TEORI DIYANI DAN QADHA’I DALAM PEMBANGUNAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER Oleh: A.A. Miftah* Abstract: The presence of nation-state has been raised the problem to muslim community in applying Islamic law. There is an assumption saying that to apply Islamic law must require an Islamic state. This asumption is not only wrong but also difficult to be accepted. Therefore, to apply Islamic law must follow the principles of applying law in the modern society world. The diyani and qada’i theory is a theory that can be a reference in applying Islamic law in contemporary world. Throgh this theory, the contradiction of applying Islamic law in the contemporary world can be solved. Even the renewal of Islamic law in a form codification, referring to this theory, will be implemented. Kata Kunci: Diyani, Qadha’i, Hukum Islam A. Pendahuluan* Hukum Islam menduduki kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Islam. Seiring dengan perjalan waktu, maka terjadi perubahan-perubahan dalam kenyataan masyarakat muslim. Pada saat sekarang, masyarakat muslim hidup dalam zaman modern. Zaman modern dibanding dengan zaman hukum Islam pertama kali diperkenalkan kepada mereka sangat berbeda. Oleh sebab itu untuk menjalankan hukum Islam pada zaman modern ini, dalam aspek-aspek tertentu, harus pula berubah dari zaman-zaman sebelumnya. Pada zaman ini masyarakat hidup dalam kondisi dan suasana tingkat perkembangan kehidupan yang sangat kompleks. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk adanya pembagian kerja (division of labor) yang juga sangat kompleks. Masyarakat yang hidup pada zaman modern adalah masyarakat dengan model konflik. Ciri masyarakatanya bukan lagi kemantapan dan kelestarian, melainkan perubahan serta konflik-konflik sosial. Di sini masyarakat dilihat sebagai suatu perhubungan dimana sebagian warganya mengalami tekanan oleh sementara warga lainnya. Perubahan dan konflik merupakan kejadian yang umum1 dalam masyarakat modern. *
Dosen Fakultas Syari’ah dan Ketua Prodi Ekonomi Islam (EI) Program Pasca Sarjana IAIN STS Jambi email
[email protected] 1
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, tt), h. 49-50
Penerapan hukum dalam suasana masyarakat yang senantiasa berubah dan selalu berada dalam kondisi konflik tentu akan sangat berbeda dengan penerapan hukum dalam suasana masyarakat yang masih sangat sederhana. Penerapan hukum pada masyarakat demikian itu, menurut Hart, haruslah secara efisien, dalam kepastian serta tidak boleh dalam keadaan statis. Agar hukum itu bisa menjadi efisien, maka perlu dibuat aturan-aturan yang berfungsi untuk mengadili dan memberikan hukuman kepada para pelanggar suatu ketentuan hukum. Kemudian agar hukum itu berada dalam kepastian, maka perlu suatu aturan hukum yang jelas. Dan selanjutnya agar hukum itu tidak menjadi statis, maka perlu pula aturan yang memberikan kuasa kepada seorang individu atau badan untuk menciptakan ketentuan hukum yang baru, membatalkan yang lama atau merevisinya.2 Hukum Islam jika ingin diterapkan dalam masyarakat modern, maka ia harus pula mengikuti prinsip-prinsip penerapan hukum di atas. Jika tidak, maka hukum Islam akan kehilangan fungsi sosialnya. Pertanyaan yang akan segera muncul dari pernyataan seperti ini adalah apakah seluruh hukum itu harus mengikuti ketentuan di atas ataukah tidak. Dari sinilah kemudian hukum Islam itu perlu dibedakan menjadi bersifat diyâni dan bersifat qadâ’i. Hukum Islam yang bersifat diyâni sangat bergantung pada kesadaran beragama masyarakat Islam sendiri, sementara hukum Islam yang bersifat qadâ’i melibatkan institusiinstitusi tertentu yang mempunyai kekuatan secara hukum untuk memaksakan dan atau menjamin berlakunya hukum Islam itu di tengah-tengah masyarakat. Hukum Islam yang bersifat diyâni tidaklah perlu mengikuti ketentuan di atas. Adapun hukum Islam yang bersifat qadâ’i perlu mengikuti ketentuan di atas. Dalam pada itu salah satu gejala yang muncul dalam perjalanan sejarah perkembangan hukum Islam di beberapa negara Islam sejak awal abad ke-20 hingga saat ini adalah terjadinya pembaharuan hukum Islam yang mengambil bentuk pengkodifikasian hukum Islam dalam perundang-undangan negara
2
H. L. A. Hart, The Concept of Law, (Oxford: Oxford University Press, 1994), second edition, h. 9197
(periode taqnin).3 Pembaharuan hukum Islam dalam bentuk pengkodifikasian hukum Islam menjadi perundang-undangan negara itu bertujuan agar hukum Islam menjadi lebih fungsional dalam kehidupan umat Islam. Pembaharuan hukum Islam dalam bentuk kodifikasi ini mesti melibatkan kekuasaan politik suatu negara. Keterkaitan
pelaksanaan
hukum
Islam
dengan
kekuasaan
politik
menimbulkan suatu pertanyaan besar yaitu apakah semua hukum Islam itu dalam pelaksanaannya memerlukan keterlibatan negara (kekuasaan politik)? ataukah tidak sama sekali ?. Sebab sebagaimana diketahui bahwa cakupan hukum Islam sangat luas, sejak dari ketukan hati dalam dada seorang muslim sampai pada hubungan internasional diatur sedemikian rupa dalam hukum Islam. Keluasan hukum Islam yang seperti inilah yang harus dipilah, mana-mana saja dari hukum Islam yang luas itu yang harus dilaksanakan dengan melibatkan negara dan karenanya ia perlu dikodifikasikan dalam perundang-undangan negara dan mana-mana pula dari hukum Islam yang luas itu yang tidak perlu dikodifikasikan dan karenanya pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya pada kesadaran beragama masyarakat Islam sendiri. Artinya mana saja dari hukum Islam itu yang harus dijalankan secara diyâni (berdasarkan kesadaran beragama seseorang) saja dan mana pula yang harus dijalankan secara qadâ’i (yuridis). Salah satu dasar pijakan yang dapat dipergunakan untuk pemilahan hukum Islam yang luas itu adalah dengan menggunakan teori diyâni dan qadâ’i ini. Dengan mengacu kepada teori ini, akan dapat dibedakan mana-mana saja dari syari’at Islam itu yang mesti dilaksanakan dengan kekuasaan negara dan mana-mana pula yang tidak perlu. Karena itu yang mungkin bisa masuk dalam program legislasi negara adalah hukum Islam yang berdimensi qadâ’i saja, sementara hukum-hukum Islam yang berdimensi diyâni diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran beragama masyarakat secara individual, tidak perlu dikodifikasikan atau diformalkan.
3
Tentang bentuk-bentuk pembaharuan hukum Islam ini dapat dibaca Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994), h. 149-217
Pembedaan semacam ini sangat terkait pula dengan pendekatan mana yang lebih sesuai dalam penerapan hukum Islam itu yakni mana-mana saja dari hukum Islam yang luas itu yang harus dilaksanakan dengan pendekatan struktural dan mana pula yang harus dengan pendekatan kultural. Hukum Islam yang bersifat diyâni dapat dilaksanakan dengan pendekatan kultural, sementara hukum Islam yang bersifat qadâ’i dilaksanakan dengan pendekatan struktural. Selain itu melalui teori ini problem hubungan hukum dan moral dalam hukum Islam4 agaknya dapat diatasi. Hukum Islam yang bersifat diyâni berada pada kawasan moral, sementara hukum Islam yang bersifat qadâ’i berada pada kawasan hukum. Oleh sebab itu, hukum Islam yang bersifat qadâ’ilah yang mungkin bisa meningkat menjadi norma hukum, dalam pengertian diatur dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan negara. Sedangkan hukum Islam yang bersifat diyâni tetap menjadi norma agama, tidak perlu diatur oleh hukum negara. Tulisan ini akan mencoba untuk memaparkan teori diyani dan qada’i dalam kajian hukum Islam. Pembahasan awal dimulai dengan mengemukakan konsep-konsep ad-din, syari’ah, fiqih, fatwa, qada’ dan siyasah syar’iyyah, sebagai dasar untuk bisa memahami teori diyâni dan qadâ’i ini secara lebih baik. Kemudian akan dilanjutkan dengan penjelasan hakikat teori diyani dan qada’ itu sendiri. B. Konsep ad-Din, Syari’ah, Fiqih, Fatwa, Qada’, dan Siyasah asy-Syar’iyyah 1. Ad-din Ad-din secara bahasa berarti tunduk, merendahkan diri, dan taat.5 Selain itu ad-din berarti pula kekuasaan, hukum, putusan, dan pengaturan. Karenanya kata ad-dayyân yang merupakan satu nama dari nama-nama Allah SWT dapat berarti
4
Problem hubungan hukum dan moralitas telah pula dibahas oleh Noel J. Coulson. Coulson mengatakan bahwa garis pemisah antara hukum dan moralitas tidak begitu jelas dalam syari’ah. Syari’ah menurutnya merupakan undang –undang hukum dan undang-undang moral. Noel J. Coulson, Conflicts And Tensions in Islamic Jurisprudence, (Chicago: The University of Chicago Press, 1969), h. 79 5 Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasît, (Tpk: Tp, tt), juz II, cet ke-2, h. 307
qâdi, hakim, dan al-qahhâr (zat yang memaksa).6 Makna-makna dari ad-din demikian ini menunjukkan bahwa ad-din itu merupakan aturan Tuhan yang harus diikuti. Dalam mengikuti aturan Tuhan itu tersimpan makna ketaatan, ketundukan, dan kerendahdirian di samping ada pula makna hukuman dan balasan. Orang yang mengikuti aturan Tuhan adalah orang taat dan tunduk dan karenanya ia akan mendapat balasan dan demikian pula orang yang tidak mengikuti aturan Tuhan merupakan orang tidak taat dan patuh kepada Tuhan dan karenanya ia akan mendapatkan hukuman. Balasan dan hukuman itu akan diberikan oleh Tuhan di akherat kelak. Istilah yaum ad-din mengandung pengertian the day of judgment (hari keputusan).7Ar-Râgib al-Asfahani mengatakan bahwa ad-din dikatakan bermakna taat dan balasan dan dipinjamkan untuk arti syari’at. Ad-din seperti millah akan tetapi ad-din merupakan pengungkapan ketaatan dan kepatuhan kepada syari’ah.8 Ad-din bagi semua manusia adalah satu. Kesatuan ad-din ini diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya pada surat asy-syura ayat 13 yang artinya. “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. 2. Syari'ah Syari'ah dalam asal penggunaannya secara bahasa adalah sumber air yang dimaksudkan untuk diminum. Kemudian kata syari'ah dipergunakan oleh orang Arab dalam pengertian jalan yang lurus (the right way). Secara peristilahan syari'ah adalah apa saja yang telah di syari'atkan oleh Allah SWT bagi hambahambanya
berupa
akidah-akidah,
ibadah-ibadah,
kehidupan
dalam
cabang-cabangnya
yang
luas
akhlak-akhlak,
aturan
dalam
untuk
rangka
9
merealisasikan kebahagiaan manusia di dunia dan akherat. Dengan pengertian
6
Ibid Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (Wiesbaden: Otto Harrassowtz, 1980), h. 306 8 Al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât al-Fâz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.177 9 Manna' al-Qattân, at-Tasyri' wa al-Fiqh al-Islâmiy Târikhan wa Manhâjan, (Tpk: Maktabah Wahbah, 1984), h. 13 7
ini cakupan syari'ah adalah sangat luas. Syari'ah adalah bangunan dasar sistem kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sedemikian rupa untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dan penuh kebahagiaan di tengah-tengah umat manusia. Syari’ah adalah perwujudan kongkrit dari kemauan Allah bagi umat manusia.10 Syari'ah merupakan program implementasi dari ad-din (agama). Ad-din hanya satu dan seragam. Syari'ah sebagai program implementasi dari ad-din itu berbeda-beda sepanjang sejarah kemanusiaan. Setiap Rasul membawa syari'atnya sendiri-sendiri. Ada syari'at Nabi Nuh, syari'at Nabi Musa, syari'at Nabi Isa dan lain-lain. Syari'at Nabi Muhammad SAW adalah syari'at yang mengukuhkan dan meluruskan kembali syari'at-syari'at yang terdahulu.11 Syari'ah hanya terdapat dalam al-Qur'an dan al-hadiś dan ia mempunyai sifat kekal dan tidak akan mengalami perubahan sebab perubahan waktu, tempat,dan kondisi. Syari’ah, menurut Muhammad Fathi ad-duraini, adalah nasnas suci yang dikandung oleh al-Qur’an dan al-hadiś itu sendiri.12 Jadi syari’ah adalah produk Allah dan Rasul-Nya yang berlaku disemua waktu, zaman, dan tempat serta bersifat universal. 3. Fiqih Fiqih dalam makna asalnya berarti paham atau mengerti. Kemudian fiqih dinisbatkan kepada kumpulan hukum-hukum syar'iyyah yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.13 Pengertian fiqih yang demikian ini mengandung makna bahwa fiqih adalah hasil penggalian terhadap dalil-dalil syari'ah. Dan tentu saja untuk menggalinya akan melibatkan faktor akal manusia. Oleh sebab itu fiqih merupakan hasil pemahaman manusia terhadap dalil-dalil syari'ah berkenaan dengan hukum-hukum yang bersifat praktis. Jadi fiqih merupakan produk pemikiran manusia. 10
Sayyed Hossein Nasr, A Young Muslim Guide To The Modern World, (Malaysia: Petaling Jaya, 1994), Cet ke-1, h. 48 11 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia Akar Sejarah Hambatan Dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 24 12 Muhammad Fathi ad-Duraini, Buhuś Muqâranah fi al-Fiqh al-Islamî wa Usûluh, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994), cet I, h. 16 13 Manna' al-Qattan, Op. Cit, h. 199
Pemahaman manusia dapat berbeda dari satu orang ke orang lain yang dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Atas dasar ini, maka fiqih sangat berpotensi untuk mengalami perbedaan-perbedaan dan perubahanperubahan. Selain itu fiqih terikat pula oleh waktu atau zaman dan tempat tertentu serta bersifat lokal dan tidak universal. Sungguhpun demikian, cakupan fiqih sangatlah luas yang meliputi ibadah, mu’amalah, munakahat, dan jinayat. 4. Fatwa Fatwa adalah apa yang diberitahukan oleh mufti sebagai jawaban atas pertanyaan atau sebagai penjelas mengenai hukum tertentu sekalipun penjelasan itu sendiri bukan merupakan jawaban atas pertanyaan tertentu. Dalam hal ini alQarafi (w.684) mengatakan, fatwa adalah pemberitahuan tentang hukum Allah SWT dalam kelaziman dan kebolehannya.14 Orang yang memberi fatwa disebut mufti. Dengan demikian mufti adalah orang yang memberitahukan tentang hukum
Allah
SWT.
Sebagai
orang
yang
bertanggung
jawab
untuk
memberitahukan hukum Allah, maka kedudukan fatwa adalah kedudukan ijtihad. Oleh sebab itu para ulama' mengatakan bahwa orang yang bukan tergolong ahli ijtihad tidak boleh berfatwa.Wilayah fatwa adalah kemaslahatan dunia dan akherat seperti transaksi-transaksi dan persoalan ibadah.15 Ini artinya bahwa fatwa dapat memasuki hukum ibadah dan mu’amalah, hukum yang berhubungan antara manusia dengan Tuhannya dan hukum yang berhubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Miskipun begitu fatwa bersifat tidak mengikat kepada umat Islam. Dan hal ini sangat berbeda dengan qada' (keputusan hakim) dan perundang-undangan negara. 5. Qada' Qada' adalah putusan hukum diantara dua orang yang berperkara, penyelesaian pertentangan di antara mereka dengan jalan mengharuskan satu pihak untuk menunaikan kewajibannya kepada pihak lain. Kedudukan qada'
14
Al-Qarafi, Al-Furûq, (Beirut: 'Âlam al-Kutub, tt), jilid IV, h. 53 Nadiyah Syarif al-'Amari, al-Ijtihâd fi al-Islâm Usulûhu Ahkâmuhu Afâquhu, (Beirut: Mu'assasah al-risalah, 1987), h. 44-45 15
adalah kekuasaan yang berhubungan dengan kehidupan manusia dan mengharuskan mereka untuk melaksanakan hukum-hukum. Wilayah wewenang qada' adalah kemaslahatan dunia saja seperti transaksitransaksi, kepemilikian-kepemilikan, dan penggadaian.16 Ini mengandung makna bahwa qada’ hanya terbatas pada persoalan hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dan ia tidak memasuki wilayah hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dengan kata lain qada’ hanya berkaitan dengan bidang mu’amalah dan tidak berkaitan dengan bidang ibadah. Akan tetapi menurut Ibn Farhun (w.799 H ) terdapat pula bahagian-bahagian tertentu dari ibadah yang dapat dimasuki oleh keputusan hukum (qada’) yaitu antara lain adalah zakat. Contohnya adalah jika hakim memutuskan sahnya pengeluaran zakat dengan mengeluarkan nilai (harta) atau hakim mengharuskan mengeluarkan zakat di sisinya dan ini menyebabkan gugurnya kewajiban itu, maka sâ'i (orang yang mengumpulkan zakat) tidak boleh menuntut lagi kepada pemilik harta untuk mengeluarkan apa yang menjadi kewajibannya itu di sisi sa'i, meskipun keputusan hukumnya berbeda dengan mazhab sâ'i tersebut.17 6. Siyasah asy-Syar'iyyah Konsep siyasah asy-syar'iyyah berkaitan dengan kekuasaan politik. Siyasah asy-syar'iyyah adalah kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang menjadi tuntutan kemaslahatan ummat melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, miskipun tidak ada dalil tertentu18. Siyasah asysyar'iyyah dengan demikian adalah politik hukum suatu pemerintahan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, bahkan ia sangat diperlukan dalam upaya untuk mewujudkan kemaslahatan ummat. Salah satu bentuk siyasah syar'iyyah ini adalah produk perundang-undangan negara. Daya ikat perundang-undangan sangat kuat dan mencakup seluruh warga negara. Antara syari'ah, fiqih, fatwa, qada', dan siyasah asy-syar'iyyah dapat terjalin hubungan. Syari'ah merupakan sumber rujukan dan patokan dalam 16
Ibid Ibn Farhûn, Tabsirah al-Hukkâm fi Usul al-Aqdiyyah wa Manâhij al-Ahkâm, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), juz I, h. 87 18 Abd al-Wahhab Khallaf, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, (Al-Qâhirah: Dâr al-Ansar, 1977), h. 4 17
pembentukan fiqih, fatwa, qada’, dan siyasah asy-syar'iyyah. Fiqih adalah hasil pemahaman terhadap syari'ah dan ini dapat mengambil bentuk fatwa, qada’ dan siyasah asy-syar'iyyah. Fatwa dapat pula menjadi referensi dalam pembuatan putusan hukum dan siyasah al-syar'iyyah atau kebijakan hukum pemerintah. Hakim dalam membuat putusan hukum dapat merujuk kepada fatwa dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah itu. Hubungan syari’ah dengan fiqih, fatwa, qada’ dan siyasah asy-syar’iyyah dapat pula dilihat dari sudut pandang yang lain yaitu dari sudut pandang syari’ah yang menjadi norma hukum seperti yang terlihat dalam skema berikut ini.
Syari’ah
Fiqih
Ubudiyah
Fatwa
Munakah at
Qada’
Muamalat
Diyani
Jinayat
Qadai
Norma Hukum UU & Peraturan-peraturan Negara
Dari pemaparan konsep-konsep dalam pembicaraan hukum Islam di atas dapat dilihat bahwa ternyata dalam hukum Islam itu ada sesuatu yang bersifat hukum dalam pengertian hukum modern dan ada pula sesuatu yang bersifat bukan hukum. Yang bersifat hukum adalah putusan pengadilan dan perundangundangan negara, sementara fatwa-fatwa ulama bukanlah bersifat hukum. Demikian pula halnya dengan kitab-kitab fiqih. Kitab-kitab fiqih merupakan kajian akademis dari seorang mujtahid. Kendati demikian, pengetahuan masyarakat Islam mengenai hukum Islam banyak didasarkan pada kitab-kitab fiqih tersebut. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih itu seringkali dianggap sebagai ketentuan-ketentuan hukum Islam. Karenanya Istilah hukum Islam itu meliputi syari’ah dan fiqih, miskipun bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Adanya sesuatu yang bersifat hukum dan sesuatu yang tidak bersifat hukum seperti terlihat di atas setidaknya menunjukkan bahwa hukum dalam pengertian ilmu hukum adalah satu bagian saja dari hukum Islam atau syari’ah. Sesuatu yang bukan bersifat hukum itu disebut diyâni dan sesuatu yang bersifat hukum disebut qadâ’i. Perbedaan sifat ini akan berdampak pula pada persoalan penerapannya dalam
masyarakat.
C. Pengertian, Ciri-Ciri Hukum Diyâni Dan Qadâ’i Kata diyâni berasal dari kata ad-din, sedangkan qadâ’i berasal dari kata alqada’. Dan seperti yang telah dikemukakan bahwa kata ad-din diartikan dengan ketundukan dan ketaatan. Pengertian ad-din dengan makna ketundukan dan ketaatan dapat dirujuk dalam beberapa firman Allah (QS. Al-Araf, 7: 29) yang artinya “Dan sembahlah dengan mengikhlas-kan ketaatanmu kepada-Nya” “Mereka berdo’a kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepadaNya” Ad-din dengan makna kepatuhan dan ketaatan merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Ia mengacu pada sikap batin seseorang. Dan ia juga bersifat individualistik. Artinya ketaatan yang merupakan sesuatu yang khas dalam diri manusia dapat berbeda dari orang ke orang. Atas dasar ini, maka tingkat kepatuhan seseorang dalam masyarakat dapat berbeda-beda pula. Karenanya dalam masyarakat dapat ditemukan orang yang taat pada norma masyarakat dan ada pula yang tidak taat. Kataatan dan ketidaktaatan seseorang selama menyangkut masalah pribadi sebenarnya tidaklah menjadi soal dan karenanya tidak perlu diatur oleh hukum. Patuh tidak patuhnya adalah urusannya sendiri. Persoalan akan segera muncul manakala sikap pribadi tertentu itu mengancam kepentingan individu yang lain atau masyarakat secara umum. Dan jika ketaatan dan ketidaktaatan itu mengganggu atau mengancam kepentingan orang lain, maka ketaatan dan ketidaktaatan itu akan memasuki wilayah hukum.19 Karena hukum pada prinsipnya adalah mengatur lalu lintas 19
Rifyal Ka'bah, Otonomi Khusus Untuk Propinsi Banten Dalam Konteks Penerapan Syari'at Islam, Makalah yang disampaikan pada seminar sehari "Banten Darussalam Wujud Otonomi Khusus ", Imperial Century Hotel, 8 September 2001, h.9-10
kepentingan agar tidak terjadi perbenturan kepentingan. Contoh ketaatan yang menganggu atau mengancam kepentingan orang lain adalah ibadah salat yang dilakukan dijalan umum sehingga menganggu kelancaran orang berlalu lintas. Contoh ketidaktaatan yang mengganggu atau mengancam kepentingan orang adalah seperti mengambil hak orang lain secara tidak sah. Ketaatan dan ketidaktaatan dalam dua contoh ini memasuki wilayah hukum. Qadâ’i berasal dari kata qada’ yang berarti hukum (keputusan), pemisahan, pelaksanaan, dan perbuatan hakim. Orang yang melaksanakannya disebut qâdi. Qadi mempunyai arti pemutus bagi perkara-perkara yang memerlukan keputusan hukum, orang yang memutuskan diantara manusia dengan hukum syara', orang yang ditunjuk oleh negara untuk menyelesaikan pertikaian-pertikaian dan tuntutan-tuntutan serta memunculkan hukum-hukum yang dilihatnya sesuai dengan undang-undang (qanun).20 Dalam al-Qur’an kata al-qada’ dipergunakan untuk bermacam arti. Ia dapat bermakna pemutusan perkara baik secara perkataan maupun secara perbuatan. Al-Qada’ yang berarti memutuskan dengan perkataan seperti yang terdapat dalam firman Allah (QS. Al-Isra’, 17: 23) yang artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu sekalian tidak menyembah kecuali kepada-Nya “ Kata al-qada’ dalam ayat di atas berarti “memerintahkan”. Makna yang serupa dengan ayat di atas dapat pula terlihat dalam firman Allah surat al-Isra’ ayat 4 yang artinya : “Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu “. Qada’ dalam pengertian memberikan keputusan berupa perbuatan dapat dirujuk pada firman Allah dalam surat Gafir 20 yang artinya : “Dan Allah menghukum dengan keadilan dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat menghukum dengan sesuatu apapun “
20
Majma' al-Lugah al-'Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, (Teheran: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), Juz I, h. 749
Kemudian al-qada’ dalam pengertian memberikan keputusan dengan perkataan dan perbuatan secara bersama dapat dirujuk pada firman Allah dalam surat al-Ahzab 23 yang artinya : “Dan diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada pula yang menunggu-nunggu” Dalam kamus “A Dictionary of Modern Written Arabic” karya Hans Wehr, kata qadâ’i diberi makna bermacam-macam yaitu “judicial” (bersifat yuridis), judicatory, legal (hukum), forensic (yang berhubungan dengan peradilan dan kehakiman), judiciary (pengadilan, kehakiman), pertaining to courts of justice (menyinggung lembaga peradilan), bankruptcy (penerima kebangkrutan), liquidator (juru penyelesai), sequestrator (penyita).21 Selain dengan menggali makna secara kebahasaan, untuk merumuskan pengertian beserta ciri-ciri hukum diyâni dan qadâ’i ini, maka berikut ini akan penulis kemukakan pula pernyataan Zia Golkap, Mustafa Ahmad az-Zarqa, dan Rifyal Ka’bah.
1. Pernyataan Zia Golkap “…Islam, from the beginning, had defferentiated matters of piety (diyanet/ Arabic diyanah) from the affairs of jurisprudence (kaza/ Arabic qada). …Piety and matter of jurisprudence are so different from each other that in several cases the same thing may be impermissible from the point of view of piety yet possible from a judicial point of view. For example, taking interest is not permissible from the point of view of piety, whereas it permissible through dawri shar’i (the method of paying interest by a fictitious transfer)…”22 “…Islam, sejak awal, telah membedakan masalah-masalah yang bersifat keagaman dari urusan-urusan yurisprudensi… Masalah keagamaan dan masalah yurisprudensi (hukum) berbeda antara satu dengan yang lain yang dalam beberapa kasus hal yang sama tidak dibolehkan dari sudut pandang keagamaan tetapi boleh dari sudut pandang hukum. Sebagai contoh, mengambil bunga adalah tidak dibolehkan dari sudut pandang keagamaan, namun ia boleh melalui 21
Hans Wehr, Op.Cit, h. 772 Zia Gokalp, diterjemahkan oleh Niyaze Berkesh, Turkish Nationalism And Western Civilization, (New York: Columbia University Press, 1959), h. 200 22
dawr shar’i (metode pembayaran bunga dengan suatu cara transfer yang dibuatbuat) 2. Pernyataan Mustafa Ahmad Az-Zarqa اﻋﺘﺒﺎرﻗﻀﺎﺋﻲ:وﻋﻦ ھﺬا ﻛﺎﻧﺖ اﺣﻜﺎم اﻟﻤﻌﺎﻣﻼت ﻓﻰ اﻟﻔﻘﮫ اﻻﺳﻼﻣﻲ ذا ت اﻋﺘﺒﺎرﯾﻦ . أﻣﺎ اﻟﺪﯾﺎﻧﺔ ﻓﺎﻧﻤﺎ ﺗﺤﻜﻢ ﺑﺤﺴﺐ اﻟﺤﻘﯿﻘﺔ واﻟﻮاﻗﻊ, ﻓﺎﻟﻘﻀﺎء ﯾﺤﺎﻛﻢ اﻟﻌﻤﻞ أو اﻟﺤﻖ ﺑﺤﺴﺐ اﻟﻈﺎھﺮ.وﻋﺘﺒﺎر دﯾﺎﻧﻲ ﻓﻤﻦ طﻠﻖ زوﺟﺘﮫ ﻣﺨﻄﺌﺎ ﺑﺄن ﺟﺮى ﻋﻠﻰ.ﻓﺎﻻﻣﺮ أو اﻟﻌﻤﻞ اﻟﻮاﺣﺪ ﻗﺪ ﯾﺨﺘﻠﻒ ﺣﻜﻤﮫ ﻓﻲ اﻟﻘﻀﺎء ﻋﻨﮫ ﻓﻲ اﻟﺪﯾﺎﻧﺔ ﯾﻌﺘﺒﺮ اﻟﻄﻼق ﻣﻨﮫ واﻗﻌﺎ ﻗﻀﺎء أي ﯾﻘﻀﻲ اﻟﻘﺎﺿﻲ ﺑﻮﻗﻮﻋﮫ, ﺑﻞ إﻟﻰ ﻟﻔﻆ اﺧﺮ,ﻟﺴﺎﻧﮫ ﻟﻔﻆ اﻟﻄﻼق ﻏﯿﺮﻗﺎﺻﺪ اﻟﯿﮫ 23
. ﻓﯿﻔﺘﯿﮫ اﻟﻤﻔﺘﻲ ﺑﺠﻮازﺑﻘﺎﺋﮫ ﻣﻊ اﻣﺮأﺗﮫ ﻓﺘﻮى ﻣﻌﻠﻘﺔ ﻋﻠﻰ ذﻣﺘﮫ ﻓﻰ زﻋﻢ اﻟﺨﻄﺎء, وﻟﻜﻨﮫ ﻻ ﯾﻘﻊ دﯾﺎﻧﺔ,ﻋﻤﻼ ﺑﺎﻟﻈﺎھﺮ Tentang hal ini hukum-hukum mu’amalat dalam fiqih Islam mempunyai dua pertimbangan; pertimbangan qadâ’i dan pertimbangan diyâni. Qada’ menghukumi perbuatan atau kebenaran berdasarkan lahiriah, adapun diyânah hanyasanya menghukumi berdasarkan hakikat dan kenyataan yang sebenarnya. Perkara atau perbuatan yang satu terkadang berbeda hukumnya dalam qada’ dan diyânah. Seseorang yang mentalaq isteri secara keliru dengan (umpamanya) mengucapkan lafaz talaq yang tidak dimaksudkan untuk talaq, tetapi kepada lafaz lain, dipandang jatuh talaq secara qada’ artinya hakim memutuskan jatuhnya talaq berdasarkan data lahir, akan tetapi tidak jatuh talaq secara diyânah sehingga mufti dapat memberikan fatwa bolehnya suami bersama isterinya, fatwa yang bergantung pada tanggungannya dalam dugaan keliru.
3. Pernyataan Rifyal Ka’bah “Dalam hal ini, hukum Islam ada yang bersifat diyâni semata dan ada pula yang bersifat diyâni dan qadâ’i dalam waktu yang bersamaan. Disebut diyâni karena ia sangat mengandalkan ketaatan individu sebagai subyek hukum….Disebut qadâ’i karena ia berhubungan dengan permasalahan yuridis. … Hukum Islam yang bersifat qadâ’i tidak lagi terbatas pada keputusan seseorang, tetapi telah menyentuh kepentingan orang lain dan karena itu harus dilaksanakan oleh masyarakat melalui kekuasaan negara….Memahami hukum secara diyâni, siapapun tidak dapat memastikan apakah seseorang betul-betul bersalah terhadap sebuah perbuatan yang dituduhkan kepadanya atau tidak bersalah. Karena itu, keputusan pengadilan hanya dapat menghukum fisik seseorang, tetapi tidak dapat menghukum nuraninya yang barangkali tidak bersalah secara keagamaan. Hakim memutuskan perkara berdasarkan fakta lahiriah yang ditemukannya (misalnya bukti, kesaksian dan lain-lain) dan ia tidak berhak memutuskan kenyataan batin yang hanya diketahui oleh Allah …”24
23 24
Mustafa Ahmad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-'Âm, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1967), h.58 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), Cet ke-1, h.60-62
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat dirumuskan pengertian hukum diyâni dan qadâ’i, yaitu hukum yang dilaksanakan tidak hanya semata-mata berdasarkan atas ketaatan seseorang kepada Tuhan saja, tetapi juga dilaksanakan berdasarkan atas aturan hukum tertentu yang dibuat oleh negara. Jadi yang mengharuskan seseorang untuk melaksanakan hukum itu adalah karena ketundukannya kepada Tuhan dan adanya paksaan dari negara. Dalam keprofesian hukum, hukum yang bersifat diyâni ditangani oleh mufti dan hukum yang bersifat qadâ’i ditangani oleh qâdi. Mufti tidak bisa memaksakan suatu keputusan hukum, sementara qâdi dapat memaksakan suatu keputusan hukum. Selain itu keputusan hukum dalam kasus yang sama bisa berbeda antara mufti dan qâdi. Ini dapat dilihat pada beberapa contoh kasus berikut ini ; 1. Dalam hukum perkawinan, misalnya, seorang suami secara tidak sengaja mengucapkan kata cerai (talaq) kepada isterinya. Hakim dapat memutuskan cerai kepada suami yang mengucapkan kata cerai secara tidak sengaja itu. Dan diputuskan tidak jatuh cerai dalam keputusan yang diputuskan oleh seorang mufti. 2. Dalam soal hutang-piutang, seorang pemberi hutang telah melepaskan hutangnya secara diam-diam tanpa pemberitahuan kepada orang yang berhutang. Hakim dalam hal ini tetap memutuskan tetap berhutang kepada orang yang berhutang. Sementara mufti memutuskan telah hapusnya hutang dari orang yang berhutang tersebut.25 Dalam dua kasus di atas terlihat bahwa hakim memutuskan tetap cerai dan tetap berhutang berdasarkan data lahir yang ia miliki, sementara mufti menetapkan kebalikannya berdasarkan kenyataan pribadi yang bersifat diyâni yang ia cermati dari kasus yang dikemukakan. Kasus yang sama dengan hasil
25
Perbedaan mufti dan qâdi terlihat pada beberapa hal berikut: 1. Bidang operasi fatwa lebih luas daripada qada’. 2. Qada’ bersifat mulzim bagi pihak yang bertikai dan dilaksanakan kepada mereka. Sementara fatwa tidak. Orang yang meminta fatwa boleh memilih antara mengamalkan fatwa atau mengabaikannya. 3. Keputusan hakim mengenai sesuatu yang berbeda dengan fatwa mufti tetap dilaksanakan. Berbeda dengan qada’ yang menyalahi keputusan hakim terdahulu tidak dapat dilaksanakan. 4. Mufti tidak dapat memutuskan kecuali jika ia menjadi qâdi. Berbeda dengan qâdi yang dapat memberikan fatwa. Ali Hasballah, Op. Cit, h. 88
keputusan yang berbeda adalah akibat dari perbedaan sifat keputusan. Keputusan hakim mengikat secara yuridis dan keputusan mufti mengikat secara keagamaan. Dimensi diyâni ini merupakan sesuatu yang inheren dalam hukum Islam. Setiap hukum Islam yang berdimensi qadâ’i mestilah ia bersifat diyâni, tetapi tidak mesti hukum Islam yang bersifat diyâni harus qadâ’i. Contoh hukum Islam yang bersifat diyâni tetapi tidak qadâ’i adalah ibadah salat murni. Ibadah salat hanyalah bersifat diyâni dan tidak bersifat qadâ’i. Artinya orang yang salat tidak perlu dipaksa oleh negara tetapi cukuplah berdasarkan atas ketundukan seseorang kepada Tuhannya. Hal ini karena ibadah salat merupakan ibadah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan orang lain. Maksudnya ketika ia tidak dilaksanakan, maka tidak ada kepentingan orang lain yang terganggu atau dirugikan. Yang justeru mendapat kerugiaan sebagai akibat tidak mendirikan salat itu adalah orang yang bersangkutan sendiri. Oleh sebab itu orang yang tidak melaksanakan salat tidak bisa dihukum oleh aparat hukum. Hukuman orang yang tidak salat diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Kendati demikian, ibadah salat ini bisa berubah menjadi bersifat qadâ’i apabila salat yang dilaksanakan mengganggu atau merugikan kepentingan orang lain, seperti jika salat itu dilaksanakan di jalanan umum yang mengganggu lalu lintas. Orang yang salat di jalanan umum yang mengganggu ketertiban lalu lintas dapat dikenakan hukuman. Ketentuan di atas agaknya berbeda dengan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam kajian fiqih. Menurut Wahbah az-Zuhaili, pengarang kitab al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu, bahwa orang yang tidak melaksanakan salat dapat dikenakan hukuman, baik di dunia maupun di akherat kelak. Mengenai hukuman di dunia, ia mengutip sejumlah pendapat fuquha’ berikut ini 1. Pendapat fuquha’ Hanafiyyah yang menyatakan bahwa orang meninggalkan salat karena malas adalah orang fasiq. Ia ditahan dan dipukul dengan pukulan yang keras sehingga darahnya mengalir sampai kemudian ia bertaubat dan melaksanakan salat. 2. Pendapat Imam-Imam yang lain yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan salat tanpa uzur walaupun hanya meninggalkan satu kali salat
diminta untuk segera bertaubat selama tiga hari seperti halnya orang murtad, jika tidak mau bertaubat dia dibunuh. Menurut Malikiah dan Syafi’iyyah bahwa pembunuhan itu sebagai had bukan sebab kekufuran sehingga ketika ia meninggal, ia dimandikan, disalatkan, dan dimakamkan bersama orang-orang Islam yang lain. 3. Pendapat Imam Ahmad yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan salat dibunuh sebab kekufurannya. Wahbah az-Zuhaili sendiri cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalan salat itu tidak menjadi kufur karena meninggalkannya. Dan
hukuman
yang
diberikan
kepada orang
yang
meninggalkan salat itu adalah dipukul lehernya dengan pedang jika ia tidak bertaubat.26 Miskipun ibadah salat dalam kajian fiqih di atas dimasukkan dalam kategori hukum yang bersifat diyâni dan qadâ’i, akan tetapi dalam perspektif teori yang penulis sampaikan ini, ibadah salat tetap bersifat diyâni. Artinya salat cukuplah dilaksanakan berdasarkan atas ketaatan seseorang kepada Tuhan dan tidak perlu ia dilaksanakan melalui kekuasaan negara. Tidak dimasukkannya salat sebagai hukum yang bersifat qadâ’i karena sangat terkait dengan masalah law enforcementnya. Pertanyaan yang akan segera mengemuka jika salat tetap dipaksakan sebagai hukum yang bersifat diyâni dan qadâ’i adalah siapa yang mengawasinya dan apa pula bukti yang menunjukkan bahwa seseorang salat dan tidak salat. Kemudian terhadap hadiś Nabi berikut ﻋﻦ اﺑﻲ ھﺮﯾﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ان رﺳﻮل ﷲ ﷺ ﻗﺎل واﻟﺬي ﻧﻔﺴﻲ ﺑﯿﺪه ﻟﻘﺪ ھﻤﻤﺖ ان اﻣﺮ ﺑﺤﻄﺐ ﯾﺤﺘﻄﺐ ﺛﻢ اﻣﺮ 27
ﺑﺎﻟﺼﻼة ﻓﯿﺆذ ن ﻟﮭﺎ ﺛﻢ اﻣﺮرﺟﻼ ﻓﯿﺆم اﻟﻨﺎس ﺛﻢ اﺧﺎﻟﻒ اﻟﻰ رﺟﺎل ﻓﺄﺣﺮق ﻋﻠﯿﮭﻢ ﺑﯿﻮﺗﮭﻢ رواه اﻟﺒﺨﺎري
“Dari Abi Hurairah r.a sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda; Demi jiwaku ditangan-Nya, sungguh aku bercita-cita memerintahkan agar kayu bakar dikumpulkan kemudian aku memerintahkan salat, maka diseru untuk salat tersebut, kemudian aku memerintahkan seorang laki-laki untuk 26
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), Cet ke 3, Juz Pertama, h. 502-505 27 Bukhari, Saheh Bukhari, (Tpk: Dâr al-Fikr, 1981), h. 158
mengimami manusia, kemudian aku tidak menyetujui kepada beberapa orang laki-laki sehingga aku akan membakar rumah-rumah mereka” Tidak mesti harus dimaknai bahwa orang yang tidak salat harus dijatuhi hukuman. Keinginan Rasul untuk membakar rumah-rumah sekelompok orang pada waktu itu bukan karena mereka tidak salat, tetapi karena mereka lari dari jama’ah. Sementara para fuquha’ ketika memutuskan bahwa orang yang tidak salat itu harus juga dijatuhi hukuman di dunia mendasarkan pandangan mereka pada beberapa hadiś berikut ini ; ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﷺ ﻻ ﯾﺤﻞ دم اﻣﺮئ ﯾﺸﮭﺪ ان ﻻاﻟﮫ اﻻ ﷲ واﻧﻲ رﺳﻮل ﷲ إﻻ ﺑﺈﺣﺪى:ﻋﻦ ﻣﺴﺮوق ﻋﻦ ﻋﺒﺪﷲ ﻗﺎل 28
واﻟﺘﺎرك ﻟﺪﯾﻨﮫ اﻟﻤﻔﺎرق ﻟﻠﺠﻤﺎﻋﺔ رواه ﻣﺴﻠﻢ, واﻟﻨﻔﺲ ﺑﺎﻟﻨﻔﺲ, اﻟﺜﯿﺐ اﻟﺰاﻧﻲ:ﺛﻼث
“Dari Masruq dari Abdullah, ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga hal; janda yang berzina, jiwa dengan jiwa, orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan diri dari jama’ah (murtad)” ﻋﻦ أﺑﻲ ﺳﻔﯿﺎن ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ ﺟ ﺎﺑﺮا ﯾﻘ ﻮل ﺳ ﻤﻌﺖ اﻟﻨﺒ ﻲ ﷺ ﯾﻘ ﻮل ان ﺑ ﯿﻦ اﻟﺮﺟ ﻞ وﺑ ﯿﻦ اﻟﺸ ﺮك ﺗ ﺮك اﻟﺼ ﻼة رواه 29
ﻣﺴﻠﻢ
“Dari Abi Sufyan ia berkata; saya mendengar Jabir berkata; saya mendengar Nabi SAW bersabda; sesungguhnya di antara seorang laki-laki dan diantara syirik adalah meninggalkan salat” Kedua hadis inipun tidak secara langsung menunjukkan adanya hukuman bagi orang yang meninggalkan salat. Jikalaupun ada hadis-hadis yang menunjukkan adanya hukuman didunia ini bagi orang yang salat, maka hal demikian itu dapat dimaknai sebagai kegerahan Nabi dan ketidaksukaan beliau kepada umatnya yang meninggalkan salat. Yang jelas, dalam konteks teori yang penulis pergunakan ini, salat bukan bersifat qada’i tetapi bersifat diyâni, dalam pengertian bahwa pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada kesadaran beragama masyarakat Islam sendiri. Perlu segera ditambahkan bahwa kategori diyâni dan qadâ’i ini bersifat dinamis, tidak statis, dalam pengertian bahwa bisa saja suatu perbuatan keagamaan yang tadinya dipandang diyâni kemudian berubah menjadi qadâ’i 28 29
Muslim, Saheh Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Vol A III, h.119 Ibid, h. 56
berdasarkan perkembangan zaman yang terus berubah dari waktu ke waktu. Contohnya seperti pesantren kilat atau pesantren Ramadhan. Pada saat ini, pesantren kilat ini masih dipandang sebagai yang bersifat diyâni, karena dalam pelaksanaannya banyak bergantung kepada kebijakan individu tertentu. Bila gejala ini terus berkembang sehingga kemudian melibatkan kepentingan lebih banyak orang seperti tenaga pengajar, pegawai, gaji, alokasi waktu dan tempat, apalagi bila telah menjadi kurikulum sekolah maka ia akan berubah menjadi bersifat qadâ’i (yuridis) sehingga memerlukan aturan dan undang-undang yang jelas dalam rangka untuk melindungi hak-hak individu.30 Perubahan ketentuan diyâni menjadi qadâ’i ini karena pada kenyataannya norma agama dan norma susila seringkali tidak bisa mencegah orang untuk melanggar kepentingan orang lain atau perbuatan jahat lainnya. Norma agama sebagai norma dasar diikuti dengan norma susila dan terakhir norma hukum. Hubungan norma agama, sebagai norma dasar, dengan norma susila dan norma hukum seperti sarang labalaba. Karena itu selagi orang masih mentaati agama, maka norma yang lainnya tidak diperlukan. Norma hukum baru diperlukan manakala norma agama dan norma susila tidak dapat lagi mencegah orang berbuat jahat atau melanggar kepentingan orang lain. Diskripsi teori diyâni dan qadâ’i ini akan semakin jelas jika hukum perkawinan dijadikan contoh. Seperti yang diketahui bahwa perkawinan dalam Islam merupakan lembaga yang mengikatkan antar suami dan isteri sehingga keduanya dapat berhubungan secara harmonis. Perkawinan dalam Islam merupakan suatu ikatan yang bersifat sakral. Ia merupakan ketentuan syari'ah. Sebagai ketentuan syari'ah Islam, maka bagi mereka yang telah menjalankannya berarti mereka telah tunduk dan taat kepada ketentuan syari'at Islam tersebut. Mereka secara sadar dan dengan kemauannya sendiri melakukan perkawinan tersebut. Akibat ikatan perkawinan ini, maka tercipta pula dengan sendirinya hak dan kewajiban suami isteri itu. Selama suami-isteri tersebut memenuhi kewajibannya masing-masing, maka tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, baik dari pihak isteri maupun dari pihak suami. Akan tetapi ketika salah satu pihak 30
Rifyal Ka’bah, Loc. Cit
tidak melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain, maka salah satu pihak mendapat kerugiaan. Pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut haknya. Tetapnya suatu hak bagi suami-isteri karena ikatan perkawinan. Ikatan perkawinanlah yang mengharuskan satu pihak untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain. Ketentuan mengenai perkawinan di Indonesia telah diatur dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Dalam undang-undang ini diatur pula mengenai hak dan kewajiban suami isteri. Selain itu ditetapkankan pula lembaga Peradilan yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan perselisihan antara suami isteri tersebut. Karena itu hukum perkawinan ini telah masuk dalam kategori hukum diyâni dan qadâ’i. Selain perkawinan, perzinahan dapat pula dikategorikan sebagai hukum diyâni dan qadâ’i, terutama perzinahan yang dilakukan secara paksa atau yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga. Perzinahan dalam dua bentuk ini merupakan perbuatan yang melanggar kepentingan orang. Dalam perzinahan secara paksa sangat jelas bahwa korban perzinahan menderita kerugian berupa kehilangan kegadisannya dan kehormatannya. Demikian pula halnya dengan perzinahan yang dilakukan oleh mereka yang berkeluarga dimana yang menderita kerugian dari perbuatan tersebut adalah isteri atau suami korban. Adapun perzinahan yang dilakukan oleh orang yang sama-sama belum terikat dengan ikatan perkawinan dan atas dasar suka sama suka, maka perzinahan seperti ini dalam sistem hukum sekuler bukanlah termasuk tindak kejahatan.31 Zina seperti ini merupakan moral dan bukan hukum, dalam pengertian diyâni dan bukan qadâ’i. Miskipun demikian, zina seperti ini bisa meningkat menjadi hukum karena ada juga pihak lain yang merasa dirugikan akibat perbuatan zina seperti ini, sekurang-kurangnya pihak keluarga orang yang berbuat. Reputasi keluarga akan menjadi terganggu dengan perbuatan zina seperti itu. Kalaupun keluarga merasa tidak dirugikan, maka perbuatan zina seperti itu merugikan perasaan kegamaan orang lain. Orang lain biasanya merasa
31
Mohammad Ismail Yunus, “The Application of Islamic Law Relating To Non-Consensual Sexsual Offence: A Comparative Study“, Jurnal Undang-Undang Ikim Law Jurnal, Instititu Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), VI, II, (Juli- Desember 2002), h. 1
terganggu dengan adanya perbuatan zina seperti itu sekalipun dilakukan suka sama suka. Oleh sebab itu perbuatan zina seperti inipun masuk dalam kategori diyâni dan qadâ’i. Maka sebagai hukum diyani dan qadâ’i, ia harus diatur dalam perundang-undangan negara. D. Penutup Hukum Islam merupakan hukum yang mengandung dimensi ilahiah dan mencakup seluruh aspek kehidupan umat Islam. Upaya untuk kembali menfungsionalkan hukum Islam dalam kehidupan umat Islam dewasa ini adalah dengan memasukkan hukum Islam itu dalam perundang-undangan negara melalui program legislasi. Teori diyâni dan qadâ’i sebagaimana yang telah dikemukakan merupakan teori yang dapat digunakan untuk memasukkan dan menerapkan hukum Islam dalam kerangka hukum nasional dengan tidak mempersoalkan bentuk negara. Dan ini agaknya merupakan jalan tengah dari dua kubu ekstrim yang menginginkan dan yang menolak penerapan hukum Islam dalam dunia kontemporer saat ini.
DAFTAR PUSTAKA Abd al-Wahhab Khallaf, As-Siyasah Asy-Syar'iyyah, Al-Qâhirah: Dâr al-Ansar, 1977 Al-Qarafi, Al-Furûq, Beirut: 'Âlam al-Kutub, tt, jilid IV Al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât al-Fâz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt Bukhari, Saheh Bukhari, Tpk: Dâr al-Fikr, 1981 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia Akar Sejarah Hambatan Dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996 H. L. A. Hart, The Concept of Law, Oxford: Oxford University Press, 1994 Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Wiesbaden: Otto Harrassowtz, 1980 Ibn Farhûn, Tabsirah al-Hukkâm fi Usul al-Aqdiyyah wa Manâhij al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995, juz I Ibrahim Anis dkk, al-Mu’jam al-Wasît, Tpk: Tp, tt, juz II, cet ke-2 Majma' al-Lugah al-'Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasît, Teheran: al-Maktabah al‘Ilmiyyah, tt, Juz I Manna' al-Qattân, at-Tasyri' wa al-Fiqh al-Islâmiy Târikhan wa Manhâjan, Tpk: Maktabah Wahbah, 1984 Mohammad Ismail Yunus, “The Application of Islamic Law Relating To NonConsensual Sexsual Offence: A Comparative Study“, Jurnal Undang-Undang Ikim Law Jurnal, Instititu Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), VI, II, JuliDesember 2002 Muhammad Fathi ad-Duraini, Buhuś Muqâranah fi al-Fiqh al-Islamî wa Usûluh, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994 Muslim, Saheh Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, Vol A III Mustafa Ahmad az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-'Âm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1967 Nadiyah Syarif al-'Amari, al-Ijtihâd fi al-Islâm Usulûhu Ahkâmuhu Afâquhu, Beirut: Mu'assasah al-risalah, 1987 Noel J. Coulson, A History of Islamic Law, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1994 -------------------, Conflicts And Tensions in Islamic Jurisprudence, Chicago: The University of Chicago Press, 1969 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999
----------------, Otonomi Khusus Untuk Propinsi Banten Dalam Konteks Penerapan Syari'at Islam, Makalah yang disampaikan pada seminar sehari "Banten Darussalam Wujud Otonomi Khusus", Imperial Century Hotel, 8 September 2001