TARI GALOMBANG SEBAGAI STATUS SOSIAL MASYARAKAT MINANGKABAU: SUATU PERUBAHAN1 Oleh Nerosti Adnan2 Abstract: Tulisan ini mengkaji perubahan yang terjadi pada tari Galombang baik dari segi koreografi maupun fungsi yang mengambil lokasi Kota Padang saja. Sebagai tari tradisional Minangkabau, pada mulanya tari galombang berfungsi dalam upacara penobatan penghulu (kepala suku) yang ditarikan oleh puluhan lelaki dengan gaya pencak silat atau silek galombang. Sekarang tarian ini ditarikan oleh perempuan dengan koreografi yang bervariasi. Perubahan mempengaruhi pada status sosial masyarakat. Bagi penghulu, Galombang adalah harga diri dan legitimasi yang lebih pada kekuatan kaumnya kerana negerinya punya anak muda yang tangguh bersilat, sehingga orang lain tidak mudah menjatuhkan kekuasaannya. Sekarang tari galombang juga sebagai simbol status sosial tetapi lebih kepada pandangan ekonomi. Koreografi tari galombang yang sekarang berkembang di kota Padang adalah perpaduan gaya sasaran dan gaya Melayu, yang sangat erat hubungannya dengan sejarah perkembangan geografis kota Padang, juga dengan intelektual, sosial budaya dan gaya hidup (status sosial) masyarakat Minangkabau di kota Padang Key word: Galombang, perubahan, status sosial. Pendahuluan Masyarakat Minangkabau adalah salah satu masyarakat etnis Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di Pulau Sumatera bahagian Barat, dalam system pemerintahan disebut dengan Propinsi Sumatera Barat. Semenjak ratusan tahun bahkan ribuan tahun masyarakat Minangkabau telah menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan tradisi mereka dalam satu wilayah yang dikenal dengan alam Minangkabau. Istilah Minangkabau mengandung pengertian kebudayaan di samping makna geografis. Ada suku “bangsa Minangkabau’, ada kebudayaan
1
Dipresentasikan pada Seminar Internasional “Strengthening Arts In The Perspective of Science” di Universitas Negeri Semarang Indonesia, pada 26 Agutus 2008. 2 Dosen Sendratasik Universitas Negeri Padang Indonesia dan Pensyarah Lawatan Fakulti Seni dan Muzik Universiti Pendidikan Sultan Idris Tanjong Malim Perak Malaysia. (Student Ph. D pada Fakulti Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, Kuala Lumpur Malaysia)
Minangkabau tetapi tidak ada bangsa Sumatera Barat, maupun kebudayaan Sumatera Barat (Mansoer, MD, 1970: 2). Oleh karena itu hingga sekarang orang
Minangkabau
juga
menyebut
keseniannya
dengan
kesenian
Minangkabau bukan kesenian Sumatera Barat. Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat yang bersifat terbuka dari rakyat untuk rakyat. Oleh sifatnya yang terbuka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah dalam konteks sosio budaya Masyarakat Minangkabau dapat diartikan Sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya. Dalam pepatah Minangkabau berbunyi: Sakali aie gadang, sakali titian berubah (setiap air besar, maka titian akan berubah letaknya). Menurut Hamka (2006: 29)
sudah 3 kali air besar melanda Minangkabau: (1)
penjajahan Belanda dan masuknya Jepang, (2) perjuangan kemerdekaan Indonesia, (3) pergolakan PRRI 1958-1960. Perubahan sendi adat dan tiga pergolakan yang menyebabkan terjadinya perubahan, jelas tidak hanya berdampak negatif saja. Pemerintah kolonial Belanda dan ajaran Islam yang disebarkan oleh intelektual (Islam) memperkenalkan kebudayaan baru yang merupakan suatu kemajuan. Jika ditanggapi pula secara positif, perubahan social sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang diterima, baik kerana perubahan-perubahan kondisi seperti geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideology maupun kerana adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat (Soejono,1997: 26). Perubahan-perubahan kondisi geografis dan komposisi penduduk adalah
mengawali
kemunculan
kebudayaan
baru
bagi
masyarakat
Minangkabau di Kota Padang. Padang sebagai ibukota propinsi Sumatera Barat yang terletak ditepi pantai pesisir, pada awalnya hanya kota kecil dengan luas 33 Km2, yang terdiri dari 3 kecamatan: Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur (Padang dalam angka 2006). Masyarakat Padang mempunyai budaya modern yang berbeza dengan masyarakat Minangkabau lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh gaya hidup Belanda di masa penjajahan diabad ke 18. Pada masa itu Belanda mengangkat kaum elit tradisional yang sekarang dikenal dengan bangsawan Padang (Mulyadi, 2
1994, Rusli Amran, 1981). Golongan angku-angku di Kota Padang yang lebih dikenal bangsawan Padang bersifat heterogen, mengakibatkan tidak terdapat kultur dominan di antara mereka. Dalam mengkonsumsi kesenian mereka lebih mempergunakan unsur-unsur Barat, baik dalam hal muzik maupun tarian. Muzik mereka menggunakan alat muzik buatan Eropa dengan tangga nada diatonis, ada unsur harmoni, melodi, dan pola irama yang jelas. Dalam hal tarian mereka mencontoh tari-tarian atau dansa-dansi orang Belanda yang berfungsi sosial pergaulan atau ditarikan berpasangan dengan mengutamakan fungsi rekreasional bagi penarinya sendiri. Sangat berbeda dengan nagari-nagari yang terletak di bagian pedalaman di sekitar kota Padang, seperti Nagari Pauh, Koto Tangah, Kuranji (yang dulunya masuk wilayah Padang Pariaman tetapi sekarang sudah menjadi kecamatan di kota Padang). Yang masih kuat dengan sistem sosial dan budaya menurut norma-norma adat dan agama, yang tidak memberi peluang pada wanita untuk menari. Para bangsawan Padang tersebut berkembang tari pergaulan yang ditarikan secara berpasangan oleh lelaki dan perempuan, tarian tersebut disebut dengan tari Minangkabau gaya Melayu. Undang-undang no: 5/1979 dan PP No: 17/1980 luas wilayah Kota Padang menjadi 698,96 Km2, dengan 11 kecamatan. Sebahagian kecamatan yang bergabung awalnya adalah dari kabupaten lain terutama dari kabupaten Padang Pariaman, yang masih kuat mempertahankan nilainilai tradisi Minangkabau. Dengan terjadinya pengembangan kota maka secara otomatis masyarakat mengalami proses urbanisasi, yang menurut Evers & Korff (2002: 354) melibatkan pula proses budaya seperti akulturasi, difusi, dan asimilasi. Proses urbanisasi yang dialami masyarakat perkotaan melibatkan peranan, gaya hidup, symbol, bentuk organisasi, artifak budaya yang bercirikan kota yang serba berubah. Mereka dapat bersama-sama memahami makna, nilai, dan perspektif perkotaan. Perubahan sosial selanjutnya terjadi dengan munculnya kelas menengah di kota-kota, terdiri dari golongan intelektual, peniaga dan pengusaha. Pada mulanya golongan kelas menengah ini memang tidak memusatkan perhatian pada masalah kebudayaan, tetapi lebih memusatkan perhatian pada masalah politik dan ekonomis. Namun pada akhirnya kelas menengah yang muncul di kota-kota 3
tersebut menjadi pendukung kebudayaan baru bahkan menjadi patron dari sebuah kebudayaan baru. Dengan terjadinya perkembangan kota dan munculnya masyarakat urban yang memunculkan kebudayaan sendiri pula maka membawa dampak yang positif terhadap perkembangan seni pertunjukan Minangkabau.Tari galombang yang menjadi topik penulisan ini sedang mengalami perubahan yang diduga berdampak dari proses urbanisasi dari pengembangan kota Padang. Tari galombang yang digunakan untuk tari penyambutan tamu pada awalnya ditarikan oleh puluhan lelaki seperti pendekar kerana geraknya pencak silat. Tarian ini ada yang ditampilkan dalam bentuk satu arah menghadap kepada tamu, ada yang dua arah dalam bentuk dua kumpulan saling berlawanan dengan jarak 10 meter kemudian semakin dekat dan disudahi dengan pertarungan silat, kemudian disuguhkan carano kepada tamu (Zulkifli, 2003, Hartati, 1999,). Navis (1984) menulis tari galombang adalah tari upacara: penobatan Penghulu (kepala suku) dan majlis perkahwinan yang ditarikan oleh puluhan lelaki dalam bentuk dua arah atau berlawanan tetapi tidak terjadi pertarungan. MID Jamal (1982: 32) meneliti Tari Galombang di beberapa nagari di Pesisir Selatan, ditemukan tari galombang duo baleh menghadap kepada tamu ditarikan 12 penari lelaki dengan gerak pencak silat dalam bentuk satu arah. Tari Galombang pada hakekatnya menjemput dan mengarak tamu ibarat datang raja menanti raja, yang maknanya tamu dan tuan rumah adalah sederajat. Banyak penelitian terdahulu iaitu Risnawati (1993), Sawanismar (1994), Maryeliwati (1995) meneliti tari galombang pada nagari yang berlainan, semua menyatakan tari galombang ditarikan oleh lelaki dengan gerak pencak silat yang berfungsi untuk menyambut tamu di lapangan terbuka. Zulkifli bahkan mengatakan tari galombang tidak pernah ditampilkan di dalam ruangan, tetapi di lapangan. Nerosti (1992) meneliti pemula “Bentuk dan Fungsi Tari Galombang di Sumatera Barat”, 2 tari galombang (Sado dalam bentuk galombang), galombang 12 Pesisir Selatan, masih ditarikan oleh lelaki dengan gerak silat gaya daerahnya, dan tari galombang grup Syoyani, Indojati, Sendratasik telah bervariasi gerak dan penarinya perempuan. Penelitian terdahulu juga belum memunculkan 4
permasalahan tentang perubahan tari galombang yang berkembang di kota Padang dan pentingnya untuk sebuah pesta atau untuk sebuah acara, yang erat hubungannya dengan status sosial masyarakatnya. Sekarang tari galombang berkembang di kota Padang ditarikan oleh perempuan, tampil sebagai penyambutan tamu dalam segala aktivitas masyarakat seperti pesta perkawinan, dan acara pemerintah, bahkan tampil untuk penobatan penghulu tetapi untuk tamu yang datang.
Gambar 1: Tari Galombang kreasi yang berkembang di kota, (Dokumentasi Nerosti Adnan, 2007) 5
Gambar 2: Galombang Duo Baleh tari tradisional Bayang Pesisir Selatan (Refroduksi MID Jamal, 1982).
Tari Galombang Gaya Sasaran Sebagai Status Penghulu Tari galombang tradisional pada mulanya ditarikan oleh puluhan lelaki. Ada yang dalam bentuk satu arah menghadap kepada tamu (seperti tari galombang yang telah dideskripsikan di atas), dan ada pula dalam bentuk dua arah yang ditarikan oleh dua kumpulan lelaki. Hartati (1999) meneliti tari galombang di Ampalu Pariaman Sumatera Barat, Tari galombang yang terdapat di Ampalu adalah tari galombang dua arah atau dua kelompok. Setiap upacara tradisional, Penghulu atau ketua adat selalu menjadi tamu penting, misalnya dalam sebuah alek nagari (pesta negeri) maka penghulu datang dari tiap-tiap negeri. Untuk penyambutan penghulu tersebut maka disambut dengan tari galombang, namun tari galombang tidak hanya dari pihak tuan rumah sahaja, tetapi juga dari pihak penghulu atau tamu yang datang. Jika tamu tersebut tidak membawa tari galombang, maka tuan rumah menyediakan penari yang berperan dari pihak tamu dan pihak sipangka (tuan rumah). Tari galombang di Ampalu merupakan adu kekuatan. Galombang dari pihak tuan rumah disebut dengan 6
kumpulan majo kayo (pihak tuan rumah yang dianggap kaya), sebaliknya tari galombang dari pihak tamu disebut kumpulan majo lelo (meraja lela iaitu kumpulan penyerang yang dapat melakukan gerak dengan leluasa kerena mereka menyerang). Kedua kumpulan tersebut menampilkan gelombang secara serentak, masing-masing kumpulan berjarak kira-kira 10 meter. Galombang majo kayo membelakangi gerbang rumah atau tempat acara dan menghadap kepada tamu, sedangkan galombang dari tamu majo lelo menghadap ke galombang tuan rumah. Awal persembahan didahului dengan bunyi muzik iaitu gandang tambua yang dikombinasikan dengan tasa (rebana), muzik ini adalah muzik kesenian Tabuik di Pariaman. Masingmasing gerak dikomandoi oleh tukang alieh (ketua kumpulan), selain dari penari dan tukang alieh ada pula Janang iaitu Juri atau wasit yang lebih berperan sebagai pelerai, jika permainan sudah mengarah pada perkelahian maka Janang akan melerai. Kedua tukang alieh seperti pesilat yang sedang bertarung (berkelahi), kadang-kadang mereka juga saling sepak terjang, setiap serangan lawan biasanya selalu terelakkan. Penari yang lainnya masing 4-8 orang di belakang tukang alieh, penari yang lainnya selalu mengikuti gerak tukang alieh tetapi tidak berlawanan dengan penari lawannya. Jika pergerakan antara kedua tukang alieh sudah semakin keras dengan emosi perkelahian, maka Janang menyuruh pembawa carano untuk menyuguhkan sekapur sirih. Tari galombang serupa juga masih berkembang di Koto Tangah Padang yang masih digunakan untuk penobatan penghulu tetapi yang disambut dengan tari galombang adalah Wali Kota Padang Fauzi Bahar yang menghadiri upacara penobatan penghulu. Kumpulan tari tradisional “Kato Sapakat” memakai istilah penangkis untuk tuan rumah/majo kayo dan sebutan penyerang untuk penari dipihak tamu/majo lelo. (Nerosti Adnan: Survey 13Juni-1Juli 2008). Ada tiga makna tari galombang dua arah yang ditampilkan pada upacara malewakan/penobatan penghulu: 1. Sebagai simbol, galombang hanya ditampilkan untuk penghulu pucuk sahaja (penghulu yang terpilih sebagai ketua dari segala penghulu di 7
nagari tersebut). Jika galombang ditarikan maka masyarakat akan mengetahui bahawa tamu yang datang adalah Penghulu Pucuk. Jadi dapat diartikan bahwa tari Galombang di Ampalu adalah tari kebesaran
Penghulu.
Di
Koto
Tangah,
tari
galombang
juga
merupakan simbol, namun sudah terjadi perubahan fungsi karena status sosial Wali Kota lebih kepada kekuatan sistema pemerintahan bukan status kekuatan ketua adat. Hakekat simbol sebagai legitimasi seorang pemimpin juga sama-sama ditemukan ketika galombang dipertunjukkan. 2. Galombang sebagai kehormatan, masyarakat Ampalu dan Koto Tangah Padang yang sangat menghormati pemimpinnya iaitu penghulu sebagai yang dihormati dalam adat Minangkabau dan Wali Kota sebagai pemimpin dalam sistem pemerintahan. Kehormatan yang mendalam pada diri penari. Mereka menari tampa pamrih atau tanpa bayaran, penari meninggalkan pekerjaannya demi menyambut penghulu atau wali kota dengan tarian galombang. Masyarakat merasa jika tari galombang tidak ditampilkan ketika penghulu datang pada suatu upacara adat, maka mereka tidak menghormati pemimpin mereka bahkan beranggapan akan mendapat bencana3. Menari bagi penari galombang adalah sebuah pengakuan untuk menghormati dan meningkatkan derajat seorang penghulu. 3. Galombang sebagai persahabatan, dengan adanya dua kumpulan menari, maka mereka sudah martabat masing-masing, baik dari pihak si tamu mahupun dari pihak tuan rumah. Ketika mereka menari yang pergerakannya lebih bergaya silat dalam bentuk pertandingan, maka dengan cara demikianlah mereka saling mengenal dan lebih memperkuat persahabatan mereka sebagai pendekar. Navis (1984: 244) mengkategorikan tari galombang ke dalam jenis tari upacara kerana ditampilkan pada penobatan penghulu (kepala suku) dan majlis perkawinan yang ditarikan oleh puluhan lelaki dalam bentuk dua arah atau berlawanan tetapi tidak terjadi pertarungan.
3
Wawancara dengan Pak Nasir Penari Galombang Grup Kato Sepakat koto Tangah , 26 Juni 2008
8
Tari Galombang Kreasi sebagai Status Sosial Masyarakat di Perkotaan Di sebuah aula telah terpasang pelaminan pertanda berlangsungnya pesta perkawinan adat Minangkabau di kota Padang. Penyambut tamu dan semua keluarga telah berpakaian mewah, para undangan sudah memenuhi aula tersebut. Kemudian rombongan penganten yang disebut anak daro jo marapulai memasuki gerbang aula
tempat berlangsungnya acara,
bersamaan MC (pengacara) mengucapkan pantun yang berbunyi: Bungo cimpago jo bungo rampai Hiyasan sanggua bidodari Jauah bajalan kini lah sampai Penganten lah tibo ditampek resepsi (Bunga cempaka dan bunga rampai, Hiasan sanggul bidadari, Jauh berjalan sekarang telah sampai Penganten telah tiba di rumah kami) Hadirin mohon berdiri Dietong kilek jo piobang Bundo kanduang alah malenggang Disonsong silek jo galombang Tando rang Minang baralek gadang (dihitung kilat dan piobang (sejenis binatang). Bunda kandung sudah melenggang, dijemput dengan tari galombang tanda orang Minangkabau mengadakan pesta mewah) Musik gendang dan tasa diiringi bunyi talempong dan tiupan sarunai bersamaan dengan gerakan penari galombang. Dua orang penari laki-laki dengan barisan 2 berbanjar, serempak bergerak pencak yakni meneriakkan ap... sambil bertepuk, melakukan gerak langkah satu, langkah duo, dan langkah tigo, sambil melangkah ke depan, berputar, disertai gerak tangan menyiku dan menusuk, kemudian melakukan beberapa variasi gerak silat seperti menyerang, menangkis, menyepak dan menerjang, yang diakhiri dengan sambah hormat kepada kedua penganten. Gerak yang berkesan tangkas, gesit, dan tajam tersebut lebih mengutamakan keindahan gerak tarian dari pada mengekspresi silat Minangkabau yang aslinya. Di belakang menyusul 8 orang penari wanita, masih dalam pola lantai 2 berbanjar, dengan lembut merentang kedua lengan ke samping dan perlahan-lahan bergerak ditempat dengan gerak tanang dan simpie. Dengan serentak 9
mereka bergerak maju dengan gerak anak main, lapieh jarami. dan lenggang karaie. Di belakang penari itu menyusul pula 4 orang penari wanita yang memegang jamba4 hiasan. Dengan lemah gemulai sambil tersenyum penari tersebut terus menari ke depan hingga akhirnya mereka berada pada barisan paling depan pas di depan penganten. Jamba digerakkan ke atas dan ke bawah, ke kiri ke kanan seperti melukiskan setengah bulatan. Di barisan paling belakang dengan perlahan-lahan terus berjalan tiga orang wanita memakai pakaian adat yang lengkap,
salah satunya memegang
carano berisikan sekapur sirih yang akan disuguhkan kepada kedua penganten. Tarian yang telah dideskripsikan di atas adalah tari galombang kreasi yang didominasi oleh penari wanita. Tarian seperti itu telah mentradisi pula berkembang di tengah masyarakat terutama di kota Padang dan selalu digunakan untuk penyambutan tamu. Tidak hanya untuk menyambut penganten sahaja tetapi juga untuk menyambut semua tamu yang dihormati dalam berbagai aktivitas masyarakat. Bagi acara tertentu di kalangan pejabat pemerintah tari galombang selalu digunakan untuk menyambut camat hingga Presiden, para pengusaha dan para wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Barat khususnya di Kota Padang. Koreografinya sudah tertata secara profesional, sehingga dapat memberikan sajian estetis kepada tamu dan merupakan kebanggaan pula bagi yang punya pesta jika dapat menjemput tari galombang untuk disajikan kepada tamunya. Semakin bagus koreografi tari galombang yang ditarikan dalam sebuah pesta, semakin tinggi pula kebanggaan atau “gengsi” seseorang. Pembahasan Royce (1977) mengatakan bahwa tari tidak hanya berkaitan dengan pelaku dan penonton, melainkan berhubungan dengan aspek sosio cultural baik dalam batas regional atau suku bangsa, perbezaan kelas dan status maupun perbezaan kebangsaan. Keseluruhan ciri yang menentukan pola
4
Jamba adalah lauk-pauk yang diletakkan di beberapa piring kemudian disusun di atas dulang yang ditutup dengan tudung dan dulamak (kain beledru bersulam emas). Biasanya jamba hanya dihadirkan pada acara-acara tertentu seperti pada pesta perkawinan.
10
dalam tari berkembang melalui peniruan-peniruan dan interaksi antara anggota masyarakat, sehingga berkembang melembaga menandai sebuah identitas. Pola itu dinamakan gaya. Gaya tersusun dari simbol-simbol dan bentuk-bentuk yang berasaskan pada orientasi nilai yang dianut, diyakini, dan diinternalisasikan dalam anggota kelompok. Sebuah tarian etnik merupakan tari yang tumbuh dan berkembang dalam budaya agraris, suku bangsa, dan selalu terjadi perubahan dalam koreografinya untuk keperluan hiburan, upacara ritual atau aktiviti sosiokultural, yang kemudian menjadi milik
bersama oleh masyarakat Kurath
(1992). Kurath menilai koreografi tarian boleh dipengaruhi oleh keragaman budaya dan perbezaan wilayah, ia memperkenalkan etnokoreografi sebagai persamaan dengan etnologi tari sebagai kajian tentang
hubungan
tari
dengan budaya, fungsi-fungsi keagamaan atau sebagai simbol status masyarakat. Etnokoreologi juga mengkaji tentang tari yang tumbuh dalam sebuah komunitas untuk melihat kepada koreografi tari masyarakat yang berhubungan dengan persembahan kinestetik, struktur pergerakan (teks) dan konteks tarian dalam sebuah budaya. Sehubungan dengan itu ditampilkannya tari galombang pada upacara penghulu yang saat itu peran penghulu masih kuat di tengah masyarakat Minangkabau, maka fungsi tari jelas sebagai simbol status sosial yang kuat. Dalam kebudayaan Minangkabau kegiatan pencak dan tari lahir dari sasaran oleh komuniti orang mudo.Setiap nagari mempunyai sasaran dengan gaya yang khas. Kerana struktur budaya Minangkabau telah melintasi budaya masa kini hingga citra keunikan kesenian nagari itu telah mengabur. Pelembagaan festival-festival,
sekolah-sekolah
dan
berbagai
keperluan
nasional
menyebabkan kesenian nagari menjadi milik Minangkabau secara umum. Hal ini dipercepat dengan berdirinya Sekolah Tari, yang berfungsi sebagai kasalisator.
Dalam system budaya Minangkabau semula tak dikenal
penampilan perempuan dalam tari. Sedyawati mengatakan, Fuji Astuti membahas peranan para koreografer wanita Minang di bidang tari telah 11
menggeser pandangan konvensional dalam masyarakat adat Minang mengenai peranan wanita diarena publik, para koreografer itu mewakili lingkungan kota (Astuti, 2004: Pengantar). Hawkins (1991) dalam proses koreografi ada 3 langkah yang harus dilalui oleh seorang koreografer iaitu: eksplorasi, improvisasi, dan komposisi. Ketiga langkah tersebut diberinya tajuk “pola pertumbuhan koreografi dalam bentuk Spiral”, bahwa seorang koreografer adalah sebuah pribadi yang ekspresif, yang dalam dirinya terdapat berbagai ide yang disebutnya abstrak universal. Diproses melalui berbagai aksi kreatif yang berlapis-lapis. Pertumbuhan kreativitas yang berwujud bagai sebuah spiral itu terbentang melalui serangkaian tahap atau tingkatan. Aksi kreatif yang berproses secara bertingkat itu muncul secara spontan, khayalan mengalir melalui gerakan yang terungkap secara nyata. Aksi tubuh pun sensitive pada gerak-gerak baru. Proses koreografi akan tetap sama melalui tingkatan-tingkatan yang disebut
spontaneity,
fluent
imajiner,
Movement
Developed-Phrasing,
Sensitive Dynamic, Differentiation-Integration, dan Inovative, namun dalam tingkat pencapaian akan muncul variasi atau kreasi yang berbeda-beda. Merujuk kepada teori Hawkins inilah dapat dipahami bahwa munculnya koreografi dengan berbagai kreativitas koreografer di kota Padang adalah suatu yang wajar. Simpulan Perubahan yang terjadi pada tari galombang dalam masyarakat Minangkabau di kota Padang: (1) Proses akulturasi dua gaya tari Minangkabau
gaya
sasaran
dan
tari
Minangkabau
gaya
Melayu
memperkembangkan fungsi tari yang dapat melegitimasi status social masyarakat Minangkabau. (2) Perkembangan koreografi terjadi kerana faktor profesional yang ditandai dengan kreativiti seorang koreografer dalam mengkoreografi tari galombang. adalah
pekerjaan
berdatangan,
yang
Memuaskan konsumen Tari Galombang
harus
dilakukan,
supaya
order
selalu
motivasinya adalah uang. Uang bukan sekedar
bukan
sekedar ekspresi simbolik dari aspek-aspek kehidupan, tetapi uang juga merupakan ekspresi simbolik dari aspek kehidupan lainnya seperti sosial, 12
budaya, politik, dan agama (Damsar: Sosiologi Uang, 2006: 34). Menari zaman sekarang juga sangat berbeda dengan menari zaman dahulu. (3) Perubahan itu ditandai dengan perubahan ikon lelaki menjadi ikon perempuan. Berdasarkan kesimpulan di atas maka tesis yang dapat dikemukakan adalah: Perubahan tari Galombang Kreasi sangat erat hubungannya dengan intelektual, sosial budaya dan gaya hidup (status sosial) masyarakat Minangkabau di kota Padang. Kepustakaan Astuti, Fuji (2004) Perempuan dalam Seni Pertunjukan Minangkabau: Suatu Tinjauan Gender. Jokjakarta: Kalika Amran, Rusli (1981). Padang Riwayatmu Dulu. Jakarta: Yasaguna. Dieter Evers, Hans dan Korf, Ridger (2002) Terjemahan Zulfahmi. Urbanisasi di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Hamka (2006). Islam dan adat Minangkabau. Kuala Lumpur: Pustaka Dini SDN BHD Hartati (1999). Tari Galombang Sebagai Penyembutan Tamu di Ampalu Kabupaten Padang Pariaman” Padangpanjang: STSI Press Hawkins, Alma (1991) Moving From Within: A New Methode for Dance Making” Holt, Claire. 1967. Art. In Indonesia: Countinuities and Change. Cornell University press. Ithaca New York. Mansoer, MD. 1970. Sejarah Ringkas Minangkabau. Jakarta: Bhratara Mulyadi. KS (1994), Tari Minangkabau Gaya Melayu Paruh Abad XX Continuitas dan Perubahan. Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Navis (1984). Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Budaya Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press Nerosti(1992) “Tari Galombang dalam Masa Transisi”. Laporan Penelitian. Padang: Universitas Negeri Padang
Padang Dalam Angka (2006). Padang: Badan Statistik Royce (1977). The Antrophology of Dance. Bloomington and London: Indiana University Press, 1977. Zulkifli (2003) Tari Penyambutan Tamu di Sumatera. Padangpanjang: SISI
13