“ TANAK AWU” DALAM KAJIAN KEKUASAAN, KONFLIK, DAN DEMOKRASI
Linayati Lestari Dosen Tetap Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP UNRIKA Batam
PENDAHULUAN Sengket pembebasan tanah untuk dijadikan bandara di daerah Lombok tepatnya di Tanak Awu Kabupaten Lombok Tengah merupakan sengketa “warisan” dari zaman orde baru yang sangat sentralistis akan kebijakan yang dibuat khususnya dalam bidang agraria. Perkembangan konflik ini berawal ketika adanya oknum “mafia” pembebasan tanah yang berasal dari pusat dan daerah yang seakan-akan membodohi petani dalam hal pembayaran lahan/pembebasan lahan sehingga pembayaran lahan yang seharusnya dapat diterima penuh oleh pihak petani kemudian berkurang, artinya dana pembayaran tersebut hanya dapat diterima oleh para pemilik lahan hanya seperempatnya saja, maka dari itu banyak dari para petani kemudian merasa bahwa mereka telah dirugikan banyak dengan proses pembayaran yang dilakukan oleh pihak pusat kepada mereka atau dengan kata lain bahwa pemilik lahan ditindas dengan mekanisme pembayaran. Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Society). Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideologi dan intektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah (Mansour Fakih, 2004). Gerakan sosial akan selalu hadir ketika terjadi kesepahaman bersama tentang kesenjangan dalam realitas sosial yang cenderung memiliki akibat luas di masyarakat. Para editor the Blackwell Companion to social Movements (Snow, Soule dan Kriesi 2004b: 11) mendefinisikan gerakan sosial, dengan cara yang tidak begitu anggun tetapi komprehensif, sebagai : “…kolektivitas-kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak diluar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan menguggat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan secara institutional atau kultural, dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia, dimana mereka merupakan salah satu bagiannya.” 1
Konseptualisasi ini melibatkan lima poros, dan setiap gerakan harusmenunjukkan sedikitnya tiga poros agar bisa dianggap sebagai gerakan sosial. Kelima poros itu adalah : 1. Tindakan kolektif atau gabungan; 2. Tujuan-tujuan atau klaim-klaim yang berorientasi pada perubahan; 3. Suatu tindakan kolektif yang bersifat ekstra-institusionl atau non institutional; 4. Organisasi sampai tingkat tertentu; 5. Keberlanjutan dalam hal waktu sampai tingkat tertentu Gerakan sosial pada kenyataannya tidak timbul dengan serta merta, tetapi ada penyebab kelahirannya. Bicara tentang kelahiran gerakan sosial ada beberapa pendekatan, seperti: pendekatan klasik, resource mobilization model, dan contentious politics. Dalam membahas kasus Tanak Awu ini kita akan menggunakan model yang ketiga, yaitu contentious politics yang lebih banyak membahas proses dan dinamika pergulatan di antara berbagai kepentingan politik yang ada di kasus Tanak Awu ini. Pendekatan ini tidak berpretensi pada menghasilkan sebuah ending, tetapi merekam secara kmprehensif pergulatan kepentingan antar agensi dalam arena kasus tersebut. Pada kenyataannya kasus Tanak Awu yang sampai mencuat menjadi kasus nasional, melibatkan banyak pihak dalam merespon gerakan sosial warga Desa Tanak Awu Kabupaten Lombok Tengah dan para pendamping semisal NGO-nya. Pihak-pihak yang terlibat tidak hanya warga Tanak Awu dan Pemerintah, banyak pihak yang kemudian terlibat, karena dimungkinkan kewajiban dan tuntutan peran pihak-pihak tersebut atau kepentingan lainnya. Tulisan ini akan membahas tentang proses hubungan antar kepentingan politik yang membuat kasus sengketa Tanak Awu ini menjadi besar. Seperti apakah dinamika pergelutan kepentingan Politik di antara pihak-pihak yang bertikai dan bagaimana mereka memperjuangkan kepentingan mereka?. PEMBAHASAN Setiap tahunnya di bulan September, organisasi-organisasi massa petani, gerakan mahasiswa, dan berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia, termasuk juga Federasi Serikat Tani Indonesia (FSPI) beserta anggota-anggotanya yakni serikat-serikat tani di tiap wilayah provinsi selalau mengadakan peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September. Serikat-serikat tani yang berhimpun di FSPI adalah Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (PERMATA), Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), Serikat Petani Sumatera Barat (SPSB), Persatuan Petani Jambi (PERTAJAM), Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS), Serikat Petani Lampung (SPL), Serikat Petani Banten (SP-Banten), Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Jawa Barat (SPJB), Serikat Petani Jawa Tengah (SPJT), Serikat Petani Jawa Timur (SPJATIM), Federasi Serikat Tani Jawa Timur (FPJatim), dan Serikat Tani Nusa Tenggara Barat (SERTA-NTB). Adapun kegiatan Hari Tani Nasional 24 September 2005 direkomendasikan oleh rapat pleno FSPI di Lampung pada bulan Maret 2005, dan memutuskan yang berlaku sebagai 2
tuan rumah kegiatan Hari Tani Nasional 2005 adalah Serikat Petani Nusa Tenggara Barat (SERTA-NTB). Secara umum tujuan dari peringatan Hari Tani adalah mendalami aspek pembarian agraria dan tukar pengalaman dari berbagai petani di daerah lain ataupun petani yang berasal dari negara lain guna mewujudkan pertanian berkelanjutan di Indonesia menuju masyarakat petani yang adil dan sejahtera. Rangkaian kegiatan Hari Tani Nasional Ke-45 ini meliputi: Workshop Pertanian Berkelanjutan, Perdagangan dan Pangan di Bali; Diskusi penelitian pedesaan dari LRAN (Land Research Action Network) serta Simposium Pengalaman dari Negara Lain Tentang Pembaruan Agraria di Kotamadya Mataram NTB; Rapat Umum Petani di Desa Tanak Awu Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah NTB; dan Kunjungan lapangan di Sembalun Lombok Timur dan Kute Lombok Tengah.
A. Kronologis Pembubaran Rapat Umum Petani di Tanak Awu Pembubaran Rapat Umum Petani Oleh Aparat Kepolisian Dengan Cara-cara Kekerasan yang Mengakibatkan Jatuh Korban, di Tanak Awu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat :
Rapat umum yang diadakan Serikat Tani NTB (Serta NTB) dan Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) di Tanak Awu dibubarkan aparat kepolisian dari POLDA NTB dan POLRES Lombok Tengah secara paksa, Minggu (18/9). Dalam peristiwa tersebut 33 orang terluka (27 terkena tembakan, 6 orang terkena pukulan) akibat kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Korban dilarikan ke puskesmas dan rumah sakit terdekat.
Kejadian berawal, ketika masyarakat Tanak Awu tengah menghadiri Rapat Umum. Rapat tersebut digelar di lahan yang menjadi sengketa karena akan digusur untuk pembangunan Bandara Internasional. Warga masyarakat yang terdiri dari para petani Tanak Awu, Mawun, Grupuk, Penunjak, Rebile, Batujai, Sumbawa, dan Sembalun menunggu kedatangan tamu mereka dari FSPI, La Via Campesina, Land Research Action Network (LRAN), FIAN (Lembaga Hak Atas Pangan dan Hak-Hak Asasi Manusia), LSM, Mahasiswa, dan Masyarakat Adat dipaksa membubarkan diri oleh pasukan kepolisian dari Polres Lombok Tengah dan Polda NTB.
Beberapa saat kemudian 3 truk dari satuan kepolisian mendatangi lokasi. Polisi meminta masyarakat membubarkan acara yang akan digelar. Alasannya, ijin yang sebelumnya diberikan MABES POLRI kepada FSPI telah dicabut beberapa jam sebelumnya (Sabtu, 17 September pukul 23.00). Massa menolak karena 3
pencabutan ijin dilakukan secara sepihak dan terburu-buru (hanya beberapa jam sebelum acara), padahal para petani sudah mempersiapkan acara jauh-jauh hari. (Ijin untuk mengadakan acara sudah diberikan MABES POLRI kepada FSPI selaku penyelenggara pada tertanggal 12 September 2005 bernomor No.Pol.: SI/ANMIN/785/IX/2005/BAINTELKAM).
Warga menolak pembubaran yang diperintahkan kepolisian. Namun pihak kepolisian tetap memaksa warga untuk membubarkan diri. Alasannya, karena pihak Mabes Polri yang sebelumnya memberikan ijin terhadap acara tersebut, menyatakan mencabut ijin secara sepihak.
Warga menilai alasan tersebut mengada-ada, karena pencabutan ijin baru dilakukan beberapa jam sebelum acara dimulai, tepatnya pada pukul 21.00 WITA. Padahal pihak panitia, yaitu FSPI dan Serta NTB sudah mempersiapkan acara tersebut beberapa bulan sebelumnya. Bahkan Mabes Polri sudah memberikan ijin tertanggal 12 September 2005. Tetapi di kemudian hari aparat kepolisian meningkari janjinya dan memaksa untuk membubarkan rapat umum dengan cara kekerasan. Akibat dari kejadian tersebut, pihak masyarakat menjadi korban dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Pihak kepolisian tetap mendesak untuk membubarkan acara. Kapolres Lombok Tengah sempat bernegoisasi dengan Herman (salah seorang warga). Dalam negosiasi itu, Herman minta waktu kepada pihak kepolisian untuk menunggu rekan-rekan peserta lainnya yang telah berkumpul di Mataram. Kapolres memberikan waktu 20 menit terhadap permintaan warga.
Setelah 20 menit berlalu, Kapolres menambah pasukannya dan memberikan abaaba kepada pasukannya untuk segera membubarkan diri. Sepuluh menit kemudian, datang pasukan lebih banyak lagi disertai satu buah Panser dan dua mobil pemadam kebakaran. Jumlah aparat polisi sekitar 700 orang, terdiri dari pasukan Brimob, Dalmas, dan Huru-hara.
Setelah mendapatkan bantuan pasukan, aparat merangsek ke kerumunan massa dan melakukan beberapakali tembakan peringatan. Massa tetap bertahan di lokasi dan tidak mau membubarkan diri. Tidak cukup dengan tembakan peringatan, polisi menembak ke arah kerumunan massa (dari fakta-fakta yang diperoleh tim Serikat Petani NTB, ditemukan puluhan selongsong peluru yang terdiri dari peluru karet maupun peluru tajam dan selongsong gas air mata). Aparat kepolisian 4
semakin agresif, tenda-tenda dan panggung yang didirikan warga dirobohkan. Massa mengadakan perlawanan lagi, melempari polisi dengan tanah dan batu.
B. Kekerasan di Tanak Awu dalam Konteks Legal dan HAM Dengan alasan perkembangan situasi yang tidak kondusif, polisi mencabut izin penyelenggaraan Rapat Umum Petani dan kegiatan-kegiatan lain dari FSPI yang terkait dengan peringatan Hari Tani, yang ini kemudian berbuntut pada tindakan melawan hukum dan pelanggaran serius hak asasi manusia, sebagaimana pemaparan berikut. 1. Polisi melanggar konstitusi, melawan hukum dan melanggar HAM Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 28, secara jelas telah melindungi hak untuk mengemukakan pendapat, dimana hak mengemukakakan pendapat (freedom to speech) merupakan hak dasar warga Negara. Persoalan HAM selain telah diakomodir oleh konstitusi, diatur pula dalam peraturan perundangan Indonesia, sebut saja UUD 1945 BAB X.A. Hak asasi manusia Pasal 28A-28B J, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengeluarkan Pendapat di Muka Umum. Selain itu polisi juga telah melanggar HAM Internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Konvenan Internasional Hak Sipil-Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Konvenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights), sebagai instrument utama hak asasi manusia yang mana pemerintahan negara-negara wajib menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect) hak-hak warga negara yang disebut dalam instrumen tersebut. Dalam hal ini menurut penulis reformasi kepolisian telah gagal. Prosedur surat ijin yang keliru dan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian menunjukkan bahwa reformasi kepolisian masih jauh dari harapan, karena yang muncul adalah police brutality, pihak kepolisian jelas tidak menjalankan prosedur yang benar dalam menangani unjuk rasa, dan tragisnya, kekerasan tersebut ditujukan kepada petani miskin yang sehari-hari hidup tertindas dan menderita, dan pihak kepolisian nol besar dalam memberantas para pelaku kejahatan ekonomi, seperti koruptor, penyelundup, preman, dan para pengusaha perampas tanah rakyat yang menjadikan para petani menjadi semakin miskin dan menderita. Surat ijin dan pencabutan surat ijin sesungguhnya adalah pemicu kekerasan di Tanak Awu. Seharusnya Mabes Polri hanya mengeluarkan surat tanda terima pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Tetapi Mabes Polri justru 5
merujuk pada 510 ayat 1 dan 2 KUHP dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1963 tentang Kegiatan Politik.
2. Negara gagal memenuhi Hak Ekosob Warga Negara Peristiwa tragis yang terjadi di Desa Tanak Awu, sesungguhnya adalah gunung es dari konflik agrarian yang berkepanjangan dengan kekerasan aparatur negara terhadap rakyat dalam konflik agrarian. Hanya ada satu jalan bagi upaya mengakhiri konflik agrarian dan praktek-praktek
kekerasan
negara
terhadap
rakyat
khususnya
kaum
tani,
yaitu
dilaksanakannya reforma agrarian. Yang tidak hanya konflik agaria dengan kekerasan, tetapi situasi rawan pangan dan kemiskinan absolut bisa diakhiri. Kasus bentrokan petani anggota FSPI dengan polisi di Tanak Awu Lombok Tengah NTB adalah: Pertama, telah terjadi pelanggaran hak atas tanah para petani pemilik lahan yang dibebaskan untuk areal pembangunan Bandara Internasional di Tanak Awu, Lombok Tengah, bukan hanya karena telah terjadi pemaksaan dan intimidasi, tetapi juga ganti rugi yang diberikan jauh di bawah NJOP. Kedua, Telah terjadi pelanggaran hak berkumpul/berapat, bukan saja karena izin rangkaian kegiatan telah sebelumnya dikeluarkan oleh Mabes Polri yang kemudian dicabut secara tidak patut (oleh karena izin dicabut hanya beberapa jam sebelum rapat umum petani berlangsung), tetapi juga karena rapat umum itu juga dibubarkan secara paksa hingga menelan korban; Ketiga, Telah terjadi pelanggaran atas hak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan, oleh karena aparat kepolisian telah melakukan penembakan, pemukulan, penculikan, bahkan aparat kepolisian menyeret-nyeret salah seorang korban (Ibu Mulyadi) yang mengakibatkan sang ibu mengalami kaguguran janin berusia 2 bulan dalam kandungannya, meski pada pihak lain terdapat pula korban dari aparat kepolisian. 3. Demokrasi dan Pengelolaan Konflik Demokrasi disajikan bukan saja sebagai prinsip panduan, tapi sebagai sistem yang dapat diterapkan bagi pengelolaan konflik yang positif. Definisi penulis untuk demokrasi sangat praktis. Kalau sebuah sistem pemerintah ingin dianggap demokratis, ia harus mengkombinasikan tiga kondisi yang penting : kompetisi, partisipasi, dan, kebebasan sipil dan politik. Demokrasi dan manajemen konflik haruslah berjalan seiring. Dalam banyak hal, demokrasi merupakan sistem penanganan konflik sosial yang ditimbulkan oleh kemajemukan masyarakat melalui penggunaan seperangkat aturan yang telah disepakati bersama.
6
Di dalam kehidupan demokratis, perselisihan yang timbul akan diproses, diperdebatkan, dan ditanggapi, bukan semata-mata diputuskan begitu saja tanpa tawarmenawar. Pendek kata, demokrasi berfungsi sebagai sistem manajemen konflik tanpa menggunakan kekerasan. Larry Diamond menulis sebagai berikut, “Ketenangan dan kedamaian antar etnis timbul dari adanya pengakuan yang tulus akan adanya kemajemukan identitas, perlindungan hukum terhadap hak-hak kelompok serta individu, pelimpahan kekuasaan kepada berbagai wilayah lokal dan daerah, dan lembaga-lembaga politik yang mendorong proses tawar-menawar dan mengakomodasi perbedaan.”
4. Konflik Agraria Buah Ketimpangan Struktur Munculnya beberapa kasus konflik tanah memang terbukti cukup menarik perhatian masyarakat. Namun faktanya, hingga saat ini masih sedikit orang menyadari betapa luasnya kaki gunung es konflik tanah tersebut. Padahal, hingga Desember 2001, Koalisi Pembaruan Agraria (KPA) telah mencatat 1.753 kasus konflik di Indonesia. Sementara itu menurut BPN (Badan Pertanahan Nasional), jumlah pengaduan konflik tanah dari tahun 2000 hingga 2005 adalah sejumlah 5.319 pengaduan. Dalam kurun waktu tersebut, 37.83 persennya masih belum mendapatkan penanganan dan masih menyisakan konflik hingga saat ini. Bahkan menurut data KPA, untuk tahun 2007 dalam periode Januari hingga April 2007 tercatat 13 kasus konflik tanah yang berujung pada penangkapan dan penahanan 143 petani. Sungguh merupakan angka yang cukup mengejutkan. Sementara itu, UUPA 1960 yang eksistensi dan kemurniannya masih dipertahankan hingga saat ini ternyata tidak banyak membantu dalam hal penyelesaian dan pencegahan masalah konflik tanah. Sudah rahasia umum, fungsi UUPA seolah dikebiri dan dimandulkan oleh aturan perundang-undangan lainnnya. Padahal, 47 (empat puluh tujuh ) tahun yang lalu pada tanggal 14 September, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria Indonesia menegaskan bahwa kelahiran UUPA akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing. Menurutnya, UUPA akan mengakhiri kasus konflik tanah antara rakyat dengan pemodal asing, kasus konflik tanah antara rakyat dengan pemerintah negeri sendiri ataupun konflik tanah diantara rakyat itu sendiri. Pernyataan ini ditegaskan dalam sidang DPR-GR dalam penetapan UUPA sebagai landasan pelaksanaan land reform sebagai ujung tombak reforma agraria. Reforma agraria yang dimaksudkan pada waktu itu dilakukan guna merevolusi struktur ekonomi bangsa yang timpang dan seringkali melahirkan pertumpahan darah. Beberapa dekade setelah kelahiran UUPA, pertumpahan darah masih berulang dan semakin menggunung.
7
Menyikapi permasalahan tersebut, FSPI sebagai wadah perjuangan petani yang lahir dari banyaknya konflik tanah di Indonesia telah mengidentifikasi tiga penyebab munculnya konflik tanah yang umumnya melibatkan para petani. Pertama, adanya konsentrasi kepemilikan penguasaan lahan pada se gelintir pihak saja. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya jumlah petani yang memiliki lahan kurang dari 0.5 hektar dengan peningkatan sebesar 2.2 persen tiap tahunnya (dari 1983-2003). Bahkan saat ini rata-rata penguasaan lahannya hanya 1.700 m2 per kepala keluarga tani. Padahal, jumlah petani gurem pada tahun 2003 mencapai 13.7 juta orang. Angka ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan penguasaan lahan perkebunan yang rata-ratanya mencapai 3.361 hektar, padahal jumlah beneficariesnya hanya 1.409 perusahaan saja. Kedua, tidak diimplementasikannya amanat Pancasila, UUD 1945 dan UU No.5 Tahun 1960 tentang pokok pokok peraturan agraria beserta peraturan turunannya yang mengatur rencana land reform di Indonesia. Padahal, UU No.5 Tahun 1960 yang merupakan peraturan operasional dalam mengejawantahkan Pancasila dan UUD 1945 adalah merupakan payung hukum revolusi struktur ekonomi dan struktur sosial warisan pemerintah kolonial. Ketiga,
meningkatnya
keberpihakan
pemerintah
terhadap
kepentingan
agen-agen
neoliberalisme yang semakin gencar menjalankan politik imperialismenya di negeri ini. Sejauh ini, pemerintah memang telah turun tangan dalam penyelesaian konflik konflik tanah. Namun, penyelesaian konflik cenderung terjebak dari konteks hukum tanpa melibatkan konteks politik, ekonomi dan sosial masyarakat. Konflik diselesaikan dengan pemberian sertifikasi yang justru malah menjadi biang dari masalah selanjutnya. Sertifikasi tanah tanpa tindak lanjut penggunaan lahan hanya akan memberikan akses terjadinya pasar tanah. Keterjebakan sistem penyelesaian konflik jelas-jelas tidak mampu meruntuhkan kaki gunung es konflik tanah di Indonesia. Menghilangkan konflik konflik tanah pada dasarnya adalah bagaimana menghilangkan ketimpangan penguasaan lahan yang ada secara politik, hukum, ekonomi dan sosial. Dengan kata lain, solusinya adalah penataan kembali struktur kepemilikan lahan supaya terjadi akses terhadap lahan secara adil. Pelaksanaan reformasi agraria terletak pada kemauan politik pemerintah. Apalagi jika dari sisi konstitusional, baik pancasila, UUD 1945, ataupun UUPA No.5 Tahun 1960 telah secara gamblang berpihak sebesar-besarnya pada kepentingan rakyat. Sila kelima pancasila yang merupakan muara dari keempat sila sebelumnya secara jelas menyebutkan bahwa rakyat Indonesia harus mendapatkan keadilan sosial. Keadilan sosial yang dimaksud merupakan suatu keadilan dalam aspek ekonomi, politik dan sosial-budaya.
8
PENUTUP Tidak ada jaminan atau keharusan bahwa demokrasi adalah sempurna, atau bahwa pemerintahan demokratis bisa langsung menghasilkan hasil-hasil damai. Banyak kasus institusi demokratis yang “ditransplantasikan” secara ceroboh dalam masyarakat pascakonflik tanpa berakar, atau dengan diikuti kelahiran kembali kekerasan seperti yang masih terjadi di Tanak Awu, Lombok Tengah sendiri. Tapi adalah benar bahwa kasus-kasus seperti ini member banyak pelajaran tentang bagaimana kesepakatan diputuskan dan pilihan-pilihan apa yang harus diambil, yang penting untuk membangun hasil yang berkelanjutan. Demokrasi seringkali berantakan, merepotkan dan sulit, tapi ia juga merupakan harapan terbaik untuk membangun penyelesaian yang berkelanjutan untuk kebanyakan konflik yang diperjuangkan di seluruh dunia pada saat ini. Dalam TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit menyebutkan bahwa peraturan perundang undangan yang saling bertentangan dan berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber daya lainnya oleh department/instansi sektor haruslah dihentikan, karena pertentangan ini menciptakan kemiskinan dan penurunan sumber daya alam. Peraturan perundang-undangan ini harus direvisi, dicabut atau diubah menggunakan pendekatan holistik. Pada saat yang sama konflik harus diselesaikan melalui proses yang adil. Selain itu, memahami karakter konflik agraria di Indonesia, maka proses-proses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan lembaga khsusu penyelesaian konflik agraria. Karena pada dasarnya yang disebut dengan penyelesaian konflik agraria, bukan hanya pembuktian hukum formal dari tanah yang dikonflikkan. Melainkan pemenuhan rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang selalu jadi korban konflik agraria. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini yang didahulukan ? karena proses penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu. Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah: 1) memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas; 2) menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah, 3) memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan 4) memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk mendekontruksi atas sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA James C Scott: Moral Ekonomi Petani. 1986. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Yayasan Obor Indonesia (YIS). Jakarta: YIS. Klinken, Gerry Van(20070. Perang Kota Kecil (Kekerasan Komunal Dan Demokratisasi Di Indonesia). Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Susetyawan. 2000. Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 9
http://purnamawatie.multiply.com/journal/item/6 diakses tanggal 19 januari 2012 http://ssantoso.blogspot.com/2007/07/gerakan-sosial-dan-perubahan-sosial.html.diakses tanggal 16 Maret 2012.
10