1
TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)
Oleh Djaya Cahyadi NIM: 104034001199
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.
i
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 3 Maret 2011
Djaya Cahyadi
ii
TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)
Oleh Djaya Cahyadi 104034001199
Pembimbing.
Dr. Edwin Syarif, M.A. NIP. 19670918 199703 1 001
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.
iii
i
ABSTRAK
Djaya Cahyadi Takdir dalam Pandangan Fakhr al-Din al-Razi Problematika takdir merupakan salah satu tema urgen yang telah menjadi topik pembahasan secara luas dalam Islam. Pemahaman mengenai takdir itu sendiri berdeda-beda tergantung pada perspektif yang digunakan. Setidaknya pengertian takdir terpecah kepada dua definisi antara yang mengatakan bahwa takdir merupakan suatu ketentuan yang telah ditetapkan sejak zaman azali dan takdir yang bermakna suatu aturan yang berlaku pada alam semesta, termasuk manusia. Definisi pertama menghasilkan konsep bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dan ditetapkan. Dengan kata lain manusia terpaksa dalam setiap perbuatannya. Sedangkan definisi kedua melahirkan pemikiran bahwa manusia bebas menentukan keinginan dan perbuatannya. Namun dalam merealisasikan perbuatannya tersebut manusia mesti memperhatikan dan memenuhi aturan yang berlaku tersebut. Kedua pengertian ini telah berlaku dalam Islam dan masing-masing memiliki dalil dalam al-Quran yang menguatkan pendapatnya. Penelitian ini memfokuskan diri pada pemahaman Fakhr al-Din al-Razi terhadap takdir sebagai salah satu dari warisan keilmuan yang ada pada Islam. Pemahaman al-Razi terhadap takdir tidak dapat dilihat begitu saja tanpa memperhatikan juga berbagai kondisi yang terjadi pada masanya, aktifitas keilmuannya, dan mazhab fiqh, filsafat, maupun teologi yang dipegangnya. Al-Razi dikenal sebagai pembela aliran Asy‟ariah yang terkemuka pada masanya. Namun demikian ia tidak segan berbeda dengan al-Asy‟ari sendiri maupun Muktazilah yang sangat ditentangnya. Dengan berbagai referensi yang didapatnya al-Razi mengeluarkan pendapatnya sendiri yang menurutnya objektif dan dapat dibuktikan. Al-Razi merupakan seorang pemikir bebas yang berani berbeda dengan para pendahulunya dan mengeluarkan pemikiran orisinil yang diperolehnya dari berbagai kajiannya terhadap suatu permasalahan. Dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat seputar takdir al-Razi terlihat memiliki kecenderungan determinis. Perbuatan manusia dipengaruhi atau bergantung kepada faktor-faktor yang berada di luar kekuasaannya. Takdir dipandang sebagai suatu ketetapan yang telah ditentukan sejak azali. Apa yang diinginkan dan diperbuat manusia bergantung kepada kehendak ketuhanan.
i
ii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”. Salawat beserta salam semoga tetap berlimpah kepada junjungan Nabi Muhammad saw., kepada keluarga dan para sahabat-sahabatnya serta seluruh umat Muslim yang mengikuti langkah-langkah mereka hingga akhir jaman. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengalami berbagai ujian yang banyak menyita waktu dan materi sehingga kadang-kadang mengendorkan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa usaha penulisan skripsi ini masih menyisakan banyak hal yang tidak dapat penulis hadirkan di dalamnya, hal itu karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki. Namun patut disyukuri karena banyak sekali pengalaman yang berharga telah penulis dapatkan dalam penyelesaian skripsi ini. Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat kontribusi dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal Fakih, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. selaku ketua Jurusan Tafsir Hadis dan Ibu Dr. Lilik Umi Kalsum, M.A. selaku sekretaris Jurusan Tafsir Hadis.
ii
iii
2. Bapak Dr. Edwin Syarif, M.A. sebagai dosen pembingbing skripsi. Penulis ucapkan terima kasih atas kesabaran dan ketelitian beliau dalam membimbing penulis. 3. Pimpinan dan seluruh staf perpustakaan Fakultas Ushuluddin, perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan Iman Jama‟. 4. Para dosen selama masih aktif di bangku kuliah dari tahun 2004-2008 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas ketulusan ilmu yang telah diberikannya, semoga ilmu yang telah diajarkan menjadi amal salih bagi mereka semua dan membawa berkah dan manfaat bagi penulis. 5. Kedua orang tua tercinta, Zakiah dan Junaidi yang merupakan motivator utama penulis dalam penyusunan skripsi ini, yang tulus telah memberikan kasih sayang dan dorongan baik moril maupun materil, serta do‟a yang tak henti-hentinya dipanjatkan guna keberhasilan dan kebahagiaan anaknya. Terima kasih yang tak terhingga dari lubuk hati yang paling dalam. Mohon maaf kepada keduanya, juga saudara penulis Zuhriah dan Abdul Aziz Rijal jika orang yang diharapkan terlalu lama merampungkan tugasnya. 6. Teman-teman senasib dan seperjuangan angkatan 2004 Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat: Aang Setiawan, Muhammad Mahsun, Ahmad Khozin, Ja‟far Shodiq, Muhammad Mukhlis, Muhammad Ridwan, Engkus Kusnandar, Matrozi, Haromain, Ahmad Iskandar, Nurfadhilah, Muhammad Fajar Faqihuddin, Fikri, Subur Abdurrahman, Amelia, Ida Nurmala, Een Hendrawati, Eni Nuraeni, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebut semua namanya. Terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis selama aktif kuliah
iii
iv
dan penulis mohon maaf yang sedalam-dalamnya jika tak dapat memenuhi harapan mereka. 7. Soulmate penulis satu harapan dan tujuan, Nurulloh, Syaifulloh, dan teman-teman lainnya yang tak hentinya memberikan motivasi dan pengertian mereka untuk tetap menjalankan tanggung jawab penulis sepenuh hati. Juga Bang Syu‟bah, guru sekaligus teman yang selalu mendoakan kebaikan kepada penulis. Sekali lagi penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang ikut serta memberikan partisipasinya sehingga akhirnya skripsi ini terselesaikan. Semoga bantuan, dukungan dan do‟a restu mereka semua menjadi amal salih yang mendapatkan curahan rahmat dan ampunan serta balasan yang berlipat ganda dari Allah swt. Amin. Harapan penulis skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis pribadi maupun pada semua orang yang membacanya. Wallâhu A‘lamu bi Murâdih…
Jakarta, 3 Maret 2011
Penulis
iv
v
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................ i KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ v PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ vi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1 B. Batasan Masalah .......................................................................... 7 C. Rumusan Masalah ........................................................................ 10 D. Tujuan Penelitian ......................................................................... 10 E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 10 F. Metodologi Penelitian .................................................................. 10 G. Kajian Pustaka .............................................................................. 11 H. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
BAB II
BIOGRAFI A. Biografi ........................................................................................ 14 B. Karir Intelektual ........................................................................... 21 C. Karya Tulis ................................................................................... 27 D. Metode Penafsiran ........................................................................ 30
BAB III TAKDIR DALAM ISLAM A. Pengertian Takdir ......................................................................... 34 B. Seputar Takdir dalam Islam ......................................................... 37 BAB IV TAFSIR FAKHR AL- DIN AL-RAZI TENTANG TAKDIR A. Kajian Mengenai Takdir Menurut al-Razi ................................... 59 B. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 6 ................ 67 C. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 26 .............. 70 D. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Kahfi Ayat 29 ................... 77 E. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-A‟raf Ayat 178 ................. 79 F. Analisis........................................ ................................................. 82 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. 87 B. Saran ............................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 89
v
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ا
:
ض
:d
ب
:b
ط
:t
ت
:t
ظ
:z
ث
: ts
ع
:‘
ج
:j
غ
: gh
ح
:h
ف
:f
خ
: kh
ق
:q
د
:d
ك
:k
ذ
: dz
ل
:l
ر
:r
م
:m
ز
:z
ن
:n
س
:s
و
:w
ش
: sy
ه
:h
ص
:s
ء
:‘
ي
:y
Vokal Tunggal
Vokal Panjang
Fathah
:a
ا
:â
Kasrah
:i
ي
:î
Dammah
:u
و
:û
Kata Sandang القمر
: al-Qamar
الشمس: al-Syams
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas tentang takdir bagaikan menyelami sebuah samudera tak bertepi. Permasalahan ini telah menjadi pembahasan dari zaman klasik hingga kontemporer, baik di Timur maupun di Barat. Bahkan problematika takdir yang diantaranya membahas apakah manusia memiliki kebebasan kehendak atau perbuatannya telah ditentukan sebelumnya (ditakdirkan) telah menjadi suatu permasalahan filsafat tertua yang mencapai puncaknya pada pemikiran filsafat Islam.1 Terlepas dari permasalahan itu, pandangan mengenai takdir membawa dampak yang tidak kecil dalam kehidupan. Banyak orang berkeyakinan salah mengenai takdir menyalahkan Tuhan atas berbagai kesulitan dan kemalangan yang menimpanya. Ini membuktikan bahwa pandangan mengenai takdir akan mempengaruhi sikap dan mental seseorang dalam kehidupan. Setidaknya terdapat perbedaan dalam bersikap antara orang yang mempercayai bahwa dirinya adalah wujud yang terbelenggu dengan orang yang meyakini bahwa dia sendirilah yang berkuasa sepenuhnya atas masa depan dan nasibnya.2 Problem pertama yang timbul dari permasalahan takdir ialah makna dari takdir itu sendiri. Jika secara harfiah takdir ditetapkan sebagai ukuran atau batas tertentu dalam diri atau sifat sesuatu,3 secara terminologis pengertian takdir masih
1
Abbas Muhajirani, „Pemikiran Teologis dan Filosofis Syi‟ah Dua Belas Imam‟, dalam Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama); terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2003) 2 Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 29. 3 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), h. 61.
1
2
menjadi perdebatan. Secara umum pandangan terhadap takdir terpecah kepada dua kutub besar di mana satu sisi berarti ketetapan perbuatan manusia telah ditentukan sejak zaman azali, sebelum ia lahir ke dunia. Di sisi lain manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan yang hendak dilakukannya, walaupun tetap ada keterbatasan sesuai kodratnya sebagai manusia. Dalam istilah Barat, problem ini dikenal dengan istilah Free Will and Predestination.4 Tak pelak lagi penyatuan tema takdir dan kebebasan kehendak, ataupun free will and predestination membawa kesan pereduksian makna dari takdir menurut Islam itu sendiri. Penyatuan ini membuat seakan-akan takdir dan kebebasan kehendak merupakan dua hal yang bertentangan. Seorang yang percaya akan adanya takdir tidak mengakui adanya kebebasan kehendak pada dirinya, begitupun sebaliknya. Hipotesis awal penulis mengatakan bahwa kedua hal tersebut tidak bertentangan. Tentu saja ini sangat berkaitan dengan atau tergantung pada pendefinisian kedua term tersebut juga pendekatan yang digunakan dalam mengkajinya. Pertanyaan selanjutnya yang timbul dari permasalahan ini apakah takdir dalam Islam identik dengan paham predestinasi yang menganggap manusia hanya bagaikan bulu yang bertebaran mengikuti angin bertiup atau seperti wayang yang dimainkan oleh dalang. Tidak salah jika Muhammad Ali mengatakan bahwa paham seperti inilah yang menjadi pandangan umum mayoritas umat Islam saat ini.5 Hal ini pula yang menjadi sasaran kritik pedas Barat bahwa Islam adalah agama yang
4
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ketiga h. 169. Maulana Muhammad Ali, Islamologi. Penerjemah: R. Kaelan dan H.M. Bachrun (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977), h. 215. 5
3
membawa ajaran predestinasi yang mengajarkan paham fatalistik kepada umatnya.6 Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan ialah apakah Islam mengajarkan umatnya bertindak fatalistik atau menyerah kepada takdir. Pantaskah umat Islam menyalahkan takdir atas apa yang terjadi pada mereka berupa kemunduran dalam beberapa abad terakhir. Telah umum diketahui bahwa Islam pada masa awal telah menjadi kekuatan yang mengguncang dunia, bahkan sempat menjadi “penguasa” dunia sampai sekitar abad ke-7 H./13 M. Kepercayaan terhadap takdir telah mem-pengaruhi umat Islam awal untuk bangkit berjuang menghadapi tantangan yang membentang di hadapannya. Jika kepercayaan kepada takdir dianggap sebagai hal yang membuat umat Islam terbelakang saat ini, mengapa kepercayaan ter-hadapnya tidak membuat kaum Muslimin generasi awal tidak terbelakang, bahkan menjadi generasi yang paling maju diantara manusia pada masanya.7 Apakah mereka—kaum Muslimin awal—tidak memiliki kepercayaan terhadap takdir, atau apakah takdir hanya direkayasa oleh para teolog untuk mendukung paham mereka. Mengatakan kaum Muslimin awal tidak percaya takdir merupakan asumsi tak berdasar, sebab term takdir telah menjadi keyakinan dasar umat Islam yang landasannya dapat ditemukan baik dalam ayat-ayat al-Quran maupun hadis Nabi saw. Islam sebagai agama setidaknya memiliki dua hal yang menjadi sumber ajarannya, yakni al-Quran dan hadis. Setiap Muslim tentu menginginkan keya-kinan atau pahamnya sejalan dengan keduanya. Karena al-Quran bersifat umum, maka ia 6
Ibid., catatan kaki no. 61, h. 219. Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, edisi 2. Editor: Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 2007), h. 200. 7
4
terbuka terhadap berbagai penafsiran yang tentu saja tidak melenceng dari maknanya. Setiap paham teologi, baik yang mengatakan manusia sebagai makhluk terbelenggu ataupun makhluk yang bebas menggunakan ayat-ayat al-Quran maupun hadis sebagai dalil. Sebagai contoh paham kebebasan kehendak menggunakan ayat:
―Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir." (al-Kahfi: 29)
Sedangkan paham yang mengatakan manusia sebagai makhluk terpaksa (majbûr) menggunakan ayat:
Artinya: ―Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (al-Shaffat: 96)
Kedua ayat tersebut terkesan bertentangan padahal tidak ada pertentangan dalam al-Quran. Hal inilah yang mesti dikaji lebih dalam agar tidak terjadi kesalahpahaman atau terlebih lagi menuduh tanpa disertai bukti yang otentik. Dalam khazanah intelektual Islam, permasalahan ini juga menjadi perhatian para ulama disebabkan kepercayaan akan takdir (qadâ` dan qadar) disebutkan dalam suatu hadis yang menjadi acuan dalam menentukan rukun iman. 8 Setidaknya terdapat tiga paham yang memiliki definisi yang berbeda mengenai takdir. Paham pertama disebut Jabariyah yang—dengan menggunakan kiasan—mengatakan bahwa manusia
8
Hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim tentang kedatangan Jibril dalam bentuk manusia yang menanyakan kepada Nabi hal-hal yang berkaitan dengan iman, islam, dan ihsan. Diantara poin keimanan disebutkan kepercayaan kepada takdir, baik dan buruknya. Dikarenakan kepercayaan kepada takdir tidak secara jelas tertera dalam al-Quran, maka kaum Syi‟ah tidak memasukkannya ke dalam rukun iman.
5
tidak lain adalah bulu yang berterbangan, mengikuti angin yang membawanya ke kanan dan ke kiri. Dengan kata lain paham ini mendefinisikan takdir sebagai telah ditentukan pada zaman azali, manusia hanya bisa menerima ketentuan tersebut. Paham kedua disebut Qadariyah yang selanjutnya diwakili oleh para pengikut Mu‟tazilah. Paham ini mengatakan bahwa manusia bisa merubah nasibnya sendiri dengan segala potensi yang telah diberikan Tuhan. Paham ini memahami takdir dalam arti harfiah, yakni batasan, yang berarti manusia tidak dapat melewati batasnya dalam kapasitasnya sebagai manusia. Batasan ini dapat dilihat dalam fenomena hukum alam atau sunnatullah. Paham ketiga timbul sebagai reaksi dari pertentangan kedua paham sebelumnya yang dalam satu sisi menempatkan manusia sebagai makhluk yang tak berdaya terhadap ketentuan Tuhan, di sisi lain sebagai makhluk yang secara bebas dan dinamis menentukan sendiri arah hidupnya. Paham ini dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy‟ari yang kemudian menjadi acuan dalam sekte Ahlussunnah wal Jama‘ah. Al-Asy‟ari mengatakan bahwa tidak ada satupun usaha manusia yang tidak dikehendaki Tuhan. Ini berarti bahwa setiap usaha manusia merupakan ciptaan Tuhan. Dalam hal ini al-Asy‟ari menciptakan teori kasab. Yang dimaksud dengan kasab ialah tindakan yang diusahakan, seperti berjalan, berlari, berpikir, dan sebagainya. Kasab ini berbeda dengan perbuatan yang niscaya, seperti menggigil karena kedinginan atau gemetar karena demam. Jadi, Tuhan men-ciptakan pada manusia kekuatan untuk bertindak sekaligus tindakan itu sendiri. Di tempat lain al-Asy‟ari mengatakan bahwa jika Tuhan dideskripsikan berkuasa menjadikan sesuatu sebagai usaha manusia, Tuhan juga berkuasa memaksakan usaha tersebut.9 9
Mulyadi Kartanegara, „Ilmu Kalam‟, dalam Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedia Tematis
6
Fakhr al-Din al-Razi merupakan mufasir Islam terkemuka pada abad keenam Hijriah. Sebagai seorang mufasir al-Razi dapat dikatakan unik dengan metodologinya sehingga penafsirannya dapat dikategorikan baik dalam corak al-ra‘yi, ilmi, maupun falsafi,10 suatu hal yang tentunya jarang terjadi pada masanya. Tafsirnya yang monumental dikenal dengan Mafâtih al-Ghaib yang juga meru-pakan karya teologis terbesar dari al-Razi. Dalam kitab ini al-Razi meletakkan ayat al-Quran dalam diskusi filosofis, walaupun ia terkenal sebagai salah seorang penentang keras filsafat. Para pengkritiknya seperti Abu Hayyan dan Ibn Taymiyah mengatakan bahwa di dalamnya (Mafâtih al-Ghaib) terdapat segala sesuatu kecuali tafsir.11 Kritik ini justru merefleksikan keluasan dari penafsiran yang dianggap melenceng sehingga penafsirannya tidak dapat dikategorikan sebagai penafsiran. Di sisi lain, para pembelanya seperti Tajuddin al-Subki membantah kritik ini dan mengatakan bahwa di dalamnya terdapat segala sesuatu disertai tafsir.12 Disamping sebagai ahli tafsir dan fiqh, al-Razi juga merupakan seorang teolog dan filosof. Ibrahim Madkour mengatakan bahwa ia adalah filosof Timur yang pertama pada abad keenam Hijriah. Al-Razi konsern dalam menggeluti filsafat, logika, kosmologi, dan metafisika. Ia berusaha memadukan agama dan filsafat dan mencampur filsafat dengan ilmu kalam (teologi Islam).13 Dengan karya-karyanya dari berbagai disiplin keilmuan seperti filsafat, teologi, hukum, pengobatan, astronomi, Dunia Islam jilid 4, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet. II, h.135-136. 10 Mohammad Anwar Syarifuddin, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis: Laporan Penelitian Individual—naskah tidak diterbitkan (Jakarta: FUF UIN Syahid, 2006), h. 33-34. 11 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinberg: Edinberg University Press, 1985), h. 94-95. 12 Ibid., h. 95. 13 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Penerjemah: Yudian Wahyudi Asmin (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 76-77.
7
logika, astrologi, dan fisiognomi (ilmu firasat), tak dapat disangkal lagi bahwa alRazi merupakan sarjana (ulama) paling terkemuka pada masanya.14 Sebagai seorang mufasir dan juga teolog, isu takdir juga menarik perhatian alRazi. Ia dihadapkan pada kenyataan berbagai pandangan mengenai takdir. Uniknya, walaupun
dikenal
sebagai
teolog
Asy‟ariyah—sebagian
juga
mengatakan
Mu‟tazilah—al-Razi tidak mengambil suatu pendapat secara taklid atau membabi buta. Dalam beberapa isu teologis al-Razi terlihat memiliki kecenderungan Mu‟tazilah, seperti dalam pertanyaan tentang sifat-sifat ketuhanan dan kemungkinan Tuhan untuk dilihat dengan mata kepala (di alam akhirat).15 Hal ini membawa kepada kemungkinan al-Razi untuk bersikap netral dan sikap ini pula yang mesti dimiliki para ulama dan cendekiawan Islam. Beberapa prolog di atas melatarbelakangi penulis untuk menyusun skripsi dengan judul “TAKDIR DALAM PANDANGAN FAKHR AL-DIN AL-RAZI”. B. Batasan Masalah Dikarenakan studi ini merupakan studi pemikiran Fakhr al-Din al-Razi mengenai takdir yang difokuskan pada penafsirannya terdahap ayat-ayat al-Quran, maka studi ini membatasi diri pada kajian terhadap ayat-ayat tersebut. Di dalam alQuran terdapat ayat-ayat yang berbicara mengenai takdir, baik menggunakan kata qadâ‘, qadar, maupun taqdîr. Ayat-ayat tersebut digunakan oleh masing-masing sekte untuk mendukung ajarannya, baik yang mengatakan bahwa manusia itu
14
Yasin Ceylan, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), h. 4. 15 Ibid., h. 5.
8
terpaksa, manusia memiliki kebebasan kehendak, maupun paham yang berdiri diantara keduanya. Semua sekte dalam Islam, baik kaum Jabariah, Muktazilah, Asy‟ariah, maupun Maturidiah menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk menguatkan paham mereka. Kata taqdîr dalam berbagai bentuknya digunakan al-Quran sebanyak 133 kali. Kata qadâ` dalam berbagai bentuknya disebut sekitar 63 kali. Kata qadar dalam berbagai derivasinya, tidak termasuk bentuk fâ‘il (qâdir) disebut sekitar 73 kali.16 Di samping ayat-ayat yang secara tekstual menggunakan kata taqdîr, terdapat pula ayat-ayat yang berkaitan erat dengan permasalahan takdir. Ayat-ayat tersebut dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan penggunaannya oleh masing-masing sekte. Ayat-ayat kelompok pertama yang secara letterlek menguatkan golongan yang berpendapat bahwa perbuatan manusia telah ditetapkan sebelumnya (majbûr, determinis, fatalistik) terdapat pada surat Ali Imran: 26, al-A‟raf: 155, al-Ra‟d: 11, alIsra`: 16, al-Baqarah: 253, al-An‟am: 125, al-Anfal: 24, dan ayat-ayat serupa.17
―Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.‖ (Ali Imran: 26)
16
Sulaiman Ibrahim, Konsep Takdir menurut al-Quran: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Tesis S2 UIN Syahid Jakarta, 2003), h. 64. 17
Miqdad Yalink, „Batas antara Takdir dan Kebebasan Kehendak‟ dalam Mohammad Thalib (ed.), Pandangan Para Ahli Pikir tentang Takdir dan Ikhtiar (Surabaya: Bina Ilmu, 1977), h. 13-17.
9
Ayat-ayat kedua demikian juga secara zhahir mendukung golongan yang berpendapat adanya kebebasan berkehendak pada manusia, diantaranya al-Kahfi: 29, al-An‟am: 148, Ali Imran: 145, dan selainnya yang serupa.
―Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.‖ (al-Kahfi: 29)
Kelompok ayat terakhir manguatkan golongan ketiga yang berdiri antara paham predestinasi dan free will. Diantara ayat-ayat yang mendukungnya ialah alInsan: 28-31 dan al-A‟raf: 156.
―Kami telah menciptakan mereka dan menguatkan persendian tubuh mereka, apabila Kami menghendaki, Kami sungguh-sungguh mengganti (mereka) dengan orang-orang yang serupa dengan mereka. Sesungguhnya (ayat-ayat) ini adalah suatu peringatan, Maka Barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya Dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan memasukkan siapa yang dikehendakiNya ke dalam rahmat-Nya (surga). dan bagi orang-orang zalim disediakan-Nya azab yang pedih.‖
Dari berbagai ayat yang biasa digunakan dalam permasalahan takdir, maka penelitian ini memilih menggunakan ayat-ayat yang tidak secara tekstual
10
menyebutkan kata qadara ataupun taqdîr, melainkan ayat-ayat yang biasa digunakan sebagai dalil bagi paham-paham teologi. Ayat-ayat yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini ialah al-Baqarah ayat 6 dan 26, al-Kahfi ayat 29, dan al-A‟raf ayat 178. C. Rumusan Masalah Adapun rumusan permasalahan yang menjadi fokus pembahasan ialah bagaimana penafsiran al-Razi mengenai ayat-ayat seputar takdir. D. Tujuan Penelitian Diantara tujuan studi ini ialah mengetauhi pandangan Fakhr al-Din al-Razi mengenai takdir, juga untuk melihat lebih dalam khazanah klasik warisan ulama Islam, khususnya al-Razi, di mana aktivitas keilmuan pada saat itu tidak dapat dikatakan kalah dari aktivitas keilmuan kontemporer, bahkan pada masa-masa tersebut—abad I sampai VI H—disebut sebagai zaman keemasan dari Islam itu sendiri. E. Manfaat Penelitian Studi mengenai takdir merupakan suatu kajian yang penting. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pemahaman mengenai takdir akan berpengaruh baik pada masyarakat, negara, maupun setiap pribadi yang meyakininya. Dengan mengkaji permasalahan takdir diharapkan setiap elemen masyarakat tersebut mengetahui aspek-aspek problematika takdir, lebih memahami kekayaan intelektual umat Islam, dan mengetahui faham mayoritas serta lebih-lebih mendekati kebenaran ajaran mengenai takdir sebagaimana dimaksudkan agama.
11
F. Metodologi Penelitian Metode penelitian terdiri dari metode pengumpulan data dan metode penulisan. Dalam pengumpulan data, studi ini melakukan penelitian pustaka (library research). Ini berarti bahwa studi ini memfokuskan diri pada sumber-sumber kepustakaan baik dalam bentuk buku, jurnal, dan berbagai referensi lainnya. Sumber utama dalam studi ini ialah kitab Mafâtih al-Ghaib karya Fakhr al-Din al-Razi, juga dikenal dengan
al-Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr Fakhrurrâzi. Adapun referensi
sekunder terdiri dari kitab-kitab tafsir selainnya dan buku-buku yang membahas tentang teologi dan takdir. Metode Penulisan studi ini berdasar kepada buku Pedoman Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2008-2009. G. Kajian Pustaka Terdapat beberapa kajian yang membahas mengenai takdir dan Fakhr al-Din al-Razi, diantara kajian yang penulis temukan ialah sebagai berikut: Konsep Takdir dalam al-Quran, oleh Sulaiman Ibrahim. Tesis UIN Syahid Jakarta yang membahas takdir dalam ayat-ayat al-Quran dengan menggunakan metode maudhû‘i. Pemahaman Dosen Agama Perguruan Tinggi Umum Kotamadya Padang tentang Takdir, oleh Ahmad Kosasih. Disertasi UIN Syahid Jakarta yang merupakan studi lapangan terhadap dosen-dosen agama yang mengambil tempat di Kotamadya Padang untuk mengetahui pandangan yang dominan tentang takdir.
12
Takdir dan Kebebasan Manusia (Telaah atas Penafsiran al-Zamakhsyari Terhadap Surat al-Furqan Ayat 2 dan Surat al-Ra‘d Ayat 11), oleh Hamka. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas tentang penafsiran al-Zamakhsyari mengenai dua ayat tentang takdir. Takdir Menurut Perspektif Hadis: Sebuah Kajian Tematik, oleh Sakinah. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas secara tematis hadis-hadis yang berkaitan dengan takdir. Takdir dalam perspektif al-Quran: Kajian Tafsir Maudhû‘i, oleh Rudiyanto. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas takdir dalam al-Quran dengan metode madhû‘i. Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi, oleh Yasin Ceylan. Disertasi ISTAC Kuala Lumpur yang membahas tema-tema teologi dan penafsiran al-Razi. Fakhr al-Din al-Razi‘s Methodology in Interpreting the Qur‘an, oleh Shalahuddin Kafrawi. Tesis Mc Gill University Kanada yang membahas mengenai metodologi al-Razi dalam menafsirkan al-Quran. Metode Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi, oleh Ibnu Zam Zam. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas mengenai metode al-Razi dalam menafsirkan al-Quran. Metode Penafsiran Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir Mafâtih al-Ghaib (tentang Keistimewaan Lebah, oleh Ihat Malihatun. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas metode penafsiran al-Razi secara khusus terhadap ayat-ayat keistimewaan lebah.
13
Kajian Isra‘ dan Mi‘raj: Pandangan Fakhr al-Din al-Razi dalam Tafsir Mafâtih al-Ghaib, oleh Adi Amir Zainun. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat Isra‟ dan Mi‟raj. Ruh dalam Perspektif Fakhr al-Din al-Razi (Studi Penafsiran Ayat tentang Ruh), oleh Abdul Rahman. Skripsi FUF UIN Syahid yang membahas penafsiran alRazi terhadap ayat-ayat tentang ruh. Berbeda dengan berbagai kajian-kajian sebelumnya, studi ini memfokuskan diri pada penafsiran Fakhr al-Din al-Razi mengenai ayat-ayat takdir dalam kitab Mafâtih al-Ghaib. H. Sistematika Penulisan Secara sistematis studi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang membahas seputar latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan. Bab kedua membahas tentang biografi dan karir intelektual al-Razi. Bab ini memfokuskan diri pada perjalanan hidup al-Razi, karya-karya yang dihasilkannya, dan metode al-Razi dalam menafsirkan al-Quran. Bab ketiga membahas takdir dalam Islam. Bab ini diisi dengan pengertian takdir dan pembahasan seputar takdir dalam Islam. Bab keempat membahas penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat seputar takdir. Bab ini diawali dengan kajian mengenai takdir menurut al-Razi dan pemaparan
14
penafsiran al-Razi terhadap ayat-ayat seputar takdir serta analisis dari penafsiran tersebut. Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II BIOGRAFI A. Biografi Abu „Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali alTaimi al-Bakri al-Thibristani, terkenal dengan nama Fakhr al-Din al-Razi. Diberi julukan Ibn Khatib al-Ray karena ayahnya, Dhiya‟ al-Din Umar, adalah seorang khatib di Ray. Ray merupakan sebuah desa yang banyak ditempati oleh orang „ajam (selain Arab).18 Di Herat Fakhr al-Din mendapat julukan Syaikh al-Islam.19 Al-Razi merupakan anak keturunan Quraisy yang nasabnya bersambung kepada Abu Bakr alShiddiq.20 Fakhr al-Din al-Razi dilahirkan pada 25 Ramadhan 544 H,21 bertepatan dengan 1150 M, di Ray—sebuah kota besar di wilayah Irak yang kini telah hancur dan dapat dilihat bekas-bekasnya di kota Taheran Iran.22 Ray adalah sebuah kota yang banyak melahirkan para ulama yang biasanya diberi julukan al-Razi setelah nama belakang sebagaimana lazim pada masa itu. Diantara ulama sebangsa yang juga diberi gelar al-Razi ialah Abu Bakr bin Muhammad bin Zakaria, seorang filosof dan dokter kenamaan abad X M/IV H.23
18
Fakhr al-Din al-Razi, Roh Itu Misterius. Editor: Muhammad Abd al-Aziz al-Hillawi. Penerjemah: Muhammad Abdul Qadir al-Kaf (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001), h. 17. 19 Ibn Khallikan, Wafâyât al-A‘yân wa Anbâ‘ Abnâ‘ al-Zamân jilid IV (Beirut: Dar alTsaqafah, tt), h. 250. 20 Fakhr al-Din al-Razi, Roh..., h. 17. 21 Ibn Khallikan, Wafâyât al-A‘yân, h. 252. 22 Fakhr al-Din al-Razi, Roh, h. 17-18. 23 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (Newyork: Columbia University Press, 1970), h. 355.
115
16
Beberapa sumber lain mengatakan bahwa al-Razi dilahirkan pada tahun 543 H/1149 M. Ibn al-Subki mengatakan bahwa menurut pendapat yang kuat al-Razi dilahirkan pada tahun 543 H. Tetapi pendapat ini menjadi lemah jika dikaitkan dengan fakta melalui tulisan yang dibuat al-Razi sendiri. Al-Razi menulis dalam tafsir surah Yusuf bahwa ia telah mencapai usia 57 tahun dan pada akhir surah menyebutkan bahwa tafsirnya telah selesai pada bulan Sya‟ban tahun 601 H. Jika dikurangi, maka kelahiran al-Razi ialah tahun 544 H/1150 M.24 Fakhr al-Din memiliki seorang kakak yang bernama Rukn al-Din. Dikatakan bahwa Rukn al-Din memiliki kedengkian terhadap al-Razi dikarenakan kemasyhuran dan ketinggian ilmunya. Rukn senantiasa mengikuti kemanapun al-Razi hendak pergi dan berusaha menyebat fitnah agar masyarakat menjadi simpati kepadanya. Alih-alih mendapat simpati usaha Rukn al-Din malah membuatnya dibenci masyarakat. Di samping
perasaan
sedih—karena
memiliki
saudara
yang
dengki—al-Razi
menanggapinya dengan senantiasa menasihati sebisa mungkin dan tidak memutuskan tali persaudaraan.25 Al-Razi menikah di Ray sepulang dari perjalanan ke Khawarizm karena ditolak oleh masyarakat di sana. Di Ray ada seorang dokter ahli yang memiliki kekayaan melimpah dan juga dua anak perempuan. Ketika dokter itu sakit dan yakin akan datangnya ajal, ia menikahkan salah seorang putrinya kepada al-Razi. Sejak
24
Ali Muhammad Hasan al-„Umâri, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; Hayâtuhû wa Atsâruhû (al-Majlis al-A‟la li al-Syu‟un al-Islamiyah, 1969), h. 17. 25 Ibid. h.23-24
17
masa itu terjadi perubahan ekonomi pada al-Razi dari seorang yang miskin dan kekurangan menjadi berkecukupan.26 Dari pernikahannya itu al-Razi dikaruniai tiga orang anak lelaki dan dua anak perempuan. Salah seorang anak lelaki yang bernama Muhammad meninggal pada saat al-Razi masih hidup. Muhammad dikatakan sebagai anak yang saleh sehingga benar-benar bersedih sepeninggalnya. Kesedihannya itu diungkapkan dengan menyebutkannya—Muhammad—berkali-kali dalam tafsirnya, yakni bertutut-turut dalam tafsir surah Yunus, Hud, Yusuf, al-Ra‟d, dan Ibrahim. Muhammad meninggal dalam usia muda beranjak dewasa di perantauan, jauh dari teman dan keluarga.27 Dua anak lelaki lainnya ialah Dhiya‟ al-Din dan Syams al-Din. Dhiya‟ al-din merupakan anak tertua yang bernama asli Abdullah. Ia dikenal sebagai orang yang sangat perhatian kepada ilmu pengetahuan. Selanjutnya ia menjadi tentara dan mengabdi kepada sultan Muhammad bin Taksy.28 Adapun Syams al-Din ialah yang termuda dari ketiganya. Ia memiliki banyak kelebihan dan kepandaian yang luar biasa. Syams al-Din mengikuti jejak al-Razi setelah kematiannya, menyan-dang gelar Fakhr al-Din, dan banyak ulama yang menuntut ilmu kepadanya.29 Salah satu anak perempuan al-Razi dinikahi dengan Ala‟ al-Mulk, seorang wazîr (menteri) sultan Khawarazmsyah Jalal al-Din Taksy bin Muhammad bin Taksy yang terkenal dengan julukan Minkabari. „Ala‟ al-Mulk adalah seorang pakar dalam bidang sastra, khususnya dalam bahasa Arab dan Persia. Sedangkan anak perempuan 26
Ibid., h. 20 Ibid., h. 24-26. 28 Ibn al-Katsîr al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid VII juz XIII (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, tt), h. 61. 29 Ibid., h. 26. 27
18
lainnya hanya disebutkan dalam riwayat ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan memasuki kota Herat, kediaman al-Razi dan keluarga. „Ala‟ al-Mulk meminta perlindungan kepada Jengis Khan atas anak-anak Syaikh Fakhr al-Din dan permohonannya itu dikabulkan. Ketika itu disebutkan bahwa anak perempuan yang terakhir ini termasuk di dalamnnya.30 Al-Razi meninggal di Herat pada hari Senin tanggal 1 Syawal 606 H/1209 M, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Sesuai dengan amanatnya, al-Razi dimakamkan di gunung Mushaqib di desa Muzdakhan, sebuah desa yang terletak tidak jauh dari Herat.31 Sebelum meninggal al-Razi sempat mendiktekan wasiat yang ditulis oleh salah seorang muridnya, Ibrahim al-Asfahani. Wasiatnya berisi tentang penyerahan diri sepenuhnya (tawakal) kepada kasih sayang Tuhan. Al-Razi mengakui bahwa ia telah banyak menulis dalam berbagai cabang lapangan ilmu tanpa cukup memperhatikan mana yang berguna dan mana yang merusak. Dalam wasiatnya alRazi juga menyatakan ketidakpuasannya dengan filsafat dan teologi (ilmu kalam). Dalam mencari kebenaran ia lebih menyukai metode al-Quran dibandingkan metode filsafat. Ia juga menasihati untuk tidak melakukan perenungan-perenungan filosofis pada problem-problem yang tak terpecahkan. Pernyataan terakhir al-Razi mengenai nilai filsafat dan teologi ini masti dicatat dalam meneliti pemikiran al-Razi terutama dalam isu-isu kontroversial yang bermacam-macam.32
30
Ibid., h. 27. Ibn Khallikan, Wafâyât al-A‘yân, h. 252 32 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), h. 12-13. 31
19
Al-Razi hidup pada pertengahan terakhir abad keenam Hijriah atau kedua belad Masehi. Masa-masa ini merupakan masa-masa kemunduran di kalangan umat Islam, baik dalam bidang politik, sosial, ilmu pengetahuan, dan akidah.33 Kelemahan Khalifah Abbasiyah telah mencapai puncaknya hingga Baghdad sebagai pusat pemerintahan saat itu hancur luluh hanya dengan sekali serangan dari tentara Mongol di bawah pimpinan Hulago Khan pada 656 H/1258 M.34 Secara efektif, tidak ada kesatuan politik yang benar-benar memerintah dunia Islam saat itu. Kekuasaan khalifah di Baghdad hanya diakui secara simbolis karena dalam prekteknya masingmasing daerah diperintah secara independen oleh para sultan Bani Abbas. Situasi ini disebut Karen Amstrong sangat mirip dengan apa yang disebut monarki absolut. Sejak 1055 M praktis kekuasaan di Baghdad dipegang oleh orang-orang Turki Seljuk. Salah satu peristiwa besar yang terjadi pada masa hidup al-Razi ialah kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi melawan pasukan Salib pada 1187 M.35 Selama hidupnya, al-Razi mengalami tiga kali pergantian khalifah di Baghdad. Pertama, al-Mustanjîd Billâh (555-556 H) yang pada masa kekua-saannya belum ada pengaruh dari orang-orang Turki Seljuk. Kedua, al-Mustadhi Billâh (566575 H) yang merupakan anak al-Mustanjîd yang memegang kekua-saan setelah ayahnya meninggal. Ketiga, al-Nâshir li Dînillâh (575-622 H), anak al-Mustadhi yang merupakan khalifah Abbasiyah dengan masa kekuasaan terpanjang.36 Khalifah inilah yang berusaha mengembalikan kebesaran dinasti Abbasiyah dengan mengadakan 33
Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 28. Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam. Penerjemah Ira Puspita Rini (Surabaya: Ikon Teralitera, 2004), cet. keempat h. 115. 35 Ibid., h. 97-111 36 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 28 34
20
“kompromi” dengan syari‟ah yang saat itu biasa dikembangkan untuk memprotes para khalifah. Al-Nâshir juga bergabung dengan kelompok futuwwah37 di Baghdad. Namun kebijakan al-Nâshir sudah amat terlambat, sebab dunia Islam sudah dilanda bencana yang akan membawa kepada keruntuhan dinasti Abbasiyah.38 Sementara di Khawarizmi, Khurasan, dan daerah-daerah sekitarnya dikuasai oleh bani Khawarazamsyah. Pada masa hidup al-Razi sultan yang menguasai daerah ini ialah Taksy bin Arselan (568-596 H), „Ala‟ al-Din Muhammad bin Taksy (596615 H), dan kemudia diikuti oleh anaknya Jalal al-Din sampai tahun 628 H. Kabar mengenai perang salib di Syam dan serangan bangsa Mongol di Timur selalu menyelimuti pikiran kaum Muslimin saat itu di mana bayangan kehancuran berada di depan mata.39 Mazhab empat (Maliki, Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali) masih menjadi mayoritas mazhab yang diterima oleh sebagian besar umat Islam saat itu. Di Ray, kota al-Razi, terdapat setidaknya tiga mazhab yang berpengaruh, yakni Syafi‟i, yang merupakan minoritas, Hanafi sebagai mazhab mayoritas, dan Syi‟ah yang berjumlah sangat sedikit. Sebelumnya terjadi pertentangan antara Syi‟ah dan Ahlussunnah yang akhirnya dimenangkan oleh mazhab Syafi‟iyah dari Ahlussunnah.40 Hal ini tentu tidak terlepas dari peran Bani Seljuk yang cenderung kepada Sunni dan sufisme.41
37
Persatuan kelompok pemuda urban, dibentuk setelah abad ke-12, dengan upacara dan ritual khusus serta bersumpah untuk setia kepada pemimpin, yang sangat dipengaruhi oleh prinsip dan praktik sufi (Karen Armstrong). 38 Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, h. 114. 39 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 29. 40 Ibid. 41 Karen Armstrong, Sepintas Sejarah Islam, h. 101.
21
Pada masa itu terdapat banyak aliran teologi. Ibn al-Subki menyebutkan tidak kurang dari 27 golongan. Adapun yang termasyhur daripadanya ialah Syi‟ah, Muktazilah, Murji‟ah, Batiniyah, dan Karamiyah.42 Keilmuan didominasi pada pelajaran agama dan bahasa Arab, tidak sedikit pula yang mempelajari ilmu hikmah (filsafat) yang pembahasannya mencakup logika, fisika, dan metafisika. Termasuk cabang ilmu filsafat ialah ilmu ukur, musik, dan astronomi.43 Kaum Muslimin masih bergelut dengan filsafat yang banyak dipelopori oleh kaum Muktazilah. Diantara para filosof terkenal yang berpengaruh ialah al-Kindi, alFarabi, Ibn Sina, dan Ibn Maskawaih yang lahir di Ray dan meninggal di Isfahan pada tahun 1030 M.44 Pengaruh filsafat terus meningkat hingga datang masa alGhazali pada akhir abad V H/X M. Kritik al-Ghazali terhadap filsafat tertuang dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah. Sejak saat itu timbul kebencian kaum Muslimin— khususnya para fuqahâ` dan golongan Asy‟ariyah yang menjadi mazhab mayoritas— terhadap filsafat.45 Keadaan ini ditambah dengan dukungan khalifah Abbasiyah dalam menentang filsafat, sehingga filsafat seakan punah dari tradisi umat Islam kecuali di beberapa tempat seperti Iran dan Andalusia (Spanyol). Abad keenam Hijriah juga merupakan puncak dari ajaran Bathiniyah yang telah dirintis sejak abad ketiga. Diantara aliran Bathiniyah ini—sebagaimana dikatakan al-Ghazali—ialah golongan Rafidhah yang merupakan sekte dalam Syi‟ah. 42
Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 29. Ibid. 44 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, edisi kedua (Jakarta: UIPress, 2002), h. 43-37. 45 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 30. 43
22
Golongan ini menganggap tercapainya ilmu itu melalui perkataan Imam yang ma‘shûm, Imam yang mengetahui semua rahasia syari‟ah dan pada setiap zaman pasti terdapat seorang Imam yang dapat menjadi sandaran dalam permasalahan keagamaan.46 Sebelum masa al-Ghazali tasawuf masih belum dapat diterima oleh mayoritas ulama
dan
bahkan
dianggap
bid‟ah.
Al-Ghazali
berperan
besar
dalam
“mendamaikan” ajaran para sufi yang dianggapnya wali dengan para ulama yang mengajarkan syariat formal, seperti ilmu fiqh dan tauhid. Pengaruh ini telah sampai hampir ke seluruh pelosok negeri Islam dari timur sampai barat. Pengaruh ini juga tak pelak dirasakan oleh al-Razi karena masanya tidak terlampau jauh dari al-Ghazali.47 Dalam kondisi politik, sosial, dan keilmuan seperti inilah al-Razi hidup. Faktor-faktor tersebut menjadi penting dalam mengkaji suatu pemikiran—dalam hal ini al-Razi—sebab tidak ada pemikiran yang dapat lepas dari pengaruh-pengaruhnya. Atau dengan bahasa Edward Said “belum ada seorang pun yang menciptakan metode untuk melepaskan cendekiawan dari lingkungan kehidupannya, dari fakta keterlibatannya baik secara sadar maupun tidak—dengan suatu kelompok, seperangkat keyakinan, kedudukan sosial, ataupun sekedar aktivitasnya sebagai anggota masyarakat”.48 Pembahasan lebih dalam ke arah itu—kondisi politik, sosial, dan keilmuan—akan membawa pengetahuan mengenai kecenderungan seorang ulama atau cendekiawan. Penerimaan masyarakat terhadap suatu karya merupakan indikasi bahwa pemikiran tersebut sesuai dengan konsep kebenaran, minimal pada saat itu. 46
Ibid., h. 31. Ibid., h. 32 48 Edward Said, Orientalisme. Penerjemah: Asep Hikmat (Bandung: Pustaka, 1985), h. 12-13. 47
23
B. Karir Intelektual Sebagaimana lazim dilakukan oleh para pelajar Muslim, al-Razi melakukan pengembaraan intelektual secara luas ke seluruh Persia. Dari Khawarizm ke Ghaznah, lalu ke Herat, dan akhirnya menetap di sana di bawah perlindungan Sultan „Ala alDin Khawarazmsyah.49 Sebelum itu, al-Razi kecil terlebih dahulu menimba ilmu pengetahuan pertamanya dari ayahnya sendiri, Dhiyâ‟ al-Din „Umar. Dhiyâ‟ al-Din merupakan seorang ulama besar di Ray—terkenal dengan julukan Khâtib al-Rayy— khususnya dalam bidang ilmu fiqh dan ushul. Setelah ayahnya meninggal pada 559 H al-Razi kemudian menimba ilmu kepada para ulama besar pada masanya, diantaranya Muhammad al-Baghawi dan Majd al-Din al-Jîli.50 Kepada al-Jîli al-Razi mempelajari teologi dan filsafat. Dari Kamal alSimnâni al-Razi mempelajari ilmu fiqh dan kepada Yahyâ al-Suhrâwardi al-Razi belajar filsafat dan ushul fiqh. Dalam proses belajarnya al-Razi menghapal beberapa kitab, diantaranya al-Syâmil Imam al-Haramain mengenai ilmu kalam, al-Mustasyfâ al-Ghazali dalam ushul fiqh, dan al-Mu‘tamâd Abu al-Hasan al-Bashri. Dalam pada itu al-Razi mensyarah (memberi komentar) beberapa kitab ulama sebelumnya, diantaranya al-Mufashshal al-Zamakhsyari dalam ilmu nahw (tata bahasa), al-Wajiz al-Ghazali dalam ilmu fiqh, dua kitab Abd al-Qahir dalam bidang balaghah, dan mengkhususkan pembahasan keduanya dalam karyanya, Nihâyah al-Îjaz fi Dirâyah al-I‘jâz.51
49
Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (Newyork: Columbia University Press, 1970), h. 355. 50 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 19. 51 Ibid.
24
Al-Razi menaruh perhatian lebih terhadap filsafat dan kedokteran (al-Thibb) sehingga memiliki pandangan yang luas mengenai keduanya. Dalam bidang filsafat al-Razi mensyarah kitab al-Isyârât karya Ibn Sina dan dalam ilmu kedokteran ia menulis kitab Syarh al-Kulliyyât li al-Qânûn karya penulis yang sama.52 Dalam karyanya, Munâzharat Fakhr al-Din fi Bilâd ma Warâ‘ al-Nahr alRazi mendokumenter tempat-tempat yang telah ia kunjungi dan para ulama yang ditemuinya. Kemudian ia membuat ikhtisar mengenai diskusi yang telah dilakukannya dengan para ulama tersebut. Dikatakan bahwa al-Razi melakukan perdebatan dengan para ulama terkemuka dengan menggunakan dialektika filosofis. Penjelasan mengenai lawan debatnya penuh dengan ironi. Sebagai contoh dikatakan bahwa al-Radhi al-Naisaburi sebagai orang yang jujur, tetapi lambat dalam berpikir. Qadhi dari Ghazna sebagai orang yang iri hati dan bodoh. Syaraf al-Din Muhammad al-Mas‟udi, seorang teolog terkemuka di Bukhara, sebagai orang yang arogan dan terlalu percaya diri dengan karya al-Ghazali. Di samping itu, di Bukhara ia memarahi Nur al-Shabuni dikarenakan perjalanannya ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah diskusi panjang, al-Razi “memaksa” lawan-lawannya untuk menerima kebodohan mereka.53 Selanjutnya al-Razi melakukan perjalanan ke Khawarazm dan Transoxania, nampaknya dalam rangka mengubah para pengikut Muktazilah dan Karamiyah kepada Sunni. Alih-alih mencapai tujuan al-Razi dipaksa keluar dari keduanya karena berselisih dengan ulama-ulama lokal. Al-Razi membangun hubungan baik dengan
52 53
Ibid. Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 2.
25
Syihab al-Din al-Ghuri, sultan al-Ghur dan Ghaznah, yang nantinya membangunkan madrasah untuk al-Razi di Herat. Di Ghaznah al-Razi sempat dicap kafir oleh kaum Karamiyah setelah melakukan perdebatan dengan pimpinannya Abd al-Majid bin alQudwa. Bahkan Ibn al-Qudwa, dengan dukungan keponakan sultan Dhiya‟ al-Din alGhûri, menyerangnya dalam khut-bah Jumat, menuduhnya kafir karena telah membaca karangan Ibn Sina dan Aristoteles. Peristiwa ini menimbulkan kegoncangan pada masyarakat yang mayoritas pengikut Karamiyah ini dan berujung pada hasutan yang berkembang untuk membunuh al-Razi. Melihat hal ini sultan berusaha menenangkan masyarakat bahwa ia akan mengeluarkan al-Razi dari kota itu. Tahun kejadian ini kemudian tercatat sebagai sanât al-fitnâ (tahun fitnah)54 Setelah peristiwa itu al-Razi kembali ke Khurasan dan menetap di Herat di bawah perlindungan sultan Muhammad bin Taksy yang terkenal dengan gelar Khawarazmsyah. Di sana al-Razi mendapat kedudukan tinggi dan derajat mulia yang bahkan tidak ada ulama yang dapat melebihi posisinya dalam kedekatannya kepada sultan.55 Dalam fiqh dan ushul, al-Razi mengikuti mazhab Syafi‟i yang diterimanya dari ayahnya hingga bersambung—sanadnya—ke Imam al-Syafi‟i. Dalam teologi menganut paham Asy‟ariyah yang juga diterima melalui ayahnya hingga sampai ke Imam Abu al-Hasan al-Asy‟ari.56 Dalam bidang filsafat al-Razi nampaknya mendapat pengaruh kuat dari Ibn Sina dan Abu al-Barakat al-Baghdadi (m. 560/1166), penulis
54
Ibid., h. 3-4. Ibn al-Atsîr, al-Kâmil fi al-Târikh jilid XII (Beirut: Dar al-Shadir, tt), h. 151-
55
Ibn Khallikan, Wafâyât al-A‘yân, h. 250. Ibid., h. 252.
152. 56
26
ikhtisar tentang fisika, logika, dan metafisika “al-Mu‘tabâr fî al-Hikmah‖ yang juga seorang penulis penting mengenai ilmu kedokteran pada abad VI/XII. Walaupun demikian dalam perkembangannya al-Razi tidak segan-segan untuk mengkritik Ibn Sina dalam beberapa tema penting. Komentarnya terhadap al-Isyârât lebih dekat kepada kritik daripada syarah (penjelasan).57 Hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam memahami al-Razi, menurut Ceylan, ialah skeptisismenya. Al-Razi tidak pernah bisa mengatasi keraguannya. Skeptisisme inilah yang membuat al-Razi mempertanyakan segala hal hingga ia tidak menerima pendapat begitu saja secara taklid (membabi buta). Meskipun seorang Asy‟ariah al-Razi tidak ragu untuk berbeda pendapat dengan alAsy‟ari dalam beberapa hal. Sikap liberal al-Razi membuatnya dituduh oleh para oponennya sebagai Muktazilah dan mereka memang memiliki justifikasi untuk itu berdasarkan perkataan al-Razi sendiri. Beberapa pendapat al-Razi memperlihatkan tendensi Muktazilah, seperti pertanyaan mengenai sifat-sifat Tuhan dan kemungkinan untuk melihat Tuhan dengan mata kepala—di alam akhir, dan dalam kerangka buktibukti dogmatis. Dalam elaborasinya mengenai tema-tema ini, al-Razi terlihat sedikit ragu dalam meminjam pendapat dari non-Muslim maupun sarjana Muslim yang dianggap bid`ah, seperti Abu al-Barakat al-Baghdadi, seorang Yahudi; Tsabit bin alQurra`, seorang Kristen; dan Abu al-A‟la al-Ma‟arri, sastrawan yang terkenal dengan pandangan-pandangan bid`ahnya.58
57 58
Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 355-356. Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 5.
27
Satu aspek yang paling mencolok dari al-Razi ialah rekonsiliasinya antara filsafat dan dogma.59 Ibn Khaldun mengatakan bahwa al-Razi, bersamaan dengan alGhazali, adalah barisan terdepan dalam memperkenalkan pendekatan filosofis baru terhadap kajian teologis.60 Meskipun al-Razi membuktikan kesalahan argumen para filosof dalam banyak tempat, kritisismenya timbul dari pemikiran yang independen dan rasionalitas yang unik. Ketidaksetujuannya kepada para filosof lebih banyak timbul dikarenakan respeknya terhadap argumen filosofis daripada posisinya sebagai teolog. Ini sejalan dengan jalan berpikirnya yang lebih dekat kepada filosof daripada teolog. Pernyataan tegas al-Razi merupakan aspek signifikan dalam posisinya menanggapi kontroversi antara filsafat dan teologi.61 Pengetahuan al-Razi yang demikian luas mengenai filsafat dan teologi membuat tak ada ulama sezaman yang setara dengannya dan dapat dibandingkan dengan keluasan pengetahuan al-Ghazali. Al-Razi merupakan salah satu penulis ensiklopedik terakhir umat Islam.62 Tidak diragukan lagi bahwa al-Razi ialah seorang ulama Asy‟ariyah terakhir jika dilihat bahwa tidak ada figur penting lainnya dalam lapangan teologi hingga satu abad setelahnya.63 Al-Razi memiliki banyak pengikut. Dikatakan tidak kurang dari tiga ratus murid dari berbagai belahan dunia Islam menyertainya ketika ia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Diantara murid-muridnya yang terkenal ialah Quthb al-Din al-Mishri, Zain al-„Abidin al-Kasysyi, Syihab al-Din al-Naisaburi, Muhammad bin 59
Ibid. W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, h. 94. 61 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 6. 62 Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, h. 355. 63 Watt, Islamic Philosophy and Theology, h. 95-96. 60
28
Ridhwan, Syaraf al-Din al-Harawi, Atsir al-Din al-Abhari, Afdhal al-Din al-Khunji, Taj al-Din al-Armawi, Syams al-Din al-Khuwayya, dan Syaikh Muhammad alKhusrawsyahi.64 Pemikiran al-Razi sebagai teolog yang memaparkan pemikiran secara filosofis memberi pengaruh yang tidak sedikit kepada para pemikir Muslim sesudahnya, seperti Nashir al-Din al-Thusi, Ibn Taymiyyah (m. 729/1328), al-Taftazani (m. 791/1389), dan al-Jurjani (m. 816/1413), khususnya dalam bidang teologi dan filsafat. Penjelasan dan kritiknya terhadap filsafat Ibn Sina nantinya berguna bagi filosof belakangan seperti Ibn Khaldun (m. 808/1406) dalam menghadapi sistem pemikiran Ibn Sina.65 Sebagai penulis yang produktif dan melontarkan pemikirannya sedemikian bebas al-Razi tak dapat terlepas dari kontroversi ulama yang mendukung dan menentangnya, baik pada masa hidup maupun setelahnya. Diantara penentangnya ialah al-Dzahabi (penulis Mîzân al-I‘tidâl), Siraj al-Din al-Sirmiyahi, Abu Hayyan, dan Rasyid Ridha. Sedangkan para pembelanya ialah Taj al-Din al-Subki, Ibn Abi „Ushaibi‟ah, Ibn Khallikan, Ibn Khaldun, Ibn al-Atsir, al-Yafi‟i, dan al-Qifti.66 Perlu dicatat bahwa al-Razi sebagai mufasir tidak hanya ahli dalam bidang teologi dan al-Quran, melainkan juga menguasai berbagai macam bidang keilmuan seperti filsafat, kedokteran, matematika, hukum Islam, dan linguistik. Al-Razi menulis dalam bahasa Arab—beberapa dalam bahasa Persia—sebagaimana diakuinya 64
Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 11-12. Shalahuddin Kafrawi, Fakhr al-Dîn al-Râzi‘s Methodology in Interpreting the Qur`an (Montreal: The Institut of Islamic Studies Faculty of Graduate Studies and Research Mc Gill University, 1998), h. 24. 66 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 95-97. M. Quraish Shihab, Rasionalitas alQuran: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.155-161. 65
29
sebagai bahasa yang paling utama. Namun demikian dalam menyampaikan kuliahkuliahnya al-Razi kerap kali menggunakan juga bahasa Persia untuk menarik lebih banyak audiens.67 C. Karya Tulis Dalam dunia Islam al-Razi merupakan salah satu penulis produktif dalam sejarah. Tulisannya terdiri dari berbagai macam cabang keilmuan mulai dari tafsir, teologi, filsafat, kedokteran, linguistik, fisika, astronomi, sejarah, heresiografi (kebid`ahan), astrologi (nujum/ramalan), dan fisiognomi (firasat).68 Dikatakan bahwa karya al-Razi tidak kurang dari dua ratus buah karangan69 baik berupa risalah, syarah, maupun kitab yang berjilid-jilid. Al-Baghdadi mengklasifikasikan karya-karya alRazi menjadi sepuluh kategori:1) tafsir; 2) teologi; 3) logika, filsafat, dan etika; 4) kombinasi antara teologi dan filsafat; 5) fiqh dan ushul; 6) sejarah dan biografi; 7) matematika dan astronomi; 8) kedokteran dan fisiognomi; 9) sihir dan astrologi; dan 10) karya umum dan ensiklopedia.70 Diantara karya-karya yang masih terlacak sebagai tulisan al-Razi, dalam studi al-Quran: al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtih al-Ghaib), Asrâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Tafsîr (Tafsîr al-Qur‘ân al-Shaghîr), Tafsîr Sûrah al-Fâtihah, Tafsîr Sûrah al-Baqarah, Tafsîr Sûrah al-Ikhlâsh, dan (Risâlah fi) al-Tanbîh ‗alâ Ba‘d al-Asrâr al-Mudî‘ah fî Ba‘d Âyât al-Qur`ân al-Karîm; teologi (kalam): al-Arba‘în fî Usûl al-Dîn, Asas alTaqdîs, Tahsîl al-Haqq, al-Qadâ wa al-Qadar, Syarh al-Asmâ` Allâh al-Husnâ, 67
Kafrawi, Fakhr al-Din al-Razi‘s Methodology…, h. 22. Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 13. 69 Ibn al-Katsir al-Dimasyqi, al-Bidâyah wa al-Nihâayah, h. 60. 70 Kafrawi, Fakhr al-Din al-Razi‘s Methodology…, h. 27. 68
30
‗Ismah al-Anbiyâ`, al-Mahsûl (fi ‗Ilm Kalâm), al-Ma‘âlim fî Usûl al-Dîn, Nihâyah al‗Uqûl fi Dirâyah al-Usûl, dan Ajwibât al-Masâ`il al-Najjâriyah; logika, filsafat, dan etika: al-Âyât al-Bayyinât fî al-Mantîq, al-Mantîq al-Kabîr, Ta‘jîz al-Falâsifah, Syarh al-Isyârâh wa al-Tanbîhât (li Ibn Sina), Syarh ‗Uyûn al-Hikmah (li Ibn Sina), alMabâhits al-Masyriqiyyah, Muhassal afkâr al-Mutaqaddimîn wa al-Muta`akhkhirîn min al-‗Ulamâ‘ wa al-Hukamâ‘ wa al-Mutakallimîn, al-Mathâlib al-‗Âliyah, dan alAkhlâq; permasalahan hukum: Ibtâl al-Qiyâs, Ihkâm al-Ahkâm, al-Ma‘âlim fî Usûl Fiqh, Muntakhab al-Mahsûl fî Usûl Fiqh, al-Barâhin al-Barâhiyah, dan al-Nihâyah al-Baha`iyyah fi al-Mabâhits al-Qiyâsiyyah; bahasa Arab dan ilmu-ilmunya: Syarh Nahj al-Balâghah dan al-Muharrir fî Haqâ`iq (atau Daqâ`iq) al-Nahw; sejarah: Fadâ`il al-Shahâbah al-Râsyidîn dan Manâqib al-Imâm al-Syâfi‘î; matematika dan astronomi: al-Handasah dan al-Risâlah fî ‗Ilm Hay`ah; kedokteran: al-Tibb al-Kabîr, al-Asyribah, al-Tasyrîh, Syarh al-Qânûn li Ibn Sina, dan Masâ`il fi al-Tibb; sihir dan astrologi: al-Ahkâm al-‗Alâ`iyyah fî A‘lân al-Samâwiyyah, Kitâb fî Raml, dan Sirr alMaktûm; dan karya umum: I‘tiqâd Firâq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn71 Dari karya-karya tersebut yang menjadi magnum opus atau masterpiece alRazi ialah kitab Mafâtih al-Ghaib atau al-Tafsîr al-Kabîr yang demikian fenomenal. Kitab ini merupakan salah satu kajian paling komprehensif dari tafsir bi al- ra‘y.72 Terdiri dari tiga puluh dua juz, kitab ini ditulis pada masa-masa akhir dari kehidupan
71
Ibid., catatan kaki no. 99 Thameem Ushama, Methodologies of The Qur`anic Ezegesis (Kuala Lumpur: AS Noordeen, 1995), h. 93. 72
31
al-Razi.73 Melihat kronologisnya, kitab ini ditulis pada saat al-Razi telah mancapai kematangan dalam keilmuannya. Berbagai pendapat kuat mengatakan bahwa al-Razi tidak menyelesaikan tafsirnya. Bagian pertama ditulis oleh al-Razi dan bagian kedua oleh kedua dua orang pengikutnya, yakni al-Syaikh Najm al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qammuli (m. 767 H) dan Syihab al-Din bin Khalil al-Khuwayya.74 Secara berurutan, al-Razi menulis hingga surat al-Anbiya (surat ke-21). Di samping itu, secara acak—tidak mengikut mushaf—al-Razi menafsirkan surat-surat lainnya seperti al-Syu‟ara, alQiyamah, al-Humazah, al-Qalam, al-Ma‟arij, dan al-Naba`.75 Walaupun diyakini bahwa al-Razi tidak menyelesaikan seluruh tafsirnya, namun kitab yang sekarang dinisbahkan kepadanya ini tetap memiliki kesatuan ruh dalam pandangan, gaya bahasa, dan pemaparannya, sebagai buah karya dari satu orang.76 Dengan kata lain tidak terdapat kontradiksi antara satu bagian dan bagian lainnya dengan ide serta pemikiran al-Razi.77 D. Metode Penafsiran Mafâtih al-Ghaib merupakan tafsir yang menawarkan pendekatan unik terhadap al-Quran. Kitab ini mencakup ruang yang begitu luas dalam pembahasan setiap subjeknya, seperti teologi, filsafat, logika, fiqh, dan astronomi. 78 Al-Razi mendasarkan penafsirannya dengan ayat al-Quran lainnya (al-tafsîr al-Qur`ân bi al-
73
Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 15. Ibid. 75 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 161-174. 76 Ibid., h. 187. 77 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 16. 78 Kafrawi, Fakhr al-Din al-Razi‘s Methodology…, h. 110. 74
32
Qur`ân), hadis Nabi, dan secara luas dengan pertimbangan rasional atau hasil ijtihad.79 Dengan memasukkan ijtihad (pendapat atau ra`y) sebagai sumber penafsiran, maka Mafâtih al-Ghaib termasuk ke dalam kategori tafsîr bi al-ra`y80 dengan kecenderungan terhadap permasalahan teologis di dalamnya. Meskipun terkenal sebagai seorang penentang keras filsafat, al-Razi menggunakan model pemaparan secara filosofis untuk menjustifikasi rasionalitas (baca: kemasuk-akalan) prinsip-prinsip dogmatis (akidah) dan ini sangat terlihat dalam kese-luruhan tafsirnya.81 Dalam prosedur penulisan Mafâtih al-Ghaib menggunakan metode tahlîlî walaupun Kafrawi menyatakan bahwa al-Razi juga menggunakan metode tafsir maudû‘i.82 Tafsir tahlîlî sendiri didefinisikan dengan menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dengan uraian makna kosakata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan (munâsabah) antar ayat dan surat, sampai sisi-sisi keterkaitan antar ayat maupun surat itu (wajh al-munâsabât) dengan bantuan asbâb al-nuzûl dan riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw, sahabat, dan tabi‘în. Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat, dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi dari Nabi sampai tabi‘în; terkadang pula
79
Ibid., h. 51-53. Al-„Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi, h. 134. 81 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir…, h. 5. 82 Kafrawi menyatakan demikian berdasarkan dengan begitu seringnya al-Razi mengumpulkan ayat-ayat dalam pembahasan mengenai suatu tema. Kafrawi, Fakhr al-Din al-Razi‘s Methodology…, h. 73 80
33
diisi dengan uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Quran yang mulia.83 Al-„Umari mengatakan bahwa yang menjadi ruh dari tafsir Mafâtih al-Ghaib ialah pembahasan yang panjang lebar. Al-Razi menggunakan pendapat (ra‘y)-nya dalam seluruh tafsirnya, sesekali menggunakan pendapat pribadi dan pendapat para pendahulunya di lain tempat. Kebanyakan pendapat dikeluarkan berdasarkan kebesaran pemikirannya dalam berbagai ilmu yang dikuasai.84 Muhammad bin Lutfi al-Shibbâgh menjelaskan beberapa karakteristik penafsiran Mafâtih al-Ghaib diantaranya, bahwa al-Razi menafsirkan ayat dari berbagai segi yang berbeda, seperti bahasa, balaghah, fiqh, dan sebagainya, kemudian mengambil istinbâth atas ayat tersebut; dalam tafsir terdapat pembicaraan yang berkaitan dengan pengarang, keadaan, dan perjalanannya sebagaimana contoh yang telah lalu dikabarkan bahwa anaknya, Muhammad, meninggal saat menafsirkan surat Yusuf dan al-Razi mengatakan bahwa saat itu hatinya sangat sedih karenanya; tidak ta‘assub kepada mazhab Syafi‟i yang dianutnya, seperti halnya dalam ayat-ayat tentang zakat al-Razi mengatakan bahwa tidak ada petunjuk (dilâlah) mengenai ayat ini dari al-Syâfi‟i; memperkenalkan pendekatan baru dalam tafsir, yakni teologis di samping dua pendekatan yang ada sebelumnya baik yang digunakan para ahli hadis maupun para ahli bahasa dan sastra; tidak pernah melewatkan pembahasan mengenai Muktazilah setiap ada kesempatan, menjelaskan, dan menolak argumen-argumen mereka dan mempertahankan doktrin Ahlussunnah; banyak menolak pendapat83
Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‘i dan Cara Penerapannya. Penerjemah: Rosihan Anwar (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 23-24. 84 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 134.
34
pendapat para filosof, walaupun dalam pembahasannya al-Razi menggunakan bahasa dan metode mereka; banyak menyampaikan ilmu-ilmu alam dan astronomi; dan menyebutkan munâsabah baik antar ayat maupun antar surat.85 „Umâri mengatakan bahwa al-Razi jarang menggunakan hadis, banyak menggunakan syair
sebagai
referensi, dan sangat memperhatikan asbâb al-nuzûl. Hampir tidak ada surat yang tidak dikemukakan asbâb al-nuzûl-nya karena faktor ini dianggap sangat penting dan sulit untuk menangkap makna tanpa menjelaskannya.86 Al-Razi mendasarkan tafsirnya dari berbagai referensi yang ada sebelumnya baik dalam bidang tafsir, bahasa, maupun teologi. Dari kitab tafsir al-Razi mengambil dari Ibn Abbas, riwayat tafsir naqli seperti Ibn al-Kalbi, Mujahid, Qatadah, al-Sa‟di, Sa‟id bin Jubair, dan selainnya seperti Muqatil bin Sulaiman, al-Tsa‟labi (m. 437 H), dan al-Wahidi (m. 468 H). Dalam bidang bahasa banyak mengutip dari para periwayatnya, seperti al-Ashma‟i dan Abu „Ubaidah dan dari para ulamanya, seperti al-Farra`, al-Zajjaj, dan al-Mubarrad dengan kecenderungan khusus kepada al-Farrâ` dengan kitabnya Ma‘âni al-Qur`ân. Dari kaum Muktazilah al-Razi mengutip Abu Muslim al-Ashfahani (m. 322 H), al-Qâdhi „Abd al-Jabbâr (m. 415H), dan alZamakhsyâri (m. 538 H) pengarang al-Kasysyâf. Al-Zamakhsyâri nampaknya mendapat perhatian khusus dari al-Razi, karena al-Kasysyaf biasanya menjadi referensi utama dalam akidah Muktazilah. Di sisi lain kitab al-Razi, Mafâtih alGhaib, menjadi pionir dalam mempertahankan akidah Ahlussunnah.87
85
Muhammad bin Luthfi al-Shibbagh, Lumhât fi ‗Ulûm al-Qur`ân wa Ittijâahât al-Tafsîr (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1990), cet. ketiga h. 287-291 86 Al-„Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, h. 117-134. 87 Ibid., h. 135-137.
35
Di samping referensi-referensi yang disebut secara jelas dalam tafsir, al„Umâri melihat adanya indikasi pengaruh beberapa ulama terkemuka terhadap pemikiran al-Razi walaupun tidak mengutip pendapat-pendapat mereka secara langsung. Diantara ulama tersebut ialah Ibn Qutaibah (m. 276 H), al-Thabari, alGhazali (m. 505/1111), Abu Bakr al-Baqillani (m. 404 H), dan Ibn Furak (m. 406 H).88
88
Ibid., h. 142-149.
BAB III TAKDIR DALAM ISLAM A. Pengertian Takdir Kata takdir diderivasi dari bahasa Arab qaddara yuqaddiru taqdîran, yang berarti menaksir atau mengira. Jika syiddah-nya dihilangkan maka menjadi qadara, yang berarti mampu. Dari sini dikenal salah satu sifat Tuhan yakni qudrah (Mahakuasa). Dalam dalam akidah Islam biasanya kata taqdir disandingkan dengan kata qadâ` dan lebih sering disebut qadâ` dan qadar. Penggunaan kata takdir dalam pembahasan ini bukan tanpa alasan, melainkan dengan tujuan yang lebih menitikberatkan kepada penggunaan atau apresiasi terhadapnya daripada pembahasan mengenai pengertian. Kata takdir digunakan dalam posisinya yang dianggap berlawanan dengan kebebasan kehendak (ikhtiar atau free will) dan apa yang dipahami oleh para teolog. Sebelum melangkah lebih jauh alangkah lebih baiknya dipaparkan berbagai penjelasan mengenai makna takdir, baik secara etimologi maupun terminologi. Arifin Jami‟an melihat ada tiga pengertian takdir dari segi etimologi: pertama, takdir merupakam ilmu yang amat luas meliputi segala apa yang akan terjadi dan semua yang berhubungan dengan itu. Semua hal yang akan terjadi pasti telah diketahui dan ditentukan sejak semula. Kedua, berarti sesuatu yang sudah dipastikan. Kepastian itu lahir dari penciptanya di mana eksistensinya sesuai dengan apa yang telah diketahui sebelumnya. Ketiga, takdir berarti menerbitkan, mengatur, dan menentukan sesuatu
136
37
menurut batas-batasnya di mana akan sampai sesuatu kepadanya, sebagaimana tercermin dalam al-Quran surat Fushshilat ayat 10.89
90
KH Taib Thahir setelah melihat penggunaan kata qadâ` dalam al-Quran mengartikan qadâ` dengan hukum yang ditetapkan Tuhan sejak zaman azali mengenai segala apa yang akan terjadi. Qadar diartikan dengan merancang dan merencanakan sesuatu dengan perhitungan paling mendalam dan teliti. Juga mengetahui semua batas, hubungan, dan sebab akibat yang terjadi setelah perencanaan itu terwujud. Dengan demikian Taib melihat secara etimologi tidak terdapat perbedaan mendasar dalam keduanya. Dari sana keduanya disebut qadar atau takdir saja sebagaimana digunakan dalam hadis Nabi saw, “Dan percaya kepada takdir, baik dan buruknya.”91 Dja‟far Amir mengartikan takdir dengan ketentuan-ketentuan yang mesti berlaku atas tiap-tiap makhluk, sesuai batas-batas yang telah ditentukan Tuhan sejak zaman azali, baik ketentuan yang baik maupun yang buruk, semua akan terjadi sesuai dengan yang dikehendaki Tuhan. Sedangkan qadâ` berarti keputusan yang telah terjadi sesuai dengan ilmu serta takdir Tuhan sejak zaman azali.92
89
Arifin Jami‟an, Memahami Takdir (Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986), h. 32-33. ‖Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.‖ 91 Arifin Jami‟an, Memahami Takdir, h. 36. 92 Ibid., h. 47-50. 90
38
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa takdir terambil dari kata qaddara, berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran. Dicontohkan jika dikatakan bahwa Allah telah menakdirkan demikian, maka berarti Allah telah memberi kadar, ukuran, atau batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Istilah takdir mirip dengan sunnatullah atau hukum alam, tetapi takdir setingkat di atasnya karena hukum-hukumnya tidak hanya terjadi pada alam, melainkan juga pada hukum-hukum kemasyarakatan.93 M. Taqi Misbah Yazdi mengatakan bahwa kata qadar berarti ukuran (miqdar) dan takdir (taqdir) berarti ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan sesuatu dengan ukuran yang ditentukan. Sedangkan qadha` berarti memutuskan dan menuntaskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur konvensi. Kedua kata ini terkadang digunakan secara sinonim yang berarti nasib.94 Muthahhari, seorang ulama Syi‟ah, mengatakan bahwa qadâ` berarti penetapan hukum, atau pemutusan dan penghakiman sesuatu. Seorang disebut qâdi karena tugasnya menghakimi dan memutuskan perkara antara dua orang yang bersengketa di pengadilan. Qadar berarti kadar dan ukuran sesuatu. Setiap kejadian alam jika ditinjau dari pengawasan dan kehendak Tuhan dapat dikelompokkan ke dalam qadâ` Ilahi dan jika dilihat dari sudut keterbatasan sifatnya pada ukuran dan
93
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, h. 61-65. M. Taqi Misbah Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan. Penerjemah: Ahmad Marzuki Amin (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 141. 94
39
kadar tertentu pada kedudukannya di dalam ruang dan waktu dapat dikelompokkan ke dalam qadar Ilahi.95 Jamaluddin al-Afghani menolak ajaran qadâ` dan qadar yang mengan-dung paham fatalistik. Ia berpendapat bahwa qadâ` dan qadar mengandung arti bahwa segala sesuatu terjadi menurut sebab akibat. Kemauan manusia merupakan salah satu mata rantai hukum sebab akibat. Qadâ`dan qadar menurutnya sinonim dengan hukum dan ciptaan Tuhan.96 Fazlur Rahman, sejalan dengan al-Afghani, menolak jika takdir disamakan dengan predeterminisme. Ia mengatakan bahwa sebenarnya perkataan qadar berarti memberikan ukuran atau keterhinggaan dan ide yang terkandung dalam doktrin qadar bawa Allah saja yang tak terhingga secara mutlak. Segala sesuatu selain-Nya sebagai ciptaan memiliki tanda ukuran dan keterhinggaan, dengan kata lain memiliki jumlah potensi yang terbatas—walaupun jangkauan potensi-potensi ini, seperti yang terdapat pada manusia kemungkinan sangat luas.97 Berbagai pengertian mengenai takdir di atas terlihat terpecah kepada dua kutub besar sebagaimana digunakan pada penjelasan secara klasik. Takdir didefinisikan antara hukum atau pengetahuan Tuhan semenjak azali dan juga sebagai kadar atau ukuran segala sesuatu. Namun demikian sebelum definisi-definisi tersebut telah berlaku pendefinisian takdir yang lebih tua dan yang berasal dari aliran-aliran
95
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama, h. 217. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), cet. III, h. 149-150. 97 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an. Penerjemah: Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996), cet. II, h. 35. 96
40
teologi dalam Islam, yakni Jabariah, Muktazilah, dan Ahlussunnah yang terbagi kepada Asy‟ariah dan Maturidiah.
B. Seputar Takdir dalam Islam Sejak zaman primitif manusia selalu menyertakan kepercayaan akan takdir bersamaan dengan kepercayaannya terhadap sembahannya. Takdir diilustrasikan sebagai kekuatan luar biasa yang menentukan kesenangan dan kekuasaan hidupnya. Takdir belum terbayangkan sebagai aturan yang telah ditetapkan untuk kelangsungan hidup alam semesta. Takdir dibicarakan baik oleh kaum Hindu, Babilonia, Mesir kuno, Yunani, Yahudi, Kristen, Islam, juga para filosof dari berbagai agama dan kebudayaan tersebut.98 Berbagai pendapat yang dilontarkan tidak terlepas dari dua paham ekstrim yang mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas dan bahwa manusia terikat dalam genggaman takdir. Pembicaraan takdir dalam Islam tidak terlepas juga dari pengaruh berbagai agama dan kebudayaan sebelumnya. Sebagaimana dalam tema lainnya, dalam hal ini pun para teolog maupun filosof Muslim sangat terpengaruh oleh pandangan para filosof Yunani. Plato mengatakan bahwa semua tuhan adalah baik 99 dan dari tuhantuhan itu hanya akan lahir kebaikan. Kejahatan timbul akibat dari kurang-nya pengetahuan dan kebodohan. Manusia terjerumus ke dalam kejahatan karena kepadatan materi (hayûla) merintangi usaha untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya. Menurutnya segala sesuatu yang ada di alam wujud merupakan gambaran ideal yang 98
Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur‘an. Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 197-232. 99 Plato mengatakan demikian karena orang Yunani mengenal banyak tuhan (dewa-dewa).
41
ada di dalam akal tuhan. Kejahatan bukan berasal dari takdir tuhan. Kebebasan manusia menuju kesempurnaan tidak dibatasi oleh takdir tuhan, tetapi oleh rintangan materi yang amat padat itu (hayûla). Hayûla inilah yang merintangi manusia bagi terwujudnya kemampuan yang dikehendaki tuhan.100 Pemikiran takdir menurut Aristoteles sejalan dengan pemikirannya dengan sifat Tuhan. Menurutnya, Tuhan sama sekali tidak mencampuri urusan alam dan semua yang ada di dalamnya, baik yang bernyawa maupun tidak. Karena itu Tuhan tidak menentukan urusan apapun juga bagi alam, sebab takdir tidak sesuai dengan kesempurnaan
sifat
kesempurnaannya
kemutlakan
tidak
Tuhan.
membutuhkan
Zat apapun
yang sempurna juga
selain
dan
zat-Nya,
mutlak tidak
menghendaki sesuatu, dan tidak memikirkan sesuatu salain zat-Nya sendiri. Hubungan antara Tuhan dan alam tidak lebih dari sebagai penggerak pertama yang tidak bergerak. Sejalan dengan pemikirannya tersebut, Aristoteles menga-takan bahwa setiap manusia bebas memilih sesuatu bagi dirinya sendiri. Tidak ada qadâ‘ maupun qadar. Setidaknya manusia bisa menahan diri jika ia tidak bisa melakukan suatu perbuatan. Sedangkan tujuan bagi setiap makhluk hidup ialah mewujudkan sesuatu yang diperlukan oleh eksistensinya menurut cara yang sesuai dengan eksistensinya.101 Ibrahim Madkour beranggapan mustahil jika problematika takdir dalam Islam telah berkobar pada masa awal perkembangan umat Islam. Problematika takdir mendapatkan porsi ketika fitnah yang menimpa khalifah Usman bin Affan di mana
100 101
Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat Qur‘an, h. 203-204 Ibid., h. 204-206.
42
sesama umat Islam bersengketa antara yang mendukung tahkîm (perdamaian) dan yang menolak. Setelah itu mulai dipertanyakan tentang posisi orang yang melakukan dosa kecil dan besar, apakah masih termasuk mukmin, kafir, atau justru berada di antara keduanya. Madkour menyimpulkan bahwa problematika takdir dalam Islam terjadi pada paruh kedua dari abad pertama Hijrah.102 Muslim pertama yang mengangkat problematika takdir ialah Ma‟bad alJuhani (m. 80H/698M) dan Ghailan al-Dimasyqi (m. 105H/722M). Keduanya dikenal sebagai pelopor paham Qadariah dan bertemu di Damaskus. Ma‟bad mengunjungi Damaskus dan Ghailan memang menetap di sana. Damaskus merupakan pintu gerbang kebudayaan Islam terbesar pada abad pertama, tempat pertemuan berbagai kebudayaan, serta dekat dengan sebagian aliran Kristen Timur. Salah seorang pemikir Kristen yang memiliki pengaruh terhadap para pemikir Muslim ialah Yahya alDimasyqi (m. 127H/749M) yang lahir pada masa Muawiyah bin Abu Sofyan. Salah satu karyanya yang menguatkan adanya dialog keagamaan pada masa itu antara umat Kristen dan Muslim berjudul “Naqsy bain Masîhi wa Muslim”.103 Yahya al-Dimasyqi berpendapat bahwa perbuatan manusia ada dua macam, yakni terpaksa (jabariah) dan bebas memilih (ikhtiariah). Jabariah ialah perbuatan yang terjadi tanpa terasa seperti pertumbuhan tubuh, dorongan karena pengaruh kebutuhan alami seperti makan, atau yang terjadi dikarenakan faktor kesalahan seperti anak panah yang diarahkan kepada binatang buruan tetapi (kebetulan) mengenai manusia. Sedangkan perbuatan-perbuatan ikhtiariah ialah perbuatan yang
102 103
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 140. Ibid., h. 139-152.
43
timbul dari kehendak manusia secara murni, setelah adanya pemikiran dalam rangka merealisir kelezatan atau manfaat. Perbuatan ikhtiariah ini merupakan perbuatan yang dibarengi dengan adanya kemampuan dan kehendak yang berada dalam jangkauan manusia untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Perbuatan jabariah merupakan perbuatan Tuhan, sedangkan perbuatan ikhtiariah adalah ciptaan manusia.104 Ma‟bad al-Juhani ialah seorang tabi‘i dan ahli hadis yang tidak setuju dengan sikap penguasa yang melegitimasi kekuasaan mereka dengan paham takdir. Dalam sikapnya, ia mengingkari takdir yang bisa menegasikan kebebasan kehendak manusia. Sikap Ghailan al-Dimasyqi terhadap takdir sama seperti Ma‟bad, di sisi lain ia adalah orang kedua yang mengangkat problematika setelah Ma‟bad. Diantara butir pemikirannya ialah bahwa Allah tidak berbuat kecuali yang baik, perbuatan manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri, dan Allah tidak akan menyiksa hasil perbuatannya sendiri sedangkan Dia adalah Zat yang Mahaadil.105 Sebagai “tandingan” paham Qadariah tersebut kemudia lahir paham Jabariah yang dipelopori oleh al-Ja‟d bin Dirham (abad VIII M) dan Jahm bin Safwan (m. 127 H/745 M). Paham ini mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Manusia tidak memiliki kekuatan dan daya untuk mewujudkan perbuatannya. Menurut Jabariah manusia diibaratkan sebagai wayang yang tidak bergerak kecuali digerakkan oleh dalang. Bertolak belakang dengan Qadariah,
104 105
Ibid., h. 150-151. Ibid., h. 153-155.
44
menurut Jabariah manusia tidak memiliki kebebasan, semua perbuatannya telah ditentukan oleh Tuhan semenjak azal.106 Jabariah memegang prinsip bahwa perbuatan manusia telah ditentukan semenjak zaman azali. Manusia tidak memiliki daya untuk melakukan sesuatu. “Segalanya berasal dari Tuhan.” Tuhan memiliki kekuatan absolut terhadap segala sesuatu, termasuk kehendak dan perbuatan manusia. Abdul Hye menyebut pandangan Jabariah ini dengan “pure fatalistic view‖.107 Pada hakikatnya paham Jabariah menyakini bahwa bahwa semua perbuatan dan gerak-gerik manusia ialah perbuatan Allah yang dialirkan melalui hamba-Nya. Sehingga dengan keyakinan itu manusia tidak perlu usaha, ikhtiar, maupun inisiatif sama sekali.108 Meskipun demikian ada juga diantara kaum Jabariah yang berfikir moderat berpendapat bahwa perbuatan—sebagaimana adanya—terjadi karena kekuasaan Allah. Akan tetapi dalam hal taat dan durhaka, perbuatan itu terjadi atas kemauan manusia sendiri.109 Selanjutnya paham Qadariah kebanyakan diwakili oleh para pemikir dari kaum Muktazilah. Muktazilah dipelopori oleh Wasil bin „Atha‟, seorang yang dikenal i‘tizâl (memisahkan diri) dari majlis al-Hasan al-Bashri karena ketidakcocokannya dengan gurunya mengenai posisi orang Mukmin yang mela-kukan dosa besar di akhirat nanti. Tidak puas dengan jawaban gurunya, Washil mengatakan, “Saya
106
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya jilid II (Jakarta: UI-Press, 2002), edisi II, h. 33. 107 M. Abdul Hye, „Ash‟arishm‟dalam MM Syarif, ed., A History of Muslim Philosophy (Delhi: Low Price Publication, 1995), cet. IV h. 229. 108 Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Aqidah Seorang Muslim. Penerjemah: Salim Bazemool (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), h. 113. 109 Abbas Mahmud al-Aqqad, Filsafat al-Quran, h. 235.
45
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak pula kafir.”110 Harun Nasution mengatakan bahwa diantara penyebab Wasil mendirikan paham Muktazilah ialah ketidaksetujuannya dengan kaum Khawarij maupun Murji‟ah mengenai masalah yang sama. Kaum Khawarij berpendapat bahwa orang Mukmin yang melakukan dosa besar adalah kafir. Sedangkan kaum Murji‟ah yang muncul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Mukmin yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, tetapi tetap Mukmin. Persoalan mengenai dosa besarnya diserahkan kepada Tuhan di akhirat nanti. Wasil mengatakan bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, melainkan mengambil posisi diantara keduanya. Jika sebelum meninggal ia bertobat maka akan masuk surga dan jika sampai meninggal ia tidak sempat bertobat maka nasibnya akan sama dengan orang kafir dan tidak akan masuk surga.111 Paham ini dikenal dengan almanzilatu bain al-manzilatain. Aliran Muktazilah memegang prinsip bahwa manusia memiliki kekuatan penuh untuk melakukan sesuatu dan memiliki kebebasan dalam memilih pilihannya. Meskipun demikian mereka tetap mengatakan bahwa segala kekuatan yang dimiliki manusia diciptakan oleh Tuhan.112 Kekuasaan Tuhan tidaklah mutlak, melainkan sudah terbatas dikarenakan beberapa faktor. Diantara faktor yang membatasi kekuasaan Tuhan ialah kebebasan yang telah diberikan kepada manusia, hukum alam
110
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah , Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), h. 98. 111 Harun Nasution, Islam ditinjau..., h. 31-37. 112 M. Abdul Hye, „Ash‟arishm‟, h. 229.
46
(sunnatullah) yang tidak akan mengalami perubahan, norma-norma keadilan, dan kewajiban Tuhan terhadap manusia. Menurut Muktazilah, manusia diciptakan Tuhan sekaligus memiliki kemampuan menciptakan perbuatannya baik atau buruk.113 Muktazilah mengatakan bahwa problematika takdir dan kebebasan kehendak berkaitan erat dengan prinsip keadilan Tuhan yang mereka kembangkan. Mereka menetapkan bahwa keadilan Tuhan ditujukan kepada hikmah yang bisa diketahui oleh akal dan dimaksudkan untuk merealisir kebaikan dan yang terbaik. Keadilan Allah menolak dari memberi kewajiban (taklîf) kepada seseorang yang tidak mampu ia lakukan atau meng-hisâb apa yang dilakukannya atas paksaan dari-Nya. Untuk itu pada umumnya mereka menolak secara tegas prinsip jabariah. Mereka meMahasucikan Allah dari melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan jelek. Manusia ialah pelaku atas perbuatannya dengan kekuasaan (qudrah) dan kemampuan (istitâ‘ah) yang diberikan Tuhan kepadanya. Pandangan ini mengandung sikap berpegang pada kekuasaan dan perhatian Allah. Akhirnya manusia harus memilih apa yang dilakukannya, karena perbuatan itu lahir dari niatnya dan merupakan salah satu hasil kehendaknya. Namun hal ini bukan berarti manusia bermaksiat kepada Allah secara terpaksa atau bisa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki Tuhan.114 Manusia hanya terbatas oleh kodratnya sebagai manusia. Dengan memegang prinsip seperti demikian, bukan berarti Muktazilah tidak mempercayai takdir Tuhan, melainkan mereka mendefinisikannya dengan cara yang berbeda dengan Jabariah. Pendefinisian mereka kurang lebih sesuai dengan apa yang
113 114
Syahrin Harahap, Islam: Konsep..., h. 32. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 161-174.
47
dikatakan Quraish Shihab bahwa jika dikatakan Allah telah menakdirkan sesuatu berarti Allah telah memberi kadar, ukuran, atau batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya. Istilah takdir mirip dengan sunnatullah atau hukum alam, tetapi takdir setingkat diatasnya karena hukum-hukumnya tidak hanya terjadi pada alam, melainkan juga pada hukum-hukum kemasyarakatan.115 Selanjutnya aliran Asy‟ariah muncul sebagai respon yang „menandingi‟ kekuatan Muktazilah yang pada masa itu disokong oleh para Khalifah Abbasiyah, khususnya al-Ma‟mun yang menjadikan Muktazilah sebagai mazhab resmi negara. Sesuai namanya aliran ini didirikan oleh Imam al-Asy‟ari yang dilahirkan di Basrah (Irak) pada 260 H/873 M dan meninggal pada 324 H/935 M.116 Sedang kan kata „Asy‟ariah‟ ditujukan kepada para murid dan pengikut dari Imam al-Asy‟ari itu sendiri. Al-Asy‟ari tumbuh dan dididik dalam lingkungan Muktazilah. Ia nyaris tidak pernah
berontak
dari
pemikiran
Muktazilah
hingga
kegelisahan
mulai
menghinggapinya. Hal ini terjadi pada usianya yang keempat puluh di mana secara terbuka ia mengumumkan bahwa ia tidak lagi mengikuti pemikiran-pemikiran Muktazilah dan sebagai konsekuensinya ia akan menunjukkan kelemahan-kelemahan dari mazhab lamanya itu.117 Jika Muktazilah muncul sebagai respon atas pertentangan kaum Khawarij dan Murji‟ah maka Asy‟ariah muncul sebagai tanggapan atas dua kutub ekstrim yang ada
115
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, h. 61-65. A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam; edisi revisi (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003), cet. VIII, h. 127. 117 Ibid., h. 127-128. 116
48
pada saat itu—walaupun sering dikatakan lebih dekat kepada Jabariah. Aliran yang pertama adalah Muktazilah yang terlalu memuja akal pikiran dan kaum hasywiyah (antropomorpis) yang hanya memegangi secara tekstual nash-nash agama dengan meninggalkan jiwanya yang hampir menyeret Islam ke dalam kejumudan. Jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslimin.118 Penerimaan kaum Muslimin terhadap ajaran al-Asy‟ari bukan tanpa alasan, melainkan diikutii oleh beberapa faktor yang mendukungnya. Pertama, kaum Muslimin pada saat itu sudah bosan dengan perbedaan dan pertentangan mengenai persoalan bahwa al-Quran adalah makhluk yang dicetuskan oleh aliran Muktazilah yang berakibat kebencian mereka terhadap aliran tersebut. Kedua, sosok Imam alAsy‟ari yang ulung dalam perdebatan dan memiliki ilmu yang cukup mendalam, terkenal juga sebagai seorang yang saleh dan takwa, sehingga dapat menarik banyak orang dan mendapat kepercayaan mereka. Ketiga, sejak masa al-Mutawakkil (tahun 232H) pemerintahan telah meninggalkan aliran Muktazilah. Sebagaimana suatu semboyan bahwa agama raja adalah agama rakyat dan hal ini tidak terkecuali pada kondisi Islam saat itu. Keempat, Imam al-Asy‟ari memiliki pengikut-pengikut yang kuat yang selalu menyebarkan ajaran-ajarannya dan memberikan alasan untuk itu. Kelima, pemerintahan Bani Buwaih yang bercorak Syi‟ah dan yang menjadi tulang punggung aliran Muktazilah telah digantikan dengan pemerintahan Turki Seljuk yang bercorak Sunni dan menyokong aliran Ahlussunnah.119
118 119
Ibid., h. 129. Ibid., h. 129-130.
49
Sebelum mengemukakan pandangan Asy‟ariah mengenai takdir ada baiknya di sini dikemukakan terlebih dahulu dua prinsip Muktazilah yang amat berkaitan dalam permasalahan ini. Muktazilah mengenal prinsip istitâ‘ah dan tawallud. Secara etimologi istitâ‘ah berarti kemampuan, tetapi para ulama Muktazilah tidak bersepakat mengenai hakikat dari istitâ‘ah itu sendiri apakah ia semata-mata merupakan kesehatan dan keselamatan, aksidensia yang terpisah dari orang yang mampu atau merupakan bagian daripadanya. Mereka juga berbeda pendapat apakah istitâ‘ah itu tetap ada setelah seseorang melakukan perbuatan atau ia hidup bersamaan dengan selesainya perbuatan itu. Jelasnya bahwa istitâ‘ah itu terjadi sebelum perbuatan, bisa berarti berbuat tetapi bisa sebaliknya, dan istitâ‘ah tidak mengharuskan perbuatan.120 Tawallud merupakan pemikiran orisinal Muktazilah. Teori ini berkaitan dengan prinsip kausalitas dan juga dengan pemikiran balasan dan tanggung jawab seperti yang dikemukakan oleh Bisyr al-Mu‟tamir (m. 210 H/826 M), seorang pendiri kelompok i‘tizâl di Baghdad. Muktazilah membagi perbuatan menjadi perbuatan langsung yang merupakan perbuatan yang secara primer meng-akibatkan suatu tindakan dan perbuatan tidak langsung yang merupakan unsur sekunder dan disebut al-af‘âl al-mutawallidah. Bisyr berpendapat agak ekstrim mengatakan bahwa sebab yang terjadi karena kita, baik di dalam maupun di luar diri kita, merupakan perbuatan kita. Abu Huzail al-Allaf berusaha memperkecil ekstrimitas ini dengan mengatakan bahwa perbuatan yang keluar (tawallud) yang kita ketahui prosesnya, baik di dalam maupun di luar diri kita, merupakan perbuatan kita. Sedangkan perbuatan yang prosesnya tidak diketahui seperti warna, rasa, panas, dan dingin merupakan 120
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 166.
50
perbuatan-perbuatan Allah. Madkour mengatakan bahwa definisi yang paling jelas ialah apa yang dikatakan al-Iskafi (m. 240 H/855 M), yakni “Setiap perbuatan yang mungkin salah tanpa dikehen-daki adalah perbuatan mutawallid. Sedangkan perbuatan yang tidak bisa terjadi kecuali harus dikehendaki dan setiap bagiannya membutuhkan pembaharuan niat dan kehendak merupakan perbuatan yang berada di luar ketentuan tawallud dan masuk ke dalam kualifikasi perbuatan langsung.”121 Dalam problematika takdir, al-Asy‟ari berada diantara paham Jabariah dan Muktazilah. Jika Jabariah mengatakan manusia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu dan Muktazilah berpegang bahwa manusia dapat melakukan perbuatan atas kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya, maka al-Asy‟ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) suatu perbuatan.122 Teori yang dikenal dengan kasab inilah yang menjadi fokus pembahasan Asy‟ariah mengenai takdir dan perbuatan manusia. Teori inilah yang menjadi sasaran kritik baik dari ulama Islam masa modern maupun para cendekiawan Barat yang menurut mereka ajaran mengenai kasab ini mengidentikkan Asy‟ariah—sebagai golongan terbesar umat Islam—dengan paham predeterminasi atau jabariah. Dalam pengakuan terbuka di masjid Jami‟ Basrah al-Asy‟ari memfo-kuskan pembicaraan pada tiga problematika khusus yang membedakannya dengan Muktazilah, yakni mengenai pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk, melihat
121 122
Ibid., h. 168-169. A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, h. 133-134.
51
Allah dengan mata kepala, dan perbuatan manusia.123 Ternyata sejak awal problematika takdir telah menjadi perhatian al-Asy‟ari. Kemudian ia mengeluarkan teori kasab untuk „meredam‟ kedua ekstrimitas yang dianggapnya akan menjadi berbahaya bagi umat Islam itu sendiri. Konsentrasi al-Asy‟ari lebih banyak ditujukan kepada kritik terhadap Muktazilah, sehingga menurut Harun Nasution teoti kasab al-Asy‟ari lebih dekat kepada paham Jabariah atau fatalisme daripada paham Qadariah atau kebebasan manusia.124 Al-Asy‟ari mengatakan bahwa semua perbuatan, baik maupun buruk, diciptakan oleh Allah. Tidak ada keraguan sama sekali dalam masalah ini. Merupakan kesalahan tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu mencip-takan sendiri perbuatannya, karena seseorang tidak menciptakan kecuali apa yang dituju dan diinginkannya. Kekafiran merupakan sesuatu yang rusak dan jelek, tidak patut untuk diinginkan, dan kekafiran tidak mungkin terjadi tanpa kesenga-jaan dari penciptanya. Pada hakikatnya, yang bukan pencipta tidak boleh men-cipta. Sehingga kemungkinan penciptanya tinggal Allah semata. Di sini al-Asy‟ari ingin menegaskan bahwa ada perbuatan-perbuatan yang terjadi pada manusia justru tidak sesuai atau kebalikan dari kehendaknya dan tidak mungkin ia sebagai penciptanya selama Iradah (kehendak Tuhan) sebagai satu-satunya sumber aksi. Allah menakdirkan dan menentukan perbuatan-perbuatan maksiat, tetapi tidak berarti Dia memerintahkan agar hal itu dilakukan.125
123
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 180. Harun Nasution, Islam ditinjau..., h. 42. 125 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 182-183. 124
52
Al-Asy‟ari menerima istitâ‘ah yang dikembangkan Muktazilah, tetapi menurutnya istitâ‘ah itu bagian dari manusia, karena jika istitâ‘ah itu merupakan bagian dari manusia niscaya ia akan selalu bersama manusia. Manusia terkadang mampu tetapi terkadang juga tidak mampu. Istitâ‘ah ini merupakan aksidensia yang diberikan Allah kepada manusia pada saat diperlukan. Ia ada pada saat manusia berbuat, tetapi tidak tetap dalam dua masa, seperti halnya aksidensia-aksidensia yang lain. Ia tidak sejalan dengan Muktazilah yang mengatakan bahwa istitâ‘ah itu mendahului perbuatan manusia. Dalam pada itu al-Asy‟ari tidak mendukung teori tawallud dengan argumen bahwa prinsip kausalitas tidak mendukung teori ini.126 Al-Asy‟ari mengatakan bahwa manusia memiliki kasab dan ikhtiar. Kasab berarti semata-mata hubungan qudrah dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan itu merupakan ciptaan Allah, karena qudrah manusia sama sekali tidak bisa berpengaruh terhadap yang dikodratinya, karena ia sendiri ialah makhluk Allah. “Allah menjalankan sunnah-sunnah-Nya dengan menciptakan— bersamaan dengan qudrah yang baru—perbuatan yang dikehendaki dan disengaja akal manusia.” Kasab dan ikhtiar ini memiliki keterkaitan erat dengan hisâb (pembalasan) dan menurut al-Asy‟ari, manusia dihisab karena kasab dan ikhtiarnya.127 Pendapat al-Asy‟ari mengenai takdir tidak dapat disamakan secara holistik menjadi paham Asy‟ariah. Para murid dan pengikut al-Asy‟ari (baca: Asy‟ariah) tidak bertaklid secara sepenuhnya terhadap pendapat Imam mereka. Diantara mereka ada
126 127
Ibid., h. 183-184. Ibid.
53
yang mengembangkan paham kasab itu sendiri, seperti Imam al-Baqillani dan bahkan ada yang mengkritik paham tersebut. Al-Baqillani sependapat dengan al-Asy‟ari bahwa qudrah baru tidak bisa menciptakan apa-apa, tetapi ia mengkhususkan wujud, karena
ia
berpengaruh
dalam
perbuatan-perbuatan
manusia
dari
segi
ia
menciptakannya secara khusus pada waktu dan ruang tertentu. Jadi, terjadinya perbuatan-perbuatan ini dari perbuatan Allah, tetapi pengkhususan kejadian ini dalam kondisi tertentu merupakan perbuatan manusia. Dengan demikian kasab lahir sematamata dari hubungan dan bersamaan dengan qudrah Allah, yang menurut al-Baqillani menjadi suatu bentuk perbuatan walaupun pengaruhnya terbatas.128 Imam al-Haramain al-Juwaini—seorang tokoh besar Asy‟ariah—mengkritik sudut pandang al-Asy‟ari yang menegaskan bahwa semua perbuatan diciptakan oleh Allah, karena tidak ada Pencipta selain-Nya. Al-Juwaini berpendapat bahwa manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri dengan cara menciptakan kemampuankemampuan (qudrah) untuk itu. Dengan teori ini, perbuatan-perbuatan itu tidak disifati sebagai objek qadar Allah, karena satu objek qadar (maqdûr) tidak bisa berhubungan dengan dua qudrah. Pada diri manusia terdapat qudrah yang diberikan oleh Allah kepadanya. Qudrah ini merupakan salah satu aksidensia, padahal aksidensia tidak bisa tetap dalam dua masa karena ia menyertai perbuatan dan berakhir dengan berakhirnya perbuatan itu. Qudrah ini memiliki bukan hanya satu maqdûr (objek qudrah), karena Allah menciptakan qudrah untuk berbuat dan qudrah untuk tidak berbuat pada diri seseorang. Selanjutnya al-Juwaini menisbahkan perbuatan-perbuatan mutawallidah kepada pelakunya dan mengembalikan semuanya 128
Ibid., h.187.
54
kepada Allah. Ini merupakan kritik terhadap pandangan Muktazilah yang juga dapat diambil dari krtitik yang dilakukan Ibn Rawandi, seorang tokoh Muktazilah, terhadap teori tawallud Muktazilah.129 Selain tiga aliran di atas ada juga aliran Maturidiah yang memiliki konsep takdir yang cukup menarik. Aliran Matudiriah, sesuai namanya, ialah para pengikut Imam Abu Mansur al-Maturidi yang dilahirkan di daerah Samarkand (termasuk daerah Uzbekistan). Al-Maturidi hidup sezaman dengan al-Asy‟ari dan meninggal pada 333 H. Keduanya memiliki tujuan yang sama dalam mambangun paham teologinya, yakni membendung dan melawan paham Muktazilah. Jika al-Asy‟ari membangun mazhabnya di Bashrah dan Irak pada umumnya, maka al-Maturidi menghadapi Muktazilah di negerinya, yakni Samarkand dan Iran pada umumnya.130 Dalam menyelesaikan problematika takdir, al-Maturidi berusaha terlebih dahulu untuk mensucikan keadilan, ilmu, dan kehendak Allah, sekaligus memperkokoh prinsip taklif dan tanggung jawab. Al-Maturidi mengatakan bahwa masingmasing orang tahu bahwa dirinya bebas memilih apa yang dilakukannya; ia adalah pelaku yang kâsib (memiliki kasab). Perbuatan-perbuatan manusia, walaupun merupakan kasab baginya, juga diciptakan oleh Allah. Perbuatan manusia itu ialah “karya bersama” manusia dengan Tuhan. Allah yang menciptakan dan manusia yang mengkasabnya. Semua ini tentunya merupakan pangkal dari perbuatan-perbuatan ikhtiariah, sedangkan perbuatan-perbuatan individual berasal dari Allah semata.131
129
Ibid., h. 189. A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, h. 167-169. 131 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 194. 130
55
Berbeda dengan al-Asy‟ari, kasab menurut al-Maturidi berarti kesengajaan (al-qasd) dan ikhtiar. Kasab merupakan proses (amal) positif yang mendahului aksi, sedangkan kasab al-Asy‟ari semata-mata kebersamaan qudrah haditsah (kemampuan temporal) dengan maqdur (objek qadar), karena kasab di sini (baca: al-Asy‟ari) merupakan
persoalan
negatif
yang
terjadi
bersama
dengan
aksi
(tidak
mendahuluinya).132 Dalam Maturidiah, al-qasd (unsur kesengajaan) merupakan salah satu unsur penting bagi kebebasan kehendak. Al-qasd merupakan pangkal bagi taklif (perintah agama), prinsip bagi pahala dan dosa, juga pujian dan celaan. Jika seseorang berniat melakukan perbuatan baik, maka Allah pun menciptakan kemampuan (qudrah) pada dirinya agar bisa melakukannya dan berhak menerima pahala karena niatnya itu. Sebaliknya jika ia berniat melakukan perbuatan jelek, maka Allah menciptakan kemampuan pada dirinya agar bisa melakukannya dan ia berdosa karena niatnya itu. Al-Qasd itu murni, tetapi merupakan amal manusia. Al-qasd memang merupakan amal hati, tetapi mengakibatkan pengaruh-pengaruh eksternal. Perbuatan itu sendiri tidak mengkonsekuensikan pahala atau dosa tetapi al-qasd dari seseoranglah yang mengkonsekuensikan pahala dan dosa, dengan argumen bahwa orang yang tidak memiliki al-qasd tidak terkena taklif seperti anak kecil dan orang yang sedang tidur. Perbuatan itu sendiri baik jika dimaksudkan untuk melakukan kebaikan dan menjadi buruk jika dimaksudkan untuk melakukan kejelekan.133
132 133
Ibid., h. 194-195. Ibid.
56
Al-Qasd harus disertai kemampuan untuk berbuat, yakni yang disebut istitâ‘ah. Al-Maturidi membagi istitâ‘ah menjadi dua macam, istitâ‘ah mumkinah (kemampuan yang mungkin) dan istitâ‘ah muyassirah (kemampuan yang memudahkan). Istitâ‘ah mumkinah berarti keselamatan sebab, alat, dan anggota tubuh yang kesemuanya merupakan pemberian dari Allah yang berfungsi mem-bantu seseorang untuk melakukan perbuatan. Ia harus ada sebelum seseorang melakukan perbuatan, tidak ada taklif tanpa istitâ‘ah ini. Istitâ‘ah muyassirah berarti kemampuan temporal (qudrah haditsah) yang menyebabkan manusia bisa berbuat. Kemampuan ini diberikan Allah ketika menusia berniat melakukan suatu perbuatan, karena qudrah ini bersamaan dengan aksi tetapi juga selalu baru dan setiap aksi ada qudrah-nya sendiri. Jadi, ada istitâ‘ah yang mendahului perbuatan dan ada pula yang bersamaan dengan perbuatan.134 Jika dilihat dari keterangan di atas, maka posisi Maturidiah dalam permasalahan takdir berada diantara al-Asy‟ari dan Muktazilah. Disebut al-Asy‟ari di sini dikarenakan diantara tokoh Asy‟ariah pun terdapat pertentangan dengan pendapat al-Asy‟ari itu sendiri. Demikian juga dengan Muktazilah. Di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan perdapat yang pada dasarnya bersifat furû‘iyyah (cabang) sehingga masing-masing tokoh dari setiap aliran tidak melenceng jauh dari prinsip pokok alirannya. Satu hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan ini ialah tidak dapat mengklaim suatu aliran dengan pandangan yang menyudutkan dari sisi negatif atau kekurangan dari suatu pendapat, apalagi klaim bahwa Islam membawa ajaran predeterminisme yang membuat umatnya hanya pasrah terhadap takdir. 134
Ibid., h. 195-196.
57
Kembali kepada Maturidiah, al-Matudiri mengatakan bahwa kebebasan kehendak tidak bertentangan dengan qadâ‘ dan qadar Allah, karena qadâ‘ pada hakikatnya ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya dan qadar menjadi sesuatu berupa kebaikan atau keburukan yang ada. Jadi Allah meng-qadâ‘ perbuatan maksiat dan jelek dan meng-qadar-nya. Sedangkan melakukannya bukanlah dari Allah, tetapi berasal dari manusia dengan kemampuan, ikhtiar, dan niatnya. Memang pada akhirnya semua kembali kepada Allah, karena Ia adalah Tuhan dan pencipta segala sesuatu. Tetapi demikian tidaklah pantas—demi sopan santun—untuk mengatakan bahwa Allah adalah pencipta perbuatan-perbuatan maksiat. Dengan demikian, kebebasan kehendak terbatas pada kesengajaan dan niat, yang dari Maturidiah ini dapat dijadikan benang merah dalam lapangan pembahasan yang luas itu (baca: takdir).135 Harun Nasution mengatakan bahwa sejak abad kedua puluh terdapat kecenderungan untuk mengangkat kembali paham bercorak rasional yang dibawa oleh Muktazilah, khususnya di kalangan terpelajar Islam. Walaupun demikian aliran Asy‟ariah tetap menjadi mayoritas paham yang dipegang oleh umat Islam.136 Demi kelengkapan dan kapasitas kajian ini maka akan dibahas beberapa pendapat mengenai takdir dari para ulama maupun cendekiawan dari masa modern dan kontemporer. Pelopor utama gerakan yang bertujuan untuk membangkitkan umat Islam dari keterlenaan terhadap masa silam ialah Jamaluddin al-Afghani. Al-Afghani ialah orang yang mempropagandakan Pan-Islamisme untuk menyatukan kembali negeri-
135 136
Ibid., Harun Nasution, Islam ditinjau..., h. 41.
58
negeri Muslimin yang telah terpecah belah baik karena faktor dari dalam umat Islam itu sendiri maupun pengaruh dari penjajah asing, khususnya negeri-negeri Barat. Dalam pada itu al-Afghani juga menyikapi takdir dengan pandangan yang “melenceng” dari mayoritas Muslimin. Al-Afghani menolak dengan tegas jika ajaran mengenai takdir disamakan dengan paham fatalistik. Menurutnya, takdir mengandung pengertian bahwa segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab akibat. Kemauan manusia merupakan salah satu mata rantai hukum sebab akibat. Qadâ dan qadar menurutnya sinonim dengan hukum dan ciptaan Tuhan.137 Pemikiran-pemikiran
al-Afghani
menjadi
cikal
bakal
perkembangan
pemikiran modern yang secara khusus muncul pada abad kesembilan belas. Diantara para mujaddid dan reformis yang mengumandangkan semangat kebangkitan Islam, Muhammad Abduh adalah tokoh terdepan. Dalam menyikapi problematika takdir Muhammad Abduh mengatakan bahwa ada dua perkara fundamental yang merupakan tiang kebahagiaan dan pembimbing segala perbuatan manusia. Pertama, bahwa manusia memiliki usaha yang bebas dengan kemauan dan kehendaknya untuk mencari jalan yang dapat membawanya kepada kebahagiaan. Kedua, bahwa qudrah Allah adalah tempat kembalinya segala makhluk. Diantara kekuasaan tersebut ialah bahwa Allah sanggup memisahkan manusia dari apa yang diinginkannya dan tidak seorang pun selain-Nya yang bisa menolong manusia dalam apa yang tidak mungkin dicapainya.138
137
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 1995), cet. III
h. 149-150. 138
Muhammad Abduh, „Perbuatan-perbuatan Manusia‟ dalam Pandangan Para Ahli Pikir tentang Takdir dan Ikhtiar, ed. Mohammad Thalib (Surabaya: Bina Ilmu, 1977), h. 67-68.
59
Abduh mengatakan bahwa setiap individu
bisa mempertimbangkan
perbuatan-perbuatan ikhtiarnya, menghukum dengan akalnya, dan merinci dengan kehendaknya. Jika telah mantap dengan suatu pandangan, seorang individu akan melaksanakannya dengan kehendaknya semata. Semua itu merupakan fenomena yang dapat dirasakan semua orang dan tidak bisa dipungkiri. Semua manusia berjalan di atas jalurnya, sehingga ia dapat benar dan salah, tanpa mesti terlebih dahulu mengetahui apa yang ditetapkan dalam ilmu Allah atau mengerti secara penuh apa yang telah tertulis sejak azali. Abduh mengatakan bahwa merupakan kesia-siaan jika seseorang atau suatu paham membentengi diri dengan prinsip takdir yang determinis untuk membela dosa yang dilakukan atau menghindarkan diri dari tanggung jawab yang mesti dipikul. Kadang manusia berhasil, kadang pula gagal. Kegagalan manusia dapat dikarenakan keterbatasan dan administrasi yang buruk atau terkadang disebabkan oleh faktor-faktor yang berada di luar dirinya. Dengan kata lain Abduh menawarkan untuk mengakui adanya faktor yang berada di atas kemampuan manusia, tetapi hal ini tidak menjadikan manusia untuk menyia-nyiakan wujudnya dan faktor ini juga tidak membelenggu niat dan kehendak manusia.139 Syaikh Mahmud Syaltut—guru besar al-Azhar—dengan tegas mengatakan bahwa yang disebut takdir (baca: qadâ dan qadar) semata-mata ialah undang-undang (aturan) yang kekal yang tidak pernah terjadi kekeliruan di dalamnya. Diantara undang-undang tersebut ialah bahwa manusia diciptakan berikut kebebasan untuk memilih perbuatannya tanpa didorong ataupun dipaksa. Dengan kebebasan tersebut manusia dapat memilih antara petunjuk atau kesesatan maupun kebaikan atau 139
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 202.
60
kejahatan. Kesempurnaan ilmu Allah yang mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi bukan berarti paksaan atau belenggu kepada manusia untuk memilih pilihannya. Lantaran demikian Islam melarang manusia untuk menyimpang dari garis-garis perintah dalam akidah maupun agama dan melontarkan alasan mengenai penyimpangan tersebut dengan dalih takdir. Jika terjadi demikian maka menurut Syaltut seluruh kewajiban agama menjadi batal, demikian pula halnya dengan risalah para nabi, penurunan kitab-kitab, seruan mengajak kepada agama Allah berikuta segala kewajibannya, janji Allah berupa pahala untuk kebaikan, dan balasan siksa bagi pelaku kejahatan.140 Fazlur Rahman mengakui bahwa di akhir Zaman Pertengahan terdapat kecenderungan yang kuat dalam masyarakat Muslim dengan paham predeterminisme. Menurutnya predeterminisme ini tidak bersumber dari ajaran al-Quran, tetapi disebabkan faktor-faktor yang sedemikian banyak. Hal inilah yang mempengaruhi pandangan orang-orang Barat tentang Islam. Namun demikian Rahman mengatakan bahwa ajaran predeterminisme ini merupakan kesimpulan yang salah dan terlalu simplistis.141 Rahman mengatakan bahwa qadar itu sebenarnya berarti “memberi ukuran atau keterhinggaan”. Ide yang terkandung di dalamnya ialah bahwa hanya Allah saja yang mutlak tidak terbatas. Setiap yang selain-Nya memiliki “keterbatasan” dalam setiap potensi yang telah digariskan untuknya. Setiap potensi tersebut memiliki
140
Mahmud Syaltut, Islam, Akidah,dan Syari‘ah edisi revisi. Penerjemah: Abdurrahman Zain (Jakarta: Pustaka Amani, 1998), h. 78. 141 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur`an. Penerjemah: Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1996), cet. II, h. 35.
61
keterbatasan meskipun dalam konteks manusia jangkauan potensi-potensi itu sangat luas. Al-Quran tidak membicarakan akltualisasi potensi-potensi ini, melainkan hanya berbicara mengenai potensi-potensi tersebut. Setiap makhluk diciptakan dengan potensi-potensi dan hukum tingkah laku atau hidayah sehingga ia menuruti sebuah pola tertentu dan menjadi sebuah faktor di dalam kosmos. Manusia merupakan satusatunya kekecualian dalam hukum universal ini karena diantara semua makhluk hanya manusialah yang diberikan kebebasan untuk menaati ataupun mengingkari perintah-Nya.142 Dari beberapa pandangan dari zaman modern dan kontemporer tersebut dapat dilihat adanya kecenderungan untuk “mengembalikan” ajaran mengenai takdir kepada hukum alam dengan tingkatan yang lebih tinggi dari hukum yang hanya bersifat kosmos atau pergerakan yang nyata. Terdapat kecenderungan untuk menyadarkan umat Islam bahwa setiap manusia telah diberikan potensi yang sedemikian besarnya tanpa ada paksaan atau belenggu dalam perbuatan maupun keinginannya. Manusia memiliki keinginan yang bebas. Pada titik inilah—seperti apa yang dikatakan Harun Nasution—seakan-akan konsep Muktazilah tentang takdir menjadi solusi bagi keterbelakangan umat Islam secara garis besar. Dengan perkataan ini bukan berarti Muhammad Abduh dan yang lainnya merupakan pengikut Muktazilah, tetapi yang dapat disimpulkan ialah bahwa kaum Muktazilah telah memberikan suatu warisan yang berharga bagi perkembangan pemikiran dalam Islam itu sendiri.
142
Ibid., h. 35-36.
BAB IV TAFSIR FAKHR AL-DIN AL-RAZI TENTANG TAKDIR
A. Kajian Mengenai Takdir Menurut al-Razi Sebelum membicarakan pandangan al-Razi mengenai takdir ada baiknya dikemukakan di sini pengklasifikasian al-Razi terhadap pandangan para ulama sebelumnya yang memegang pendapat mengenai keterbatasan manusia dalam perbuatannya. Pertama, mereka yang meyakini bahwa terjadinya suatu perbuatan tergantung pada faktor penyebab (al-dâ‘i) yang ada bersamaan dengan kekuatan manusia pada saat melakukan perbuatan. Al-Razi memasukkan Abu al-Husain alBasri dalam kategori ini meskipun sebagai seorang Muktazilah Abu al-Husain mempertahankan pandangan yang menyatakan bahwa perbuatan manusia tergantung pada diri manusia tersebut. Hal ini dikarenakan Abu al-Husain mengakui peran faktor kausal dalam melakukan perbuatan. Posisi ini dipegang oleh mayoritas filosof.143 Kedua, mereka yang meyakini bahwa perbuatan merupakan hasil dari perpaduan antara kekuatan Tuhan dan manusia. Ini merupakan posisi Abu Ishaq alIsfara‟ini. Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa segala perbuatan, apakah baik atau buruk, merupakan perbuatan Tuhan. Namun demikian apa yang menjadikan perbuatan baik atau buruk ialah inisiatif manusia. Posisi ini disokong oleh Abu Bakr al-Baqillani.
143
Yasin Ceylan, Theology and Tafsir..., h. 156.
1 62
63
Keeempat, mereka yang memegang pendapat bahwa manusia tidak memiliki pengaruh apakah dalam melakukan atau merubah perbuatan. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan dan kemampuan manusia yang berkaitan dengan perbuatan tersebut. Al-Razi menyandarkan pandangan ini pada al-Asy‟ari. Di samping klasifikasi di atas al-Razi juga mengklasifikasi pandangan Muktazilah kepada dua bagian: pertama, yang mempertahankan bahwa pengetahuan mengenai kebebasan manusia ialah bersifat darûrî (tidak membutuhkan pemikiran). Kedua, mereka yang mempercayai bahwa pengetahuan tersebut bersifat demonstratif (membutuhkan pemikiran lebih lanjut).144 Al-Razi
memposisikan
dirinya
pada
golongan
pertama
dengan
mengemukakan bahwa bukan saja manusia ditentukan oleh berbagai faktor internal dan eksternal, melainkan lebih jauh perbuatan manusia sangat tergantung oleh faktorfaktor tersebut. Titik argumen al-Razi ialah pada faktor kunci yang disebutnya al-dâ‘i (faktor kausal atau penyebab) yang diberi penekanan yang besar terhadapnya sebagai agen utama dalam setiap perbuatan manusia. Faktor kausal (al-dâ‘i) ini tidak dapat terjadi tanpa kapasitas manusia. Manusia tidak dapat melakukan sesuatu tanpa keputusan dan keputusan tersebut dimotifasi oleh faktor kausal yang bukan berasal dari kapasitas manusia, melainkan berasal dari kekuatan ketuhanan. Konklusi dari pernyataan tersebut ialah bahwa dalam perbuatannya manusia ditentukan oleh faktorfaktor yang melebihi kekuatannya dan tidak memiliki kebebasan secara total.145
144 145
Ibid., h. 156-157. Ibid., h. 157-158.
64
Al-Razi mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia banyak hal yang berada di luar pengetahuan manusia atau sesuatu yang diabaikannya seperti pergerakan dalam tubuh yang tidak disadarinya. Hal ini menguatkan argumen al-Razi bahwa manusia bukanlah penulis sejati dari kebiasaannya. Ide bahwa manusia sebenar-benarnya independen dalam perbuatannya membawa pada asumsi bahwa ketika suatu perbuatan diinginkan oleh manusia tetapi tidak dikehendaki Tuhan, maka tidak akan ada pilihan. Bagaimanapun juga kehendak Tuhan akan mengalahkan kehendak manusia dan hal ini akan menyangkal kebebasan dari kehendak manusia.146 Sebagai seorang determinis al-Razi menghadapi banyak keberatan yang dikeluarkan oleh Muktazilah seperti pertanyaan jika manusia dideterminasi oleh faktor-faktor di luar kekuasaannya dan tidak memiliki kemauan bebas maka untuk apa kewajiban-kewajiban yang datang dari Tuhan? Mengapa orang beriman mesti mendapat kesenangan sebagai ganjaran dari perbuatannya dan orang kafir mesti mendapat balasan dari kekafirannya jika keimanan dan kekufuran telah ditentukan oleh Tuhan? Bagaimana kriteria janji dan ancaman pada alam akhirat? Apa peran Nabi dalam teori predestinasi? Untuk menghadapi berbagai kesulitan tersebut al-Razi mengambil jalan lain dalam teori al-Asy‟ari bahwa setiap kewajiban dapat dibebankan kepada manusia meskipun berada di luar kemampuannya (taklîf mâ lâ yutâq). Hal ini sama saja dengan dikatakan bahwa meskipun manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan menurut kemauan bebasnya, dan segala sesuatu yang dia lakukan telah ditentukan oleh kekuatan ketuhanan, ia tetap diperintahkan
146
Ibid., h. 158-159.
65
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Sebagai contoh, seseorang yang ditetapkan menjadi kafir dapat diajak untuk menjadi beriman.147 Muktazilah tidak menerima argumen ini dalam wilayah bahwa hal itu akan membawa kita untuk membenarkan kakafiran, dan segala bentuk kejahatan sebagai perbuatan Tuhan, dan membenarkan orang kafir dan yang berbuat kejahatan sebagai tak berdosa, di mana Tuhan di atas segala perbuatan mereka itu. Posisi ini membawa Muktazilah pada pandangan bahwa perbuatan tercela bukan berasal dari Tuhan dan bahwa Tuhan selalu mengajak kepada kebaikan (ashlah).148 Untuk membuktikan bahwa prinsip-prinsip pembebanan dari kewajibankewajiban yang tidak dapat dipenuhi adalah valid, al-Razi mengemukakan beberapa argumen lebih lanjut. Pertama, Tuhan, dengan pengetahuan-Nya yang tak terhingga, mengetahui bahwa orang kafir akan menjadi kafir. Namun demikian Tuhan tetap memintanya untuk beriman, satu hal yang tidak dapat dilakukannya. Jika suatu waktu dia menjadi beriman, maka berarti pengetahuan Tuhan keliru dan hal ini tidak dapat diterima. Kedua, dalam al-Quran Tuhan telah menetapkan bahwa Abu Lahab, yang semasa dengan Nabi, akan tidak beriman. Sekalipun demikian Abu Lahab tetap diminta oleh Nabi untuk percaya pada al-Quran, yang juga berisi tentang statemen bahwa ia (Abu Lahab) tidak akan beriman. Jadi, Abu Lahab diminta untuk percaya bahwa dia tidak akan beriman yang merupakan suatu kontradiksi. Ini membuktikan bahwa Abu Lahab dipaksa untuk melakukan suatu yang tidak mungkin. Ketiga, keyakinan seseorang bergantung pada rencana-rencana (atau keputusan) yang
147 148
Ibid., h. 159-160. Ibid., h. 160.
66
bergantung pada konsepsi. Konsepsi tidak muncul dalam pikiran pada saat menginginkan, dan bukan merupakan ciptaan manusia. Rencana bergantung pada konsepsi yang melebihi kekuatan manusia. Rencana juga merupakan suatu hal yang dideter-minasi. Jadi, keimanan ataupun kekufuran seseorang berada di luar kemampuannya. Keempat, bagaimana orang kafir diminta untuk meyakini suatu keyakinan yang benar dan pengetahuan tertentu, mengingat lawan dari keyakinan dan pengetahuan tersebut, seperti kekafiran dan kelalaian telah dimudahkan untuk mereka. Jika kekafiran dan kelalaian dicari kembali kepada sebab-sebab sebelumnya akan membawa kepada kebuntuan dari kemunduran yang tidak terbatas. Untuk memecahkan kesulitan tersebut harus diterima bahwa kelalaian dan kekafiran diciptakan oleh Tuhan.149 Al-Razi juga mengemukakan faktor-faktor lingkungan dan kepercayaan turuntemurun dalam menentukan pendirian manusia. Diantara faktor-faktor tersebut ialah adat dan tradisi, kepercayaan di mana ia terdidik, pendidikan, struktur psikologi, kekuatan mental, karakteristik biologis, dan sebagainya. Menghadapi pertanyaan meskipun seluruh faktor lingkungan ini mempengaruhi kebiasaan manusia, bisa saja dikatakan bahwa manusia dapat merasa memiliki kebebasan dan mampu melakukan keputusan dengan cara tertentu, al-Razi menjawab bahwa kondisi yang juga termasuk kondisi yang determinan tersebut adalah bahwa faktor penyebab (al-dâ‘i) tidak dapat dipertentangkan dengan hal demikian. Jika ada kesempatan merubah keadaaan bukan berarti situasi ini berasal dari kebebasan manusia. Hal ini dalam faktanya merupakan hasil dari beberapa faktor determinan lainnya yang tak bisa dihindari. Menurutnya ide 149
Ibid., h. 160-161.
67
yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas sebenar-benarnya dalam melakukan perbuatannya ialah ilusi belaka. Walaupun manusia merasa mampu melakukan sesuatu menurut yang diinginkan, tetapi dalam faktanya manusia tidak berkehendak untuk berkehendak (will to will).150 Ekspalanasi lain al-Razi untuk membuktikan sifat predeterminasi dari perbuatan manusia ialah bahwa al-Razi menyamakan perbuatan manusia dengan perbuatan ketuhanan. Seluruh kesatuan dan semua kemunculan dari kejadian membutuhkan faktor determinan. Dari premis ini al-Razi melanjutkan kepada konklusi bahwa paham Jabariah yang dinyatakan menolak eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan.151 Al-Razi mengemukakan solusi dalam permasalahan paradoksial dari determinasi absolut di satu sisi dan kewajiban di sisi lain dengan mengembalikan kepada ayat-ayat berikut yang merupakan fakta-fakta dalam al-Quran dalam ketidakmungkinan menjawab pertanyaan tersebut.
―Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.‖
―Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.‖
― Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.‖
150
Ibid.,h. 161-162. Ibid.
151
68
Poin penting lainnya dalam permasalahan takdir ialah apakah kemampuan manusia ada sebelum atau simultan dengan perbuatan manusia. Permasalahan ini dalam Muktazilah disebut sebagai konsep istitâ‘ah. Muktazilah mengatakan bahwa istitâ‘ah ada sebelum perbuatan dan di sisi lain al-Asy‟ari menyatakan bahwa istitâ‘ah secara simultan berada pada saat manusia melakukan perbuatan. Al-Razi berada pada posisi bahwa istitâ‘ah berkenaan dengan potensialitas dari tubuh untuk melakukan perbuatan ada sebelum perbuatan, tetapi sejauh pertimbangan dari perbuatan yang berkaitan dengan faktor kausal eksternal tersebut dibutuhkan, maka istitâ‘ah berada bersamaan dengan perbuatan.152 Al-Razi menolak teori „penerimaan‟ (kasab) dari al-Asy‟ari yang disebutnya sebagai “suatu kata untuk konsep yang tanpa makna”. Al-Razi juga menolak pendapat al-Baqillani yang mengatakan bahwa kemauan manusia menggolongkan perbuatan manusia sebagai dasar bagi ketaatan ataupun kedurhakaan kepada Tuhan. Dasar sanggahan al-Razi ialah bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan atau mencegah faktor kausal (al-dâ‘i) yang mendorong kepada perbuatan.153 Menurut al-Razi kasab ialah objek qadar yang diciptakan dengan qadar baru atau objek qadar yang mengganti qudrah dan penciptaan adalah objek qadar dengan qadar yang qadim, atau objek qadar yang tidak menggantikan qudrah. Dengan kata lain al-Razi menyebut kasab sebagai qudrah (kemampuan) dan iradah (kemauan) sebagai realitas baru. Iradah inilah yang menyebabkan seseorang menerima taklif
152 153
Ibid., h. 163. Ibid., h. 162.
69
atau tanggung jawab dan barang siapa yang tidak memiliki iradah maka ia akan terlepas dari tanggung jawab. Qudrah haditsah (kemampuan temporal) merupakan persoalan substansial (dzâtiah) yang ada pada seseorang sebelum dan pada saat melakukan perbuatan. Al-Razi tidak menolak pendapat yang mengatakan bahwa qudrah (kemampuan) bisa diterapkan pada dua hal yang berlawanan. Penekanan alRazi ialah bahwa qudrah haditsah (kemampuan temporal) semata tidak mencukupi untuk menciptakan, tetapi harus diikuti oleh kondisi dan syarat tertentu, yang tanpa itu perbuatan tidak akan terjadi.154 Dari penekanan al-Razi terhadap faktor-faktor di luar kekuatan manusia inilah Yassin Ceylan menyebut al-Razi sebagai seorang determinis.155 Al-Razi sangat realistis dalam eksplanasinya terhadap berbagai macam kondisi yang berpengaruh terhadap keyakinan dan tingkah laku seseorang. Komentarnya terhadap sifat-sifat dari bukti-bukti dogmatis dan aturan-aturannya merepre-sentasikan kedalaman dari garis pemikirannya. Hal yang seperti ini akan sulit ditemukan pada para teolog setelahnya. Secara persuasif fakta-fakta ini menunjukkan bahwa al-Razi merupakan seorang free thinker sejati dalam kerangka dari nilai-nilai yang tersedia baginya.156 Terlihat dari penafsiran dan berbagai tulisan lainnya al-Razi memainkan perannya sebagai teolog dan filosof. Al-Razi membela akal melebihi Muktazilah. Dalam setiap tulisannya al-
154
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 191-192. Paham determinisme menyatakan bahwa pilihan manusia dikuasai oleh kondisi sebelumnya. Seluruh alam, termasuk manusia, merupakan rangkaian yang tak terputuskan dari hukum sebab akibat. 156 Yasin Ceylan, Theology and Tafsir..., h. 165. 155
70
Razi selalu ingin memadukan antara akal dan naql, karena baginya “mengkritik akal untuk mengoreksi naql mengkonsekuensikan mengkritik akal”.157
B. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 6
―Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.‖
Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini menjadi dalil bagi Ahlussunnah mengenai konsep bahwa manusia dapat dibebani dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya (taklîf ma la yutâq). Ini merupakan salah satu dari teori Asy‟ariah. Ayat ini merupakan pemberitaan dari Allah bahwa seseorang telah ditentukan untuk tidak beriman. Jika seandainya orang yang telah ditentukan tidak beriman menjadi beriman, maka akan terjadi perubahan dalam ilmu Allah dan kesalahan dalam pemberitaan tersebut. Perubahan dan kesalahan tersebut merupakan hal yang mustahil bagi Allah. Maka orang yang telah ditentukan tidak beriman tidak mungkin akan menjadi beriman. Pembebanan dalam hal ini merupakan pembebanan (taklîf) dengan sesuatu yang mustahil. Dengan kata lain orang kafir dituntut melakukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukannya dikarenakan mereka telah ditentukan tidak beriman. Hal ini berkaitan dengan ilmu Allah yang mustahil mengalami perubahan. Al-Razi mengatakan jika ilmu Allah mengalami perubahan maka sama saja pengetahuan itu akan berubah menjadi ketidaktahuan atau kebodohan. Keimanan pada seseorang mustahil terjadi jika pengetahuan Allah menetapkannya sebagai kafir. Ilmu Allah 157
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 191,
71
merupakan hal yang pokok. Segala kejadian mesti sesuai dengan pengetahuan Allah yang azali. Begitu pula dengan keimanan atau kekufuran seseorang. Semua terjadi berdasarkan ilmu Allah, sebagaimana yang terjadi pada Abu Lahab.158 Al-Razi mengatakan bahwa menurut Muktazilah ayat ini mengandung pengertian bahwa ilmu (pengetahuan) Allah dan pemberitaan Allah tentang kekafiran seseorang tidak boleh menghalangi seseorang dari keimanan. Muktazilah berargumen bahwa al-Quran dipenuhi dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah tidak menghalangi seseorang untuk beriman. Merupakan kelemahan terbesar jika Allah menghalangi seseorang untuk beriman. Diutusnya para rasul sebagai pemberi peringatan dan ancaman merupakan hal yang menghalangi hujjah (dalih) orang-orang kafir atas kekafiran mereka. Terdapat ayat-ayat yang mengatakan bahwa orang-orang kafir berdalih bahwa hati mereka telah tertutup dan jika hal ini benar—bahwa ilmu dan pemberitaan Allah menghalangi seseorang untuk beriman—maka dalih orangorang kafir itu menjadi benar, padahal tidak demikian. Diturunkannya ayat-ayat alQuran merupakan hujjah bagi Allah dan rasul-Nya, bukan sebaliknya menjadi dalih bagi orang-orang kafir atas kekafirannya. Menurut mereka ayat ini bertujuan untuk membuat hati orang-orang kafir menjadi sedih dan menyesal.159 Seandainya ilmu Allah tentang ketiadaan keimanan pada seseorang menjadi penghalang untuk seseorang menjadi beriman maka sama saja Allah memerintahkan orang kafir untuk beriman, tetapi mereka tidak akan beriman. Muktazilah ingin menjelaskan bahwa keimanan seseorang merupakan sesuatu yang masih dapat
158 159
Fakhr al-Din al-Razi, Mafâtih al-Ghaib Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 47. Ibid., h. 48-49.
72
diubah, meskipun Allah mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan-Nya yang bersifat azali. Tidak mungkin Tuhan memerintah tetapi Dia pula yang menutup hati manusia untuk menjalankan perintah-Nya. Iman merupakan sesuatu yang tidak tertutup bagi siapa saja yang berkehendak kepadanya. Muktazilah dengan argumentasi tersebut ingin me-Mahasucikan Allah dari segala sifat kelemahan. Allah tidak membebani manusia melebihi kemampuannya.160 Mengenai ilmu Allah Muktazilah terpecah menjadi dua pendapat. Pertama, pendapat Abu Ali, Abu Hasyim, dan al-Qadhi Abd al-Jabbar yang memilih diam diantara pendapat yang mengatakan terjadinya perubahan pada ilmu Allah atau tidak. Kedua, pendapat al-Ka‟bi dan Abu al-Hushain al-Bashri yang mengatakan bahwa ilmu Allah mengikuti apa yang diketahui. Jika seseorang beriman maka berarti keimanan itu yang merupakan ilmu Allah. Sebaliknya jika seseorang menjadi kufur maka berarti kekufuran itulah yang merupakan ilmu Allah sebagai ganti dari keimanan. Hal ini berarti dapat terjadi perubahan pada ilmu Allah sebagai pengganti dari ilmu lainnya—antara keimanan dan kekufuran.161 Bertentangan dengan pendapat Muktazilah tersebut Jabariah mengatakan bahwa ilmu Allah tentang ketiadaan iman pada diri seseorang akan menjadi penghalang baginya untuk beriman. Demikian juga hal ini bertujuan untuk menyucikan Allah bahwa ilmu-Nya bersifat azali dan tidak berubah. Di samping kedua pendapat tersebut ada juga pendapat yang berbeda dari Hisyam bin al-Hakam bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu sampai sesuatu itu terjadi. Menanggapi
160 161
Ibid., h. 49-50. Ibid., h. 50.
73
berbagai pendapat di atas al-Razi mengatakan bahwa pendapat Muktazilah yang mengatakan bahwa ilmu Allah dapat berubah adalah tidak benar. Menurut al-Razi ilmu Allah tentang keimanan atau kekufuran seseorang akan terjadi sesuai dengan ilmu tersebut sejak azali. Apa yang ada pada pengetahuan Allah itu terjadi dan hadir pada saat ini.162
C. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 26
―Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,‖
Persoalan yang menjadi pokok dalam ayat ini ialah pada kalimat “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk, dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” Al-Razi mengatakan bahwa ijmâ‘ umat menegaskan ayat ini tidak boleh diartikan secara harfiah. Allah tidak mengajak kepada kekufuran, melainkan membencinya bahkan melarang kepada kekufuran serta mengancam balasan akan kekufuran. Jabariah dan Muktazilah masing-masing menyikapi hal ini. Jabariah mengatakan bahwa Allah-lah yang menciptakan kesesatan dan kekufuran pada orang kafir, karena hakikat pengertian secara bahasa menunjukkan demikian. 162
Ibid., h. 50-52.
74
Kata “menyesatkan” dalam hal ini berarti menjadikan sesuatu sesat sebagaimana digunakan dalam pengertian memasukkan atau mengeluarkan yang berarti menjadikan sesuatu itu masuk atau keluar. Penafsiran seperti ini menurut Muktazilah tidak dibolehkan baik secara bahasa ataupun penjelasan secara aqliah. Menurut Muktazilah tidak sah secara bahasa jika dikatakan bahwa seseorang menyesatkan orang lain secara paksa bahwa dia yang membuatnya sesat. Tetapi yang lebih tepat ialah bahwa orang itu menghalangi dari petunjuk sehingga membuat orang lain itu sesat. Jadi menurut Muktazilah dalam ayat ini Allah tidak menyesatkan seseorang, melainkan menghalanginya dari petunjuk sehingga orang itu menjadi sesat atau kafir. Di dalam al-Quran Allah menerangkan bahwa Firaun dan iblis telah menyesatkan orang-orang, akan tetapi mereka bukanlah pencipta dari kesesatan atau kekafiran dari orang-orang yang menerima ajakan mereka. Maksud Muktazilah di sini ialah bahwa kata “menyesatkan” tidak dapat diartikan dengan menjadikan sesat, melainkan memalingkan seseorang dari petunjuk.163 Muktazilah melanjutkan penjelasan secara akal bahwa sekiranya Allah menciptakan kesesatan pada hamba-Nya kemudian memerintahkan mereka untuk beriman sama saja Allah membebani mereka dengan keduanya, dan itu merupakan kebodohan dan kezaliman. Allah sama sekali tidak zalim terhadap hambanya. Jika Allah telah menciptakan kesesatan pada hamba-Nya, maka diturunkannya kitab-kitab dan para rasul menjadi hal yang sia-sia. Kekafiran seseorang tidak lain disebabkan karena mereka sendiri yang mengingkari syariat yang dibawa oleh para rasul tersebut,
163
Ibid., h. 151-152.
75
sebagaimana pada akhir ayat dikatakan bahwa tidak ada yang disesatkan kecuali mereka yang fasik. Dalam ayat-ayat lainnya justru Allah mengajarkan manusia untuk berlindung kepada-Nya dari iblis dan seterunya yang mengajak kepada kesesatan. Pendapat Jabariah di atas menurut Muktazilah bertentangan dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak menghalangi umat untuk beriman jika datang kepada mereka hidayah. Jika Allah menyesatkan hamba-Nya sebagaimana iblis mengajak kepada kesesatan maka Allah akan mendapatkan kebencian serupa, sedangkan yang terjadi adalah tidak demikian.164 Argumen lain yang dikemukakan Muktazilah ialah bahwa apabila seseorang telah melakukan kesesatan yang disebabkan oleh suatu faktor maka akan dikatakan bahwa faktor itulah yang menyebabkannya sesat. Dalam ayat ini Allah menyandarkan kesesatan dan petunjuk dengan zat-Nya setelah menyandarkan keduanya karena perbuatan mereka masing-masing. Padahal penyandaran terhadap Allah di sini ditujukan sebagai ujian. Dengan kata lain mereka menjadi sesat atau mendapat petunjuk disebabkan perbuatan mereka sendiri dengan pengujian terhadap suatu perumpamaan—dalam hal ini penciptaan nyamuk—apakah mereka menjadi sesat atau mendapat petunjuk. Penyandaran seperti ini juga berlaku pada kebiasaan sebagaimana misalnya jika seseorang mengatakan bahwa ia sakit karena memakan sesuatu. Makna dari kalimat ini bahwa sebenarnya dialah yang menjadi penyebab sakitnya, bukan makanan. Dengan makna seperti inilah penyandaran kepada Allah
164
Ibid., h. 152.
76
menjadi sah bahwa orang-orang kafir menjadi sesat dikarenakan ayat-ayat Allah yang berupa ujian sebagaimana terdapat dalam ayat ini.165 Muktazilah berpendapat bahwa manusia sendiri yang berbuat kesesatan atas dirinya. Dalam kasus ayat ini mesti dilihat kalimat selanjutnya yang masih berkaitan dan memiliki peran yang signifikan. Dalam kalimat selanjutnya dikatakan bahwa Allah sama sekali tidak menyesatkan dengan perumpamaan tersebut kecuali mereka yang fasik. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kefasikan merekalah yang membuat mereka menjadi sesat.166 Zamakhsyari dalam tafsirnya mengatakan bahwa makna “menyesatkan” dan “memberi petunjuk” yang digunakan dalam ayat ini ialah sebagaimana makna ayat ―maka sebagian dari kamu itu beriman dan sebagian dari kamu itu kafir‖. Maksudnya ialah bahwa Allah tidak akan membuat seseorang menjadi sesat kecuali orang tersebut mengetahui bahwa ia tidak beriman dan Allah tidak akan memberi petuntuk kecuali kepada orang yang mengetahui bahwa dia beriman. Penyesatan di sini bukan berarti membuat sesat tetapi bermakna memalingkan dari petunjuk. Sedangkan hidayah bermakna memberikan petunjuk dan kekuatan untuk menuju kepadanya. Ayat ini menurut Zamakhsyari merupakan sindiran yang ditujukan kepada orang kafir atas kekafiran mereka.167 Al-Razi tidak sependapat dengan Muktazilah dengan mengemukakan konsepnya tentang al-dâ‘i (faktor kausal). Bahwa ilmu Allah yang tidak berubah
165
Ibid., h. 154-155. Ibid., h. 159. 167 Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‗an Haqâiq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fî wujûal-Ta‘wîl Juz II (Taheran: Intisyarat Aftab, tt), h. 367. 166
77
tidak akan menjadikan suatu yang berlawanan seperti ilmu dan kebodohan atau petunjuk dan kesesatan berlaku kecuali dengan apa yang telah ditetapkan pada pengetahuan Allah sejak azali. Perbuatan seseorang bergantung pada konsep yang telah ada pada ilmu Allah sehingga manusia tidak berkuasa atas kehendak yang berada di luar kemampuannya. Seseorang tidak akan mencari sesuatu yang tidak terbersit dalam pikirannya. Dalam hal kesesatan dan petunjuk seseorang tidak akan mencapai satu diantara keduanya tanpa didahului oleh faktor kausal tersebut. Jadi alRazi mengatakan bahwa kesesatan atau petunjuk kembali kepada penyebab terakhir dari segala sebab, yakni Allah Swt.168 Selanjutnya ayat ini juga berhubungan dengan konsep petunjuk (hudâ). Adapun hidayah yang secara etimologi berarti petunjuk menghasilkan dua kemungkinan, yakni apakah seseorang akan mengikutinya atau menginkarinya. Muktazilah mengatakan bahwa hidayah telah datang baik kepada orang Mukmin maupun kafir, tetapi terdapat perbedaan terhadap keduanya dalam hal penerimaan. Orang Mukmin menerima hidayah tersebut yang dapat saja berupa bisikan hati maupun apa yang tertera dalam al-Quran yang berisi petunjuk dan ajakan untuk mengikutinya. Sedangkan orang-orang kafir memilih untuk tidak mengikuti petunjuk tersebut, bahkan mereka menolak dan menginkarinya. Hidayah dapat juga didefinisikan sebagai ajakan, apakah ajakan kepada kesesatan atau petunjuk itu sendiri. Di samping itu hidayah bisa dikatakan sebagai taufik dari Allah yang mengajak kepada keimanan dan diberikan kepada orang-orang yang beriman sebagai ganjaran atas keimanan mereka dan pertolongan Allah sehingga menghasilkan 168
Fakhr al-Din al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, h. 156-157.
78
bertambahnya keimanan tersebut. Hidayah ini tidak diberikan kepada orang-orang yang berbuat zalim dikarenakan terlebih dahulu telah datang kepada mereka penjelasan melalui ayat-ayat al-Quran.169 Jabariah memiliki definisi yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan Muktazilah. Menurut mereka yang dimaksud hidayah ialah menciptakan petunjuk dan ilmu (pengetahuan). Kaum Qadariah mengkritik pendapat tersebut dengan argumen bahwa secara kaidah bahasa tidak sah jika perbuatan yang dilakukan dengan ketidaksenangan dan keterpaksaan merupakan perbuatan yang diberi hidayah. Jika terjadi demikian maka batallah segala perintah dan larangan serta ganjaran dan balasan. Qadariah mengatakan bahwa hidayah bukanlah ciptaan Allah, melainkan perbuatan manusia170 Al-Razi kemudian mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan hidayah, tetapi hidayah ialah merupakan perbuatan manusia. Pertama alRazi berargumen bahwa terjadinya pergerakan (perbuatan) ini adakalanya dengan penciptaan Allah dan adakalanya tidak. Jika merupakan penciptaan Allah maka ketika Allah menciptakannya mustahil bagi seorang hamba untuk menolaknya. Jika Allah tidak menciptakan perbuatan itu maka mustahil bagi seseorang untuk melakukannya. Sebaliknya jika Allah telah menciptakan suatu perbuatan maka mustahil bagi manusia untuk menolaknya atau tidak melakukan perbuatan tersebut. Al-Razi mengatakan bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam permasalahan ini. Jika dikatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan seseorang melainkan seseorang menciptakan
169 170
Ibid. Ibid., h. 160.
79
perbuatannya sendiri, maka yang demikian itu merupakan pendapat kaum Muktazilah yang dibantah al-Razi dalam argumen berikutnya.171 Argumen kedua al-Razi jika dikatakan bahwa penciptaan itu bagi Allah dan perbuatan itu bagi manusia, maka hal ini tidak akan keluar dari salah satu diantara tiga perkara. Pertama, adakalanya Allah menciptakan atau tidak menciptakan suatu perbuatan kemudian seseorang melakukan perbuatan tersebut. Kedua, seseorang melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan kemudian Allah menciptakan perbuatan tersebut. Ketiga, kedua hal tersebut terjadi secara bersamaan. Jika yang terjadi ialah perkara pertama, maka keadaan makhluk itu terpaksa (majbûr) dan inilah yang menjadi kelaziman; jika yang terjadi perkara kedua, maka Allah terpaksa (majbûr) terhadap makhluk-Nya; dan jika terjadi bersamaan maka suatu perbuatan akan terjadi apabila telah terjadi kesepakatan antara Allah dan makhluk-Nya dan kesepakatan itu merupakan hal yang tidak diketahui, maka kesepakatan itu tidak akan terjadi. Dengan argumen ini al-Razi mengatakan bahwa pencipta dari perbuatan manusia ialah Allah, apakah dengan perantara ataupun tidak.172 Konsep al-Razi tentang hidayah ini berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh al-Zamakhsyari. Menurut al-Zamakhsyari hidayah merupakan karunia yang diberikan Allah disebabkan oleh kesungguhan manusia dalam menempuh jalan Allah dan tunduk kepada hukum-hukum-Nya. Maka dikarenakan kesungguhan itulah Allah membimbing dan menolong mereka menuju kepada hidayah tersebut. Jika manusia memilih untuk berbuat kefasikan maka niscaya ia tidak akan mendapat pertolongan
171 172
Ibid. Ibid., h. 160-161.
80
dan bimbingan tersebut, melainkan akan menjadi sesat dikarenakan perbuatan mereka sendiri.173 Penafsiran al-Zamakhsyari tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Quraish Shihab bahwa kefasikan merupakan suatu sifat yang membuat manusia keluar dan menjauh dari jalan kebenaran dan keadilan. Kefasikan yang dilakukan manusia ialah atas dasar kemauannya sendiri yang menyebabkannya keluar dari jalan hidayah. Atau dapat juga bermakna dikarenakan mereka berbuat fasik maka mereka akan mudah untuk dikeluarkan dari jalan kebenaran yang sebelumnya melekat pada diri mereka.174 D. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-Kahfi Ayat 29
‖Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.‖
Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil yang digunakan Muktazilah mengenai perkara keimanan dan kekufuran, serta ketaatan dan kemaksiatan. Menurut Muktazilah semua hal ini bergantung kepada seseorang dan ikhtiarnya. Barangsiapa mengingkari pendapat ini maka berarti menyalahi kejelasan
173
Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf…., h. 475. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. Kesepuluh, h. 113. 174
81
lafal dalam al-Quran. Secara jelas ayat mengatakan bahwa keimanan atau kekufuran seseorang bergantung pada kehendak akan keimanan atau kekufuran tersebut.175 AlZamakhsyari mengatakan bahwa kebenaran itu telah datang dan tidak akan memperoleh kebenaran melainkan dengan mengusahakan agar tercapai kebenaran tersebut. Sedangkan keinginan manusia berada pada satu diantara dua pilihan, apakah jalan kebenaran atau jalan kehancuran. Ayat ini berisi perintah dan pilihan, maka faidah dari susunan tersebut ialah bahwa manusia diberikan kebebasan dalam hal memilih antara dua jalan dan manusia akan meraih sesuai apa yang dipilih dan diinginkannya.176 Al-Razi mengatakan bahwa ayat ini juga secara jelas menguatkan pendapatnya bahwa terjadinya keimanan dan kekufuran bergantung kepada adanya kehendak keimanan dan kekufuran tersebut. Secara akal juga mustahil jika keimanan dan kekufuran itu terjadi tanpa adanya kehendak dan ikhtiar. Selanjutnya Al-Razi menjelaskan bahwa kehendak dan ikhtiar itu akan terjadi dengan syarat jika didahului oleh kehendak dan ikhtiar lain. Dengan kata lain suatu perbuatan tidak akan terjadi tanpa adanya faktor-faktor yang berada di luar manusia. Keadaan faktor-faktor lain itu juga mesti didahului oleh faktor-faktor lain yang mendahuluinya sampai tak terbatas. Keadaan sampai tak terbatas itu merupakan hal yang mustahil dan mesti diakhiri kepada kehendak dan ikhtiar yang diciptakan Allah. Kehendak dan ikhtiar ini diciptakan Allah secara serta merta (darûri) yang mewajibkan terjadinya suatu perbuatan bagi manusia. Manusia tidak akan menghendaki suatu perbuatan jika dalam 175 176
Fakhr al-Din al-Razi, Mafâtih al-Ghaib Juz 21, h. 119-120. Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf…., h. 482.
82
hatinya tidak terjadi kehendak yang ditetapkan. Jika terjadi kehendak yang telah ditetapkan tersebut maka dikehendaki atau tidak oleh manusia perbuatan tersebut wajib terjadi. Penalaran ini dimaksudkan al-Razi untuk mengatakan bahwa adanya kehendak manusia tidak seiring dengan terjadinya perbuatan dan terjadinya suatu perbuatan tidak mesti seiring dengan adanya kehendak manusia. Maka dalam kaitan ini manusia terpaksa berdasarkan gambaran yang telah ditentukan Allah.177 Selanjutnya al-Razi menguatkan pendapatnya dengan mengutip penjelasan alGhazali dalam kitab Ihyâ` Ulûmuddîn yang membantah pendapat bahwa terjadinya perbuatan atau tidak tergantung kepada manusia. Manusia tidak bisa menghasilkan kehendak dalam dirinya kecuali Allah menciptakan kehendak dalam dirinya. Sedangkan jika Allah menghendaki sesuatu maka wajiblah terjadinya perbuatan tersebut. Maka terjadinya kehendak dalam hati merupakan suatu keharusan dan terjadinya suatu perbuatan sebagai hasil kehendak itu juga merupakan suatu keharusan. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.178 E. Penafsiran al-Razi Terhadap Surat al-A’raf Ayat 178
―Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.‖
Quraish Shihab menafsirkan ayat ini bahwa barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah dikarenakan kecenderungan hatinya untuk memperoleh petunjuk-Nya, maka niscaya dialah yang mendapat petunjuk, yakni bimbingan untuk mengetahui makna 177 178
Fakhr al-Din al-Razi, Mafâtih al-Ghaib Juz 21, h. 119-120. Ibid.
83
ayat-ayat itu dan memperoleh kemampuan untuk mengamalkan tuntutan-tuntutan Allah. Jika seseorang telah mencapai keadaan ini maka tidak akan ada seorang pun yang dapat membuatnya menjadi sesat. Sebaliknya barang siapa yang memiliki hati yang bejat dan enggan menerima petunjuk Allah, maka dialah orang yang disesatkanNya sesuai dengan keinginan hatinya sendiri. Orang ini telah sesat dan dia tidak akan menemukan jalan yang benar. Jika demikian keadaannya, maka tidak akan ada seorang pun yang mampu membimbingnya untuk mengambil langkah-langkah positif menuju jalan kebenaran.179 Menurut al-Razi ayat ini menunjukkan bahwa hidayah dan kesesatan berasal dari Allah. Sedangkan mengenai ayat ini Muktazilah mengemukakan beberapa penafsiran. Pertama, apa yang dikatakan al-Jubba‟i dan al-Qadhi bahwa maksud ayat ini ialah orang yang mendapat petunjuk dari Allah menuju surga dan ganjaran di akhirat maka ia diberi petunjuk di dunia dengan jalan yang benar sebagaimana dituntut. Allah menjelaskan bahwa tidaklah seseorang diberi petunjuk kepada ganjaran di akhirat kecuali dengan jalan ini, yakni memenuhi tuntutan jalan yang benar di dunia. Sedangkan orang-orang yang Allah sesatkan dari jalan surga maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Kedua, sebagian Muktazilah mengatakan bahwa ada kalimat yang dibuang pada ayat ini, asalnya ialah “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah dan dia menerima petunjuk tersebut maka mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk dan barangsiapa disesatkan dengan cara mereka menolak petunjuk itu maka mereka itulah orang-orang yang rugi.‖ Ketiga, bahwa maksud orang yang diberi petunjuk ialah barangsiapa yang menyifati Allah 179
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. VIII, h. 27-28.
84
dengan pemberi petunjuk (al-Hâdi), maka orang itulah yang diberi petunjuk. Yang demikian itu berlaku seperti halnya pujian. Pujian Allah tidak terjadi kecuali kepada yang berhak disifati demikian. Adapun yang dimaksud mereka yang disesatkan ialah mereka yang menyifati Allah dengan keadaannya menyesatkan, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Keempat, bahwa orang yang diberi petunjuk dengan taufik dan petunjuk-Nya dan bertambahnya petunjuk itulah yang dimaksud orang yang mendapat petunjuk. Barangsiapa disesatkan dari jalan yang demikian ialah disebabkan buruknya ikhtiar. Maka orang yang buruk ikhtiarnya keluar dari jalan petunjuk itu dan mereka itulah orang-orang yang rugi.180 Selanjutnya berbeda dengan Muktazilah al-Razi mengatakan bahwa dalil-dalil aqliah secara pasti menunjukkan bahwa hidayah dan kesesatan tidak terjadi kecuali berasal dari Allah. Al-Razi mengemukakan tiga hal yang menjadi argumennya. Pertama, bahwa suatu perbuatan tidak akan terjadi kecuali dengan adanya faktor kausal (al-dâ‘i) dan faktor kausal tersebut tidak ada kecuali berasal dari Allah. Maka setiap perbuatan tidak terjadi kecuali berasal dari Allah. Kedua, bahwa sesuatu yang berlainan dengan pengetahuan Allah terhalang akan terjadi. Maka barangsiapa yang berdasarkan ilmu Allah akan beriman tidak akan ditakdirkan kepada kekufuran, begitu pula sebaliknya. Ketiga, jika setiap orang bermaksud kepada keimanan sedangkan yang terjadi ialah kekufuran maka dapat diambil kesimpulan bahwa ia bukan termasuk orang yang ditakdirkan demikian, melainkan sebaliknya.181
180 181
Fakhr al-Din al-Razi, Mafâtih al-Ghaib Juz 15, h. 62-63. Ibid.
85
F. Analisis Dari eksplanasi di atas terdapat beberapa tema pokok penting yang berkaitan dengan problematika takdir. Diantara pembahasan tersebut ialah mengenai ilmu Allah, hidayah dan kesesatan, kehendak dan ikhtiar, dan terakhir mengenai faktor kausal (al-dâ‘i). Al-Razi meletakkan ilmu Allah pada kedudukan yang paling pokok dalam segala sesuatu yang terjadi di alam raya, termasuk pada diri manusia. Berangkat dari pernyataan bahwa ilmu Allah itu qadîm dan mustahil mengalami perubahan, maka segala sesuatu yang terjadi tidak akan pernah keluar atau meleset sedikit pun dari ilmu Allah tersebut. Jika demikian maka segala kejadian baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang, termasuk dalam hal ini perbuatan manusia telah ditentukan. Hal ini dikarenakan bahwa semua itu telah diputuskan oleh pengetahuan Allah yang sempurna dan bersifat azali. Manusia tidak mungkin melakukan sesuatu kecuali sesuai ilmu Allah tersebut, sebab jika yang terjadi tidak sesuai dengan ilmu Allah maka pengetahuan itu menjadi kebodohan dan ketidaktahuan. Penafsiran al-Razi lebih bertentangan dengan pendapat Muktazilah yang mengatakan bahwa ilmu Allah dapat mengalami perubahan. Muktazilah melihat perbuatan manusia sebagai hal yang pokok. Tidak mungkin Allah memerintahkan seseorang kepada sesuatu dan Dia juga yang menghalanginya untuk melakukan hal tersebut. Jika terjadi demikian maka Allah ialah zalim dan itu merupakan hal yang mustahil. Allah telah memberikan kebebasan memilih bagi manusia untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, apakah ia akan memilih taat atau maksiat, beriman atau kafir. Apa yang terjadi itulah sebenarnya ilmu Allah. Jadi menurut Muktazilah ilmu Allah tidak membelenggu, tetapi mengikuti apa yang terjadi.
86
Nampaknya terdapat perbedaan sudut pandang antara al-Razi dan pendapat Muktazilah. Jika Muktazilah melihat dari sisi keadilan Tuhan yang tidak mungkin berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka al-Razi melihat dari sisi kesempurnaan dari pengetahuan Tuhan yang bersifat azali, menyeluruh, dan mustahil mengalami perubahan. Pandangan al-Razi mengenai ilmu Allah ini berdampak pada takdir yang terjadi pada manusia. Jika ilmu Allah bersifat qadîm dan tidak bisa mengalami perubahan, maka segala sesuatu bersifat telah diputuskan dan ditentukan. Manusia tidak akan bisa terlepas dari keputusan tersebut. Dengan kata lain manusia menjadi terpaksa dan tidak bisa terlepas dari segala hal yang telah diketahui dan ditentukan sejak azali. Apa yang terjadi pada manusia, baik beriman atau kafir, ataupun setiap kejadian dalam hidupnya pada dasarnya telah ditentukan oleh ilmu Allah tersebut. Pembahasan
selanjutnya
mengenai
pertanyaan
apakah
Allah
telah
menciptakan kesesatan dan petunjuk bagi manusia. Jabariah dengan menyandarkan pada teks ayat mengatakan bahwa Allah telah menciptakan kesesatan dan petunjuk bagi siapa yang telah ditentukan menerimanya. Sedangkan Muktazilah mengartikan menyesatkan dengan memalingkan, bukan menciptakan dan menentukan. Menurut Muktazilah manusia menjadi sesat ataupun mendapat petunjuk berdasarkan pilihan dan perbuatannya sendiri, sedangkan makna ayat menunjukkan bahwa yang membuat manusia sesat ialah dikarenakan manusia tidak menerima petunjuk yang terdapat dalam ayat-ayat Allah baik qauliah maupun kauniah. Dalam pada itu al-Razi mengatakan bahwa manusia menjadi sesat atau mendapat petunjuk tidak bisa terlepas dari berbagai faktor yang melingkupinya. Faktor-faktor tersebut bisa saja berupa
87
faktor dari dalam diri manusia ataupun faktor yang berada di luar manusia seperti keadaan lingkungan, keluarga, keturunan, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut tidak mungkin terus bersinambung hingga tak terbatas. Jadi faktor yang berpengaruh tersebut mesti diakhiri pada penyebab dari segala sebab, yakni Allah Swt. Pandangan al-Razi tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan al-Razi pada paham determinis. Manusia tidak dapat dikatakan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ia selalu terpengaruh dan bergantung pada faktor-faktor yang berada di luarnya. Inilah konsep yang disebut al-Razi dengan al-da‘i (faktor kausal). Dengan adanya faktor kausal tersebut setiap perbuatan manusia maupun keimanan dan kekufuran manusia bergantung pada faktor kausal tersebut. Faktor kausal tersebut berakhir pada penyebab segala sebab, yakni Allah. Jadi semua perbuatan manusia bergantung pada Allah. Hal ini dapat dikaitkan dengan tema kehendak dan ikhtiar, apakah manusia memiliki kemauan bebas atau manusia merupakan makhluk yang serba ditentukan. Menurut al-Razi kehendak dan ikhtiar mesti didahului oleh kehendak dan ikhtiar lain yang mendahuluinya. Jika seseorang menghendaki untuk melakukan sesuatu maka kehendak itu tidak serta merta datang begitu saja, melainkan ada suatu hal yang mendahuluinya. Al-Razi mengatakan bahwa Allah-lah yang menciptakan kehendak pada manusia sehingga timbul dalam diri manusia kehendak untuk melakukan sesuatu. Begitu juga kehendak untuk keimanan dan kekufuran. Allah telah menciptakan kehendak tersebut sehingga seseorang menjadi beriman atau kafir. Konsep al-Razi ialah jika Allah telah berkehendak terhadap manusia maka mustahil manusia menolak kehendak tersebut. Perbuatan manusia tidak mesti sesuai dengan apa yang dikehendakinya, melainkan mesti sesuai dengan apa yang dikehendaki
88
Allah. Dengan kata lain manusia tidak bisa menghasilkan kehendak dalam dirinya kecuali Allah menciptakan kehendak dalam dirinya. Setiap perbuatan yang sejatinya membutuhkan kehendak tidak terjadi kecuali Allah menghendakinya. Tema terakhir dalam pembahasan ini ialah mengenai perbuatan manusia. AlRazi menolak pendapat bahwa manusia merupakan pencipta perbuatannya. Perbuatan manusia tidak akan terjadi jika Allah tidak menciptakannya. Sebaliknya jika Allah telah menciptakan perbuatan bagi manusia maka mustahil manusia menolaknya. Ini merupakan penolakannya yang keras terhadap pendapat Muktazilah yang mengatakan bahwa manusia ialah pencipta perbuatannya sendiri. Dalam kaitan antara penciptaan dan perbuatan ini al-Razi merumuskan bahwa problematika ini tidak dapat keluar dari tiga kemungkinan, yakni perbuatan tersebut didahului penciptaan Allah, didahului perbuatan manusia, atau terjadi bersamaan. Menurut al-Razi jika Allah telah menciptakan suatu perbuatan maka manusia mesti melakukan perbuatan tersebut. Jika dikatakan bahwa manusia telah melakukan perbuatan dan Allah menciptakan perbuatan berdasarkan perbuatan menusia tersebut maka dalam hal ini berarti Allah terpaksa terhadap perbuatan manusia. Sedangkan pada kemungkinan terakhir suatu perbuatan akan terjadi jika telah terjadi kesepakatan antara Allah dan manusia. Kesepakatan ini menurut al-Razi ialah sesuatu yang tidak diketahui dan mustahil. Jika kemungkinan ketiga mustahil dan kemungkinan kedua juga tidak mungkin, maka hal yang relevan ialah kemungkinan pertama. Jadi menurut al-Razi perbuatan manusia akan terjadi jika telah didahului oleh penciptaan Allah. Dari eksplanasi ini dapat dilihat adanya dua faktor kunci dalam memahami pandangan al-Razi mengenai takdir, yakni ilmu Allah dan faktor kausal (al-dâ‘i).
89
Keadaan ilmu Allah yang bersifat azali dan tidak mungkin mengalami perubahan membawa dampak bahwa semua yang terjadi telah ditetapkan sejak azali. Manusia tidak dapat terlepas dari pengetahuan ini karena manusia termasuk di dalamnya. Faktor kausal merupakan sistem pergerakan dari manusia yang tidak terjadi tanpa kapasitas manusia. Kapasitas manusia ini berasal dari kekuatan ketuhanan. Manusia tidak bisa terlepas dari faktor-faktor yang berada di luarnya. Manusia tidak dapat melakukan sesuatu tanpa keputusan dan keputusan tersebut dimotifasi oleh faktor kausal yang bukan berasal dari kapasitas manusia, melainkan berasal dari kekuatan ketuhanan. Diantara faktor-faktor yang turut menentukan pendirian manusia ialah adat dan tradisi, kepercayaan di mana ia terdidik, pendidikan, struktur psikologi, kekuatan mental, karakteristik biologis, dan sebagainya. Konklusi dari pernyataan tersebut ialah bahwa dalam perbuatannya manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang melebihi kekuatannya dan tidak memiliki kebebasan secara total. Walaupun manusia merasa mampu melakukan sesuatu menurut yang diinginkan, tetapi dalam faktanya manusia tidak berkehendak untuk berkehendak (will to will) karena terjadinya kehendak itu mesti berasal dari kehendak ketuhanan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dipaparkan terdahulu, maka penulis dapat menarik kesimpulan sesuai dengan permasalahan yang diajukan, yakni sebagai berikut: 1. Fakhr al-Din al-Razi memandang takdir sebagai ketetapan yang telah ditentukan sejak zaman azali. Segala kejadian telah ditetapkan dan mustahil mengalami perubahan. Manusia tidak bisa dikatakan memiliki kebebasan mutlak karena selalu bergantung pada faktor-faktor yang berada di luarnya, khususnya faktor ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa dalam permasalahan takdir al-Razi memiliki pandangan yang determinis. 2. Dua hal penting dalam memahami pemikiran al-Razi mengenai takdir ialah konsepnya mengenai ilmu Allah dan faktor kausal (al-dâ‘i). Ilmu Allah dikatakan sebagai pengetahuan yang bersifat azali, holistik, dan tidak mungkin mengalami perubahan. Adanya faktor kausal (al-dâ‘i) merupakan suatu kemestian yang mesti dipenuhi manusia dalam melakukan perbuatan.
B. Saran Pembahasan mengenai penafsiran Fakhr al-Din al-Razi terhadap ayat-ayat seputar takdir merupakan suatu kajian tafsir yang bersifat teologis. Diharapkan kajian-kajian seperti ini dikembangkan kepada tema-tema lainnya baik yang bersifat
1
91
teologis maupun filosofis. Hal ini akan mencerminkan kekayaan khazanah keilmuan Islam dan dapat diimplementasikan kepada permasalahan yang terjadi sesuai realitas masa kini.
DAFTAR PUSTAKA Abduh, Muhammad, „Perbuatan-perbuatan Manusia‟ dalam Pandangan Para Ahli Pikir tentang Takdir dan Ikhtiar, ed. Mohammad Thalib. Surabaya: Bina Ilmu, 1977. Ali, Maulana Muhammad, Islamologi; penerjemah: R. Kaelan dan H.M. Bachrun. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977. al-Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Qur‘an. Penerjemah: Tim Pustaka Firdaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986. Armstrong, Karen, Sepintas Sejarah Islam. Penerjemah Ira Puspita Rini. Surabaya: Ikon Teralitera, 2004. Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995. al-Atsîr, Ibn, al-Kâmil fi al-Târikh, jilid XII. Beirut: Dar al-Shadir, tt. Ceylan, Yasin, Theology and Tafsir in Major Works of Fakhr al-Din al-Razi. Kuala Lumpur: ISTAC, 1996. al-Dimasyqi, Ibn al-Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jilid VII juz XIII. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt. Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy. Newyork: Columbia University Press, 1970. al-Farmawi, Abd al-Hayy, Metode Tafsir Maudhu‘i dan Cara Penerapannya. Penerjemah: Rosihan Anwar. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam. edisi revisi. Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2003. Harahap, Syahrin, Islam: Konsep dan Implementasi Pemberdayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999. Hye, M. Abdul, „Ash‟arishm‟, dalam MM Syarif, ed., A History of Muslim Philosophy. Delhi: Low Price Publication, 1995. Ibrahim, Sulaiman, Konsep Takdir menurut al-Quran: Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, tesis S2 UIN Syahid Jakarta, 2003. Jami‟an, Arifin, Memahami Takdir. Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986.
192
93
al-Jazairi, Syaikh Abu Bakar Jabir, Aqidah Seorang Muslim. Penerjemah: Salim Bazemool. Solo: Pustaka Mantiq, 1994. Kafrawi, Shalahuddin, Fakhr al-Dîn al-Râzi‘s Methodology in Interpreting the Qur`an. Montreal: The Institut of Islamic Studies Faculty of Graduate Studies and Research Mc Gill University, 1998. Kartanegara, Mulyadhi, „Ilmu Kalam‟, dalam Prof. Dr. Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam jilid 4. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002. Khallikan, Ibn, Wafâyât al-A‘yân wa Anbâ‘ Abnâ‘ al-Zamân jilid IV. Beirut: Dar alTsaqafah, tt. Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam; terj. Drs. Yudian Wahyudi Asmin. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Muhajirani, Abbas, „Pemikiran Teologis dan Filosofis Syi‟ah Dua Belas Imam‟, dalam Sayyid Hossein Nasr dan Oliver Leaman, ed., Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Buku Pertama); terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2003. Muthahhari, Murtadha, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, edisi 2; editor: Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 2007. Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, edisi kedua. Jakarta: UI-Press, 2002.
. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995. . Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah , Analisa, Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986. Nur, Abdul Rahim, Percaya Kepada Takdir: Membawa Kemajuan atau Kemunduran. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987. Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur`an. Penerjemah: Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1996. al-Razi, Fakhr al-Din, Mafatih al-Ghaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
. Roh Itu Misterius. Editor: Muhammad Abd al-Aziz al-Hillawi. Penerje-mah: Muhammad Abdul Qadir al-Kaf. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001.
94
Said, Edward, Orientalisme. Penerjemah: Asep Hikmat. Bandung: Pustaka, 1985. al-Shibbagh, Muhammad bin Luthfi, Lumhât fi ‗Ulûm al-Qur`ân wa Ittijâahât alTafsîr. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1990. Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran. Jakarta: Lentera Hati, 2007. – – – – . Wawasan al-Quran. Bandung: Mizan, 1996. – – – – . Rasionalitas al-Quran: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Jakarta: Lente-ra Hati, 2006. Syaltut, Mahmud, Islam, Akidah,dan Syari‘ah, edisi Abdurrahman Zain. Jakarta: Pustaka Amani, 1998.
revisi.
Penerjemah:
Syarifuddin, Mohammad Anwar, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis: Laporan Penelitian Individual—naskah tidak diterbitkan. Jakarta: FUF UIN Syahid, 2006. al-„Umâri, Ali Muhammad Hasan, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; Hayâtuhû wa Atsâruhû. al-Majlis al-A‟la li al-Syu‟un al-Islamiyah, 1969. Ushama,Thameem, Methodologies of The Qur`anic Ezegesis. Kuala Lumpur: AS Noordeen, 1995. Watt, W. Montgomery, Islamic Philosophy and Theology. Edinberg: Edinberg University Press, 1985. Yalink, Miqdad, „Batas antara Takdir dan Kebebasan Kehendak‟ dalam Mohammad Thalib (ed.), Pandangan Para Ahli Pikir tentang Takdir dan Ikhtiar. Surabaya: Bina Ilmu, 1977. Yazdi, M. Taqi Misbah, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan. Penerjemah: Ahmad Marzuki Amin. Jakarta: al-Huda, 2005. al-Zamakhsyari, Abu al-Qasim, al-Kasysyâf ‗an Haqâiq al-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil fî wujûal-Ta‘wîl. Taheran: Intisyarat Aftab, tt.