Tanpa awan dan angin, takkan pernah ada hujan. Tapi jika awan, angin dan hujan bersama, bukankah akan timbul badai besar? Embun pagi yang dingin membasahi gaun hitamku. Aku tak tahu sejak kapan aku ada disini. Aku tak tahu untuk apa aku ada di sini. Aku juga tak tahu kenapa aku bisa memakai pakaian ini. Hitam. Aku benci warna hitam. Bagiku, hitam identik dengan kematian. Dan sekarang aku sedang berdiri di tengah upacara kematian seseorang. Bau tanah lembab area pekuburan menyengat hidungku. Aku benci bau tanah lembab area pekuburan itu. Dengan pandangan kosong, aku memandang lurus ke depan, kulihat sedikit demi sedikit orang-orang itu mulai menurunkan peti matinya ke dalam tanah, setelah Pendeta itu mengucapkan berbagai doa untuknya. Lalu sebuah benda menarik perhatianku. Seorang wanita setengah baya yang berpakaian hitam itu menangis. Berkali-kali kulihat dia mengusap airmatanya, lalu sebelah tangannya yang tidak sedang mengusap airmata itu memegang sebuah foto yang berukuran besar. Kutatap foto itu. Lama sekali. Lalu kemudian aku mulai mengenalinya. Pandanganku pun beralih pada peti mati itu. “Benarkah itu kau? Apakah kau yang berada dalam peti mati itu? Kenapa mereka menguburmu?” bisikku dalam hati, tiba-tiba aku merasa airmata mengalir pelan di pipiku. Dengan masih berlinang airmata, aku menatap hujan yang turun dari langit dengan pandangan hampa. Awan hitam seolah enggan untuk pergi. Mereka masih setia menemaniku disini. Walaupun sejak tadi awan mulai menangis, tapi aku masih enggan beranjak dari tempat ini.
“Hujan punya seribu kisah tentang kita. Hujan yang mempertemukan kita. Hujan yang menumbuhkan cinta di hati kita. Hujan pulalah yang memisahkan kita. Hujan.. Mulai hari ini, hujan dalam hatiku selamanya takkan reda.” tambahku sedih saat melihat mereka mulai menutup peti matinya dengan tanah. “Banyak orang bilang hari hujan membuat sedih, seseorang di suatu tempat mungkin sedang menangis. Dan akulah orang itu.” Menghadapi kisah tragis ini membuatku hanyut tak berdaya. Kesunyian berteriak, kesendirian mulai terasa. Tiada hentinya menertawakan aku dan kenangankenangan itupun membara. Gambaran yang dulunya polos berubah jadi kejam. Tapi tiada orang akan berkata, sungguh aku menderita, saat di balik kesempurnaan terukir rasa kesepian. Ingin ku menjerit tapi lidahku kelu. Ingin ku teriak tapi bibirku kaku, ingin ku menangis tapi airmataku membeku. Aku hanya bisa berdiri membisu. Menatap berlalunya segala sesuatu yang menyertai perjalanan waktu. Memejamkan mata terbayang lagi kenangan waktu itu, langit yang samar-samar oleh kabut. Di bawah hembusan angin yang begitu dingin, menatap senyuman yang begitu samar. Tiba-tiba aku merasa seluruh jiwaku juga ikut pergi bersamanya, bersama sang pria „angin‟, berdua kami akan mengarungi angkasa yang luas tak terbatas.
====
2
Flashback : Di tengah malam yang gelap, seorang wanita muda berusia 30 tahunan berlari dengan panik di sekitar villa menerobos hujan yang jatuh dari langit dengan derasnya. Langit begitu gelap, lampu taman di sepanjang jalan pun tak sanggup memberikan cahaya yang tampak semakin redup akibat siraman air hujan yang semakin deras. Wanita itu berlari menuju gubuk tua yang terlihat nyaman yang berada tak jauh dari villa tempatnya tinggal. Dengan napas tersengal-sengal dia membuka pintu gubuk itu, berharap dia bisa menemukan apa yang saat ini tengah di carinya. Gelap. Gubuk itu terlihat begitu gelap. Semula tidak terdengar apa-apa, hanya suara hujan yang jatuh membasahi bumi diluar sana. Namun kemudian terdengar suara langkah kakinya membelah kesunyian dalam gubuk itu. Suara langkah kaki yang kecil tapi pasti itu berderap diikuti decitan lantai dengan sepatunya. Di salah satu kamar dalam gubuk itu, seorang gadis kecil meringkuk di dalam lemari tua yang sudah rapuh, bersembunyi ketakutan. Gadis kecil itu meringkuk ketakutan dan hanya berharap lemari ini mampu bertahan dan tak jatuh menimpanya yang kini sedang bersembunyi di baliknya. Sesosok tubuh melangkah masuk ke dalam kamar tempat gadis kecil itu bersembunyi. Sebuah hentakan keras pada pintu lemari itu tiba-tiba mengagetkannya. Pintu lemari itu terbuka hingga hampir terlepas dari engselnya, walau untung saja atap lemari itu tidak jatuh menimpa tubuh mungil gadis kecil itu. Gadis kecil itu masih menggenggam pintu lemari erat-erat, napasnya terengah-engah ketakutan dan butiran air jatuh dari pelipisnya. Takut dengan apapun itu yang perlahan mendekatinya.
3
Wanita itu mendekati gadis kecil itu dengan perlahan setelah melihat bayang-bayangnya tersembunyi di balik pintu lemari yang setengah terbuka. Air semakin menetes deras di keningnya, tidak tahu itu keringat ataukah air hujan? Tiba-tiba wanita itu berlutut dan menarik gadis kecil itu ke dalam pelukannya dengan keras dan erat namun tidak melukainya. Memeluknya dengan sayang. "Akhirnya aku menemukanmu." gumamnya sambil berlinang airmata, senyum lega terkembang di bibirnya. "Kau menemukanku? Ba.. Bagaimana bisa?" suara gadis kecil itu bergetar di tengah suara air hujan dan guntur yang menggelegar, matanya masih tampak ketakutan. "Kau harusnya tahu dan benar kau pasti tahu karena aku telah mengucapkannya berulang kali. Aku pasti akan menemukanmu, putriku." ujar wanita itu sambil mendekap gadis kecil itu semakin erat dengan sayang. ======= "Dia baik-baik saja kan?" Seorang pria muda berambut coklat bertanya dengan nada cemas pada seorang wanita berusia 30 tahunan, berambut hitam sebahu dan wajah khas asia yang duduk di samping tempat tidur dimana seorang gadis kecil sedang berbaring. "Jujur aku tidak tahu. Tapi aku meyakinkan diriku sendiri kalau dia tidak apa-apa" jawab wanita itu dengan keraguraguan nampak jelas di wajahnya. Pria muda yang berperawakan tinggi dan berambut coklat itu berdiri di ambang pintu sambil menghadap gadis kecil yang sedang tertidur lelap seraya berjalan mendekat.
4
"Dia terlihat... lelah, kau tahu?" ujar wanita itu seraya membelai lembut rambutnya. Pria itu hanya diam sambil tetap memandang gadis kecil yang tampak rapuh itu dan duduk disamping ranjangnya. "Berapa lama dia harus terus seperti itu? Gadis kecil yang malang, dia pasti sangat shock jika dia tahu yang sebenarnya. Kita harus membawanya pergi dari sini.” ujar wanita itu lagi. "Kita tidak mungkin membawanya pergi dari sini. Dokter bilang dia masih membutuhkan perawatan." jawab pria itu menolak pelan. “Yang dibutuhkannya bukanlah obat, melainkan cinta dan kehangatan. Mata yang sendu itu, sangat mirip dengan Thien Yu kita, aku tidak ingin melihat mata itu terus meneteskan airmata.” ujar wanita itu bersikeras. “Tapi Thien Yu sudah tak ada bersama kita. Dia sudah bersama Tuhan di Surga dan gadis ini bukan Thien Yu.” ucap pria itu pahit seraya menelan ludahnya dengan sakit setiap dia mengingat kenyataan tragis ini. “Tapi dia ada disini untuk menggantikannya.” jawab wanita mendadak menjadi sangat emosional seraya membenarkan letak selimutnya dan meraih tangan gadis itu lalu menggenggamnya erat. Wanita itu berpaling pada suaminya dan berkata “Thien Yu, dia pasti mengirimnya kemari untuk menemani kita, benarkan? Tuhan mempertemukan kita dengannya bukan karena tanpa alasan. Kita kehilangan Thien Yu, tapi kita mendapatkan gadis ini sebagai gantinya. Thien Yu, tidak akan pernah mati.” ujarnya dengan senyum tersungging di bibirnya dan airmata menetes pelan. 5
End Of Flashback.. National Taiwan University, 16 tahun kemudian.. Seorang gadis cantik bertubuh tinggi semampai dan berambut panjang, hitam dan lurus berdiri termenung memandang awan hitam yang ada di luar jendela, kearah langit yang perlahan-lahan menjadi gelap dan tak mampu lagi menahan tetes hujan yang perlahan turun membasahi bumi. “Pagi ini, hujan masih menghias kota dimana aku tinggal, Taipei. Banyak orang bilang hari hujan membuat sedih, seseorang di suatu tempat mungkin sedang menangis.” gumamnya lirih sambil terus menatap tetes-tetes air hujan yang menempel di kaca jendela ruangan itu. Sendiri. Gadis itu hanya berdiri seorang diri di depan jendela ruang seni di National Taiwan University tempat gadis itu belajar. Taipei, ibukota Taiwan yang terletak di Taiwan bagian utara yang merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi sejak dulu. Taipei adalah kota metropolitan yang bersifat international yang berpopulasi sekitar 2,6 juta penduduk, di mana disini juga terdapat gedung tertinggi di dunia yaitu, Taipei 101 Tower. Taipei seperti sebuah mangkok yang di kelilingi pegunungan, beriklim tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi. Musim panas di Taipei memang identik dengan hujan, hujan yang turun hampir setiap hari. Gadis muda itu sedang asyik memandang tetes-tetes hujan itu saat tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka dan seorang pria muda muncul dan mengagetkannya.
6
“Hujannya deras sekali.” seorang pria muda bertubuh tinggi, berambut coklat sedikit panjang dan berwajah tampan setengah berlari masuk ke dalam ruangan dan dengan cepat menutup pintunya. Gadis muda itu terlonjak, tidak mengantisipasi kehadiran orang lain disana. “Apa yang kau lakukan di ruang seni?” tanya gadis itu terkejut. Pria muda yang setengah basah kuyup itu terlonjak kaget saat mengetahui dia tidak sendiri. “Aku menghabiskan hari-hariku disini sejak semester pertamaku di kampus ini.” jawabnya sambil mulai melukis sesuatu. “Kurasa aku tahu siapa kau. Apa kau Rainy Yang Thien Yu? Si Gadis „Hujan‟ yang populer itu? Kau gadis berbakat itu? Mahasiswa Fakultas Seni dan Ketua Klub Kesenian, benar tidak? Lukisan yang dipajang di kantin kampus kita, itu lukisanmu kan? Mereka bilang kau gadis yang sempurna. Tapi kurasa kau biasa saja.” ujar pria muda itu dengan polosnya. “Oh ya, Aku Yin Feng.. Lu Yin Feng, Yin (云) yang berarti „Awan‟ dan Feng (风) yang berarti „Angin‟. Ketua Senat. Apa kau tidak mengenalku? Omong-omong, aku harus memanggilmu siapa? Rainy atau Thien Yu? Bukankah kau lebih populer dengan nama Rainy Yang? Dan bukankah namamu berasal dari kata Langit dan Hujan? „Thien (天)‟ yang berarti Langit dan „Yu (雨)‟ yang berarti Hujan.” tanya pria muda itu memperkenalkan dirinya, tapi Rainy hanya diam saja. “Di dunia ini tak ada yang sempurna. Hidupku tak sesempurna yang kalian kira.” jawabnya penuh teka-teki,
7
sambil berjalan pergi saat melihat hujan sudah mulai reda, tapi ternyata sesuatu terjatuh dari dalam tasnya. “Apa ini milikmu? Indah sekali. Apa ini?” tanya pria muda itu, spontan menghentikan langkah gadis itu. Dengan perlahan Rainy menoleh dan tersenyum tipis. “M-A-R-S. Mars. Huo Xing (Planet Merah) or Zhan Shen (Dewa Perang)?” Yin Feng membaca keterangan di sketsa itu dan bertanya singkat. “Huo Xing. Planet Merah. Mars yang membara. Mars yang bersemangat. Mars yang selalu menimbulkan pertanyaan banyak orang tentang misteri kehidupan di dalamnya. Mars, sebuah misteri bagi dunia yang sampai sekarang masih belum ditemukan jawabannya.” jawab Rainy, menjelaskan apa yang dilukisnya. “Benar. Kenapa sebelumnya aku tidak menyadarinya? Gunung-gunung ini, lembah-lembah dan sungai-sungai adalah bentuk permukaan Mars. Persis seperti foto yang bertebaran di dunia maya. Hanya saja kau melukisnya menjadi benar-benar hidup. Seolah-olah bila melihat lukisan ini, orang-orang akan merasa memang benar-benar ada kehidupan di Planet Mars. Sebuah kehidupan yang berbeda dari kehidupan kita di bumi. Tapi aku masih tak mengerti, kenapa kau memilih tema ini?” tanya Yin Feng ingin tahu. “Karena aku memang berharap ada sebuah kehidupan baru di Planet Mars yang berbeda dari kehidupan di bumi. Itulah alasannya.” jawab Rainy dengan pandangan mata menerawang. “Tunggu dulu. Ini hanya sketsa kan? Apa lukisannya yang saat ini dipajang di gedung rektorat itu? Kudengar gossip 8
yang mengatakan bahwa lukisan itu memenangkan lomba melukis tingkat nasional. Apa itu benar? Wah, kau sungguh hebat. Orang tuamu pasti sangat bangga padamu.” puji Yin Feng dengan kagum. Mendengar kata „orang tua‟ disebut, Rainy spontan terdiam pilu. Kenangan malam kecelakaan itu mendadak muncul lagi dalam ingatannya. Malam itu hujan turun sangat deras, malam terjadinya kecelakaan yang menyebabkan semua penumpangnya tewas. Seorang gadis kecil menangis keras-keras di samping tubuh orang tuanya yang tergeletak berlumuran darah. Menangis keras memanggil mereka. Tapi mereka diam, mereka tak bergerak. Mereka tewas. “Kakak..” jerit gadis kecil itu pada seorang anak laki-laki yang terbaring berlumuran darah tak jauh dari tubuh kedua orang tuanya. Gadis kecil itu mengguncang-guncangkan tubuh anak lakilaki itu sambil menangis keras, dan secara perlahan dia membuka matanya, dengan tangan yang gemetar dia mengelus pipi gadis kecil itu dan dengan suaranya yang lemah, dia berbisik lirih “Adik, mulai sekarang kau harus hidup dengan berani. Maaf, kakak tidak bisa menjagamu lagi.” dan dengan kalimat itu, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Setelah itu, tim penyelamat membawa Rainy ke rumah sakit. Gadis kecil itu tak mampu lagi menangis, seolah airmatanya sudah habis malam itu. Dia hanya termenung menatap hujan yang turun dari langit dengan pandangan kosong. Rainy, seorang gadis kecil tanpa identitas yang hanya menatap kosong hujan yang 9
turun dari langit. Si Gadis „Hujan‟, mungkin dari sanalah namanya diambil. „Thien (天)‟ yang berarti Langit dan „Yu (雨)‟ yang berarti Hujan. Rainy menolak makan, menolak tidur, bahkan dia menolak bicara pada siapapun. Gadis kecil itu bagaikan sebuah manekin hidup yang tak punya semangat hidup sama sekali, hanya duduk diam sambil termenung. “Luka di fisik, tak sama dengan luka di hati. Ini bukan masalah bisa disembuhkan atau tidak, tapi masalah dia bisa menghadapinya atau tidak. Dia bukan sakit, dia hanya trauma. Dan trauma yang dia alami bukanlah trauma biasa. Rasa sakit akibat kehilangan, seumur hidup tak akan mungkin bisa disembuhkan.” jawab Dokter Ahli Jiwa yang mengobati dan merawatnya dengan sabar. Rainy tak punya keluarga, dia bahkan tak tau dimana kakaknya berada sekarang. Benar. Rainy ingat dia masih punya seorang kakak, hanya saja dia tidak ingat apapun tentang kakaknya. Semua orang berkata tak ada orang lain yang ditemukan masih hidup di lokasi kejadian, selain dirinya. Tapi Rainy yakin, kakaknya masih hidup di suatu tempat.
10