TEORI KEBENARAN MENURUT AL-GHAZALI DAN IBNU KHALDUN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU DAKWAH Andi Fariana1
Abstract This study attempted to explore the idea of two figures from the Islamic philosophy world, AlGhazali and Ibnu Khaldun, whose greatness was recognized by the western world. Both of these philosophers have the similar viewpoint about truth, that the ultimate truth is the truth that comes from religion and in this case, truth came from the revelation spoken by God through the Prophet. However, Al-Ghazali believes that the ultimate truth that comes from God does not diminish the importance of the human mind as an instrument or as a tool to find the ultimate truth. Meanwhile, Ibnu Khaldun’s perception is more "down to earth". Ibnu Khaldun’s deep understanding in the philosophy of history led him to intelligently apply the essence of the truth that comes from religion in social theories.
Key words: the truth, al-Ghazali, Ibnu Khaldun
1
Dosen tetap Institute Perbanas, Jakarta, Alamat email :
[email protected]
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 1-15
A. Pendahuluan Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat.2 Menurut Pythagoras, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan atau pengetahuan karena secara etimologis (arti kata), kata filsafat berasal dari kata Yunani yaitu philosophia yang artinya cinta kearifan. Akar katanya philos (philia: cinta, kekasih, sahabat, kecenderungan kepada sesuatu) dan sophia (kearifan, kebijaksanaan, pengetahuan).3 Sedangkan menurut Immanuel Kant, filsafat adalah dasar semua pengetahuan yang mempersoalkan cara-cara kita mengetahui dan mengembangkan pemikiran yang mencakup sampai batas apa kita dapat mengetahui segala sesuatu, bagaimana saja perilaku manusia, serta hal-hal apa saja kita dapat memanfaatkan pengetahuan yang kita ketahui itu.4 Sedangkan di dalam bahasa Arab, filsafat dikenal dengan sebutan falsafah, berakar dari kata falsafa yang memiliki arti al-hikmah.5 Al-hikmah menurut al-Arabi di dalam kitabnya berjudul Fushus al-Hikam berarti proses pencarian hakikat sesuatu dan perbuatan. Sementara, Ar Raghib mengatakan bahwa al-hikmah adalah memperoleh kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal.6 Menurut Murthada Muthahhari, dalam keadaan bagaimanapun orang harus menjadi filsuf dan dalam proses itu haruslah dimengerti bahwa penolakan terhadap filsafat dengan sendirinya merupakan suatu filsafat. Jadi, tegas Muthahhari, orang-orang yang berpikir bahwa karena telah menguasai beberapa cabang ilmu pengetahuan tanpa mengadakan korelasi antara cabang-cabang sains itu ke dalam pemikiran-pemikiran filsafat akan menolak dan mengingkari filsafat, sesungguhnya ia telah tersesat jalan sampai pada ukuran yang berbahaya.7 Kemudian perlu diketahui juga pengertian Ilmu. Pengertian ilmu dan pengetahuan sebenarnya berbeda. Apabila merujuk kepada pengertian ilmu dalam arti al-ilm sebagaimana bahasa Arab maka itu berarti sangat luas. The Liang Gie mengemukakan bahwa pengertian ilmu dalam tiga makna yakni sebagai aktivitas, sebagai metode, dan sebagai pengetahuan. Sebagai aktivitas atau sebuah proses, juga mengarah kepada tujuan-tujuan tertentu karena
2
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm XI Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Prestasi pustakaraya, Jakarta, 2013, hlm 23 4 Andi Hakim Nasution, Pengantar ke filsafat sains, Litera antarnusa, Bogor, 1999, hlm 23 5 Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat agama, Pustaka Setia, bandung, 2012, hlm3 6 Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, Idem, hlm 4 7 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm 19 3
2
Teori Kebenaran menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun......(Andi Fariana)
para ilmuwan dalam melakukan aktivitas ilmiah mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Ilmu melayani tujuan tertentu yang diinginkan oleh ilmuwan. 8 Berdasarkan uraian The Liang Gie tersebut di atas, dapat dimengerti apabila ilmu kemudian memberikan dampak-dampak tertentu karena pesatnya perkembangan ilmu menyebabkan lahirnya berbagai disiplin ilmu, namun seiring dengan perkembangan tersebut maka tidak dapat dipungkiri terjadinya sekat yang semakin tajam antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya bahkan kecenderungan lahirnya arogansi ilmu antara disiplin ilmu yang satu dengan disiplin ilmu yang lainnya. Hal ini menyebabkan terpisahnya ilmu dengan nilai luhur ilmu itu sendiri yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia,9 Bahkan bukan hal yang tidak sedikit jika belakangan ini perkembangan ilmu menyebabkan terjadinya bencana bagi manusia. Bahkan C.A. van Peursen mengatakan bahwa ilmu saat ini merupakan faktor yang menentukan kehidupan sehari-hari sehingga kehidupan sehari-hari ingin berperan juga di dalam ilmu. Arah atau haluan yang akan ditempuh oleh ilmu makin lama makin bergantung pada keputusan politik. Ini menyangkut perkembangan ilmu-ilmu dalam praktik.10 Nasution mengatakan bahwa: Kemampuan berpikir dan bernalar membuat kita sebagai manusia menemukan berbagai pengetahuan baru. Pengetahuan baru itu kemudian kita gunakan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari lingkungan alam yang tersedia di sekitar kita. Akan tetapi sering pula kita alami bahwa apa yang kita temukan dan terapkan agar mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari teknologi yang kita hasilkan itu menimbulkan pengaruh sampingan yang menimbulkan kemudaratan.11 Di sinilah arti penting kehadiran filsafat ilmu, yaitu sebagai suatu upaya untuk meletakkan kembali peran dan fungsi iptek sesuai dengan tujuan semula yaitu mendasarkan diri dan peduli terhadap kebahagiaan umat manusia. Filsafat ilmu jangan menghambat perkembangan ilmu tapi meluruskan agar perkembangan ilmu kembali ke tujuan semula, yaitu menyejahterakan manusia. Filsafat ilmu berpandangan bahwa ilmu tidak bebas nilai, tetapi harus dibatasi oleh nilai moral dan agama.12 Dalam masyarakat beragama ilmu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari nilainilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia hanya menemukan sumber itu dan kemudian merekayasanya untuk dijadikan instrumen 8
The liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yayasan studi ilmu dan tekknologi, Jogyakarta, 1987, hlm 39 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm XII 10 C.A. Van Peursen, Susunan llmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm 3 11 Andi Hakim Nasution, opcit, hlm 193 12 E. Saefullah, Paper Filsafat ilmu lanjut Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran, Bandung, 23 Februari 2013 9
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 1-15
kehidupan.13 Salah satu contoh bagaimana Tuhan mengatur perlunya menjaga keseimbangan dalam kehidupan, baik makhluk yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa sebagaimana disebutkan di dalam Alquran surat ar-Rahman ayat: 3-9 14 yang artinya: Dia (Allah) menciptakan manusia; Mengajarnya pandai berbicara; Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan; Tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk kepada-Nya; Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan; Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu; Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu. Di dalam interaksinya di alam semesta ini, manusia berpikir dan bertanya karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing.15 Kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis, di mana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu.16 Salah satu faktor penyebab manusia berpikir adalah rasa ingin tahu, dan rasa ingin tahu sebenarnya merupakan takdir (sudah merupakan satu kesatuan dengan penciptaan manusia).17 Semua pengetahuan yang telah kita yakini kebenarannya berdasarkan nalar akan kita tolak kebenarannya segera setelah kita mengamati hal yang bertentangan dengan nalar kita itu. Di pihak lain penolakan kebenaran itu menimbulkan pengetahuan lain yang baru.18 Herman Soewardi19 mengemukakan suatu konsep tentang nalar, yakni nalar islami yang merupakan interaksi antara fitrah dengan wahyu dan menghasilkan pengetahuan. Berdasarkan pemaparan di atas, dilakukan penelusuran terhadap kajian atas topik yang sama. Salah satunya adalah tulisan atas kajian yang dilakukan dan ditulis oleh
13
Amsal Bakhtiar, opcit, hlm XIII Quran Tajwid dan terjemahnya, maghfirah pustaka, Jakarta, 2006 15 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu,Ssebuah pengantar populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2009, hlm 42-43 16 Jujun S Suriasumantri, Idem, hlm 43 17 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu. PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012 , hlm 5 18 Andi Hakim Nasution, opcit, hlm 22 19 Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Bakti Mandiri, Bandung, 2004, hlm 36 14
4
Teori Kebenaran menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun......(Andi Fariana)
Baharudin bin Wahab.20Tulisan dengan tema “Analisa dan bandingkan pemikiran dua tokoh pendidik muslim” menganalisa dan membandingkan secara umum pemikiran kedua tokoh yaitu Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun terutama perbandingan atas pemikiran kedua tokoh dalam bidang ilmu dan pendidikan. Sementara di dalam kajian ini akan dilakukan analisa dan penelusuran atas pemikiran kedua tokoh secara khusus dalam hal teori kebenaran yang dikemukakan. B. Teori kebenaran dalam filsafat ilmu Pengetahuan adalah semua yang diketahui. Semakin bertambah umur manusia semakin banyak pengetahuannya. Dilihat dari segi motif, pengetahuan diperoleh dengan dua cara yaitu, pertama pengetahuan yang diperoleh dengan begitu saja; tanpa niat, tanpa motif, tanpa keingintahuan, dan tanpa usaha. kedua, pengetahuan yang diperoleh karena diusahakan atas dasar ingin tahu.21 Kebenaran dengan ukuran akal tentu memiliki keterbatasan. Padahal pengetahuan manusia cenderung pada sesuatu itu adalah suatu kebenaran. Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupam manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin Salam mengemukakan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu: Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik. Dengan common sense, semua orang sampai pada keyakinan secara umum tentang sesuatu, di mana mereka akan berpendapat sama semuanya. Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science Ketiga, pengetahuan filsafati, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafati lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya.
20 Baharudin bin Wahab, Analisa dan bandingkan pemikiran dua tokoh pendidik muslim, Http://www.academia.edu/447914, diunduh 10 Januari 2014 21 Ahmad Tafsir, opcit, hlm. 4.
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 1-15
Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.22 Sementara itu, Prof. E.Saefullah mengatakan bahwa pengetahuan manusia berupa:23 1. Pengetahuan biasa, sifatnya subyektif. 2. Pengetahuan ilmiah, pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang khas/spesifik dengan menerapkan metodologi yang khas yang ditetapkan para ahli sejenis. 3. Pengetahuan filsafati, bersifat mendasar dan menyeluruh (holistic) dengan model pemikiran yang analitik, kritis, dan spekulatif. 4. Pengetahuan agama, sikap dogmatis, didasari oleh keyakinan Selanjutnya perlu diketahui bahwa pengetahuan bersumber dari empat hal yaitu24: 1. Empirisme, yaitu pengetahuan yang bersumber dari pengalaman 2. Rasionalisme, yaitu pengetahuan yang berasal dan diukur dengan akal 3. Intuisi yaitu pengetahuan yang merupakan hasil dari evolusi pemahaman yang tinggi. Maslow mengatakan instuisi merupakan pengalaman puncak; Hal yang mirip dengan intuisi adalah iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh agama, yang di dalam agama Islam disebut dengan ma’rifat, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan diperoleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan sanggup menerima pengetahuan tersebut. Intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan ma’rifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran dari Tuhan. 4. Wahyu, pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Wahyu diperlukan sebagai petunjuk, sehingga kita memperoleh premis yang benar. Inilah fungsi wahyu. Dalam ilmu pengetahuan ialah memberikan petunjuk dalam upaya pencarian sampai diketemukannya premis yang benar. Wahyu bukan memberi petunjuk untuk perikehidupan saja (life), tetapi juga petunjuk untuk nalar (thought). Hal ini menimbulkan pengertian yang mendalam tentang bunyi ayat di dalam QS al-Alaq: 4 yang artinya ‘yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam’. Di sini kalam diartikan sebagai the words of Allah. 25 Kebenaran selalu dicari manusia, namun kebenaran itu menjadi relatif manakala diukur secara subyektif karena benar menurut seseorang belum tentu benar menurut orang lain. Filsafat agama tidak terlepas dari cara menentukan dan mengukur kebenaran.26 selanjutnya sebagaimana dikemukakan di atas bahwa berpikir merupakan suatu
22
Amsal Bakhtiar, opcit, hlm 87-88 E. Saefullah, op.cit. 24 Amsal Bakhtiar, opcit, hlm 98-110 25 Herman Soewardi, opcit, hlm 37 26 Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, opcit, hlm 41 23
6
Teori Kebenaran menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun......(Andi Fariana)
kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar, maka, perlu diketahui bahwa ada tiga jenis kebenaran yaitu 27: 1. Kebenaran epistemologis, yaitu kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. 2. Kebenaran ontologis, yaitu kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. 3. Kebenaran semantic, yaitu kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Sementara di dalam buku Mohammad Adib
28
disebutkan bahwa ilmu dalam
menemukan kebenaran, menyandarkan kepada teori kebenaran yaitu: koherensi, korespodensi, positivistic, pragmatic, esensialisme, konstruktivisme, religiusisme. Sedangkan Langeveld sampai pada kesimpulan, bahwa kebenaran tidak hanya berdasarkan rasio, kepercayaan, dugaan, dan sebagainya, tetapi ia berdasarkan perhubungan antara ‘jiwa’ kita dan ‘sesuatu’ yang menjadi sasarannya.29 Bahkan Rene Descartes, seorang filosof Prancis berpandangan bahwa ilmu (filsafat) dalam jalan pikirannya mencapai kebenaran amat banyak berdasarkan axioma dan kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi. Kebenaran itu kerapkali berasal dari agama. Dalam istilah agama, kebenaran yang demikian itu disebut dogma.30 C. Teori kebenaran menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun 1. Sekilas antara Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali yang dikenal di Barat dengan sebutan algazel. Ia lahir pada 45 H (1058 M) di Thusia, Khurasan, Persia (Iran). Ia dikenal sebagai seorang filsuf, teolog, ahli hokum, dan ahli tasawuf.31 Al-Ghazali dikenal karena pemikiran-pemikirannya yang banyak dituangkan dalam berbagai buku, namun yang terkenal sampai ke Indonesia adalah bukunya yang berjudul Ihya Ulum al-Din. Di dalam Ihya Ulum al-Din, al- Ghazali bicara banyak tentang pendidikan dengan berbagai metode pendidikan seperti latihan, pembiasaan, permainan, termasuk kode etik guru.32 Filsafat menurut al-Ghazali terbagi enam bagian yaitu: ilmu pasti, ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak. Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang
27
Amsal Bakhtiar, opcit, hlm 111-121 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2010, hlm 121 29 Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, PT Sofmedia, Jakarta, 2012, hlm 10 30 Solly Lubis, idem, hlm 11 31 Wahyu Murtiningsih, Para filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, IRCiSoD, Jogyakarta, 2012, hlm 72 32 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 8. 28
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 1-15
filsafat kecuali filsafat ketuhanan (metafisika), di mana para filsuf amat mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama.33 Sedangkan Ibnu Khaldun bernama lengkap Abdullah al-Rahman ibnu Muhammad lahir pada tahun 723 H. (1332 M.) di Tunisia. Ia keturunan bangsawan yang berasal dari Seville (Spanyol, yang berpenduduk Islam)34. Ia dikenal sebagai seorang pemikir dalam bidang filsafat, sosiologi, sejarah, politik, ketatanegaraan, pendidikan, dan ekonomi. Kepakarannya dalam berbagai disiplin ilmu tersebut tergambar di dalam bukunya yang terkenal berjudul al-Muqaddimah. Pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun saat itu tergolong sangat maju karena melampaui masanya. Salah satu buktinya adalah pemikirannya tentang pemerintahan. Ia mengatakan bahwa kehancuran suatu Negara disebabkan oleh ketidakadilan, kekecewaan rakyat, dan tirani. Ketiga faktor yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun tersebut telah menjadi kenyataan saat ini. Selain sebagai seorang sejarawan, Ibnu khaldun juga dikenal sebagai perintis pendidikan modern. Ia percaya pada kekuatan akal, bukan kekuatan fisik.35 Ibnu Khaldun telah menurunkan filsafat dari pengembaraan metafisika kepada kehidupan manusia yang nyata dalam kehidupan sosial politik yang dipengaruhi oleh berbagai faktor historis yang melingkupinya, baik yang bersifat material maupun kultural. Karena itu Henry Corbin menyatakan bahwa Ibnu Khaldun merupakan pemikir yang mewakili kecenderungan dari arah filsafat Islam.36 Berdasarkan uraian tersebut di atas, perlu dijelaskan bahwa antara al- Ghazali dengan Ibnu Khaldun memiliki konsep yang sama di dalam beberapa aspek khususnya pendapat yang merupakan buah pemikirannya tentang kebenaran. Al-Ghazali yang hidup hampir 300 tahun mendahului Ibnu Khaldun telah memberikan inspirasi kepada Ibnu Khaldun di dalam mengembangkan pemikiran dan teori-teorinya tentang kemasyarakatan. Teologi al-Ghazali yang sebelumnya telah sukses mematahkan pengaruh filsafat dan hellenisme, tetap berpengaruh kuat hingga masa hidup Ibnu Khaldun. Sebab setelah wafatnya al-Ghazali tidak ada lagi filosof tangguh yang muncul dalam Islam. Tampaknya para filosof telah berada di bawah pengaruh doktrin al-Ghazali baik di Timur maupun di Barat, sejak dari Spanyol hingga Afrika Utara.37 Jelas terlihat bahwa Ibnu Khaldun banyak dipengaruhi oleh pemikiran sebelumnya khususnya dalam hal ini adalah al-Ghazali. Pengaruh pemikiran ini tidak mengurangi orisinalitas pemikiran al-Ghazali karena orisinalitas tidak berarti harus sesuatu yang baru 33
Dedi Supriyadi, opcit, hlm. 155-156. Wahyu Murtiningsih, opcit, hlm. 269. 35 Wahyu Murtiningsih, Idem, hlm. 271. 36 Sahrul Mauludi, Ibnu Khaldun, perintis kajian ilmu social modern, Dian Rakyat, Jakarta, 2012, hlm 3 37 Fuad Baali & Ali Wardi dalam Sahrul Mauludi, opcit, hlm 19 34
8
Teori Kebenaran menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun......(Andi Fariana)
tetapi dapat juga berarti mengembangkan dan melahirkan sudut pandang baru atas pemikiran terdahulu. Oleh karena itu kajian ini dianggap layak untuk mengetahui benang merah antara teori kebenaran al-Ghazali dengan teori kebenaran Ibnu Khaldun. Benang merah pemikiran Ibnu Khaldun dengan pemikiran al-Ghazali bahkan juga pemikiran Ibnu Rusyd tergambar di dalam kutipan alinea berikut.38 Menurut beberapa penulis, Ibnu Khaldun adalah pengikut al-Ghazali. Menurut yang lainnya, Ia adalah pengikut Ibnu Rusyd. Ini Nampak aneh mengingat Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd bermusuhan satu sama lainnya dalam hal orientasi filsafat mereka. Ibnu Rusyd adalah murid dan pendukung Aristoteles, al-Ghazali adalah musuhnya yang paling utama. Atas kontradiksi ini, Baali & Wardi berpendapat bahwa Ibnu Khaldun dapat ditempatkan sebagai pengikut al-Ghazali dan juga pengikut Ibnu Rusyd sekaligus. Dia mengambil dari al-Ghazali permusuhannya terhadap logika Aristoteles, dan pada saat yang sama mengambil sikap-sikap baik Ibnu Rusyd terhadap massa (yang mencoba menjembatani antara pemikiran filosofis dengan massa). Dengan kombinasi unik dari dua pemikiran yang telah ada sebelumnya itu, Ibnu Khaldun membangun teorinya yang sangat modern. Karena logika Aristoteles, sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazali tidak berguna dalam urusan agama serta urusan duniawi dan karena cara hidup massa berhak mendapat perhatian dari para filosof sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rusyd, seseorang berhak penuh untuk mencari logika baru atau yang lebih baik untuk memahami kehidupan nyata. 2. Teori Kebenaran Menurut al-Ghazali dan Ibnu Khaldun Sebagaimana diungkapkan di atas bahwa kebenaran ada tiga bentuknya yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantik. Dari ketiga jenis kebenaran tersebut maka kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berkaitan erat dengan kedirian manusia karena kebenaran epistemologis merupakan kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Ada empat teori yang dapat menjelaskan kebenaran epistemologis; Salah satu teorinya adalah bahwa agama merupakan teori kebenaran yaitu segala sesuatu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.39 Oleh karena itu, wajar apabila al-Ghazali tidak puas dengan penemuan-penemuan akalnya dalam mencari suatu kebenaran. Ia menemukan kebenaran di dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang amat panjang dan berbelit-belit. Tasawuf yang menghilangkan keraguannya tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang oleh kaum sufi dianggap sebagai kebenaran mutlak.40
38
Sahrul Maududi, opcit, hlm 60-61 Amsal Bakhtiar, opcit, hlm 121 40 Amsal Bakhtiar, opcit, hlm123 39
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 1-15
Ada empat kelompok aliran dalam Islam yang menjadi sasaran kritik al-Ghazali dalam upayanya mencari dan menemukan kebenaran, yaitu pertama, kelompok teolog Islam yang dikatakannya sebagai kelompok intelektual dan pemikir. Kedua, kelompok bathiniyyah yang merupakan salah satu aliran dalam Syiah Ismailiyyah, yang selalu bergantung kepada Imam al-Munthazhar dan mendapat pengajaran darinya secara ghaib. Ketiga, kelompok filosof yang dikatakan sebagai ahli logika dan mengutamakan akal. Keempat, adalah kelompok ahli tasawuf yang dikatakan sebagai kalangan elitis Tuhan.41 Memperhatikan bahwa semua kelompok sama-sama sedang menempuh jalan mencari kebenaran hakiki, maka al-Ghazali mengalami keraguan. Merujuk kepada pendapat Francis Bacon (1561-1626) yang mengatakan bahwa ada dua syarat untuk memperoleh kebenaran obyektif, yaitu pertama selalu menggunakan induksi, dan kedua selalu menghindari “idola” (ide yang berprasangka) sebelum mengambil kesimpulan, yaitu dengan menguji teori yang berkembang sebelumnya dengan menaruh keraguan, maka al-Ghazali menyelidiki secara mendalam keempat aliran tersebut sampai secara induktif dapat menyimpulkan kebenaran hakiki, yang beranggapan bahwa kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya tanpa sedikit pun keraguan.42 Al-Ghazali tidak bisa menerima kebenaran hanya dengan pendekatan akal karena akal hanyalah alat bantu untuk mencari kebenaran hakiki. Oleh karena itu, agama menurut al-Ghazali yang menjadi sumber kebenaran. Dan jika agama yang menjadi sumber dan tolok ukur kebenaran maka semua persoalan termasuk persoalan yang sifatnya asasi yang menjadi bahan kajian manusia seperti tentang penciptaan alam, penciptaan manusia dan hal-hal yang berkaitan dengannya akan dijawab dengan pendekatan agama yaitu dalam hal ini adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. Menurut Al-Ghazali, akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan Alquran bagaikan matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lainnya saling membutuhkan, kecuali orang-orang bodoh, yakni orang-orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan Alquran. Dengan demikian, menurut al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal. Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa akal dan syara’ memiliki keistimewaan dan memiliki bidang kompetensi masing-masing yang tidak pernah dilanggarnya.43 Di dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menyanggah adanya keharusan hukum kausalitas. Penentangan tersebut berkaitan dengan pendapat Aristoteles dan 41
Tahafut al-falasifah,http://pondokpesantren.net, diunduh 10 April 2014 ibid 43 Dedi Supriyadi, opcit, hlm 157 42
10
Teori Kebenaran menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun......(Andi Fariana)
pengikutnya termasuk Ibnu Sina dan Al-Farabi, yang berpendapat bahwa pengetahuan empiris mengharuskan adanya keterkaitan hubungan sebab akibat antara obyek-obyek dan kejadian-kejadian. Yang menjadi keberatan al-Ghazali terhadap pendapat Aristoteles dan pengikut-pengikutnya adalah karena adanya hubungan sebab akibat itu bersifat wajib atau harus. Menurut al-Ghazali, hubungan antara yang dipercaya sebagai sebab dan akibat bukanlah hal yang wajib. Keduanya mempunyai individualitas sendiri-sendiri yang masing-masing tidak harus sebagai penguat atau penolak lainnya.44 Sebagai argumentasi atas penolakan hubungan sebab akibat yang merupakan suatu kewajiban atau keharusan, al-Ghazali memberikan banyak contoh. antara lain
bahwa
seseorang bisa kenyang tanpa harus makan. Kemudian kertas tidak harus menjadi abu setelah terkena api karena bisa jadi kertas hangus terbakar tanpa api atau bisa saja kertas bertemu api tetapi tidak menjadikannya hangus menjadi debu. Bahkan api yang panas berubah menjadi dingin ketika membakar Nabi Ibrahim.
Semua hal tersebut
memungkinkan karena kehendak dan kekuasaan Tuhan. Jadi hukum kausalitas harus disertai dengan kehendak Tuhan. Sehinga bukan merupakan sesuatu yang wajib dan harus. Menurut al-Ghazali, kekuasaan Tuhan dapat meliputi hal yang aneh-aneh dan misterius.45 Al-Ghazali menandaskan bahwa kekuasaan Tuhan meliputi fakta-fakta misterius dan aneh yang kita belum saksikan semuanya. Fakta-fakta tersebut dimaksudkan oleh al-Ghazali kepada fakta-fakta sejarah seperti berubahnya tongkat menjadi ular atau terbelahnya lautan dan lain sebagainya yang merupakan hal yang di luar batas kemampuan akal untuk menelaahnya. Hal ini karena sempitnya pemahaman dan kurangnya kemampuan akal untuk memahami rahasia-rahasia Tuhan.46 Dengan demikian, al-Ghazali menjadikan akal sebagai perantara dalam menemukan kebenaran-kebenaran yang bersumber pada Tuhan dan dengannya pula al-Ghazali mengakui keterbatasan kemampuan akal di dalam mengungkap kebenaran-kebenaran yang hakiki yang hanya dimiliki oleh Tuhan. Cara berpikir al-Ghazali ini disebut dengan rasionalisme yaitu paham yang mengatakan bahwa akal adalah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal dan temuannya juga diukur dengan akal pula. Akal dipergunakan karena akal pada setiap orang dianggap mampu bekerja dengan aturan yang sama yaitu logika yang ada pada setiap akal manusia.47 Perjalanan al-Ghazali mencari kebenaran mulai dari rasionalisme, empirisme sampai pada tingkat sufi, karena rasionalisme dan empirisme keduanya bersumber dari akal. 44
Fuad Mahbub Siraj, Ibnu Rusyd, cahaya Islam di Barat, Dian Rakyat, Jakarta, 2012, hlm 55 Ibid, hlm 56 46 Ibid, hlm 57 47 Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, opcit, hlm 47 45
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 1-15
Sementara diperlukan kebenaran yang hakiki tentang alam dan sang pencipta, dan dari sinilah lahir ilmu laduni (yang ditemuinya melalui jalan sufisme).48 Hal ini memberikan keyakinan tentang kebenaran langsung ke dalam hati seorang hamba dengan jalan mukasyafah (penyingkapan) atau musyadhadah (penyaksian) oleh Tuhan sebagai kebenaran itu sendiri (al Haqq).49 Sementara itu, Ibnu Khaldun yang terkenal sebagai seorang filosof sejarah dan ilmu sosial memulai pemikirannya berdasarkan filsafat yang sering disebut hikmah. Ibnu Khaldun melatarbelakangi semua pemikirannya tentang sejarah, sosial, dan kemasyarakatan dengan menerapkan ilmu hikmah yang dimilikinya. Bila Ibnu Khaldun menerima dan menjadikan filsafat sebagai dasar pijak pikirannya, berarti ada kemungkinan ia menerima filsafat dalam artian Ibnu Rusyd yang menyatakan bahwa filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti akan adanya pencipta, yaitu dari segi bahwa segala wujud ini adalah ciptaan sehingga merupakan petunjuk bagi adanya pencipta itu setelah diketahui tentang segi penciptaan padanya. Maka semakin sempurna pengetahuan itu, semakin sempurna pula pengetahuan tentang pencipta.50 Ibnu Khaldun melakukan studi tentang masyarakat dan menjadikan pemikirannya tersebut sebagai ilmu yang dipergunakan untuk membedakan kebenaran dan kesalahan dalam merekam peristiwa-peristiwa dan menunjukkan yang mungkin dan yang tidak mungkin terjadi. Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa filsafat merupakan metode berpikir secara sistimatis, rasional dan koheren yang ditujukan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang fundamental. Oleh karena itu ketika Ibnu Khaldun memusatkan perhatiannya kepada kebenaran sejarah, maka Ibnu Khaldun juga melakukan dengan menggunakan metode filsafat empirisme.51 Jika al-Ghazali tampil sebagai kritikus terbesar dan secara khusus menyerang filsafat al-Farabi dan ibnu Sina, yang menurutnya merupakan eksponen terbaik dari filsafat Aristoteles. Dalam Tahafut al-Falasifah, ia mengkritik duapuluh teori dan tiga di antaranya dianggap bertentangan dengan akidah Islam (karenanya disebut kafir) dan yang lainnya bid’ah. Namun ibnu Khaldun tidak memasuki wilayah yang diperdebatkan oleh al-Ghazali tersebut. Justru di antara al-Ghazali dan ibnu Rusyd sebagai dua orang gurunya, ibnu Khaldun memandang hakikat penciptaan alam, bagaimana Tuhan menciptakan alam semesta, keabadian, akal, dan lain-lainnya. Ibnu Khaldun memilih lebih dipengaruhi oleh al48
Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, opcit, hlm 49 ibid 50 Sahrul Mauludi, opcit, hlm 53 51 Sahrul Maududi, opcit, hlm 61 49
12
Teori Kebenaran menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun......(Andi Fariana)
Ghazali, yaitu terbukti dari sikapnya yang menolak filsafat Aristoteles, hanya saja filsafat ibnu Khaldun tidak diterapkan kepada sains alam tetapi diterapkan kepada kajian sosial dan sejarah, sebagaimana disampaikan oleh Nurcholis Madjid bahwa ibnu Khaldun tidak menaruh perhatian pada sains alam, namun dalam bidang persoalan sosial ibnu Khaldun memberikan sumbangan keilmuan yang tiada taranya, tidak saja sepanjang sejarah intelektual Islam, tapi juga sepanjang warisan keilmuan umat manusia pada umumnya.52 Bagi ibnu Khaldun, agama merupakan bagian dari kekuatan-kekuatan sosial yang sangat penting, seperti halnya ashobiyah yang berfungsi untuk memperkuat solidaritas kelompok dan membentuk sikap moral. Ibnu Khaldun tidak menyukai idealisme
yang
bersifat religius atau filosofis yang tidak menunjukan fungsi sosial. Oleh karena itu ibnu Khaldun juga tidak menyukai filsafat
yang dapat memperlemah semangat keagamaan
seseorang.53 Menurut Majid Fakhry, metode positivisme ibnu Khaldun yang dipengaruhi oleh elemen mistik dan religius telah membawanya seperti al-Ghazali sebelumnya untuk menerima logika sebagai instrumen berpikir. Menurut ibnu Khaldun, logika membahas tentang kaidah-kaidah yang memungkinkan seseorang sanggup membedakan antara yang benar dan salah.54 D. Penutup Al-Ghazali dan ibnu Khaldun adalah dua tokoh di dalam filsafat yang berasal dari dunia Islam, namun diakui keberadaannya oleh Barat. Al-Ghazali sebagai seorang filosof yang hidupnya hampir 300 tahun lebih dahulu daripada ibnu Khaldun, telah memberikan inspirasi dalam banyak pemikiran-pemikiran ibnu Khaldun. Sejarah mencatat bahwa kebesaran al-Ghazali pada zamannya di mana tengah berlangsung pertumbuhan pemikiran yang luar biasa pesat telah memberikan pengaruh kepada para filosof, termasuk ibnu Khaldun. Sekalipun demikian, pengaruh pemikiran al-Ghazali bagi ibnu Khaldun tidak mengurangi orisinalitas pemikiran ibnu Khaldun. Di dalam memandang suatu kebenaran, kedua filosof ini memiliki sudut pandang yang sama, yaitu bahwa kebenaran hakiki hanyalah kebenaran yang bersumber dari agama dan dalam hal ini melalui wahyu yang disampaikan oleh Tuhan dengan perantaraan nabi. Selanjutnya al-Ghazali meyakini bahwa kebenaran hakiki yang bersumber dari Tuhan tidak mengurangi pentingnya keberadaan akal sebagai instrumen atau sebagai salah satu alat
52
Sahrul Maududi, opcit, hlm 77 ibid 54 Sahrul Maududi, opcit, hlm 78 53
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014: 1-15
untuk menemukan kebenaran hakiki tersebut. Namun menurut al-Ghazali yang pemikirannya telah berevolusi dari rasionalisme kemudian empirisme akhirnya mistisisme lewat tasawuf dan sufisme, beranggapan bahwa kebenaran hakiki tersebut diperoleh melalui cara penyinaran dan penyingkapan tabir oleh Tuhan secara langsung karena kebenaran hakiki itu milik Sang Pemilik Kebenaran itu sendiri atau al-Haqq, inilah kebenaran mutlak menurut al-Ghazali Sementara itu, ibnu Khaldun lebih “membumi”. Ibnu Khaldun seperti halnya al-Ghazali meyakini bahwa kebenaran itu bersumber dari agama, namun pemahamannya yang mendalam tentang filsafat sejarah menyebabkan ibnu Khaldun mampu secara cerdas menerapkan hakikat kebenaran yang bersumber dari agama di dalam teori-teori kemasyarakatan. Ibnu Khaldun beranggapan bahwa kebenaran mutlak yang bersumber pada Agama dapat terimplementasi dengan baik dalam kehidupan sosial bila dipadukan dengan kebenaran yang merupakan olah pikir akal.
14
Teori Kebenaran menurut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun......(Andi Fariana)
DAFTAR PUSTAKA Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012. Al-Quran Tajwid dan terjemahnya, Maghfirah Pustaka, Jakarta, 2006. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004. Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains, Litera Antannusa, Bogor, 1999. Baharudin bin Wahab, Analisa dan bandingkan pemikiran dua tokoh pendidik muslim, Http://www.academia.edu/447914, diunduh 10 Januari 2014. C.A. Van Peursen, Susunan ilmu Pengetahuan, Gramedia, Jakarta, 1985. Dedi Supriyadi dan Mustofa Hasan, Filsafat Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2012. Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009. E Saefullah, paper filsafat ilmu lanjut
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas
Padjadjaran, Bandung, 23 Februari 2013. ----, paper filsafat ilmu lanjut, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 16 Maret 2013. Fuad Mahbub Siraj, Ibnu Rusyd, Cahaya Islam di Barat, Dian Rakyat, Jakarta, 2012. Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Bakti mandiri, Bandung, 2004. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2009. Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2010. Sahrul Mauludi, Ibnu Khaldun,Perintis Kajian Ilmu Sosial Modern, Dian Rakyat, Jakarta, 2012. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, PT Sofmedia, Jakarta, 2012. Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2013. Tahafut al-falasifah,http://pondokpesantren.net, diunduh 10 April 2014. The liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yayasan studi ilmu dan tekknologi, Jogyakarta, 1987. Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, IRCiSoD, Jogyakarta, 2012.