Teologi dan Tantangan Misiologi bagi David Yonggi Cho: Sebuah Tinjauan Ringkas Makalah diserahkan kepada Dr. Paul Lewis sebagai salah satu persyaratan dalam menempuh mata kuliah Teologi Kontemporer.
Oleh Victor Christianto email:
[email protected] URL: www.sciprint.org, independent.academia.edu/VChristianto
Medio Desember 2013
1
Kata Pengantar
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat menempuh matakuliah Teologi Kontemporer yang diampu oleh Dr. Paul Lewis. Sebagai topik makalah penulis memilih untuk menyoroti seputar teologi dan pemikiran Dr. David Yonggi Cho, seorang pendeta senior dari gereja Yoido Full Gospel Church yang berbasis di Seoul, Korea Selatan. Adapun alasan pemilihan ini adalah karena pemikiran-pemikiran beliau telah menjadi salah satu bahan diskusi yang hangat di kalangan para teolog baik di Asia maupun internasional, khususnya kalangan Pentakosta, di antaranya dan khususnya mengenai bukunya yang berjudul Dimensi Keempat (The Fourth Dimension). Penulis mencoba menyoroti latar belakang, teologi dan implikasi dari pemikiran beliau, dan bersikap kritis obyektif terhadap pandangan-pandangan Dr. David Yonggi Cho. Harapan penulis adalah bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medio Desember 2013 VC, email:
[email protected]
2
Daftar Isi
Kata Pengantar
2
Daftar Isi
3
1. 2. 3. 4. 5.
Latar belakang munculnya mega-church di Korea Teologi David Yonggi Cho Tantangan Misiologi bagi David Yonggi Cho Komentar kritis terhadap pemikiran David Yonggi Cho Kesimpulan
Daftar Pustaka
4 6 10 14 15 17
3
1. Latar belakang munculnya mega-church di Korea Protestantisme Korea dapat dicirikan oleh pertumbuhan gereja yang cepat dan munculnya berbagai mega-church. Jumlah gereja-gereja Protestan bertumbuh dari 3279 pada 1920 menjadi 5011 pada 1960, lalu menjadi 33897 pada 1996. Jumlah populasi umat Kristen bertumbuh pesat dari 623072 pada tahun 1960 menjadi 8760000 pada tahun 1995.1 Namun demikian terdapat suatu gejala yang menarik banyak minat para akademisi, bersama dengan pertumbuhan populasi Protestan Korea, yaitu fakta bahwa terdapat banyak gereja besar dan mega-church di Korea. Pada tahun 1999, diperkirakan bahwa terdapat hampir 400 gereja besar dan 15 mega-church.2 -
Latar belakang sosial: Menurut Hong Young-gi, sebagai hasil dari industrialisasi dan urbanisasi yang
cepat, muncul perasaan kekurangan dan hilangnya identitas dalam masyarakat. Karena umumnya mereka berada dalam situasi kebingungan dan tidak jelas akibat modernisasi yang cepat, mereka datang ke gereja-gereja yang dapat menjawab kebutuhan religius dan sosial mereka.3 Namun demikian faktor-faktor sosiologis saja tidak memadai untuk menjelaskan bangkitnya mega-church karismatik, namun tidak perlu diabaikan. 1
Hong Young-gi, The backgrounds and characteristics of the Charismatic Mega-Churches in Korea, AJPS 3/1 (2000), pp. 99-100. URL: http://www.apts.edu 2 Hong Young-gi, The backgrounds and characteristics of the Charismatic Mega-Churches in Korea, AJPS 3/1 (2000), pp. 100. URL: http://www.apts.edu 3 Hong Young-gi, The backgrounds and characteristics of the Charismatic Mega-Churches in Korea, AJPS 3/1 (2000), pp. 106. URL: http://www.apts.edu 4
-
Latar belakang religius: Dampak yang diberikan oleh agama-agama tradisional Korea terhadap mega-
church karismatik bukan tidak berhubungan dengan pertumbuhan mereka: Budisme, Konfusianisme, dan Shamanisme. Dan yang paling besar pengaruhnya di antara ketiganya adalah Shamanisme. Mega-church karismatik Korea memiliki dasar yang sama dengan Shamanisme Korea, yang tidak perlu harus negatif. Di antaranya, terdapat titik-titik parallel yang dapat dilihat:4 a. Target: Shamanisme telah berfungsi sebagai agama dari Minjung (masyarakat umum) melalui sejarah penindasan Korea. Mega-church karismatik Korea juga menarik bagi orang kebanyakan. b. Pengalaman: Shamanisme terkait dengan pengalaman supranatural daripada suatu sistem pemikiran. Penekanan pada pengalaman karismatik dalam devosi individual pada mega-church di Korea bukannya tidak berhubungan dengan shamanisme. c. Kepemimpinan wanita: karakter dominan dari Shamanisme Korea adalah peran penting dari shaman perempuan. Demikian pula pada mega-church karismatik, peran kepemimpinan wanita diusulkan dan diaktifkan oleh pastor senior. d. Penyembuhan: Shaman Korea biasanya melakukan penyembuhan psikologis dan fisik untuk para klien mereka. Dalam mega-church Korea, penyembuhan secara utuh (spiritual, mental, fisik) ditekankan.
4
Hong Young-gi, The backgrounds and characteristics of the Charismatic Mega-Churches in Korea, AJPS 3/1 (2000), pp. 108. URL: http://www.apts.edu 5
Namun demikian, ada pengamat yang menyoroti aspek negatif dari pengaruh shamanisme tersebut terhadap Pentakosta Korea, yaitu iman yang tidak seimbang dalam penyembuhan dan berkat material.5
2. Teologi David Yonggi Cho Pemikiran David Yonggi Cho telah mempengaruhi banyak orang, tidak saja di Korea Selatan, namun juga di berbagai penjuru dunia. Beberapa teolog menyebutkan bahwa keberhasilan Yonggi Cho antara lain disebabkan oleh kontekstualisasi ajaran Kristen dengan kebudayaan Asia, khususnya Korea. Namun ada juga beberapa akademisi yang mengkritik pemikiran Yonggi Cho, seperti misalnya Hunt dan McMahon. Hunt dan McMahon menyatakan bahwa pengajaran Cho berasal dari teologi kemakmuran asal Amerika, yang kemudian mengimbas balik melalui Robert Schuller dan Kenneth Hagin kepada pemikiran positif dari Norman Vincent Peale.6 Kritik lain misalnya oleh Hollenweger menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara teologi Cho dan shamanisme Korea, meski tuduhan tersebut didasarkan pada suatu tesis doktoral di Universitas Birmingham yang meneliti kebangunan rohani di Korea pada 1907 dan 1930.7 Beberapa penulis barat menyarankan bahwa Pentekosta Korea secara umum dan Yoido Full Gospel Church (YFGC) secara khusus berhasil karena mereka menggabungkan kekristenan
5
Jun Kim, Book review: Young-hoon Lee, The Holy Spirit Movement in Korea: Its Historical and Theological Development, AJPS 13:2 (2010) pp.351. URL: http://www.apts.edu 6 Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp.105-106. URL: http://www.apts.edu 7 Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp.107. URL: http://www.apts.edu 6
dengan shamanisme. Bahkan Hollenweger menyebut bahwa David (Paul) Yonggi Cho dapat dianggap sebagai Shaman Pentakosta.8 Harvey Cox juga menyatakan dugaan yang mirip mengenai hubungan antara Pentekostalisme Korea dengan shamanisme. Sebagai akibatnya, dalam dugaan tersebut telah tersebar dalam literatur barat dan hingga kini dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak perlu dipertanyakan.9 Para pemimpin Pentakosta Korea sendiri tampaknya menolak campuran dengan shamanisme, dan menganggap shamanisme berasal dari si jahat. Di pihak lain, Cho tampaknya cukup menghargai Konfusianisme sebagai warisan kultural Korea, sebagai suatu tradisi etis yang diikuti oleh masyarakat Cina dan Korea.10 Di samping itu, konsep Cho mengenai dimensi keempat (Fourth Dimension) berkaitan dengan pengenalannya akan agama-agama Timur dengan kemampuan untuk membuat keajaiban, seperti Budisme, yoga dan agama dari Jepang seperti Soka Gakkai. Meski dia menolak agama-agama Timur tersebut, namun jelas bahwa pengetahuannya
akan
agama-agama
Timur
tersebut
memimpinnya
pada
pemahaman akan dimensi keempat, di mana visi dan mimpi merupakan bahasanya dan inkubasi adalah proses melalui mana umat percaya menerima apa yang mereka minta dari Tuhan.11 Dasar dari teologi yang dikembangkan oleh Cho untuk menjangkau orang-orang yang putus asa, adalah berasal dari pengalaman pertobatannya sendiri dari Budisme 8
Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp.108. URL: http://www.apts.edu 9 Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp.109. URL: http://www.apts.edu 10 Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp.112. URL: http://www.apts.edu 11 Paul Yonggi Cho, The Fourth Dimension (Seoul: Seoul Logos, 1979), pp. 47-49 7
menjadi Kristen dan juga penyembuhannya secara berangsur dari penyakit tuberkulosis. Pada tahun-tahun sekitar 1950 itulah Full Gospel Central Church dibangun di kawasan miskin di Seoul. Pengajaran Cho tentang penyembuhan sangat erat berkaitan dengan kemiskinan dan penyakit yang banyak menjangkiti Korea saat itu. Bagi Cho, pesan dari Kristus dan kuasa Roh Kudus merupakan suatu pesan kontekstual yang nyata yang memberi harapan kepada masyarakat yang menderita. Banyak dari anggotanya pada saat itu yang berada dalam keadaan sangat miskin.12 Karena itu adalah penting untuk memahami bahwa pandangan Cho tentang kemiskinan dan kemakmuran berasal dari konteks Korea tentang kemiskinan, dan tidak seharusnya ditafsirkan dalam konteks kemakmuran barat dan materialisme sebagaimana misalnya dilakukan oleh teologi kemakmuran dari Kenneth Copeland. Bahwa Cho adalah seorang Pentakosta klasik yang sangat dipengaruhi oleh Pentakostalisme Amerika adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri.13 Salah satu implikasi dari hal itu adalah dalam hal pandangan Cho tentang Roh Kudus. Roh Kudus adalah Mitra Senior dalam pelayanannya, dan Cho mengatakan bahwa keakraban dengan Roh Kudus adalah pengalaman terbesar dalam hidupnya. Pemahaman Cho tentang pekabaran Injil dan misi juga merupakan suatu hal yang tipikal Pentakosta: dimotivasi dan sangat bergantung pada kemampuan yang dikaruniakan oleh Roh Kudus. Pandangan holistiknya tentang keselamatan adalah senada dengan Pentakostalisme di seluruh dunia, dan merupakan salah satu alasan mengapa pesan Pentakosta menyebar dengan pesat di antara kaum yang sangat
12
Paul Yonggi Cho, The Fourth Dimension (Seoul: Seoul Logos, 1979), pp. 172 Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp.116. URL: http://www.apts.edu
13
8
membutuhkan. Dia bahkan menyarankan suatu eskatologi premilenial layaknya banyak kalangan Pentakosta klasik melakukan, lengkap dengan ramalan apokaliptik akhir jaman mengenai bersatunya Eropa, kebangkitan Israel, retorika anti-komunis. Dalam penekanan tersebut, Cho adalah seorang Pentakostal sejati, yang jelas dipengaruhi oleh ideologi Sidang Jemaat Allah.14 Mengikuti Pentakostalisme mula-mula yang menggemakan Injil yang penuh (“full gospel”) rangkap empat dari Yesus sebagai Penyelamat, Penyembuh, Pembaptis dalam Roh Kudus dan Raja yang sedang datang, Cho menambahkan berkat rangkap tiga (threefold blessings). Ayat yang paling sering dikutip olehnya adalah 3 Yohanes 2 (yang juga merupakan ayat favorit dari para pengkotbah teologi kemakmuran dari Amerika Utara). Satu-satunya cara untuk menerima berkat rangkap tiga tersebut adalah dengan mempercayai Tuhan sebagai Tuhan yang baik, dan bahwa keselamatan mencakup pengampunan terhadap dosa-dosa, kesehatan dan kemakmuran.15 Doktrin berkat-berkat rangkap tiga adalah ajaran yang paling ditekankan dalam semua pengajaran Cho. Namun demikian ada bagian dalam pengajaran Cho yang sulit untuk dicerna, seperti misalnya ajarannya bahwa dalam Kerajaan Allah tidak ada kemiskinan. Cho juga dikritik sebagai kurang memperhatikan perubahan sosial dan struktur-struktur
14
Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp. 117-118. URL: http://www.apts.edu 15 Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp. 118. URL: http://www.apts.edu 9
penindasan, namun YFGC memiliki program kepedulian sosial (social care) yang ekstensif.16
3. Tantangan Misiologi bagi David Yonggi Cho Menurut Hwa Yung, pada kondisi terbaiknya teologi selalu berakar dalam misi dan pelayanan pastoral dari gereja. Seperti dikatakan oleh George Peters, “the Bible is not a book about theology as such, but rather, a record of theology in mission – God in action on behalf of the salvation of mankind.”17 Tidak berlebihan kiranya jika Martin Kahler menyatakan bahwa misi adalah “ibu dari teologi.” Jika teologi mesti bersifat misiologikal, bagaimana kita dapat menilai apakah karya seorang penulis memang demikian? Menurut Hwa Yung, ujian bagi teologi tersebut adalah apakah ia memberdayakan dan meningkatkan gereja dalam kehidupan dan misinya.18 Jika demikian, maka ia mesti memenuhi setidaknya tiga syarat, yaitu: a) ia harus dapat menolong gereja untuk menjadi efektif dalam pekabaran Injil dan pelayanan pastoral; b) ia harus memberdayakan gereja agar bertindak efektif dalam transformasi sosial; dan c) ia mesti memperhatikan budaya secara serius. Berkaitan dengan hal tersebut, Hwa Yung menyebutkan bahwa pekabaran Injil dan pertumbuhan gereja adalah fundamental bagi pemahaman Cho akan misi. Dalam salah satu makalahnya, Cho menyatakan bahwa “tujuan utama … adalah memenangkan jiwa-jiwa,” dan bahwa doanya adalah “bahwa gereja-gereja di 16
Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp. 121. URL: http://www.apts.edu 17 Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp.59. URL: http://www.apts.edu 18 Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 60. URL: http://www.apts.edu 10
seluruh dunia dapat bertumbuh sehingga mereka dapat memuliakan Tuhan melalui pelayanan mereka.”19 Terdapat beberapa elemen kunci dalam metode church-planting-nya. Untuk memulai, doa adalah sentral. Ini mencakup doa pribadi, doa reguler, sesi grup doa yang diperluas di YFGC, misalnya pertemuan-pertemuan doa jumat malam, dan juga puasa. Selaras dengan itu, para anggota dan kelompok-kelompok didorong untuk menyisihkan waktu di bukit doa di dekat Korea Utara. Yang kedua adalah penekanannya pada kuasa Roh Kudus yang mengerjakan tanda-tanda dan mukjizatmukjizat. Yang ketiga adalah penerapan secara meluas kelompok-kelompok sel rumah untuk pekabaran Injil dan palayanan pastoral. Yang keempat adalah penekanan kuat pada pengembangan kepemimpinan kaum awam.20 Jantung dari metode Cho adalah penggunaan kelompok-kelompok sel. Hal ini krusial bagi pekabaran Injil karena itulah di mana orang-orang non-Kristen dapat dibawa ke dalam kehidupan gereja melalui setting yang tidak menekan, yaitu di rumah atau tempat kerja. Cho lebih menyukai kelompok-kelompok homogen daripada yang heterogen, untuk memungkinkan kelompok bertumbuh secara cepat dan efektif. YFGC terdiri dari puluhan ribu kelompok-kelompok sel. Untuk memungkinkan hal ini maka kaum awam mesti dipercaya untuk memimpin. Para wanita juga disertakan dalam kepemimpinan kaum awam tersebut.21
19
Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 63. URL: http://www.apts.edu 20 Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 63-64. URL: http://www.apts.edu 21 Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 65. URL: http://www.apts.edu 11
Di sini kita menjumpai lagi bahwa teologi Cho bersifat sangat misiologikal. Cho mengakui bahwa salah satu motivasi kunci di balik penggunaan kelompokkelompok sel adalah ancaman Komunisme. Selanjutnya kita menyoroti penekanan Cho akan penyembuhan ilahi melalui doa, yang dikaitkannya dengan pertumbuhan gereja. Bagi Cho, kurangnya penekanan yang diberikan pada mukjizat seringkali digunakan untuk menutupi kurangnya kuasa dari gereja. Dalam pelayanannya dia berulangkali menemukan bahwa orangorang berbalik menjadi beriman kepada Kristus saat penyembuhan terjadi. Namun demikian, Cho dengan hati-hati menyatakan bahwa kadang-kadang bukan kehendak Tuhan untuk seseorang sembuh. Dengan perkataan lain, dari sudut pandang dampaknya terhadap pekabaran Injil dan efektivitas pastoral, teologi Cho tidak dapat dipersalahkan.22 Kini kita akan menyoroti dimensi transformasi sosial. YFGC memiliki pelayanan kesejahteraan sosial yang sangat kuat, yang mencakup pemeliharaan untuk kaum usia lanjut, pelatihan vokasional untuk mereka yang kurang beruntung, membiayai ratusan pembedahan jantung terbuka bagi anak-anak, penjangkauan kaum muda dan bentuk-bentuk lain pelayanan kesejahteraan. Namun demikian, teologi Cho jelas lebih kuat dalam kepedulian sosial daripada terhadap keterlibatan sosialpolitik.23 Kini saatnya kita menyoroti ajaran Cho mengenai berkat-bekat rangkap tiga dalam Kristus. Cho menafsirkan 3 Yohanes 2 sebagai ajaran bahwa keselamatan bersifat holistik: ia mencakup keselamatan jiwa, kesembuhan tubuh, dan berkat material 22
Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 67. URL: http://www.apts.edu 23 Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 67-68. URL: http://www.apts.edu 12
dari Tuhan – suatu “keselamatan rangkap tiga”.24 Kita telah melihat bahwa dua berkat yang pertama tidaklah menjadi masalah secara teologis, namun berkat yang ketiga menjadi masalah karena tampak mirip dengan ajaran teologi kemakmuran dari Amerika. Untuk memahami hal tersebut, perlu kita melihat latarbelakang dari konteks Korea saat Cho mula-mula merumuskan ajarannya. Situasi Korea pada tahun 1950 adalah miskin akibat perang Korea, dan banyak jemaat dari Cho yang juga miskin dan berusaha dengan susah-payah untuk bertahan hidup. Karena itu Cho berusaha membawa suatu kabar baik bagi jemaatnya yang miskin. Selanjutnya dalam pemahaman Cho, keberhasilan tidak selalu diukur dengan uang, namun bisa juga berwujud keberhasilan dalam mencapai tujuan yang Tuhan tetapkan untuk diraih umat Kristen dalam aspek kehidupan apapun – entah itu spiritual, materi, akademik, sosial, politik, dan lain-lain di mana Tuhan akan dimuliakan. Cho juga menekankan bahwa motivasi kita harus benar, dan bahwa Tuhanlah yang kita cari, bukan sekadar uang, popularitas atau prestise. Sebagai suatu kewajiban, persembahan harus diterapkan. Akhirnya, dengan mempertimbangkan situasi Korea saat ini dibandingkan dengan tahun 50-60an, Cho menyarankan bahwa umat Kristen Korea mesti menempatkan lebih banyak tekanan pada pengorbanan dibandingkan berkat.25 Dengan mempertimbangkan klarifikasi tersebut, maka tidaklah adil untuk menuduh bahwa Cho mengajarkan versi Korea dari teologi kemakmuran. Bahkan 24
Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 70. URL: http://www.apts.edu 25 Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 71-72. URL: http://www.apts.edu 13
Cho sendiri mengatakan bahwa ia mengajarkan Injil dari kebutuhan (gospel of need) dan bukan Injil dari ketamakan (gospel of greed). Namun demikian, Cho membuka diri untuk tuduhan tersebut karena dia menggunakan ayat 3 Yohanes 2, yang juga sering dikutip oleh para pengajar teologi kemakmuran Amerika.26 Selanjutnya kita akan melihat dimensi kultural, yaitu apakah ajaran Cho memperhatikan budaya secara serius. Tulisan-tulisan Cho tidak banyak membahas aspek ini, namun cukup bagi kita untuk melihat bahwa ia memperhatikan budaya secara sangat serius. Pertama, ia secara sadar berupaya untuk mengembangkan tradisi Kristen yang akan menolong para petobat baru untuk tetap berakar dalam kebudayaan mereka. Kedua, dalam ajarannya tentang kemakmuran dia menyatakan bahwa pemahaman Korea tentang kemakmuran berbeda dengan pemahaman Amerika. Ketiga, kita juga dapat melihat hal ini dari ajaran dan penekanan Cho akan penyembuhan. Keempat, hal-hal tersebut di atas tidak berarti bahwa Cho tidak akan menentang budaya setempat jika memang perlu. Hal ini terlihat dalam sikapnya dalam memberikan kesempatan bagi banyak wanita untuk menjadi pemimpin kaum awam dalam gerejanya.27
4. Komentar kritis terhadap pemikiran David Yonggi Cho Mengutip Hwa Yung, kita dapat mencatat bahwa tantangan bagi Cho dan para koleganya adalah memperhalus lebih lanjut untuk membuat pemikiranpemikirannya dapat memberdayakan gereja secara misiologis. Sebagai misal, 26
Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 72. URL: http://www.apts.edu 27 Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 76. URL: http://www.apts.edu 14
teologi berkat dari Cho dikembangkan sejak tahun 50an saat kebanyakan orang Korea dalam keadaan miskin dan putus asa. Memperhatikan bahwa situasi sosioekonomi tersebut saat ini telah berubah drastis, dengan Korea Selatan kini telah tergolong dalam negara-negara maju, maka teologi berkat perlu diajarkan secara lebih berhati-hati. Jika tidak maka ajaran tersebut akan menjadi suatu dorongan bagi orang-orang Kristen Korea untuk mengejar mimpi Amerika (American dream). Jika itu terjadi, dan gejala ke arah itu sudah mulai tampak di banyak gereja Korea, maka hal tersebut akan mengarahkan umat Kristen Korea kepada suatu kemunduran spiritual.28
5. Kesimpulan Dalam makalah ini kita telah menyoroti latar belakang gereja-gereja megachurch di Korea dan pengaruh shamanisme. Dalam hal ajaran David Yonggi Cho, tampaknya tuduhan bahwa ia menerapkan shamanisme Pentakosta kurang beralasan, mengingat bahwa Cho melandasi ajarannya dari Kitab Suci. Namun demikian, toh ajarannya mengenai berkat rangkap tiga cukup rawan untuk disalah-mengerti seolah-olah dia mendukung teologi kemakmuran yang diajarkan oleh para guru Health and Wealth dari Amerika, padahal Cho mengembangkan ajarannya dengan memperhatikan konteks Korea yang miskin pada tahun 50an. Penggunaan ayat 3 Yohanes 2 yang sama dengan ayat yang digunakan guru-guru teologi kemakmuran juga dapat memperkuat tuduhan tersebut. 28
Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 77. URL: http://www.apts.edu 15
Di samping itu, senada dengan Hwa Yung, mengingat Korea saat ini telah termasuk dalam salah satu negara maju, maka tampaknya teologi Cho tentang berkat-berkat rangkap tiga perlu diajarkan secara lebih berhati-hati, agar tidak mengarah pada pengejaran mimpi Amerika. Bagi umat Kristen pada umumnya dan di Indonesia khususnya, perlu diingat bahwa gagasan Cho tentang berkat material dimaknai sebagai keberhasilan dalam mencapai suatu sasaran yang ditetapkan Tuhan bagi kita, dan tidak perlu selalu diukur dengan uang. Karena itu ajaran Cho tidak dapat dianggap sebagai versi Korea dari ajaran teologi kemakmuran Amerika.
16
Daftar Pustaka 1. Allan Anderson, The contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho, AJPS 7:1 (2004), pp.109. URL: http://www.apts.edu 2. David S. Lim, A Missiological Evaluation of David Yonggi Cho’s Church Growth, AJPS 7:1 (2004), pp. 125-147. URL: http://www.apts.edu 3. Hong Young-gi, The backgrounds and characteristics of the Charismatic MegaChurches in Korea, AJPS 3/1 (2000), pp. 99-108. URL: http://www.apts.edu 4. Hwa Yung, The Missiological Challenge of David Yonggi Cho’s Theology, AJPS 7:1 (2004), pp. 67. URL: http://www.apts.edu 5. Jun Kim, Book review: Young-hoon Lee, The Holy Spirit Movement in Korea: Its Historical and Theological Development, AJPS 13:2 (2010) pp.351. URL: http://www.apts.edu 6. Paul Yonggi Cho, The Fourth Dimension. Seoul: Seoul Logos, 1979, pp. 47-49, 172 7. Paul (David) Yonggi Cho, Dimensi Keempat, Jilid Kedua. Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1994. Diterjemahkan dari David Yonggi Cho, The Fourth Dimension – Volume Two, Yoido: The Seoul Book Center, 1984. 8. Paul Yonggi Cho, Lompatan Iman. Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1991. Diterjemahkan dari Paul Yonggi Cho, The Leap of Faith, Yoido; The Seoul Book Center, 1985. 9. Paul Yonggi Cho, Selamat, Sehat dan Berkelimpahan. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1989. Diterjemahkan dari Paul Yonggi Cho, Salvation, Health and Prosperity. 10. Vinson Synan, A healer in the house? A historical perspective on healing in the Pentacostal/Charismatic tradition, AJPS 3/2 (2000), pp. 189-201. URL: http://www.apts.edu
Versi 1.0: 14 Desember 2013 VC, email:
[email protected] URL: http://independent.academia.edu/VChristianto
17