TERKUBUR Edgar Allan Poe
2017
Terkubur Diterjemahkan dari The Premature Burial karangan Edgar Allan Poe terbit tahun 1844 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah Penyunting Penyelaras akhir Penata sampul
: Ilunga d’Uzak : Kalima Insani : Bared Lukaku : Bait El Fatih
Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Januari 2017 Revisi terakhir: Copyright © 2017 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
A
DA
tema-tema tertentu yang daya tariknya mengasyikkan,
tapi terlalu menyeramkan untuk kegunaan fiksi yang
pantas. Mereka harus dijauhi oleh penulis roman, jika dia tak mau mual, atau jijik. Mereka diperlakukan dengan layak hanya ketika kebenaran hebat dan agung menyucikan dan menopangnya. Kita bergetar, contohnya, oleh “kesakitan menyenangkan” paling intens, terkait cerita Penyeberangan Beresina, Gempa Lisbon, Wabah London, Pembantaian St. Bartholomew, atau mati sesak seratus dua puluh tiga tahanan di Lubang Hitam Calcutta. Tapi, dalam cerita-cerita ini, faktalah—realitalah—sejarahlah yang menggairahkan. Sebagai karangan, kita harus pandang mereka dengan ngeri. Aku sudah sebutkan segelintir petaka mencolok dan berkesan dalam catatan publik. Tapi, dalam ini semua, kadarnyalah, tidak kurang dari karakter petakanya, yang begitu gamblang mencetak fantasi. Tak perlu kuingatkan pembaca bahwa, dari katalog panjang dan janggal kesengsaraan manusia, aku mungkin pernah memilih banyak contoh yang lebih sarat penderitaan hakiki dibanding mayoritas
bencana
ini.
Kemalangan
sesungguhnya,
malah
kekagetan puncak, bersifat khusus, bukan tersebar. Bahwa ekstrimekstrim penderitaan dipikul oleh satuan manusia, dan tak pernah oleh kumpulan manusia—untuk ini mari kita bersyukur kepada Tuhan yang maha pemurah! Dikubur hidup-hidup, tak salah lagi, adalah yang paling dahsyat di antara ekstrim-ekstrim yang pernah terjadi pada banyak kematian belaka. Bahwa itu sering, sangat sering, terjadi, hampir 5
tidak akan disangkal oleh orang-orang yang mau berpikir. Batasbatas pemisah Hidup dan Mati adalah, paling banter, remang dan samar. Siapa bisa bilang di mana yang satu berakhir, dan di mana yang satu berawal? Kita tahu ada penyakit-penyakit yang mencakup keberhentian mutlak fungsi vitalitas, tapi keberhentian ini cuma penangguhan, sudah sepantasnya disebut begitu. Mereka hanya jeda sementara pada mekanisme tak terjelaskan. Periode tertentu berlalu, dan suatu prinsip misterius gaib kembali menggerakkan ujung-ujung sayap magis dan roda-roda sihir. Kawat perak tidak lepas untuk selamanya, mangkuk emas tidak rusak tanpa bisa diperbaiki. Tapi di mana, sementara itu, jiwa berada? Namun, terlepas dari kesimpulan tak terhindari, sebuah apriori, bahwa sebab demikian pasti menghasilkan akibat demikian— bahwa kejadian mati suri pasti mengakibatkan penguburan prematur—terlepas dari pertimbangan ini, kita punya saksi pengalaman medis dan lazim untuk membuktikan bahwa banyak penguburan demikian betul-betul terjadi. Kalau perlu, sekarang juga bisa kusebutkan seratus contoh terverifikasi. Contoh yang sangat luar biasa, yang keadaannya mungkin masih segar dalam ingatan sebagian pembaca, terjadi tak lama lalu di kota tetangga, Baltimore, yang menyebabkan kegemparan penuh lara, sengit, dan luas. Isteri salah satu warga paling terhormat—pengacara unggul dan anggota Kongres—didera penyakit mendadak dan tanpa sebab, yang membuat bingung dokter-dokter cakapnya. Bahkan tak seorangpun curiga, atau punya alasan untuk curiga, bahwa 6
sebetulnya dia tidak mati. Wajahnya menampakkan garis bentuk kurus dan cekung sebagaimana mestinya. Bibirnya pucat marmer sebagaimana mestinya. Matanya tidak mengkilap. Tak ada kehangatan. Denyutan telah berhenti. Selama tiga hari jenazahnya diawetkan tanpa dikubur; selama itu ia kaku membatu. Pendek kata, pemakaman dipercepat, dengan alasan dekomposisi pesat. Nyonya tersebut ditempatkan di kubah kuburan keluarga, yang tidak diusik-usik selama tiga tahun berikutnya. Di akhir masa ini, kubah dibuka untuk menerima sebuah sarkofagus. Tapi, celaka! goncangan menakutkan menanti sang suami, yang membuka pintu dengan tangannya sendiri. Selagi gerbang berayun keluar, suatu objek berpakaian putih jatuh berkeretuk ke dalam lengan bajunya. Itu adalah tulang kerangka isterinya dalam kain kafan yang belum hancur. Penyelidikan cermat menjelaskan bahwa dia hidup kembali dua hari usai dikebumikan—bahwa rontaannya di dalam peti telah menyebabkan peti jatuh dari langkan, atau rak, ke lantai, di mana itu pecah hingga dia dapat lolos. Sebuah lampu penuh minyak yang tak sengaja tertinggal di dalam kuburan didapati kosong; mungkin habis karena menguap. Di anak tangga teratas yang membawa turun ke dalam bilik seram itu terdapat pecahan besar peti. Tampaknya dengan itu dia berusaha menarik perhatian, dengan memukul-mukul pintu besi. Sementara sibuk demikian, barangkali dia jatuh pingsan, atau mati, karena ketakutan. Dan saat jatuh, kafannya tersangkut pada suatu barang besi yang menonjol di bagian interior. Dia terus demikian, dan dia busuk demikian, 7
tegak lurus. Pada tahun 1810, sebuah kasus penguburan hidup-hidup terjadi di Prancis, diiringi keadaan yang menjamin pernyataan bahwa fakta memang lebih aneh dari fiksi. Pahlawan perempuan dalam kisah ini adalah Mademoiselle Victorine Lafourcade, gadis dari keluarga terkemuka, gadis kaya, gadis jelita mulia. Di antara banyak peminangnya adalah Julien Bossuet, sastrawan atau wartawan miskin asal Paris. Bakat dan keramahan telah merekomendasikan dirinya kepada sang pewaris. Dia tampak betul-betul dicintai olehnya. Tapi kebanggaan leluhur menentukannya untuk menolak Julien, dan menikah dengan Monsieur Renelle, seorang bankir, dan diplomat ulung. Namun pasca menikah, pria terpandang ini menyia-nyiakan dan mungkin, lebih tegasnya, memperlakukannya dengan buruk. Setelah melalui beberapa tahun sengsara bersamanya, dia mati—minimal kondisinya menyerupai kematian hingga mengecoh setiap orang yang melihat. Dia dikubur —bukan di dalam kubah—tapi di makam biasa di desa kelahirannya. Diluapi keputusasaan, dan masih digelorakan oleh kenangan ikatan mendalam, Julien si pecinta mengadakan perjalanan dari ibukota ke provinsi terpencil tempat desa itu berada, dengan tujuan romantis: menggali jasadnya dan mengambil rambut suburnya. Dia pun sampai di makam. Pada tengah malam dia menggali peti, membukanya, dan sedang menyobek rambut ketika tertahan oleh terbukanya mata sang tercinta. Ternyata, nyonya ini telah dikubur hidup-hidup. Vitalitas belum pergi sama sekali, dan dia terbangun dari kelesuan yang dikira kematian, 8
berkat elusan pecintanya. Julien memangkunya dengan kalut ke kamar sewa di desa. Dia memakaikan suatu obat pemulih manjur yang terilhami dari banyak belajar medis. Dalam keadaan sehat wanita ini hidup kembali. Dia mengenali penyelamatnya. Dia tetap bersamanya hingga sedikit demi sedikit sembuh ke kondisi sedia kala. Hati kewanitaannya tidak kukuh, pelajaran cinta terakhir ini cukup melunakkannya. Dia anugerahkan itu pada Bossuet. Dia tak lagi kembali kepada suaminya. Merahasiakan kebangkitannya, dia minggat bersama sang kekasih ke Amerika. Dua puluh tahun kemudian, mereka berdua pulang ke Prancis, yakin bahwa waktu telah banyak mengubah penampilan wanita ini, bahwa para sahabat takkan bisa mengenalinya. Mereka keliru. Pada pertemuan pertama, Monsieur Renelle betul-betul mengenali dan mengajukan klaim atas isterinya. Klaim ini ditolaknya, dan pengadilan yudisial menguatkan penolakannya, memutus bahwa keadaan aneh itu, dengan selang waktu panjang, telah menghapus kewenangan sang suami, bukan cuma secara kepatutan, tapi juga secara hukum. Chirurgical Journal dari Leipsic—sebuah majalah berwibawa dan bernilai tinggi, yang patut diterjemahkan dan diterbitkan oleh toko buku Amerika—merekam peristiwa pilu sejenis ini dalam edisi terbaru. Seorang perwira artileri, pria dengan tinggi raksasa dan sehat tegap, yang terlempar dari seekor kuda tak terkendali, mendapat memar parah di kepalanya sampai pingsan seketika. Tengkoraknya sedikit retak, tapi tak ada bahaya urgen. Trepanasi berhasil dilakukan. Darahnya dikeluarkan, dan banyak metode pertolongan 9
standar diterapkan. Namun lambat-laun dia jatuh ke dalam kondisi pingsan yang semakin tak ada harapan, dan akhirnya dianggap mati. Cuaca hangat. Dia dikubur tergesa-gesa dan tak layak di salah satu pemakaman umum. Penguburannya berlangsung hari Kamis. Di hari Minggu, tanah pemakaman dijejali peziarah seperti biasa; dan sekitar tengah hari, timbul kehebohan gara-gara pernyataan seorang petani bahwa, sewaktu duduk di atas kuburan perwira, dirinya merasakan kegaduhan di tanah, seolah akibat rontaan seseorang di bawah. Awalnya, sumpah pria ini tak terlalu diperhatikan. Tapi ketakutannya, dan kekukuhannya dalam bercerita, akhirnya berdampak alami pada kerumunan itu. Sekopsekop segera diadakan, dan beberapa menit kemudian makam dangkal itu terbuka lebar hingga tampaklah kepala penghuninya. Waktu itu dia terlihat mati, tapi duduk nyaris tegak di dalam peti, yang tutupnya telah terangkat sebagian oleh rontaan sengitnya. Dia segera dibawa ke rumah sakit terdekat, dan di sana dinyatakan masih hidup, walau dalam kondisi asfiksia. Lewat beberapa jam, dia hidup kembali, mengenali kenalannya, dan, dengan kalimat terputus-putus, berbicara tentang penderitaannya di dalam kubur. Dari ceritanya, jelaslah bahwa, sebelum jatuh pingsan, dia masih sadar selama lebih dari satu jam, pada saat dikubur,. Makamnya diisi tanah berpori secara serampangan dan longgar, sehingga udara dapat masuk. Dia mendengar langkah kaki orang banyak di atas, dan berusaha membuat dirinya terdengar. Huru10
hara di dalam tanah pemakamanlah, tuturnya, yang membangunkannya dari tidur pulas—tapi segera setelah bangun dia sadar akan posisinya yang mengerikan. Menurut catatan, pasien ini dalam kondisi baik, dan sedang menuju pemulihan. Tapi dia menjadi korban perdukunan eksperimen medis. Terjadi penggunaan baterai listrik, dan tiba-tiba dia tewas dalam salah satu sawan esktase yang disuperinduksikan oleh baterai. Meski begitu, penyebutan baterai listrik mengingatkanku pada sebuah kasus relevan yang terkenal dan luar biasa, di mana aksinya menjadi sarana menghidupkan kembali seorang pengacara belia asal London, yang telah dikebumikan selama dua hari. Ini terjadi pada 1831, dan menciptakan kegegeran hebat di mana saja itu dijadikan bahan obrolan. Si pasien, Tn. Edward Stapleton, mati akibat demam tipus, disertai beberapa gejala aneh yang membuat heran para petugas medis. Setelah kematiannya, teman-temannya diminta menyetujui pemeriksaan post mortem, tapi menolak. Sebagaimana sering terjadi ketika timbul penolakan seperti ini, para dokter praktek memutuskan untuk menggali jasad dan membedahnya di waktu luang, secara pribadi. Rencana dijalankan bersama beberapa korps pencuri mayat yang membludak di London. Pada malam ketiga pasca penguburan, jasad itu digali dari makam sedalam delapan kaki, dan disimpan di kamar operasi salah satu rumah sakit swasta. Dilakukan pengirisan di daerah perut, sementara tampilan subjek yang segar dan utuh menganjurkan penggunaan baterai. 11
Satu eksperimen menggantikan eksperimen lain, dan efek-efek lumrah berselang-seling, tanpa ciri khas dari segi apapun, kecuali kemiripan gerakan kejang dalam satu atau dua kesempatan. Malam semakin larut. Sebentar lagi fajar. Akhirnya dinilai lebih praktis untuk segera beranjak ke pembedahan. Akan tetapi, seorang mahasiswa ingin sekali menguji teorinya sendiri, dan bersikeras menggunakan baterai pada salah satu otot dada. Dibuatlah luka tetak kasar, dan sebuah kabel disambungkan tergesa-gesa. Lalu si pasien, dengan gerak tergopoh tapi tidak kejang, bangkit dari meja, melangkah ke tengah-tengah lantai, memandang gelisah ke sekelilingnya selama beberapa detik, dan kemudian—bicara. Apa yang dia katakan sulit dimengerti, tapi ada pengucapan kata-kata, pembagian sukukatanya jelas. Usai bicara, dia ambruk ke lantai. Untuk beberapa lama semuanya lumpuh ketakutan—tapi urgensi kasus segera memulihkan kesadaran mereka. Dipahami bahwa Tn. Stapleton masih hidup, meski pingsan. Begitu ditunjuki langit, dia hidup lagi dan cepat-cepat dikembalikan kepada kesehatannya, juga kepada teman-temannya. Namun, semua pengetahuan tentang resusitasinya disembunyikan dari mereka, hingga tak lagi terlihat kekambuhan. Keheranan mereka— ketakjuban mereka—dapat dibayangkan. Kejanggalan paling menggetarkan dari insiden ini terdapat dalam penegasan Tn. S sendiri. Dia menyatakan tidak pernah pingsan sama sekali—bahwa, dengan tumpul dan linglung, dia menyadari segala sesuatu yang terjadi padanya, sejak saat 12
dinyatakan mati oleh para dokter hingga saat dia jatuh pingsan di lantai rumah sakit. “Aku masih hidup,” adalah kata-kata yang berusaha dia ucapkan dalam kondisi ekstrimnya begitu mengenali suasana kamar bedah. Mudah saja melipatgandakan riwayat semacam ini—tapi aku menahan diri, sebab kita tak perlu berbuat demikian untuk menunjukkan fakta bahwa penguburan prematur memang terjadi. Ketika merenung betapa jarangnya itu terdeteksi, gara-gara sifat kasusnya, kita harus akui itu mungkin sering terjadi tanpa kita sadari. Sebetulnya hampir tidak pernah pekuburan dilanggar batasnya untuk tujuan apapun, sampai taraf di mana tulang kerangka tidak ditemukan dalam posisi-posisi yang membisikkan wasangka paling menakutkan. Sungguh wasangka menakutkan—tapi petaka ini lebih menakutkan! Mungkin boleh ditegaskan tanpa ragu bahwa tak ada peristiwa yang begitu pas untuk mengilhami puncak kesengsaraan jasmani dan rohani selain dikubur sebelum mati. Tindihan tak tertahankan atas paru-paru—uap tanah lembab mencekik—pakaian kematian melekat—rangkulan kaku rumah sempit—hitamnya Malam mutlak—kesunyian membanjir bagai laut—keberadaan Cacing Penakluk gaib tapi nyata—semua ini, serta bayangan akan udara dan rumput di atas, serta kenangan akan teman-teman baik yang siap bergerak cepat untuk menyelamatkan kita andai mereka tahu nasib kita, serta kesadaran bahwa mereka tak pernah bisa tahu nasib ini—bahwa jatah putus asa kita adalah jatah orang mati sungguhan—semua pertimbangan ini, kubilang, memasukkan 13
derajat horor amat buruk dan berat ke dalam jantung yang masih berdebar, horor yang olehnya imajinasi paling berani sekalipun pasti kecut. Kita tidak tahu ada sesuatu yang begitu menyiksa di Bumi—kita tidak bisa bayangkan ada sesuatu yang begitu menyeramkan di alam Neraka paling bawah. Dan alhasil semua narasi tentang topik ini punya daya tarik mendalam; daya tarik yang, berkat kekaguman sakral terhadap topik ini sendiri, sangat sepantasnya dan sangat seganjilnya bergantung pada keyakinan kita akan kebenaran materi narasi. Apa yang akan kupaparkan sekarang adalah pengetahuan aktualku sendiri—pengalaman nyata dan pribadiku sendiri. Selama beberapa tahun aku diserang penyakit aneh yang para dokter sepakati sebagai katalepsia, karena ketiadaan gelar yang lebih definitif. Meski penyebab langsung dan penyebab pengantar, dan bahkan diagnosa penyakit ini, masih misterius, karakter nyata dan kentaranya cukup dipahami dengan baik. Variasinya bertingkat. Kadang pasien berbaring, selama satu hari, atau bahkan lebih pendek, dalam sejenis kelesuan berlebihan. Dia tak sadar dan secara lahir tak bergerak; tapi debaran jantung masih nampak sayup-sayup; jejak kehangatan masih ada; sedikit rona bertahan di tengah-tengah pipinya; dan, saat bibirnya didekatkan ke cermin, kita bisa mendeteksi gerak paru-paru yang lamban, tak teratur, terombang-ambing. Di sisi lain terdapat kondisi tak sadarkan diri selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan; sementara itu pemeriksaan paling seksama, dan pengujian medis paling teliti, gagal menetapkan perbedaan pokok antara status penderita dan apa 14
yang kita anggap kematian mutlak. Biasanya, dia diselamatkan dari penguburan prematur semata-mata oleh pengetahuan temantemannya bahwa dia pernah terserang katalepsi, oleh kecurigaan yang
timbul kemudian,
dan,
terutama, oleh
tak
adanya
pembusukan. Kemajuan penyakit ini untungnya sedikit demi sedikit. Manifestasi pertama biasa saja, meski nyata. Sawan semakin khas, dan semakin lama daripada sebelumnya. Di dalamnya terdapat keselamatan dari aksi penguburan. Orang tak beruntung, dengan serangan pertama bersifat ekstrim yang terkadang dijumpai, hampir pasti akan dikirim ke kubur hiduphidup. Kasusku sendiri berbeda dalam hal detil sepele dari kasuskasus yang disinggung oleh buku medis. Kadang, tanpa sebab kentara, aku tenggelam sedikit demi sedikit ke dalam kondisi setengah sinkop, atau setengah pingsan. Dalam kondisi ini, tanpa rasa sakit, tanpa sanggup bergerak atau tegasnya berpikir, tapi sadar tak sadar akan eksistensiku atau kehadiran orang-orang di sekitar tempat tidur, aku bertahan hingga krisis penyakit itu mengembalikanku secara tiba-tiba ke penginderaan sempurna. Di lain waktu aku terpukul pesat dan cepat. Aku mual, dan kebas, dan dingin, dan pening, dan jatuh lemas seketika. Lantas bermingguminggu segalanya hampa, dan hitam, dan sunyi, dan Kenihilan menjadi jagat raya. Pembinasaan total tidak mungkin lagi. Akan tetapi dari serangan ini aku bangun dengan gradasi lambat jika dibandingkan dengan kesontakan sawan. Persis sebagaimana pagi menyingsing kepada pengemis tuna wisma dan tuna kawan yang 15
mengembara di jalanan sepanjang malam musim dingin panjang dan sepi—dengan begitu payah—dengan begitu lelah—dengan begitu cerah kembalilah cahaya Jiwa kepadaku. Tapi meski condong pada kondisi tak sadarkan diri, kesehatan umumku tampak bagus. Aku tidak merasa terjangkit oleh penyakit endemis—kecuali kalau keanehan pada tidur normalku dianggap sebagai hasil superinduksi. Sebangunnya dari tidur, aku tak pernah bisa langsung menguasai panca inderaku, selalu bingung dan suntuk selama bermenit-menit; kemampuan mental secara umum, tapi ingatan secara khusus, ada dalam kondisi terkatung-katung sama sekali. Dalam semua hal yang kupikul tidak terdapat penderitaan fisik, melainkan kesusahan batin tiada hingga. Fantasiku jadi berkaitan dengan kubur. Aku bicara “soal cacing, pusara dan prasasti nisan”. Aku hanyut dalam lamunan kematian, dan ide penguburan prematur
terus
merasuki
otakku. Angkernya
Bahaya
itu
menghantuiku siang-malam. Dalam kondisi kesatu, siksaan tafakur terlalu
berat—dalam kondisi
kedua, paling
berat.
Ketika
Kegelapan suram meliputi Bumi, maka, dengan teror pikiran, aku pun gemetar—gemetar seperti bulu-bulu bergetar di atas peti jenazah. Ketika Alam tak sanggup lagi terjaga, maka dengan susah-payah aku bersedia tidur—sebab aku ngeri membayangkan diriku, saat bangun, adalah penghuni sebuah kubur. Dan saat akhirnya tenggelam ke dalam tidur, aku justru langsung menyerbu dunia hantu, yang di atasnya melayang berkuasa sebuah ide kekuburan dengan sayap-sayap lebar, muram, membayangi. 16
Dari banyaknya citra kegelapan yang menindasku dalam mimpi, kupilih satu penampakan tersendiri sebagai catatan. Menurut pendapatku, aku terbenam dalam kondisi katalepsi dengan durasi dan kedalaman lebih dari biasanya. Tahu-tahu ada tangan dingin menyentuh keningku, dan suara ricauan tak sabar membisikkan kata “Bangun!” ke dalam telingaku. Aku pun duduk tegak. Gelap gulita. Aku tak bisa lihat sosok orang yang telah membangunkanku. Aku tak bisa ingat kapan aku jatuh ke dalam kondisi tak sadar, atau di mana aku berbaring waktu itu. Selagi aku tak bergerak, dan sibuk menghimpun pikiran, tangan dingin itu menyambar pergelangan tanganku dengan sengit, menggoncangnya dengan kesal, sementara suara ricauan tadi berkata lagi: “Bangun! Bukankah sudah kuperintah bangun?” “Siapa,” tanyaku, “kau?” “Aku tak punya nama di wilayah yang kuhuni,” balas suara itu murung, “dulu aku manusia, tapi sekarang setan. Dulu aku tak kenal belas kasih, tapi sekarang patut dikasihani. Kau tentu merasa aku gemetar. Gigiku bergemertuk selagi aku bicara, tapi itu bukan karena dinginnya malam—malam tanpa ujung. Tapi kengerian ini tak tertahankan. Bagaimana bisa kau tidur tenang? Aku tak bisa istirahat gara-gara jeritan kesakitan hebat itu. Pemandangan ini melebihi kesanggupanku. Bangun! Ikut aku menuju Malam di luar, dan biar kutunjukkan padamu kubur-kubur itu. Bukankah ini pemandangan mengagetkan?—Lihat!” Aku menengok; dan sosok gaib itu, yang masih mencengkeram 17
pergelanganku, telah menyebabkan dibukanya kuburan semua manusia, dan dari masing-masingnya keluar pancaran redup fosfor kebusukan, sehingga aku bisa lihat ke dalam ceruk-ceruk terdalam, dan di sana memandang tubuh-tubuh berkafan dalam tidur sedih dan suram bersama cacing. Tapi, celaka! Sesungguhnya yang tidur lebih sedikit, dengan selisih berjuta-juta, daripada mereka yang tidak tidur sama sekali; dan terdapat rontaan lemah; dan terdapat keresahan umum; dan dari kedalaman lubang-lubang tak terbilang datanglah kemurungan yang berdesir dari pakaian orang-orang dikubur. Dan di antara mereka yang tampak tenang berbaring, kulihat banyak orang sudah mengubah posisi kaku dan gelisah ketika dikebumikan semula, dengan kadar lebih atau kurang. Lantas suara itu berkata lagi padaku, selagi aku memandang: “Bukankah—oh, bukankah itu pemandangan menyedihkan?” Tapi sebelum sempat kutemukan kata-kata untuk menjawab, sosok itu tak lagi mencengkeram pergelanganku, cahaya-cahaya fosfor padam, kuburan-kuburan ditutup dengan keras mendadak, sementara dari mereka timbul huru-hara jeritan putus asa, dan dia berkata lagi, “Bukankah—oh, Tuhan! Bukankah itu pemandangan menyedihkan?” Fantasi-fantasi seperti ini, hadir di malam hari, memperluas pengaruh seram mereka jauh ke dalam jam-jam terjagaku. Urat syarafku jadi lemah, aku jadi mangsa horor abadi. Aku enggan berkendara, atau berjalan, atau memanjakan diri dalam kegiatan yang membawaku keluar dari rumah. Malah, aku tak berani lagi percaya pada diriku sendiri akibat keberadaan orang-orang yang 18
tahu kerentananku terhadap katalepsi. Aku khawatir, jika mengalami sawan seperti biasa, aku akan dikubur sebelum kondisiku dipastikan. Aku ragu dengan kepedulian, kesetiaan teman-teman terdekatku. Aku takut, dalam suatu kondisi tak sadarkan diri yang lebih panjang dari biasanya, mereka akan terbujuk untuk mengakui bahwa aku tak bisa dipulihkan. Aku bahkan khawatir, karena sudah banyak merepotkan, mereka akan gembira menganggap sawan singkat apapun sebagai alasan yang cukup untuk menyingkirkanku sama sekali. Sia-sia saja mereka menenangkanku dengan janji paling khidmat. Aku menuntut sumpah paling sakral, bahwa dalam keadaan apapun mereka takkan menguburku sampai pembusukan telah tampak begitu nyata sehingga tidak memungkinkan pengawetan lebih lanjut. Dan, saat itu pun, teror mautku takkan mendengar alasan—takkan menerima hiburan. Kuambil sederet langkah pencegahan terperinci. Di antaranya, aku merombak kubah kuburan keluarga agar dapat dibuka dari dalam. Tekanan sekecil apapun pada tuas panjang yang menjulur jauh ke dalam pusara akan membuat gerbang besi berkepak ke belakang. Ada pula rencana untuk masukan hawa dan cahaya, dan wadah pas untuk makanan dan air, dalam jangkauan peti. Peti ini dipasangi bantalan hangat dan empuk, dan dilengkapi tutup, dibentuk menurut prinsip pintu kubah, dengan tambahan pegas yang dirancang sedemikian rupa agar pergerakan tubuh sesedikit apapun cukup membuatnya terbebas. Selain ini semua, sebuah lonceng besar tergantung dari atap pusara, yang talinya dirancang menjulur lewat lubang di peti, dan terikat pada salah 19
satu tangan mayat. Tapi celaka! apa manfaatnya waspada terhadap Takdir manusia? Perlindungan terencana ini bahkan tidak memadai untuk menyelamatkan orang malang dari derita ekstrim dikubur hidup-hidup yang ditakdirkan atasnya! Datang sebuah masa—sebagaimana sudah sering datang—di mana kudapati diriku bangkit dari ketidaksadaran total ke dalam rasa eksistensi sayup samar awal. Pelan-pelan—dengan gradasi kura-kura—menyingsinglah fajar kelabu redup hari psikis. Kegelisahan lamban. Ketahanan apatis atas nyeri menjemukan. Tiada peduli—tiada asa—tiada upaya. Terus, usai jeda panjang, sebuah dering di kuping; terus, usai selingan lebih panjang, sebuah sensasi tusukan atau geli di tangan dan kaki; terus sebuah periode kepasifan nyaman yang terasa abadi, dan selama itu perasaanperasaan terjaga berebut masuk ke dalam pikiran; terus sebuah ketenggelaman ulang singkat ke dalam ketidakberartian; terus kepulihan tiba-tiba. Terakhir gemetar ringan kelopak mata, dan segera kemudian kejut listrik teror maut dan saru yang mengirim berarus-arus darah deras dari pelipis ke jantung. Dan kini upaya tegas pertama untuk berpikir. Dan kini usaha pertama untuk mengingat. Dan kini keberhasilan parsial dan fana. Dan kini ingatan kembali berkuasa begitu kuat hingga aku sadar akan kondisiku dalam kadar tertentu. Aku merasa tidak sedang bangun dari tidur biasa. Aku ingat, aku terserang katalepsi. Dan kini, akhirnya, jiwa menggigilku dibanjiri oleh satu Bahaya suram— bagai arus samudera—oleh satu Gagasan remang dan merajalela. Untuk beberapa menit setelah khayalan ini merasuk, aku tetap 20
tak bergerak. Kenapa? Aku tak sanggup menghimpun keberanian untuk bergerak. Aku tak berani meyakinkan diriku akan nasibku— tapi ada sesuatu di hatiku yang membisikkan itu pasti. Keputusasaan—yang belum pernah terjelma oleh spesies malang lain—keputusasaan belaka mendesakku agar mengangkat kelopak berat mataku pasca kebimbangan panjang. Kuangkat mereka. Gelap—serba gelap. Aku tahu sawan sudah berakhir. Aku tahu krisis penyakitku sudah lama berlalu. Aku tahu kini indera penglihatanku
sudah
kembali—tapi
gelap—serba
gelap—
kegulitaan Malam pekat dan mutlak bertahan untuk selamanya. Aku berusaha menjerit, bibirku dan lidah keringku bergerak kejang serempak dalam upaya itu. Tapi tak sedikitpun suara keluar dari paru-paru mirip gua yang megap-megap dan berdebar-debar bersama jantung—seolah tertindas oleh beban gunung petahana— di setiap hirupan nafas panjang-lebar dan susah-payah. Gerakan rahang, dalam usaha berteriak ini, menunjukkan padaku bahwa mereka terikat, seperti umumnya orang mati. Aku juga merasa berbaring di atas suatu bahan keras, dan pinggangku terimpit oleh suatu bahan serupa. Sejauh ini aku belum berani menggerakkan satu tungkai pun—tapi kini dengan kasar kuangkat kedua lengan, yang selama ini terulur dengan pergelangan bersilang. Keduanya menghantam bahan kayu padat, yang terhampar di atas tubuhku dengan ketinggian enam inchi kurang dari wajahku. Aku tidak ragu lagi, aku berbaring di dalam sebuah peti, akhirnya. Dan sekarang, di tengah semua kesengsaraan ananta, datanglah 21
Asa rupawan dengan manisnya—aku tersadar akan langkah pencegahanku. Aku menggeliat, dan mengerahkan tenaga secara tak teratur untuk membuka paksa tutupnya: ia tak mau bergerak. Aku meraba-raba pergelangan, mencari tali lonceng: ia tak ditemukan. Sekarang Penghibur lenyap selamanya, Keputusasaan lebih buruk merajalela penuh kejayaan; mau tak mau aku merasakan tak adanya bantalan yang sudah kusiapkan begitu cermat—dan juga cuping hidungku didatangi bau khas tanah lembab yang kuat. Kesimpulannya tak tertahankan. Aku bukan di dalam kubah. Aku jatuh tak sadarkan diri selagi di luar rumah— selagi berada di antara orang-orang asing—kapan, atau bagaimana, aku tidak ingat—dan merekalah yang menguburku seperti seekor anjing—ditutup dengan dipaku di dalam suatu peti biasa—dan didorong, dalam, dalam, dan terus dalam, ke dalam suatu kuburan umum tak dikenal. Sementara keyakinan dahsyat ini mendesak ke dalam bilikbilik jiwaku yang terdalam, sekali lagi aku berjuang untuk berteriak lantang. Dan dalam usaha kedua ini aku berhasil. Sebuah jeritan atau pekikan derita yang panjang, liar, dan berketerusan menggaung ke segenap dunia Malam bawah tanah. “Halo! Halo, di situ!” balas sebuah suara kasar. “Ada apa lagi sekarang?” kata suara kedua. “Keluar dari situ!” kata suara ketiga. “Apa maksudmu meraung dengan gaya jenis itu, seperti kucing liar?” kata suara keempat. Lantas aku dicengkeram dan digoncang tanpa formalitas, selama beberapa menit, oleh sekomplot orang 22
bertampang kasar. Mereka tidak membangunkanku dari tidur— sebab aku sedang terjaga saat menjerit—tapi mereka mengembalikanku ke dalam kekuasaan ingatanku. Petualangan ini terjadi dekat Richmond, di Virginia. Ditemani seorang sahabat, aku terus maju beberapa mil di tepi Sungai James dalam ekspedisi perburuan bersenjata. Malam menjelang, dan kami dilanda badai. Kabin kapal jaga kecil yang sedang berlabuh di sungai, bermuatan tanah empuk dan subur untuk taman, menjadi satu-satunya tempat berlindung yang tersedia. Kami manfaatkan itu sebaik-baiknya, dan melewatkan malam di atasnya. Aku tidur di salah satu dari dua tempat tidur di dalam kapal—dan tempat tidur sebuah kapal jaga berbobot enam puluh atau tujuh puluh ton hampir tak perlu dideskripsikan. Yang kutempati tidak memiliki selimut apapun. Lebar ekstrimnya delapan belas inchi. Jarak dari dasar ke dek di atas kepala persis sama. Ternyata sulit sekali menjejalkan tubuh di situ. Meskipun begitu aku tidur lelap. Seluruh pandangan ilusiku—itu bukan mimpi, dan bukan mimpi buruk—timbul sepantasnya dari keadaan posisiku—dari bias lumrah pikiranku—dan dari kesulitan, yang sudah kusinggung, dalam mengumpulkan panca inderaku, terutama dalam meraih kembali ingatanku, untuk waktu yang lama usai terbangun dari tidur. Orang-orang yang menggoncangku adalah awak kapal jaga, serta beberapa buruh yang diupah untuk membongkar muatan. Dari muatan itu sendiri datang aroma tanah. Perban seputar rahang adalah saputangan sutera yang dengannya aku membalut kepala, karena ketiadaan peci tidur biasa. 23
Namun siksa-siksa yang diderita itu tentu setara, untuk sementara, dengan siksa penguburan sungguhan. Mereka amat— mereka teramat menyeramkan; tapi dari Keburukan timbul Kebaikan: perbuatan keterlaluan mereka menempa reaksi tak terhindari dalam rohku. Jiwaku mendapat nada—mendapat semangat. Aku pergi ke luar negeri. Aku melakoni kegiatan bertenaga. Aku menghirup udara bebas Surga. Aku memikirkan subjek-subjek lain daripada Kematian. Aku membuang buku-buku kedokteran. Aku membakar karya-karya Buchan. Aku tak membaca Night Thoughts—tak ada omong besar tentang halaman gereja—tak ada kisah-kisah momok—seperti ini. Singkatnya, aku menjadi manusia baru, dan menjalani kehidupan manusia. Semenjak malam penuh kenangan itu, kubuang selamanya kecemasanku terkait kuburan, dan bersamanya lenyap penyakit katalepsiku. Kecemasan tersebut adalah sebab penyakitku, bukan akibatnya. Ada momen-momen ketika, di mata Nalar yang waras sekalipun, dunia Kemanusiaan pilu kita menyandang kemiripan dengan Neraka—tapi imajinasi manusia bukanlah Carathis, menjelajahi setiap guanya dengan impunitas. Celaka! legiun kejam teror kubur tidak boleh dianggap khayali sama sekali—tapi, seperti para Iblis yang mengiringi Afrasiab mengarungi Oxus, mereka harus tidur, atau akan mengganyang kita—mereka harus dibiarkan tidur, atau kita binasa.
24