TEKS FABEL SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI ANAK USIA DINI (5-6 tahun) Ari Ambarwati
Universitas Islam Malang
[email protected] Abstrak Teks fabel umumnya disukai anak-anak usia dini atau prasekolah. Fabel yang berisi cerita seputar dunia hewan memungkinkan anak-anak mengidentifikasi ciri fisik dan perilaku hewan dan membandingkannya dengan ciri dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini membahas tentang penulisan dan pemanfaatan fabel untuk melatihkan keterampilan berbahasa Indonesia bagi anak usia dini. Kata-kata kunci: teks fabel, media pembelajarann anak usia dini
Pendahuluan “Lima puluh persen (50%) pengetahuan yang diperoleh anak-anak sampai usia empat tahun adalah bahasa” demikian postulat yang dikemukakan Dr. Benjamin Bloom, pakar pendidikan ternama. Bloom pada tahun 1964 mengamati kecerdasan anak dari rentang waktu tertentu, dari studi tersebut ditemukan bahwa, pengukuran kecerdasan anak pada usia 15 tahun merupakan pengembangan dari anak usia dini (Padmonodewo; 2003: 13). Tokoh lain yakni Friederich Wilhelm Froebel, yang juga dianggap sebagai ayah dari pendidik anak usia dini menciptakan ‘garden of children (kindergarten)’ yang di Indonesia dikenal sebagai taman kanak-kanak di Blankenburg, Jerman pada tahun 1837). Model sekolah bagi anak prasekolah yang dirancang Froebel akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Ia menekankan betapa perlunya belajar melalui bermain (Padmonodewo; 2003: 8). Pentingnya pendidikan anak usia dini juga disinggung Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 no 20 bab 1 pasal 3 menyatakan bahwa anak usia dini adalah anak dari lahir sampai enam tahun yang harus mendapatkan layanan pendidikan dalam pengembangan jasmani dan rohani (Soedono; 2009: vi). Menilik paparan di atas jelas betapa mendasarnya pendidikan anak usia dini (PAUD). Seringkali para pakar psikologi pendidikan anak juga mengingatkan bahwa usia 0-6 tahun merupakan usia keemasan, dimana kapasitas kemampuan otaknya berkembang paling maksimal. Pola pendidikan usia dini yang terarah dan tepat akan menjadi pijakan yang kokoh bagi anak untuk melanjutkan pengalaman belajar serta pendidikannya di sekolah dasar.
Pembelajaran Bahasa Dan Pendidikan Anak Usia Dini Pembelajaran adalah penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu subyek atau sebuah ketrampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi (Brown; 2007: 8). Pembelajaran merupakan sebuah proses untuk menguasai dan memperoleh pengetahuan tentang subyek tertentu. Dalam konteks makalah ini berarti proses untuk menguasai dan memperoleh pengetahuan tentang bahasa (baca: bahasa Indonesia). Bahasa Indonesia bagi anak-anak usia dini umumnya merupakan bahasa kedua—setelah bahasa ibu maupun bahasa daerah--diperoleh di institusi pendidikan prasekolah, baik secara formal (KB-TK, kelompok bermain dan taman kanak-kanak) maupun informal seperti tempat penitipan balita, pos PAUD maupun taman bermain yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Meski faktanya tak sedikit keluarga yang menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasapertama bagi anak-anak mereka. Intinya, anak-anak prasekolah sudah mulai dikenalkan dengan konsep belajar bahasa Indonesia. Mengingat dalam pendidikan anak usia dini ada tiga hal dasar yang dikembangkan yakni kemampuan kognitif yang meliputi bahasa, sains dan matematika, kemampuan afektif yakni emosi, sosial, fisik-motorik serta kreativitas. Menurut Padmonodewo, dalam perkembangan bahasa, ada tiga aspek yang perlu mendapat perhatian:1. Ada perbedaan antara bahasa dan kemampuan berbicara. Bahasa dipahami sebagai sistem tata bahasa yang rumit dan semantik, sedangkan kemampuan berbicara terdiri dari ungkapan dalam bentuk kata-kata, meski bahasa dan kemampuan berbicara sangat dekat relasinya. 2. Terdapat dua daerah pertumbuhan bahasa yang bersifat pengertian/reseptif (understanding): menyimak, mendengarkan dan membaca dan pernyataan ekspresif (producing): bicara dan menulis. 3. Komunikasi diri atau berbicara dalam hati. Anak akan berbicara dengan dirinya sendiri apabila berkhayal, pada saat merencanakan menyelesaikan masalah dan menyerasikan gerakan mereka (2003: 29). Pendidikan prasekolah yang lebih menekankan konsep bermain sambil belajar memungkinkan eksplorasi metode yang amat kreatif dalam hal pembelajaran bahasa Indonesia. Banyak cara serta strategi yang dipakai dalam menyampaikan materi pembelajaran bahasa Indonesia, salah satunya adalah penggunaan teks fabel. Teks Fabel Fabel adalah cerita atau dongeng yang bertokohkan binatang. Anak-anak usia dini, khususnya lima sampai tahun, sudah memiliki kemampuan fisik motorik yang nyaris sempurna. Mereka sudah mampu berjalan, berlari, melompat, mengoordinasikan gerakan dalam olah tubuh lainnya seperti bertepuk tangan,
menggoyang-goyangkan tangan, tubuh dan kaki saat mendengarkan musik. Mereka mulai mengenal dan mengidentifikasi banyak benda di sekelilingnya, semisal fauna dan flora. Mereka mengerti bagaimana kucing bersuara, anjing menggonggong, sapi melenguh, semut berjalan berbaris, ikan berenang dan lain sebagainya. Anak-anak mulai mengamati bagaimana flora bertumbuh dan memiliki identitas masing-masing, baik warna, tampilan fisik maupun baunya. Anak-anak memiliki ketertarikan lebih besar pada fauna lebih karena mereka terlihat lebih hidup, bergerak bahkan mengeluarkan suara. Pada usia ini, anak cenderung berangan-angan bahwa benda (juga fauna dan flora) dapat berbicara layaknya manusia (Abdul Aziz; 2008: 12). Tak sedikit anak-anak yang ingin memelihara hewan-hewan seperti ikan, kelinci, kucing, hamster untuk diajak bermain dan berbincang. Imajinasi mereka bergerak bebas. Mengunjungi kebun binatang atau taman safari menjadi kegiatan yang amat menyenangkan sekaligus mengesankan bagi mereka. Maka cerita dan dongeng fabel menjadi disukai dan diminati anak-anak seusia mereka. Memilih Teks Fabel Sesuai Usia Anak-anak usia lima hingga enams tahun umumnya sudah mampu memproses gambar atau citra secara keseluruhan (kognisi). Mereka bisa menyesuaikan citra dengan gerakan, ritme, emosi dan intuisi. Mereka mulai intensif bercakap-cakap dengan orang lain dan memadukan pikirannya dengan orang lain secara sederhana (Prashnig; 1998: 288). Mereka mampu mendengarkan dan memahami cerita sederhana yang dibacakan orang tua maupun guru dan umumnya mereka sangat tertarik dengan cerita dengan visualisasi yang menari. Cerita dengan tiga sampai empat kalimat per halaman dengan gambar-gambar yang secara spesifik menerjemahkan kalimat-kalimat yang dibacakan guru maupun orang tua, meski fakta saat ini banyak anak usia 4 tahun ke atas sudah mampu membaca kata demi kata bahkan kalimat-kalimat sederhana. Pilihlah buku cerita fabel yang berwarna-warni (full color) dengan hurufhuruf besar (di atas ukuran font 14 ke atas) karena anak akan lebih fokus pada silustrasi ataupun gambar daripada huruf, kecuali mereka sudah bisa membaca dan memiliki minat tinggi untuk membacanya. Selanjutnya pilih teks fabel yang jalan ceritanya sederhana, mendidik dan menghibur. Pilihan kata maupun kalimatnya ringkas dan sesuai untuk anak seusianya dengan jumlah halaman tidak terlalu tebal karena biasanya mereka cepat bosan. Tema fabel yang dipilih bisa tentang keteladanan, kejujuran, sayang keluarga, menghargai teman, tolongmenolong dan sebagainya. Jika judul cerita terlalu panjang, guru maupun orang tua dapat menyederhanakannya agar mudah dipahami anak. Di toko buku, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum, yang menyediakan ruang bacaan khusus anak-anak, sekarang banyak ditemui cerita
fabel yang berjenis flap books (buku yang gambarnya bisa dilipat) dan pop up books (buku tiga dimensi) yang tampilan fisiknya amat menarik dan biasanya disukai anak. Strategi Dan Kiat Mengoptimalkan Teks Fabel Sebagai Media Pembelajaran Bahasa Indonesia Mulailah dengan mengatur posisi duduk. Guru bisa menginstruksikan peserta didik membuat formasi setengah lingkaran. Guru mengambil posisi di tengah. Posisi ini memungkinkan anak-anak memfokuskan diri pada pembaca cerita sekaligus buku cerita yang akan dibacakan. Usahakan jumlah peserta didik yang mengikuti sesi pembacaan cerita tidak lebih dari 12 anak agar masingmasing anak mempunyai kesempatan berpartisipasi dan mengeksplorasi cerita dengan cara dan gaya mereka masing-masing. Jika peserta didik lebih dari 12 anak maka harus ada guru pendamping yang siap dengan alat peraga yang sesuai dan mendukung isi cerita. Ini merupakan taktik agar anak-anak tetap dapat melokalisir perhatian dan responnya serta berkonsentrasi pada cerita yang dibawakan. Bacalah judul cerita fabel dengan suara lantang dan intonasi yang menarik. Mintalah mereka mengulangi judul cerita yang sudah disampaikan. Anda bisa memancing pengetahuan mereka tentang tokoh cerita fabel tersebut, misal judul cerita: Teman Untuk Pupin (Cover buku bergambar siput dan beberapa binatang lain), dengan pertanyaan: siput itu terbang, berjalan atau berenang? Bagaimana siput berjalan? Lambat ataukah cepat? Berikan kesempatan anak untuk menjawab dengan kata maupun kalimatnya sendiri. Kemudian mulailah membacakan cerita. Karena kemampuan berkonsentrasi mendengarkan cerita anak usia lima hingga enam tahun biasanya berkisar antara 10-12 menit maka guru harus pandai-pandai menyiasatinya. Untuk memperpanjang konsentrasi anak dan menjadikan cerita itu tetap menarik, libatkanlah anak-anak sebagai tokoh dalam cerita itu. Misalnya ada anak yang menirukan cara siput yang berjalan amat lambat, bagaimana gajah bersuara, mengajak anak yang lain menirukan bagaimana harimau berjalan dan mengaum, beberapa anak secara bergantian menirukan dialog tokoh-tokoh hewan dalam cerita tersebut. Pada tahap ini anak-anak akan mengeksplorasi kemampuan afektifnya sekaligus berkesempatan mengeluarkan persediaaan kosa katanya. Bisa juga guru mengajak anak-anak menyanyi lagu-lagu atau bersyair bertemakan hewan saat mereka terlihat mulai jenuh. Pada tahap ini anak-anak mempunyai kesempatan seluasluasnya mengeksplorasi lumbung kosa-katanya bahkan memperkayanya dengan kosa kata baru. Poin pentingnya adalah bukan pada tertuntaskannya cerita fabel yang dibacakan guru namun mengajak anak mengeksplorasi serta memahami cerita
yang disampaikan guru dengan kata dan kalimat mereka sendiri. Bisa saja guru menyelesaikan cerita itu dalam dua atau atau tiga sesi untuk menjaga intensitas keingintahuan anak mengenai kelanjutan jalan ceritanya. Selanjutnya, ajukan pertanyaan-pertanyaan seputar bagian cerita yang sudah disampaikan atau memberi kesempatan pada mereka untuk menceritakan kembali apa yang sudah disampaikan guru. Reviu Dan Pengayaan Setelah teks fabel tertuntaskan, maka guru bisa mengajak peserta didik mereviu kembali apa yang sudah diceritakan dengan mengajak anak-anak bermain peran. Peran dan cerita yang dibawakan tentu sesuai dengan teks fabel yang sudah dibacakan. Bebaskan anak berimprovisasi sesuai imajinasinya, misalnya mengganti kata ataupun kalimat yang tertera di teks dengan kata dan kalimat mereka sendiri. Guru bisa juga mengajak anak-anak mengidentifikasi sifat-sifat atau karakter yang dimiliki masing-masing tokoh. Atau anak-anak diajak menemukan hal-hal apa saja yang berkaitan dengan hewan-hewan yang ada dalam teks fabel tersebut, misalnya dimana harimau biasanya tinggal? Apa yang dimakan harimau? Bagaimana ciri-ciri fisik harimau? Apa beda secara fisik antara singa harimau dan singa? Apakah bebek dan angsa berbeda? dan seterusnya. Di bagian lain, anak-anak diajak menggunting hewan-hewan yang mereka temui gambarnya dalam teks fabel lalu menempelkannya di kertas karton lalu menuliskan nama hewan tersebut (jika sudah bisa) atau guru memberi contoh bagaimana cara menuliskan hewan tersebut. Kemudian kartu-kartu dikelompokkan sesuai jenisnya, misalnya hewan yang biasa dipelihara manusia, hewan buas, hewan yang bisa terbang dan sebagainya. Kemudian kartu-kartu itu dimainkan. Jika ada anak-anak yang berminat membacakan cerita fabel untuk teman-teman dan gurunya berilah kesempatan pada mereka untuk bergiliran melakukannya. Cara ini biasanya akan memancing anak-anak yang lain untuk lebih aktif mengeksplorasi ketrampilan berbahasanya, khususnya anak-anak yang relatif pendiam dan kurang ekspresif di kelas, khususnya dalam hal berbicara dan mengekspresikan keinginannya. Motivasi teman sebaya biasanya mampu membangkitkan peran serta mereka untuk terlibat aktif dalam pembelajaran bahasa di kelas. Problem dan Solusi Meski secara umum teks fabel disukai anak-anak, ada beberapa problema yang membuat guru (mungkin juga orang tua) masih enggan menjadikan teks fabel sebagai media pembelajaran bahasa Indonesia bagi anak usia dini. Problem pertama adalah harga.
Di toko-toko buku, buku cerita fabel yang bagus umumnya terjemahan dan saduran dari penulis asing. Tampilan buku-buku cerita tersebut secara fisik amat bagus dengan hard cover, ini berimbas pada harga jual yang tinggi dan tidak terjangkau bagi sekolah-sekolah kebanyakan maupun orang tua peserta didik. Pemerintah Indonesia memberikan subsidi bea masuk 0% serta tak ada pajak untuk kertas bagi penerbit khususnya penerbitan buku-buku anak-anak seperti di India. Kebijakan ini tentu akan menurunkan biaya produksi dan ujungnya bukubuku cerita anak fabel menjadi lebih terjangkau. Pihak-pihak swasta melalui CSR (corporate social responsibility) didorong untuk lebih peduli pada bacaan anak usia dini, baik melalui penyediaan taman bacaan gratis, mobil perpustakaan keliling maupun penyediaan buku-buke cerita fabel yang berkualitas bagus, baik materi maupun tampilan fisik. Semakin dini memperkenalkan bacaan pada anak akan menumbuhkan minat baca yang tinggi di kemudian hari. Masalah kedua adalah sumber daya penulis. Minimnya jumlah penulis cerita anak dalam negeri khususnya yang fokus pada cerita anak usia dini membuat ketersediaan buku-buku tersebut tidak mudah didapat di toko-toko buku maupun perpustakaaan, taman bacaan maupun perpustakaan keliling. Hal ini diperparah dengan masih rendahnya tingkat membaca orang Indonesia. Umumnya orang tua masih menganggap buku cerita anak, khususnya fabel bukan hal yang pantas diprioritaskan. Sehingga penerbit juga seringkali menganaktirikan penerbitan cerita-cerita anak yang omzetnya tidak semenggiurkan jika mereka menerbitkan buku-buku novel remaja (teen lit dan sejenisnya) ataupun buku-buku pendamping mata pelajaran. Pemerintah dan pihak swasta agar didorong untuk mengadakan sayembara penulisan cerita fabel anak usia dini. Atau pemerintah memberikan perlakuan khusus dengan menurunkan pajak buku bagi penerbit agar mereka berlomba menerbitkan buku cerita fabel yang bermutu khususnya bagi anak usia dini. Masalah ketiga berkaitan dengan kreatifitas. Jika dukungan dari pemerintah dan pihak swasta yang diharapkan belum juga hadir maka semua pihak yang terlibat dalam pendidikan anak usia dini, baik guru, orang tua serta masyarakat luas hendaknya mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada di sekelilingnya untuk menghadirkan buku-buku cerita fabel buatan sendiri yang bisa dipakai sebagai bahan ajar. Misalnya membuat buku cerita fabel dari kain flanel maupun kain perca yang dijahit. Bahan tersebut relatif murah dan tahan lama, tidak mudah sobek seperti buku cerita yang terbuat dari kertas pada umumnya.
Guru dan orang tua harus mampu memahami kondisi psikologis, karakter, cara, gaya serta tahapan perkembangan anak khususnya dalam pemerolehan bahasa. Ada anak-anak yang lebih suka mendengarkan cerita dengan tenang, ada yang suka mendengarkan cerita dengan ikut terlibat dalam cerita dan menirukan peran serta dialognya (berperan sesuai tokoh dalam cerita), ada yang lebih suka mendengarkan cerita sembari menggambar tokoh ataupun adegan cerita dalam kertas gambarnya. Mengenali gaya masing-masing anak dalam merespon cerita akan memudahkan guru serta orangtua mengantarkan cerita pada anak. Idealnya guru harus mampu memfasilitasi semua gaya yang dimiliki peserta didiknya saat mendengarkan cerita, hal ini bisa dilakukan dengan mengelompokkan anak-anak sesuai gaya dan cara mereka merespon cerita. Hal ini memudahkan guru menilai dan mengukur perkembangan pembelajaran bahasa Indonesia masing-masing peserta didiknya. Selanjutnya guru serta orang tua harus terus menerus mempelajari teknik membacakan teks fabel yang baik, menarik sekaligus menghibur bagi anak-anak. Hal ini bisa dicapai melalui pelatihan-pelatihan mendongeng, teknik membawakan cerita untuk anak. Simpulan Pendidikan anak usia dini menjadi tahapan dasar yang tak boleh diabaikan mengingat banyak tahapan penting yang dilewati anak pada masa golden age tersebut. Pada masa ini juga perkembangan otaknya mencapai tahap paling optimal (0-6 tahun). Perkembangan yang dilalui anak pada usia dini menentukan keberhasilannya menyerap pengetahuan serta pengalaman di sekolah dasar. Membiasakan membaca sejak dini dan memperkenalkan buku akan menumbuhkan minat baca anak di kemudian hari. Fabel bisa digunakan sebagai media untuk melatihkan keterampilan bahasa Indonesia bagi anak usia dini karena cerita fauna disukai anak apalagi jika tampilan ilustrasinya dan cara membacakan ceritanya menarik.
Daftar Rujukan Aziz, Abdul. 2008. Mendidik Dengan Cerita. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.
Brown, H Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran Dan Pengajaran Bahasa. Pearson Education, Inc. Patmonodewo, Soemiarti. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta. Pusat Perbukuan Diknas dan PT. Rineka Cipta. Prashnig, Barbara. 1998. The Power of Learning Styles. Stattford. Network Educational Press Ltd. Toha-Sarumpaet, Riris K, 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta. Pusat Bahasa Kemendiknas. Sudono, Anggani. 2009. Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta. PT Gramedia.