PENGANTAR Tesis ini bertujuan terperoleh gambaran kognitif anak-anak di Indonesia, khususnya anak-anak di Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat mengenai lingkungan kota. Penelitian ini menggunakan suatu desain studi kasus yang akan menghasilkan gambaran persepsi anak mengenai lingkungan kota. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data dan informasi pengamatan terlibat, wawancara semi terstruktur dan menggambar. Informan penelitian adalah anak-anak usia 9-12 tahun, murid kelas IV, V, dan VI SDN Kenari 01 Pagi, SDN Kenari 02 Petang, SDN Kenari 03 Pagi, SDN Kenari 04 Petang, SDN Kenari 05 Pagi dan SDN Kenari 06 Petang. Lokasi penelitian di Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Dalam penelitian ini anak-anak menguraikan narasi sesuai dengan persepsi dan pengalamannya dari tiap-tiap lingkungan tempat mereka berinteraksi dan bersosialisasi secara sosial, yaitu lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah, lingkungan bermain, pelayanan transportasi, dan pelayanan kesehatan. Di lingkungan tempat tinggal, ketenangan dan kenyamanan karena ada orang tua yang menjaga, sanitasi rumah bersih, dan adanya air bersi. Sementara, di lingkungan komuniti tergambar organisasi RT-RW, lingkungan yang aman, karena ada Pos Kamling dan penerangan jalan yang mendukung Sistem Keamanan Lingkungan, pengelolaan sampah dan pemeliharaan saluran pembuangan air kotor. Gambaran lingkungan sekolah adalah anak merasa nyaman dan aman bersekolah, karena gedungnya kokoh dan berpagar besi, sanitasi lingkungan terawat; metode pembelajaran yang klasikal, sehingga tidak melatih anak untuk berdiskusi. Di lingkungan bermain, tidak ada fasilitas tempat bermain sehingga anak-anak berinisiatif menggunakan jalan, taman, bantaran kali dan halaman sekolah sebagai tempat bermain. Hal ini mempunyai resiko kecelakaan. Dalam pelayanan transportasi kota Jakarta, membuat anak-anak belum merasa tenang dan nyaman, karena pelayanannya tidak memperhatikan keselamatan mereka, dan desain kendaraan tidak sesuai dengan kebutuhan anak. Selain itu pelayanan transportasi belum ramah terhadap anak. Terakhir, berkaitan dengan pelayanan kesehatan, anak menggambarkan penyakit yang sering mereka derita terkait dengan resiko lingkungan seperti air kotor, makanan yang kurang higiene, dan sanitasi yang buruk. Penyakit yang sering diderita oleh anak adalah diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan kulit. Apabila anak-anak sakit, mereka sering dirujuk oleh orangtua mereka ke klinik dan atau puskesmas sesuai dengan kemampuan keuangan keluarga. Pelibatan anak-anak dalam sejenis penelitian demikian membesarkan hati mereka. Hal tersebut terungkap dari antusiasme mereka dalam menggambarkan berbagai keadaan seperti lingkungan perumahan, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah, lingkungan bermain, pelayanan transportasi, dan pelayanan kesehatan. Kemampuan mereka menggambarkan situasi di atas menandakan anak-anak ini peka
0
terhadap lingkungan kotanya, dalam batas-batas kemampuan dan pemahaman mereka tentang lingkungannya. Pengabaian kebutuhan anak dalam pembangunan kota merupakan persoalan lingkungan yang dirasakan anak. Banyak hal yang dibutuhkan, namun belum tersedia dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota menganggap kebutuhan anak telah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya. Pengabaian pemerintah kota terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran terbatas, tetapi juga pada pelayanan dan penyediaan sarana kota yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Perasaan tenang, nyaman, dan aman dengan lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah mereka, serta tempat pelayanan kesehatan merupakan gambaran persepsi anak mengenai lingkungan kota di satu sisi dengan kasus Kelurahan Kwitang, sedangkan perasaan terganggu dengan sampah yang menumpuk, saluran pembuangan air kotor yang mampat karena masih adanya warga yang membuang sampah sembarangan, dan jalan-trotoar yang rusak di beberapa titik di lingkungan tersebut merupakan gambaran sisi lain. Permukiman yang padat di kelurahan ini adalah kekhawatiran yang lain anak jika terjadi kebakaran seperti sebelumnya, sehingga menjadi trauma untuk mereka. Masih pada sisi yang sama, fasilitas pada lingkungan bermain dan pelayanan transportasi, menurut mereka juga belum cukup memenuhi kebutuhan anak. Kajian ini terbatasi oleh beberapa faktor, sehingga masih ada ”ruang penjelasan” yang terbuka untuk diisi peneliti lain. Keterbatasan ini antara lain disebabkan oleh tidak tinggalnya saya bersama anak-anak (informan), sehingga tidak mengetahui dengan baik pola asuh yang diterapkan di masing-masing keluarga anak. Saya pun tidak mengikuti kegiatan anak selama 24 jam penuh, sehingga pola kegiatan dan bermain anak tidak terekam secara utuh. Walaupun informan dalam penelitian ini adalah anak, namun saya tidak mendalami psikologi anak secara khusus, sehingga saya tidak mengetahui bahasa tersirat anak yang ingin diungkapkan. Selain itu, saya juga tidak mendalami sosiologi secara khusus, sehingga saya tidak bisa memberikan gambaran yang rinci mengenai kehidupan masyarakat di lingkungan tersebut.
1
INTRODUCTORY This Thesis aimed to study cognitive description of Indonesian children, particularly those living in urban area in Kwitang Sub District in Central Jakarta. The study used a specially designed methods that captured children’s perception through interviews and pictures. The study used a qualitative approach by means of data collecting, involving observation, semi-structured interviews, and drawing. Participants of the study was 9 12 year-old students on grade 4, 5 and 6 at six (6) Kenari Elementary Schools, a stateowned elementary schools located in Kwitang, Senen District, Central Jakarta. Three of these schools operated in the morning (07.00-12.00) and the other three operated in the afternoon (13.00-17.00) The study found that all of participating children depicted their surroundings based on their perception and experiences. Those are internal family, schools, neighborhoods, playing grounds, transportation and health service. The study indicated that parents’ income influenced their development. Moreover, it showed that good waste management and drainage of the environment supported their physical growth and health. Children described community work (“kerja bakti”) organized by community leaders in their neighborhood had a crucial role to keep environment clean. In their school environment, children felt that secured and comfortable because of its permanent building, and good sanitation, despite their dissatisfaction with their schools’ rest room. Classical method of learning was found to discourage children to get used to discussion. School facilities do not have adequate playing ground so that the children usually use street, park, and limited schoolyard as their playing ground. This posed them with risks to get accident. For transportation services, the children could not choose kind of transportation. Public vehicles were not designed and friendly to cater their needs. From health perspective, most children’s diseases were related to the hygiene and sanitation of their houses, neighborhood, schools, and playing grounds. The study found that poor drainage and sanitation, non-hygienic foods, and air pollution were factors that affect children’s health. Common diseases found in children were diarrhea, respiratory diseases, and dermatitis. Community Health Unit (Puskesmas), a government health service provider at district level, provided medical services for most of the sick children. Involving children in this study made them full of pride. It was appeared through their enthusiasm in depicting their neighborhood, community environment, school environment, playing area, transportation and health service. Their ability in picturing the condition indicated their awareness and recognizing to their urban surrounding. Negligence of children’s needs in developing a city was a problem that was able to realize by children. There were many condition those needed by children but not available. By developing infrastructure for people (adult), city council assumed that children’s need had already been fulfilled. It was not only on policy and limited budget, but also on city service that influence to children development.
2
Children those live in Kelurahan Kwitang felt two paradoxical conditions. They felt comfortable and safe with their neighborhood, community environment, school environment, and health service. On the other hand, they felt uncomfortable with piled of garbage, bad drainage, and smashed pedestrian. Moreover, children worried about dense residential because it tends to conflagration as it happened before. In addition, they stated that they do not have playing ground and access to transportation service. This study was limited by some factors so that there was open “explanation room” that can be explored by other researcher. The limitation due to I, as a researcher, did not live in the Kelurahan Kwitang to observe child-rearing pattern in the family. I did not observe children for 24 hours so that child activity was not fully recorded. Instead of informant in the study was children, but I did not study psychology deeply. Therefore, I was not able to catch invisible gesture of children that would more reveal children’s mind. In addition, I was not study sociology either so that I could not give specific picture of community life.
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sekarang ini, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setengah dari penduduk dunia – 6 miliyar penduduk – tinggal di kota (Christencen, 2003:xv). Kehidupan kota banyak menghadirkan kesempatan, karena di dalamnya terpusat berbagai jenis pelayanan, jaringan dan sumber daya. Namun, perkembangan dan pertumbuhan kota dan industri kurang terencana, kenyataan ini menurut Dr. Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO untuk Kawasan Asia Tenggara, telah menambah resiko baru untuk kesehatan anak. Belakangan ini, banyak penyakit yang diderita oleh anak, berkait erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal, belajar, dan bermain – rumah, sekolah dan komuniti. Anak merupakan bagian dari warga kota. PBB memperkirakan 60 persen anak, tinggal di kota pada tahun 2025. Menurut David Sucher perancang kota dari Amerika Serikat (David, 1995:65), anak seperti burung kenari di tambang batu bara. Mereka kecil, rentan dan butuh perlindungan. Akan tetapi sebagian besar dari jutaan anak yang hidup di kota belum merasa tenang dan nyaman berkegiatan sehari-hari seperti bersekolah, bermain, dan berekreasi, terutama yang tinggal di daerah kumuh dan permukiman liar yang berdesak-desakan, perumahan yang kurang sehat dan kurang mendapatkan pelayanan umum seperti fasilitas air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah. Kondisi ini tercermin dari keterbatasan akses ke pelayanan kebutuhan dasar anak seperti kesehatan, pendidikan, bermain, rekreasi, kenyamanan menggunakan jalan, dan pedestrian. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan anggaran pemerintah kota di bidang anak terbatas. Perwujudan kota yang tenang dan nyaman bagi anak dan penghuni kota lainnya membutuhkan proses panjang, dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pembangunan kota. Pada tiap tahapan, diharapkan ada keseimbangan antara keterlibatan pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan. Misalnya pemerintah tidak dominan dalam proses perencanaan. Pada tahap perencanaan, pendekatan bawah-atas lebih utama dalam pencarian kebutuhan dibandingkan pendekatan atas-bawah. Begitu ke tahap-tahap lanjutan, masyarakat tetap dilibatkan, sehingga proses tersebut memperoleh legitimasi dan dukungan masyarakat.
4
Dalam proses pembangunan, peran anak-anak sebagai calon pemimpin bangsa perlu diperhatikan. Peran apa yang diberikan kepada anak dalam kaitannya dengan lingkungan kota? Sebagai pengguna atau pelayan, warga aktif atau warga pasif? Bagaimana anak mempunyai andil di tiap tahap proses pembangunan? Porsi apa yang diberikan kepada anak dalam pembangunan kota? Pernyataan tersebut bermakna bahwa anak mempunyai hak pada tiap proses pembangunan. Hal ini menarik, namun menurut saya, harus dibedakan kelompok anak mana yang dimaksud. Apakah anak pada masa usia 2 tahun, masa usia 3-5 tahun, masa usia 6-12 tahun, masa usia 13-15 tahun, dan masa usia 16-18 tahun? Menurut almarhum Eric H. Erikson, ahli psikologi sosial, masa anak-anak merupakan tahap penting dalam pembentukan dasar-dasar kepribadian di kemudian hari. Dalam perkembangannya, secara individu, anak memiliki kemampuan kreatif dan menyesuaikan diri yang perlu dihargai. Kemampuan tersebut akan membantu mereka dalam mengatur hidupnya kelak. Di Johannesburg, Afrika Selatan melalui program Growing Up In Cities, Walikota Isaac Mogase (Johnson, 2002: 68-69), memrakarsai suatu lokakarya yang memfasilitasi penyebaran informasi antara para pemimpin kota, perencana, profesional, orang dewasa, dan anak-anak di Canaansland. Pada saat lokakarya berlangsung, orang dewasa menyimak isu-isu yang diidentifikasi oleh anak-anak dan dipresentasikan oleh wakilwakil terpilih dari anak-anak itu sendiri. Ketika presentasi itu mendapatkan tanggapan positif, anak-anak langsung memberikan beberapa jalan keluar dan rencana aksi untuk menindaklanjuti pemihakan para peserta lokakarya terhadap gagasan mereka. Ini adalah langkah awal yang penting bagi anak-anak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah kota, berkaitan dengan hak-hak peran serta anak dalam pengambilan keputusan. Bagaimana praktik-praktik peran serta anak untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah kota di Indonesia dalam pengambilan keputusan dan anggaran pemerintah kota? Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak melalui Keppres No.36 tahun 1990, dan mengundangkan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua produk kebijakan tersebut, dengan tegas dan jelas menjamin bahwa suara anak didengar. Artinya pendapat dan pemikiran anak terkait dengan kebutuhan mereka – tempat tinggal, belajar dan bermain – menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan. Namun demikian menurut Mansour Fakih, doktor pendidikan alumni University of Massachusetts (Johnson, 2002:xxv), sistem, struktur, dan mekanisme yang merupakan cerminan ideologi dan keyakinan di kalangan orang dewasa yang meremehkan dan salah menafsirkan suara anak, telah mengakar (tak tersentuh) dalam sistem yang telah tumbuh di masyarakat. Orang dewasa sangat menolak kehadiran peran serta anak dalam politik, sosial dan budaya. Sebagai anak mereka dianggap belum perlu diminta atau didengar pandangannya tentang bagaimana proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan pembangunan kota tempat mereka tinggal, belajar dan bermain. Pada dasarnya, melibatkan dan mendengarkan suara anak dalam proses pengambilan keputusan di segala tingkatan, menurut Mansour Fakih (Johnson, 2002:ix),
5
merupakan pemberian penghargaan ”orang dewasa,” masyarakat terhadap anak, sebagai indikator dari sikap memanusiakan anak atau memperlakukan anak sebagai manusia. Sebagai manusia dan warga kota, anak memiliki jati diri, hak, perspektif, dan impian tentang tempat tinggal, belajar, bermain, dan berekreasi di kotanya. Kata kunci peran serta anak dalam proses pembangunan kota adalah ketulusan dan keikhlasan orang dewasa menerima kehadiran anak di tiap proses pembangunan kota dan pemberian kesempatan oleh orang dewasa kepada mereka. Hal ini, karena orang dewasa masih menganggap anak belum menjadi manusia. Anak masih dianggap belum sempurna dan masih perlu berkembang dan belajar untuk menjadi manusia. Di samping itu, orang dewasa masih menguasai arena rumah, masyarakat, ilmu, dan perubahan sosial. Dengan demikian, wajar jika dalam ilmu dan perubahan sosial, menurut Mansour Fakih, anak tidak pernah dianggap sebagai subyek perubahan. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk menerjemahkan kebijakan, undang-undang, konvensi ke dalam struktur dan kultur yang ada. Dalam hal ini diperlukan metodologi yang memungkinkan anak menjadi subyek perubahan sosial yang mereka kehendaki. Sementara itu belum banyak literatur mengenai pembangunan dan perubahan sosial yang dalam pembahasannya meletakkan anak sebagai subyek, atau paling tidak memperhitungkan anak dalam arah pembangunan. Akan tetapi, hal yang nyaring terdengar dan banyak tersosialisasi adalah bagaimana membantu orang dewasa untuk memfasilitasi, menghargai dan menghormati hak anak. Penelitian saya tentang ”Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Kota, Studi Kasus di Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat,” merupakan upaya bagaimana mengetahui kognitif anak mengenai lingkungan kota, menghormati hak anak bukan sebagai retorika dan legalitas formal yang tidak terlaksana. Pendekatan yang dipergunakan adalah kualitatif dengan menggunakan metode pengamatan terlibat, wawancara semi terstruktur, dan menggambar. Melalui metode kualitatif, saya mencoba menggali lebih dalam permasalahan yang sesungguhnya, berbeda bila dibandingkan dengan pendekatan kuantitatif yang lebih melihat gejala-gejala sebagai variabel. Anak yang menjadi sumber informasi adalah mereka yang berusia antara 9-12 tahun. Pembatasan usia ini dilakukan atas dasar anak usia tersebut telah memiliki kematangan berpikir dan berkemampuan untuk mengekspresikan pendapat mereka, tanpa harus ada intervensi dari luar (Lie, 2003:65) 1.2 Rumusan Masalah Persoalan yang dihadapi oleh sebagian anak-anak kota, khususnya di Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat dalam kehidupan sehari-harinya di lingkungannya adalah ketidak-tenangan dan ketidak-nyamanan mereka, karena: 1. Lingkungan Tempat Tinggal. Kondisi rumah yang mempunyai sanitasi buruk, kekurangan air bersih, penerangan yang kurang, ventilasi buruk, dan permukiman padat menjadi gejala alami yang sering dijumpai di kota-kota besar seperti Kota Jakarta. Pada lingkungan tempat tinggal seperti ini sebagian anak kurang merasa
6
tenang dan nyaman. Hal ini dikarenakan mereka mudah diserang penyakit yang diakibatkan oleh resiko lingkungan. 2. Lingkungan Komuniti. Kondisi komuniti yang mempunyai sanitasi buruk, penerangan yang kurang, padatnya permukiman penduduk, kurang fasilitas bermain, lemahnya organisasi komuniti dan terbatasnya pengamanan komuniti merupakan gejala-gejala yang juga sering dijumpai di kota-kota besar. Gejala ini mulai dirasakan pada saat anak-anak mencari tempat lain di luar komuniti untuk melakukan kegiatan, misalnya bermain sepak bola di luar lingkungan komuniti. 3. Lingkungan Sekolah. Persoalan anak-anak di lingkungan sekolah yang cukup mendasar gejalanya dapat terlihat di sekolah gedung bertingkat. Pada umumnya di gedung bertingkat, lantai II dan seterusnya kurang dilengkapi oleh ruang yang luas menjadi tempat anak-anak dapat berinteraksi sosial, sehingga memungkinkan murid-murid kurang bergaul dan berteman. Persoalan lainnya adalah terbatasnya ruang WC, sehingga memungkinkan terjadinya pelecehan seksual, karena ruang WC dijadikan satu antara anak laki-laki dan anak perempuan. Metode pembelajaran klasikal yang memungkinkan anak kurang dilatih berdiskusi, sehingga mereka kurang terlatih untuk mengemukakan pendapat atau berdebat. 4. Lingkungan Bermain. Persoalan yang sangat dirasakan oleh anak-anak di kota-kota besar, yakni terbatasnya tempat-tempat bermain. Bukan rahasia lagi, jika kita sering menjumpai anak-anak memanfaatkan jalanan, taman bunga, bantaran kali, halaman sekolah, halaman gedung dan tanah kosong sebagai tempat bermain. Gejala ini timbul karena terbatasnya ruang untuk tempat bermain di kota. Di samping itu, kurangnya perhatian pemerintah kota dalam merespon kebutuhan anak akan tempat bermain, sehingga terkesan bahwa pemenuhan kebutuhan anak akan tempat bermain menjadi urusan anak itu sendiri dengan memanfaatkan fasilitas dan tempat yang terbatas, beresiko, dan kurang pengawasan orang dewasa atau orang-tua. 5. Pelayanan Transportasi. Persoalan yang mendasar dialami oleh anak-anak di kota, jika pada saat mereka dan orang-tua mereka melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Kendaraan yang mereka tumpangi tidak didesain sesuai dengan kebutuhan anak, sehingga mereka kesulitan untuk mencapainya, di samping kualitas pelayanan yang buruk. Gejala lain adalah padatnya penumpang kendaraan, kepadatan kendaraan dan terbatasnya prasarana transportasi, sehingga mengakibatkan kemacetan kendaraan dan polusi udara di kota. 6. Pelayanan Kesehatan. Persoalan kesehatan anak erat kaitannya dengan tempat mereka tinggal, bermain dan belajar. Gejala ini dapat terlihat dengan jenis penyakit yang mereka derita berhubungan dengan resiko lingkungan seperti kurangnya air bersih, sanitasi yang buruk, higiene makanan yang buruk, dan pemakaian bahan kimia berbahaya. Jenis penyakit yang banyak muncul pada anak adalah diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan kulit. Gejala lain yang terlihat dalam pelayanan kesehatan, orang-tua cenderung memeriksakan kesehatan anakanaknya ke tempat pelayanan kesehatan yang terjangkau dan baik.
7
Dari lingkungan kota tersebut seharusnya anak-anak tinggal di lingkungan yang tenang dan nyaman dengan kondisi: 1. lingkungan rumah yang menyediakan fasilitas yang sesuai kebutuhan anak untuk perkembangannya sesuai dengan usia dan gender; tempat tinggal yang dilengkapi dengan akses ke air, dan listrik ; dan tidak tercemar oleh polusi udara dan suara, 2. lingkungan komuniti yang aman dan bebas kejahatan, serta mempunyai tempat bermain yang aman, 3. lingkungan sekolah yang membuat anak dapat berinteraksi sosial, belajar berdiskusi dan bebas dari pelecehan seksual, 4. lingkungan bermain yang aman dan di bawah pengawasan orang dewasa, 5. pelayanan transportasi yang ramah anak, tercapai (accessible) dan terjangkau (affordable), 6. pelayanan kesehatan yang tercapai (accessible) dan terjangkau (affordable). Untuk mengetahui persoalan sesungguhnya yang dihadapi oleh anak-anak mengenai lingkungan kotanya, saya mengajukan beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian yang dimaksud adalah: 1. Apa persepsi anak mengenai keluarga anak, tempat tinggal dan kegiatan sehari-hari anak? Apa persepsi anak mengenai lingkungan komuniti anak dan kegiatan warga? Apa persepsi anak mengenai lingkungan sekolah, peraturan sekolah, pelajaran di sekolah, makan di sekolah? Apa persepsi anak mengenai tempat bermain anak? Apa persepsi anak mengenai pelayanan transportasi? dan Apa persepsi anak mengenai pelayanan kesehatan? 2. Mengapa perlu adanya persepsi anak mengenai keluarga anak, tempat tinggal dan kegiatan sehari-hari anak? Mengapa perlu adanya persepsi anak mengenai lingkungan komuniti anak dan kegiatan warga? Mengapa perlu adanya persepsi anak mengenai lingkungan sekolah, peraturan sekolah, pelajaran di sekolah, makan di sekolah? Mengapa perlu adanya persepsi anak mengenai tempat bermain anak? Mengapa perlu adanya persepsi anak mengenai pelayanan transportasi? Mengapa perlu adanya persepsi anak mengenai pelayanan kesehatan? Dari pertanyaan penelitian dimaksudkan di atas akan menjelaskan hakekat hubunganhubungan persoalan-persoalan yang dihadapi anak. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah terperoleh gambaran kognitif anak-anak di Indonesia, khususnya anak-anak di Kelurahan Kwitang, Jakarta Pusat mengenai lingkungan kota. Penelitian ini menggunakan suatu desain studi kasus yang akan menghasilkan gambaran persepsi anak mengenai lingkungan kota.
8
1.4 Metode Pendekatan dan Manfaat Penelitian Untuk memusatkan penelitian ini pada prinsip-prinsip umum yang mendasari wujud satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia, saya menggunakan pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuantitatif pusat perhatian pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia yang disebut sebagai variabel. Menurut Prof. Parsudi Suparlan, Antropolog dari Universitas Indonesia (Suparlan, 1994:24) pada pendekatan kuantitatif, hakekat di antara variabel-variabel dianalisis dengan menggunakan teori objektif. Sementara itu, dalam pendekatan kualitatif yang dianalisis bukan variabel-variabelnya, melainkan hubungannya dengan prinsip-prinsip umum dari satuan-satuan gejala lainnya dengan menggunakan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Hasil analisis dianalisis lagi dengan menggunakan seperangkat teori yang berlaku. Dalam pendekatan kualitatif, saya menggunakan metode penelitian pengamatan terlibat, wawancara semi terstruktur, dan menggambar. Manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah: 1. memberikan gambaran kepada perencana kota tentang aspek kognitif anak mengenai lingkungan kota sehingga gambaran tersebut menjadi masukan dalam proses perencanaan pembangunan kota; 2. membantu bidang perencana kota untuk mempertimbangkan pendapat anak, karena anak mempunyai persepsi dan pengalaman mengenai lingkungan kota yang layak untuk didengar sebagai warga kota. Kebutuhan dan aspirasi mereka menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam perencanaan pembangunan kota. 1.5 Ruang Lingkup Studi Untuk mengetahui persepsi anak mengenai lingkungan kota, saya membatasi area penelitian pada lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah, lingkungan bermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatannya. Sedangkan untuk substansi penelitian, difokuskan pada pembahasan mengenai pemahaman dan pengalaman anak mengenai lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah, lingkungan bermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan, serta peran serta anak dalam proses perencanaan pembangunan. Dalam pengujian persepsi anak mengenai setiap lingkungan tersebut di atas, digunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengamatan terlibat secara pasif, wawancara semi terstruktur, dan menggambar. Dalam penelitian ini, yang menjadi subyek penelitian adalah anak usia 9-12 tahun atau murid yang duduk di kelas IV, V dan VI sekolah dasar. Atas dasar pertimbangan teknis, diadakan pembatasan usia anak. Menurut Anita Lie, ahli pendidikan dari Baylor University, anak usia 9-12 tahun memiliki kemampuan berpikir dan berkemampuan untuk mengekspresikan pendapat, tanpa harus ada intervensi dari luar. Di samping itu, secara perkembangan kognitif, mereka bisa berpikir dan berimajinasi dengan baik serta membentuk sistem logika; dalam perkembangan sosial, mereka ingin melakukan apa yang anak lain dapat lakukan dan; sedangkan dalam
9
perkembangan moral, mereka selalu meminta persetujuan tentang apa yang baik atau yang buruk dalam melakukan suatu kegiatan (lie, 2003:65). Anak-anak yang menjadi subyek penelitian bersekolah di SDN Kenari 01 sampai 06 yang terletak di Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Murid-murid ini berasal dari Kelurahan Kenari, Kwitang, Kebon Sirih dan Cikini. Adapun penentuan lokasi penelitian ini, karena: 1. memperoleh izin dari kepala sekolah dari masing-masing sekolah; 2. memperoleh dukungan dari kepala sekolah, guru, dan murid-murid; 3. warganya heterogen; 4. anak-anak yang menjadi informan bersedia dan membantu selama penelitian dilaksanakan dengan metode pengumpulan data yaitu: wawancara semi terstruktur dan menggambar. Sedangkan wilayah administrasi penelitian yang dibahas adalah Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, dengan pertimbangan: 1. informan 58,8 persen berasal dari kelurahan Kwitang; 2. kelurahan Kwitang dengan kelurahan lain – Kenari, Kebon Sirih dan Cikini hampir memiliki kesamaan baik dari aspek geografis maupun kehidupan sosial, budaya dan ekonomi warga; dan 3. memperoleh izin dan dukungan dari pihak kelurahan
10
BAB II ANAK DAN KOTA
2.1 Anak dan Kota Banyak hasil penelitian para arsitek, psikolog, perencana kota, dan perancang kota yang berkaitan dengan anak, baik sebagai warga kota maupun pengguna ruang kota. Penelitian tersebut dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain, kepentingan pemenuhan tugas akhir sebagai mahasiswa, dan kepentingan organisasi atau lembaga dalam rangka proyek pengembangan dan atau pembangunan kota. Bila ditelusuri, penelitian-penelitian tentang anak dan kota telah berlangsung sejak tahun 1970-an sampai dengan sekarang. Pada tahun 1972, Kevin Lynch, arsitek dari Massachusetts Institute of Technology dengan bantuan UNESCO melakukan penelitian dengan judul ”Persepsi anak terhadap ruang.” Penelitian tersebut dilaksanakan di 4 kota – Melbourne, Warsawa, Salta dan Mexico City, dengan menggunakan metode pengamatan, wawancara dan menggambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kota yang terbaik untuk anak adalah mempunyai: komuniti yang kuat secara fisik dan sosial, komuniti yang mempunyai aturan yang jelas dan tegas; adanya pemberian kesempatan pada anak; dan fasilitas pendidikan yang memberi kesempatan anak untuk mempelajari dan menyelidiki lingkungan dan dunia mereka. Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan oleh Cambrigde, MA: MIT Press tahun 1977 dengan judul “Growing Up in Cities.” Dua puluh lima tahun kemudian hasil penelitian Lynch ditinjau kembali, dan dilakukan penelitian serupa. Penelitian ini dilakukan oleh Dr Louise Chawla dari the Children and Environment Program of the Norwegian Centre for Child Research Trondheim, Norwegia tahun 1994. Penelitian yang disponsori oleh UNESCO dan Child Watch International, dilakukan di Buenos Aires dan Salta, Argentina; Melbourne, Australia; Northampton, Inggris; Bangalore, India; Trondheim, Norwegia; Warsawa, Polandia; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Oaklands, California, Amerika Serikat. Metode penelitian yang digunakan Chawla hampir sama dengan Lynch yaitu pengamatan, wawancara, dan menggambar, ditambah dengan pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal) yaitu suatu pendekatan yang bersifat partisipasi yang digunakan oleh orang dewasa untuk mengadakan perubahan sosial melalui peran serta. Hasil penelitian ini menghasilkan indikator kualitas komuniti dari prespektif anak. Indikator dimaksud adalah sebagai berikut (Chawla, 2003: 122):
11
Tabel 2.1 Indikator Kualitas Komuniti dari Perspektif Anak Indikator Positif
Indikator Negatif
Integrasi sosial: anak-anak merasa terbuka dan dihargai di komuniti mereka
Eksklusif sosial: anak-anak merasa tidak terbuka
Kohesi komuniti: Komuniti mempunyai batas geografis yang jelas dan mempunyai identitas yang diekspresikan lewat kegiatan seni dan festival
Stigma: Penduduk merasa distigma untuk tinggal di suatu tempat yang diasosiasikan dengan kemiskinan dan diskriminasi
Saling membantu: Penduduk membangun komuniti mereka melalui organisasi – saling membantu dan wilayah yang diperbaiki mengalami peningkatan
Kekerasan dan kejahatan: Kekerasan dan kejahatan di komuniti, anak-anak takut ikut kegiatan atau keluar rumah
Aman dan bebas ikut kegiatan: Anak-anak merasa dilindungi oleh orang dewasa dan ruang tempat mereka berkegiatan aman
Lalu lintas yang padat: Lalu lintas yang padat, macet dan rawan kecelakaan
Beragam latar belakang kegiatan: Anakanak dapat berbelanja, berolah raga, dan mengikuti kegiatan lain sesuai keinginan anak
Kekurangan tempat berkumpul: Anakanak kekurangan tempat yang aman untuk berkumpul dan bermain dengan teman-temannya
Ruang hijau yang aman: Ruang hijau yang penuh pepohonan, aman dan bersih.
Kekurangan latar belakang kegiatan: Lingkungan tandus dan terisolasi, kekurangan tempat yang menarik untuk dikunjungi dan melakukan sesuatu
Persediaan kebutuhan dasar: Pelayanan dasar tersedia seperti makanan, air, listrik, pelayanan kesehatan dan sanitasi
Kekurangan persediaan kebutuhan dasar: Ketika pelayanan dasar seperti air bersih dan sanitasi kurang, yang pertama menjadi korban adalah anak-anak.
Kejelasan status kepemilikan: Anggota keluarga mempunyai hak secara hukum atas properti yang mereka diami melalui hak milik atau penyewaan
Lemah secara politik: Anak-anak dan keluarga merasa lemah untuk memperbaiki kondisi mereka
Indikator Chawla, kemudian dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi identitas komuniti:
12
1. apakah identitas komuniti sebagai tempat yang mendapat stigma sosial atau tempat penuh harapan positif; 2. apakah sebagai suatu tempat yang menakutkan atau aman; 3. apakah suatu tempat yang terisolasi dan terasing atau terintegrasi sosial; dan 4. apakah suatu tempat yang membosankan atau mengasikkan. Margaret O’Brien, ahli psikologi sosial dari University of East Anglia dalam tulisannya “Regenerating children’s neighborhoods: What do children want?,” (Christensen (ed.), 2003:144-145) memaparkan hasil penelitiannya tentang “The Childhood, Urban Space and Citizenship: Child-sensitive Urban Regeneration.” Penelitian tersebut melibatkan anak yang berusia 5-15 tahun dan orang tua. Penelitian tersebut menggunakan metode wawancara dan diskusi kelompok terfokus dalam proses pengumpulan data. Meskipun data antara anak dan orang tua saling tumpang tindih, namun mereka sama-sama menginginkan ada perbaikan lingkungan, tetapi Brien berusaha menampilkan perbedaan keinginan mereka. Ada empat wilayah kunci yang terkait dengan data: 1. ruang dan tempat bermain yang baik (misal: taman yang baik, ruang bermain dekat dari rumah, waktu luang untuk anak); 2. sistem keamanan yang baik (misal: kamera, kehadiran polisi yang intensif, pagar tembok yang tidak membahayakan); 3. fasilitas lalu lintas yang baik (misal: manajemen lalu lintas yang meliputi contoh, zebra cross, batas kecepatan); dan 4. infrastruktur pemeliharaan (misal: pembersihan, pencucian jalan). Gambaran dari keinginan anak dan orang tua tergambar dalam grafik persentase berikut ini.
13
Anak n=1.378
Tidak tahu/lain
Pemeliharaan
Lalu lintas
Keamanan
Bermain
35 30 25 20 15 10 5 0
Orang tua n=886
Grf.2.1 Persentase Perbaikan lingkungan lebih baik (anak & orangtua) Keinginan menciptakan lingkungan yang cukup baik untuk anak dan keluarga menurut Brien telah menjadi perdebatan pada masa Renaisance di Eropa dan Amerika Utara. Namun, pada penelitian ini Brien menyimpulkan (Christensen (ed.), 2003:159) agar dibuat: 1. penerangan jalan lebih baik dan tidak terkesan tertutup; 2. penerangan gang-gang; 3. secara teratur membersihkan permukiman dan jalan; 4. memindahkan taman yang tidak ramah anak; 5. berkonsultasi dengan anak perempuan untuk memperbaiki taman tempat bermain; 6. sensitif menggunakan bahan-bahan pembuat pagar atau tembok untuk taman dan bangunan; 7. areal bermain tertutup untuk dimanfaatkan pembangunan rumah; 8. aturan dasar di lingkungan, anak bebas mengakses kegiatan dalam rangka mengisi waktu luang; dan 9. desain ruang untuk anak-anak di permukiman. Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, Virginia Morrow, sosiolog dari London School of Economical and Political Science (Christensen (ed.), 2003:169) melalui tulisannya “Improving the neighborhood for children” dalam penelitiannya dengan pendekatan kualitatif mengungkapkan, pada umumnya, anak-anak menggambarkan kota dan lingkungan mereka secara negatif. Anak-anak yang tinggal di
14
gang-gang (cul-de-sac) di pinggir kota, merasa terlalu panas dan bosan, berdesakan, banyak rintangan, dan persoalan yang disebabkan oleh lalu lintas macet. Penelitian ini dilakukan tahun 2001 di Springtown – sebuah kota yang jaraknya 30 km dari London, Inggris. Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu bagian Barat kota dan bagian bukit, dengan informan 101 anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia antara 12 sampai dengan 15 tahun. Di bagian Barat merupakan daerah bekas pabrik yang dihuni oleh kelompok etnik minoritas dari African-Caribbean, Asia Selatan, dan kulit putih dari African-Caribbean. Sedangkan bagian bukit merupakan daerah campuran antara industri dan perumahan yang dihuni oleh keluarga yang berasal dari Yunani, Turki, Cyprus, Asia Selatan dan African-Caribbean. Semua anak, menggambarkan kotanya tidak mempunyai fasilitas yang tepat untuk kegiatan mereka, seperti yang dirasakan anak laki-laki yang suka sepak bola, criket dan bersepeda. Untuk memanfaatkan fasilitas yang bagus dan dapat diakses oleh anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki, mereka harus mengeluarkan dana berupa iuran bulanan atau ongkos sewa perjam. Save the Children Swedia atau Radda Barnen tahun 1996 melakukan penelitian dengan melibatkan 285 anak perempuan dan anak laki-laki yang berada di kelas menengah, tempat pengungsian dan gelandangan. Hasil penelitian tersebut dipublikasi dengan judul “Children in their housing.” Penelitian yang melibatkan anak-anak di 6 negara (Bangladesh, El Salvador, Ethiopia, Guinea Bissau, Pakistan dan Swedia) dimintakan menggambarkan mengenai rumah, tetangga, dan kota mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara, menggambar dan menulis. Anak-anak dimintakan untuk menjelaskan mengenai perasaan mereka tentang kesukaan dan ketidaksukaan terhadap rumah, lingkungan dan kota mereka. Semua anak-anak di kota besar menggambarkan tempat favorit yang tenang, tempat yang aman dengan pohon-pohon, kembang, rapi, dan tidak berpolusi. Dari hasil wawancara, gambar dan esai, terungkap bahwa mereka sangat membenci polusi udara yang diakibatkan kemacetan kendaraan dan mobil besar. Mereka juga membenci sampah-sampah yang berserakan di jalan dan halaman rumah mereka. Mereka juga sangat takut dengan kekerasan, dan kecelakaan lalu lintas. Pada akhir laporan, Save the Children menyimpulkan bahwa lingkungan rumah yang ramah anak adalah (Save the Children, 1996: 16): 1. lingkungan rumah yang menyediakan fasilitas yang sesuai kebutuhan anak untuk perkembangannya sesuai usia dan gender; 2. rumah yang aman dan terlindungi dari perlakuan salah, kekerasan dan kejahatan; 3. kesempatan untuk bermain dan belajar; 4. tersedia ruang pribadi; 5. konstruksi rumah yang memadai dari bahan bangunan yang tidak terkontaminasi dengan bahan beracun berbahaya;
15
6. akses ke air, listrik, pengaturan air buangan; dan 7. terlindungi dari kemacetan dan bahaya kendaraan, polusi udara dan racun, serta kebisingan dan kepadatan permukiman. Sedangkan komuniti yang ramah anak (Save the Children, 1996: 16): 1. komuniti yang aman dan bebas kejahatan; 2. daerah hijau dan ruang terbuka; 3. tempat bermain yang aman, sehingga anak dapat bermain dan berinteraksi sosial; dan 4. anak memperoleh akses pelayanan kesehatan, pendidikan dasar, dan transportasi umum. Jill Swart Kruger, antropolog dan arkeolog dari University of South Africa dan Louise Chawla, psikolog lingkungan dari Kentucky State University melakukan penelitian tentang “Four-site study of children’s needs and priorities”. Penelitian ini adalah bagian dari proses perubahan Johannesburg menjadi sebuah kota ramah anak. Penelitian melibatkan anak-anak laki-laki dan perempuan usia 10-14 tahun. Mereka merupakan perwakilan dari 4 wilayah – Westen Joubert, Riverlea, Marvern, dan Pimville. Metode penelitian yang digunakan adalah metode partisipasi. Penelitian diawali dengan identifikasi latar belakang sosial ekonomi anak, kemudian mereka menceritakan gambaran mengenai kegiatan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal – rumah, sekolah, dan tetangga. Selain itu, mereka menilai tempat tinggal dengan memberikan stiker hijau untuk tempat favorit dan merah tempat berbahaya. Mereka diminta menyebutkan persoalan yang mereka hadapi dan memberikan solusi utama untuk menjadikan Johannesburg kota yang lebih baik. Setelah persoalan dan pemecahaan teridentifikasi, anak perempuan memberi peringkat, persoalan dan pemecahan yang mana yang perlu didahulukan (Kruger, 2002:86). Ada 6 temuan utama dari penelitian tersebut yaitu: 1. tempat bermain anak tidak cukup dan kurang aman; 2. persoalan pedestrian; 3. transportasi umum; 4. kekerasan dan keamanan umum; 5. sampah dan manajemennya; dan 6. tempat penjualan minuman keras. Hasil penelitian ini dapat dibaca melalui majalah “Environment & Urbanization” Vol 14 No. 2 Oktober 2002 dengan judul “We know something someone doesn’t know: children speak out on local conditions in Johannesburg.”
16
Ahmad Y. Al-Zoabi, arsitek dan perencana dari King Saud University, melakukan penelitian tentang “Children’s Mental Maps and Neighborhood Design of Abu-Nusier, Jordan,” yang bertujuan untuk menguji bagaimana anak berinteraksi dengan lingkungan tetangga mereka dan bagaimana perencana dan perancang dapat memperoleh informasi pertama dari anak-anak tentang kegunaan dan kebutuhan mereka seperti ruang komuniti. Untuk menguji penelitiannya, Al-Zoabi menggunakan metode wawancara, menggambar, dan penelusuran literatur. Hasil penelitian Al-Zoabi, mengutip pendapat Ward, bahwa anak-anak tidak hanya membutuhkan ruang fisik, tetapi juga ruang sosial. Ukuran dari ruang sosial tidak hanya meliputi kesempatan untuk berinteraksi dan bermain dengan teman-temannya, tetapi juga kesempatan untuk keleluasaan pribadi (Al-Zoabi, 2002:16). 2.2 Metode Penelitian yang Digunakan Bersama Anak Hal yang harus dicermati oleh peneliti berkaitan dengan anak-anak menurut Johnson, dkk dari PLAN International (Johnson, 2002: 22) adalah : 1. pemahaman terhadap konteks sosial politik komuniti setempat; 2. kapasitas anak-anak untuk berperan serta sangatlah beragam; 3. strategi mengkomunikasikan masalah; dan 4. beberapa etika pokok yang harus dipegang teguh, seperti misalnya izin dari masyarakat untuk menggali data, kerahasiaan sebuah data atau informasi, dan kesepakatan tentang pemanfaatan data yang diperoleh. Berangkat dari uraian di atas dapat dibayangkan bagaimana berhubungan dengan anak sebagai sumber data atau informasi. Persoalan ini, tergantung pada metode penelitian yang digunakan oleh peneliti. Seperti diuraikan pada bagian 3.1, berbagai metode penelitian yang digunakan oleh para peneliti telah teridentifikasi, mulai dari Kevin Lynch, Louise Chawla, Margaret O’Brien, Virginia Morrow, Jill Swart Kruger & Louise Chawla, Ahmad Y Al-Zoabi dan Save the Children. Mereka secara umum menggunakan metode pengamatan, wawancara, menggambar, diskusi kelompok terfokus. Namun, mereka juga memperkenalkan beberapa metode baru seperti metode PRA (Participatory Rural Appraisal) oleh Chawla, dan metode penulisan esai yang diperkenalkan oleh Save the Children Swedia. Untuk kebutuhan saya dalam penelitian tentang “Persepsi anak mengenai lingkungan kota,” saya mengadopsi metode pengamatan terlibat, wawancara semi terstruktur, dan menggambar. Uraian mengenai metode penelitian tersebut selengkapnya pada bab V. 2.3 Kesepakatan Internasional Mengenai Anak dan Kota Di samping penelitian tersebut, para pemimpin dunia telah memberi perhatian kepada anak. Dengan kesadaran tinggi mereka, berkeinginan merumuskan dan meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak – PBB (1989), Agenda 21 – bab 25 (1992) dan menyusun konsep Kota Ramah Anak yang pertama kali diperkenalkan pada Konferensi
17
Tingkat Tinggi Istanbul – Turki, 1996. UNICEF sebagai motor penggerak gagasan tersebut telah membentuk Gerakan Kota Ramah Anak di beberapa negara, antara lain Philipina, Malaysia, Mauritius, Itali, dan beberapa negara Scandinavia, dan Canada. Unsur utama sebuah Kota Ramah Anak adalah kota yang menghormati hak-hak anak yang diwujudkan dengan menyediakan (Inocenti Digest No.10/10/02:22): 1. akses pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, sanitasi yang sehat dan bebas dari pencemaran lingkungan; 2. kebijakan dan anggaran khusus untuk anak; 3. lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga memungkinkan anak dapat berkembang. Anak dapat berekreasi, belajar, berinteraksi sosial, berkembang psikososial dan ekspresi budayanya; 4. keseimbangan di bidang sosial, ekonomi, dan terlindungi dari pengaruh kerusakan lingkungan dan bencana alam; dan 5. wadah bagi anak-anak untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan yang berpengaruh langsung pada kehidupan mereka
18
BAB III PERSEPSI ANAK MENGENAI LINGKUNGAN KOTA
Anak, seperti halnya orang dewasa, dapat diajak kerjasama dalam penelitian mengenai persoalan-persoalan yang berhubungan dengan lingkungan kota (Adams & Ingham, 1998:51). Saya dapat berkonsultasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan dan pengalaman mengenai lingkungan kota tempat mereka tinggal. Dari mereka saya dapat menemukan kebutuhan atau aspirasi mereka. Mereka dapat membantu saya dalam mendapatkan data mengenai lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah, tempat bermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan. Mereka memperoleh pengalaman yang tak ternilai dari kegiatan penelitian ini. Melalui kegiatan penelitian ini mereka menjadi berpikir mengenai persoalan lingkungannya, dan dapat mengidentifikasi persoalan yang ada untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama. Mereka juga dapat memberikan kontribusi dalam proses perencanaan dan pengembangan kota yang mereka harapkan (Adams & Ingham, Ibid). Dalam penelitian ini, bahasan-bahasan yang akan ditampilkan tidak lebih dari pengalaman-pengalaman anak mengenai lingkungan kotanya yang mereka lihat, dengar dan ingat. Supaya anak-anak mudah bercerita atau menggambarkan sesuatu yang mereka alami dan ketahui tentang lingkungan kota, saya membagi lingkungan kota menjadi lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah, tempat bermain, pelayanan transportasi, dan pelayanan kesehatan. 3.1 Anak dan Lingkungan Tempat Tinggal 3.1.1 Keluarga Anak Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk belajar berinteraksi sosial, belajar memberi respon terhadap masyarakat dan beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat. Melalui proses interaksi dalam keluarga, secara bertahap seorang anak belajar mengembangkan kemampuan nalar dan imajinasinya. Hasil interaksi anak dengan keluarga, menghasilkan persepsi anak mengenai keluarganya. Pola Asuh Pembentukan diri anak ditentukan oleh pola asuh yang ada dalam keluarga. Ada tiga jenis pola asuh yang diterapkan oleh masing-masing keluarga, yaitu otoriter, bebas dan demokratis. Masing-masing pola ini menghasilkan perilaku yang berbeda pada diri anak.
19
Otoriter Pada pola asuh otoriter, orang-tua cenderung menentukan aturan-aturan dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Tidak ada pilihan lain, anak harus patuh dan tunduk pada kemauan atau pendapat orang-tua. Jika tidak memenuhi tuntutan orang-tua, anak akan diancam dan dihukum. Orang-tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi. Anak melakukan sesuatu bukan karena senang hati atau dengan kesadaran, tetapi lebih karena merasa takut. Pada pola ini, orang-tua menentukan aturan tanpa memperhitungkan keadaan anak, apalagi berusaha menyelami keinginan dan sifat-sifat khusus anak yang berbeda antara anak yang satu dengan lainnya. Jerry (12 tahun) murid kelas VI sekolah dasar, sering memperoleh perlakuan kasar dari ayahnya yang seorang buruh. Baik ketika Jerry dan keluarganya mengontrak maupun tinggal di rumah kakek (keluarga ayah) seperti saat ini, Jerry tetap saja sering menerima hukuman dan perlakuan kasar dari ayahnya. Ibu maupun kakek-neneknya terkadang diam saja melihat perilaku ayah Jerry, karena kakeknya dulu juga memperlakukan hal yang sama pada ayahnya. Pengalaman yang dialami sejak kecil terus membekas pada dirinya, sehingga membuat ia sering menarik diri dari pergaulan dengan teman-temannya. Di sekolah, Jerry lebih banyak berdiam diri di kelas, jarang bercanda dan bermain dengan temannya. Ia terkesan kurang percaya diri atau ragu mengutarakan pendapatnya. Saat diajak untuk menceritakan kondisinya, Jerry lebih sering menunduk dan bersikap tertutup. Ia menjawab singkat setiap pertanyaan yang diberikan. Trauma-trauma atas perlakuan kasar ayahnya sangat membekas pada dirinya. Ia akan merasa sangat takut ketika ia memperoleh nilai buruk di sekolah, pulang terlambat, atau bermain di rumah teman. …papa sering marah-marah kalau saya dapat nilai merah, kadang-kadang papa ringan tangan. Pernah saya pulang terlambat dari rumah teman, papa langsung marah-marah dengan suara keras, papa tidak pernah mendengar alasan saya pulang terlambat… papa, ingin anaknya selalu mendengar, membantu, tidak melawan orang-tua, tidak sering pulang terlambat…(Jerry/12 th). Pola otoriter yang diterapkan, ditambah dengan sikap keras, menghukum, mengancam akan menjadikan anak patuh di hadapan orang-tua, tetapi memperlihatkan reaksi menentang atau melawan di belakang, karena perasaan tertekan yang dialaminya. Reaksi menentang seperti ini, tidak tercermin pada sikap dan perilaku Jerry, namun ia lebih memilih menarik diri, dengan tidak banyak melakukan pelanggaran atas larangan dari ayahnya agar lebih ”aman”. Sikap ini bertolak belakang dengan Randy (12 tahun) yang juga murid kelas VI sekolah dasar. Randy juga sering memperoleh perlakuan kasar dari ayahnya, seorang penjahit yang juga bersikap otoriter dalam pola asuh keluarganya. Pengalamanpengalaman diperlakukan secara otoriter di rumah, menjadikan sikap Randy di rumah yang amat patuh pada orang-tuanya di rumah, bertolak belakang dengan sikap dan tingkah lakunya di sekolah dan lingkungan bermainnya. Randy sering menimbulkan persoalan, memaksakan kehendak, dan sering berperilaku kurang ramah tehadap
20
teman-temannya di sekolah atau lingkungannya. Ia pun kerap mengganggu temantemannya. Ekspresi diri Randy sebenarnya merupakan luapan tekanan yang ia alami selama di rumah. Perilakunya yang tunduk dan patuh kepada orang-tua hanya karena ketakutannya, sedangkan saat berada di luar rumah, seolah-olah ia memperoleh kebebasan, tanpa ada orang yang menghalanginya, termasuk guru di sekolah. Di kelas, ketika berbicara dengan peneliti dan pada sesi gambar, Randy selalu mencari perhatian dari teman atau peneliti sendiri. …papa selalu membentak-bentak kalau Randy melakukan kesalahan, pulang terlambat, bangun terlambat, dan bolos sekolah. Papa jarang ngobrol bersama atau mendengarkan masalah Randy, papa terlalu sibuk dengan urusannya, begitu juga mama, inginnya permintaannya selalu dilaksanakan untuk membersihkan dan membuang sampah…(Randy/12 th). Bebas Pada pola asuh bebas, anak dibiarkan mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberi batasan-batasan dari tingkahlakunya. Orang-tua baru akan memberi reaksi pada hal-hal yang dianggapnya sudah melebihi batas. Pada pola asuh bebas ini, pengawasan menjadi longgar. Anak terbiasa mengatur dan menentukan sendiri apa yang dianggapnya baik. Cara seperti ini umumnya dijumpai pada keluarga-keluarga yang kedua orang-tuanya bekerja, terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan, sehingga tidak ada waktu untuk mendidik anak dalam arti yang sebaik-baiknya. Orang-tua ini mempercayakan masalah pendidikan dan pengasuhan anaknya kepada orang lain atau anggota keluarga lain di rumah. Orang-tua hanya bertindak sebagai polisi yang mengawasi, menegur dan mungkin memarahi. Orang-tua lebih bersifat memenuhi semua keinginan anak sebagai penebus perasaan bersalah terhadap anaknya. Karena harus menentukan sendiri, maka perkembangan kepribadian anak menjadi tidak terarah. Dalam diri anak, tumbuh keakuan yang terlalu kuat dan kaku, sehingga biasanya anak akan mendapatkan kesulitan-kesulitan ketika menghadapi laranganlarangan yang ada dalam lingkungan sosialnya. Demokratis Pola asuh demokratis merupakan cara yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun bukan kebebasan yang mutlak. Di dalamnya terdapat bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak, yaitu anak dan orang-tua. Keinginan dan pendapat anak diperhatikan, dan akan disetujui untuk dilakukan jika sesuai dengan norma-norma orang-tua. Jika kemudian keinginan dan pendapat anak tidak sesuai, kepada anak akan dijelaskan secara rasional dan objektif alasan penolakan orang-tua. Pola demokratis seperti ini akan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap tingkah laku pada diri anak, yang selanjutnya dapat memupuk kepercayaan dirinya. Anak dapat bertindak sesuai dengan norma dan kebebasan yang ada pada dirinya dengan kesadaran yang penuh namun tetap dapat memperoleh kepuasan. Dengan lingkungan sekitarpun anak yang diasuh dengan pola demokratis, mampu menyesuaikan
21
diri, dapat menghargai lingkungan yang berbeda dari dirinya dan atau dengan kata lain lebih cerdas secara emosional. Ratih (9 tahun) murid kelas IV sekolah dasar, adalah contoh dari pola ini. Ia memperoleh perlakuan dan pendidikan yang baik dari orang-tuanya yang seorang wirausaha. Ratih tumbuh menjadi anak yang bersikap dan berperilaku baik terhadap teman, guru, orang lain, sekalipun orang itu baru dikenalnya. Ayah dan ibu Ratih sering mengajak anak-anaknya berkomunikasi dan saling terbuka. Persoalan yang dihadapi anggota keluarga, selalu dibicarakan secara bersama. Demikian juga ketika Ratih, memperoleh nilai buruk atau dimarahi guru di sekolah, ia tidak akan takut untuk menceritakan kepada orang tua, yang diyakini dapat memberikan jalan keluar bagi masalahnya. Karena pendidikan dari keluarga agar menghargai orang lain itulah, kadang Ratih memprotes teman-temannya yang kurang ramah atau tidak sopan pada orang lain. …anak-anak di sini tidak disiplin, tidak sopan, karena mereka tidak ada kesopanan, kalau ada tamu malah mengobrol. Ini karena pengaruh dari lingkungan rumah… (Ratih/9th). Dengan kebiasan di rumah berbicara dengan kedua orang-tua dan anggota keluarga lain, menjadikan Ratih sebagai anak yang percaya diri, dan cerdas. Ketika wawancara dilakukan ia pun berani menatap wajah lawan bicaranya (peneliti) tanpa sungkan, dengan ekspresi wajah yang tanpa beban. Gambaran seperti ini juga diperlihatkan oleh Fadil (11 tahun) murid kelas VI sekolah dasar. Kebebasan yang diberikan orang-tua Fadil untuk memilih dan mengikuti berbagai kegiatan seperti teater, menumbuhkan kepercayaan diri Fadil. Ia bersedia untuk diajak berbicara mengenai hal-hal apa yang ia ketahui tentang keluarganya. …papa dan mama tidak sering marah, mereka lebih senang apabila ada persoalan sekolah atau teman bermain, dibicarakan bersama-sama. Mereka menginginkan saya melakukan tugas-tugas sekolah dengan baik, ikut teater dan pementasan secara teratur, dan papa dan mama selalu memperhatikan anak-anaknya, misalnya kalau kakak pulang terlambat, mama selalu mengingatkannya, begitu juga dengan saya, kalau ada pekerjaan rumah atau tugas sekolah lainnya selalu membantu untuk mencari jalan keluarnya…(Fadil/11 th). Tanggung jawab Tanggung jawab adalah menyangkut melakukan suatu tugas tanpa disuruh; menanggung dari suatu akibat dari suatu perbuatan; dapat dipercaya; ada kaitannya pula dengan kewajiban; kemampuan dan keterikatan (Setiono, Koesdwiratri, 1984:3335). Dalam kajian ini tanggung jawab pada anak adalah tidak diperlukan peringatan atau suruhan dalam melaksanakan tugas. Contoh, bila anak mengerjakan pekerjaan rumahnya tanpa disuruh, hal itu berarti anak tersebut adalah bertanggung jawab. Anak yang bertanggung jawab berarti adanya keterikatan pada suatu tindakan tanpa disuruh atau diperingatkan. Dengan demikian tingkah laku bertanggung jawab adalah adanya motivasi dari dalam diri si anak.
22
Di dalam keluarga anak melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, seperti membersihkan lantai, membuang sampah, membersihkan selokan, mengelap kaca, menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Akan tetapi dalam beberapa kasus anak mengasuh adik dan mencari uang. Tugas-tugas ini dilaksanakan, baik sebelum pergi ke sekolah, sepulang sekolah atau pada hari minggu dan libur. Misalnya, Alan (9 tahun) murid kelas IV sekolah dasar yang ayahnya seorang pedagang. Dengan wajah penuh percaya diri, ia bercerita mengenai tugas-tugas rumah tangga yang harus dilaksanakannya, seperti mengasuh adik, menyapu, mengepel, dan mengelap kaca hampir setiap hari. Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut kadangkadang Alan tidak perlu diperintah, ia dengan sendirinya melaksanakan. Akan tetapi ia kadang-kadang protes bila mengasuh adik, karena ingin bermain. …Alan di rumah sering menjaga adik, membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mengelap kaca, dan membuang sampah ke tong sampah...(Alan/9 th). Pengalaman mengerjakan tugas rumah tangga juga diceritakan oleh Rifan (9 tahun) murid kelas IV sekolah dasar, yang berasal dari keluarga buruh bangunan. Ekspresi wajahnya sedikit kocak ketika diwawancara, kadang dibarengi dengan gaya bicaranya yang meledak-ledak. Rifan menceritakan bahwa ia disuruh ibunya menjadi tukang semir sepatu untuk menambah atau menutupi kekurangan biaya kebutuhan sehari-hari dan keperluan sekolahnya. Setiap malam Rifan menyemir sepatu di restoran dan kafe yang ada di Taman Ismail Marjuki. …malam suka nyemir sepatu – di A. Kasum, Aneka Rasa di TIM, orangorangnya baik – suka kasih sembako. Kadang suka kasih goceng, ceban. Kalau sepi di TIM, kadang-kadang ke Biliar dan Jalan Jaksa – nyemir disuruh mama…(Rifan/9 th). Latar Belakang Ekonomi Anak-anak dalam penelitian ini berasal dari latar belakang ekonomi keluarga yang berbeda-beda, ada yang berasal dari orang-tua laki-laki (ayah) yang bekerja sebagai karyawan (50%), wirausaha atau berjualan di kaki lima atau pemilik warung (20,6%), bekerja sebagai buruh (17,6%), dan bekerja sebagai sopir, baik angkutan umum maupun pribadi (11,8%). Sedangkan orang-tua perempuan (ibu) sebagian besar bekerja sebagai ibu rumah tangga, hanya satu ibu yang berjualan dan satu ibu bekerja sebagai karyawan. Secara garis besar, keluarga anak-anak ini berbeda dalam hal sumber penghasilan, dilihat dari pekerjaan ayah mereka. Sumber penghasilan ayah digolongkan atas tetap dan tidak tetap. Berpenghasilan tetap artinya menerima secara teratur per bulan, seperti karyawan dan sopir pribadi, dan tidak tetap artinya tidak memiliki sumber penghasilan yang teratur setiap bulannya, seperti wirausaha dan buruh. Keluarga yang memiliki sumber penghasilan tetap dapat menyekolahkan anakanaknya, dapat membelikan mainan, dan jika anak sakit dapat memeriksakan ke dokter. Sesekali, orang-tuanya memanjakan anak-anak dengan berekreasi ke tempat wisata di Jakarta seperti, Taman Monas, Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, dan Kebun
23
Binatang Ragunan, dan bila berkecukupan berekreasi ke Taman Safari atau Taman Bunga Nusantara di Puncak. Ratih (9/th) dari ayah yang pengusaha dan telah menunaikan ibadah haji, kehidupan keluarganya terpenuhi. Hampir semua kebutuhan Ratih dan keluarga selalu terpenuhi. Kadang-kadang, Ratih, ibu, kakak hampir setiap minggu jalan-jalan ke Monas, ke Atrium Senen, ke Senayan. Bila sakit oleh ibu selalu dibawa ke Klinik. Pada keluarga dengan sumber penghasilan tidak tetap, pendapatannya hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Untuk biaya lain seperti sekolah anak-anaknya, pengobatan atau pemeriksaan kesehatan anaknya kedua orangtua masih harus berusaha lagi. Kondisi ini dialami oleh Rifan yang ayahnya buruh bangunan. Untuk menutupi kebutuhan keluarganya, kadang-kadang Rifan harus bekerja sebagai penyemir sepatu. Dengan demikian, dapat terlihat seperti apa kondisi yang mendukung tumbuh kembang anak-anak dari masing-masing keluarga tersebut. Keluarga yang sanggup menyekolahkan, memperhatikan kesehatan, mengajak bermain dan berekreasi dengan anaknya, menghasilkan anak-anak yang pertumbuhan dan perkembangannya lebih baik dibandingkan dengan anak-anak lain yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Secara umum perbedaan di atas terlihat jelas pada penampilan, sikap dan perilaku anak-anak tersebut. Dalam pergaulan, baik di lingkungan komuniti maupun sekolah, anak-anak dari keluarga berpenghasilan tetap, nampak lebih bersih, berpakaian rapi, dan santun. Sikap mereka terhadap guru dan teman-temannyapun cukup baik. Misalnya Ratih, secara fisik tampil bersih, sikap dan tingkahlakunya ramah terhadap orang lain. Hal ini berbeda dengan anak-anak dari keluarga berpenghasilan tidak tetap, yang relatif berpenampilan kumal, kasar dalam berbicara, dan kerap bertengkar dengan temannya. 3.1.2 Tempat Tinggal Anak Rumah tinggal anak-anak tersebut tersebar di empat kelurahan, yaitu Kelurahan Kwitang 20 anak (58,8%), Kelurahan Kenari 4 anak (11,8%), Kelurahan Kebon Sirih 7 anak (20,6%), dan Kelurahan Cikini 3 anak (8,8%). Kelurahan Kwitang dan Kenari secara administratif terletak di Kecamatan Senen, sedangkan Kelurahan Kebon Sirih dan Kelurahan Cikini berada di Kecamatan Menteng. Kedua kecamatan tersebut masuk wilayah Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Satus Kepemilikan Rumah Rumah yang ditempati anak-anak dan keluarganya berdasarkan status kepemilikan adalah milik sendiri 73,6 persen, mengontrak atau menyewa 17,6 persen dan menumpang pada orang-tua atau menempati perumahan dinas 8,8 persen. Rumahrumah tersebut hampir sebagian besar bangunannya dari tembok, beton, dan menggunakan bahan bangunan yang berkualitas dan layak sebagai tempat tinggal. Meskipun demikian masih ada juga sebagian rumah yang kondisinya kurang layak huni, terutama rumah kontrakan yang mereka tinggali. Sebagian besar bangunan rumah ini
24
semi permanen dengan bahan-bahan yang kurang berkualitas. Rumah dengan kondisi inipun umumnya memiliki ruangan yang sempit dan terbatas, serta berlokasi di daerah padat. Keluarga Fadil merasa tenang tinggal di Jakarta, karena mereka telah mempunyai rumah sendiri. Keluarga ini tidak perlu lagi memikirkan biaya kontrakan dan mengalami kerepotan karena harus berpindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain. Meskipun rumahnya hanya berukuran kecil dan mempunyai ruang terbatas – tidak mempunyai ruang khusus, anggota keluarga merasa betah menempatinya, karena rumahnya telah dilengkapi dengan telepon, listrik dan air minum dari PAM. …Rumah yang kami tempati adalah kepunyaan sendiri. Meskipun sederhana dan ruang terbatas, tetapi dibagun dengan bahan bangunan yang kuat, tembok dari batu bata, lantai tegel… Kami sekeluarga merasa tenang dan nyaman. Rumah dilengkapi dengan telepon, listrik dan sumber air dari PAM…(Fadil/11 th). Pengalaman Fadil berbeda dengan yang dialami oleh Sari (12 tahun) murid kelas V sekolah dasar. Sari berasal dari keluarga yang berlatar belakang ekonomi lemah. Mereka tinggal di sebuah ruang di lantai dasar gedung. Keluarga ini dapat menempati ruang tersebut, karena kebaikan pengelola gedung tempat ayahnya bekerja sebagai petugas Satuan Pengaman (SATPAM). Sesungguhnya, Sari dan anggota keluarganya merasa kurang tenang dan nyaman menempati ruang tersebut, karena sewaktu-waktu ruang itu akan dimanfaatkan oleh pengelola atau laku terjual. Mereka dapat saja diusir dari gedung itu. Selama ruang pada gedung itu belum terjual seluruhya, selama itu pula mereka masih bisa menempatinya. Mereka tidak bebas melakukan kegiatan sehari-hari di tempat tinggalnya, dan terus menjaga kehati-hatian, karena khawatir akan mengganggu kegiatan dari penyewa gedung atau mengotori ruangan lain. Kondisi serupa juga dialami oleh keluarga Setiawan (11 tahun) murid kelas VI sekolah dasar, yang ayahnya bekerja sebagai pegawai administrasi. Keluarganya diberi kompensasi untuk menempati ruangan kosong di kantor sebagai tempat tinggal. Meskipun hanya mempunyai ruang sempit yang cukup untuk sebuah tempat tidur, keluarganya betah tinggal di situ. Mereka hanya menghadapi persoalan air untuk minum, mandi dan cuci. Untuk mengatasi persoalan air, keluarga Setiawan berlangganan air galon; sedangkan untuk mandi dan cuci menggunakan sumur umum. …kami menempati sebuah ruangan di kantor bapak, ruangannya sempit hanya cukup satu tempat tidur…persoalan yang kami hadapi adalah air untuk minum, masak, mandi dan cuci…Untuk kebutuhan air minum, bapak langganan air galon atau pakai air PAM jika tidak ada uang. Sedangkan untuk mandi dan cuci menggunakan air di sumur umum, tetapi kadang-kadang saya mandi di kantor bapak, jika antrean terlalu panjang…(Setiawan/11 th). Arti Rumah Bagi warga kota, rumah mempunyai arti yang amat penting. Oleh karena itu, bersama sandang dan pangan, rumah merupakan kebutuhan pokok. Rumah dipahami
25
anak-anak adalah sebagai suatu tempat tinggal, melindungi dari hujan dan panas, serta melindungi dari bahaya binatang buas. Rian (12 tahun) ”…rumah melindungiku dari panas dan hujan,” Fadil (11 tahun) ”…kalau ada hujan kita bisa berteduh, kalau ada binatang buas bisa berlindung. Kalau tidak ada rumah, kita tidak bisa tidur, jadi kalau ada rumah kita bisa tidur...” Sedangkan menurut dr. Azrul Azwar, MPH, ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia (Azwar, 1990:81) rumah mempunyai beberapa arti, yakni : 1. sebagai tempat untuk melepaskan lelah, beristirahat setelah dari sekolah dan melaksanakan kewajiban seharian; 2. sebagai tempat untuk bergaul dengan keluarga atau membina rasa kekeluargaan bagi segenap anggota keluarga yang ada; 3. sebagai tempat untuk melindungi diri dari kemungkinan bahaya yang datang mengancam; 4. sebagai lambang status sosial yang dimiliki, yang masih dirasakan hingga saat ini; 5. sebagai tempat untuk menyimpan barang-barang berharga yang dimiliki. Berkaitan dengan ini, rumah juga dapat diartikan sebagai modal, yang jika keadaan memaksa dapat dijual untuk menutup kebutuhan lain yang dianggap lebih utama. Seperti yang diuraikan di atas, rumah mempunyai arti sebagai tempat melindungi diri dari kemungkinan bahaya yang datang mengancam. Untuk dapat mewujudkan arti yang dimaksud, rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar dari penghuninya. Ditinjau dari syarat ini, maka yang harus diperhatikan adalah rumah tersebut harus melindungi anggota keluarga dari ancaman-ancaman yang datang dari luar yang dapat mencederai dan atau membuat trauma anggota keluarga. Rumah merupakan tempat tinggal anak untuk mendapat rasa aman dari segala bentuk kejahatan kekerasaan, pencurian, pemerkosaan, eksploitsi seksual dan pengambil-alihan status kepemilikan rumah. Di samping itu, penghuni rumah juga harus terlindung dari pencemaran udara, dan pencemaran suara. Menurut, Fadil, ia merasa aman tinggal di rumah, karena secara fisik bangunan lengkap dengan pintu dan jendela yang kokoh, yang tidak mudah diterobos oleh pencuri atau perampok. Sedangkan dari segi letak, rumah ini berada di tengah-tengah permukiman yang berdekatan dengan rumah lain di sisi kiri-kanan dan depan. Sehingga memungkinkan antara penghuni rumah satu dengan penghuni lain saling mengawasi. Untuk keamanan lingkungan, Rukun Tetangga (RT) mengadakan kegiatan ronda Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling) setiap malam. Pada malam hari, ada beberapa anak muda suka berkumpul di depan rumah bermain gitar. Kondisi-kondisi seperti itu, ditambah dengan kehadiran ayah dan ibu yang selalu menjaga keselamatan anaknya, membuat Fadil merasa aman dan tenang di rumah. Akan tetapi, kadang-kadang ia merasa tidak aman, kalau kakak, ibu, dan ayah belum pulang ke rumah. Sehingga Fadil kadang-kadang harus ”baca-baca” (memohon perlindungan Tuhan). Supaya ia aman di rumah, dan kakak, ibu dan ayah selamat sampai ke rumah. Keadaan serupa juga
26
dialami oleh Rian, ia merasa aman tinggal di rumah, karena ada ayah dan ibu yang melindungi. Rian tinggal berteriak meminta tolong kepada mereka untuk meminta perlindungan, sehingga Rian tidak merasa takut. Kondisi anak yang belum matang secara fisik dan mental membuat mereka rentan terhadap berbagai ancaman dari luar diri mereka. Dengan demikian, wajar jika anak-anak masih bergantung kepada orang dewasa. Anak-anak akan merasa aman tinggal di rumah, kalau ada ayah dan ibu yang melindunginya dari berbagai ancaman. Untuk menciptakan hal ini, orang dewasa yang ada di rumah diharapkan dapat berfungsi sebagai pelindung/penjaga. Mereka masih mengandalkan orang dewasa yang ada di tempat tinggal mereka dalam berbagai hal yang berhubungan dengan perlindungan. Akan tetapi, yang perlu disadarkan kepada anak adalah bahwa kadang-kadang ancaman yang lebih dahsyat, datang dari orang-orang yang mereka percaya dapat memberikan rasa aman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kasus-kasus child abuse, sexual abuse, physical abuse dan emotional abuse, pelakunya adalah ayah dan ibu mereka yang selama ini telah memberikan perlindungan kepada mereka di rumah. Ancaman lain yang dikhawatirkan anak-anak adalah bahaya kebakaran. Mereka takut jika secara tiba-tiba rumah mereka terbakar di malam hari. Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena adanya kasus kebakaran di lingkungan mereka. Kepadatan permukiman di tempat anak-anak ini tinggal seperti Kwitang, Kebon Sirih dan Cikini menambah kekhawatiran tersebut. Menurut mereka kalau terjadi kebakaran di dekat tempat tinggal mereka, maka kemungkinan besar rumah mereka akan terbakar semua. Kekhawatiran mereka lainnya adalah adanya bahaya banjir, karena lokasi permukiman warga berdekatan dengan Kali Ciliwung yang memang rawan banjir. Menurut Lin (11 tahun) murid kelas VI sekolah dasar, ia merasa aman tinggal di rumah, karena ada ayah-ibu. Akan tetapi, kalau ada hujan dan gledek di malam hari. Ia merasa takut, khawatir listrik padam dan terjadi kebakaran, karena rumahnya sangat dekat dengan rumah tetangga, letaknya di gang pula. Sedangkan Setiawan, khawatir kalau ada banjir, karena rumahnya dekat kali Ciliwung. Ia trauma pada saat banjir tahun 2002, banyak barang-barang mereka yang hilang terhanyut oleh banjir. Fasilitas di Rumah Kalau diperhatikan dari segi kelengkapan jaringan, rumah tinggal anak-anak umumnya layak huni. Hal ini memungkinkan anak-anak tinggal dengan tenang dan nyaman. Penerangan lampu, penggunaan alat-alat elektronik, seperti televisi, radio, tape, kulkas, kipas angin dan seterika bukan menjadi persoalan lagi. Dengan saluran listrik yang tersedia, memungkinkan anak-anak belajar dengan lampu yang terang, menonton acara-acara kesukaannya dari televisi, mendengarkan siaran radio, dan makan makanan yang segar dari kulkas dan lain-lain. Di samping itu, melalui jaringan telepon, anak-anak dan keluarganya dapat saling berhubungan dengan praktis. Namun, fasilitas tersebut hanya dinikmati oleh sebagian keluarga yang terpasang jaringan telepon.
27
…di rumah, penerangan, kulkas, menyeterika, dan menanak nasi semuanya menggunakan listrik. Listrik berasal dari PLN…di rumah belum ada telepon…(Emi/12 th/kelas VI SD). …di rumah sudah ada aliran listrik dari PLN yang dipergunakan untuk penerangan, seterika, tv, radio, dan kipas angin…di rumah sudah ada saluran telepon. Telepon ini banyak membantu ibu untuk menghubungi kakak, kalau pulang terlambat…(Fadil/11 th). Kondisi yang paling menyolok dari keadaan tempat tinggal anak adalah tersedianya sumber dan pasokan air bersih. Air bersih yang dipergunakan untuk minum, mandi, dan cuci, sebagian besar dipasok oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Warga kota berlangganan secara bulanan, pihak PDAM yang menyediakan pipa dan menghubungkannya dengan jaringan pipa yang ada di setiap rumah. Menurut anakanak, jumlah pasokan air dari PDAM, pada saat ini tidak mengalami kesulitan, begitu juga dengan kualitas airnya, walaupun sedang musim kemarau. Sedangkan perumahan yang belum tersambung jaringan PDAM, pasokan air bersumber dari sumur pompa listrik atau sumur umum (MCK) yang disediakan oleh kelurahan. Di beberapa keluarga, kebutuhan air minum dipenuhi dengan berlangganan air kemasan galon. …air di rumah lancar, sumbernya dari PAM, digunakan untuk minum, mencuci dan mandi…(Emi/12 th). …sumber air berasal dari pompa mesin untuk mandi, cuci, masak, sedangkan air minum, kadang-kadang memasak air, tetapi lebih banyak membeli air galon. Air pada musim hujan lancar, tetapi kalau musim kemarau agak sedikit tidak lancar...(Nisa/11 th/kelas VI SD). …untuk kebutuhan air minum, bapak langganan air galon atau pakai air PAM jika tidak ada uang. Sedangkan untuk mandi dan cuci menggunakan air di sumur umum, tetapi kadang-kadang saya mandi di kantor bapak, jika antrean terlalu panjang… sumur umum dengan pompa tangan, airnya jernih, kadang-kadang kalau kemarau airnya keruh, airnya disaring dengan ember, setelah lumpurnya mengendap dituang ke bak…(Setiawan/11 th). Pengelolaan Sampah Sampah dan air kotor di lokasi penelitian tempat anak-anak ini tinggal, dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan sampah dan jaringan saluran pembungan air kotor. Sampah dalam ilmu lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari benda atau halhal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau harus dibuang, agar tidak mengganggu kelangsungan hidup. Berdasarkan sifatnya sampah ada yang mudah membusuk; tidak mudah membusuk; mudah terbakar; dan tidak mudah terbakar. Sedangkan berdasarkan jenisnya, sampah dapat dibedakan menjadi 6, yakni (Azwar, 1990:55): 1. Garbage – sisa pengelolaan ataupun sisa makanan yang mudah membusuk, contoh kotoran dari rumah;
28
2. Rubbish – bahan atau sisa pengelolaan yang tidak mudah membusuk, yang dibedakan atas: mudah terbakar – kayu, kertas; dan yang tidak mudah terbakar – kaleng, kaca; 3. Ashes – segala jenis abu, contoh yang terjadi hasil pembakaran kayu, batu bara di rumah; 4. Dead animal – segala jenis bangkai terutama yang besar, seperti anjing, kucing dan tikus; 5. Street sweeping – segala jenis sampah atau kotoran yang berserakan di jalan, karena dibuang oleh pengendara mobil atau warga yang kurang bertanggung jawab; 6. Industry waste – benda-benda padat sisa yang merupakan sampah hasil industri, contoh potongan-potongan sisa bahan yang tidak dipergunakan kemudian dibuang. Sebagai sesuatu yang tidak dipergunakan, tidak dapat dipakai, tidak disenangi dan harus dibuang, maka sampah tentu saja harus dikelola dengan sebaik-baiknya, sedemikian rupa sehingga hal-hal yang negatif bagi lingkungan tidak sampai terjadi. Pengelolaan sampah akan baik jika sampah tersebut tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit, serta tidak menjadi medium perantara menyebar luasnya suatu penyakit, tidak mencemari udara, air, tanah, tidak menimbulkan bau, dan tidak menimbulkan kebakaran. Keberhasilan pengelolaan sampah di kota salah satunya ditentukan oleh pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga minimal mencakup unsur-unsur (Suparlan, 1996:6-1-2): 1. adanya tempat pembuangan sampah yang relatif permanen, dapat terbuat dari tong yang diberi penutup dan berkaki atau bak sampah yang terbuat dari semen; 2. adanya sebuah atau dua buah ember untuk tempat pengumpulan sampah di dalam rumah sebelum dibuang ke bak sampah; 3. adanya sekop atau sejenisnya untuk membersihkan selokan dan menaikan lumpur atau kotoran yang mengendap di dasar selokan; 4. adanya kegiatan rutin dan spontan untuk membersihkan rumah/halaman baik secara sendiri maupun kelompok; 5. adanya petunjuk, pengawasan atau kontrol dari ketua RT/RW mengenai kebersihan setempat. Sistem pengelolaan sampah di tempat penelitian dijalankan oleh Seksi Kebersihan Kelurahan. Sampah-sampah perumahan dikumpulkan oleh masing-masing rumah di bak/tong sampah yang ada di depan rumah, kemudian petugas dengan gerobak sampah akan mengambilnya secara reguler dua hari sekali. Selanjutnya sampah-sampah di tampung di kontainer untuk diangkut ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) – Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan warga yang bermukim di sepanjang Jalan Inspeksi – Kwitang, telah disediakan bak yang berfungsi
29
sebagai Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) yang letaknya berdekatan dengan MCK. Yunia (11 th) murid kelas VI sekolah dasar menceritakan bahwa, setiap hari ibu atau saya membersihkan rumah, mengumpulkan dan membuang sampah ke bak sampah yang telah disiapkan di depan rumah. Sampah rumah biasanya bersumber dari sampah dapur, sisa dari bumbu dan sayur, kertas dan plastik bungkusan. Akan tetapi kalau pada musim kering biasanya sampah daun dari pohon yang ada di depan rumah yang sering mendominasi sampah di rumah. Selanjutnya sampah yang telah menumpuk di bak sampah diambil oleh petugas kebersihan dengan menggunakan gerobak sampah. Untuk kemudian sampah tersebut dikumpulkan di Tempat Pembuangan Sampah Sementara atau kontainer yang terletak di dekat kali Ciliwung. Pengumpulan sampah dari rumah kadang-kadang dua hari sekali, dan pernah seminggu. Sampah-sampah dari setiap rumah kemudian diangkut oleh truk. Kalau sampah tidak diambil oleh petugas, kadangkadang oleh ibu Yunia suka dibakar, supaya tidak menumpuk dan tidak menghasilkan bau tak sedap. Akan tetapi cara ibu tersebut, kadang-kadang suka mendapat protes dari tetangga atau bapak, karena asapnya suka mengepul dan mengganggu pernapasan. Menurut Rian (12/th), sampah di rumahnya lebih banyak bersumber dari dapur sisa ibu memasak, seperti sisa bumbu, sayur, pelastik dan kertas bekas bungkusan belanjaan, dan kadang-kadang tumpukan daun, kaleng dan kardus bekas. Sampah tersebut di tumpuk di bak sampah. Biasanya dua atau tiga hari sekali sampah diambil petugas sampah dengan truk, dan kadang-kadang dibakar oleh ibu. Sampah yang telah menumpuk, kadang-kadang juga diacak-acak oleh pemulung untuk mencari barangbarang bekas yang mereka bisa pergunakan. Menurut Rian, pemulung itu berguna bagi lingkungan, karena mereka biasanya mengambil atau mengumpulkan barang-barang bekas. Barang-barang yang suka dikerumuni lalat, nyamuk dan tikus yang cukup mengganggu, jadi dengan diambil oleh pemulung, tumpukan sampah tidak mengganggu lagi. …sampah di rumah bekas bumbu dapur, kertas dan plastik bungkusan, kaleng, daun-daun di kumpulkan di bak sampah. Sampah itu kemudian diambil petugas dengan menggunakan gerobak sampah setiap dua atau tiga hari sekali…Sampah di bak sampah, kadang-kadang suka di bakar oleh ibu, tetapi bapak dan tetangga suka protes…(Yunia/11 th). …saya suka membersihkan rumah, sampah-sampah dikumpulkan dan dimasukan ke dalam plastik, selanjutnya di buang ke kontainer yang terletak di dekat rumah…(Setiawan/11 th). Perawatan Saluaran Pembuangan Air Kotor Masalah sanitasi lain adalah air kotor. Air kotor atau sering juga disebut air limbah atau air bekas ialah air yang tidak bersih dan mengandung pelbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan manusia, dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia. Pengelolaan air limbah pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kesehatan warga kota, terutama anak-anak dari ancaman terjangkitnya penyakit. Hal
30
ini mudah dipahami karena air limbah sering sebagai tempat berkembang biaknya berbagai macam bibit penyakit. Menurut anak-anak, air kotor di tempat tinggal mereka dialirkan ke got/saluran pembuangan air kotor yang ada di permukiman, kemudian bermuara ke Kali Ciliwung. Sistem yang digunakan di Kwitang adalah sistem riol. Sistem riol, menurut Azrul Azwar (Azwar, 1990:68) adalah jaringan pembuangan air limbah yang dimulai dari daerah perumahan, masuk ke daerah permukiman, dan kemudian di alirkan ke tempat pembuangan akhir air limbah yang biasanya merupakan kali ataupun laut. Sistem ini cukup baik, asal saja riol tersebut dapat selalu dipelihara agar tidak tersumbat, dan tempat pembuangan akhir air limbah tersebut tidak dipergunakan untuk air minum, serta limbah tidak mengandung zat-zat yang membahayakan. Selain sistem riol dalam pengelolaan air limbah, juga dikenal septic tank yaitu suatu unit penampungan dan penyaluran air limbah di dalam tanah yang dibuat permanen. Air kotor bekas mandi, mencuci dan memasak, menurut Ida (11 tahun) murid kelas VI sekolah dasar, dibuang ke saluran got yang terdapat di depan rumah. Saluran air tersebut selalu dibersihkan oleh ibu, dan kadang-kadang bapak, supaya alirannya lancar. Akan tetapi, kadang-kadang saluran tersumbat oleh tumpukan sampah yang terbawa oleh aliran air dan lumpur yang mengendap sehingga salurannya mampat. Kondisi saluran air seperti itu kadang-kadang menghasilkan bau tak sedap. Kalau sudah begitu, ibu atau bapak cepat turun tangan untuk membersihkan. Meskipun demikian, saluran air kotor sering dibersihkan oleh warga melalui kerja bakti setiap minggu. 3.1.3 Kehidupan Sehari-hari Anak Hubungan antara Anak dan Orang-tua Karena pekerjaan ayah mereka sebagian besar di luar rumah, anak-anak sangat sulit dapat berkumpul bersama keluarga, makan bersama, dan diskusi bersama. Ayah mereka yang bekerja sebagai karyawan hanya ada di rumah dua hari dalam seminggu, Sabtu dan Minggu. Biasanya anak-anak tidak dapat makan pagi bersama ayah, begitu juga dengan ibu mereka yang memiliki kesibukan sendiri menyiapkan keperluan ayah dan anak-anaknya serta merapikan rumah. Rio (9 tahun) murid kelas IV sekolah dasar, sangat jarang bertemu dengan ayahnya yang karyawan swasta, karena telah berangkat ke kantor sebelum Rio bangun, yang sering ia jumpai tinggal ibunya yang sibuk membenahi rumah dan menyiapkan kebutuhan Rio dan adiknya. Rio baru dapat bertemu ayahnya pada setiap hari Sabtu, karena liburan kantor. Kehadiran ayahnya pada hari Sabtu dimanfaatkan Rio untuk meminta mengantarnya ke sekolah dengan motor. Begitu juga pada hari Minggu, Rio memaksa ayah, ibu dan adik berjalan-jalan ke Monas atau Tugu Pak Tani. Kondisi yang dialami Rio ini sangat berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Rini. Rini (11 tahun) murid kelas VI sekolah dasar, ibunya telah meninggal, sedangkan ayahnya sebagai pelaut di Singapura. Bertemu dengan orang-tua, setahun sekali merupakan suatu kesenangan yang tak ternilai harganya. Untuk itu, setiap ayahnya pulang selalu dimanfaatkan Rini bersama adiknya untuk berbagai suka dan duka. Selanjutnya, pada hari-hari lainnya, Rini selalu berbagi rasa dengan kakek-
31
neneknya. Untuk menyalurkan rasa rindu kepada ibunya, secara teratur Rini, berhubungan dengan saudara ibunya (tante) yang tinggal bertetangga. Pada setiap pertemuan, Rini selalu memperoleh nasehat dari tantenya agar menjaga adiknya. Kegiatan Anak Pada hari-hari biasa, sebelum berangkat ke sekolah, anak-anak perempuan dan sebagian anak laki-laki membantu ibu menyapu ruang dan halaman rumah, membuang sampah ke bak sampah atau ke kontainer sampah. Kegiatan tersebut dilakukan, baik oleh anak-anak yang masuk sekolah pagi maupun siang. Seusai sekolah, anak-anak langsung ke rumah untuk istirahat. Anak-anak yang sekolah pagi, mengikuti pengajian di musala pada sore harinya. Anak-anak yang mengikuti pengajian mendapatkan pengetahuan tentang agama, membaca dan menulis huruf Arab. Pengajian tersebut biasanya diasuh oleh seorang guru agama dan dikelola oleh musala lingkungan. Anggota pengajian hanya membayar iuran bulanan. Di samping mengikuti pengajian dan mengulangi pelajaran sekolah, biasanya anak-anak perempuan bermain bola bekel atau boneka di rumah sendiri atau rumah teman. Sedangkan anak laki-laki biasanya bermain bola di lapangan atau halaman sekolah terlebih dahulu, kemudian pada sore hari atau malam harinya barulah mereka mengerjakan PR (pekerjaan rumah), membaca komik, atau menonton televisi. Komik yang mereka sukai umumnya komik-komik dari Jepang, sedangkan acara televisi yang menarik menurut mereka adalah film kartun, telenovela, sinetron, berita-berita kriminal dan acara-acara yang berbau mistis. Fadil, dengan ekspresi wajah yang serius menceritakan apa saja yang ia lakukan setiap hari di rumah. Diawali dengan membantu ibu menyapu lantai, mengepel dan membuang sampah sebelum berangkat ke sekolah setiap pagi. Selanjutnya seusai sekolah, kegiatan Fadil bersama teman-temannya mengikuti pengajian di rumahnya atau kadang-kadang di musala, setiap hari Kamis. Kegiatan lainnya, Fadil bermain bola di parkir Taman Ismail Marzuki, atau tanah kosong di samping TIM, latihan teater di TIM, dan pada malam hari nonton TV. Kegiatan Fadil tidak jauh berbeda dengan kegiatan Emy. Seperti anak perempuan lainnya, ia banyak membantu tugas-tugas rumah tangga, seperti mencuci piring, menyapu, mengepel dan membuang sampah. Semua kegiatan tersebut ia laksanakan sebelum berangkat dan usai sekolah. Kegiatan lainnya adalah bermain bola bekel, congklak di rumah teman, dan kadang-kadang bermain bola kasti di jalanan. Kegiatan Fadil dan Emy, meskipun nampak sibuk, namun mereka jalankan dengan senang hati. Hal ini berbeda dengan kenyataan yang dijalankan oleh Alan dan Rifan. Tugas-tugas yang mereka perankan sudah mempunyai konsekuensi dan kewajiban, misalnya, Alan harus menjaga adiknya dan Rifan mencari uang untuk melengkapi pemenuhan kebutuhan pokok keluarga. Walaupun mereka melaksanakan kegiatan penuh suka cita, tetapi tidak secara langsung mereka memikul beban tanggung jawab keluarga, yang seharusnya bukan menjadi urusan anak melainkan orang-tua mereka.
32
Anak-anak betul-betul senang ketika hari Minggu tiba, ketika ayah mereka berada di rumah. Terlebih anak laki-laki, karena mereka dapat keluar bersama ayah, bermain bola, jalan pagi, bersepeda di Taman Monas atau Taman Patung Pak Tani. Kadang anggota keluarga pergi ke Plaza Atrium Senen, untuk makan dan belanja pakaian, atau keperluan lain atau sesekali ke Taman Monas untuk berolah raga sambil belanja, atau melihat orang berlomba gerak jalan. Tabel 3.1. Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Tempat Tinggal Pola Asuh
Otoriter – orang-tua cenderung menentukan aturan dan batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Tidak ada pilihan, anak harus patuh dan tunduk pada kemauan dan pendapat orang-tua. Sikap anak: berperilaku baik dan taat dihadapan orang tua, tetapi di luar rumah menjadi pemberontak, dan atau menarik diri dengan sikap mencari aman sendiri; Bebas – anak dibiarkan mencari dan menemukan sendiri tatacara yang memberi batasan dari tingkah-lakunya. Orang-tua baru akan memberi reaksi pada hal yang dianggapnya sudah melebihi batas. Pengawasan longgar. Kepribadian anak tidak terarah dan tumbuh keakuan yang terlalu kuat dan kaku, sehingga biasanya anak akan mendapatkan kesulitan ketika menghadapi larangan yang ada di lingkungan sosial; Demokratis – cara yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun bukan kebebasan mutlak. Di dalamnya terdapat bimbingan penuh pengertian antara dua belah pihak. Pola ini menumbuhkan rasa tanggung-jawab terhadap tingkah-laku pada diri anak
Tanggung jawab
Anak melakukan suatu tugas tanpa disuruh. Misalnya, anak mengerjakan pekerjaan rumah tanpa disuruh. Akan tetapi ada kasus yang terekam pada pemberian tanggung-jawab pada anak menjadi beban tugas anak terhadap keluarga, seperti mengasuh anak dan mencari uang dengan menjadi penyemir sepatu
Latar belakang ekonomi keluarga
Sumber penghasilan ayah digolongkan dua:
Penghasilan tetap – menerima secara teratur perbulan, seperti karyawan, sopir pribadi
Penghasilan tidak tetap – tidak memiliki sumber penghasilan yang tidak teratur setiap bulan, seperti wirausaha (penjahit, pedagang kaki lima, pedagang
33
buah, pedagang baso), dan buruh bangunan Anak-anak dari keluarga yang berpenghasilan tetap merasa tenang dan nyaman, karena dapat bersekolah, berekreasi, dan sakit dapat berobat ke klinik atau puskesmas. Keadaan ini berbeda dengan anak-anak dari keluarga yang berpenghasilan tidak tetap, penghasilannya hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Untuk biaya lain, seperti bersekolah, berobat dan rekreasi harus mencari lagi Status kepemilikan rumah
Anak-anak merasa tenang dan nyaman menempati rumah sendiri daripada tinggal di rumah kontrakan atau menumpang di gedung/kantor
Arti rumah
Rumah yang memberikan rasa aman, tenang, dan nyaman. Anak terhindar dari ancaman kejahatan (pembunuhan, pemerkosaan dan eksploitasi seksual), kebakaran dan banjir.
Faslitas rumah
Sumber air bersih di rumah dari jaringan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sumur umum (MCK), dan langganan air galon
Penerangan dari jaringan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN)
Telepon dari jaringan Telkom dan atau handphone
Tempat sampah
Saluran pembuangan air kotor
Pengelolaan sampah
Sampah dibersihkan oleh anggota keluarga, kemudian dibuang ke bak sampah dan diambil oleh petugas sampah dengan menggunakan gerobak atau truk sampah
Perawatan pembuangan air kotor
Perawatan pembuangan air kotor ada yang dilakukan oleh anggota keluarga dan ada yang dilakukan warga melalui kerja bakti setiap minggu
Hubungan antara anak dan orang-tua
Anak-anak sangat sulit berkumpul bersama keluarga, terutama ayah bekerja sebagai karyawan hanya ada di rumah dua hari dalam seminggu (Sabtu dan Minggu). Karena itu anak-anak senang kalau hari Minggu, mereka mengajak ayah dan ibu berjalan-jalan
34
Kegiatan anak
Melakukan tugas sekolah, tugas rumah tangga. Dari kegiatan anak tersebut ada yang merupakan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga dan ada yang menjadi beban seperti mengasuh adik dan mencari uang
Sumber: Penulis 2003 Dengan persepsi anak mengenai lingkungan tempat tinggal, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya, dan lebih mampu menyesuaikan diri menghadapi lingkungan yang asing, yang menyebabkan stress. Untuk menjadi akrab dengan lingkungan tersebut, anak perlu mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan tempat tinggal atau sebaliknya mengubah lingkungan tempat tinggal agar sesuai dengan tingkah laku. Untuk mengurangi stress anak terhadap perilaku penyesuaian diri disarankan sebagai berikut: 1. keluarga perlu mempertimbangkan penerapan kombinasi pola asuh antara otoriter, bebas dan demokratis secara seimbang dan konsisten, supaya kepercayaan diri anak tinggi. 2. tanggung jawab pada anak adalah tidak diperlukannya peringatan atau suruhan dalam pelaksanaan suatu tugas. Misalnya anak tidak membuang sampah sembarangan, merupakan salah satu contoh tanggung jawab anak terhadap lingkungannya. Orang-tua atau orang dewasa dapat memulai pembinaan tanggung jawab anak. Pembinaan tersebut berupa pemberian tugas pada anak, namun perlu diingat pula pemberian dukungan atau bantuan. Dalam pemberian tugas perlu disesuaikan dengan dunia anak, dengan pengertian dan kemampuan anak. Orangtua atau orang dewasa coba membayangkan dan memahami, bagaimana dunia dan alam pikiran anak. Dengan demikian, standar dalam pemberian tugas atau penilaian pelaksanaan tugas yang dipakai adalah standar anak, bukan standar orang dewasa. Tugas yang diberikan secara khusus. Misalnya membersihkan lantai, mengelap kaca, tidak membuang sampah sembarangan dan lain-lain. 3. rumah yang layak huni adalah rumah yang menjamin keamanan, ketenangan dan kenyaman penghuni. Syarat rumah layak huni adalah status kepemilikan jelas (milik sendiri, sewa, menumpang), kemudahan akses ke air, listrik, adanya pengelolaan sampah dan perawatan saluran pembuangan air kotor. Selanjutnya, rumah itu berada di lingkungan yang bebas polusi. Rumah seperti ini tergambar pada gbr. 3.1. Pada gambar tersebut, rumah yang asri adalah rumah yang berada di lingkungan yang hijau, dengan latar-belakang langit yang bersih, lengkap dengan taman dan bebas dari polusi. Kendala yang dihadapi oleh pemerintah kota untuk mewujudkan keinginan anak-anak tinggal di rumah yang tenang dan nyaman adalah pendanaan, pertanahan, tata ruang dan pelayanan transportasi massal. Pada Agenda Habitat pasal 61, pada prinsipnya pemerintah berkomitmen untuk menyediakan perumahan yang dapat dicapai dan dijangkau oleh warganya.
35
Gbr.3.1 Rumah Yang Asri 4. menurut Sheridan Bartlett, ahli perkotaan dari City University of New York dan the International Institute for Environment and Development, London (Bartlett, 2002), perlu adanya intervensi pencegahan terjadinya bahaya terhadap anak di tempat tinggal mereka, yaitu dengan melakukan modifikasi dan perbaikan di lingkungan tempat tinggal. Modifikasi atau perbaikan tersebut antara lain: menggunakan penerangan listrik daripada lilin atau minyak tanah yang mempunyai resiko besar terhadap terjadinya kebakaran; mengumpulkan sampah agar tidak menumpuk sehingga bibit-bibit penyakit tidak berkembang biak; mendesain kompor dan dapur yang aman, agar terhindar dari asap dan kebakaran; dan memperbaiki konstruksi pagar, tembok dan lain-lain. Upaya perbaikan ini menurut Bartlett, perlu disusun suatu program kampanye untuk menyadarkan orang-tua dan orang dewasa tentang pentingnya perlindungan keselamatan anak. Program kampanye dapat memanfaatkan berbagai media, seperti media massa – koran dan televisi, pamflet, brosur dan lain-lain. Selain itu dapat dilakukan pula pelatihan terhadap orang-tua, polisi dan petugas lapangan tentang perlindungan dan keselamatan (lihat tabel 3.2). Tabel 3.2:
Beberapa Intervensi Mencegah Terjadinya Bahaya terhadap Anak yang telah Berhasil Diterapkan dalam Menanggapi Persoalan di Tempat Tinggal Anak
Modifikasi dan perbaikan lingkungan
menggunakan listrik untuk mengurangi ketergantungan pada lilin dan minyak bakar – sistem penyedia tenaga; mengumpulkan dan membersihkan sampah untuk mengurangi bahaya;
36
mengamankan pestisida, obat, dan minyak tanah dari jangkauan anak; mendesain kompor dan dapur yang aman untuk keselamatan anak; memperbaiki konstruksi rumah, meliputi pagar, atap, tangga, jendela, dan alas kaki untuk anak. Pendidikan dan kampanye penyadaran
menggunakan media massa dan pamflet sebagai sarana pendidikan dan pencegahan untuk orang-tua, anak-anak, tenaga kesehatan, dan pengambil kebijakan; pendidikan yang tepat bagi anggota komuniti dalam mencegah bahaya terhadap anak – memberi kesadaran kepada polisi, petugas kota, pekerja bangunan – membantu keterbatasan komuniti dalam melobi pemerintah kota
Sumber: Bartlett, S. 2002, “The Problem of Children’s Injuries in Low-Income Countries: A Review.” Healt Policy and Planning, 17 (1) 1-13 3.2 Anak dan Lingkungan Komuniti 3.2.1 Lingkungan Komuniti Anak Komuniti merupakan tempat kedua setelah rumah, untuk anak belajar berinteraksi sosial, belajar memberi respon terhadap masyarakat dan beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat. Melalui proses interaksi di dalam komuniti, seorang anak secara bertahap belajar mengembangkan kemampuan nalar dan imajinasinya. Hasil interaksi anak dengan kehidupan di komuniti, menghasilkan persepsi anak mengenai lingkungan komunitinya. Organisasi Organisasi yang terkecil dalam komuniti adalah Rukun Tetangga (RT). RT adalah organisasi terendah dalam struktur pemerintah kota yang biasanya terdiri dari 50 sampai 55 kepala keluarga (KK). RT dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih langsung oleh warga secara demokratis. Untuk kelancaran tugas sehari-hari, ketua RT dibantu oleh sekretaris, bendahara dan beberapa orang yang membawahi bagian kegiatan atau seksi tentu, seperti seksi pendidikan, seksi dana, dan lain-lain. Di Rukun Tetangga, menurut Fadil, ketua RT sangat dikenal oleh warganya, karena pada saat pemilihan, ketua RT terpilih memperoleh suara terbesar daripada lawannya. Selain itu, Ketua RT rajin mengunjungi warganya, melakukan kerja bakti membersihkan selokan dan sampah. Menurut Ida, setiap Peringatan Agustusan (HUT RI), RT melaksanakan kegiatan Panjat Pinang dan aneka lomba (misalnya lari karung). Pada kegiatan ini biasanya Ketua RT melibatkan anak-anak dalam kegiatannya sebagai peserta lomba.
37
…setiap minggu RT mengajak warga untuk kerja bakti membersihkan selokan dan sampah-sampah yang berserakan…kerja bakti tersebut selain melibatkan orang-tua, juga anak-anak remaja… kerja bakti itu tidak dibayar, suka rela dan ikhlas…(Fadil/11 th). …di RT ada kegiatan yang melibatkan anak-anak seperti kegiatan 17 Agustus. Anak-anak terlibat sebagai peserta lomba lari karung, tusuk jarum dan makan krupuk…(Ida/11 th). Kondisi Rukun Tetangga di tempat Dhika tidak jauh berbeda dengan Fadil. Ketua RT-nya penuh inisiatif dan rajin memotivasi warganya untuk turut serta dalam kerja bakti setiap minggu. Hal serupa juga terdapat pada Ketua RT di lingkungan Lin dan Rio. Ketua RT mereka dekat dengan anak-anak dan rajin mengingatkan warganya untuk memelihara kebersihan. Kadang-kadang Ketua RT tidak segan menegur warganya yang tidak kerja bakti atau membuang sampah sembarangan.
Hubungan Antar Warga Yang membuat warga betah tinggal di lingkungan komuniti, salah satunya adalah karena adanya keakraban antara warga satu dengan lainnya, baik anak-anak maupun orang-tua. Di lingkungan Fadil misalnya, Ketua RT rajin mendorong dan memotivasi warga untuk bekerja bakti dan mengikuti kegiatan-kegiatan, seperti pengajian ibu, pengajian bapak, dan pengajian anak-anak. Melalui kegiatan kerja bakti dan pengajian terjalin hubungan kekeluargaan antar sesama warga, sehingga tercipta suasana keakraban. Sama seperti di lingkungan Fadil, di lingkungan Setiawan, Emy, dan Ida, warga saling mengenal satu sama lain. Akan tetapi komunikasi antar warga kadang-kadang tidak berlangsung terus-menerus, karena masing-masing mempunyai kesibukan sendiri, terutama para bapak. Komunikasi baru terjalin kembali, biasanya pada saat ada pertemuan RT, kerja bakti dan pada hari-hari libur kerja. Namun, di kalangan ibu-ibu, hubungan antar tetangga terjadi secara alami, misalnya pada saat berbelanja sayur di tukang sayur keliling. Pada saat itu biasanya ibu-ibu saling bercerita mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan urusan rumah tangga dan lain-lain. Keakraban hubungan antar warga tercermin pula pada hubungan antara anakanak. Hubungan terjalin baik, karena pertemanan di lingkungan dan di sekolah. Akan tetapi hubungan pertemanan antara anak satu dengan anak lain biasanya lebih didasarkan oleh jenis kelamin dan kegiatan. Misalnya, Fadil memilih berteman dengan sesama anak lelaki dan mempunyai jenis kegemaran bermain yang sama dengannya, seperti bermain bola atau berteater. Begitu juga dengan Emy lebih memilih teman perempuan yang suka bermain bola bekel, congklak atau kasti. Kadang-kadang hubungan pertemanan terganggu, jika salah satu anak berperilaku kasar atau suka mengganggu. Hal ini seperti ini yang terjadi jika Randy ada di antara mereka, karena ia suka kasar, ringan tangan dan suka mengganggu teman. Karena itu ia dijauhi oleh teman-temannya. Akan tetapi, karena Randy mempunyai
38
keberanian dan dianggap bisa melindungi temannya, kadang-kadang ia masih tetap diterima menjadi teman. Hubungan anak-anak dengan orang dewasa di lingkungan komunitinya, menurut Setiawan dan Emy hanya hubungan sebatas saling mengenal bahwa bapak atau ibu itu adalah ayah atau ibu dari teman bermain atau tetangga. Akan tetapi dengan Ketua RT, Hansip, dan orang dewasa yang dekat anak-anak biasanya mereka akrab. Kebersihan Lingkungan Pengelolaan Sampah Bagian lain dari lingkungan komuniti yang perlu diketahui anak adalah pengalaman mereka mengenai kebersihan lingkungan yang terkait dengan pengelolaan sampah dan perawatan saluran air kotor. Rio (9 tahun) murid kelas IV sekolah dasar, bercerita bahwa kebersihan di lingkungan RT relatif bersih. Misalnya di rumah, setiap hari ia bersama ibunya membersihkan sampah rumah. Sampah dikumpulkan di kantong plastik yang digantung di rumah (karena tidak ada bak sampah), kalau penuh diikat dan dibawa ke bak sampah yang ada di dekat Gedung Gunung Agung. Selain keluarga Rio, yang membuang sampah ke tempat ini adalah warga yang ada di sepanjang Jalan Kembang I dan II. Tujuan warga mengumpulkan dan membuang sampah adalah menjaga kebersihan, keindahan, dan menghindarkan dari bau tak sedap dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Kondisi di lingkungan Rio hampir sama seperti di lingkungan Fadil, Ida, Setiawan, dan Rian. Sampah rumah dibersihkan dan dikumpulkan oleh warga di bak/tong sampah. Selanjutnya petugas kebersihan dengan gerobak atau truk sampah yang akan mengangkutnya ke tempat pembuangan sampah sementara atau akhir. Menurut mereka yang juga dibenarkan oleh Kasie Kebersihan Kelurahan Kwitang, kadang-kadang pengangkutan sampah mengalami keterlambatan sampai dua hari atau lebih, karena terbatasnya kendaraan operasional. Hal ini yang kemudian menyebabkan sampah menumpuk di Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Warga sekitar TPS-pun menjadi terganggu oleh bau yang ditimbulkan sampah tersebut. Persoalan kendaraan operasional berimbas juga pada petugas yang mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah. Menurut anak-anak, petugas pengumpul sampah (biasanya menggunakan gerobak) baru mengambil sampah di rumah dua sampai tiga hari sekali, bahkan kadangkadang seminggu sekali. Meskipun demikian, di beberapa tempat kondisinya berbeda dengan apa yang digambarkan oleh anak-anak di atas. Misalnya di beberapa titik di kali Ciliwung dan jalan Kramat IV, menurut Ida masih ada warga yang dijumpai membuang sampah sembarangan. Jika dijumpai kejadian seperti ini, biasanya ibu-ibu menegur atau berteriak supaya tidak membuang sampah sembarangan. Akan tetapi, ada juga warga yang bersikap masa bodoh sehingga sampah menumpuk seperti di beberapa titik trotoar yang mengganggu keindahan dan menimbulkan bau tidak sedap. …ada orang yang buang sampah di sembarang tempat, kadang-kadang ada ibu-ibu rumah tangga melihat suka diteriakin ”jangan buang sampah
39
sembarangan,” nanti lingkungan menjadi kotor atau tidak bersih…(Ida/11 th). …trotoar sekitar Jalan Kramat IV banyak daun-daun berjatuhan, yang membersihkan hanya orang kelurahan saja, warga di sekitar tidak ada yang membersihkan… kali Ciliwung kotor, karena banyak orang yang buang sampah, sehingga kali menjadi kotor dengan tumpukan sampah, airnya hitam, dan menghasilkan bau tidak sedap…(Lin/11 th). …tong sampah kadang-kadang penuh, karena petugas jarang mengambilnya. Kalau banyak sampah merasa tidak tenang, karena bau tak sedap, hal ini mengganggu…(Fadil/11 th). …perilaku anak yang kurang peduli lingkungan, dengan membuang sampah sembarangan, seperti ke kali Ciliwung terekspresi melalui gambar yang dibuat oleh Riyan usia 10 tahun, murid kelas V, sekolah dasar (Gbr.3.2 Anak Membuang Sampah ke Kali Ciliwung). Gambar tersebut melukiskan, bagaimana seorang anak yang sedang membuang sampah ke Kali Ciliwung, tanpa ada larangan atau peringatan dari orang yang lebih tua. Padahal lokasi tempat ia membuang sampah persis di depan rumah paman dan bibinya.
Gbr.3.2 Anak Membuang Sampah ke Kali Pengelolaan sampah di perkotaan akan berhasil menurut Prof. Parsudi Suparlan ditentukan oleh pengelolaan sampah di tingkat komuniti atau RW. Adapun syarat pengelolaan sampah di tingkat RW adalah (Suparlan, 1996:6-2): 1. adanya petugas sampah yang paling sedikit berjumlah 2 orang, yang memperoleh bayaran tetap dan cukup, serta memperoleh bantuan fasilitas berkaitan dengan pekerjaannya (yaitu: sekop, ganco, sapu, pengki, pakaian kerja dan sepatu bot);
40
2. mengatur jadwal dan rute pengangkutan sampah-sampah rumah tangga oleh petugas sampah; 3. mengorganisasi penyediaan dan perawatan gerobak sampah untuk pengangkutan sampah-sampah rumah tangga; 4. mengorganisasi pembuatan bak sampah RW (terminal) yang letaknya di tepi jalan raya yang dapat dilalui truk sampah, dan mengorganisasi sistem perawatan/pengawasan kebersihan dan dampaknya terhadap pencemaran lingkungan di sekelilingnya; 5. menciptakan sistem pengawasan bahwa para petugas sampah betul-betul melakukan tugasnya mengangkut sampah-sampah rumah tangga dan mengangkut kotoran/sampah yang telah dinaikkan di tepi-tepi selokan; dan 6. mengatur pemasukan uang untuk mengorganisasian kebersihan lingkungan, melalui iuran bulanan para warga dalam lingungan RW maupun dari sumbangan-sumbangan, yang administrasinya terbuka untuk diketahui oleh para warga dengan cara mengumumkan secara tertulis, jumlah penerimaan dan pengeluaran uang setiap bulannya. Di Kelurahan Kwitang, sistem pengelolaan sampah dilaksanakan oleh Seksi Kebersihan Kelurahan dengan dukungan warga komuniti. Untuk kelancaran tugas, petugas kebersihan mendapat dukungan fasilitas kebersihan: 1. kendaraan operasional berupa truk sebanyak tiga buah; 2. gerobak 29 buah; 3. tong sampah dari bahan fiberglass di Jalan Kramat Raya: dari 20 titik penempatan yang berfungsi hanya 9 titik/buah – lainnya rusak, Jalan Kramat II: 80 titik; dan 4. lokasi Pembuangan Sementara 3 lokasi – Jl. Kramat IV, Jalan Kramat Kwitang III dan Jalan Inspeksi. Kebersihan di tempat tertentu relatif dapat terjaga karena adanya petugas penyapu yang diterjunkan ke Jalan Kembang Raya sebanyak 3 orang; Jalan Kramat II sebanyak 2 orang; Jalan Kramat IV 2 orang; dan Jalan Kembang Kwitang I 1 orang. Para petugas ini mulai berkegiatan pada jam 06.00 WIB. Kebersihan di Jalan Kramat Raya dan Jalan Kwitang Raya dikoordinir oleh petugas kebersihan dari pintu ke pintu. Di tempat lain petugas kebersihan tidak diterjunkan secara khusus, sehingga sampah berserakan. Hal ini terjadi di beberapa tempat, seperti di sekitar Pasar Kwitang dan Kali Ciliwung. Perawatan Saluran Pembuangan Air Kotor Perawatan saluran pembuangan air kotor di Kelurahan Kwitang mungkin berbeda dengan lingkungan komuniti lain yang ada di DKI Jakarta. Saluran-saluran pembuangan air kotor dibersihkan oleh warga bersama Ketua RT dan RW melalui kerja bakti setiap minggu. Informasi yang didapat dari beberapa anak, ayah dan ibu mereka
41
kadang membersihkan saluran pembuangan air di depan rumah dua kali seminggu. Tujuan dari kegiatan kerja bakti adalah agar saluran pembuangan air lancar dan bebas dari sampah, juga endapan lumpur, sehingga bersih dan tidak menjadi media penyebar penyakit demam berdarah, jika hujan pun air tidak tersumbat dan banjir. …Di lingkungan, Pak RT mengajak warga untuk bekerja bakti. Kerja bakti yang dilakukan membersihkan got, tembok rumah yang sudah kotor di cat kembali…(Dhika/12 th). …selokan alirannya lancar, tetapi kadang-kadang suka mampat, karena anak-anak suka jajan dan buang sampah sembarangan…(Setiawan/11 th). …selokan di gang kecil-kecil, kadang-kadang ada sampah, karena ada yang membuang sampah sembarangan…(Fadil/11 th). …di got penuh sampah, terutama dari tetangga yang memasak masakan padang, sampah-sampahnya banyak dan menghasilkan bau tak sedap…(Nisa/11 th). Meskipun telah rutin dibersihkan seminggu sekali, tidak berarti tidak ada lagi saluran yang mampat dan bebas bau tak sedap. Menurut beberapa anak, kadang saluran got di depan rumahnya bau dan mampat oleh sampah sisa makanan dari tetangga rumahnya yang memiliki restoran masakan padang. Sampah sisa makan dibuang ke got, sehingga mampat dan menimbulkan bau tak sedap. Selain itu, karena tidak memiliki bak sampah, maka ada pula tetangga yang menyapu dan membuang sampahnya ke got, sehingga saluran di depan rumah pun menjadi cepat mampat. Keamanan Lingkungan Unsur lain yang penting dari komuniti adalah Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling). Menurut anak-anak, siskamling di lingkungan mereka dilakukan dengan ronda setiap malam, seperti di lingkungan Rian, Fadil, Rio dan Emy. Kegiatan ronda yang dilakukan oleh RT/RW yang dipusatkan di Pos Kamling yang terdapat di setiap RT. Kegiatan ini dilakukan oleh warga dan hansip RW. Adanya ronda merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi rasa aman anak-anak ketika berada di rumah maupun di lingkungan komuniti terutama pada saat malam hari. Selain pos kamling yang berjejer rapi seperti di sepanjang Jalan Inspeksi – Kwitang, hadirnya lampu-lampu penerangan jalan yang terang-menderang mengurangi rasa takut anak untuk melakukan kegiatan atau jalan-jalan di luar rumah pada malam hari. Mereka takut berada di jalan yang gelap, karena lampu jalan padam. …pada malam hari ingin keluar, kadang-kadang berani, tetapi kadangkadang takut, karena sebagian lampu di lingkungan ada sebagian lampu padam atau gelap…(Nisa/11 th). …kalau malam hari suka jalan untuk mencari jajan. Tidak merasa takut, karena ada orang yang ada di luar rumah, ada lampu, tetapi kadangkadang suka mati atau kabelnya kendor...(Fadil/11 th).
42
…saya merasa aman tinggal di rumah, karena tidak terancam oleh penjahat, karena ada siskamling, lampu-lampu di jalan terang…(Emy/12 th). Kondisi Jalan dan Trotoar Di beberapa tempat, seperti di Jalan Kali Pasir, kondisi jalan sangat rusak dan belum diperbaiki. Hal ini dapat membahayakan pengguna jalan. Setiap pagi, Jalan Kwitang II beralih fungsi menjadi pasar, yang diikuti dengan menumpuknya sampah seusainya. Sejak adanya tenda-tenda pedagang yang berdiri, jalan ini menjadi semakin sempit dan semakin jarang dilewati. Menurut anak-anak, fasilitas trotoar yang berada di sisi kanan kiri jalan di sejumlah jalan utama dalam kondisi baik, namun ada pula yang rusak. Trotoar ini, kerap diganggu kerapiannya dengan adanya sampah dan pedagang kaki lima di atasnya. Menurut mereka pedagang kaki lima tersebut sangat mengganggu pejalan kaki, karena pejalan kaki terpaksa harus menggunakan badan jalan untuk melaluinya. Hal ini dapat membahayakan keselamatan pejalan kaki, karena khawatir terserempet mobil dari arah belakang atau berlawanan. …kondisi jalan baik, tetapi ada yang rusak. Jalan rusak ini cukup membahayakan bagi pengguna jalan. Misalnya ada pengendara motor terperosok…kondisi trotoar baik, tetapi kadang-kadang ada yang jualan. Penjual itu mengganggu, terutama bagi pejalan kaki, khawatir keserempet mobil dari arah belakang atau depan pada saat menghindari penjual di trotoar…(Setiawan/11 th). …kondisi jalannya bagus, tetapi panas. Trotoarnya rapi, tetapi ada juga yang kotor dan trotoarnya bolong-bolong, sehingga yang lewat harus lompat-lompat, kalau tidak bisa kejeblos…Orang jualan di pinggir jalan dan di trotoar tidak bagus, karena orang pingin jalan jadi susa, dan saya merasa terganggu…(Lin/11 th). Peta Mental Untuk mengetahui gambaran anak mengenai lingkungan komuniti, berikut ini ditampilkan peta mental mereka mengenai lingkungan komunitinya. Gambaran yang mereka berikan cukup signifikan bila dibandingkan dengan gambaran sejumlah warga komuniti. Gambaran yang dianalisis hanya terbatas pada persepsi anak seutuhnya mengenai objek yang ada pada komuniti. Gambaran anak mengenai lingkungan komuniti akan diklasifikasikan dalam lima unsur kota: paths, edges, districts, nodes, dan landmarks (Lynch, 1960:46). Penggunaan istilah ini tidak pernah disampaikan kepada informan, tetapi saya mencoba menggunakan dengan batas-batasan yang ada. Penjelasan mengenai kelima unsur kota tersebut dapat dilihat pada bagian 4.4.2. Unsur-Unsur Kota.
43
Paths Secara jelas anak-anak menggambarkan jalan-jalan yang ada di Kelurahan Kwitang berikut kegiatan yang ada di atasnya. Misalnya, Jalan Kramat Raya, kegiatan uniknya adalah banyaknya jasa pedempulan dan pengecatan mobil. Di ujung jalan tersebut berderet pedagang buku murah yang digelar di emperan toko dan trotoar. Jalan Kramat Raya mereka tangkap sebagai tempat yang sering macet, terutama di sekitar lampu merah Senen. Ciri lain pada Jalan Kwitang Raya ditandai dengan adanya orang-orang yang menawarkan jasa penukaran uang dolar. Jalan-jalan lain yang ada di lingkungan komuniti dapat ditandai dengan adanya kegiatan warga atau anak, seperti Jalan Inspeksi – Kwitang yang setiap sore beralih fungsi menjadi lapangan bola. Perluasan jalan ini dimanfaatkan oleh anak-anak menjadi lapangan bola. Karakteristik dari façade juga menjadi penanda penting untuk mengenali jalanjalan yang ada di wilayah Kwitang. Jalan Menteng Raya, Jalan Kramat Raya, Salemba Raya mudah dikenal karena adanya kekhususan façade bangunan yang berbeda dengan jalan-jalan lain yang ada di Jakarta. Begitu juga dengan Jalan Cikini Raya, yang lebih mudah dikenali karena ada penanda khusus tersebut. Cara lain yang digunakan untuk menandakan suatu tempat yang ada di lingkungan komuniti adalah dengan menyebutkan bangunan yang ada di sekitarnya, seperti Jalan Kali Pasir, kadang orang menyebutnya Kantor Pos, karena jalan itu dekat dengan Kantor Pos Cikini; Jalan Kramat Raya orang hanya menyebutkan Rivoli, Titimurni, karena jalan itu dekat dengan Bioskop Rivoli dan Apotik Titimurni; Gang Tembok, karena gang itu dekat dengan tembok besar, serta sebutan lainnya. Dengan demikian, jalan-jalan yang ada di lingkungan komuniti dapat dikenal dengan hanya menyebutkan tanda-tanda yang secara umum mudah dikenal. Begitu juga halnya dengan anak-anak, hanya dengan menyebutkan tanda-tanda dari sebuah jalan, orang-tua mereka dengan mudah mengetahui lokasi tempat anaknya bermain. Edges Sebagian besar anak-anak ini dapat menerangkan dengan jelas batas-batas wilayah RT, RW dan kelurahan mereka. Pedoman yang menjadi pegangan mereka adalah kali, jalan, jembatan, dan pos siskamling. Contohnya, batas kelurahan mereka adalah, sebelah Utara – Jalan Kwitang Raya, sebelah Timur – Jalan Kramat Raya, sebelah Selatan – Jalan Kramat IV, dan sebelah Barat – kali Ciliwung. Namun, hal tersebut masih harus dicocokkan lagi dengan peta atau dikonfirmasi dengan pihak yang berkompeten seperti RT, RW, dan kelurahan untuk keakuratan data. Districts Yang dapat menggambarkann sebuah wilayah-wilayah homogen yang berbeda dari wilayah-wilayah lain. Misalnya pusat pertokoan dan kantor yang terdapat di sepanjang jalan Kramat Raya dan Jalan Kwitang raya menjadi suatu kawasan bisnis yang ditandai oleh hadirnya bangunan-bangunan bertingkat di sepanjang jalan. Contoh lain lingkungan Universitas Indonesia, di sebut juga kawasan pendidikan, karena terdapat bangunan yang bertingkat dan mempunyai ciri khusus dengan diberikan logo makara.
44
Nodes Seperti tempat lain, lingkungan komuniti anak mudah dikenal dengan adanya beberapa titik yang menjadi pertemuan beberapa simpul jalan. Untuk wilayah Kwitang, Kenari, Kebon Sirih dan Cikini, terdapat beberapa pertemuan simpul jalan yang dapat dijadikan gambaran suatu wilayah, seperti Lampu Merah Tugu Pak Tani, Lampu Merah Senen atau Segi Tiga Emas, dan Lampu Merah Salemba atau Carolus. Walaupun demikian, simpul-simpul jalan tersebut tidak semuanya menjadi gambaran wilayah. Biasanya dengan menyebutkan gambaran wilayah tersebut, seseorang akan tahu atau dapat membayangkan lokasi atau tempat yang dimaksud. Sebagai contoh, anak-anak menyebutkan Lampu Merah Tugu Pak Tani, gambaran yang ada adalah suatu tempat di Jakarta Pusat, tepatnya di wilayah Kebon Sirih. Landmarks Tanda lain yang dapat menandai lingkungan komuniti anak dan juga menjadi gambaran kota adalah gedung atau bangunan. Tanda-tanda tersebut mempermudah anak mengenali lingkungan komunitinya. Mereka kadang menyebutkan nama sebuah gedung yang cukup terkenal di tempat mereka. Hanya dengan menyebut gedung Gunung Agung sebagai tanda atau patokan mereka, anak-anak Kwitang biasanya sudah paham dan bisa membuat janji dengan teman-temannya untuk melakukan kegiatan seperti main sepak bola atau nonton. Lain lagi dengan anak-anak Kebon Sirih dan Cikini yang lebih sering menyebut Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai tanda atau patokan tempat mereka berkumpul. Dari pengamatan di lapangan, tanda-tanda lain yang cukup menyolok untuk dijadikan tanda atau patokan di wilayah Kwitang, Kenari, Kebon Sirih, dan Cikini adalah Gedung Atrium Senen, Tugu Pak Tani, Kampus UI di Jalan Salemba dan Pasar Kenari. 3.2.2 Kegiatan Warga Menurut data monografi kelurahan 2003 (Juni), jumlah total warga yang tinggal di lingkungan Kelurahan Kwitang adalah sebagai berikut, warga yang bekerja 3.569 jiwa, sebagai pedagang 55,68 persen, pegawai swasta 23,96 persen, buruh 5,68 persen, pegawai negeri 1,79 persen, TNI/Polri 1,71 persen, pensiunana 0,70 persen, pertukangan 0,19 persen dan jasa 0,05 persen. Dari total penduduk Kelurahan Kwitang yang berjumlah 16.212 jiwa persentase di atas menunjukkan bahwa 22,01 persen penduduk kelurahan ini melakukan kegiatan di luar. Dengan kondisi ini dapat dipastikan bahwa penduduk dewasa yang sebagian adalah orang-tua dari anak-anak ini tidak berada di rumah atau di lingkungannya dari pagi sampai siang hari selama tujuh hari dalam seminggu. Mereka baru tiba dan berkumpul bersama keluarganya pada malam hari. Sebagian besar warga Kelurahan Kwitang adalah pedagang (55,68%). Hal ini memungkinkan mengingat Kwitang berdekatan dengan pusat perdagangan Senen dan sentra usaha lainnya. Adanya Pasar Kwitang, perkantoran dan sekolah, menarik minat warga untuk melakukan usaha dagang sebagai mata pencahariannya. Situasi di sepanjang Jalan Kramat II sampai Jalan Kwitang II menjadi lebih ramai dengan warga
45
yang berjualan ketika Hari Minggu tiba karena adanya kegiatan pengajian yang diadakan Masjid Kwitang yang dihadiri oleh ratusan jamaah. Karena keterbatasan tempat bermain, kegiatan anak laki-laki, baik pada harihari biasa maupun Minggu, lebih banyak dilakukan di luar Kwitang. Menurut Fadil, Setiawan, Randy, dan Rian biasanya mereka meluangkan waktu dengan main sepak bola, bola basket, layang-layang, di Taman Tugu Pak Tani, Monas, Lapangan Borobudur, Taman Ismail Marzuki, dan tempat lain di luar Kwitang. Dengan demikian, jarang sekali dijumpai anak-anak yang berkegiatan di lingkungan Kwitang. Kalaupun ada, mereka memanfaatkan jalan sebagai tempat bermain sepak bola, atau kasti yang dimainkan anak-anak perempuan. …kami biasanya bermain bola di taman Monas, taman Gromo (taman Tugu Pak Tani). Di taman Gromo biasanya main bola setiap hari Minggu, main di situ di larang pada hari-hari lain, karena ada Satpam. Pernah kami diusir…(Fadil/11 th). Menurut anak-anak, mereka bermain di luar taman Monas, taman Tugu Pak Tani, jalanan, disebabkan karena tidak tersedianya fasilitas bermain untuk anak. Menurut Lurah Kwitang, sebenarnya ada kebijakan dari Gubernur KDKI Jakarta mengenai pembebasan lahan untuk taman bermain, seperti yang ada di Kelurahan Cempaka Putih, yang telah membangun taman bermain anak seluas 1 hektar. Program ini tidak dapat dilaksanakan di Kelurahan Kwitang, karena tidak tersedianya lahan. Keterbatasan fasilitas membuat anak-anak mencari sendiri alternatif tempat bermainnya walaupun harus dengan resiko yang kadang membahayakan keselamatan. Beberapa anak menuturkan, jika mereka bermain bola di Taman Tugu Pak Tani, maka resikonya bisa tertabrak mobil atau tertangkap tramtib (Petugas Ketentraman dan Ketertiban). Demikian juga dengan bermain bola di jalan, selain tidak nyaman karena harus terhenti jika ada kendaraan yang lewat, juga beresiko tertabrak atau luka karena terjatuh di jalan beraspal/beton. …karena di tempat kami tidak ada lapangan bola, sudah padat rumah dan bangunan, seringnya saya dan teman main bola di jalan aspal. Main di jalan kurang aman, selain kenderaan ada yang lewat, juga berbahaya, kadang-kadang kaki lecet, tetapi saya sering pakai sepatu atau sandal…(Dhika/12 th). …aku sama teman main boneka-bonekaan di rumah saja, tidak main di luar, karena tidak ada taman…(Ida/11 th). …anak-anak main bola biasanya di jalan pasar, taman Tugu Pak Tani, dan Monas. Mereka main di sana tidak nyaman, karena jauh dari rumah dan orang-tua mereka susah mengawasinya. Seharusnya ada lapangan di dekat rumah, tetapi tidak ada lahan, karena sudah penuh dengan rumah...saya sama teman main bekel di rumah atau main kasti di jalan buntu...(Emy/12 th).
46
Tabel 3.3. Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Komuniti Organisasi
Di lingkungan komuniti terdapat organisasi Rukun Tetangga yang ketuanya dipilih secara demokratis. Ketua RT mendorong dan mengawasi warga untuk menjaga kebersihan, ketertiban dan keamanan lingkungan.
Hubungan antar warga
Hubungan antar warga terjalin akrab dengan adanya program kerja bakti, pengajian dan kegiatan lain yang mempertemukan banyak orang. Hubungan anak dengan orang dewasa sebatas saling mengenal.
Pengelolaan sampah
Pengelolaan sampah lingkungan dikoordinir oleh Kasie Kebersihan Kelurahan. Sistem Pengelolaan Sampah – sampah warga dikumpulkan oleh petugas dengan gerobak dan kemudian ditampung di Tempat Pembuangan Sampah Sementara atau kontainer, selanjutnya diangkut dengan truk ke Tempat Pembuangan Sampah Akhir Bantar Gebang, Bekasi. Pengangkutan sampah, kadang-kadang terlambat dua hari karena truk sampah mengalami kerusakan, sehingga sampah menumpuk dan menimbulkan bau tak sedap. Ada beberapa titik sampah berserakan, karena ada sebagian warga membuang sampah sembarangan.
Perawatan saluran pembuangan air kotor
Warga melakukan kerja bakti membersihkan saluran pembuangan air kotor setiap mingu, supaya saluran tersebut tidak mampat oleh sampah dan lumpur.
Keamanan lingkungan
Untuk menciptakan rasa aman warga dibangun Pos Keamanan Lingkungan dan Penerangan jalanan sebagai pendukung Sistem Keamanan Lingkungan
Jalan dan trotoar
Jalan dan trotoar kondisinya baik, tetapi ada sebagian jalan dan trotoar mengalami kerusakan, sehingga mengganggu bagi pengguna. Di beberapa titik trotoar dipergunakan oleh pedagang kaki lima berjualan – mengganggu pejalan kaki.
Peta mental
Tempat komuniti digambarkan oleh anak melalui peta mental mereka – paths, edges, district, nodes, dan landmarks.
47
Kegiatan warga
Kegiatan warga sehari-hari sebagian besar sebagai pedagang. Anak-anak melakukan kegiatan – bermain – di jalan, taman, dan halaman sekolah
Sumber: Penulis 2003 Dengan persepsinya mengenai lingkungan komuniti, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan komuniti, dan lebih mampu menyesuaikan diri menghadapi lingkungan komuniti yang asing, yang menyebabkan stress. Untuk menjadi akrab dengan lingkungan komuniti, perlu mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan komuniti atau sebaliknya mengubah lingkungan komuniti agar sesuai dengan tingkah laku. Untuk mengurangi stress anak terhadap perilaku penyesuaian diri disarankan sebagai berikut: 1. perlu ada inisiatif dan kemauan keras ketua RT dan RW untuk menjalankan organisasi dengan membentuk kegiatan-kegiatan yang berdampak langsung pada warga, khususnya anak-anak, seperti kerja bakti (membersihkan sampah dan saluran pembuangan air kotor), dan siskamling. Tanpa inisiatif dan kemauan tersebut, warga kota, menurut Prof. Parsudi Suparlan (Suparlan, 1996:3-44) menjadi bercirikan individualisme tinggi. Warga kota dengan ciri ini sangat sukar untuk diajak bekerjasama. 2. menjaga sanitasi lingkungan, karena berdampak langsung pada kesehatan lingkungan, terutama terhadap anak-anak yang rentan terhadap berbagai resiko yang ditimbulkan oleh lingkungan. 3. untuk menjadikan lingkungan komuniti sebagai tempat yang baik untuk anak tumbuh dan kembang, pemerintah kota perlu melakukan perbaikan-perbaikan. Menurut Bartlett, anak-anak memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka di lingkungannya. Anak-anak merekomendasikan dan memprioritaskan hal-hal penting yang perlu mendapat perhatian dari orang dewasa, assosiasi komuniti dan pemerintah kota. Pada tabel 6.4, Bartlett membagi 5 baris yang berisikan rekomendasi dan prioritas anak-anak untuk memperbaiki komuniti mereka. Perlu ada perbaikan, perawatan dan pembaharuan terhadap saluran air, toilet yang tidak bau, bebas bau sampah; tempat bermain dan rekreasi yang terang, bersama anak menentukan lokasi yang sesuai untuk tempat bermain yang dekat dengan rumah dan sekolah; dan perlu melakukan pengamanan yang ekstra di lingkungan yang pendapatan rendah, dan memasang pengumuman tentang pemberian perlindungan terhadap anak dari pembunuhan, kekerasan dan abuse.
48
Tabel 3.4: Rekomendasi dan Prioritas Anak untuk Memperbaiki Komuniti Mereka Perawatan, perbaikan dan pembaharuan
Perbaikan saluran air; Toilet tidak bau; Tersedia air di rumah; Bebas dari bau sampah; Tertutup saluran terbuka; Prioritaskan tempat bermain anak bersih dari sampah.
Tempat untuk bermain dan rekreasi
Tempat bermain terang, terutama anak-anak yang suka bermain pada malam hari; Mengidentifikasi tempat yang tidak memadai untuk ruang rekreasi; Melatih staf yang bekerja di taman dan kolam renang untuk mengurangi bahaya dan kekerasan terhadap anak di tempat rekreasi; Bekerjasama dengan anak untuk mengidentifikasi ruang yang dekat dengan rumah dan sekolah yang dipergunakan untuk bermain; Tempat bermain dapat dipergunakan oleh anak laki-laki dan anak perempuan.
Tempat umum
Lebih luas, taman dan alam terbuka; Tempat bertemu dan bersosialisasi; Membuat area pedestrian;
lalu lintas dan pergerakan anak-anak
Menyediakan tempat penyeberangan yang aman untuk anak di taman dan sekolah; Berkonsultasi dengan anak mengenai tempat mereka; Memperbaiki lampu lalulintas dengan cepat; Membuat rambu batas kecepatan; Membuat jalur sepeda; Membuat trotoar yang luas; Menutup jalan untuk kegiatan khusus setiap tahun;
49
Memudahkan orang cacat untuk bergerak. Pengamanan
Keamanan lebih baik di wilayah pendapatan rendah; Polisi jangan malas bekerja; Lampu jalan; Membuat pengumuman tentang pencegahan anak dari bahaya kekerasan, kejahatan dan abuse.
Sumber: Bartlett, Sheridan. (2002). “Urban Children and the Physical Environment.” Amman, Jordan: International Conference on Children and The City, h. 17 3.3 Anak dan Lingkungan Sekolah 3.3.1 Lingkungan Sekolah Sekolah merupakan tempat anak belajar berinteraksi sosial, belajar merespon dan menyesuaikan diri dengan teman, guru dan orang dewasa lain di sekolah. Melalui proses interaksi di dalam sekolah, seorang anak secara bertahap belajar mengembangkan kemampuan nalar dan imajinasinya. Hasil interaksi anak dengan kehidupan di sekolah, menghasilkan persepsi anak mengenai lingkungan sekolahnya. Gedung Lingkungan sekolah yang menjadi tempat penelitian adalah SDN Kenari 01 Pagi, SDN Kenari 02 Petang, SDN Kenari 03 Pagi, SDN Kenari 04 Petang, SDN Kenari 05 Pagi dan SDN Kenari 06 Petang. Jumlah keseluruhan murid dari kelas I sampai kelas VI adalah 1.158 murid (lk. 575; pr. 583), mereka semua bertempat tinggal dekat sekolah. Sekolah-sekolah tersebut berada pada sebuah gedung bertingkat tiga dan sebuah halaman luas dengan lantai aspal. Lantai satu/dasar digunakan oleh SDN Kenari 01 Pagi dan SDN Kenari 02 Petang; lantai dua digunakan oleh SDN Kenari 03 Pagi dan SDN Kenari 04 Petang; dan lantai tiga dipergunakan oleh SDN Kenari 05 Pagi dan SDN Kenari 06 Petang. Penggunaan ruangan dilakukan secara bergantian dengan sistem shift, pada pagi hari ruang sekolah dipergunakan oleh sekolah yang berangka ganjil, sedangkan pada siang hari dipergunakan oleh sekolah yang berangka genap. Tetapi pada saat penelitian, karena gedung sekolah SDN Kwitang 01 dan SDN Kwitang 02 roboh, maka untuk sementara murid-murid dari kedua SDN Kwitang tersebut diungsikan ke SDN Kenari sampai proses renovasi selesai. Dengan demikian pada pagi hari di lantai satu murid-murid SDN Kenari 01 Pagi dan SDN Kwitang 02 dijadikan satu, sedangkan pada siang hari murid-murid SDN Kenari 04 Petang digabung dengan SDN Kenari 06 Petang di lantai tiga, dan ruang yang ditinggalkan oleh SDN Kenari 04 Petang digunakan oleh SDN Kwitang 01. Pada tiap sekolah ada satu orang kepala sekolah, beberapa guru pengajar, dan penjaga sekolah. Di samping itu setiap sekolah memiliki komite sekolah yang bertugas untuk mengawasi kegiatan sekolah. Fadil merasa tenang dan nyaman bersekolah di SDN Kenari, karena gedung sekolahnya dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang kuat yang tidak
50
membahayakan anak, seperti tembok beton, bata, besi dan cat. Fadil tidak khawatir seperti teman-teman dari SDN Kwitang I dan II yang mengungsi, karena gedung sekolahnya roboh, dan harus diperbaiki kembali. Pendapat senada diungkapkan oleh Ida. Menurut Ida, tangga untuk ke lantai II dan III, terbuat dari tembok dengan kemiringan yang landai dengan peganggan dari besi sehingga aman digunakan oleh murid. Meskipun demikian, menurut Ida, jika kurang hati-hati menggunakannya bisa terpeleset dikarenakan lantainya licin, walaupun selama ini belum ada kasus anak yang jatuh dari tangga. …nyaman di sekolah, soalnya bangunan dari batu bata, tingkat dan kuat bangunannya…Kalau turun tangga tidak masalah, tetapi harus disiplin, namun kalau dorong-dorong bisa jatuh. Tangganya bagus, sudah kokoh…(Fadil/11 th). Gambaran gedung sekolah yang kokoh dan bertembok besi, terekam dalam gambar yang dibuat oleh Lin (lihat gbr.3.3.). Pada gambar tersebut Lin ingin mencoba memperlihatkan bahwa gedung sekolahnya berdiri kokoh lengkap dengan pagar besi, musala, dan halaman luas tempat murid praktik pelajaran olah raga. Posisi gedung yang strategis terletak di pinggir jalan, sehingga memudahkan murid dapat menjangkaunya dengan mudah, yaitu hanya dengan berjalan kaki dari rumah. Dari gambar tersebut tersirat, Lin ingin mengatakan bahwa murid-murid yang bersekolah di gedung tersebut aman, nyaman dan tenang.
Gbr.3.3. Sekolah dan kegiatan Supaya anak-anak terlindung dari ancaman orang yang tidak bertanggung jawab dan mencegah anak keluar masuk halaman sekolah selama jam belajar menurut Randy, Setiawan, Rian dan Emy, sekolahnya dilengkapi oleh pagar besi. Pagar sekolah terbuat dari beton dan besi yang kokoh dengan tinggi 2,5 meter dilengkapi dengan satu pintu
51
gerbang yang hanya dibuka saat sekolah mulai atau usai. Ada juga satu pintu kecil sebagai pintu masuk bagi tamu yang berkunjung. Untuk mendukung kegiatan belajar, seperti praktik sholat, mengaji dan kegiatan keagamaan lainnya, sekolah juga dilengkapi dengan musala. Begitu juga dengan kegiatan olah-raga, seperti senam lantai, bola kasti, sepak-bola, dan lari, gedung sekolah dilengkapi dengan halaman luas berlantai aspal. Namun, menurut Rian dan Setiawan, jika tidak berhati-hati berolah-raga di halaman berlantai aspal, apabila terjatuh atau terpeleset, bisa lecet atau luka. Hal ini dialami oleh beberapa teman yang kakinya lecet setelah bermain sepak-bola. Untuk itu menurut Rian dan Dhika, biasanya guru meminta murid-murid untuk menggunakan sepatu dan lebih berhati-hati. Fasilitas kamar kecil/WC di sekolah ini dirasakan murid-murid sangat kurang, hanya tersedia 1 ruang di setiap lantainya yang dipergunakan secara bersama oleh murid laki-laki dan perempuan. Keadaan ini menurut Fadil dan Emy sangat mengkhawatirkan murid perempuan akan terjadinya pelecehan seksual pada mereka oleh murid laki-laki. Mereka menjadi resah ketika harus menggunakan WC karena takut diintip. Meskipun demikian berdasarkan catatan sekolah, sampai saat ini memang belum pernah ada kasus pelecehan seksual terkait dengan ruang WC yang menyatu ini. Persoalan lain yang dihadapi oleh murid-murid yang menggunakan WC di lantai II dan III adalah kurang lancarnya air yang mengalir ke lantai yang lebih tinggi tersebut, karena kurangnya tekanan air, dibandingkan dengan aliran air di WC lantai I. …air di WC tidak lancar, lalu WC bau pesing…ruang antara anak laki-laki dan anak perempuan digabung jadi satu, saya takut ada anak yang iseng, mengintip anak perempuan…(Fadil/11 th). …air di WC kadang-kadang tidak lancar, kalau ingin sholat tidak ada air untuk wudhu atau bilas…WC perempuan dan laki-laki di gabung, itu mengganggu, karena kalau saya ingin buang air kecil, anak laki-laki suka mengikuti…(Ida/11 th). Pagi dan Petang Secara garis besar kondisi murid sekolah pagi dengan sekolah petang berbeda, terutama dalam hal jumlah murid pada tiap kelas serta latar belakang keluarga murid. Jumlah murid sekolah pagi lebih banyak dibandingkan dengan sekolah petang, berbanding 2 dan 1 atau kurang lebih 50 persen. Contoh SDN Kenari 01 Pagi, jumlah murid 267 orang (lk. 123; pr. 144), sedangkan SDN Kenari 02 Petang, mempunyai 141 orang (lk. 70; pr.71). Begitu juga dengan SDN Kenari 03 dan 05 Pagi jumlah muridnya lebih banyak dibandingkan dengan SDN Kenari 04 dan 06 Petang (lihat tabel 6.5).
52
Tabel 3.5
Jumlah Murid Sekolah Dasar Negeri Kenari 01-06 Jl. Kramat IV, Kel. Kenari, Kec. Senen – Jakarta Pusat Tahun Ajaran 2002/2003
No
Sekolah
1
SDN Kenari 01 Pagi
2
SDN Kenari 02 Petang
3
SDN Kenari 03 Pagi
4
SDN Kenari 04 Petang
5
SDN Kenari 05 Pagi
6
SDN Kenari 06 Petang Jumlah
L
P
T
123
144
267
70
71
141
127
143
270
66
55
121
131
116
247
58
54
112
575
583
1.158
Sumber: SDN 01-06 Kenari, 2003 Ket.: L = Laki-laki; P= Perempuan; T= Total jumlah laki-laki + perempuan Keadaan ini terjadi, karena banyaknya murid maupun orang-tua yang menginginkan anaknya tergabung dalam sekolah pagi, bergabung pada sekolah petang terpaksa dilakukan karena keterbatasan daya tampung sekolah pagi. Menurut Emy, ia memilih sekolah petang daripada pagi, karena sudah sejak kelas I SD didaftarkan oleh orang-tua di sekolah petang. Untuk pindah sekolah tidak memungkinkan, sebab sudah betah, dan akrab dengan teman-teman dan guru, serta tidak ada juga teman yang pindah sekolah pagi yang dapat dijadikan contoh. Sama halnya dengan Rian, Nisa dan Dhika yang juga sejak kelas satu bersekolah pagi. Sehingga tidak ada alasan memilih pindah ke sekolah petang. Kegiatan Perbedaan menyolok yang terdapat antara murid sekolah pagi dengan sekolah petang kaitannya dengan kondisi murid adalah kegiatan dan perilakunya. Sehariharinya, kegiatan murid sekolah pagi diwarnai oleh suasana pagi yang lebih tenang dan sejuk. Suasana seperti ini membuat anak-anak lebih riang, gembira, dan bersemangat. Menurut Fadil, dengan bersekolah pagi, kita lebih nyaman, karena ke sekolah udara masih terasa sejuk. Apabila ada praktik pelajaran olah-raga dilaksanakan di pagi hari udaranya terasa segar dan mataharinya belum terasa terik. Kondisi ini jauh berbeda dengan yang dialami Lin, Rini dan Emy bersekolah di sekolah petang, kegiatan sekolahnya sudah diawali dengan suasana siang yang panas oleh matahari. Udara panas membuat kami mudah lelah dan kurang bergairah. Kami menjadi kurang bertenaga
53
untuk melakukan tugas belajar. Seperti yang dituturkan Emy, ia tidak jarang membantu pekerjaan di rumah lebih dahulu sebelum berangkat sekolah, sehingga hanya energi sisa yang saya bawa ke sekolah. Kalau anak-anak pagi masih dapat melakukan olah raga di halaman sekolah, maka saya dan teman-teman di sekolah petang mungkin tidak dapat melakukannya, karena halaman sekolah yang tertimpa terik matahari. Pohon rindang yang semula cukup membuat teduh telah pula ditebang, menambah gersang sekolah ini. Gedung Bertingkat Suasana lingkungan sedikit banyak memberi pengaruh juga pada tindakan dan perilaku anak, baik di sekolah maupun dalam pergaulan mereka sehari-hari. Jumlah murid yang lebih banyak memungkinkan murid sekolah pagi mempunyai lebih banyak teman untuk saling berinteraksi dibandingkan yang sekolah sore. Kegiatan pendukung yang melibatkan seluruh murid agar mereka saling berinteraksi dengan sesama murid sekolah di lokasi ini, sangat jarang diselenggarakan. Tidak heran jika murid sekolah yang satu tidak mengenal murid dari sekolah yang lain. Menurut Fadil, hanya ada satu kegiatan yang dapat mempertemukan antara murid sekolah satu dengan sekolah lain, yaitu kegiatan Pesantren Kilat. Menurut Ida, yang juga mempengaruhi hubungan antara murid satu sekolah dengan sekolah lain adalah bentuk gedung bertingkat. Pendapat serupa juga disampaikan oleh Fadil, Emy dan Lin yang rata-rata sekolahnya berada di lantai II dan III. Alasan mereka enggan naik-turun tangga bermain atau menemui temannya di lantai yang berbeda, sehingga murid-murid di lantai II dan III hanya bisa bermain di koridor depan kelas mereka dengan ukuran sempit. Hubungan Murid dan Guru Yang menarik dari Sekolah Dasar Negeri Kenari adalah adanya hubungan kekeluargaan yang terjalin antara murid dan guru. Menurut Rian, hubungan murid dan guru baik. Rian jarang kena marah, karena selalu mengerjakan pekerjaan rumah dan jarang bolos sekolah. Dengan guru saya selalu bertegur sapa dan kadang-kadang bercanda. Pengalaman serupa disampaikan oleh Setiawan, Ida, Nisa, Ratih dan Rian. Mereka menyatakan guru mereka baik, pandai dan cerdas dalam menjelaskan mata pelajaran di kelas. Mereka jarang menemukan murid yang tidak akrab dengan guru. …guru-gurunya baik, memberi petunjuk cara-cara menyelesaikan soal, guru di sini cerdas…(Lin/11 th). …guru-guru baik, mereka mengajarkan tentang kejujuran – yang benar, agar tidak berbohong, namun muridny adaa yang berbohong…(Rian/12 th). …hubungan murid dengan guru baik, karena ibu dan bapak guru mengajarkan dari kelas 1 sampai kelas 6, dan menjadikan kami pintar…(Fadil/11 th).
54
3.3.2 Peraturan Sekolah Setiap sekolah mempunyai peraturan yang dibuat oleh para guru. Menurut Fadil, Setiawan, Rian dan Emy dari peraturan yang dibuat oleh para guru antara lain adalah: 1. sekolah dimulai pada pukul 07.00. Ada sanksi bagi murid yang terlambat; 2. setiap murid harus menggunakan seragam putih merah dari Hari Senin sampai Kamis, seragam pramuka pada Hari Jum’at dan Sabtu; 3. setiap olah raga menggunakan pakaian olahraga Di antara peraturan-peraturan di sekolah, ada juga yang dibuat oleh murid, seperti mengenai piket kelas. Misalnya di kelas Fadil, bersama teman-teman menyusun susunan petugas piket yang bertugas membersihkan ruang kelas dan bagaimana sanksinya. Peraturan dibuat bersama-sama, dipandu oleh ketua kelas dan diumumkan di hadapan kelas. Murid-murid biasanya lebih mematuhi peraturan yang mereka buat sendiri dibandingkan peraturan yang dibuat oleh guru. Walaupun demikian sesekali ada juga murid yang melanggarnya. Contoh dari tugas piket antara lain membersihkan ruang kelas, menghapus papan tulis, dan menyiram tanaman. Peringatan dari ketua kelas atau teman-teman akan diterima petugas piket yang tidak menjalankan tugasnya. Jika hal tersebut tidak juga diindahkan, mereka akan mendiskusikan jalan keluarnya. Upaya terakhir adalah melaporkan kepada wali kelas. Bagaimana dengan peraturan yang dibuat oleh guru? Peraturan ini lebih sering dilanggar, di antaranya larangan untuk tidak ribut di kelas, memakai seragam yang tidak sesuai harinya, atau keluar masuk halaman sekolah tanpa izin. Menurut Randy, ia sering melanggar peraturan sekolah, suka bertengkar dengan teman, dan datang terlambat. Akan tetapi, jarang mendapat teguran atau hukuman dari guru. Sehingga sering kali ia mengulangi perbuatannya. Perbedaan peraturan yang dibuat oleh guru dengan yang dibuat oleh murid adalah terletak pada jumlah pelanggaran yang dilakukan murid. Seperti telah diuraikan di atas, anak-anak cenderung melanggar peraturan yang dibuat oleh guru dibandingkan yang dibuat oleh murid sendiri. Dari sini ada pembelajaran yang baik yang dapat diperoleh dari perbedaan ini, bahwa sesuatu yang dibuat secara bersama-sama lebih demokratis dan aspiratif sehingga lebih sesuai dengan kondisi warga sekolah, dan tentunya lebih memiliki legitimasi. Dengan demikian, akan lebih baik jika dalam membuat peraturan sekolah, perlu melibatkan guru dan murid/wakilnya saat menyusunnya. 3.3.3 Belajar di Sekolah Enam hari dalam seminggu – Senin sampai Sabtu, murid-murid belajar di sekolah sesuai dengan jadwal yang dibuat oleh guru. Setiap hari rata-rata murid menerima dua sampai tiga mata ajaran, diselingi satu atau dua kali istirahat, yang lamanya 15 menit. Kegiatan belajar para murid hampir seluruhnya dilakukan dalam ruang kelas, keculi pelajaran praktik, seperti pelajaran agama di musala dan pelajaran
55
olahraga di halaman sekolah. Proses kegiatan belajar mengajar hampir semua dilaksanakan oleh wali kelas, kecuali pelajaran agama dan olah raga yang dilaksanakan oleh guru khusus. Banyak persamaan antara sekolah pagi dengan petang dalam sistem pembelajaran yaitu berasal dari satu kurikulum yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Persamaan lainnya adalah bentuk kegiatan belajar yang klasikal, artinya, pada saat yang sama semua murid belajar pelajaran yang sama. Pada kegiatan belajar klasikal ini, guru mengajar dengan mengunakan metode ceramah (Sudjana dan Suwariyah, 1991:28). Kegiatan belajarpun menjadi kurang optimal, karena hanya satu arah dan tanpa ada diskusi dengan murid-murid. Menurut Fadil, Emy dan Rian, keadaan ini tidak memberi kesempatan berdiskusi melainkan hanya menerima apa yang diberi oleh guru. Dengan demikian, suasana kelas hanya terisi oleh suara guru yang sedang menerangkan pelajaran. Ada kalanya murid bertanya karena kurang memahami penjelasan gurunya. Metode Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang pernah diterapkan, tidak lagi dilaksanakan. Ruang belajar hanya sebagai tempat murid-murid mendengarkan guru dan membuat latihan di papan tulis. Sehingga terekam dalam diri anak bahwa guru mereka adalah tokoh yang paling utama dalam membimbing mereka di sekolah dan mengembangkan kepribadian. Guru dipandang serba tahu dan serba mampu oleh murid-murid. Apa yang dikatakan guru dianggap pasti benar. 3.3.4 Makan di Sekolah Untuk memfasilitasi kebutuhan murid akan makanan yang murah dan bersih, maka pihak sekolah menyediakan kantin di setiap lantai. Menurut Emy, Lin dan Rian, kehadiran kantin di setiap lantai gedung, membantu mereka dalam menuhi kebutuhan untuk makan. Sebelum adanya kantin yang dikelolah oleh koperasi sekolah, biasanya murid-murid jajan ke luar halaman sekolah. Akan tetapi dengan dibukanya kantin tersebut banyak membantu kami. Biasanya murid-murid mengunjungi kantin membeli makanan pada waktu istirahat. Makanan tersebut mereka makan sambil bermain di koridor atau di kelas. Ada juga murid yang membawa makanannya dari rumah. Kegiatan ini sangat disukai anak untuk sementara mereka terbebas dari kegiatan belajar dan dapat bercerita bebas dengan temannya. Pemerintah pernah melaksanakan program pemberian makanan tambahan bagi murid-murid di sekolah yang berada di daerah rawan gizi. Program ini dikemas dengan nama Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS). Gagasan program ini terkait dengan krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997. Para murid mendapatkan susu, kue, roti, dan bubur kacang hijau. Pengelolaan program ini biasanya dilakukan oleh pihak sekolah bekerja sama dengan Pengurus PKK sebagai penyedia hidangan. Program PMTAS ini sebenarnya bermanfaat untuk meningkatkan gizi murid dalam menunjang kegiatan belajarnya di sekolah, namun demikian amat disayangkan karena program ini tidak bertahan lama, seiring dengan dihapusnya program Jaring Pengaman Sosial untuk Pendidikan (JPS-P).
56
Tabel 3.6. Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Sekolah Gedung
Anak merasa tenang dan nyaman bersekolah di gedung yang kokoh yang terbuat dari bahan kuat; berhalaman luas; dan berpagar besi. Akan tetapi, mereka merasa kurang nyaman dengan digabungnya ruangan WC anak perempuan dengan anak lakilaki; tekanan air yang kurang kuat ke lantai II dan III
Pagi dan petang
Anak sekolah pagi merasa tenang dan nyaman melakukan kegiatan belajar, karena kondisi fisik yang bertenaga, suasana pagi yang sejuk dan udara segar. Anak sekolah petang merasa kurang tenang dan nyaman melakukan kegiatan belajar, karena kurang bertenaga dan suasana panas.
Gedung bertingkat
Gedung bertingkat membuat enggan anak naik-turun tangga untuk berinteraksi dengan teman lain di lantai atas atau bawah.
Hubungan murid dan guru
Hubungan antara murid dan guru terjalin dengan akrab
Peraturan sekolah
Peraturan sekolah ada yang dibuat oleh guru dan ada yang dibuat oleh murid. Dari peraturan tersebut, peraturan yang dibuat oleh guru sering banyak dilanggar.
Belajar di sekolah
Metode belajar klasikal kurang melatih anak berdiskusi atau bertukar pikiran.
Makan di sekolah
Kehadiran kantin memfasilitasi anak memperoleh makanan murah dan bersih. Kantin menjadi salah satu tempat anak terbebas dari kegiatan belajar dan bercerita bebas dengan temannya.
Sumber: Penulis 2003 Dengan persepsinya mengenai lingkungan sekolah, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah, dan lebih mampu menyesuaikan diri menghadapi lingkungan yang asing yang menyebabkan stress. Untuk menjadi akrab dengan lingkungan sekolah, anak perlu mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan sekolah atau sebaliknya mengubah lingkungan sekolah agar sesuai dengan
57
tingkah laku. Untuk mengurangi stress anak terhadap perilaku penyesuaian diri disarankan sebagai berikut: 1. ruang WC merupakan salah satu fasilitas yang penting di sekolah, sehingga perlu dipertimbangkan keberadaan dan kebutuhannya. Anak-anak keberatan jika ruang WC anak perempuan dan anak laki-laki disatukan. Dengan demikian akan melindungi anak-anak perempuan dari pelecehan seksual. 2. desain bangunan sekolah bertingkat yang kurang dilengkapi ruang bermain, menjadikan anak-anak enggan untuk saling berinteraksi sosial satu sama lain, terutama murid-murid yang berada di lantai II dan III. Mereka kurang berteman dengan murid-murid yang berada di kelas bawah atau ruang bawah, karena harus mengeluarkan tenaga untuk naik turun tangga. 3. waktu sekolah pagi dan petang dipertimbangkan untuk diterapkan secara bergantian, karena sangat berpengaruh pada proses belajar mengajar dan kualitas murid. Sebagian besar murid-murid sekolah petang kurang optimal mengikuti pelajaran, karena energi yang berkurang dan udara panas mempengaruhi daya serap anak terhadap pelajaran. 4. metode belajar mengajar tidak hanya metode klasikal, sehingga anak-anak terlatih untuk mendiskusikan suatu persoalan. Metode CBSA atau metode lain yang memberi kesempatan anak untuk berdiskusi, perlu diterapkan lagi agar anak-anak terlatih mengemukakan pendapat atau gagasan-gagasannya. 5. pada penyusunan peraturan dan tata tertib sekolah, pimpinan sekolah dan guru perlu mengikutsertakan murid-murid, sehingga memiliki legitimasi yang kuat saat diterapkan dan ditegakkan. Kegiatan ini melatih anak-anak mengenai kehidupan berdemokrasi yang saling mendengar, dan menghargai pendapat orang lain. Anak memiliki potensi dalam menyusun peraturan dan tata tertib yang menyangkut kehidupan sendiri; contoh, melalui bermain mereka menyusun peraturan yang disepakati dan dijalankan bersama, dan jika ada yang melanggar, jelas ada sanksinya. Contoh lain adalah pembagian tugas piket kebersihan yang mereka susun bersama ketua kelas, dijalankan secara bersama-sama. 6. makan di sekolah perlu dipertimbangkan menjadi suatu program sekolah, karena banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan ini, selain mengembalikan energi anak yang terpakai selama belajar, juga dapat meningkatkan gizi anak, yang mungkin di rumah kurang memperoleh asupan makan yang bergizi. Juga kegiatan ini menjadi ajang anak-anak saling bersosialisasi baik dengan teman sekelas atau lain kelas. Di Indonesia, program ini pernah dilaksanakan melalui program PMTAS, tetapi dihentikan sejalan dengan berakhirnya program JPS-P. Program makan siang di sekolah semacam itu juga dilaksanakan oleh sekolahsekolah seperti di Jepang dan Malaysia.
58
3.4 Anak dan Lingkungan Bermain 3.4.1 Tempat Bermain Anak Tempat bermain merupakan tempat anak belajar berinteraksi sosial, belajar merespon dan menyesuaikan diri dengan teman sebaya atau orang dewasa. Melalui proses interaksi di tempat bermain, seorang anak secara bertahap belajar mengembangkan kemampuan nalar dan imajinasinya. Hasil interaksi anak dengan kehidupan di tempat bermain, menghasilkan persepsi anak mengenai lingkungan tempat bermain. Jenis Bermain Bermain menurut Hurlock ahli psikologi perkembangan (Hurlock, 1993:320) adalah setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa pertimbangan hasil akhir. Bermain dilakukan secara-suka rela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari luar. Bermain merupakan salah satu syarat yang penting untuk membawa anak ke dalam suasana kemasyarakatan. Dalam bermain, anak dapat saling mengenal dan menghargai satu sama lain. Dari bermain, anak mengetahui kekuatannya sendiri dan mengenali barang-barang dan sifat-sifatnya (Ahmadi dan Ardian, 1989: 82). Secara garis besar, bermain dapat dibagi menjadi dua yaitu bermain aktif dan bermain pasif. Dalam bermain aktif, menurut Hurlock (Hurlock, 1993:321) kesenangan timbul dari apa yang dilakukan individu, apakah dalam bentuk kesenangan berlari atau bermain bola. Sedangkan bermain pasif atau hiburan, kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain. Pemain menghabiskan sedikit tenaga. Seperti menonton televisi, menonton temannya yang sedang bermain, menonton pelawak sedang melucu, dan membaca komik. Permainan jenis ini tidak memerlukan banyak tenaga, tetapi kesenangannya hampir seimbang dengan teman yang sedang main bola di lapangan. Bermain, menurut Rian penting bagi anak-anak guna mengisi waktu luang setelah melakukan tugas-tugas sekolah. Banyak tugas sekolah yang berat dan membuat pusing. Supaya cepat pulih, perlu diisi dengan bermain, misalnya bermain games di komputer, bermain bola-basket satu ring di depan rumah, atau bermain bola-voli di lapangan Borobudur. …anak-anak itu perlu ada waktu luang, untuk beristirahat – untuk bermain…karena terlalu pusing mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas sekolah lainnya…(Rian/12 th). Tempat Bermain Secara sederhana, perbedaan dari dua jenis bermain antara aktif dengan pasif adalah tempat bermain. Bermain aktif menuntut seseorang atau anak membutuhkan ruang lebih luas. Sedangkan bermain pasif tidak begitu membutuhkan ruang yang luas. Kesulitannya adalah tempat bermain tidak selalu tersedia. Seperti anak laki-laki di Kwitang yang senang bermain sepak bola dan basket, mereka kesulitan dengan tidak tersedianya tempat bermain yang layak bagi mereka.
59
Bermain – khususnya di luar ruangan dibutuhkan suatu taman bermain dan waktu yang cukup agar anak-anak mendapatkan pengalaman baru dalam hidup mereka. Menurut Barbara Hendricks ahli arsitektur lingkungan bermain dari Brescia – Itali (Hendricks, 2002:4), tempat bermain dalam masyarakat modern mempunyai peranan yang amat penting dalam hidup dan kebudayaan anak. Anak-anak akan dapat merasakan jika perencanaan dan pembangunannya memang sesuai dengan kebutuhan mereka. Tempat bermain anak idealnya mempunyai jarak yang dekat dari rumah anak sehingga memungkinkan orang-tua untuk memantau atau mengawasi mereka. Ditambahkan lagi, bermain di luar ruang/taman akan lebih baik jika berbeda usia dan jenis kelamin. Hal ini dimaksudkan untuk memotivasi anak agar mencoba melakukan sesuatu dan mempelajari keterampilan baru. Melalui interaksi dengan anak-anak lain ada kemungkinan mereka menemukan hal baru, fantasi baru, dan jenis permainan baru. Mereka juga belajar bersahabat dan mengembangkan bahasa verbal dan bahasa tubuhnya. Di taman bermain mereka belajar berbagai keterampilan yang sangat vital, yang mungkin tidak mereka peroleh di sekolah. Hal ini hanya bisa mereka dapatkan bila mereka mempunyai cukup waktu dan ruang untuk bermain. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Kelurahan Kwitang yang padat penduduk mengalami kesulitan mendapatkan lahan kosong untuk taman bermain. Menurut Dhika, mereka dalam memenuhi hasrat bermain dengan cara mencari tempat yang membuat mereka bisa bermain. Biasanya kami mencari taman yang luas seperti Taman Monas, Taman Tugu Pak Tani, halaman sekolah, dan jalan. Di tempat-tempat ini, kami dapat memenuhi keinginan untuk bermain bola-kaki, dan basket. …di lingkungan saya sekarang tidak ada tempat terbuka untuk tempat bermain. Perlu ada ruang atau tempat-tempat terbuka, soalnya kalau bermain di jalanan takutnya ketabrak. Biasanya anak-anak tetangga bermainnya di jalan yang tidak ramai, tetapi tidak nyaman, soalnya kalau ada mobil harus berhenti. Misalnya kalau bermain raket, terus berhenti melulu, ngak nyaman…(Lin/11 th). …anak-anak bermain sepak-bola biasanya di jalan pasar, taman Tugu Pak Tani, dan Monas. Mereka bermain di sana tidak nyaman, karena jauh dari rumah dan orang tua mereka susah mengawasinya. Seharusnya ada lapangan di dekat rumah, tetapi tidak ada lahan, karena sudah penuh dengan rumah…Saya sama teman bermain bola-bekel di rumah atau bermain bola-kasti di jalan buntu…(Emy/12 th). Jalanan Jalanan merupakan salah satu tempat favorit Setiawan, Dhika, dan temanteman sebagai tempat bermain. Setiawan yang tinggal di sekitar Jalan Inspeksi – Kwitang, sering memanfaatkan jalanan (Jalan Inspeksi) menjadi lapangan sepak bola – futsal. Dengan hanya menambahkan tiang yang diberi tali plastik yang menyerupai gawang, Setiawan dan teman-teman dapat bermain sepak bola layaknya di lapangan sepak bola berumput hijau. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada setiap sore hari atau hari Minggu. Kegiatan ini ramai ditonton oleh warga, sehingga kadangkala menyulitkan kendaraan yang akan lewat di jalan tersebut. Setiawan cs. dan pengguna
60
jalan sama-sama terganggu dengan kondisi seperti ini, sehingga tidak jarang terjadi adu mulut dan fisik (Hendricks: 2002:1). Belakangan, konflik dengan pengguna jalan mulai berkurang, seiring dengan hadirnya orang dewasa di sekitar tempat itu yang turut mengawasi dan mengamankan jalan, khususnya pada hari Minggu. Taman Tugu Pak Tani Alternatif lain yang menjadi tempat bermain Setiawan, Dhika dan teman-teman adalah Taman Tugu Pak Tani yang berada di sekitar Hotel Aryaduta, Jalan AR. Hakim, dan Lampu Merah Kebon Sirih. Tempat ini dipilih, karena selain indah (terawat, rapi, bersih dan berumput hijau), lahannya pun cukup luas dan berlokasi strategis karena letaknya yang tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal anak-anak di Kwitang. Biasanya, tempat ini ramai dikunjungi oleh anak-anak dan orang dewasa yang ingin berolahraga pada Hari Minggu pagi. Terkadang Setiawan dan teman-teman bermain bola pada sore hari di hari-hari biasa (Senin – Sabtu). Dilihat dari fungsinya, Taman Tugu Pak Tani sebenarnya bukanlah tempat bermain dan tempat berbagai kegiatan seperti di atas, melainkan sebagai taman bunga semata. Sebenarnya, hanya petugas taman yang boleh masuk mengingat ia yang bertugas memelihara taman. Kegiatan yang terjadi secara terus menerus di taman tersebut akan menyebabkan rumput dan taman di sini rusak. Oleh karena itu, menurut Dhika pada hari-hari tertentu kecuali Minggu taman tersebut dijaga oleh Petugas Tramtib yang libur di hari Minggu. Sesungguhnya, mereka mengetahui adanya larangan bermain di taman tersebut dari papan pengumuman yang terpasang di sana, tetapi karena tidak adanya tempat bermain di permukiman mereka, maka mereka melanggar peraturaan itu walaupun ada resiko yang harus mereka tanggung. Bantaran Kali Ciliwung Cara lain Rio, Rifan dan teman-temannya mendapatkan tempat bermain adalah dengan memanfaatkan bantaran Kali Ciliwung di sekitar Jalan Inspeksi, Kwitang. Di bantaran kali ini mereka dapat berkejar-kejaran, bermain layang-layang, dan sepak bola. Bermain sepak bola biasanya baru dapat dilakukan pada saat Kali Ciliwung surut di musim kemarau. Sebelum bermain, biasanya mereka terlebih dulu membersihkan sampah kali, pecahan beling dan kemudian meratakannya. Bermain bola agak membuat mereka kerepotan karena jika bola mereka jatuh ke kali mereka harus mengambilnya dengan galah, atau salah satu dari mereka terjun ke kali, ini pun jika airnya tidak terlalu dalam. Mereka tidak mempunyai banyak pilihan, meskipun mereka tahu bahwa bermain di kali berbahaya, baik terhadap kesehatan dan maupun keselamatan mereka. Kondisi Kali Ciliwung sendiri kurang baik, karena dipenuhi sampah, airnya pun berbau karena tercemar oleh sampah rumah tangga, rumah sakit, dan industri. Menurut Rifan, setelah bermain biasanya badan mereka terasa gatal, dan mengoreng atau luka. Meskipun demikian, bermain di Kali Ciliwung tidak sepanjang tahun mereka lakukan. Beberapa waktu yang lalu, menurut Lurah Mas’ud, Kali Ciliwung akan segera dikeruk oleh Pemda DKI dalam rangka program penanggulangan banjir, termasuk gundukan tanah yang sering dijadikan lapangan. Pada akhir waktu penelitian ini berlangsung sekitar pertengahan Desember 2003, gundukan tanah telah dikeruk, sehingga anak-anak tidak dapat bermain di bantaran itu lagi.
61
Halaman SDN Kenari dan PSKD Biasanya, Rian, Randy dan Fadil mencari tempat yang relatif lapang sebagai tempat bermainnya. Tempat bermain mereka lainnya selain perparkiran Taman Ismail Marzuki, adalah halaman sekolah SDN Kenari dan sekolah PSKD (Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta) di Jalan Kramat IV. Di sini biasanya mereka bermain sepak bola, bola basket, dan skateboard. Lokasi tersebut relatif lebih dekat dengan rumah anak-anak. Sekolah PSKD mempunyai halaman yang cukup luas, berlantai beton lengkap dengan ring basket. Sebenarnya halaman tersebut hanya diperuntukkan bagi murid-murid PSKD melakukan praktik pelajaran olah raga, dan tidak untuk umum, seperti halnya halaman SDN Kenari. Meskipun demikian, kadang pada hari Minggu dan sore hari setelah sekolah usai, Rian dan Fadil datang dan bernegosiasi dengan penjaga sekolah tersebut supaya mereka bisa bermain di tempat tersebut. Menurut Fadil, pernah mereka tidak diberi izin, karena pada minggu sebelumnya mereka melakukan pengrusakan, seperti memecahkan kaca jendela, pot bunga, dan mengotori tembok karena terkena tendangan bola. Karena peristiwa ini biasanya pihak sekolah (penjaga sekolah) kemudian tidak mengizinkan mereka bermain lagi di situ. Izin baru bisa diberikan lagi jika mereka mau membayar ganti rugi. Tetapi biasanya mereka lari dari tanggung jawab alias tidak memberi ganti rugi. Sebenarnya pemanfaatan halaman sekolah sebagai tempat bermain bola, cukup beresiko, selain mengakibatkan kerusakan seperti di atas, lantai yang beraspal pun membuat mereka luka jika terjatuh. Kegiatan ini biasanya tidak diorganisir secara teratur oleh mereka, sehingga kadang-kadang mereka tidak mempersiapkan perlengkapan-perlengkapan pengaman seperti sepatu olah raga, penutup lutut, obat merah dan lain-lain. Mereka juga kurang mendapat pengawasan dari orang dewasa yang dapat memberi arahan atau sebagai penengah ketika sesekali mereka bertanding dengan kelompok lain dan terjadi kekisruhan di antara mereka. Tingkat Keselamatan Secara umum, yang membedakan tempat bermain di jalanan, taman tugu Pak Tani, bantaran kali, dan halaman sekolah (tempat bermain tidak resmi) dengan tempat bermain yang ada di komplek permukiman (tempat bermain resmi) adalah tingkat resiko keselamatannya. Tingkat keselamatannya diukur dari pemilihan lokasi, penataan lokasi menurut jenis permainan, dan organisasi. Kota-kota yang memiliki tempat bermain resmi mempunyai peraturan tentang tata ruang, pemilihan dan penataan lokasi yang telah mempertimbangkan jarak dan posisi lokasi yang mudah dijangkau oleh anak-anak maupun orang dewasa. Seperti halnya di Inggris, pengaturan lokasi tempat bermain/taman ditentukan berdasarkan tingkat peruntukannya. Misalnya, lokasi bermain di areal rumah berjarak 50 meter dari rumah, memiliki luas 50 – 100 m2. Areal bermain seperti ini biasanya diperuntukkan bagi anak usia di bawah 5 tahun yang juga berfungsi sebagai tempat pertemuan orangtua untuk saling tukar menukar informasi mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan perawatan anak ketika mengantar anaknya bermain.
62
Di Inggris, juga diatur tempat bermain di lingkungan/komplek yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia di atas lima tahun yang biasanya berjarak 400 meter dari rumah, dengan luas paling sedikit 1 hektar. Tempat bermain yang bersifat petualangan juga mempunyai jarak 400 meter dari rumah, berupa taman dengan luas 1.000-10.000 m2 dilengkapi dengan berbagai jenis permainan petualangan yang diperuntukkan bagi anak-anak dan semua usia dengan pengawasan orang dewasa (lengkapnya lihat tabel 3.7). Tabel 3.7 Jarak Lokasi Tempat Bermain dengan Rumah di Inggris No
Lokasi Bermain
Jarak lokasi dengan rumah
Peruntukan
Luas
1
Di areal rumah
sampai 50 m
biasanya untuk anak usia di bawah 5 tahun dan sebagai tempat pertemuan orangtua yang membawa anaknya. Tempat ini terpisah dari anak yang berusia lebih dari 5 tahun
50-100 m2
2
Tempat bermain lingkungan
400 m
biasanya untuk anak usia di atas 5 tahun atau lebih
paling 1 ha
3
Taman petualangan
400 m
menyediakan permainan yang menantang, untuk anak-anak dan semua usia dan di bawah pengawasan orang dewasa
1.000-10.000 m2
4
Taman lingkungan
500-600 m
menyediakan permainan untuk semua kelompok usia, dari yang muda sampai yang tua
kurang lebih 4 ha
5
Taman distrik
2 sampai 3 km
untuk semua usia
paling 20 ha
di
sedikit
sedikit
Sumber: Barbara Hendricks, 2002:21 Karena belum adanya petunjuk pelaksanaan yang tegas, menurut Merina Burhan ahli arsitektur dari Institut Teknologi Bandung (Burhan, 1999:138), berakibat pada lepasnya perhatian terhadap pentingnya pengadaan ruang bermain untuk anak terutama di lingkungan perumahan kota-kota di Indonesia. Kasus Kwitang, merupakan
63
contoh tidak tersedianya tempat bermain, begitu pula dengan fasilitasnya. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi, kalau anak-anak di Kwitang bermain di sembarang tempat yang tidak resmi dan penuh resiko. Meskipun demikian, begitu tempat bermain anak-anak tersebut masih termasuk dalam luas rata-rata ruang bermain anak Indonesia, yaitu 2.000 m2 per anak (Burhan, 1999:138). Jika taman bermain telah sesuai dengan tata ruang untuk anak-anak atau orang dewasa, menurut Hendricks (Hendricks: 2002:12) memungkinkan anak-anak akan mempunyai tangan, lengan, kaki yang kuat dan seimbang; tidak sering sakit; mempunyai konsentrasi yang baik; tidak mudah frustrasi; koordinasi tubuh lebih baik; lebih siap belajar; dan lebih suka menolong dan baik budi. Sedangkan yang tidak sesuai atau bahkan tidak resmi berpengaruh pada keselamatan diri mereka. Perbedaan tempat bermain resmi dengan yang tidak resmi terletak pada tingkat keselamatannya. Tingkat keselamatan suatu tempat bermain di kota ditentukan juga oleh kedudukan tempat bermain tersebut dalam struktur organisasi menurut sistem administrasi yang berlaku di kota itu. Mengingat tempat bermain resmi merupakan pusat bermain yang pengelolaannya dilakukan oleh organisasi resmi pemerintah, terutama menyangkut pengawasan, pengaturan dan perawatan, maka sewajarnya jika tempat bermain tidak resmi yang tidak termasuk dalam struktur organisasi pemerintahan tidak dilengkapi dengan pengawasan, pengaturan dan perawatan terhadap tempat bermain tersebut. Anak-anak pun akan dilarang jika diketahui melakukan kegiatan di tempat tersebut. Misalnya seperti yang dutarakan oleh Dhika, saat bermain di taman Tugu Pak Tani, mereka dikejar oleh tramtib. Mereka lari berhamburan dan ada salah satu temannya hampir tertabrak mobil, karena harus menyeberang jalan. Tabel 3.8. Persepsi Anak Mengenai Lingkungan Bermain Jenis bermain
Bermain aktif – kesenangan timbul dari apa yang dilakukan individu, seperti berlari, bermain sepak-bola, dan lain-lain. Bermain pasif – kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain, seperti menonton tv, menonton pertandingan sepak-bola.
Tempat bermain
Anak-anak yang bermain aktif kesulitan mendapatkan tempat bermain resmi yang sesuai dengan kebutuhan anak. Untuk memenuhi hasrat bermain, anak-anak memanfaatkan tempat tidak resmi, seperti jalan, taman bunga, halaman sekolah, parkir, dan tanah kosong.
Tingkat keselamatan
Tidak tersedia tempat bermain resmi, anak-anak memanfaatkan tempat tidak resmi, oleh karena itu mereka tidak merasa tenang dan nyaman, karena resiko kecelakaan, terluka, jauh dari rumah dan pantauan orang-tua.
Sumber: Penulis 2003
64
Dengan persepsinya mengenai tempat bermain, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan tempat bermain, dan lebih mampu menyesuaikan diri menghadapi tempat bermain yang asing yang menyebabkan stress. Untuk menjadi akrab dengan tempat tersebut, perlu mengubah tingkah laku agar sesuai dengan tempat bermain atau sebaliknya mengubah tempat bermain agar sesuai dengan tingkah laku. Untuk mengurangi stress anak terhadap perilaku penyesuaian diri disarankan sebagai berikut: Pemerintah perlu mempelajari cara anak memenuhi hasratnya mendapatkan tempat bermain dengan mengikuti cara anak, dan bersedia bekerjasama dengan anak untuk menata ruang yang ada. Misalnya, kelurahan mengeluarkan kebijakan memblokir Jalan Inspeksi pada jam dan hari tertentu untuk dijadikan tempat bermain, begitu juga halnya dengan halaman sekolah. Meski demikian, menurut Hendricks (Hendricks: 2002:14) perencanaan taman bermain yang ramah terhadap anak harus mempertimbangkan hasil konsultasi dengan anak, seperti bagaimana mereka menggunakan ruang dan apa yang mereka ingin lakukan, sehingga dalam proses pengembangannya tidak perlu melakukan pengekangan terhadap anak. Proses konsultasi dengan anak harus dilakukan dengan baik seperti yang dilakukan terhadap orang dewasa. Di beberapa negara seperti Inggris, Belgia dan Belanda, telah banyak contoh konsultasi yang dilakukan dengan anak mengenai tempat bermain (Hendricks: 2002:14). Topik penting yang perlu diperhatikan oleh perencana dan perancang ketika melakukan diskusi dengan anak mengenai pembangunan taman bermain adalah masalah keselamatan anak. Ada dua persoalan yang terkait dengan keselamatan anak: 1. dibutuhkan tindakan pencegahan dan tenaga profesional yang berpengalaman untuk menjamin bahwa ruangan terbebas dari hal-hal berbahaya yang bisa menyebabkan anak-anak mendapatkan luka serius; 2. orang dewasa, khususnya orang-tua anak dan pengawas tempat bermain diduga juga berpotensi untuk membahayakan keselamatan anak dan membuat anak takut. Persoalan ini menyangkut kasus child abuse. Di samping itu, perencana dan perancang perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap anak. Menurut Sheridan Bartlett, dengan mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan terhadap tempat bermain anak, sehingga memungkinkan mereka merasa tenang dan nyaman. Seperti yang diuraikan dalam tabel 3.9, pemerintah kota perlu mempertimbangkan pengamanan dan pengawasan di tempat bermain; meningkatkan keselamatan anak di tempat bermain; dan termasuk melakukan kampanye terhadap larangan penggunaan bahan berbahaya pada alat-alat permainan.
65
Tabel 3.9. Dukungan untuk Tempat Bermain Anak Pengamanan dan pengawasan
tersedianya ruang bermain yang tertutup dari pembangunan rumah; tersedianya ruang tempat orang dewasa untuk bersosialisasi; ruang tertutup untuk orang dewasa yang berpura-pura sebagai pekerja dan petugas sosialisasi;
Keselamatan
terlindung dari lalu lintas; penutup saluran air; tidak ada tumpukan sampah, kotoran dan pecahan gelas; terlindung untuk anak-anak kecil; tempat bermain dalam ruangan terlindung dari api terbuka, cairan mudah terbakar, racun, dan minyak tanah.
tempat bermain formal
banyak ruang-ruang kecil, tertutup untuk anak tinggal, lebih baik dari ruang besar karena jarak mudah dicapai, tidak ada diskriminasi, untuk semua umur dan dijamin tidak ada bahaya; manajemen dan pengelola bertanggungjawab untuk menyediakan staf; pengawasan terhadap berbagai kegiatan fisik orang dewasa yang berpura-pura sebagai pemain yang akan membahayakan keselamatan anak; menanam pohon-pohon
tempat bermain di luar, sulit dan tidak mungkin
pengawasan tempat bermain di dalam ruang di komuniti. boneka-boneka yang yang banyak terbuat dari bahan yang berbahaya. berkomitmen untuk melindungi tempat anak-anak sering bermain
Sumber: Bartlett , Sheridan. (2002). “Urban Children and the Physical Environment.” Aman, Jordan: International Conference on Children and the City, h. 13
66
3.5 Anak dan Pelayanan Transportasi 3.5.1 Jenis Transportasi Kendaraan umum merupakan salah tempat anak dapat belajar berinteraksi sosial, belajar berespon dan menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat. Melalui proses interaksi di dalam kendaraan, seorang anak secara bertahap belajar mengembangkan kemampuan nalar dan imajinasinya. Hasil interaksi anak dengan kehidupan di kendaraan umum, menghasilkan persepsi anak mengenai pelayanan transportasi. Jenis Transportasi Jenis transportasi di Jakarta dapat digolongkan menjadi empat yaitu bajaj, taksi, bus kota, dan kereta api listrik (tujuan Jakarta – Bogor PP dan Yakarta – Bekasi PP). Yang membedakan jenis transportasi satu dengan lainnya adalah dapat tercapai, terjangkau, kualitas pelayanan, dan keselamatannya. Hal yang membedakan bajaj, taksi, dengan bus dan kereta adalah tingkat keselamatannya. Keselamatan ini tercermin dari kondisi kendaraan dan wujud pola-pola tindakan dan kelakuan para awaknya. Bajaj adalah alat transportasi roda tiga yang masih beroperasi di wilayah DKI Jakarta. Menurut Dhika, bajaj itu kondisinya buruk, berisik, jalannya bergoyanggoyang, dan banyak menghasilkan polusi udara. Menurut Ida naik bajaj harus lebih berhati-hati, karena rawan penodongan dan pemerasan oleh penjahat atau pengamen. Berbeda dengan taksi, yang menurut Nisa, kondisinya lebih baik, bersih, nyaman, karena menggunakan AC. Lain lagi dengan bus kota, yang kondisinya juga kurang baik, banyak coretan pada dindingnya, bangku rusak, dan banyak sampah. Dalam bus selain harus berdiri, berdesak-desakan, panas, dan bau masih khawatir pula dengan pencopet. Menurut Emy dan Lin bus selalu tergesa-gesa bila menurunkan penumpang, dan selalu mendadak kalau berhenti, sehingga kadang-kadang ada penumpang yang terjatuh atau terantuk besi. Sopir dan kernet pun, kadang-kadang berperilaku kasar terhadap penumpang. Hal yang kurang lebih sama, seperti kondisi bus yang kurang baik, banyak sampah, kaca jendela pecah, pintu tidak berfungsi, bangku rusak, dan banyak pengamen, pengemis dan pedagang yang berlalu lalang di dalamnya. Hal ini terjadi juga di kereta api listrik (Jakarta – Bogor/kelas ekonomi). Di kereta api listrik kondisi ini lebih diperburuk dengan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas daya angkut, sehingga penumpang harus berjejal-jejal, bahkan ada yang naik atap kereta. Akibatnya, penumpang menjadi tidak nyaman, karena panas, pengap dan juga rawan kecopetan. Anak-anak merasa paling takut naik kereta, terutama bila mereka terpisah dengan orang-tua. Mereka khawatir tertindih, jatuh atau tidak bisa kembali ke rumah. …kalau jalan-jalan, seringnya naik bajaj. Bajaj itu berisik suaranya, banyak asap…(Dhika/11 th). …bajaj itu jalannya goyang-goyang dan bau bensin…tidak nyaman di jalan, karena banyak pengamen yang suka menodong…(Ida/11 th).
67
…naik bus itu tidak nyaman, karena padat, bau dan macet. Jalannya suka tersendat-sendat dan kadang berhenti mendadak, kepala bisa kejedot…ini sangat mengganggu…(Lin/11 th). …saat naik kereta biasanya desak-desakan, kadang-kadang ada orang yang ketinggalan kereta, ada yang berpencar dari orang-tuanya, hal ini berbahaya bagi anak-anak, karena anak-anak tidak tahu apa-apa, bisa terjatuh, terpencar dari orang-tua, mereka nantinya kalau terpisah dari orang-tua, tidak tahu alamat untuk kembali ke rumah. Dalam kereta dempet-dempetan, banyak pedagang. Kadang-kadang anak-anak tidak dapat duduk selama perjalanan…(Emy/12 th). Keselamatan Dengan demikian, demi keselamatan, para penumpang termasuk anak-anak harus pandai-pandai memilih jenis kendaraan yang akan mereka tumpangi. Biasanya pilihan tergantung juga pada kemampuan ekonomi mereka. Jika mereka mempunyai uang lebih, maka akan dipilih jenis kendaraan yang lebih aman dan nyaman. Menurut Nisa, kadang saya meminta ayah atau ibu naik taksi kalau bepergian agar terlindungi dari udara luar yang tercemar polusi/asap kendaraan. Emy dan Lin harus bepergian dengan menggunakan bus kota, kadang keselamatan terancam, karena kepadatan penumpang membuat Emy dan Lin tidak mendapat duduk, dan harus ikut berdiri dan berdesak-desakan dengan orang dewasa. Pada kasus yang dialami Lin, karena berdesak-desakan, saat itu ia sempat sesak napas, dan kakinya terinjak-injak. Naik kereta api yang penuh dengan penumpang yang bergelantungan juga menjadikan trauma dalam diri anak. Badan kereta api yang bergoyang-goyang ketika berjalan membuat anak takut jatuh dan sangat khawatir terpisah dengan orang-tuanya. Kekhawatiran terjadi tabrakan juga membayangi diri mereka ketika naik kereta api. Sistem Pelayanan Perbedaan menyolok yang terdapat antara bajaj, taksi, bus kota dan kereta adalah sistem pelayanannya. Sistem pelayanan transportasi yang mengutamakan kualitas pelayanan menjadi salah satu alasan calon penumpang untuk bepergian mempergunakan jasa transportasi tertentu. Namun, biasanya tingkat kualitas pelayanan berbanding lurus dengan jumlah dana yang harus dibelanjakan. Misalnya, seseorang bersedia mengeluarkan banyak uang ketika naik taksi karena menginginkan pelayanan yang baik. Menurut anak, kualitas pelayanan jasa transportasi bergantung pada pengelola jasa angkutan, karenanya penumpang akan mempertimbangkan pula jenis taksi yang akan mereka gunakan. Pilihan utama, menurut Setiawan, biasanya jatuh pada taksi X yang dikelola perusahaan X yang dikenal memiliki reputasi baik, karena awaknya yang cukup sopan dan rapi serta tidak pernah terkait kasus penodongan atau perampokan terhadap penumpang, dibandingkan naik taksi Y yang reputasinya buruk. Setiawan mengenali karena sikap sopirnya yang kurang ramah. Begitu juga dengan bajaj, mereka lebih senang naik bajaj yang sudah menjadi langganannya daripada yang tidak mereka kenal. Mengenai bus dan kereta, mereka sukar membedakan bus dan
68
kereta mana yang dapat memberikan pelayanan yang baik. Anak-anak telah telanjur mengganggap bus dan kereta memiliki tingkat kualitas pelayanan rendah. Seperti dikemukakan di atas, kualitas pelayanan transportasi ditentukan oleh pengelola atau operator jasa angkutan. Kota Jakarta akan mempunyai pelayanan transportasi yang lebih baik ke depan dibandingkan sekarang kalau bersedia memperbaiki dan menegakkan aturan dan kebijakan tentang transportasi. Walaupun Indonesia telah mempunyai UU No.14 tahun 1992 tentang lalu lintas yang termasuk di dalamnya mengenai jasa pelayanan transportasi, namun belum diterapkan secara baik dan tegas. Untuk itu, Jakarta bisa belajar dari Singapura yang mempunyai model sistem pelayanan transportasi berkelas dunia. Menurut Robert Cervero penulis buku The Transit Metropolis: A Global Inquiry terbitan Island Press (Cervero:1998:176), Singapura, seperti juga Stockholm dan Copenhagen mempunyai standar pelayanan tinggi per kapitanya dalam pemakaian transportasi. Setiap orang, baik tua, muda, kaya maupun miskin, atau cacat, memperoleh pelayanan dari satu tempat ke tempat lain dengan sangat baik, murah dan seimbang. Di Singapura pelayanan transportasi lebih diutamakan ke perumahan, sarana pendidikan dan sarana pelayanan kesehatan. Singapura mencapai kesuksesan dalam pelayanan transportasi karena pemerintah sangat berhati-hati dalam mengambil setiap kebijakan di bidang transportasi. Perbedaan corak pelayanan transportasi antara jenis yang satu dengan lainnya antara lain terwujud dalam hal mudah dicapai, dan terjangkau. Selain taksi, menurut anak-anak, tidak ada transportasi lain yang mudah dinaiki. Mereka merasa kesulitan ketika naik kereta api atau bus kota, karena jenis transportasi ini didesain tanpa mempertimbangkan kebutuhan anak-anak. Sebagai contoh, anak-anak mendapat kesulitan memperoleh tempat duduk di kereta api. Kereta Api tidak menyiapkan tempat duduk khusus untuk anak sehingga jika ingin duduk, mereka harus berebut dengan orang dewasa atau memilih berdiri sepanjang perjalanan. Demikian pula dengan bus kota, desain tangga naik dan turun tidak mempertimbangkan keselamatan mereka. Sopir dan kernet juga kurang memperhatikan penumpang saat naik atau turun, karena umumnya terburu-buru. Jakarta pernah memiliki angkutan bus sekolah yang ditujukkan untuk muridmurid sekolah yang dikelola oleh Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD), tetapi pada kenyataannya, anak-anak kurang dapat mengaksesnya. Sebaliknya, yang banyak memanfaatkan bus tersebut adalah orang dewasa. Dengan demikian sebenarnya Kota Jakarta belum memikirkan penyediaan jasa transportasi yang dapat diakses oleh anak dan orang dewasa secara baik dan murah. Rute Dari segi rute perjalanan angkutan di Jakarta, anak-anak tidak mempunyai persoalan, misalnya, dari Senen ke Lebak Bulus, Bekasi, Kampung Rambutan dan sebagainya, telah ada rute perjalanan yang tetap. Meskipun demikian, beberapa kasus yang pernah mereka alami adalah kadangkala bus kota atau kereta api tidak sampai ke tujuan. Umumnya, tanpa keterangan yang jelas penumpang diminta turun dan melanjutkan perjalanannya dengan bus atau kereta lainnya. Kejadian seperti ini menyebabkan kekecewaan bagi pengguna jasa transportasi. Penumpang dapat saja
69
mengadukan hal ini melalui pelayanan pengaduan di setiap kantor operator atau pemerintah kota, namun hal ini jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, tidak ada tanggapan serius. Warga kota Jakarta, termasuk anak tidak mempunyai banyak pilihan transportasi, selain harus tetap menggunakan jasa transportasi yang telah membuat mereka kecewa. Tabel 6.10. Persepsi Anak Mengenai Pelayanan Transportasi Jenis transportasi
Ada empat jenis transportasi di kota Jakarta, yakni bajaj, taksi, bus kota, dan kereta api.
Keselamatan
Anak merasa tidak tenang dan nyaman menggunakan sarana transportasi, karena desain kendaraan belum sesuai dengan kebutuhan anak.
Sistem pelayanan
Sistem pelayanan transportasi tidak ramah anak
Sumber: Penulis 2003 Dengan persepsinya mengenai pelayanan transportasi, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan pelayanan transportasi, dan lebih mampu menyesuaikan diri menghadapi pelayanan transportasi yang asing yang menyebabkan stress. Untuk menjadi akrab, perlu mengubah tingkah laku agar sesuai dengan pelayanan transportasi atau sebaliknya mengubah pelayanan transportasi agar sesuai dengan tingkah laku. Untuk mengurangi stress anak terhadap perilaku penyesuaian diri disarankan sebagai berikut: Pemerintah kota Jakarta agar menyediakan layanan transportasi yang mempertimbangkan kebutuhan anak. Untuk mewujudkan transportasi seperti itu, pemerintah dapat mengkaji dan mempelajari sistem transportasi di Singapura yang memberikan pelayanan kepada beragam keadaan penduduknya, atau mengkaji sistem transportasi di Curitiba, Brazil. Menurut Robert Cervero (Cervero, 1998:292) meskipun Pemerintah Kota Curitiba menghadapi kesulitan ketika membangun sistem pelayanan transportasi berkelas dunia, tetapi mereka sanggup mewujudkannya dengan perencanaan yang hati-hati, dengan keputusan yang tepat, dengan semangat kepemimpinan. Sistem transportasi Curitiba dibangun dengan menggabungkan semua jaringan mulai dari jaringan rumah, jaringan jalan, pusat perdagangan, perkantoran, tempat bersejarah dan ruang publik. Selain itu, dibangun jaringan yang menghubungkan jaringan busway dengan jaringan transit di tempat yang kurang padat penduduk, secara efisien. Dengan mengkaji dan mengadopsi dua contoh sistem transportasi serta berkonsultasi dengan warga kota termasuk anak mengenai kebutuhan transportasi, dapat dibayangkan Jakarta akan memiliki sistem transportasi yang ramah anak.
70
Di samping itu pemerintah kota dalam membuat kebijakan mengenai transportasi umum, menurut Jill Swart Kruger dan Louise Chawla (Kruger, 2002:85) perlu : 1. memperkenalkan jarak, jenis dan ukuran transportasi umum; 2. mempertimbangkan pembuatan tiket tunggal untuk semua jenis transportasi umum; 3. mempertimbangkan penggunaan bus khusus pada hari minggu dan libur untuk anak dan keluarganya ke tempat rekreasi.
3.6 Anak dan Pelayanan Kesehatan 3.6.1 Kesehatan Anak Informasi mengenai kesehatan anak merupakan hal-hal yang perlu diketahui oleh seorang anak, supaya mereka mengetahui sumber penyakit, jenis penyakit dan upaya pencegahannya. Melalui pemberian informasi seorang anak secara bertahap belajar memahami mengapa seorang anak bisa sakit, dan bagaimana mencegahnya Hasil belajar anak mengenai kesehatan anak, menghasilkan persepsi anak mengenai kesehatan anak. Sumber Penyakit Kehidupan anak berpusat pada rumah, sekolah dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, wilayah tersebut harus menjadi tempat yang aman dan sehat bagi anak. Kenyataan, tak jarang tempat-tempat itu tidak aman bahkan menjadi penyebab timbulnya penyakit bagi anak. Menurut WHO, sebagian besar penyakit anak-anak berhubungan erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal (rumah), belajar (sekolah) dan bermain (komuniti) (WHO, 2002:7). Resiko utama ditimbulkan oleh lingkungan seperti air yang kurang bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan higiene makanan yang buruk. Resiko lainnya ditimbulkan oleh serangga yang menjadi perantara bibit penyakit; sedangkan tanah dan air merupakan perantara infeksi cacing. Bahaya lain adalah kecelakaan dan kekerasan. Di samping itu, permukiman yang padat, ventilasi yang buruk, dan kurang air bersih untuk mencuci, mempercepat penyebaran berbagai penyakit (UNICEF & UNEP, 1990:25). Bagi masyarakat perkotaan, resiko juga ditimbulkan dari kekuranghati-hatian dalam menggunakan bahan kimia yang berbahaya, pembuangan sampah toxic dan degradasi lingkungan. Pemakaian zat kimia yang tidak aman untuk produk rumah tangga dan alat permainan anak seperti boneka, bisa pula menjadi sebuah ancaman. Jenis Penyakit Lingkungan memiliki resiko terhadap kesehatan anak. Jenis-jenis penyakit yang sering menyerang anak-anak adalah diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), cacar air, tetanus, malaria, dan penyakit kulit/koreng. Menurut Fadil, Setiawan, Emy, Lin dan Ida, jenis penyakit yang sering mereka derita antara lain diare, ISPA, dan penyakit kulit.
71
Jenis penyakit yang sering diderita anak dikaitkan dengan keadaan lingkungan, dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. diare, disebabkan oleh air yang kurang bersih, dan higiene makanan yang buruk; 2. ISPA, disebabkan oleh polusi udara, zat kimia yang berbahaya, kondisi rumah yang kurang baik, dan sanitasi yang buruk; 3. penyakit kulit, disebabkan oleh bahan kimia yang berbahaya, air yang kurang untuk mencuci, dan sanitasi buruk – terutama bagi anak-anak yang tinggal dekat kali Ciliwung. Untuk menekan penyebaran penyakit tersebut kepada anak-anak, program pencegahan yang dapat dilakukan adalah penyuluhan, perbaikan sanitasi lingkungan dan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Program Pencegahan Upaya pencegahan penyakit dan peningkatan derajat kesehatan anak telah dilakukan oleh sekolah melalui dua macam program, yaitu Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan Program Pemerikasaan Kesehatan dari Dinas Kesehatan. Program Usaha Kesehatan Sekolah merupakan program yang bertujuan: 1. menghimpun dan menyalurkan dana murid untuk kepentingan kesehatan murid; 2. mempromosikan cara hidup sehat melalui program penyuluhan dan praktik. Program ini dikelola oleh guru dan perwakilan kelas. Kegiatan konkrit yang dilakukan oleh UKS adalah penyuluhan tentang : 1. kebersihan diri – mandi, gosok gigi, pakaian; 2. kebersihan kelas – perawatan ruang kelas; dan 3. kebersihan rumah – pengelolaan sampah dan perawatan rumah. Program Pemeriksaan Kesehatan yang dilakukan setiap awal tahun ajaran baru bertujuan : 1. mengumpulkan data status kesehatan murid; dan 2. memberikan imunisasi tetanus (DPT) dan BCG lanjutan. Kegiatan ini dilakukan oleh dokter dari puskesmas atau yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Melalui program tersebut murid-murid memperoleh informasi dan pengetahuan tentang pencegahan penyakit, sehingga diharapkan tumbuh kesadaran murid untuk menjaga kesehatannya dan terhindar dari penyakit yang sering menyerang mereka.
72
3.6.2 Jenis Pelayanan Kesehatan Tempat pelayanan kesehatan merupakan tempat anak memperoleh pelayanan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan kesehatan. Melalui tempat pelayanan kesehatan seorang anak secara bertahap belajar memahami mengapa seorang anak dirawat, berinteraksi dengan petugas kesehatan, dan belajar mengenai tempat pelayanan kesehatan. Hasil interaksi anak dengan pusat pelayanan kesehatan, menghasilkan persepsi anak mengenai pelayanan kesehatan. Jenis Pelayanan Tempat pelayanan kesehatan yang dipakai oleh anak-anak untuk memeriksakan kesehatan atau pengobatan adalah klinik dan puskesmas. Perbedaan kedua institusi ini terletak pada kemudahan mencapainya, daya jangkau dan kualitas pelayanannya. Ketiga perbedaan di atas antara klinik dan puskesmas, tercermin dalam sistem dan manajemennya. Dalam sistem pelayanan kesehatan, klinik merupakan tempat upaya perorangan untuk memperoleh pelayanan kesehatan (DepkesRI, 2003:30). Sedangkan manajemennya, menurut dokter Sulastomo, penulis buku ”Bunga Rampai: Beberapa Masalah Pelayanan Kesehatan” (Sulastomo, 1988:130-131), adalah di bawah perusahaan swasta atau sekelompok dokter yang melakukan praktik yang bersifat komersial. Puskesmas, dalam sistem pelayanan merupakan tempat upaya masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Tetapi belakangan puskesmas juga diarahkan untuk upaya kesehatan perorangan (DepkesRI. 2003:27). Sedangkan manajemennya di bawah pimpinan seorang dokter. Pelayanan kesehatannya dibedakan menjadi dua tingkat yaitu: 1. dilayani oleh paramedis, baik oleh perawat, perawat gigi, perawat bidan atau bidan; 2. dilayani oleh dokter baik dokter umum maupun dokter gigi. Dengan demikian, mengingat klinik dikelola oleh swasta dengan pelayanan menggunakan teknologi kedokteran yang hampir setara rumah sakit (disebut rumah sakit kecil), berorientasi keuntungan dan sasaran pelayanan kepada individu, maka tidak semua individu yang ada di strata masyarakat dapat mengakses dan menjangkaunya. Meskipun demikian, menurut Setiawam, Nisa dan Emy, jika sakit, orang-tua sering kali membawanya ke klinik. Walaupun harus membayar lebih mahal, namun mereka memperoleh pelayanan yang baik dan memuaskan. Akan tetapi ada orang-tua yang tetap memeriksakan anaknya ke Puskesmas. Menurut Lin, Rini dan Rian, jika sakit selalu berobat ke Puskesmas dengan biasa murah dan mudah dicapai hanya dengan berjalan kaki atau naik bajaj. Menurut Rian, dokter Puskesmas ramah, fasilitasnya seperti rumah sakit, dan biayanya murah, sehingga kalau sakit, ibu mengajak Rian berobat ke Puskesmas. … Kalau sakit, sering di bawah ke klinik dokter Indra, dokternya baik dan ramah, apa yang dirasakan, menyuruh tidur, obat yang diberi dokter supaya rajin minum…Suster klinik baik, senyum ke saya…Kliniknya dekat
73
dari rumah, saya dan murah…(setiawan/11 th).
mama
hanya
berjalan
kaki…Biayanya
…Kalau sakit di bawah ke dokter. Dokternya baik, mau menjelaskan penyakit, terus diberi obat…Kliniknya bersih…Kliniknya dekat dari rumah saya…(Nisa/11 th). …Kalau sakit saya ke Klinik YAKRI, dokternya ramah, semacam saudara saja…Kalau sudah dari dokter, besoknya langsung sembuhan…Suster klinik ramah, tidak judes, menjelaskan, kalau ini obat untuk sakit apa, terus minum sampai habis…Kliniknya bersih, tidak ada sampah…Klinik dekat dari rumah, hanya naik bajaj…(Emy/12 th). …kalau sakit ke Klinik YAKRI, dokternya baik, terus obatnya membuat sembuh, tetapi bayarannya mahal…Sering juga, kalau sakit di bawah ke Puskesmas. Dokter Puskesmas baik, ramah. Puskesmasnya bersih, tidak ada sampah. Di Puskesmas banyak pasien baik anak-anak maupun orang dewasa…Puskesmas bayarannya murah…(Lin/11 th). … Kalau sakit, sering di bawah kedokter – klinik YAKRI. Tetapi waktu periksa gigi ke Puskesmas Cikini. Dokternya baik, ramah, pasiennya dirayu oleh dokter, giginya kalau dicabut tidak sakit…Suster ramah, dia orangnya baik, orang sakit tidak bisa berjalan dibantu…Setiap anak bisa menggunakan Puskesmas, Puskesmas untuk umum…Gedung Puskesmas bagus, bertingkat dan tidak banyak sampah. Di Puskesmas airnya lancar dan bersih. Selokannya lancar…(Rini/11 th). …Kalau sakit saya dibawa ke Puskesmas. Kondisinya kaya rumah sakit biasa, dokternya baik, karena sudah kenal dengan saya, selain itu susternya. Selain saya, anak-anak lain bisa juga kesana. Di Puskesmas biayanya murah Rp 5.000. Toiletnya bersih sekali, airnya lancar. Kalau ke Puskesmas naik bajaj – Rp 2500…(Rian/12 th). Tabel 3.11. Persepsi Anak Mengenai Pelayanan Kesehatan Sumber penyakit
Sebagian besar penyakit anak berhubungan erat dengan lingkungan tempat mereka tinggal, belajar, dan bermain. Resiko utama ditimbulkan oleh air yang kurang bersih, sanitasi buruk, polusi udara, dan higiene makanan yang buruk. Di samping itu permukiman padat, ventilasi yang buruk, kurangnya air bersih, kekerasan dan kecelakaan
Jenis penyakit
Penyakit yang sering diderita oleh anak adalah diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan kulit
74
Program pencegahan
Pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan kesehatan
Jenis pelayanan
Anak sakit dirujuk ke klinik dan atau Puskesmas
Sumber: Penulis 2003 Dengan persepsinya mengenai pelayanan kesehatan, diharapkan anak dapat lebih menyesuaikan diri dengan pelayanan kesehatan, dan lebih mampu menyesuaikan diri menghadapi pelayanan kesehatan yang asing yang menyebabkan stress. Untuk menjadi akrab dengan pelayanan kesehatan, perlu mengubah tingkah laku agar sesuai dengan pelayanan ksesehatan atau sebaliknya mengubah pelayanan kesehatan agar sesuai dengan tingkah laku. Untuk mengurangi stress anak terhadap perilaku penyesuaian diri disarankan sebagai berikut: Upaya kesehatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko lingkungan terhadap kesehatan anak dan warga kota lainnya menurut Jorge E. Hardoy, dkk. penulis buku “Environmental Problems in an Urbanizing World: Finding Solution for Cities in Africa, Asia, dan Latin America,” adalah pencegahan penyakit yang disebabkan oleh resiko lingkungan. Tindakannya dapat dilakukan di dua tingkatan yakni rumah tangga dan komuniti. Tingkat rumah tangga yang dapat dilakukan dengan: 1. menyediakan air bersih; 2. tempat penampungan/tanki air selalu dibersihkan untuk menjaga higiene; 3. menyediakan fasilitas WC yang bersih; 4. mengatur pembuangan sampah dan air buangan; dan 5. melakukan kampanye dengan menyebarkan poster atau leaflet tentang desain kompor dan dapur. Sedangkan tindakan di komuniti hampir sama dengan tindakan di rumah tangga, tetapi sifatnya lebih ditingkatkan pada pengawasan dan penyediaan fasilitas yang tidak tersedia di tingkat rumah tangga seperti sumur umum dan MCK. Upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah, menurut Dr. David Satterthwaite, dari International Institute for Environment and Development, London (Satterthwaite, 2002:1-2) adalah, memberikan pengawasan, perlindungan terhadap anak dan melakukan tindakan pada sektor air, sanitasi, saluran air, sekolah, perumahan, taman, transportasi umum, manajemen sampah, serta mempertimbangkan tanggung jawab terhadap anak: 1. institusi bertanggung jawab terhadap peraturan tentang polusi yang bisa merusak perkembangan otak dan tubuh anak ; 2. pemerintah bertanggungjawab terhadap keadaan jalan yang bisa menimbulkan kecelakaan dan luka;
75
3. peraturan mengenai air dan sanitasi yang dapat menjadi sumber penyakit diare dan infeksi cacing; 4. polisi mengatur taman dan tempat umum lain yang banyak dikunjungi anak.
76
BAB IV KONSEP PERSEPSI ANAL DAN KOTA
4.1 Persepsi Anak dan Kota Persepsi yang saya pahami dalam kajian ini adalah persepsi anak mengenai lingkungan kota. Ada dua pendekatan dalam persepsi. Pendekatan pertama adalah pandangan konvensional yang menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu kegiatan mengindera, menginterpretasi dan memberikan penilaian terhadap objek fisik maupun objek sosial. Penginderaan tersebut tergantung pada stimulus sosial yang ada di lingkungannya (Richar R. Bootzin, Elizabeth F. Loftus, Robert B. Zajonc:1983:103), (Newman & Newman, 1983:178). Pendekatan ini lebih mengutamakan stimulus yang ditimbulkan oleh energi yang ditangkap oleh sel-sel penerima, sehingga terjadinya penginderaan. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, ahli psikologi sosial dari Universitas Indonesia (Sarwono, 1992:45) pandangan pertama ini menganggap persepsi sebagai kumpulan penginderaan – sensation. Jadi, kalau seseorang melihat benda terbuat dari besi, beroda tiga, maka kumpulan penginderaan itu akan diorganisasikan secara tertentu, dikaitkan dengan pengalaman dan ingatan masa lalu, dan diberi makna tertentu sehingga dapat dikenal, misalnya sebagai bajaj. Cara pandangan seperti ini dinamakan juga pendekatan konstruktif. Akan tetapi, kegiatan mengenal objek atau benda itu menurut Sarwono adalah kegiatan mental atau disebut juga kognisi. Jadi, sebetulnya otak tidak secara pasif menggabungkan tumpukan pengalaman dan memori, melainkan aktif untuk menilai, dan untuk memaknai. Karena adanya fungsi aktif dari kesadaran manusia. Pandangan ini kadang-kadang digolongkan juga kepada pandangan fungsional. Pendekatan kedua adalah pendekatan ekologik. Pendekatan ini dikemukakan oleh Eleanor Gibson, psikolog perkembangan dari Yale University dan penulis buku ”An Ecological Approach to Perceptual Learning and Development”. Menurut Gibson, yang dikutip Sarwono dari Fisher et.all.1984:24 (Sarwono, 1992:46) individu tidaklah menciptakan makna-makna dari apa yang diinderakannya karena sesungguhnya makna itu telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk organisme yang siap menyerapnya. Persepsi terjadi secara spontan dan langsung, jadi bersifat holistik. Spontanitas itu terjadi karena organisme selalu menjajaki (eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjajakan itu ia melibatkan setiap objek yang ada di lingkungannya dan setiap objek menonjolkan sifat-sifatnya yang khas untuk organisme bersangkutan.
77
Dari pendekatan tersebut, saya menarik suatu pendapat bahwa pengertian persepsi itu terdapat unsur-unsur: 1. adanya objek atau sasaran yang diamati, 2. adanya alat indera yang cukup baik untuk menangkap objek, dan 3. adanya interpretasi dan penilaian terhadap objek. Berdasarkan unsur-unsur tersebut saya berkesimpulan, persepsi adalah suatu kegiatan dari penginderaan dalam memberi interpretasi terhadap objek tertentu. Dalam kajian ini, yang menjadi objek persepsi adalah lingkungan kota. Persepsi anak mengenai lingkungan kota dapat digambarkan sebagai hubungan anak dengan lingkungannya – anak menginderakan objek di lingkungannya, ia memproses hasil penginderaannya itu dan timbullah makna tentang objek itu pada diri anak bersangkutan yang dinamakan persepsi. Persepsi ini menurut Sarwono (Sarwono, 1992:47) selanjutnya menimbulkan reaksi sesuai dengan asas busur refleks. Untuk bisa lebih memahami proses yang terjadi sejak anak bersentuhan melalui inderanya dengan objek di lingkungannya sampai terjadi reaksi, saya mencoba menerjemahkan dalam skema persepsi, seperti di bawah ini: Dalam skema tersebut terlihat bahwa tahap paling awal dari hubungan anak dan lingkungan adalah kontak fisik antara anak dengan objek-objek di lingkungannya. Objek tampil dengan manfaatnya masing-masing, sedangkan anak datang dengan sifat-sifat individualnya, pengalaman masa lalunya. Hasil interaksi anak dengan objek, menghasilkan persepsi anak mengenai objek itu. Jika persepsi itu berada dalam batasbatas optimal maka anak dikatakan dalam keadaan serba seimbang. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal, maka anak itu akan mengalami stress dalam dirinya. Tekanan-tekanan dalam dirinya meningkat sehingga membuat anak harus melakukan penyesuaian dirinya dan menyesuaikan lingkungan pada kondisi dirinya.
78
Gbr 4.1 Skema Persepsi Sumber: Paul A Bell, 1978:89
Sebagai hasil dari penyesuaian diri, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi: 1. tingkah laku penyesuaian diri tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Gagalnya tingkah laku penyesuaian diri ini menyebabkan stress berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi dan persepsi anak. 2. kemungkinan tingkah laku penyesuaian diri berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara anak dengan lingkungannya atau penyesuaian keadaan lingkungan pada diri anak. Jika dampak penyesuaian diri terjadi berulang-ulang maka kemungkinan terjadi penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan. Dalam skema di atas telah disebutkan bahwa hasil tingkah laku penyesuaian diri akan menyebabkan perubahan pada anak maupun pada persepsinya. Dengan kata lain,
79
persepsi bukan sesuatu yang statis, melainkan bisa berubah-ubah. Menurut Sarwono ada dua proses perubahan (Sarwono, 1992:51-53): 1. proses faal dari sistem syaraf pada indera manusia. Jika stimulus tidak mengalami perubahan, maka akan terjadi adaptasi, yakni respon terhadap stimulus makin lama makin lemah. Misalnya, seorang anak mendekati tempat sampah, maka mula-mula ia akan mencium bau busuk sehingga reaksinya adalah menutup hidung. Akan tetapi, beberapa saat bau itu seolah-olah tidak tercium lagi. Adaptasi lainnya adalah berkurangnya perhatian jika stimulus muncul berkali-kali. Misalnya, seorang anak mendengar suara gaduh di rumah sebelah, mula-mula ia akan terkejut dan merasa bising. Akan tetapi, jika suara gaduh itu berlangsung terus berkali-kali dalam jangka waktu lama, anak itu seakan-akan tidak memperhatikannya lagi sehingga suara gaduh itu tidak mengganggunya lagi; 2. proses psikologik. Proses ini dijumpai dalam pembentukan dan perubahan sikap. Sikap yang dimaksud di sini adalah menurut W. McGuire, respon manusia yang menempatkan objek yang dipikirkan ke dalam dimensi pertimbangan. Objek yang dipikirkan adalah segala sesuatu yang bisa dinilai oleh manusia. Dimensi pertimbangan adalah semua skala positif-negatif, seperti baik ke buruk, jelek ke bagus. Sikap sebagai respon juga dipahami sebagai tingkah laku. Pada kajian ini pembentukan dan perubahan sikap menjadi hal penting, dalam rangka pembicaraan misal mengenai membuang sampah sembarangan – membentuk sikap anti buang sampah sembarangan atau mengubah sikap membuang sampah sembarangan. Untuk kepentingan kajian ini pembentukan dan perubahan sikap didasarkan pada teori kondisioning klasik dari Parlov. Dalam kondisioning klasik, dimulai dengan respon yang terjadi secara alamiah terhadap suatu stimulus. Respon alamiah itu dinamakan respon tak berkondisi sedangkan stimulusnya dinamakan stimulus tak berkondisi. Misalnnya saja tiba-tiba seorang anak mencium bau tak sedap maka responnya adalah wajah yang mengernyit dan tangan menutup hidung yang menunjukan ada perubahan pada diri anak. Bau tak sedap itu stimulus tak berkondisi dan menutup hidung adalah respon tak berkondisi. Kenyataan, bau tadi berasal dari selokan maka perubahan itu pun menular ke selokan tersebut dan timbullah sikap tidak suka pada selokan, meskipun pada kesempatan lain bau itu tidak ada lagi. Selokan disebut stimulus berkondisi dan respon tidak suka pada selokan disebut respon berkondisi. Dari skema di atas, ada dua jenis lingkungan dalam hubungan antara anak dengan kondisi fisik lingkungannya (Sarwono, 1992:107-108). 1. lingkungan yang sudah akrab dengan anak, misal rumah, komuniti, sekolah, dan tempat bermain. Pada jenis lingkungan ini, anak tidak mengalami kesulitan dalam penyesuaian perilaku diri. 2. lingkungan yang masih asing, kemungkinan timbulnya stress lebih besar. Pada jenis lingkungan ini anak mengalami kesulitan dalam penyesuaian perilaku diri.
80
Dari dua jenis lingkungan ini, diidentifikasi ada dua jenis perilaku penyesuaian diri (Sarwono, 1992:108-113): 1. mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan yang juga disebut adaptasi. Penyesuaian diri diawali dengan stress, yaitu suatu keadaan dimana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kenyamanan diri. Reaksi terhadap stress tersebut, bisa saja langsung dan atau penyesuaian mental 2. mengubah lingkungan agar sesuai dengan tingkah laku yang juga disebut adjustment. Penyesuaian diri diawali dengan merancang sebuah lingkungan dengan dua pertimbangan kelayakan huni atau alternatif desain. Kelayakan huni adalah lingkungan itu bisa memenuhi keperluan anak yang menggunakan lingkungan, sedangkan alternatif desain adalah semua cara yang mungkin dipikirkan oleh orang dewasa untuk membuat rancangan guna memenuhi keperluan layak huni. Setelah desain ditetapkan sampailah pada tahap penerapan rancangan diwujudkan dalam bentuk nyata. Keseluruhan kegiatan sejak desain sampai melaksanakannya itulah yang menurut Sarwono (Sarwono, 1992:114-116) yang dinamakan dalam psikologi lingkungan sebagai adjustment. Yang mempengaruhi orang untuk perlu atau tidak perlu melakukan ditentukan oleh: a.
kesadaran. Kesadaran yang dimaksud pengetahuan, kepercayaan dan normanorma. Kesadaran akan keselamatan anak, berpengaruh pada desain rumah, sekolah, dan tempat bermain.
b.
kriteria. Semakin banyak keperluan, maka semakin banyak kriteria yang harus dipenuhi, antara lain: kemudahan tingkah laku (fungsional dan keluasan); menjaga kondisi fisiologik (suhu dan kelembaban udara, serta perlu ada sarana pencegahan darurat); menjaga kondisi indera (merangsang indera dan keseimbangan indera); dan menjaga kodisi sosial (rangsangan sosial dan isolasi sosial).
Salah satu yang dipersepsi anak mengenai lingkungan kotanya adalah ruang di sekitarnya. Pengertian ruang tersebut termasuk persepsi tentang jarak jauh dekat, sempit luas, longgar sesak, kurang nyaman nyaman. Dalam kajian ini akan disinggung secara singkat konsep-konsep tentang personal space, privacy, territoriality, kesesakan dan kepadatan, dan peta mental. 1.
Personal space – menurut J.D. Fisher psikolog perkembangan yang dikutip dari Sarwono (Sarwono, 1992: 68) personal space adalah suatu batas maya yang mengelilingi diri individu yang tidak boleh dilalui oleh orang lain. Personal space yang dikenal adalah: a.
jarak intim (0-0,5 m) – ruang saling berangkulan, sahabat atau anggota keluarga;
b.
jarak personal (0,5 – 1,3 m) – jarak untuk percakapan antara dua teman yang sudah akrab;
c.
jarak sosial (1,3 – 4 m) – untuk hubungan yang bersifat formal; dan
81
d.
jarak publik (4 – 8,3 m) – untuk hubungan lebih formal, penceramah dan pendengarnya
Untuk kepentingan kajian personal space dilihat hanya sebatas dalam pernyataan tipe kepribadian anak yang eksternal yaitu merasa bahwa segala sesuatu lebih ditentukan oleh faktor-faktor di luar diri anak sendiri yang memerlukan jarak personal space yang lebih besar dibandingkan anak bertipe internal yaitu merasa bahwa segala sesuatu lebih banyak ditentukan oleh diri anak. 2.
3.
Privacy – menurut Sarlito Sarwono (Sarwono, 1992: 71) privacy adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya, atau dalam istilah psikoanalisis yaitu dorongan untuk melindungi ego seseorang dari gangguan yang tidak dikehendakinya. Sarwono mengutip dari Holahan psikolog, ada dua golongan privacy yaitu: a.
keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Pada golongan ini terwujud dalam tingkah laku menarik diri yaitu dengan: keinginan untuk menyendiri; keinginan untuk menjauhi dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas; keinginan untuk intim dengan anggota keluarga.
b.
keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap penting yaitu dengan keinginan untuk merahasiakan jati diri; keinginan untuk tidak mengungkapkan jati diri terlalu banyak kepada orang lain; dan keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga.
Territoriality – menurut Sarlito Sarwono (Sarwono, 1992:73) teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku yang dimaksud termasuk personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Pada kajian ini teritorialitas dipahami sebagai pola tingkah laku anak yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu wilayah, seperti kamar, ruang kelas, dan tempat bermain. Menurut Fisher yang dikutip dari Sarwono (Sarwono, 1994:73) kepemilikan atau penguasaan dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi anak itu sendiri. Persepsi itu bisa aktual, tetapi juga bisa hanya merupakan kehendak untuk menguasai atau mengontrol. Misalnya kamar tidur tergolong aktual, namun bangku di kelas atau tempat bermain di taman lebih merupakan kehendak untuk menguasai saja. Sama seperti privacy, menurut Altman (dalam Fisher et.all, 1984:177) yang dikutip dari Sarwono teritorial dibagi menjadi (Sarwono, 1992:76): a.
teritori primer – tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah akrab hubungannya atau telah mendapat izin khusus. Misalnya rumah atau sekolah
b.
teritori sekunder – tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Misalnya ruang kelas, tempat bermain, dan ruang kantin.
82
c.
4.
teritori publik – tempat-tempat terbuka untuk umum, di mana pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat itu. Misalnya, pusat perbelanjaan, pasar, jalan, trotoar, halte, dan tempat rekreasi.
Kesesakan dan kepadatan – menurut Stokols psikolog yang dikutip dari Sarwono (Sarwono, 1992:77), kesesakan adalah respon subjektif terhadap ruang yang sesak, sedangkan kepadatan adalah kendala keruangan. Kepadatan merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan. Kesesakan baru terjadi jika ada gangguan atau hambatan tertentu dalam interaksi sosial. Misalnya seorang anak dimintakan untuk mempersepsikan kesesakan pada bus atau kereta api, ia menggambarkan padatnya penumpang dalam bus atau kereta api tersebut dengan penumpangnya berebut tempat duduk. Untuk daerah perkotaan kepadatan juga dapat dilihat pada kepadatan permukiman, di mana kepadatan terdapat di dalam dan di luar rumah tinggi. Kesesakan dan kepadatan menurut Holahan yang dikutip dari Sarwono (Sarwono, 1992:81) berdampak pada:
5.
a.
penyakit dan patologi sosial – reaksi fisiologik, misal meningkatnya tekanan darah; patologi sosial meningkatnya kejahatan
b.
tingkah laku sosial – agresi; menarik diri dari lingkungan sosial; berkurangnya tingkah laku menolong; kecenderungan untuk lebih melihat banyak sisi jelek dari orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lain itu di tempat yang padat atau sesak, misalnya takut dicopet
c.
hasil usaha dan suasana hati – prestasi belajar menurun dan suasana hati cenderung lebih menurun
Peta mental – menurut Roger Downs ahli geografi dan David Stea psikolog, yang dikutip dari Sarwono (Sarwono, 1992:82) peta mental adalah proses yang memungkinkan individu untuk mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi relatif dan tanda-tanda tentang lingkungan geografis. Peta mental adalah proses aktif. Bukan hanya indera penglihatan yang berfungsi, melainkan juga inderaindera lain, misalnya penciuman. Hasil rekaman dari indera-indera itu kemudian dihubungkan satu sama lain sehingga menghasilkan gambar peta dalam ingatan. Makin sering individu melewati atau mengenal tempat tinggal atau suatu tempat maka makin rinci dan baik peta mentalnya, sehingga tidak mengherankan dengan peta mental yang dimilikinya, seorang anak bisa menunjukkan arah rumah, sekolah dan tempat bermain kepada teman-temannya. Kevin Lynch mengemukakan bagaimana cara mengukur peta mental melalui beberapa unsur kota yaitu paths, edges, nodes, district dan landmark (uraian unsur-unsur ini dapat di lihat di bagian 4.4.2 Unsur-unsur Kota). Menurut Lynch, makin nyata unsur-unsur tersebut dalam suatu lingkungan, misalnya lingkungan kota, makin mudah orang menyusun peta mental.
83
Peta mental setiap individu berbeda-beda, menurut Holahan yang dikutip dari Sarwono (Sarwono, 1992:85) dipengaruhi oleh: a.
gaya hidup – menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi peta mental, karena gaya hidup berpengaruh terhadap tempat-tempat yang diketahui atau didatangi. Misalnya, seorang anak sering di antar dengan sepeda motor ke sekolah tidak akan tahu rute jalan potong dari rumahnya ke sekolah. Anak jarang bermain di taman tugu Pak Tani, tidak akan tahun kondisi taman tugu Pak Tani;
b.
keakraban dengan lokasi lingkungan, menurut Evans yang dikutip dari Sarwono, makin seseorang mengenal geografisnya, makin luas, makin terinci peta mentalnya;
c.
keakraban sosial, menurut Lee yang dikutip dari Sarwono, makin banyak teman bergaul, makin luas wilayah yang dikunjungi, dan makin banyak ia tahu tentang wilayah-wilayah yang dikunjungi, dan makin baik pula peta mentalnya; dan
d.
perbedaan jenis kelamin, anak-anak laki lebih baik dan lebih terinci peta mentalnya daripada anak perempuan karena kesempatan pergaulannya dan ruang geraknya juga lebih luas.
Peta mental juga dipengeruhi oleh keterkenalan suatu objek di lingkungan, fungsi, jarak posisi objek dan perbedaan secara arsitektur. 4.2 Anak Anak dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 9-12 tahun. Usia ini merupakan tahapan pertentangan antara dorongan untuk membuktikan kemampuan diri dan rasa rendah diri. Pada usia ini anak telah berada di antara kelas IV, V dan VI sekolah dasar. Beban hidup mulai terasa, karena harus menghadapi tantangan baik di sekolah maupun di lingkungan rumah. Pekerjaan rumah dan ulangan mulai meningkat. Menurut Anita Lie, pada masa ini peranan teman mulai memegang peran cukup penting dalam kehidupan anak (Lie, 2003:65). Pada usia tersebut: 1. Perkembangan kognitif – Daya konsentrasi meningkat. Anak bisa berpikir dan berimajinasi dengan baik serta membentuk sistem logika. Dia juga dapat membedakan sudut pandang penilaiannya dengan anak lain dan mampu mengkoordinasikan perbedaan tersebut dengan melihat persamaannya. Dia menyadari adanya peraturan misalnya dalam permainan atau dalam masyarakat. Dia bisa berpikir sebelum bertindak. 2. Perkembangan sosial – Anak mulai menyadari bahwa hidup tidak hanya untuk bermain saja. Anak belajar bekerja sama dengan anak lain. Pada masa ini, anak mudah mengalami kebosanan dan kejenuhan. Anak juga mengenali kondisi dirinya (misal fisik dan kemampuan) dan membandingkannya dengan anak lain. Dia ingin memiliki apa yang anak lain miliki atau ingin melakukan apa yang anak lain dapat lakukan. Jika tidak, dia akan merasa rendah diri.
84
3. Perkembangan moral – Pada tahap ini, perilaku yang baik adalah dapat menyenangkan atau membantu orang lain. Dia mencari persetujuan dan peneguhan dari orang di sekitarnya tentang apa yang baik atau tidak baik dilakukan. Dia menghormati otoritas (guru, orang tua) dan cenderung tidak menentang terhadap apa yang dinilainya wajar (Ibid). Anak dalam usia ini termasuk dalam kelompok anak yang berada pada tahap IV dalam Delapan Tahap Erikson, yakni anak berusia 6-12 tahun. Perkembangan manusia menurut Eric H. Erikson, melewati delapan tahap perubahan, sejak bayi sampai menemui ajalnya. Masing-masing tahap ditandai oleh suatu krisis psikologis yang berbeda, yang harus dipecahkan oleh individu sebelum bergerak ke tahap berikutnya. Delapan tahapan Eric H. Erikson adalah: 1. Tahap I: Masa kanak-kanak – usia 0-1 tahun: Pada tahap ini kehidupan anak diwarnai oleh kepercayaan dan ketidakpercayaan diri. Di tahun pertama hidup, bayi tergantung pada orang lain untuk makan, mendapatkan kehangatan, dan kasih sayang. Pada masa itu orang tua dituntut untuk menyediakan kebutuhan anak. Nilai positifnya adalah jika kebutuhan mereka dipenuhi secara konsisten, bayi akan belajar untuk percaya pada lingkungannya. Nilai negatifnya adalah jika sebaliknya, bayi akan mengembangkan ketidakpercayaan kepada orang lain di lingkungan mereka, bahkan ke arah diri mereka sendiri. 2. Tahap II: Anak kecil baru belajar berjalan – usia 1-2 tahun Pada tahap ini kehidupan anak diwarnai oleh kemandirian dan melawan keraguraguan (malu). Anak kecil yang baru belajar berjalan, berbicara, dan menggunakan kamar kecil (toilet). Keyakinan dan pengendalian diri pada tahap ini mulai dikembangkan. Nilai positifnya adalah jika orang tua mendorong dan menyakinkan diri anak, ketika si kecil membuat kekeliruan anak akan mengembangkan kepercayaan yang diperlukan untuk mengatasi situasi dengan melakukan pilihan, kendali dan kebebasan. Nilai negatifnya adalah jika orang tua overprotective, atau menyalahi tindakan kebebasan anak, si kecil akan merasa dipermalukan atau kemampuannya diragukan. 3. Tahap III: Awal masa kanak-kanak – usia 2-6 tahun Tahap ini kehidupan anak diwarnai oleh perlawanan rasa bersalah. Anak mempunyai penemuan baru, mereka mulai mengembangkan keterampilan motorik dan semakin banyak melakukan interaksi sosial, karena adanya orang-orang di sekitar mereka.
85
Mereka baru belajar untuk mencapai suatu hasrat untuk lebih berpetualang, lebih bertanggung jawab, dan belajar untuk mengendalikan dorongan hati dan khayalan. Nilai positifnya adalah jika orang tua memberi harapan, konsisten menerapkan kedisiplinan, anak akan belajar untuk menerima sesuatu hal yang tidak diizinkan tanpa rasa bersalah. Nilai negatifnya adalah jika sebaliknya, anak akan mengembangkan rasa bersalah dan hal itu terus akan dikembangkan dan akan menjadi bagian dari dirinya. 4. Tahap IV: Sekolah Dasar – usia 6-12 tahun Pada tahap ini anak sedang melawan sifat rendah diri. Sekolah merupakan masa penting. Anak-anak belajar berbagai hal, menggunakan perkakas, memperoleh keterampilan mengasah potensi untuk bekerja. Mereka mengalami transisi dari kegiatan di rumah ke kegiatan di sekolah. Nilai positifnya adalah jika anak dapat menemukan kesenangan dalam rangsangan intelektualnya, maka mereka akan menjadi produktif, mencapai keberhasilan, dan mereka akan mengembangkan kemampuannya. Nilai negatifnya adalah jika sebaliknya, mereka akan mengembangkan sifat rendah diri. 5. Tahap V: Masa remaja – usia 12-18 tahun Tahap ini identitas anak sedang menghadapi kebimbangan akan dirinya. Pada masa ini kepercayaan diri dikembangkan. Anak yang berhasil menghadapi konflik lebih awal adalah anak yang siap menghadapi krisis identitas. Nilai positifnya adalah jika anak berhasil memecahkan konflik dengan sukses, ia akan keluar dari tahapan ini dengan suatu identitas yang kuat, dan siap menghadapi rencana untuk masa datang. Nilai negatifnya adalah jika sebaliknya, anak akan mengalami kebingungan, tidak mampu membuat keputusan dari aneka pilihan, terutama yang terkait dengan lapangan kerja, orientasi seksual, dan perannya dalam kehidupan secara umum. 6. Tahap VI: Dewasa muda – usia 19-40 tahun Kehidupan manusia pada tahap ini diwarnai oleh hubungan dekat melawan keterasingan. Peristiwa paling utama adalah hubungan cinta dan kedekatan. Tidak peduli bagaimana sukses dalam pekerjaan. Mereka yang belum mengembangkan suatu pengertian identitas, pada umumnya akan takut melakukan suatu hubungan dan akhirnya mengasingkan diri. Nilai positifnya adalah individu dapat melakukan hubungan erat dengan pihak lain, jika mereka sudah mencapai suatu identitas. Nilai negatifnya adalah jika sebaliknya, mereka akan takut berkomitmen, rasa keterasingan ketidakmampuan pada siapa saja di dunia.
86
7. Tahap VII: Dewasa pertengahan usia 40-65 tahun Tahap ini kehidupan manusia diwarnai oleh kemampuan diri dan stagnasi. Secara generatif orang dewasa mampu untuk melihat dirinya dan mempedulikan orang lain. Nilai positifnya adalah orang dapat memecahkan krisis dan membantu generasi muda. Nilai negatifnya adalah sebaliknya, orang akan mengalami stagnasi diakhir hidupnya. 8. Tahap VIII: Tua – usia 65-meninggal Tahap ini kehidupan manusia diwarnai oleh integritas melawan sifat putus asa. Umur tua adalah saat untuk bercermin tentang masa hidup seseorang dan perannya dalam kehidupan yang lalu. Apakah berisi kegiatan yang menyenangkan dan memuaskan atau mengecewakan. Nilai positifnya adalah jika orang dewasa telah mencapai suatu kesadaran dalam hidup ia akan menerima kematian dengan suatu integritas. Seperti halnya anak yang sehat, ia tidak akan takut hidup, demikian juga dengan orang dewasa yang sehat, ia tidak takut akan kematian. Nilai negatifnya adalah sebaliknya, individu akan berputus asa dan takut kematian. 4.3 Lingkungan Yang dimaksudkan lingkungan dalam penelitian adalah segala sesuatu yang ada di luar diri anak, meliputi (Shadily: 1980: 2021): 1. lingkungan mati (fisik): rumah, komuniti, sekolah, pusat pelayanan dasar, utilitas kota, unsur-unsur kota lainnya, dan termasuk di dalamnya faktor alam yang tidak hidup; seperti bahan kimia, suhu, cahaya, gravitasi, atmosfer. 2. lingkungan hidup (biotik) : lingkungan di luar anak yang terdiri atas organisme hidup; seperti teman sebaya, orang tua, guru, petugas keamanan dan orang dewasa lainnya, serta tumbuh-tumbuhan, dan hewan.
4.4 Kota 4.4.1 Kota yang Baik Kota saya pahami sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kota yang baik menurut Kevin Lynch, adalah kota tempat anak-anak dapat tumbuh dan berkembang. Kota merupakan tempat mereka membangun kepercayaan diri dan menjalani kegiatannya di dunia mereka, menjadi mandiri dan mampu mengatur pekerjaan mereka (Australian Institute of Family Studies Family Matters No.49 Autumn 1998: 22-23). Di
87
samping itu kota harus memenuhi persyaratan secara vitality, sense, fit, access, control, efficient dan justice (Lynch, 2000:121-238). Vitality – Suatu habitat yang baik jika didukung oleh fungsi kesehatan dan biologi yang baik. Ada tiga prinsip lingkungan yang kondusif untuk kesehatan, fungsi biologi, dan kehidupan apabila ada: 1. Sustenance – mempunyai suplai makanan, energi, air, dan udara sebagai daya dukung kehidupan. 2. Safety – permukiman yang baik adalah tempat yang terbebas dan terkontrol dari bahaya racun, penyakit, dan bebas dari rasa takut. 3. Consonance – lingkungan berimbang antara struktur biologi dengan kehidupan manusianya, sehingga kondusif untuk dapat melakukan kegiatan, terutama menyangkut temperatur, irama tubuh, dan fungsi tubuh Sense – Kota harus memiliki suatu identitas yang mudah diingat dan memberi kesan. Hal ini dapat diwujudkan melalui sentuhan warna, suara, bentuk dan lain-lain. Intinya, kota memiliki atribut. Hal ini juga dapat diwujudkan melalui struktur bangunan kota yang harmonis dan transparan dengan tanda-tanda yang mudah dibaca. Fit – Kota harus cocok untuk ditinggali. Dengan begitu dapat digunakan dalam membuat program, desain, manajemen, kontrol dan evaluasi kota. Suatu kota yang baik harus memiliki aturan yang jelas dan tegas, dan bukan yang manipulatif dan resilience, artinya peraturannya benar-benar ditegakkan untuk mencapai kesadaran tinggi dari warga untuk mematuhinya. Access – Akses dapat diklasifikasikan menjadi akses ke penduduk, ke tempat kegiatan dan ke sumberdaya, juga akses informasi. Akses dapat diukur melalui laporan orang yang mengakses ke suatu tempat, baik ke tempat kerja, pasar, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, tempat rekreasi dan lain-lain. Membicarakan akses juga perlu memperhatikan biaya, waktu, dan subsidi pemerintah terhadap sarana dan prasarana penunjang. Control – Kota yang baik adalah kota yang memiliki kontrol yang pasti, bertanggungjawab dan harmonis. Efficient dan Justice – Kota yang baik adalah kota yang efisien. Kota yang efisien bukan hanya memperhitungkan berapa biaya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang diperoleh secara ekonomi, tetapi juga memperhitungkan budaya dan politik. Sedangkan kota dikatakan adil apabila memenuhi rasa keadilan terhadap warga dan turis kota. 4.4.2. Unsur-Unsur Kota Pada penelitian ini, saya menggunakan batasan unsur-unsur kota dari Kevin Lynch, dengan tujuan membantu anak dalam mendeskripsikan tentang lingkungan kotanya. Unsur-unsur kota dimaksud adalah paths; edges; districts; nodes dan landmarks (Lynch, 1960: 47-48). Pendekatan Lynch ini sebenarnya untuk memudahkan
88
informan mengingat suatu tempat di kota yang pernah dilihat, dilewati, dikunjungi, atau ditempati. 1. PATHS (jalur-jalur jalan) – yang menghubungkan suatu tempat dengan tempat lainnya (yakni jalan-jalan, trotoar, rel kereta, jalur transit). Melalui jalur ini dapat diamati pergerakan orang di kota. 2. NODES (titik temu antar jalur jalan) – titik perempatan atau pertigaan, persimpangan jalan, perlintasan, pusat pandangan dari path (yakni, titik pemberhentian kendaraan – pemberhentian jalan kereta atau jalan raya; plaza, pojok komersial; tempat menghabiskan waktu). Orang masuk ke kota pada tempat-tempat strategi atau awal orang menuju ke suatu tempat. 3. EDGES ( batas-batas wilayah) – yang membedakan antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, misalnya daerah permukiman dibatasi oleh sungai, pertokoan dibatasi oleh pagar atau tembok. 4. DISTRICT – wilayah homogen yang berbeda dari wilayahwilayah lain, misal pusat perdagangan ditandai oleh bangunan bertingkat dengan lalu lintas yang padat 5. LANDMARK (tanda-tanda yang mencolok) – bangunan atau benda-benda alam yang berbeda dari sekelilingnya dan terlihat dari jauh, misalnya gedung, patung, tugu, jembatan, pohon
4.5 Satuan Analisis Satuan analisis penelitian ini adalah anak yang berusia 9-12 tahun.
4.6 Proposisi Proposisi penelitian ini adalah: Anak dapat mendeskripsikan lingkungan kotanya, karena:
89
1. mereka mudah mengingat situasi dan kondisi yang ada di lingkungan rumah, komuniti, sekolah, dan tempat bermain mereka; 2. mereka mengetahui situasi dan kondisi yang ada di lingkungan rumah, komuniti, tempat bermain, sekolah, pelayanan transportasi, jalan, pedestrian, dan pelayanan kesehatan.
4.7 Data Unsur yang paling penting dalam suatu studi kasus adalah eviden. Pada hakikatnya eviden, menurut Gorys Keraf, ahli bahasa dari Universitas Indonesia (Keraf, 1983:9) adalah semua fakta yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau otoritas yang dihubung-hubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran dari suatu objek yang diteliti. Yang terkait dengan kajian ini adalah persepsi anak mengenai lingkungan kota. Fakta dalam kedudukan sebagai eviden tidak boleh dicampur-adukan dengan apa yang dikenal sebagai pernyataan atau penegasan. Pernyataan tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap sebuah eviden, ia hanya sekedar menegaskan apakah suatu fakta itu benar atau tidak. Dalam wujudnya yang paling rendah, eviden berbentuk data. Yang dimaksud dengan data menurut Kamus Hukum (Puspa, 1977:281), adalah segala keterangan yang disertai bukti atau fakta yang dapat dirumuskan untuk menyusun perumusan, kesimpulan atau kepastian sesuatu. Untuk pembuktian penelitian perlu pengkajian atas data, apakah semua bahan keterangan itu merupakan fakta. Fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, atau sesuatu yang ada secara nyata. Pada kajian ini, data yang dicari berkait dengan proposisi: 1. deskripsi anak mengenai lingkungan kota; 2. hasil uraian tentang lingkungan tempat tinggal; lingkungan komuniti; lingkungan sekolah; lingkungan bermain; transportasi dan pelayanannya; pusat kesehatan dan pelayanannya; dan 3. lukisan anak tentang lingkungan kota dan unsur-unsurnya. .
90
BAB V METODE PENELITIAN
5.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang bertujuan memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi dan kelompok. Menurut John W. Creswell, ahli psikologi pendidikan dari University of Nebraska, Lincoln (Creswell, 1994:150-1) metode pendekatan kualitatif merupakan sebuah proses investigasi. Secara bertahap peneliti berusaha memahami fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, meniru, mengkatalogkan dan mengelompokan objek studi. Peneliti memasuki dunia informan dan melakukan interaksi terus menerus dengan informan, dan mencari sudut pandang informan. Pada pendekatan kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data. Fokus penelitiannya pun ada pada persepsi dan pengalaman informan dan cara mereka memandang kehidupannya. Sehingga tujuannya bukan untuk memahami realita tunggal, tetapi realita majemuk. Penelitian kualitatif memusatkan perhatian pada proses yang berlangsung dan hasilnya. Objektivitas dan kejujuran merupakan hal penting untuk menjelaskan tujuan penelitian kepada informan. Identitas informan dirahasiakan, sehingga tidak berdampak kepada informan yang telah memberikan informasi. 5.2. Metode Pengumpulan Data 5.2.1
Pengamatan Terlibat
Metode pengamatan terlibat, menurut Prof. Parsudi Suparlan (Suparlan: 1994:25), adalah sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat yang diteliti untuk dapat melihat dan memahami gejala-gejala yang ada agar sesuai maknanya dengan yang diberikan atau dipahami oleh para warga yang ditelitinya. Teknik tersebut pada dasarnya sama dengan metode Verstehen (pemahaman) yang dikembangkan oleh Max Weber. Pendekatan verstehen adalah sebuah cara memandang dan memperlakukan sesuatu gejala dari sudut pandang pelaku yang diteliti untuk memahami mengapa gejala tersebut ada dan berfungsi dalam struktur kehidupan para pelaku. Setiap informasi yang diperoleh diperlakukan sebagai fakta sosial yang dihubungkan dengan fakta sosial lainnya untuk diidentifikasi hakekat hubungan-hubungannya melalui pembuatan hipotesa dan diuji kebenarannya di lapangan sesuai sudut pandang pelaku. Proses ini berlangsung terus
91
menerus sampai dengan penelitian yang dilakukan itu berakhir (Suparlan, N0.53/1997: 99-100). Pada kegiatan pengamatan terlibat, saya tidak hanya mengamati gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti tetapi juga melakukan wawancara, mendengarkan, merasakan dan dalam batas-batas tertentu mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak. Wawancara yang dilakukan bukanlah wawancara formal, dengan menggunakan kuisioner, tetapi sebuah wawancara yang terwujud sebagai dialog yang spontan berkenaan dengan sesuatu masalah atau topik yang sedang dihadapi oleh pelaku. Menurut Prof. Parsudi Suparlan, justru yang spontan inilah yang objektif dan sahih karena tidak direkayasa terlebih dahulu oleh informan. Kegiatan pengamatan terlibat, bertujuan untuk mengamati lingkungan kota – lingkungan terdekat dengan tempat tinggal atau sekolah anak; mengamati kegiatan informan selama di lingkungan komuniti dan di sekolah; dan mengamati hubungan informan dengan orang-tua, teman, tetangga, dan guru. Namun, keseluruhan pengamatan terlibat tersebut saya lakukan dengan keterlibatan yang pasif, artinya saya tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anak-anak yang diamati, dan saya tidak melakukan sesuatu bentuk interaksi sosial dengan anak-anak. Keterlibatan dengan anak-anak terwujud dalam bentuk keberadaannya dalam arena kegiatan anak. 5.2.2 Wawancara Semi Terstruktur Metode wawancara merupakan salah satu teknik untuk mengumpulkan data dan informasi. Metode tersebut dipilih dengan alasan : 1. dengan wawancara saya dapat menggali tidak saja apa yang diketahui dan dialami subjek yang diteliti, tetapi juga apa yang tersembunyi jauh di dalam diri subjek penelitian. 2. apa yang ditanyakan kepada informan bisa mencakup hal-hal yang bersifat lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur. Artinya saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa, tanpa terikat oleh suatu susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tentu saja, saya menyimpan cadangan pertanyaan yang perlu ditanyakan kepada informan. Cadangan tersebut: kapan menanyakannya, bagaimana urutannya, bagaimana rumusan pertanyaan, dan sebagainya, biasanya muncul secara spontan sesuai dengan perkembangan situasi wawancara itu sendiri. Saya mengharapkan dengan teknik ini, wawancara berlangsung luwes; dan lebih terbuka sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya, serta pembicaraan tidak terpaku dan menjenuhkan kedua belah pihak. Tujuan kegiatan tersebut untuk menggumpulkan data dan informasi dari informan tentang persepsi mereka mengenai lingkungan kota.
92
Pada kegiatan ini digunakan panduan wawancara yang berisikan butir-butir pertanyaan yang diajukan kepada informan. Panduan tersebut hanya memudahkan dalam melakukan wawancara, penggalian data dan informasi, yang selanjutnya tergantung improvisasi di lapangan. 5.2.3 Menggambar Metode menggambar merupakan salah satu teknik penelitian yang digunakan yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai lingkungan kota sesuai dengan persepsi anak, yang dituangkan dalam gambar. Gambar yang dihasilkan bukan untuk dianalisis seperti yang dilakukan oleh psikolog dalam tree test, draw a man, house tree person dalam menganalisis kepribadian individu, tetapi gambar hanya merupakan alat bantu dalam melakukan wawancara semi terstruktur. Meskipun demikian teknik tersebut membantu saya mengungkap lebih dalam data yang belum terungkap melalui teknik lain. Gambar diharapkan menjadi alat bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri mereka, ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman mengenai lingkungan mereka. Menurut Chamber (1983), ahli psikologi pendidikan, lewat menggambar, seseorang bisa menghindari berbagai penghalang dan faktor bahasa serta perbedaan kelompok karena perbedaan kemampuan dan bahasa. 5.3 Pelaku Informan penelitian ini adalah anak yang berusia 9-12 tahun yang sedang bersekolah di sekolah dasar. Informan menurut Prof. Parsudi Suparlan adalah pemberi informasi (Prof. Parsudi Suparlan juga membedakan bahwa informan kunci adalah orang yang dapat menjadi guru bahasanya atau pemberi informasi pertama dan mendasar mengenai masyarakat dan kebudayaan yang diteliti, dan juga sebagai orang yang dapat memperkenalkan peneliti kepada masyarakatnya) (Suparlan: No.53: Ibid). Jadi setiap pemberi informasi dalam penelitian kualitatif adalah informan. Pemilihan informan didasarkan pada pertimbangan: 1. sesuai dengan batasan usia; 2. aktif di lingkungan warga dan atau di lingkungan sekolah; 3. berkemampuan dalam mengemukakan pendapat dan menggambar; dan 4. bersedia terlibat selama penelitian berlangsung. 5.4 Tempat Tempat penelitian adalah di SDN Kenari 01 sampai 06. Lokasi SD tersebut di Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Murid-murid SD ini berasal dari Kelurahan Kwitang, Kelurahan Kenari, Kelurahan Kebon Sirih dan Kelurahan Cikini. Pemilihan lokasi ini, adalah karena adanya izin dan kesediaan kepala sekolah, guruguru, dan murid untuk melakukan pengumpulan data di sekolah tersebut. Para murid bersedia menjadi informan penelitian dengan metode pengumpulan data yaitu: wawancara semi terstruktur dan menggambar. Di samping itu, kawasan ini memiliki
93
warga yang heterogen, serta mempunyai unsur-unsur kota yang unik untuk diteliti. Adanya izin dari sekolah dan kelurahan memudahkan pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Berikut ini peta lokasi penelitian:
Gbr.5.1 Lokasi Penelitian Sumber: Holtorft, Gunther W. 1997:35
5.5 Strategi Pengumpulan Data Keterlibatan saya di dalam kehidupan anak-anak yang diteliti hanya mungkin dilakukan kalau saya diterima oleh masyarakat dan anak-anak yang diteliti. Salah satu prasyarat untuk dapat diterima oleh mereka adalah kejujuran dalam menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Untuk itu, maka cara saya mengawali proses penelitian ini adalah dengan mempersiapkan surat permohonan izin penelitian yang dikeluarkan
94
oleh Ketua Kajian Pengembangan Perkotaan – Program Pascasarjana Universitas Indonesia untuk Camat Senen, Lurah Kwitang, Lurah Kenari, Kepala Sekolah SDN Kenari 01 sampai 06. Dengan surat tersebut, saya mendatangi Lurah dan Kepala Sekolah. Menurut Prof. Parsudi Suparlan (Parsudi, 1997:100) bila izin atau dukungan tersebut telah diperoleh maka si peneliti harus meminta bantuan pejabat tersebut untuk menunjukkan kepadanya warga masyarakat mana yang dapat dijadikan informan atau pemberi informasi. Kemudian peneliti perlu menjelaskan siapa dirinya dan apa yang dilakukan serta tujuan kegiatan-kegiatan dalam masyarakat. Pihak pertama yang saya kunjungi adalah Lurah Kwitang. Kepada Lurah tersebut saya menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta meminta dukungan selama kegiatan di lapangan berlangsung. Lurah Kwitang, Bapak Mas’ud mendukung dan bersedia membantu saya selama penelitian, tetapi hanya secara informal. Hal ini karena dukungan tersebut tidak dilengkapi rekomendasi Gubernur (instansi terkait) (Wawancara dengan lurah hanya dilakukan dengan Lurah Kwitang saja, karena keadaan kelurahan inilah yang lebih banyak dijadikan objek penelitian). Meskipun demikian, saya tidak mengalami hambatan-hambatan selama penelitian lapangan. Kemudian, saya mengunjungi Kepala SDN Kenari 01 sampai 06 untuk menjelaskan maksud, tujuan penelitian, dan meminta dukungan serta akses ke murid sebagai informan penelitian. Pihak Kepala Sekolah merespon dengan baik. Setelah memperoleh dukungan dan akses ke informan, saya langsung menemui murid-murid untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian, serta meminta kesediaan mereka untuk membantu saya selama proses penelitian sebagai informan. Pada awal kegiatan penelitian, saya masuk ruang kelas IV, V, dan VI di masingmasing sekolah (SDN Kenari 01 sampai 06) dengan didampingi oleh Wali Kelas untuk memilih 2 informan – murid laki-laki dan murid perempuan. Proses pemilihan informan dilakukan seperti pemilihan Ketua Kelas dan ditunjuk langsung oleh wali kelas. Setiap murid anggota kelas berpeluang menjadi informan. Namun, karena berbagai pertimbangan, salah satunya adalah waktu, maka hanya murid yang memperoleh suara terbanyak saja, baik murid laki-laki maupun perempuan, yang dipilih atau yang direkomendasikan wali kelas sebagai informan. Jadi, dari setiap kelas yang direkomendasikan sebagai informan ada dua murid, yakni satu murid laki-laki dan satu murid perempuan. Jumlah keseluruhan informan adalah 36 murid (lk 18; pr 18) kelas IV, V, dan VI yang berasal dari SDN Kenari 01 Pagi, SDN Kenari 02 Petang, SDN Kenari 03 Pagi, SDN Kenari 04 Petang, SDN Kenari 05 Pagi, dan SDN Kenari 06 Petang. Jumlah tersebut berasal dari jumlah total murid yaitu 526 murid. Dari informan yang telah terpilih selanjutnya, ada 8 anak laki-laki dan 9 anak perempuan yang menjadi fokus dalam proses penulisan laporan penelitian. Meskipun murid-murid yang direkomendasikan memenuhi syarat validitas sebagai informan, tetapi saya tetap memintakan tanggapan para Wali Kelas mengenai murid yang terpilih sebagai informan, menyangkut kegiatan dan prestasi belajarnya. Para Wali Kelas memberi beragam komentar dan tanggapan, tetapi mereka setuju bahwa murid yang terpilih adalah mereka yang sebagian besar aktif di kelas dan memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata kelas.
95
Kegiatan selanjutnya, saya menyebarkan Daftar Isian ke tiap informan. Daftar tersebut berisikan biodata, latar belakang informan, kegiatan-kegiatan di sekolah dan di rumah, serta kemampuan ekspresi diri. Tujuan dari daftar isian ini adalah mengumpulkan data dan alamat informan, yang dipergunakan berkunjung ke rumah informan. Dari 36 daftar yang disebarkan, hanya 34 anak yang menggembalikan daftar isian. Dua murid lainnya tidak mengembalikan, karena berbagai alasan, antara lain tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua. 5.5.1 Pengamatan Terlibat Pada kegiatan pengamatan terlibat, saya tidak hanya mengamati gejala-gejala yang ada dalam kehidupan sehari-hari anak, tetapi melakukan wawancara, mendengarkan, merasakan, dan dalam batas-batas tertentu mengikuti kegiatankegiatan yang dilakukan oleh anak-anak. Wawancara yang dilakukan bukanlah wawancara formal, dengan menggunakan kuesioner, tetapi wawancara spontan, berkenan dengan sesuatu masalah. Misalnya, pada saat memperoleh informasi dari anak mengenai kerja bakti di tingkat RT dan RW setiap minggu, informasi tersebut, saya konfirmasikan kembali dengan lurah atau warga, selain informasi mengenai sistem pengelolaan sampah, pengelolaan MCK (Mandi Cuci Kakus), sistem pengamanan lingkungan, dan tempat anak bermain. Dalam melakukan pengamatan terlibat secara pasif, saya tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak, dan saya tidak melakukan interaksi dengan mereka secara langsung. Saya hanya mengamati interaksi sosial yang mereka ciptakan, baik dengan teman-teman maupun dengan pihak di luar mereka, seperti guru, orang tua atau orang dewasa. Selain kegiatan di atas, saya mengumpulkan data tentang kondisi Kelurahan Kwitang, mengamati kondisi dan kegiatan di Kali Ciliwung (sepanjang Jl. Inspeksi, Kelurahan Kwitang); MCK; Pos Keamanan Lingkungan; Taman Bermain Anak; Pasar; Saluran Air; Jalan, Pedestrian; dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil pengamatan tersebut sebagian besar direkam dengan kamera. 5.5.2 Wawancara Semi Terstruktur Sebelum mengawali wawancara, untuk melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih intensif dengan para informan, hampir setiap hari saya mengunjungi sekolah baik yang pagi maupun petang selama hampir sebulan, meskipun hanya sebatas tegur sapa atau menanyakan keadaan mereka saat itu. Pada setiap kunjungan saya selalu menanyakan kesediaan, waktu, dan tempat mereka untuk diwawancara. Saat itu saya manfaatkan untuk membangun dan menciptakan hubungan yang baik dengan para Kepala Sekolah, Wali Kelas, Guru, dan Penjaga Sekolah. Kondisi ini memang sengaja diciptakan, supaya saya merasa lebih diterima bukan hanya sebagai mahasiswa, namun sebagai salah satu warga sekolah. Setelah saya mendapatkan kesediaan waktu dan tempat wawancara, barulah kegiatan wawancara dilangsungkan. Dari 34 informan, yang berhasil diwawancara adalah 34 informan. Kegiatan wawancara hampir sebagian besar dilaksanakan di
96
sekolah, dengan terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala sekolah, wali kelas, dan guru pengajar saat itu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada informan didasarkan pada butirbutir pertanyaan yang telah saya buat, meskipun kadang-kadang ada pertanyaan yang diajukan berdasarkan suasana yang sedang berlangsung, yang masih berkait dengan konteks penelitian. Semua hasil wawancara direkam dengan tape recorder dengan persetujuan informan. Kemudian hasil wawancara ditransfer ke bentuk verbatim. 5.5.3 Menggambar Sama seperti metode sebelumnya, kegiatan menggambar terlebih dahulu dikonfirmasikan kepada informan dan kepala sekolah, terutama mengenai waktu dan tempat. Kegiatan menggambar dilaksanakan dua tahap. Pada tahap pertama kegiatan menggambar dilaksanakan di ruang kelas, dan disesuaikan dengan jadwal anak-anak. Mereka yang masuk pagi, pelaksanaannya di pagi hari dengan menggunakan ruang kelas I SDN Kenari 01 Pagi (ruang kosong), sedangkan mereka yang masuk siang pelaksanaannya di siang hari dengan menggunakan ruang kelas IV SDN Kenari 06 Petang. Tahap kedua, kegiatan menggambar dilakukan di rumah – tanpa pengawasan saya. Tema gambar disesuaikan dengan persepsi anak mengenai lapangan, baik di sekolah maupun di rumah, tanpa mengintervensi mereka. Alasan pembagian dua tahap hanya lebih bersifat teknis. Jika di sekolah anak menggambar dibatasi oleh waktu, maka di rumah anak memiliki waktu yang lebih longgar dan tidak terburu-buru dalam menggambar. Hasil kedua tahap tersebut tidak begitu signifikan, namun tema gambar mengalami perubahan, misalnya yang semula tema orang menyeberang, berganti menjadi tema sekolah. Murid yang mengikuti kegiatan menggambar 24 anak, mereka adalah murid kelas IV, V dan VI SDN Kenari 01 sampai dengan 06. Untuk keperluan penulisan hasil penelitian semua gambar anak discan. 5.6 Pertimbangan Etika Pada proses penelitian saya menghormati hak, kebutuhan, nilai, dan keinginan informan. Untuk mendapatkan reliability data, maka dalam bekerja dengan anak, saya membutuhkan kehati-hatian karena informan penelitian ini adalah anak-anak yang memang masih rentan, sehingga saya perlu: 1. mengetahui kapasitas anak-anak untuk berperan; 2. melakukan strategi mengkomunikasikan masalah; 3. memahami konteks sosial politik komuniti setempat; dan 4. memegang etika pokok, seperti meminta izin dari sekolah dan masyarakat untuk menggali data, merahasiakan sebuah data atau informasi, dan menyepakati tentang pemanfaatan data yang diperoleh. 5.7 Analisis Data
97
Analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data, interpretasi data dan penulisan laporan naratif. Tahap kegiatan ini adalah mengumpulkan data di lapangan, menyortir informasi menjadi kelompok-kelompok, memformat informasi ke dalam sebuah cerita atau gambar, dan menulis naskah kualitatif. Dalam proses analisis data ini, saya membuat kode data dengan menggunakan sebanyak mungkin kategori. Sedangkan dalam pengidentifikasian dan penggambaran pola dan tema dari sudut pandang informan, saya berusaha untuk memahami dan menjelaskan pola dan tema penelitian. Selama analisis data, data disusun secara kategoris dan kronologis, ditinjau secara berulang, dan terus menerus dikodekan. Dalam memastikan keabsahan internal, strategi-strategi yang dilakukan adalah: 1. triangulasi data – data akan dikumpulkan melalui sumber majemuk untuk memasukkan data pengamatan, wawancara dan menggambar; 2. pemeriksaan anggota – informan akan berperan sebagai pemeriksa sepanjang proses analisis; 3. pengamatan jangka panjang dan berulang di lokasi penelitian – pengamatan tetap dan berulang; 4. klarifikasi prasangka peneliti. Tabel 5.1 Metode Penelitian Metode Penelitian
Pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami suatu situasi sosial, peristiwa, peran, interaksi dan kelompok. Asumsi penelitian:
Cara Pengumpulan Data
peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data
fokus penelitian pada persepsi dan pengalaman informan serta cara mereka memandang kehidupannya
pusat perhatian pada proses yang berlangsung dan hasilnya
Pengamatan terlibat pasif, artinya peneliti tidak terlibat dalam kegiatan yang dilakukan informan; tidak melakukan interaksi sosial; keterlibatan terwujud dalam bentuk keberadaannya dalam arena kegiatan anak. Tujuannya mengamati lingkungan terdekat dengan tempat tinggal anak; kegiatan informan selama di lingkungan komuniti dan di sekolah; dan hubungan dengan orang-tua, teman, tetangga, dan guru.
Wawancara semi terstruktur, artinya peneliti mengajukan pertanyaan secara lebih bebas dan leluasa, tanpa terikat oleh
98
suatu susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tujuannya mengumpulkan data dan informasi dari informan
Pelaku
Menggambar bertujuan mendapatkan gambaran mengenai lingkungan kota sesuai dengan persepsi anak
Anak usia 9-12 tahun yang sedang bersekolah di sekolah dasar. Syaratnya adalah: 1. sesuai dengan batasan usia 2. aktif di lingkungan warga dan di lingkungan sekolah 3. berkemampuan dalam mengemukakan pendapat dan menggambar 4. bersedia terlibat selama penelitian berlangsung
Tempat
SDN Kenari 01 Pagi, SDN Kenari 02 Petang, SDN Kenari 03 Pagi, SDN Kenari 04 Petang, SDN Kenari 05 Pagi, dan SDN Kenari 06 Petang. Sekolah ini berada di Kelurahan Kenari, Kec. Senen, Jakarta Pusat, Propinsi DKI Jakarta
Strategi Pengumpulan Data
Meminta izin ke kelurahan dan kepala sekolah
Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian
Mengamati keadaan tempat penelitian dengan menggunakan kamera, dan melakukan wawancara
Menentukan waktu dan tempat wawancara dan menggambar
Setiap wawancara direkam dengan tape recorder, kemudian diverbatimkan
Hasil gambar di scan
Menghormati hak, kebutuhan, nilai dan keinginan informan.
Hati-hati dengan anak, karena mereka rentan, untuk itu perlu:
Pertimbangan Etika
1. mengetahui kapasitas anak 2. strategi mengkomunikasikan masalah 3. memahami konteks sosial politik setempat 4. memegang etika pokok, seperti meminta izin dari sekolah
99
dan masyarakat untuk menggali data, merahasiakan sebuah data dan informasi, dan menyepakati tentang pemanfaatan data yang diperoleh Analisis
Dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data, interpretasi data dan penulisan laporan naratif.
Tahap kegiatan: mengumpulkan data di lapangan, menyortir informasi, memformat informasi ke sebuah cerita, dan menulis naskah naratif
Strategi: triangulasi data, pemeriksaan anggota, pengamatan jangka panjang dan berulang, dan klarifikasi prasangka peneliti
Sumber: Penulis 2003
100
BAB VI GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kelurahan Kwitang, Kenari, Kebon Sirih, dan Cikini adalah kelurahan-kelurahan tempat tinggal para informan penelitian yang semuanya masuk dalam wilayah Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta. Empat kelurahan ini hampir memiliki kesamaan, baik dari aspek geografis maupun kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi warganya. Pada uraian gambaran wilayah penelitian, saya hanya akan membahas tentang Kelurahan Kwitang. Tabel 6.1. Data Penduduk Kel. Kwitang, Kel. Kenari, (Kec. Senen), Kel. Kebon Sirih, Kel. Cikini (Kec. Menteng) W.N.I No
W.N.A
Kelurahan
Jumlah Lk
Pr
Jml
1 Kel. Kwitang
7.640
8.571
16.211
7
2
9
16.220
2 Kel. Kenari
4.382
4.384
8.766
4
3
7
8.773
3 Kel. Kebon Sirih
5.759
5.566
11.325
2
5
7
11.332
4 Kel. Cikini
4.150
3.915
8.065
12
5
17
8.082
21.931 22.436
44.367
25
15
40
44.407
Jumlah
Lk
Pr
Jml
Sumber: Pemda Jakarta Pusat, 2003 Berdasarkan Data Pemerintah Jakarta Pusat tahun 2003, Kelurahan Kwitang berpenduduk 16.220 jiwa, terdiri dari laki-laki 7.647 jiwa dan perempuan 8.573 jiwa. Dari jumlah penduduk tersebut yang berusia antara 0-14 tahun adalah 38,78 persen dengan rincian usia 0-4 tahun 21,07 persen (3.418 jiwa; Lk. 1.749; Pr. 1.669), berusia 5-9 tahun 9,01 persen (1.462 jiwa; Lk. 692; Pr. 770), dan berusia 10-14 tahun 8,69 persen (1.410 jiwa; Lk. 687; Pr. 723) (lihat tabel 6.2)(Lap. Kel. Kwitang, 2002:3).
101
Tabel 6.2 Jumlah Penduduk Kelurahan Kwitang Usia 0-14 tahun Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin No
Usia
Total Laki-laki
Perempuan
1
0-4 tahun
1.749
1.669
3.418
2
5-9 tahun
692
770
1.462
3
10-14 tahun
687
723
1.410
3.128
3.162
6.290
Jumlah
Sumber: Laporan. Kel. Kwitang, 2002, hal 3. Sebagian besar penduduk Kelurahan Kwitang adalah pemeluk agama Islam yakni 79,99 persen, dan sisanya adalah Kristen Katolik 6,24 persen, Kristen Protestan 6,12 persen, Budha 4,69 persen dan Hindu 2,99 persen. Dari segi pendidikan, warga Kwitang yang berhasil menamatkan Sekolah Dasar 992 orang, Sekolah Menengah Pertama 848 orang, Sekolah Menengah Atas 523 orang, Akademi (D1-D3) 72 orang, dan Sarjana (S1S3) 47 orang. Sedangkan menurut mata pencaharian: pegawai negeri 64 orang, TNI/Polri 61 orang, pegawai swasta 855 orang, pensiunan 262 orang, pedagang 1.987 orang, tukang 7 orang, buruh 568 orang, dan jasa 2 orang (Data Monografi Kel. Kwitang, 2003: 7,9dan10). Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 1227 Tahun 1989 tentang luas dan batas wilayah maka Kelurahan Kwitang, sebagai berikut: 1. Luas wilayah, 44,7 ha, yang terbagi: 4 ha untuk 27 buah jalan, 8 ha untuk 21 unit bangunan umum, 30 ha untuk 2.907 unit rumah, dan sisanya 1,3 ha untuk 1 buah taman. 2. Batas wilayah * Sebelah Utara: Jl. Prapatan, Kelurahan Senen; * Sebelah Selatan: Jl. Kramat IV, Kelurahan Kenari; * Sebelah Timur: Jl. Kramat Raya, Kelurahan Kramat; dan
102
* Sebelah Barat: Kali Ciliwung, Kelurahan Cikini/Kelurahan Kebon Sirih. Untuk lengkapnya perhatikan Peta Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta berikut ini (lihat gbr.2.1):
Pertokoan
Permukiman Sedang
SDN Kwitang 01-02
TK PKBI dan Mutiara
Permukiman Padat
SDN Kenari 01-06
Sekolah PSKD (TK, SD, SLTP, SMU)
Gbr.6.1 Peta Kelurahan Kwitang Sumber: Lap Kel Kwitang 2002:iv
103
2.1 Kebersihan Lingkungan Perkembangan Kelurahan Kwitang dari tahun ke tahun, menurut Lurah Mas’ud banyak mengalami kemajuan, antara lain pada peran serta warga dalam program kebersihan lingkungan, di samping kemajuan lainnya. Dahulu warga sangat sukar untuk berperan serta dalam menjaga kebersihan lingkungan, sehingga tidak mengherankan jika sampah berserakan, saluran air tersumbat sampah, dan kali menjadi kotor.
Gbr.6.2 Papan Pengumuman di salah satu RT Kel. Kwitang Sumber: Penulis, 2003
Keadaan ini berakibat pada buruknya sanitasi lingkungan, bau yang tidak sedap, dan warga yang terserang demam berdarah. Kelurahan secara terus-menerus mendorong dan mensosialisasikan program kebersihan kepada warga mengenai: 1. selalu menjaga kebersihan got/saluran air; 2. tidak membuang sampah di sembarang tempat, got/saluran air; 3. penanaman pohon pelindung di tempat-tempat permukiman; dan 4. kerja bakti setiap minggu. Khusus RW 02, untuk mensosialisasikan kegiatan dari RW dan Kelurahan kepada warga, maka di setiap RT dipasang papan pengumuman, sedangkan untuk RW lain, penyampaian informasi dilakukan oleh RT kepada warga secara langsung atau melalui
104
pertemuan. Contoh papan pengumuman yang dipasang dapat dilihat dalam gambar di atas – Gbr.6.2. Untuk program pemeliharaan dan peningkatan kebersihan kelurahan menyediakan sarana pendukung kebersihan lingkungan, yakni :
lingkungan,
1. truk 3 buah, 2. gerobak 29 buah (galvanis 1 buah, keber 28 buah), 3. lokasi pembuangan sampah sementara 15 buah, 4. tong sampah fiberglass 100 buah, dan 5. petugas kebersihan 30 orang. Honor untuk petugas ini dikelola oleh kelurahan dan RW dari iuran warga. Agar warga di sepanjang jalan Inspeksi tidak membuang sampah ke kali Ciliwung, maka warga diminta untuk menempatkan sampahnya dalam kantong plastik, dan kemudian dikumpulkan di suatu tempat yang dapat dijangkau oleh petugas kebersihan. 6.2 Akses Air dan Saluran Pembuangan Air Kotor Indikator dari suatu kota yang baik adalah adanya akses warga terhadap air (Lynch, 2000:121). Air merupakan kebutuhan utama dari kehidupan manusia, terutama penyediaan air bersih. Data tahun 2002, warga yang memperoleh fasilitas air (laporan kelurahan Kwitang, 2002:22): 1. jaringan PAM 1.469 sambungan; 2. sumur pompa dalam 457 buah; 3. sumur pompa umum 27 buah; dan 4. Mandi Cuci Kakus (MCK) 22 buah. Menurut salah seorang warga Kwitang sekarang, Ibu Sulistin (50 th), ia tidak lagi mengalami kesulitan air. Pemenuhan kebutuhan air minum dari PAM (Perusahaan Air Minum) untuk keluarganya yang berjumlah 9 orang membutuhkan biaya Rp 50.000,rata-rata setiap bulannya. Sedangkan untuk mandi, dan cuci pakaian, ia dapat menggunakan MCK secara gratis. Ada sebuah MCK yang dikelola oleh RW, dan dikenai tarif Rp 1.500 perbulan per kepala keluarga. Untuk memperlancar aliran air buangan warga, pemerintah membangun selokan agar tidak mengakibatkan banjir dan bau tidak sedap. Berdasarkan Data Kelurahan, 2002, terdapat (laporan kelurahan Kwitang, 2002:23): 1. saluran teknis primer 810 meter; 2. saluran teknis sekunder 1.400 meter; dan 3. saluran teknis tertier 1.200 meter.
105
Saluran tersebut tersambung dengan rumah atau bangunan, yang kemudian bermuara ke kali Ciliwung. Untuk mencegah tersumbatnya saluran air buangan, warga bekerja bakti setiap minggu dengan dipimpin ketua RT masing-masing. 6.3 Keamanan Lingkungan Untuk meningkatkan rasa aman warga, di tingkat RT dan RW digalakkan program Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling). Siskamling dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk strategi pencegahan kejahatan yang paling populer di kalangan masyarakat dan polisi (Dermawan, 1994:107). Siskamling dilaksanakan berdasarkan asumsi bahwa warga yang terorganisir akan dapat mendorong reaksi kolektif terhadap kejahatan. Dengan demikian diharapkan dapat menurunkan tingkat kejahatan, khususnya pencurian. Menurut Lurah Ma’sud, program Siskamling merupakan salah satu wadah bagi warga agar dapat berperan serta terhadap keamanan lingkungan. Warga bisa saja menjadi anggota kegiatan siskamling. Untuk mencegah dan menanggulangi keadaan yang tidak diharapkan, lurah mengeluarkan perintah kepada RT, setiap tamu wajib lapor selama 1 x 24 jam. Kebijakan tersebut, telah lama dilaksanakan. Meskipun sudah ada program siskamling, pemerintah kelurahan tanpa dana bantuan pemerintah provinsi, melakukan pembinaan terhadap Hansip (Pertahanan Sipil). Hansip ini berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan kelurahan. Untuk membina dan melatih keterampilan anggota Hansip, kelurahan bekerjasama dengan pihak polisi yang berfungsi dan bertugas sebagai Bimaspol (Bimbingan Masyarakat Polisi) untuk melatih keterampilan anggota Hansip mengenai penanggulangan dan pengawasan kejadian kejahatan. Jumlah anggota Hansip di Kelurahan Kwitang yang dikoordinir langsung oleh masing-masing RW ada 42 orang, dengan rincian Hansip RW 32 orang dan Hansip Kelurahan 10 orang. Mereka menerima honor antara Rp 200.000 – Rp 350.000 tiap orang per bulan. Untuk Hansip RW honornya dibayar oleh RW yang bersumber dari iuran keamanan yang dihimpun dari warga, dan Hansip kelurahan diberi honor oleh kelurahan (laporan kelurahan Kwitang, 2002:16). 6.4 Akses Pelayanan Kesehatan Untuk peningkatan derajat kesehatan dan gizi warga, terutama untuk anakanak usia balita dan ibu rumah tangga muda, diadakan program imunisasi dan Keluarga Berencana (KB). Dalam kegiatan KB di Kwitang, petugas KB selalu menjalin kerjasama dengan ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di tingkat RT, RW, dan kelurahan, dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, serta selalu mengikutsertakan akseptor baru jika ada kegiatan Operasi Laju Bahtera di tingkat kecamatan dan walikota. Data tahun 2002, balita yang memperoleh imunisasi 2.015 balita. Sedangkan peserta KB 1.074 orang dengan rincian Suntik 507, IUD (intra uterine device) 238, PIL 220, Susuk 37 dan Kondom 21, dan lain-lain 51 orang (laporan kelurahan Kwitang, 2002:15).
106
Di kelurahan Kwitang terdapat berbagai sarana kesehatan. Sarana kesehatan yang dimaksud adalah (laporan kelurahan Kwitang, 2002:Ibid): 1. Pos Kesehatan 3 buah; 2. Unit Pelayanan Gizi Keluarga (UPGK) 12 buah; 3. karang balita 12 buah; 4. dokter praktik 16 buah; 5. apotek 4 buah; 6. dukun beranak 1 buah; 7. klinik kesehatan 4 buah; 8. sinshe 2 buah; 9. panti pijat 1buah; 10. klinik KB 3 buah; dan 11. bidan 4 buah. Dari masing-masing sarana kesehatan tersebut di atas mempunyai fungsi dan tugas sendiri-sendiri. Misalnya, Pos Kesehatan, karena di kelurahan Kwitang tidak terdapat Puskesmas, Pos Kesehatan berfungsi dan bertugas sebagai Puskesmas dalam memeriksakan kesehatan warga. UPGK dan Karang gizi, berfungsi dan bertugas sebagai tempat kegiatan penimbangan, pemberian imunisasi dan makanan tambahan, seperti bubur kacang hijau dan susu. 6.5 Akses Pelayanan Pendidikan Sarana pendidikan yang tersedia untuk melayani warga yang berusia 0-12 tahun adalah, Taman Kanak-Kanak 2 buah, Sekolah Dasar Negeri 2 buah, dan Madrasyah Ibtidaiyah 1 buah. Taman Kanak-Kanak yang ada dikelola oleh Yayasan Melati dan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI ). Saat ini, Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang ada sedang mengalami renovasi total, karena roboh. Untuk sementara waktu, murid-murid SDN Kwitang 01 dan 02 diungsikan ke SDN Kenari 01 Pagi dan 04 Petang. 6.6 Akses ke Tempat Bermain Karena terbatasnya taman dan fasilitas bermain Anak-anak di Kwitang mengisi waktu luang dengan bermain di luar wilayah Kwitang. Padahal menurut data, di Kwitang terdapat lapangan bulu tangkis 2 buah, dan taman 1,3 ha. Tetapi, kenyataan lapangan hanya dapat diakses oleh orang dewasa dan taman tidak dapat difungsikan sebagai taman bermain anak, karena berada di tengah jalan raya. Anak-anak Kwitang sering memanfaatkan waktu luang dengan bermain di jalanan, Taman Tugu Pak Tani dan Taman Gunung Agung, Monas, halaman sekolah dan tanah kosong di Kelurahan Cikini.
107
6.7 Sarana Transportasi Di Kwitang terdapat 4 jenis jalan yaitu (laporan kelurahan Kwitang, 2002:21): 1. jalan protokol 1,5 km; 2. jalan ekonomi 1,7 km; 3. jalan MHT 3,5 km; dan 4. jalan setapak 2,9 km. Sedangkan jenis transportasi yang dimiliki oleh warga (Data Monografi Kelurahan Kwitang, 2003:28): 1. mobil pribadi 225 buah; 2. taksi 7 buah; 3. mikrolet 13 buah; 4. sepeda motor 521 buah; dan 5. sepeda 17 buah
108
BAB VII PENUTUP
Pelibatan anak-anak dalam sejenis penelitian demikian membesarkan hati mereka. Hal tersebut terungkap dari antusiasme mereka dalam menggambarkan berbagai keadaan seperti lingkungan perumahan, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah, lingkungan bermain, pelayanan transportasi, dan pelayanan kesehatan. Kemampuan mereka menggambarkan situasi di atas menandakan anak-anak ini peka terhadap lingkungan kotanya, dalam batas-batas kemampuan dan pemahaman mereka tentang lingkungannya. Untuk merangsang kepekaan berpikir mereka dalam mengidentifikasi persoalan yang ada di lingkungannya, saya mengajukan pertanyaanpertanyaan kepada anak. Pengabaian kebutuhan anak dalam pembangunan kota merupakan persoalan lingkungan yang dirasakan anak. Banyak hal yang dibutuhkan, namun belum tersedia dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan membangun sarana kebutuhan masyarakat (orang dewasa), pemerintah kota menganggap kebutuhan anak telah terwakili dan terpenuhi dengan sendirinya. Pengabaian pemerintah kota terhadap anak bukan hanya pada kebijakan dan anggaran terbatas, tetapi juga pada pelayanan dan penyediaan sarana kota yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Perasaan tenang, nyaman, dan aman dengan lingkungan tempat tinggal, lingkungan komuniti, lingkungan sekolah mereka, serta tempat pelayanan kesehatan merupakan gambaran persepsi anak mengenai lingkungan kota di satu sisi dengan kasus Kelurahan Kwitang, sedangkan perasaan terganggu dengan sampah yang menumpuk, saluran pembuangan air kotor yang mampat karena masih adanya warga yang membuang sampah sembarangan, dan jalan-trotoar yang rusak di beberapa titik di lingkungan tersebut merupakan gambaran sisi lain. Permukiman yang padat di kelurahan ini adalah kekhawatiran yang lain anak jika terjadi kebakaran seperti sebelumnya, sehingga menjadi trauma untuk mereka. Masih pada sisi yang sama, fasilitas pada lingkungan bermain dan pelayanan transportasi, menurut mereka juga belum cukup memenuhi kebutuhan anak. Tidak semua keluarga informan ini tinggal di rumah yang menjadi milik sendiri, beberapa di antaranya bahkan masih mengontrak. Perasaan nyaman dan tenang, ada pada anak dengan rumah tinggal yang jelas status kepemilikannya (milik pribadi), berbeda dengan anak dari keluarga yang mengontrak atau menumpang di rumah kakek/nenek yang mulai khawatir ketika masa kontraknya selesai, mereka harus pindah. Mempunyai akses ke sumber air bersih, sistem pembuangan sampah, saluran
109
pembuangan air kotor, jaringan listrik dan telepon adalah hal lain yang mendatangkan rasa tenang dan nyaman berada di rumah yang mereka tinggali. Di mata anak, kekurang-disiplinan warga dalam menjaga kebersihan lingkungan terutama mengenai sampah dan saluran air kotor mengganggu pemandangan dan membuat polusi. Kerja bakti membersihkan lingkungan setiap minggu dilakukan warga yang sadar akan pentingnya kebersihan. Beberapa anak bahkan sudah mulai berlatih disiplin dengan selalu membersihkan sampah dan membuang pada tempatnya. Penerapan sistem ronda siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan), adanya pos kamling, dan lampu penerangan jalan yang cukup membuat anak-anak Kwitang merasa aman dengan lingkungan mereka. Rusaknya ruas jalan di beberapa bagian dan trotoar di beberapa titik hingga beralih fungsinya tempat ini menjadi tempat usaha bagi pedagang kaki lima, dianggap anak mengganggu karena bisa membuat pejalan kaki terperosok, terjatuh, atau bahkan terserempet kendaraan. Walau berbeda sekolah, semua informan penelitian ini berada dalam satu gedung yang sama. Pemahaman mengenai kondisi bangunan SDN Kenari 01-06, mereka gambarkan dengan baik. Gedung yang kokoh, berhalaman luas, dan berpagar besi, membuat anak-anak ini merasa tenang bersekolah, berbeda dengan murid SDN Kwitang 01-02 yang gedung sekolahnya roboh, karena kondisi gedungnya yang berbeda. Bentuk gedung yang bertingkat mereka ungkapkan sebagai satu ketidaknyaman untuk berinteraksi dengan teman mereka di lantai yang lain, karena mereka enggan untuk naik atau turun. Ruang terbuka belum menjadi prioritas pemerintah kota dalam pembangunan kota. Hal ini teridentifikasi oleh anak-anak Kwitang bahwa, mereka tidak mempunyai tempat bermain aktif yang aman dan nyaman. Jalan, taman (Tugu Pak Tani), bantaran kali (Kali Ciliwung), halaman sekolah, tempat parkir, dan tanah kosong adalah tempattempat favorit yang mereka manfaatkan sebagai tempat bermain. Syarat keselamatan, jauh dari tempat tinggal dan pantauan orang-tua/orang dewasa tidak menjadi pertimbangan mereka. Demikian juga halnya dalam bidang transportasi. Rasa aman dan nyaman menggunakan jasa transportasi seperti bus dan kereta api ketika bepergian, belum mereka rasakan sepenuhnya. Kondisi kendaraan yang kurang baik, seperti coretan di dinding, bangku rusak, sampah berserakan, panas, berbau dan berdiri berdesakkan mereka deskripsikan sebagai ketidaknyaman berkendaraan. Cerita mengenai adanya copet membuat kekhawatiran mereka bertambah. Bus yang selalu tergesa-gesa ketika menurunkan penumpang, berhenti secara mendadak, penumpang yang terjatuh atau terantuk besi karenanya, sopir dan kernet yang kerap berperilaku kasar terhadap penumpang diungkapkan anak sebagai hal yang menakutkan ketika naik bus kota. Hal yang kurang lebih sama juga mereka rasakan di kereta api. Jatuh, tertindih atau terpisah dengan orangtua sehingga tidak bisa kembali ke rumah adalah hal yang menakutkan mereka naik kereta api.
110
Penyakit diare, infeksi saluran pernapasan atas, dan penyakit kulit adalah penyakit yang umumnya diderita anak-anak ini. Penyakit-penyakit tersebut erat kaitannya dengan resiko lingkungan air yang kurang bersih, makanan yang kurang higiene, sanitasi yang buruk, dan polusi udara di lingkungan tempat tinggal, tempat belajar, dan bermain. Jika mereka sakit, orang-tua mereka sering merujuknya ke sarana kesehatan yang sesuai dengan kemampuan keuangan keluarga. Kajian ini terbatasi oleh beberapa faktor, sehingga masih ada ”ruang penjelasan” yang terbuka untuk diisi peneliti lain. Keterbatasan ini antara lain disebabkan oleh tidak tinggalnya saya bersama anak-anak (informan), sehingga tidak mengetahui dengan baik pola asuh yang diterapkan di masing-masing keluarga anak. Saya pun tidak mengikuti kegiatan anak selama 24 jam penuh, sehingga pola kegiatan dan bermain anak tidak terekam secara utuh. Walaupun informan dalam penelitian ini adalah anak, namun saya tidak mendalami psikologi anak secara khusus, sehingga saya tidak mengetahui bahasa tersirat anak yang ingin diungkapkan. Selain itu, saya juga tidak mendalami sosiologi secara khusus, sehingga saya tidak bisa memberikan gambaran yang rinci mengenai kehidupan masyarakat di lingkungan tersebut. Kepada peneliti selanjutnya saya menyarankan supaya dapat tinggal bersama anak-anak (informan), sehingga dapat mengetahui pola asuh yang diterapkan keluarga anak; mengikuti kegiatan anak selama 24 jam agar pola kegiatan dan bermainnya dapat terekam secara utuh; mendalami ilmu pendukung lain seperti psikologi anak, sosiologi, dan ilmu perencanaan, di samping juga perlu memperhatikan metode pengumpulan data yang lain dalam pendekatan kualitatif.
111
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adams, Eillen & Sue Ingham. (1998). Changing Places: Children’s Participation in Environmental Planning. London: The Children’s Society. Ahier, John. (1988). Industry Children and the Nation: an Analysis of National Identity in School Textbooks. London, New York, Philadelphia: The Falmer Press. Ahmadi, Abu, drs. & Zul Afdi Ardian, SH. (1989). Ilmu Jiwa Anak. Bandung: Armico. Al-Zoabi, Ahmad, Y. DR. (2002). “Children’s Mental Maps and Neighborhood Design of Abu-Nusier, Jordan.” Saudi Arabia: King Saud University. Australian Institute of Family Studies Family Matters. (1998). “About Growing Up.” No.49 Autumn 1998. Azwar, Azrul, dr. MPH. (1990). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. (Cetakan Kelima). Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Bartlett, Sheridan. (2002). “The problem of children’s injuries in low-income countries: a review.” Health Policy and Planning. Bartlett, Sheridan. (2002). “Urban Children and the Physical Environment”. Amman, Jordan: International Conference on Children and The City. Bootzin, Richar R., Elizabeth F. Loftus, Robert B. Zajonc. (1983). Psychology Today: an Introduction. (Fifth edition). New York: Random House. Burhan, Merina. (1999). ”Kondisi Lingkungan Bermain Anak di Kota-kota Besar Sebagai Dampak Proses Urbanisasi.” Tokyo: Tokyo Institute of Technology. Chawla, Louise. (2001). ”Evaluating Children’s Participation: Seeking Areas of Concensus.” PLA Notes, Oktober No.42. Christencen, Pia & Margaret O’Brien (edit.). (2003). Children in the City Home, Neighbourhood and Community. New York & London: Routledge Falmer. Creswell, John W. (1994). Research Design Quantitative & Qualitative Approach. London: Sage Publication, Inc. Demarwan, Mohammad Kemal, drs. (1994). Strategi Pencegahan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti Departemen Kesehatan RI. (2003). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Depkes.RI.
112
Erikson, Eric H. & J.M. Erikson. (1987). The Life Cycle Completed. W.W. Norton & Co. Fisher, J.D., Paul A Bell & A. Baum. (1984). Environmental Psychology. (2nd ed). New York: Holt, Rinehart & Winston. Hardoy, Jorge E., Diana & David Satterthwaite (2001). Environmental Problems in an Urbanizing World: Finding Solution for Cities in Africa, Asia, & Latin America. London: Earth-scan Publication Hendricks, Barbara. (2002) “Child Friendly Environments in the City.” di Brescia: Ordine degli Achitetti. Holtorft, Gunther W. (1997). Falkplan Street Atlas Jakarta Jabotabek. (Edisi 11) Jakarta: Djambatan Hurlock, Elizabeth B. (1993). Perkembangan Anak (Jilid 1). Jakarta: Erlangga. Innocenti Digest. (No.2-Nov.2002). Poverty and Exclusion Among Urban Children. Florence – Italy: UNICEF Innocenti Research Centre. Johnson, Victoria, dkk. (2002). Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis. Jakarta: Read Book. Kelurahan Kwitang. (2003). Data Monografi Kelurhan Kwitang Keadaan Januari – Juni 2003. Jakarta: Kel. Kwitang Kelurahan Kwitang. (2002). Laporan Kerja Kelurahan Kwitang Tahun 2002. Jakarta: Kel. Kwitang Keraf, Gorys. (1983). Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Kruger, Jill Swart & Louise Chawla. (2002). “We Know Something Someone doesn’t Know: Children Speak Out on Local Conditions in Johannesburg”. Environment & Urbanization Vol.14 No. 2 October. Lie, Anita. (2003). 101 Cara Menumbuhkan Percaya Diri Anak: Usia Balita Sampai Remaja. Jakarta: Elek Media Komputindo. Lynch, Kevin. (1960). The Image of the City. Cambridge, Massachusetts, London, England: The MIT Press. Lynch, Kevin. (2000). Good City Form. Cambridge, Massachusetts, London, England: The MIT Press. Newman, Philip R., Barbara M. Newman. (1983). Principle of Psychology. Homewood, Illinois: The Dorsey. Puspa, Yan Pramadya. (1977). Kamus Hukum (Edisi Lengkap). Semarang: Aneka Ilmu. Sarwono, Sarlito Wirawan. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo. Satterthwaite, David, Dr. (2002). “City Governance for and with Children.” Amman, Jordan: International Conference on Children and The City.
113
Save the Childern. (1996). Children on Their Housing. Swedia: Radda Barnen. Setiono, Koesdwiratri, DR. (1984). ”Membina Tanggung Jawab Pada Anak dan Remaja.” Bandung: Biro Konsultasi Psikologi Swaparinama. Shadily, Hassan. (1980). Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru – Van Hoeve. Sucher, David. (1995). City Comforts: How to Build an Urban Village. Seattle: City Comforts Press. Sudjana, Nana. Dr, dan dra. Wari Suwariyah. (1991). Model-model mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru. Sulastomo. (1988). Bunga Rampai: Beberapa Masalah Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Yayasan Bhinneka Tunggal Ika. Suparlan, Parsudi, Prof. (1996). Antropologi Perkotaan. (diktat). Depok: Jur. Antropologi FISIP UI. Suparlan, Parsudi, PhD. (1994). Metode Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Program Kajian Wilayah Amerika – Universitas Indonesia. Suparlan, Parsudi, Prof. (1997). “Paradigma Naturalistik Dalam Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kualitatif Dan Penggunaannya.” Dalam Jurnal Antropologi No. 53 1997. UNICEF & UNEP. (1990). Children and Environment. New York:UNICEF.
114