dari serangannya.‖145 Konotasi yang dimiliki kata jihâd sangat komprehensif. Pertama, mujâhadah, perang spiritual melawan dorongan hawa nafsu atau upaya sungguh-sungguh membangun nilai spiritual manusia. Kedua, ijtihâd, mencurahkan kemampuan guna menjustifikasikan hukum yang cukup rumit melalui metode yang ketat dan diproyeksikan untuk mencetuskan pendapat independen dalam yurisprudensi Islam (hukum fiqih), yakni dengan metode analogi (qiyâs) dengan menggunakan fondasi ratio-legis („illat) yang terpetik dari Al-Qur‘an dan hadis, membangun sisi intelektualitas seseorang. Ketiga, amar ma‟ruf nahi munkar; perjuangan menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan kaum muslimin untuk mengimplementasikan kewajiban-kewajiban syariat, serta menyesuaikan dengan normanorma etiknya. Keempat, qitâl fī sabīlillah; perang146 untuk membela agama dari sesuatu yang mengancamnya dengan kode etik yang telah dijelaskan dari Al-Quran dan hadis. Adapun jihâd secara terminologis menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylī, sebagaimana dikutip Tim Kodifikasi Lajnah Bahtsul Masâil Ponpes Lirboyo Kediri, yaitu mencurahkan kemampuan untuk menolak agresi orang-orang kafir dengan jiwa raga dan harta. Sedangkan menurut KH Said Aqil Siradj, jihâd merupakan ―upaya pencurahan tenaga secara fisik yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka bumi guna mengakurasikan tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Adapun berperang dengan 145
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Gramedia, 2014), h. 84-85. 146 Dalam kamus bahasa Arab, istilah teknis perang adalah qitâl, di sisi lain acap kali ditemukan tidak
ات ٌ َغ ْزَوةٌ ج َغَزَوyang bermakna peperangan, serangan, ekspedisi, agresi, dan perang itu sendiri, misalnya dalam frasa غ ْزوةُ ب ْد ٍر َ َ َ (perang badar), dan bahkan terkadang ِ menggunakan istilah lain seperti ات ٌ َوقْ َعةٌ ج َوقَ َعdalam contoh bentuk idhâfah ini ُت َ ْ ( َوقْ َعةُ صفperang shiffīn). selamanya begitu, terkadang menggunakan istilah
Lihat dalam M. Napis Djuaeni, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Istilah Politik-Ekonomi) Jakarta: Mizan Publika, 2006), h. 559 dan 830-831. Sebagai sebuah kasus, Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, memasukkan hadis-hadis tentang perang dalam Kitâb al-Maghâzī, dengan pengulasan berikutnya Bâb Qisshati Ghazwati Badr (Bab Kisah perang Badar), tidak menggunakan Kitâb al-Qitâl. Lihat Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, Fath al-Bâri bi Syarhi Sahīh al-Bukhârī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2004), juz ke-7, h. 320 dan 327.
99
mengangkat senjata hanyalah salah satu dari beberapa model jihâd. Seperti halnya masalah lain, jihâd diinstrusikan secara gradual (tadarruj, bertahap). Berikut ini fase-fase jihâd dalam wahana dakwah Islam yang dirumuskan ulama. Pertama, fase deffensive (difâ‟i); kedua, fase izin berjihad; ketiga, fase wajib jihâd; keempat, fase terakhir serta munculnya mazhab deffensive (difâ‟i), dan offensive (hujûmi).147 Dalam konteks berperang, terminologi jihâd menurut Hanafiyyah didefinisikan sebagai usaha dakwah untuk mengajak kepada agama yang haq (benar) dan memerangi orang yang menolak dan menentangnya baik dengan turun langsung ke medan perang atau dengan wujud partisipasi lain. Mâlikiyyah mendefinisikan jihâd sebagai peperangan antara umat Islam melawan kuffâr yang tidak memiliki ikatan rekonsiliasi damai dengan Islam dengan tujuan li i‟lâi kalimâtillah (untuk meninggikan kalimat-kalimat Allah). Menurut Hanâbilah, jihâd adalah agresi umat Islam yang diarahkan hanya kepada orang kafir, sehingga menurut versi ini perang menghadapi pemberontak (bughât), qutho‟ al-tharīq (perampok jalanan) bukan termasuk jihâd. Sedangkan terminologi jihâd menurut Syâfi‘iyyah adalah perang melawan kuffâr untuk melindungi eksistensi agama. Dari
variasi
bahasa
yang
digunakan
masing-masing
mazhab
dalam
mendeskripsikan jihad di atas, maka amaliah nyata untuk media mengekspresikan jihâd bagi individu atau kelompok Islam dapat dimanifestasikan dalam bentuk: a) menunjukkan masyarakat kepada ajaran tauhid dan ajaran Islam melalui media pendidikan, diskusi, penelitian atau meluruskan pemahaman, penyimpangan dan kesesatan akidah umat. b) jihâd dengan harta yang dialokasikan untuk kebutuhan dana sosial menegakkan masyarakat yang kuat. c) dengan perang difâ‟i (defensif) yakni jihâd diizinkan hanya sebatas untuk membela diri dari serangan musuh, tidak boleh mendahului menyerang, tidak boleh membunuh lawan
147
Tim Kodifikasi Purna Siswa Lirboyo Kediri, Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresi dan Progresif, Editor: KH. Said Aqil Siradj (Lirboyo: Madrasah Hidâyatul Mubtadīn Kediri Jawa Timur, 2005), h. 225-227. Lihat pula dalam Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 105.
100
yang telah menyerah atau membunuh selain pasukan perang. d) dengan perang hujûmi (ofensif) yakni umat Islam boleh diizinkan melancarkan serangan terlebih dahulu kepada orang-orang kafir atau musyrik. e) dengan perang habis-habisan atau perang total.148 Jihâd tidak identik dengan perang angkat senjata, pendefinisian itu bisa juga diaplikasikan secara kontekstual untuk membela tanah air Indonesia tercinta, seperti yang dahulu pernah digemakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh KH. Mohammad Hasyim Asy‘ari, yakni pada tahun 1945. Tatkala serdadu (pasukan) sekutu yang dipelopori Inggris datang ke Surabaya Jawa Timur pada November 1945, beliau secara tegas mengeluarkan resolusi jihâd guna memerangi sesuatu. Perang yang dimaksud beliau, sama sekali tidaklah dimaksudkan untuk membela nama agama semata, tetapi juga untuk membela tanah air dan bangsa. Pasalnya, dalam pandangan NU seperti ditegaskan dalam muktamarnya di Banjarmasin pada tahun 1936, membela tanah air dan bangsa berarti juga melindungi semua komunitas, baik Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu, aliran kepercayaan, maupun komunitas adat lainnya.149 Menurut Mufti Besar Mesir, Syaikh Ali Jum‘ah dalam Muchlis M. Hanafi, menyebutkan 6 (enam) syarat dan etika perang (jihâd/qitâl) dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme (irhâbiyyah),150 yakni: pertama, cara dan tujuannya jelas 148
Tim Kodifikasi DIFA Madrasah Hidâyatul Mubtadīn, Dimensi Doktrinal Studi Metodologis Dinamika Fenomenal (Lirboyo: Kediri Jawa Timur, 2007), h. 116-118. 149 Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 107. Di sisi lain, penggemaan persoalan perang faktanya dalam sejarah menjadi salah satu tema yang kerap muncul di kalangan umat Islam, di antaranya adalah khotbah dorongan berjihad (khutbah al-hats „ala al-jihâd). Riset Moch Syarif Hidayatullah berkesimpulan bahwa khotbah berjenis ini tidak terlalu banyak ditemukan yang terdokumentasi dalam bentuk tertulis, meskipun praktiknya mungkin banyak, terutama saat isu terkait terorisme dan semangat anti-Amerika Serikat hangat diperbincangkan. Sejauh ini baru khotbah dorongan berjihad (KDJ) yang berasal dari Aceh Abad XIX yang dapat ditemukan. Moch Syarif Hidayatullah, Khotbah Berjihad Perang Aceh Abad XIX (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2013), h. 6. Buku ini bermula dari Disertasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok, 2013. 150 Tindakan terorisme dalam bahasa Arab disebut Irhâbiyyah, pelakunya disebut irhâbī. Kata irhâbī dalam tataran disiplin ilmu shorof (morfologis), berasal dari kata arhaba-yurhibu-irhâban. Adapun kata Arhaba
(ب َ َخو, dan afza‟a ع َ َرو, (ar‟aba) ب َ أَفْ َزyakni َ )أَْرَىsinonim dengan kata: (rowwa‟a) ع َ أَْر َع, (khowwafa) ف menakut-nakuti, menggertak. Lihat Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2009), h. 48.
101
dan mulia; kedua, perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil; ketiga, perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memili damai; keempat, melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi; kelima, memelihara lingkungan, antara lain untuk membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, merusak rumah/bangunan; keenam, menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka. Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihâd dengan pengertian perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma‟ al-Fiqh al-Islâmī nomor 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional, poin kelima menyatakan, ―Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihâd,151 terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai pengertian yang sebenarnya.‖152 Dalam pandangan Syaikh Yûsuf al-Qardhâwi, terdapat empat definisi yang berbeda antara jihâd (al-jihâd), peperangan (al-qitâl), perang (al-harb), kekerasan (al-„unf), dan terorisme (al-irhâb). Jihâd adalah bentuk isim mashdar dari kata jâhada, yujâhidu, jihâdan, mujâhadah. Secara etimologi, jihâd berarti mencurahkan usaha (badzl al-juhd), kemampuan, dan tenaga. Jihâd secara bahasa berarti menanggung kesulitan. Kata jihâd kemudian lebih banyak digunakan dalam arti peperangan (qitâl) untuk menolong agama dan membela kehormatan umat. Akan tetapi, dalam penjelasan selanjutnya, kita akan tahu bahwa
151
Dalam disiplin ilmu Fiqih, ulasan mengenai tema jihâd dipaparkan secara terang-benderang, dan komprehensif. Misalnya dalam kitâb Nihâyat al-Zain fī Irsyâd al-Mubtadiīn, Syarah „ala Qurrat al-„Ain bi Muhimmât al-Dīn fī al-Fiqh „ala Madzhab al-Syâfi‟ī, karya masterpiece Syaikh Nawawī al-Bantanī. Beliau memulai bahasan jihâd dengan Bâb al-Jihâd diawali hukumnya, lalu golongan yang wajib ber-jihâd. Syaikh Nawawī al-Bantanī, Nihâyat al-Zain fi Irsyâd al-Mubtadīn (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), h. 328-334. Selain itu penulis dapati juga dalam kitab Fiqih yang lain, misalnya bahwa jihâd itu wajib, dan kewajiban itu terfokus pada tujuh persyaratan sampai pada pembagian ghanīmah (harta rampasan perang), lihat kitâb buah karya Taqiyyuddīn al-Dimasyqī, Kifâyat al-Akhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 165178. 152 Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 33-34.
102
di dalam Al-Qur‘an dan sunnah (hadis), jihâd memiliki makna yang lebih luas lagi daripada peperangan. Al-Qardhâwī mengutip Ibn al-Qayyim bahwa jihâd terbagi ke dalam tiga belas tingkatan, di antaranya jihâd melawan hawa nafsu, jihâd dakwah dan penjelasan, dan jihâd sabar. Sedangkan peperangan (qitâl) adalah bagian terakhir dari jihâd, yaitu berperang dengan menggunakan senjata untuk menghadapi musuh. Makna inilah yang banyak dipahami oleh orang-orang. Akan tetapi, baik dari segi derivasi maupun makna, peperangan (qitâl) berbeda dengan jihâd. Al-Qitâl adalah isim mashdar dari kata qâtala-yuqâtilu-qitâlanmuqâtalah. Dari segi makna, ia tidak sama dengan jihâd. Sebab, kata qâtala tidak sama dengan jâhada. Al-Qitâl diambil dari kata al-qatl, sedangkan al-jihâd diambil dari kata aljuhd. Kata al-qitâl dan berbagai derivasinya disebutkan dalam Al-Qur‘an sebanyak 67 kali. Lalu perang (al-harb). Peperangan (al-qitâl) yang berarti pertarungan militer tidak sama dengan perang (al-harb) dalam pemahaman zaman sekarang. Sebab, peperangan bukan sebuah kelaziman yang harus dilakukan dalam perang zaman modern, meskipun ia tidak bisa lepas dari perang. Pada dasarnya, perang bersifat militer dan menggunakan berbagai jenis senjata. Akan tetapi, pada zaman sekarang dikenal perang-perang yang lain, seperti perang kebudayaan, perang media massa, perang ekonomi, dan perang fisik. Perang pun biasanya dilakukan selama beberapa waktu, sebagaimana perang bangsa Arab jahiliyah atau perang Al-Basus antara bakr dan Taghlab lalu pernag Dunia I (1914-1919) dan perang Dunia II (1939-1945). Kata perang (al-harb) disebutkan oleh Al-Qur‘an sebanyak enam kali. Kemudian kekerasan (al-„unf), kekerasan berarti kasar (al-syiddah wa al-ghalzhah). Kata ini merupakan lawan dari halus (al-rifq) dan lemah lembut (al-layyin). Kata ini tidak ada dalam Al-Qur‘an, baik dalam bentuk mashdar, fi‟il, ataupun shifat. Yang terakhir adalah terorisme (al-irhâb), secara etimologi, al-irhâb diambil dari kata arhaba-yurhibu-irhâban yang berarti khawwafayukhawwifu-takhwīfan. Maknanya adalah memberikan ketakutan. Fi‟il tsulâsi-nya adalah
103
rahiba yang berarti khâfa (takut). Lawan dari takut adalah aman. Yang dimaksud dengan terorisme dalam pembahasan kali ini adalah menciptakan kondisi takut kepada orang-orang yang disebabkan oleh aktivitas militer, baik individu maupun kelompok. Pada dasarnya, tindakan teror adalah dilarang. Akan tetapi, teror ini bisa menjadi boleh jika dilakukan untuk tujuan-tujuan yang disyariatkan dan dengan menggunakan cara-cara yang disyariatkan. Jika tujuannya disyariatkan, tetapi caranya tidak, atau keduanya disyariatkan, dalam pandangan Islam, hal tersebut adalah haram.153
5) Penerapan Jihâd yang Salah Di Indonesia sendiri, acap kali sebagian umat Islam memahami agama secara sepotong-potong. Umat Islam perlu introspeksi diri dalam pemahaman keagamaan dan cara belajar agamanya. Sehingga tidak mengambil ayat Al-Qur‘an dan hadis Nabi secara tidak utuh, dan mengambil ayat tanpa mengaitkan dengan ayat yang lain dalam tema yang sama, atau mengambil hadis tanpa melihat hadis yang lain sebagai komparasi literatur (dirâsah muqâranah). Ada sebagian umat Islam Indonesia, yang memahami agama secara substansi sehingga lepas makna teksnya. Adapula penafsiran agama yang hanya mengambil dari makna tekstualnya, sehingga buta untuk membaca kontekstualnya. Kesimpulan yang diambil dari Al-Qur‘an dan hadis Rasulullah SAW hanya pemahaman yang sesuai dengan suasana diri dan selera hati, dan tentunya berdasarkan latar belakang keilmuannya (background knowledge), bahkan pribadinya saja tidak mau mengikuti penafsiran sahabat Nabi, tâbi‟in, tâbi‟it tâb‟in, dan ulama-ulama yang sudah diakui integritas dan kredibilitas keilmuannya. Pemahaman agama Islam itu harus holistik dan komprehensif (syâmil wa mutakâmil). Wajib mengaitkan suatu teks dengan konteks turunnya teks, bahkan juga harus 153
Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fī Dhau‟ Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan, 2009), h. xxv-xxxi.
104
dikorelasikan dengan konteks sosial-budaya yang dialami. Pemahaman Islam yang utuh dan paripurna akan melahirkan keberagaman yang menjadi rahmat bagi semesta alam.154 Interpretasi pemahaman keagamaan sejatinya menggunakan pendekatan yang menjembatani antara normativitas teks ilahi dengan historisitas realitas-empiris dan juga memadukan pendekatan tekstual (normative) dengan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara simultan. Tidak ada agama yang mengajarkan terorisme, kekerasan, dan kasar. Agama adalah sumber kedamaian dan ketenteraman, tetapi sebagian orang ada yang keliru dalam menafsirkan agama. Pemahaman yang keliru itu karena terjadi tafsiran monopolistic, misalnya atas penafsiran dan Terjemahan Al-Qur‘an pada ayat yang bertemakan perang (qitâl dan derivasinya), jihâd, khalīfah, khilâfah dan fitnah/adu domba. Radikalisme ialah ibu kandung dari terorisme meski tidak semua radikalis merupakan teroris. Menurut Irfan Idris, Direktur Jenderal Deradikalisasi BNPT, radikalisme menjadi negatif saat digunakan dengan cara mengatasnamakan agama. Itu sebabnya, terorisme memiliki dua ciri, yaitu mudah memberikan gelar kafir (takfīr) kepada kelompok lain yang tidak sealiran/sepaham, dan memahami makna jihâd secara sempit. Ini adalah salah satu contoh dari paham radikalisme berjubah agama.155 Keterlibatan individu dalam organisasi Islam radikal dan kesediannya melakukan aksi kekerasan dengan menggunakan modus teror selalu mengundang pertanyaan. Di antara pertanyaan yang muncul adalah tentang kekuatan yang mampu menggerakkan seseorang bertindak dengan begitu tenang, sementara resiko besar akan menimpa dirinya dan orang lain. pembahasan pada bagian ini coba menguak pertanyaan tersebut. Ada dua hal yang ingin diungkap. Pertama, justifikasi agama yang memberikan pembenaran terhadap aksi yang dilakukan individu. Kedua, gerakan kolektif atau gerakan sosial (social movement) sebagai suatu mekanisme yang digunakan oleh organisasi Islam radikal untuk mewujudkan cita154
Cholil Nafis, Islam Wasathi versus Islamofobia, kolom Opini Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25 November 2015/ 13 Shafar 1437 H. 155 Jurnal Bimas Islam Kementerian Agama, Edisi XXXIII, November 2015 M / Muharram 1437 H.
105
citanya yang di antaranya meniscayakan keberadaan individu yang memiliki karakter jihadis. Individu dengan karakter demikian bisa dicermati pada kutipan di bawah ini: “Saudaraku, aku wasiatkan kepada antum dan seluruh umat Islam yang telah mengazzamkan dirinya kepada jihad dan mati syahid untuk terus berjihad dan bertempur melawan setan akbar, Amerika dan Yahudi laknat. Saudaraku, jagalah selalu amalan wajib dan sunnah harian antum semua. Sebab dengan itulah kita berjihad dan sebab itulah kita mendapat rezeki mati syahid. Janganlah anggap remeh amalan sunnah akhi, sebab itulah yang akan menyelamatkan kita semua dari bahaya futur dan malas. Hati. Saudaraku, jagalah salat malammu kepada Allah Azza Wajalla. Selalulah isi malammu sujud kepada-Nya dan pasrahkan diri antum semua sepenuhnya kepada kekuasaannya. Ingatlah saudaraku, tiada kemenangan melainkan dari Allah semata. Kepada antum semua yang telah mengikrarkan dirinya untuk bertempur habis-habisan melawan anjing-anjing kekafiran, ingatlah perang belum usai. Janganlah takut cercaan orang-orang yang suka mencela, sebab Allah di belakang kita. Janganlah kalian bedakan antara sipil kafir dengan tentara kafir, sebab yang ada dalam Islam hanyalah dua, adalah Islam atau kafir. Saudaraku, jadilah hidup antum penuh dengan pembunuhan terhadap dengan orang-orang kafir. Bukankah Allah telah memerintahkan kita untuk membunuh mereka semuanya, sebagaimana mereka telah membunuh kita dan saudara kita semuanya. Bercitacitalah menjadi penjagal orang-orang kafir. Didiklah anak cucu antum semua menjadi penjagal dan teroris bagi seluruh orang-orang kafir. Sungguh saudaraku, predikat itu lebih baik bai kita daripada predikat seorang muslim, tetapi tidak peduli dengan darah saudaranya yang dibantai oleh kafirin laknat. Sungguh gelar teroris itu lebih mulia daripada gelar ulama. Namun mereka justru menjadi penjaga benteng kekafiran.”
Kutipan langsung yang cukup panjang di atas, bersumber dari MuslimDaily.Net yang dipublikasikan pada 9 November 2008. Judul yang dipilih MuslimDaily.Net adalah surat wasiat Imam Samudera. Nama Imam Samudera sangat popular dan merupakan salah satu orang yang paling diburu oleh pihak keamanan bersama pelaku lain peledakan Paddy‟s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, pada tanggal 12 Oktober 2002 yang kemudian dikenal dengan Bom Bali I. Bom Bali I merupakan serangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada Sabtu malam, 12 Oktober 2002. Aksi teror di salah satu destinasi
wisatawan
asing
itu
menewaskan
202
orang
yang
sebagian
besar
berkewarganegaraan asing. Sedangkan, sekitar 300 orang mengalami luka-luka, serta menghancurkan 47 bangunan. Pada 26 Nopember 2002, Imam Samudera alias Hudama alias
106
Abdul Aziz merupakan salah satu tokoh utama di balik peledakan itu, ditangkap Tim Gabungan Antiteror Bom dan Buser Polwil Banten di Pelabuhan Penyeberangan MerakBakauheni. Pada 9 November 2008, Imam Samudera bersama dua terpidana mati lainnya yang terkait dengan Bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron alias Mukhlas, dieksekusi mati. Pada usia yang tergolong remaja (teenager) itu, seperti diceritakan Muhammad Haniff Hassan, sebagaimana dikutip Syamsul Arifin, etos jihad Imam Samudera mulai terbentuk. Semangat atau etos jihâd Imam Samudera mulai terasah setelah membaca buku Abdullah Azzam yang terkenal, Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Dalam Jihâd Afghanistan (Allah‟s Signs in the Afghan Jihâd). Setiap kali selesai membaca buku itu, lanjut Muhammad Haniff Hassan, Imam Samudera berdoa agak kelak dapat datang ke Afghanistan sebagai syahīd yang dijanjikan surga oleh Allah. Imam Samudera memang tidak dapat mewujudkan hasrat jihâd dan mimpi indahnya sebagai mati syahīd156 yang akan dijemput oleh bidadari dari surga di medan perjuangan Afghanistan, tetapi justru harus mengakhiri hidupnya setelah diberondong peluru yang diselesaikan oleh Tim eksekutor hukuman mati, hukuman yang harus diterima setelah terlibat dalam aksi teror di Bali pada 2002. Tetapi, kendati tidak menjadi syahīd di Afghanistan, Imam Samudera tetap meyakini bahwa apa yang telah dilakukan bersama kawan-kawannya di Bali merupakan perwujudan jihâd (aktualisasi dari pemahaman jihâd). Bacalah pengakuan Imam Samudera dalam buku yang ditulisnya sendiri, Aku Melawan Teroris: “Berdasarkan niat atau rencana target, jelas bom Bali merupakan jihad fi sabilillah, karena yang jadi sasaran utama adalah bangsa-bangsa penjajah seperti Amerika dan sekutunya. Ini semakin jelas dengan adanya pembantaian massal terhadap umat Islam di Afghanistan pada bulan Ramadhan tahun 2001 yang disaksikan oleh hampir seluruh umat manusia di segala penjuru bumi. Bangsa-bangsa penjajah pembantai 156
Bom syahīd secara tegas para fuqahâ (ahli Fiqih) memaparkan bahwa membunuh orang-orang muslim tak berdosa adalah haram karena tergolong perbuatan destruktif (mafsadah), kecuali ketika mereka dijadikan perisai oleh tentara kafir. Tim Kodifikasi Lirboyo, Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresif dan Progresif (Perumus Lajnah Bahtsul Masâil Ponpes Lirboyo Purna Siswa: Kediri Jatim, 2005), h. 273.
107
kaum lemah dan bayi-bayi tak berdosa itulah yang disebut kaum musyrikin (kaum kafir) yang berhak diperangi sebagaimana dalam firman Allah:… “dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kaum semuanya dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Taubah [9] : 36).
Kurang lebih setahun setelah terbitnya buku Aku Melawan Teroris, Penerbit Pustaka Qaulan Sadida menerbitkan buku berjudul, Mereka adalah Teroris ! Bantahan terhadap Buku Aku Melawan Teroris ! Sebagaimana judulnya, buku yang ditulis oleh Luqman bin Muhammad Ba‘abduh ini merupakan bantahan terhadap buku Aku Melawan Teroris. Salah satu pandangan yang dibantah secara keras oleh Luqman bin Muhammad Ba‘abduh adalah aksi teror di Bali yang diyakini sebagai jihâd oleh Imam Samudera. Luqman mengkritik tindakan Imam Samudera, karena tidak saja telah menodai nama harum jihâd, akan tetapi juga mengaburkan makna jihâd di mata umat Islam. Keyakinian Imam Samudera bahwa orang kafir boleh diperangi, juga mendapatkan bantahan dari Luqman bin Ba‘abduh…‟‟tidak semua orang kafir itu diperangi. Ada beberapa kriteria dan batasan yang harus diperhatikan dalam hal ini.” Tidak diketahui secara pasti apakah Imam Samudera membaca buku yang menyerang keyakinannya itu (buku bantahan). Tetapi bisa dipastikan, kalau saja membacanya, Imam Samudera tetap bergeming dengan keyakinan yang dipegang secara kuat sejak usia remaja. Individu yang telah direkrut dan terlibat demikian dalam pada jaringan dan organisasi terorisme, biasanya sulit mengkorvensi keyakinannya dengan keyakinan yang lebih moderat. Keyakinan yang dipegang teguh oleh Imam Samudera juga akan dijumpai pada orang lain dan terus berkelanjutan sampai kapan pun. Dalam konteks ini, kekhawatiran sejumlah kalangan terhadap keberlanjutan radikalisme dan terorisme di Indonesia cukup tinggi, karena selalu ada saja faktor-faktor yang dapat menggerakkannya seperti keberadaan dan perluasan pengaruh ISIS. Melihat analisa dengan disertai data serta fakta yang aktual-
108
objektif terkait pemicu radikalisme dan teorisme yang terjadi secara ilmiah pada gilirannya menjawab tudingan miring MMI terkait problem kebahasaan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI. Dari hipotesa di atas, sangat tidak tepat bila Terjemah Al-Qur‘an Kemenag menjadi penyebab munculnya aksi brutal dan kejam (terorisme) di negeri ini. Di antara sebab-sebab yang telah disebutkan di atas menjadi counter discourse terhadap kesimpulan semu pola keagamaan organisasi fundamentalisme Islam politis tersebut. Sebab-sebab terjadinya terorisme menjadi sangat penting untuk diketahui, karena dengan mengetahui sebab-sebab yang melatarbelakanginya, maka dapat ditemukan langkah-langkah atau strategi yang tepat dan efektif untuk memberantasnya.
6) Penyebab Lahirnya Terorisme Fenomena aksi terorisme yang sering terjadi pada awal abad 21 ini disebabkan banyak faktor yang berjalin kelindan. Karena itu, penting sekali dikemukakan di sini sejumlah akar penyebab munculnya terorisme. Dalam lawatan ke Indonesia pertengahan Februari 2016 lalu, Grand Syaikh (Imam Besar) Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Syaikh Ahmad Muhammad Ahmad al-Thayyeb, seperti dalam wawancara eksklusif dengan Majalah Tempo, mengatakan bahwa gerakan Islam radikal dan sebagainya, seperti jaringan terorisme itu, memiliki agenda terselubung, tujuannya menciptakan kekacauan di negara-negara Arab, menciptakan suasana tidak stabil, dan mengubah peta geografis batas-batas di kawasan tersebut. Sebut saja ISIS, mereka melakukan manipulasi terhadap metode Islam yang moderat dan toleran. Munculnya gerakan-gerakan bersenjata ini (terorisme) disebabkan oleh banyak hal, antara lain: keputusasaan yang dialami oleh generasi muda, pendudukan Zionis terhadap Palestina, keterbelakangan ekonomi, dan pengangguran. Lanjut Grand Syaikh Universitas al-Azhar Kairo Mesir tersebut, untuk menghadapi genomena global semacam ini, yang pertama perlu kita lakukan adalah menjalin persatuan. 109
Kemudian, kedua, menjalin kerja sama dengan negara lain, negara-negara Barat, ataupun negara-negara Islam. Kita juga perlu menyelesaikan persoalan umat Islam yang bertikai. Itu perlu diselesaikan. Lalu sebarkan pemahaman yang benar bahwa Islam ataupun agama samawi lainnya hadir untuk membawa rahmat dan kasih sayang, menciptakan perdamaian di antara umat manusia. Lalu ajarkan pemahaman bahwa Islam agama toleran dan mengharamkan segala hal tentang terorisme. Kita juga harus membentengi ruang gerak mereka dengan mengepung konsep-konsep dasar atau teologis mereka yang menjadi pijakan gerakan terorisme itu, khususnya yang terkait dengan pengkafiran.157 Secara umum, munculnya tindakan terorisme disebabkan satu atau lebih dari faktor-faktor berikut di bawah ini: Pertama, persoalan ideologi. Ideologi menurut Yunanto dalam buku ‗Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara‟ sebagaimana dikutip Rohmawati adalah seperangkat kepercayaan yang menjadi dasar dari tindakan seseorang, sekelompok partai, atau negara. Ideologi berfungsi memberikan konsepsi, arah, tujuan, serta memberikan alasan dan pengaturan-pengaturan terhadap gerakan dan didesain dari aktivitas gerakan. Ia juga dapat berfungsi sebagai lem yang merekatkan individu yang terlibat dalam kegiatan. Ideologi adalah salah satu alasan yang digunakan orang atau kelompok tertentu (jaringan teroris) untuk melakukan tindakan kekerasan atau terorisme. Kelompok yang menggunakan ideologi sebagai dasar aksi penebaran tindakan kekerasan tercermin dari gerakan Zionis Israel dan juga gerakan komunis yang banyak tersebar di seluruh penjuru dunia, terutama sebagai bagian perluasan pengaruh dari negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan RRC. Ini terjadi terutama pada masa Perang Dingin. Alasan ideologi juga digunakan oleh beberapa gerakan militan Islam untuk menjustifikasi tindakan yang bernuansa kekerasan, serta dijadikan motivasi dan arah dalam aktivitas radikalnya. Oleh karena itu, sebarkan ideologi Pancasila. Pancasila adalah dasari ideologi bangsa Indonesia yang merupakan kontrak sosial 157
Disarikan dari laporan wawancara mendalam Majalah TEMPO dengan Grand Syaikh al-Azhar Kairo, Mesir, dimuat pada Edisi Khusus 4502/7-13 Maret 2016, h. 164-167.
110
seluruh elemen bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Pada saat ini, kelompok Islam radikal berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan syariat Islam, dan menggantikan sistem pemerintahan yang berdasarkan UUD 1945 dengan sistem pemerintahan Islam (khilâfah islâmiyah). Penanggulangan terorisme dan pemikiran radikalisme diharapkan akan dapat memahamkan kelompok radikal bahwa Pancasila bukanlah seperti yang mereka pikirkan selama ini, karena secara esensial Pancasila sudah berjalan dengan ajaran Islam.158 Kedua, soal perjuangan agama. Contoh kelompok-kelompok yang melandaskan diri pada perjuangan agama tertentu adalah kelompok-kelompok Islam radikal yang berkembang di seluruh dunia terutama yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam. Tujuan perjuangan kelompok tersebut adalah membangun negara Islam yang menerapkan hukum atau syariat Islam secara murni dalam hukum negara. Tujuan tersebut biasanya muncul disebabkan oleh ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut terhadap kebijakankebijakan pemerintah yang dinilai terlalu sekuler dan banyak didekte oleh kebijakan modernisasi negara-negara Barat, sehingga memarjinalkan kepentingan kaum Muslimin fundamentalis. Kelompok tersebut kemudian dikategorikan sebagai kelompok Muslim radikal karena cara-cara yang mereka gunakan dalam upaya mencapai tujuannya kerap kali melalui aksi kekerasan yang menimbulkan teror, baik secara langsung kepada pemerintah maupun masyarakat luas. Kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok ini adalah Al-Qaeda, HAMAS, Jamâah Islâmiyah (JI), dan yang paling terbaru adalah ISIS di Timur Tengah yang jaringannya meluas hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di samping itu pemahaman agama yang benar juga perlu dikedapankan. Sebab aksi terorisme dan kekerasan kerap kali menjadi pilihan cara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari sebuah organisasi radikal. Mereka secara umum bercita-cita sebuah tatanan masyarakat atau negara yang sesuai dengan keyakinan dan perjuangan mereka. Lihat saja bagaimana mereka tidak 158
Agus Surya Bakti, Merintis Jalan Mencegah Terorisme, sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Semarak Lautan Warna Press, 2014), h. 31.
111
mau menerima sistem hukum dan konsep pemerintahan demokrasi yang sudah berlaku di Indonesia misalnya. Hukum dan dasar negara yang ada dianggap buatan orang kafir yang sekuler dan layak diperangi. Pengelolaan tata negara juga kebarat-baratan, karenanya dalam pandangan mereka harus diubah menjadi sistem syariat Islam. Ketiga, adanya faktor ketidakadilan. Munculnya aksi-aksi terorisme dalam suatu negara itu terkait dengan kebijakan (policy), aturan, hukum pemerintah, atau pembangunan nasional yang tidak adil dalam kondisi realistis tatanan masyarakat yang pluralistik yang berlangsung lama dan tidak ada harapan adanya perubahan. Mereka (kelompok) yang termarjinalkan dan sakit hati terhadap pemerintah tidak bisa menyelesaikan permasalahan secara adil. Aksi-aksi kekerasan, menurut mereka merupakan satu-satunya cara untuk melakukan protes terhadap pemerintah. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat gerakan separatis yang melakukan aksi-aksi kekerasan dengan tujuan melepaskan diri dari wilayah negara berdaulat tempat mereka tinggal. Dasar perjuangan dari gerakan ini biasanya merupakan pencampuran antara kepentingan religius, etnis, dan dipengaruhi oleh kesenjangan ekonomi. Gerakan tersebut seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di Papua. Selain itu, juga ada gerakan separatis yang identik dengan pengajaran agama seperti kelompok Moro di Filipina Selatan atau Pattani di Thailand. Dalam konteks global, ketidakadilan ini juga dicontohkan oleh Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang memiliki super power untuk mengatur dunia. Kebijakan luar negeri AS selama ini sangat menyakiti hati umat Islam di dunia. Sebagai contoh, perlakuan AS yang diskriminatif terhadap Afghanistan atau Irak, bertolak belakang dengan sikap mereka terhadap perlaku Israel yang secara kasat mata berbuat semena-mena kepada rakyat Palestina. Kekecewaan umat Islam tersebut kemudian melahirkan kelompok-kelompok
112
radikal yang berusaha melawan AS dan sekutunya atas perlakuan tidak adilnya terhadao dunia Islam.159 Keempat, adanya kegaduhan sistem sosial-politik. Penggunaan kekerasan dan terorisme, khususnya dalam tradisi Islam modern, itu lebih banyak dipengaruhi oleh tantangan sistem sosial politik yang dihadapi, terutama hubungannya dengan negara. Lemahnya proses demokratisasi di banyak negara Muslim telah menciptakan frustasi dari sebagian masyarakat karena aspirasinya tidak ditampung oleh lembaga demokrasi yang ada. Pasca koloniasi, banyak negara Muslim yang belum secara penuh menerapkan demokrasi sebagai sarana mengakomodasi kepentingan masyarakat. Ketika demokrasi tersebut diterapkan dan gerakan-gerakan Islam politik berhasil masuk ke dalam kekuasaan secara demokratis, pemerintahan yang berkuasa cenderung untuk tidak mengakuinya baik didukung maupun tidak oleh Barat. Di sisi lain, sebagian gerakan-gerakan Islam politik ini sering melihat bahwa kuatnya posisi negara tersebut karena dukungan pemerintahan Barat. Di sini Barat dipersepsikan sebagai pihak yang berperan untuk tidak menerima gerakan Islam, baik melalui cara demokratis maupun nondemokratis. Ketika cara-cara demokratis konstitusional dihambat, sebagian dari gerakan ini menempuh cara-cara kekerasan untuk menperjuangkan tujuan politiknya. Dalam rangka mencapai tujuan politiknya, maksud-maksud suatu kelompok melakukan tindakan kekerasan dan terorisme antara lain sebagai berikut: 1. Memperoleh keuntungan melalui konsesi-konsesi tertentu, seperti uang tebusan, pembebasan tahanan politik, penyebarluasan pesan dan sebagainya; 2. Memperoleh publisitas (publish) luas. Teroris ingin menarik perhatian masyarakat luas kepada aspirasi perjuangan dan pengakuan terhadap eksistensinya sebagai pihak yang bersengketa. Karena biasanya 159
Alif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun 20002005 (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), t.h. Tesis di SPs UIN Jakarta.
113
kelompok teroris itu kecil, selain tidak memiliki penopang dana yang kuat maka untuk maksud itu, aksi terorisme yang dilakukan haruslah cukup dramatik dan menggemparkan agar di blow up oleh media massa.; 3. Menimbulkan kekacauan luas, demoralisasi, dan disfungsi sistem sosial. Ini adalah maksud tipikal dari kaum revolusioner, nihilis, dan anarkis, akan tetapi strategi ini sering gagal. Masyarakat yang sebelumnya mungkin bersimpati dengan tujuan perjuangan kaum disiden (orang yang tidak mau menurut pemerintahnya karena dianggap pemerintah itu salah (keliru), dan thâgût (pembangkang) itu akan ikut membantu penguasa memberantas terorisme yang membabi buta. 4. Memancing retalisasi dan atau kontra teror dari pemerintah sedemikian rupa sehingga menimbulkan situasi yang akan menguntungkan para teroris yang pada akhirnya bahkan mungkin dapat menggulingkan pemerintah; 5. Memaksakan kepatuhan dan ketaatan. Ini adalah maksud yang tipikal dari suatu pemerintah yang totaliter/fasis/diktator/monolitik. Teror yang dilakukan oleh pemerintah (state terrorism) terhadap rakyatnya sendiri bertujuan untuk menancapkan kekuasaan mutlak pada rakyat. Cara ini juga dipakai oleh organisasi teroris untuk maksud-maksud yang sama di kalangan para anggotanya; 6. Menghukum yang bersalah, atau dipandang sebagai simbol dari sesuatu yang jahat/salah, seperti orang-orang yang tidak setuju dengan tujuan perjuangan mereka, bekerja sama dengan penguasa bergaya hidup yang bertentangan dengan paham mereka dan sebagainya.160 Kelima, lemahnya sistem negara, dalam arti lemah sisi pertahanan dan keamanan negara, terlebih lagi ketahanan pemikiran dan pemahaman keagamaan . Serangan teroris bersenjata yang seringkali mengincer target lunak (soft targets) sangat membahayakan keselamatan seluruh warga negara. Serangan teroris seringkali tidak spesifik diarahkan pada kelompok tertentu. Serangan tersebut dilakukan pada target tanpa membedakan antara
160
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 47-51. Tesis di SPs UIN Jakarta.
114
kombatan dan non-kombatan. Oleh karena itu, seringkali jatuh korban dari masyarakat yang tidak memiliki keterlibatan dengan kelompok-kelompok yang pada dasarnya menjadi sasaran teroris itu sendiri.161 Negara yang kuat adalah negara yang mampu mengayomi dan mengontrol rakyatnya, memberikan hak-hak dan mampu memaksa mereka untuk menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Sebaliknya, negara yang lemah sulit sekali mengontrol dan menjalankan fungsi-fungsi negara dengan semestinya. Situasi seperti ini kemudian banyak dimanfaatkan oleh kelompok atau organisasi tertentu untuk merapatkan barisan, memoblisasi anggota, dan melakukan gerakan-gerakan tertentu dengan leluasa tanpa khawatir akan dibasmi oleh negara. Apalagi jika kepentingan politik elit tertentu dari penguasa negatif ikut bermain mata dengan mereka. Wahasil mereka akan semakin leluasa melakukan berbagai rencananya. Sebagai contoh, terlepas dari berbagai kritikan dan resistensinya, masa rezim Soeharto sangat kuat mengontrol berbagai elemen masyarakat. Karenanya, pada masa itu organisasi-organisasi Islam garis keras tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Karenanya, hampir tidak pernah ada pada masa itu peledakan bom, sweeping massa, mobilisasi jihâd, dan sebagainya. Sementara pasca rezim Soeharto, seiring isu demokratisasi yang semakin menguat, tanpa disadari negara begitu lemah untuk mengontrol mereka. Berbagai organisasi Islam garis keras tiba-tiba bermunculan. Mereka bahkan secara terangterangan mempertontonkan kekuatannya dengan dalih agama. Tak jarang mereka mengambil alih tugas-tugas kepolisian maupun TNI dalam hal yang berkaitan dengan ketertiban sipil. Parahnya, kekuatan mereka ini kemudian dimanfaatkan oleh elit penguasa tertentu untuk
161
Agus Surya Bakti, Merintis Jalan Mencegah Terorisme: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Semarak Lautan Warna Press, 2014), h. 33-34.
115
kepentingan politiknya. Sehingga yang terjadi kemudian simbiosis mutualisme antara elite dengan organisasi Islam garis keras tersebut.162
7) Negara Islam: Doktrin Paling Strategis saat ini Nabi Muhammad SAW bersabda: “Masa kenabian itu ada di tengah-tengah kalian, keberadaannya atas kehendak Allah. Allah mengangkat-Nya apabila Ia menghendaki untuk mengangkat-Nya. Kemudian masa khalīfah yang mengikuti jejak kenabian (khilâfah alminhâj al-nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong, otoriter (mulkan jabariyyan), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa khilâfah yang mengikuti jejak kenabian (khilâfah „ala minhâj al-nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dari Nu‘man bin Basyir dari Hudzaifah bin Yaman). Sabda Nabi Muhammad SAW di atas adalah sebuah berita ‗langit‘ yang diterima beliau untuk mengabarkan atas datangnya suatu sistem kepemimpinan dalam lingkungan umat Islam. Era kenabian, semua sepakat yakni sejak pengangkatan beliau sebagai Nabi, hingga wafatnya Rasulullah SAW (2 Rabi‘ul Awwal 11 H/8 Juni 632 M). Tentu saja masa setelah beliau wafat, sebagaimana dinyatakan dalam hadis di atas, adalah masa khilâfah yang mengikuti jejak kenabian. Pada masa ini ada empat orang khalīfah yaitu Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Usman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan empat orang khalifah ini disebut juga khulafâ al-rasyidûn, yang berarti khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk.
162
Arif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun 20002005 (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), t.h.
116
Setelah masa khulafâ al-râsyidīn tentu masa-masa kerajaan yang beliau sebut mulkan adhan dan dilanjutkan masa kerajaan mulkan jabariyyan. Dalam sejarah, kita mengetahui bahwa setelah khulafâ al-rasyidīn adalah khilafah bani Umayyah selama 90 tahun (661-750 M) di Damasykus. Dilanjutkan dari tahun 756-1031 di Kordoba, Spanyol. Setelah bani Umayyah runtuh digantikan oleh Daulah Abbasiyyah, berdiri selama 750-1258 M, dan pusat pemerintahannya berada di Baghdad.163 Hizbut Tahrir (selain MMI yang dikelompokkan sebagai fundamentalisme Islam politis) mengadopsi pendapat bahwa hanya dengan Khilafah-lah syariat Islam dapat diterapkan secara menyeluruh. Khilafah didefinisikan sebagai kepemimpinan umum dalam Islam di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat tiga ciri utama sistem khilafah. Pertama, khilafah merupakan kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruh dunia. Negara global tersebut dipimpin oleh satu orang khalifah untuk seluruh umat Islam. Dalam pandangan HT, berdasarkan hadis nabi, haram hukumnya umat Islam dipimpin oleh lebih dari satu pemimpin. Umat Islam hanya diperbolehkan memiliki satu orang pemimpin yang mengatur urusan-urusan mereka di dunia. Dengan demikian, khilafah yang ingin di bangun adalah satu bentuk pemerintahan global yang bertolak belakang dengan bentuk negara bangsa. Berdasarkan argumentasi tersebut, HT berpandangan bahwa paham nasionalisme yang berakar pada konsep negara bangas merupakan paham yang bertentangan dengan Islam dan haram untuk diyakini. Dengan kata lain, paham yang dianut oleh HT adalah paham anti nasionalisme dan menolak konsep negara bangsa Dalam pandangannya, nasionalisme merupakan salah satu faktor eksternal yang berperan dalam menghancur-kan institusi khilafah tahun 1924.164
163
Ahmad Syafi‘i Mufid, Berfikir Jihadis Divonis Teroris, Perjalanan Hidup Aktivis Muslim Indonesia dalam buku Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2015), h. xv-xvi. 164 Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 90-91.
117
Negara Islam (daulah islâmiyah) atau (sistem kepemerintahan Islam/khilâfah islâmiyah) dan jihâd hanyalah dua doktrin di antara senarai doktrin lainnya yang dipegang oleh organisasi garis keras dan disebarkan kepada pihak di luar, baik secara individual maupun kelembagaan. Selain kedua doktrin tersebut masih ada doktrin lainnya. Kajian yang dilakukan Solahuddin seperti dikutip Syamsul Arifin terhadap salafī jihadisme ditemukan empat doktrin kunci; yaitu: 1) Qitâl fī Sabīlillah, perang di jalan Allah SWT. 2) jihâd fardhu „ain, jihâd merupakan kewajiban individual bagi setiap muslim untuk merebut kembali wilayah Islam yang dikuasai oleh kaum kafir, baik kâfir ajnabī (kafir asing) maupun kâfir mahallī (kafir tempatan) seperti para penguasa murtad yang memerintah negeri-negeri Islam, 3) irhâbiyah (terorisme). Terorisme bahkan sasarannya kaum sipil diperbolehkan sebagai bentuk aksi qishâsh atau balas dendam, 4) tauhīd hâkimiyyah. Menurut doktrin ini, kedaulatan merupakan milik Allah mutlak dan karenanya hukum yang dijalankannya hanyalah hukum yang berasal dari Allah. Konsep ini berasal dari Sayyid Qutub dan Abul A‘la al-Maududi, dan keduanya menjadikan konsep hakimiyyah sebagai bagian dari tauhid. Konsep inilah, tauhīd al-hâkimiyyah, yang dikritik oleh kelompok salafi. Kelompok salafi menuduh bahwa konsep ini dijadikan legitimasi teologis untuk tujuan-tujuan politiknya.165 Perwujudan doktrin ini adalah dengan mendirikan negara Islam (Islamic state) atau daulah islâmiyah dalam nama syariat Islam untuk diterapkan. Bagi pihak yang menolak doktrin ini, dinyatakan kâfir kendati memeluk agama Islam.166
165
Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h, 355. 166 Menurut Azyumardi Azra, dalam konteks di Indonesia, masih ada kalangan kecil Muslim kita yang memandang pentingnya kesatuan antara Islam dan Negara (din wa daulah). Bahkan salah satu masalah ideologis dan sekaligus keamanan menyangkut Islam politik Indonesia dalam masa kontemporer, termasuk era reformasi adalah masih bertahannya sel-sel sisa gerakan Negara Islam Indonesia, biasa disingkat NII, yang sering juga disebut sebagai Darul Islam (DI, ranah Islam, atau Negara Islam ideal). NII diproklamasikan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo (1905-1962) pada Agustus 1949 di Cimambang, Jawa Barat. Azyumardi Azra, Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang, dalam Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 21, No. 1, 2014, h, 177-182.
118
Kajian Petrus Reihard Golose menemukan doktrin yang secara substantif memiliki kesamaan dengan doktrin yang dikemukakan Solahuddin, yaitu 1) daulah islâmiyah. Tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi garis keras adalah mendirikan negara Islam yang melampaui batas-batas negara. Dalam imajinasi organisasi garis keras, negara Islam kelak dipimpin oleh seorang khalīfah (dengan sistem khilâfah islâmiyah, bukan pancasila misalnya kalau konteks Indonesia). 2) hijrah. Doktrin ini menuntut setiap muslim meninggalkan kenikmatan duniawi untuk berjuang di jalan Allah. Untuk melakukan hijrah, setiap muslim perlu berpegang teguh terhadap nilai-nilai sebagai berikut: al-wala‟ wal bara‟ (loyal dan memberi dukungan kepada kelompok dan tidak bersekutu dengan orang-orang yang dianggap kafir; takfir (menyatakan pihak lain yang tidak sepaham dengannya). Jamâ‟ah (meyakini bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan); bai‟at (bersumpah setia kepada pemimpin dan organisasi); 3) makna jihâd. Doktrin ini menuntut perjuangan secara nyata (fisik dan materi) melawan musuh-musuh Allah. Untuk melakukan jihâd ini, pelakunya bahkan didoktrin melakukan aksi bunuh diri sebagai salah satu cara mencapai kesyahidan (istisyhâd).167
C. Teks Keagamaan dan Pola Keislaman Perjalanan sejarah di satu sisi telah melahirkan nilai-nilai dan capaian kumulatifnya, dan teks keagamaan di sisi lain, tetaplah sama seperti sejak masa formatifnya. Kenyataan bahwa teks (nash) bersifat terbatas, sedangkan realitas (wâqi‟‟i) terus berkembang, menuntut para sarjana Muslim, khususnya di bidang tafsir Al-Qur‘an untuk melakukan penafsiran (interpretation) yang cocok dengan denyut nadi perkembangan zaman. Berbeda dengan para mufassir sebelumnya yang lebih banyak bergulat pada tataran bahasa 167
Syamsul Arifin, Multikulturalisme dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan Keagamaan Radikal di Indonesia, Proceeding Annual International Conference (AICIS), buku ke-2, Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems (STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014) h. 175-176.
119
dan perdebatan teologis, penekanan para sarjana Muslim modern dalam mengkaji Al-Qur‘an adalah pada pentingnya melihat teks Al-Qur‘an dalam hubungannya dengan konteks.168 Agama, seperti dinyatakan banyak orang, dapat dilihat sebagai instrumen ilahiah untuk memahami dunia. Islam, dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang ―hadir di manamana‖ (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa ―di mana-mana‖, kehadiran Islam selalu memberikan ―panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.‖ Pandangan ini telah mendorong sejumlah pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total. Penubuhannya dinyatakan dalam syariah (hukum Islam). Bahkan sebagian kalangan Islam melangkah lebih jauh dari itu: mereka menekankan bahwa ―Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.‖ Tak diragukan lagi, mereka percaya akan sifat Islam yang sempurna dan menyeluruh sehingga, menurut mereka, Islam meliputi tiga ―D‖ yang terkenal itu; yaitu din, agama; dunya, dunia; dan daulah, negara. Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu mengejutkan, meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam kontemporer menyaksikan sebagian umat Islam yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan sosial, ekonomi, dan politik pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya. Ekspresi-ekspresi dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi Islam, atau fundamentalisme Islam.169 168
Cucu Surahman, Tafsir Kontekstual Jaringan Islam Liberal (JIL): Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudûd, dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies - Vol. 2, No. 1, 2013, h. 63. 169 Gambaran tentang sifat-sifat gerakan Islam ini dalam pandangan Deliar Noer bisa membingungkan karena dikesankan ajaran Islam itu pun bisa bermacam-macam. Selain tiga nama gerakan itu, ada lagi penamaan gerakan Islam baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Misalnya, Islam liberal, Islam ekstrim, Islam skriptualis, Islam politik (yang sering dipertentangkan, sekurang-kurangnya dibedakan dari Islam kultural), Islam inklusif, Islam substansialistik, Islam militan, Islam radikal, Islam formalistik, dan banyak istilah lain. Acap kali pula, penamaan yang diletakkan ini lebih memandang sudut tertentu dari gerakan yang dimaksud, sedangkan inti atau isinya bisa sama, sekurang-kurangnya dalam pemahaman. Penamaan itu pula yang lebih
120
Pandangan holistik terhadap Islam sebagaimana diungkapkan di atas mempunyai beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan itu telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang ―literal‖, yang hanya menekankan dimensi ―luar‖-nya. Dan kecenderungan seperti ini telah dikembangkan sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi ―kontekstual‖ dan ―dalam‖ dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersirat di balik ―penampilanpenampilan tekstual‖-nya, hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan, maknanya. Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara kaum muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Al-Qur‘an sebagai instrumen ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia. Mengakui syariah sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh merupakan suatu hal, sementara memahaminya secara benar adalah hal yang lain lagi. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman umat Islam terhadap syariah. Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang disebut Mohammed Arkoun seperti kutipan Bahtiar Effendi, sebagai ―estetika penerimaan‖ (aesthetic of reception), sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman. Dalam kritik-kritiknya, Arkoun mengatakan bahwa selama ini perhatian begitu besar dicurahkan oleh para sejarawan. Karena begitu, orang-orang Islam pada umumnya mengabaikan unsur-unsur aesthetic reception, yakni ―bagaimana sebuah diskursus–terucap maupun tertulis–diterima oleh pendengar atau pembaca. Soal ini, merujuk pada kondisi persepsi masing-masing budaya, atau lebih tepatnya, masing-masing tingkatan budaya yang berhubungan dengan masing-masing kelompok sosial pada setiap fase perkembangan sejarah. Kecenderungan intelektual yang berbeda—apakah motifnya untuk mengetahui makna doktrin yang sebenarnya, yang secara dikaitkan dengan suara dari sesuatu kelompok-apakah keras atau lunak, apakah dengan nada memerintah atau memaksa atau dengan nada untuk menumbuhkan kepahaman. Akibatnya, seseorang bisa juga menjadi bingung dibuatnya. Yang jelas, umat pun termasuk Indonesia, kurang menyatu, memperlihatkan lebih banyak keasingan antara sesama. Lihat Deliar Noer, kata pengantar dalam buku Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju Mizan, 2002), h. xiii-xiv.
121
literal terekspresikan dalam teks, atau untuk mengetahui prinsip-prinsip umum dari suatu doktrin, di luar ekspresi literer dan tekstualnya—dalam upaya untuk memahami syariah dapat berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai suatu doktrin. Karenanya, kendatipun setiap orang Islam menerima prinsip-prinsip umum yang tertuang dalam syariah, pemahaman mereka tentang ajaran Islam diwarnai perbedaan-perbedaan.170 Benny Hoedoro Hoed mengatakan bahwa teks keagamaan adalah teks yang subtansinya didominasi oleh tema dan topik-topik yang bersumber pada satu agama atau lebih. Kitab suci adalah teks keagamaan yang bersumber pada satu agama. Pembicaraan kita akan difokuskan pada teks yang bersumber pada satu agama, khususnya Al-Qur‘an. Tentu saja ada teks keagamaan yang bukan kitab suci, seperti karya teologis dan karya sastra keagamaan. Dunia teks keagamaan adalah teologi dan budaya agama tertentu, seperti Islam dan Kristiani. Oleh karena itu, untuk memahami teks keagamaan wajib menguasai teologinya. Kalau tidak, bisa saja terjadi kesalahan dalam menafsirkan teks atau bagian teks yang bersangkutan dan menafsirkan calon pembacanya. Dalam penerjemahan teks keagamaan, pemahaman konsep-konsep teologi menentukan bagaimana memahami teks asli dan bagaimana menetapkan terjemahannya. Di samping itu, kita juga harus memahami alat kebahasaan (retorika) yang digunakan dalam komunikasi tertulis ataupun lisan. Selain itu, masalah pokok yang kita hadapi dalam penerjemahan kitab suci kelihatannya ada pada pembacanya, yakni yang berkaitan dengan keberterimaan dan penafsiran. Dalam keadaan demikian, penjelasan dan penafsiran oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam agama yang bersangkutan menjadi ―penerjemah‖ dan rujukan bagi umat yang hanya dapat membaca dalam bahasa terjemahannya, dalam hal ini Al-Qur‘an terjemahan dari lembaga atau orang-orang yang dianggap mempunyai otoritas tersebut.
170
Bahtiar Effendi, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara Doktrin dan Kenyataan Empirik, dalam kata pengantar buku M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. ix- xiii.
122
Kemudian, hal yang menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah metafora yang digunakan dalam Al-Qur‘an dan penafsirannya yang terwujud dalam terjemahan bahasa Indonesianya. Metafora (majâz) lainnya yang menarik adalah penggambaran Allah yang seolah-olah memiliki tangan (QS. Ali Imrân: 73); wajah (QS. al-Qashâsh: 88); dan mata (QS. Hûd: 37). Padahal, dalam teologi Islam, Allah itu tidak berbentuk sama sekali. Ternyata, dalam terjemahannya hanya kata tangan yang muncul dalam terjemahan Indonesianya, sedangkan yang lain muncul dengan tafsirannya yaitu ―Allah‖ (untuk wajah) dan ―pengawasan‖ (untuk mata). Di sini penerjemah memperhatikan segi keberterimaan oleh umat pembaca yang sudah diajari agar memandang Allah sebagai ―zat‖ yang tidak berbentuk. Dalam hal ini, wajah, tangan, dan mata dipahami dan ditafsirkan sebagai metafora. Sementara itu, dalam tulisan keagamaan Islam dan sastra, tidak jarang kita menemukan frasa wajah Tuhan, tangan Tuhan, dan mata Tuhan, tetapi umumnya dipahami sebagai metafora. Lalu, dalam penerjemahan teks keagamaan, ―jarak budaya‖ dan ―jarak waktu‖ harus mendapat perhatian yang cukup agar penerjemahan dapat berhasil baik.171 Sebagaimana halnya Al-Qur‘an, kitab-kitab agama lain juga memiliki dimensi kemanusiaan. Tanpa keterlibatan dan interaksi manusia dengan teks-teks keagamaan tersebut, pesan-pesannya, tidak akan dimengerti, dicerna, dihayati apalagi diamalkan. Namun, karena tingkat intelektualitas dan kedalaman spiritualitas manusia berbeda, dengan sendirinya kadar pemahaman dari hasil interaksi tersebut berbeda pula. Salah satu yang menimbulkan pemahaman beragam adalah sulitnya dipastikan apakah suatu teks harus dipahami secara literal atau simbolis. Sebab, pada dasarnya, teks-teks keagamaan bagaikan samudera luas dari kata-kata yang terkadang diuntai dalam kalimat-kalimat perlambang, dan tidak jarang diungkapkan dalam kata-kata yang mengandung metafor atau makna bersayap. Jelasnya,
171
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 33-38.
123
suatu teks hanya dapat dimengerti kandungannya secara pasti oleh wujud yang menciptakannya. Sebagai akibat dari perbedaan pemahaman dan sudut pandang atas teks-teks tersebut, konflik intern dalam suatu kelompok keagamaan sering tak terelakkan. Dalam lingkungan Kristen, misalnya, kita dapati gereja-gereja Ortodoks, Roman Katolik, Anglikan, Protestan, berikut sekian banyak afiliasinya. Dalam Islam, kita dapati dua kelompok besar; Sunnah, Syiah dengan aneka ragam cabangnya. Demikian pula, dalam lingkungan agama Budha kita dapati Theravadam Mahayana dan Hinayana, dan di Hindu ada Vaishnavisme, Shaivisme, dan Saktisme sebagai sekte-sekte utamanya. Sehubungan dengan luasnya spektrum pemahaman teks-teks keagamaan kita jumpai dalam literatur ilmu Al-Qur‘an, misalnya tema-tema tafsīr dan ta‟wīl. Tafsīr, menurut sementara ahli, menunjuk kepada penjelasan aspek lahiriyah (eksoteris) pesan-pesan teks, sedang ta‟wīl menunjuk kepada pengertian aspek batiniah (esoteris) teks. Di samping itu, Al-Qur‘an sendiri membagi teksteks kepada dua kategori: muhkam (tidak mengandung arti beragam) dan mutasyâbih (yang dapat memberi sekian banyak arti). Tingkat daya persepsi dan pengertian penerima teks membuat perbedaan pemahaman teks lebih runyam lagi. Menurut Ibnu Arabi, sufi besar Islam (1165-1240), setiap teks Al-Qur‘an mengandung tujuh tingkat pengertian yang berbeda akibat perbedaan kapasitas daya tangkap penerima teks tersebut. Daya tangkap Jibril yang menerima AlQur‘an dari Allah berbeda dengan daya tangkap Nabi Muhammad yang menerimanya dari Jibril. Lalu, daya resap sahabat Nabi yang menerimanya dari Nabi, berbeda pula. Begitu seterusnya, kapasitas dan kadar pemahaman para ahli, manusia biasa, juga bertingkat dan berbeda. Karena itu, hampir semua teks suci memiliki khazanah yang kaya dengan aneka ragam corak dan penekanan penafsiran. Penafsiran itu antara lain mencakup penekanan aspek sastra bahasa, filsafat, teologi, tasawuf, sosial-budaya, dan lain sebagainya. Karena itu,
124
keragaman pemahaman terhadap teks keagamaan dalam suatu kelompok keagamaan adalah sangat wajar, dan dapat dimengerti. Apalagi jika perbedaan-perbedaan itu tidak menyentuh prinsip-prinsip dasar ajaran agama yang bersangkutan.172 Oleh sebab itu, gagasan tentang pentingnya melakukan deradikalisasi penafsiran AlQur‘an terkait ayat-ayat yang terkesan ―radikal‖ menjadi sangat penting agar seseorang tidak terdorong melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Sebab bagaimanapun produk tafsir (begitu juga terjemahan) ikut berperan dalam memberikan warna pemahaman Islam kepada masyarakat. Jika mereka lebih sering dikenalkan model pemahaman Islam yang radikal dan tidak toleran, niscaya mereka akan tumbuh menjadi muslim/muslimah yang radikal dan tidak toleran. Sebaliknya, jika kita lebih banyak memperkenalkan nilai-nilai Islam yang moderat dan toleran berbasis pada nilai Al-Qur‘an yang rahmatan lil „âlamin (rahmat bagi semesta alam), diharapkan kelak mereka menjadi muslim atau muslimah yang toleran di tengah masyarakat Indonesia yang multikultur173 dan tetap komitmen (committed) terhadap ajaran Islam. Dengan begitu, maka visi dan misi Islam sebagai agama rahmatan lil „âlamin (peaceful Islam) dapat teraktualisasi secara nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultur dan multi agama. Pendek kata, meneguhkan kembali wajah Islam 172
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1998), h.
61-62. 173 Indonesia menjadi teladan multikulturalisme karena terbentuk dengan kekayaan etnis, agama, dan tradisi. Bangsa Indonesia unik dari segi kebangsaan dan kesatuan sehingga bisa menjadi teladan dalam melawan narasi intoleransi. Seyogyanya dikembangkan cita-cita nasionalisme dalam semangat keagamaan yang damai. Negara-negara Eropa terbentuk dari kebudayaan monolitik. Multikulturalisme merupakan sesuatu yang baru bagi mereka sehingga ada kedatangan orang-orang yang berbeda suku bangsa, rasa tau agama ke wilayah mereka, kata Robert Hefner, seorang Antropolog dari Universitas Boston Amerika Serikat dalam ceramah bertema “Gagasan dan Kelompok Intoleran di Indonesia Beserta Tantangan ke Depan” yang digelar Grup Mizan di Jakarta, Rabu 13 Januari 2016. Hefner mengungkapkan, sekarang saatnya bagi Indonesia tampil dan menunjukkan kepada dunia bahwa nasionalisme bisa dicapai tanpa bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Keragaman yang ada justru memperkuat semangat untuk bersatu dan membentuk identitas kebangsaan Indonesia. ―Ini yang membedakan Indonesia dari Yugoslovia dan Uni Soviet. Jika dilihat berdasarkan deskripsi Tariq Ramadhan dalam bukunya Radical Reform bahwa Indonesia adalah satu-satunya Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang sukses menggabungkan duniawi yang empiris dengan cita-cita yang normatif. Tafsir keagamaan bisa dibahas dan disandingkan dengan metode ilmiah. Indonesia bisa meninjau kembali tafsir-tafsir keagamaan yang moderat (tawassuth) untuk diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Negeri ini juga dinilai berhasil dengan organisasi masyarakat keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang memperjuangkan cita-cita keagamaan melalui pendidikan dan layanan kesehatan bagi publik. Suasana persahabatan dan bernegara memiliki unsur multikulturalisme yang tinggi. Dimuat pada Harian Umum KOMPAS, Kamis 14 Januari 2016.
125
yang teduh, santun, toleran, dan damai harus menjadi komitmen bersama, tanpa kehilangan wibawa dan harga diri di mata umat yang lain.174 Berkaitan dengan sub tema pembahasan yaitu teks keagamaan dan pola keislaman, maka jelas terdapat relasi/hubungan antara bahasa yang dalam hal ini terfokuskan pada teks keagamaan (kitab suci) dan pola keagamaan seseorang. Suatu teks keagamaan dapat mempengaruhi pola keagamaan/cara pandang (mindset) seseorang atau suatu kelompok sosial masyarakat. Pemahaman setiap individu terhadap teks kitab suci Al-Qur‘an tentu berbeda-beda dan tentunya akan membuahkan/memperlihatkan pola keagamaannya dalam kehidupannya sehari-hari. Dan ini merupakan bagian dari ekspresi bahasa non verbal melalui tindakan nyata. Ada yang secara literal memahaminya dan ada juga yang kontekstual. Selain itu, ada bahasa verbal yang dikemukakan melalui komunikasi tindak tutur. Seperti nanti akan dijelaskan secara terperinci dalam bab selanjutnya, bahwa kualitas/kemampuan komunikasi mencerminkan pola pikir seseorang. Bahasa yang runut, sistematis, dan logis, menunjukkan sang pembicaranya/penuturnya memiliki cara pandang yang baik pula. Begitu juga sebaliknya, bila bahasa yang diucapkan keras, kasar, dan cenderung radikal/ekstrim maka hasilnya pun akan terlihat dalam tindakannya. Teroris yang melakukan aksi pengeboman tidaklah lain menegaskan bahwa pemahaman dia yang sempit dan tekstualis atas teks-teks keagamaan, khususnya yang bercorak dorongan jihâd.
D. Teori Semantik Mentalisme Noam Chomsky (Kajian Kebahasaan) 1. Pengantar Semantik Dalam berbagai kepustakaan linguistik175 disebutkan bidang studi linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Kalau istilah ini
174
Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran Al-Qur‟an Dalam Konteks Keindonesiaan yang Multikultur, Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. 6, No. 2, 2013, h. 150.
126
tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis tidaklah sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut wacana dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi. Dari bangun-membangun kebahasaan itu, kita bisa bertanya, di manakah letaknya semantik? Setiap bahasa memiliki ciri-ciri yang khas dalam bidang semantik, sesuai dengan pengalaman-pengalaman ekstra linguistiknya, dan ciri-ciri khas yang dipengaruhi oleh struktur bahasa dan lingkungannya masing-masing.176 Semantik dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau di semua tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh karena itu, ―penamaan‖ tataran untuk semantik agak kurang tepat, sebab dia bukan satu tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan merupakan unsur yang berada pada semua tataran itu, meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak sama. Oleh karena itu pula, barangkali, para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan masalah makna ini, karena dianggap tidak termasuk atau menjadi tataran yang sederajat dengan tataran yang bangun-membangun itu. Hockett (1954), salah seorang tokoh strukturalis 175
Kata ―linguistik‖ berasal dari kata Latin, lingua, yang berarti bahasa. Kata ini masih dijumpai dalam banyak bahasa yang berasal dari bahasa Latin, misalnya Perancis (langue, langage, parole), kalau Italia (lingua), atau Spanyol (lengua), dan dulu bahasa Inggris juga pernah meminjam dari bahasa Perancis kata yang sekarang berbunyi ―language‖. Sesuai dengan asal ―Latin/Roman‖ itu, ilmu bahasa dikenal dalam bahasa Inggris dengan linguistics dan linguistique yang dipungut dari bahasa Perancis. Istilah linguistics dalam bahasa Inggris berkaitan dengan kata language itu, seperti dalam bahasa Perancis istilah linguistique berkaitan dengan langage. Linguistik dalam bahasa Indonesia adalah nama bidang ilmu, dan kata sifatnya adalah ―linguistis‖ atau ―linguistik‖, merupakan ilmu yang mempelajari bahasa secara ilmiah, menjadikan bahasa sebagai objek dan tujuan kajian ilmiah sebagaimana adanya (deskriptif) sehingga dapat diungkap hakikat bahasa itu. Lihat J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 3. Linguistik dalam bahasa Arab disebut „ilm al-lughah. Linguistik mengalami perkembangan berarti pada akhir abad ke-18, ketika William Jones (W. 1793) meneliti dan menemukan bahasa Sansekerta. Jika sebelumnya metode penelitian linguistik cenderung subyektif, maka sejak itu metodenya bersifat obyektif. Obyektivitas metode penelitian linguistik menurut Muhammad Shalah al-Dīn Mushthafâ Bakr, dalam Muhbib, dapat diwujudkan berkat penelitian perbandingan antara bahasa Sansekerta dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa, dan memperoleh hasil yang ilmiah karena didasarkan atas observasi, eksperimen, dan deskripsi. Salah satu metode linguistik yang dominan mulai abad ke-19 adalah metode deskriptif (manhaj washfī). Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 45. Disertasi Dalam Bidang Ilmu Agama Islam. 176
Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Tipologi (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1990), h. 122.
127
sebagaimana yang dikutip Abdul Chaer, menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa itu terdiri dari lima subsistem, yaitu subsistem gramatika, fonologi, morfofonemik, semantik, dan fonotik. Bila digambarkan maka teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer, berdasarkan penelitian penulis bisa dirumuskan dari bagan berikut ini:
Gambar 2. Sistem bahasa teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer (2007)
Subsistem Gramatika Sistem bahasa
Subsistem Fonologi
bersifat sentral
Subsistem Morfofonemik Subsistem Semantik Subsistem Fonotik
bersifat periferal
128
Menurut kaum strukturalis objek makna dalam semantik tidak bisa diamati secara empiris Gambar 3. Satuan bahasa (wacana) teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer (2007)
Kalimat
Klausa
Frasa
Kata
Morfem
Fonem
Fon / bunyi Subsistem gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan subsistem semantik dan fonetik bersifat periferal. Mengapa subsistem semantik disebut bersifat periferal? Karena seperti pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris, sebagaimana subsistem gramatika (morfologi dan sintaksis). Demikian juga dengan Chomsky, bapak linguistik transformasi, dalam bukunya yang pertama (1957) tidak menyinggung-nyinggung masalah makna. Baru kemudian dalam bukunya yang kedua (1965) beliau menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah sintaksis dan fonologi) dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen semantik ini. Sejak Noam Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik dalam studi linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik menjadi 129
semarak.177 Kajian makna dalam lingkup bahasa Arab sudah dilakukan sejak abad pertama hijriah (permulaan Islam), yakni berupa upaya para ahli agama untuk memahami dan memberikan interpretasi terhadap teks Al-Qur‘an. Proses itu terlihat dari usaha para linguis dan ulama menyusun kitab mu‟jam, gharīb, tata bahasa (qawâ‟id), „ilm al-Ma‟âni dan sebagainya sebagai usaha memahami makna teks berbahasa Arab, bahkan di antara linguis Barat mencatat bahwa sebenarnya proses itu dimulai sejak pra-Islam. Jaroslav Stetkevych seperti dalam Ahyani menegaskan: “Semantic changes and developments are an old process in the Arabic language. Since pre-Islamic times until the present moments, the changes and meanings of words has been so great that it now requires a special philological background to be able to read and properly understand poets Imru „al-Qays, al-Nabighah, or anfara.”
Sebagaimana ditemukan dalam literatur-literatur mengenai sastra Arab, nama-nama yang disebut Stetkevych tersebut adalah di antara para ahli bahasa (penyair) Arab pra-Islam. Bagi Stetkevych prosesnya perkembangan semantik Arab di awal-awal Islam dan masa-masa berikutnya, tidak dapat dilepaskan dari peran ahli sya‘ir Arab pra-Islam walaupun secara sistematis belum mengkaji mengenai makna bahasa.178 Semantik secara etimologi dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris ‗Semantics‘ dari bahasa Yunani yaitu ‗Sema‘ (nomina) yang berarti „tanda‟, atau dari verba „Samaino‟ yang berarti ‗menandai‘, berarti; padanan dalam bahasa Arabnya yakni dilâlah. Kata semantik dalam terminologi dipakai untuk ―ilmu bahasa yang mempelajari makna‖ („ilm al-dilâlah).179 Istilah ini sendiri muncul pada tahun 1894 yang diprakarsai oleh „American Philologial Association‟. Harimurti Kridalaksana sebagaimana dikutip Ahyani mendefinisikan semantik dalam dua sisi pandang,
177
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), h. 284-285. Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 25. Tesis dipertahankan dalam Bidang Pendidikan Bahasa Arab 179 Al-Jurjânī mendefinisikan „ilm al-Dilâlah yaitu: 178
علم يعرف بو أحوال اللفظ العريب الذي يطابق مقتضى اْلال Al-Jurjânī, al-Ta‟rīfât (Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003), h. 158.
130
yang pertama sebagai ―bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna dan juga dengan struktur makna suatu wicara‖. Yang kedua, sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.180 Mengenai objek kajian semantik yang ada pada kebanyakan literatur-literatur ilmu bahasa, tercatat bahwa semantik terbangun oleh beberapa unsur satuan-satuan bahasan kebahasaan (linguistik) minor yang dapat dianggap sebagai faktor-faktor perubah atau pembentuk makna. Di samping itu, sering juga disinggung macam, relasi dan keluasan cakupan makna pada suatu kata atau kalimat. Dalam hal ini Stephen Ullman seperti dalam Ahyani menyatakan adanya tipologi pemaknaan bahasa berdasarkan frekuensi relatif dari kata-kata transparan dan non-transparan, kata-kata khusus (Naw‟u) dan generik (Jins); upaya khusus untuk meningkatkan efek emotif. Efek emotif adalah akibat yang ditimbulkan bahasa sebagai alat yang pengungkap perasaan atau emosi, hal ini sangat dipengaruhi oleh intonasi penutur ketika ia menuturkan suatu kalimat, kasus polisemi, homonim, dan ketergantungan kata dan peranan konteks dalam menentukan makna.181 Kajian semantik adalah makna yang sering disebut ‗tanda‘ atau dalam bahasa Arab dikenal dalâlah. Secara praktis, semantik dalam ranah bahasa Arab adalah ‗ilm al-dalâlah. Pembahasan mengenai disiplin ilmu ini sering dikaitkan dengan sejarah munculnya ilmu perkamusan/leksikologi („ilm al-mu‟jam) dalam bahasa Arab. Hal ini dapat dimengerti karena memang salah satu dari fungsi kamus itu sendiri ialah mengungkap makna-makna yang belum jelas/belum bisa dipahami secara langsung. Ali al-Khûli mendefinisikan sebagaimana yang dikutip H.R. Taufiqurrochman, makna/tanda (meaning) adalah:
ما يفهمو الشخص من الكلمة أو العبارة أو اجلملة: املعٌت أو الداللة
180 181
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), h. 23. Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), h. 26
131
Artinya: “Makna/tanda adalah sesuatu yang dipahami seseorang, baik berasal dari kata, ungkapan, maupun kalimat.”182 Menurut al-Ashfahâni seperti yang dituturkan Syihabuddin, secara etimologi (kebahasaan), kata ma‟na berasal dari
seperti yang terdapat dalam ungkapan
عٌت
yang salah satu maknanya ialah melahirkan,
عنت األرض بالنبات
„anatil ardhu binnabât (tanah
menumbuhkan tanaman). Karena itu, makna diartikan sebagai perkara yang dilahirkan dari tuturan. Perkara tersebut ada di dalam benak manusia sebelum diungkapkan dalam sarana bahasa. Sarana ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan makna tersebut di dalam benak. Perkara yang terdapat di dalam benak disimpulkan sebagai hasil pengalaman yang diolah secara tepat.183 Lebih spesifik, definisi makna/tanda menurut al-Khûli, seperti dalam H.R. Taufiqurrochman, yaitu:
ما تنقلو الكلمة والذي يعرب عن العالقة بُت الدال (أي الكلمة) واملدلول: املعٌت أو الداللة )عليو (أي الشيء أو الشخص أو املفهوم خارج اللغة Artinya: “Makna/tanda adalah sesuatu yang dipindahkan kata atau sesuatu yang diungkap dari (hasil) hubungan antara penanda (kata) dengan petanda (benda atau seseorang atau sesuatu yang dipahami di luar bahasa).‖184 Dalam pengertian (disiplin bahasa Yunani), kata semantik (semantic) secara etimologi berasal dari kata sema dalam bentuk nominanya yang berarti ‗tanda‘ atau dalam bentuk verbanya samaino yang memiliki arti „menandai‟ atau „berarti‟ atau „melambangkan‟. Kata semantik ini disepakati sebagai istilah
182 183
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press : Suksess Offset, 2008), h. 23. Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan Praktek (Bandung: Humaniora, 2005), h.
19-20. 184
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 24.
132
yang digunakan pada disiplin linguistik untuk menyebut salah satu ilmu bahasa yang mengulas makna. Semantik ini merupakan bagian dari tiga tataran analisa bahasa yang meliputi fonologi, morfologi-sintaksis, dan semantik itu sendiri.185 Hubungan antara lafal/bahasa (intra-lingual) dengan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstra-lingual) dikenal dengan teori „semantic tringle‟ (Mutsallats al-Ma‟na) yaitu segitiga bermakna yang menghubungkan antara 3 aspek dasar yaitu: 1) simbol/kata/signifiant/penanda (dâl/‟alâmah) yang terdiri dari bunyi bahasa, tulisan, isyarat, dan sebagainya, seperti: kata dalam pensil, kitab (buku), dan lain-lain. 2) konsep/benak/pikiran/mind (syu‟ûr/fikrah) yang ada di dalam diri manusia ketika memahami simbol/kata. 3) acuan/benda/sesuatu/referen/signify/petanda (madlûl/musyâr ilaih) yang ditunjuk dari simbol/kata tersebut. Dalam bahasa semiotika, tanda (sign) terdiri dari dua unsur yang tidak bisa dipisahkan yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signify). Penanda adalah aspek material dari bahasa sedangkan petanda adalah makna (konsep) yang ada dalam pikiran (mind). Perhatikan ilustrasi teori Ogden dan Richards (1923) yaitu ‗segitiga bermakna‘ seperti dalam Muhammad Ali al-Khûli yang dikutip H.R. Taufiqqurochman, pada gambar di bawah ini: Gambar 4. Semantic Tringle/Segitiga bermakna teori Ogden dan Richards (1923)
Referen/acuan
مدلول أو شئ )خارج أو املشار إليو
مثلث املعٌت
benda/sesuatu (
(konsep, benak, pikiran / لول
185
( قلمpensil) الكلمة/ الرمز (simbol/kata)
)الفكرة و الشعور أواملد
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik I; Pengantar ke Arah Ilmu Makna (Bandung: Eresco, 1993), h.
1.
133
Menurut teori „semantic tringle‟ di atas, hubungan yang terjalin antara sebuah ‗kata/simbol‘ dengan ‗acuan/benda/hal/peristiwa‘ di luar bahasa tidak bersifat langsung (muqattha‟ah/terputus), tetapi ada media yang terletak di antara keduanya, yaitu benak/pikiran/konsep.
Kata
hanya
merupakan
lambang
(simbol)
yang
berfungsi
menghubungkan konsep/pikiran dengan acuan/benda. Tidak semua kata/simbol memiliki acuan/benda. Misalnya, kata ‗walaupun‘, aduh, sekalipun bermakna, tetapi tidak menunjuk sesuatu, tidak ada referennya. Berbeda dengan kata ‗pensil‘ yang memiliki referen, sebab ia menunjuk pada sesuatu (sebuah benda yang terbuat dari kayu dan biasa digunakan untuk menulis). Apabila kata/simbol dalam realita memiliki acuan dan melahirkan makna, maka makna itu disebut dengan makna referensial. Makna referensial (al-ma‟na al-marja‟ī) adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan). Makna referensial juga disebut makna kognitif (al-ma‟na al-ma‟rifī), makna afektif (al-ma‟na alwujdânī) dan makna emotif (al-ma‟na al-„âthifī).186 Salah satu ciri yang sekaligus menjadi hakikat setiap bahasa adalah bahwa bahasa itu bersifat dinamis. Menurut Chaer dan Agustina seperti dikutip H.R. Tauqurrochman, yakni bahwa bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Kedinamisan setiap bahasa itu terjadi karena bahasa merupakan hasil kebudayaan manusia. Manusia adalah makhluk dinamis dan kreatif yang cenderung kepada perubahan dan statis. Oleh karena itu, bahasa akan mengalami perkembangan secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan manusia
sebagai
pemakai
bahasa.
Menurut
Abdul
Chaer
seperti
dalam
H.R.
Taufiqurrochman, kemungkinan perubahan makna kata disebabkan beberapa faktor, yaitu: pertama, perkembangan Iptek, kedua, perkembangan sosial budaya, ketiga, perkembangan 186
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 25-
26.
134
pemakaian kata, keempat, perkembangan tanggapan indera dan kelima adanya asosiasi. Faktor penyebab perubahan makna disebabkan antara lain; 1) faktor bahasa yang meliputi perubahan pada aspek bahasa; perubahan pada kata yang sering dipakai; pengelompokam kata pada bidang tertentu; perubahan kata yang beindikator ‗serupa‘ dan tak serupa; 2) faktor sejarah yang mencakup benda berubah tetapi lafalnya tetap; perubahan sikap manusia terhadap sesuatu; perubahan pengetahuan manusia terhadap sesuatu; 3) faktor sosial budaya, 4) faktor kemajuan Iptek, 5) faktor kebutuhan kata baru, 6) faktor para penutur bahasa yang terbagi kepada aspek pertukaran tanggapan indera; asosiasi perasaan para penutur bahasa; 7) faktor bahasa asing.187 Banyak teori tentang makna yang telah dikemukakan orang. Untuk permulaan barangkali kita ikuti saja pandangan seorang Bapak atau pelopor Linguistik Modern yakni Ferdinand De Saussure (dengan teori deskriptif/strukturalis) yang memberikan definisi makna yaitu merupakan suatu konsep, pengertian, ide, atau gagasan yang terdapat dalam sebuah satuan ujaran, baik berupa kata, gabungan kata, maupun satuan yang lebih besar lagi.188 Penyematan pelopor linguistik modern melalui karyanya yang hebat, yaitu Course de Linguistique Generale (1916), dan juga karena pandangan-pandangannya yang relatif baru mengenai bahasa yang dimuat dalam buku itu. Pandangannya di antaranya adalah mengenai (1) telaah sinkronik (al-tazâmuniyyah), dan diakronik (al-ta‟âqubiyyah) dalam studi bahasa, (2) perbedaan langage, langue, dan parole, (3) perbedaan antara signifiant dan signifie sebagai bentuk signe linguistique, dan (4) hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif atau paradigmatik.189 Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam bila dilihat
187
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 93-
111. 188 189
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 286. Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66.
135
dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai jenis makna telah dikemukakan orang dalam berbagai buku linguistik atau semantik dan secara umum terbagi kepada tiga macam; makna leksikal (
(السياقية
; )املعاين املعجميةmakna gramatikal ( ;)املعاين الًتكيبيةdan makna kontekstual
)املعاين. Namun ada yang menambahkan pula dengan aspek ketaksaan makna. Adapun makna leksikal (املعجمية
)املعاين190 adalah makna yang dimiliki atau ada pada
leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‗sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai‘; pensil bermakna leksikal yaitu sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang‘ dan air bermakna leksikal ‗sejenis barang cair yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari, dan kata ‗istana‟ yang memiliki makna bangunan untuk tempat tinggal kepala negara.191 Dengan contoh itu dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indera kita, makna yang sesuai dengan konsepnya, atau makna apa adanya. Kamuskamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya. Oleh karena itulah, barangkali banyak orang yang mengatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus (al-ma‟na al-mu‟jamī). Pendapat ini kalau begitu, memang tidak salah, namun perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar, juga ada yang memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias dan makna-makna yang terbentuk secara metaforis.
190
Makna leksikal dalam literatur lain disebut pula makna deskriptif atau makna denotatif, yang merupakan relasi kata dengan konsep benda/peristiwa atau keadaan yang dilambangkan dengan kata tersebut. Sumber informasi ini dapat dimanfaatkan dalam suatu komunikasi. Misalnya makna leksikal kata seniman adalah ‗orang yang menciptakan karya seni‘. Di dalam komunikasi kata seniman dapat menyempit maknanya bergantung pada konteks pembicaraan. Lihat Setiawati Darmojuwono, Semantik, dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 114-115. 191 Abdul Chaer, Leksikologi dan Leksikografi Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 116.
136
Definisi lain juga diberikan para ahli. Makna leksikal (makna asâsiyah atau mu‟jamiyah) atau disebut juga makna denotatif atau vocabulary meaning) adalah makna yang secara inheren dimiliki oleh sebuah leksem. Makna leksikal juga bermakna makna yang sesuai dengan referensinya dan sesuai dengan hasil observasi alat indera. Dengan kata lain, adalah makna yang melekat pada suatu kata.192 Makna leksikal ini dapat juga diartikan sebagai makna kata secara lepas di luar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama yang berupa kata dalam kamus biasanya sebagai makna pertama dari kata atau entri yang terdaftar dalam kamus itu. Dalam bahasa Indonesia, misalnya ‗bagian tubuh dari leher ke atas‘ adalah makna leksikal dari kata ‗kepala‘, sedang makna ‗ketua‘ atau ‗pemimpin‘ bukanlah makna leksikal, sebab untuk menyatakan makna ‗ketua‘ atau ‗pemimpin‘, kata ‗kepala‘ itu harus bergantung dengan unsur lain, seperti dalam frase ‗kepala madrasah‘ atau ‗kepala kantor‘. Untuk bisa meresapi makna suatu ujaran adalah dengan memahami makna leksikal setiap butir kata yang digunakan. Bila kita tidak mengetahui makna leksikalnya kita bisa melihat di kamus atau bertanya kepada yang mengerti. Namun, terkadang dijumpai sejumlah kasus dalam studi semantik yang menyangkut makna leksikal ini. Kasus-kasus itu adalah kasus kesinoniman, keantoniman, kehomoniman, kehiponiman, dan kehiperniman.193 Bidang yang meneliti semantik leksikal menurut asas-asasnya dinamai ―leksikologi‖. Tujuan yang lebih praktis, yaitu menyusun kamus, dikenal sebagai ―leksikografi‖. Leksikografi adalah leksikologi terapan. Oleh karena perkamusan adalah tugas praktis, asasasas leksikologis harus dilengkapi dengan (dan untuk sebagian bahkan diganti oleh) tuntutantuntutan praktis pemakaian kamus. Misalnya, dalam pembuatan kamus Indonesia, tidak masuk akal untuk memasukkan semua verba yang berawalan men- di bagian huruf M, atau semua verba yang berawalan ber- di bagian huruf B. lebih praktislah bila (misalnya) menyusul dimasukkan pada kata pokok, atau entri, susul, dan demikian pula kata membantu 192
Moch Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab (Tangerang: Al-Kitabah, 2012), h. 110. Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitâb al-Muhir) (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 57-58. Tesis di SPs UIN Jakarta. 193
137
pada bantu, menolong pada tolong, menjual pada jual, dan berjuang pada juang. Makna leksikal dalam deskripsi linguistik lazimnya dimarkahi dengan tanda petik tunggal, misalnya kita mengatakan bahwa kata rumah memiliki makna rumah. Semantik leksikal secara leksikologis mencakup segi-segi yang agak banyak jumlahnya. Antara lain, ada pokok-pokok berikut: makna dan referensi; denotasi dan konotasi; dan analisis ekstensional dan analisis intensional;
analisis
kompensional;
makna
dan
pemakaiannya;
dan
kesinoniman,
keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman.194 Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal (الًتكيبية
)املعاينbaru ada kalau
terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi ber- dengan kata dasar baju melahirkan makna gramatikal ‗mengenakan atau memakai baju‘; dengan dasar kuda melahirkan makna gramatikal ‗mengendarai kuda‘; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal ‗melakukan rekreasi‘. Tampaknya makna-makna gramatikal yang dihasilkan dalam proses gramatikal ini berkaitan erat dengan fitur makna yang dimiliki setiap butir leksikal dasar. Fitur adalah ciri-ciri semantik yang dimiliki secara inheren oleh kata-kata itu sehingga membedakan kata-kata itu satu dari yang lainnya. Oleh karena itu kita mencoba menerangkan dulu apa saja fitur-fitur makna itu. a. Fitur makna Makna setiap butir leksikal dapat dianalisis atas fitur-fitur makna yang membentuk makna secara keseluruhan butir leksikal itu seutuhnya. Misalnya dalam bahasa Arab ada
dan
ولد
إمرأة
jika dianalisis fitur-fitur semantiknya yang dibatasi pada aspek manusia, laki-laki,
194
J. W. M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004),
h. 388-389.
138
sudah dewasa, atau seorang yang disimpulkan dengan makna ‗perempuan dewasa‘. Sedangkan walad adalah seorang manusia, laki-laki dan belum dewasa yang disimpulkan dengan makna anak laki-laki. b. makna fitur gramatikal afiksasi Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Afiksasi merupakan salah satu proses penting dalam pembentukan kata dan penyampaian makna. Jenis afiks dan makna gramatikal yang dihasilkan cukup banyak dan beragam. Satu hal yang jelas makna afiks yang dihasilkan mempunyai kaitan dengan fitur semantik bentuk dasarnya. Misalnya: penambahan preposisi pada term kata benda ()األمساء,
األحرف املعاينpada األفعال
(kata kerja
tertentu), maka pada beberapa kasus akan menimbulkan perbedaan dan perubahan makna dari makna semula. Contoh pergeseran makna seperti pada kasus: di pihak / mendukung:
تعصب لو
melawan:
تعصب على
menghubungkan :
وصل
sampai :
وصل إَل
a. Makna gramatikal derivasi Terjadinya derivasi (isytiqâq/musytâq) pada sebuah akar kata bahasa Arab akan mengakibatkan pergeseran, penambahan bahkan perubahan makna. d. makna gramatikal komposisi
139
Butir leksikal dalam setiap bahasa adalah terbatas, padahal konsep-konsep yang berkembang dalam kehidupan manusia terus bertambah. Oleh karena itu, selain dengan proses afiksasi dan proses reduplikasi banyak juga dilakukan proses komposisi untuk menampung konsep-konsep yang baru muncul itu, atau belum ada kosakatanya. Dalam hal ini seperti term
القطارal-Qithâr yang dulunya dipakaikan untuk iring-iringan unta, sekarang
dipakai untuk alat transportasi kereta, karena juga berupa rangkaian (lokomotif). Demikian halnya dengan term-term yang dipakaikan untuk alat-alat baru seperti
اجلوال
الطائرة, اْلاسوب
dan
dulu „kereta‟ digunakan untuk menampung konsep kendaraan beroda yang ditarik
kuda. Kemudian dengan hadirnya kereta yang ditarik oleh lokomotif bertenaga uap muncullah istilah ‗kereta api‘. Dalam perkembangannya muncul istilah-istilah seperti kereta barang, kereta penumpang, kereta bisnis, kereta eksekutif, dan lain-lain. e. Makna gramatikal sintaksis Pada bahasa Arab, makna sintaksis tidak terlahir dari satuan-satuan struktur kalimat tapi juga dipengaruhi unsur keadaan, situasi dan kondisi penutur yang menurut linguis Arab klasik maupun modern sangat mempengaruhi warna makna kalimat. f. Kasus kepoliseman Polisemi adalah bila sebuah kata mempunyai makna lebih dari satu. Selain itu, ada jenis makna yang namanya makna kontekstual. Kontekstual, menurut Tammam Hasasan seperti dikutip Ahyani, berarti al-tatâbu‟ ()التتابع, al-Īrad ()اإليراد,
التوايلal-
tawâli‟ (runtun/sistematis; yang dalam hal ini mengandung dua pengertian; pertama, runtunnya unsur-unsur struktur kalimat dalam wacana yang disebut dengan siyâq al-nash
140
( سياق النصkonteks bahasa), dan yang kedua, runtunnya kejadian yang diungkapkan bahasa, yang disebut dengan siyâq al-mauqif (konteks kejadian/situasi kajian dalam penetapan suatu makna atau
)سياق املوقف. Sehingga makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam
satu konteks. Dell Hymes dalam artikelnya masih dalam Ahyani mengatakan bahwa kita baru bisa menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya.195
Dalam
nazham
ma‟âni,
Imam
al-Suyûthī
dalam
rujukan
Ahyani
mengungkapkan:
أحوال لفظ عريب يؤلف
#
وحده علم بو قد تعرف
حال وحدى سامل ومرتضى
#
دما هبا تطابق ملقتضى
أحوال مسند إليو فاعرف
# حيصر يف أحوال اإلسناد ويف
“salah satunya ilmu untuk mengetahui Rangkaian susunan kata-kata bahasa Arab Yang disesuaikan dengan tuntutan konteks Rinciannya tepat, jelas dan singkat Dalam hal menerangkan predikat dan subjek”
Untuk memberikan makna dan interpretasi yang tepat dan komunikatif pada kalimat, seorang pendengar dan pembaca harus memperhatikan konteks kalimat secara utuh. Melihat rangkaian kalimat dengan kalimat berikutnya, mencari hubungan dan ide pokok dari kumpulan kalimat tersebut, lebih-lebih lagi kalau memungkinkan untuk mencari latar belakang sosial yang menyebabkan suatu kalimat ditulis atau diungkapkan. Pada proses pemaknaan suatu teks, berdasarkan teori konteks harus memperhatikan prinsip-prinsip yakni 195
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddin al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 57-62.
141
إستعماهلا يف اللغة dipergunakan),
(penggunaan kata dalam bahasa),
الدور الذي تؤديو
الطريقة اليت تستعمل هبا
(metode kata
(eksistensi yang diperankan). Sehingga akan didapatkan
makna yang sesuai dengan penutur/penulis ketika mengungkapkan bahasanya.196 Makna kontekstual secara aplikatif sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam bahasa Arab, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian keislaman pendekatan konteks dipergunakan oleh para mufassir, muhaddits dan fuqahâ dalam proses interpretasi teks-teks dalil dan pengambilan hukum (istinbâth al-hukm). Al-Suyûthī menegaskan bahwa sebelum interpretasi pada sebuah ayat, seseorang tidak akan mampu memberikan pemaknaan yang tepat pada kata-kata dan rangkaian kalimatnya sebelum melihat secara sempurna konteks bahasa yang menyangkut rangkaian dan hubungan kalimat itu dengan kalimat sebelumnya dan sosial yang melatarbelakangi ayat itu diturunkan (asbâb al-nuzûl), begitu juga berlaku bagi asbâb al-wurûd dalam kajian ilmu hadis.197 Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. misalnya, makna kata kepala yang dibicarakan sebagai contoh pada berikut:
196
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 175-176 dan h. 217-218. 197 Memahami hadis dengan benar juga tidak kalah pentingnya selain menginterpretasi teks suci AlQur‘an. Al-Qur‘an dan hadis adalah dua sumber ajaran Islam yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. mengakui Al-Qur‘an, mengharuskan pula mengakui hadis, begitu pula sebaliknya. Ini sesuai dengan perintah Al-Qur‘an kepada umat Islam, untuk mengambil apa-apa yang bersumber dari Nabi SAW. Ini berarti, pengingkaran terhadap hadis, merupakan tindakan penentangan terhadap pesan-pesan Al-Qur‘an. Sebagai sesuatu yang sangat urgen dalam Islam, sudah seyogyanya umat Islam memahami secara benar pesan-pesan keagamaan yang disampaikan oleh Nabi SAW melalui sejumlah hadis-Nya. Ini perlu ditekankan kembali karena ternyata masih banyak umat Islam yang memahami hadis secara tidak tepat dan tidak benar, sehingga pesan-pesan yang disampaikannya pun hambar begitu saja dan bahkan sesat-menyesatkan (dhollun mudhillun). Karena itu, agar hadis dipahami secara benar, maka perlu dilakukan upaya pemahaman secara benar dan komprehensif. Misalnya upaya pemahaman hadis melalui telaah historis, tekstualitas maupun kontekstualitas, perbandingan riwayat (muqaranat al-riwayat), atau pendekatan-pendekatan yang lain. yang dimaksud dengan pemahaman tekstualitas (lafzhiyyah/harfiyyah), yakni pemahaman seperti apa adanya makna hadis itu. namun, bila pendekatan tekstual tidak bisa ditempuh, maka kita membutuhkan kontekstual. Pendekatan kontekstual mencakupi poin-poin sebagai berikut; sabab wurud al-hadis (mengetahui latar belakang historis munculnya hadis), kemudian berdasarkan aspek geografi, „illat al-kalam (kausalitas kalimat), dan aspek sosio-kultural. Belum lagi ditambah dengan muatan kontroversalitas hadis, seperti problem hadis versus al-Qur‘an, hadis versus hadis, hadis versus nalar,dan jam‟ul riwayat (mengkompromikan beberapa riwayat). Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 151-162.
142
a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu Ada sisi perbedaan yang cukup mencolok bila kalimat dari contoh-contoh di atas dilihat dari aspek kontekstualnya. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni berkaitan dengan waktu, tempat, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. 198 Dunia ilmu, termasuk linguistik,199 bukan merupakan kegiatan yang statis, melainkan merupakan kegiatan yang dinamis, berkembang terus, sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri yang selalu ingin mencari kebenaran yang hakiki. Begitulah, linguistik struktural lahir karena tidak puas dengan pendekatan dan prosedur yang digunakan linguistik tradisional dalam menganalisis bahasa. Sekian puluh tahun linguistik struktural digandrungi sebagai satu-satunya aliran yang pantas diikuti dalam menganalisis bahasa, walaupun model struktural itupun tidak hanya satu macam. Kemudian orang pun merasa bahwa model struktural juga banyak kelemahannya, sehingga orang mencoba merevisi model struktural itu di sana-sini, sehingga lahirlah aliran lain yang agak berbeda, meski masih banyak persamaannya, dengan model struktural semula. Perubahan total terjadi dengan lahirnya linguistik transformasional yang mempunyai pendekatan dan cara yang berbeda dengan linguistik struktural. Namun, kemudian model transformasi ini pun dirasakan orang banyak kelemahannya, sehingga orang membuat model lain pula, yang dianggap lebih baik, misalnya model semantik generatif, model tata bahasa kasus, model tata bahasa relasional, dan model tata bahasa stratifikasi.
198
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 289 – 290. Menurut Harimurti, linguistik (linguistics) adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1808 dalam majalah ilmiah yang disunting oleh Johann Severin Vater dan Friedrich Justin Bertuch). Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 144. 199
143
2. Teori Mentalistik dan Generatif Transformatif Noam Chomsky Berkaitan dengan persoalan makna (bahasa/semantik), Noam Chomsky terkenal dengan
teori
gramatika
generatif–transformatifnya
(tahwīliyyah,
grammatical
transformations) dan struktur batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure).200 Pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognitivistik (nazhariyyah „aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual (the mental reality underlying actual behavior). Setiap manusia memiliki kaidah-kaidah universal secara natural (terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa manusia, dan kaidah-kaidah itu cukup kaya dan patut dipertimbangkan dalam kecepatan proses pembelajaran bahasa. Menurut Chomsky, bahasa merupakan cermin terbaik akal manusia (languanges are the best mirror of the human mind).201 Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Menurut teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri. Selain itu, Noam Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam pemerolehan bahasa sebagaimana dikemukakan oleh Skinner. Menurut Chomsky tidak ada gunanya menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang diperoleh itu. Untuk dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, seseorang tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur dalam organisme (manusia) yaitu bagaimana cara-cara orang memperoleh masukan (input)
200
Noam Chomsky, Aspects of The Theory of Syntax (Cambridge Massachusetts Institute of Technology: The M.I.T. Press ,1965), h. 128. 201 Noam Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger Publishers, 1986), h. 1.
144
informasi, dan bagaimana cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan oleh struktur awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit dan proses perkembangannya diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalaman-pengalaman yang telah lalu. Sama halnya dengan Piaget, Chomsky juga tidak pernah memperkenalkan teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa secara khusus. Namun, karena teori linguistik yang diperkenalkannya dan juga artikel ulasannya mengenai buku Skinner ―Verbal Behavior‖ (1957) dalam ―Language‖ (1959) telah mengubah secara drastis perkembangan psikolinguistik, maka satu teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa oleh beberapa kalangan dapat disimpulkan dari teori generatif transformasinya. Teori ini digolongkan ke dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal, mental) sebagai landasan dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Bagi Chomsky, kemampuan berbahasa pada manusia bukanlah produk (setting) alam, melainkan potensi bawaan manusia sejak lahir. Ia mengemukakan teori ini sebagai hasil dari penelitiannya terhadap perkembangan berbahasa seorang anak dalam pemerolehan bahasa berdasarkan teori hipotesis atau teori kodrati (innate). Melalui pendekatan nativis, Chomsky mengemukakan adanya ciri-ciri bawaan bahasa untuk menjelaskan pemerolehan bahasa asli pada anak dalam tempo begitu singkat sekalipun ada sifat abstrak dalam kaidah-kaidah bahasa tersebut. Masalah penting lain yang dibahas dalam teori generatif transformatif adalah daya kreativitas dalam bahasa. Dilihat dari segi semantik, tata bahasa dari suatu bahasa adalah satu sistem rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi (bahasa) dan makna (bahasa) dalam bahasa itu. Dilihat dari segi daya kreativitas, tata bahasa adalah sebuah alat perancang yang khusus menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat gramatikal (yang jumlahnya tidak terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat. Chomsky menyebut alat perancang ini dengan istilah tata bahasa generatif .
145
Teori generatif-transformatif, yang sebenarnya lebih condong pada pembahasan tentang pemerolehan bahasa ibu, dewasa ini sering digunakan dalam penelitian pembelajaran bahasa asing oleh beberapa kalangan akademisi. Padahal, Chomsky sendiri dalam teorinya tidak pernah menjelaskan secara eksplisit tentang pembelajaran bahasa dan ia lebih berorientasi pada pemerolehan bahasa (language acquisition). Namun demikian, beberapa kalangan menganggap bahwa teori generatif-transformatif tetap relevan untuk digunakan dalam pembelajaran bahasa asing. Pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing merupakan salah satu objek kajian yang sering direlevansikan dengan teori generative transformatif. Hal ini berawal dari hipotesis Chomsky yang mengatakan bahwa bahasa itu bersifat universal. Bahasa Arab sendiri memang memiliki karakteristik yang unik dan universal. Dikatakan unik karena bahasa Arab memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bahasa lainnya, sedangkan universal berarti adanya kesamaan nilai antara bahasa Arab dengan bahasa lainnya. Berangkat dari karakteristik unik dan universal bahasa Arab, subbab ini akan mengkaji lebih dalam apakah teori generatif transformatif Chomsky relevan dalam konteks pembelajaran bahasa Arab sebagai bahas asing ataukah hanya dalam batas proporsinya.202 Bahasa merupakan proses mental yang kompleks. Pandangan ini mengantarkannya kepada pengetahuan mengenai proses produksi bahasa. Karena itu, ia menaruh perhatian terhadap aspek psikologi bahasa dan teorinya difokuskan pemerolehan (acquisition) anak terhadap bahasa ibunya. Teorinya mengenai pemerolehan bahasa ini dikategorikan sebagai teori nativistik (al-nazhariyyah al-fithriyyah). Teori ini membenarkan pendefinisian manusia dalam buku-buku keagamaan dan literatur Arab dimana manusia sering didefinisikan sebagai hayawân nâthiq (hewan yang nâthiq). Nâthiq, dalam bahasa Arab, maknanya ada dua, berbicara dan berfikir logis. 202
Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya Dalam Pembelajaran Bahasa Arab, Jurnal Empirisma Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 179-181.
146
Berdasarkan analisis etimologi kata nâthiq ini, berbicara atau berbahasa terkait dengan pikiran. Kemampuan pikir bukan saja ukuran yang membedakan manusia dengan hewan, selain kemampuan nurani (integritas)-nya, melainkan juga untuk melihat kemampuan pikir seseorang, lihat saja bahasa yang diucapkan/ditulisnya. Bahasa yang runut dan logis, menunjukkan penutur atau penulisnya mempunyai pikiran yang baik. Demikian sebaliknya. Kemampuan berbahasa yang buruk, meski tidak selalu, menunjukkan kemampuan pikir yang tidak baik. Kebudayaan dalam arti sempit, yaitu pola pikir dan pola rasa seseorang atau kelompok sosial tertentu, karenanya, bisa dilihat dari ucapan atau tulisannnya. Teori yang sebanding dengan teori Chomsky yang menyarankan kajian atas sisi ekstrinsikalitas bahasa adalah teori kontekstual (siyâq) yang juga dipakai dalam riset ini, sebagaimana disarankan ahli bahasa semisal Firth. Menurut Firth, Berry Rogghe, dan juga Ullmann, makna sebuah bahasa tidak akan terungkap, kecuali dengan melihat: pertama konteksnya dalam satuan bahasa di seputarnya, baik sebelum maupun sesudahnya. Teori ini mementingkan kajian fenomena bahasa lewat analisis atas tindak bahasa sintaktikal dan analisis atas wacana yang dikandungnya. Kedua, menganalisis hal-hal di luar bahasa. Bagi Firth, makna bahasa adalah fungsi dalam konteks. Ia menekankan kesejajaran konteks internal dan formal kebahasaan dan konteks situasi eksternalnya.203 John R. Firth (1890-1960) guru besar pada Universitas London, sangat terkenal terkenal dengan teori fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya dikenal dengan nama aliran prosodi; tetapi di samping itu dikenal pula dengan nama aliran Firth, atau aliran Firthian, atau aliran London. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi sendiri terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan prosodi. Satuan-satuan fonematis berupa unsur-unsur segmental, yaitu konsonan dan vokal, sedangkan satuan prosodi berupa ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang daripada 203
Sukron Kamil, dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 2-3.
147
suatu segmen tunggal. Ada tiga macam pokok prosodi, yaitu (1) prosodi yang menyangkut gabungan fonem: struktur kata, struktur suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal; (2) prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda; dan (3) prosodi yang realisasi fonetisnya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental. Selain terkenal dengan teori prosodinya, Firth juga terkenal dengan pandangannya mengenai bahasa. Pandangannya mengenai bahasa dapat ditelusuri dalam bukunya yang berjudul The Tongues of Man and Speech (1934) dan Papers in Linguistics (1951). Firth berpendapat telaah bahasa harus memperhatikan komponen sosiologis. Tiap tutur harus dikaji dalam konteks situasinya, yaitu orang-orang yang berperan dalam masyarakat, kata-kata yang mereka ungkapkan, dan hal-hal lain yang berhubungan.204 Firth juga dikenal dengan teori analisis fonetik dan teori konteks situasi (context of situation, siyâq al-mawqif/al-hâl). Aliran utamanya adalah pragmatisme dan disebut juga aliran sosial Inggris (al-madrasah al-ijtimâ‟iyyah alInjliziyyah). Pada tahun 1944, ia mendirikan sekolah linguistik deskriptif (descriptive linguistic school) di London, sehingga metode penelitian linguistik yang menjadi kecenderungannya adalah metode deskriptif. Teori konteks Firth banyak didasari atau diinspirasi oleh pendapat Bronislow Kasper Malinowsky (1884-1942), seorang antropolog asal Polandia, yang mendeskripsikan bagaimana bahasa dan penutur bahasa itu disikapi dan diperlukan oleh masyarakatnya. Ancangan etnografi penuturan timbul dari tradisi etnografi pada umunya dalam antropologi. Menurutnya, bertutur saja ―to tell‖ tetapi juga ―to do‖. Hal ini didasari oleh pengamatannya pada masyarakat primitif. Dengan demikian, kata-kata pun menjadi alat bertindak. Menurut Firth, sebagaimana penuturan Roger T. Bell, seperti dirujuk Muhbib, konteks situasi (siyâq al-hâl, atau menurut Tammâm Hassân, Siyâq al-Mawqif), merupakan salah bentuk asbtraksi dari lingkungan atau sarana di mana penuturan bahasa itu terjadi. Konteks situasi meliputi
204
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 355-356.
148
segala aktivitas berbahasa, lisan maupun tulisan. Komponen yang ada dalam konteks situasi meliputi: (a) ciri-ciri partisipasi yang relevan, kepribadian yang meliputi tindak verbal dan nonverbal; (b) obyek-obyek yang relevan; dan (c) akibat dari tindak verbal. Teori konteks situasi menjadi dasar teori linguistiknya. Ia menolak setiap usaha untuk memisahkan bahasa dari konteksnya dalam kehidupan manusia dan budaya. Ia menekankan bahwa makna adalah jantung dari kajian linguistik. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan dua kolokasi (collocation, sanding kata, tadhâmm) untuk menerangkan arti; yaitu arti gramatikal dan arti fonologis. Firth juga menolak distingsi (pembedaan) antara langue dan parole yang dibuat oleh Ferdinand de Saussure sebelumnya dan distingsi antara competence dan performance yang dibuat oleh Noam Chomsky sesudahnya. Karena, menurutnya bahasa bukan entitas yang otonom (otonomous entity), dan tidak bisa distudi sebagai sistem mental (mental system). Ia juga tidak sependapat dengan aliran Behaviorisme yang menganggap bahasa sebagai bagian dari perilaku yang terbentuk karena faktor lingkungan, karena menurutnya bahasa merupakan serangkaian peristiwa di mana pembicara (penutur bahasa) mengekspresikan dirinya, salah satu bentuk perilaku, dan cara melakukan suatu perbuatan. Bahasa mempunyai fungsi, bukan sekedar alat komunikasi. Oleh sebab itu, linguistik seharusnya memfokuskan pada kajian peristiwa penuturan bahasa. Dalam konteks ini, ia sangat menekankan pada aplikasi teknik semantik (al-wasīlah al-dalâliyyah, the technique of semantics) dengan memperhatikan kata-kata kunci seperti: fonologi, fonem, penuturan, konsonan, vokal, fonetik, dan sebagainya.205 Lanjut pada pendekatan analisis riset ini, Avram Noam Chomsky, lahir pada 7 Desember 1928 di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.206 Mengutip Mansur Pateda dalam Bagus Andrian Permata (2015), ia dibesarkan di tengah keluarga yang
205
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 51-52. Disertasi S3 pada SPs UIN Jakarta dalam Bidang Ilmu Agama Islam. 206 Sumber: Noam Chomsky - Wikipedia, the Free Encyclopedia_unduh 8 April 2016, pkl 09.25 WIB.
149
berlatarbelakang pendidikan tinggi dari pasangan William Zev Chomsky dan Elsie Simonofsky, seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) dan murid Z.S. Harris.207 Ayahnya seorang ahli bahasa Ibrani. Ia sangat mendorong anaknya untuk menekuni bahasa Ibrani; dan darinya Chomsky mulai mempelajari historical linguistics („ilm al-lughah al-târīkhī). Pada usia 10 tahun, ia sudah diminta ayahnya untuk membaca proofs dari naskah buku David Kimhi‟s Hebrew Grammar. Delapan tahun kemudian ia mendaftarkan diri pada Universitas Pennsylvania di bawah bimbingan Zellig Harris (19091992). Sebelum masuk kuliah, gurunya itu (Harris) telah mempercayakan pada Chomsky untuk membaca naskah buku Method‟s in Structural Linguistics, yang sebenarnya merupakan benih aliran transformasi. Pengaruh Harris tampak pada Tesis MA. Chomsky sudah tidak tertarik pada deskripsi, tetap pada eksplanasi dari bahasa. Dia tidak lagi memperhatikan prosedur penemuan (discovery procedure), tetapi lebih menitikberatkan pada prosedur penilaian (evaluation procedure). Dia tidak perduli bagaimana seseorang mencapai suatu hasil, tetapi yang penting adalah bahwa hasil itu haruslah yang terbaik di antara hasil-hasil yang ada. Embrio dari jalan pikiran Chomsky, dalam catatan Muhbib, dituangkan dalam naskah setebal 900 halaman, The Logical Structure of Linguistic Theory yang tidak pernah mendapatkan penerbit karena keradikalan penulisnya. Setelah mulai mengajar di Massachusset Institute of Technology, ia baru menerbitkan karya pertamanya, Syntactic Structure (1975). Puncak dari teori generative-transformatif-nya adalah ketika ia menerbitkan Aspects of the Theory of Syntax (1965). Menarik dicatat, bahwa Chomsky tidak hanya menguasai bahasa Ibrani, tetapi juga pernah belajar Al-Ajrumiyah (Jurûmiyyah, kitab Nahwu dasar) kepada Franz Rosenthall yang juga cukup menguasai bahasa Arab. dapat dipastikan bahwa Chomsky juga memahami bahasa Arab, karena bahasa Ibrani dan Arab termasuk 207
Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya dalam Pembelajaran bahasa Arab, dalam Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 181.
150
rumpun Semit. Para ahli nahwu (nuhât) Ibrani pernah tinggal dan bergumul di lingkungan Muslim Spanyol, dan mendasarkan penelitian nahwu mereka pada metode nahwu Arab sehingga sangat mungkin ketika menulis Tesis Magisternya, Chomsky banyak mendapat inspirasi dari sistem gramatika bahasa Arab.208 Chomsky mengisyaratkan bahwa teori mengenai bahasa apapun mempunyai tiga cabang utama yang menjadi poros penelitian bahasa, yaitu : 1) teori konstruksi/struktur bahasa, 2) teori pemerolehan bahasa dan 3) teori penggunaan bahasa. Dalam menjelaskan teorinya tentang pemerolehan bahasa (language acquisition), Chomsky juga mengkritik dan menentang teori pembiasaan operan (operant conditioning) dalam pemerolehan bahasa yang dicetuskan oleh B.F. Skinner (1938),209 yaitu tentang pembiasaan operan untuk suatu prosedur di mana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dala lingkungan yang relatif bebas.210 Menurut Chomsky, dalam memperoleh bahasa ibunya, anak tidak pasif saja menunggu stimulus dari luar dirinya (seperti pendapat Skinner dan pengikut aliran Behaviorisme), melainkan aktif dan kreatif. Kalau hanya pasif saja, tidak mungkin dalam waktu yang relatif singkat (dari umur 18 bulan sampai dengan 42 bulan atau 3,5 tahun) anak kecil sudah mampu menguasai gramatika yang begitu rumit. Kemampuan anak memperoleh bahasa sedemikian cepat itu bukan karena faktor eksternal, melainkan karena faktor bawaan (al-qudrah al-fithriyyah). Menurut innates hypothesis (hipotesis bawaan) yang dimajukan oleh Chomsky, manusia sejak lahir itu telah dilengkapi dengan suatu kompetensi bawaan yang khas (qudrah lughawiyyah fithriyyah), yang memungkinkan untuk menciptakan dan memperoleh bahasa. Menurutnya, anak kecil itu
208
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 55. Disertasi Dalam Bidang Ilmu Agama Islam. 209
Kevin C. Costley, Avram Noam Chomsky and His Cognitive Development Theory, paper in Arkansas Tech University, 10 Juni 2013, h, 2. 210 Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya dalam Pembelajaran bahasa Arab, Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 179.
151
memiliki perangkat pemerolehan bahasa, yang terkenal dengan LAD211 (Language Acquisition Device atau wasīlah iktisâb al-lughah). Jadi, tidak seperti pendapat Behaviorisme, anak dilahirkan dalam kondisi seperti kertas kosong, melainkan sudah dibekali potensi alami – yang dalam istilah Tammam disebut sâliqah lughawiyyah. Menurut Chomksy, pembicaraan/penuturan yang didengar oleh anak kecil itu masuk melalui LAD, dan melalui LAD inilah tercipta pemikiran mengenal kaidah-kaidah bahasa secara tidak disadari (la syu‟urui). Kaidah-kaidah natural yang merupakan perangkat pemerolehan bahasa itu pada diri anak, dan kaidah-kaidah yang diperoleh dari bahasa tertentu itulah yang kemudian membentuk gramatika bahasa itu. Oleh karena itu, komponen bahasa menurut Chomsky terdiri dari tiga komponen, yaitu syntactic component, phonological component, dan semantic component. Dari ketiga komponen ini, komponen yang dianggap paling sentral adalah sintaktik, sedangkan komponen fonologi dan semantik hanya diberi status interpretif saja. Dalam komponen sintaktik terdapat dua subkomponen: yaitu subkomponen dasar dan subkomponen transformasi. Struktur luar (al-binyah al-sâthhiyyah, surface structure) ditentukan oleh subkomponen dasar dan kemudian dikirim ke komponen semantik untuk mendapatkan interpretasi semantiknya. Bila diperlukan transformasi, struktur batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure) dikirim ke subkomponen transformasi untuk mendapatkan struktur lahir. Struktur lahir ini kemudian dikirim ke komponen fonologi untuk mendapatkan interpretasi fonologinya. Setelah interpretasi semantik dan fonologi diperoleh, barulah kalimat yang diinginkan itu terbentuk. Kompetensi atau kecakapan adalah suatu proses generatif, dan bukan ―gudang‖ yang berisi kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat seperti konsep langue dalam teori linguistik
211
Teori LAD psiko-linguistik, Chomsky seperti dalam Ahyani menyebutkan bahwa transformasi generatif tidak terbatas kepada unsur-unsur satuan bahasa yang akhirnya menelurkan teori semantik REST (Revesed Extended Standard Theory) yang menekankan perlunya pragmatic dan „the mind‟ (minda) manusia, walaupun cakupannya hanya sampai pada konteks bahasa sebuah teks. Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 43. Tesis dipertahankan pada Bidang Pendidikan Bahasa Arab.
152
De Saussure.212 Kompetensi berbahasa (linguistic competence) merupakan salah satu sistem kaidah atau rumus yang dapat kita sebut tata bahasa dari bahasa penutur itu. Kompetensi/kualitas bahasa seseorang mengekspresikan jalan pikiran penuturnya. 213 Tata bahasa suatu bahasa adalah uraian (deskripsi) kompetensi penutur-pendengar yang ideal; dan uraian ini harus mampu memberikan uraian struktur tiap-tiap kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, serta dapat menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat ini dipahami oleh penuturpendengar yang ideal itu. Dari segi semantik,214 tata bahasa suatu bahasa adalah satu sistem rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi dan makna dalam bahasa itu. Sedangkan dari segi daya kreatifitas tata bahasa adalah sebuah alat perancangan yang khusus menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat gramatikal (yang jumlahnya tidak terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat itu. alat perancangan inilah yang diberi nama ―tata bahasa generatif‖ oleh Chomsky, untuk membedakan dari pernyataan deskriptif yang hanya menggunakan sekumpulan unsur yang muncul dari uraian-uraian struktur yang konteksnya sangat beragam. Tata bahasa generatif sebagai alat perancangan ini merupakan satu system rumus yang tepat dan jelas yang dapat digunakan dalam gabungan baru yang belum pernah dicoba untuk membentuk kalimat-kalimat baru. Rumus-rumus ini dapat juga digunakan untuk menentukan struktur dan bentuk fonetik kalimat ini, dan menunjuk penafsiran-penafsiran semantik kalimat-kalimat baru, serta menolak urutan struktur yang
212
Selain diungkap Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan, ada kajian menarik yang ditulis peneliti Jepang dalam membedah teori/konsep Ferdinand De Saussure dan Noam Chomsky. Naoki Araki, Saussure and Chomsky: Langue and l-Language, Department of Information System and Management, dalam Bull. Hiroshima Institute of Technology Japan, Research, Vol. 49, 2015, h. 1-11. 213 Noam Chomsky, Language and Mind (UK: Cambridge University Press, 2006), h. 4. 214 Semantik (semantics) menurut Harimurti Kridalaksana memiliki dua definisi. Pertama, bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara. Kedua, sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya. Adapun semantik generatif (generative semantics) adalah teori semantik dalam aliran transformasi generatif yang menganggap bahwa tidak perlu ada pembedaan antara tingkat semantik dan tingkat struktur batin karena keduanya adalah sama sehingga sintaksis jauh lebih abstrak. Harimurti Kridalaksana, Kamus Lingustik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 216-217.
153
bukan milik bahasa itu. Menurut Chomsky, prinsip-prinsip dasar organisasi linguistik adalah keuniversalan linguistik yang olehnya disebut tata bahasa universal (al-qawâid al-kulliyyah). Tata bahasa merupakan satu sistem yang merupakan bagian dari organisasi intelek nurani (struktur dalam) yang bersifat universal, berlaku pada semua bahasa di muka bumi. Tata bahasa mempunyai peranan penting dalam pemerolehan bahasa; dan peranan ini sama dengan yang dimainkan oleh tata bahasa generatif transformasi, misalnya dalam pengenalan bentukbentuk fonetik sebuah kalimat karena rumus-rumus tata bahasa itu digunakan dalam analisis sintaksis kalimat itu untuk mengenal isyarat-isyarat fonetik itu. Dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa proses belajar bahasa, menurut Chomsky, adalah proses pembentukan kaidah (rule formation process) bukan proses pembentukan kebiasaan (habit formation process), seperti pendapat Behaviorisme. Menurutnya, manusia mempunyai innate capacity, suatu kemampuan bawaan untuk memahami dan menciptakan ungkapan-ungkapan baru. Inti gramatika generatif-transformatif adalah bahwa bahasa dapat dipelajari secara matematis (olah otak) dengan melahirkan berbagai kalimat–yang jumlahnya bisa tidak terbatas–ketika sebuah kalimat itu didengar, lalu mentransformasikannya ke dalam bentuk dan kalimat lain dengan menggunakan kaidahkaidah tertentu. Gramatika Generatif-Transformasi mempunyai tiga sendi utama. Pertama, kaidah struktur ungkapan, kaidah yang menjelaskan bahwa kalimat itu terstruktur dari ungkapan-ungkapan, sedangkan ungkapan-ungkapan itu terbentuk dari kata-kata. Kedua, kaidah transformasi, yaitu sejumlah aturan yang harus diterapkan secara ketat. Sebagian kaidah itu bersifat obligatori (ijbârī/
(ikhtiyârī/
)إجباري
dan sebagian yang lain bersifat opsi
) إختياري. Ketiga, kaidah-kaidah morfologi bunyi, kaidah yang menetapkan bentuk
akhir suatu kata yang diucapkan atau ditulis. Pada tahap berikutnya, menurut Chomsky,
154
seperti yang dikutip Muhbib, gramatika mempunyai tiga komponen utama, yaitu: sintaksis, semantik, dan fonologi dengan tetap mengacu kepada dua kaidah transformasi yakni kaidah obligatori dan kaidah opsi. Pola-pola transformasi kalimat itu dapat dikembangkan melalui: (1) delasi (al-hadzaf
)اْلذفseperti: كتب أمحد درسا جديدا
penempatan ( )االحاللseperti: عليم
menjadi
menjadi
( ;كتب أمحد درسا2)
اهلل مسيعpredikatnya ditempati dengan kata lain, sehingga
( ;اهلل غفور رحيم3) perluasan ( )االتساعseperti perluasan dengan sifat atau idhafah
اجلامعة مشهورة
menjadi:
اجلامعة الكبَتة مشهورة
atau
الباب مفتوح
(4) reduksi ()االختصار, kebalikan dari poin 3, seperti جديد
menjadi
;باب الفصل مفتوح
رئيس القريةmenjadi ;الرئيس جديد
(5) penambahan ()الزيادة, yakni penambahan unsur baru dalam kalimat dengan struktur ‗athfi,
misalnya:
الطالب نشيط
menjadi:
;الطالب واملدرس نشيطانdan (6) permutasi ()إعادة الًتتيب,
misalnya dengan merubah jumlah ismiyyah menjadi jumlah fi‟liyyah atau sebaliknya seperti:
حيضر الطالبmenjadi حيضرون الطالب. 215
215
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 55-59. Disertasi Dalam Bidang Ilmu Agama Islam.
155
Jadi, teori Chomsky seperti dikutip Muhbib216 tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 5. Model Pola Transformasi Noam Chomsky Transformation Deep Structure/ Al-Binyah al-„Âmiqah
Meaning / al-Ma‟na
Surface Structure/ Al-Binyah AlSâthhiyyah
Spoken or Written Expression
Dapat dikatakan tata bahasa transformasi lahir dengan terbitnya buku Noam Chomsky yang berjudul
Syntactic Structure pada tahun 1957, yang kemudian
diperkembangkan karena adanya kritik dan saran dari berbagai pihak, di dalam buku Chomsky yang kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965. Nama yang dikembangkan untuk model tata bahasa yang dikembangkan oleh Chomsky ini adalah Transformational Generative Grammar, tetapi dalam bahasa Indonesia lazim disebut tata bahasa transformasi atau tata bahasa generatif. Menurut Chomsky salah satu tujuan dari penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Maka kalau begitu, tugas tata bahasa haruslah dapat menggambarkan hubungan bunyi dan arti dalam bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Setiap tata bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky, merupakan teori dari bahasa itu sendiri, dan harus mempunyai dua syarat: di antaranya adalah pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat, dan kedua tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah
216
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu, h. 55-59.
156
yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik tertentu. Sejalan dengan konsep langue dan parole dari Ferdinand De Saussure, maka Chomsky membedakan adanya
kemampuan (competence) dan perbuatan berbahasa
(performance). Kemampuan adalah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya, sedangkan perbuatan berbahasa adalah pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sebenarnya. Dalam tata bahasa generatif ini, maka yang menjadi objeknya adalah kemampuan ini, meskipun perbuatan berbahasa juga penting, dan yang perlu dan menarik bagi seorang peneliti bahasa adalah sistem kaidah yang dipakai si pembicara untuk membuat kalimat yang diucapkannya. Jadi, tata bahasa harus mampu menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, yang sebagian besar, barangkali, belum pernah didengarnya atau dilihatnya. Pada dasarnya setiap kita mengucapkan suatu kalimat, kita telah membuat kalimat baru yang berbeda dari sekian banyak kalimat yang pernah kita ucapkan atau tuliskan. Kemampuan seperti ini, yakni mampu membuat kalimat-kalimat baru, disebut aspke kreatif bahasa. Dengan kata lain, menurut aliran Chomsky ini, sebuah tata bahasa hedaknya terdiri dari sekelompok kaidah yang tertentu jumlahnya, tetapi dapat menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya. Hal ini dapat kita bandingkan dengan kemampuan dalam mengalikan bilangan. Setiap orang yang telah menguasai perkalian 0-9, tentu akan dapat mengalikan perkalian lain, misalnya 19x37, atau 125x4319. Kemampuan untuk mendapatkan jawaban yang benar bukanlah karena dia telah pernah melihat atau melakukan perkalian tersebut, tetapi karena kaidah perkalian 0-9 telah dikuasai.217 Dalam disiplin linguistik modern, ada beberapa teori yang dipakai untuk memahami makna, antara lain: Pertama, teori referensial (إشارية 217
)نظرية
menurut Salim Sulaiman al-
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), h. 363 – 365.
157
Khammas, sebagaimana yang dikutip H.R. Taufiqurrochman, yaitu teori pertama yang berusaha memahami hakikat makna. Teori ini berpendapat bahwa makna sebuah ungkapan kata/kalimat ialah apa yang dirujuknya atau untuk apa ungkapan dipakai.218 Umpamanya, ungkapan ―si manis‖ berarti kucing yang bernama si manis. ―Kucing‖ adalah jenis kucing atau sifat-sifat yang dipunyai kucing. Menurut teori referensial, sebuah makna tergantung pada sesuatu/acuan yang ditunjukkan oleh kata atau kalimat dan sesuatu itu berada di luar kata atau bahasa. Acuan sesuatu yang berada di luar, jelas tidak terbatas. Karena itu, teori ini berupaya membatasi acuan dengan cara mengklasifikasikan dalam beberapa hal, yaitu: isim alam; kata kerja; kata sifat; ahwal; dan isim jenis. Dalam memahami makna, teori referensial melakukan analisis terhadap acuan, sehingga makna adalah hubungan antara bahasa/kata dengan benda/acuan, sebagaimana teori ―segitiga makna‖ yang telah dipaparkan secara gamblang di atas. Kelemahan teori referensial adalah adanya ketidaksamaan antara kata dan acuan. Selain itu adanya perbedaan antara makna dan acuan; jumlah makna ada satu; terkadang sebuah acuan telah lenyap dan tinggal maknanya.219 Kedua, teori konseptual (تصورية
)نظريةadalah teori konseptual, teori ideasional, teori
intensional, dan teori mentalistik (mentalism theory). Menurut teori ini, makna suatu ungkapan ialah ide atau konsep yang dikaitkan dengan ungkapan itu dalam pikiran orang yang mengetahui ungkapan itu. Berarti, makna berada di dalam benak atau pikiran manusia (dzihniyah), ketika sebuah kata didengar oleh pendengar atau dipikirkan oleh pembicara. Menurut al-Juwainī dan al-Râzī seperti dalam H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, kata-kata mufrad (tunggal) tidak ditujukan pada acuan di luar bahasa, akan tetapi pada makna-makna yang terkonsep di dalam pikiran. Pendapat yang sama dikatakan alBaidhâwi, Ibnu Zamalkanī, dan al-Qurtubī. Al-Râzī berargumen bahwa seseorang yang 218 219
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 38. H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 38-
41.
158
melihat sesuatu dari kejauhan, ia mengiranya batu, lalu ia berkata batu. Ketika jaraknya lebih dekat, ia meyakininya pohon, lalu berkata pohon. Di saat jaraknya lebih dekat lagi, ia berpikir kuda, lalu berkata kuda. Kemudian, jika ia telah sampai dan mengetahui bahwa sesuatu itu adalah manusia, ia pun berkata manusia. Hal ini menunjukkan bahwa lafal/kata dapat berubah sesuatu dengan makna yang terkonsep dalam benak seseorang, bukan pada benda/acuan yang berada di luar. Kekurangan teori konseptual antara lain: a. makna yang diajukan oleh teori ini bersifat tidak jelas, karena konsep/benak seseorang dapat berbeda-beda dan berbilang untuk satu acuan/benda. Misalnya ketika mendengar kata segitiga, maka ungkapan ini pada benak seseorang dengan orang lain dapat berbeda-beda. Ada yang membayangkan segitiga sama kaki, segitiga sama sisi dan sebagainya. Secara hemat, ia berada di dalam benak/konsep/ide manusia yang dapat berbeda dan berubah-ubah dalam mengacu pada satu kata; b. adanya beberapa ungkapan yang berbeda-beda terkadang hanya memiliki satu makna konseptual; c. ada beberapa kata/lafal yang memiliki makna konseptual yang sifatnya tidak jelas dan masih kontradiktif di kalangan manusia. Terutama, kata-kata seperti: raksasa, besar, dan lain-lain. demikian juga kata-kata yang bersifat mentalistik (aqliyah), seperti cinta, jujur, sakit hati, ragu dan lain sebagainya. Ketiga, teori behavioris (سلو كية
)نظرية. Teori ini mengatakan bahwa makna suatu
ungkapan ialah rangsangan (matsīr) yang menimbulkannya, atau respon (istijâb) yang ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon pada waktu pengungkapan kalimat itu. Dengan teori ini, berarti lingkungan memiliki andil besar dalam pembentukan bahasa dan makna. Bahasa menunjukkan kualitas pembicara. Artinya kepribadian seseorang bisa diamati dan dianalisis dari tutur katanya, dari bacaan yang digemarinya, juga karakter bahasa yang ada, karena setiap bahasa memiliki muatan filsafat yang akan membentuk sifat masyarakatnya, dan pada gilirannya, secara dialektis masyarakat akan membentuk karakter
159
bahasa yang ada. Ibarat sebuah disket/memori komputer, perasaan, pikiran, dan perilaku kita, disadari atau tidak, banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang termuat dalam bahasa. Tindakan berbahasa akan masuk dan terekam dalam sistem memori, kemudian berproses mempengaruhi program perasaan dan pikiran yang diteruskan output-nya dalam bentuk ucapan dan perilaku.220 Keempat, (سياقية
)نظرية,
menurut teori ini cara untuk memahami makna bukan
dengan melihat, mendeskripsikan atau mendefinisikan acuan/benda. Akan tetapi, makna dipahami melalui konteks kebahasaan (siyâq lughawī) yang digunakan dan konteks situasikondisi (siyâq hâl-mawqif) pada saat ungkapan itu terjadi. Oleh karena itu, studi tentang makna perlu menganalisis konteks kebahasaan dan konteks situasi-kondisi secara sekaligus, tepat, dan cermat. Konteks (siyâq) menurut bahasa berarti kesesuaian dan hubungan. Di sini, konteks berarti lingkungan kebahasaan (intra-lingual) dan luar kebahasaan (ekstra lingual) yang meliputi wacana dan mengungkap maknanya. Cakupan konteks bahasa (siyâq lughawī) antara lain bagian-bagian bahasa seperti: kosakata, kalimat dan wacana. Unsur-unsur intralingual dibedakan menjadi enam aspek yaitu struktur fonem (صويت (صريف
)تركيب, struktur morfologis
)تركيب, struktur sintaksis ()تركيب رموي, struktur leksikal )(تركيب معجمي, unsur idiomatik
))مصاحبة, dan unsur pragmatik. Selain itu ada konteks situasi-kondisi (siyâq mawqif-hâl). Unit-unit yang ada di dalam sebuah ungkapan kalimat (bahasa) bukan sekedar susunan beberapa kata. Akan tetapi, lebih daripada itu, unit-unit intra-lingual juga berhubungan dengan hal-hal lain di luar kebahasaan (ekstra-lingual). Makna leksikal (arti kamus) tidak bisa mencakup makna utuh 220
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan, 2011), h. 119.
160
sebuah ungkapan, sebab unsur-unsur lain di luar bahasa juga memberi andil besar dalam memahami makna. Misalnya, unsur kepribadian penutur, pribadi mendengar, hubungan antar kedua pihak, situasi dan kondisi pada saat ungkapan terjadi, seperti: pakaian, tempat, mimik wajah, dan sebagainya, semua turut mempengaruhi makna sebuah ungkapan. Teori konseptual berpendapat, mempercayai makna hanya sebatas pada ungkapan bahasa merupakan pemahaman yang salah, sebab antara ungkapan bahasa dan konteks bahasa adalah dua unsur yang mesti ada dan keduanya saling melengkapi. Aspek konteks yang perlu dipertimbangkan dalam memahami makna, antara lain: bahasa perbuatan (kalâm al-fi‟il); karakter penutur bahasa (thabī‟ah al-mutahadditsīn); karakter tema pembicaraan (thabī‟ah al-Asyyâ‟); aksi/situasi bahasa (al-af‟âl al-mushâhabah li al-kalâm); dan waktu pembicaraan (zamân al-kalâm). Selain itu, ada juga yang namanya kontaeks sosial-budaya (siyâq tsaqafīijtimâ‟i), yakni situasi sosial budaya kondisi pada saat ungkapan bahasa terjadi. Makna sebuah ungkapan dapat berubah karena perbedaan aspek sosial atau budaya.221
3.
Kritik
atas
Konsep
Strukturalisme
Ferdinand
de
Saussure
dan
Behaviorisme Leonard Bloomfield Linguistik tradisional selalu menerapkan pola-pola tata bahasa Yunani dan Latin dalam mendeskripsikan suatu bahasa, maka linguistik strukturalis tidak lagi melakukan hal demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsepkonsep atau pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh de Saussure. Ferdinand de Saussure sering disebut sebagai Bapak atau Pelopor Linguistik Modern, berkat karyanya yang diterbitkan oleh murid-muridnya. Course de Linguistique Generale (1916), yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert 221
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 44-
50.
161
Sechehay tahun 1915 (jadi, dua tahun setelah de Saussure meninggal) berdasarkan catatan kuliah selama dirinya memberi kuliah di Universitas Jenewa tahun 1906-1911. Buku tersebut sudah diterjemahkan oleh Wade Baskin (terbit 1966) dan juga ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (terbit 1988). Pandangan-pandangannya yang relatif baru mengenai bahasa yang dimuat dalam buku itu. Pemikirannya itu, di antaranya sebagai berikut, yaitu pertama, telaah simbolik (al-tazâmuniyyah) dan diakronik (al-ta‟âqubiyyah) dalam studi bahasa, kedua, perbedaan antara langage, langue, dan parole, dan ketiga, perbedaan signifiant dan signifie, sebagai pembentuk signe linguistique, dan keempat, hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif atau paradigmatik. Yang dimaksud dengan la langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya asbtrak. Sedangkan yang dimaksud dengan la parole adalah pemakaian atau realisasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa, sifatnya konkret karena parole itu tidak lain daripada realitas fisis yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lainnya. Dalam hal ini yang menjadi objek telaah linguistik adalah langue yang tentu saja dilakukan melalui parole karena parole itulah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diamati dan diteliti. Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita. Sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Untuk lebih jelas, ada yang menyamakan signie itu sama dengan kata, signifie sama dengan makna, dan significant sama dengan bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu.222 Teori Ferdinand de Saussure tentang bahasa cenderung menganggap bahasa sebagai simbol yang bermakna. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari penuturnya yang hidup dalam lingkungan sosialnya. Kajian bahasa dapat didekati secara sinkronik dan diakronik. Bahasa terdiri dari struktur-struktur yang membentuknya, seperti bunyi bahasa (ujaran), kata-kata, 222
Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66. Lihat pula Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 346-348.
162
frasa, dan kalimat. Makna bahasa dapat dilihat dari hubungan antara petanda dan penanda, hubungan antara keduanya bersifat arbitrer, dan dapat dianalisis melalui segmentasi dan klasifikasi. Secara umum, teori yang dimajukan adalah strukturalisme.223 Dalam studi bahasa, asal usulnya bisa dilacak dari teori strukturalisme De Saussure (1857-1913). Ia menyarankan kajian bahasa bersifat intralinguistik yang sinkronik (ta‟ashurîyyah), yaitu kajian atas bahasa sebagai tindak bahasa atau kata apa adanya, berdasarkan fenomena bahasa yang tampak, baik sebagai fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, yang terikat oleh ruang dan waktu. Bahasa tidak harus dilihat dalam hubungannya dengan fungsi pendidikan atau tujuan-tujuan lain di luar dirinya. Teori de Saussure yang sering disebut teori deskriptif (washfiyyah) ini ingin membebaskan kajian bahasa dari lingkungan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sejarah, filsafat, atau ilmu kebudayaan lain. Teori yang menekankan ekstrinsikalitas bahasa, bagi de Saussure, kurang meyakinkan, bahkan tidak ilmiah. Teori deskriptif de Saussure ini, terutama menolak teori historisitas bahasa yang mengkaji perubahan bahasa sepanjang masa, baik fonologi, morfologi, sintaksis, dan sistem sintaktikalnya. Kajian historis bahasa, karena mengkaji bahasa dalam jangka waktu yang panjang (diakronik/târîkhiyyah) dinilai sulit diukur dan kajian bahasa yang bersifat ektralinguisitik kurang empirik. Karenannya, dinilai de Saussure tidak ilmiah.224 Dalam pengertian bahasa dengan tindak tutur dalam konteks kebahasaan di atas, relasinya dengan pola keagamaan, dalam studi bahasa (linguistik), bisa dikaji dengan banyak teori. Di antaranya adalah teori mentalistik (nazhariyyah „aqliyyah) atau transformatif (tahwîliyyah) Noam Chomsky (Lahir 1928) yang menolak teori deskriptif De Saussure yang lahir sebelumnya. Dalam teorinya, Chomsky memandang bahasa merefleksikan
pikiran
penutur/penulisnya. Bahasa merupakan ungkapan dan respon kejiwaan penulis/penuturnya
223
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 68. 224 Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa, Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, h. 1-2.
163
atas rangsangan lingkungan yang melatari. Berbeda dengan teori deskriptif De Saussure, objek kajian bahasa, berdasarkan teori ini, adalah seputar pengetahuan para penggunanya dengan memahami bentuk-bentuk kalimat yang lahir karena adanya kompetensi dan performance. Kompetensi adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan perasaan dan pikiran kepada lawan bicara/audiensnya dimana lawan bicara/audiensnya bisa memahami. Kompetensi kebahasaan seseorang ini terkait dengan intuisi. Sedangkan performance adalah penggunaan real atau perwujudan berbahasa dalam berragam situasi. Pandangan Chomsky tentang kompetensi dan performance membawanya pada kesimpulan bahwa bahasa manusia, menurutnya, lebih banyak berasal dari faktor bawaan ketimbang yang lain seperti struktur sosial seperti diyakini Durkheim. Bahasa seseorang ditentukan lebih banyak secara genetis. Sebab itu, teorinya sering disebut juga teori genetis. Seorang anak, baginya, belajar bahasa bukan dari nol, melainkan hanya menyeleksi pilihan-pilhan khusus dari suatu tatanan yang sudah dispesifikasi sebelumnya. Dalam berbahasa, seorang anak sama dengan mengubah tombol saklar dari sebuah kotak saklar untuk menyesuaikan parameterparameter bahasa yang dipelajari‖. Dalam khazanah Arab, teorinya ini hampir sama dengan teori Ibn Faris (941-1004) dalam as-Shahibi-nya. Baginya, meski bahasa berkembang sesuai dengan perklembangan manusia penggunannya, bahasa adalah tauqifi (sebagai faktor bawaan). Yang dijadikan rujukannya adalah QS al-Baqarah/2: 31, yiatu ayat: ―Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda di dunia) seluruhnya‖. Chomsky pun kemudian menyarankan menginterogasi fenomena bahasa (struktur kalimat) yang dikaji dengan mengubahnya dalam bentuk kalimat lain, baik karena opsional maupun keharusan. Yang opsional misalnya dengan mengubah kalimat aktif dengan pasif, kalimat berita dengan kalimat tanya, atau mengubah kalimat positif dengan negatif, karena sesungguhnya
manusia
dalam
berkomunikasi
dengan
bahasa
hanya
menangkap
pikiran/gagasan. Bahasa dalam hal ini bisa berubah sesuai konteks. Sedangkan kalimat yang
164
wajib diubah berlaku untuk struktur kalimat yang salah, baik karena secara logika kacau maupun karena tidak sesuai aturan kebahasaan. Transformasi bahasa juga bisa dilakukan dengan membuang, mengganti, memperluas, meringkas, dan menambah kata atau kalimat. Ia juga membagi kalimat pada dua bagian: struktur sederhana (struktur lahir) dan struktur dalam (struktur batin). Struktur yang lahir tegasnya adalah apa yang ditulis atau yang diungkap. Sementara struktur batin
adalah makna bahasa. Teori mentalistik Chomsky
di atas
sesungguhnya melanjutkan dan mengaskan teori ideasi Plato. Dalam teori ini, bahasa bersumber dan berhubungan dengan gagasan/ide-ide. Bahasa bukan saja alat/media untuk menyampaikan pikiran, melainkan kajian atas penggunaan bahasa dengan harus merujuk pada pikiran. Gagasan atau ide-ide merupakan titik sentral yang melahirkan dan menentukan analisis bahasa. Gagasan adalah cermin yang tampak yang menunjukkan keadaan batin internal penutur/penulisnya. Berkomunikasi lewat bahasa karenanya, merupakan bentuk komunikasi pikiran. Teori mentalistik dan kontekstual, terutama konteks budaya, yang terdapat dalam kajian linguistik di atas dalam sosiologi sebanding dengan teori tindakan dari Max Weber (1864-1920). Menurutnya, struktur sosial adalah produk tindakan, produk dari pilihan yang dimotivasi. Bagaimanapun tindakan manusia sebagai masyarakat, termasuk tindakan bahasanya, merupakan tindakan mental. Karenanya, tugas ilmu sosial, tegas Weber, adalah mencari makna di balik tindakan, termasuk tindakan bahasa. Setiap tindakan, tegas Weber, memiliki alasan-alasan, kejadin historis yang mempengaruhi, dan tujuan. Weber menyebut metodenya sebagai verstehen, yaitu kemampuan untuk masuk ke dalam kehidupan mental pelaku/penulis/penutur atas dasar tanda-tanda yang diberikannya. Sebab itulah, ia memandang kapitalisme bukan sebagai mode produksi seperti ilmuan sosial lain, melainkan sikap/semangat, suatu cara memandang sesuatu. Kapitalisme pun dilihat sebagai proses rasionalisasi ekonomi. Ia pun meneliti kapitalisme kaitannya dengan etika Protestanisme.
165
Baginya, meskipun faktor lain seperti kondisi material dan kepentingan-kepentingan ekonomi ikut berpengaruh, tetapi bisa dipastikan bahwa etika Protestan yang tertera dalam teks-teks kegamaannya merupakan salah satu faktor yang mendorong berkembangnya kapitalisme di Barat. ini artinya agama (teks-teks bahasa Protestanisme) menjadi landasan dalam praktik ekonomi kapitalisme bagi pelakunya. Argumennya, karena teks-teks etika Agama Protestan, terutama Calvinisme, mendorong semangat untuk maju, menekankan pada usaha menghindari kemalasan atau kenikmatan semaunya, menekanakan rajin bekerja, dan menekankan pada usaha membatasi konsumsi agar uang yang ada bisa diinvestasikan kembali. Bagi umat Prostestan, Tuhan hanya memberi peluang kepada hambanya yang yang mau bekerja keras. Bekerja dalam pandangan Protestanisme sebagaimana tertera dalam teks keagamaannya merupakan sebuah tugas suci dan sebagai panggilan Tuhan. Bekerja juga merupakan prasyarat untuk mencapai keselamatan. Orang yang tidak mau bekerja dianggap sebagai orang yang melanggar aturan/teks agama, mengikarainya, dan melanggar perintah Tuhan. Dalam teks-teks agama ini, karena seoarang tidak mengetahui takdirnya, maka tugas manusia mencari takdir yang terbaik untuk dirinya. Selain itu, teks-teks keagamaan Calvisnime yang dibawa John Calvin (1509-1564) juga mengibarkan semangat belajar dan mengizinkan pengambilan bunga uang, sesuatu yang dikutuk oleh moralis Katolik sebelumnya. Bunga yang dihalalkan dalam reinterpretasi teks keagaman Calvinisme inilah salah satu faktor penting berkembangnya kapitalisme di Barat.225 Adapaun Leonard Bloomfield (1887-1948) mendasarkan teorinya tentang bahasa pada input psikologi yang pada waktu itu dominan, yaitu aliran Behaviorisme. Dalam konteks ini, Bloomfield menghendaki supaya ilmu bahasa mengikuti metode ilmu eksakta yang ketat (obyek yang diteliti dapat diamati dan diukur). Dengan teori tingkah laku (behaviorisme) ia menyetujui
makna-makna
bahasa.
Menurutnya,
studi
bunyi-bunyi
ujaran
tanpa
225
Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam TeksTeks Keislaman Kontemporer (Jakarta: Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 27-31.
166
mempertimbangkan makna adalah sebuah abstraksi dalam penggunaan aktual, bunyi-bunyi ujaran itu merupakan ekspresi sebagai tanda. Makna, menurutnya, merupakan bentuk linguistik sebagai situasi di mana pembicara mengekspresikannya dan sebagai respon yang seterusnya memanggil pendengarnya. Situasi pembicara dan respon pendengarnya berada dalam suatu urutan koordinasi. Ilustrasinya: stimulus pembicara ⤇ pembicaraan ⤇ respon pendengar. Makna sebagai sebuah bentuk bahasa (linguistic form) dapat dianalisis dari segi situasi di mana pembicara mengekspresikannya. Pembicara tidak hanya hadir dengan ide (pesan) yang hendak disampaikan, akan tetapi juga menunjukkan situasi tertentu. Inti teori aliran Behaviorisme tersebut adalah bahwa perilaku manusia (al-sulûk alinsânī, nazhariyyah sulûkiyyah) itu terbentuk sebagai respon terhadap adanya stimulus. Bahasa termasuk salah satu bentuk perilaku manusia. Sejak terbitnya Language karya Bloomfield pada tahun 1933, linguistik struktural di Amerika mengalami kemajuan yang cukup pesat. Sejak itu ditemukan konstruk-konstruk teoritik seperti fonem dan morfem, pemisahan tahap analitik (analytic levels) untuk subkomponen fonemik, morfemik, dan sintaktik; di samping juga penemuan konsep relativitas linguistik dari berbagai bahasa-bahasa non Eropa, penerapan konsep teoritik pada pengajaran bahasa. Implikasi dari temuan tersebut, antara lain mengandung penerus Bloomfield seperti Charles Fries (1887-1967), Robert Lado (1915-1995), Wilga Rivers, dan Nelson Brooks membuat pendekatan lisan (oral approach) sebagai satu-satunya metode pengajaran bahasa ―yang benar‖ pada saat itu. Teori Bloomfield yang ―disinergikan‖ dengan teori Skinner (1904-1990) tentang belajar bahasa menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu mirip dengan pemerolehan kebiasaan yang lain, melalui stimulus, respon, dan reinforcement (ta‟ziz, peneguhan). Bahasa dinilai sebagai bagian dari kebiasaan atau perilaku bahasa yang dapat diperoleh (dipelajari) oleh anak kecil secara bertahap (gradual) melalui pendengaran (istimâ‟), peniruan/imitas (muhâkat), peneguhan (ta‟zīz), dan pengulangan (takrâr), hingga akhirnya bahasa itu dapat dikuasai
167
dengan baik (menjadi kebiasaan). Perilaku bahasa, menurut Bloomfield, dirumuskan dan dilambangkan dengan S (stimulus) ⤇ R (respon) r….s ⤇ R. Karena itu, menurutnya, bahasa merupakan sekumpulan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech community). Ujaran inilah yang diharus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Bahasa adalah sekumpulan data yang mungkin muncul dalam suatu masyarakat. Data ini merupakan ujaran-ujaran yang terdiri dari ptongan perlaku (tabiat) yang disusun secara linear. 226 Teori behavioral (كية
)نظرية سلو
dalam filsafat bahasa juga, yang berpandangan bahwa makna
paling mendasar dari sebuah ungkapan terletak pada pesan yang dikehendaki oleh pembicara dalam rangka mempengaruhi perilaku pendengar atau pembicara. Semua ucapan maupun permintaan pada dasarnya memuat pernyataan dan permintaan yang menghendaki respons dari pihak pendengar atau pembicara. Artinya, dalam bahasa selalu terkandung makna behavioral karena adanya tuntutan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu.227
E. Ulasan Singkat Terjemah Harfiyah dan Tafsiriyah Dalam konteks penerjemahan, suatu hal yang urgen untuk menerjemahkan AlQur‘an ke dalam bahasa adalah yang bisa dipahami oleh setiap pemilik bahasa, karena intinya Al-Qur‘an diturunkan adalah untuk dipahami kandungan ayatnya oleh ummat dan masyarakat pembaca. Untuk itu, istilah menerjemahkan Al-Qur‘an memiliki beberapa pengertian dan metode/cara yang harus ditempuh yaitu: (a) Terjemah harfiyah (literal translation) Adapun terjemah harfiyah yaitu menerjemahkan Al-Qur‘an ke dalam bahasa sasaran (Bsa) sesuai dengan mufradât (kosakata) ataupun susunan kalimat yang sesuai 226
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2008), h. 48-49. Disertasi pada Pendidikan Bahasa Arab. 227 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan, 2011), h. 123.
168
dengan bahasa aslinya. Terjemah harfiyah dapat diartikan juga dengan memindahkan pengertian dari satu bahasa ke bahasa lain sambil tetap memelihara susunannya dan sekalian makna asli yang terkandung dalam teks yang ingin diterjemahkan. Penerjemahan dilakukan dengan mengkonversi konstruksi gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi bahasa penerima yang paling dekat. Terjemah harfiyah (literal/letterleijk) digunakan sebagai tahap awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan kerumitan struktur nash (teks). Kategori ini melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frasa, bentuk kalimat dan sebagainya. Bagaimana dalam konteks penerjemahan Al-Qur‘an bila menggunakan teori terjemah harfiyah ini? sudah dapat dipastikan hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab (gramatical arabic) ke dalam bahasa Indonesia yang tentunya keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut al-Zarqânī, terjemahan seperti ini tak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata. Terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan lafziyah atau musâwiyah. AlZarqânī mengatakan:228
فهي تشبو وضع املرادف،فالًتمجة اْلرفية ىي اليت تراعى فيها حماكاة األصل يف نظمو وترتيبو . وبعضهم يسميها مساوية، وبعض الناس يسمى ىذه الًتمجة ترمجة لفظية،مكان مرادفو Terjemahan harfiyah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, dicarilah padanan kata (murâdif) dalam bentuk bahasa penerima (Bpe), dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata bahasa sumber (Bsu) meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya terjemahan harfiyah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber 228
Syaikh Muhammad Abdul ‗Azhīm al-Zarqânī, Manâhil al-„Irfân fī „Ulûm al-Qur‟an (Kairo: Dâr alHadīs, 2001), juz ke-2, h. 95-96.
169
(Bsu) tidak mungkin dilakukan, sebab masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa penerima) selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata, adakalanya masingmasing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri.229 Terjemah ini disebut juga sebagai terjemah lafziyah, menerjemahkan sesuai dengan susunan dan struktur bahasa asal. Al-Zahabī seperti dalam Tim Tafsir Al-Qur‘an Kementerian Agama, membagi terjemah harfiyah ini ke dalam dua model yaitu harfiyah bi al-misl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya sesuai dengan bahasa asal dan harfiyah bighairil misl, yaitu terjemahan yang sedikit longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan.230 Terjemahan harfiyah bisa saja dirubah sedikit agar berterima di dalam BSa (bahasa sasaran), sehingga terjemahan BSa: misalnya
أمام املسجد
ذلك البيت
(itu rumah di depan masjid) menjadi terjemahan yang berterima; rumah itu di
depan masjid. Perubahan terjemahan harfiyah ini disebut oleh Larson seperti dikutip Tardi, sebagai terjemahan harfiyah yang dimodifikasi (modified literal translation). Istilah terjemahan harfiyah menurut Nida, Taber, dan Larson, masih dalam kutipan Tardi, ini disebut dengan terjemahan kata-demi-kata oleh Newmark, karena dalam terjemahan ini tata bahasa BSu dan susunan katanya dipertahankan di dalam BSa.231 Dalam kegiatan penerjemahan, setiap jenis nash sepatutnya diperlakukan secara khusus. Perlakuan ini menyangkut masalah teoritis yang bertalian dengan metode dan prosedur penerjemahan, kualifikasi penerjemah, dan proses penerjemahan. Karena itu, penerjemahan nash keagamaan berbeda dengan penerjemahan nash ilmiah, nash sastra, dan 229
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 60-61. 230 Tim Tafsir Al-Qur‘an, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Kemenag (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. 31-32. 231 Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag RI Edisi Tahun 2002 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 23-24. Tesis pada SPs UIN Jakarta, konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab.
170
jenis nash lainnya. Perbedaan perlakuan ini erat dengan karakteristik isi dan bahasa yang mengungkapkan isi itu. Nash sastra misalnya, memiliki fungsi menghibur dan mendidik. Fungsi yang demikian dimainkan dengan bahasa yang memperhatikan unsur-unsur keindahan. Penerjemahan dilakukan dengan perlu berupa menjalankan kedua fungsi tersebut di dalam bahasa terjemahan yang indah. Demikian pula halnya penerjemahan (nash) teks keagamaan, misalnya dalam konteks ini adalah nash Al-Qur‘an dan hadis Rasul, yang memerlukan penanganan tersendiri. Bagi orang Islam, nash Al-Qur‘an memiliki aneka dimensi dan fungsi yang perlu dijaga dan diraih manfaatnya. Agar segala kebaikan Al-Qur‘an, kedalaman makananya, dan keindahan bahasanya tetap terpelihara, maka metode, prosedur, dan teknik penerjemahannya serta kualifikasi penerjemahnya pun perlu dirumuskan terlebih dahulu. Di samping itu, cara pandang (mindset) penerjemah nash-nash keagamaan tentu saja berbeda dengan cara pandang penerjemah nash sastra atau penerjemah teks pada umumnya. Penerjemah nash keagamaan dituntut untuk jujur dan berniat dakwah, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan materil. Oleh karena itu, kiranya perlu disajikan pembahasan tentang hukum, menerjemahkan nas keagamaan dengan segala aspeknya. Banyak argumentasi yang dilontarkan para ulama tafsir tentang penggunaan terjemahan Al-Qur‘an secara harfiyah, sebab hal itu sangat mustahil dilakukan. Berikut ini beberapa pandangannya: menerjemahkan Al-Qur‘an dengan mengungkapkan makna dan maksudnya ke dalam bahasa lain, baik secara harfiah maupun tafsiriyah. Hukum menerjemahkan dengan cara seperti ini adalah mustahil untuk dilakukan dan haram menurut syara‟ karena faktor-faktor di bawah ini. a) makna-makna Al-Qur‘an tidak mungkin dapat diungkapkan melalui terjemahan. Demikian pula dengan tiga maksud utama Al-Qur‘an sebagai hidayah, sebagai mukjizat Nabi SAW, dan sebagai ibadah dengan membacanya. b) Penerjemahan dengan pengertian seperti itu berarti menyerupai Al-Qur‘an. Hal demikian 171
mustahil dilakukan. c) Jika perbuatan seperti itu mustahil dilakukan, maka melakukan sesuatu yang mustahil adalah diharamkan oleh Islam. Allah melarang manusia menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan, lihat QS. al-Baqarah ayat 195 di bawah ini:
٠٦٤ ٓ١ِٕه ِحتُّ ٱٌ هّح ِغ٠ ا ئِ َْ ٱ َّللٛأح ِغٕهٚ ٍهى ِخَٙ ٱٌزٌِٝ هىُ ئ٠ ِذ٠ا ثِأٛل رهٍمهٚ ِ ًِ ٱ َّلل١ِ عجِٟا فٛأٔفِمهٚ Allah tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya. d) Terjemahan dapat melalaikan umat dari Al-Qur‘an itu sendiri. e) Al-Qur‘an dapat disebarkan bukan dengan terjemahannya. Nabi SAW sendiri, beliau adalah manusia yang paling mengerti Al-Qur‘an— tidak menerjemahkan Al-Qur‘an tatkala menyeru bangsa Arab, asing, dan para pemuka masyarakat. Demikian pula halnya dengan para sahabat.232 Universitas Al-Azhar Kairo Mesir telah lama menaruh perhatian terhadap masalah penerjemahan Al-Qur‘an. Karena itu, diselenggarakanlah diskusi, dialog, dan seminar yang membahas masalah tersebut. Dari kegiatan ini dapat disimpulkan fatwa berikut berkenaan dengan penerjemahan Al-Qur‘an ke bahasa asing dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah itu. a. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur‘an sedapat mungkin dihindari istilah-istilah ilmiah kecuali sebatas tuntutan agar lebih dipahami; b. tidak boleh menyuguhkan pandanganpandangan ilmiah. Ketika menafsirkan Surat al-Ra‟d, misalnya, tidak perlu disajikan pandangan ahli astronomi. Penafsiran cukup dilakukan dengan menjelaskan ayat itu ke dalam bahasa Arab; c. ketika ada beberapa masalah yang perlu diperdalam secara ilmiah, sebaiknya dibentuk komisi yang bertugas menyusun masalah itu dan menempatkannya sebagai catatan bagi tafsiran yang telah diberikan; d. komisi itu tidak boleh tunduk kecuali kepada apa yang dikemukakan oleh ayat yang mulia. Karena itu, komisi jangan terikat oleh suatu mazhab fiqih atau mazhab teologi tertentu; e. tafsiran dilakukan berdasarkan pada Qiraat Hafash, bukan Qiraat lainnya kecuali sebatas kebutuhan konteks; f. menghindari pemaksaan dalam pengaitan surat atau ayat yang satu dengan surat atau ayat yang lain; g. hendaknya disajikan 232
Syihabudin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h.
163-166.
172
sebab-sebab turunnya ayat guna mendukung pemahaman pembaca akan makna ayat; h. pada saat melakukan penafsiran, hendaknya satu atau sekelompok ayat yang berkenaan dengan topik tertentu disajikan lebih dahulu. Sajian ini diikuti dengan penjelasan makna kosa kata yang rumit secara cermat. Setelah itu, barulah makna ayat ditafsirkan dengan jelas, yang didukung dengan ayat lain yang terkait dan dengan sebab turunnya ayat; i. hendaknya pada permulaan surat disajikan hal-hal yang berkaitan dengan masalah surat Makkiyyah atau Madaniyyah dan alasan surat itu digolongkan ke dalam salah satunya; j. sebuah tafsir hendaknya didahului dengan pengantar yang menyajikan pengertian Al-Qur‘an, kandungan utama Al-Qur‘an, dan metode penafsiran yang digunakan dalam tafsir tersebut. Di samping acuan di atas, pembahasan para ulama Al-Azhar pun merekomendasikan sebuah metode penafsiran makna Al-Qur‘an. Metode ini diuraikan dalam langkah-langkah seperti berikut. Pertama, membahas sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl), menafsirkan ayat dengan hadis dan perkataan para sahabat, meneliti periwayatan hadis dan ucapan tersebut, menggunakan riwayat yang paling sahih dalam menafsirkan ayat dan menjelaskan kekuatan atau kelemahan riwayat itu. Kedua, membahas kosa kata Al-Qur‘an secara lughawi, membahas karakteristik struktur ayat yang ditafsirkan dilihat dari segi ilmu balaghah, dan menyajikannya. Ketiga, membahas pendapat ahli tafsir dan memilih pandangan yang paling kuat. Begitu yang ditulis al-Zarqânī, sebagaimana yang dikutip Syihabuddin. Uraian di atas menegaskan bahwa hampir setiap aspek penerjemahan Al-Qur‘an terkait dengan hukum syariat. Konsep penerjemahan, metode penerjemahan, dan kualifikasi penerjemah berkaitan dengan hukum wajib dan haram. Penerjemahan Al-Qur‘an tidak dapat ditelaah dari segi teori terjemah belaka. Karena itu, penerjemahan Al-Qur‘an perlu dipandang sebagai satu pendekatan untuk memahami Al-Qur‘an. Demikianlah, penerjemahan Al-Qur‘an sebagai nas keagamaan, baik secara harfiah maupun tafsiriyah, adalah tidak sama dengan
173
menafsirkannya dengan bahasa Arab atau asing. Menafsirkan Al-Qur‘an dengan bahasa asing adalah sama dengan menafsirkannya dengan bahasa Arab.233 Penerjemahan Al-Qur‘an baik secara harfiah maupun tafsiriyah dengan pengertian seperti yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yaitu kegiatan alih bahasa hendaknya memenuhi seluruh makna dan maksud Al-Qur‘an. Perbedaan antara terjemah harfiah dan terjemah tafsiriyah hanyalah dalam aspek bentuk. Pada terjemah harfiah, urutan dan sistematika nas sumber benar-benar diperhatikan, sedangkan terjemah harfiah tidak demikian. Jadi, penerjemahan Al-Quran yang dibolehkan ialah penerjemahan dalam arti menyampaikan nas Al-Qur‘an dan menafsirkannya sedangkan penerjemahan dengan arti mengalihkannya ke bahasa asing adalah dilarang. Yang dibolehkan adalah menerjemahkan Al-Qur‘an dengan makna menafsirkannya dengan bahasa asing.234 Berkaitan dengan tafsir/penafsiran, Amin al-Khûli seperti yang dikutip Istianah, mengatakan: bahwa dalam ilmu pengetahuan, konteks sosial-politik, dan aktivitas penafsir akan mewarnai dan memengaruhi praktik penafsiran Al-Qur‘an yang dilakukan. Pandangan ini mengarahkan pada satu pemahaman konseptual bahwa penafsiran, dalam konteks ini penerjemahan secara umum, tidak bisa dilepaskan dari basis sosial-politik, asal-usul, serta genealogi keilmuan penafsir atau penerjemah. Pandangan semacam ini sejalan dengan yang dikemukakan Karl Mannheim, bahwa pengetahuan manusia tidak bisa lepas dari subjektivitas individu yang mengetahuinya. Pengetahuan dan eksistensi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Latar belakang sosial dan psikologis subjek yang mengetahui tidak bisa dilepaskan dari proses terjadinya pengetahuan. 233
Perlu diketahui bahwa dalam bahasa Arab terdapat lafaz-lafaz yang memiliki dua bentuk makna. Sebagaimana yang diutarakan al-Zahabī, sebagaimana dikutip Saifuddin, pertama, makna asli (dalâlah ashliyyah), yakni lafaz yang dapat dipahami secara langsung dan ditemukan padanannya dalam bahasa lain. kedua, makna sekunder (dalâlah tsanawiyyah), yaitu lafaz yang sulit dapat dipahami langsung tanpa melihat secara keseluruhan kalimat dan konteks pembicaraan. Lihat Saifuddin, Tradisi Penerjemahan Al-Qur‟an ke Dalam Bahasa Jawa: Suatu Pendekatan Filologis (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, 2013), Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 2, h. 241-242. 234 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h. 174 – 177.
174
Demikian juga pada aktivitas ‗penerjemahan sebagai bagian dari proses penafsiran, di mana Richard E. Palmer masih dalam Istianah menyatakan bahwa ―menafsirkan‖ (to interpret) secara filosofis juga bermakna menerjemahkan (to translate), karena pada dasarnya ―menerjemahkan‖ merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar, ―membawa sesuatu untuk dipahami.‖ ketika teks tertulis dalam bahasa asing, maka ia akan menimbulkan perbedaan perspektif dan horizon yang tak terelakkan, sehingga dibutuhkan proses ―membawa‖ bahasa asing tersebut ke dalam mediasi bahasa lain untuk dapat dipahami. Tindakan penerjemahan pun bukan sekadar persoalan mekanis mencari makna dan menemukan sinonim kata, akan tetapi, seorang penerjemah pun harus mampu melebur dalam horizon ―pemahaman‖ di dalam teks. Dengan demikian, penerjemahan juga merupakan proses penafsiran. Selain itu, penerjemahan juga berkaitan dengan ‗makna‖, karena menentukan makna memiliki peranan penting dalam proses penerjemahan. Dengan demikian, ‗menerjemahkan‘ suatu bahasa tidaklah sesederhana memindahkan makna yang ada di balik kata atau kalimat bahasa sumber (BSu) dalam bahasa sasaran (BSa), melainkan juga proses mentransfer pesan dan gagasan dengan segala aspeknya. Oleh karenanya, ketepatan dalam menentukan makna menjadi syarat penting dalam menjaga kandungan teks dari distorsi dan tentunya menentukan kualitas hasil terjemahan. Berkaitan dengan penerjemahan Al-Qur‘an, proses penerjemahan menjadi sesuatu yang unik, di satu sisi proses ini dianggap hal yang profan, di sisi lain aktivitas ini dipandang sesuatu yang sakral dan tak jarang menimbulkan kontroversi, karena bahasa Al-Qur‘an diyakini berdimensi ilahi sehingga proses penerjemahannya pun menjadi sesuatu yang krusial. Dimensi ilâhiyah yang terkandung dalam bahasa Al-Qur‘an menjadikannya memiliki muatan makna yang begitu luas, dan proses penerjemahannya menjadi proses pembatasan makna. Karena adanya pembatasan makna sebagaimana diuraikan di atas, maka sangatlah wajar jika apa yang disodorkan oleh sebuah karya penerjemahan sangat terbatas, dan
175
penerjemahan tidak mencukupi dalam upaya pemahaman yang komprehensif terhadap kandungan Al-Qur‘an. Akan tetapi, bukan berarti umat Islam non-Arab ataupun yang tidak menguasai bahasa Arab tidak dapat memahami Al-Qur‘an, hanya saja pemahamannya masih terbatas pada penerjemahan saja.235 Harus dipahami bahwa ada 2 makna dalam setiap bahasa. Primer (awwaly atau ashly) yang bisa dipahami langsung melalui zahir lafal tersebut, tanpa perantara, dan kedua makna sekunder (tsânawī/tâbi‟ī) yang berupa makna kedua dan seterusnya di balik makna asli. Jika dikatakan Umar pergi, seketika dari lafal tersebut kita pahami kepergian Umar. Bila ada yang mengatakan, ―di ruangan ini ada singa‖ tentu yang dimaksud bukan makna sesungguhnya, yaitu keberadaan hewan yang bernama singa di ruangan ini, akan tetapi seseorang yang gagah sekali dan berani. Contoh yang pertama disebut makna primer, dan yang kedua disebut sekunder.236 Keberadaan dua makna ini nampaknya disepakati oleh para ulama. Imam alSyâtibī seperti dirujuk Muchlis M. Hanafi, mengemukakan bahwa lafal-lafal dalam bahasa Arab memliki dua bentuk makna denotative; yaitu primer (dalâlah asliyah) yang dapat dipahami langsung dan ditemukan padanannya dalam bahasa lain, dan sekunder (dalâlah tâbi‟ah/tsânawiyah) yang menjadi kekhasan bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur‘an dan hanya dapat dipahami dengan mengetahui karakteristik keindahan bahasanya. Makna primer bisa dengan mudah diungkapkan ke dalam bahasa-bahasa lain, dan itu tidak masalah. Misalnya,
ketika
ingin
menjelaskan
umar
berdiri,
semua
bahasa
bisa
mengungkapkannya. Tetapi di dalam bahasa Arab ada penekanan-penekanan tertentu dengan memperhatikan siapa yang diajak bicara dan apa yang ingin ditekankan. Bila sekadar ingin memberitahu cukup dikatakan “qāma „umar”. Tetapi bila yang diajak berbicara mengingkari
235
Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI (Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 20-22. Tesis pada Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi Studi Al-Qur‘an dan Hadis. 236 Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan AlQur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA), Vol. 4, No. 2, Tahun 2011, h. 172-173.
176
maka dikatakan, “inna „umara qā‟imun” atau “innamā qāma „umar”, dan seterusnya. Para ahli bahasa modern, seperti Larson, lanjut Muchlis, juga membedakan makna primer dan sekunder yang lazimnya lebih dikenal dengan sebutan makna ―referensial‖ dan ―konotatif‖. Makna referensial adalah makna dasar yang dapat dilihat dalam makna leksikal, gramatikal, atau tekstual (konteks dari teks). Sedangkan makna jenis kedua dapat dilihat pada adanya makna tambahan seperti makna sosiokultural. Sebagai contoh, makna kata ―kursi‖ yang mempunyai makna referensial atau makna primer ―tempat duduk‖, namun juga dapat mempunyai makna konotatif atau sekunder, misalnya dalam kalimat ―ia baru mendapatkan kursi yang empuk dalam perusahaan itu; proyek miliaran banyak yang diserahkan kepadanya.‖ Makna-makna yang timbul karena memperhatikan penekanan-penekanan tertentu dan kondisi orang yang diajak bicara (mitra tutur/mukhâtab) akan berbeda cara pengungkapannya antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, sebab setiap bahasa memiliki karakter dan ciri tersendiri. Perbedaan itu bisa lahir karena perbedaan tingkat kecerdasan orang yang memahami, dan kepandaian serta kepiawaian si pembicara (mutakallim) dalam memilih katakata. Ungkapan yang memiliki dua makna tersebut tentu ada di semua bahasa, apalagi dalam bahasa Arab yang sangat kaya kosakata dan memiliki banyak keunikan. Kekayaan dan keunikan bahasa Arab misalnya, terlihat pada beberapa kosakata dan sinonimnya. Kata tinggi saja mempunyai enam puluh sinonim, bahkan konon kata singa bersinonim lima ratus, dan kata yang menunjuk kepada aneka pedang ditemukan sebanyak lebih kurang 1000 kata. Menurut De Hammaer, kata yang menunjuk unta dan keadaannya ditemukan sebanyak 5644 kata. Ada yang memperkirakan kosakata bahasa Arab berjumlah tidak kurang dari 25 juta kosakata. Sinonim-sinonim tersebut tidak selalu sepenuhnya mempunyai arti yang sama. Kata jalasa dan qa„ada sama-sama diterjemahkan ―duduk‖, tetapi penggunaannya berbeda. Jalasa untuk duduk dari yang semula berbaring, dan qa‟ada untuk duduk dari yang semula berdiri.
177
Selain itu bahasa Al-Qur‘an juga banyak menggunakan bentuk majāz (metafor), musytarak (satu kata dengan dua makna atau lebih yang berbeda), adhdād (satu kata dengan dua makna yang bertolak belakang) dan kekhasan lainnya yang tidak ditemukan dalam bahasa lain. Atas dasar itu para ulama sepakat menyatakan banyak kata dan ungkapan dalam bahasa Arab, lebih-lebih Al-Qur‘an yang dinilai memiliki kualitas sastra tinggi, yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa lain. Ungkapan ―menjadikan tangan terbelenggu di leher‖ dan ―membentangkan tangan selebar-lebarnya‖ seperti dalam Q.S. al-Isrā‘ /17: 29 tentu sulit dipahami dalam bahasa lain bahwa yang dimaksud adalah sifat terlalu pelit/kikir dan sifat boros. Karena itu, mengutip Ibnu Qutaibah, setelah menjelaskan kedua makna di atas alSyâthibī mengatakan sebagaimana dikutip Muchlis M. Hanafi:
فأما على الوجو، يعٍت على ىذا الوجو الثاين،وقد نفى ابن قتيبة إمكان الًتمجة ىف القرآن ومن جهتو صح تفسَت القرآن وبيان معناه للعامة ومن ليس لو فهم يقوى على،األول فهو دمكن فصار ىذا اإلتفاق حجة ىف صحة الًتمجة، وكان ذلك جائزا باتفاق أىل اإلسالم، حتصيل معانيو [٤٦ /٢على املعٌت األصلي ]املوافقات Artinya: “Ibnu Qutaibah menafikan kemungkinan Al-Qur‟an diterjemahkan, yaitu dalam bentuk makna kedua (makna sekunder). Adapun makna pada bentuk yang pertama (makna asli) dimungkinkan, dan atas dasar itu dibenarkan menafsirkan Al-Qur‟an dan menjelaskan maknanya untuk orang awam dan yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali makna-makna Al-Qur‟an. Ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan umat/ulama Islam. Kesepakatan ini pula yang menjadi dasar kebolehan/kebenaran terjemah pada makna primer.”237
237
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan AlQur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 173-175.
178
Melihat karakter bahasa Al-Qur‘an yang sedemikian rupa tentu tidak mungkin untuk dapat menerjemahkannya secara apa adanya, yaitu dengan pengertian ―pengalihan kalimat/kata dari bahasa pertama kepada kesamaannya dalam bahasa kedua, baik dalam tata bahasanya maupun arti per kata‖ yang lazim disebut terjemah harfiyah, atau menurut huruf, kata demi kata (tidak menurut makna yang terkandung dalam kalimat)‖. Terjemah harfiyah tentu akan mengabaikan sekian banyak makna sekunder dalam Al-Qur‘an, baik yang timbul karena karakteristik bahasa Arab yang menggunakan bentuk-bentuk majāz, musytarak dan lainnya, atau yang timbul dari hasil ijtihad dan istimbat hukum di balik lafal yang zahir. Tetapi itu tidak berarti Al-Qur‘an tidak dapat diterjemahkan. ―Salah jika ada yang beranggapan
Al-Qur‘an
secara
keseluruhan
tidak
mungkin
diterjemahkan
karena
kemukjizatan yang dimilikinya‖, demikian kata Syaikh Musthafâ al-Marāghī, dalam kutipan Muchlis, ulama besar Mesir yang pernah menjadi Grand Syaikh/pemimpin tertinggi AlAzhar. ―yang benar, lanjut al-Marāghī, Al-Qur‘an mungkin diterjemahkan dari segi makna primernya (al-ashliy), dan mustahil dapat diterjemahkan makna sekundernya‖. Di tempat lain dalam bukunya Bahtsun fī Tarjamat al-Qur‟an al-Karīm wa Ahkāmiha, ia mengatakan, ―sebagian ayat Al-Qur‘an mungkin diterjemahkan secara harfiyah, dan sebagian lainnya tidak mungkin‖. Bahkan kemungkinan menerjemahkan Al-Qur‘an secara harfiyah, menurut alMarāghī terbuka di banyak ayat, meskipun ia juga mengakui tidak mungkin menerjermahkan keseluruhan Al-Qur‘an secara harfiyah. Yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiyah tentu harus diterjemahkan secara tafsiriah. Berikut ungkapan al-Marāghī dalam bukunya:
بل اْلق أن، ادعاء خاطئ،إن االدعاء بأن القرآن الكرمي كلو ال ميكن ترمجتو ألنو معجز . ويستحيل ترمجتو من ناحية الدالالت التابع، إنو ميكن ترمجتو من ناحية الدالالت األصلية: يقال ى٣٢٢٥ ىدية ملة األزىر مانية لشهر شوال،٥٣ . ص،”"حبث يف ترمجة القرآن الكرمي وأحكامها
179
Artinya: “Mengatakan Al-Qur‟an seluruhnya tidak mungkin dapat diterjemahkan karena sifatnya sebagai mukjizat adalah keliru. Yang benar, memungkinkan diterjemahkan dari sisi makna primer, dan mustahil diterjemahkan dari sisi makna sekunder.” Lanjut Syaikh Musthafâ al-Marâgī dalam Muchlis M. Hanafi:
وبعضها ال ميكن أن يًتجم ترمجة حرفية،“إن بعض آيات القرآن ميكن أن تًتجم ترمجة حرفية (“٢٤ .ص." ) Artinya: “Sebagian ayat Al-Qur‟an mungkin diterjemahkan secara harfiah, dan sebagian lainnya tidak”.
ودمكنة يف آيات كثَتة أو يف أكثر،ورمن نعًتف بأن الًتمجة اْلرفية متعذرة يف كل القرآن (٥٧. )ص."آيات القرآن Artinya: “Kami mengakui, terjemahan harfiah tidak mungkin dapat dilakukan terhadap keseluruhan Al-Qur‟an, tetapi untuk banyak ayat, atau sebagian besar ayat alQur‟an dimungkinkan.”
Pandangan-pandangan Syaikh Musthafâ al-Marâgī di atas membatalkan apa yang dikemukakan oleh M. Thalib, dalam tulisannya di Majalah Gatra edisi 10 November 2010 yang berjudul ―Beda Terjemah Memunculkan Masalah‖ sebagai jawaban atas tulisan penulis di majalah yang sama edisi 20 Oktober 2010 yang berjudul ―Beda Terjemah Bukan Masalah‖. Di situ ia menyatakan, ―Syaikh Akbar Muhammad Musthafâ al-Marâgī berpendapat, terjemah Al-Qur`an secara harfiyah tidak boleh. Yang dibolehkan adalah terjemah secara maknawiyah atau tafsiriyah‖. M. Thalib tidak merujuk ke buku asli alMarâgī, tetapi dari tulisan Raudhah Abdul Karim Fir`aun, Tarjamat al-Qur`an al-Karīm: Hukmuha wa Daruratuhā, Yordania, Februari 2007. Penggunaan sumber sekunder juga dilakukan oleh M. Thalib ketika mengutip pandangan al-Syâtibī yang dikutipnya dari Dr. A. Qadir Sulami, Tarjamah Tafsiri al-Qur`an al-Karim baina al-Ijâzah wa al-Imtinā`, Majallah 180
Hawliyyatit Turâts, 2005, hlm. 3. Oleh karena itu wajar terjadi apa yang ditulis oleh M. Thalib, ―Kutipan pendapat para ulama itu berbeda dari yang ditulis Muchlis M Hanafi, seorang pakar tafsir, pada Gatra 20 Oktober 2010, sekalipun nama-nama ulamanya sama‖, sebab penulis menggunakan sumber primer, sementara M. Thalib menggunakan sumber sekunder.‖238 Diakui ulama sepakat terjemah harfiah hukumnya haram, karena tidak mungkin untuk dilakukan. Ini tidak perlu diperdebatkan. Tetapi melihat uraian di atas, yang diharamkan adalah untuk keseluruhan Al-Qur‘an, tidak untuk sebagiannya. Perlu juga dipahami, polemik tentang terjemah yang pernah terjadi bukan semata-mata soal harfiah atau tafsiriah, tetapi juga tentang upaya menjadikan terjemahan itu sebagai pengganti Al-Qur‘an. Bila dicermati argumentasi yang dikemukakan oleh mereka yang melarang terjemahan, khususnya di awal abad keduapuluh, pelarangan terjemah harfiyah didasari pada keberatan dan kekhawatiran bahwa terjemah tersebut dijadikan sebagai Al-Qur‘an yang mempunyai nilai ibadah jika dibaca. Terjemah dimaksud tentunya untuk keseluruhan Al-Qur‘an. Syaikh Rasyid Ridha seperti dikutip Muchlis, misalnya, setelah menyampaikan argumentasi yang melarang terjemahan ia mengatakan, ―Inti beberapa alasan yang melarang terjemahan Al-Qur‘an untuk umat Islam agar dapat menjadi Al-Qur‘an Latin, sebagai pengganti Al-Qur‘an yang berbahasa Arab‖. Di tempat terpisah ia mengatakan: ―Tidak boleh terjemahan itu dikatakan sebagai Al-Qur‘an atau kitab suci. Menyandarkan itu kepada Allah adalah sebuah kebohongan dan pengingkaran terhadap kitab suci. Umat Islam sepakat, tidak boleh hukumnya mengganti sebuah lafal Al-Qur‘an dengan lafal lain dalam bahasa Arab, seperti ar-rayb diganti dengan asy-syakk.‖
Kekhawatiran yang sama bila Al-Qur‘an diterjemahkan juga dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abu Zahrah. Ia mengatakan:
238
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan AlQur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 175-177.
181
―Tidak boleh menerjemahkan Al-Qur‘an dan menganggapnya sebagai Al-Qur‘an, sebab itu tidak memelihara Al-Qur‘an dari penggantian dan penyimpangan. Al-Qur‘an akan mengalami seperti yang dialami Taurat dan Injil. Naskah asli Injil dengan empat versi yang ada dan berbahasa Ibrani hilang. Yang ada terjemah dalam bahasa Yunani, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa-bahasa lain. Al-Qur‘an akan mengalami hal yang sama bila diterjemahkan. Tetapi sejak awal jalan ke arah itu tertutup, sebab terjemah tidak mungkin dapat dilakukan.‖
Ketika berbicara tentang hukum terjemahan harfiyah, Syaikh al-Zarqānī mengatakan: ―Jika pintu terjemahan dibuka maka banyak orang akan melakukan itu. Setiap kelompok akan menerjemahkannya ke bahasa masing-masing, sehingga akan muncul banyak versi terjemahan yang pasti berbeda-beda. Perbedaan terjemah itu akan memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam seperti yang dialami umat Yahudi dan Nasrani seputar Taurat dan Injil. Umat Islam akan tercerai-berai, dan akan mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk memecah belah, sehingga yang satu mengatakan kepada yang lain, ‗Al-Qur‘an kami lebih baik daripada Al-Qur‘an kalian‘.‖
Kekhawatiran itu secara fakta tidak terjadi. Umat Islam sangat paham bahwa terjemahan Al-Qur‘an, apa pun bentuknya (harfiyah atau tafsiriyah), bukanlah Al-Qur‘an dan tidak berkedudukan sebagai pengganti Al-Qur‘an yang memiliki kesucian. Terjemahan tidak akan mampu mengangkut semua makna yang terkandung dalam retorika Al-Qur‘an dan menampung semua pesan-pesannya. Terjemahan Al-Qur‘an, apa pun bentuknya, hanyalah sebuah hasil pemahaman seorang penerjemah dengan segala keterbatasannya dan kesan yang bisa ditangkapnya dari Firman Allah.239 Ustadz M. Thalib mengatakan bahwa al-Marâgī mengharamkan terjemah harfiyah. Akan tetapi, menurut Muchlis M. Hanafi yang merujuk di buku aslinya, banyak pernyataan al-Marâghī juga menegaskan terjemah harfiyah dimungkinkan.240 Lalu kenapa muncul perbedaan pendapat tentang ini di kalangan ulama? larangan terjemah harfiyah didasari kekhawatiran bahwa hasil terjemah itu dianggap Al-Qur‘an. Kekhawatiran itu secara fakta tidak terjadi. Untuk itu, ditegaskan bahwa terjemah, apapun bentuknya, bukan Al-Qur‘an dan
239
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan AlQur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 177-178. 240 Berdasarkan hasil wawancara (interview) dengan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, Muchlis M. Hanafi, di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat, Jl. M. H. Thamrin Lt 17, pada Selasa, 22 Maret 2016 pukul 10.00 WIB.
182
tidak mungkin menjadi pengganti Al-Qur‘an. Kemudian apakah terjemah Kemenag harfiyah atau bukan?
(b) Terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah Terminologi terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah adalah menerangkan atau menjelaskan makna yang terkandung dalam satu buku dengan bahasa lain tanpa memerhatikan susunan dan jalan bahasa aslinya dan juga tanpa memerhatikan sekalian makna yang dimaksudnya. Terjemah model ini lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan bahasa asal, tidak terikat dengan susunan dan struktur kalimat. Dalam istilah lain, terjemah ini dikenal dengan terjemah bebas. Sifat terjemah ini lebih luas dan elastis dalam menangkap dan mengungkap makna kandungan ayat Al-Qur‘an. Hanya saja, mesti dibedakan dengan istilah tafsir itu sendiri. Baik al-Zarqânī maupun Mannâ‘ al-Qatthân, dalam Ismail Lubis (2001), samasama menamakan terjemahan tafsiriyah dengan nama maknawiyah. Perbedaan pendapat mereka cuma terletak dalam hal keterangan. Al-Zarqânī menamakan terjemahan tafsiriyah dengan nama maknawiyah disertai keterangan, yakni terjemahan tersebut mengutamakan kejelasan makna, sedangkan Mannâ‘ al-Qatthân tanpa alasan dan keterangan yang jelas. Pemberian nama terjemahan tafsiriyah oleh al-Zarqânī bukan tanpa alasan dan keterangan yang logis. Ahli ilmu Al-Qur‘an ini memberi nama jenis terjemahan kedua ini dengan terjemahan tafsiriyah, karena titik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata tafsir. Teknik terjemahan tafsiriyah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber (Bsu) terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat bahasa penerima (Bpe) tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber
183
(Bsu).241 Dengan pemaparan tersebut, bisa disimpulkan bahwa istilah terjemah harfiyah yang diutamakan adalah ketepatan dari segi bahasa aslinya, sedangkan pada terjemah tafsiriyah yang lebih dipentingkan ialah ketepatan/kesesuaian dari segi makna atau isi kandungan bahasa aslinya. Berikut ini pendefinisan kedua istilah tersebut sebagaimana yang tertulis dalam karya Syaikh Muhammad Ali al-Shâbûnī:
واملراد بالقسم األول (اْلرفية) أن يًتجم القرآن بألفاظو ومفردات و ومجلو وتركيبو ترمجة طبق وأما القسم الثاين (التفسَتية) فهو يًتجم معٌت. أو الفرنسية، أو األملانية،األصل إَل اللغة اإلذملزية فيًتجم القرآن بألفاظ ال، وإمنا يكون مهو املعٌت، حبيث ال يتقيد اإلنسان باللفظ،األيآت الكرمية 242
.فيفهمو
وإمنا يعمد إَل األصل،يتقيد هبا املفردات والًتاكيب
Al-Zahabī dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirûn, seperti dalam Muqadimah Tafsīr AlQur‟an Kemenag RI, mengemukakan ada perbedaan antara tafsir dengan tarjamah tafsiriyah yaitu: a. Terletak pada kedua bahasa yang digunakan. Bahasa tafsir dimungkinkan sama dengan bahasa yang asli, sedangkan tarjamah tafsiriyah menggunakan bahasa yang berbeda dari bahasa asli yang diterjemahkan. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia seperti Tafsīr Al-Azhar karya Buya Hamka, lebih tepat disebut sebagai tarjamah tafsiriyah. Sedangkan Tafsīr Mafâtihul Gaib karya Fakhruddin al-Râzī dan Tafsīr al-Marâghī dan lainlain barulah disebut dengan tafsir dalam arti yang sesungguhnya. b. Dalam tafsir, sebagaimana yang dinyatakan dalam Tim Tafsir Al-Quran Kemenag, pembaca suatu kitab tafsir dimungkinkan untuk melakukan kroscek kepada teks aslinya manakala ada keraguan atau kekeliruan di dalamnya, sedangkan tarjamah tafsiriyah sangat
241
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 62. 242 Syaikh Muhammad Ali al-Shâbûnī, al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an (Jakarta: Dâr al-Kutub alIslâmiyyah, 2003), h. 210-211.
184
sulit untuk melacak aslinya ketika ada keraguan atau kesalahan di dalamnya karena umumnya pembaca pun tidak mengerti bahasa aslinya (yakni bahasa Arab). Terjemah harfiyah bagi AlQur‘an boleh jadi dilakukan dengan menerjemahkan seluruh ayat-ayat Al-Qur‘an dalam bahasa lain kata per-kata dengan memerhatikan gaya bahasanya (uslûb), sehingga keseluruhan terjemahan itu betul-betul mengandung pengertian yang asli dari Al-Qur‘an itu, baik dari segi bahasanya maupun syariatnya. Pekerjaan ini walau bagaimanapun dilakukan dengan teliti dan secermat mungkin dan dikerjakan oleh para ahlinya, namun tak akan mungkin sesuai benar dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Qur‘an itu secara tepat, sebab: - Tak ada bahasa yang tepat untuk menyalin makna yang terkandung dalam
bahasa yang diterjemahkan; Ayat Al-Qur‘an menunjukkan kebenaran risalah Nabi dan sekaligus adalah mukjizat (hal yang luar biasa) dan tak mungkin dicontoh manusia dan tak mungkin diterangkan dengan tepat secara mutlak; Ayat Al-Qur‘an berfungsi sebagai hidayah/pembimbing bagi kesejahteraan manusia di bumi dan akhirat dan pemahaman bahasa Arab terhadap ayat itu tidaklah mungkin cocok secara mutlak dengan pemahaman dari bahasa orang yang menerjemah. Bahkan, sesama Arab pun tidak mungkin diperoleh kesepakatan tentang pengertian suatu makna yang terkandung dalam suatu ayat. Berdasarkan kenyataan di atas, kita harus beranggapan bahwa tidak ada Terjemah Al-Qur‟an243 yang sempurna, siapa pun yang mengerjakannya dan kita juga harus beranggapan bahwa terjemah harfiyah Al-Qur‟an bukanlah Tafsir yang sebenarnya. Adapun terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah hanya mementingkan apakah dengan bahasa yang dihidangkannya orang telah mengerti dengan kandungan Al-Qur‘an itu secara 243
Ketika dilakukan revisi total terhadap Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang kemudian menghasilkan rekomendasi untuk edisi revisi pada tahun 2004, tim revisi atau penyempurna Terjemah Al-Qur‟an Kementerian Agama RI telah melakukan banyak pertemuan dengan sejumlah Ulama dan para Ahli Al-Qur‘an (dalam Mukernas Alim Ulama Al-Qur‘an atau Halaqah Ulama Nusantara) untuk mendapatkan dan menampung beberapa masukan, saran, dan kritik. Salah satu catatan dan masukan penting diberikan oleh delegasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat. Mereka menganggap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI ini telah menyalahi format Al-Qur‘an sebenarnya, karena format Al-Qur‘an adalah dari sebelah kanan dulu baru ke kiri (tayamun), sementara Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag ini sebaliknya, dari sebelah kiri baru ke kanan (tasyamul). Mereka mengusulkan agar format Al-Qur‟an dan Terjemahnya versi Kemenag RI ini mengikuti format dari kanan ke kiri. Apabila tidak demikian, maka nama kitab Terjemah Al-Qur‟an ini perlu diganti menjadi Terjemahnya dan Al-Qur‟an, bukan Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Ali Mustafa Ya‘qub, Terjemah AlQur‟an dari Masa ke Masa, Mukernas Ulama Al-Qur‘an, Makalah disampaikan di kabupaten Serang, Provinsi Banten 2013.
185
tepat dan benar menurut keyakinannya. Kadang-kadang penerjemah terpaksa memberikan arti terhadap ayat yang secara harfiyah tidak cocok dengan teks aslinya. Jadi, pada terjemah harfiyah yang dipentingkan adalah ketepatan segi bahasa, sedangkan pada tafsiriyah yang diperhatikan adalah ketepatan dari segi makna. Umumnya, kedua cara ini digabungkan sehingga sasaran penerjemah yakni ketepatan bahasa dan makna tercapai. Yakni ayat-ayat diterjemahkan dahulu menurut apa adanya, lalu untuk terjemahan tafsiriyah (bila ada) ditempatkan pada catatan kaki. Begitulah sistem yang ditempuh oleh kebanyakan penerjemah kita, termasuk Terjemah Al-Qur‟an yang dikerjakan oleh Tim Departemen Agama. Bagaimana membedakan antara terjemah harfiyah dengan terjemah tafsiriyah. Untuk lebih jelasnya, baiklah penulis sebutkan sebuah contoh yaitu firman Allah yang berbunyi:
٣٦ سًاِٛب َِحغهٛب هو ًَ ٱٌجغ ِؾ فزمعهذ ٍِهٙل رجغهطٚ هعٕهمِهٌٌِٝخً ئٛذن ِغٍه٠ ًل رجعٚ “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan pula engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. al-Isrâ : [17] : 29). Terjemah di atas disebut terjemah harfiyah, yakni larangan Allah SWT kepada seseorang yang mengikatkan tangan ke leher atau membukanya lebar-lebar, sesuai dengan teksnya. Akan tetapi, bilamana kita terjemahkan: “dan janganlah kamu kikir dan jangan pula kamu terlalu pemurah”. Maka terjemahan ini disebut terjemah tafsiriyah, karena tidak sesuai dengan teks aslinya. Akan tetapi, itulah yang dikehendaki ayat. Jadi, pada kasus terjemah harfiyah yang dipentingkan adalah ketepatan segi bahasa, sedangkan pada terjemah tafsiriyah yang diperhatikan adalah ketepatan dari segi makna.244
244
Tim Tafsir Al-Quran Kemenag, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. 33-34.
186
BAB III MMI SEBAGAI GERAKAN FUNDAMENTALISME ISLAM
Dalam bagian kedua/bab kedua, penulis telah mengetengahkan serta menghadirkan kerangka konseptual dan geliat perdebatan-perdebatan mutakhir terkait fundamentalisme Islam, klasifikasi fundamentalisme Islam, terorisme, dan teks keagamaan. Sub bahasan lainnya diulas pula yang terkonsentrasi mengenai persoalan gerakan keagamaan di Indonesia, pendekatan semantik mentalisme (kajian kebahasaan) sebagai pisau analisis. Pada bab ketiga ini, penulis akan menyuguhkan ke pembaca seputar track record gerakan Islam radikal MMI, dan MMI sebagai kelompok Islam fundamentalis. Selanjutnya, dipaparkan bagaimana agenda formalisasi syariat Islam. Sebagai pamungkas diulas setting sosiokultural M. Thalib dan karyanya Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah sebagai korpus data yang dikaji dalam Tesis ini.
A. Memotret Profil MMI dari Dekat Hidup di bawah naungan syariat Islam bagi sebagian kaum muslimin adalah sebuah cita-cita. Kekuatan cita-cita ini berbanding lurus dengan kadar keimanan yang tertanam di dalam jiwa. Sebab penerimaan seseorang terhadap ajaran Islam mengharuskan ia menerima syariat Islam. Sebagai bukti kekuatan cita-cita tersebut, meski rintangan apapun didesain untuk memupus cita-cita tersebut dari dalam hati, usaha itu tak akan pernah berhasil. Ilustrasi dan gambaran itulah yang mendorong lahirnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Orde Baru yang sangat keras membasmi semua gerakan yang dianggap radikal, termasuk Islam, hanya memaksa gerakan Islam menerapkan klanestine. Ketika jatuhnya Soeharto (Orde Baru) tepatnya pada tahun 1998, gerakan Islam yang semula underground pun bermunculan. Selain itu lahir pula organisasi-organisasi Islam yang baru seperti Laskar Jihâd (LJ), Front Pembela Islam (FPI), dan MMI itu sendiri. Kemunculan gerakan radikal ini menarik perhatian banyak
187
ahli, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dengan mengemukakan sejumlah analisis dan teori. Secara umum, analisis mereka bertumpu pada ephoria politik yang diperlihatkan umat Islam. Rezim pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan represif hampir tidak memberikan peluang sama sekali bagi warganya untuk mengekspresikan pendapatpendapatnya yang berbeda dari keinginan rezim. Setelah jatuhnya Orde Baru, umat Islam melihat peluang untuk lebih mengekspresikan aspirasi mereka melalui berbagai sarana, seperti partai politik dan ormas. Hal ini juga terkait dengan lemahnya negara selama periode reformasi ini.245 Era reformasi membuka peluang bagi gerakan-gerakan keagamaan yang dikategorikan radikal untuk tampil secara bebas. Meskipun penduduk Indonesia mayoritas muslim, bahkan terbesar di dunia, penerapan syariat Islam masih saja dianggap sebagai sebuah hantu. Penegakan syariat Islam biasa dikesankan sebagai potong tangan, diidentikkan dengan cambuk, rajam dan berbagai kesan seram lainnya. Berkaitan dengan pencitraan demikian, MMI sebagai institusi yang mengusungnya kerap dianggap sebagai sebuah institusi yang intoleran.246 Di sisi lain, bangsa ini telah sepakat menjadikan negara ini sebagai negara hukum dengan ideologi pancasila serta sistem demokrasinya, bahkan Hefner dalam Jamhari dan Jajang Jahroni (2004), mengatakan Indonesia adalah sedikit di antara negara-negara Muslim yang bisa menerima isu-isu demokrasi dan globalisasi. Kedua aspek tersebut (pancasila dan demokrasi) sangat berkaitan erat di mana hukum dijadikan panglima sedangkan demokrasi dijadikan sebuah sistem yang dapat mengakomodir, memberi rasa kebebasan dalam berpikir, memberi hak-hak pada masyarakat yang minoritas (persamaan hak) atau dalam arti singkatnya demokrasi yang berupa suara/kedaulatan rakyat juga harus memiliki arti sebuah perjuangan haruslah
245
Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, dalam Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h. 345. 246 Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan Politik dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Vol 14, No. 1, Juni 2013, h. 40.
188
bersandar pada perjuangan kerakyatan atau berpikir kepada kaum lemah dan tertindas, bukan justru sebaliknya malah terjadi sebuah elitis-demokrasi.247 Dengan sebuah kesepakatan (konstitusi) bahwa negara ini menggunakan sistem demokrasinya, tentu menjadi sebuah wadah atau bejana yang maha besar di mana di dalamnya tumbuh, hidup, dan berkembang berbagai entitas berupa golongan, pemikiran, gerakan, organisasi-organisasi, LSM-LSM, sampai dengan yang berbentuk aliran-aliran. Kenyataan ini adalah buah karya dari adanya sistem demokrasi yang ada saat ini di mana keran yang dulunya ditutup rapat-rapat pada masa Orba saat ini di masa yang sering disebut zaman reformasi, dibuka dengan selebar-lebarnya. Ruang demokrasi adalah salah satu ruang yang memberikan sebuah kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan berserikat yang baginya sebuah keniscayaan yang naluriah dibangun oleh manusia, dalam kehidupan manusia pra sejarah sampai manusia modern hingga saat ini adalah sebuah keberlangsungan yang tiada usai dalam berserikat/berkelompok untuk dapat mewujudkan keinginannya. Kenyataan ini menunjukkan pada dunia bahwa tujuan akan dapat tercapai dengan mudah jika melalui instrumen yang disebut organisasi, gerakan, kelompok dan sejenisnya. Pada aspek lain, kebebasan berpikir dinyatakan jelas dalam Al-Qur‘an, begitu pula kebebasan berpendapat dan berserikat yang diatur dalam konstitusi negara Indonesia melalui UUD 1945 Bab X A pasal 28 E di mana setiap orang boleh berpendapat sesuai dengan hati nuraninya. Dari konsekuensi logis di atas, maka lahir dan berkembanglah gerakan radikal/organisasi Islam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan hasil dalam bejana besar yang bernuansa sistem demokrasi yang memberikan kebebasan dan berserikat. Dan kalau ditelaah secara mendalam, semangat serta perjuangan organisasi atau gerakan Islam ini setidaknya dalam konteks keindonesiaan sudah ada sejak awal negara ini merdeka, hal ini terlihat dalam perjalanan sejarah perdebatan negara Islam atau penerapan syariat Islam 247
Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 21-22. Tesis di SPs UIN Yogyakarta.
189
sebagai dasar negara di Indonesia. Negara Islam dengan cara mempraktekkan syariat Islam seolah menjadi primadona yang selalu ingin diperjuangkan untuk benar-benar terwujud oleh sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik itu pada awalnya melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, keagamaan, ataupun gerakan politik yang mengatasnamakan partai Islam, organisasi Islam, dan masyarakat Islam.248 Sejauh menyangkut gerakan Islam radikal di Indonesia kontemporer, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) barangkali bisa disebut sebagai yang terpenting dalam menyuarakan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Dibanding organisasi Islam lain, dalam catatan Jamhari dan Jajang Jahroni, MMI memiliki akar historis demikian jelas, yang bisa dilacak pada gerakan pemberontakan Dârul Islâm (DI) pada era 1950-an. Hasrat mendirikan negara Islam, yang menjadi prasyarat utama bagi tegaknya syariat Islam, adalah agenda perjuangan utama MMI yang dirumuskan mengacu pada upaya serupa yang telah dilakukan sejumlah tokoh Muslim garis keras yang tergabung dalam gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Selain itu, hal tersebut juga bisa dilihat dari tokoh-tokoh utama MMI, yang berasal dari mereka yang pernah mengisi daftar panjang pemerintah Indonesia Orde Baru untuk orang-orang yang melakukan gerakan melawan negara. Untuk hanya menyebut dua tokoh utama, Abu Bakar Ba‘asyir249 dan Irfan S. Awwas—yang menjadi orang pertama dan kedua di tubuh MMI—pernah terlibat dalam upaya perlawanan ideologis terhadap pemerintah Indonesia Orde Baru. Dan karena itu pula keduanya juga pernah mengalami hukuman penjara. Di samping itu, dan mungkin terpenting, mereka—lebih khususnya Abu
248
Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010), h. 326. Tesis di SPs UIN Yogyakarta. 249 Abu Bakar Ba‘asyir termasuk ideolog modern Indonesia dari kelompok garis keras yang mendorong pengikutnya untuk melakukan aksi kekerasan dan teror dengan mendasarkan diri pada ideologi ala Timur Tengah dengan penafsiran dasar-dasar Islam secara kaku. Adam James Fenton dari Charles Darwin University, Australia, Change and Continuity in Indonesian Islamist Ideology and Terrorist Strategies, dalam Al-Jâmi‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Journal of Islamic Studies, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H, h. 2.
190
Bakar Ba‘asyir—yang memiliki jaringan dan bahkan menjadi bagian dari gerakan NII yang juga mengagendakan pendirian negara Islam Indonesia. Oleh karena itu, lagi-lagi dibanding organisasi Islam lainnya, MMI bisa disebut sebagai memiliki hubungan langsung dengan gerakan Islam yang mencitakan negara Islam dalam sejarah Indonesia kontemporer. Jadi, dalam beberapa segi penting, MMI bisa disebut sebagai perwujudan kembali gerakan Islam radikal dalam sejarah Islam Indonesia. Bagian ini diarahkan untuk menghadirkan satu pembahasan komprehensif tentang MMI. Pembahasan meliputi baik sejarah dan jaringan MMI maupun sifat dari agenda perjuangan yang hendak dicapai.250 Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) didirikan secara resmi pada Senin 7 Agustus 2000 M atau pada 7 Jumadil Ula 1421 H di Yogyakarta pada saat Kongres Majelis Mujahidin Indonesia I, tanggal 5-7 Agustus 2000. Kantor Pusatnya berada di Yogyakarta, yang beralamat di Markaz Pusat Majelis Mujahidin Indonesia. Jl. Karanglo No. 94 Kotagede, Yogyakarta. Telp/Faks (0274) 451665. Email :
[email protected]. Media center Markaz LPW Jabodetabek. Jl. Siliwangi Raya Blok D3, No 7, Pamulang Permai I, Pamulang Barat,
Tangerang
Selatan
Banten,
Phone/Fax:
(021)
7416144.
Email:
[email protected]. 251 Penggagas lahirnya MMI adalah para pemuda aktifis Jogja di awal tahun 80-an yang telah kembali ke dunia bebas setelah bertahun-tahun meringkuk di penjara Orde Baru. Setelah mereka bebas di pertengahan tahun 90-an, mereka aktif berdiskusi seputar perjuangan mereka. Lama mereka tidak segera muncul karena mencari format perjuangan yang sesuai dengan konteks zaman. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menurut Abdulloh Fuadi sebagaimana dikutip Edi, sejauh penelusurannya pada artikel, buku, dan hasil penelitian
250
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), cet ke-1, h. 47-48. 251 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlus Suffah, 2013), h. ii. Rujuk pula website MMI, http://www.majelismujahidin.com/ diunduh pada 28 Oktober 2015, pukul 08.46 WIB. Lihat pula dalam Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 169.
191
tentang gerakan organisasi ini, ditemukan 2 nama yang dikonotasikan padanya, yakni Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Majelis Mujahidin (MM). Hasil penelitian Fuadi menunjukkan bahwa nama MMI disematkan oleh selain anggotanya, yang merujuk pada nama kongres pertamanya yaitu ‚Kongres Mujahidin Indonesia I‛ (Mujahidin Congress I of
Indonesia). MMI merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang usianya relatif masih baru (belum genap 12 tahun), tetapi kiprahnya sudah banyak dikenal masyarakat, bukan hanya dalam skala nasional bahkan sudah sampai tingkat internasional. Namanya mencuat terutama terkait dengan keberadaaan Abu Bakar Ba’asyir, Ketua Umum pertamanya, yang terendus oleh intelijen dalam dan luar negeri memiliki peran dalam beberapa kasus teror yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir. Karena itulah, di antaranya, yang membuat Ormas ini dicap sebagai organisasi radikal. Majelis Mujahidin Indonesia lahir pada tahun 2000 di Yogyakarta. Kongres pertamanya digelar pada tanggal 57 Agustus 2000 M, bertepatan dengan 5-7 Jumadil Awal 1421 H, di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta, dengan mengusung tema ‚Menegakkan Syariat Islam‛ (Islamic
Law Enforcement). Upacara pembukaannya diklaim oleh mereka telah berlangsung semarak dan dihadiri lebih dari 1.800 peserta dari 24 Provinsi dan mewakili beberapa elemen organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan organisasi politik (Orpol) Islam seperti Laskar Santri, Laskar Jundullah (tentara/pasukan Allah), Kompi Badr, Brigade Taliban, Komando Mujahidin, dan Partai Keadilan.252 Beberapa utusan organisasi keislaman diundang dari luar negeri. Kongres Mujahidin I itulah yang kemudian mengamanatkan kepada 32 tokoh Islam Indonesia yang tercatat sebagai Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA) untuk meneruskan misi penegakan syariat Islam melalui wadah yang disebut sebagai Majelis Mujahidin.253
252
Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam Perspektif Percakapan (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 3. Tesis UIN Jakarta. 253 Reslawati, Pandangan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat terhadap Wawasan Kebangsaan di Yogyakarta, dalam buku Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan, Editor: Asnawati dan Achmad
192
Menurut hasil penelitian Tim Ilmuan Sosial LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), kelahiran MMI dilatari oleh keprihatinan sebagian tokoh Islam akan lemah bahkan terpinggirkannya umat Islam dalam peran pembangunan bangsa Indonesia yang lagi terpuruk mengalami krisis multidimensi, terutama selama pemerintahan Orde Baru. Karenanya, pasca Orde Baru muncul di kalangan umat Islam pembicaraan bagaimana mengangkat citra dan meningkatkan peran mereka sehingga menjadikan Islam sebagai
rahmatan lil ‘âlamin. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, umat Islam memikirkan dan mengupayakan bagaimana menciptakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, sebuah negeri yang bukan saja menyejahterakan umat Islam tetapi juga menciptakan kedamaian bagi seluruh warga bangsa ini. Dan, dibicarakan juga bagaimana peran ulama, intelektual, dan tokoh-tokoh Islam dalam proses tersebut. Atas dasar pemikiran itulah, diambil inisiatif untuk mengumpulkan seribu ulama dari seantero nusantara lintas organisasi, partai, dan kelompok sektarian dengan membuat sebuah Kongres yang kemudian terlahir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu, di mana Abu Bakar Ba’asyir terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umumnya.254 Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan banyaknya organisasi Islam yang sama-sama hendak memperjuangkan syariat Islam mendorong diskusi semakin intensif. Tidak hanya dari Jogja, mereka pun mengundang kolega dan kenalan dari berbagai daerah. Di antara tokoh yang sejak awal terlibat dalam membidani kelahiran MMI di antaranya adalah Deliar Noor, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lainlain.255 Kelahiran organisasi Islam atau ormas ini dilatari oleh berbagai faktor. Antara lain: pertama, obsesi kalangan muda, yang kemudian menjadi pelopor dan pengurus MMI, pada akhirnya daulah islâmiyah atau Islamic state (negara Islam), baik dalam pengertian nasional
Rosidi (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 120. 254 Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam Perspektif Percakapan (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 4. Tesis UIN Jakarta. 255 Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan Politik, h. 41.
193
maupun internasional yang rencananya akan berpusat di Palestina. Kedua, adanya stigma buruk yang
dilabelkan pada gerakan Islam Indonesia yang ingin membentuk daulah
islâmiyah (negara Islam) yang melahirkan Islamophobia dan selalu dihubungkan dengan DI/ TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Kartosuwiryo. Ketiga, realitas peminggiran Islam, baik dalam pengertian hukum maupun penganutnya. Dalam pengertian ―hukum‖ (syariat), Indonesia tidak islami karena yang berlaku bukanlah hukum Islam dan pada tahun 2000 tidak ada satu partai pun yang memperjuangkan itu. sedangkan dalam pengertian ―penganut Islam‖, kaum muslim sebagai mayoritas bangsa ini telah dimanipulasi, dirampas, dan diperkosa oleh minoritas tertentu selama berpuluh-puluh tahun. Keempat, krisis multidimensi yang menimpa Indonesia dewasa ini yang tidak bisa diselesaikan Pemerintahan Gus Dur pada waktu itu karena manajemen dan komitmen Islamnya yang lemah. Hal ini karena akar krisis adalah karena kontaminasinya akidah kaum muslim Indonesia oleh berbagai hal, dicampakkannya syariat Islam dalam hukum positif Indonesia, dan karena konspirasi Barat-Zinonis bisa dilihat dari fenomena beberapa tokoh Yahudi yang dijadikan Gus Dur sebagai Presiden pada saat itu sebagai penasehatnya. Mereka itu antara lain George Soros, Henry Kissinger, dan Lee Kuan Yew yang dalam kenyataan mereka justru menginginkan Indonesia mengalami disintegrasi dengan memprovokasi daerah-daerah lewat isu daya alam.256 Obsesi dan realitas itu mendapatkan momentumnya ketika Orde Reformasi lahir dengan mengusung demokrasi. Hal ini karena orde ini berbeda dengan rezim Orde Lama dan Orde Baru yang melakukan de-Islamisasi secara besar-besaran dengan salah satunya tidak memberikan tempat sama sekali bagi gerakan politik Islam. Pada masa pemerintahan Reformasi yang diawali oleh Habibie, gerakan itu mendapatkan tempat yang memadai. Bagi MMI, era reformasi merupakan momentum yang memungkinkan semua orang bersikap 256
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, Islam dan Negara; Dakwah dan Politik; HMI; Anti Korupsi; Demokrasi; NII; MMI; dan Perda Syari‟ah (Jakarta: Pusat Studi Indonesia dan Arab (PSIA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 170.
194
transparan dalam mengekspresikan ide dan keyakinannya, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun. Karena itu, pada 5-7 Agustus 2000 diadakanlah kongres di Yogyakarta yang dihadiri sekitar 1200 peserta, meski yang diundang hanya 1000 orang. Tema sentral kongres yang kemudian menjadi tujuan dan agenda utama dan pertama pendirian organisasi adalah tathbīq al-syarī‟ah (penerapan syariat/ajaran Islam) secara kâffah (komprehensif), tidak secara parsial sebagaimana selama ini dipahami. Seperti diketahui umum, negara selama ini hanya menerapkan ajaran ibadah dan sebagian perdata Islam, terutama yang ada potensi keuangan seperti zakat, haji dan NTCR (Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk), dan di akhir Orde Baru perbankan syari‘ah. Tujuan kongres dalam hal ini ingin menuntaskan agenda penerapan syariat Islam hingga penerapan hukum pidana klasik. Menurut juru bicaranya, MMI meyakini bahwa penerapan syariat Islam secara menyeluruh merupakan satu-satunya jalan yang akan menyelesaikan ―biang kerok‖ persoalan yang menimpa Indonesia seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan perzinaan. Ini sebagaimana yang ditunjukan hadis Nabi yang memperlihatkan tingkat efektifitas penerapan syariah Islam secara utuh (kâffah) dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Sabda Nabi: “Satu hukum dari hukum yang telah ditetapkan Allah lebih baik daripada hujan 40 malam (yang membersihkan kotoran).” Hukum rajam misalnya, akan membersihkan kemaksiatan berupa zina. Begitu juga dengan hukum potong tangan. Di Indonesia, jika kedua hukum itu diterapkan, niscaya negeri ini akan terbebas dari lokalisasi prostitusi dan para koruptor-koruptor. Efektifitas ini bisa dipahami karena adalah sesuatu yang logis bahwa suatu produk seperti komputer harus dioperasikan sesuai dengan aturan yang membuatnya. Jika manusia dipercayai sebagai produk Tuhan maka mengatur berbagai persoalan kehidupannya juga harus sesuai dengan aturan penciptanya (Tuhan atau al-Khâliq). Hal ini menueurt para aktivis MMI, sebagaimana Firman Allah:
195
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang yang yakin.” (QS. al-Mâidah [5] ayat 50). Ayat tersebut berbunyi:
٤٦ ْٛلِٕهٛه٠ َِٛٓ أحغ هٓ ِِٓ ٱ َّللِ حهىّب ٌِّمٚ ْٛج هغ٠ َ ِخ١ٍِِٙ أفحهىُ ٱٌج "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.‖ (QS. al-Mâidah [5] : 50).
Kongres yang menjadi hari lahir MMI itu agaknya melahirkan pencerahan strategi terutama bagi peserta mantan anggota Dârul Islâm/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang telah terbagi ke dalam faksi-faksi, termasuk KW 9 Abu Toto yang memiliki Pesantren alZaitun, yang masing-masing faksi merasa paling berhak mewarisi tahta DI/TII. Hal ini karena dalam kongres tersebut dibahas pertimbangan tathbīq al-syarī‟ah dalam kerangka logika demokrasi yang damai dan meniscayakan prinsip mayoritas. Mengingat masyarakat muslim adalah mayoritas dan mereka adalah golongan Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah yang taat, maka hal itu akan menguntungkan bagi realisasi tujuan gerakan organisasi. Logika demokrasi proporsional itu—yang memungkinkan logisnya aspirasi Islam dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, sebagaimana logisnya aspirasi Kristen dalam negara demokrasi yang bangsanya mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat—diharapkan juga dipahami bangsa Indonesia non muslim.257
B. MMI sebagai Gerakan Fundamentalisme Islam a) Visi dan Ideologi MMI Adapun strategi dasar MMI dengan operasionalisasi pendekatan struktural meliputi kegiatan utama: yaitu membangun dan melakukan konsolidasi, kristalisasi serta 257
Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah dan Neng Dara Affiah (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama, 2007), h. 68 – 71. Lihat pula dalam penulis yang sama, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 170-172.
196
pembinaan pada kekuatan sosial-politik yang ada untuk tegaknya syariat Islam, serta mengembangkan kemampuan tansīq dalam memberikan arahan sosial sesuai dengan syariat Islam pada pemerintahan yang sedang berjalan.258 Ormas Islam keagamaan ini mengusung visi untuk formalisasi syariat Islam dalam kehidupan umat Islam di Indonesia secara kâffah (komprehensif, menyeluruh, utuh), sebagaimana yang selalu dituliskan sebagai slogannya. Seiring dengan tujuan didirikannya organisasi, doktrin MMI yang ditekankan kepada pengurus dan anggotanya adalah doktrin keharusan mendirikan daulah islâmiyah (negara Islam). Bagi MMI, meskipun tidak terdapat perintah tegas (qath‟ī) untuk menegakkan daulah islâmiyah (Islamic state) tetapi kedudukannya sebagai wasâil (perantara atau institusi) bagi tegaknya kewajiban dari Allah seperti qishâsh (hukuman yang sebanding) dan rajam, menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib ditegakkan pula. Hal ini karena hukum pidana Islam (jinâyah) semisal qishâsh dan rajam sama wajibnya dengan salat untuk dilaksanakan (QS. al-Nisâ [4] : 45). Berikut ayatnya:
٥٤ شا١ظ ِ ٔ ِ ثِٱ َّللٝوفٚ ب١ٌِٚ ِ ثِٱ َّللٝوفٚ ُٱ َّلله أعٍ هُ ثِأعذائِ هىٚ ―Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu).‖ (QS. al-Nisâ [4] : 45).
Jika tidak, maka hal itu merupakan pengingkaran (kekufuran) terhadap syariat (QS. alMâidah [5] : 44), berikut redaksi ayat dan petikan terjemahannya:
اٚٓ ٘ب هد٠ا ٌٍَِ ِزّٛٓ أعٍ ه٠ْ ٱٌَ ِزُّٛ١ِب ٱٌَٕجِٙح هى هُ ث٠ سٛٔهٚ ٜب ٘هذٙ١ِسىخ فَٛئَِٔب أٔضٌٕب ٱٌز ا ٱٌَٕبطٛذاء فل رخش هٙ ِٗ هش١ٍا عٛوبٔهٚ ِت ٱ َّلل ِ ا ِِٓ ِوزٛٱلحجب هس ثِّب ٱعزهحفِظهٚ ُّْٛ١َِٕٱٌ َشثٚ ٥٥ ٌْٚئِه ٘ه هُ ٱٌىفِشهٚح هىُ ثِّب أٔضي ٱ َّلله فأه٠ ٌَُ ِٓٚ ل١ٍِ ثّٕب لِٟبر٠ا ثِأٚل رشزشهٚ ِْ ٛٱخشٚ ―Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orangorang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang 258
Reslawati, dalam Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan, h. 121.
197
alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orangorang yang kafir.‖ (QS. al-Mâidah [5] : 44).
lalu ayat 45 dan 47), berikut ayatnya:
ِْ ٱله هرْ ثِٱله هرٚ ِ ٔٱلٔ ثِٱلٚ ِٓ ١ٓ ثِٱٌع١ٱٌعٚ ظ ِ ب أ َْ ٱٌَٕفظ ثِٱٌَٕفٙ١ُِ فِٙ ١ٍوزجٕب عٚ ح هىُ ثِّب أٔضي ٱ َّلله٠ ٌَُ ِٓٚ وفَبسح ٌَٗۥهٛهٙح لِظبص فّٓ رظ َذق ثِ ِٗۦ فٚٱٌ هجشهٚ ِّٓٱٌغ َِّٓ ثِٱٌ ِّغٚ ٥٤ ٌّْٛئِه ٘ه هُ ٱٌظٍَِ هٚفأه satu lagi berbunyi :
ٌُ ِئه ٘ه هٚح هىُ ثِّب أٔضي ٱ َّلله فأه٠ ٌَُ ِٓٚ ِٗ ١ِ ًِ ِثّب أٔضي ٱ َّلله ف١ح هىُ أ٘ هً ٱ ِلٔ ِج١ٌٚ ٥٤ ْٛٱٌف ِغمه dan merupakan dosa, karena telah menyalahi perintah Allah SWT. Lebih dari itu, pengingkaran terhadap pidana Islam juga mengakibatkan lahirnya kepemimpinan yang sesat dan Allah pun kemudian memberi azab dengan krisis yang berkepanjangan hingga dewasa ini. pada saat Allah telah memberi azab ini, sebagaimana dijelaskan (QS. al-Mukminûn [23] : ayat 64-65), yang teksnya adalah:
َ ئَِٔ هىُ َِِّٕبٛ١ٌ اٱٚ ل رجئشه٤٥ َْٚجئش ه٠ ُة ئِرا ٘ه ِ ُ ثِٱٌعزاِٙ ١ِ ئِرا أخزٔب هِزشفَٝحز ٤٤ ْٚل رهٕظشه ―Hingga apabila Kami timpakan azab, kepada orang-orang yang hidup mewah di antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong. Janganlah kamu memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan mendapat pertolongan dari Kami.‖ (QS. al-Mukminûn [23] : ayat 64-65). Allah tidak akan lagi memperkenankan doa hamba-Nya. Bagi MMI, Al-Qur‘an adalah kitab suci yang sempurna, yang harus diimani secara keseluruhan. Tidak boleh diimani sebagian dan diingkari sebagian lainnya sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi (QS. al-Baqarah [2] : ayat 85). Allah SWT berfirman:
198
ُِٙ ١ٍْ عٚشهٙ ِش ُِ٘ رظ٠مب ِِّٕ هىُ ِِّٓ ِد٠ْ ف ِشٛرهخ ِشجهٚ ُْ أٔفهغ هىٛثه َُ أٔزهُ ٘ هإل ِء رمزهٍه ه ت ِ غ ٱٌ ِىز ِ ْ ثِجعٛهُ أفزهإ ِِٕهٙ هىُ ئِخشا هج١ٍ هِحشََ عٛ٘هٚ ُ٘هٚ رهف هذٜ هوُ أعشٛأره٠ ِْئٚ ِْ ٚٱٌعهذٚ ُِ ثِٱ ِلث ْٚهش ُّد٠ ّ ِخ١َِ ٱٌمٛ٠ٚ ب١ٔ ِح ٱٌ ُّذٛ١ ٱٌحِٟ فٞفع هً رٌِه ِِٕ هىُ ئِ َل ِخض٠ ِٓ ْ ِثجعغ فّب جضا هءٚرىفهشهٚ ٥٤ ِْٛب ٱ َّلله ِثغفًِ ع َّب رعٍّهٚ ة ِ أش ِّذ ٱٌعزاٌِٝئ ―Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.‖ (QS. al-Baqarah [2] : 85). Semuanya merupakan sesuatu yang tidak ada tawar-menawar untuk ditegakkan (iqâmat aldīn). Semua urusan kaum muslim hendaknya diserahkan kepada Allah, lewat ajarannya dalam Al-Qur‘an (QS. al-Ahzâb [33] : ayat 36). Allah SWT berfirman:
ِِٓ شحه١ه هُ ٱٌ ِخٌٙ ْٛ هى٠ ٌْهٗۥه أِشًا أٛسعهٚ ٱ َّللهٝل هِإ ِِٕخ ئِرا لؼٚ ِِٓ ِب وبْ ٌِ هّإٚ ٦٤ ٕب١ٌٗۥه فمذ ػ ًَ ػٍل ُِّ ِجٛسعهٚ ض ٱ َّلل ِ ع٠ ِٓٚ ُِ٘ أِ ِش ―Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.‖ (QS. al-Ahzâb [33] : 36).
Itu berarti penegakan syariat Islam secara komprehensif termasuk hukum pidananya yang mesti diberlakukan sebagai hukum positif. Alasannya, pertama, menurut MMI, Islam adalah agama yang mengatur dunia dan akhirat. Kedua, secara historis, daulah Islam dari masa Nabi, khulafâ al-râsyidīn, hingga Usmani mengaku supremasi syariat secara komprehensif.
199
Ketiga, fenomena, globalisasi yang memungkinkan kekuatan thâgut (setan/berhala) semakin berani menawarkan alternatif sekulernya.259
b) Misi MMI Adapun misi MMI adalah berjuang menyatukan potensi dan kekuatan mujahidin agar syariat Islam menjadi sumber rujukan tunggal bagi sistem dan kebijakan kenagaraan Indonesia dan di dunia. Majelis Mujahidin Indonesia berusaha mewujudkan cita-cita besarnya itu melalui dakwah dan jihâd. Dakwah didefinisikan sebagai sosialisasi kewajiban setiap muslim untuk menerapkan syariat Islam. Sedangkan jihâd dipahami sebagai bentuk usaha serius untuk menerapkan syariat Islam. Dalam mencapai misi utama Majelis Mujahidin menggunakan dua pendekatan sosial, yakni pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan struktural, maksudnya kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh seorang muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam, dan siap memberlakukan syariat Islam dalam lingkup sosial kenegaraan sehingga kehidupan bernegara benar-benar dapat dikelola sesuai dengan ajaran yang dituntunkan oleh Allah SWT. Oleh karena Islam bersifat “rahmatan lil „âlamin” maka dengan berlakunya syariat Islam, akan menjamin datangnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
c) Struktur Organisasi MMI Secara umum struktur organisasi MMI ini terbagi kepada dua bagian; pertama, Ahlul Halli wal „Aqdi dan Lajnah Tanfīziyyah. (1). AHWA (Ahlul Halli wal „Aqdi) atau lembaga legislatif dipimpin oleh Abu Bakar Ba‘asyir dengan anggota antara lain Deliar Noer, A.M. Saefudin, KH. Mawardi Noor, Abu Muhammad Jibril, dan Muchtar Naim. (2). Lajnah
259
Sukron Kamil dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, h. 71-72. Penambahan sumber terutama teks Al-Qur‘an berasal dari aplikasi software Al-Qur‟an in the Word yang pada sumber aslinya tidak ditampilkan. Hal ini untuk memudahkan penelitian saja.
200
Tanfīdziyah atau lembaga eksekutif diketuai oleh Irfan Suryahardi ‗Awwas dengan Wakil Ketua KH. Asep Maoshul Affandi, Sekretaris Shobbarin Syakur, dan Bendahara Drs. Toffandi.
d) Basis Keanggotaan MMI Kendati tidak terdapat data yang otentik, jumlah anggota MMI diperkirakan cukup besar, baik yang berdomisili di dalam maupun di luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari peserta yang hadir dalam kongres MMI serta dari semaraknya kegiatan-kegiatan yang digelar mereka. Kepemimpinan dan keanggotaan MMI teratur secara rapi, karena pada Konggres I di Jogjakarta, diputuskan bahwa MMI merupakan organisasi aliansi gerakan (tansīq amalī) yang sifatnya universal, tidak dibatasi suku atau etnis, bangsa maupun negara. Tansīq ini bisa diikuti oleh organisasi maupun nasional. Untuk menjadi anggota MMI syaratnya adalah muslim, dan mau berkomitmen tinggi untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Dilihat dari latar belakang ekonomi, anggota MMI berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dilihat dari background knowledge-nya, pengurus Ahlul Halli wal „Aqdi terdiri atas S1, S2, dan S3, lajnah tanfīdziyah mayoritas Strata 1, dan masa anggotanya rata-rata dari SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Dari latar belakang sosial keagamaan, anggota MMI beraneka ragam. Ada dari NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. dari NU misalnya KH Alawi Muhammad dari Madura, yang mengirim utusannya ke kongres. Mereka adalah NU yang setuju dengan tathbīq al-syarī‟ah, bukan dari kalangan KH Hasyim Muzadi dan Gus Dur yang tidak setuju. Mereka adalah dari komponen masyarakat perkotaan dan pedesaan yang Akidahnya Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dalam arti salafiyyah (ortodoksi) yang tidak mengenal tharīqah (tarekat). Kendati begitu, pakaiannya tetap Indonesia modern seperti kaos oblong. Islam bagi MMI bukan di luar tetapi di dalam. Demikian pula dengan latar belakang
201
partai politiknya, dari berbagai partai politik yang ada di MMI. Mereka disatukan oleh kesiapan ―mewakafkan‖ diri untuk tegaknya syariat yang harus dimulai dari pribadi lalu keluarga.260
e) Kongres dan Sumber Dana MMI Sebagai sebuah organisasi gerakan, MMI memiliki jaringan nasional seperti dengan laskar atau lembaga Islam lainnya, dan jaringan internasional seperti dengan kaum muslim di Malaysia, Jerman, dan Australia. Namun, jaringan itu tidaklah mengikat karena hubungan MMI dengan laskar atau lembaga lain pada level lokal atau nasional, misalnya adalah hubungan aliansi strategis (tansīq „amalī) yang tidak harus melebur menjadi satu. Hal ini karena peleburan merupakan sesuatu yang absurd seperti absurd-nya menyatakan NU dengan Muhammadiyah. Demikian juga hubungan MMI dengan partai politik. Bahkan dengan partai, bukan saja tidak ada afiliasi tetapi juga MMI tidak percaya mereka bisa menegakkan syariat Islam, meskipun MMI berusaha mendorongnya agar mengakomodasi aspirasi syariat Islam. Paling tidak, dengan berusaha mengembalikan Piagam Jakarta. Karena aliansi itu, MMI membatasai gerakan hanya pada tathbīq al-syarī‟ah. MMI, dengan demikian, tidak akan mengambil kavling gerakan lain seperti FPI yang anti kemaksiaatan, DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) yang concern dengan dakwah, dan Muhammadiyah yang terkenal dengan gerakan sosial-pendidikannya. MMI dalam konteks ini melakukan koordinasi dan saling mengingatkan jika terjadi penyelewengan terhadap Islam. Mengenai sumber pendanaan (fundraising), MMI memperolehnya dari masyarakat. MMI yakin bahwa masyarakat sesungguhnya kaya karena fenomena membludaknya calon jamaah haji menunjukkan demikian. Dari merekalah MMI, memperoleh dana 500 juta untuk kongres, meskipun orang-orang yang tidak senang terhadap MMI menuduh MMI yang tidak-tidak, 260
Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, h. 74-75. Lihat juga dalam Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 174-175.
202
mengingat MMI mengadakan kongres di saat krisis ekonomi. Sumber lain tentu saja diterima MMI sejauh halal dan tidak mengikat. MMI mendapatkan bantuan dari jaringannya dengan kaum muslim di Malaysia, Singapura, Jerman, dan Australia dan salah satunya berkat komunikasi internet. Selama ini, MMI belum mendapat bantuan dari negara-negara teluk di Timur Tengah.261
f) Estafet Kepemimpinan MMI Kepemimpinan di MMI sudah mengadopsi pola “separation of powers”. Artinya, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif terpisah, sejajar dan setara. Ini merupakan struktur keorganisasian modern. Pola kepemimpinan ini mereka sebut dengan kepemimpinan kolektif, di mana tidak ada personal yang benar-benar memiliki kekuasaan yang mutlak. Di dalam institusi MMI, teori ini diwujudkan dengan membagi struktur kepengurusan kepada dua komponen, yaitu Ahlul Halli wal „Aqdi yang disingkat dengan AHWA dan Lajnah Tanfīdziyah. AHWA berfungsi sebagai lembaga legislatif. Ia memiliki beberapa tugas, antara lain: menetapkan kodifikasi hukum Islam, memfatwakan pelaksanaan syariat Islam, memilih badan pelaksana (lajnah tahfīz), mengawasi, mengontrol, dan meminta pertanggungjawaban Lajnah Tanfīdzi. Sedangkah lajnah tanfīziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif MMI yang bertugas untuk menjalankan segala keputusan musyawarah AHWA, mengajukan saran dan usulan kepada AHWA dan bertanggungjawab kepada AHWA. Kehadiran MMI menarik perhatian dari para ulama Indonesia, sehingga melahirkan berbagai macam pandangan publik terhadap MMI. Karena mujâhidin secara literal bermakna orang-orang yang berjihad. Dengan mengusung nama ini muncul bermacam-macam spekulasi di tangah masyarakat muslim Indonesia, dan pada umumnya negatif. Ada di antaranya yang menilai dan mengasosiasikan Majelis Mujahidin Indonesia dengan NII-nya
261
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 173-174.
203
(Negara Islam Indonesia) milik Kartosuwiryo. Senada dengan tuduhan tersebut, Muh Nursalim menyatakan bahwa Konggres MMI I adalah proyek yang direncanakan oleh salah satu Faksi NII yakni Faksi Abdullah Sungkar. Ada hal yang lain dengan penilaian terhadap MMI yang dilakukan oleh Maftuh Abegebriel, ia secara terbuka melemparkan tuduhan bahwa MMI adalah saudara kembar Jamâ‟ah Islâmiah. Di dalam tulisannya yang dimuat dalam buku Negara Tuhan, ia menyatakan, ―.. maka sebenarnya al-Jamâ‟ah al-Islâmiyah ini bukan tidak mungkin sudah ―nikah‖ dengan MMI yang berpusat di Jogjakarta lewat sebuah khitbah yang berlabel “tansīq baina al-Jamâ‟ah”. Lebih dalam lagi, Abegebriel menyatakan ―tidak begitu salah jika disimpulkan bahwa JI (Jamaah Islamiyah) dan MMI adalah Mukhtalifah alAsmâ wal Lughah, Muttahidah al-Asykâl wal Aghrâd, berbeda dalam nama dan bahasa, akan tetapi sama dalam bentuk dan tujuan/cita-cita. Sedikit
berbeda
dengan
Abegebriel
seperti
dalam
Budi
Prasetyo,
yang
menyimpulkan bahwa MMI dan JI adalah saudara kembar. Abdus Salam mengingatkan, ―Bisa saja aktifis-aktifis Islam berhaluan keras di Indoneisa yang aktif di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), MMI, FPI, Ikhwanul Muslimin Indonesia dan ormas-ormas radikal lainnya diracuni oleh doktrin Jamaah Islamiyah. Pandangan yang lebih ramah diberikan Syaiful Mujani, ―gerakan Islamis pasca Soeharto seperti KISDI, FPI, Laskar Ahlus Sunnah wal Jama‟ah, MMI, HTI, dan lain-lain berjuang menegakkan syariah Islam secara damai.262 Dalam konteks ini patut dicatat posisi Pancasila yang membentuk ―segitiga emas‖ kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, Pancasila sebagai pandangan-dunia (Weltanschauung) bangsa. Ini terkait dengan nilai-nilai budaya yang membentuk pola pikir dan orientasi normatif masyarakat Indonesia. Soekarno dengan bernas menyebut pandangandunia ini sebagai ketuhanan yang berkebudayaan. Artinya, Pancasila yang bersila pertama ketuhanan dan berujung pada keadilan sosial, merupakan pandangan-dunia ketuhanan yang 262
Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan Politik h. 42.
204
dipraksiskan pada pembentukan kebudayaan manusiawi. Dalam terang ini, ketuhanan dan kemanusiaan tidak bisa terpisah. Sebab ketundukan kepada Tuhan, dibuktikan melalui pembangunan kehidupan yang manusiawi. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara. Ia merupakan norma dasar negara (Staatfundamental norm) yang melandasi konstitusi dan yurisdiksi. Penempatan Pancasila sebagai dasar negara merupakan penegakan pandangandunia Pancasila pada level kenegaraan dan hukum. Ketiga, Pancasila sebagai ideologi nasional263 yang menjadi garis politik segenap aktivitas sosial-politik warga negara Indonesia. Ketika sebuah gerakan keagamaan mengusung ideologi non-Pancasila, ia menentang semua posisi Pancasila di atas. Hal ini tentu bermasalah sebab gerakan ini tidak berangkat dari pandangan-dunia kebudayaan Indonesia, sehingga mengusung cita-cita politik, di luar kesejarahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika kaum radikal Islam menolak Pancasila, maka mereka menolak sifat dasar Islam yang selaras dengan Pancasila. Mereka menolak bahwa iman kepada Allah haruslah diamalkan melalui perlindungan terhadap kaum fakir, hamba sahaya, dan anak yatim, sebagaimana termaktub dalam al-Baqarah [2] : 177 yang berbunyi:
ٌِ ِى َٓ ٱٌجِ َش ِٓ ءآِ ثِٱ َّللٚ ة ِ ٱٌّغ ِشٚ ق ِ ٘ هىُ لِجً ٱٌّش ِشٛجهٚا هٌُّٛٛظ ٱٌجِ َش أْ ره١ٌَ۞ ّٝز١ٌٱٚ ٝ ٱٌمهشثِٞٚ هحجِّ ِٗۦ رٍٝ ٱٌّبي عٝءارٚ َْۧ ِّٟ ِٱٌَٕجٚ ت ِ ٱٌ ِىزٚ ٱٌٍّئِى ِخٚ َِ ٱل ِخ ِشٛ١ٌٱٚ ُِ٘ ِذْٙ ثِعٛفهّٛٱٌ هٚ حٛ ٱٌ َضوٝءارٚ حٍَٛألبَ ٱٌظٚ ة ِ ٱٌ ِّشلبِٟفٚ ٓ١ٍِِٱٌغَبئٚ ًِ ١ِٱثٓ ٱٌ َغجٚ ٓ١ٱٌّغ ِىٚ َ ٌٱٚ ٱٌجأعب ِءِٟٓ ف٠ظجِ ِش َ ٌٱٚ اٚ هذٙئِرا ع ٌُئِه ٘ه هٚأهٚ اٛٓ طذله٠ٌئِه ٱٌَ ِزٚط أه ِ ٓ ٱٌجأ١ ِحٚ ؼشَا ِء ٠٤٤ ْٛٱٌ هّزَمه 263
Hasil survei nasional bertajuk “Islam dan Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007 menunjukkan bahwa mayoritas responden (84,7 %) lebih mendukung NKRI dan Pancasila ketimbang beraspirasi Negara Islam (22,8 %). Survei berlangsung Maret-April 2007 dengan jumlah responden 1.200 orang tersebar di semua provinsi. Berasal dari kota (42 %) dan desa (58 %), serta pria (50 %), dan wanita (50%) berusia 17-60 tahun. Lihat majalah Gatra seperti dalam As‘ad Sa‘id Ali. Hasil survei tersebut memperkuat survei yang dikerjakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2006 yang terdiri dari 69,6 % responden masih mengidealkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila, lalu 11,5 % menginginkan seperti Negara Islam, dan hanya 3,5 % menginginkan Indonesia seperti Negara demokrasi Barat. Adapun survei LSI dilakukan di tiga puluh tiga (33) provinsi pada 28 Juli – 3 Agustus 2006 dengan metode multi-stage random sampling dan wawancara tatap muka dengan margin error sebanyak 3,8 %. Jumlah responden 700 orang. As‘ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2010), h. 1.
205
―Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.‖ (QS alBaqarah [2] : 177).
Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam, melainkan mendorong umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami dan sekaligus membolehkan pendirian Negara bangsa. Sepuluh tahun kemudian, tokoh-tokoh muslim Nusantara yang terlibat dalam proses kemerdekaan menerima konsep Negara Pancasila yang disampaikan Soekarno, dan kebanyakan pemimpin organisasi Islam ketika itu menerima gagasan Soekarno tersebut. Berdasarkan konsep kebangsaan yang kental dengan nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945—atas nama bangsa Indonesia—Soekarno dan Muhammad Hatta—memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebuah Negara bangsa yang mengakui dan melindungi keragaman budaya, tradisi, dan keagamaan yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Gagasan Negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman sejarah Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara yang pernah melahirkan dan mengalami peradaban-peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam semasa masa kerajaan Sriwijaya, Aceh, Makassar, Goa, Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran tentang signifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi bangsa. Sementara pada sisi yang lain, dialog terus-menerus antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa Negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam
206
keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Dengan segenap hubungan fluktuatif yang terjadi, semua ini bukanlah sebuah proses yang mudah, ini merupakan fakta historis yang harus kita sadari dan pahami. Beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat konflik yang terjadi—antara lain—atas nama agama. Para ulama seperti Abikusno Tjokrosujono, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting Pendiri Bangsa lainnya, sadar bahwa Negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan bukanlah Negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan Negara bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqâshid al-syarī‟ah, yaitu kemasalahatan umum (almashlahah al-„âmmah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan Negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil „âlamīn) dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan
207
kesejahteraan duniawi, dan setiap orang bebas beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan yang pertama.264 Seperti yang telah dipaparkan pada latar belakang, kelahiran, agenda utama, dan strategi yang digunakan MMI, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam Sukron Kamil, MMI merupakan metamorfosis gerakan Islam Indonesia sebelumnya yang ingin mendirikan negara Islam (Islamic state). Paling tidak dalam pengertian, MMI sebagai gerakan yang mengakui supremasi syariat (ajaran Islam) secara komprehensif, meskipun berbeda dalam strategi gerakan yang dipakai. Dalam seminar tentang penegakan syariat Islam yang berlangsung di Yogyakarta pada 5 September 2007, Sidiq al-Jawi dari HTI dan Irfan Awwas dari MMI menyatakan bahwa mereka memiliki tujuan yang sama, yakni menegakan khilâfah islâmiyah, walaupun dengan mtode yang berbeda. HTI dengan cara menegakkan khilâfah di Indonesia, MMI dengan cara memformalkan syariah Islam dalam perundangundangan di Indonesia. Menurut pendapat dua orang ini, hukum hanya dari Allah, maka tidak ada hukum selain dari Allah di muka bumi ini. hukum yang bukan dari Allah adalah sesat dan kafir, tidak perlu ditaati. Ketaatan harus kepada hukum Allah saja. Oleh sebab itu, jika ada orang Islam yang tidak setuju dengan khilâfah Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia, maka sejatinya dia adalah orang-orang yang memisahkan agama dan negara. MMI dan HTI juga menolak Negara Pancasila yang dianggapnya telah merusak Indonesia, dan ini semua akibat kaum nasionalis sekuler seperti Soekarno, Hatta, dan para pimpinan nasional lain di Indonesia. MMI dan HTI berpandangan bahwa untuk menyelamatkan Indonesia tidak lain kecuali dengan syariat Islam dan khilâfah islâmiyah, sebab hanya Islam yang mampu menjawab semua masalah di Indonesia. Penegakan syariat Islam hukumnya wajib, sebab Islam itu kâffah, tidak bisa pilih-pilih. Bagi MMI dan HTI, penegakan syariat Islam tidak 264
KH. Abdurrahman Wahid, Musuh Dalam Selimut, dalam buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrahman Wahid, Prolog: Ahmad Syafii Maarif dan Epilog: KH. A. Mustofa Bisri (Jakarta: The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009), h. 15-17.
208
akan sempurna tanpa adanya kekuatan dari negara yang mendukungnya. Karena itu, ujarnya, agar syariat Islam bisa tegak sempurna di Indonesia, tidak ada lain kecuali Indonesia harus menjadi negara Islam atau khilâfah islâmiyah, bukan negara Pancasila seperti sekarang ini yang membuat sengsara banyak orang Islam.265 Menurut MMI, Islam mengajarkan kepada manusia mulai dari penyucian diri (individu) sampai pada mengatur masyarakat dan negara (politik) yang menjadi kewajiban bagi umat Islam di manapun mereka berada. Totalitas Islam inilah yang diyakini oleh Irfan S. ‗Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyah MMI, bahwa Islam mengatur seluruh kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi, dan politik. Dari sinilah, Islam kemudian memiliki konsepsi bersatunya agama dan negara. Bahkan, M. Thalib, mempertanyakan dasar pemisahan agama dari negara, atau konsepsi agama merupakan urusan pribadi dan negara merupakan urusan orang banyak, atau Tuhan hanyalah layak berada di masjid saja, sedangkan kehidupan manusia yang sangat kompleks hanya diurus melalui keterampilan dan logika manusia sendiri. Latar belakang logika semacam ini oleh M. Thalib muncul akibat semboyan yang terkenal sekuler, ―give to God wether for God, give to the caesar wether for caesar.‖266 Bagi MMI, formalisasi syariat Islam pada level negara (tathbīq al-syarī‟ah) yang berarti mendirikan sebuah negara Islam, merupakan agenda dan orientasi perjuangan yang akan dilakukan267. Hal itu dipahami tidak saja sebagai kewajiban asasi setiap Muslim, tapi sekaligus sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil. 265
Tim Peneliti Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrahman Wahid, Prolog: Ahmad Syafii Maarif, dan Epilog: KH. A. Mustofa Bisri (Jakarta: The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009), h. 161-162. 266 Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju Mizan, 2002), h. 102-103. 267 Islam dan Negara adalah dua entitas yang sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia senantiasa di dalam pergumulan. Salah satu puncak pergumulan keduanya adalah Sidang Majelis Konstituante (1956-1959). Di forum itu, kelompok Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Sementara kelompok nasionalis sekular bersikukuh menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara. Karena sama-sama bersikeras, maka Presiden Soekarno mengambil alih agenda Majelis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden yang memutar negara kembali ke UUD 1945. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, dkk, Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina University, 2005), h. xi.
209
Oleh karena itu, MMI menjadikan berlakunya syariat Islam sebagai satu keharusan, atau mati dalam perjuangan (jihâd fī sabīlillah) untuk tujuan itu. Program penegakan syariat Islam yang dikehendaki MMI mencakup lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara secara keseluruhan. Pembentukan negara Islam itu sendiri dimaksudkan untuk mewujudkan negeri yang aman, sejahtera dan selalu dalam jalur yang diridhai Allah SWT. Untuk mewujudkan cita-cita itu, program penegakan syariat Islam dilaksanakan secara simultan dan terpadu dalam lingkup yang meliputi: 1) penegakan syariat Islam di bidang politik, budaya, dan pertahanan-keamanan negara yang didukung oleh pemantapan tauhid akidah Islam yang benar di kalangan umat Islam. 2) sosialisasi syariat Islam secara menyeluruh (kâffah) pada semua komponen bangsa secara efektif dan efisien. 3) pengembangan dan peningkatan kemampuan umat dalam upaya menegakkan syariat Islam.268 Di sisi lain, penerapan syariat Islam bukan tanpa soal, malah cenderung problematik. Upaya penerapan syariat Islam tentu akan menemui berbagai kendala, mengingat banyak permasalahan yang mungkin muncul, seperti: apakah penerapan syariat Islam itu memiliki pola atau model yang baku? Dalam konteks apa syariat Islam itu diterapkan atau diberlakukan? Bagaimana menyikapi persinggungan antara syariat Islam dan penerapan hukum positif yang dibentuk oleh negara? Jika memang syariat Islam diterapkan—terutama dalam lingkup negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia—siapa saja pihak-pihak, atau kelompok yang merasa diuntungkan atau dirugikan? Inilah beberapa permasalahan yang sering muncul dalam perdebatan seputar penerapan syariat Islam. Penerapan syariat Islam tidak lepas dari aspek historis dan sosiokultural di masa Nabi Muhammad SAW. Jika dikaitkan dengan realitas historis, persoalan syariat juga masih menyisakan banyak ketidakjelasan sekaligus ketidaktegasan, terutama dalam hubungannya dengan peraturan yang ditetapkan oleh para pemimpin umat Islam. Artinya, syariat Islam 268
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 67-68.
210
pada dasarnya belum memiliki ketetapan dan prosedur yang baku sebagai sebuah pola atau model bagi umat Islam, baik dimulai di masa Nabi SAW, khulafa rasyidun, hingga praktik yang dijalankan di beberapa negara Timur Tengah. Atas dasar realitas kesejarahan yang tidak memberi model baku bagi penerapan syariat Islam itulah, beberapa pemikir Islam kontemporer yang berhaluan liberal seperti Nurcholis Madjid, Wahid, dan Wahib, misalnya, menolak secara tegas penerapan syariat Islam beserta sistem pemerintahan yang religiuslegalistik. Penolakan itu bisa merujuk pada realitas historis seputar kebijakan Nabi SAW terhadap piagam Madinah, sistem khilafah sebagai bentuk pemerintahan di masa sahabat, maupun pada aspek sosial-politik lainnya atau penolakan itu juga berangkat dari pembacaan mereka terhadap model khilafah yang memang tidak memiliki prosedur yang tetap dan baku, karena hanya dinyatakan dalam sebuah diktum seperti musyawarah sehingga pada dasarnya tidak ada yang namanya model negara Islam (Islamic state), meski pada masa Nabi atau sistem khilafah yang mirip dengan konsep teokrasi memang hanya berlaku dalam konteks saat itu yang tidak harus dikaitkan dengan persoalan sosial politik umat Islam di masa sekarang. Perlunya penerapan syariat Islam secara substantif, kontekstual, dan rasional, harus dan perlu diterapkan agar benturan kebijakan dan kepentingan dengan warga negara nonmuslim bisa diperkecil. Bahkan, benturan dengan komunitas muslim sendiri. Pentingnya menampilkan aspek substantif dari syariat Islam, tidak serta merta menghilangkan peran negara sama sekali. Negara bisa saja ikut andil di dalamnya, selama masih pada batas-batas yang bisa diterima oleh semua pihak. Keikutsertaan negara pada persoalan syariat lebih mengarah pada mediasi, fasilitasi, dan akomodasi bagi kepentingan umat beragama, termasuk Islam. Hal ini karena Indonesia tidak menganut konsep negara sekuler, sebagaimana juga tidak menganut negara Islam. Pada batas-batas tertentu, Indonesia menganut atau menerapkan nilai-nilai sekularistik, dan secara bersamaan juga menganut nilai-nilai religius.
211
Kenyataan ini harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan penerapan syariat Islam di Indonesia.269
C. Sekilas Penjelasan Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriah Al-Qur‘an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah karya Muhammad Thalib ini telah terbit dalam 2 (dua) versi. Pertama, edisi spesial Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan koreksi Tarjamah harfiah Al-Qur‟an Kemenag RI ukuran 21 x 14 cm, xlvi + 614 halaman yang dicetak sebanyak 10.000 eksemplar. Kedua, edisi istimewa Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah270 dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (digabung menjadi satu buku) ukuran 25 x 17 cm, xlviii + 1067 halaman juga 10.000 eksemplar. Adapun grand launching karya ini dilaksanakan di The Sultan Hotel, Jakarta pada 31 Oktober 2011 yang dihadiri oleh perwakilan Kemenag RI, Majelis Ulama Indonesia, Hibut Tahrir Indonesia (HTI), Kodam, Kepolisian RI, BNPT, dan sejumlah tokoh lainnya.
269
Halid Alkaf, Liberalisme Islam Indonesia: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam Liberal di Indonesia (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 33-34. Disertasi pada Bidang Keislaman. 270 Edisi istimewa ini yang penulis gunakan sebagai objek kajian dalam melakukan riset Tesis ini. Untuk jumlah halaman setelah penulis lihat di footnote ada 1067 halaman disertai beberapa lampiran, seperti Surat menyurat antara MMI dan MUI, MMI dan Kemenag RI, dan argumentasi bantah-membantah dengan kritis antara pakar penerjemah/tim penafsir Al-Qur‘an Kemenag RI dengan ahli bahasa MMI. Edisi ini sejatinya gabungan antara Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Karya Ustadz Muhammad Thalib yang ada di tangan penulis ini terdiri dari beberapa nama tim ahli. Yakni, Penerjemah: Al-Ustadz Muhammad Thalib; Asisten Penerjemah: Slamet Suripto; Penyelaras Bahasa: Irfan Suryahardi ‗Awwas; Pemeriksa Khat Al-Qur‟an: Zaky Imaduddin Rabbany; Penata Letak: Abu Labib; Desain Cover: Budi Yuwono. Karya masterpiece ini sudah dicetak sebanyak empat kali yang bila dirunutkan dari awal edisi I dicetak pada Muharram 1433 H/Desember 2011 M; edisi II, Rabi‘ul Awwal 1433 H / Februari 2012 M; edisi III, Rajab 1433 H / Mei 2012 M; Edisi IV, Rabi‘ul Awwal 1434 H / Februari 2013 oleh Penerbit Ma‘had An-Nabawy, Markaz Pusat Majelis Mujahidin yang beralamat di Jl. Karanglo No. 94 Kotagede, Yogyakarta, Indonesia. Tlp/Faks: (0274) 451665. Menurut rumor yang beredar, seperti pihak percetakan Faris, yang berbicara kepada penulis bahwa Al-Qur‘an MMI yang diditerbitkan serta dipublikasi Yayasan Ahlu Suffah ini tidak mendapatkan izin tashih dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI sehingga tidak ada ACC terbit lagi, dengan segala pertimbangan dan kebijakan pemerintah. Belakangan juga karena faktor politis takut memperbelah ukhuwwah ummat Islam Indonesia.
212
Buah tangan Ustadz Muhammad271 Thalib ini disusun berdasarkan tata urutan Mushaf Utsmani, mulai dari QS. al-Fâtihah [1] hingga QS. al-Nâs [114]. Metode penulisannya sama dengan Al-Qur‘an dan Terjemahnya milik pemerintah, yaitu Kementerian Agama RI, yakni ayat Al-Qur‘an tersusun berdasarkan format Mushaf Al-Qur‘an Utsmani dengan dibubuhi terjemahan pada sisi kiri, kanan dan bawahnya. Perbedaannya adalah karya Ustadz M. Thalib ini tidak menggunakan catatan kaki (footnote) sama sekali, sebagaimana lazimnya banyak dijumpai dalam sejumlah karya Terjemahan Al-Qur‘an terbitan Kemenag RI. Karena tergolong ringkas dan padat, karya terjemahan ini terdiri dari 1 volume saja. Bila kita telisik lebih dalam sebelum masuk pada QS. al-Fâtihah, sang penerjemah menjelaskan hukum atau fatwa larangan tarjamah Al-Qur‘an harfiyah dengan bahasa Arab beserta artinya yang mana merupakan hasil tim fatwa komite tetap lembaga riset ilmiah, Arab Saudi. Setelah itu disusul paparan metode tafsiriyah di zaman sahabat Nabi Muhammad SAW; pedoman tarjamah tafsiriyah Al-Qur‘an yang meliputi pengertian tarjamah Al-Qur‘an; perbedaan tafsir dengan tarjamah tafsiriyah; perbedaan tarjamah yang memunculkan perbedaan pemahaman; pola kalimat bahasa Arab dan bahasa Indonesia; istilah-istilah baku dalam Al-Qur‘an; karakteristik dan misi Al-Qur‘an; hukum tarjamah Al-Qur‘an, dan kitab referensi yang digunakan. Paparan ini akan memberi petunjuk (guidance) kepada seluruh pembaca perihal karakteristik karya terjemahan tersebut. Lebih lanjut, sang penerjemah juga membeberkan pengantar tambahan lainnya seperti Ulumul Qur‘an yang mencakup sejarah turunnya Al-Qur‘an (asbâb al-nuzûl); ayat pertama dan terakhir yang diturunkan; pembagian Al-Qur‘an; cara Al-Qur‘an turun ke bumi; pengumpulan Al-Qur‘an; ringkasan sejarah
271
Ada dua versi cetakan karya MMI. Al-Qur‟anul Karim Tarjamah Tafsiriyah, karya monumental pertama dan satu-satunya di Indonesia, sebagai revolusi pemahaman makna Al-Qur‘an. Terbit dalam 2 versi: Spesial Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Ukuran 21 x 14 cm, xlvi + 614 halaman. Harga Rp 150.000,-/paket. -Istimewa Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Ukuran 25 x 17 cm, xlvi + 714 halaman. Harga Rp 195.000,-/ paket
213
tentang pembukuan Al-Qur‘an, serta kajian khusus asbâb al-nuzûl; kemudian uraian ringkas tentang sejarah Nabi Muhammad SAW juga turut dideskripsikan yang mencakup kelahiran dan keluarga Nabi Muhammad SAW; masa muda dan pernikahannya; pengangkatannya menjadi seorang Rasul; misi dakwahnya; peristiwa Isra‘ dan Mi‘raj; ajaran Islam masuk Madinah; hijrah kaum muslim dan Rasulullah SAW; intimidasi kaum kafir Quraisy, hijrah ke Madinah; sejumlah peperangan di zaman Nabi Muhammad SAW; penaklukan kota Mekah; haji wada‘; dan wafatnya Rasulullah SAW. Untuk memperkaya khazanah pembaca, diulas pula tentang metode memahami Islam berikut kelebihan dan kelemahannya yang mencakup metode asâsī, „amalī, târikhī, ‗ulûm alIslâm, muqâranah, taqlīd, bâtini, dan syâmil–mutakâmil. Di samping itu, pembaca juga akan terbantu dalam pencarian judul yang hendak dicari terjemahannya karena dilengkapi dengan daftar judul dengan berdasarkan pembagian juz mushaf Al-Qur‘an.272 Pada setiap awal penerjemahan, nama surat ditampilkan dan disebutkan artinya seperti QS. al-Fâtihah (surah pembuka), QS. al-Baqarah (sapi betina), al-A‟râf (bukit antara Surga dan Neraka), kecuali surah tertentu yang tidak dituliskan terjemahannya misalnya Qâf, Nûn dan QS. Yâsin. Status setiap surah berupa makkiyah atau madaniyyah juga disebutkan setelah penyebutan nama surah, berikut jumlah ayatnya. Awal surat yang terdiri dari huruf muqatta‟at (huruf yang terpisah-pisah) hanya diterjemahkan sesuai huruf yang ada, semisal alif lam mīm (QS. AlBaqarah), alif lam mīm shâd (QS. al-A‘râf), Qâf (QS. Qâf). Adapun di bagian akhir karya terjemahan ini dicantumkan indeks tematik Al-Qur‘an. Indeks ini sangat membantu dalam pengelompokkan pembahasan ayat-ayat Al-Qur‘an berdasarkan topik tertentu, serta penulisan harakah, keterangan ayat-ayat sajadah dan tanda-tanda waqaf. Sejumlah literatur bacaan juga menjadi penambah kualitas karya ini, yang dijadikan dasar pijakan yang terdiri dari dua belas karya tafsir; baik klasik maupun kontemporer, yaitu: Tafsīr al-Tabarī karya Abu Ja‘far 272
Lihat Muhammad Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah disertai Koreksi Terjemah Harfiyah AlQur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Majelis Mujahidin, 2013), h. iii-xxxiv.
214
Muhammad ibn Jarīr al-Tabarī; Tafsīr Bahr al-„Ulûm karya Al-Samarqandī; Tafsīr al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyûthi; Tafsīr al-Jalâlain karya al-Mahallī dan al-Suyûthi; Tafsīr alQur‟an al-„Azhīm karya Imam Ibnu Katsīr; Tafsīr Ma‟âlim al-Tanzīl karya al-Baghawī; Tafsīr al-Muharrar al-Wajīz karya Ibnu ‗Athiyyah; Tafsīr al-Jawâhir al-Hisan karya alTsa‘âlabi; Tafsīr al-Muntakhab terbitan Kementerian Waqaf Mesir; Tafsīr al-Mishbâh alMunīr karya Tim Ulama India; al-Tafsīr al-Wajīz karya Syaikh Wahbah al-Zuhaylī; Tafsīr alMuyassar karya Râbithah „Âlam Islâmī. Adapun sumber bacaan lainnya sebagai penunjang adalah al-Tafsīr wa al-Mufassirûn karya al-Dzahabī; al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an karya al-Shâbunī; kitab hadis Sahīh Bukharī; kitab hadis Sahīh Muslim; Tarjamah al-Qur‟an: Dhawâbit wa Ahkâm karya Sulthan ibn Abdullah al-Hamdani; Qâmus al-Mu‟jam al-Wasīt karya Ibrahim Unais, dkk; Qâmus alQur‟an Ishlâh al-Wujûh wa al-Nazhâir karya al-Husaini ibn Muhammad al-Damaghani; Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta (2008); Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta (1990).273 Bila ditelaah lebih lanjut, karya yang menjadi stressing (titik tekan) karya MMI ini adalah terkait persoalan tata bahasa Indonesia, logika bahasa Indonesia, sastra Arab, latar belakang turunnya ayat, maksud ayat, bidang akidah, bidang syariah, bidang mu‘amalah (hubungan sosial dan ekonomi). Untuk memastikan kesalahan terjema, M. Thalib merujuk pula maksud ayat dalam bahasa Arabnya
sehingga
memudahkan
untuk
mengoreksi
serta
menemukan
kesalahan
terjemahannya. Lebih lengkapnya, akan penulis suguhkan pada bab empat. Ada sejumlah alasan penting mengemukakan setting Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah. Pertama, posisi M. Thalib di MMI sebagai Amir (Ketua), meskipun belakangan beredar isu bahwa ia sempat mundur dari jabatannya sebagai Amir MMI yang telah ditampuknya selama 273
Al-Ustadz Muhammad Thalib, Al-Qur‟an Al-Karim: Tarjamah Tafsiriyah, Memahami Makna AlQur‟an Lebih Mudah dan Cepat (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Suffah & Pusat Studi Islam An-Nabawi, 2013), h. xviii.
215
4 tahun terakhir. Ia mengajukan surat resign atau pengunduran diri ke Ahlul Halli Wal „Aqdi (AHWA) pada 14 Juni 2012 dengan alasan tidak adanya suasana enjoy/bersahabat (nyaman) dalam kerja sama dengan Lajnah Tanfīziyah Pusat MMI.274 Kedua, karenanya, karya AlQur‘an Tarjamah Tafsiriyah ini sebenarnya (bukan mutlak milik) MMI, tetapi pemiliknya sesungguhnya adalah Ustadz M. Thalib, penyebutan Al-Qur‘an MMI secara ideologis saja, karena ini tidak lain dunia organisasi yang digelutinya; MMI sebuah organisasi keagamaan yang cukup radikal dan kerap kasar/cenderung ekstrim dalam pemikiran dan berbagai pernyataannya dengan wacana formalisasi syariat Islam di Indonesia yang seirama dengan perjuangan HTI, dan FPI, atau dengan kata lain M. Thalib bukanlah representasi utuh dari organisasi MMI. Namun begitu, rentang waktu yang lama untuk meneliti kekurangankekurangan terjemah Al-Qur‘an Kemenag patut diapresiasi. Sejumlah tokoh nasional dan agamawan memberikan testimoni dan ada juga yang melayangkan kritik pedasnya untuk AlQur‘an Tarjamah Tafsriyah ini.
274
Lihat Herry Mohammad, dkk., Mundur bukan Karena Uzur, dalam Majalah Gatra, edisi 11 Juli 2012, h. 90-91.
216
BAB IV KRITIK MMI ATAS TERJEMAHAN AL-QUR’AN KEMENAG RI
Ketika disuguhi sebuah teks, entah buku ataupun kitab suci, muncul pertanyaan di benak kita, siapakah sesungguhnya subjek yang berbicara dan siapakah objek yang hendak disapa oleh teks itu? Disadari atau tidak, ketika seseorang membaca sebuah buku sedikitnya di sana terdapat tiga subjek yang terlibat dalam membangun makna yang masing-masing mempunyai dunianya sendiri. Jika pikiran kita hanya tertuju dan terpusat pada buku, maka sesungguhnya kita sudah berasumsi bahwa buku mempunyai eksistensi yang otonom, yang bisa berbicara sendiri dan untuk memahami isinya kita tidak harus mengaitkan dengan subjek pengarangnya. Bukankah kita adakalanya tenggelam dalam sebuah buku tanpa pernah bertanya secara kritis, siapakah pengarangnya? Kepada siapa buku ini sesungguhnya ditujukan? Sebuah buku begitu selesai ditulis oleh pengarangnya dan kemudian diluncurkan ke tengah masyarakat, maka ia telah menjadi milik publik. Ia akan berbicara sendiri menyampaikan isinya melalui sistem tanda yang dimilikinya, dalam wadah bahasa yang bersifat lokal. Asumsi ini tentu saja mengandung banyak kebenaran, meskipun juga memiliki kelemahan. Sisi kebenarannya terletak terutama pada kenyataan bahwa kita bisa menghargai sebuah buku dan bisa berguru pada buku-buku tanpa harus bertemu dengan pengarangnya untuk mengecek benar-salahnya isi buku serta menanyakan apa motifnya menulis sebuah buku. Tetapi, tidakkah sebuah teks yang hadir di depan kita bisa menipu atau, setidaknya, tidak mampu mengungkapkan sebuah realitas yang utuh? Dengan ungkapan lain, sejauh mana sebuah teks bisa dipercaya validitas dan akurasi derajat kebenaran yang disampaikannya?
217
Pertanyaan di atas mengajak kita menggugat otonomi sebuah teks, karena, pada dasarnya teks hanyalah sebagian dari pikiran pengarangnya, di samping juga sebuah teks tidak selalu akurat dalam menghadirkan sebuah realitas atau menyajikan sebuah konsep. Di balik sebuah teks, sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang hendak disajikan oleh pengarangnya. Menyadari bahwa teks dan pengarangnya saling bertautan namun jarang sekali keduanya hadir bersama-sama di hadapan kita sebagai pembacanya, maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran sebuah teks, faktor subjektivitas pembaca menjadi sangat berperan. Membaca berarti juga menafsirkan. Lebih jauh lagi, membaca dan menafsirkan sesungguhnya juga ―menulis ulang‖ dalam bahasa mental dan bahasa pikir sang pembaca yang hanya saja tidak dituliskan. Ketika sebuah teks hadir di depan kita, maka teks menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna berdasarkan sistem tanda yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara teks, pikiran pengarang, dan benak pembacanya.275 Ketiga variabel itu, yaitu the world of the text, the world of the author, dan the world of the reader, masing-masing merupakan titik pusaran tersendiri, meskipun kesemuanya saling mendukung—bisa juga malah menyesatkan—pihak pembaca dalam memahami sebuah teks. Bahkan, terdapat sebuah pendapat ekstrim yang menyatakan bahwa ―pikiran yang diucapkan dan dituliskan pasti mengandung kebohongan.‖ Mengapa demikian? Karena ketika pikiran diungkapkan dengan kata-kata, ia selalu melibatkan pilihan kata dan kalimat yang dianggap tepat dengan mempertimbangkan keadaan pendengar atau pembacanya.276 Al-Qur‘an adalah sebuah teks, dan seperti juga semua teks yang lain, ia membutuhkan penafsiran. Bahkan, upaya memahami Al-Qur‘an secara sederhana pun hakikatnya adalah sebuah kegiatan penafsiran. Setiap kali seseorang membaca sebuah teks 275
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), h. 1-3. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan, 2011), h. 63. 276
218
dan mendengarkan pembicaraan orang lain, sejatinya mereka sedang memahami kata-kata itu. Setiap individu belajar memproses informasi dengan cara tertentu dalam rangka ―membentuk‖ makna dari teks, meski mereka biasanya tidak menyadari proses ini. Para pembaca Al-Qur‘an pun sebetulnya bukanlah para pengkaji yang netral dan objektif, namun menjadi penafsirnya, dengan membawa bias dan cakrawalanya sendiri dalam menafsirkan teks tersebut. Karena perbedaan pengalaman, kesan, nilai, dan lingkungan kultural, tiap-tiap individu akan ―membentuk‖ makna dengan cara yang berbeda untuk mencapai pemahaman mereka terhadap teks. Namun, subjektivitas penafsiran ini tidaklah berarti bahwa tiap-tiap pemahaman memiliki keabsahan dan kualitas yang setara. Para sarjana Muslim menganggap Al-Qur‘an sebagai sebuah teks yang kompleks. Dalam usaha memahami maknanya, mereka telah berkontribusi besar dalam mengembangkan literatur tafsir Al-Qur‘an selama 1400 tahun terakhir. Di masa modern, para sarjana Muslim terus mengembangkan usaha untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur‘an secara keseluruhan, dan menentukan relevansi atas teks-teks Al-Qur‘an yang khusus. Dalam banyak hal demikian, banyak sarjana juga mengembangkan teori-teori mengenai karakteristik kebahasaan dan makna yang menawarkan cara-cara baru dalam memahami Al-Qur‘an secara lebih baik.277 Teks menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ajaran-ajaran utama Islam ada dalam bentuk teks, yaitu Al-Qur‘an dan hadis. Orang-orang Islam sangat bangga menyebut dirinya sebagai Ahlul Kitâb ‗orang-orang yang sangat menghormati kitab‘ atau secara sederhana, ‗masyarakat teks‘. Al-Qur‘an juga menyebut para pengikut agama lain, terutama Yahudi dan Kristen sebagai Ahlul Kitâb hanya karena sebagai umat Islam, mereka juga menjadikan teks (kitab suci) sebagai pusat dari kesadaran beragama mereka. Bagi Ahlul Kitâb, dunia langit hanya bisa diketahui lewat teks yang dibawa oleh para Nabi. Teks adalah dâl (yang menunjuk, atau kehadiran sebuah tanda, signifier) dari madlûl (objek yang 277
Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), h. 27-28.
219
ditunjuk, signified) yaitu makna abadi yang ada di dalam diri Tuhan. Bagi orang Islam, setiap kata atau kalimat yang ada dalam Al-Qur‘an disebut ayat atau ‗tanda‘. Tanda dari suatu makna abadi. Memang benar bahwa makna abadi itu bisa diketahui lewat ciptaan Tuhan seperti gunung dan langit (benda-benda ciptaan ini juga disebut ayat atau persisnya ayat kauniyah ‗tanda-tanda alam‘. Akan tetapi, ayat yang paling utama adalah teks Al-Qur‘an. Bisa dikatakan bahwa tanpa teks ini, tidak ada Islam dan masyarakat Muslim. Masyarakat Islam sebagai masyarakat yang eksistensinya bergantung pada teks diperkuat oleh hadis. AlQur‘an yang jumlah ayatnya hanya sekitar 6.600 dan ada pendapat menyebutkan 6.666 dengan 114 surat dan 30 juz, bukanlah sebuah teks yang bisa menjelaskan semua realitas atau ajaran dengan detail. Kalau tidak jelas, ke mana mereka harus mencari kejelasan. Berbagai jawaban dikemukakan, ada yang merujuk pada tradisi atau konteks lokal sebagai penjelas, seperti yang nampak terjadi pada mazhab Mâlikī yang sangat mengutamakan tradisi dan praktek lokal Madinah. Ada juga yang merujuk pada akal seperti yang ada dalam mazhab Hanafī. Ada juga yang menggunakan ijmâ‟ (sebuah kesepakatan atau consensus masyarakat Muslim dalam memahami teks sebagaimana yang dikembangkan oleh mazhab Syâfi‘ī. Dan ada juga yang menjadikan kata-kata dan perbuatan Rasul sebagai pegangan, yang kemudian disebut hadis. Maka hadis yang dibukukan pada abad ke-3 H/ 9 M itu kini menjadi rujukan sekunder setelah Al-Qur‘an.278 Al-Qur‘an adalah wahyu ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia ketika ia diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Namun demikian, AlQur‘an bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala hal. Al-Qur‘an semestinya tidak ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Al-Qur‘an dengan realitas sosial. Kendati Al-Qur‘an di satu pihak diidealisasi 278
Fuad Jabali, Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol 7 No. 1, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 1-2.
220
sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai AlQur‘an yang dialamatkan kepada manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu. Karena itu, perlu adanya tafsir untuk mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsipprinsip kandungan Al-Qur‘an tersebut. Al-Qur‘an dalam tradisi keilmuan Islam, telah melahirkan sederet teks turunan yang demikian mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan karya-karya spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam model dan metode.279 Al-Qur‘an Al-Karim yang diturunkan dengan bahasa Arab, memiliki uslûb-uslûb280 bahasa yang tinggi yang terdiri dari atas uslûb-uslûb bayâniyyah, ma‟âniyyah, dan badī‟iyyah, di samping uslûb-uslûb yang lainnya yang lebih mudah ditangkap pengertiannya. Al-Qur‘an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sekaligus petunjuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapapun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor. Redaksi ayat-ayat Al-Qur‘an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Qur‘an, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda 279
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munâsabah Al-Qur‟an: Tinjauan Kritis terhadap Konsep dan Penerapan Munâsabah dalam Tafsīr al-Mishbâh (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Kegamaan Kementerian Agama RI, 2014), h. 4-5. 280 Kata uslûb (bentuk jamaknya ialah asâlīb) secara sederhana dapat diartikan sebagai ―cara, jalan” atau “jalan yang terbentang”. Kata ini dipadankan dengan kata style dalam bahasa Inggris. Menurut pengertian istilah terminologis, uslûb berarti cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengungkapkan ide dan pikirannya yang dituangkan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dalam ilmu bahasa, istilah ini dikenal dengan sebutan “gaya bahasa” sebagaimana yang diungkap Muhammad Hasan Abdullah dalam Muqaddimah fi al-Naqd alAdabī, lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur‟an: Upaya Menafsirkan Al-Qur‟an dengan Pendekatan Kebahasaan (Jakarta: Fitra Publishing, 2006), h. 1-2.
221
pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.281 Sebagai pembuka bab empat, pengantar di atas sungguh cocok dalam menyisir halaman per halaman berikut ini.
A. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag secara Umum Bagi kaum muslimin, Al-Qur‘an adalah petunjuk (hudan) untuk menuntun umat manusia menuju jalan yang benar. Al-Qur‘an juga berfungsi sebagai pemberi penjelasan (tibyân) terhadap segala sesuatu, dan sebagai pembeda (furqân) antara kebenaran dan kebatilan. Keindahan bahasa, kedalaman makna, keluhuran nilai, dan keragaman tema di dalam Al-Qur‘an tidak akan pernah kering untuk terus diperdalam, dikaji, diteliti, dan dimaknai dengan lebih mendalam. Oleh karena itu, upaya menghadirkan pesan-pesan AlQur‘an merupakan proses yang tidak akan pernah berakhir selama manusia hidup di muka bumi ini. Al-Qur‘an adalah kitab suci bagi umat Islam yang berisi pokok-pokok ajaran tentang akidah, syari‟ah, akhlak, kisah-kisah dan hikmah dengan fungsi pokoknya sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia demi mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai kitab suci, Al-Qur‘an harus dimengerti maknanya dan dipahami dengan baik maksudnya oleh setiap orang Islam untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu usaha Departemen Agama (kini: Kementerian Agama) dalam rangka memasyarakatkan Al-Qur‘an sebagai kitab suci umat Islam adalah menerjemahkan arti kandungan kitab suci tersebut dan menafsirkannya.282
281
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), h. 112-113. 282 Bahkan dalam terbitan terbaru Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudoyono menyambut baik Penyempurnaan dan Penerbitan Tafsir ini, sebuah karya masterpiece yang disusun oleh para Pakar dan Ulama Indonesia secara bersama-sama di bawah koordinasi Kemenag RI ini merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan iman, ilmu, dan amal saleh kaum muslimin di tanah air. Presiden dan segenap kaum muslimin di Indonesia tentu sangat bangga karena Para Ulama kita telah mampu melahirkan Tafsīr Al-Qur‟an dalam bahasa Indonesia yang sangat lengkap dan monumental. Para Ulama terkemuka, seperti
222
Karya terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama RI yang biasa disebut Al-Qur‘an dan Terjemahnya selesai disusun oleh sebuah tim yang terdiri dari beberapa ulama anggota Lembaga Penterjemah Kitab Suci Al-Qur‘an pada tahun 1965 dalam kurun waktu 5 tahun (1960-1965), dan dicetak secara bertahap dan beredar pertama kali pada tanggal 17 Agustus 1965, sebanyak tiga jilid. Masing-masing jilid terdiri dari 10 juz. Dalam perkembangannya, terjemahan tersebut mengalami beberapa kali perbaikan dan penyempurnaan. Sejak pertama kali diedarkan pada 17 Agustus 1965 hingga sekarang, terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama setidaknya sudah mengalami dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan. Pertama, penyempurnaan redaksional yang dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan bahasa pada saat itu, yaitu pada tahun 1989. Kedua, penyempurnaan secara menyeluruh yang mencakup aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek transliterasi dalam rentang waktu yang cukup lama antara tahun 1998 hingga 2002, dan edisi 2002 inilah yang dijadikan objek penelitian. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu dilakukan oleh para ulama, ahli dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidangnya sebagai wujud keterbukaan Kementerian Agama terhadap saran dan kritik konstruktif bagi perbaikan dan penyempurnaan Al-Qur‘an dan Terjemahnya. Upaya itu juga didasari pada
Prof. Dr. Mahmud Yunus, Prof. Dr. Tengku M. Hasbi al-Shiddīqī, Prof. Dr. Hamka, dan Prof. Dr. M. Quraish Shihab misalnya, telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar dalam menghadirkan pesan-pesan Al-Qur‘an baik dalam bentuk terjemahan maupun tafsir. Akhirnya, atas nama Negara, pemerintah, dan pribadi, Presiden mengucapkan terima kasih, apresiasi, dan penghargaan yang tulus kepada para Ulama dan semua pihak yang telah bekerja keras tidak kenal lelah dalam penyusunan, penerjemahan, dan penerbitan Al-Qur‟an dan Tafsirnya ini. Karya besar para ulama kita itu patut kita hargai dan kita hormati sebagai mahakarya bagi pencerdasan spiritual umat, bangsa, dan Negara. Melalui penerbitan Al-Qur‟an dan Tafsirnya ini tidak hanya menambah kekayaan khazanah intelektual dunia di bidang Tafsīr Al-Qur‟an dalam berbagai bahasa, selain bahasa Arab. Kehadiran Tafsir ini merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan akan ketersediaan kitab suci dan tafsirnya bagi umat Islam, juga merupakan upaya untuk mendorong peningkatan akhlak mulia bagi sebuah bangsa yang besar dan bermartabat dan menghantarkan cita-cita mewujudkan negeri yang baldatun thayyibatun wa robbun ghofûr. Kata Sambutan Presiden RI ke-6, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan) (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. xvii – xviii.
223
kesadaran bahwa tidak ada karya manusia yang sempurna, apalagi ketika akal manusia yang terbatas ingin menjangkau pesan kalam Tuhan yang tidak terbatas.283 Sejak abad ke-20 tidak kurang dari 22 karya Terjemahan Al-Qur‟an lahir di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Yang sangat populer antara lain terjemahan karya Prof. Dr. Mahmud Yunus “Qur‟an Karim”, Al-Furqân karya A. Hassan, Al-Bayân buah tangan Prof. T.M. Hasbi al-Shiddīqī, dan yang terbaru abad ke-21 yaitu Al-Qur‟an dan Maknanya hasil pemikiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. Karya-karya tersebut tentu berbeda satu sama lain. Dalam goresan Muchlis M. Hanafi, di antara buku Terjemah AlQur‘an dimaksud adalah sebagai berikut: a. Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm, karya A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, dan Abdur Rahim Haitami; b. Tafsīr al-Qur‟an Hidâjatur Rahmân, karya Munawar Khalil; c. Terjemah Tafsīr, karya Maulevi Mohammad Ali; d. Tafsīr Qur‟an, karya Zainuddin Hamidy dan Hs. Fachruddin; e. Tafsīr Qur‟an Karīm, buah tangan Mahmud Yunus; f. Tafsīr Al-Bayân, hasil karya T.M. Hasbi al-Shiddīqī; g. Al-Furqân: Tafsīr Quran, masterpiece Ahmad Hasan; h. Tafsīr Al-Azhar, karya monumental Buya HAMKA; i. Al-Qur‟an dan Terjemahnya, buah tangan Tim Kementerian Agama RI; j. Al-Qur‟an dan Tafsirnya, hasil Team Work Kementerian Agama RI; k. Tafsīr Rahmat, karangan H. Oemar Bakry; l. Terjemah dan Tafsīr Al-Qur‟an, karya Bachtiar Surin; m. Terjemah/Tafsīr Al-Qur‟an, hasil monumental Moh. Rifa‘I; n. Al-Qur‟an dan Maknanya, hasil spektakuler M. Quraish Shihab; o. Qur‟an Kejawen, karya Kemajuan Islam Yogyakarta; p. Qur‟an Sundawiyah: Qur‟an bahasa Sunda, oleh KH. Qomaruddien; q. Al-Ibrīz, ditulis oleh KH. Biysri Mustofa; r. Al-Iklīl fī Ma‟âni alTanzīl, karangan KH. Mishbah Zainal Mustofa; s. Al-Qur‟an Suci Bahasa Jawa, oleh Prof.
283
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan AlQur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Balitbang Kemenag RI, Vol. 4, No. 2, 2011, h. 179.
224
KH.R. Muhammad Adnan; t. Al-Amīn, bahasa Sunda; u. Tarjamah Al-Qur‟an, bahasa Sunda.284 Untuk usaha pertama, Depag (Kementerian Agama) pada tahun 1967, melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No. 26/1967 telah membentuk satu tim yang diberi tugas untuk menerjemahkan makna-makna Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia, yang diketuai oleh Prof. Soenaryo, SH dan beranggotakan 17 orang ulama dan akademisi. Mereka adalah Prof. T.M. Hasbi al-Shiddīqī (wakil ketua merangkap anggota), Prof. H. Bustami A Gani, Prof. H. Muchtar Yahya, Prof. H.M. Toha Yahya Omar, Prof. Dr. Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar (sekretaris I merangkap anggota), H. Ghazali Thaib (Sekretaris II merangkap anggota), Prof. KH. Musaddad, KH. Ali Maksum, dan Drs. Busyairi Madjidi. Anggotanya terdiri dari KH. Syukri Ghazali, KH. M. Amin Nashir, Prof. A. Timur Djaelani, MA, Prof. KH. Ibrahim Husein, LML, Drs. Sanusi Latif, Drs. Abd. Rahim.285 Tim ini berhasil menyelesaikan Terjemahan Al-Qur‘an dengan baik, setelah 8 tahun bekerja. Hasil karya mereka mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari masyarakat, bukan saja di Indonesia, tetapi juga negara tetangga serumpun. Terjemahan ini telah mengalami cetak berulang kali, baik yang dibiayai melalui Departemen Agama sendiri maupun oleh penerbit swasta. Tafsir Al-Qur‘an Departemen Agama juga hadir secara bertahap (tadarruj). Pencetakan pertama kali dilakukan pada tahun 1975 berupa I jilid yang memuat juz I sampai dengan juz 3, kemudian menyusul jilid-jilid selanjutnya pada tahun berikutnya. Untuk pencetakan secara 284
Muchlis M. Hanafi, Menyoal Terjemah Yang Bukan Masalah, makalah disampaikan pada Dialog dengan Tim MMI seputar Terjemah Al-Qur‟an yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jum‘at, 29 April 2011, bertempat di Anjungan Lampung Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Menurut Muchlis, sejumlah buku terjemahan di atas diberi judul tafsir. Satu hal yang menunjukkan bahwa terjemahan juga merupakan tafsir, karena merupakan hasil pemahaman seorang penerjemah terhadap teks Al-Qur‘an. 285 Ada beberapa versi yang penulis dapatkan, menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Menteri Agama membentuk Tim Penyusun Al-Qur‟an dan Tafsirnya yang disebut Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur‘an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) dengan No. 90 Tahun 1972, kemudian disempurnakan dengan KMA No. 8 Tahun 1973 dengan Ketua Tim Prof. H. Bustamai Abdul gani dan selanjutnya disempurnakan kembali dengan KMA No. 30 Tahun 1980 dengan Ketua Tim Prof. KH. Ibrrahim Hosen, LML. Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) (Jakarta: Direktorat Bimas Islam Kemenag, 2012), h. xxi.
225
lengkap 30 juz baru dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana. Kemudian pada penerbitan berikutnya secara bertahap dilakukan perbaikan atau penyempurnaan di sana-sini yang pelaksanaannya dilakukan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‘an–Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Perbaikan tafsir yang relatif agak luas pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak mencakup perbaikan yang sifatnya substansial, melainkan lebih banyak pada aspek kebahasaan. Penyusunan Al-Qur‟an dan Terjemahnya didasarkan pada sebuah kesadaran dari para penyusunnya bahwa penerjemahan Al-Qu‘ran secara harfiah tidak mungkin bisa dilakukan, sebab bahasa-bahasa di dunia ini terlalu miskin untuk bisa menerjemahkan bahasa Al-Qur‘an. Karenanya, yang dimaksud sebenarnya adalah terjemah makna Al-Qur‘an bukan terjemah dengan pengertian pengalihbahasaan yang dapat menggantikan posisi teks AlQur‘an itu sendiri atau menampung semua pesan yang terkandung dalam Al-Qur‘an. Karya Tim Kemenag ini disusun dengan menggabungkan metode terjemah harfiyah dan tafsiriyah. Lafal yang bisa diterjemahkan secara harfiyah, maka
diterjemahkan secara harfiyah.
Sedangkan yang tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah, baik dalam bentuk pemberian catatan kaki maupun tambahan penjelasan di dalam kurung. Dalam terjemahan versi lama terdapat sekitar 1610 catatan kaki (footnote), sedangkan dalam edisi revisi yang terbaru hanya 930 footnote (berkurang 680). Dalam kata pengantar, Ketua Lembaga Penjelenggara Penterdjemah Kitab Sutji Al-Qur‘an, Prof. R. H. A. Soenarjo, SH., pada Al-Qur‘an dan Terjemahnya terbitan Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur‘an (1969) disebutkan: ―Terdjemahan dilakukan seleterlijk (seharfijah) mungkin. Apabila dengan tjara demikian terdjemahan tidak dimengerti, maka baru dijtari djalan lain untuk dapat difahami dengan menambah kata-kata dalam kurung atau diberi not. Apabila mengenai sesuatu kata ada dua pendapat, maka kedua pendapt itu dikemukakan dalam not.‖
226
Kesan harfiyah terjemahan Kementerian Agama mungkin ditangkap oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dari ungkapan, ―Terdjemahan dilakukan seleterlejk (seharfijah) mungkin?‖, tetapi bila dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikutnya kesan itu akan sirna. Hal ini sejalan dengan pandangan beberapa ulama seperti Imam al-Syâtibī, Ibn Qutaibah dan Syaikh al-Marâghī yang menyatakan bahwa Alfâdz al-Qur‟an ada yang dapat diterjemahkan secara harfiyah dan ada yang tidak, sesuai dengan denotasi (dalâlah) nya; asliyyah atau tâbi‟ah/tsânawiyyah. Metode yang sama juga pernah dilakukan oleh A. Hassan bin Ahmad dalam al-Furqân Tafsīr Al-Qur‘an, Prof. TM. Hasbi al-Shiddīqī dalam Tafsīr al-Bayân, dan M. Quraish Shihab dalam Al-Qur‘an dan Maknanya. Dalam pendahuluan karyanya, A. Hassan menjelaskan metodenya sebagai berikut: ―Fashal I: Tjara menjalin. Dalam mentardjamahkan ajat2 saja gunakan sedapat2nja selinan se-kalimah dengan se-kalimah, ketjuali jang tidak dapat dilakukan demikian, baharulah saja pakai tjara menjalin ma‘na, karena pada pandangan saja, jang tersebut itulah se-baik2 tjara bagi orang jang hendak teliti didalam tardjamahan, seperti qâla lahu, kalau disalin selafazh dengan selafazh adalah ―ia berkata baginja‖ tetapi saja salin ―ia berkata kepadanja‖ dan seperti âmanna billâhi biasanya disalin ―ia pertjaja dengan Allah, tetapi saja artikan ―ia pertjaja kepada Allah.‖ Demikianlah saja berkisar dari tardjamahan harfijah bila menjalin kefasihan bahasa Melaju atau Indonesia.‖
Cara senada dikemukakan oleh M. Hasbi al-Shiddīqī. Ia mengatakan: ―Terjemahan saya lakukan adakala bersifat menterjemahkan lafadh ayat saja, adakala menterjemahkan ma‘na ayat, yaitu: dengan memasukkan ke dalam terjemah lafadh ma‘na yang harus ditaqdirkan (harus dipandang ada), seperti mentaqdirkan mudlmar yang telah dibuang dan mentaqdirkan jawab qasam= sumpah, jawab idza= apabila, jawab lau=jikalau, jawab in=jika. Dengan demikian terjemahan itu sendiri sudah menjelaskan apa yang dimaksud. Saya tidak menterjemahkan sebanyak lafadh yang ada saja, adalah karena yang saya maksud adalah terjemahan ma‘na.‖
Perlu diketahui M. Hasbi al-Shiddīqī adalah wakil ketua tim penyusun (merangkap anggota) terjemahan Kementerian Agama dengan anggota yang terdiri dari para ulama yang berkompeten di bidangnya seperti KH. Anwar Musaddad, KH. Ali Maksum, Prof. Bustami 227
Abdulgani, dan lainnya. Cara penerjemahan yang sedemikian rupa lazim dilakukan oleh para ulama. Menurut Syaikh Musthafâ al-Marâghī, dalam menerjemahkan karya-karya ilmiah banyak ulama berupaya keras menerjemahkannya secara harfiyah, sampai pun terjemahan itu membuat maknanya menjadi samar. Ini dilakukan sebagai bentuk kejujuran dalam menyalin. Ilmu filsafat dan lainnya di masa-masa awal Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan cara seperti ini. Menurut A. Hassan, ―karena pada pandangan saja, jang tersebut itulah se-baik2 tjara bagi orang jang hendak teliti di dalam terdjamahan.‖ 286 Terjemahan hanyalah salah satu alat bantu untuk memahami Al-Qur‘an secara sederhana. Sasarannya tentu para pemula. Sangat naif bila seseorang yang mengerti bahasa Arab mengandalkan terjemahan dalam memahami Al-Qur‘an. Untuk bisa memahami Al-Qur‘an secara baik tentu harus merujuk kepada buku-buku Tafsīr Al-Qur‟an yang otoritatif (mu‟tamad). Bagaimanapun, sebuah terjemahan adalah kreasi dan ijtihad manusia yang tidak luput dari kekurangan di sana-sini. Menurut Ahsin Sakho Muhammad, kelemahan dalam penerjemahan Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia, dan mungkin bahasa lain di dunia, adalah soal keterbatasan bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia terasa ‗kerdil‘ menghadapi bahasa Al-Qur‘an yang demikian indah, kukuh dan mantap. Ada ungkapanungkapan Al-Qur‘an yang sulit ditemukan padanannya secara tepat dalam bahasa Indonesia, kecuali harus diuraikan secara panjang lebar terlebih dahulu. Memahami Al-Qur‘an dalam bahasa aslinya yaitu bahasa Arab memang tidaklah mudah karena itulah diperlukan terjemah Al-Qur‘an dalam bahasa Indonesia. Tetapi bagi mereka yang hendak mempelajari Al-Qur‘an secara lebih mendalam tidak cukup terjemah, melainkan juga diperlukan Tafsir Al-Qur‘an. Struktur bahasa Al-Qur‘an sangat sastrawi dan hanya bisa dipahami oleh mereka yang mempunyai rasa bahasa yang sudah tinggi pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan 286
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan AlQur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, h. 180-181.
228
jika terjemahan versi tim ini mendapatkan tanggapan positif dari berbagai pihak. Beberapa kalangan dari organisasi massa Islam telah mengajukan beberapa usulan perbaikan terhadap terjemahan Departemen Agama ini. Kebanyakan dari tanggapan tersebut, berkisar pada aspek kebahasaan, seperti pemilihan kata-kata yang lebih tepat untuk menerjemahkan ungkapan AlQur‘an. Harus diketahui pula bahwa menerjemahkan satu ungkapan Al-Qur‘an berarti juga menafsirkan ungkapan tersebut. Jika ungkapan Al-Qur‘an tersebut mempunyai beberapa kemungkinan arti, maka penerjemah harus memilih salah satu saja dari sekian arti tersebut. Tidaklah elok jika semua arti tersebut dikemukakan secara keseluruhan. Untuk itu, terjadi tarik ulur antara satu penerjemah dengan penerjemah lainnya. Terjemahan juga terkesan harfiyah yang maksudnya barangkali mengimbangi ungkapan-ungkapan Al-Qur‘an, sehingga terkesan seperti memaknai ungkapan Arab yang ada pada kitab kuning yang banyak kita lihat di dunia pesantren. Bagi pemula yang ingin belajar dalam bahasa Arab, terjemahan Departemen Agama banyak membantu. Seperti misalnya satu kata dalam Al-Qur‘an kemudian melihat terjemahannya, akan sulit terjadi kesesuaian. Namun, dengan perkembangan bahasa Indonesia masa kini, terjemahan Depag tersebut dapat perlu perbaikan di sana-sini, terutama struktur kebahasaan, sehingga bisa dicerna pembaca dengan baik, menurut rasa bahasa orang Indonesia (dzauq al-lughah al-indûnisī) dewasa ini. Sebenarnya terjemahan Al-Qur‘an versi Depag telah mengalami perbaikan beberapa kali. Salah satunya adalah ketika akan dicetak di Mujamma‟ Malik Fahd di Madinah. Terakhir adalah perbaikan yang dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk Depag. Hasil perbaikan tersebut telah terbit menjadi Al-Qur‟an dan Terjemahnya tahun 2004 yang lalu. Dalam penjelasan Ahsin Sakho Muhammad, perbaikan-perbaikan yang dilakukan terhadap Terjemah Al-Qur‟an versi Depag tidak terinventarisasi secara terperinci, sehingga untuk mengetahui perbaikan-perbaikan tersebut harus diteliti antara satu terbitan dengan terbitan lainnya secara cermat. Namun demikian, sejatinya Terjemah Al-Qur‘an Depag secara 229
garis besar telah mencerminkan apa yang dikehendaki oleh kalamullah itu. Jika ada terjemahan yang masih juga kurang pas, maka bisa diuraikan dalam tafsir.287 Berikut ini aspek-aspek yang direvisi dalam Terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama. Antara lain: a. Menghilangkan mukaddimah tentang sejarah turunnya Al-Qur‘an dan hal-hal yang terkait dengan itu. Mukaddimah ini dirasa terlalu banyak (145 halaman), padahal yang dinginkan adalah sebuah cetakan Al-Qur‘an yang tidak tebal, bisa dibawa kemanamana; b. Menyederhanakan catatan kaki (footnote). Pada terjemahan yang lalu catatan kaki terkesan seperti tafsir, sehingga terjadi pembengkakan dalam lembaran terjemahan. Pada terjemahan versi baru, banyak catatan kaki yang bisa dibuang; c. Menghilangkan ungkapan yang sebenarnya bukan terjemahan langsung dari teks, tetapi merupakan tafsir. Ungkapan itu adakalanya dibuang atau diletakkan di catatan kaki saja. Seperti nama satu pelaku sejarah yang masih diperselisihkan namanya di kalangan para ahli tafsir. Contohnya adalah pada surat Yusuf ayat 21. Dalam al-Qur‘an surat Yusuf, Allah SWT berfirman:
ِ ِ ِ ك َ صَر ِال ْمَرأَتِو أَ ْك ِرِم ْي َمثْ َواهُ َع َسى أَ ْن ي ْن َف َعنَا أ َْو نَت ِخ َذه َولَ ًدا َوَكذل ْ َوقَ َال الذ ْي ا ْشتَ َراهُ م ْن م ِ ِ ث واهلل َغالِب علَى أَم ِره و ِ ِ ض ولِنُعلمو ِمن تَأْ ِوي ِل اْأل ِ لكن أَ ْكثَ َر الن َاس ال َ َمكنا ليُ ْو ُس ْ ْ َ َ َ ِ ف ِ ْيف اْأل َْر َ َ ْ َ ٌ ُ َ َْحادي .يَ ْعلَ ُم ْو َن Artinya: “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya tabir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yûsuf (12): 21).
287
Ahsin Sakho Muhammad, Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2005), Jurnal Vol 3, No. 1, h. 156-157.
230
Pada terjemahan lama ditulis, “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf…” Kata (Zulaikha) pada versi baru ditiadakan, tetapi dipindahkan ke dalam catatan kaki. Salah satu tim ahli Tafsir Kementerian Agama RI, Ali Mustafa Yakub mengatakan bahwa riwayat ini tidak valid.288 d. Tidak menerjemahkan nama surah. Nama surah ditampilkan apa adanya, sehingga tidak ada orang yang mengatakan “Surah Sapi Betina” akan tetapi “Surah al-Baqarah”; e. Teks Al-Qur‘an pada edisi Mujamma‟ ditulis dari kanan ke kiri seperti layaknya mushaf. Pada terjemah edisi terbaru, teks Al-Qur‘an dimulai dari kanan ke kiri mengikuti terjemahan yang ada dengan alasan bahwa cetakan ini bukan mushaf, tetapi terjemahan; f. Teks AlQur‘an pada edisi terbaru diambil dari teks Al-Qur‘an yang diwakafkan oleh Yayasan Iman Jama kepada kaum muslimin melalui Departemen Agama; g. Banyak ungkapan bahasa Indonesia yang diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan ungkapan yang ada pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, seperti kata ―menafkahkan‖ diganti menjadi ―menginfakkan‖ dan sebagainya.
288
Dalam pandangan Ali Mustafa Yaqub, bahwa sumber riwayat seputar kisah romantis Nabi YusufZulaikha sesegera mungkin harus dibuang karena tidak berlandaskan pada kisah-kisah yang valid dan otoritatatif. Beliau mengusulkan agar membuang kata ‗Zulaikha‘ (ada yang membaca Zalikha) pada setiap terjemah atau footnote yang ada pada Terjemah Al-Qur‟an Kementerian Agama. Sebab dengan membiarkannya, menurut beliau, masyarakat akan tetap tidak tahu, bahkan cenderung bertambah yakin bahwa Zulaikha itu istri Nabi Yusuf. Setelah melewati perdebatan sengit antar tim, akhirnya disetujui pembuangan kata tersebut dalam terjemahan ayat-ayat terkait kisah Nabi Yusuf dan menambahkan dalam footnote Surah Yusuf ayat 21 itu, dengan kalimat: Bahwa riwayat tentang penamaan Zulaikha tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam kajian Pengasuh Pondok Pesantren International Darus Sunnah Ciputat ini, kisah romantis antara Nabi Yusuf dan Zulaikha tidak hanya bumbu cerita isra‟iliyyât yang menghibur kita sebelum tidur, melainkan telah merangsek pada keyakinan atau akidah orang awam, hingga banyak dari mereka menjadikannya sebagai doa. Supaya masyarakat awam juga tidak menerima secara taken for granted (apa adanya) tafsīr-tafsīr isra‟iliyyât yang tersebar luas dalam kitab-kitab tafsir, melainkan menyikapinya dengan hati-hati sekaligus mengkritisinya. Syaikh Abdul Fattâh Abu Ghuddah, seorang ahli hadis dari Syiria, ketika mengomentari kisah-kisah palsu tentang keajaiban seputar kelahiran Nabi Muhammad SAW, berkata; Kisah-kisah itu dan hal-hal serupa banyak tercantum dalam kitab-kitab kuning, baik dalam referensi kitab hadis maupun kitab-kitab sīrah nabawiyyah (sejarah Nabi). Akibatnya banyak orang terkecoh, seolah kisah-kisah itu telah terjamin otentisitas (kesahihannya). Padahal maksud para penulis kita-kitab itu tidaklah demikian. Mereka mencantumkan dalam kitab-kitab mereka, riwayat-riwayat yang sahih maupun yang tidak sahih (palsu, maudhû‟) untuk direkam dan diketahui, kemudian untuk diteliti otentisitasnya, bukan untuk dibenarkan atau dianggap otentik. Tentunya apabila sudah diteliti, mana yang sahih dapat dijadikan pegangan dan yang tidak sahih harus dikubur dalamdalam. Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 60 -74.
231
Meskipun perbaikan terjemah terakhir itu telah melalui masa yang cukup panjang, sekitar lima tahun, namun kekurangan di sana-sini masih tetap saja ada. Untuk itu, masukanmasukan yang konkret dari para pembaca dan pemerhati terjemah Al-Qur‘an perlu ditulis dan dilayangkan ke Departemen Agama (yang kini Kemenag RI), melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Museum Bayt AlQur‘an agar bisa didiskusikan lebih lanjut, karena untuk mengubah satu kata atau ungkapan dari terjemahan yang ada memerlukan diskusi panjang, dan harus menelaah serta melihat kitab-kitab tafsir yang ada. Pada akhirnya, apa yang tertulis kadangkala tidak memuaskan pihak lain. Tetapi, pemilihan itu harus terjadi. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kebutuhan masayarakat, Departemen Agama selain menerjemahkan Al-Qur‘an, juga melakukan upaya penyempurnaan Tafsir AlQur‘an secara menyeluruh yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Agama RI dengan KMA No 280 Tahun 2003. Tim penyempurnaan tafsir ini diketuai oleh Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA dengan anggota terdiri dari para cendekiawan dan ulama ahli Al-Qur‘an dengan target setiap tahun dapat menyelesaikan 6 juz, sehingga diharapkan akan selesai seluruhnya pada tahun 2007. Penyempurnaan Tafsir Al-Qur‘an secara menyeluruh dirasakan perlu, sesuai perkembangan bahasa, dinamika masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mengalami kemajuan pesat bila dibanding saat pertama kali tafsir tersebut diterbitkan sekitar hampir 30 tahun yang lalu. Untuk memperoleh masukan dari para ulama dan pakar tentang tafsir Al-Qur‘an Departemen Agama telah diadakan Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur‘an (Mukernas Alim Ulama) yang berlangsung tanggal 28 s.d 30 April 2003 di Wisma Tugu Depag, Bogor dan telah menghasilkan sejumlah rekomendasi dan yang paling pokok adalah merekomendasikan perlunya dilakukan penyempurnaan tafsir tersebut. Muker Ulama Al-Qur‘an telah berhasil pula merumuskan
232
pedoman penyempurnaan tafsir, yang kemudian menjadi acuan kerja tim tafsir dalam melakukan tugas-tugasnya termasuk jadwal penyelesaian. Pada Muker Ulama Ahli Al-Qur‘an 28 s.d 30 April 2003 merekomendasikan sejumlah perbaikan, di antaranya sebagai berikut: Aspek bahasa yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan bahasa Indonesia pada zaman sekarang; aspek substansi, yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat; aspek munâsabah dan asbâb al-nuzûl; aspek penyempurnaan hadis, melengkapi hadis dengan sanad dan rawi; aspek transliterasi yang mengacu kepada Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB dua Menteri (Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan) tahun 1987; dilengkapi dengan kajian ayat-ayat kauniyah yang dilakukan oleh Tim Pakar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); teks ayat Al-Qur‘an menggunakan rasm usmani, diambil dari Mushaf Al-Qur‘an standar yang ditulis ulang; terjemah Al-Qur‘an menggunakan Al-Qur‘an dan Terjemahnya Departemen Agama yang disempurnakan (edisi 2002); dilengkapi dengan kosakata, yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu yang terdapat dalam kelompok ayat yang ditafsirkan; pada bagian akhir setiap jilid diberi indeks; diupayakan membedakan karakteristik penulisan teks Arab, antara kelompok kata ayat yang ditafsirkan ayat-ayat pendukung dan penulisan teks hadis. Sebagai tindak lanjut Mukernas Ulama Al-Qur‘an tersebut Menteri Agama telah membentuk tim dengan keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 tahun 2003 dan kemudian ada penyertaan dari LIPI yang susunannya sebagai berikut: Prof. Dr. H.M. Atho Muzhar (Pengarah); Prof. H. Fadhal AE. Bafadal, M.Sc. (Pengarah); Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA (Ketua merangkap Anggota); Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA (Wakil Ketua merangkap Anggota); Drs. H. Muhammad Shohib, MA (Sekretaris merangkap anggota); Prof. Dr. H. Rif‘at Syauqi Nawawi, MA (Anggota); Prof. Dr. H. Salman Harun (Anggota); Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi (Anggota); Dr. H. Muslih Abdul Karim (Anggota); 233
Dr. H. Ali Audah (Anggota); Dr. Muhammad Hisyam (Anggota); Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA (Anggota); Prof. Dr. H. M. Salim Umar, MA (Anggota); Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, MA (Anggota); Drs. H. Sibli Sardjaja, LML (Anggota); Drs. H. Mazmur Sya‘roni (Anggota); Drs. H. M. Syatibi AH (Anggota). Staf Sekretariat: Drs. H. Rosehan Anwar, APU; H. Abdul Aziz Sidqi, M.Ag; Jonni Syatri, S.Ag; Muhammad Musadad, S.Th.I. Tim tersebut didukung oleh Menteri Agama RI selaku pembina; (Alm) Dr. KH. Sahal Mahfuz; Prof. KH. Ali Yafie; Prof. Drs. H. Asmuni Abd Rahman; Prof. Drs. H. Kamal Muchtar; dan (Alm) Mu‘allim KH. Muhammad Syafi‘i Hadzami selaku dewan Penasehat; serta Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. H. Said Aqil Husin al-Munawwar, MA selaku Konsultan Ahli/Narasumber. Ditargetkan pada setiap tahun dapat menyelesaikan 6 juz, sehingga diharapkan akan selesai seluruhnya pada tahun 2007. Selain itu, berdasarkan saran dan masukan dari para pakar, penyempurnaan Tafsir AlQur‟an Departemen Agama telah memasukkan kajian ayat-ayat kauniyah atau kajian ayat dari perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini dilakukan oleh tim pakar LIPI yang beralamat di Gatot Subroto,289 yaitu: Prof. Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt., M.Sc (Pengarah); Dr. H. Hery Harjono (Ketua merangkap anggota); Dr. H. Muhammad Hisyam (Sekretaris merangkap anggota); Dr. H. Hoemam Rozie Sahil (Anggota); Dr. H. A. Rahman Djuwansah (Anggota); Prof. Dr. Arie Budiman (Anggota); Ir. H. Dudi Hidayat, M.Sc (Anggota); Prof. Dr. H. Syamsul Farid Ruskanda (Anggota). Tim LIPI dalam melaksanakan kajian ayat-ayat kauniyah dibantu oleh Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pada waktu itu dijabat oleh Prof.
289
Perlu diketahui bahwa selain menerbitkan (1) Al-Qur‟an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan 11 jilid), Kementerian Agama mencetak pula (2) Tafsir Al-Qur‟an Tematik (tafsir maudhu‟i) sebanyak 5 jilid yang meliputi Pembangunan Ekonomi Umat; Kedudukan dan Peran Perempuan; Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Bernegara; Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kesehatan dalam Perspektif Al-Qur‟an yang kesemuanya itu sekarang sudah dalam bentuk digitalisasi, (3) Tafsir Ilmi (kajian Tafsir Al-Qur‘an berdasarkan Saintifik sebanyak 3 jilid) yang terdiri dari Penciptaan Jagat Raya dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains; Penciptaan Bumi dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains; dan Penciptaan Manusia dalam Perspektif AlQur‟an dan Sains, serta (4) Tafsir Ringkas yang baru digarap (al-Tafsīr al-Wajīz).
234
Dr. Ir. H. Said Djauharsyah Jenie, ScM., SeD. Dengan Staf Sekretariat: Dra. E. Tjempaksari, M.Lib; Drs. Tjejetep Kurnia290. Muker Ulama telah pula diselenggarakan pada tanggal 16. s.d 18 Mei 2005 di Palembang, tanggal 5 s.d 7 September 2005 di Surabaya dan tanggal 8. s.d 10 Mei 2006 di Yogyakarta, tanggal 21 s.d 23 Mei 2007 di Gorontalo, dan tanggal 21. S.d 23 Mei 2008 di Banjarmasin Kalimantan, dengan tujuan untuk memperoleh saran dan masukan untuk penerbitan tafsir edisi berikutnya. Dalam catatan Kabalitbang, bahwa ia menyambut baik hadirnya penerbitan perdana tafsir juz 25-30 yang disempurnakan ini setelah sebelumnya pada tahun 2004 telah pula diterbitkan perdana tafsir juz 1-6, dan pada tahun 2005 diterbitkan juz 7 – 12, pada tahun 2006 diterbitkan perdana tafsir juz 13- 18, dan pada tahun 2007 diterbitkan perdana juz 19-24 yang disempurnakan. Untuk setiap kali penerbitan perdana sengaja dicetak dalam jumlah terbatas oleh badan litbang dalam rangka memperoleh masukan yang lebih luas dari unsur masyarakat antara lain ulama, cendekiawan, pakar Tafsir Al-Qur‘an, pakar hadis, pakar sejarah dan pakar bahasa Arab, pakar IPTEK, dan pemerhati Tafsir Al-Qur‘an, sebelum dilakukan penerbitan secara massal. Dan pada tahun 2008 ini juga diterbitkan perdana buku Mukadimah Al-Qur‟an dan tafsirnya secara tersendiri.291 Cetakan terakhir menurut catatan Ahsin Sakho Muhammad, telah dilakukan oleh Mujamma‟ Malik Fahd bin Abdul Aziz di Madinah, Saudi Arabia. Cetakan ini sangat baik dan menarik, hasil kerja sama antara Departemen Agama dan pemerintah Arab Saudi.292 Selain itu, ada kritik terhadap terjemahan Al-Qur‘an Kemenag di antaranya dituturkan oleh Ismail Lubis yaitu ―Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‘an Departemen Agama Edisi 1990.‖ Kajian disertasinya cukup komprehensif dalam mengulas dan menganalisis kesalahan dalam terjemahan AlQur‘an Depag tersebut. Berkaitan denga itu, judul buku menggunakan istilah ―falsifikasi‖
290
Muhammad Sohib, Sambutan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA), Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. xxix. 291 Kata Sambutan Muhammad Atho Muzhar, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. xxiii. 292 Ahsin Sakho Muhammad, Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2005), Jurnal Vol 3, No. 1, h. 155-156.
235
yang dapat diartikan memberikan gambaran kepada pembaca atas proses penelitian terhadap ketidaktepatan
penerjemahan
Al-Qur‘an
Depag
edisi
1990.
Sebelumnya
dibahas
penerjemahan yang salah dalam Penerjemahan Al-Qur‘an Depag Edisi Tahun 1990 dan sebab-sebab terjadinya penerjemahan yang salah. Dalam disertasi doktoralnya bidang ilmu-ilmu agama Islam di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ismail Lubis merumuskan identifikasi masalah, batasan masalah, dan ruang lingkup pembahasan sekurang-kurangnya ada tujuh masalah yang perlu diselesaikan. (1) Kata yang berlebihan dalam kalimat terjemahan karena mengandung arti yang sama, sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 71 surat alBaqarah halaman 21, kalimat terjemahan ayat 99 surat Yunus halaman 322, kalimat terjemahan ayat 13 surat al-Hujurât halaman 847, dan kalimat terjemahan ayat 111 surat alAn‘âm halaman 206. (2) Frasa yang digunakan dalam kalimat terjemahan ayat tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, yakni frasa berjalan di atas perut. Akibatnya membuat kalimat terjemahan ayat tidak efektif karena frasa tersebut tidak mengandung makna ayat secara tepat dan tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, misalnya kalimat terjemahan ayat 45 surat al-Nûr halaman 552. (3) Penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan dalam kalimat terjemahan ayat, sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 77 surat alNisâ halaman 31. (4) Preposisi daripada yang digunakan secara berlebih-lebihan sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 51 surat al-An‘âm halaman 194, dan kalimat terjemahan ayat 173 surat al-Nisâ, halaman 153. (5) Makna ganda (rancu) dalam kalimat terjemahan ayat sehingga tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 25 surat al-Ra‘d halaman 373. (6) Penggunaan hiporkorek (sifat yang menghendaki kerapian dan kesempurnaan akan tetapi hasilnya salah) dalam kalimat terjemahan ayat,
236
sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 69 surat alIsrâ halaman 434, yakni penggunaan kata angin taupan. (7) Tanda baca yang tidak digunakan sebaik-baiknya dalam kalimat terjemahan ayat, misalnya tanda baca titik dua (:) dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat. Misalnya, kalimat terjemahan ayat 64 dan 65 surat al-An‘âm halaman 197. Semua ini dapat dilihat kembali pada karyanya yang sangat kritis dan akademis.293
B. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag dan Terorisme Al-Qur‘an adalah sebuah teks, dan seperti juga semua teks yang lain, ia membutuhkan penafsiran. Bahkan, upaya memahami Al-Qur‘an secara sederhana pun hakikatnya adalah sebuah kegiatan penafsiran. Setiap kali seseorang membaca sebuah teks dan mendengarkan pembicaraan orang lain, sejatinya mereka sedang memahami kata-kata itu. Setiap individu belajar memproses informasi dengan cara tertentu dalam rangka ―membentuk‖ makna dari teks, meski mereka biasanya tidak menyadari proses ini. Para pembaca Al-Qur‘an pun sebetulnya bukanlah para pengkaji yang netral dan objektif, namun menjadi penafsirnya, dengan membawa bias dan cakrawalanya sendiri dalam menafsirkan teks tersebut. Karena perbedaan pengalaman, kesan, nilai, dan lingkungan kultural, tiap-tiap individu akan ―membentuk‖ makna dengan cara yang berbeda untuk mencapai pemahaman mereka terhadap teks. Namun, subjektivitas penafsiran ini tidaklah berarti bahwa tiap-tiap pemahaman memiliki keabsahan dan kualitas yang setara. Para sarjana Muslim menganggap Al-Qur‘an sebagai sebuah teks yang kompleks. Dalam usaha memahami maknanya, mereka telah berkontribusi besar dalam mengembangkan literatur tafsir Al-Qur‘an selama 1400 tahun terakhir. Di masa modern, para sarjana Muslim terus mengembangkan usaha untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur‘an secara 293
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 29-30.
237
keseluruhan, dan menentukan relevansi atas teks-teks Al-Qur‘an yang khusus. Dalam banyak hal demikian, banyak sarjana juga mengembangkan teori-teori mengenai karakteristik kebahasaan dan makna yang menawarkan cara-cara baru dalam memahami Al-Qur‘an secara lebih baik.294 Teks menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ajaran-ajaran utama Islam ada dalam bentuk teks, yaitu Al-Qur‘an dan hadis. Orang-orang Islam sangat bangga menyebut dirinya sebagai Ahlul Kitâb ‗orang-orang yang sangat menghormati kitab‘ atau secara sederhana, ‗masyarakat teks‘. Al-Qur‘an juga menyebut para pengikut agama lain, terutama Yahudi dan Kristen sebagai Ahlul Kitâb hanya karena sebagai umat Islam, mereka juga menjadikan teks (kitab suci) sebagai pusat dari kesadaran beragama mereka. Bagi Ahlul Kitâb, dunia langit hanya bisa diketahui lewat teks yang dibawa oleh para Nabi. Teks adalah dâl (yang menunjuk, atau kehadiran sebuah tanda, signifier) dari madlûl (objek yang ditunjuk, signified) yaitu makna abadi yang ada di dalam diri Tuhan. Bagi orang Islam, setiap kata atau kalimat yang ada dalam Al-Qur‘an disebut ayat atau ‗tanda‘. Tanda dari suatu makna abadi. Memang benar bahwa makna abadi itu bisa diketahui lewat ciptaan Tuhan seperti gunung dan langit (benda-benda ciptaan ini juga disebut ayat atau persisnya ayat kauniyah ‗tanda-tanda alam‘. Akan tetapi, ayat yang paling utama adalah teks Al-Qur‘an. Bisa dikatakan bahwa tanpa teks ini, tidak ada Islam dan masyarakat Muslim. Masyarakat Islam sebagai masyarakat yang eksistensinya bergantung pada teks diperkuat oleh hadis. Al-Qur‘an yang jumlah ayatnya hanya sekitar 6.600 dan ada pendapat menyebutkan 6.666 dengan 114 surat dan 30 juz, bukanlah sebuah teks yang bisa menjelaskan semua realitas atau ajaran dengan detail. Kalau tidak jelas, ke mana mereka harus mencari kejelasan. Berbagai jawaban dikemukakan, ada yang merujuk pada tradisi atau konteks lokal sebagai penjelas, seperti yang nampak terjadi pada mazhab Mâlikī yang sangat mengutamakan tradisi dan praktek lokal Madinah. Ada juga yang merujuk pada akal seperti 294
Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual (Bandung: Mizan Pustaka, 2016), h. 27-28.
238
yang ada dalam mazhab Hanafī. Ada juga yang menggunakan ijmâ‟ (sebuah kesepakatan atau consensus masyarakat Muslim dalam memahami teks sebagaimana yang dikembangkan oleh mazhab Syâfi‘ī. Dan ada juga yang menjadikan kata-kata dan perbuatan Rasul sebagai pegangan, yang kemudian disebut hadis. Maka hadis yang dibukukan pada abad ke-3 H/ 9 M itu kini menjadi rujukan sekunder setelah Al-Qur‘an.295 Terjemahan Al-Qur‘an yang dilakukan Tim Penerjemah Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama/Kemenag) Republik Indonesia, secara garis besar dapat dikatakan belum sesuai dengan teori penerjemahan Al-Qur‘an secara ilmiah. Secara rinci, terjemahan itu terbagi kepada tiga kategori, yaitu: 1) terjemahan yang benar, padan, dan fasih; 2) terjemahan yang kurang fasih; dan 3) terjemahan yang keliru. Menurut MMI, kategori terjemahan yang sudah benar dan fasih, yaitu terjemahan yang secara (kebetulan) sudah menerapkan lima komponen teori terjemahan secara penuh. Lima komponen itu adalah (1) peristilahan (terminologi); 2) aliran; 3) syarat; 4) instrumen; dan 5) teknik penerjemahan.
Adapun terjemahan yang kurang fasih, yaitu terjemahan yang kurang terpenuhinya salah satu komponen teori penerjemahan, menjadi kurang tepat dalam diksi, rancu dalam struktur bahasa dan hambar dalam gaya bahasa, meskipun maknanya tidak sampai ke tingkat menyesatkan. Sedangkan terjemahan yang keliru, adalah terjemahan yang tidak menerapkan komponen teori penerjemahan, terutama komponen terminologi, persyaratan linguistik dan non linguistik serta teknik penerjemahan. Penggunaan kata ―terjemahnya” dalam judul yang ada dalam versi Depag RI, bukan “terjemahannya” merupakan contoh kekeliruan aspek diksi dalam komponen syarat linguistik bahasa Indonesia. Proses penerjemahan Al-Qur‘an yang mengikuti parsial, hasilnya tidak memuaskan bahkan keliru apalagi penerjemahan yang tidak mengikuti teori sama sekali.
295
Fuad Jabali, Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7 No. 1, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009, h. 1-2.
239
Sebenarnya Al-Qur‟an dan Terjemahnya milik Kemenag telah mengikuti term terjemahan harfiyah atau aliran Yuhana bin Al-Bitrik dan kawan-kawan. Term dan aliran penerjemahan harfiyah itu banyak membawa pengaruh negatif, antara lain: 1) tidak tepatnya diksi kata, 2) kerancuan (interferensi struktur), 3) kerancuan makna ayat, dan 4) kehambaran gaya bahasa. Di antara term penerjemahan yaitu: harfiyah, maknawiyah dan tafsiriyah, kiranya term penerjemahan yang terakhirlah (tafsiriyah) yang paling sahih (valid) dan cukup representatif untuk digunakan dalam proses penerjemahan Al-Qur‘an.
Dalam proses penerjemahan Al-Qur‘an, bahasa sasaran, yaitu bahasa Indonesia yang benar, fasih/baik, komunikatif, dan mudah difahami sangatlah besar peranan dan pengaruh positifnya. Kurang memperdulikan bahasa sasaran berarti penerjemahan tidak mencukupi syarat linguistik yang kiranya diasumsikan akan menghasilkan terjemahan yang rancu, keliru, bahkan menyesatkan. Adalah penting disadari, bahwa maraknya berbagai aliran sesat yang mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan tekstualisme, dikhawatirkan sebagai dampak negatif dari penerjemahan Al Qur‘an Kemenag yang salah ini. Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah AlQur‘an ini, dan menghentikan peredaran Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag; supaya mereka yang anti Qur‘an tidak mempersepsikan ayat-ayat di atas sebagai pemicu terorisme. Dan bagi generasi Muslim militan, tidak memosisikan ayat tadi sebagai pembenaran atas tindakan teror yang marak di negeri ini.296 Bila disimpulkan dari sejumlah perjalanan perdebatan dan kekisruhan perang wacana tersebut dapat dipotret dalam tabeltabel di bawah ini:
296
Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Markaz Pusat Majelis Mujahidin Indonesia. Jl. Karanglo No. 94, Kotagede, Jogjakarta. Telp/Hp. 0274-451665/08122761569. Lihat: http://www.arrahmah.com/read/2011/04/25/12054-menelisik-ideologi-teroris-dalam-terjemah-quran depag.html#sthash.uqxwfuXC.dpuf diakses kembali pada Kamis 21 Januari 2016 jam 11.46 WIB. Disarikan juga dari Hasil Dialog Kajian Masalah-Masalah Aktual Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) dan MMI tahun 2011.
240
Tabel 4. Perdebatan dan Polemik antara MMI dan Kemenag RI No
Historis/Tanggal
Keterangan
1
26 Agustus 2010
2
8 September 2010
3
29 September 2010
4
20 Oktober 2010
5
8 November 2010
MMI mengirim surat kepada Menteri Agama RI No 80/MMLT/VII/1431, perihal Tarjamah Harfiyah Al-Qur‘an Kemenag Majalah GATRA menampilkan reportase problem terjemah Al-Qur‘an Kemenag yang menjadi pemicu radikalisme dan terorisme di Indonesia dengan tajuk besar ―Alih Bahasa Mengungkap Makna‖, dengan interview khusus Amir MMI dan Kepala LPMA Reportase itu kemudian diikuti tulisan Amir MMI M. Thalib dengan judul ―Tarjamah Harfiyah Mengundang Masalah‖ di majalah GATRA Tulisan MMI ditanggapi oleh Muchlis M. Hanafi selaku Kabid Pengkajian LPMA Balitbang dengan artikel berjudul ―Beda Terjemah Bukan Masalah‖, masih dalam GATRA Artikel itu direspon balik lagi oleh Amir MMI M. Thalib dengan tema tulisan ―Beda Terjemah Memunculkan Masalah‖
Tabel 5. Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag No 1 2 3 4 5
Objek Surah yang Dikritik Surah al-Fâtihah [1] : 7 Surah al-Baqarah [2] : 62 Surah Ali ‗Imrân [3] : 103 Surah al-Nisâ [4] : 159 Surah al-Isrâ [17] : 71
Jenis Ayat Bidang Akidah Bidang Akidah Bidang Akidah Bidang Akidah Bidang Akidah
241
Tabel 6. Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag No 1 2
Objek Surah yang Dikritik Surah al-Baqarah [2] : 191 Surah al-Nisâ [4] : 34
Jenis Ayat Bidang Syariah Bidang Syariah
3
Surah al-A‘râf [7] : 26
Bidang Syariah
4
Surah al-Isrâ [17] : 27
Bidang Syariah
5
Surah al-Ahzâb [33] : 40
Bidang Syariah
Tabel 7. Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag No 1 2 3 4 5
Objek Surah yang Dikritik Surah al-Baqarah [2] : 279 Surah al-Nisâ [4] : 5 Surah al-Mâidah [5] : 5 Surah al-Taubah [9] : 34 Surah al-Rûm [30] : 39
Jenis Ayat Bidang Ekonomi Bidang Ekonomi Bidang Ekonomi Bidang Ekonomi Bidang Ekonomi
Tabel 8. Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag297 No
Objek Surah yang Dikritik
Jenis Ayat
1
Surah al-Baqarah [2] : 191
Bidang Sosial
2
Surah al-Ahzâb [33] : 51
Bidang Sosial
3
Surah al-Ahzâb [33] : 61
Bidang Sosial
297
Kesimpulan ini berkiblat pada temuan Hasil Kajian Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) terhadap surat MMI yang pernah dikirimkan ke Kementerian Agama, yang kemudian diolah kembali oleh penulis dari literatur yang masih tercecer. Selain itu data sementara yang dikaji itu disarikan dari sumber hasil dialog Kajian Masalah-Masalah Aktual Keagamaan Terjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011), h. 2-51. Meskipun begitu, sejatinya jumlah ayat keseluruhan yang dipermasalahkan M. Thalib yaitu 3.229 kesalahan dari 6.236 ayat Al-Qur’an dalam terjemah Al-Qur’an Depag dengan mengelompokkan ayat-ayat pilihan serta prinsipil sebanyak 171 ayat dengan perincian 78 ayat di bidang akidah; lalu 42 ayat di bidang syari’ah; 35 ayat untuk bidang mu’amalah; dan ekonomi (iqtishâdiyah) sebanyak 16 ayat. Lihat M. Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013), h. 852-1025.
242
Untuk lebih memfokuskan parameter Kritik MMI terhadap konseptual Penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag RI bisa dilihat pengidentifikasiannya di bawah ini: Tabel 9. Garis Besar Parameter Kritik MMI terhadap Terjemah Al-Qur’an Kemenag No
Fokus/Kriteria Kritik
Indikator
1
Terjemahan belum benar
Terjemah masih harfiyah (tidak mau mengikuti fatwa ulama yang mengharamkan), kemudian harus diganti dengan terjemah tafsiriyah MMI, dan MMI mempertanyakan proses revisi terjemah Kemenag yang tidak pernah dipublikasikan kepada publik/masyarakat, lalu siapa yang mengkoreksi/merevisi dan ayat mana saja yang direvisi
2
Terjemahan kurang fasih
3
Terjemahan masih keliru
Kurang terpenuhinya salah satu teori penerjemahan, lalu kurang tepatnya pemilihan diksi, rancu dalam interferensi (struktur bahasa), dan hambar dalam gaya bahasa, serta menyalahi logika bahasa Indonesia dan tata bahasa Indonesia Terjemahan tidak menerapkan komponen/unsur yang ada dalam teori penerjemahan Al-Qur‘an secara baik, kurangnya komponen linguistik dan non linguistik, dan kurangnya komponen teknik penerjemahan yang baik
Apa yang dilancarkan MMI bahwa terjemah Al-Qur‘an Kementerian Agama menjadi penyebab aksi terorisme di Indonesia adalah keliru, berlebihan, alias tidak benar. Yang salah adalah bukan terjemahannya, melainkan pemahaman seseorang yang dangkal terhadap teksteks keagamaan. Asumsi-asumsi MMI didasari pada premis/logika yang mereka bangun bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag itu harfiyah, dan terjemah harfiyah itu haram, karena itu secara otomatis terjemah Kemenag haram, ini perlu diluruskan.298 Problematikanya terletak hanyalah pada soal metode penerjemahan saja. Kemenag menggunakan terjemah harfiyah, sedangkan MMI menggunakan tafsiriyah. Masalah terkaitnya adalah menentukan mana teks yang harus dipahami secara literal (haqīqī) atau secara metaforis (majâzī). Dalam tradisi tafsir, usaha mengidentifikasi makna linguistik (yaitu makna literal) sering dianggap sebagai 298
Berdasarkan hasil wawancara dengan Muchlis M. Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur‘an (LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Kemenag Thamrin Lt 17, pukul 10.00 s.d selesai, pada Selasa 22 Maret 2016.
243
titik awal kegiatan penafsiran. Apabila pemahaman literal atas sebuah kata atau teks tidak dimungkinkan, barulah makna metaforis bisa dipertimbangkan. Secara historis, banyak mufassir Al-Qur‘an sangat berpegang pada pemahaman teks yang agak literal, dengan mengkaji setiap kata dalam teks dan mengidentifikasi makna literalnya atau, pada level kalimat, memberikan kalimat tersebut sebuah penjelasan kata per kata secara langsung, berusaha setepat mungkin dengan makna literal tiap katanya dan sesuai dengan bentuk semantik dan sintaksis bahasanya.299 Perbedaan teknik penerjemahan ini perlu didudukkan kembali secara cermat. Jika yang dimaksud harfiyah adalah leksikal, maka tidak mungkin dilakukan untuk menerjemahkan Al-Qur‘an, perbedaan ini lebih bersifat variatif (ikhtilâf altanawwu‟), bukan kontradiktif/bertolak belakang (ikhtilâf al-tadhâd). Selama berpijak pada argumentasi yang benar, perbedaan ini sangat dimungkinkan dan justru memperkaya khazanah pemaknaan.300 Seperti yang dikemukakan di atas, bahwa bila ada kata/redaksi ayat Al-Qur‘an yang bisa diterjemahkan secara harfiyah, maka Kemenag menerjemahkannya secara harfiyah, namun bila tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah. Bila memang terjemah Al-Qur‘an menjadi penyebab aksi terorisme di Indonesia, maka jumlah teroris di Indonesia lebih banyak, toh nyatanya bisa dihitung dengan jari, selain itu, masyarakat Indonesia mayoritas menggunakan Al-Qur‘an Kemenag yang terbit pertama kali tahun 1965 (seperti sudah dipaparkan di bab III), dan kapan muncul aksi terorisme di Indonesia yaitu tahun 2000 an, masa antara sebab dan musabbab itu jaraknya sampai 35 tahun. Lagi pula perlu ditegaskan bahwa terorisme yang bernuansa agama banyak sebabnya, salah satunya interpretasi yang salah atas ayat-ayat Al-Qur‘an bernada perang yang diterapkan dalam situasi damai, lebih lanjut bisa dilihat pada bab II.
299
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, diterjemahkan dari Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, penerjemah: Ervan Nurtawab (Bandung: Mizan, 2016), h. 36 300 Tim Peneliti Kajian Aktual Masalah-Masalah Aktual Keagamaan Terjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI, Editor: Zainal Abidin (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2011), h. 3.
244
Adapun parameter yang digunakan MMI dalam mengkritik terjemah Al-Qur‘an Kemenag pada tabel di atas, adalah sesuatu dinamika yang wajar dalam ranah akademik, sebab terjemah hanya karya manusia biasa yang mungkin ada kesalahan, termasuk bisa saja terdapat kekurangan/kesalahan dalam terjemah tafsiriyah mereka, dalam konteks ini bahkan jauh sebelum kritikan dan koreksi dilayangkan MMI (2011), sudah ada kajian mendalam tentang terjemah Al-Qur‘an Kemenag juga yang dilakukan oleh Ismail Lubis dan Moh Mansyur masing-masing berupa Disertasi Doktoral, di UIN Yogyakarta (2001) dan UIN Jakarta (1998). Kita semua menyadari bahwa terjemahan Al-Qur‘an dalam bahasa apapun tidak mungkin sempurna dan tidak mungkin dapat menyerap secara utuh pesan-pesan dan petunjuk yang terdapat pada kitab suci Al-Qur‘an. Apalagi kita tahu bahwa Al-Qur‘an dari bahasa Arab yang menurut Thirdage, bahasa Arab termasuk di antara 5 (lima) bahasa tersulit di dunia untuk dipelajari. Salah satu penyebabnya adalah ‗tata bahasa yang sangat sulit‘ seperti kalimat dalam bentuk ‗jumlah ismiyah‘ (nominal sentence), ‗jumlah fi‟liyah‘ (verbal sentence), dan ithbâq, majâzī, musytarak, adhdâd, dan kental dengan pengaruh budaya Arab. Bahkan berdasarkan hasil laporan yang disampaikan oleh The Pew Research Center‟s Forum on Religion and Public Life on December 2012, melalui studi demografik (populasi) yang komprehensif di 200 negara lebih, maka diketahui bahwa ada sekitar 1,6 milyar umat Islam di antara 6,9 milyar penduduk di dunia (data 2010). Dengan asumsi perhitungan konservatif, maka diperkirakan ada 85 % umat Islam yang tidak menguasai bahasa Arab. Dengan demikian, diperkirakan terdapat 1,3 milyar muslim yang tidak paham bahasa Arab dan memerlukan terjemahan untuk memahami kandungannya. Jumlah ini tidak termasuk nonmuslim yang mempunyai keinginan yang kuat untuk mempelajari agama Islam.301
301
Juanda P. Syarfuan, Summary Al-Qur‟an Translation Concordance Method for Any Language (Jakarta: Perpustakaan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus, 2015), h. 1.
245
C. Menguji Terjemah Tafsiriyah MMI sebagai Deradikalisasi Untuk jangka waktu cukup lama, kesadaran dan pemikiran keagamaan rakyat Muslim Indonesia dipandu oleh Al-Qur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Departemen Agama. Sulit dipungkiri, hampir semua Al-Qur‘an terjemah yang terbit di Indonesia mengacu pada terjemahan Depag, sebagai rujukan tunggal bagi penerbitan terjemah Al-Qur‘an. Pada posisi sentral seperti itu, didukung tim penerjemah yang terdiri dari para pakar dan ulama kaliber nasional, siapapun akan cenderung terpesona daripada bersikap kritis terhadap hasil karya mereka. Namun, telaah dan penelitian selama sepuluh tahun terhadap Al-Qur‘an dan Terjemahnya, yang dilakukan secara ilmiah dan komprehensif oleh Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib, membuktikan bahwa karya tarjamah harfiyah302 milik pemerintah itu mengandung banyak sekali kesalahan, ditinjau dari segi aqidah maupun substansi syariat Islam. Kaitannya dengan mu‘amalah, perkawinan, dan hubungan antar umat beragama. Juga, bertentangan dengan kaidah logika, sehingga maksud ayat menjadi keliru dan menyesatkan. Terjemahan Al-Qur‘an yang dilakukan Kementerian Agama disoal. Sebuah penelitian selama 10 tahun menemukan 3.229 kesalahan pada
302
Berdasarkan laporan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI bahwa telah diadakan Dialog Keagamaan bersama MMI yang mengangkat Kajian Masalah-Masalah Aktual Kehidupan Keagamaan dengan Tema: ―Terjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI‖ di Ruang Sidang Anjungan Lampung TMII Jakarta, Jum‘at 29 April 2011. Dialog ini bekerja sama dengan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an. Dialog keagamaan ini merupakan kajian Kemenag dengan MMI yang beralamat di Jl. Karanglo No. 94 Kotagede, Jogjakarta, yang mempermasalahkan Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Depag RI. Hal ini berdasarkan Surat Majelis Mujahidin Indonesia yang dikirim kepada Menteri Agama RI Nomor 80/MMLT/VII/1431 tanggal 26 Agustus 2010 perihal Tarjamah Harfiyah Al-Quran Depag RI. Sebenarnya jauh sebelum itu terjadi beberapa kali polemik di media massa yaitu bantah-membantah (dengan tulisan) di Majalah GATRA edisi 8 September 2010 yang menurunkan reportase dengan tajuk ―Alih Bahasa Mengungkap Makna‖ yang berisi koreksi terhadap Terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama antara lain dari hasil wawancara dengan Amir Majelis Mujahidin Indonesia M. Thalib dan Kepala LPMA Muhammad Sohib serta narasumber lain. Reportase tersebut kemudian diikuti dengan tulisan Amir MMI yang bertajuk ―Tarjamah Harfiyah Mengundang Masalah‖ pada kolom GATRA edisi 29 September 2010 yang kemudian ditanggapi baik oleh Muchlis M. Hanafi, dengan tulisan bertajuk ―Beda Terjemah Bukan Masalah‖ di majalah yang sama edisi 20 Oktober 2010. Lalu tulisan yang terakhir ditanggapi lagi oleh Amir MMI dengan tulisan yang berjudul ―Beda Terjemah Memunculkan Masalah‖ pada GATRA edisi 8 November 2010. Dari sinilah polemik dan dialog itu bermula, yang mana ingin mendudukkan secara benar dan objektif terkait tudingan MMI kepada Kementerian Agama. Puslitbang Kehidupan Kegamaan, Editor: Zainal Abidin, Kajian Masalah-Masalah Aktual Terjemah AlQuran Departemen Agama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2011), h. ii – iii.
246
terjemahan Al-Qur‘an tersebut. Kini koreksiannya telah dibukukan dan disuguhkan terjemahan tafsiriyah sebagai alternatifnya.303
Umat Islam harus diselamatkan dari kesalahan memahami serta mengamalkan ajaran Al-Qur‘an. Kitâbullah yang ada di tangan pembaca sekarang ini adalah Al-Qur‘an alKarim Tarjamah Tafsiriyah, sebuah karya monumental Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib. Bersama Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah ini, diterbitkan pula buku berjudul Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Sejak semula, terbitnya Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah karya Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib, ini dimotivasi dan dikuatkan oleh tiga alasan. Pertama, untuk menegaskan tidak bolehnya menerjemahkan Al-Qur‘an secara literal (harfiyah). Parameter kritik dan pijakan argumentasi MMI mengacu pada fatwa sejumlah organisasi ulama ternama dunia, maupun secara individual yang popular di kalangan umat Islam yang mengharamkan terjemahan al-Qur‘an secara lafziyah/harfiyah. Di antara fatwa tersebut adalah Fatwa Ulama al-Jâmi‟ah al-Azhar Kairo Mesir pada tahun 1936 yang telah diperbarui pada tahun 1960 serta argumentasi Dewan Fatwa Kerajaan Arab Saudi No. 63947 tanggal 19 Jumadil Ula tahun 1426 H/26 Juni 2005 M. Fatwa senada lainnya yang dijadikan dasar pegangan adalah Dewan Ulama Universitas Rabat di Maroko, lalu Jâmi‟ah (Universitas) Yordania, Jami‘ah Palestina, Syaikh Muhammad Husein al-Dzahabī dan Syaikh Alī al-Shâbûni. Keseluruhan mereka telah sepakat bahwa terjemahan Al-Qur‘an yang dibenarkan adalah tarjamah tafsiriyah, sedangkan tarjamah harfiyah terlarang atau tidak sah.304 Kedua, mengoreksi kesalahan Al-Qur‘an dan Terjemahnya versi Kementerian Agama RI, yang ternyata mengandung banyak sekali kesalahan terjemah. Selain itu, sebagai 303
Herry Mohammad, Alih Bahasa Mengungkap Makna (Yogyakarta: Penerbit Ma‘had An-Nabawy Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 1029. 304 Muhammad Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah al-Qur‟an Kemenag RI: Tinjauan Aqīdah, Syarī‟ah, Mu‟âmalah, Iqtishâdiyah (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah dan Pusat Studi Islam al-Nabawi, 2013), h. 9.
247
bantahan terhadap wacana keliru yang menyatakan bahwa Al-Qur‘an mengandung unsurunsur kekerasan dan kebencian terhadap non muslim. Bahkan, revisi Al-Qur‘an dan terjemahnya yang diterbitkan Kemenag dipandang sebagai upaya deradikalisasi Al-Qur‘an secara sistematis. Berdasarkan telaah syar‟iyyah yang dilakukan oleh MMI, dibuktikan bahwa secara prinsipil maupun substansial, bukan teks ayat Al-Qur‘an yang memicu radikalisme agama, melainkan terjemah Al-Qur‘an yang dilakukan oleh Kemenag yang telah bermasalah, sehingga dipandang perlu untuk mengoreksinya. Karya inilah yang pertama dan satu-satunya di Indonesia, revolusi pemahaman makna Al-Qur‘an yang dimaksudkan untuk mengoreksi Al-Qur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam pandangan M. Thalib, terjemahan yang dibuat oleh Kemenag dan beredar luas di masyarakat itu tidak pernah tegas dalam menerjemahkan makna ayat-ayat Al-Qur‘an. Ketidakjelasan itu akan mengakibatkan pemahaman pembacanya juga ngambang. Selain itu dapat mengundang orang untuk memberi tafsir secara bebas tanpa pedoman keilmuan. Karena itu M. Thalib mengusulkan agar Kemenag menarik terjemahan yang ada dan merombak secara total. Ini syarat yang mesti dilakukan karena kesalahan-kesalahannya cukup fatal. Ketiga, meluruskan persepsi keliru terhadap misi Al-Qur‘an yang disebabkan adanya salah terjemah ayat-ayat Al-Qur‘an, demi menjaga otentisitas makna dan kehormatan Al-Qur‘an, agar tidak ternodai oleh penyimpangan tangan-tangan manusia, sebagaimana yang terjadi pada kitab suci agama lain. Dengan dua alasan tersebut, diharapkan tarjamah tafsiriyah ini bisa membantu siapapun untuk dapat memahami makna Al-Qur‘an lebih mudah dan cepat, terutama bagi mereka yang tidak paham bahasa Arab. Selain itu, untuk membuka tabir penyesatan yang dilakukan oleh para misionaris serta orientalis, yang dengan sengaja menerjemahkan Al-Qur‘an dengan menyisipkan ideologi dan ajaran yang melenceng dari syariat Islam. Penelaahan selama bertahun-tahun terhadap Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia sejak 1965, kemudian mengalami revisi 248
secara bertahap mulai 1989, 1998, 2002, hingga 2010, telah menyentak kesadaran iman kita. Betapa selama ini ajaran kitab suci Al-Qur‘an ternodai akibat adanya salah terjemah yang jumlahnya sangat banyak. Buku berjudul “Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI,” ini membuktikan adanya kesalahan tersebut. Dalam buku ini hanya memuat sebagian kecil dari 3.229 ayat jumlah kesalahan terjemah yang terdapat dalam tarjamah harfiyah AlQur‟an Kemenag. Sementara kesalahan pada edisi revisi tahun 2010 bertambah menjadi 3.400 ayat. Kesalahan-kesalahan ini secara rinci dijelaskan contoh-contohnya, yang mencakup berbagai bidang, yaitu akidah, syari‟ah, sosial dan ekonomi. Ditinjau dari sisi akidah, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Kemenag ini menyalahi akidah Islam yang benar; sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur‘an dan hadis sahih. Sedangkan di bidang syari‘ah, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Kemenag menyalahi hukum yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Misalnya, membaca tarjamah harfiyah Al-Qur‟an QS. al-Nisâ ayat 20 tentang perceraian. Lalu surat al-Nûr ayat 20 versi Kemenag, seolah-olah Al-Qur‘an menganjurkan tukar menukar istri. Begitupun terjemah Al-Qur‟an surat al-Ahzâb ayat 51, malah menyatakan tidak berdosa menggauli perempuan yang sudah dicerai. Kira-kira terjemahan seperti ini bagaimana kalau diimplementasikan dalam bentuk tindakan? Apakah maksud ayat tersebut memang demikian? Terjemah ini bisa disalahpahami sebagai pembenaran terhadap perselingkuhan antara mantan istri dengan mantan suami sekalipun mantan istri telah menjadi istri orang lain.305
Adapun di bidang sosial, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Surat Al-Ahzâb ayat 61 menyatakan bahwa orang-orang munafik ataupun kafir dilaknat oleh Allah SWT. Mereka boleh ditawan dan dibunuh tanpa ampun. Kalimat “tanpa ampun” memberikan gambaran
305
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyyah MMI, pada 31 Maret 2016, pukul 11.35 s.d selesai via telepon dan WA juga.
249
buruk tentang perilaku sosial umat Islam terhadap golongan lain. Hal ini, mustahil menjadi bagian dari ajaran sosial Islam, yang memerintahkan umat Islam supaya memperlakukan golongan lain dengan baik selama mereka tidak memerangi Islam. Sedangkan di bidang ekonomi, ayat-ayat yang menjelaskan bahaya riba diterjemahkan secara mengambang. Sehingga terkesan bahwa riba tidak membahayakan kehidupan ekonomi masyarakat.306 Kembali pada persoalan deradikalisasi, secara terminologis, secara sederhana deradikalisasi pemahaman teks keagamaan berarti upaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap teks-teks keagamaan, dalam kasus ini ayat-ayat Al-Qur‘an dan juga nanti disinggung hadisnya, khususnya ayat atau hadis yang berbicara konsep jihâd/terorisme dan perang melawan orang kafir. Dengan demikian, deradikalisasi bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk menyampaikan pemahaman baru tentang Islam dan bukan pula pendangkalan akidah, melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman agama yang luhur ini, sehingga Barat tidak negatif lagi memandang Islam. Dalam pemahaman ayat AlQur‘an itu perlu penilaian objektif, memahami konteks dan kronologi pewahyuan baik situasi, tempat dan perilaku atau asbâb al-nuzûl-nya, harus memahami petunjuk kata AlQur‘an (dilâlah al-lafadz) seperti melacak arti linguistiknya, haqiqī atau majâzī, lalu mengerti rahasia ungkapan konteks nash Al-Qur‘an yang telah dikonfirmasi dengan pendapat para mufassir terdahulu untuk diuji atau direkonstruksi disesuaikan dengan nash ayat AlQur‘an. Terakhir, seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan berbau isrâiliyyât harus disingkirkan.307
306
Menurut Ustadz Drs. Muhammad Thalib, selain demi menjaga otentisitas ajaran Al-Qur‘an dan menjaga kehormatan kitab suci yang merupakan petunjuk ilahi, yang menjadi pedoman bagi seluruh manusia, baik yang berbahasa Arab maupun non Arab, maka dari Tim MMI tidak hanya sebatas koreksi terhadap Terjemah versi Kemenag, tetapi juga menerbitkan Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur‟an lengkap 30 juz, sebagai tanggung jawab mereka meluruskan tarjamah harfiyah yang salah dari Al-Qur‟an dan Terjemahnya milik Kemenag. Lihat Pengantar Korektor Al-Ustadz Muhammad Thalib dalam Koreksi Tarjamah Harfiyah AlQur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013), h. 829-830. 307 Narasuddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Grup Gramedia, 2014), h. 22-23.
250
Dalam bahasan lain, bahkan Mahmud Yunus mengatakan kita tidak boleh menafsirkan Al-Qur‘an dengan isrâiliyyât (yang berasal dari Yahudi) seperti Ka‘bul Ahbar, Ibnu Munabbih, dan lai-lain dengan merujuk hadis Bukhari, ―Janganlah kamu benarkan ahli kitab dan jangan pula kamu dustakan.‖ Maka menjadikan isrâiliyyât sebagai tafsir Al-Qur‘an berarti membenarkan perkataan mereka, padahal Nabi melarang membenarkan mereka itu. Oleh sebab itu, haruslah tafsir Al-Qur‘an dibersihkan dari isrâiliyyât. Apalagi sebagian isrâiliyyât itu tidak diterima oleh akal orang-orang terpelajar masa sekarang, seperti guruh, petir ditafsirkan dengan suara malaikat, dan kilat ditafsirkan dengan cemeti malaikat untuk menghalau awan dan sebagainya. Hal ini menyebabkan orang mengeritik Al-Qur‘an, padahal sebenarnya bukan Al-Qur‘an, melainkan isrâiliyyât yang dijadikan tafsir Al-Qur‘an.308 Selain itu, deradikalisasi pemahaman nash Al-Qur‘an atau hadis melalui pendekatan historis, sosiologis, dan antroplogis juga penting dilakukan. Sebab, perlu dicatat, tidak semua nash mempunyai asbâb al-nuzûl-nya atau asbâb al-wurûd-nya secara khusus, tegas, dan jelas. Sebagai alternatifnya, dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis, dan antroplogis untuk menginterpretasikan kembali maksud nash; Al-Qur‘an dan hadis. Hal itu berangkat dari satu asumsi ketika Allah SWT berfiman atau Nabi Muhammad SAW bersabda pasti tidak terlepas dari situasi kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu itu. Bagaimana pun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini wahyu Al-Qur‘an maupun sabda Nabi SAW selalu terikat dengan problem historis-kultural waktu itu. Dengan pendekatan historis, sosiologis, dan antroplogis semacam itu, diharapkan akan mampu menghindari radikalisasi pemahaman nash Al-Qur‘an dan hadis, serta relatif lebih tepat dan akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Yang dimaksud dengan pendekatan historis
dalam hal
ini
suatu
upaya memahami
nash
dengan cara
mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat firman Allah atau hadis itu
308
Mahmud Yunus, Tafsīr Qur‟an Karīm (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah Legoso, 2015), h. v.
251
disampaikan Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, pendekatan historis merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam nash/teks dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis-kultural ketika itu. Adapun pendekatan sosiologi menyoroti sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan pendekatan antroplogi lebih memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat.309 Penerjemahan tafsiriyah tampaknya sangat handal, karena diasumsikan memenuhi seluruh komponen teori penerjemahan Al-Qur‘an dan akan menghasilkan kategori terjemahan yang maknanya benar ()حقة, maksud dan kosakatanya sepadan ()مكافئة, dalam misinya amanah ()موثوقة, dan bahasa Indonesianya fasih ()مستقلة.310 Namun begitu, apa yang ditulis M. Thalib dengan lahirnya Al-Qur‘an Terjemah Tafsiriyah
sejatinya
tidak
tepat
dikatakan
sebagai
sebuah
deradikalisasi
penafsiran/penerjemahan yang ada sebelumnya yakni terjemah Al-Qur‘an Kemenag. Toh, pada kenyataannya hasil terjemahan mereka (MMI) masih banyak terdapat kesalahan dan layak diberi catatan-catatan. Dalam proses penerjemahannya, MMI agak cenderung ekstrim, inkonsistensi dalam penafsiran ulama yang menjadi kiblat penafsirannya, lalu mengarahkan target pembaca untuk mendorong perjuangan mereka dalam penegakan syariat Islam di Indonesia, dan ini terbilang wajar karena mereka tergolong kelompok fundamentalisme Islam politis seperti yang telah diulas pada bab III di atas. Bila dikatakan terjemah tafsiriyah ini lebih valid dan paling benar dari seluruh bentuk terjemah Al-Qur‘an di Indonesia juga menjadi masalah baru, sebab sangat tidak mungkin penerjemahan atau penafsiran manusia
309
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Gramedia, 2014), h. 53-54. 310 M. Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013), h. 831.
252
bisa menangkap pesan firman ilahi atau memahami hakikat gagasan Tuhan yang tertuang di dalam Al-Qur‘an tersebut secara maksimal. Bagaimana hasil terjemahan MMI dengan Kemenag dapat ditelusuri di bawah ini.
D. Kategorisasi dan Identifikasi Ayat-Ayat Jihâd Tema jihâd agaknya tak pernah kering untuk didiskusikan. Lebih-lebih jika dihubungkan dengan pergumulan cara pandang di kalangan Muslim maupun di luar Muslim dalam memahami substansi ajaran Islam. Kata jihâd seolah dipahami ―angker‖, sarat dengan pemahaman yang serba fisik, kekerasan, dan sikap-sikap insinuatif. Akan tetapi, istilah jihâd ini pula—yang akhir-akhir ini ―melambungkan‖ nama Islam di pentas internasional—walau lebih banyak sisi peyoratifnya dibandingkan dengan sisi positifnya. Lagi-lagi, hal ini muncul karena kerancuan sebuah tafsir, misalnya, yang hanya mempersempit makna jihâd dari aspek literalnya dengan fokus pada realitas kekerasan atau hanya dalam arti perang, seperti yang tampak dilakukan oleh kaum Muslim di berbagai belahan dunia, dan dimengerti kalangan Barat. Untuk itulah pemahaman seperti ini perlu dikoreksi.311 Dalam dunia akademik, polemik dalam topik jihâd tak kalah seru. Kajian jihâd mendapatkan tempat yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Pola pembacaan dan analisis terhadap tema Islam, jihâd, terorisme, kekerasan, dan perang suci sangat beragam. Nada dan spirit kajian mereka juga sangat beraneka, dari yang sangat skeptis dan mendiskreditkan Islam, sampai yang moderat dan netral, hingga membela Islam dan jihâd sekaligus. Lalu, bagaimana peta pemikiran mereka? Juga, bagaimana kaitan antara jihâd dan perdamaian di kalangan mereka.312 Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa dalam Al-Qur‘an, ayat-ayat seputar jihâd dengan semua bentuk derivasinya (musytaq-nya/kata turunan)
311
Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 104. 312 Imam Taufiq, Al-Qur‟an bukan Kitab Teror, Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur‟an (Yogyakarta: Bentang Mizan, 2016), h. 13.
253
terdapat kurang lebih 41 kali. 9 surat diturunkan di Mekah yang dikenal sebagai ayat makkiyyah, dan 32 surat diturunkan di Madinah, yang kemudian populer dengan sebutan ayat madaniyyah.313 Dengan demikian, ayat-ayat jihâd lebih banyak turun di Madinah daripada di Mekah, yaitu empat per lima (4/5) dari ayat-ayat bernada jihâd adalah masuk dalam kategori ayat madaniyyah. Berdasarkan fakta ini, sejatinya jihâd telah dimulai Rasulullah sejak beliau diangkat menjadi Rasul, yakni saat masih di Mekah umat Islam sudah diperintahkan berjihâd sebelum ada perintah melakukan perang (qitâl). Tentu saja, bentuk jihâd-nya tidak memberikan perlawanan fisik terhadap mereka yang tidak menyenangi Islam dan kaum muslimin. Hal itu mungkin disebabkan karena saat itu kaum muslimin masih lemah, belum sanggup menentang kekuasaan kaum kafir Quraisy yang ada di Mekah.314 Untuk di Madinah, format jihâd lebih dari sekadar jihâd bersenjata (armed jihâd) yang mempunyai implikasi signifikan terhadap kehidupan umat Islam, baik secara individual maupun masyarakat. Pada periode madaniyah, jihâd sudah dalam pengertian berperang demi mempertahankan diri atas penganiyaan atau serangan orang-orang kafir. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa jihâd mempunyai dua makna. Makna awalnya bersifat religius, yaitu etika individu. Adapun arti turunannya adalah perang terhadap nonmuslim yang sering melawan kaum Muslimin. Namun, patut dicatat bahwa peperangan yang dilakukan Nabi SAW dan pengikutnya lebih dikarenakan sebagai reaksi atas agresi atau penyerangan yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Dengan begitu, perang yang terjadi di zaman Nabi SAW adalah untuk mempertahankan diri. Bahkan, perang fisik terjadi adalah karena sebuah keterpaksaan, yaitu sebagai akibat adanya serangan bertubi-tubi orang musyrik Mekkah dan Yahudi Madinah. Patut ditekankan juga bahwa jihâd dalam konteks ayat
313
Penjelasan lebih lanjut ciri-ciri ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, dalam Mannâ‘ Khalīl al-Qattân, Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia “Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah: Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), h. 71-72 dan h. 81-82. 314 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1978), h. 92.
254
madaniyah ini selain berarti ―perang‖, juga dapat bermakna ―memberi bantuan kepada orang yang sangat membutuhkan‖, seperti disebutkan dalam QS. al-Hujurât [49] : 15.315 Apabila kita telusuri lebih dalam, ayat-ayat spesifik jihâd ini hanya berkisar 38 ayat, karena ada 3 ayat yang diulang/mirip, hanya pengulangan saja, disebabkan bentuk derivasinya yang sama; yakni 2 ayat pada ayat makkiyyah yaitu QS. al-‗Ankabût [29] : 6 dan QS. al-Furqân [25] : 52; dan 1 lagi ayat madaniyyah yaitu QS. al-Nisâ [4] : 95.316 a) Berikut ini detail ayat-ayat jihâd tergolong Makkiyah, yaitu: (1) QS. al-‗Ankabût [29] : 6
٤ ٓ١ِّ ٍ ع ِٓ ٱٌعِٟٕ هذ ٌِٕف ِغ ِٗۦ ئِ َْ ٱ َّلل ٌغِٙ هج٠ ذ فا َِّٔبِٙٓ جٚ ―Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖317 (2) QS. al-‗Ankabût [29] : 8
هّبٙظ ٌه ثِ ِۦٗ ِعٍُ فل ره ِطع١ٌ ِبِٟذان ٌِزهش ِشن ثٙئِْ جٚ ِٗ حهغٕب٠ٌِذِٕٛب ٱ ِلٔغٓ ث١َطٚٚ ٥ ْٛ ِش ِج هع هىُ فأهٔجِّئه هىُ ِثّب هوٕزهُ رعٍّهٟ َ ٌِئ ―Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orangnya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‖318
(3) QS. al-‗Ankabût [29] : 69
٤٦ ٓ١ِٕئِ َْ ٱ َّلل ٌّع ٱٌ هّح ِغٚ هُ هعجهٍٕبَٕٙ٠ ِذٌٕٙ ٕب١ِا فٚ هذٙٓ ج٠ٱٌَ ِزٚ ―Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orangorang yang berbuat baik.‖319 315
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Gramedia, 2014), h. 109. 316 Muhammad Fuâd Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras lī Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarīf (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007), h. 224-225. 317 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559. 318 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559-560. 319 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 569.
255
(4) QS. al-Nahl [16] : 110
ا ئِ َْ سثَه ِِٓ ثع ِذ٘بٚطجشهٚ اٚ هذٙا ثه َُ جٛا ِِٓ ثع ِذ ِب فهزِٕهٚٓ ٘بجشه٠ثه َُ ئِ َْ سثَه ٌٍَِ ِز ٠٠٦ ُ١َح ِ س سٌٛغفه ―Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‖
(5) QS. al-Furqân [25] : 52 (Diulang sebanyak dua kali)
٤٣ شا١بدا و ِجٙذ٘هُ ثِ ِٗۦ ِجِٙ جٚ ٓ٠فل ره ِط ِع ٱٌىفِ ِش ―Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.‖320
(6) QS. Luqmân [31] : 15
ب١ٔ ٱٌ ُّذِٟهّب فٙبحج ِ طٚ هّبٙظ ٌه ثِ ِٗۦ ِعٍُ فل ره ِطع١ٌ ِبٟ أْ رهش ِشن ِثٍٝذان عٙئِْ جٚ ٠٤ ْٛ ِش ِج هع هىُ فأهٔجِّئه هىُ ثِّب هوٕزهُ رعٍّهٟ َ ٌِ ثه َُ ئٟ َ ًٌِ ِٓ أٔبة ئ١ِٱرَجِع عجٚ فبِٚعشه ―Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‖321 (7) QS. al-Nahl [16] : 38
جع ه٠ ُ لِٙ ِّٕ٠ذ أٙا ثِٱ َّللِ جّٛألغ هٚ هّ ه٠ ِٓ ث ٱ َّلله بط ِ ٌٌَٕ ِى َٓ أوثش ٱٚ ِٗ حمب١ٍعذًا عٚ ٍٝد ثٛ ٦٥ ّْٛعٍ ه٠ ل ―Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpahnya yang sungguhsungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". Tidak demikian, bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‖322 (8) QS. al-‗Ankabût [29] : 6. Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.
٤ ٓ١ِّ ٍ ع ِٓ ٱٌعِٟٕ هذ ٌِٕف ِغ ِٗۦ ئِ َْ ٱ َّلل ٌغِٙ هج٠ ذ فأَِّبِٙٓ جٚ 320
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 509. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 582. 322 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 369. 321
256
―Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖323
b) Berikut ini ayat-ayat jihâd tergolong Madaniyyah dan segenap derivasinya, yaitu: (1) QS. al-Baqarah [2] : 218
ٱ َّللهٚ ّلل ِ َ ْ سحّذ ٱٛشجه٠ ٌئِهّٚلل أه ِ َ ًِ ٱ١ِ عجِٟا فٚ هذٙجٚ اٚٓ ٘بجشه٠ٱٌَ ِزٚ اٛٓ ءإِه٠ئِ َْ ٱٌَ ِز ٣٠٥ ُ١َح ِ س سٛغفه ―Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.‖324 (2) QS. Ali Imrân [3] : 142
َ ٌعٍُ ٱ٠ٚ ُا ِِٕ هىٚ هذٙٓ ج٠عٍ ُِ ٱ َّلله ٱٌَ ِز٠ ٌ َّبٚ ا ٱٌجَٕخٛأَ ح ِغجزهُ أْ رذ هخٍه ٠٥٣ ٓ٠ظجِ ِش ―Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.‖325 (3) QS. al-Nisâ [4] : 95 (diulang tiga kali dalam al-Mu‟jam al-Mufahras)
ُِٙ ًٌِِٛ ٱ َّللِ ثِأ١ ِ ع ِجِْٟ فٚ هذِٙ ٱٌ هّجٚ ٱٌؼَش ِسٌِٟٚ هش أه١ٓ غ١ِِِٕ ْ ِِٓ ٱٌ هّإٚ ٱٌم ِع هذِٞٛ غز٠ َل ٕٝعذ ٱ َّلله ٱٌحهغٚ هولٚ ٓ دسجخ٠ ٱٌم ِع ِذٍُٝ عِٙ أٔفه ِغٚ ُِٙ ٌِِٛٓ ثِأ٠ ِذِٙ ُ فؼًَ ٱ َّلله ٱٌ هّجِٙ أٔفه ِغٚ ٦٤ ّب١ٓ أجشًا ع ِظ٠ ٱٌم ِع ِذٍٝٓ ع٠ ِذِٙ فؼًَ ٱ َّلله ٱٌ هّجٚ ―Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masingmasing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orangorang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.‖326 (4) QS. al-Mâidah [5] : 35
٦٤ ٍِْٛ ِٗۦ ٌعٍَ هىُ رهفٍِحه١ِ عجِٟا فٚ هذِٙ جٚ ٍخ١ ِعٌٛ ِٗ ٱ١ٌِا ئٛٱثز هغٚ ا ٱ َّللٛا ٱرَمهٛٓ ءإِه٠ب ٱٌَ ِزُّٙ٠أ٠ ―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.‖ 323
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 43. 325 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 85. 326 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 122-123. 324
257
(5) QS. al-Mâidah [5] : 54
ٔٗۥه أ ِرٌَخُّٛه ِحج٠ٚ ُهٙه ِح ُّج٠ َٛ ٱ َّلله ثِمِٟأر٠ فِٕٛ ِٗۦ فغ٠شر َذ ِِٕ هىُ عٓ ِد٠ ِٓ اٛٓ ءإِه٠ب ٱٌَ ِزُّٙ٠أ٠ ِِخ لئُِ رٌِه فؼ هً ٱ َّللٌٛ ْٛخبفه٠ لٚ ّلل ِ َ ًِ ٱ١ ع ِجِْٟ فٚ هذِٙ هج٠ ٓ٠ ٱٌىفِ ِشٍٝٓ أ ِع َضح ع١ِِِٕ ٱٌ هّإٍٝع ٤٥ ُ١ٍِ ِعع عٚ ٱ َّللهٚ شب هء٠ ِٓ ِٗ ١ِهإر٠ ―Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.‖327 (6) QS. al-Anfâl [8] : 72
اٚٚٓ ءا٠ٱٌَ ِزٚ ّلل ِ َ ً ٱ١ ِ ع ِجُِٟ فِٙ أٔفه ِغٚ ُِٙ ٌِِٛا ثِأٚ هذٙجٚ اٚ٘بجشهٚ اٛٓ ءإِه٠ئِ َْ ٱٌَ ِز ءُٟ ِِّٓ شِٙ ِز١ٌٚ ِِّٓ ُا ِب ٌ هىٚب ِجشهٙه٠ ٌُٚ اٛٓ ءإِه٠ٱٌَ ِزٚ ب هء ثعغ١ٌِٚهُ أٙؼ ٌئِه ثع هٚا أهٚٔظشهَٚ ٱ َّللهٚ ثك١ِِّ ُهٕٙ١ثٚ ُٕ هى١ َِ ثٛ لٍٝ هى هُ ٱٌَٕظ هش ئِ َل ع١ٍ ِٓ فع٠ِّ ٱٌذِٟ هوُ فٚئِ ِْ ٱعزٕظشهٚ اٚبجشه ِ ٙه٠ َٝحز ٤٣ ش١ظ ِ ْ ثٛثِّب رعٍّه ―Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan memberi pertoIongan (kepada muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.‖328 (7) QS. al-Anfâl [8] : 74
ٌُئِه ٘ه هٚا أهٚٔظشهَٚ اٚٚٓ ءا٠ٱٌَ ِزٚ ًِ ٱ َّلل١ ِ ع ِجِٟا فٚ هذٙجٚ اٚ٘بجشهٚ اٛٓ ءإِه٠ٱٌَ ِزٚ ٤٥ ُ٠ ِسصق و ِشٚ هُ َِغفِشحٌَٙ ْ حمبٛٱٌ هّإ ِِٕه ―Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.‖329 327
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 155-156. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 251-252. 329 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 252. 328
258
(8) QS. al-Anfâl [8] : 75
ُهٙؼ ا ٱلسح ِبَ ثع هٌٛهٚأهٚ ٌُئِه ِِٕ هىٚا ِع هىُ فأهٚ هذٙجٚ اٚ٘بجشهٚ ا ِِٓ ثع هذٛٓ ءإِه٠ٱٌَ ِزٚ ٤٤ ُ ه١ٍِء عّٟلل ئِ َْ ٱ َّلل ِث هى ًِّ ش َِ تٱ ِ ِوزِٟ ِثجعغ فٌٝٚأ ―Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.‖330 (9) QS. al-Taubah [9] : 16
لٚ ِ ِْ ٱ َّللٚا ِِٓ هدٚزَ ِخ هز٠ ٌُٚ ُا ِِٕ هىٚ هذٙٓ ج٠عٍ ُِ ٱ َّلله ٱٌَ ِز٠ ٌ َّبٚ اٛأَ ح ِغجزهُ أْ رهزش هو ٠٤ ْٛ هش ثِّب رعٍّه١ِٱ َّلله خجٚ جخ١ٌِٚ ٓ١ِٕ ِِ ل ٱٌ هّإٚ ٌِ ِٗۦٛسعه ―Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.‖331 (10) QS. al-Taubah [9] : 19
ذٙجٚ َِ ٱل ِخ ِشٛ١ٌٱٚ ِ ِعّبسح ٱٌّغ ِج ِذ ٱٌحش ِاَ وّٓ ءآِ ثِٱ َّللٚ خ ٱٌحب ِّج٠۞أجعٍزهُ ِعمب ٠٦ ٓ١ِّ ٍََِ ٱٌظٛ ٱٌمٞ ِذٙ٠ ٱ َّلله لٚ ِۥْ ِعٕذ ٱ َّللٛغز ه٠ ًِ ٱ َّللِ ل١ِ عجِٟف ―Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim.‖332 (11) QS. al-Taubah [9] : 20
ُِ أعظ هُ دسجخً ِعٕذ ٱ َّللِٙ أٔفه ِغٚ ُِٙ ٌِِٛ ًِ ٱ َّللِ ثِأ١ِ عجِٟا فٚ هذٙجٚ اٚ٘بجشهٚ اٛٓ ءإِه٠ٱٌَ ِز ٣٦ ٌْٚئِه ٘ه هُ ٱٌفبئِ هضٚأ هٚ ―Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orangorang yang memperoleh kemenangan.‖333
330
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 252. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256. 332 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256. 333 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256. 331
259
(12) QS. al-Taubah [9] : 24
٘بّٛي ٱلزشفزه هِٛأٚ ُشره هى١ع ِشٚ ُ هج هىٚأصٚ ُٔه هىٛئِخٚ ُأثٕب هؤ هوٚ ُلهً ئِْ وبْ ءاثب هؤ هو ٍِ ِٗۦ١ِ عجِٟبد فٙ ِجٚ ٌِ ِٗۦٛسعهٚ ِ هىُ ِِّٓ ٱ َّلل١ٌِب أحتَ ئِٙٔٛغ ِى هٓ رشػٚ ْ وغبد٘بٛرِجشح رخشٚ ٣٥ ٓ١َِ ٱٌف ِغمٛ ٱٌمٞ ِذٙ٠ ٱ َّلله لٚ ٱ َّلله ِثأِ ِش ِٖۦِٟأر٠ َٝا حزٛفزشثَظه ―Katakanlah: "jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteriisterimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.‖334
(13) QS. al-Taubah [9] : 41
ُش ٌَ هىُ ئِْ هوٕزه١ ًِ ٱ َّللِ رٌِ هىُ خ١ِ عجٟأٔفه ِغ هىُ ِفٚ ٌُِ هىِٛا ثِأٚ هذِٙ جٚ ثِمبلٚ ا ِخفبفبٚٱٔفِ هش ٥٠ ّْٛرعٍ ه ―Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun rasa berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.‖335 (14) QS. al-Taubah [9] : 44
ٱ َّللهٚ ُِٙ أٔفه ِغٚ ُِٙ ٌِِٛا ثِأٚ هذِٙ هج٠ ْ َِ ٱل ِخ ِش أٛ١ٌٱٚ ِْ ثِٱ َّللٛهإ ِِٕه٠ ٓ٠غذََ ِرٔهه ٱٌَ ِز٠ ل ٥٥ ٓ١ِ هُ ثِٱٌ هّزَم١ٍِع ―Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin (tidak ikut) kepadamu untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.‖336 (15) QS. al-Taubah [9] : 73
٤٦ هش١ظ ِ ٌّ ِثئظ ٱٚ َُٕ هٙهُ جٙىِٚأٚ ُِٙ ١ٍٱغٍهع عٚ ٓ١ِٱٌ هّٕفِمٚ ِذ ٱٌ هىفَبسِٙ جُّٟ ِب ٱٌَٕجُّٙ٠أ٠ ―Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.‖337
334
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 257. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 261. 336 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 261. 337 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 267. 335
260
(16) QS. al-Taubah [9] : 81
ُِٟ فِٙ أٔفه ِغٚ ُِٙ ٌِِٛا ثِأٚ هذِٙ هج٠ ْا أٛو ِش٘هٚ ّلل ِ َ ِي ٱْٛ ِثّمع ِذ ُِ٘ ِخٍ سعهٛف ِشح ٱٌ هّخٍَفه ٥٠ ْٛهٙفم٠ اٛ وبٔهٌَٛ َُٕ أش ُّذ حشاٙ ٱٌح ِّش لهً ٔب هس جِٟا فٚا ل رٕفِشهٛلبٌهٚ ًِ ٱ َّلل١ ِ ِعج ―Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang), merasa gembira dengan dudukduduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah (Muhammad): "Api neraka Jahannam lebih panas, " jika mereka mengetahui.338 (17) QS. al-Taubah [9] : 86
ه ُهِِٕٙ ِيَٛا ٱٌطٌٛهٌِٚ ِٗ ٱعذََرٔه أهٛا ِع سعهٚ هذِٙ جٚ ِا ثِٱ َّللٛسح أْ ءا ِِٕهٛٔضٌذ عه ِ ئِرا أٚ ٥٤ ٓ٠ا رسٔب ٔ هىٓ َِع ٱٌم ِع ِذٛلبٌهٚ ―Dan apabila diturunkan suatu surah (yang memerintahkan kepada orang-orang munafik), "Berimanlah kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya," niscaya orang-orang yang kaya dan berpengaruh di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada bersama orangorang yang duduk (tinggal di rumah)."339
(18) QS. al-Taubah [9] : 88
ش ه١ه هُ ٱٌخٌٙ ٌ ِئهٚأهٚ ُِٙ أٔفه ِغٚ ُِٙ ٌِِٛا ثِأٚ هذٙا ِعٗۥه جٛٓ ءإِه٠ٱٌَ ِزٚ هيٌٛ ِى ِٓ ٱٌ َشعه ٌئِهٚأهٚ د ٥٥ ْٛ٘ه هُ ٱٌ هّفٍِحه ―Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, (mereka) berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.‖340 (19) QS. al-Hajj [22] : 78
َ ّلل ح ُ هى١ ِٓ ِِٓ حشج ٍَِِّخ أ ِث٠ِّ ٱٌذِٟ هىُ ف١ٍِب جعً عٚ ُ ٱجزجى هىٛب ِد ِٖۦ ٘هٙك ِج ِ َ ٱِٟا فٚ هذِٙ جٚ ذاءٙا هشٛٔهٛر هىٚ ُ هى١ٍذًا ع١ِٙ هي شْٛ ٱٌ َشعهٛ هى١ٌِ ٘زاِٟفٚ ًٓ ِِٓ لج ه١ِّ ٍِ ع َّى هى هُ ٱٌ هّغُٛ ٘ه١ِ٘ ئِثش ُِٔعٚ ٌٌٌّٝٛى هىُ فِٕعُ ٱِٛ ٛا ثِٱ َّللِ ٘هّٛظ ه ِ ٱعزٚ حٛا ٱٌ َضوٛءارهٚ حٍَٛا ٱٌظّٛ ه١ِبط فأل ِ ٌَٕ ٱٍٝع ٤٥ هش١ظ ِ ٌَٕٱ
338
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 268. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 269. 340 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 269-270. 339
261
―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur‘an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.‖341 (20) QS. Muhammad [47] : 31
َ ٌٱٚ ُٓ ِِٕ هى٠ ِذِٙ ٔعٍُ ٱٌ هّجََٝٔ هىُ حزٌٕٛجٍهٚ ٦٠ ُا أخجبس هوٛٔجٍهٚ ٓ٠ظجِ ِش ―Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu.‖342 (21) QS. al-Hujurât [49] : 15
ُِٟ فِٙ أٔفه ِغٚ ُِٙ ٌِِٛا ثِأٚ هذٙجٚ اٛشربثه٠ ٌُ َُ ٌِ ِٗۦ ثهٛسعهٚ ّلل ِ َ ا ثِٱٛٓ ءإِه٠ْ ٱٌَ ِزٛئَِّٔب ٱٌ هّإ ِِٕه َ ٌٌئِه ٘ه هُ ٱًٚ ٱ َّللِ أه١ ٠٤ ْٛظ ِذله ِ ِعج ―Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.‖343
(22) QS. al-Mumtahanah [60] : 1
ا ثِّبٚلذ وفشهٚ َد ِحٌُّٛ ثِٱِٙ ١ٌِْ ئٛبء رهٍمه١ٌِٚ هوُ أَٚ ع هذٚ ِّٞٚ ا ع هذٚا ل رزَ ِخ هزٛٓ ءإِه٠ب ٱٌَ ِزُّٙ٠أ٠ ِّ جبء هوُ ِِّٓ ٱٌح ِٟذا فٙا ثِٱ َّللِ سثِّ هىُ ئِْ هوٕزهُ خشجزهُ ِجَٛب هوُ أْ رهإ ِِٕه٠ِئٚ يْٛ ٱٌ َشعهٛهخ ِشجه٠ ك ُفعٍٗه ِِٕ هى٠ ِٓٚ ُِب أعٍٕزهٚ ُزه١أٔب أعٍ هُ ثِّب أخفٚ َد ِحٌُّٛ ثِٱِٙ ١ٌِْ ئٚ ُّ ره ِغشِٟٱثزِغبء ِشػبرٚ ٍِٟ١ِعج ٠ ًِ ١ِاء ٱٌ َغجٛفمذ ػ ًَ ع ―Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada 341
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 474. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 735 343 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 745-746. 342
262
mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sungguh dia telah tersesat dari jalan yang lurus.‖344 (23) QS. al-Shâf [61] : 11
ُش ٌَ هىُ ئِْ هوٕزه١أٔفه ِغ هىُ رٌِ هىُ خٚ ٌُِ هىِّٛلل ثِأ ِ َ ًِ ٱ١ِ عجِْٟ فٚ هذِٙ رهجٚ ٌِ ِٗۦٛسعهٚ ّلل ِ َ ْ ثِٱٛرهإ ِِٕه ٠٠ ّْٛرعٍ ه ―(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.‖345 (24) QS. al-Tahrīm [66] : 9
٦ هش١ظ ِ ٌّ ِثئظ ٱٚ َُٕ هٙهُ جٙىِٚأٚ ُِٙ ١ٍٱغٍهع عٚ ٓ١ِٱٌ هّٕفِمٚ ِذ ٱٌ هىفَبسِٙ جُّٟ ِب ٱٌَٕجُّٙ٠أ٠ ―Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.‖346 (25) QS. al-An‘âm [6] : 109
ه٠ب لهً ئَِّٔب ٱلِٙهإ ِِٕه َٓ ث١ٌَ خ٠هُ ءاُٙ ٌئِٓ جبءرِٙ ِٕ ّ٠ذ أٙا ثِٱ َّللِ جّٛألغ هٚ ِبٚ ّلل ِ َ ذ ِعٕذ ٱ ٠٦٦ ْٛهإ ِِٕه٠ ب ئِرا جبءد لَٙٔهش ِع هش هوُ أ٠ ―Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa jika datang suatu mukjizat kepada mereka, pastilah mereka akan beriman kepada-Nya. Katakanlah, "Mukjizat-mukjizat itu hanya ada pada di sisi Allah". Dan tahukah kamu, bahwa apabila mukjizat (ayat-ayat) datang, mereka tidak juga akan beriman.‖347 (26) QS. al-Nûr [24] : 53
فخ ئِ َْ ٱ َّللٚا ؽبعخ َِعشهّٛخ هشج َهٓ لهً َل رهم ِغ ه١ٌ ُهُٙ ٌئِٓ أِشرِٙ ِّٕ٠ذ أّٙلل ج ِ َ ا ثِٱّٛألغ هٚ۞ ٤٦ ْٛ هش ثِّب رعٍّه١ِخج ―Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah sungguh-sungguh, bahwa jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah (Muhammad), "Janganlah kamu bersumpah, (karena yang diminta) adalah ketaatan yang baik. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.‖348
344
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 801. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 806. 346 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 820. 347 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 191. 348 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 498. 345
263
(27) QS. Fâthir [35] : 42
ُ ٱلهِ ُِ فٍ َّب جبء٘هٜ ِِٓ ئِحذٜٔه َٓ أ٘ذٛ هى١ٌَ ش٠ُ ٌئِٓ جبء٘هُ ٔ ِزِٙ ِّٕ٠ذ أٙا ثِٱ َّللِ جّٛألغ هٚ ٥٣ سًاٛش َِب صاد٘هُ ئِ َل ٔهفه٠ٔ ِز ―Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh bahwa jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tetapi ketika pemberi peringatan datang kepada mereka, tidak menambah (apa-apa) kepada mereka, bahkan semakin jauh mereka dari (kebenaran).‖349 (28) QS. al-Taubah [9] : 79
ُذ٘هْٙ ئِ َل جهٚ ِج هذ٠ ٓ ل٠ٱٌَ ِزٚ ذ ِ ٱٌظَذلِٟٓ ف١ِٕ ِِ ٓ ِِٓ ٱٌ هّإ١ ِعِّٛ َْ ٱٌ هّطٍٚ ِّ هض٠ ٓ٠ٱٌَ ِز ٤٦ ُ١ٌِهُ عزاة أٌٙٚ ُهِِٕٙ هُ ع ِخش ٱ َّللهِِٕٙ ْٚغخشه١ف ―(Orang-orang munafik itu) yaitu mereka yang suka mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.‖350 (29) QS. al-Mâidah [5] : 53
ُهٙهُ ٌّع هىُ حجِطذ أعٍّهَُِٙٔ ئِٙ ِّٕ٠ذ أّٙلل ج ِ َ ا ثِٱّٛٓ ألغ ه٠ا أ٘ هإل ِء ٱٌَ ِزٛٓ ءإِه٠ هي ٱٌَ ِزٛمه٠ٚ ٤٦ ٓ٠ا خ ِغ ِشٛفأطجحه ―Dan orang-orang yang beriman akan berkata, "Inikah orang yang bersumpah secara sungguh-sungguh dengan (nama) Allah, bahwa mereka benar-benar beserta kamu?" Segala amal mereka menjadi sia-sia, sehingga mereka menjadi orang yang rugi.‖351
(30) QS. al-Hajj [22] : 78
َ ّلل ح ُ هى١ِ ِٓ ِِٓ حشج ٍَِِّخ أث٠ِّ ٱٌذِٟ هىُ ف١ٍِب جعً عٚ ُ ٱجزجى هىٛب ِد ِٖۦ ٘هٙك ِج ِ َ ٱِٟا فٚ هذِٙ جٚ ذاءٙا هشٛٔهٛر هىٚ ُ هى١ٍذًا ع١ِٙ هي شْٛ ٱٌ َشعهٛ هى١ٌِ ٘زاِٟفٚ ًٓ ِِٓ لج ه١ِّ ٍِ ع َّى هى هُ ٱٌ هّغُٛ ٘ه١ِ٘ ئِثش ُِٔعٚ ٌٌٌّٝٛى هىُ فِٕعُ ٱِٛ ٛا ثِٱ َّللِ ٘هّٛظ ه ِ ٱعزٚ حٛا ٱٌ َضوٛءارهٚ حٍَٛا ٱٌظّٛ ه١ِبط فأل ِ ٌَٕ ٱٍٝع ٤٥ هش١ظ ِ ٌَٕٱ
349
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 623. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 268. 351 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 155. 350
264
―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur‘an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.‖352
E. Studi Kasus Teks Terjemahan bernada Jihâd Kita tidak bisa ketika melihat sebuah hasil penafsiran ayat/terjemahan tanpa melihat aspek lain yang melingkupinya. Begitu pula dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‘an dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Bila ingin memahami ayat-ayat Al-Qur‘an secara paripurna maka harus melihat asbâb al-nuzûl-nya, dan ketika ingin memahami matan hadis secara sempurna maka harus melihat asbâb al-wurûd-nya.353 Dalam memahami kandungan AlQur‘an dan hadis Nabi SAW juga jangan sekadar mengandalkan terjemah. Sebab, betatapun sempurna sebuah terjemahan, tetap saja ada titik kelemahan, yaitu distorsi dimensi-dimensi yang tidak terwakili oleh bahasa penerjemah, dan ini akan berimbas sangat signifikan pada hasil pemahamannya terhadap teks-teks utama keislaman, terlebih itu susunan dan bahasa AlQu‘an yang merupakan mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, misalnya keindahan susunan retorikanya (balâghah). Kendala lain yang tidak bisa dibilang sepele, orang yang awam bahasa Arab tidak akan mengerti, apakah pemahaman penerjemahnya benar atau salah. Ini karena mereka tidak mengetahui susunan bahasa Al-Qur‘an dan hadis dalam bentuk aslinya, di samping cakupan
352
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 474. Untuk memahami hadis dengan tepat, kelengkapan itu disusun Yusuf al-Qaradhâwī sebagaimana dikutip Nizar, sebagai berikut: 1) mengetahui petunjuk Al-Qur‘an yang berkenaan dengan hadis Nabi dimaksud; 2), menghimpun hadis-hadis yang setema; 3) menggabungkan dan men-tarjih-kan antar hadis Nabi yang ‗kelihatan‘ bertentangan; 4) mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi hadis ketika diucapkan/diperbuat serta tujuannya; 5) mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya (haqiqi) dan bersifat metafora (majazi); 6) mampu membedakan antara hadis yang berkenaan dengan alam gaib. Ada juga pendekatan tekstualis dan kontekstualis. Tekstualis menekankan aspek bahasa, dan kontekstualis menekankan pada aspek historis, dan konteks sosial-budaya-psikologis. Nizar Ali, Hadis versus Sains (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 7-10. 353
265
semantiknya. Dikhawatirkan, karena ketidaktahuannya, mereka akan menelan mentahmentah apa yang dipahaminya dari terjemah itu. Tidak ada jaminan, bahwa aspek penguasaan aspek kebahasaan bahasa yang diterjemahkan (mastery of translated language) berpengaruh terhadap pemahaman yang benar, sesuai yang dikehendaki teks. Namun, paling tidak itu telah mempersempit jarak antara ruang bahasa yang diterjemahkan dengan ruang bahasa penerjemahan. Banyak faktor yang menyebabkan kerja penerjemahan menjadi niscaya kendati tetap memiliki kelemahan dan kekurangan, antara lain; pertama, perbedaan istilah dan kaidah antara bahasa yang diterjemahkan dengan bahasa yang dipakai untuk menerjemahkan. Kedua, perbedaan pemahaman dalam menangkap isyarat-isyarat bahasa. Ketiga, khazanah bahasa yang terus-menerus mengalami perkembangan dan perubahan. Keempat, kekayaan bahasa dan tradisi berpikir suatu masyarakat tidak selalu sama dengan masyarakat lain. Kelima, kondisi sosial, psikologi, antropologi, dan geografi yang berbeda antara kedua bahasa. Keenam, setiap bahasa memiliki akar serta lingkungan kultural yang khusus. Dalam kasus penerjemahan teks-teks otoritatif keislaman ini, ada dua objek yang menjadi titik perhatian. Pertama, bahasa Arab sebagai bahasa yang diterjemahkan (translated language). Kedua, bahasa non Arab sebagai bahasa penerjemahan (translation language). Sebagai sebuah bahasa, bahasa Arab banyak memiliki keunikan, kekhasan dan keistimewaan yang tidak dimiliki bahasa lain. Konon, bahasa Arab menempati urutan kedua dalam hal kerumitan bahasanya, setelah bahasa Cina. Penggalian pemahaman Al-Qur‘an dan hadis hanya
melalui
karya-karya
terjemah
merupakan
langkah
yang
kurang
dapat
dipertanggungjawabkan. Karenanya, para ahli ulûm al-Qur‟an dan ulûm al-Hadīs menetapkan, penguasaan aspek-aspek kebahasaan dan kesusasteraan Arab merupakan syarat utama dalam mendapatkan pemahaman yang benar ketika menggali kekayaan kandungan makna Al-Qur‘an dan hadis.354
354
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet ke-2, h. 129-137.
266
Meskipun pemahaman secara tekstual dan literal terkadang tidak dapat dielakkan, namun model pemahaman tekstual dan literal an sich pada gilirannya dapat melahirkan perilaku yang terkesan anarkis, tidak toleran, dan cenderung detsruktif. Ajaran jihâd misalnya, secara pragmatis sering dipahami sebagai ―perang suci‖ (holy war) untuk melakukan penyerangan dan pemaksaan terhadap kelompok lain yang tidak sepaham dengannya. Hal ini tentunya dianggap menodai wajah Islam yang ramah, santun, dan penuh kedamaian. Lebih jauh, akan timbul mispersepsi dan menimbulkan cibiran dan citra negatif terhadap agama Islam dan umat Islam secara keseluruhan.355 Kata jihâd seolah dipahami ―angker‖, syarat dengan pemahaman yang serba fisik, kekerasan, dan sikap-sikap insinuatif. Akan tetapi, istilah jihâd ini pula—yang akhir-akhir ini ―melambungkan‖ nama Islam di pentas internasional—walau lebih banyak sisi peyoratifnya dibandingkan dengan sisi positifnya. Lagi-lagi, hal ini muncul karena kerancuan sebuah tafsir, misalnya, yang hanya mempersempit makna jihâd dari aspek literalnya dengan fokus pada realitas kekerasan atau hanya dalam arti perang, seperti yang tampak dilakukan oleh kaum Muslim di berbagai belahan dunia, dan dimengerti kalangan Barat. Untuk itulah pemahaman seperti ini perlu dikoreksi.356 Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa dalam Al-Qur‘an, ayat-ayat seputar jihâd dengan semua bentuk derivasinya (musytaq-nya/kata turunan) terdapat kurang lebih 41 kali. 9 surat diturunkan di Mekah yang dikenal sebagai ayat makkiyyah, dan 32 surat diturunkan di Madinah, yang kemudian populer dengan sebutan ayat madaniyyah.357 Apabila kita telusuri lebih dalam, ayat-ayat spesifik jihâd ini hanya berkisar 38 ayat, karena ada 3 ayat yang diulang/mirip, hanya pengulangan saja, disebabkan bentuk derivasinya yang sama; yakni 2 ayat pada ayat 355
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014), h. 2. 356 Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 104. 357 Penjelasan lebih lanjut ciri-ciri ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, dalam Mannâ‘ Khalīl al-Qattân, Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia “Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah: Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), h. 71-72 dan h. 81-82.
267
makkiyyah yaitu QS. al-‗Ankabût [29] : 6 dan QS. al-Furqân [25] : 52; dan 1 lagi ayat madaniyyah yaitu QS. al-Nisâ [4] : 95.358 Jika di hadapan seseorang disuguhkan sebuah teksteks tertulis, maka pertama yang terlihat adalah rangkaian huruf yang membentuk kata, kemudian rangkaian kata yang membentuk kalimat, tanda titik, koma, tanda tanya, dan seterusnya. Semua itu adalah ―tanda‖ yang sengaja dibuat oleh pengirim tanda (baca: pengarang/penulis teks) untuk mempengaruhi pembacanya. Dengan tanda-tanda pembaca diajak pengarang untuk menjelajahi atau menyelami ide-ide yang ia tuangkan dalam hamparan teks, pun dengan petunjuk tanda, pembaca bisa mengetahui makna sebuah teks. Dari sekian banyak tanda, tanda yang acapkali didapati pembaca dalam sebuah teks adalah tanda bahasa. Sebab ua adalah komponen yang membentuk sesuatu menjadi teks dan bisa dibaca oleh setiap orang. Kendati demikian, pembaca tidak bisa mengabaikan tanda-tanda yang sifatnya non bahasa (ekstra-lingual), sebab ia juga membentuk kelahiran teks semisal ruang, waktu, situasi, kondisi dan keilmuan pengarang, budaya dan lain-lain.359 Berikut ini ditampilkan ayat-ayat jihâd sebagai korpus data yang dijadikan objek penelitian. Dalam menganalisis sejumlah ayat ini, penulis melakukan langkah-langkah seperti berikut: mengemukakan terlebih dahulu pandangan-pandangan ulama tafsir sebelumnya dengan merujuk kitab-kitab tafsir tentunya yang dijadikan pijakan penafsiran/penerjemahan (apakah penerjemahannya selaras/berpedoman dengan kaidah atau pakem penafsiran ulama pada umumnya), lalu membedah sisi konstruk metodologis terjemahannya (konsisten atau inskonsisten dalam menerapkan metode terjemahan ayatnya), kemudian menelisik komponen linguistik bahasa Arabnya maupun non linguistiknya ataupun dari segi interferensi (demi meneropong sejauhmana ketepatan kritik terjemah M. Thalib terhadap terjemahan Al-Qur‘an Kemenag), juga soal struktur bahasa, dan gramatikal/tata bahasa Indonesianya, serta
358
Muhammad Fuad Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarīf (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007), h. 224-225. 359 Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), h. 103.
268
diperkaya dengan teori analisis semantik leksikal, gramatikal, dan kontekstual serta generatif transformatif yang digagas Noam Chomsky sehingga dapat menghasilkan analisa teks terjemahan yang lebih objektif atas terjemahan M. Thalib tersebut. Dengan begitu, akan tampak pemahaman redaksi ayat/nash Al-Qur‘an yang utuh, tidak skriptual/literal, holistik tidak parsial, agar relasi tindak terorisme dengan teks keagamaan dapat terbenam sedalam-dalamnya dan tidak ada lagi apologetik faktor keterpengaruhan teks-teks keagamaan pada lahirnya radikalisme agama dan terorisme. Sebab, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kekerasan apalagi terorisme bagi para penganutnya. Sebab, tidak ada satu pun agama yang membolehkan radikalisasi pemahaman agama. Sebagaimana juga telah ditegaskan dalam kongres umat Islam Indonesia, bahwa tindakan kekerasan dapat muncul di kalangan umat agama apa saja, atau kelompok bangsa dan ras mana saja.360 Ada sembilan surat yang diturunkan di Mekah dan sembilan surat di Madinah ditampilkan/dianalisis. Pertimbangannya bahwa perintah jihâd sudah dimulai Nabi sejak beliau diangkat menjadi Rasulullah, yakni saat masih di Mekah. Tentu saja, bentuk jihâd-nya tidak memberikan perlawanan fisik terhadap mereka yang tidak menyenangi Islam dan kaum muslimin. Hal itu mungkin disebabkan karena saat itu kaum muslimin masih lemah, belum sanggup menentang kekuasaan kaum kafir Quraisy yang ada di Mekah. 361 Lalu ayat-ayat jihâd bercirikan Madaniyyah yang sejatinya ada 32 ayat, namun dikaji hanya sembilan saja, kesembilan ayat tersebut agar memudahkan pembaca yang dipilih secara acak (sampling), dan juga studi kasus yang dikritisi MMI. Untuk di Madinah, format jihâd lebih dari sekadar jihâd bersenjata (armed jihâd) yang mempunyai implikasi signifikan terhadap kehidupan umat Islam, baik secara individual maupun masyarakat. Pada periode madaniyah, jihâd sudah dalam pengertian berperang demi mempertahankan diri atas penganiyaan atau serangan 360
Susilo Bambang Yudhoyono, Pengantar dalam buku Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, 2014), h. xvi. 361 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1978), h. 92.
269
orang-orang kafir. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa jihâd mempunyai dua makna. Makna awalnya bersifat religius, yaitu etika individu. Adapun arti turunannya adalah perang terhadap nonmuslim yang sering melawan kaum Muslimin. Namun, patut dicatat bahwa peperangan yang dilakukan Nabi SAW dan pengikutnya lebih dikarenakan sebagai reaksi atas agresi atau penyerangan yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Dengan begitu, perang yang terjadi di zaman Nabi SAW adalah untuk mempertahankan diri. Bahkan, perang fisik terjadi adalah karena sebuah keterpaksaan, yaitu sebagai akibat adanya serangan bertubi-tubi orang musyrik Mekkah dan Yahudi Madinah. Patut ditekankan juga bahwa jihâd dalam konteks ayat madaniyah ini selain berarti ―perang‖, juga dapat bermakna ―memberi bantuan kepada orang yang sangat membutuhkan‖, seperti disebutkan dalam QS. al-Hujurât [49] : 15.362 a) Berikut ini ayat-ayat Jihâd tergolong Makkiyyah, yaitu: (1) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 6
)(التعبَت
٤ ٓ١ِّ ٍ ع ِٓ ٱٌعِٟٕ هذ ٌِٕف ِغ ِٗۦ ئِ َْ ٱ َّلل ٌغِٙ هج٠ ذ فأَِّبِٙٓ جٚ
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖363
―Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia.‖364
Berdasarkan teori al-Zarqânī, terjemah Kemenag harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib tafsiriyah. Penerjemahan M. Thalib terdapat penambahan kalimat bersabar melawan
362
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Gramedia, 2014), h. 109. 363 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 559. 364 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 493.
270
hawa nafsunya. Ini tidak lazim, karena bila kita telusuri Tafsīr al-Jalâlain dan Tafsīr Marâh Labīd Syaikh Nawawi al-Bantanī tidak ditemukan dalam penafsiran/buku tafsir mereka. Disebutkan dalam Tafsir Nawawi,
هذ ٌِٕف ِغ ِٗۦِٙ هج٠ ذ فأَِّبِٙٓ جٚ ditafsirkan أي ومن صرب على
ال هلل تعاَل، فإن منفعة صربه لو، الشدة يف حماربة الكفار ويف خمالفة النفسjihâd tidak diartikan dengan menegakkan Agama Allah, namun sabar dalam memerangi kaum kafir.365 MMI/M. Thalib sekilas tidak mengikuti prosedur penerjemahan yang baku, namun lebih menyuguhkan sebuah penafsiran yang mereka pahami berdasarkan pola pikir keagamaannya. Kata/lafaz jihâd, dalam terjemahan Kemenag dialihbahasakan secara apa adanya, lain halnya dengan MMI yang langsung diartikan dengan arti menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya. Ini menyimpulkan pola pikir keagamaan mereka yang fundamentalis. Terjemahan ini jelas sekali bersifat tafsiriyah karena memberi padanan redaksi yang meluas bahkan tumpang tindih (overlapping) dengan tidak memerhatikan redaksi bahasa asalnya. Teks terjemahan ‖berjuang menegakkan agama Allah‖ merupakan penafsiran yang selaras dengan teori Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pikiran penuturnya/penerjemahnya. Bahasa bukan saja merupakan bentuk dari isi penuturan, tetapi juga merupakan alat atau instrumen dari proses berpikir. Jelas kiranya, bahwa hasil, yang dapat diperoleh dengan menggunakan suatu teknik, akan tergantung dari baik buruknya teknik yang dipergunakan. Di samping itu, bahasa juga bukan hanya merupakan alat mati dari pikiran. Di luar logika ia mempunyai peranan-peranan lain di bidang kehidupan manusia. Satu-kesatuan kata menghubungkan keterkaitan antara konsep pikiran dengan acuan/benda (hasil terjemahan).366
365
Syaikh Muhammad Nawawī, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz 2, h. 171. 366 Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa (Yogyakarta: Pustaka Pinus, 2006), h, 122.
271
Unsur-unsur struktur batin (deep structure) yang terdapat dalam pola kalimat terjemahan di atas menampakkan struktur luar (surface structure) dari kelompok MMI yang cenderung radikal. Kaidah transformasi mengubah struktur batin yang dihasilkan oleh kaidah kategori untuk struktur lahir. Struktur batin (pola pikir dan pola rasa individu/kelompok) memiliki semua unsur yang diperlukan dan berpengaruh pada cara pandang mereka terhadap teks. Padahal, terjemahan ayat itu masih bisa dipertimbangkan mengingat konteks ayat tidak terkait dengan situasi peperangan. Menurut Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, makna jihâd pada ayat tersebut adalah jihâd dengan menanggung penderitaan dan kesabaran atas cobaan dan penganiyaan di jalan Allah.367
(2) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 8
)(التعبَت
ٟ َ ٌِهّب ئٙظ ٌه ثِ ِٗۦ ِعٍُ فل ره ِطع١ٌ ِبٟذان ٌِزهش ِشن ِثٙئِْ جٚ ِٗ حهغٕب٠ٌِذِٕٛب ٱ ِلٔغٓ ث١َطٚٚ ٥ ِْٛش ِج هع هىُ فأهٔجِّئه هىُ ِثّب هوٕزهُ رعٍّه
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orangnya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‖368
―Wahai manusia, Kami perintahkan kepadamu untuk berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika ibu bapakmu mengajakmu untuk menyembah tuhantuhan selain Aku, padahal akalmu tidak dapat membenarkan perbuatan syirik itu, janganlah kamu taati ibu bapakmu itu. Kalian kelak pasti kembali kepada-Ku. Aku akan memberitahukan kepada kalian segala perbuatan yang telah kalian lakukan di dunia.‖369
367
Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟ Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan, 2009), h. 74. 368
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559-560. M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 494. 369
272
Berkiblat pada gagasan yang dicetuskan al-Zarqânī dan al-Qatthân tentang penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib tafsiriyah. Dalam terjemahan Kemenag, ayat jihâd
ذانٙئِْ جٚ
―Dan jika keduanya memaksamu‖ sedangkan terjemahan MMI, bapakmu
mengajakmu
untuk
menyembah
dialihbahasakan menjadi
ذانٙئِْ جٚ adalah Jika ibu
tuhan-tuhan
selain
Aku.
Pola
penerjemahan/pemaknaan ini masih dimungkinkan, namun pola penerjemahan/penafsiran ini tidak dapat memonopoli sejumlah penafsiran ulama dalam kitab tafsirnya. Selain itu, kalimat
ِٗ حهغٕب٠ٌِذِٛٱلٔغٓ ث ِ ٕب١َطٚٚ
ditambahkan awalnya terjemahan ‖Wahai manusia‖ yang
sebenarnya tidak ada pada teks aslinya. Ini cukup memengaruhi aspek penerjemahan dan penafsiran. Dalam al-tafsīr al-munīr Syaikh Nawawi al-Bantanī dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat
ِٗ حهغٕب٠ٌِذِٛٱلٔغٓ ث ِ ٕب١َطٚٚ
adalah
أي أمرنا اإلنسان بالرب بوالديو
والعطف عليهما ألهنما سبب وجود الولدbahwa seseorang diperintahkan untuk berbakti kepada kedua orangtuanya dan berlemah lembut kepada keduanya. Tidak didahului wahai manusia
)(يا أيها الناس.370
Sebagai pembanding, M. Quraish Shihab menerjemahkan ayat tersebut
dengan makna: ‖Dan Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia (wasiat yang) baik (yaitu supaya mereka berbakti) terhadap kedua orangtuanya, dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan (sesuatu) yang engkau tidak ada ilmu pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau mematuhi keduanya. Hanya kepada-Ku-lah tempat kembali, lalu Aku
370
Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-2, h. 169-170.
273
beritahukan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.‖371 Terjemahan ayat ini bila dianalisis secara semantik leksikal dan kontekstual tidak dapat memberikan interpretasi semantik yang utuh, sebab komponen fonologis yang muncul tidak membentuk satu-kesatuan tata bahasa yang lengkap.
(3) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 69
)(التعبَت
٤٦ ٓ١ِٕئِ َْ ٱ َّلل ٌّع ٱٌ هّح ِغٚ هُ هعجهٍٕبَٕٙ٠ ِذٌٕٙ ٕب١ِا فٚ هذٙٓ ج٠ٱٌَ ِزٚ
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.‖372
―Orang-orang yang sungguh-sungguh memperjuangkan agama Kami dengan segala penderitaan, niscaya akan Kami bukakan jalanjalan keluar dari kesulitan mereka. Sungguh Allah selalu beserta mereka yang memperjuangkan agama Allah dengan baik.‖373
Berdasarkan konsep yang dikemukakan al-Zarqânī dan al-Zahabī tentang penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib tafsiriyah. Kemenag menerjemahkan
اٚ هذٙ جdengan yang berjihad untuk (mencari keridaan)
Kami, sedangkan M. Thalib mengartikan
اٚ هذٙج
dengan sungguh-sungguh memperjuangkan
agama Kami dengan segala penderitaan. Penerjemahan ini masih dimungkinkan. Meskipun begitu, tampaknya MMI begitu ‖memaksakan‖ arti kata
اٚ هذٙج
dengan tambahan redaksi
memperjuangkan agama Kami dengan segala penderitaan.
371
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan Tujuan Surah, dan Pedoman Tajwid (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 397. 372 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 569. 373 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 503.
274
Pandangan Noam Chomsky tentang bahasa dan realitas mental/pikiran, menguatkan akan hal ini. Bila dikaitkan dengan terjemahan ayat jihâd di atas, maka terdapat kecenderungan penerjemah menginterpretasikan teks yang cenderung menunjukkan pola pikir yang dianutnya. Pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognitivistik (nazhariyyah „aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual (the mental reality underlying actual behavior). Setiap manusia memiliki kaidah-kaidah universal secara natural (terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa manusia, dan kaidah-kaidah itu cukup kaya dan patut dipertimbangkan dalam kecepatan proses pembelajaran bahasa. Menurut Chomsky, bahasa merupakan cermin terbaik akal manusia (languanges are the best mirror of the human mind). Pola pikir keagamaan MMI yang tergolong fundamentalis, atau M. Thalib yang dalam hal ini selaku penerjemahnya/penafsirnya mempengaruhi corak pemahamannya terhadap teks tersebut. Tampak bahwa pembaca terasa digiring untuk memperjuangkan ideologi MMI, yaitu memperjuangkan agama Allah. Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Menurut teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri. Stuktur luar yang muncul dalam terjemahan ayat
اٚ هذٙج, mencerminkan
struktur dalam pada corak kelompok keagamaan itu. Struktur batin/luar (al-binyah alsâthhiyyah, surface structure) ditentukan oleh subkomponen dasar dan kemudian dikirim ke komponen semantik untuk mendapatkan interpretasi semantiknya. Bila diperlukan transformasi, struktur batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure) dikirim ke subkomponen transformasi untuk mendapatkan struktur lahir. Struktur lahir ini kemudian
275
dikirim ke komponen fonologi untuk mendapatkan interpretasi fonologinya. Setelah interpretasi semantik dan fonologi diperoleh, barulah kalimat yang diinginkan itu terbentuk.
(4) QS. al-Nahl [16] : ayat 110
)(التعبَت
ا ئِ َْ سثَه ِِٓ ثع ِذ٘بٚطجشهٚ اٚ هذٙا ثه َُ جٛا ِِٓ ثع ِذ ِب فهزِٕهٚٓ ٘بجشه٠ثه َُ ئِ َْ سثَه ٌٍَِ ِز ٠٠٦ ُ١َح ِ س سٌٛغفه
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.‖374
―Wahai Muhammad, sungguh Tuhanmu menjadi pelindung bagi orang-orang yang berhijrah, yang sebelumnya mengalami penyiksaan orang-orang kafir, kemudian mereka berjihad dan bersabar. Sungguh Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada orang-orang yang berhijrah dan bersabar setelah mengalami penderitaan berat.‖375
Mengacu pada definisi yang diutarakan al-Zarqânī dan al-Zahabī tentang penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib tafsiriyah. Pola terjemahan di atas dimungkinkan bila melihat kitab-kitab tafsir yang menjadi rujukan MMI. Kendati begitu ada problem-nya juga. ―Wahai Muhammad hadir dalam terjemahannya yang tidak ditemukan padanannya pada teks aslinya. Terjemahan ayat ini bila dianalisis secara semantik leksikal dan kontekstual tidak dapat memberikan interpretasi semantik yang utuh, sebab komponen gramatikal yang muncul tidak membentuk satukesatuan tata bahasa yang lengkap. Dari segi semantik gramatikal, suatu tata bahasa adalah satu sistem rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi dan makna dalam bahasa itu. Sedangkan dari segi daya kreatifitas tata bahasa adalah sebuah alat 374 375
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 380. M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 333.
276
perancangan yang khusus menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat gramatikal (yang jumlahnya tidak terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat itu. sebagai komprasi juga, bandingkan dengan terjemahan Teungku Muhammad Hasbi alShiddīqī, ―Kemudian bahwasanya Tuhanmu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang berhijrah sesudah mereka mengalami cobaan, kemudian mereka berjihad di jalan Allah, dan bersabar: Tuhan engkau, sesudah engkau melakukan pekerjaan itu, sungguh Maha Pengampun, dan Maha kekal rahmat-Nya.‖376
(5) QS. al-Furqân [25] : ayat 52
)(التعبَت
٤٣ شا١بدا و ِجٙذ٘هُ ثِ ِٗۦ ِجِٙ جٚ ٓ٠فل ره ِط ِع ٱٌىفِ ِش
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka denganya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.‖377
―Wahai Muhammad, karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir. Berjihadlah kamu dengan Al-Qur‘an ini untuk melawan orang-orang kafir dengan semangat jihad yang besar.‖378
Berlandaskan gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. Surat ini termasuk surat makkiyyah yang memuat perintah kepada Rasulullah SAW untuk ber-jihâd terhadap orang-orang kafir dengan hujjah dan bayân (keterangan) serta menyampaikan Al-Qur‘an. Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, jihâd tersebut digambarkan ―jihâd yang besar‖ untuk menunjukkan kedudukannya yang tinggi dan kepentingannya.379 Sebagai pembanding lihat misalnya M. Quraish Shihab dalam karyanya,
376
Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddīqī, Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), Juz 1-15, h. 623-624. 377 Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 509. 378 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 447 379 Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟ Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih
277
beliau menerjemahkan ayat di atas berikut ini: ―Maka, janganlah engkau (Nabi Muhammad saw) mengikuti (hawa nafsu) orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka dengannya (al-Qur‘an) dengan jihad yang besar.‖ Beliau menerjemahkan
شا١و ِج
بداٙذ٘هُ ثِ ِٗۦ ِجِٙ جٚ
dengan berjihadlah menghadapi mereka dengannya (al-Qur‘an) dengan jihad yang
besar.380 Dorongan untuk melakukan jihâd terlihat jelas dalam penerjemahan MMI. Hal tersebut amatlah wajar sebab mereka termasuk kalangan Islam fundamentalis yang teridentifikasi sebagai organisasi yang rajin menyuarakan tegaknya jihâd dan agenda formalisasi syariat Islam. Kita tahu bahwa salah satu misi mereka ialah berjuang untuk penegakan syariat Islam secara kâffah, secara efektif, dan memobilisasi dukungan moral maupun material dari segenap elemen dan komponen umat demi kepentingan syariat Islam di bumi Indonesia. Hal demikian itu, selaras dengan gagasan Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pikiran setiap pembicaranya/penafsirnya/penerjemahnya. Sebab, bahasa mencerminkan persoalan sosial budaya, termasuk di dalamnya faktor keagamaan. M. Thalib yang menjadi Amir MMI kita sama-sama paham bahwa organisasi yang dipimpinnya termasuk kelompok fundamentalis Islam politis. (6) QS. Luqmân [31] : ayat 15
)(التعبَت
ب١ٔ ٱٌ ُّذِٟهّب فٙطب ِحجٚ هّبٙظ ٌه ثِ ِٗۦ ِعٍُ فل ره ِطع١ٌ ِبٟ أْ رهش ِشن ِثٍٝذان عٙئِْ جٚ ٠٤ ْٛ ِش ِج هع هىُ فأهٔجِّئه هىُ ِثّب هوٕزهُ رعٍّهٟ َ ٌِ ثه َُ ئٟ َ ًٌِ ِٓ أٔبة ئ١ِٱرَجِع عجٚ فبِٚعشه (Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan, 2009), h. 75. 380 M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya: Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan Tujuan Surah, dan Pedoman Tajwid (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 364.
278
―Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‖381
―Jika ibu bapakmu mengajakmu untuk menyekutukan Aku, padahal kamu tidak punya sedikit pun bukti adanya tuhan selain Aku, janganlah kamu taat kepada mereka. Sekalipun demikian, bergaullah dengan ibu bapakmu di dunia ini dengan baik. Ikutilah agama orang-orang yang bertaubat kepada-Ku. Kepada-Kulah kelak kamu akan dikembalikan. Di akhirat kelak, Aku akan memberitahukan kepadamu segala perbuatan yang telah kamu lakukan di dunia.‖382
Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag di atas terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. Dalam terjemahan Kemenag, kata
ذانٙج
diterjemahkan memaksamu, sedangkan MMI mengajakmu. Pola penerjemahan ini boleh saja dilakukan, hanya perbedaan dalam pilihan kata (diksi).
(7) QS. al-Nahl [16] : ayat 38
)(التعبَت
جع ه٠ ُ لِٙ ِٕ ّ٠ذ أّٙلل ج هّ ه٠ ِٓ ث ٱ َّلله ٌ ِى َٓ أوثشٚ ِٗ حمب١ٍعذًا عٚ ٍٝد ثٛ ِ َ ا ثِٱّٛألغ هٚ ٦٥ ّْٛعٍ ه٠ بط ل ِ ٌَٕٱ (Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpahnya yang sungguhsungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". Tidak demikian, bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‖383
―Orang-orang kafir bersumpah dengan sungguhsungguh seraya menyebut nama Allah. Mereka berkata: ―Allah tidak akan menghidupkan kembali orang yang telah mati.‖ Bukan begitu, janji Allah untuk menghidupkan kembali manusia pasti benar. Akan tetapi, sebagian besar manusia tidak menyadari.‖384
381
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 582. M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 514. 383 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 369. 384 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 322. 382
279
Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. Pola penerjemahan ini masih dibolehkan, terletak pada perbedaan ketepatan rasa bahasa. Mahmud Yunus menerjemahkan: ‖Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sesungguh-sungguh sumpah, bahwa Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati. Ya janji Allah yang sebenarnya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.‖385
(8) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 6. Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.
)(التعبَت
٤ ٓ١ِّ ٍ ع ِٓ ٱٌعِٟٕ هذ ٌِٕف ِغ ِٗۦ ئِ َْ ٱ َّلل ٌغِٙ هج٠ ذ فأَِّبِٙٓ جٚ
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖386
―Siapa saja yang berjuang menegakkan agama Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri. Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan amal kebaikan semua manusia.‖387
9) QS. al-Furqân [25] : ayat 52, Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.
)(التعبَت
٤٣ شا١بدا و ِجٙذ٘هُ ثِ ِٗۦ ِجِٙ جٚ ٓ٠فل ره ِط ِع ٱٌىفِ ِش
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka denganya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.‖388
―Wahai Muhammad, karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir. Berjihadlah kamu dengan Al-Qur‘an ini untuk melawan orang-orang kafir dengan semangat jihad yang besar.‖389
385
Mahmud Yunus, Tafsīr Qur‟an Karīm (Tangerang: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2015), h. 385. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 559. 387 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 493. 388 Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 509. 389 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 447 386
280
2) Ayat-Ayat Jihâd termasuk Madaniyyah
Pertama, QS. Al-Baqarah [2] : ayat 190-193
)(التعبَت
َ َْ ِا ئٚل رعز هذٚ ُٔ هىٛهمزٍِه٠ ٓ٠ٱّللِ ٱٌَ ِز َ ًِ ١ِ عجِٟا فٛلزٍِهٚ ٠٦٦ ٓ٠ه ِحتُّ ٱٌ هّعز ِذ٠ ٱّلل ل
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (190).
Wahai kaum mukmin, berperanglah kalian untuk membela Islam melawan orang-orang yang memerangi kalian. Janganlah kalian melanggar syari‘at perang. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melanggar syari‘at perang. (190).
)(التعبَت
ه١٘هُ ِِّٓ حٛأخ ِشجهٚ ُ٘هّٛث ثمِفزه ه ه١٘هُ حٛٱلزهٍهٚ ُ٘هٛل رهمزٍِهٚ ًِ ٱٌفِزٕخه أش ُّذ ِِٓ ٱٌمزٚ ُ هوٛث أخشجه ٠٦٠ ٓ٠٘هُ وزٌِه جضا هء ٱٌىفِ ِشٛ هوُ فٱلزهٍهٛ ِٗ فاِْ لزٍه١ هوُ ِفٛهمزٍِه٠ َِٝعٕذ ٱٌّغ ِج ِذ ٱٌحش ِاَ حز (Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir (191).
Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian di mana pun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang. Usirlah musuhmusuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu diusir. Merintangi kaum muslim melaksanakan syari‘at Islam itu lebih berat dosanya daripada membunuh di Masjidil Haram. Akan tetapi kalian jangan memerangi musuh-musuh kalian di sekitar Masjidil Haram kecuali mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika musuh-musuh kalian memerangi kalian di tempat itu, maka perangilah mereka. Demikian itu adalah hukuman bagi orangorang kafir (191).
)(التعبَت
َ َْ ِ ا فاٛٙفا ِ ِْ ٱٔز ٠٦٣ ُ١س َس ِحٛٱّلل غفه
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
281
Tetapi jika mereka berhenti, maka sungguh, Jika musuh-musuh kalian berhenti dari memerangi Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang kalian di sekitar Masjidil Haram, maka janganlah (192). kalian perangi mereka di tempat itu. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya (192).
)(التعبَت
ْ ٱٌذ هٛ هى٠ٚ ْ فِزٕخٛ ل ر هىَٝ٘هُ حزٛلزٍِهٚ ٓ١ِّ ٍَِ ٱٌظٍْٝ ئِ َل عٚا فل هعذٛٙٓ ِ َّللِ فا ِ ِْ ٱٔز٠ِّ
٠٦٦
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
"Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali terhadap orangorang zalim. (193)."390
"Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian sampai rintangan terhadap pelaksanaan syari‘at Islam lenyap, dan manusia mengikuti agamanya semata-mata karena taat kepada Allah. Jika musuh-musuh kalian mau berhenti dari merintangi pelaksanaan syari‘at Islam, maka antara kalian dengan mereka tidak ada alasan untuk bermusuhan. Bermusuhan dibolehkan hanya terhadap orang-orang yang melakukan gangguan pelaksanaan syari‘at."391
Ayat ini termasuk yang dikritik keras MMI atas penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag sebab dapat menimbulkan pemahaman yang sensitif di kalangan umat Islam Indonesia. Penerjemahan ayat Kemenag di atas tampak harfiyah. Di sisi lain, MMI menerjemahkannya secara tafsiriyah. Perbedaan yang cukup menonjol begitu terlihat di dalamnya. Penerjemahan Kemenag lebih praktis dan insya Allah telah sesuai dengan teknik/prosedur penerjemahan AlQur‘an karena selaras dengan redaksi ayat/nash Al-Qur‟an. Karena ini soal ranah terjemah, 390
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 36-37. Sebagaimana yang telah dijelaskan di Bab I, bahwa Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang sedang dikaji ini merupakan Edisi 2002, namun diadakan lagi oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI, sebanyak 400.000 eksemplar. Terbitan Edisi tahun 2002 ini meminimalisir bagian mukadimah dan footnote (catatan kaki). Kemudian dari segi format, naskah Al-Qur‟an dan Terjemahnya Departemen Agama (kini: Kementerian Agama) yang lama tahun 1990 bentuknya sangat tebal, yaitu 1294 halaman dengan footnote 1610. Dengan demikian, format edisi tahun 2002 lebih tipis dan praktis untuk mudah dibawa, dengan 924 halaman (berkurang 370 halaman) dan dengan 930 catatan kaki (berkurang 680) yang telah direvisi dan disempurnakan dari edisi sebelumnya dan terbuka pula untuk penyempurnaan edisi-edisi selanjutnya dalam Kata Pengantar Ketua LPMA, h. vi. 391 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan (Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 35-36. Hak penerbitan dan publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta–Indonesia.
282
maka seperti itulah terjemahannya. Namun, terjemahan MMI agak melebar dari teknik penerjemahan dan tata bahasa Indonesia serta bias dari penafsiran ulama seperti dalam Tafsīr al-Jalâlain dan Tafsīr Munīr392 Marâh Labīd Syaikh Nawawi. Ketiga ayat tersebut turun di Madinah. Ayat 191 surat al-Baqarah di atas tidak dapat dipisahkan dari ayat 190 surat al-Baqarah karena kata ganti orang hum (mereka) yang ada dalam surat al-Baqarah 191 kembali/tertuju/mengarah kepada orang-orang yang memerangi kamu (orang Islam). Maka, konteks kalimat (siyâq al-kalimat) pada ayat 190 dan 191 adalah dalam suasana/konteks perang dan kaum muslimin dilarang memulai serangan kepada nonmuslim, akan tetapi jika kaum nonmuslim dalam realitasnya lebih dahulu memerangi umat Islam maka wajib untuk membalasnya (hanya kepada yang sudah jelas memerangi), bila di sana ada anak-anak, wanita-wanita, atau orang tua yang sudah renta, para rahib, dan orang yang beribadah dalam rumah peribadatan agama lain,393 maka tidak wajib memeranginya alias jangan melampaui batas, dengan demikian pemahamannya menjadi: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan janganlah kamu melanggar batas (190) dan bunuhlah orang-orang yang memerangi kamu itu di mana saja kamu menjumpai mereka (191)”.394
392
Dalam kitab Tafsīr al-Jalâlain misalnya, kata fitnah dialihbahasakan menjadi syirik. Pengungkapan perjuangan kepada syariat perang dan syariat Islam pun tidak ditemukan. Lihat al-Mahallī dan al-Suyûthī, Tafsīr al-Qur‟an al-„Azhīm (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t), h. 28. Begitu pula yang penulis dapati
والفتنة أشد من القتلditafsirkan al-mihnah احملنة اليت يفتب هبا كا اإلخراج من الوطن أصعب من القتل، اإلنسانyaitu ujian, pendapat lain mengatakan: شركهم با اهلل وعبادة األوثان:قيل يف اْلرم وصدىم لكم عنو أشر من قتلكم إياىم فيوsyirik kepada Allah misalnya menyembah patung-patung di dalam karya Syaikh Nawawī, bahwa terjemahan ayat
masjidil haram, bukan dalam arti menegakkan syariat Islam. Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-1, h. 56-57. 393 Keterangan bisa ditemukan dalam Tafsīr al-Qurtubī karya Imam al-Qurtubī (Kairo: Dar al-Sya‘ab, 2181), h. 723-724. 394 Menurut Ibnu ‗Abbas, ayat di atas dan tiga ayat sesudahnya (Al-Baqarah 191-193) diturunkan pada perjanjian Hudaibiyah. Pada saat itu, Rasulullah SAW dan para sahabat dihalang-halangi atau dicegah sehingga tidak bisa beribadah ke kota Mekkah. Kesimpulan pokok dari perjanjian Hudaibiyah itu di antaranya adalah supaya kaum Muslimin mengerjakan umrah pada tahun berikutnya. Karena itu, Nabi beserta para sahabat telah menyiapkan segala sesuatu untuk bisa umrah pada waktu yang telah disepakati. Mereka khawatir jika kaum kafir Quraisy tidak menepati janji tersebut, bahkan kalau sampai menghalangi dan memerangi Rasul, dan sahabat untuk masuk Masjidil Haram, padahal para sahabat juga menghindari peperangan di bulan mulia (alAsyhur al-Hurum). Maka, turunlah ayat itu, (QS. al-Baqarah 190-193), sebagai legitimasi kebolehan berperang
283
Dalam terjemah Kemenag, kata
ُ٘هٛٱلزهٍهٚ
dialihbahasakan menjadi bunuhlah mereka,
sedangkan M. Thalib dengan perangilah musuh-musuh mereka. Hanya perbedaan diksi (variasi penerjemahan) saja. Selain itu, kata fitnah dalam terjemahan Kemenag secara harfiyah meskipun diberi footnote, yaitu menimbulkan kekacauan, seperti mengusir sahabat dari kampong halamannya, merampas harta dan menyakiti atau mengganggu kebebasan seseorang beragama. Lain halnya dengan terjemahan M. Thalib/MMI, kata fitnah diterjemahkan menjadi merintangi kaum muslim melaksanakan syari‘at Islam. Sebagai pembanding lihat misalnya M. Quraish Shihab dalam menerjemahkan ayat 191, yaitu: ―Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih keras dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Mesjid al-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.‖
Dalam menerjemahkan kata fitnah, M.
Quraish Shihab menerjemahkan sedemikian adanya.395 Sebagai perbandingan kata fitnah, dalam Tafsīr al-Qurtubī, dijelaskan:
والفتنة أشد من القتل = أي الفتنة اليت محلوكم عليها وراموا رجوعكم هبا: قولو تعاَل-الثانية وقال. فالقتل أخف عليو من الفتنة، أي من أن يقتل املؤمن: قال ماىد.إَل الكفر أشد من القتل وىذا دليل على أن. أي شركهم باهلل وكفرىم بو أعظم جرما وأشد من القتل الذي عَتوكم بو: غَته اآلية نزلت يف شأن عمرو بن اْلضرمي حُت قتلو واقد بن عبد اهلل التميمي يف آخر يوم من رجب
di bulan terhormat, dan sebatas untuk mempertahankan diri saja. Lihat Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidī al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl (Jakarta: Dina Berkah Utama, t.t), h. 33-34. 395 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Vol. 1, kelompok XV, h. 420.
284
قالو الطربي، حسب ما ىو مذكور يف سرية عبد اهلل ابن جحش على ما يأتى بيانو،الشهر اْلرام 396
.وغَته
Makna terjemahan ayat M.Thalib/MMI sangat jauh berbeda dengan redaksi ayat asal. Pada analisis berikutnya, ―ideologi‖ penerjemahan yang dimunculkan MMI begitu jelas terbaca, karena pada redaksi ayat bahasa sumbernya tidak tercantum frasa syariat perang dan syariat Islam. Penerjemahannya pun cenderung kasar, radikal, dan terkesan ekstrim. Sebab ayat ini berbicara soal perang yang tidak boleh diterapkan pada kondisi damai. Ayat tersebut tidak bisa dilepaskan dari ayat sebelum dan setelahnya. Pemaknaan tersebut senada dengan konsep Noam Chomsky bahwa bahasa memengaruhi penuturnya, bahasa merupakan ungkapan dan respon kejiwaan penulis/penutur/penerjemah atas rangsangan lingkungan yang melatarinya, seperti yang telah dipahami sebuah penerjemahan tergantung dari sosio-historiskultural, bahkan unsur politik juga melingkupi si penerjemahnya. Begitu juga yang berlaku pada kasuistik term syariat Islam, di mana MMI sebagai kelompok Islam fundamentalis yang sangat vokal dalam menggembor-gemborkan konsep/agenda formalisasi syariat Islam di Indonesia menghadirkannya dalam bentuk terjemahan mereka. Pembaca terjemah serasa ―diarahkan‖ atau ―digiring‖ untuk mendukung garis perjuangan/visi dan misi mereka. Sebab, jika sudah memasuki wilayah/domain penafsiran, faktor subjektivitas dari masing-masing penafsir, dalam konteks ini tentu saja penerjemah, tentu akan menjiwai pandangannya terhadap sebuah ayat atau hadis. Dari sini, MMI tampak overlapping dari pola penerjemahan Al-Qur‘an yang baku, karenanya karya mereka lebih tepat sebagai produk tafsir, bukan terjemah.
396
Al-Qurtubī, Tafsīr al-Qurtubī (Kairo: Dar al-Sya‘ab, 2181), h. 725.
285
Kedua, QS. al-Shâf [61] : ayat 11
)(التعبَت
ُش ٌَ هىُ ئِْ هوٕزه١أٔفه ِغ هىُ رٌِ هىُ خٚ ٌُِ هىِّٛلل ثِأ ِ َ ًِ ٱ١ ع ِجِْٟ فٚ هذِٙ رهجٚ ٌِ ِٗۦٛسعهٚ ِْ ثِٱ َّللٛرهإ ِِٕه ٠٠ ّْٛرعٍ ه
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
‖(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.‖397
‖Perdagangan itu adalah kalian beriman kepada Allah, beriman kepada Rasul-Nya dan kalian berjihad untuk membela Islam dengan harta kalian dan jiwa kalian. Keimanan dan jihad itu adalah lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar menyadari beratnya adzab akhirat.‖398
Pada kalimat terjemahan di atas, Kemenag menerjemahkan secara harfiyah, namun tidak bagi MMI, mereka menerjemahkanya secara tafsiriyah, meskipun agak cenderung berdasarkan tafsiran ideologi mereka. Bila merujuk pada kitab tafsir seperti Tafsīr al-Jalâlain karya Imâm Jalâluddin al-Suyûthī dan al-Mahallī399 tidak ditemukan ungkapan membela Islam dalam redaksi ayat tersebut. Dalam Tafsīr Nawawī disebutkan, yang dimaksud dengan
ٱّلل ِ َ ًِ ١ِ عجِْٟ فٚ هذِٙ رهجٚ
adalah dalam ketaatan kepada-Nya.400 Karena karya M. Thalib ini
bercorak agak ke domain tafsir, makna jihâd diinterpretasikan dengan penambahan membela Islam. Secara analisa kebahasaan/linguistik, sedikit agak membingungkan meskipun pembaca/target audien lebih cepat memahami. Rangkaian terjemahan M. Thalib/MMI ini cukup eksklusif dengan mengarahkan pembacanya untuk penegakan syariat Islam. Dari sini, MMI pun bisa dianalisis secara harfiyah, kata amwâlikum dan anfusikum diterjemahkan apa adanya. Tampak ada inkonsistensi dalam pola penerjemahannya, yaitu terjemah dengan harta 397
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 806. M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 711. 399 Lihat al-Mahallī dan al-Suyûthī, Tafsīr al-Qur‟an al-„Azhīm (Jakarta: Dâr Ihya al-Kutub al‘Arabiyyah, tt), h, 457. 400 Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-2, h. 56-57. 398
286
kalian dan jiwa kalian. Ada redundansi di sini, pengulangan yang tak perlu pada pronomina kalian. Dibilang harfiyah pada khusus ayat ini, karena diterjemahkan apa adanya, sedangkan terjemah Kemenag malah tampak tafsiriyah. MMI terlihat ada instabilitas dalam pola penerjemahannya. Berkaitan dengan persoalan makna dalam terjemahan di atas, hal itu seirama dengan teori Noam Chomsky yang terkenal dengan teori gramatika generatif-transformatifnya, pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognivistik (nazhariyyah „aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual. Setiap manusia memiliki kaidah-kaidah universal secara natural (terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa manusia. Dalam pandangan Chomsky, bahasa merupakan cermin akal manusia. Bahasa merupakan proses mental yang kompleks. Konsepnya ini mengantarkannya kepada pengetahuan mengenai proses produksi bahasa. Oleh karena itu, ia menaruh perhatian terhadap aspek psikologi bahasa yang difokuskan pada pemerolehan bahasa (language acquisition) yang dikenal dengan teori nativistik. Teori ini juga mengatakan bahwa makna suatu ungkapan ialah rangsangan (matsīr) yang menimbulkannya, atau respon (istijâb) yang ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon pada waktu pengungkapan kalimat itu. Dengan teori ini, berarti lingkungan memiliki andil besar dalam pembentukan bahasa dan makna. Terjemahan M. Thalib tersebut tidak lain mencerminkan garis pikirannya/organisasi yang diketuainya yang populer sebagai kelompok garis Islam radikalfundamentalis politis. Maka, secara naluriah hasil terjemahannya seperti yang tampak pada kasuistik di atas.
287
Ketiga, QS. al-Anfâl [8] : ayat 39
)(التعبَت
ْ ٱٌذ هٛ هى٠ٚ ْ فِزٕخٛ ل ر هىَٝ٘هُ حزٛلزٍِهٚ ْٛعٍّه٠ ا فا ِ َْ ٱ َّلل ثِّبٛٙٓ هوٍُّٗۥه ِ َّللِ فاِ ِْ ٱٔز٠ِّ ٦٦ ش١ظ ِ ث
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
‖Dan perangilah mereka itu sampai tidak ‖Wahai ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.‖401
Muhammad, perangilah kaum musyrik sampai tidak ada lagi kemusyrikan dan penyembahan berhala di Makkah, dan orang-orang Makkah mengikuti Islam semata-mata karena Allah. Jika kaum musyrik tidak mau berhenti dari perbuatan syirik mereka, maka Allah Maha Mengetahui apa saja yang mereka lakukan.‖402
Berdasarkan tafsiriyah. Kata
teori al-Zarqânī, terjemah Kemenag tampak harfiyah dan MMI
ُ٘هٛلزٍِهٚ
dialihbahasakan dengan perangilah mereka, sedangkan M. Thalib
menerjemahkannya dengan perangilah kaum musyrik. Ayat di atas masih berhubungan dengan surat al-Baqarah ayat 190 tentang izin dan perintah berperang. Ia juga berhubungan denga ayat sebelumnya berisikan tentang masih dibukanya pintu taubat bagi kafir Quraisy yang telah melakukan pembangkangan dan berupaya sekuat tenaga untuk mencegah kebebasan beragama sahabat Nabi Muhammad SAW. Ayat di atas berisikan perintah untuk memerangi mereka. Tujuan utama dari perintah tersebut adalah untuk menghindari fitnah. Secara etimologi, kata fitnah berarti membakar logam emas dengan cara memasukkannya ke dalam api untuk diketahui kemurniannya. Fitnah juga dipakai dengan memasukkan manusia ke dalam api neraka. Fitnah yang dimaksud pada ayat di atas adalah fitnah sebagai tindakan kezaliman dan di luar dari kepatutan sehingga mengancam kaum Muslimin. Menurut penjelasan Ibnu Umar ra., mengenai ayat di atas, bahwa pada zaman Nabi SAW jumlah umat 401 402
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 245. M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 213.
288
Islam masih sedikit. Ketika seseorang baru masuk Islam, ia difitnah baik dengan cara membunuhnya, maupun mengikatnya dengan tali. Namun, ketika umat Islam telah banyak kuantitasnya, fitnah tersebut tidak ada lagi. Terkait ini, Ibnu Hajar al-‘Asqallânī dalam Syarah Sahih al-Bukhârī memaparkan sebuah hadis yang berkenaan dengan ayat di atas:
إذ كان، قد فعلنا على عهد رسول اهلل:ْ فِزٕخ ) قال ابن عمرٛ ل ر هىَٝ٘هُ حزٛلزٍِهٚ( ، فلم تكن فتنة، حىت كثر اإلسالم، إما يقتلوه وإما يوثقوه: فكان الرجل يفب يف دينو،اإلسالم قليال 403
.فلما رأى أنو ال يوافقو فيما يريد
Selain untuk menghilangkan fitnah, dalam pandangan M. Quraish Shihab, sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar, tujuan utama perintah perang pada ayat tersebut adalah untuk menegakkan din (agama) sepenuhnya bagi Allah SWT. Kata din dalam ayat ini dapat dimaknai sebagai agama Allah SWT yang salah satu bentuknya adalah menegakkan dan mendukung kebebasan beragama. Kepatuhan kepada Allah SWT, adalah melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Adapun memaksakan orang lain memilih agama tertentu, apalagi memeranginya untuk tujuan tersebut sama sekali bukan cermin kepatuhan kepada Allah SWT. Tidak tepat kiranya tuduhan yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur‘an menyuruh umatnya menyebarkan agama dengan perang.404 Sebagai pembanding terjemahan ayat ini apa yang dilakukan oleh ulama tafsir Indonesia, Mahmud Yunus menerjemahkan dengan: ‖Perangilah mereka itu, hingga tak ada fitnah dan adalah agama sekaliannya bagi Allah. Jika mereka berhenti, sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan.‖ kata fitnah dialihbahasakan seperti adanya saja. Meskipun begitu, beliau memberikan keterangan di catatan kaki (footnote) yaitu hendaklah perangi orang-orang kafir itu sehingga habis fitnah.
403
Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, Fath al-Bârī bi Syarhi Sahīh al-Bukhârī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2004), juz ke-8, h, 360. 404 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Gramedia, 2014), h. 132.
289
Arti fitnah itu ialah ancaman dan bermacam-macam siksaan yang diderita oleh seseorang, karena ia memeluk agama Islam.405
Keempat, QS. al-Taubah [9] : ayat 5
)(التعبَت
ه١ٓ ح١ا ٱٌ هّش ِش ِوٛه هش ٱٌ هح هش هَ فٱلزهٍهٙفاِرا ٱٔغٍخ ٱلش ُهٌٙ اٚٱل هع هذٚ ُ٘هٚظشه ٱح هٚ ُ٘هٚ هخ هزٚ ُ٘هّٛجذرُّ هٚ ث َ َْ ِهُ ئٍٙ١ِا عجٍُّٛح فخٛا ٱٌ َضوٛءار هٚ حٍَٛا ٱٌظِٛألب هٚ اٛهو ًَ ِشطذ فاِْ ربثه ٤ ُ١س َس ِحٛٱّلل غفه (Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
‖Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.‖406
‖Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram telah berlalu, maka umumkanlah perang kepada kaum musyrik di mana saja kalian temui mereka di Tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka dari segenap penjuru. Jika kaum musyrik bertaubat, lalu melakukan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.‖407
Apabila ayat ini diinterpretasi secara parsial/skriptual, tidak holistik, dan dilepaskan dari kaidah asbâb nuzûl al-ayat (sisi historis/latar belakang turunnya ayat), maka siapa saja yang membacanya, apalagi nonmuslim, tentu akan sangat membahayakan. Akan tercipta bahwa agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan tindakan anarkis dan destruktif. Pemandangan itu bisa kita lihat dalam praktek keberagaman masyarakat kekinian di dunia, terutama di Barat (baca: Amerika dan sekutu-sekutunya), selalu saja mereka menyematkan agama Islam yang luhur ini sebagai agama yang membawa kekerasan, kasar, penyebar teror, dan sebagainya yang merendahkan, padahal sejatinya ayat tersebut berbicara
405
Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2015), h. 252. 406 Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 254. 407 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 220.
290
pada kondisi peperangan. Untuk aplikasi ayat-ayat model seperti itu tidak boleh digunakan pada suasana damai. Al-Suyûthī juga tidak menyebutkan asbâb al-nuzûl ayat ini. Namun, dari rangkaian ayat sebelumnya diperoleh informasi bahwa ayat ini berkenaan dengan kondisi interaksi kaum Muslimin dengan kaum musyrikin. Ayat ini menekankan perihal sikap kaum Muslimin setelah melewati bulan-bulan yang dihormati (al-Asyhur al-Hurum). Dalam konteks ayat ini, kata al-musyrikīn menurut Sayyid Thantawi sebagaimana yang dirujuk Nasaruddin Umar diartikan sebagai orang-orang khianat yang menghentikan tenggat waktu damai bagi mereka. Sedangkan bagi mereka yang tidak khianat dan tetap mematuhi perjanjian damai dalam tenggang waktu tertentu di antara mereka, maka tidak termasuk cakupan kata tersebut. Adapun perintah
اٛفٱلزهٍه
dalam ayat ini bukanlah perintah wajib, tetapi hanya
semacam izin untuk memerangi. Hal ini sama dengan perintah menangkap dan menawan mereka. Perintah tersebut bertujuan membebaskan wilayah Mekkah dan sekitarnya atau paling tidak Jazirah Arab dari pengaruh kemusyrikan. Wahbah al-Zuhayli sebagaimana yang dikutip Nasaruddin Umar, menjelaskan bahwa perintah qitâl pada ayat ini adalah khusus pada kaum musyrikin Arab, bukan selainnya. Menurut Ibnu Katsir, perintah memerangi kaum musyrikin pada konteks ayat ini bersifat temporer, yaitu hanya berlaku pada tahun itu saja, karena menurut pendapat mayoritas bahwa dilarang berperang di Masjidil haram. Setelah Nabi SAW wafat, maka Abu Bakar selaku khalifah menggunakan ayat di atas sebagai dalil untuk memerangi orang murtad. Di awal kepemimpinannya, banyak orang muslim yang lemah imannya beralih ke agama semula. Mereka beranggapan bahwa Nabi Muhammad SAW telah wafat dan risalah kenabiannya telah terputus. Selain itu, banyak kaum Muslimin yang enggan membayar zakat di mana ketika itu zakat dipungut oleh Negara. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Khalifah Abu Bakar bermusyarawah dengan Umar,
291
kemudian mereka memutuskan untuk memerangi mereka.408 dijelaskan makna ayat ٓ١ش ِو ِ ٱٌ هّش
Dalam Tafsir Ibnu Katsir
اٛه هش ٱٌ هح هش هَ فٱلزهٍهٙ فاِرا ٱٔغٍخ ٱلشyaitu409 ٌٍىفبس أً٘ اٌىزبة١عٚ
Kelima, QS. al-Hajj [22] : ayat 78
)(التعبَت
َ ٱ َّللِ حِٟا فٚ هذِٙ جٚ ُ١ِ٘ هىُ ئِثش١ِ ِٓ ِِٓ حشج ٍَِِّخ أث٠ِّ ٱٌذِٟ هىُ ف١ٍِب جعً عٚ ُ ٱجزجى هىٛب ِد ِٖۦ ٘هٙك ِج ٍٝذاء عٙا هشٛٔهٛر هىٚ ُ هى١ٍذًا ع١ِٙ هي شْٛ ٱٌ َشعهٛ هى١ٌِ ٘زاِٟفٚ ًٓ ِِٓ لج ه١ِّ ٍِ ع َّى هى هُ ٱٌ هّغٛ٘ه هش١ظ ِ ٌَِٕٔعُ ٱٚ ٌٌٌّٝٛى هىُ فِٕعُ ٱِٛ ٛا ثِٱ َّللِ ٘هّٛظ ه ِ ٱعزٚ حٛا ٱٌ َضوٛءارهٚ حٍَٛا ٱٌظّٛ ه١ِبط فأل ِ ٌَٕٱ ٤٥ (Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (AlQur‘an) ini, supaya Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.‖410
‖Wahai orang-orang mukmin, berjihadlah kalian dengan sungguh-sungguh untuk membela Islam. Allah akan menguji kalian. Allah tidak membuat syari‘at agama yang memberatkan kalian. Syari‘at agama kalian itu juga syari‘at Ibrahim, nenek moyang kalian. Sejak semula Allah menamakan kalian muslimin di dalam kitab-kitab suci terdahulu dan dalam Al-Qur‘an ini. Agar Muhammad menjadi rasul yang kelak menjadi saksi bagi kalian, dan kalian menjadi saksi bagi umat para rasul sebelumnya. Karena itu, laksanakanlah shalat, keluarkan zakat dan berpegang teguhlah pada Islam, agama Allah. Allah adalah Tuhan yang menjadi penguasa kalian. Allah adalah sebaik-baik penguasa dan sebaik-baik pemberi pertolongan.‖411
Berdasarkan konsep al-Zarqâī tentang penerjemahan, maka TerjemahnKemenag harfiyah sedangkan M. Thalib tafsiriyah. Kemenag menerjemahkan
ب ِد ِٖۦِٙج
َ ِٟا فٚ هذِٙ جٚ َ ٱّللِ ح ك
dengan ―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya,
sedangkan MMI dengan ‖Wahai orang-orang mukmin, berjihadlah kalian dengan sungguhsungguh untuk membela Islam. Allah akan menguji kalian. Terjemahan M. Thalib 408
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Gramedia, 2014), h. 134. 409 Ibnu Katsir Abi al-Fida Ismail bin Katsir al-Dimasyī, Tafsir Ibnu Katsir (Dar Ihya al-Kutub al‗Arabiyyah: Isa al-Halaby wa Syurakauhu, t.t), h. 371. 410 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 474. 411 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 415
292
dipengaruhi oleh struktur bahasa dan sesuai dengan konsep pikiran/benaknya. Pembaca terasa digiring pada visi-misi dan garis perjuangan MMI. Dari penerjemahan ayat sebelumnya, mereka kerap membawa alam pikiran pembaca/target audien tarjamah tafsiriyah untuk selalu membela Islam, meninggikan formalisasi syariat Islam, dan syariat perang, misalnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi MMI dan pelabelan kelompok Islam garis keras mereka yang rigid dan fundamentalis dan mendukung basis spirit/perjuangan mereka. Konseptual semantik mentalisme Noam Chomsky bisa digunakan untuk menganalisis penerjemahan ayat ini, bahwa bahasa merefleksikan/mengekspresikan pikiran penuturnya, begitu juga yang diaplikasikan pada sebuah penafsiran/penerjemahan yang memang acap kali dilatarbelakangi oleh sisi back ground knowledege penerjemahnya, baik sosio-historis-kulturalnya. Frasa ‖syariat agama‖ muncul dalam terjemahan MMI, jelas memberikan bahwa bahasa merupakan cerminan pola pikir dan pola rasa yang tersematkan pada pola keagamaan fundamentalisme politis tersebut, yang terkesan mengarahkan pembacanya untuk men-support garis perjuangan mereka. Frasa yang digunakan tidak lazim dalam kalimat terjemahan dan mengundang kerancuan makna sehingga terjemahan menjadi tidak efektif. Ini juga selaras dengan konsep/teori situasi dan kontekstualisasi (سياقية
)نظرية,
menurut teori ini cara untuk
memahami makna bukan dengan melihat, mendeskripsikan atau mendefinisikan acuan/benda. Akan tetapi, makna dipahami melalui konteks kebahasaan (siyâq lughawī) yang digunakan dan konteks situasi-kondisi (siyâq hâl-mawqif) pada saat ungkapan itu terjadi. Oleh karena itu, studi tentang makna perlu menganalisis konteks kebahasaan dan konteks situasi-kondisi secara sekaligus, tepat, dan cermat.
293
Keenam, QS. al-Tahrīm [66] : ayat 9
)(التعبَت
٦ هش١ظ ِ ٌّ ِثئظ ٱٚ َُٕ هٙهُ جٙىِٚأٚ ُِٙ ١ٍٱغٍهع عٚ ٓ١ِٱٌ هّٕفِمٚ ِذ ٱٌ هىفَبسِٙ جُّٟ ِب ٱٌَٕجُّٙ٠أ٠
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.‖412
―Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan orangorang kafir yang melanggar perjanjian damai dengan senjata, dan melawan orang-orang munafik dengan hujah dan ancaman. Lakukanlah tindakan keras kepada kaum kafir dan munafik. Tempat tinggal kaum kafir dan munafik kelak adalah neraka Jahanam, seburuk-buruk tempat tinggal.‖413
Terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib dengan metode tafsiriyah. Kata
ِذ ٱٌ هىفَبسِٙ ج
dialihbahasakan dengan berjuang melawan orang kafir yang
melanggar perjanjian damai dengan pedang. Terjemahan pada contoh ayat ini membedakan perlakuan terhadap kaum munafik dengan kaum kafir. Untuk kaum munafik, tidak dibenarkan menggunakan kekuatan senjata, tetapi hanya menggunakan argumentasi dan hujjah saja, alias mereka tidak boleh diperangi. Berbeda dengan kaum kafir yang menyatakan kekafirannya secara terang-terangan, yang dibolehkan menghadapinya dengan kekuatan senjata/perang (silâh). Dari sini jelas bahwa jihâd tidak selamanya bermakna qitâl. Seandainya jihâd yang menjadi (stressing) ditekankan pada ayat itu adalah qitâl, tentu hal tersebut sudah dilakukan oleh Rasulullah sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT. Akan tetapi, beliau tidak memerangi orang-orang munafik.414 M. Thalib menyuguhkan terjemahannya dengan memasukkan ideologi garis perjuangan mereka. Hal demikian sangat
412
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 820. M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 723. 414 Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟ Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan, 2009), h. 76. 413
294
wajar, sebab seorang penafsir atau penerjemah akan terkungkung dengan tingkat keterpahaman, lingkungan, latar belakang keilmuan yang melatarinya. Penerjemahan ayat ini ditakutkan dapat mendistorsi maksud ayat jika tidak mempertimbangkan aspek pemaknaan leksikal, kemudian penafsiran ulama sebelumnya, serta latar sosio-historis-kulturalnya. Redaksi terjemahan tafsiriyah ada kecenderungan diarahkan untuk mendukung perjuangan agenda organisasi yang tersemat pada penerjemahnya. Dan ini seiring/sesuai dengan konsep Noam Chomsky. Kita harus memahami Islam secara komprehensif, tidak parsial. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan di awal, bahwa ada sejumlah ayat Al-Qur‘an dan hadis Nabi yang berbicara tentang perang dan nada yang mengulas tentang kondisi damai. Kesemuanya harus bisa diterapkan secara proporsional dan tepat. Pada kasus ayat ini, bila kita mengaplikasikannya di dalam kehidupan masyarakat dalam situasi damai, maka kita akan bisa saja menjadi jihadis-teroris. Sebab ayat tersebut berbicara peperangan dan mesti diterapkan pada kondisi perang. Kita harus paham bahwa Islam tidak hanya terdiri dari ayat ini. bahkan banyak ayat lain yang bercerita tentang perdamaian antar sesama umat manusia. Mungkin bila ada orang Islam/kaum muslimin yang menggunakan ayat perang ini untuk kondisi damai, itu berarti merupakan suatu kesalahan. Untuk memahami Islam, kita mesti melihatnya dari Rasulullah SAW, bukan dari seorang muslim yang mungki keliru dalam memahami ajaran Islam. Mungkin saja salah seorang muslim di antara kita membuat kesalahan dalam menginterpretasikan ajaran Islam. Namun, kita tidak boleh menggeneralisir bahwa Islam seperti itu. Itu hanya kasus personal yang keliru, bukan ajaran Islam yang sebenarnya.415 Dikarenakan karya MMI ini terjemah tafsiriyah, hasil terjemahannya sama dengan tafsir al-Thabari, seperti berikut ini:
415
Ali Mustafa Yaqub, Islam between War and Peace (Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2009), h. 58.
295
٦ هش١ظ ِ ٌّثِئظ ٱٚ َُٕ هٙهُ جٙىِٚأٚ ُِٙ ١ٍٱغٍهع عٚ ٓ١ِٱٌ هّٕفِمٚ ِذ ٱٌ هىفَبسِٙ جُّٟ ِب ٱٌَٕجُّٙ٠أ٠ )ٓ١ِٱٌ هّٕفِمٚ(
١ ِذ ٱٌ هىفَبس) ثبٌغِٙ جُّٟ ِب ٱٌَٕجُّٙ٠أ٠( ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا عٍٝٗ ِحّذ ط١ روشٖ ٌٕجٌٝي رعبٛم٠
ِذِٙ جُّٟ ِب ٱٌَٕجُّٙ٠أ٠ ٌٗٛ عٓ لزبدح ل،ذ١ ثٕب عع: لبي، رٌه ِب حذثٕب ثششٟي فٛم٠ وبْ لزبدحٚ .ْاٌٍغبٚ ذ١عٌٛثب ٓ١ إٌّب فمٍٝغٍع ع٠ٚ . ١جب٘ذ اٌىفبس ثبٌغ٠ ْاٌغلَ أٚ ٗ اٌظلح١ٍٗ ع١ أِش هللا ٔج:ٓ لبي١ِٱٌ هّٕفِمٚ ٱٌ هىفَبس ُ٘ش١ِظٚ ُُٕٙ جِٙىثٚ /يٛم٠ َُٕ هٙهُ جٙىِٚأٚ . راد هللاُٟ فٙ١ٍاشذد عٚ :يٛم٠ ُِٙ ١ٍٱغٍهع عٚ .دٚثبٌحذ 416
.ُٕٙٗ ج١ٌْ ئٚش١ظ٠ ٞػع اٌزٌّٛثِئظ ٱٚ : لبي٦ هش١ظ ِ ٌّثِئظ ٱٚ .ُٕٙٗ ٔبس ج١ٌْ ئٚش١ظ٠ ٞاٌز
Ketujuh, QS. al-Taubah [9] : 20
)(التعبَت
ٌئِهٚأهٚ ُِ أعظ هُ دسجخً ِعٕذ ٱ َّللِٙ أٔفه ِغٚ ُِٙ ٌِِٛ ًِ ٱ َّللِ ثِأ١ِ عجِٟا فٚ هذٙجٚ اٚ٘بجشهٚ اٛٓ ءإِه٠ٱٌَ ِز ٣٦ ْٚ٘ه هُ ٱٌفبئِ هض (Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Orang-orang yang beriman dan berhijrah ―Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan berjihad guna membela Islam dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di jiwa mereka, di sisi Allah mereka mendapatkan sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang memperoleh kemenangan.‖417 yang tidak berhijrah dan berjihad. Mereka itulah orang-orang yang selamat dari siksa neraka.‖418
Terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. MMI menerjemahkan kata jihâd dengan membela Islam. Bila kita sepintas membaca terjemahan ayat ini, seakan-akan Islam terkesan agama yang menyuruh berperang. Padahal, Al-Qur‘an dan pengalaman Rasulullah SAW menunjukkan bahwa jihâd itu tidak harus selamanya dengan kekerasan, kekejaman, apalagi sampai menghilangkan jiwa manusia yang tak berdosa, seperti pengeboman yang sangat memilukan hati itu. Ada sekitar 41 ayat jihâd seperti telah dijelaskan sebelumnya di awal, namun perintah ber-jihâd itu selalu diawali
416
Ibnu Jarir al-Thobari, Tafsīr al-Thabarī, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil ay al-Qur‟an (Kairo Mesir: Syirkah Mustafa al-Halaby wa Awladihi, 1954), h. 169. 417 Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 256. 418 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 223.
296
dengan perintah hijrah terlebih dahulu dan ini terbukti pada kasus ayat ini, yaitu
اج ُرْوا َ اََمنُ ْوا َوَى
اى ُد ْوا َ َو َجdan tidak pernah sebaliknya اٚ هذٙجٚ lalu اٚ٘بجشهٚ. Dengan begitu, jihâd sejatinya bukan untuk menghilangkan nyawa manusia, melainkan menghidupkan orang. Terjemahan MMI dalam ayat ini cenderung menggiring pembaca kepada agenda perjuangan mereka yakni penegakan syariat Islam, Islam tampak lebih superioritas dengan dorongan semangat pembelaan jihâd. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa karakteristik MMI adalah disiplin menegakan atau menjalankan dakwah serta jihâd, dan komitmen menyatukan seluruh kekuatan kaum Muslimin di Indonesia untuk berjuang menegakkan panji-panji syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan. Hal ini tentunya selaras dengan
konsep
Noam
Chomsky
bahwa
bahasa
merefleksikan
pikiran
penuturnya/penafsinya/penerjemahnya. Bahasa merupakan ungkapan dan respon kejiwaan penulisnya/penuturnya/penerjemahnya atas rangsangan lingkungan yang melingkupinya. M. Thalib memberi padanan redaksi yang agak meluas dari redaksional bahasa asalnya/teks aslinya.
Kedelapan, QS. al-Taubah [9] : 73
)(التعبَت
٤٦ هش١ظ ِ ٌّثِئظ ٱٚ َُٕ هٙهُ جٙىِٚأٚ ُِٙ ١ٍٱغٍهع عٚ ٓ١ِٱٌ هّٕفِمٚ ِذ ٱٌ هىفَبسِٙ جُّٟ ِب ٱٌَٕجُّٙ٠أ٠
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
297
―Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orangorang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.‖419
―Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan kaum kafir dan kaum munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat tinggal mereka kelak adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat.‖420
Mengacu pada gagasan al-Zarqânī dan al-Qatthân, Terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. Kata
ِذ ٱٌ هىفَبسِٙ ج
dialihbahasakan dengan
berjuanglah melawan kaum kafir. Terjemahan pada contoh ayat ini membedakan perlakuan terhadap kaum munafik dengan kaum kafir. Untuk kaum munafik, tidak dibenarkan menggunakan kekuatan senjata, tetapi hanya menggunakan argumentasi dan hujjah. Berbeda dengan kaum kafir yang dibolehkan menghadapinya dengan kekuatan senjata/perang. MMI/M. Thalib menyuguhkan terjemahannya dengan memasukkan ideologi garis perjuangan mereka. Penerjemahan ayat ini ditakutkan dapat mendistorsi maksud ayat jika tidak mempertimbangkan aspek pemaknaan leksikal dan semantik gramatikal, kemudian penafsiran ulama sebelumnya, serta latar sosio-historis-kulturalnya. Redaksi terjemahan tafsiriyah ada kecenderungan diarahkan untuk mendukung perjuangan agenda organisasi yang tersemat pada penerjemahnya. Hal ini senada dengan konsep yang ditawarkan Noam Chomsky bahwa komponen semantik memberikan interpretasi makna pada deretan unsur terjemahan yang dihasilkan oleh subkomponen dasar (dari komponen sintaksis dan fonologis). Kata berjuanglah dalam terjemahan MMI berbeda dengan terjemah Al-Qur‘an Kemenag yakni berjihadlah! Yang tentunya output terjemahannya berpengaruh pada interpretasi ayat itu. Dalam tataran generatif transformatif, bahwa pada proses pemaknaan teks harus berdasarkan teori konteks yang memperhatikan konsep-konsep pikiran (mind) sehingga akan didapati makna yang
419
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 267. M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 233. Hak penerbitan dan publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia. 420
298
sesuai dengan penutur/penerjemah ketika mengungkapkan bahasanya. Selain itu, menurut Yusuf al-Qardhâwī, makna bersikap keras
ُِٙ ١ٍٱغٍهع عٚ
yaitu tidak memandang remeh
tindakan yang dilakukan oleh dua kelompok kafir dan munafik untuk mengganggu Islam dan para pengikutnya. Apabila mereka berbuat demikian, mereka harus dilawan dengan keras tanpa belas kasih.421 Sebagai komprasi, bandingkan dengan terjemahan Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddīqī: ―Wahai Nabi, tunjukkanlah segala kemampuanmu dalam menantang orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan berlakulah keras terhadap mereka, dan tempat kembali mereka adalah jahanam dan itulah sejahat-jahat tempat kembali.‖422
Kesembilan, QS. Muhammad (47) : ayat 31
)(التعبَت
َ ٌٱٚ ُٓ ِِٕ هى٠ ِذِٙ ٔعٍُ ٱٌ هّجََٝٔ هىُ حزٌٕٛجٍهٚ ٦٠ ُا أخجبس هوٛٔجٍهٚ ٓ٠ظجِ ِش
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu.‖423
―Wahai orang-orang beriman, Kami akan menguji kalian, sehingga dapat Kami buktikan siapa di antara kalian yang mau berjihad dan bersabar menghadapi musuh Allah. Kami akan menampakkan keadaan yang sebenarnya dari kalian semua.”424
421
Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟ Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan, 2009), h. 77. 422
Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddiqi, Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Qur‟anul Karim (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), Juz 1-15, h. 443. 423 Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 735 424 M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 649. Hak penerbitan dan publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia.
299
Berlandaskan pada teori al-Zarqânī dan al-Zahabī, terjemah Al-Qur‘an Kemenag harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib bercorak tafsiriyah. Bila ditelaah dari aspek semantik leksikal dan gamatikal (tata bahasa), M. Thalib menerjemahkan kalimat
ٍُ ٔعََٝٔ هىُ حزٌٕٛجٍهٚ
ٓ٠ ِذِٙ ٱٌ هّجdengan penambahan Wahai orang-orang beriman yang sebenarnya tidak ada dalam redaksi ayat Al-Qur‘an. Adapun kata al-mujâhidīn dialihbahasakan siapa di antara kalian yang berjihad dan kata al-shâbirīn dengan arti bersabar menghadapi musuh berbeda dengan terjemah Al-Qur‘an Kemenag secara apa adanya sesuai dengan redaksi awal. Noam Chomsky yang terkenal dengan gagasan tata bahasa transformasi atau tata bahasa generatif, mengatakan bahwa tugas tata bahasa adalah harus memenuhi dua syarat: pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut sebagai kalimat yang wajar dan kedua tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja. Ada gejala yang tak lazim dalan penerjemahan ayat di atas yang dilakukan M. Thalib. Kemunculan kalimat wahai orang-orang beriman cukup problematik. Lalu, arti bersabar menghadapi musuh, tampak begitu emosional dan menggebu-gebu, karena pada umumnya sabar terklasifikasi hanya tiga: bersabar dalam taat kepada Allah; sabar atas musibah/ujian; dan sabar dalam meninggalkan maksiat. Sejalan dengan konsep kompetensi/kemampuan (competence) dan perbuatan bahasa (performance), Chomsky mengatakan bahwa kemampuan ialah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Pada contoh kasuistik ini, terjemahan ayat di atas tampaknya cenderung pada pengetahuan penerjemahnya, bahasa yang digunakan dalam terjemahannya tersebut merefleksikan pola pikir keagamaan M. Thalib. Kaidah tata bahasa menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak wajar serta cukup menggambarkan hubungan bunyi (redaksi Al-Qur‘an) dan arti (terjemahan ayat) dalam 300
bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Sebab, kompetensi/kualitas bahasa seseorang mengekspresikan jalan pikiran penuturnya dan hubungan antara lafal/bahasa (intra-lingual) dengan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstra-lingual) cukup signifikan.
301
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, al-Zahabī, dan al-Qatthân tentang definisi terjemah, harus diakui, bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag bersifat harfiyah, sedangkan terjemah MMI tafsiriyah. Meskipun begitu, kedua-duanya dibenarkan dari aspek metode penerjemahan. Tidak benar bila terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama menjadi pemicu beragam aksi terorisme di Indonesia. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan, perilaku radikalisme/terorisme agama berkorelasi positif dengan pemahaman agama seseorang yang dangkal, tidak holistik, dan tekstualis/skriptualis. Pemahaman literalis dan subjektif terhadap kitab suci dan teks keagamaan lainnya lah yang bisa menjadi variabel paling signifikan dalam mendorong timbulnya terorisme agama. Di satu sisi, kehadiran terjemah tafsiriyah MMI yang semula sebagai koreksi atas terjemah Al-Qur‘an Kemenag justru menimbulkan masalah baru, dan kurang tepat bila dikatakan sebagai solusi terjemahan apalagi sebagai bentuk deradikalisasi (menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap teks keagamaan). Sebab, MMI sendiri tergolong kelompok fundamentalisme Islam politis yang cenderung kaku, kurang bisa menerima keragaman pendapat, cenderung radikal pola pemikirannya, dan terjemahan mereka pun masih bisa diperdebatkan serta layak diberi catatan-catatan. Riset ini juga berkesimpulan bahwa terkait radikalisme agama maupun terorisme di Indonesia, bahkan dalam konteks global, sangat besar dipengaruhi oleh pandangan yang kerdil, literalis, dan sempit terkait pemahaman agama seseorang (ideologi), terutama ayatayat yang bercorak jihâd dan perang (qitâl), kemudian adanya faktor ketimpangan sosial-
302
politik, ketidakadilan, dan siklus ekonomi yang tidak stabil, problem pengangguran, ketimpangan kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan lemahnya sistem ketahanan negara. B. Saran-saran / Rekomendasi Berdasarkan temuan dan analisis data yang dilakukan, saran-saran yang bisa diketengahkan antara lain: 1) Temuan MMI perlu disimpan sebagai kekayaan khazanah intelektual, yang akan dibaca ummat dan dijadikan bahan pertimbangan ketika ada revisi terjemahan Kemenag berikutnya. Meskipun nanti perlu dikaji lebih mendalam. 2) Pola Penerjemahan MMI/M. Thalib lebih mencerminkan pola pikir penyusunnya. Seperti gagasan Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pola pikir penuturnya. Di samping itu, M. Thalib berbeda sekali penafsirannya dengan metodologi ulama tafsir yang menjadi referensinya seperti terjemah ayat jihâd, qitâl, syariat perang, dan syariat Islam, meskipun ujarannya lebih lugas, selain mendorong garis besar ideologi perjuangan mereka. Karena itu, terjemahan tafsiriyah M.Thalib ini, menurut hemat penulis adalah terjemahan ‖ideologis‘‘ mereka. 3) Deideologisasi dan deradikalisasi yang ideal adalah dengan mentransformasikan pemahaman agama yang utuh, holistik, tidak parsial, harus komprehensif, bukan justru menimbulkan permasalahan baru. Oleh karena itu tidak cukup belajar agama hanya melalui terjemah Al-Qur‘an, harus menelusuri buku-buku Tafsir yang lebih luas penjelasannya. 4) Sejumlah terjemahan Kemenag memang bernada perintah (fi‟il amr, aktif), namun karena menggunakan harfiyah, maka begitulah hasilnya. Sedangkan MMI lebih tafsiriyah. Penelitian ini semoga berguna bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Kritik konstruktif, saran, dan masukan sangat penulis nantikan demi kesempurnaan karya ilmiah sejenis lainnya, yang nantinya dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakan (policy maker). Wallâhu a‟lam bi al-shawâb.
303
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an, Terjemahnya, dan Tafsirnya Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI, Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012. Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan), Jakarta: Direktorat Bimas Islam Kemenag, 2012. Thalib, M. Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan, Yogyakarta: Ma‘had An-Nabawy Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013. Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2004, Vol. 1, kelompok XV. -------------------------, Al-Qur‟an dan Maknanya: Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan Tujuan Surah, dan Pedoman Tajwid, Tangerang: Lentera Hati, 2013. Yunus, Mahmud. Tafsīr Qur‟an Karīm Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah, 2015. Al-Shiddīqī, Teungku Muhammad Hasbi. Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002. Al-Dimasyqī, Ibnu Katsīr Abi al-Fida Ismail bin Katsīr, Tafsir Ibnu Katsīr, Dar Ihya al-Kutub al-‗Arabiyyah: Isa al-Halaby wa Syurakauhu, t.t. Al-Thobari, Ibnu Jarir, Tafsīr al-Thabarī, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil ay al-Qur‟an (Kairo Mesir: Syirkah Mustafa al-Halaby wa Awladihi, 1954. Al-Qurtubī, Tafsīr al-Qurtubī, Kairo: Dar al-Sya‘ab, t.t. Kamus-Kamus Arab dan Indonesia (Klasik, Modern, dan Kontemporer) Al-Bâqī, Muhammad Fuâd Abd. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarīf, Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007. Al-Jurjâni, Ali. al-Ta‟rīfât, Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003. Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus (al-„Ashri) Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998.
304
Ba‘albaki, Munir, dan Rohi Ba‘albaki, Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Terj: Achmad Sunarto, Surabaya: Halim Jaya, 2006. Djuaeni, M. Napis. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Istilah Politik-Ekonomi), Jakarta: Mizan Publika, 2006. Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan Nasional, Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015. Munawwir, KH. Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Marjuni, Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim ArabIndonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2009. Yusuf, dkk., Choirul Fuad. Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu), Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015.
Buku-Buku Al-‗Asqallânī, Ibnu Hajar. Fathul Bârī bi Syarhi Sahīh al-Bukhârī, Kairo: Dâr al-Hadīs, 2004. Al-Bantanī, Syaikh Nawawi. Nihâyat al-Zain fi Irsyâd al-Mubtadiīn, Beirût: Dâr al-Fikr, 2005. Al-Dimasyqī, Taqiyyuddīn. Kifâyat al-Akhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr, Beirût: Dâr alFikr, 1994. Al-Ghalâyainī, Syaikh Musthafâ. Jâmi‟ al-Durûs al-„Arabiyyah: Mausû‟ah fī Tsalâtsati Azjâ‟, Kairo: Dâr al-Hadīs, 2005. Al-Mubârakfûrī, Tuhfah al-Ahwadzī bi Syarhi Jâmi‟ al-Tirmidzī (Syarah Sunan al-Tirmidzī, Kairo: Dâr al-Hadīs, 2001. Al-Mahallī dan Jalâluddīn al-Suyûthī, Tafsīr al-Qur‟an al-„Azhīm, Indonesia: Dâr Ihyâ alKutub al-‘Arabiyyah, t.t. Al-Naisabûri, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidī. Asbâb al-Nuzûl, Jakarta: Dina Berkah Utama, t.t. Al-Shâbûnī, Syaikh Muhammad Ali. al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an, Jakarta: Dâr al-Kutub alIslâmiyyah, 2003. Al-Qatthân, Mannâ‘ Khalīl. Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia “Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah: Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015. 305
Al-Zarqânī, Syaikh ‗Abdul ‗Azhim. Manâhil al-„Irfân fī „Ulûm al-Qur‟an, Kairo: Dâr alHadīs, 2001, juz ke-2. Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Afadhal, dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005. Agus, Zulkifli. Orientasi Pemikiran Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu Tinjauan dari Segi Makna, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddin al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Asyhari, Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis terhadap Al-Qur‟an Terjemah Kementerian Agama RI, Surabaya: Pascasarjana UIN Sunan Ampel, 2015. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Ali, Nizar. Hadis versus Sains, Yogyakarta: Teras, 2008. Arrosyid, Alif. Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun 2000-2005, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Azra, Azyumardi. Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim dari Australia hingga Timur Tengah, Jakarta: Hikmah Mizan, 2007. ---------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Edisi Perenial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. ---------------------, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Paramadina University, 1996. Ali, As‘ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2010. Alkaf, Halid. Liberalisme Islam Indonesia: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam Liberal di Indonesia. Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Bakti, Agus Surya. Merintis Jalan Mencegah Terorisme: (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta: Semarak Lautan Warna, 2004. ------------------------, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, 2014. Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
306
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Busyro, Muhtarom. Shorof Praktis Metode Krapyak. Pengantar: KH. Ahmad Warson Munawwir dan KH. Atabik Ali, Yogyakarta: Menara Kudus, 2007. Chaer, Abdul. Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007. ----------------, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. ----------------, Leksikologi dan Leksikografi Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007. Chomsky, Noam. Aspects of The Theory of Syntax, Cambridge Massachusetts Institute of Technology: The M.I.T. Press ,1965. ----------------------, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use, New York: Praeger Publishers, 1986. ---------------------, Language and Mind, UK: Cambridge University Press, 2006. Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik I; Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Eresco, 1993. Djojosuroto, Kinayati. Filsafat Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pinus, 2006. Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (Editors), The Sage Handbook of Qualitative Research, California USA: Sage Publication, 2005. Enizar. Jihad ! the Best Jihad for Moslems, Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2007. Hanafi, Muchlis M. Islam, Kekerasan, dan Terorisme, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015. -----------------------, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Balitbang Kemenag RI, Vol. 4, No. 2, 2011. ------------------------, Menyoal Terjemah Yang Bukan Masalah, makalah disampaikan pada Dialog dengan Tim MMI seputar Terjemah Al-Qur‟an yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jum‘at, 29 April 2011. Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010. Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju Mizan, 2004. ---------------------------, dan Ahmad Gaus AF, dkk, Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina University, 2005. ---------------------------, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Bandung: Mizan, 2011. --------------------------, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books Mizan, 2012. Hidayatullah, Moch Syarif. Cakrawala Linguistik Arab, Tangerang: Al-Kitabah, 2012. 307
----------------------, Khotbah Berjihad Perang Aceh Abad XIX, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2013. Hoed, Benny Hoedoro. Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006. Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI, Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Jahroni, Jajang dan Jamhari. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Junaedi, Edi. Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama Dalam Perspektif Percakapan, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013. ------------------, Islam dan Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI, Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah, Jakarta: Pusat Studi Indonesia Arab (PSIA) UIN Jakarta, 2013. ----------------, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah dan Neng Dara Affiah, Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama, 2007. Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Tipologi, Jakarta: Gramedia, 1990. Lubis, Ismail. Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Machali, Rochayah. Pedoman bagi Penerjemah, Jakarta: Grasindo Gramedia, 2000. Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina University, 1999. Mas‘ud, Abdurrahman. Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Mubarok, Ahmad Zaki. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer “ala” M. Syahrur, Yogyakarta: elSAQ Press, 2007. Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Musa, Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-Isu Aktual, Jakarta: Serambi, 2014.
308
Mohammad, Herry. Alih Bahasa Mengungkap Makna, Yogyakarta: Ma‘had An-Nabawy Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013. Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003. Raya, Ahmad Thib. Rasionalitas Bahasa Al-Qur‘an: Upaya Menafsirkan Al-Qur‘an dengan Pendekatan Kebahasaan, Jakarta: Fitra Publishing, 2006. Reslawati, Pandangan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat terhadap Wawasan Kebangsaan di Yogyakarta, dalam buku Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan, Editor: Asnawati dan Achmad Rosidi, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015. Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Said, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah Al-Qur‟an: Tinjauan Kritis terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Kegamaan Kementerian Agama RI, 2014. Saeed, Abdullah. Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, terj oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan Pustaka, 2016. Saifuddin, Lukman Hakim, Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Menuju Islam Indonesia yang Ramah dan Moderat, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2014. Santoso, Arif Gunawan. Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI Sebagai Gerakan Sosial, Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015. Setiawati, Darmojuwono, Semantik, dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Suyasubrata, Sumaidi. Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1989. Sugiyarto, Wakhid. Direktori Paham, Aliran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, Editor: Wakhid Sugiyarto dan Syaiful Arif, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012. -------------------------, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia, Editor: Wakhid Sugiyarto, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015. Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1998.
309
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2007. Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan Praktek, Bandung: Humaniora, 2005. Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi, Bandung: Mizan Pustaka, 2006. Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag RI Edisi Tahun 2002, Jakarta: SPs UIN Jakarta, 2008. Thalib, M. Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI, Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013. Taufiqurrochman, H.R. Leksikologi Bahasa Arab, UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008. Taufiq, Imam. Al-Quran bukan Kitab Teror, Membangun Perdamaian Berbasis Al-Quran, Yogyakarta: Bentang Mizan, 2016. Tim Ahli Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Editor: Jaja Zarkasyi dan Thobib al-Asyhar, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2014. Tim Kodifikasi Purna Siswa Lirboyo Kediri, Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresi dan Progresif, Editor: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, Lirboyo: Madrasah Hidayatul Mubtadiin Kediri Jawa Timur, 2005. Tim Kodifikasi DIFA Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Dimensi Doktrinal Studi Metodologis Dinamika Fenomenal, Lirboyo: Kediri Jawa Timur, 2007. Tim Penulis Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrrahman Wahid, Epilog Ahmad Syafi‘i Ma‘arif dan KH. Ahmad Mustofa Bisri, Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif Institute, 2009. Tim Puslitbang Kehidupan Kegamaan, Editor: Zainal Abidin, Kajian Masalah-Masalah Aktual Terjemah Al-Quran Departemen Agama, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2011. Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Jakarta: Elex Media Komputindo Gramedia, 2014. Verhaar, J. W. M. Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004. Wahab, Muhbib Abdul. Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan, Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Yaqub, Ali Mustafa. Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. ------------------------, Islam between War and Peace, Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2009. 310
---------------------, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme, Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2015. Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju Mizan, 2002.
Jurnal Penelitian (Nasional dan Internasional), Prosiding, dan Hasil Riset Ilmiah Araki, Naoki. Saussure and Chomsky: Langue and l-Language, Department of Information System and Management, dalam Bull. Hiroshima Institute of Technology Japan, Research, Vol. 49, 2015. Arifin, Syamsul Multikulturalisme Dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan Keagamaan Radikal di Indonesia, paper dalam Proceeding Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XIV, Buku 2 subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems, Editor Muhammad Zain, dkk., STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014. Azra, Azyumardi. Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 21, No. 1, 2014. Chirzin, Muhammad. Jihâd dalam Al-Qur‟an: Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, januari-Juni 2009. Costley, Kevin C. Avram Noam Chomsky and His Cognitive Development Theory, Arkansas Tech University, 10 Juni 2013. Duraesa, M. Abzar. Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi terhadap Perkembangan Teologi Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding in Annual International Conference (AICIS) XIV, Buku 4, Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities, STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014. Fenton, Adam James. Change and Continuity in Indonesian Islamist Ideology and Terrorist Strategies, dalam Al-Jâmi‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Journal of Islamic Studies, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H. Hanafi, Muchlis M. Tafsir terhadap Dasar-Dasar Ideologi Takfir Kelompok Islam Radikal, dalam Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Volume 7, No. 2, November 2014. Ichwan, Moch. Nur. Negara, Kitab Suci, dan Politik: Terjemah Resmi Al-Qur‟an di Indonesia,dalam buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Penyunting: Henri Chambert-Loir, Jakarta: Kepustakaan Populer (KPG) Gramedia, Forum Jakarta-Paris bekerja sama dengan Pusat Bahasa, dan Universitas Padjajaran Bandung, 2009. Jurnal Bimas Islam Kemenag, Edisi XXXIII, November 2015 M/Muharram 1437 H.
311
Jabali, Fuad. Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol 7 No. 1, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009. Jahroni, Jajang. Modernisme dan Radikalisme Islam di Indonesia: Menafsirkan Warisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004. Kamil, Sukron dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman Kontemporer, dalam Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013. Muhammad, Ahsin Sakho. Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2005, Jurnal Vol 3, No. 1. Mustaqim, Abdul. Deradikalisasi Penafsiran Al-Qur‟an Dalam Konteks Keindonesiaan yang Multikultur, Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. 6, No. 2, 2013. Permata, Bagus Andrian. Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya dalam Pembelajaran bahasa Arab, Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015. Prasetyo, Budi. Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan Politik dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Vol 14, No. 1, Juni 2013. Syahrullah, Tarjamah Tafsiriah Terhadap Al-Qur‟an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi, bentuk PDF dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies – Vol. 2, No 1. Syarfuan, Juanda P. Summary Al-Qur‟an Translation Concordance Method for Any Language, Jakarta: Perpustakaan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus, 2015. Surahman, Cucu. Tafsir Kontekstual Jaringan Islam Liberal (JIL): Telaah atas Konsep Syariat Islam dan Hudûd, dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies-Vol. 2, No. 1, 2013. Syuaib Z, Ibrahim. “Dakhīl al-Naqli Dalam Al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004”. Lembaga Penelitian: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009. Waid, Abdul. ISIS: Perjuangan Islam Semu dan Kemunduran Sistem Politik (Menyoal NilaiNilai Keislaman ISIS Secara Normatif dan Historis dan Mengkomparasikannya Dengan Sistem Politik Kekinian), paper in Annual International Conference (AICIS), XIV, Buku 3, Subtema: Nusantara Islamic Civilization: Value, History, and Geography, Editor: Muhammad Zain, dkk, STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014. Wahid, Din. Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, dalam Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007.
312
Harian (Koran) Nasional dan Majalah Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25 November 2015/13 Shafar 1437 H. Harian Umum REPUBLIKA, Jum‘at 15 Januari 2016/ 4 Rabi‘ul Awwal 1437 H Harian Koran SINDO, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015 Harian KOMPAS dalam liputan Internasional, Minggu, 27 Maret 2016. Harian KOMPAS pada Rabu, 4 November 2015. Harian Umum KOMPAS, Kamis 14 Januari 2016. Harian Umum KOMPAS, 16 November 2015 Harian Umum KOMPAS, 30 Desember 2015 Majalah Gatra, edisi 11 Juli 2012. Majalah www.TEMPO.CO Jum‘at, 6 Juli 2012. Majalah TEMPO, Senin 16 November 2015, Edisi 5092 Tahun XIV Majalah TEMPO, edisi 4448/25-31 Januari 2016 Majalah TEMPO Edisi Khusus 4502/7-13 Maret 2016 Situs Internet/laman Website, dan Hasil Wawancara Program CD al-Maktabah al-Syâmilah (cetakan/edisi ketiga) http://www.nu.or.id/ http://www.majelismujahidin.com/ http://www.majelismujahidin.com/al-quran-tarjamah-tafsiriyah/#comment-894 www.alqurantafsiriyah.blogspot.com www.chomsky.info. https://www.isomil.id/ http://news.detik.com/bbc-world/3091179/larang-muslim-masuk-ke-amerika-trump-dikecampro-yahudi, Rabu, 20 Januari 2016 pukul 12.56 WIB. http://www.liputan-terkini.com/7912/professor-chomsky-if-you-want-to-stop-terrorism-stopkilling-muslims.html http://www.arrahmah.com/read/2011/04/25/12054-menelisik-ideologi-teroris-dalamterjemah-quran depag.html#sthash.uqxwfuXC.dpuf http://www.youtube.com/ Metro TV, Mata Najwa, Menolak Takluk http://www.youtube.com/ Metro TV, Mata Najwa, Sesal Mantan Teroris http://www.youtube.com/ Benang Merah TV One, Mencuci Otak Teroris http://www.youtube.com/ Tv One Diskusi ILC, ISIS Mengancam Kita? Hasil wawancara dengan Muchlis M. Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Kemenag Thamrin Lt 17, pukul 10.00 s.d selesai, pada Selasa 22 Maret 2016. Hasil wawancara dengan Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyyah MMI, pada 31 Maret 2016, pukul 11.35 s.d selesai via telepon dan WA (Whatsapp) juga.
313
DAFTAR SINGKATAN
AICIS
: Annual International Conference on Islamis Studies
AHWA
: Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
BIN
: Badan Inteligen Negara
BNPT
: Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
FPI
: Front Pembela Islam
GAM
: Gerakan Aceh Merdeka
GPK
: Gerakan Pengacau Keamanan
HTI
: Hizbut Tahrir Indonesia
HAM
: Hak Asasi Manusia
ISIS
: Islamic State of Iraq and Syiria
ICG
: International Crisis Group
ICIS
: International Conference of Islamic Scholars
JI
: Jamaah Islamiyah
JIL
: Jaringan Islam Liberal
KIK
: Kamus Istilah Keagamaan
KUHP
: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
LAD
: Languange Acquisition Device
LPMA
: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an
MUI
: Majelis Ulama Indonesia
MMI
: Majelis Mujahidin Indonesia
NU
: Nahdlatul Ulama
NII
: Negara Islam Indonesia
NKRI
: Negara Kesatuan Republik Indonesia
314
PBB
: Perserikatan Bangsa-Bangsa
USA
: United State of America
WTC
: World Trade Center
315
GLOSARIUM Penjelasan yang diberikan pada glosarium ini secara umum mengacu pada Kamus Istilah Keagamaan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan (2015), al-Jurjânī (2003), KBBI (2001), dan al-Qardhâwī (2009).
Al-Qur‘an
:
Kitab suci umat Islam dalam bahasa Arab yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk dan pembeda (yang hak dan batil), terdiri atas 30 juz, 114 surah, dan 6.326 ayat.
Agama
:
Asbâb Nuzûl al-Ayat
:
Sebab berupa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur‘an seperti pertanyaan dari sahabat kepada Nabi SAW mengenai suatu persoalan
Asbâb Wurûd al-Hadīs
:
Sebab berupa peristiwa yang melatarbelakangi keluarnya hadis seperti pertanyaan dari sahabat kepada Nabi SAW mengenai suatu persoalan
Clash of Civilization
:
Teori konflik/pembenturan peradaban yang dicetuskan Samuel P. Huntington, seorang analis politik sekaligus penasehat (advisor) mantan Presiden Amerika George W. Bush. Teorinya sangat provokatif dengan menuduh Islam yang paling potensial dalam mengancam peradaban Barat yang kini sedang berada di puncak kekuasaannya.
Doktrin
:
Ajaran tentang asas suatu aliran politik, keagamaan, secara bersistem, khususnya dalam penyusunan kebijakan (policy) sebuah negara.
Deradikalisasi
:
Upaya menghapuskan pemahaman yang radikal/ekstrim/keras terhadap teks-teks keagamaan terutama yang bersumber dari Al-Qur‘an dan hadis Nabi Muhammad SAW.
Fundamentalisme Islam
:
Sekelompok orang yang cenderung berpikir rigid/kaku, cenderung memonopoli atas tafsir-tafsir agama, mereka berpegang kepada fundamen-fundamen keimanan dan pada perjalanannya mengalami konotasi negatif.
Ajaran/sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) seseorang dan peribadatan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agama sejatinya membawa kebahagiaan/nirwana.
316
Gerakan Transnasional
:
Gerakan lintas negara, gerakan yang berasal dari negara lain.
Hadis
:
Segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan taqrir yang tersematkan kepada Rasulullah SAW
Ideologi
:
Kumpulan ide, gagasan, keyakinan sebagai pedoman normatif yang digunakan oleh segenap kelompok tujuan dasar.
Jihâd
:
Perjuangan tiada henti dengan mencurahkan segala yang dimilikinya, baik nyawa, harta, maupun ilmu, hingga tercapai apa yang diperjuangkan dengan niat sematamata mengharap rida Allah. Makna kedua, perjuangan menegakkan kalimah Allah
Khawârij
:
Pengikut Ali bin Thalib yang tidak setuju adanya tahkīm (penyelesaian damai) antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, dan menuduh Ali dan Muawiyah telah kafir, lalu mereka keluar dari Kufah ke Desa Harura untuk memisahkan diri dari pasukan Ali
Negara Islam/Daulah Islâmiyah
:
Tujuan yang ingin dicapai oleh Organisasi Islam radikal atau Islam garis keras yang melampaui batas-batas Negara. Dalam imajinasi mereka, Negara Islam kelak dipimpin oleh seoarang khalifah
Purifikasi
:
Pengamalan peribadatan Islam dari pengaruh-pengaruh paham yang tidak berlandaskan pada ajaran Islam atau Pemurnian ajaran agama Islam.
Radikalisme
:
Paham yang berpikir sempit, kaku, keras, eksklusif, bertindak untuk menuntut perubahan ke akar-akarnya, serta cenderung memonpoli kebenaran
Terorisme
:
Usaha teror dengan usaha menciptakan ketakutan, kengerian dalam usaha mencapai tujuan tertentu, terutama tujuan politik, baik dilakukan oleh seseorang atau kelompok/golongan
Wahabi
Gerakan ini memfokuskan diri pada ajakan untuk meneladani para salaf. Faham/Gerakan ini berkiblat pada pemahaman-pemahaman semisal Muhammad ibn Abdul Wahab, Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, AlAlbani, dan Ibnu Fauzan.
317
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1: Instrumen bahan wawancara dengan Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA (Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an Badan Litbang Kemenag RI). Wawancara dilakukan pada Selasa, 22 Maret 2016
1) Bagaimana pendapat Bapak tentang Al-Qur‘an Terjemah Tafsiriyah MMI? 2) Apa kritik dan masukan Bapak tentang karya mereka? 3) Apa pendapat Bapak terkait tuduhan miring/klaim subjektif MMI bahwa Terjemah AlQur‘an Kemenag menjadi sumber radikalisme dan terorisme agama di Indonesia? 4) Bagaimana komentar/tanggapan Bapak tentang pola/teknik penerjemahan MMI? 5) Apakah Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an sudah mentashih karya MMI tersebut dan sudah memberi izin publish-nya terjemah tafsiriyah? 6) Selaku mewakili Kemenag, apakah Bapak setuju dengan debat publik dan atau clash action yang diajukan MMI? 7) Bagaimana pendapat Bapak tentang peran strategis instansi pemerintah semisal BNPT, BIN, Densus 88, TNI, Polri, Ulama-Umaro, dan Kemenag sendiri dalam membendung arus radikalisme dan memberantas terorisme di Indonesia?
318
Lampiran 2: Instrumen bahan wawancara dengan Ustadz Irfan S. Awwas (Kepala Lajnah Tanfidziyah MMI). Interview dilakukan pada Kamis, 31 Maret 2016.
1) Bagaimana pendapat Bapak tentang Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI? 2) Apa benar pemicu terorisme dan radikalisme di Indonesia karena faktor Terjemah Al Qur‘an Kemenag? 3) Bukankah faktor penyebab munculnya terorisme banyak dan kompleks, apa komentar Bapak? 4) Apakah benar Terjemah Tafsiriyah MMI menawarkan alternatif terjemahan dari yang sudah ada sebelumnya, seperti Terjemah Al-Qur‘an Kemenag? 5) Apa saran dan masukan Bapak/MMI untuk terjemah Al-Qur‘an Kemenag? 6) Apa pendapat Bapak tentang peran BNPT, BIN, Densus 88, TNI, Polri, Kemenag, Ulama dan Umaro dalam memberantas terorisme di Indonesia? 7) Dari kejadian terorisme di Sarinah Thamrin Jakarta Pusat beberapa waktu lalu, ada sumber/reportase menyebutkan misalnya majalah Tempo, bahwa pelaku teror di Ibukota itu ada kaitannya dengan jaringan Mujahidin Barat atau Mujahidin Indonesia Timur. Apakah itu ada ketersambungan/korelasinya dengan organisasi MMI? Bagaimana pandangan Bapak?
319
Lampiran 3: KEPUTUSAN SIDANG PLENO AHLUL HALLI WAL „AQDI (AHWA) KONGRES MUJAHIDIN IV.425 Sentul City Bogor, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013 M. Nomor: 01/AHWA MM/VIII/2013 Menimbang: 1. Keadaan Demisioner kepengurusan Ahlul Halli Wal „Aqdi Majelis Mujahidin periode 2008-2013 2. Perlunya diputuskan kepengurusan Ahlul Halli Wal „Aqdi Majelis Mujahidin pada Kongres Mujahidin IV untuk periode 2013-2018 M Memperhatikan: 1. Qawâidut Tanzhīm dan Qawâidut Tanfīdz 2. Keputusan Sidang Pleno I dan II Kongres Mujahidin IV 3. Pendapat dan masukan yang disampaikan peserta Kongres Mujahidin MEMUTUSKAN Menetapkan: A. Kepemimpinan Ahlul Halli Wal „Aqdi (AHWA): Ketua/Amir Majelis Mujahidin Wakil Ketua/Wkl. Amir
: Drs. Muhammad Thalib : Abu Muhammad Jibriel AR
Katib Am Wakil Katib Am
: Drs. Nashruddin Salim, SH, MH : Drs. Farid Ma‘ruf NS
Bendahara Wakil Bendahara
: dr. Harun Rasyid, Sp BU, MARS : Dr. H. Irfianda Abidin, SE, MBE
B. Pengurus Lajnah Tanfīdziyah Majelis Mujahidin: 1. Ketua 2. Sekretaris 3. Bendahara
: Irfan S. Awwas : M. Shabbarin Syakur : Drs. Tofandi Pimpinan Sidang Ahlul Halli Wal „Aqdi 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013
Drs. Muhammad Thalib Ketua 425
Drs. Nashruddin Salim, SH, MH Sekretaris
Lihat dalam http://majelismujahidin.com/ diambil pada 3 Desember 2015, pukul 10.00 WIB.
320
Lampiran 4: Alhamdulillah, Kongres Mujahidin IV telah usai terlaksana, kembali Ustadz Muhammad Thalib memimpin Majelis Mujahidin melanjutkan kepemimpinannya yang lalu. Ribuan peserta kongres yang hadir pun turut bersuka ria mendengar keputusan rapat Ahlul Halli Wal „Aqdi (AHWA) tersebut. Sebelum pembacaan keputusan, dibacakan juga keputusan Kongres Mujahidin IV tentang rekomendasi Indonesia Bersyari‘ah. berikut rekomendasi kongres selengkapnya.
Keputusan Kongres Mujahidin IV Tentang Rekomendasi Indonesia Bersyari’ah Menimbang: 1. Kewajiban kaum muslim melaksanakan ajaran agama (syariat Islam) secara kâffah, dalam seluruh aspek kehidupan; pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, Negara dan antar bangsa. (QS. Al-Baqarah [2] : 208). 2. Hak konstitusional umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam berdasarkan Keputusan Presiden No. 150, 1959, tentang Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 (LNRI No. 75, 1959) yang mengakui berakunya Piagam Jakarta (charter Jakarta). Dan ditegaskan dalam perubahan ke 4 UUD 1945. 3. Qawaidut Tanzhim dan Qawaidut Tanfidz Majelis Mujahidin. Memperhatikan: 1. Preambule UUD 45 alinea ketiga yang berbunyi: “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. 2. UUD 45 Bab XI tentang Agama, pasal 29 ayat (1) dan (2): (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 3. Sekularisasi produk perundang-undangan Negara, tanpa pertimbangan ajaran agama yang notabene menjadi dasar utama pembangunan masyarakat dan Negara sesuai dengan UUD NRI 45 Ps. 29 ayat (1) dan (2). 4. Perlu adanya payung hukum yang melindungi syariat Islam sebagai dasar pengambilan keputusan dan kebijakan negara/wakil rakyat untuk melegalisasikan peraturan dan perundang-undangan pemerintah RI. 5. Hasil keputusan Sidang Pleno I dan II dan pendapat para peserta Kongres MEMUTUSKAN: Menetapkan: 1. Rekomendasi Kongres Mujahidin IV tentang Penegakan syariat Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sebagaimana terlampir; 2. Pemilihan pengurus harian AHWA Majelis Mujahidin 3. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan. 321
REKOMENDASI INDONESIA BERSYARI’AH KONGRES MUJAHIDIN IV Sentul City, Bogor, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013 M 1. DASAR NEGARA, PEMILU DAN KEPEMIMPINAN NASIONAL: 1. Dasar Negara harus sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 45 bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Sistim Pemilu yang menyalahi dan tidak sesuai dengan syariat Islam ditolak. 3. Kepemimpinan Nasional harus memiliki komitmen terhadap pelaksanaan syariat Islam (agama) di lembaga negara dan menjadi contoh tauladan (uswatun hasanah) dalam melaksanakannya. 2. EKONOMI: Sistem ekonomi ribawi harus ditinggal. Pembangunan ekonomi Negara harus disesuaiakan dengan Syariat Islam: 1. Sistem moneter disesuaikan dengan syariat Islam. 2. Memutus mata rantai ekonomi dengan IMF dan World Bank. 3. Sumber-sumber kekayaan Negara dan BUMN Mutlak harus dikuasai oleh Negara. 3. MORAL: 1. Sistem politik bernegara dibangun sesuai syariat Islam. 2. Pembangunan akhlak bangsa harus sesuai dengan syariat Islam. 4. PENDIDIKAN: 1. Sistim pendidikan Nasional harus diintegrasikan dengan Agama. 2. Semua aktifitas pendidikan harus didanai oleh Negara. 5. PENGUSAHA DAN BURUH: 1. Hubungan buruh dan majikan harus mengikuti ketentuan syariat Islam. 2. Menjamin kehidupan buruh sesuai dengan hak hidup manusia yang ditetapkan oleh syariat Islam. 3. Negara harus membantu para pengusaha yang tidak mampu mengupah buruh dengan layak menggunakan dana Negara. 6. PEREMPUAN: 1. Hak-hak perempuan disesuaikan dengan ketentuan syariat Islam. 2. Kaum perempuan wajib mendahulukan fungsinya sebagai ibu dalam membangun keluarga sesuai syariat Islam. 3. Ekspor tenaga kerja wanita (TKW) haram menurut syariat Islam. 7. HUKUM: 1. Hukum peninggalan kolonial Belanda wajib ditinggalkan. 322
2. Syariat Islam harus menjadi hukum Negara sebagai konsekwensi adanya mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. 3. HAM internasional harus disesuaikan dengan syariat Islam. 4. Hukuman mati dan pemiskinan bagi koruptor. 5. Perdagangan narkoba dan jaringannya harus dihukum mati, sedangkan pecandunya harus dihukum dan direhabilitasi. 8. RAKYAT MISKIN Kesejahteraan rakyat miskin menjadi tanggungjawab Negara dan orang-orang kaya 9. PENANGGULANGAN TERORISME Menyayangkan dan mengkitik keras prilaku dan tindakan Densus 88, yang banyak menembak mati tersangka teroris dan tidak diketahui identitasnya secara pasti, tanpa melalui proses hukum yang adil dan benar. Padahal profesionalisme Densus semestinya mampu untuk sekedar melumpuhkan tanpa harus membunuh, sehingga dapat menguak prilaku terorisme ini di Pengadilan. Hal ini bertentangan dengan syariat Islam dan HAM Internasional. 10. MISS WORLD Majelis Mujahidin menolak keras rencana diselenggarakannya miss world di seluruh wilayah NKRI karena akan merendahkan martabat wanita dengan mengumbar aurat yang diharamkan oleh syariat Islam. Sentul City, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013 Peserta Kongres Mujahidin IV426
426
http://majelismujahidin.com/ diunduh pada 2 Desember 2015 pukul 08.00 WIB.
323
Lampiran 5: Daftar Gambar
1) Teori Miles dan Huberman untuk analisis data ................................................................. 35 2) Sistem bahasa (Teori Hocket) ......................................................................................... 128 3) Satuan bahasa (wacana) ................................................................................................... 129 4) Semantic tringle/segitiga bermakna ................................................................................. 133 5) Model pola transformasi Noam Chomsky ....................................................................... 156
324
Lampiran 6: Daftar Tabel
1) Tabel 1 Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Seluruh Dunia ................................................. 72 2) Tabel 2 Negara dan Kasus Kematian Akibat Terorisme .................................................... 75 3) Tabel 3 Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Indonesia ........................................................ 85 4) Tabel 4 Perdebatan dan Polemik antara MMI dan Kemenag .......................................... 241 5) Tabel 5 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang akidah ................. 241 6) Tabel 6 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang syariah ................. 242 7) Tabel 7 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang ekonomi ............... 242 8) Tabel 8 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang sosial .................... 245 9) Tabel 9 Parameter kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag secara garis besar ............................................................................................................. 243
325
CURRICULUM VITAE
Nama
: Nasrullah Nurdin
Tempat/Tgl lahir : Jakarta, 10 Desember 1987 Alamat Rumah
: Jl. Kembangan Selatan RT 001/02 Gang H. Jasan No. 53, Kembangan Selatan Jakarta Barat 11610. Tlp (021) 58301340
Alamat Kantor
: Jl. M.H. Thamrin No. 6 Lt 17, Jakarta Pusat. Tlp (021) 3920 688
Aktivitas kini
: 1) Pegawai Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat 2) Director of Anas Corner 3) Penulis di Penerbit Erlangga, Penulis di Bumi Aksara, dan Penulis pada Jurnal Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Penulis pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, dan Penulis pada Jurnal Mushaf Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (Terakreditasi LIPI) serta publikasi bertaraf Nasional dan Internasional lainnya. 4) Pengisi Khotib Jumat di Masjid Daud Nursiah Paloh Metro TV Kedoya Jakbar, Khotib di Masjid At-Taqwa Jakbar, Pengisi Seminar Nasional dan Internasional, Pengisi Kajian Keislaman Masjid Baitus Shobri Jakbar, dan Khotib di Masjid Al-Hijrah Perumahan Poris Indah Tangerang, Banten. 5) Sekretaris Lembaga Falakiyah PWNU DKI Jakarta
Email
:
[email protected] dan
[email protected]
Facebook
: Nasrullah
Twitter
: anasresidence atau nasrul_nurdin
Blog
: http://saungberkarya.blogspot.com
Website
: www.anascorner.com (on going process)
PIN BBM
: 5313282D
Contact Person
: 0856-8230-670 dan 0812-8426-6564
Penghargaan dan beasiswa yang pernah diraih : -
Tahun 2005-2006, Penghargaan Santri/Siswa terbaik Ponpes Al-Hidayah Basmol Jakbar
-
Tahun 2006, mendapat scholarship (beasiswa) The Habibie Center Kemang Jaksel 326
-
Tahun 2007, mendapat beasiswa dari Yayasan Beasiswa Prov DKI Jakarta
-
Tahun 2008, mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar Jakarta dan Juara III Lomba Membaca Kitab Kuning tingkat Marhalah „Ulya se Provinsi DKI Jakarta
-
Tahun 2009, mendapat beasiswa dari Women International Club Jakarta
-
Tahun 2010, mendapat beasiswa dari Kedubes India Jakpus
-
Tahun 2011, mendapat sponsor dari Embassy of Saudi Arabia dan Kemenag RI Pusat
-
Tahun 2012-2013, mendapat tugas dinas ke sejumlah wilayah Indonesia
-
Tahun 2014, mendapat Student Achievement Award dari Rektor UIN Jakarta
-
Tahun 2015, peserta Indonesia Award program PT Astra International
-
Tahun 2015, mendapat beasiswa Tesis dari Yayasan Supersemar dan BAZIS DKI
-
Tahun 2016, menerbitkan buku terbaru di Erlangga Publishing Sejumlah karya buku yang telah dipublikasikan baik pribadi maupun tim dan masih
dalam proses penerbitan. -
Mushaf Al-Burhan Khusus Wanita dan Tajwid Color full, (sebagai Proofreader)
-
Kepompong Ramadhan Republika (bersama Tim)
-
Berdakwah di Papua, Kota Injil
-
Approaches in Islamic Studies
-
Kajian Islam Kontemporer, belajar dari sumbernya
-
Mukjizat Amalan Harian
-
Jaringan Pemikiran Hadis Mesir – Indonesia
-
Apresiasi Intelektual Islam terhadap Naskah Klasik Keagamaan
-
Terorisme dan Teks Keagamaan
-
Mereguk 50 Pesan Ilahi yang Super
-
Berbakti kepada Kedua Orangtua (Skripsi S1 Ponpes Darus Sunnah)
-
Pendekatan Sosioklutural atas Teks Terjemahan: Telaah Domestikasi dan Foreignisasi (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta )
327