TEKNOLOGI YANG HUMANIS UNTUK MENGENDALIKAN URBANISASI Oleh K.Iswasta Eka Urbanisasi pada umumnya didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota,
dan orangnya
disebut sebagai kaum urban, meskipun sebenarnya
dapat terjadi
perpindahan orang kota ke desa. Urbanisasi sendiri adalah migrasi penduduk dalam satu wilayah negara, oleh karena itu tidak harus dibatasi dari desa ke kota saja,tetapi demikian pula sebaliknya. Urbanisasi dapat terjadi karena berbagai hal, misalnya ; 1. Daya tarik kota. 2. Lapangan pekerjaan. 3. Sarana rekreasi yang lengkap. 4. Sarana pendidikan dan sarana sosial lainnya. 5. Faktor budaya. Urbanisasi sudah dimulai sejak adanya revolusi industri di Inggris untuk pertama kalinya. Robert Mc Adam menyebut sebagai "about the same interval, it might be note, separated the urban revolution from the industrial revolution". Urbanisasi pada akhirnya menjadi masalah dan momok bagi kota–kota besar. Urban dan urbanisasi muncul dengan adanya kota metropolis, tetapi kota metropolis ada setelah urban berjubel. Kota metropolis pada dasarnya dapat muncul karena tiga faktor utama yaitu ; 1. Adanya kerapatan pada bangunan perkotaan sehingga terlihat seperti kotak merpati di padang luas. 2. Faktor kapasitas, bentuk dan pola fasilitas perseorangan dan umum seperti sarana jalan, lintas KA, KRL, sistem transit dan jalan raya, mu-seum, pusat pertokoan , taman hiburan, teathre, gedung pertunjukan dan sebagainya. 3. Faktor lokasi kota dan keadaan aktivitas penduduknya yang terlihat tak pernah reda, lalu lintas selalu sibuk dan sebagainya. (Isvasta, 1986). Arus urbanisasi meningkat karena juga didorong oleh adanya interaksi desa kota yang makin
erat, terlebih dengan dibukanya
daerah-daerah terisolir.
Menurut Bintarto (1980),
perluasan jalur-jalur jalan yang menghubungkan desa kota dan perkembangan di
bidang
transpoptasi sangat meningkatkan frekuensi hubungan desa kota, yang pada akhirnya akan meningkatkan urbanisasi, ruralisasi, sirkulasi, ulang alik.
Dengan adanya arus urbanisasi, maka secara langsung atau tidak langsung akan menyebabkan perubahan struktur dan susunan suatu kota. Saat itulah mulai terbentuk kawasan kumuh dan sub urban dan pusat kegiatan bisnis, perkantoran, pemerintahan dan administrasi akhirnya akan berads di tengah yang dikelilingi oleh daerah pinggiran. Daerah pinggiran inilah yang pada umumnya sebagai tempat tinggal kaum urbanis. Tentang kasus urbanisasi, Daniel Terner (1978)
berpendapat bahwa urbanisasi
merupakan prakondisi untuk modernisasi dan pembangunan. Pendapat ini dibantah oleh Isvasta Eka (1986) dalam buku Peran Islam yang mengatakan bahwa bukan urbanisasi yang telah mendorong sentra industri, tapi pusat pembangunanlah yang mendorong masyarakat pedesaan untuk memasuki dunia yang sebelumnya belum pernah mereka tatap. Urbanisasi sebagai
sendiri akan mengarah pada
contoh yang lebih
dikenal
perubahan
sebagai negara
tenaga kerja.
Indonesia
agraris, kini sedikit demi
sedikit daerah persawahan dan pekerjaan pertanian mulai ditinggalkan generasi mudanya, dan Jakarta sebagai salah satu tumpuan harapannya. Sebutan negara agraris pada akhirnya lama-lama akan menghilang. Produktivitas pertanian dan surplus daerah agraris mulai ditelan, sementara kota-kota industri membutuhkan banyak lahan untuk lokasi pembangunan, sawah-sawah produktif mulai dicaplok untuk mendirikan kawasan industr, perumahan eli, pusat pertokoan dan segala fasilitas menuju kota metropolis. Arus perubahan kota telah mendorong perubahan tenaga kerja dan sifat pekerjaan. Akibat urbanisasi, kaum pencangkul telah berganti menjadi buruh kasar di kawasan kota. Mereka merasa lebih terhormat bekerja di kota sebagai buruh kasar dibanding juragan
tanah
kecil
(baca
:petani
gurem)
dan
mencangkul
di
sawah.
Muncullah
masyarakat penglaju (pergi pulang), yang berangkat ke kota untuk bekerja dan pulang kembali ke desa setelah bekerja sore harinya. Disampinē itu ada pula yang menetap di kota, dan secara berkala pulang bersama-sama ke desa. Ini bisa dilihat pada setiap hari raya Iedul Fitri jutaan manusia kembali ke tempat asal dari Jakarta sebagai center of action. Di pemilikan ladang
samping dan
daya
tarik
kota,
urbanisasi
yang
didukung
penguasaan lahan, pemilikan dan penguasaan
oleh
menciutnya
tanah pertanian maupun
yang diusahakan petani cenderung menciut yang berakhir dengan
makin
berkurangnya hasil produksi pangan untuk tiap-tiap keluarga. Hal ini akan berjalan terus menerus sepanjang tahun, sehingga penguasaan lahanpun makin menciut. Kondisi itulah yang menyebabkan untuk di
kota
memenuhi kebutuhan
hidupnya mereka lari ke kota. Nasib mereka
sayangnya cenderung kurang menguntungkan mengingat tak
didukung oleh
ketrampilan yang memadai, maka cara kerjanyapun tenaga
pengangguran
baru.
Sebagai gambaran
seadanya atau
justru
menciptakan
dari data informasi kerja April s/d Juni
tahun 1984 didapatkan ratio 7:2 : 1, artinya setiap tujuh pelamar pekerjaan memperebutkan 2 lowongan dan hanya 1 yang memenuhi syarat. Pada tahun 2000 ratio tersebut menjadi 10 : 1 : 2, peningkatan yang cukup tajamdalam kurun waktu 16 tahun. Dengan
makin
tingginya
penggangguran dan meningkatnya arus urbanisasi akan menimbulkan masalah-masalah baru, diantaranya tindak kriminalitas, pelacuran dan sisi negatif yang
lain. Segala macam
masalah ini bisa muncul secara bersama-sama di kawasan kumuh. Kawasan kumuh sendiri diberikan pada daerah hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan, yang berada diantara gedung-gedung bertingkat, meskipun yang tinggal disana tidak pernah menyebut dirinya sebagai penduduk kampung kumuh. Istilah kumuh diberikan oleh mereka yang mempunyai strata lebih baik atau pemerintah itu sendiri. Sampai sekarang penanganan problema kawasan kumuh belum pernah selesai, karena setiap kali selalu muncul masalah baru. Di Jakarta sebagai kota tujuan utama kaum urban, kawasan kumuh menyebar di seluruh wilayah Jakarta. Pemerintah daerah bermaksud menata kawasan kumuh dengan perombakan
secara keseluruhan,
dengan
membangun
rumah
susun, tetapi apakah dengan berdirinya rumah susun masalah tersebut akan berakhir ? Rasanya masih jauh dari keinginan, mengapa demikian ? Rumah susun belum tentu menyelesaikan masalah, hal ini berkaitan erat dengan sistem kerja dan infrastruktur mereka yang tinggal di kawasan kumuh. Menurut Amir Karamoy, suatu suatu penelitian dengan sampel di 14 wilayah kelurahan (n=223) yang tergolong miskin memberikan gambaran bahwa 40 % dari penduduk hidup sebagai buruh kasar, pelayan toko, kenek, pembantu rumah tangga, pencari beling, kertas dan kaleng bekas, pengemis, pelacur dan jenis pekerjaan kasar lainnya. Sedang berdasar jenis jasanya 37 % terdiri dari tukang becak, pedagang kecil, calo dan pelacur. Melihat kenyataan demikian terlihat bahwa ada banyak berjalan terus.
arah pergeseran
yang
sedikit
Menurut Isvasta Eka (1986), pergeseran arah dan tingkat perkotaan
akan mengubah nilai-nilai sosial yang telah ada. Pada awalnya rakyat kecil berada di tengah, karena sistem pusat (center city) mulai berkembang, rakyat yang tingkat penghasilannya rendah tergeser ke tepian, dan makin lama makin jauh. Padatnya perkotaan menyebabkan tanahpun makin mahal, yang berakibat pada terbentuknya kawasan kumuh di daerah urban dan sub urban. Contoh kasus adalah Yogyakarta. Pada tahun 1980-an pekerja-pekerja disektor pemerintahan rata-rata berjarak 1 – 5 km dari rumah ke kantor, namun pegawai-pegawai angkatan muda pada
tahun 1999 banyak yang menetap di perumahan yang berjarak 10–15 km dari tempat kerja karena ketidak mampuan membeli di sekitar tempat kerja. Dengan makin tingginya angka kelulusan SMTA ke atas
juga menimbulkan
arus
urbanisasi secara besar-besaran. Tenaga-tenaga terdidik yang pada tahun 1987 untuk tingkat SMTA sebanyak 973.831, tetapi juga belum siap pakai untuk bidang-bidang pekerjaan tertentu, dan yang berasal dari desapun jumlahnya cukup banyak juga yang mulai enggan turun ke sawah. Orientasi kerja mereka adalah kota, yang dikatakan sebagai tumpuan harapan. Golongan under employment pada akhirnya akan menumpuk
di perkotaan,
terutama kota-kota besar. Golongan inilah yang dianggap sebagai pengangguran terselubung yang sulit
dilacak datanya. Lantas dengan langkah atau cara apa untuk
membendung
arus urbanisasi dan sekaligus menawarkan lapangan pekerjaan bagi para urbanis. Jawabannya adalah teknologi humanistik. Teknologi humanistik adalah penerapan teknologi maju yang masih bertumpu pada tenaga manusia. Langkah ini
perlu diterapkan dengan membangun sentra-sentra industri
pedesaan. Orientasi pembangunan selama
ini adalah
mengimbangi dan menarik kembali tenaga kerja pedesaan
dengan
teknologi
industri
desa adalah
humanistik. Jika
di
perkotaan, maka dengan
sentra
untuk industri
desa terdapat cukup banyak
penawaran lapangan pekerjaan niscaya semut-semut yang lari ke kota tetapi belum bekerja akan kembali ke desa. Di sini akan terjadi arus balik kaum urban, karena bagaimanapun juga ada gula ada semut, ada lowongan pekerjaan ada pencari kerja. Di kota-kota kecil biasa terjadi gerakan penduduk dengan pola desa kota dan kota desa, yang dilakukan oleh orang-orang desa untuk menjual barang-barang hasil bumi di kota, dan kemudian belanja keperluan desa yang hanya ada di kota. Arus semacam ini praktis terjadi setiap hari, tetapi mereka tidak menetap di kota. Model seperti ini jangan dianggap akan
terjadi selamanya, karena di Eropa
Baratpun pada awal pertumbuhan revolusi industri mengalami pola demikian. Justru urbanisasi yang besar dimulai
dari arus
sirkuler.
Jika penduduk desa memandang
transaksi
jual
belinya dipandang mapan, ia akan mencoba mencari tempat menetap di kota untuk menjadi juragan, dan kebutuhan kota yang didatangkan dari desa akan dikirim oleh rekan atau teman atau saudara-saudaranya, yang pada akhirnya juga akan mendorong saudara-saudara yang lain untuk ikut menetap di kota. Dari peristiwa kecil semacam inilah yang pada akhirnya akan membentuk kota kecil menjadi kota besar yang dikelilingi oleh daerah-daerah kumuh sepanjang perifer kota atau terselip di pusat kota.
Arah yang terbalik
justru terjadi di kota
Cilacap. Urbanisasi terjadi bukan karena
menetapnya orang desa di kota, tetapi serbuan orang kota ke desa dan menetap di pedesaan. Kasus ini terjadi sebagai akibat didirikannya proyek-proyek industri bukan di luar kota atau sedikit jauh dari kota, tetapi justru dibangun di pusat kota, dengan menggusur warga yang sudah lama tinggal ditempat tersebut Kemungkinan yang akan terjadi justru menjadikan Cilacap kota bukan sebagai tempat pemukiman, tetapi sebagai tempat industri, perkantoran dan kawasaī pelabuhan. Urbanisasi adalah peristiwa migrasi dorong tarik. Di negara maju urbanisasi terjadi akibat tarikan
kota
dengan berbagai macam fasilitasnya, sebaliknya
di
negara-negara
berkembang terjadi urbanisasi dorong, yaitu dorongan desa karena di desa sudah tidak ada lapangan pekerjaan, dan mereka dipaksa untuk keluar dari desa. (Kedaulatan Rakyat, Oktober 1987)