Mitra Raflesia Vol. 7 No. 1 Januari-Juni 2015 TERAPI RELAKSASI DENGAN PERUBAHAN PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT KHUSUS JIWA SOEPRAPTO DAERAH BENGKULU Yenni Fusfita Stikes Bhakti Husada Bengkulu Jl. Kinibalu 8 Kebun Tebeng Bengkulu Telp (0736) 23422 Email :
[email protected] ABSTRACT Relaxation technique is a process of self-liberation from all forms of muscle tension and mind as neutral as possible or do not think of any (Judge, 2004). Deep breathing relaxation technique is a form of nursing care, in this case the nurse teaches the patient how to perform a deep breath, slow breath and exhale slowly, to improve pulmonary ventilation and increases blood oxygenation (Smeltzer, 2004). Initial survey researchers did on 01-06 April 2014 to 10 patients violent behavior, there were 4 patients who are less able to control the violent behavior and still show aggressive symptoms and 6 patients can control violent behavior. And also obtained 4 patients with good relaxation techniques and 6 patients who perform poorly given relaxation therapy. Formulation of the problem in this study was the high number of paranoid schizophrenia patients who do violent behavior. purpose this study is known relationship relaxation therapy with violent behavior in psychiatric hospital in paranoid schizophrenia Soeprapto Bengkulu. This study used a cross sectional approach. The samples in this study were patients with paranoid schizophrenia who do violent behavior in the Regional Mental Hospital Soeprapto Bengkulu City totaled 68 people by way of random sampling taken from the date of 07-21 August 2014 .. Results of univariate relaxation therapy less well done 30.9% and uncontrolled violent behavior 39.7%. The results of the bivariate analysis found that of the 68 patients who did deep breathing relaxation therapy with unfavorable category contained 21 patients with uncontrolled violent behavior, and 0 patients uncontrolled violent behavior, whereas of 47 people who perform well relaxation therapy, there are 6 people the behavior of uncontrolled violence and 41 people with uncontrolled violent behavior. obtained value of ρ = 0.000 <0.05 then Ha is accepted. Conclusion no relationship relaxation therapy with violent behavior in patients with paranoid schizophrenia who were treated at the Regional Mental Hospital Soeprapto 2014 Bengkulu city needs to do relaxation therapy is recommended appropriately in patients with violent behaviors in accordance with the conditions and needs. Keywords: therapeutic relaxation, violent behavior 22
Mitra Raflesia Vol. 7 No. 1 Januari-Juni 2015 PENDAHULUAN
perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain. Kesehatan secara menyeluruh, bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, tetapi pemenuhan kebutuhan perasaan bahagia, sehat, mengangani tantangan hidup, serta mampu berjalan selaras dengan keadaan orang lain (Febriani, 2008). Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan terutama dinegaranegara maju, modern dan industri, keempat kesehatan utama tersebut antara lain penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan jiwa yang menyebabkan kematian secara berlangsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidak mampuan serta invaliditas baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan, karena tidak produktif dan tidak efisien (Yosep, 2010). Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terdapat diseluruh dunia adalah gangguan jiwa skizofrenia. Skizofrenia berasal dari dua kata “skizo” yang artinya retak atau pecah (spilit), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizoprenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (splittingof personality) (Ibrahim, 2005). Dalam praktek untuk mengatasi gangguan jiwa dengan cara penggunaan obat dan non farmakologi yaitu salah satunya terapi relaksasi dapat dilakukan secara bersama-sama. Penggabungan antara obat dan bukan obat mempunyai tujuan atau sasaran
Prevalensi gangguan jiwa menurut penelitian World Health Organization (WHO) Tahun 2006 memperkirakan gangguan psikotik yang cukup berat akan dialami sekurang-kurangnya 10% penduduk pada satu waktu dalam hidupnya. Jumlah penduduk yang mengalami gangguan jiwa diindonesia diperkirakan terus meningkat. Bahkan, khusus untuk gangguan jiwa berat jumlahnya bisa mencapai 6 juta orang. Berdasarkan riset kesehatan dasar jika penduduk Indonesia diasumsikan sekitar 200 juta, 3% dari jumlah penduduk itu adalah 6 juta orang ini bukan angka prediktif, tapi ini adalah angka prevalensi (angka kejadian) (Yosep, 2010). Pengaruh globalisasi, moderenisasi, urbanisasi dan industrialisasi sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya pembangunan disegala bidang menimbulkan dampak pada perubahan pola hidup dan perubahan tata nilai dari kehidupan. Salah satu efek dari perubahan itu bila ditinjau hidup, suasana persaingan dalam mencapai kebutuhan itu semakin tajam sifat individualisme seseorang. Hal ini dapat memicu stressor psikososial yang mengakibatkan perubahan mental dan memerlukan penyesuaian baru, keadaan tersebut merupakan salah satu faktor penyebab gangguan jiwa dimasyarakat (Ibrahim, 2005). Kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional, secara optimal dari seseorang dan 23
Mitra Raflesia Vol. 7 No. 1 Januari-Juni 2015 utama yaitu mengurangi atau menurunkan gejala gangguan jiwa yang membuat pasien akan lebih cepat sembuh dan bisa beraktivitas. Metode terapi relaksasi di Indonesia banyak dikembangkan dan merupakan salah satu terapi alternative. Relaksasi yang dihasilkan oleh metode ini dapat bermanfaat untuk kecemasan, depresi ringan, kontraksi otot, dan memfasilitasi tidur (Black and Matassarin, 2004). Data penderita skizofrenia dengan terdapat riwayat perilaku kekerasan di RSJ Soeprapto Bengkulu pada tahun 2012 berjumlah 358 jiwa dengan jumlah pasien yang dilakukan terapi relaksasi berjumlah 222 jiwa. Pada tahun 2013 jumlah pasien skizoprenia meningkat menjadi 459 jiwa, dari sekian jumlah pasien tersebut terdapat riwayat perilaku kekerasan dan diberikan terapi relaksasi terdapat 215 jiwa. Berdasarkan latar belakang terhadap data yang di dapat, penyusun tertarik untuk meneliti hubungan terapi relaksasi dengan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia paranoid di RSJ Soeprapto Bengkulu.
(terapi relaksasi) dan variabel dependen (perilaku kekerasan). Definisi operasional Terapi Relaksasi dengan hasil ukur 0 = kurang baik, dan 1 = baik. Perilaku kekerasan dengan hasil ukur 0= perilaku kekerasan tidak terkontrol dan 1=perilaku kekerasan terkontrol. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Daerah Kota Bengkulu pada tanggal 07 Agustus-21 Agustus 2014. Populasi pada penelitian ini adalah pasien yang mengalami Skizofrenia Paranoid yang melakukan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Kota Bengkulu berjumlah 215 jiwa. Sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan Random Sampling yaitu dengan pengambilan sampel secara acak. Jumlah sampel yang dibutuhkan 68 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Hasil analisis univariat distribusi frekuensi terapi relaksasi dari 68 responden hampir sebagian (30,9%) pasien skizofrenia melaksanakan terapi relaksasi dengan kategori kurang baik. Perilaku kekerasan hampir sebagian (39,7%) pasien skizofrenia mengalami perilaku kekerasan tidak terkontrol. Hasil analisis bivariat dapat dilihat pada table sebagai berikut:
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis metode deskriptif korelasional dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional, dimana variabel independen
24
Mitra Raflesia Vol. 7 No. 1 Januari-Juni 2015 Tabel 1 Hubungan terapi relaksasi dengan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia paranoid yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Kota Bengkulu 2014 No Variabel Perilaku Kekerasan Jumlah ρ value
Terapi Relaksasi
Perilaku kekerasan tidak terkontrol
n % Tabel 1 diatas menunjukkan tabulasi silang antara terapi relaksasi dengan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia paranoid yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Kota Bengkulu. Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 68 orang pasien yang melakukan terapi relaksasi nafas dalam dengan kategori kurang baik terdapat 21 orang pasien dengan perilaku kekerasan tidak terkontrol, dan 0 pasien yang perilaku kekerasannya terkontrol, sedangkan dari 47 orang yang melakukan terapi relaksasi dengan baik terdapat 6 orang yang perilaku kekerasannya tidak terkontrol dan 41 orang dengan perilaku kekerasan terkontrol. Untuk mengetahui hubungan antara terapi relaksasi dengan perilaku kekerasan di Rumah Sakit Jiwa Soeprapto Daerah Kota Bengkulu digunakan uji ChiSquare, didapat nilai ρ = 0,000, karena ρ < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan terapi relaksasi dengan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu.
25
Perilaku kekerasan terkontrol
n
%
n % PEMBAHASAN 0,000 Dari diketahui bahwa dari 68 orang pasien yang melakukan terapi relaksasi nafas dalam dengan kategori kurang baik terdapat 21 orang pasien dengan perilaku kekerasan tidak terkontrol. Pada hasil observasi, pasien tersebut melakukan terapi relaksasi 3 kali atau lebih dalam 1 minggu. Perilaku kekerasan ini terlihat dihari sebelum diberikan terapi relaksasi, setelah dua kali melakukan relaksasi, dihari berikutnya pasien menampakkan gejala agresif. Pelaksanaan terapi relaksasi tidak teratur dalam 1 minggu dan dengan jumlah frekuensi pemberian terapi relaksasi setiap pasien yang berbedabeda. Selain itu jumlah pasien juga yang tidak seimbang dengan jumlah perawat dalam setiap ruangan di RS Khusus Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu juga mempengaruhi ketidakefektifitan pelaksanaan asuhan keperawatan. Dari 47 orang yang melakukan terapi relaksasi dengan baik terdapat 6 orang yang perilaku kekerasannya
Mitra Raflesia Vol. 7 No. 1 Januari-Juni 2015 tidak terkontrol, hal ini disebabkan belum adekuatnya terapi relaksasi dilakukan oleh perawat, sehingga perilaku kekerasan kurang berhasil agar terkontrol dan masih kurang pahamnya perawat dalam memahami kondisi pasien dengan perilaku kekerasan, karena pasien perilaku kekerasaan juga disertai dengan waham curiga,keadaan ini mempersulit perawat untuk pelaksanaan terapi relaksasi disaat pasien menunjukkan gejala agresif untuk melakukan perilaku kekerasan (Kelly, 2004) Sejalan dengan pernyataan Febriani (2008) menyatakan pasien dengan skizofrenia paranoid memiliki kecurigaan yang sangat sensitive pada seseorang. Keadaan psikologis yang buruk memiliki resiko timbulnya perilaku kekerasan yang terjadi berulang. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan tingkah laku desruktif, seperti tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain dan lingkungan. Pasien Skizofrenia paranoid terdapat gejala waham yang biasanya mengalami persepsi terhadap lingkungan yang tidak akurat. Hal ini disebabkan karena perubahan kronik pada struktur atau fungsi jaringan otak, akibat dari masalah disfungsi fisik progresif yang menyebabkan curiga kepada oreng lain sehingga dapat menimbulkan emosi dan stress yang berlebihan. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan
perasaan yang tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan. Dengan demikian pasien Skizofrenia paranoid yang mengalami waham dapat mengalami perilaku kekeasan . Hal ini sesusai dengan yang dikemukakan oleh Kelly, (2004) yaitu Skizofrenia paranoid adalah kecurigaan pervasive dan tidak beralasan dan tidak percaya kepada orang lain. Ada pengharapan ummnya yang memanfaatkan atau membahayakan orang lain dalam beberapa cara. Gejala-gejalanya mencakup berhati-hati dalam berhubungan dengan orang lain, kecendrungan patologis, perasaan, dan kurangnya rasa humor Tekhnik nafas dalam merupakan salah satu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam , nafas lambat (menahan inspirasi secara maksismal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan, untuk meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer, 2004). Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan tekhnik relaksasi menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan ketegangan otot (Smeltzer, 2004). Miltenberger (2004), mengemukakan beberapa macam relaksasi otot, relaksasi pernafasan, meditasi, dan relaksasi perilaku. Kelly (2004), menyatakan relaksasi merupakan terapi relaksasi
26
Mitra Raflesia Vol. 7 No. 1 Januari-Juni 2015 dengan mengontrol pernafasan yang tepat dan efektif menurunkan depresi, ansietas, sifat cepat marah atau mudah tersinggung. Perilaku kekerasan merupakan respon dan perilaku manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai agresi fisik yang dilakukan seseorang terhadap orang lain atau sesuatu. Perilaku kekerasan terjadi karena penilaian yang salah terhadap situasi yang diterima oleh seseorang yang menyebabkan kemarahan, karena perilaku kekerasan merupakan hasil dari marah yang ekstrim atau ketakutan (panik) sebagai respon terhadap perasaan terancam (Stuart, 2008). Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart, 2008). Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya. Namun demikian factor budaya perlu dipertimbangkan sehingga keuntungan kedua belah pihak dapat dicapai. Banyak situasi kehidupan yang menimbulkan kemarahan, missal fungsi tubuh yang terganggu sehingga harus masuk rumah sakit, peran yang tidak dapat dilakukan karena dirawat di rumah sakit, dan banyak hal lain yang dapat menjengkelkan individu. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara terapi relaksasi dengan perilaku kekerasan pada pasien skkifrenia paranoid di RS Khusus Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu. Hal ini dibuktikan dari hasil
analis data digunakan uji Chi-Square, didapat nilai ρ = 0,000, karena ρ < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan terapi relaksasi dengan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Hasil penelitian ini ada hubungan terapi relaksasi dengan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia paranoid yang dirawat di Rumah Sakit Khusus Jiwa Soeprapto Daerah Kota Bengkulu 2014. SARAN Disarankan terapi relaksasi dilaksanakan secara adekuat agar dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan di RS Khusus Jiwa Soeprapto Daerah Bengkulu. DAFTAR PUSTAKA Bellack & Hersen.2004. Tekhnik Relaksasi. Bandung : Nuha Medika Febriani. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika Ibrahim. 2005. Gangguan Jiwa. Yogyakarta: Moco Media Kelly, Tracey. 2004. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC Stuart dan Sundeen .2004.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Yosep. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama
27
Mitra Raflesia Vol. 7 No. 1 Januari-Juni 2015