Diterbitkan pada: Jurnal Metropilar, Volume 7 Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari ISSN : 2085-6962
http://ojs.uho.ac.id/index.php/metropilar TERITORIALITAS PADA PEMANFAATAN RUANG TERBUKA PUBLIK KAWASAN PASAR SORE YOGYAKARTA Fuad Zubaidi1 Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako
[email protected]
Abstrak Kawasan Malioboro merupakan salah satu daerah pertumbuhan ekonomi dan pariwisata yang paling mendukung pertumbuhan Kota Yogyakarta, karena berperan penting sebagai mata rantai elemen-elemen pertumbuhan ekonomi dan pariwisata sehingga memiliki daya tarik yang sangat kuat. Salah satu diantara pendukung aktivitas keramaian di Kawasan Malioboro, terdapat Pasar Sore, Pasar Senthir, Jalan Pabringan, dan penggal Jalan Ahmad Yani yang mempunyai karakter khas dan selalu ramai di setiap waktu. Wilayah tersebut selain berfungsi sebagai ruang publik yang dimanfaatkan sebagai taman parkir dan sirkulasi juga digunakan sebagai sektor informal yang mendorong lahirnya upaya adaptasi perilaku terhadap perubahan lingkungan yang terjadi, mendorong terbentuknya usaha teritorialitas guna mempertegas batas-batas fisik maupun non fisik yang berpotensi menyebabkan terjadinya diskrepansi teritori penggunaan ruang publik. Penelitian ini bertujuan melihat fenomena teritorialitas pada pemanfaatan ruang publik di kawasan taman parkir/ pasar sore Malioboro berdasarkan aspek-aspek perilaku lingkungan serta fungsi ruang publik; yang menyangkut masalah “teritorialitas sebagai atribut perilaku”, “teritorialitas sebagai perisai pelindung (mekanisme defensif)”, teritorialitas sebagai dominasi dan kontrol”, serta penilaian fungsi ruang publik berdasarkan persepsi pengguna ruang. Dari hasil analisis serta pembahasan ditemukan ada 11 pengguna teritori yang ada sebagai salah satu atribut perilaku teritorialitas dalam pemanfaatan ruang publik. Dari hal tersebut ditemukan bentuk kualitas Teritorialitas antar pengguna teritori yang ada pada kawasan pasar sore Malioboro. Kata Kunci : Teritorialitas, Ruang Publik, dan Pasar Sore PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan manusia dalam ruang-ruang terbuka publik membutuhkan setting/wadah kegiatan berupa ruang. Ada dua belas atribut yang muncul dari interaksi manusia dan lingkungan yaitu; kenyamanan, sosialitas, visibilitas, aksesibilitas, rangsangan inderawi, kontrol, aktivitas, kesesakkan, adaptabilitas, makna dan legabilitas. Pendekatan melalui pemahaman tentang faktor privasi, rasa keruangan, dan perilaku teritorial yang mempengaruhi persepsi tentang environmental comfort dan kualitas lingkungan merupakan dasar pengetahuan yang ditawarkan dalam mengantisipasi kemungkinan kekurang berhasilan suatu desain arsitektural. Kebutuhan 1
privasi dan teritori adalah universal dan mempunyai kontribusi dalam hubungannya dengan kebutuhan manusia seperti rasa aman, afiliasi, dan penghargaan ini disadari dan perlu mendapat perhatian karena bagaimanapun tentu ada perbedaan perilaku pada tiap masyarakat beserta karakternya dalam pengolahan bentuk yang mengekspresikan kebutuhan dan mekanisme penggunaan tempatnya berperilaku Kebutuhan privasi dan teritori adalah universal dan mempunyai kontribusi dalam hubungannya dengan kebutuhan manusia seperti rasa aman, afiliasi, dan penghargaan ini disadari dan perlu mendapat perhatian karena bagaimanapun tentu ada perbedaan perilaku pada tiap masyarakat beserta karakternya dalam pengolahan bentuk yang mengekspresikan
Dosen Tetap Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako
Diterbitkan pada: Jurnal Metropilar, Volume 7 Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari ISSN : 2085-6962
http://ojs.uho.ac.id/index.php/metropilar kebutuhan dan mekanisme penggunaan tempatnya berperilaku. Brower (1976), berpendapat bahwa teritorialitas merupakan hubungan individu atau kelompok dengan setting fisiknya, yang dicirikan oleh rasa memiliki dan upaya kontrol terhadap penggunaan ruang. Pengertian kontrol oleh Altman (1975) diartikan dengan mekanisme mengatur batas antara orang yang satu dengan lainnya melalui penandaan atau personalisasi untuk menyatakan bahwa tempat tersebut ada yang memilikinya. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa masalah teritorialitas berkaitan erat dengan ruang yang memiliki fungsi ganda antara kepentingan publik dan privat, diantaranya adalah ruang terbuka publik di kawasan Pasar Sore kota Yogyakarta. Tekanan pembangunan terhadap keberadaan ruang-ruang terbuka publik di perkotaan, mendorong lahirnya upaya adaptasi perilaku terhadap perubahan lingkungan yang terjadi, mendorong terbentuknya usaha teritorialitas untuk mempertegas batas-batas fisik maupun non fisik yang memisahkan mereka hal berpotensi besar meyebabkan terjadinya masalah teritorialitas penggunaan ruang terbuka menyangkut bagaimana pola perilaku sebagai suatu usaha mengekspresikan keinginan dan kebutuhan diwujudkan dalam perilaku teritorialitas .
Jhon Zeisel (1981) yaitu dengan pengamatan perilaku (Observing Behaviour), dan pengamatan jejak fisik (Observing Physical Traces). Disamping kedua hal tersebut ditambahkan dengan metode wawancara. Ketiga metode tersebut di pandang cukup tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini, selain mudah untuk dilakukan, kredibilitas dapat dicapai dengan pengulangan pengamatan serta dapat mengungkapkan kejadian – kejadian yang mungkin jarang terjadi atau sulit diamati atau diketahui
Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, timbul pertanyaan apakah fenomena teritorialitas , terjadi pada pemanfaatan ruang terbuka publik di pasar sore kawasan Malioboro ?, Hal tersebut seharusnya dapat di tinjau dan di lakukan penelitian lebih lanjut bagaimana sebenarnya isu masalah teritorialitas pada pemanfaatan ruang terbuka di perkotaan khususnya di kawasan pasar sore Malioboro. Hal tersebut jika dikaji, menimbulkan beberapa pertanyaan, bagaimana fenomena teritorialitas yang terjadi pada lokus amatan ?, faktor apa yang menyebabkan terjadinya perilaku teritorialitas pada ruang terbuka dan pelaku yang terlibat dalam fenomena perilaku teritorialitas di kawasan Pasar Sore ?
Definisi diatas menyatakan karakter dasar dari suatu teritori yaitu tentang : Kepemilikan dan tatanan tempat, personalisasi atau penandaan wilayah, taturan atau tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan, dan kemampuan berfungsi yang meliputi jangkauan kebutuhan fisik dasar sampai kepuasan kognitif dan kebutuhan estetika. Porteous, (1977) menyatakan teritorialitas adalah sebagai batas dimana organisme hidup menentukan teritori dan mempertahankannya, terutama dari kemungkinan intervensi atau agresi pihak lain. Konsep ini pada awalnya dikembangkan untuk organisme hidup bukan manusia. Brower (1976; dalam buku Altman et. Al, 1980 ), memaparkan bahwa teritorialitas merupakan hubungan Individu atau kelompok dengan setting fisiknya, yang dicirikan oleh rasa memiliki, dan upaya kontrol terhadap penggunaan dari interaksi yang tidak diinginkan
Metode Penelitian Metode penelitian dengan menggunakan pengamatan perilaku yang dikembangkan oleh
TINJAUAN TEORI Teritori dan Teritorialitas Teritori merupakan suatu pembentukan wilayah untuk mencapai privasi yang optimal yang diupayakan dengan menyusun kembali setting fisik atau pindah kewilayah lain. Altman (1975)menyatakan : … a territory is a delimited space that a person or a group uses and defends as an exclusive preserve. It involves psychological identification with a place, symbolizedby attitudes of possessiveness and arrangement of objects in the area….
Lebih lanjut Irwin Altman menyatakan bahwa : … Territorial behaviour is a self-other boundary regulation mechanism that involves personalization of or marking a place or object and communication that it is owned by a person or group.
Diterbitkan pada: Jurnal Metropilar, Volume 7 Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari ISSN : 2085-6962
http://ojs.uho.ac.id/index.php/metropilar melalui kegiatan penempatan, mekanisme defensif dan keterikatan. Pengertian kontrol oleh Altman (1975) diartikan dengan mekanisme mengatur batas antara orang yang satu dengan lainnya melalui penandaan atau personalisasi untuk menyatakan bahwa tempat tersebut ada yang memilikinya. Personalisasi menurut Altman (1975) adalah pernyataan kepemilikan individu, atau kelompok terhadap suatu tempat, melalui tanda-tanda inisial diri. Pernyataan kepemilikan tersebut bisa secara konkrit (wujud fisik) atau simbolik (non fisik). Uraian-uraian di atas memberikan pengertian yang lebih terinci lagi mengenai teritorialitas, yaitu upaya-upaya individu atau kelompok dalam melakukan kontrol terhadap ruang kegiatannya melalui mekanisme defensif. Konsep teritori lebih menekankan pada kategori dilihat pada aktor pengguna secara individu maupun kelompok. Konsep teritori pada ruang publik diperlukan untuk membedakan teritori berdasar pengguna/aktor pelaku kegiatan. Tipe Teritori Pembedaan tipe teritori lebih menekankan pada luasan area cakupan oleh pengguna/aktor pelaku baik yang dikontrol oleh sesorang/sekelompok orang sampai pada cakupan yang lebih luas yang dikontrol oleh publik/masyarakat dengan batas imajiner. Penggunaan ruang publik dapat dibagi menjadi beberapa tipe teritori, dimana pada ruang publik terjadi beberapa kepentingan dari pengguna ruang, baik secara individu maupun sekelompok individu maupun masyarakat bebas yang mengunakan ruang tadi. Brower (1976) membedakan teritori kedalam empat tipe, yaitu: (a) Teritori personal, (b) Teritori komunitas, (c) Teritori masyarakat, dan (d) Teritori bebas. Teritori personal dikontrol secara individual atau kelompok. Anggota kelompok merupakan anggota yang mempunyai ikatan hubungan yang sangat dekat seperti hubungan karena perkawinan atau hubungan karena pertalian darah. Hak-hak kepemilikan sangat kuat dan dilindungi oleh hukum. Tanda-tanda pemilikan personal bersifat lebih pribadi dibanding yang lain dan seringkali ditandai dengan identias pemilik itu sendiri seperti menempatkan foto keluarga, atau piagampiagam. Teritori komunitas dikontrol oleh kelompok yang anggotanya kadang berubah, tetapi setiap
anggota telah melalui suatu proses penyaringan dan kadangkala dilakukan upacara pelantikan dalam penerimaan anggota tersebut. Hal ini dilakukan adalah untuk memperjelas perbedaan antara anggota kelompok dengan orang diluar kelompok. Klaim terhadap teritori komunitas ini biasanya tarjadi akibat dari keterlibatan masingmasing individu di dalam suatu setting fisik tersebut. Teritori masyarakat dikontrol oleh masyarakat umum dan terbuka untuk umum, termasuk juga tempat-tempat milik umum seperti sebuah jalan raya, dan juga tempat-tempat yang bukan milik umum seperti ruang tunggu di terminal, ruang pertunjukan di bioskop dan sebagainya. Pelarangan dan kontrol kurang bebas dilakukan dibanding dengan tipe-tipe pemilikan sebelumnya. Hal tersebut dilakukan melalui peraturan atau norma yang datang dari masyarakat, peraturan tersebut dapat berdasarkan perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, atau perbedaan ras. Teritori bebas tidak memiliki penghuni yang tetap, dan keberadaan subyek tidak dibawah larangan atau kontrol pihak tertentu. Peraturanperaturan yang menuntun perilaku adalah ditentukan sendiri atau berdasarkan kekuatan alam atau karena norma-norma kesusilaan. Teritori ini dicirikan oleh tidak terdapatnya tanda-tanda teritorial oleh karenanya larangan atau kontrol yang muncul lebih dikarenakan eksplorasi dan imajinasi penghuninya, ia dapat sangat menyenangkan, tetapi bisa juga sangat menakutkan. Teritori sebagai Atribut Perilaku Teritorialitas merupakan atribut perilaku yang menggambarkan hubungan antara individu (termasuk kumpulan individu-individu yang membentuk kelompok atau grup) dan institusi atau organisasi dalam satu sistem interaksi yang mengikutsertakan ruang atau setting kegiatan.
Skema Hubungan antara Individu, Institusi, Setting Sumber : Weissman, 1981
Diterbitkan pada: Jurnal Metropilar, Volume 7 Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari ISSN : 2085-6962
http://ojs.uho.ac.id/index.php/metropilar Individu atau kelompok-kelompok individu sebagai aktor/pengguna mempunyai kepentingan dan aktivitas yang berbeda dalam suatu setting tertentu. Pengertian operasional unsur-unsur teritorialitas menunjukkan bahwa kegiatan termasuk di dalamnya hasil kegiatan, menjadi obyek utama dalam penelitian ini. Institusi/Organisasi penentu kebijaksanaan yang mempengaruhi kelompok dan kepentingan mereka. Organisasi terdiri dari sektor formal dan sektor informal yang terkait dengan suatu kegiatan dalam satu setting. Ruang, sebagai setting merupakan wadah dimana suatu aktivitas terjadi. Lingkungan tidak sekadar fisikal tetapi juga merupakan aktivitas yang ada di dalamnya. Ruang, Lingkungan terdiri dari komponen dan properti. Lingkungan tidak sebatas tempat untuk mewadahi sesuatu, tetapi juga apa yang terwadahi baik fisik maupun non fisik. Komponen ruang meliputi elemen yang ada pada ruang, tidak sekadar bentuk fisik tetapi juga menyangut warna, teksture, permukaan, material. Properti menekankan fungsi/kegunaan dari masing-masing komponen yang ada pada ruang. Properti berkaitan dengan pengguna dari suatu komponen ruang. Teritori Sebagai Perisai Pelindung Individu atau kelompok rela melakukan tindakan agresi demi melindungi teritorinya, maka kelihatannya teritori tersebut memiliki beberapa keuntungan atau hal yang dianggap penting. Kebenaran dari kalimat ” Home Sweet Home”, telah diuji dalam berbagai eksperimen. Penelitian mengenai teritori primer, skunder, dan publik menunjukkan, bahwa orang cenderung merasa memiliki kontrol terbesar pada teritori primer, dibanding dengan teritori sekunder maupun teritori publik. Ketika individu mempresepsikan daerah teritorinya sebagai daerah kekuasaannya, itu berarti mempunyai kemungkinan untuk mencegah segala kondisi ketidak nyamanan terhadap teritorinya. Berdasarkan hal tersebut kadang kala pelaku merasa memiliki kontrol terhadap teritori ruang dan hal tersebut diwujudkan dalam satu mekanisme definsif semacam pertahanan terhadap teritorinya. Mekanisme defensif merupakan wujud (fisik maupun non fisik) dari adanya rasa memiliki teritori berupa tindakan fisik penandaan
kepemilikan akan suatu wilayah dari gangguan/intervensi pihak lain. Mekanisme yang lain adalah dengan meninggalkan tanda-tanda pengenal diri (personalisasi), misalnya meninggalkan buku di atas meja di dalam ruang baca perpustakaan. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa mekanisme defensif meliputi kegiatan menghindar, dan mencegah (preventif) dari intervensi pihak lain yang ditandai dengan adanya unsur-unsur penempatan dan keterikatan. Teritorialitas dan Agresi Salah satu aspek yang paling menarik dari teritorialitas adalah hubungan antara teritori dan agresi. Walaupun tidak selalu disadari, teritori berfungsi sebagai pemicu agresi dan sekaligus sebagai stabilisator untuk mencegah terjadinya agresi. Salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan antara teritorialitas dan agresi adalah status dari teritori tertentu (apakah teritori tersebut belum terbentuk secara nyata atau dalam perebutan, atau sudah tertata dengan baik ). Ketika teritori belum terbentuk secara nyata, atau masih dalam perebutan agresi lebih sering terjadi. Apa akibatnya jika terjadi invasi teritori ?, Altman (1975), mengatakan bahwa atribusi yang kita pergunakan untuk menilai suatu tindakan akan menentukan respon terhadap invasi teritori tersebut hingga kita hanya akan merasakan suatu tindakan agresi pada saat kita merasakan tidak orang lain yang kita anggap mengancam. Kemudian secara umum kita memakai respon verbal, kemudian memakai cara-cara fisik seperti memasang papan atau tanda peringatan. Pelanggaran terhadap Teritori Bentuk pelanggaran teritori dapat diindikasikan adalah sebagai suatu invasi ruang. Secara fisik seseorang memasuki teritori orang lain biasanya dengan maksud mengambil kendali atas teritori tersebut. Bentuk kedua adalah kekerasan sebagai sebuah bentuk pelanggaran yang bersifat temporer atas teritori orang lain, biasanya hal ini bukan untuk menguasai teritori orang lain melainkan suatu bentuk gangguan, seperti gangguan terhadap fasilitas publik. Bentuk ketiga adalah kontaminasi, yaitu seseorang mengganggu teritori orang lain dengan meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan seperti sampah, coretan atau merusaknya.
Diterbitkan pada: Jurnal Metropilar, Volume 7 Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari ISSN : 2085-6962
http://ojs.uho.ac.id/index.php/metropilar Pertahanan yang dapat dilakukan untuk mencegah pelanggaran teritori antara lain; 1) Pencegahan seperti memberi lapisan pelindung, memberi rambu-rambu atau pagar batas sebagai antisipasi terhadap bentuk pelanggaran.2) Reaksi sebagai respon terhadap terjadinya pelanggaran, seperti menindak si pelanggar
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kasus Amatan Pasar Sore Pasar sore di kawasan Malioboro merupakan kawasan perdagangan yang menempati urutan pertama paling ramai di kota Yogyakarta. Sejalan dengan perkembangan kota, kawasan ini juga terus berkembang diakibatkan oleh faktor sosial-ekonomi , yaitu pengaruh dari keberadaan aktivitas di sekitar pasar sore dan sekitarnya yang berlangsung dari pagi hingga malam hari. Lokasi pasar sore mempunyai karakter yang unik karena pemanfaatan ruang terbuka tersebut memiliki berbagai macam fungsi pemanfaatan ruang dari taman parkir, pasar sore, sampai pada pedagang warung dan pedagang kaki lima. Pesatnya pertumbuhan aktivitas di kawasan ini ternyata berpengaruh pada terjadinya perubahan fungsi penggunaan ruang , dari peruntukannya untuk taman parkir, pasar sore, warung, sampai pedagang kaki lima yang sudah mulai melakukan ekspansi teritori penggunaan ruang tersebut. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan dari berbagai individu yang memanfaatkan ruang terbuka di pasar sore ini. Masing-masing individu pemarkir, tukang parkir, pengelola , penjual makanan dan minuman (pewarung), tukang becak, pedagang pasar, pejalan kaki dan pedagang kaki lima (PKL), akan melakukan tindakan ’perluasan dan pembatasan teritori’ pada setting fisik untuk melakukan beragam aktivitas. Aktivitas yang dilakukan oleh pelaku berakibat terjadinya perubahan fungsi pemanfaatan ruang terbuka sebagai ruang publik yang berfungsi untuk sirkulasi pejalan kaki, tempat parkir, warung, penitipan anak, pedagang pasar sampai pedagang kaki lima yang menggambarkan adanya indikasi fenomena teritorialitas.
Gambar : Setting Fisik yang mempengaruhi perilaku
Teritorialitas Sebagai Atribut Perilaku Fenomena yang terjadi di ruang terbuka publik di pasar sore , ibarat suatu sistem tata ruang, di kawasan ini telah terjadi suatu bentuk penggunaan ruang yang memiliki banyak dimensi kepentingan dari para pengguna teritori yang memanfaatkan ruang ini . Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para pengguna (Pedagang pasar sore, Pewarung, PKL, pejalan kaki/ pengunjung, tukang parkir, pemarkir dan pengelola) ‘dicirikan’ oleh rasa memiliki dan upaya kontrol terhadap penggunaan ruang. Pengertian kontrol diartikan dengan mekanisme mengatur batas antara individu yang satu dengan lainnya untuk memperjelas batas-batas kepemilikan, pertahanan ataupun penggunaan secara eksklusif ruang tersebut. Pernyataan kepemilikan terhadap suatu ruang bisa secara konkrit (bentuk fisik) atau simbolik (non fisik). Secara konkrit pernyataan kepemilikan ditandai dengan adanya penempatan dalam bentuk elemen fisik yang menyatakan suatu tempat ditempati, berupa: adanya pagar, tenda jualan, gerobak jualan, dan perbedaan material maupun peil lantai, atau dengan berbagai aktivitas yang dilakukan pelaku (Pedagang pasar sore, Pewarung, PKL, pejalan kaki/ pengunjung, tukang parkir, pemarkir dan pengelola), dan hasil kegiatan yang dilakukan. Secara abstrak/simbolik termanisfestasi dalam bentuk keterikatan tempat yakni tumbuhnya kelompok-kelompok pengguna ruang publik yang membentuk teritori. Artinya bagi para pengguna teritori, konsep teritori lebih dari sekadar tuntutan akan suatu wilayah/area (proses
Diterbitkan pada: Jurnal Metropilar, Volume 7 Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari ISSN : 2085-6962
http://ojs.uho.ac.id/index.php/metropilar memperluas) secara spasial dan fisik, namun juga menyangkut kebutuhan emosional dan kultural. Teritorialitas di lokasi pasar sore dapat dikelompokkan dalam kategori teritori sekunder dan teritori publik, didasarkan atas pertimbangan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari-hari aktor/pengguna teritori, dan frekuensi pemanfaatan area tersebut. Teritori sekunder, diantaranya teritori tenda-tenda jualan, gerobak, serta parkir dan teritori individu/ komunitas pedagang dan tukang parkir. Pada teritori sekunder ini digunakan dalam cakupan area yang relatif luas, tidak terlalu eksklusif, namun dikendalikan secara berkala oleh komunitasnya. Adapun teritori publik yang dimaksud adalah teritori pengunjung / pejalan kaki. Secara konseptual teritori ini memiliki batas fisik yang relatif jelas. Hasil analisis menunjukkan pengguna teritori yang cukup dominan yang beraktivitas di ruang terbuka pasar sore adalah pedagang pasar sore, dimana secara fisik, pedagang pasar mendominasi penempatan tenda-tenda di sekeliling ruang penempatan gerobak penyimpanan barang dagangan yang mendominasi ruang terbuka pasar sore
Faktor yang mempengaruhi pembentukan teritori Ruang terbuka publik di lokasi pasar sore, penggunaannya pada dasarnya akan dipengaruhi oleh tiga faktor yang dominan, yaitu pencapaian (accessibility) kemenarikan (attractivity) dan kelengkapan (amenities). Ketiga faktor tersebut juga mempunyai pengaruh terhadap penggunaan ruang tersebut. Dilihat dari faktor pencapaian (accessibility), area ini dilihat dari aspek lokasionalnya merupakan area shopping center yang letaknya strategis, ramai dan prospektif bagi pengembangan usaha, karena ditunjang oleh ketersediaan fasilitas publik yang tergolong memadai karena berada di pusat kota dan pusatpusat keramaian seperti jalan Malioboro, pasar Beringharjo, benteng Vredeburg serta akses ke alun-alun dan Keraton. Di samping itu area ini memiliki kedekatan letak dan keterhubungan ke area lain dengan jangkauan yang relatif luas dengan berbagai aktivitas perkotaan (aktivitas pemerintahan, aktivitas perbankan, aktivitas perbelanjaan, aktivitas kebudayaan). Letaknya yang strategis ini memberi kemudahan bagi
publik untuk mengakses berbagai fasilitas yang tersedia maupun untuk memenuhi kebutuhan. Kondisi ini menyebabkan aktivitas publik yang berlangsung di area pasar sore tergolong memiliki intensitas yang tinggi. Faktor lain yang berpengaruh adalah kemenarikan (attractiveness). Dari faktor ini secara faktual terlihat, bahwa sebagai kawasan shooping center yang terbuka bagi pandangan publik, lokasi ini tergolong sebagai kawasan komersial yang relatif ramai dan sibuk, sehingga publik dapat dengan mudah mendapatkan aneka macam kebutuhan hidup yang bisa didapatkan. Karena terletak di jalur jalan utama yang strategis, maka dilihat dari potensi fisiknya, kawasan ini dapat dikategorikan sebagai kawasan yang mempunyai potensi fisik yang berupa fasilitas perkotaan yang relatif lengkap. Ketersediaan fasilitas ini memberi kemudahan bagi para pengguna teritori untuk melakukan aktivitas, namun demikian dari segi tata ruang, secara fisikal, kurang memberi kenyamanan bagi pemakainya, area terlalu sibuk dengan kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Realitas ini menggambarkan bahwa pencapaian lokasional yang mudah, letak kawasan yang menarik dan prospektif, serta kelengkapan dan ketersediaan fasilitas publik, ternyata secara langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh pada terjadi fenomena perluasan. Gejala ini terjadinya akibat adanya kepentingan yang saling tumpang tindih dari berbagai individu pelaku yang memanfaatkan ruang terbuka ini . Masing-masing individu pelaku yakni Tukang Parkir, Pemarkir, Pedagang ,pewarung, PKL, pejalan kaki, pengunjung, pengelola , akan melakukan perilaku perluasan teritori di ruang terbuka ini untuk melakukan beragam aktivitas. Kualitas Teritorialitas pengguna teritori Perilaku teritorialitas pada pemanfaatan ruang publik pasar sore bukanlah sekadar setting absolut, melainkan juga sebagai setting budaya dimana suatu sistem aktivitas individu/kelompok bertempat pada ruang dan waktu. Aktivitas atau perilaku kelompok dalam suatu setting diawali dengan penyaringan terhadap kondisi obyektif dalam lingkungan setting tersebut. Berdasar pada norma-norma serta nilai-nilai sosial budaya yang ada pada diri individu/kelompok, maka mereka berperilaku menanggapi kondisi subyektif yang telah mereka persepsikan.
Diterbitkan pada: Jurnal Metropilar, Volume 7 Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari ISSN : 2085-6962
http://ojs.uho.ac.id/index.php/metropilar Aktivitas atau perilaku yang berlangsung dapat berbentuk perilaku penempatan atau tumbuhnya rasa memiliki terhadap ruang/setting tersebut. Selama proses ini berlangsung maka berbagai kepentingan individu/kelompok terhadap setting akan terlihat; dimana antar individu/kelompok saling mengklaim teritorinya untuk mempertahankan teritori tersebut. Perilaku yang demikian akan berpengaruh terhadap kualitas hubungan antar individu/kelompok dengan setting kegiatannya. Kualitas hubungan (kuat-lemah) dengan adanya keterkaitan unsur-unsur teritorialitas akan berpengaruh/berdampak. Dampak dipengaruhi oleh unsur yang dominan (Individu) dalam teritorialitas. Aktor yang dominan dalam Individu adalah Pedagang Pasar Sore , sedang ruang, lingkungan adalah ruang terbuka pasar sore . (dominan pengunjung dan pejalan kaki). Dampak yang ditimbulkan berupa dampak positif, negatif, maupun tidak berdampak.
KESIMPULAN Teritorialitas Kompleksitas studi teritorialitas terjadi pada ruang terbuka publik dimana Individu memiliki bermacam latar belakang budaya dan kegiatan fungsional, Institusi dengan beragam aktivitas sektor formal dan informal yang terwadahi dalam satu setting kegiatan (ruang, lingkungan). Lokasi pasar sore yang berada pada kawasan Malioboro sebagai salah satu ruang publik cenderung memiliki multi fungsi dalam hal penggunaannya. Ruang terbuka di lokasi pasar sore yang berbentuk square memiliki berbagai macam fungsi pemanfaatannya sebagai ruang publik, berfungsi sebagai taman parkir pada waktu pagi hingga sore hari, sebagai tempat berdagang pasar sore , tempat berjualan warung dan kios, jalur sirkulasi pejalan kaki, dan area PKL. Kondisi ini berakibat pada terjadinya konflik kepentingan, karena fungsi ruang terbuka publik ini terkena dampak aktivitas beberapa aktor/pengguna yang berkepentingan terhadap ruang tersebut Dalam sistem tata ruang, di kawasan ini telah terjadi bentuk penggunaan ruang yang memiliki banyak dimensi kepentingan dari pengguna yang memanfaatkan ruang ini. Berbagai aktivitas yang dilakukan oleh para pengguna (Pedagang pasar,
Pewarung, PKL, pejalan kaki/pengunjung, tukang parkir, dan pengelola) memperjelas batas-batas kepemilikan, pertahanan ataupun penggunaan secara eksklusif jalur tersebut. Aplikasi dari konsep teritorialitas tersebut terlihat dari penempatan suatu elemen fisik yang menyatakan suatu tempat ditempati. Adapun keterikatan tempat termanifestasi dalam bentuk tanda-tanda (simbolik) atau persepsi identitas yang berorientasi pada akses spasial. Yaitu kebutuhan-kebutuhan interaksi sosial dan personalisasi suatu komunitas, seperti adanya kelompok-kelompok pedagang pasar sore, kelompok tukang parkir, dan kelompok PKL. Tipe teritori pada ruang terbuka pasar sore ini terdiri dari teritori personal, teritori komunitas, dan teritori masyarakat. Teritori personal dikontrol secara personal. Teritori komunitas dikontrol oleh komunitas, digunakan dalam cakupan area yang relatif luas, tidak terlalu eksklusif, namun dikendalikan secara berkala oleh komunitasnya. Teritori masyarakat (teritori pejalan kaki dan pengunjung) dikontrol oleh masyarakat/pengguna jalur tersebut dan juga masyarakat di sekitarnya. Teritori personal pedagang pasar sore, parkir dan PKL berupa luasan lahan masing-masing individu yang di presepsikan kepemilikannya sebagai teritori. Mekanisme kontrol dan kepemilikannya bersifat individual. Setting elemen fisiknya membentuk teritori yang berupa tenda jualan, dan gerobak. Teritori komunitas berupa batas pagar yang ada disekitar lokasi dan batas-batas sirkulasi yang ada pada lokasi pasar sore. Mekanisme kontrol dan kepemilikan dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok pengguna yang terbentuk Teritori masyarakat berupa ruang-ruang yang terbentuk sebelum atau sesudah berlangsung kegiatan pasar dan pedagang kaki lima (PKL) yang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, diantaranya sirkulasi pejalan kaki ke suatu tempat.
Kualitas Teritorialitas Kawasan Pasar Sore. Kualitas hubungan perilaku pengguna teritori dengan setting fisik tidak dapat terlepas dari teritorialitas sebagai atribut perilaku, dimana di dalamnya terjadi interaksi/keterkaitan antar Individu , Organisasi dengan ruang.
Diterbitkan pada: Jurnal Metropilar, Volume 7 Fakultas Teknik Universitas Haluoleo, Kendari ISSN : 2085-6962
http://ojs.uho.ac.id/index.php/metropilar
-
-
-
Adanya keterkaitan antar unsur teritorialitas di ruang terbuka pasar sore menunjukkan suatu tipologi kualitas hubungan antara pedagang pasar sore, tukang parkir, pemarkir, PKL dan pejalan kaki/ pengunjung sebagai pengguna teritori. Pola keterkaitan tersebut memiliki tipologi : Keterkaitan kuat ketiga unsur teritorialitas (Individu, Organisasi dan Ruang, Lingkungan), dengan peran dominasi ketiganya. Keterkaitan kuat kedua unsur, (Individu dan Ruang, Lingkungan) dengan peran didominasi Individu. Keterkaitan lemah ketiga unsur dengan peran didominasi Individu dan Keterkaitan lemah dua unsur (Individu dan Organisasi) dengan peran didominasi Ruang, Lingkungan. Temuan ini mengindikasikan, dari beberapa pelaku pengguna teritori yang melakukan berbagai macam aktivitas, ternyata pelaku/ aktor pengguna teritori yang dominan memanfaatkan ruang terbuka pasar sore adalah “ Pedagang Pasar Sore” (dominan berdampak negatif daripada berdampak positif). Sedangkan pejalan kaki dan pengunjung parkir juga sebagai aktor yang mendominasi, tetapi tidak dapat mengontrol teritori dan kepemilikannya secara abstrak. Berdasarkan parameter tersebut diketahui bahwa Pedagang Pasar Sore memiliki peran yang dominan dalam pemanfaatan ruang terbuka pasar sore di kawasan Malioboro.
Krier.Rob, 1979, Urban Space, Rizzoli international publications.Inc. London Lang. Jhon, Burnette. Charles, Molesky. Walter, Vachon. David, 1974, Designing for Human Behaviour : Architecture and the Behavioral Sciences, Dowden, Hutchinson and Ross, Inc, Pennsylvania. Laurens,J.M, 2004, Arsitektur dan Perilaku Manusia, Grasindo, Surabaya Porteous.J.Douglas, 1976, Environment And Behavior, Addison Wesley Publishing Company, England Rapoport, A, 1986, The Use and design of open space in urban neighborhoods, di D Frick eds The Quality of urban life, Berlin Rapoport. A, 1982, The Meaning of the Built Enviroment, A Nonverbal Comunication Approach, Sage Publication. Sommer. Robert and Sommer. Barbara, (1980) A Practical Guide to Behavioral Research : Tools and Techniques, Oxford University Press, New York. Stea. David, 1969, Environmental Perception and Cognition, Students publications, school of design, North Carolina State University. Weissman, Gerald, D., 1985, Modeling Environmental Behavior System, ABrief Nose, Journal of Man Environment Relation, Vol. 1. No. 2 The Pennsylvania State University. .
DAFTAR PUSTAKA Altman, I. 1975, The Environment and Social Behavior. Monterey, CA: Wadsworth. Carr, stephen, 1967, ” The City of The Mind in Environment for Man the Next Fifty Years, edited by William R Ewald. Jr. Indiana university press. Gifford, R. 1987, Environmental Psychologi : Principle and Practice, Boston : Allyn and Bacon. Inc Halim, Deddy, 2005, Psikologi Arsitektur pengantar kajian lintas disiplin, Grasindo, Jakarta Haryadi,Setiawan.B , 1995, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Proyek Pengembangan Pusat studi Dirjen Dekbud. Yogyakarta.