PERNIKAHAN PEREMPUAN DALAM RELASI JENDER PADA TAFSIR Oleh Dr. Hj. Istibsyaroh, S.H., M.A.1 Marital Right atau hak perkawinan, menjadi unsur yang penting dalam masyarakat, karena menyangkut hak pribadi yang berhubungan dengan masyarakat. Kebanyakan masyarakat dan sistem keagamaan memandang perempuan tidak mempunyai hak mandiri dalam masalah perkawinan. 1. Hak Memilih Pasangan Islam sangat menghormati keberadaan perempuan, dengan diberinya kebebasan untuk memilih suami yang cocok baginya. Islam juga melarang wali menikahkan secara paksa anak gadis dan saudara perempuannya dengan orang yang tidak mereka sukai, karena dianggap kedaliman jahiliyah, serta mengakibatkan penderitaan dan kerusakan.2 Al-Qur`an menjelaskan sebagai berikut:
“Dan janganlah kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik dengan perempuan mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu…”(AlBaqarah/2:221). Terhadap ayat ini al-Sya`râwî menjelaskan sebagai berikut:
1
Dosen Fakultas Syari`ah IAIN Sunan Ampel Surabaya
2
Muhammad Rasyid Rida, Panggilan Islam terhadap Wanita, (Bandung: Pustaka,
1986), h. 18
2
“ adalah merupakan awal batu pertama dalam membangun keluarga dan masyarakat. Jika isteri bukan orang yang beriman, bagaimana jadinya? mereka akan merasa bangga dalam mendidik anak-anak dengan kemusyrikannya. Sedangkan laki-laki yang berperan sebagai ayah dan pendidik, tidak akan pernah menanamkan nilai-nilai kemusyrikan kepada anaknya pada usia dini. Setelah anak besar berada di pangkuan ayahnya, sementara nilai-nilai kemusyrikan sudah masuk dan menguasai dirinya. Karena itu jangan sampai orang laki-laki mukmin menikahi perempuan musyrik”.3 Terhadap pendapat tersebut penulis kurang sependapat. Memang benar laki-laki dilarang nikah dengan perempuan musyrik, tetapi pendidik anak ketika masih kecil hanya oleh ibunya, kalau sudah besar pendidiknya adalah ayahnya, penulis tidak setuju, sebab pendidik baik anak waktu kecil maupun besar adalah ibu dan ayah secara bersama, jadi tidak hanya dibebankan kepada ibu. Selanjutnya al-Sya`râwî menafsirkan: Ayat ini tidak ditujukan kepada perempuan yang beriman untuk tidak menikahi laki-laki musyrik, tetapi ditujukan kepada para wali perempuan dilarang menikahkan perempuan beriman dengan laki-laki musyrik. Karena laki-laki yang memiliki fungsi sebagai wali, dan perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk menikahkan dirinya sendiri. Dalam kaidah syar`iyyah dikenal satu ungkapan (tidak sah suatu pernikahn tanpa wali). Ungkapan itu tidak di arahkan kepada perempuan, karena perempuan hanya menerima, sedangkan walinya yang melihat semua sisi persoalan untuk sikap (nikah atau tidak)”.4 Berikutnya al-Sya`râwî menambahkan: “Memang benar, wali harus meminta izin kepada perempuan gadis untuk menjamin agar perasaannya tidak tertekan dalam menjalankan perkawinan. Tetapi seorang bapak atau wali al-amri laki-laki memiliki pertimbangan lain yang tidak hanya mengikuti perasaan, tetapi juga pertimbangan yang rasional. Jika dibiarkan perempuan untuk mengikuti pertimbangan perasaan sendiri, maka akan gagallah kehidupan rumah tangga. Oleh karenanya Islam meminta para walli untuk bermusyawarah dengan perempuan, agar wali tidak 3 4
Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî, h. 971.
Ibid., h. 973.
2
3
menghadirkan laki-laki yang dibenci perempuan tersebut. Akan tetapi yang berhak menikahkannya perempuan dengan seorang laki-laki adalah tetap walinya. Karena wali memiliki pertimbangan rasional, sosial, dan etis atau moral tidak dapat dilihat oleh seorang perempuan. Terkadang seorang perempuan tertarik kepada seorang pemuda hanya karena kebaikan fisiknya. Tetapi ketika menghadapi masalahmasalah hidup ternyata pemuda itu bukan orang yag cocok dengannya”.5 Dari pendapat tersebut, terlihat bahwa satu sisi al-Sya`râwî menyatakan ayah atau wali yang menetukan jodoh perempuan,tapi di sisi lain, ayah atau wali seharusnya meminta izin kepada perempuan yang mau menjalankan perkawinan. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa alSya`râwî memberikan hak memilih pasangan hidupnya, dan tidak bias jender. Berhubungan dengan ayat tersebut ada hadis yang menjelaskan tentang perempuan berhak memilih pasangan sebagai berikut:
6 “Dari Abî Salamah sesungguhnya Abû Hurairah bercerita, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengatakan: “Seorang janda tidak boleh dikawinkan tanpa diajak dulu bermusyawarah, dan seorang gadis tidak boleh dikawinkan tanpa meminta persetujuannya lebih dahulu”. Orang-orang lalu bertanya, “Ya Rasulallah! Bagaimana kami mengetahui bahwa ia memberi izin?” Beliau menjawab: “Sikap diamnya perempuan menunjukkan persetujuannya”. (H.R.Bukharî) Dengan hadis tersebut, menunjukkan bahwa Islam menghormati hak dan memberi kebebasan perempuan dalam memilih pasangan hidup, yang
5
Ibid., h. 973.
6
Al-Imâm Abû „Abdillah Muhammad bin Ismâ‟il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, op.cit., juz 5, h. 1974, pada bab lâ yankih al-Ab wa gairuh al-Bikr wa al-Sayb ilâ bi ridâhâ.
3
4
pada akhirnya ia dapat melangsungkan kehidupan rumah tangganya dengan tenteram dan damai. Sementara ada hadis yang senada dengan tersebut di atas,
7
“`Ata` berkata:”Ketika `Ali melamar Fatimah, Rasul mendatangi Fatimah dan berkata;”`Ali melamar kamu, Fatimah diam, maka keluarlah Rasul dan menikahkan Fatimah dengan `Ali.” Hal ini menjadi bukti, bahwa dalam praktik Rasulullah SAW sangat menghargai kepada perempuan dalam menentukan suami sebagai pasangan hidupnya. 2. Hak Mendapat Maskawin (Mahar) Konsep tentang maskawin/mahar adalah menjadi bagian yang esensial dalam pernikahan, tanpa maskawin/mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan pernikahan dengan benar, maskawin/mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan pernikahan. maskawin/mahar adalah menjadi hak eksklusif perempuan, perempuan berhak menentukan jumlahnya dan menjadi harta pribadi perempuan. Di sisi lain, al Qur`an memerintahkan kepada laki-laki yang akan menikahi perempuan, dengan memberi maskawin/mahar, karena memperoleh keuntungan (baca;Kenikmatan). Al-Qur`an menjelaskan sebagai berikut,
7
Abû Basyar Muhammad bin Ahmad bin Hamâd al-Daulâbî, Al-Zurriyah al-Tâhirah al-Nabawiyyah, (Al-Kuwait: Al-Dâr al-Sakafiyyah,1407 H), juz 1, h. 64. Lihat juga Muhammad bin Sa`ad bin Mani` Abû `Abdillah al-Basrî al-Zuhrî, Al-Tabaqât al-Kubrâ, (Beirut: Dâr Sâdir, t.t.), juz 8, h.20
4
5
“Dan (diharamkan juga kalian mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan harta kalian untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang bagi kalian telah merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Al-Nisa`/4:24) Sabab al-nuzul ayat tersebut, dalam riwayat lain dikemukakan bahwa, orang Hadrami membebani kaum laki-laki dalam membayar mahar dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai ketentuan pembayaran mahar atas keridaan kedua pihak.8 Sementara di ayat lain disebutkan,
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” Menurut al-Sya`râwî: “Maksud adalah mahar, adapun adalah pemberian. Apakah sidâq itu pemberian, jawabnya “tidak”. Sidâq adalah hak dan ongkos pengganti digunakannya alat kelamin. Tetapi Allah ingin menjelaskan bahwa hendaklah pemberian mahar kepada perempuan seperti nihlah atau pemberian. Laki-laki menikah dengan perempuan bagi laki-laki mendapat kenikmatan pada dirinya, demikian juga perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keturunan. Diharapkan seorang laki-laki tidak mengambil sesuatu dari mahar, 8
Abî al-Hasan `Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, op.cit., h. 98.
5
6
karena perempuan itu akan diambil kenikmatannya dan juga terkadang mendapat anak darinya. Dia akan bekerja di rumah dan laki-laki akan bersusah payah keluar rumah, tetapi pemberian ini ditetapkan oleh Allah untuk memuliakan perempuan.9 Penulis berpendapat, memang benar mahar hak perempuan calon isteri, tetapi bukan berarti memuliakan perempuan, tetapi hal tersebut memang menjadi haknya. Sedangkan perempuan kerja di dalam rumah saja, penulis kurang setuju, perempuan dapat juga kerja di luar rumah karena situasi dan kondisi menghendaki demikian. Sedangkan tentang anak. Anak bukan hanya anaknya laki-laki, tetapi juga perempuanp mempunyai hak mengatur dan memiliki anak, jadi anak adalah anaknya ibu dan bapak. Sementara itu, Murtadha Muthahhari berpendapat dalam bukunya Hakhak Wanita dalam Islam sebagai berikut: “Mahar adalah hak milik perempuan itu sendiri, bukan milik ayah atau saudara laki-lakinya. Al-Qur`an telah menunjukkan tiga pokok dasar dalam ayat ini. Pertama, mahar disebut dengan saduqah, tidak disebut mahar. Saduqah berasal dari kata sadaq, mahar adalah sidaq atau saduqah karena ia merupakan suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih. Kedua, kata ganti hunna/ (orang ketiga jamak feminis) dalam ayat ini berarti bahwa mahar itu menjadi hak milik perempuan sendiri, bukan hak ayahnya, ibunya atau keluarganya. Ketiga, nihlat / (dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan), menjelaskan dengan sempurna bahwa mahar tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai pemberian, hadiah.”10 Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, perempuan kalau akan nikah berhak mendapat mahar dari calon suaminya, yang tidak ditentukan besar kecilnya, karena disesuaikan dengan kemampuan calon suami. Hal demikian juga dijelaskan oleh al-Sya`râwî dalam menafsirkan ayat 241 surat al-Baqarah bahwa:“ “Setiap perempuan yang diceraikan suami dalam bentuk apapun juga pasti dan harus mendapatkan hak mut‟ah (pemberian). Hanya saja Allah telah memperincikan pemberian-pemberian tersebut dalam ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu jika kalian belum menentukan maskawin/mahar, maka berilah isteri kalian sesuai dengan keadaan kalian, yang kaya sesuai dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan yang 9
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, Jilid 4, h. 2014.
10
Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, terj. M. Hashem, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 128.
6
7
miskin sesuai dengan kemampuannya. Tetapi jika kalian telah menentukan maskawin/mahar dan memberikannya, maka isteri kalian mendapatkan seperdua darinya.11 Dari pendapat tersebut, berarti al-Sya`râwî membolehkan laki-laki menikah tetapi mahar belum ditentukan lebih dahulu. Menurut hemat penulis, sebelum nikah laki-laki harus menentukan jumlah mahar terlebih dahulu, meskipun cara membayarnya dengan hutang artinya dibayar nanti, sebab kalau belum menentukan jumlah mahar sebelum nikah, ketika akan cerai ia (suami) tidak mau membayarnya, atau mau membayar tetapi dalam jumlah yang sedikit, karena ia (suami) sudah merasa tidak senang. Maharnya Fatimah binti Rasulullah SAW adalah baju besinya `Ali Karramallah wajhah, karena `Ali tidak memiliki selainnya, lalu ia menjualnya, kemudian diberikan kepada Fatimah sebagai mahar. Ada juga di antara perempuan sahabiyyah yang maharnya berupa cincin besi, ada juga yang maharnya berupa ayat-ayat al-Qur`an yang kemudian diajarkan oleh suaminya12 Dari penjelasan tersebut di atas, maka mahar dianggap sesuatu yang urgen dalam pernikahan, karena mahar menunjukkan keseriusan dan kecintaan calon suami kepada calon isterinya. 3. Menjadi Isteri Islam bertujuan menciptakan kedamaian dan ketenteraman dalam pernikahan, suami isteri saling membantu. Tidak diragukan lagi, semakin kuat keluarga akan semakin kuat bangsa, karena bangsa terdiri dari kumpulan keluarga.
“Dialah yang menciptakan kalian dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka 11
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, Jilid 2, h. 1029.
12
Muhammad Albar, Wanita Karir dalam Timbangan Islam Kodrat Kewanitaan Emansipasi dan Pelecehan Seksual, terj. Amir Hamzah Fahruddin, (Jakarta; Pustaka Azzam, 1998), h.40.
7
8
setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah ia merasa ringan (sampai beberapa waktu). Kemudian tatkala ia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orangorang yang bersyukur”(Al-A`râf /7:189) Mengenai ayat ini al-Sya`râwî menjelaskan bahwa: “Perempuan merupakan tempat berteduh bagi laki-laki secara fisik dan emosianal sekaligus, seperti halnya posisi anak yang merupakan bagian dari ayah dan ibu, sehingga akibat ikatan ini tumbuh rasa kasih sayang terhadap anaknya. Perempuan berdasarkan kodratnya senantiasa tertutup, dalam arti kaum perempuan tidak pernah disebutkan dengan terang-terangan, sebagaimana fakta yang terjadi pada masyarakat petani di Mesir, yaitu mereka memanggil isterinya dengan panggilan atau atau dan tidak pernah memanggilnya dengan panggilan “isteriku” atau bahkan nama pasangan hidupnya. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa laki-laki merupakan makluk independen dan tidak bergantung kepada perempuan, adapun perempuan adalah seakan (tempat pencari ketenangan) bagi pasangannya, hukum ini berlaku bagi anak cucu Adam dan Hawa, terlebih hukum yang mengindikasikan bahwa Hawa mengandung anak laki-laki dan perempuan. Demikian kondisi yang sangat berat yang dialami perempuan, terkadang kondisi seperti melalaikan tugas utamanya sebagai isteri, yaitu sebagai tempat berlabuh suami. Kalimat mengandung pesan bahwa perempuan adalah tempat berteduh dan berlabuh bagi suaminya, kendati demikian tidak benar jika dikatakan perempuan hanya merupakan bagi suaminya yang selalu bergerak, sehingga timbul kesan bahwa gerakan dalam sebuah kehidupan hanya dikuasai kaum lakilaki. Kemudian mencari ketenangan pada kaum perempuan dengan penuh kasih sayang, jika perempuan tidak mampu menyuguhkan ketenangan yang dicari laki-laki, maka tidak salah apabila kaum lakilaki mencari ketenangan lain di luar rumah, karena baginya sikap tersebut lebih baik.13
13
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya’rawi, jilid 8, h. 4513.
8
9
Akhirnya, seakan (tempat mencari ketenangan) adalah tugas utama dan pertama bagi perempuan, apabila tugas ini dilupakan maka ketenangan dan kedamaian dalam rumah tangga akan hilang juga14. Terhadap pendapat tersebut, penulis sangat keberatan, sebab perempuan bukan tempat berteduh dan tempat mencari kedamaian laki-laki, karena perempuan juga hamba Allah yang juga mempunyai aktifitas sendiri dan mempunyai kebebasan dalam bertindak. Laki-laki dan perempuan posisinya sama termasuk dalam rumah tangga, artinya keduanya saling menghargai dan menghormati, serta mempunyai tanggungjawab yang sama Kalaupun bicara masalah berteduh, suami tempat berteduh isteri, demikian juga isteri tempat berteduh bagi suami. Artinya dalam rumah tangga keduanya mempunyai hak yang sama, saling membutuhkan dan saling dibutuhkan. Sementara dalam kitab-kitab klasik yang menjelaskan ajaran Islam seperti tafsir, tidak asing bagi laki-laki digambarkan lebih superior dari kaum perempuan. Ayat al-Qur`an yang dipergunakan sebagai argumen penguatan supremasi tersebut adalah:
“Kaum laki-laki itu adalah bertanggungjawab bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara( mereka)…”(al-Nisa/4:34) Sabab al-nuzul ayat di atas, dalam suatu riwayat dikemukkakan bahwa seorang perempuan mengadu kepada Nabi SAW karena telah ditampar suaminya. Rasul bersabda: "Dia mesti diqisas (dibalas)". Turunlah ayat tersebut di atas sebagai ketentuan dalam mendidik isteri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut, pulanglah ia
14
Al-Sya`râwî, Al-Mar`ah fî al-Qur`a, op. cit., h. 27.
9
10
serta tidak menjalankan qisas. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan15 Dari riwayat lain dikemukakan bahwa, ada seorang isteri yang mengadu kepada Rasul karena ditampar oleh suaminya (orang Ansar) dan menuntut qisas (balas). Nabi kemudian mengabulkan tuntutan itu. Maka turunlah sebagai teguran kepadanya di atas, sebagai ketentuan pihak suami dalam mendidik isterinya. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari beberapa jalan, yang bersumber dari al-Hasan.16 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang Ansar menghadap Rasul bersama isterinya. Isterinya berkata: "Ya Rasulullah ia telah memukul wajahku hingga berbekas". Maka bersabda beliau: "Ia tidak berhak berbuat demikian". Maka turnlah ayat tersebut sebagai ketentuan dalam mendidik isteri. Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari 'Ali.17 Al-Sya`râwî menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: “Laki-laki bertanggung jawab kepada perempuan” pada awalnya sebagian mufassir tidak menafsirkan ayat ini, kecuali tentang seorang laki-laki terhadap isterinya, padahal sesungguhnya ayat ini berbicara tentang laki-laki dan perempuan secara mutlak (umum) bukan hanya laki-laki (suami) kepada isteri, juga bapak bertanggung jawab kepada anak perempuan, saudara laki-laki kepada saudara perempuan. Laki-laki itu sebagai penanggung jawab, artinya pemberian tempat yang tinggi, sementara perempuan berada di rumah, yang demikian itu sebagai suatu penghormatan atau diberinya tempat yang tidak menjadikan perempuan susah payah. Perempuan yang takut/khawatir dengan ayat ini, tetapi kalau tidak diberi anak laki-laki ia marah-marah dan ketika ditanya kenapa demikian? ia menjawab saya menginginkan anak laki-laki untuk menjadi penjaga dalam hidup saya.18 Ungkapan Qawwâmûn `alâ al-nisâ`, yakni pemimpin bagi kaum 15
Abî al-Hasan `Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, op. cit., h.
92. 16
Ibid.
17
Ibid.
18
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 4, h. 2201.
10
11
perempuan, mayoritas ahli tafsir menempatkan superioritas laki-laki atas perempuan. Dalam surat tersebut dijelaskan mengapa laki-laki (suami) pemimpin atas perempuan, karena ada dua alasan: 1.Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian kaum perempuan 2. Karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari sebagian hartanya. Terhadap alasan pertama, para mufassir memberikan penjelasan yang dianggap yang bias jender, seperti: Al-Nawawi, menyampaikan superioritas laki-laki atas perempuan, karena laki-laki memiliki kesempurnaan, matang dalam perencanaan, penilaian yang tepat, kelebihan kekuatan dalam amal dan ketaatan. Oleh sebab itu laki-laki diberi tugas istimewa sebagai nabi, imam, wali, menegakkan syiar-syiar, menjadi saksi dalam berbagai masalah, wajib melaksanakan jihad, salat jum`at dan lain sebagainya.19 Al-Tabari mengartikan dengan : "Penanggung jawab" yang berarti laki-laki bertanggung jawab mendidik, membimbing isteri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada suaminya.20 Al-Zamakhsyari menekankan bahwa kata itu ( ) berarti kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar makruf nahi munkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa kepada rakyat.21 Sedangkan menurut al-Sya`râwî: “Qawwâm adalah mubalagah dari , itu capai atau payah. Sehingga laki-laki yang bertanggung jawab kepada perempuan, berarti berusaha untuk memperbaiki kehidupan perempuan dengan susah payah. Lakilaki sebenarnya hanya berkepentingan memperbaiki masalah andaikata laki-laki itu baik. Kata itu umum, juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memberikan keutamaan kepada sebagian mereka. Keutamaan atau tafdil disini yang dimaksud adalah laki-laki kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan. Selanjutnya
19Muhamad
Nawawi al-Jawy, Tafsir Al-Nawâwî , (Beirut: Darul fikr, t.t.), Jilid 1, h.
149. 20Muhamad.Ibnu Jarir Al Tabari, Jami` Al-Bayan fî Tafsîr al-Qur`ân, (Beirut: Darul kutub,1988), juz 14, h.57. 21Muhamad
Al Zamakhsyari, al-Kasysyâf I, (Beirut: Darul Kutub,1977), h. 523.
11
12
digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di bawah naungannya.22 Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn berarti laki-laki sebagai penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu tafsir alNawâwî, al-Tabarî. Al-Kasysyâf itu dibuat yang sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan. Berbeda dengan mufassir terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain: a. Menurut Fazlur Rahman, laki-laki adalah bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang.23 b. Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur‟an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan.24 c. Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa qawwâmûn disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul, karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memmberikannya kepada perempuan. Qawwâmûn merupakan pernyataan kontektual bukan normatif, seandainya al-Qur`an menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, 22
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 4, h. 2202.
23Fazlur
Rahman, Mayor Themes of the Quran, terj. Anas Mahyuddin, Pustaka,1996), h. 72. 24Aminah
(Bandung:
Wadud Muhsin, Quran and Woman, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1992), h.
93.
12
13
redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan, tetapi al-Qur`an tidak menghendaki seperti itu.25 Demikianlah diantara berbagai penafsir yang tekstual dan penafsir kontemporer terhadap surat al-Nisa/4:34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada, maka yang terlihat sekarang posisi kaum laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu. Sementara menurut Quraisy Shihab, hak kepemimpinan menurut AlQur‟an, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:26 1. Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga, jika dibandingkan dengan isteri. 2. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anggota keluarganya. Terhadap pendapat tersebut penulis kurang sependapat, karena dalam rumah tangga antara suami dan isteri tidak ada pimpinan dan yang dipimpin, antara suami dan isteri posisinya setara,, semua masalah rumah tangga dipecahkan bersama dengan cara musyawarah. Demikian juga masalah nafkah dalam rumah tangga, suami isteri dapat saling membantu mengatasi ekonomi rumah tangga Karena suami menjadi pemimpin dalam rumah tangga, maka harus bersikap seperti yang tersebut dalam hadis:
27
“Dari Ali ra. berkata, bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda : Yang terbaik diantara kalian adalah yang lebih baik terhadap 25
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi, (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 701. 26
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2000), h. 310.
27
Abû Isâ Muhammad in Isâ bin Surah, Al-Jami’ al-Sahîh /Sunan al-Turmuzî,, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), juz 3,. h. 11.
13
14
keluarganya, dan saya yang lebih baik kepada keluarga saya, tidaklah yang memuliakan perempuan, kecuali orang yang mulia dan tidak menghinakan perempuan kecuali orang yang hina”. (HR. Ibnu „Asakir)” Rasulullah SAW menegaskan bahwa seorang isteri memimpin rumah tangga dan bertanggung jawab atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran, bahkan isteri ikut bertanggung jawab bersama suami untuk menciptakan ketenangan dalam rumah tangga. Pembagian kerja ini tidak membebaskan masing-masing pasangan untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing, seperti Asma` putri Kholifah Abu Bakar dibantu suaminya dalam mengurus rumah tangga, Asma` juga membantu suaminya, antara lain memelihara kuda, menyabit rumput, menanam benih di kebun dan sebagainya. Kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat tersebut diturunkan. Dalam surat lain disebutkan, yaitu surat Al-Baqarah/2: 228 :
… “…Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (isterinya)…” Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas menurut alSya`râwî dijelaskan oleh surat al-Nisa 34 yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (isteri) sebagimana penjelasan di atas. Penulis melihat bahwa, derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Ayat ini berhubungan dengan masalah talak, karena laki-laki berhak menentukan talak, meskipun perempuan juga mempunyai hak, bukan masalah kepemimpinan dalam rumah tangga. Disamping itu kata pada ayat tersebut menurut Nasaruddin Umar ialah “Laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Tuhan tidak mengatakan karena jika
14
15
demikian, maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan.”28 Sementara menurut Ibn `Usfûr, para ulama membolehkan kata dalam menjadi atau kalau menjadi berarti menunjukkan yang datang, bukan jenis, kalau menjadi berarti 29 menunjukkan pembatasan. Dari sini menjadi jelas bahwa, laki-laki dalam surat al-Baqarah ayat 228 berarti tidak semua laki-laki, tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu. Sedangkan menurut Al-Râgib al-Asfihâniy, menunjukkan arti khusus laki-laki. Namun dapat juga perempuan disebut apabila dalam sebagian ahwalnya menyerupai laki-laki.30 Menurut hemat penulis, ayat 34 dari surat al-Nisa` bersifat fungsional, artinya laki-laki bertanggungjawab pada keluarga karena memberi nafaqah, artinya laki-laki yang berfungsi memberi nafaqah. Bagaimana halnya dewasa ini yang kerja dan yang memberi nafaqah adalah isteri atau perempuan, tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan yang ahwalnya menyerupai laki-laki, yang berfungsi menjadi laki-laki dan memberi nafaqah, berarti perempuan yang bertanggungjawab pada keluarga, karena kecenderungan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, bahkan menunjukkan fenomena yang sangat mengejutkan. Berdasarkan hasil pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 % perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya.31 Melihat kenyataan ini, Sinta Nuriah Abdurahman Wahid berkeyakinan bahwa, de fakto sesungguhnya kaum perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau keluarga.32
28
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur`ân, op. cit., h. 149-
150. 29
Jamal al-Dîn bin Hisyâm al-Ansârî, Mugnî al-Labîb, (Beirut: Dâr al-Kutb alIslâmiyyah, t.t), h. 49. 30
Al-Râgib al-Asfihâniy, Mu`jam Mufradât Alfâz al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t),
31
Harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2000, h. 10, kol.5-9.
h. 194.
32
Ibid.
15
16
Kata Qanitât menurut al-Sya`râwî, untuk menggambarkan perempuan yang saleh. Seringkali diartikan dengan “kepatuhan” dan kemudian dihubungkan menjadi isteri patuh terhadap suami. Dalam konteks keseluruhan ayat al-Qur`an, kata ini biasa digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Kata ini digunakan untuk menyebut karakteristik kepribadian orang yang beriman kepada Allah. Keduanya cenderung saling kerjasama dan tunduk di hadapan Allah. Hal ini jelas berbeda dari sekedar tunduk atau patuh kepada sesama makhluk.33 Berarti qanitât tidak diartikan perempuan yang menerima pemberian apasaja dari suami, tetapi perempuan dan lakilaki yang taat kepada Allah. Dalam ayat lain dipaparkan,
“Dan jika seorang perempuan khawatir akan nusyûz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kalian bergaul dengan isteri kalian secara baik dan memelihara diri kalian dari (nusyûz dan sikap acuh tak acuh) maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(Al-Nisa`/4:128) Menurut al-Sya`râwî, Nusyûz dari berasal kata yang berarti perselisihan, digunakan bagi laki-laki dan perempuan, ketika dihubungkan dengan ta`at, nusyûz dalam ayat 34 dan 128 surat al-Nisâ` diartikan isteri harus taat dan patuh kepada suami, tetapi karena Al-Qur`an menggunakan kata nusyûz untuk laki-laki dan perempuan, maka tidak dapat diartikan sebagai kepatuhan isteri kepada suami. Al-Sya`râwî menganggap nusyûz seperti ketika waktu mendengarkan musik, kemudian menemukan orang membawakan lagu keluar dari nada keteraturan lagu.34 Artinya nusyûz tidak baik dan tidak enak, seperti kalau mendengarkan musik yang tidak sesuai dengan aturan. 33 34
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwi, jilid 4, h. 2202. Ibid., h. 2212.
16
17
Sayyid Qutub menjelaskan kata ini merupakan terjadinya ketidakharmonisan dalam suatu perkawinan. Dalam menghadapi keretakan dalam perkawinan al-Qur`an merekomendasikan beberapa solusi antara lain: 1. Bantuan penengah 2. Memukul mereka 3.Boleh dipisahkan, dalam kasus yang ektrim, langkah terakhir yang diterapkan. Ada suatu kasus tentang nusyûz yaitu, seorang isteri mengeluh tidak kuat untuk meneruskan bahtera hidupnya dengan suami, karena suami mengidap penyakit hilang ingatan, di awal pernikahan mereka, suami tidak mengidap penyakit apapun, namun akhir-akhir ini suami terserang penyakit hilang ingatan, dan yang lebih tragis dampak dari penyakit itu sangat mengganggu keharmonisan rumah tangga, yaitu suami sering memukul, terkadang menonjok isteri. Al-Sya‟râwî berpendapat bahwa, dalam kondisi demikian isteri boleh melaporkan dan menyerahkan permasalahan talak kepada hakim. Isteri juga berkata hal seperti ini merupakan a‟ib terselubung35 Menurut hemat penulis, nusyûz adalah situasi dalam rumah tangga yang karena sesuatu hal mengganggu keharmonisan rumah tangga. Kalau gangguan tersebut mengakibatkan fatal, seperti suami sakit yang menjadikan tidak dapatnya melakukan hubungan biologis, sementara isteri masih menginginkannya, maka isteri dapat mengajukan talak kepada hakim, dan hakim dalam memutuskan perkara harus arif. Demikian juga sebaliknya, suami dapat mengajukan talak, artinya suami tidak boleh semena-mena menjatuhkan talak secara sepihak. 4. Mendidik dan Memelihara Anak Allah memerintahkan kepada orang tua untuk merawat dan mendidik anak dengan cara yang benar, serta menumpahkan perhatian kepada mereka, untuk menjadikan anak dewasa dengan baik, sehat, kuat dan mandiri. Al-Sya`râwî menjelaskan tentang pendidikan dan pemeliharaan anak sebagai berikut, “Allah mendeskripsikan beban yang sangat berat yang diemban oleh perempuan dalam surat al-Ahqâf /46:15
35
Al-Sya`râwî, Al-Fatâwâ, op.cit., h. 169.
17
18
“…Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…” Ayat di atas menggambarkan bahwa perempuan yang sedang hamil membutuhkan kasih sayang, isteri yang hamil tidak layaknya isteri yang tidak sedang mengandung seorang bayi dalam perutnya, baik dalam tindaktanduknya, gerakannya dan tata cara menjalani kehidupan ketika menunggu detik-detik kelahiran bayi, justeru ia merasa kecapekan yang lebih, setiap janinnya bergerak ke depan, ia merasakan beban beratnya bertambah.36 Allah menjelaskan hakekat kejadian ini dalam surat al-A’raf/7: 189
“…Maka setelah dicampurinya isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orangorang yang bersyukur” (Al-A`râf/7:189) Menurut al-Sya`râwî, “Kalimat kata adalah ungkapan lain dari yaitu aktifitas seksual yang dinilai sebagai ungkapan yang sesuai norma edukatif, berarti yaitu “lapisan untuk menutupi”. Adapun aktifitas ini bertujuan untuk kelanjutan hidup manusia dengan munculnya generasi-generasi rabbani sebagai akibat dari proses seksual ini”37. 36
Al-Sya`râwî menjelaskan tentang mendidik anak ini di dalam kitabnya AlMar`ah fi al-Qur`ân, op. cit., h. 23. 37
Ibid., h. 25
18
19
“…Dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur” Makna menurut al-Sya`râwî adalah: “Bahwa janin yang berada dalam kandungan bergerak sehingga beban janin dirasakan ibu pada masa akhir kehamilan. Pada kesempatan ini calon ayah baru menyadari ia akan memperoleh keturunan, sehingga dengan segera berdoa dengan harapan keturunanya menjadi anak yang saleh dari segi amalan dan segi fisik”38. Perempuan yang mengandung di awal perjalanannya terasa ringan, namun lambat laun akan merasa beban janin semakin bertambah berat yang menyebabkan kelincahan dalam setiap gerakan semakin berkurang. Hal ini berlangusng beberapa bulan sampai detik-detik menegangkan tiba, sehingga perlu diketahui perempuan pada dasarnya makhluk yang lemah, Allah berfirman dalam surat Lukman 14: Allah menciptakan perempuan sebagai hambaNya yang lemah, dalam arti perempuan di waktu hamil merasa lemah, dan perasaan ini semakin dirasakan ketika usia kandungan semakin bertambah, beban ini memang konsekuensi yang harus ditanggung oleh perempuan. Akhirnya apabila beban mencari nafkah dan beban publik ditanggung olehnya jelas akan memberikan tanggungjawab yang kurang sesuai dengan kapasitasnya sebagai perempuan. Terlebih ketika pihak perempuan mengalami kontraksi yang sangat hebat, juga ketika melahirkan, menyusui, mengganti pakaian si bayi, dan menyiapkan makanannya, apabila kondisi demikian dibarengi dengan kesibukan di luar rumah seperti bekerja secara aklamasi dapat dikatakan konsentrasi ibu akan terbagi sehingga ia kurang mampu menjalankan pekerjaannya dengan maksimal.39
38 39
Ibid., h. 27. Ibid.
19
20
Menurut Al-Sya`râwî, polemik peran publik perempuan mengalihkan perhatian dan kasih sayang ibu terhadap anaknya, yang pada gilirannya ia akan tumbuh dalam kondisi psikis yang tidak stabil. Fenomena ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, banyak generasi berkembang dalam kehidupan yang jauh dari kasih sayang ibu dan jauh dari konsep normatif (akhlak). Bahkan survey menyebutkan bahwa: “Peranan ibu sudah dapat diambilalih oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ditangani oleh pengawas yang berpendidikan. AlSya‟râwî berpendapat hasil survey tersebut tidak sesuai dengan realita, tidak ada satupun perempuan mampu memberikan seluruh perhatiannya kepada beratus-ratus anak didik, karena jikalau perempuan mencurahkan kasih sayangnya kepada dua atau tiga anak, maka ia akan mengindahkan lainnya. Terlebih kasih sayang seorang ibu adalah perasaan alamiah yang tumbuh karena dorongan perasaan keibuan yang sangat urgen bagi perkembangan anak dan seorang perempuan tidak akan dapat memberi kasih sayang dan perhatian sama dengan yang diberikan oleh ibu kepada anak kandungnya.40 Akhirnya, kesimpulan dari paparan di atas adalah sebaik-baik dan sepintar-pintar seorang pendidik dalam suatu lembaga tidak akan mampu mencurahkan perhatian maksimal sebagaimana perhatian ibu kepada anaknya, namun pasti akan ditemukan sisi kekurangan dalam membagi kasih sayang. Bukti konkritnya adalah ketidakstabilan emosional remaja ketika ia tidak tumbuh dalam nuansa kasih sayang ibu, mereka menjalani kehidupan keras tanpa perasaan kasih sayang, dan perhatian serta tali asih antara anggota keluarga, juga tanpa norma-norma sosial, sehingga pada gilirannya akan menumbuhkembangkan generasi tidak berprikemanusiaan dan berperasaan kasih antara sesama.41 Dengan melihat pendapat al-Sya`râwî tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, al-Sya`râwî menganjurkan ketika seorang ibu hamil itu tidak baik kalau kerja, demikian juga ketika anak masih kecil atau umur balita. Anak tidak baik apabila dititipkan di tempat penitipan. Penulis setuju dengan hal tersebut, apalagi bagi pegawai ada cuti hamil dan cuti melahirkan itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Tetapi 40
Ibid., h. 21.
41
Ibid., h. 22.
20
21
ketika anak usia sekolah utamanya, seorang ibu perlu memperhatikan bagaimana anak di sekolah terhadap guru, teman, dan pelajaran, atau dengan kata lain bagaimana aktifitas anak terhadap sekolahnya. Dalam hal ini terutama ibu harus tahu dan mengikuti, yang pada akhirnya ibu tidak hanya berpangku tangan di rumah saja, seperti yang disinyalir sebagian orang , tetapi yang penting perhatian harus dicurahkan untuk pendidikan anak bukan tempat, soalnya terkadang ada ibu di rumah tetapi sibuk membaca atau di muka komputer, sehingga perhatian berkurang, bahkan justeru tidak ada. Bagi ibu, yang paling dan sangat penting adalah berdoa untuk kesuksesan anak dalam segala bidang, baik yang ada hubungan dengan dunia maupun dengan akhirat. 5.
Kesimpulan Dari paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, Perempuan mempunyai hak untuk memilih pasangan hidup, sejajar dengan laki-laki. Perempuan berhak mendapat mahar, karena mahar adalah tanda keseriusan laki-laki dalam membina rumah tangga. Dalam rumah tangga, antara suami dan isteri mempunyai posisi yang setara, dalam arti semua permasalahan rumah tangga dimusyawarahkan dan dipecahkan bersama. Demikian juga pendidikan anak, sejak kecil sampai besar, ayah dan ibu secara bersama mendidiknya.
21