Kepada Yth : Hari/Tanggal : Senin, 13 Januari 2014 REFERAT JURNAL
ALOPECIA AREATA
Oleh :
Octava Prima Arta
G99122091
Fika Khulma Sofia
G99122044
Aviaddina Ramadhani
G99122022
Sumayyah Syahidah
G99122106
Fanny Aprilia Savitri
G99122041
Pembimbing : M. Eko Irawanto, dr., Sp.KK.
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2014 1
ALOPESIA AREATA
Amos Gilhar, M.D., Amos Etzioni, M.D., and Ralf Paus, M.D. Faculty of Medicine, Technion-Israel Institute of Technology, Haifa, Israel Pengaruh yang kuat dari beberapa penyakit kulit di dalam kehidupan ada yang dirawat untuk menjadi diremehkan atau malah dihilangkan sebagai suatu hal yang sederhana “masalah kosmetik”. Alopesia areata memberikan contoh seperti suatu kondisi, yang memperlihatkan pokok penyakit substansial dan seringkali merusak pengaruh dari kualitas hidup pasien dan harga dirinya.1,2 Walalupun alopesia areata adalah satu dari sebagian besar penyakit autoimun yang umum, patobiologinya adalah kronis, gangguan kerontokan rambut yang tidak secara penuh dimengerti, dan terapi yang ada masih meragukan.3-6 Review ini meringkas patogenesis, manifestasi klinis, dan manajemen dari alopesia areata dan dikumpulkan latar belakang yang sesuai mengenai informasi biologis dan patobiologis dari folikel rambut. Sekarang ini bukti yang ada menganjurkan bahwa alopesia areata dapat menjadi pertimbangan sebuah penyakit autoimun yang dimediasi oleh sel T yang sedikit demi sedikit kehilangan penyajian perlindungan oleh keistimewaan imun dari folikel rambut normal yang mempunyai peran penting.7-9
EPIDEMIOLOGI Alopesia areata paling sering disebabkan oleh inflamasi akibat kerontokan rambut, yang dipengaruhi kira-kira 4,5 juta orang di Amerika Serikat.10 Tergantung dari latar belakang suku dan area dunia, prevalensi dari alopesia areata adalah 0,1-0,2%,11 dengan menghitung risiko seumur hidup 2%. Alopesia areata mempengaruhi kedua-duanya baik anak maupun dewasa dan semua warna rambut.12 Walaupun gangguannya tidak umum pada anak dibawah usia 3 tahun, sebagian besar pasien relatif muda: hingga 66% lebih muda daripada usia 30 tahun, dan hanya 20% yang lebih tua daripada usia 40 tahun. Pada umumnya tidak berpredileksi pada jenis kelamin, tapi lebih ditemukan banyak pada lakilaki yang berpengaruh dalam satu studi yang termasuk dalam sebuah kelompok subjek 2
yang berusia 21 sampai 30 tahun.13 Dalam sebuah studi dari 226 pasien masyarakat Cina dengan alopesia areata yang berusia 16 tahun, usia pertengahan onsetnya pada usia 10 tahun, dan laki-laki:wanita rasionya 1.4:1; gangguan lebih berat pada anak laki-laki dan dengan onset awal pada masa kanak-kanak.14 Alopesia areata dihubungkan dengan peningkatan segala risiko dari gangguan autoimun lainnya (16%).15,16 Sebagai contoh, ini dihubungkan dengan lupus erythematosus pada 0,6% pasien,17 vitiligo 4%,18 dan penyakit tiroid autoimmun 8-28%.19
PERTUMBUHAN RAMBUT NORMAL Penting untuk mengerti pertumbuhan rambut normal dan imunobiologi normal folikel rambut dalam mempelajari perubahan pada alopesia areata dan gejala klinis dan diagnosisnya. Folikel rambut merupakan satu-satunya organ pada tubuh manusia yang tumbuh, berumur panjang, dan memiliki transformasi siklus. Folikel rambut berubah dari periode pertumbuhan sangat cepat, pigmentasi, dan produksi batang rambut (anagen, fase pertumbuhan aktif, dengan klasifikasi dari skala I-VI) menjadi pendek, menjadi fase apoptosis dari involusi organ (catagen). Setelah catagen, folikel rambut memasuki periode relatif diam (telogen) sebelum memasuki kembali fase anagen (Gambar 1A). Siklus regenerasi ini terjadi karena banyaknya keratinosit dan melanosit sel stem di sebagian besar daerah penonjolan folikel (Gambar 1B). meskipun siklus folikel rambut dan regenerasi tergantung sel stem, pertumbuhan batang rambut dan pigmentasi merupakan pertumbuhan dari diferensiasi sel stem. Proliferasi keratinosit yang cepat dan melanosit penghasil pigmen berada pada matriks rambut (Gambar 1A), yang merupakan target utama serangan inflamasi pada alopesia areata.
IMUNOBIOLOGI FOLIKEL RAMBUT Sebuah fitur penting imunobiologi folikel rambut adalah pembentukannya dari lingkungan khusus kekebalan imun relatif yang normalnya mencegah terjadinya serangan autoimun pada intra folikel yang mengekspresikan auto-antigen. Kekebalan imun relatif ini muncul
terutama
oleh
supresi
permukaan
molekul
yang
dibutuhkan
untuk
mempresentasikan autoantigen pada limfosit T CD8+ (MHC antigen kelas Ia [HLA tipe A, B, dan C] berasosiasi dengan MHC kelas I-stabilizing β2-microglobulin) dan oleh turunan semua sinyal imuno inhibitor lokal. Meskipun fungsi psikologis kekebalan imun mempengaruhi folikel rambut belum terbukti, kami mengetahui bahwa beberapa 3
autoantigen yang berhubungan dengan produksi pigmen sangat imunogenik (seperti terlihat pada vitiligo dan halo nevi). Meski demikian, satu teori yang dapat diterima adalah terjadinya melanogenesis terkait autoantigen selama pigmentasi aktif batang rambut – dan mungkin agen terkait auto antigen folikel rambut – menimbulkan risiko konstitutif terjadinya sel T CD8+ auto reaktif. Jaringan lainnya yang dilindungi oleh kekebalan imun klasik (misal, bilik anterior mata, sistem saraf pusat, dan trofoblast fetus), penurunan regulasi molekul MHC kelas I mungkin menurunkan risiko folikel terkait autoantigen akan dipresentasikan ke sel T CD8+. Penurunan regulasi molekul MHC kelas I ini, bagaimana pun, meningkatkan risiko folikel rambut diserang oleh sel natural killer (NK), karena sel NK bertugas mengenali dan mengeliminasi sel MHC kelas I-negatif. Untuk mengurangi risiko ini, folikel rambut sehat menunjukkan penurunan regulasi ekspresi ligan yang menstimulasi aktivasi reseptor sel NK (NKG2D) dan menyekresikan molekul yang menghambat fungsi sel NK dan sel T, seperti transforming growth factors β1 dan β2, hormon melanocyte-stimulating α, dan penghambat faktor migrasi makrofag. Pada folikel rambut yang sehat, kekebalan alami yang dihasilkan cukup efektif bahkan pada penolakan alogenik transplantasi melanosit jika diatur untuk migrasi ke bulbus rambut selama anagen.
4
Gambar 1A. Siklus rambut normal
Gambar 1B. Siklus rambut pada Alopesia Areata
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
5
Manifestasi alopesia areata berupa kerontokan rambut membentuk kebotakan melingkar-hingga kulit terlihat, terutama kulit kepala (Gb. 2 dan 3) dan pada region janggut (Gb. 3A). Onsetnya biasanya cepat, dan penyakit dapat berkembang hingga semua rambut rontok dari kulit kepala (alopesia areata universalis) (Gb. 2A, 2B, 2C). Variasi kelainan ini termasuk ophiasis, dimana kerontokan rambut terjadi di occipital (Gb 3B), rambut cadaver (Gb 3C), nail pitting (Gb 3D, dan pertumbuhan rambut putih pada lesi awal alopesia (Gb 3E), sering membantu menegakkan diagnosis. Hubungan antara area kerontokan rambut dengan gangguan autoimun, biasanya dengan dermatitis atopik (pada 39% kasus), merupakan poin lebih untuk menegakkan diagnosis dengan benar. Jika diagnosis belum jelas setelah evaluasi klinis (Tb.1 dan Gb.3), mungkin kasus dengan varian luas alopesia areata, biopsi kulit dapat dilakukan. Pada alopesia areata akut, pemeriksaan histopatologi menunjukkan karakteristik “pola sarang tawon” padat, infiltrasi limfosit perifolikular disekitar folikel rambut anagen; pada pasien dengan penyakit kronik, pola ini mungkin tidak muncul.
6
Gambar 2. Tipe Alopesia Areata dan manifestasi klinisnya
MANAJEMEN Meskipun diagnosis alopesia areata biasanya mudah, namun penanganannya tidaklah mudah. Terapi kuratif tidak tersedia, dan terdapat kekurangan dari percobaan jangka panjang yang mengevaluasi terapi untuk alopesia areata dan pengaruh nyata terhadap kualitas hidup.3 Karena seringnya hasil yang tidak memuaskan pada terapi yang sudah ada, beberapa dokter bergantung pada tingkat remisi spontan yang tinggi pada pasien dan merekomendasikan wig jika remisi tidak terjadi.3 Namun, pilihan terapi yang cukup bermanfaat namun terbatas masih ada untuk alopesia areata akut, kronis dan kambuhan.4-6,39 Dokter memiliki dua pilihan prinsip manajemen utama: menggunakan regimen immunosupresif (cenderung untuk pasien dengan alopesia areata akut dan progresif cepat) atau strategi deviasi imun yang memanipulasi suasana inflamasi intrakutan (membantu bagi pasien dengan jenis kambuhan atau kronis39,44). Pada saat ini, hanya dua pendekatan yang mencapai tingkat pengobatan berbasis bukti (EBM): injeksi intralesi dengan glukokortikoid dan induksi kontak alergi.4-6 Penatalaksanaan immunosupresif yang paling baik terdiri atas injeksi intradermal triamcinolone acetonide (5 hingga 10 mg per milliliter) yang diberikan setiap 2 hingga 6 minggu. Agen ini merangsang pertumbuhan lokal kembali pada 60 hingga 67% kasus. Efek sampingnya meliputi nyeri, atrofi kulit lokal, dan depigmentasi, dan kekambuhan yang sering terjadi setelah pengobatan dihentikan.45Glukokortikoid topikal poten juga digunakan secara luas, terutama pada anak-anak dan dewasa dengan jumlah kerontokan kurang dari 50%.46 Glukokortikoid topikal potensi tinggi dengan penutupan oklusif adalah 7
yang paling bermanfaat dan menunjukkan peningkatan pada 25% pasien yang terkena penyakit ini47; Namun, folikulitis yang diinduksi glukokortikoid merupakan efek samping paling umum dari ini.4,5 Penggunaan glukokortikoid sistemik terbatas terutama karena profil efek sampingnya. Pada satu studi, pertumbuhan rambut kembali yang moderat (31-60%) diamati pada 30% pasien yang diobati dengan prednisolone oral (200mg diberikan sekali seminggu selama 3 bulan); namun, pada 25% pasien yang menunjukkan respons, kekambuhan terjadi setelah 3 bulan.48 Respon terbaik didapat dengan metilprednisolone intravena dosis tinggi (500 mg diberikan selama 3 hari berturut-turut) dimana 147 dari 218 pasien alopesia areata multifokal (67%) yang diobati menunjukkan penumbuhan rambut kembali lebih dari 50%. Namun, kekambuhan terjadi setelah satu tahun pada sepertiga pasien yang memberikan respon, dan jumlah pasien yang kambuh meningkat seiring waktu.49 Strategi immunosupresif potensial lainnya disuguhkan melalui laporan kasus pasien alopesia areata yang memiliki penyakit autoimun lain dimana pertumbuhan rambutnya kembali sempurna ketika agen immunosupresan sistemik seperti azathioprine digunakan untuk menangani kondisi autoimunnya.50,51 Bentuk paling sederhana dari terapi immunomodulasi topikal adalah dithranol iritan (anthralin), sebuah agen antipsoriasis.52 Dithranol (0,2 hingga 0,8%) dapat digunakan selama 20 hingga 30 menit setiap hari pada pengobatan awal, terapi kontak pendek, dengan lamanya kontak secara bertahap dinaikkan 10 menit setiap 2 minggu hingga mencapai maksimal 1 jam atau hingga muncul dermatitis ringan. Pengobatan ini dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua untuk dewasa dan anak-anak dengan penyakit menetap.4 Selain itu, dengan pendekatan ini, pertumbuhan rambut kembali telah diamati pada 75% pasien dengan penyakit terbatas (termasuk ophiasis) dan pada 25% sisanya dengan alopesia areata totalis.52
8
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Alopesia Areata
Bentuk paling efektif dari immunoterapi adalah sensitisasi topikal dengan difenilsiklo-propenone (difensiprone [tidak disetujui oleh FDA Amerika]) atau squaric acid dibutylester. Difensiprone saat ini dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk alopesia areata totalis.4 Pertama, pasien tersensitasi pada allergen sintetik ini selama periode 1 hingga 2 minggu; kemudian konsentrasi difensiprone terendah yang menyebabkan iritasi ringan diterapkan tiap minggu (dengan konsentrasi yang dinaikan bertahap untuk mempertahankan dermatitis kontak ringan). Meskipun hasil yang dipublikasikan pada terapi ini sangat bervariasi, satu percobaan yang cukup besar (melibatkan 148 pasien) menunjukkan adanya pertumbuhan rambut kembali pada 17% pasien dengan alopesia areata totalis atau universalis, 60% pasien dengan kerontokan rambut 75 hingga 99%, dan semua pasien dengan kerontukan rambut kurang dari 50%.52 Difensiprone juga telah digunakan pada anak-anak dengan alopesia areata berat (dengan pertumbuhan kembali yang dilaporkan pada 27 hingga 33% kasus),3 Kambuh sering terjadi setelah terapi dihentikan,26,53 Kejadian tidak diinginkan paling umum pada pengobatan ini
9
adalah pruritus, nyeri, limfadenopati karena inflamasi lokal, eczema kontak general, gejala mirip flu, dan perubahan warna kulit pada tempat dimana alergen diberikan.4-6,39,53
Gambar 3. Karakteristik Klinis dan Fitur Dermoskopik Alopesia Areata
Minoxidil topical, sebuah fasilitator kanal kalium yang telah lama digunakan sebagai stimulan pertumbuhan rambut pada alopesia androgenetik, dapat juga digunakan pada alopesia areata, idealnya pada kondisi yang bersamaan dengan pengobatan lainnya, seperti dithranol cream atau glukokortikoid oral.4 setelah penggunaan glukokortikoid oral selama 6 minggu, penggunaan topikal minodoxil 2% dapat membantu mencegah atau menunda kekambuhan pada pasien yang merespons terhadap glukokortikoid.54-55 agen topikal dan sistemik lainnya telah dicoba, namun mereka belum menunjukkan manfaat terapi yang jelas.3,4
PATOBIOLOGI ALOPESIA AREATA 10
Peningkatan konsep patobiologi dapat membuka jalan pada manajemen dan hasil yang lebih baik pada alopesia areata. Penting untuk dicatat bahwa penyakit ini merupakan gangguan siklus folikel rambut yang bermakna ganda56; sel-sel inflamasi hanya menyerang folikel rambut anagen, dimana kemudian mendorong pada fase catagen lebih cepat (gambar 1B).26,56 kedua karena distrofi akibat inflamasi pada folikel, batang rambut tidak dapat lagi menempel pada kanal rambut dan menjadi mudah dicabut25; namun, folikel rambut mempertahankan kapasitasnya untuk beregenerasi dan melanjutkan siklus, sebagaimana pada alopesia areata— tidak seperti scarring alopecia—dimana sel stem folikel rambut secara umum tidak dihancurkan.57maka, hilangnya rambut pada penyakit ini pada prinsipnya bersifat reversibel. Seperti kebanyakan penyakit autoimun lainnya, alopesia areata adalah gangguan inflamasi kronis yang mudah kambuh dimana merujuk pada siklus kambuh pada penyakit ini. Juga, karena tidak adanya infiltrate perifolikuler, tidak ada kerontokan rambut.9,26,27,56 Tantangan terapi utama adalah untuk mengurangi infiltrat inflamasi yang sudah terjadi dan untuk mencegah timbulnya kekambuhan dan penyebaran ke daerah folikel rambut yang masih sehat. Sayangnya, terapi yang tersedia saat ini tidak terprediksi dan belum dapat memberi hasil yang memuaskan untuk menjawab tantangan ini.4 Pemahaman yang lebih baik diperlukan untuk mengetahui bagaimana infiltrate perifolikuler pada alopesia areata berkembang dan mengapai terutama terbentuk disekitar folikel pada tahap siklus rambut tersebut selama pigmen pigmen ini terbentuk (misalnya, anagen III hingga VI) (gambar 1).56 Alopesia areata mungkin dapat dimasukkaan dalam penyakit autoimun spesifik organ karena ia terutama hanya menyerang folikel rambut, kuku, dan (pada beberapa pasien) menyerang epitel pigmen retina.44,22,38,42 Oleh sebab itu, antigen atau autoantigen yang lebih cenderung atau yang terutama muncul pada jaringan jaringan ini dapat menjadi penting pada patobiologi penyakit ini. Sebagai tambahan, terapi sistemik interferon alfa dan antagonis tnf-α yang digunakan untuk menangani penyakit autoimun lain dapat memicu atau memperburuk terjadinya alopesia areata,58,59dan menunjukkan bahwa sitokin tertentu juga penting sebagai faktor patogenik.
KOMPONEN GENETIK PADA ALOPESIA AREATA Pengembangan mekanisme alopesia areata mempunyai komponen genetik yang kuat (Bagian I di lampiran tambahan). Sebagai contoh, banyak pasien dengan riwayat keluarga mempunyai alopesia areata juga mempunyai riwayat atopi, sindrom down, 11
11,12,42
sindrom autoimun distrofi poliendokrinopati-kandidiasis-ektodermal,60 penyakit autoimun lainnya, atau kombinasi dari beberapa kelainan.
15,42
Kasus keluarga dari alopesia areata,
dan dibandingkan dengan kasus sporadis, seringkali mempunyai ciri prognosis yang jelek, progresi yang cepat, lebih sering relaps, dan mempunyai resistensi terapi lebih besar.
17,38
Jumlah anggota keluarga yang terkena juga meningkatkan risiko untuk alopesia areata.
17
Variasi etnis substantial dalam kejadian dan risiko relatif alopesia areata11, 69mempunyai peranan penting dari patogenesisnya. Pada hubungan studi hubungan genome wide dari 20 keluarga dengan alopesia areata (Martinez-Mir et al.) teridentifikasi setidaknya empat lokus rentan dari kromosom 6, 10, 16, dan 18; set validasi tidak termasuk.
70
pada kromosom 6p, sebuah situs sesuai
kepada lokus HLA; lokus kedua ditemukan pada 6q23.3, sebuah situs yang berada diluar dari kluster gen HLA. 70 regio kromosom 16 tumpang tindih dengan regio didekatnya yang rentan dengan penyakit Corhn. 70 Alopesia areata sangat terkait dengan psoriasis. Antigen sitotoksik terhubung limfosit T (CTLA4), sebuah molekul ko-stimulan yang terlibat pada regulasi negatif aktivasi sel T dan mempunyai implikasi pada psoriasis, 71,72
juga menjadi gen yang rentan pada alopesia areata, hal ini pada pasien dengan
gangguan yang berat.
73
Hubungan CTLA4 didukung oleh studi genome wide lainnya
(Petukhova, et al.) menegaskan pentingnya kedua imunitas bawaan dan imunitas didapat pada patogenesis alopesia areata dan digaris bawahi fakta bahwa gangguan ini berkaitan dengan jalur penyakit autoimun lainnya (Bagian I pada lampiran tambahan).74 Dua studi genom wide punya dua pendekatan untuk menganalisa kerentanan lokus pada alopesia areata. Martinez-Mir et al.
70
menyaring genom dalam keluarga pasien yang
terkena alopesia areata. Petukhova et al. pertama menampilkan analisis in silico, yang mana kemudian digunakan untuk mempelajari sampel dari pasien, sedangkan studi dari Martinez-Mir er al. adalah semata-mata hanya sebuah analisis in silico. Kedua studi tersebut mengidentifikasi lokus umum pada alopesia areata yaitu kromosom 6p (HLA), 6q (UL 16 binding protein [ULBP]), 10p (IL2RA), dan 18p (PTPN22). Sebagai tambahan, Petukhova et al. mengidentifikasi beberapa gen yang dapat terasosiasi dengan alopesia areata dan penyakit autoimun lainnya, seperti pada gen ULBP, yang mana menyandi kelas dari ligan aktivasi NKG2D (Bagian I pada lampiran tambahan).
IMUNOPATOLOGI DASAR
12
Pengetahuan dalam mekanisme imunopatologi pada alopesia areata dapat terbaik diperoleh dari pemeriksaan lesi kulit. Meskipun sel-sel T CD4 + mendominasi numerik dalam infiltrate perifolikular, Sel-sel T CD8+ tampaknya menjadi limfosit pertama untuk masuk ke epitel folikular proksimal (Gambar 1B, 1C, dan 1E dalam Lampiran Tambahan).75-78Selain itu, jumlah sel NK dan sel mast yang sangat meningkat di infiltrate perifolikular, meningkatkan pertanyaan apakah sel-sel ini juga terlibat dalam patogenesis alopesia areata.37,
78
Autoantibodi terhadap autoantigen folikel sering ditemukan dalam
serum dan kulit pasien dengan alopesia areata,
79,80
tetapi tidak ada bukti bahwa mereka
adalah patogenik.81 Bahkan, dalam model murine dari alopesia areata, penyakit ini dapat ditransfer oleh sel T CD8+ sendiri, 7 terutama setelah sel T telah terjadi kontak primer dengan autoantigen terkait melanogenesis.82,
83
Pemindahan sel T CD8+ bersama-sama dengan sel T CD4+
adalah cara yang paling efektif dalam menginisiasi penyakit, paling banyak digunakan pada model murine, 7sedangkan transfer serum atau autoantibodi dari pasien dengan alopesia areata gagal untuk memperoleh kebotakan.81Sebaliknya, deplesi sel-sel T CD8+ mengembalikan pertumbuhan rambut pada model tikus alopesia areata.84 maka dari itu wajar untuk mempertimbangkan alopesia areata adalah sebuah penyakit autoimun organspesifik CD8 + T-dependent-sel, (Tabel 2 di Lampiran Tambahan).
HIPOTESIS PATOGENESIS DARI ALOPESIA AREATA Telah di hipotesiskan bahwa alopesia areata berkembang dalam folikel rambut yang sebelumnya sehat karena imunitas dasarnya rusak.30,85 Menurut hipotesis ini, alopesia areata dapat terjadi pada orang yang secara genetik mempunyai predisposisi sinyal pro inflamasi (misalnya, interferon-γ dan substansi P)85-87diketahui untuk menaikkan ektopik ekspresi MHC kelas Ia di epitel folikel rambut manusia.32-87 Mengekspos auto antigen folikel rambut terkait yang terasingkan sebelumnya ke auto reaktivitas sel T CD8+ yang telah ada (Gambar 4). Jika sinyal penstimulasi dan penolong darisel lain, seperti sel T CD4+
30,85
dan sel mast88 telah tersedia, inflitrat limfosit kini bisa menyerang folikel
rambut. Karena folikel rambut hanya anagen yang diserang, Autoantigen tersebut dapat dihasilkan dan disajikan hanya selama anagen tersedia (misalnya, melanogenesis associated peptida).37,83,85,89 Skenario ini didukung oleh bukti yang luas yang berasal dari tikus model alopesia areata.7-9 ,82-84, 86,90,91
13
Studi hubungan genom menunjukkan bahwa faktor proinflamasi lain dan NK sel merangsang ligan juga mungkin aktif pada tahap tertentu selama pengembangan alopesia areata37 , 74 (Gambar 4 , dan Bagian I dan II dan Tabel 2 di Lampiran Tambahan). Sel NK dan NKG2D dan ligan endogen mereka telah terlibat dalam patogenesis alopesia areata. Meskipun sangat sedikit sel NK yang diamati di sekitar folikel rambut anagen sehat,29folikel lesi menunjukkan agregat yang menonjol dari CD56 + dan NKG2D + NK cells.37Selain itu, folikel rambut pada alopesia areata mengekspresikan secara berlebihan MHC kelas I polipeptida terkait sekuensi A ( MICA ) protein, NKG2D,
36
37
sebuah kunci agonis
sedangkan ekspresi MICA pada folikel rambut yang sehat jauh lebih
terbatas.37Kesimpulannya bahwa sinyal NKG2D yang dimediasi berlebihan dapat berkontribusi pada patogenesis alopesia areata dan ditegaskan oleh asosiasi genetik antara penyakit dan aktivasi ligan NKG2D dari keluarga MICA yaitu, ULBP3. ekspresi protein ULBP3 sebenarnya menaikkan folikel rambut di sekitar lesi pada alopesia areata.74)
Gambar 4. Teori Kegagalan Imun pada Alopesia Areata TERAPI MASA DEPAN Konsep patobiologi terakhir menginformasikan penelitian preklinik untuk mengembangkan pilihan terapi alopesia areata yang lebih baik. Strategi terapi yang 14
mengembalikan atau mencegah imun khusus dalam rontoknya folikel rambut dan sebagai antagonis mediator NKG2D yang berlebihan atau interaksi patogenik dari sel T CD8+ dengan autoantigen MHC kelas I yang terpresentasi pada folikel rambut nantinya dapat menjadi manajemen yang lebih efektif dari kasus ini.
4, 9, 37, 74, 85, 91
Strategi terapi baru
sekarang telah dikembangkan di penelitian preklinik yang di deskripsikan pada bagian 3 pada lampiran tambahan. Kelainan autoimun umum ini telah memberikan hasil yang baik, akses model yang mudah dari penyakit yang dapat untuk menyelidiki prinsip-prinsip umum mengenai generasi, pemeliharan, kolaps dan pemulihan imunitas khusus.
9,30,37,92
Pengetahuan yang
diperoleh dari beberapa penelitian mungkin juga dapat relevan kepada terapi penyakit autoimun lainnya yang mempunyai ciri kolapsnya sel imun khusus, seperti multiple sklerosis, aborsi imunitas, dan uveitis autoimun.9, 33, 34, 41, 92
REFERENSI 1. Picardi A, Pasquini P, Cattaruzza MS,et al. Psychosomatic factors in first-onset alopesia areata. Psychosomatics 2003;44:374-81. 2. Paus R, Arck PJ. Neuroendocrine perspectives in alopesia areata: does stress play a role? J Invest Dermatol 2009;129: 1324-6. 3. Delamere FM, Sladden MM, DobbinsHM, et al. Interventions for alopesia areata. Cochrane Database Syst Rev 2008;2: CD004413. 4. Harries MJ, Sun J, Paus R, King LE Jr. Management of alopesia areata. BMJ 2010; 341:c3671. 5. Alkhalifah A, Alsantali A, Wang E, et al. Alopesia areata update: part II. Treatment. J Am Acad Dermatol 2010;62:191-202. 6. Garg S, Messenger AG. Alopesia areata: evidence based treatments. Semin Cutan Med Surg 2009;28:15-8. 7. McElwee KJ, Freyschmidt-Paul P, Hoffmann R, et al. Transfer of CD8(+) cells induces localized hair loss whereas CD4(+)/CD25(-) cells promote systemic alopesia areata and CD4(+)/CD25(+) cells blockade disease onset in the C3H/HeJ mouse model. J Invest Dermatol 2005;124:947-57. 8. Gilhar A, Ullmann Y, Berkutzki T, Assy B, Kalish RS. Autoimmune hair loss (alopesia areata) transferred by T lymphocytes to human scalp explants on SCID mice. J Clin Invest 1998;101:62-7. 9. Gilhar A, Paus R, Kalish RS. Lymphocytes, neuropeptides, and genes involved in alopesia areata. J Clin Invest 2007;117: 2019-27. 10. McMichael AJ, Pearce DJ, Wasserman D, et al. Alopecia in the United States:outpatient utilization and common prescribing pattern. J Am Acad Dermatol 2007;57:Suppl:S49-S51. 15
11. Safavi K. Prevalence of alopesia areata in the First National Health and Nutrition Examination Survey. Arch Dermatol 1992; 128:702. 12. Finner AM. Alopesia areata: clinical presentation, diagnosis, and unusual cases. Dermatol Ther 2011;24:348-54. 13. Kyriakis KP, Paltatzidou K, Kosma E, Sofouri E, Tadros A, Rachioti E. Alopesia areata prevalence by gender and age. J Eur Acad Dermatol Venereol 2009;23:5723. 14. Xiao FL, Yang S, Liu JB, et al. The epidemiology of childhood alopesia areata in China: a study of 226 patients. Pediatr Dermatol 2006;23:13-8. 15. Barahmani N, Schabath MB, Duvic M. History of atopy or autoimmunity increases risk of alopesia areata. J Am Acad Dermatol 2009;61:581-91. 16. Chu SY, Chen YJ, Tseng WC, et al. Comorbidity profiles among patients with alopesia areata: the importance of onset age, a nationwide population-based study. J Am Acad Dermatol 2011;65:949-56. 17. Goh C, Finkel M, Christos PJ, Sinha AA. Profile of 513 patients with alopesia areata: associations of disease subtypes with atopy, autoimmune disease and positive family history. J Eur Acad Dermatol Venereol 2006;20:1055-60. 18. Kuchabal SD, Kuchabal DS. Alopesia areata associated with localized vitiligo. Case Rep Dermatol 2010;2:27-31. 19. Kurtev A, Iliev E. Thyroid autoimmunity in children and adolescents with alopesia areata. Int J Dermatol 2005;44:457- 61. 20. Paus R, Cotsarelis G. The biology of hair follicles. N Engl J Med 1999;341:491-7. 21. Schneider MR, Schmidt-Ullrich R, Paus R. The hair follicle as a dynamic miniorgan. Curr Biol 2009;19:R132-R142. 22. Tosti A, Colombati S, De Padova MP, Guidi SG, Tosti G, Maccolini E. Retinal pigment epithelium function in alopesia areata. J Invest Dermatol 1986;86:553-5. 23. Tobin DJ. The cell biology of human hair follicle pigmentation. Pigment Cell Melanoma Res 2011;24:75-88. 24. Cotsarelis G. Epithelial stem cells: a folliculocentric view. J Invest Dermatol 2006;126:1459-68. 25. Whiting DA. Histopathologic features of alopesia areata: a new look. Arch Dermatol 2003;139:1555-9. 26. The dermis and the subcutis. In: Weedon D. Weedon’s skin pathology. Vol. I. 3rd ed. London: Churchill Livingstone/ Elsevier, 2009:422-4. 27. Khoury EL, Price VH, Greenspan JS. HLA-DR expression by hair follicle keratinocytes in alopesia areata: evidence that it is secondary to the lymphoid infiltration. J Invest Dermatol 1988;90:193-200. 28. Dy LC, Whiting DA. Histopathology of alopesia areata, acute and chronic: why is it important to the clinician? Dermatol Ther 2011;24:369-74. 29. Christoph T, Müller-R.ver S, Audring H, et al. The human hair follicle immune system: cellular composition and immune privilege. Br J Dermatol 2000;142:86273. 30. Paus R, Nickoloff BJ, Ito T. A ‘hairy’ privilege. Trends Immunol 2005;26:32-40. 16
31. Meyer KC, Klatte JE, Dinh HV, et al. Evidence that the bulge region is a site of relative immune privilege in human hair follicles. Br J Dermatol 2008;159:107785. 32. Ito T, Ito N, Bettermann A, Tokura Y, Takigawa M, Paus R. Collapse and restoration of MHC class-I-dependent immune privilege: exploiting the human hair follicle as a model. Am J Pathol 2004;164:623- 34. 33. Carson MJ, Doose JM, Melchior B, Schmid CD, Ploix CC. CNS immune privilege: hiding in plain sight. Immunol Rev 2006;213:48-65. 34. Niederkorn JY. See no evil, hear no evil, do no evil: the lessons of immune privilege. Nat Immunol 2006;7:354-9. 35. H.glund P, Brodin P. Current perspectives of natural killer cell education by MHC class I molecules. Nat Rev Immunol 2010;10:724-34. 36. Natarajan K, Dimasi N, Wang J, Mariuzza RA, Margulies DH. Structure and function of natural killer cell receptors: multiple molecular solutions to self, nonself discrimination. Annu Rev Immunol 2002;20:853-85. 37. Ito T, Ito N, Saathoff M, et al. Maintenance of hair follicle immune privilege is linked to prevention of NK cell attack. J Invest Dermatol 2008;128:1196-206. 38. Colombe BW, Price VH, Khoury EL, et al. HLA class II antigen associations help to define two types of alopesia areata. J Am Acad Dermatol 1995;33:757-64. 39. Tosti A, Duque-Estrada B. Treatment strategies for alopesia areata. Expert Opin Pharmacother 2009;10:1017-26. 40. Westerhof W, Njoo D, Menkes HE. Sudden whitening of hair. In: Nordlund JJ, Boissy RE, Hearing VJ, King R, Oetting W, Ortonne J-P, eds. The pigmentary system. 2nd ed. Malden, MA: Blackwell, 2006:764-6. 41. Tosti A, Whiting D, Iorizzo M, et al. The role of scalp dermoscopy in the diagnosis of alopesia areata incognita. J Am Acad Dermatol 2008;59:64-7. 42. Alkhalifah A, Alsantali A, Wang E, McElwee KJ, Shapiro J. Alopesia areata update: part I. Clinical picture, histopathology, and pathogenesis. J Am Acad Dermatol 2010;62:177-88. 43. Tosti A, Colombati S, Caponeri GM, et al. Ocular abnormalities occurring with alopesia areata. Dermatologica 1985;170: 69-73. 44. Wiseman MC, Shapiro J, McDoland N, Lui H. Predictive model for immunotherapy of alopesia areata with diphencyprone. Arch Dermatol 2001;137:1063-8. 45. Chang KH, Rojhirunsakool S, Goldberg LJ. Treatment of severe alopesia areata with intralesional steroid injections. J Drugs Dermatol 2009;8:909-12. 46. Pascher F, Kurtin S, Andrade R. Assay of 0.2 percent fluocinolone acetonide cream for alopesia areata and totalis: efficacy and side effects including histologic study of the ensuing localized acneform response. Dermatologica 1970;141:193-202. 47. Tosti A, Piraccini BM, Pazzaglia M, Vincenzi C. Clobetasol propionate 0.05% under occlusion in the treatment of alopecia totalis/universalis. J Am Acad Dermatol 2003;49:96 8.
17
48. Kar BR, Handa S, Dogra S, Kumar B. Placebo-controlled oral pulse prednisolone therapy in alopesia areata. J Am Acad Dermatol 2005;52:287-90. 49. Luggen P, Hunziker T. High-dose intravenous corticosteroid pulse therapy in alopesia areata: own experience compared with the literature. J Dtsch Dermatol Ges 2008;6:375-8. 50. Goddard CJ, August PJ, Whorwell PJ. Alopecia totalis in a patient with Crohn’s disease and its treatment with azathioprine. Postgrad Med J 1989;65:188-9. 51. Farshi S, Mansouri P, Safar F, Khiabanloo SR. Could azathioprine be considered as a therapeutic alternative in the treatment of alopesia areata? A pilot study. Int J Dermatol 2010;49:1188-93. 52. Schmoeckel C, Weissmann I, Plewig G, Braun-Falco O. Treatment of alopesia areata by anthralin-induced dermatitis. Arch Dermatol 1979;115:1254-5. 53. Ohlmeier MC, Traupe H, Luger TA, B.hm M. Topical immunotherapy with diphenylcyclopropenone of patients with alopesia areata — a large retrospective study on 142 patients with a self-controlled design. J Eur Acad Dermatol Venereol 2011 May 14 (Epub ahead of print). 54. Fenton DA, Wilkinson JD. Topical minoxidil in the treatment of alopesia areata. BMJ 1983;287:1015-7. 55. Price VH. Double-blind, placebo-controlled evaluation of topical minoxidil in extensive alopesia areata. J Am Acad Dermatol 1987;16:730-6. 56. Messenger AG, Slater DN, Bleehen SS. Alopesia areata: alterations in the hair growth cycle and correlation with the follicular pathology. Br J Dermatol 1986;114: 337-47. 57. Harries MJ, Paus R. The pathogenesis of primary cicatricial alopecias. Am J Pathol 2010;177:2152-62. 58. Ferran M, Calvet J, Almirall M, Pujol RM, Maymó J. Alopesia areata as another immune-mediated disease developed in patients treated with tumour necrosis factor-α blocker agents: report of five cases and review of the literature. J Eur Acad Dermatol Venereol 2011;25:479-84. 59. Agesta N, Zabala R, Díaz-Pérez JL. Alopesia areata during interferon alpha2b/ribavirin therapy. Dermatology 2002; 205:300-1. 60. Kumar V, Pedroza LA, Mace EM, et al. The autoimmune regulator (AIRE), which is defective in autoimmune polyendocrinopathy- candidiasis-ectodermal dystrophy patients, is expressed in human epidermal and follicular keratinocytes and associates with the intermediate filament protein cytokeratin 17. Am J Pathol 2011; 178:983-8. 61. Gregersen PK, Olsson LM. Recent advances in the genetics of autoimmune disease. Annu Rev Immunol 2009;27:363- 91. 62. Duvic M, Hordinsky MK, Fiedler VC, O’Brien WR, Young R, Reveille JD. HLAD locus associations in alopesia areata: DRw52a may confer disease resistance. Arch Dermatol 1991;127:64-8.
18
63. Tazi-Ahnini R, Cork MJ, Wengraf D, et al. Notch4, a non-HLA gene in the MHC is strongly associated with the most severe form of alopesia areata. Hum Genet 2003;112:400-3. 64. Tazi-Ahnini R, Cox A, McDonagh AJ, et al. Genetic analysis of the interleukin-1 receptor antagonist and its homologue IL- 1L1 in alopesia areata: strong severity association and possible gene interaction. Eur J Immunogenet 2002;29:25-30. 65. Sundberg JP, Silva KA, Li R, Cox GA, King LE. Adult-onset alopesia areata is a complex polygenic trait in the C3H/HeJ mouse model. J Invest Dermatol 2004; 123:294-7. 66. Sun J, Silva KA, McElwee KJ, King LE Jr, Sundberg JP. The C3H/HeJ mouse and DEBR rat models for alopesia areata: review of preclinical drug screening approaches and results. Exp Dermatol 2008; 17:793-805. 67. Rodriguez TA, Fernandes KE, Dresser KL, Duvic M. Concordance rate of alopesia areata in identical twins supports both genetic and environmental factors. J Am Acad Dermatol 2010;62:525-7. 68. Betz RC, K.nig K, Flaquer A, et al. The R620W polymorphism in PTPN22 confers general susceptibility for the development of alopesia areata. Br J Dermatol 2008;158:389-91. 69. Kemp EH, McDonagh AJ, Wengraf DA, et al. The non-synonymous C1858T substitution in the PTPN22 gene is associated with susceptibility to the severe forms of alopesia areata. Hum Immunol 2006;67:535-9. 70. Martinez-Mir A, Zlotogorski A, Gordon D, et al. Genome wide scan for linkage reveals evidence of several susceptibility loci for alopesia areata. Am J Hum Genet 2007;80:316 :28. 71. Muto M, Deguchi H, Tanaka A, Inoue T, Ichimiya M. Association between T lymphocyte regulatory gene CTLA4 single nucleotide polymorphism at position 49 in exon 1 and HLA-DRB1*08 in Japanese patients with psoriasis vulgaris. J Dermatol Sci 2011;62:70-1. 72. Singh TP, Sch.n MP, Wallbrecht K, et al. 8-Methoxypsoralen plus ultraviolet A therapy acts via inhibition of the IL-23/ Th17 axis and induction of Foxp3+ regulatory T cells involving CTLA4 signaling in a psoriasis-like skin disorder. J Immunol 2010;184:7257-67. 73. John KK, Brockschmidt FF, Redder S, et al. Genetic variants in CTLA4 are strongly associated with alopesia areata. J Invest Dermatol 2011;131:1169-72. 74. Petukhova L, Duvic M, Hordinsky M, et al. Genome-wide association study in alopesia areata implicates both innate and adaptive immunity. Nature 2010;466: 113-7. 75. Bodemer C, Peuchmaur M, Fraitaig S, Chatenoud L, Brousse N, DeProst Y. Role of cytotoxic T cells in chronic alopesia areata. J Invest Dermatol 2000;114:112-6. 76. Kalish RS, Johnson KL, Hordinsky MK. Alopesia areata: autoreactive T cells are variably enriched in scalp lesions relative to peripheral blood. Arch Dermatol 1992;128:1072-7.
19
77. Dressel D, Brütt CH, Manfras B, et al. Alopesia areata but not androgenetic alopecia is characterized by a restricted and oligoclonal T-cell receptor-repertoire among infiltrating lymphocytes. J Cutan Pathol 1997;24:164-8. 78. Cetin ED, Savk E, Uslu M, Eskin M, Karul A. Investigation of the inflammatory mechanisms in alopesia areata. Am J Dermatopathol 2009;31:53-60. 79. Tobin DJ. Characterization of hair follicle antigens targeted by the anti-hair follicle immune response. J Investig Dermatol Symp Proc 2003;8:176-81. 80. Hedstrand H, Perheentupa J, Ekwall O, et al. Antibodies against hair follicles are associated with alopecia totalis in autoimmune polyendocrine syndrome type 1. J Invest Dermatol 1999;113:1054-8. 81. Gilhar A, Pillar T, Assy B, David M. Failure of passive transfer of serum from patients with alopesia areata and alopecia universalis to inhibit hair growth in transplants of human scalp skin grafted on to nude mice. Br J Dermatol 1992;126:166-71. 82. Gilhar A, Landau M, Assy B, Shalaginov R, Serafimovich S, Kalish RS. Mediation of alopesia areata by cooperation between CD4+ and CD8+ T lymphocytes: transfer to human scalp explants on Prkdc(scid) mice. Arch Dermatol 2002;138:916-22. 83. Idem. Melanocyte-associated T cell epitopes can function as autoantigens for transfer of alopesia areata to human scalp explants on Prkdc(scid) mice. J Invest Dermatol 2001;117:1357-62. 84. McElwee KJ, Spiers EM, Oliver RF. In vivo depletion of CD8+T cells restores hair growth in the DEBR model for alopesia areata. Br J Dermatol 1996;135:211-7. 85. Paus R, Slominski A, Czarnetzki BM. Is alopesia areata an autoimmune-response against melanogenesis-related proteins, exposed by abnormal MHC class I expression in the anagen hair bulb? Yale J Biol Med 1993;66:541-54. 86. Siebenhaar F, Sharov AA, Peters EM, et al. Substance P as an immunomodulatory neuropeptide in a mouse model for autoimmune hair loss (alopesia areata). J Invest Dermatol 2007;127:1489-97. 87. Peters EM, Liotiri S, Bodó E, et al. Probing the effects of stress mediators on the human hair follicle: substance P holds central position. Am J Pathol 2007;171:1872-86. 88. Stelekati E, Bahri R, D’Orlando O, et al. Mast cell-mediated antigen presentation regulates CD8+ T cell effector functions. Immunity 2009;31:665-76. 89. Wade MS, Sinclair RD. Persistent depigmented regrowth after alopesia areata. J Am Acad Dermatol 2002;46:619-20. 90. Kang H, Wu WY, Lo BK, et al. Hair follicles from alopesia areata patients exhibit alterations in immune privilegeassociated gene expression in advance of hair loss. J Invest Dermatol 2010;130:2677-80. 91. Alli R, Nguyen P, Boyd K, Sundberg JP, Geiger TL. A mouse model of clonal CD8+ T lymphocyte-mediated alopesia areata progressing to alopecia universalis. J Immunol 2012;188:477-86.
20
92. Kinori M, Kloepper JE, Paus R. Can the hair follicle become a model for studying selected aspects of human ocular immune privilege? Invest Ophthalmol Vis Sci 2011;52:4447-58.
21