Pekan XI
Takjub Simbolik: Beragama 31. Numinus dan Simbol-Simbolnya Filsafat berawal dengan ketakjuban. Inilah pandangan Plato
yang
terungkap
dalam
Theaetetus
(CDP
155d)
dan
digemakan oleh banyak filsuf lain selama berabad-abad. Takjub
dalam
pengertian
ini
bukan
sekadar
bengong
tertegun, melainkan penasaran terhadap sesuatu yang tak dikenal, yang menggiring kita untuk mencari makna yang mendasar di balik keragaman hayati kita, yang mendorong kita ke lubuk wawasan dan puncak pengetahuan yang selalu baru. Saya memilih mengantarkan anda kepada filsafat di matakuliah
ini
dengan
ketakjuban,
tetapi
tidak
dengan
mengawalinya
lawanannya,
dengan
kebebalan.
Itu
karena penahapan logis bagian-bagian dari pohon filsafat berlawanan
dengan
penahapan
kronologis
normal
pada
pengalaman kita dalam berfilsafat. Di kuliah-kuliah ini saya
berupaya
menjelaskan
filsafat
sedemikian
rupa
sehingga, dengan menuntaskan matakuliah ini, anda akan mampu menempuh pengembaraan filosofis anda sendiri. Itu berarti
bahwa,
walaupun
mungkin
cara
terbaik
untuk
belajar filsafat adalah bergerak dari metafisika melalui logika
dan
berfilsafat
ilmu mungkin
ke
ontologi,
bergerak
dari
cara
terbaik
ketakjuban
untuk melalui
kealiman
dan
pemahaman
ke
pengakuan
sepenuhnya
akan
kebebalan anda sendiri. Ketakjuban berkaitan terutama dengan kekaguman kita terhadap pengalaman insani yang amat beragam, khususnya pengalaman yang menelurkan pertanyaan yang tidak terjawab dengan penalaran logis belaka, tetapi dengan mengalami pengalaman itu sendiri. Jenis ketakjuban filosofis yang paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Kita
tak
bisa
memuaskan
menyusun
teori
pemikiran
logis
jangkauan
pengetahuan
ketakjuban
metafisis, kita,
atau kita.
itu
cuma
mempertajam memperdalam Alih-alih,
dengan
keterampilan kedalaman
makna
dan
kehidupan
muncul secara bertahap dari kemauan kita untuk terbuka terhadap jenis-jenis pengalaman “ajaib” yang kita bahas di
Bagian
Empat
ini.
pengalaman-pengalaman sebagaimana
dalam
mengingat-ingat
Kendati itu
pembahasan
bergantung
kuliah-kuliah
bahwa
kita
kita
pada
terdahulu,
mengalami
tentang
kata-kata kita
harus
ketakjuban
yang
paling berbobot dalam keheningan. Semua jawaban yang kita periksa
sebagai
“jawaban”
berbagai
masalah
yang
memudar
dalam
yang
diangkat
kesepelean
bila
bolehjadi di
kita
Bagian
terhadap Empat
bandingkan
ini
dengan
jawaban hakiki yang kita terima manakala kita mengalami ketakjuban
lantaran
keheningan.
Itu
karena
ketakjuban
berkeheningan, lebih dari kata-kata sebanyak berapa pun, bisa menanamkan timbangan sejati tentang realitas kita
sendiri, dan dapat mendorong kita ke tingkat
keutuhan
yang oleh kata-kata belaka tak terungkap, yang memberi makna terdalam bagi keragaman kata-kata kita. Karena anda telah belajar berfilsafat, saya harap anda
telah
mengalami
Sesungguhnya, matakuliah
salah
ini
jenis
satu
dengan
ketakjuban
alasan
lain
kuliah-kuliah
filosofis
ini.
untuk
mengawali
tentang
kebebalan
adalah bahwa saya rasa, itu merupakan salah satu cara terbaik untuk membangkitkan ketakjuban pada diri orangorang yang pandangan kealaman ilmiah modernnya cenderung memisahkan mereka dari banyak pengalaman yang pada dahulu kala
merupakan
orang,
sebelum
telah
bagian
alamiah
teknologi
mempertimbangkan
dengan
urutan
tentang
kematian
dan
mendominasi
untuk
terbalik,
dari
yang
berakhir
kehidupan
setiap
masyarakat.
mengajar berawal dengan
matakuliah dengan kuliah
Saya ini
kuliah tentang
mitos. Meskipun barangkali ini akan membuat matakuliah kita
lebih
menarik
pada
permulaan,
dan
sehingga
lebih
cepat menarik anda ke suatu kajian filsafat yang serius, akan ada bahaya yang berupa menafsiran jenis pengalaman yang
dibahas
di
sini
secara
terlalu
ilmiah,
tanpa
mengakui misteri menakjubkan yang ditunjukkannya. Harihari ini, ketika keindahan amat sering terkunci di dalam kurungan dinding museum, ketika pengalaman keagamaan amat sering diidentifikasi dengan perbuatan yang “gerejawi”, ketika kematian amat sering terjadi di bangsal rumahsakit
secara
anonim,
maka
kita
semua
terlalu
gampang
untuk
mengira bahwa kita benar-benar telah mengalami misteri kehidupan, hanyalah
walau,
pada
memisahkan
faktanya,
diri
dari
hal
yang yang
kita
lakukan
hakiki
melalui
perangkap teknologi. Saya harap, pengakuan kebebalan kita perihal
realitas
kepuasan
kepada
hakiki diri
itu
menggoncang
sendiri
yang
anda
membunuh
dari naluri
ketakjuban kita. Blaise Pascal (1623-1662) ialah salah satu contoh filsuf terbaik yang menghargai nilai kejut yang terdapat pada
pengakuan
kebebalan
manusia,
di
samping
hubungan
antara pengakuan semacam itu dan ketakjuban filosofis. Kumpulan dengan
wawasannya, pasal-pasal
yang yang
disebut
Pensées,
mengungkapkan
dipenuhi ketegangan
eksistensi manusia, sebagaimana berikut ini: What a chimera then is man! What a novelty! What a monster, what a chaos, what a contradiction, what a prodigy!
Judge
of
all
things,
imbecile
worm
of
the
earth; depositary of truth, a sink of uncertainty and error; the pride and refuse of the universe! ... Know then, proud man, what a paradox you are to yourself.
Humble
yourself,
weak
reason;
be
silent,
foolish nature; learn that man infinitely transcends man, and learn from your Master your true condition, of which you are ignorant. Hear God....
Whence
it
seems
difficulty
of
that
our
God,
willing
existence
to
render
the
unintelligible
to
ourselves, has concealed the knot so high, or better speaking,
so
low,
that
we
are
quite
incapable
of
reaching it; so that it is not by the proud exertions of our reason, but by the simple submissions of reason, that we can truly know ourselves. (PP 434) (Maka betapa terbelah manusia! Betapa ganjil! Betapa mengerikan,
betapa
kacau,
betapa
berlawanan,
betapa
aneh! Penimbang segala hal, cacing-tanah dungu; penjaga kebenaran, benaman ketidakpastian dan kekeliruan; harga diri dan sampah alam semesta! ...
Maka
kenalilah,
orang
nan
congkak,
alangkah
paradoksnya engkau dengan dirimu sendiri. Rendahkanlah dirimu, akal nan lembik; heninglah, alam nan tolol; ketahuilah bahwa manusia melampaui manusia secara tak terbatas, dan ketahuilah dari Tuanmu kondisi sejatimu, yang takkan kauketahui. Simaklah Tuhan. ... Lantaran itu rupanya Tuhan, yang kepada kita sendiri hendak menganugerahkan kendala eksistensi kita yang tak terpahami,
menyembunyikan
benang-kusut
begitu
tinggi
atau, dengan kata lain yang lebih baik, begitu rendah, sehingga
kita
sungguh
sehingga
bukan
dengan
tak
mampu
memutar
untuk
otak
kita
mencapainya; yang
besar
kepala, melainkan dengan menyerahkan akal begitu saja,
bahwa
kita
bisa
betul-betul
mengenal
diri
kita
melampaui
cara
sendiri.) (PP 434) Paradoks-paradoks
Pascal
pandang
kita
kita
kealaman
dengan
membawa
kita
sehari-hari,
kenyataan
dan
transenden
memperhadapkan
yang
misterinya
mengobarkan ketakjuban yang berkeheningan di lubuk hati kita. Hari ini saya akan memperkenalkan salah satu cara untuk mengalami ketakjuban berkeheningan yang paling umum dan namun berbobot: yakni disiplin yang obyeknya adalah realitas
hakiki
yang
oleh
kebanyakan
orang
disebut
“Tuhan”. Sebagaimana yang kita lihat pekan lalu, salah satu
nama
tradisional
yang
dilekatkan
pada
tugas
filosofis tentang pemahaman hal itu dan cara-cara untuk mengalami “kesatuan dalam keragaman” lainnya tentang halhal
yang
eksis
yang-berada”.
ialah
“ontologi”—yakni
Ontologi,
studi
tentang
“studi
tentang
yang-merupakan,
adalah salah satu metode yang digunakan oleh para filsuf untuk mengendurkan berbagai ketegangan yang tercipta oleh penalaran
filosofis
mengakui
ketegangan
kita.
Contohnya,
antara
Kant
kebebasan
tidak dan
hanya
takdir,
sebagaimana yang kita saksikan di Kuliah 22, tetapi juga mengemukakan bahwa manusia mempunyai “kebutuhan praktis” untuk mencairkannya dalam rangka menghargai “totalitas” pengalaman
dan
pengetahuan
insani.
Kita
mengamati
di
Kuliah 29 bagaimana ia pada mulanya berupaya mencairkan
ketegangan ini dengan mengambil sesuatu yang menyerupai sudut pandang ontologis dalam catatannya tentang peran keindahan dan tujuan alam. Di Kuliah 32 dan 33 pekan ini kita
akan
memeriksa
contoh
dari
Kant
yang
paling
signifikan tentang bagaimana ketegangan antara teori dan praktek dicairkan dalam pengalaman. Studi ontologis mengenai pengalaman insani tentang yang-transenden
(yaitu
Tuhan)
acapkali
diakui
sebagai
salah satu tugas cabang filsafat (terapan) yang dikenal sebagai
“filsafat
agama”.
Akan
tetapi,
ruang
lingkup
disiplin ini mestinya terbatas pada persoalan-persoalan yang lebih berkaitan langsung dengan pengetahuan kita, antara lain: argumen tentang keberadaan Tuhan, hakikat dan keandalan keyakinan dan bahasa religius, dan masalah evil (kenistaan atau kejahatan). Yang bertugas memahami sesuatu yang secara khas disebut “pengalaman religius” adalah
cabang-cabang
mengajukan
pohon
pertanyaan
filsafat
bisakah
atau
selama tidak
kita bisakah
pengalaman semacam itu memberi kita pengetahuan tentang Tuhan. Pengalaman-pengalaman yang apa adanya lebih tepat untuk
diperiksa
istilah
umum
pada
daun-daun
“pengalaman
pohon
religius”
tersebut. bisa
Namun
menyesatkan
karena bisa diambil untuk menyiratkan bahwa pengalaman semcam
itu
hanya
menganut
agama
sebagian
orang
bisa
yang yang
terjadi mapan.
tidak
pada
Padahal religius
orang-orang pada dalam
yang
faktanya, pengertian
tradisional
benar-benar
mengalami
tipe
tersebut
pada
suatu saat dalam kehidupan mereka. Ini menyiratkan bahwa kita membutuhkan nama baru untuk mengacu pada pengalaman semacam itu tatkala menelaah sifat ontologisnya. Rudolf Otto (1869-1937) ialah seorang teolog Jerman yang mengambil kerangka Kantian dalam berupaya menyusun interpretasi yang seksama tentang agama dan pengalaman keagamaan. Penekanannya pada penyelidikan tentang esensi manifestasi empiris pengalaman religius itu amat berbeda dengan penekanan Kant pada pondasi rasionalnya. Sekalipun begitu, Otto yakin bahwa idenya bisa berfungsi sebagai komplemen yang berguna bagi ide Kant. Sesudah menyelidiki kemiripan antara pengalaman-pengalaman religius orang di banyak tradisi yang berlainan, khususnya yang biasanya dianggap
“mistis”,
Otto
menulis
sebuah
buku,
yang
berjudul The Idea of the Holy (1917), yang mengajukan suatu
deskripsi
yang
kini
terkenal
tentang
sifat
fundamental pengalaman semacam itu. Karena tidak di semua tradisi keagamaan kata “Tuhan” digunakan, dan karena tradisi yang mengacu pada Tuhan pun pasti
memberlakukan
berlainan
tentang
menghindari
pemakaian
nama Tuhan, kata
dan/atau Otto “Tuhan”
deskripsi memutuskan
sebisa
yang untuk
mungkin.
Di
samping itu, dalam pemeriksaan fenomena polos pengalaman kita (yaitu ketika kita hanya berfokus pada yang kita amati), pada aktualnya kita tidak mendapati Tuhan semacam
itu. Yang kita jumpai ialah berbagai tipe Oleh
sebab
“numinus” Tuhan.
itu,
Otto
(numinous)
menciptakan
untuk
(Ingatlah,
Kant
kata
mengacu membuat
pengalaman. “numen”
pada
dan
“kehadiran”
perbedaan
antara
“fenomena” dan “nomena” dengan cara serupa (lihat Gambar III.5).)
Tentu
saja,
tersebut
“Tuhan”.
kebanyakan
Namun
tujuan
orang Otto
menyebut
bukan
obyek
mengusulkan
teori mengenai obyek yang menyebabkan pengalaman semacam itu (yakni apakah itu benar-benar Tuhan, ataukah alam, ataukah hanya sesuatu yang kita santap dalam perjamuan); alih-alih,
ia
hanya
fenomenologis
tentang
itulah
khas
metode
ingin apa
yang
menyediakan
yang
terjadi.
diterapkan
deskripsi Omong-omong,
dalam
berontologi.
Karena itu, ontologi dan “fenomenologi”—yaitu pemaparan ciri
esensial
fenomena
yang
kita
alami—selalu
menjadi
disiplin yang cenderung saling berkaitan erat. Menurut Otto, perasaan yang-berada dalam kehadiran numen, suatu realitas transenden yang “sepenuhnya tidak lain”
kecuali
diri
saya
sendiri,
merupakan
pengalaman
insani dasar, dan karenanya harus berfungsi sebagai titik tolak
segala
ontologi
pengalaman
religius.
Hasil
dari
mengalami kehadiran numinus ini adalah merasa terkesan secara
mendalam
kepadanya. disebut tergoda
Ini
dengan
kebergantungan
menimbulkan
“rasa-kemakhlukan”. untuk
menganggap
suatu Ia
hal
saya yang
oleh
mengingatkan, “rasa
sendiri Otto
jangan
kebergantungan”
(sebagaimana
Schleiermacher
menyebutnya)
ini
sebagai
realitas primer, dan [jangan tergoda untuk] mengira bahwa dari situ kita menyimpulkan keimanan kepada suatu obyek dasar. Otto justru menyatakan, mula-mula obyek itu muncul sendiri
kepada
kita
secara
misterius,
dan
perasaan
mistisnya hanya mengikutinya sebagai akibat. Tak peduli apa yang kita yakini perihal Tuhan, kehadiran numinus ini akan
muncul
kepada
kita
sebagai
sesuatu
yang
bisa
diperikan dengan menilik ide tentang yang “suci”. Otto
mengerahkan
banyak
usaha
demi
tugas
untuk
menjelaskan hakikat pengalaman kita tentang numinus. Ia mengemukakan, sekaligus
irrasional
pertanyaan
oleh
tentang
bila
itu
pengalaman
menamai
pesona.
dan
tidak
bahwa
ini
keseganan,
segan
[obyek] bahwa
moralitasnya
tidak
itu.
“mysterium
kemegahan,
yang
ditimbulkan
Selanjutnya
Otto
tremendum”
dan
lima
“unsur”
urgensi,
misteri,
mengacu
pada
(awe)
dan
hanya
perasaan
mencakup
bahwa
tetapi
dan
semendalam ini
“nonrasional”
berarti
immoral,
mendatangi
yang
Perasaan
Ini
itu
rasionalitas
perasaan
mengemukakan berbeda:
“suci”
“nonmoral”.
tersebut
relevan
obyek
yang dan
sejenis
ketakutan atau kengerian (suatu debaran) dalam kehadiran sesuatu yang misterius. (Kita akan melihat lebih dekat perasaan
ini
(majesty)
obyek
pada
Kuliah
numinus
34.)
Pengakuan
membangkitkan
rasa
kemegahan rendah-hati
(atau “rasa-kemakhlukan”) di dalam diri kita. Fakta bahwa
itu merupakan pengalaman nyata yang dialami oleh obyek yang hidup, dan bukan sekadar teori filosofis abstrak, terungkap dalam “energi” atau urgensi yang kita rasakan manakala kita mempunyai pengalaman semacam itu. Urgensi ini
kadang-kadang
bisa
menambah
rasa
ngeri
kita,
sebagaimana ketika itu datang dalam bentuk “murka Tuhan”, tetapi itu juga menimbulkan pengakuan bahwa obbyek ini “sepenuhnya itu
lain”
agak
(yakni
negatif
misterius).
sejauh
ini,
dan
Perasaan-perasaan mungkin
dengan
sendirinya menyebabkan kita lari dari obyek numinus itu; namun perasaan-perasaan tersebut diseimbangkan oleh rasa pesona
yang
mempertahankan
ketertarikan
kita
secara
mendalam terhadap pengalaman itu dan terhadap obyek yang tak
dikenal
itu.
Dengan
selesainya
paparan
singkat
tentang teori Otto itu, kita dapat meringkasnya dengan mengkombinasikan dua peta pada Gambar X.1, sebagaimana dalam Gambar XI.1. numinus pengalaman religius “numen” ide tentang yang suci pesona, segan, dsb.
Gambar XI.1: Penerobosan Numinus dan Ide tentang Yang Suci
Layak disebut bahwa Kant sendiri memiliki kesadaran yang
berbobot
tentang
jenis
pengalaman
numinus
itu.
Umpamanya, pasal yang menyimpulkan Critique kedua (yang dikutip
di
atas,
“langit
berbintang
pada di
akhir atas
Kuliah
saya”
22)
dan
mengacu
“hukum
pada
moral
di
dalam diri saya” sebagai pengalaman dasar (“Saya melihat keduanya
di
depan
saya”),
yang
menimbulkan
perasaan
“kekaguman dan keseganan”, sebagaimana pada rasa urgensi misterius
dan
kebergantungan
(“Saya
langsung
mengasosiasikan keduanya dengan kesadaran akan eksistensi saya
sendiri”):
deskripsi
kita
ontologis
hampir Otto
tak
bisa
yang
mengutip
lebih
baik
contoh tentang
pengalaman religius! Di samping itu, Kant di tempat lain memaparkan
pengalaman
yang
sama
dengan
itu
melalui
peristilahan “tangan Tuhan” di alam dan “suara Tuhan” di hati kita. Bagi Kant, dua jalan yang dimiliki oleh akal dalam memperlihatkan diri kepada manusia ini mensahihkan sendiri,
karena
“tangan
Tuhan”
melambangkan
sumber
pengetahuan ilmiah kita dan “suara Tuhan” melambangkan kebaikan
moral
kita.
Secara
demikian,
keduanya
mempersatukan keragaman tanpa-ujung yang selalu memerikan pengalaman
kebenaran
sesungguhnya,
inilah
dan
kebaikan
alasan
mengapa
kita
yang
sumber
aktual. penalaran
logis itu sendiri tidak mungkin logis; begitu pula sumber hukum moral itu sendiri bukan moral. Kant mengakui (walau sayangnya ia tidak menekankan kenyataan) bahwa “langit
berbintang”
(alam)
dan
“hukum
moral”
seperti tapal batas yang kita
(kebebasan)
benturkan
dengan
itu
kepala
jika kita mencoba melewatinya. Ini karena, sebagaimana yang dinyatakan oleh Otto, sumber tapal batas itu sendiri pasti nonrasional dan nonmoral supaya mampu mempersatukan keragaman pengalaman rasional dan pengalaman moral kita. Barangsiapa memiliki pengalaman numinus semacam itu akan segera mempunyai tanggapan terhadap Nietzsche, atau terhadap siapa saja yang mengemukakan bahwa Tuhan telah mati.
Kematian
Tuhan
sebagimana
yang
diumumkan
oleh
Nietzsche cukup nyata; namun itu kematian Tuhan palsu, Tuhan
yang
diada-adakan
oleh
akal
manusia,
bukan
oleh
wahyu ilahi. Orang-orang yang telah mengalami Tuhan akan tahu bahwa kita tak dapat memaksa Tuhan untuk tinggal di dalam tapal batas sistem insani apa pun. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh
Nierzsche
melakukannya
berarti
membunuh
dengan Tuhan;
benar, dan
upaya
satu-satunya
jawaban yang tepat adalah menerobos pola itu dalam rangka memperoleh kembali kemungkinan untuk mengalami realitas pemberi-kehidupan itu sendiri. Namun hal ini mengangkat sebuah
pertanyaan
yang
genting:
segera
sesudah
kita
mengalami numinus, bagaimana kita bisa memaparkannya atau memahaminya
tanpa
memaksanya
ke
dalam
cendekiawan
di
abad
suatu
pola
yang
keduapuluh
yang
tidak alamiah? Ada
banyak
menangani pertanyaan ini dengan mengacu pada daya simbol.
Pada
waktu
membahas
yang
tersisa
pandangan
di
seorang
jam
kuliah
pemikir
ini
saya
akan
eksistensialis
yang
telah kita jumpai di Pekan VI dan X dan akan kita temui lagi pekan depan. Perihal banyaknya wawasan Paul Tillich yang
menarik,
hubungannya
catatannya
dengan
simbol
tentang
hakikat
merupakan
iman
salah
satu
dan yang
paling penting. Menurut Tillich, setiap orang memiliki keimanan,
karena
terdalam”
(ultimate
menyadarinya.
setiap
orang
memiliki
concern),
walaupun
Urusan
terdalam
kita
suatu
“urusan
mereka
adalah
tidak
benda
atau
orang atau tujuan yang dituju oleh semua energi kehidupan kita; inilah faktor penentu dalam semua keputusan kita. Bagi banyak mahasiswa, “menempuh studi sebaik-baiknya di universitas”
merupakan
urusan
terdalam
mereka—persoalan
yang menentukan apa yang mereka lakukan dan kapan mereka melakukannya pada sebagian besar dari waktu mereka. Akan tetapi, Tillich mengklaim bahwa beberapa hal tidak layak untuk dimuliakan, karena “penyerahan kepada suatu urusan yang
pada
“pemberhalaan”
hakikatnya dan
tidak
karenanya
terdalam”
“destruktif”
adalah
(DF
16,35):
“Urusan terdalam kita bisa menghancurkan kita di samping mampu menyehatkan kita. Namun kita tak pernah tanpa itu.” Obyek karena
urusan
terdalam
keimanan
lebih
yang dari
tidak
tepat
sekadar
itu
berbahaya
kepercayaan
atau
keyakinan rasional. Sebagaimana tulisan Tillich dalam The Courage to Be (CB 168):
Faith is not a theoretical affirmation of something uncertain, something
it
is
the
transcending
existential
ordinary
acceptance
experience.
of
Faith
is
not an opinion but a state. It is the state of being grasped
by
everything
the that
power is
of
and
in
being which
which
transcends
everything
that
is
participates. He who is grasped by this power is able to affirm himself because he knows that he is affirmed by the power of being-itself. In this point mystical experience
and
personal
encounter
are
identical.
In
both of them faith is the basis of the courage to be. (Keimanan bukanlah pembenaran teoretis terhadap sesuatu yang tidak pasti, [melainkan] penerimaan eksistensial terhadap
sesuatu
Keimanan
itu
ketertangkapan
yang
bukan oleh
melampaui
opini, daya
pengalaman
melainkan
yang-berada
biasa.
keadaan, yang
yaitu
melampaui
segala hal yang ada dan yang diikutsertai oleh segala hal.
Ia
yang
ditangkap
oleh
daya
tersebut
mampu
membenarkan dirinya sendiri karena ia tahu bahwa ia dibenarkan oleh daya yang-ada. Dalam hal ini pengalaman mistis dan perpapasan pribadi identik. Pada keduanya keimanan merupakan pangkalan ketabahan-dalam-berada.) Kita akan melihat lebih dekat konsep Tillich tentang “ketabahan”
pada
Kuliah
34.
Masalahnya
dalam
hal
ini
adalah bahwa obyek iman yang tepat adalah sesuatu yang oleh
Otto
disebut
“numinus”—dengan
kata
lain,
ini
merupakan obyek misterius pengalaman mendalam yang tentu namun
tak
bagaimana Jawaban
dapat iman
dijelaskan bisa
eksis
Tillich
adalah
misterius dapat
membawa
yang
kita
jika
obyeknya
bahwa kita
miliki.
misterius?
obyek-obyek ke
obyek
Jadi,
yang
yang
tidak
misterius.
Obyek yang tidak misterius itu disebut “simbol”. Dengan demikian, Tillich mendefinisikan bentuk keimanan religius yang
spesial
mengungkapkan
sebagai urusan
“penerimaan terdalam
simbol-simbol
kita
dengan
yang
menggunakan
tindakan-tindakan ilahi” (DF 48). Tillich dengan berhati-hati membuat perbedaan antara “simbol” dan “tanda” (sign). Tanda adalah obyek yang bisa diketahui
yang
dengan
melampaui
diri
hanya
menunjuk
kepada suatu obyek yang bisa diketahui lainnya, sedangkan simbol
adalah
melampaui
obyek
diri
yang
bisa
menunjuk
diketahui
kepada
yang
suatu
dengan
realitas
tersembunyi, walau, pada saat yang sama, ikut serta dalam misteri
yang
diarah
olehnya
tersebut.
Tanda
penunjuk
jalan mengarahkan kita ke tempat yang kita tuju, namun ketika kita mencapai tujuan kita, kita melihat bahwa itu tidak
berkaitan
dengan
tanda
penunjuk
jalan
yang
kita
ikuti. Seperti “tangga” Wittgenstein (lihat Gambar V.1), kita
dapat
mencampakkan
tanda
segera
sesudah
tugasnya
terselesaikan. Sebaliknya, kemampuan kita untuk mengalami realitas yang dibicarakan berkaitan erat dengan simbol. Tanpa
simbol,
kita
tak
mampu
mengalami
hal
yang
disimbolkan. ”bahasa
Secara
simbolik
demikian,
sendirian
Tillich
mampu
mengemukakan,
mengungkap
yang-
terdalam. ... Bahasa iman adalah bahasa simbol” (DF 41, 45).
Perbedaan
kenyataannya,
antara
sejajar
tanda
dengan
dan
simbol,
perbedaan
antara
pada logika
analitik dan sintetik. Kita dapat melukiskan perbedaan itu dengan menggunakan peta di Gambar XI.2, dengan anakpanah
berkepala-ganda
(yang
merupakan
kombinasi
antara
dua tipe anak panah yang terdapat pada Gambar X.1) yang melambangkan partisipasi. -A(=A) realitas tersembunyi simbol obyek yang bisa diketahui tanda
XI.2: Logika Tanda dan Simbol Korelasi antara pertalian tanda-simbol dan pertalian analitik-sintetik simbolik
bukan
kebetulan.
didasarkan
pada
harfiah
kata-kata
penggunaan
Itu
logika kita
karena
sintetik,
bahasa
sedangkan
sehari-hari
(sebagai
tanda) didasarkan pada logika analitik. Dengan demikian, sebagaimana menurut
yang
terdahulu
Tillich,
berkaitan
terkemudian
[yaitu
[yaitu dengan
kata-kata
bahasa bahasa
harfiah]
pun
simbolik], iman,
yang
berkaitan
dengan bahasa pengetahuan. Seperti yang kita saksikan di
Bagian
Dua,
penggunaan
mensyaratkan
bahwa
“A”
kata-kata
tetap
“A”
dan
harfiah
kita
karenanya
selalu
berlawanan dengan “-A”. Akibatnya, “B” yang tidak sama dengan
“A”
harus
(Omong-omong, analitik
dimasukkan
ini
yang
sering
ketiga,
sebagai
diakui
yang
bagian
sebagai
disebut
dari
hukum
“hukum
“-A”. logika
penolakan
pertengahan”: “B = salah satu dari A dan –A”.) dengan cara ini tanda selalu menunjukkan kita hal-hal di seputar alam
yang
manakala simbol
diketahui
kita
asli
dan
menggunakan
(“A”)
itu
yang
bisa
kata
dengan
sendiri
diketahui. cara
menyajikan
Namun
simbolik,
kepada
kita
suatu realitas tersembunyi (“-A”) yang bisa kita alami secara aktual, karena “A” ini turut serta dalam “-A”, dan begitu
pula
sebaliknya.
logika
sintetik
menolak
(Oleh
karena
itu,
hukum
penolakan
tentu
saja
pertengahan.)
Secara paradoksis, simbol memungkinkan obyek menjadi (to be) sesuatu yang bukan obyek itu sendiri, sehingga kita takkan
terkejut
mendapati
beberapa
filsuf
yang
mendasarkan bahasa simbolik pada “hukum paradoks” atau “hukum partisipasi” (lihat Kuliah 12). Mari
kita
ambil
cincin
kawin
saya
untuk
contoh
sederhana. Jika saya menganggap obbyek ini semata-mata sebagai
tanda
status
perkawinan
saya,
maka
cincin
itu
sendiri, sebagai obyek, tidak begitu penting bagi saya. Saya akan lebih mempedulikan rupanya daripada maknanya bagi saya. Jika saya kehilangan cincin itu, saya akan
sedih
terutama
dari
emas.
perkawinan yang
lantara
Namun
saya,
akan
nilai
itu
karena
menunjukkan
moneternya,
tidak saya
berpengaruh
bisa
status
yang
membeli
terbuat terhadap
cincin
perkawinan
saya
baru
secara
efektif. Akan tetapi, karena saya menghargai cincin saya sebagai simbol komitmen saya untuk mencintai istri saya selama
kami
hidup,
cincin
itu
sendiri
pada
aktualnya
turut serta dalam perkawinan saya. Kehilangan cincin itu atau bahkan keputusan untuk tidak memakainya akan menjadi tragedi, karena dengan demikian bagian dari perkawinan saya hilang. Tentu saja saya bisa membeli cincin lain untuk menggantikannya; namun dibutuhkan waktu yang lama bagi obyek itu untuk menjadi simbol misteri cinta yang sama
berbobotnya
dengan
cincin
asli
saya.
Itu
karena
sebagaimana telah kita perhatikan di pekan lalu, cinta adalah
salah
satu
tipe
pengalaman
paling
lazim
yang
mensyaratkan bahwa kita menafsirkan obyek sebagai simbol. Karena dengan
“pengalaman
Ekaristi turut Ketika
kuliah-kuliah
Nasrani
religius”,
sebagai
menerangkan orang-orang
pekan
salah
ini mari satu
terutama kita
pakai
contoh
bagaimana
sebenarnya
Kristen
makan-minum
berkenaan
lain
simbol di
ritual untuk
bekerja.
Makan
Malam
Suci, setiap peserta biasanya memakan sepotong roti dan minum
beberapa
tetes
anggur.
Kebermaknaan
ritual
ini
sangat bervariasi, bergantung pada apakah orang-orang itu memandang obyek biasa “yang bisa diketahui” itu sebagai
tanda ataukah simbol. Dengan dihargai sebagai tanda, roti dan anggur tersebut menandakan suatu realitas yang bisa diketahui lainnya, semisal tubuh dan darah aktual manusia historis
yang
Katolik
bernama
yang
Yesus
Kristus
percaya
(dalam
hal
kepada
orang
doktrin
“transubstantiasi”),i[1] atau menandakan kenangan tentang tokoh itu dan tentang apa yang ia perbuat (sebagaimana dalam interpretasi khas Protestan). Pada kedua kasus itu obyek-obyek
aslinya
kehilangan
segi
pentingnya
sebagai
roti dan anggur segera sesudah kita memahami obyek itu sebagai sesuatu yang dituju oleh obyek itu. Akan tetapi, dengan
dihargai
sebagai
simbol,
obyek-obyek
tersebut
tidak lagi berkaitan dengan kegaiban atau pun kenangan; alih-alih, (yakni
obyek-obyek
sebagai
roti
itu
dan
diakui
anggur),
sebagaimana
namun
adanya
diyakini
bahwa
obyek-obyek tersebut turut serta dalam misteri Inkarnasi Allah
dalam
raga
manusia.
Oleh
sebab
itu,
melahap
keduanya merupakan ekspresi yang berbobot dari kemauan diri seseorang sendiri untuk turut serta dalam misteri tersebut. Dengan mengalami ritual itu secara simbolis, orang
ini
diangkut
oleh
obyek-obyek
biasa
itu
menuju
komuni yang mendalam dengan suatu realitas misterius yang takkan
bisa
dipahami,ii[2]
kecuali
barangkali
dalam
ketakjuban berkeheningan yang tak terpahami. Untuk
menyimpulkan
ulasan
singkat
kita
terhadap
pandangan Tillich, mari kita pakai definisi iman menurut
dia
untuk
membuat
perbedaan
antara
metafisika
dan
ontologi—dua disiplin yang cenderung ditumpangtindihkan, termasuk oleh filsuf-filsuf. Metafisika ialah pencarian pengetahuan tentang realitas terdalam, sedangkan ontologi adalah
pencarian
pengalaman
tentang
urusan
terdalam.
Jadi, ketika kita menelaah berbagai bentuk ontologi di Bagian bahwa
Empat “yang
merupakan
ini,
kita
terdalam” sasaran
harus [atau
senantiasa “yang
perhatian
memperhatikan
hakiki”]
kita
itu,
dengan
yang
berbagai
simbolnya yang kita jumpai dalam pengalaman kita, adalah jauh
lebih
daripada
merupakan
perangkat
jalan
dogma
hidup
atau
atau
obyek
sikap
terdalam
terdalam.
Simbol-
simbol semacam itu semuanya harus dipandang bukan sebagai pemberi pengetahuan metafisis tentang realitas terdalam kepada kita, melainkan hanya sebagai penyala bara api di dalam
diri
kita
yang
berisi
perhatian
terhadap
makna
kehidupan dan petunjuk hakiki. Pada dua kuliah mendatang di
pekan
ini,
kita
akan
kembali
kepada
Kant,
dengan
harapan bahwa filsafat Kritisnya mungkin mampu memberi kita beberapa wawasan yang bahkan lebih mendalam mengenai apa yang dimaksud dengan beragama dengan cara ini.
32. Kenistaan dan Paradoks Kemuliaan Sejak
Kuliah
8
saya
lebih
memberi
penakanan
pada
ide-ide Immanuel Kant daripada filsuf lain—bahkan, jauh lebih mendalam daripada yang biasanya dikira tepat untuk
kuliah pengantar semacam ini. Terminologi Kant itu begitu rumit, teorinya begitu mendalam, dan argumennya begitu kontroversial,
sehingga
kebanyakan
dosen
yang
mengajar
mahasiswa tingkat awal hanya menyebut beberapa ciri khas teori
moral
Kant,
dengan
barangkali
sebagian
[dari
mereka] yang melewatkan pengacuan epistemologinya. Namun di matakuliah ini, kita bukan hanya meliput kedua bidang itu
(Kuliah
22
metafisiknya
dan
yang
8),
melainkan
sesungguhnya
juga
pandangan
9),
pembedaan
(Kuliah
dasarnya perihal logika (Kuliah 11), pembelaannya perihal prinsip
kausalitas
ilmu
(Kuliah
21),
teori
politiknya
(Kuliah 27), dan teorinya tentang keindahan (Kuliah 29). Saya
mempunyai
dua
alasan
untuk
lebih
memusatkan
perhatian pada satu filsuf ini. Pertama, saya jauh lebih mengenal teori-teorinya daripada teori-teori filsuf lain, sehingga
saya
interpretasi
lebih yang
percaya akurat
diri dan
dalam
sekaligus
menawarkan maknawi.
Sesungguhnya, ada banyak penelitian saya dan hampir semua terbitan saya berfokus pada satu tokoh ini. Namun yang jauh
lebih
signifikan,
membahas
serangkaian
seimbang
dan
lebih
alasan
kedua:
saya
yakin
Kant
persoalan
filosofis
secara
lebih
sistematis.
Lagipula,
pembahasannya
hampir selalu berwawasan luas dan biasanya juga benar! Satu pengecualian terhadap kesan umum positif saya tentang
pendekatan
Kant
terhadap
persoalan
filosofis
muncul ketika saya untuk pertama kalinya membaca bukunya,
Religion within the Bounds of Bare Reason [atau Religion within the Limits of Reason Alone] (1793). Pada waktu itu,
saya
masih
berada
dalam
tahap
awal
pengembangan
interpretasi saya sendiri terhadap bidang-bidang Filsafat Kant
lainnya.
memenuhi
Selaku
kualifikasi
mengorbankan meragukan,
seseorang penganut
kebebasan
dan/atau
tradisional,
saya
yang
berharap
Kristen,
saya
walau
untuk tanpa
untuk
mempertanyakan,
menafsirkan
kembali
beberapa
dogma
menyambut
baik
kerendahan
hati
metafisis Kant: demonstrasi persuasifnya bahwa keberadaan Tuhan
tidak
argumen
bisa
yang
keterbatasan filosofis terhadap
dibuktikan
perinciannya waktu)
yang upaya
secara
tidak
tampaknya
berbobot
kita
langit
(argumen-
periksa
merupakan
mengenai
penggempuran
teoretis
lantaran
konfirmasi
peringatan dengan
Bibel
pengetahuan
manusia. Teori moralnya tampaknya juga jauh lebih sesuai dengan pemikiran Kristiani: prinsip kebebasan yang dualis dan
hukum
moralnya
menohoh
saya
sebagai
pernyataan
kembali internalisasi etika Yesus yang indah; dan argumen moral Kant kelihatannya menyerupai cara yang tepat untuk mengungkapkan keyakinan moral pribadi bahwa Tuhan pasti eksis,
kendati
kita
tak
dapat
membuktikannya.
Bahkan
dalam catatannya tentang keindahan dan tujuan alamiah di Kritik-nya yang ketiga, Kant tampaknya bertekad menyusun filsafat teosentrik—sesuatu yang mengarahkan pembaca ke suatu kesadaran yang senantiasa-makin-dalam bahwa Tuhan
ialah
“semua
tatkala
saya
dalam
semua”
membaca
(1
Korintus
15:28).
Religion
tersebut
untuk
Namun
pertama
kalinya, hati saya patah: ia agaknya mereduksi kekayaan pengalaman religius menjadi tidak lain kecuali moralitas secara samar-samar! Untungnya, Religion
saya
beberapa
memutuskan
tahun
untuk
kemudian,
membaca
ketika
kembali
interpretasi
mawas saya terhadap Sistem Kant telah berkembang dengan lebih seksama. Pada waktu itulah saya merasa seolah-olah neraca
penafsiran
tampak
di
pelupuk
mata
saya:
suatu
pemahaman yang benar-benar baru tentang apa yang hendak ia tuntaskan menjadi jelas bagi saya. Ketika saya membaca buku
itu
terjatuh
untuk ke
pertama
kalinya,
interpretasi
saya
membiarkan
tradisional,
yang
diri
memandang
bahwa upaya Kant untuk membela agama, sekurang-kurangnya agama Kristen, tidak benar-benar serius sama sekali dan hanya
berharap
berpikiran agama.
untuk
religius
Pada
waktu
ke
mengalihkan
orang-orang
[moralitas]
Kantian
[pembacaan]
kedua,
yang
yang
pengganti
saya
sadari
kira-kira adalah bahwa Religion bukanlah buku mengenai filsafat agama dalam pengertian masa kini yang biasanya kita kira; alih-alih, buku ini mengenai beragama, suatu interpretasi
tentang
makna
beragama.
Bahkan,
saya
menyadari bahwa Kant tidak mereduksi agama ke moralitas belaka, tetapi mengangkat moralitas (yang bila sendirian merupakan
harapan
ideal
yang
sia-sia)
ke
tingkat
yang
lebih tinggi (dan lebih realistis), tingkat agama! Demi alasan ini, dan karena saya telah mengkaji buku tersebut dengan akan
lebih
cermat
memanfaatkan
daripada
sebagian
karya
besar
Kant
dari
lainnya,
dua
kuliah
saya [di
pekan ini] untuk menjelaskan isinya. Apa yang dimaksud dengan beragama (to be religious)? Apakah “beragama” itu sesuatu yang niscaya dialami oleh semua orang, atau apakah hanya pilihan yang dipilih oleh sebagian orang—umpamanya bilamana mereka takut terhadap apa-apa yang akan terjadi pada mereka selepas kematian mereka? Dan agama manakah, kalau ada, yang terbaik untuk diikuti? Religion karya Kant merupakan sebuah upaya yang sistematis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang didasarkan pada pondasi yang
terbentang
terdahulu.
Ia
dalam
membagi
karya-karya buku
itu,
sistematisnya
dengan
agak
yang
terduga,
menjadi empat bagian; masing-masing menggambarkan sebuah tahap dalam proses penjelasan tentang apa yang membuat agama sedemikian adanya. Di sini kita akan memeriksa dua tahap pertamanya, dengan meninggalkan dua tahap lainnya untuk kuliah mendatang. Namun mula-mula, sebuah tinjauan umum tentang empat tahap itu (lihat Gambar XI.3) akan membantu kita untuk tetap berada di lintasan kita. Buku Satu mengajukan persoalan tentang apakah manusia itu pada kodratnya baik ataukah buruk, dan mempertahankan keduanya dengan sebuah jawaban bersisi-dua yang menarik, dengan
mengemukakan “kenistaan radikal” yang terletak pada akar kodrat
kita.
Buku
Dua
memikirkan
bagaimana
kita
mampu
mengatasi masalah yang tercipta lantaran adanya kenistaan semacam itu di dunia ini, dengan berargumen bahwa suatu bantuan
ajaib
dari
Tuhan
yang
pemurah
harus
diprasyaratkan. Kemudian Buku Tiga dan Empat berkenaan dengan masalah-masalah baru yang timbul ketika orang yang berhati-baik bersatu dalam kelompok-kelompok sosial. Buku Tiga
mengemukakan
bahwa
“kemenangan”
akhir
terhadap
kenistaan bisa terjadi hanya bila manusia bekerja sama dalam suatu paguyuban keagamaan (yakni “gereja”). Adapun Buku Empat menetapkan perbedaan antara peribadatan yang sejati dan yang palsu di gereja. IV. pelayanan kepada Tuhan (baik, guyub) agama guyub III. gereja
I. kenistaan radikal
(buruk, guyub)
(buruk, individual) agama individual II. konversi ke yang baik (baik, individual)
Gambar XI.3: Empat Tahap dalam Sistem Keagamaan Kant Menurut
Kant,
kenistaan
(evil)
adalah
kondisi
pembatas dasar yang membangkitkan kebutuhan akan agama. Bahwa
ada
kenistaan
di
dunia
yang
menurut
Kant
bukan
persoalan itu terbuka untuk keraguan. Tugas filosofisnya adalah mengidentifikasi apakah kenistaan itu, mengapakah itu ada di sini, dan dari manakah kedatangannya (yakni bagaimana
kemunculannya).
Dalam
pembahasan
persoalan-
persoalan itu, ia secara total mengabaikan suatu masalah yang disebut “masalah kenistaan” yang kini diakui sebagai salah satu bidang perhatian utama filsafat agama—yaitu masalah
penjelasan
mahakuasa
bisa
bagaimana
membolehkan
Tuhan
yang
eksistensi
baik
penderitaan
dan dan
kenistaan yang tidak semestinya. Upaya yang membenarkan Tuhan
berwajah
total
Kant
nista
terhadap
itu hal
disebut itu
“teodisi”.
mungkin
Penolakan
sebagian
lantaran
fakta bahwa ia telah menulis sebuah esai terpisah tentang subyek
itu
secara
singkat
sebelum
mulai
menulis
buku
Religion. Esai tersebut, yang berjudul “On the failure of all
the
philosophical
essays
in
the
theodicy”
(1791).
Mengemukakan bahwa upaya membela Tuhan dengan cara itu menuju kegagalan. Dengan merujuk langsung ke cerita Bibel tentang Ayyub (Job, tokoh Perjanjian Lama yang oleh Tuhan dibiarkan
menderita
kesengsaraan,
hanya
sebagai
tes
keimanannya), Kant memeriksa sembilan tipe teodisi yang berlainan, dengan menunjukkan mengapa masing-masing itu pasti gagal. Upaya apa pun yang meramu dalih rasional perihal putusan Tuhan untuk membiarkan kenistaan eksis itu
menyesatkan,
misteri
semacam
karena itu
di
pengetahuan luar
batas
tentang
misteri-
pemahaman
manusia.
Alih-alih,
kemisteriusan
mengangkat
signifikansi
masalah
itu
eksistensial
berfungsi
untuk
kenistaan
dengan
memaksa setiap individu untuk menerima atau menolak Tuhan atas dasar iman. Buku
Satu
Religion
bermula
dengan
pengajuan
pertanyaan apakah pada kodratnya manusia itu baik ataukah buruk. Pertama, Kant menolak kemungkinan bahwa kita bisa baik dan sekaligus buruk; ini bisa terjadi pada karakter empiris kita (karena hasil tindakan bisa sebagian baik dan sebagian buruk), tetapi motif di balik tindakan pasti salah
satu,
baik
atau
buruk.
Kemudian
Kant
membuat
perbedaan antara “fitrah” (predisposition, kecenderungan universal
yang
kelahirannya,
dimiliki
sebelum
oleh
semua
terlaksananya
manusia
pada
tindakan
moral
saat apa
pun), “tabiat” (disposition, landasan subyektif mendasar, di dalam lubuk watak kita, yang menentukan bagaimana kita memilih bertindak pada suatu titik waktu tertentu), dan “nafsu” (propensity, kemungkinan kecenderungan seseorang, atau
bahkan
ras
manusia
seluruhnya).
Lalu
Kant
mengemukakan bahwa fitrah kita baik, karena kebinatangan kita,
kemanusiaan
kita,
dan
kepribadian
kita
semuanya
mengandung sifat-sifat yang jelas-jelas dimaksudkan untuk kebaikan; tabiat kita mungkin baik atau buruk pada suatu waktu tertentu, karena tidak mungkin baik dan sekaligus buruk; nafsu kita selalu menuju kenistaan, karena fitrah kita
rusak
entah
bagaimana.
Bagaimana
kerusakan
ini
terjadi
itulah
pertanyaan
yang
kata
Kant
tidak
bisa
dijawab oleh akal manusia. Namun sebagai pengingat bahwa itu
telah
terjadi,
ia
mengangkat
istilah
“kenistaan
radikal”, yang menunjukkan bahwa kehendak (atau tabiat) manusia
pada
berarti
“pada
awal-mulanya akarnya”)
telah
oleh
dirusak
kekuatan
(“radikal”
jahat
yang
tak
terjelaskan yang tidak terdapat pada kodrat orisinal kita (fitrah kita). Apa
tepatnya
mendefinisikan
kenistaan
kenistaan
sebagai
(evil)
itu?
kebalikan
Kant
(reversal)
dalam “tatamoral insentif” yang menentukan kaidah kita (RBBR 31). Anda mungkin ingat lagi dari Kuliah 22 bahwa bagi
Kant,
suatu
pilihan
adalah
baik
secara
moral
bilamana kita mematuhi suara hukum moral di hati kita, dan bahwa orang yang membuat pilihan semacam ini pantas dipuji jika ia sampai mengorbankan beberapa kebahagiaan pribadinya (atau “cinta-diri”) dalam rangka melakukan hal yang baik itu. Oleh sebab itu, kenistaan adalah putusan orang yang membiarkan pementingan perkara cinta-diri di atas perintah hati nurani. Kant mengemukakan bahwa bukti empiris saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa manusia di
mana-mana
pilihan-pilihan
memulai yang
kehidupan lebih
moral
didasarkan
mereka pada
dengan
cinta-diri
daripada hukum moral. Ia juga mencoba menyusun argumen transendental, namun rinciannya tidak begitu terlihat di buku-ajar ini. Saya merekonstruksi argumen itu sebagai
berikut: seorang manusia tidak bisa membuat pilihan yang benar-benar
bermoral
sampai
ia
tahu
kenistaan
apa,
di
samping kebaikan apa, yang tersangkut-paut; karena fitrah kita baik, kita secara naluriah mengetahui apa yang baik dengan pada
mendengar
aktualnya
dikatakan
hati
nurani
membuat
bahwa
kita
kita;
pilihan telah
namun
yang
sebelum
nista,
mencapai
tidak
kebebasan
kita bisa
tulen,
lantaran kita tidak akan mempunyai pemahaman yang benar tentang apa yang dipertaruhkan; oleh sebab itu, tindakan bebas (yakni bermoral) sejati pertama setiap orang adalah pilihan untuk berbuat nista. Mengapa
ia
memulai
buku
tentang
“agama
rasional”
dengan klaim bahwa kita semua berawal dengan pelenyapan kesempatan
kita
untuk
hidup
tanpa
noda
secara
moral?
Tidakkah itu mempersoalkan rasionalitas upaya kita untuk mematuhi
hukum
moral—suatu
upaya
yang
segi
pentingnya
telah ditekankan oleh Kant dengan amat tegas di Critique kedua? Memang begitu! Dan hal itu membingungkan sebagian besar
dari
filsuf-filsuf
seangkatan
Kant,
yang
berkat
Pencerahan menerima kepercayaan kepada dayanalar manusia secara
mutlak
dan
mengira
Kant
juga
demikian.
Goethe,
misalnya, berseru bahwa Kant “meneteskan air liur pada jubah filsufnya” dengan doktrin kenistaan radikal (lihat KCR 129, catatan). Namun Kant sendiri tidak menjijikkan, karena ia tahu apa yang ia lakukan. Pengalaman kenistaan kita dan ketidakmampuan kita untuk menjelaskan asal-mula
rasionalnya
kecuali
dengan
mengukuhkan
kemisteriusannya
(“keradikalannya!”) belaka berfungsi untuk mengisi kita dengan ketakjuban eksistensial yang memaksa kita untuk beragama. Sesungguhnya, niat Kant dalam Buku Satu adalah menyajikan
kondisi
transendental
demi
kemungkinan
beragama: agama hanya dimungkinkan dalam suatu alam yang di
dalamnya
yang-berada
rasional
dimaksudkan
untuk
menjadi baik dan [yang-berada rasional itu] tidak mampu memenuhi tujuan eksistensial ini. Itulah dunia yang kita tinggali saat ini. Buku
Dua
adalah
peralihan
yang
agak
mengejutkan.
Dengan telah mengemukakan bahwa manusia tak pelak lagi berawal dengan tabiat nista sebagai akibat dari pengaruh negatif
kenistaan
radikal,
Kant
meneruskannya
dengan
klaim bahwa adanya fitrah-baik kita memberi kita seculi harapan bahwa mungkin ada cara transformasi tabiat yang buruk
menjadi
yang
baik.
Namun
bagaimana
itu
bisa
terjadi? Pertama, Kant menyarankan, satu-satunya harapan bagi siapa saja yang percaya bahwa moralitas merupakan tujuan yang,
yang entah
layak
diburu
bagaimana,
adalah
memberi
beriman
kita
kepada
bantuan
yang
Tuhan kita
buthkan untuk mengatasi tabiat nista kita. Dalam teologi Kristen tradisional, bantuan semacam itu berkenaan dengan “kasih” (grace). Pertanyaan utama pada Buku Tiga adalah: atas
dasar
rasional
apa
demi
seorang
harapan
manusia
bahwa
Tuhan
mempunyai akan
landasan
menyediakan
bantuan semacam itu? Khususnya, adakah sesuatu yang harus kita lakukan supaya berhak atas Kasih ilahi, ataukah itu merupakan
hadiah
gratis
dan
tanpa
hak?
Solusi
Kant
terhadap masalah itu sering dikecam lantaran paradoksis dan, sebagai akibatnya, tidak jelas. Akan tetapi, saya yakin
paradoks
filsafat
itu
Kritis
disengaja:
Kant,
segala
karena upaya
dalam
yang
konteks
menjelaskan
bagaimana Tuhan (sang realitas transenden) bisa membantu manusia (yang hidup sebagaimana kita di dunia fenomenal) pasti paradoksis. Kant mempertahankan bahwa penjelasannya merupakan
refleksi
akurat
tentang
situasi
paradoksis
belaka. Buku Dua berawal dengan pengenalan sesuatu yang oleh Kant disebut “tipe-dasar” kemanusiaan sempurna (RBBR 54), kemudian menggunakan tamsil biblikal yang populer untuk memaparkan hakikatnya. Asal tipe-dasar itu ilahi, namun “menurun kepada kita dari langit” untuk tinggal di dalam setiap
orang
melakukan
(54-55).
apa-apa
yang
Itu pada
memberdayakan asalnya
kita
untuk
mustahil,
yakni
menjauh dari tabiat nista (atau yang oleh Kant disebut “hati” nista) dan mulai hidup dengan prinsip baru. Akan tetapi, supaya perubahan menjadi “hati baik” itu terjadi, kita harus mempunyai “keimanan praktis” kepada tipe-dasar tersebut. Maksud Kant, kita harus percaya bahwa jika kita melakukan semua hal dengan daya kita untuk mematuhi hukum moral, maka Tuhan akan memasok apa-apa yang kurang. Atas
dasar ini, ada banyak penafsir yang menuduh bahwa Kant membela pola “kebenaran menurut karya” (righteousness by works),
yang
dengannya
kita
harus
berhak
mendapat
keselamatan kita sendiri. Namun tidaklah demikian cara Kant sendiri dalam menggambarkan pandangannya. Alih-alih, ia bersikeras bahwa bantuan ilahi semacam itu bukan hak kita
sama
sekali
dan,
bagaimanapun,
tidak
bisa
dikendalikan atau ditentukan menurut sesuatu yang kita lakukan
atau
mengingatkan
kita bahwa
lalaikan. kita
Sesungguhnya,
mampu
melihat
ia
tabiat
juga orang
(bahkan tabiat kita sendiri!) dengan cukup gamblang untuk mengetahui secara pasti, apakah [tabiat] ini baik ataukah nista. Ia menyatakan, Tuhan menilai kita menurut tabiat ini, tetapi lantaran kita bebal perihal hakikatnya pada titik
waktu
yang
mana
pun,
satu-satunya
landasan
yang
kita miliki untuk menimbang status mutakhir kita adalah menilai moralitas tindakan kita. Kalau kita melihat bukti empiris kemajuan moral, itu merupakan tanda bahwa tabiat kita mungkin baik. Sekalipun begitu, karena kita semua beranjak
dengan
terpulihkan mengganti
tabiat
kecuali
jika
kekurangan
buruk, kita
kita.
situasi
yakin
Namun
kita
tak
bahwa
Tuhan
akan
supaya
agama
itu
rasional, Tuhan pasti menggunakan suatu landasan untuk memutuskan dibantu.
siapa Maka
yang
maksud
dibantu Kant
dan
bukan
siapa bahwa
yang
tidak
kita
dapat
melayakkan diri sendiri untuk diterima oleh Tuhan (yang
menuntut kesempurnaan), melainkan justru bahwa kita dapat mematutkan diri sendiri untuk dilayakkan oleh Tuhan (to be made worthy by God). Karena dengan oleh
tipe-dasar
sistem
Yesus
itu
keagamaan
dalam
mempunyai
rasional
agama
fungsi
Kant
Kristen,
Buku
yang
sama
yang
dihasilkan
Dua
menghadapi
sejumlah persoalan teologis yang berkaitan dengan sifat dan status Yesus. Persoalan-persoalan itu meliputi sifat ketuhanan Yesus, sifat kemanusiaannya, kelahirannya yang dari
perawan,
statusnya
kebangkitannya
sebagai
teladan
kembali
moral,
dan
dari
kematian,
berbagai
doktrin
yang lebih luas seperti persucian, keamanan nirwaktu, dan pembuktian
kebenaran
dengan
Kasih.
Banyak
penafsir
mengklaim bahwa Kant berniat untuk menolak nilai nyata apa
pun
pada
kebanyakan,
kalau
tidak
semua,
doktrin
tradisional tersebut. Akan tetapi, penafsiran semacam itu didasarkan pada pembacaan teks secara ceroboh. Sebetulnya strategi Kant pada masing-masing itu adalah mengemukakan bahwa
doktrin-doktrin
tersebut
bisa
mempunyai
makna
rasional yang sah asalkan itu berfungsi sebagai tujuan praktis
dalam
membantu
pemeluk
agama
untuk
mengikuti
hukum moral dengan lebih taat-asas. Di setiap kali, ia mengecam interpretasi apa pun yang berkemungkinan untuk menghasilkan dilalaikan
individu
oleh
memperingatkan
banya bahaya
yang penafsir
moralnya adalah
kebalikannya:
malas. bahwa
menegaskan
Yang
ia
juga
secara
dogmatis benar,
bahwa hanya
teoretis. dari
lantaran
karena
Kant
perawan
yang
doktrin-doktrin tidak
mengingatkan, pun
tidak
kemungkinan
terletak
tertentu bisa
bisa
luar
mungkin
dibuktikan
secara
doktrin
seperti
secara
keajaibannya
di
tidak
tapal
mutlak
merupakan batas
kelahiran ditolak, persoalan
akal
manusia.
Sebagaimana yang dijelaskan dengan sangat rinci di buku terbaru saya, Kant’s Critical Religion (2000),iii[3] niat sejati
argumen
bagaimana
orang
Kant yang
adalah hendak
menunjukkan percaya
kepada
bahwa,
kita
umpamanya,
Yesus ialah Tuhan dalam bentuk manusia, harus menafsirkan doktrin ini dengan tujuan mendukung, bukan menghambat, inti religius tulen yang terdapat pada keyakinan orang itu. Kant sendiri tentu saja tidak menyarankan kita untuk mengambil
doktrin
semacam
itu
selaku
filsuf;
ia
tidak
menyatakan bahwa kita harus mempercayainya dengan tujuan diterima oleh Tuhan. Namun ia menunjukkan bahwa kita bisa mempercayainya tanpa mengorbankan rasionalitas kita dan bahwa
melakukannya
terkadang
bisa
sangat
mempertebal
keimanan religius kita. Salah penafsir
satu yang
penyebab salah-paham
utama
mengapa
terhadap
begitu
niat
banyak
Kant
dalam
Religion adalah bahwa versi baku terjemahan Inggris dari buku
ini
menggunakan
di
hampir
terjemahan
sepanjang judul
abad
yang
keduapuluh
amat
itu
menyesatkan.
Greene dan Hudson menerjemahkan judul Kant (Die Religion
innerhalb
der
Grenzen
der
blossen
Vernunft)
sebagai
Religion within the Limits of Reason Alone. Padahal di tempat
lain,
Kant
menerangkan
bahwa
istilah
Grenzen
mengacu pada tapal batas yang memisahkan suatu area dari kawasan di sekitarnya, bukan pada batas mutlak yang tak bisa dilampaui [atau diterobos]. (Untuk [mengacu pada] “batas mutlak”, Kant memakai istilah Schranken.) Selain itu,
“blossen”
tidak
bermakna
“alone”
(semata-mata),
tetapi bermakna “naked” (telanjang) atau “bare” (polos). Pengaruh dua penerjemahan [istilah] yang keliru itu pasti telah memberi kesan awal kepada pembaca bahwa buku Kant merupakan dalam
upaya
untuk
batas-batas
menjejalkan
akal
yang
ketat.
agama
sepenuhnya
Namun
setelah
ke
kami
baca, ternyata tidak demikian. Alih-alih, strateginya di keempat Buku itu adalah membuat perbedaan antara apa yang bisa dan yang tidak bisa diberitahukan oleh akal kepada kita mengenai gerak-hati religius kita. Di
Buku
Satu
kita
memberitahu kita apakah
belajar
bahwa
kenistaan itu, dan
akal
bisa
bahwa
kita
semua pasti terjerat oleh hasrat yang nista; namun akal tidak mampu memberitahu kita sumber fenomena misterius ini,
kecuali
definisi
menyatakan
tentang
apa
bahwa
yang
itu
dimaksud
tidak dengan
berakar
pada
manusia.
Di
Buku Dua, kita belajar bahwa akal bisa memberitahu kita bagaimana konversi berlangsung dan apa yang harus kita lakukan
supaya
memiliki
landasan
rasional
demi
pengharapan bahwa Tuhan akan menyelamatkan kita; namun akal tak mampu memberitahu kita apa yang pada hakikatnya baik, atau pun bisakah itu memberi kita pengetahuan yang pasti tentang siapa yang akan menerima Kasih Allah. Di Kuliah
mendatang
perhatian yang
bahwa
berat
belaka
kita Kant
sebelah
secara
akan
tidak
melihat
betapa
mengajukan
tentang
samar-samar,
agama tetapi
suatu
sebagai
penting pandangan
akal
memaparkan
dua
moral sisi
yang terdapat pada semua agama yang asli: inti rasional (dan
karenanya
historis
(dan
universal) karenanya
bersama-sama
tentu
dengan
non-universal).
kulit Seperti
yang akan kita saksikan, kedua aspek agama tersebut harus berjalan seiring supaya pengalaman religius kita asli. Secara
bersama-sama,
kenistaan
dan
Kasih
melambangkan basis lipat-dua demi ketakjuban kala kita merenungkan bukanlah
situasi
sesuatu
manusia.
yang
bisa
belaka—kecuali
jika
kita
Filsafat
baik
itu
yang
Kasih
kita
pada lebih
pada
pahami
melalui
aktualnya unggul
khususnya akal
mengalaminya.
daripada
teologi
tradisional dengan persis sampai batas bahwa filsafat itu tidak
mengklaim
pemahaman
tentang
apa
yang
pada
hakikatnya tak terpahami. Filsafat hanya mengharapkan dan menyediakan landasan rasional demi harapan. Namun dalam hal
itu,
fungsinya
justru,
menyiapkan
semacam
itu.
Kuliah
bukan kita 33
merongrong
untuk akan
agama,
mengalami memeriksa
melainkan
buah
harapan
bagaimana
Kant
sendiri
menganggap
menghasilkan
bahwa
pengalaman
dua
tahap
keagamaan
pertama
melalui
teorinya
pembentukan
paguyuban yang dibaktikan untuk melayani Tuhan.
33. Paguyuban dan Misteri Penyembahan Anda barangkali memperhatikan di kuliah yang lalu bahwa
catatan
Kant
tentang
apa
yang
dimaksud
dengan
beragama mengandung kemiripan yang mencolok dengan kisahkisah
Bibel
tentang
turunnya
Adam
[dari
surga]
di
Kejadian 1-3 dan usaha penyelamatan oleh Yesus di Injil. Begitu dekat kesejajaran itu sehingga beberapa komentator secara aktual menuduh bahwa Kant hanya menerjemahkan ideide Kristiani ke dalam terminologi rasional. Oleh sebab itu,
sebelum
Religion,
kita
kita
penafsiran
meneruskan
harus
telaah
memikirkan
kita
bagaimana
kesejajaran-kesejajaran
tentang sebaiknya
itu.
Pada
kenyataannya, itulah bagian yang krusial dari strategi Kant.
Ia
menjelaskan,
di
Pengantar
Edisi
Kedua,
bahwa
buku itu menjalankan dua eksperimen: yang pertama adalah melihat
seberapa
jauh
filsafat
bisa
menyingkap
unsur-
unsur rasional yang terdapat pada semua agama-asli; yang kedua
adalah
peribadatan
melihat
yang
seberapa
terdapat
baik
sebuah
keimanan
“keimanan
dan
historis”
spesifik bersesuaian dengan ide rasional ini. Untuk yang kedua
ini,
Kant
memilih
agama
Kristen,
tradisi
yang
“telah tersedia” (already at hand) (RBBR 11, 123). Dengan
memperhatikan
hal
itu,
kita
jangan
menafsirkan
adanya
kesejajaran itu sebagai kelemahan teori Kant; alih-alih, semakin
rapat
kesejajaran
itu,
semakin
berhasil
Kant
dalam menunjukkan bahwa agama Kristen mempunyai tingkat kompatibilitas
yang
tinggi
dengan
agama-rasional.
Ini
karena ia selalu membuktikan kebenaran unsur-unsur agamarasional
dengan
argumen-argumen
yang
tidak
bergantung
pada tradisi Kristen. Di
Buku
Satu
dan
Dua,
Kant
membuktikan
kebenaran
unsur-unsur rasional yang menjadikan agama suatu urusanniscaya
bagi
dengan
potensi
segenap
manusia.
kebaikan
(yang
Setiap
orang
didasarkan
beranjak
pada
fitrah
mereka), namun mau-tak-mau membiarkan rusaknya kepolosan orisinal dengan pilihan-pilihan nista. Dengan demikian, masing-masing
individu
dihadirkan
dengan
tantangan
tentang bagaimana mengubah hati nista mereka menjadi hati yang baik—suatu tantangan yang hanya bisa terwujud bagi orang-orang yang beriman kepada bantuan daya ilahi yang hadir
di
dalam
diri
mereka,
dalam
bentuk
“tipe-dasar”
kesempurnaan. Buku Tiga dan Empat beralih dari fokus pada penyelamatan individual ke pemeriksaan tentang bagaimana individu-individu
yang
mengalami
transformasi
batiniah
semacam itu bisa membentuk paguyuban (community) orangorang yang berhati-baik dalam rangka menyenangkan Tuhan melalui
tindakan-tindakan
mereka.
Konsepsi
tentang
ras
manusia seluruhnya yang menyenangkan Tuhan ini merupakan
tujuan hakiki semua agama-asli. Masalahnya, sebagaimana yang dicatat oleh Kant pada awal Buku Tiga, adalah bahwa individu-individu—yang terhindar
dari
saling
berhati-baik merusak
manakala
sekalipun—tak mereka
saling
berhubungan dalam kelompok-kelompok: Envy,
the
lust
for
power,
greed,
and
the
malignant
inclinations bound up with these, besiege his nature, contented within itself, as soon as he is among men. And it is not even necessary to assume that these are men sunk in evil and examples to lead him astray; it suffices that they are at hand, that they surround him, and that they are men, for them mutually to corrupt each other’s predispositions and make one another evil. (RBBR 85) (Kedengkian,
kehausan
akan
kekuasaan,
kerakusan,
dan
kecenderungan-kecenderungan ganas yang gemar akan hal itu, mengepung kodratnya, yang puas dengan apa adanya, selekas ia ada di antara orang-orang. Dan tidak perlu pula diasumsikan bahwa mereka ialah orang-orang yang tenggelam
dalam
kenistaan
dan
panutan-panutan
yang
membawa dia kepada kesesatan; cukup [dikatakan] bahwa mereka terjangkau, bahwa mereka di sekitar dia, dan bahwa mereka ialah orang-orang, terhadap mereka yang saling merusak fitrah orang lain dan membuat nista satu sama lain.) (RBBR 85)
Solusi
terhadap
masalah
itu
adalah
membentuk
paguyuban dengan maksud saling mendorong untuk berbuat baik. Kant menyebut paguyuban semacam ini “persekutuan beretika”
(ethical
“persekutuan menyatukan (“hukum
commonwealth).
politik”
orang-orang
pemaksaan”),
selama
Ini
yang
dengan
memakai
sedangkan
yang
berbeda
dengan
belakangan hukum
ini
eksternal
terdahulu
harus
menggunakan hukum internal (“hukum keluhuran budi”) saja. Beberapa pembaca Kristen mengadu bahwa paguyuban religius asli pasti jauh lebih baik daripada sekadar sekelompok orang
yang
bertemu
bersama-sama
untuk
melakukan
amal
kebaikan: organisasi sosial seperti Rotary Club memenuhi kriteria itu tanpa perlu beragama sama sekali! Namun Kant pada aktualnya mengakui masalah itu. Maka langkah kedua dalam argumen Buku Tiga adalah bahwa persekutuan beretika itu
menuju
kegagalan
dalam
upayanya
untuk
mendorong
kebaikan moral jika tidak membayangkan diri sebagai “Umat Tuhan”
di
paguyuban
bawah itu
dari
bimbingan
ilahi.
perspektif
ini,
Tanpa
takkan
memandang
ada
harapan
bahwa pandangan kita yang bermacam-macam tentang apa yang merupakan “kehidupan luhur” (lihat K