TAFSIR SURAT Al- MȂ’ÛN (Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Oleh
Anisya Ulfah NIM 1111011000070 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Skripsi berjudul Tafsir Surat Al-M6'fin (Nilai-Nilai Pendidikan fslam dalam
Aspek Sosial) disusun oleh Anisya Ulfah, NIM. 1111011000070,
Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilrnu Tarbiyah dao Keguruarg Universitas Islam
Negeri Syarif HiCayafullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan
sah
sebagai karya ifuniah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqosah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh tbkiltas.
Jakart4 7 september 2015
Yang Mengesahkan, Pembimbing,
r{rP. 19681208 199703 1 003
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAh{
AL-MA'UN (Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial ", disusun oleh Anisya Ulfah, Nomor Induk Mahasiswa 1111011000070, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah lakarta dan dinyatakan lulus pada Ujian Munoqasah pada tanggal 26 ktober 2015 di depan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Sl (S.Pd.D dalam bidang pendidikan Agama Islam. Skripsi berjudul: "TAFSIR SIIRAT
Jakartq 26 Oktober 2015 Panitia Uj ian Munaqasah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Progpm
Studi) Tanggal
Dr. H. Abdul Maiid Khon. M.Ae
MP.
19s80707 198703 1 005 Sekretaris (Sekretaris JurusanlProdi)
Marhamah Saleh. Lc. MA NIP. 19720313 200801 2010 Penguji
I
2(!:?/:-
Prof.I)r. Salman Harun NIP. 19450612 196510 r00l Penguji II
i o /,a/,,
Henv Narendranv. M.Pd NIP. 19710512 199603 2 002 Mengetahui, Ilmu Tarbiyah
NIP. 19550421 I
Tanda Tangan
. \ -^O.
KEMENTERIAN AGAMA
No.
Dokumen :
FITK-FR-AKD-089
uIN.IAIIARTA
Tgl.
Tetbit
:
tr{,El
No.
Revisi:
:
I Mmet 2010 0l
ll,'rn**rr,o,cip'@
FORM (rR) 151)2hldhdb
Hal
Ut
SURAT PERNYATAAI\ KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
Anisya Ulfah
Tempat/Tgl.Lahir
Tangerang, 13juli 1990
NIM
1111011000070
Jurusan / Prodi
Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi
TAFSIR SLIRAT AI-MA'UN (Nilai-Nilai Pendidikan Sosial)
Dosen Pembimbing
Abdul Ghafur, MA
dengan ini menyaakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
"m
Jakarta, 16 September 2015
Anisya Ultbh
NrM. 11r 1011000070
ABSTRAK
Anisya Ulfah (1111011000070) Tafsir Surat Al-Mâ’ȗ n (Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial)
Surat al-Mâ’ȗn merupakan kelompok ayat yang membahas tentang masalah antara hablun min Allah dan hablun min annas. Tujuan meneliti surah al-Mâ’ȗn adalah untuk dapat menguraikan mengenai kandungan dari surat al-Mâ’ȗn, serta analisis tentang apa saja dan bagaimana aktualisasi nilai-nilai pendidikan Islam dalam aspek sosial yang terkandung di dalamnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis library research (penelitian kepustakaan) dengan tehnik analisis deskriptif kualitatif, dengan cara mengumpulkan data atau bahan-bahan yang berkaitan dengan tema pembahasan dan permasalahannya, yang diambil dari sumber-sumber kepustakaan, kemudian dianalisis dengan metode tahlilî, yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat al-Qur`ân dari seluruh aspeknya. Adapun hasil penelitian, yaitu terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan sosial yang tekandung dalam surat al-Mâ’ȗn ayat 1-7 meliputi: bagaimana Sikap memperhatikan anak yatim yang baik, membantu orang miskin dan dhu’afa, melatih keihlasan, manjauhi sifat ria, dan menjauhi sifat kikir. Dampak dari pengamalan nilai-nilai islam aspek sosialnya adalah dapat mengatasi masalah kemiskinan dan melatih diri agar menjadi dermawan. Kata kunci : Tafsir Surat al-Mâ’ȗn, Nilai – Nilai Pendidikan Aspek Sosial
i
ABSTRACT
Anisya Ulfah (1111011000070) Tafsir Surat Al-Mâ’ȗn (Islamic Education Values in Social Aspect) Surat al-Mâ’ȗn is a group of verses about both hablun min Allah and hablun min annas (“Hablu minallah” means that the relationship between your God and you yourself, whereby “hablu minannas” is the relationship between human beings). The purposes of researching surah al-Mâ’ȗn are to decipher its content and to analyze what are the Islamic education values and how its actualization in the social aspect. The method used in this research is library research by using descriptive qualitative technique by collecting data related to the topic and its problem from library sources to be analyzed using tahlilî, a method of interpreting the Qur'an which attempts to explain the Quran by outlining the variety of its aspects and explain what is meant by the Qur'an. As a result, this research found that there are several social education values contained in surah al-Mâ’ȗn verse 1-7 including how to take care of the orphans, help the poor, habituate sincerity, and avoid miserly and ria (insincerity). The effects of Islamic values from the social aspect are to decrease poverty and to habituate self for being generous Key word : Tafsir Surat Al-Mâ’ȗn ,Islamic Education Values in Social Aspect
i
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرّحمن الرّحيم Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh Alhamdulillah, puji syukurku atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kasih sayang-Nya, bahwa upaya penulis untuk menyelesaikan tugas akhir kuliah berjalan dengan tanpa ada hambatan yang berarti, sehingga skripsi ini dapat rampung tepat waktu. Shalawat dan salam selalu tercurah bagi Rasulullah SAW juga bagi keluarga dan para sahabat beliau yang mulia. Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari akan keterbatasan kemampuan yang ada, baik dari segi kemampuan berfikir maupun fasilitasnya, sudah barang tentu dari berbagai segi dalam skripsi ini masih banyak kekurangannya. Sungguhpun demikian, penulis telah berupaya semaksimal mungkin dalam menyelesaikan skripsi ini meskipun dalam prosesnya tidak sedikit cobaan dan hambatan yang harus dihadapi, namun Alhamdulillah atas bantuan, saran, dan bimbingan dari semua pihak yang telah memberikan kemudahan bagi penulis sehingga skripsi akhirnya dapat terselesaikan, oleh karena itu izinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada.: 1. Orang tua penulis, yaitu: Ayahanda terkasih, Jalaluddin ( Almarhum) semoga Allah selalu menyayangimu dan Ibunda tercinta, Lismawati yang tanpa hentinya merawat, mendidik putra-putrinya dengan tulus ikhlas, dan berjuang mencukupi kebutuhan moril, materil serta membimbing,
memotivasi,
berjuang
penuh
pengorbanan
dan
mendo’akan penulis dalam menempuh langkah hidup di dunia yang sementara ini. ii
2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). 3. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya. 4. Bapak Abdul Ghafur, MA selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran, serta motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini. 5. Bapak Fauzan, MA selaku dosen pebimbing akademik yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan konsultasi bagi penulis. 6. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai materi perkuliahan. 7. Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan berbagai referensi yang menunjang dalam penulisan skripsi ini. 8. Kakak-Kakak
dan
Adik-Adikku
tersayang,
Aa
Taufik,
Uni
Zulfahmiyati beserta Suami, Juzaili Rasis, Abidah Agnia Qalby, Nurdini Febriana, M. Furqan Naufal Falah, yang selalu memberikan semangat kepada penulis, semoga kita selalu menjadi anak-anak yang bisa membanggakan kedua orang tua kita baik di dunia maupun akhirat. 9. Teman-teman sejawat jurusan PAI angkatan 2011, khususnya sahabat TWO PAI (PAI B) yang selalu ada untuk menemani membimbing dan terus memberikan semangat kepada penulis. 10. Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan nasehat, arahan, serta semangatnya untuk penulis, yaitu: Faturahmah Avicienna, Yohanna Makatangin, Haifa Kairunnisa, Nur Baiti, Yolla Diatry
iii
Marlian, Nailah Alfiani, Nuni Nuraini, Marsita Eka, Ummu Hanifah, Eka Maharani, yang sama-sama menepuh studi pada jurusan PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 11. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan pahala dan rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Robbal `Âlâmîn.
Ciputat, 09 September 2015
Anisya Ulfah
iv
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK............................................................................................................ i KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... v DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1 B. Identifikasi Masalah ................................................................................... 7 C. Pembatasan Masalah .................................................................................. 7 D. Perumusan Masalah .................................................................................... 7 E. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7 F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 8 BAB II : KAJIAN TEORI A. Acuan Teori................................................................................................ 9 1. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan ......................................................... 9 2. Landasan dan Tujuan Pendidikan Islam ................................................ 12 3. Macam-Macam Nilai Pendidikan Islam ................................................ 15 4. Tujuan Pendidikan Islam ...................................................................... 19 5. Pendidikan Sosial dan Ruang Lingkupnya ............................................ 22 B. Hasil Penelitian Yang Relevan.................................................................... 28 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Objek dan Waktu Penelitian ....................................................................... 30 B. Metode Penelitian ....................................................................................... 30 C. Fokus Penelitian ......................................................................................... 32
viii
ix
D. Prosedur Penelitian ..................................................................................... 32 BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Mengenai Sȗrah Al-Mâ’ȗn ............................................................ 34 1. Sebab-Sebab Turunnya Ayat ................................................................ 34 2. Munâsabah Ayat ................................................................................... 35 3. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Menurut Ahli Tafsir ......................................... 36 a. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 1 ........................................................ 36 b. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 2 ........................................................ 41 c. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 3 ........................................................ 45 d. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 4-5 ..................................................... 48 e. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 6 ........................................................ 52 f. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 7 ........................................................ 55 B. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn dan Dampaknya ................................................................................................ 58 1.
Sikap Memperhatikan Anak Yatim ...................................................... 59
2.
Membantu Orang Miskin dan Dhua’fa ................................................. 62
3.
Melatih keikhlasan dan Menjauhi Sifat Ria .......................................... 65
4.
Menjauhi Sifat Kikir ............................................................................ 67
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................ 70 B. Saran .......................................................................................................... 71 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72 LAMPIRAN .........................................................................................................
B AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur‘ân adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui malaikat Jibril. al-Qur‘ân merupakan mukjizat yang berlaku hingga akhir zaman, karena al-Qur‘ân bersifat ‘aqliyah yaitu mukjizat yang hanya dapat ditangkap oleh nalar manusia. Ia adalah kitab yang sempurna dan merupakan sumber ajaran Islam, berisi tentang pedoman hidup manusia yang menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Ia dapat mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang, tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan manusia yang tidak dibicarakan di dalam al-Qur‘ân. Melihat fenomena yang terjadi dalam kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini, seperti sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur‘ân, oleh karena itu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai al-Qur‘ân mudah ditemukan dalam lapisan masyarakat. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman al-Qur‘ân, akan semakin memperparah kondisi moral masyarakat. Oleh sebab itu, satu-satunya upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan kembali kepada ajaran al-Qur‘ân sebagai paduan dalam menjalani kehidupan. Al-Qur‘ân dalam pengertian umum bukanlah merupakan kitab ilmiah, namun kitab suci ini banyak sekali berbicara tentang masyarakat, hal ini disebabkan karena fungsi utama al-Qur‘ân adalah mendorong lahirnya perubahan-perubahan posistif dalam masyarakat. 1 Dalam buku karangan Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar, M.A. yang berjudul Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani menjelaskan tentang fungsi al-Qur‘ân, bahwa :
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‘ân, (Bandung: Mizan Pustaka, 1997) , cet. VI, h. 319
1
2
Di antara fungsi al-Qur‘ân adalah sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup (bayyinat), pembeda antara yang benar dan yang salah (Furqan), penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah (mau’izah) dan sumber informasi (bayan).2 Al-Qur‘ân mengajarkan banyak hal kepada manusia dari persoalan keyakinan, moral, prinsip-pripsip ibadah dan mu’amalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan. Ia memberikan wawasan dan motivasi kepada manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam sebagai bukti kekuasaan Allah. Berdasarkan pemahaman ini, al-Qur‘ân berperan sebagai motivator dan inspiratory bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya. Kemudian Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al-Qur‘ân mengemukakan tujuan diturunkan al-Quran sebagai berikut : (1) Membersihkan akal dan menyucikan diri dari segala bentuk syirik serta menerapkan keyakinan tentang ke–Esaan yang sempurna bagi Tuhan. (2) Mengajarkan kepada manusia yang adil dan beradab. Yakni bahwa manusia merupakan suatu umat yang wajib bekerja sama dalam pendidikan kepada Allah SWT dan pelaksanaan sebagai Khalifah di muka bumi.(3) Menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau bangsa, tetapi kesatan semesta alam, kesatuan kehidupan dunia dan akhirat.(4) Mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan masyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.(5)Membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit penderita hidup, serta pemerasan manusia, dalam bidang social, ekonomi, politik, dan juga agama.(6)Menekankan peranan ilmu dan teknologi, untuk menciptakan satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan nur Ilahi 3 Demikian tujuan dan fungsi kehadiran al-Qur‘ân yang dijelaskan oeh beberapa tokoh. al-Qur‘ân sebagai kitab terpadu dan menyeluruh yang tidak sekedar mewajibkan manusia pada pendekatan religius yang bersifat mistik saja tetapi al-Qur‘ân juga merupakan sebaik-baik petunjuk yang bila dipelajari akan membantu kita dalam menanamkan nilai-nilai yang dapat dijadikan penyelesaian berbagai problem hidup sehingga tercipta ketenangan lahir dan batin. Al-Qur‘ân juga merupakan solusi bagi segenap 2
Said Agil Husin Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), cet II, h. 4. 3 M. Quraish Shihab, Op. Cit. h. 16.
3
urusan di dunia dan menjadi bekal kekal kelak untuk akhirat, karena itu kita sebagai umat Islam wajib memahami, mempelajari, dan mengamalkan isinya. Dari penjelasan kandungan al-Qur‘ân di atas apabila diklasifiasikan maka dapat disimpulkan bahwa al-Qur‘ân mengandung tiga aspek: 1. Berkaitan dengan masalah ketauhidan seperti pengenalan tentang sifatsifat ketuhanan yakni menyakini adanya Allah SWT, meyakini kitabkitab Allah, Malaikat, Rasul dan hari akhir, serta meyakini qodha dan qodar 2. Berkaitan dengan masalah akhlak, antara lain sabar, tabah, menghormati orang tua serta saling menghormati antara makhluk hidup. 3. Berkaitan dengan masalah ibadah, seperti sholat, puasa dan lain-lain. Menurut Zakiah Daradjat, ajaran-ajaran yang berkenaan dengan iman tidak banyak dibicarakan dalam al-Qur‘ân, tidak sebanyak ajaran yang berkenan dengan amal perbuatan, ini menujukkan bahwa amal itulah yang paling banyak dilaksanakan, sebab semua amal manusia dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan anusia sesamanya, dengan alam dan lingkungannya, dengan makhluk lainnya, termasuk dalam ruang lingkup amal shaleh. 4 Jika melihat ke masa lalu, keadaan dimana pertama kali Al-Qur‘ân diturunkan, maka akan ditemukan keadaan masyarakat Makkah yang penuh dengan berbagai problem sosial, dari yang paling kronis seperti praktek-praktek penyembahan terhadap
berhala-berhala,
eksploitasi
terhadap orang miskin-miskin, penyalahgunaan dalam perdagangan, sampai pada tidak adanya tanggung jawab umum terhadap masyarakat. Menyikapi situasi masayarakat seperti itu, al- Qur‘ân meletakkan ajaran tauhid dan sosial atau hablu minnannas wa hablu minallah yaitu tuntunan berhubungan dengan Allah dan sesama manusia, di mana setiap manusia harus bertanggungjawab kepada sesamanya, pemberantasan kejahatan 4
Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2012), cet 10. H.20.
4
sosial dan ekonomi dari tingkat yang paling bawah sampe ke tingkat yang paling atas.5 Gerak pemahaman dan pengamalan al-Qur’an merupakan pandangan teologi al-Qur’an yang dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan, yakni pemahaman manusia terhadap al-Qur’an belum dikatakan sempurna apabila belum diiringi dengan pengamalannya dalam kehidupan nyata, agar Islam bukan saja memberi makna bagi diri sendiri dan orang-orang sekitarnya, dengan kata lain ini adalah usaha untuk membuktikan bahwa Islam itu benar-benar sebagai rahmat bagi semesta alam. 6 Pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena pendidikan sendiri adalah media dalam membina kepribadian dan mengembangkan potensi yang dimiliki manusia. Dalam menciptakan kepribadian yang ideal diperlukan pendidikan. Pendidikan tidak hanya dilakukan di Sekolah saja, tetapi pendidikan juga dilakukan di rumah dan masyarakat pun juga ikut berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan. Pribadi seseorang akan menjadi baik apabila tiga lingkungan tersebut, yaitu rumah, sekolah dan masyarakat, saling membantu dan saling mendukung, agar mencetak seseorang menjadi manusia yang berpendidikan dan berakhlak karimah. Zakiyah Darajat menjelaskan beberapa konsep Pendidikan Islam yaitu: 1. Pendidikan Islam mencakup semua dimensi manusia sebagaiman ditentukan oleh Islam. 2. Pendidikan Islam menjangkau kehidupan di dunia dan kehdupan dia akhirat secara seimbang. 3. Pendidikan Islam memperhatikan manusia dalam semua gerak kegiatannya, serta mengembangkan kepadanya daya hubungan dngan orang lain. 7
5
Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam, (Surabaya:JP BOOKS, 2008), h. 107-115 M. Yunan Yusuf, Tafsir Juz ‘Amma Sirajl Wahhaj, (Jakarta: Pena Madani, 2010), h. 786 7 Zakiyah Darajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah,(Jakarta:Ruhama,1995) cet. 2 h. 35 6
5
Dapat dipahami bahwa untuk melaksanakan semua tugas kehidupan, baik bersifat pribadi maupun sosial, diperlukan keyakinan yang kuat dan akhlak terpuji agar terbentuknya Insan Kamil. Manusia adalah makhluk sosial, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat kedua dari wahu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw, yaitu surat al-‘Alaq yang berbunyi:
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah Ayat di atas dapat dipahami sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan
selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup
sendiri. 8 Selain memelihara hubungan kita dengan Allah dan diri sendiri, kita juga harus memelihara dan membina hubungan baik dengan sesama manusia. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kesempatan untuk dapat membina serta menciptakan suasana lingkungan sosialnya, agar lingkungan tersebut benar-benar dapat mendukung keberlangsungan kehidupannya, maka Nilai-nilai sosial perlu ditanamkan. nilai-nilai sosial berfungsi sebagai acuan bertingkah laku dalam berinteraksi antar sesama manusia sehingga keberadaannya bisa diterima di lingkungan masyarakat. Nilai-nilai sosial memberikan pedoman bagi manusia agar tercipta kehidupan yang harmonis, disiplin, demokrasi dan bertanggung jawab dalam masyarakat. Sebaliknya, tanpa nilai-nilai sosial suatu masyarakat tidak akan mendapatkan kehidupan yang harmonis dan demokratis. Dengan demikian nilai-nilai sosial memiliki kedudukan yang penting dalam mayarakat. Agar tercipta keharmonisan hidup
tentu saja harus
dimulai dari kualitas diri yang unggul (insan kamil), yakni keterpaduan antara iman, ilmu, dan amal. 9
8
M. Quraish Shihab, op.cit, h. 320 Umar Syihab, Kontekstualisasi Al-Qur‘ân ; Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam AlQur‘ân (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm. 41. 9
6
Beriman tidak selalu identik dengan pengucapan bentuk rutinitas keagamaan yang tidak mempunyai pantulan dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula amal saleh tidak identik dengan bentuk lahiriah keagamaan semata, tetapi seberapa jauh amal itu dapat mengarahkan pelakunya ke dalam kecenderungan individu yang selalu baik dan benar dalam segala tindakan sosialnya sehari-hari. 10 Ajaran Islam yang selama sering dilupakan oleh ummat Islam adalah kewajiban untuk menolong orang miskin, yatim dan kaum lemah lainnya. Salah satu ajaran al–Quran yang populer berbicara tentang hal tersebut adalah surat al-Mâ‘ȗn ayat 1-7, Surat al-Mâ‘ȗn sangat tegas menganggap orang yang tidak peduli dengan anak yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin disebut sebagai pendusa agama, Ayat tersebut menunjukkan bahwa agama (al-Islam) adalah agama yang kaffah. yaitu agama yang memperhatikan segala aspek kehidupan, baik aspek individu maupun aspek sosial. berbanding lurus dengan fenomena yang terjadi saat ini, bahwa masalah yang masih membelit bangsa kita adalah masalah kesejahteraan sosial, hal ini tidak lain dikarenakan karena ulah manusiannya, Surat Al-Mâ‘ȗn menjelaskan sebab-sebab munculnya kesenjangan sosial terjadi karena tidak ada keseimbangan yang baik dalam menjalin hubungan kita dengan Allah dan sesama manusia. Berdasarkan uraian di atas, maka sangat dibutuhkan penanaman nilainilai kebaikan dalam jiwa setiap insan, agar kelak siapa pun akan merasakan kebahagian hidup di dunia dan akhirat secara hakiki. Oleh sebab itu untuk lebih terarahnya uraian di atas, maka penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih mendalam atas tafsîr dan isi kandungan surat Al-Mâ‘ȗn yang di dalamnya mengandung nilai-nilai pendidikan sosial yang selanjutnya penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Tafsir Surat Al-Mâ‘ȗn (Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial)”
10
Ibid. hlm. 42.
7
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis susun, maka penulis dapat mengidentifikasikan masalah sebagai berikut : 1. Kurangnya kesadaran masyarakat muslim dalam menerapkan nilainilai Islam yang terkandung dalam al-Qur‘ân. 2. Banyaknya nilai-nilai pendidikan Islam dalam aspek sosial dalam Q.S al-Mâ‘ȗn yang sesuai dengan kegiatan hidup kita sehari-hari yang belum sepenuhnya diterapkan. 3. Kurangnya pengetahuan kita bagaimana mengenali ciri-ciri orang yang mendustakan agama.
C. Pembatasan Masalah Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, maka perlu dilakukan pembatasan masalah dalam penelitian agar dapat dikaji lebih mendalam dan tidak terjadi perbedaan pemahaman dalam penelitian ini. Penulis membatasi permasalahan ini berdasarkan identifikasi masalah dengan batasan pembahasan surat Al-Mâ‘ȗn yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan Islam dalam aspek sosial.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan pada pembatasan masalah yang telah dipaparkan, maka penulis merumuskan masalah yaitu, apa saja nilai-nilai pendidikan Islam dalam pendekatan sosial yang terkandung dalam surat Al-Mâ‘ȗn? dan Bagaimana implementasinya?
E. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam dengan pendekatan sosial yang terkandung dalam Al-Qur‘ân surat Al-Mâ‘ȗn dan bagaimana implementasinya?.
8
F. Manfaat Penelitian Setelah mengetahui tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penelitian ini dapat dikembangkan dan diamalkan baik secara teoritis maupun secara praktis. Maka manfaat penelitian ini ada dua, yaitu :
1. Manfaat Teoritis a. Memberikan khazanah pemikiran atau wawasan bagi ilmu pendidikan Islam mengenai nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung daalam surat al-Mâ‘ȗn. b. Mengetahui bagaimana pandangan al-Qur‘ân terhadap nilai pendidikan sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
2. Manfaat Praktis a. Berusaha mensosialisasikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat al-Mâ‘ȗn di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sehingga perilaku kita diharapkan sesuai dengan aturan ajaran Agama Islam. b. Bahan upaya pengembangan diri penulis maupun bagi orang yang memerlukannya.
BAB II KAJIAN TEORI A. Acuan Teori 1. Pengertian Nilai-Nilai Pendidikan Islam Istilah nilai dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer “berarti hal-hal
atau
sifat-sifat
yang
bermanfaat
atau
penting
untuk
kemanusian”.1 Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “sifat sifat yang penting atau berguna bagi kemanusian, sesuatu yang penting atau berguna bagi kemanusian, sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya”. 2 Sedangkan menurut Mohammad Noor Syam mendefinisikan nilai ialah suatu penetapan atau suatu kualitas objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.3 “Nilai adalah suatu pola normatif yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu sistem yang ada kaitannya dengan lingkungan sekitar tanpa membedakan fungsi-fungsi dari bagianbagiannya”.4 Secara filosofis nilai sangat terkait dengan masalah etika, etika juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat, tradisi, atau ideologi bahkan dari agama.
1
Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 2005), h.103. 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 783. 3 Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h.133. 4 Ibid
9
10
Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika dan nilai nilai yang paling shahih adalah al-Qur‘ân dan sunnah Nabi Muhammad SAW, yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama. 5 Berdasarkan pada pendapat di atas, maka penulis dapat memahami bahwa nilai merupakan suatu hal yang bersifat penting dan bermanfaat bagi kehidupan manusia sebagai landasan setiap tindakan yang menjadi norma untuk membantu manusia agar menjadi lebih baik. Arti pendidikan menurut istilah di antaranya dalam pandangan Ki Hajar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata ialah sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin, pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan6 Sedangkan pengertian Pendidikan Islam menurut Zakiyah Daradjat dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pendidikan Islam “adalah pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain”. 7 Menurut M. Arifin, Pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam yang dilandasi nilai-nilai Islam dalam jiwanya. 8
5
Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat: Press, 2005), h.3. 6 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam , (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), , Cet. I, h. 9. 7 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : umi Aksara,2012), Cet. I0, h. 28 8 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipline, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. IV, h. 11
11
Kemudian M. Arifin melanjutkan, pengertian Pendidikan Islam yaitu suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. 9 Menurut Abuddin Nata, Pendidikan Islam “Dapat diartikan sebagai belajar tentang proses kependidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam berdasarkan al-Qur‘ân dan Hadiśt”.10 Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar
untuk membekali
siswa dalam memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan agar tercipta kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan kesatuan nasional disamping untuk membentuk keshalehan dan kualitas pribadi yang bertaqwa.11 Dari uraian dan penjelasan tersebut di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa nilai Pendidikan Agama Islam adalah sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada Pendidikan Agama Islam dan digunakan sebagai dasar untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah SWT, nilai-nilai tersebut harus ditanamkan sejak kecil kepada anak, karena pada masa itu merupakan waktu yang tepat untuk menanam kebiasaan-kebiasaan yang baik terhadap anak didik. Nilai Pendidikan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah suatu sistem kepercayaan yang bersifat rohaniah, baik dan buruk, pantas dan tidak pantas yang sesuai dengan sumber nilai pendidkan Islam yakni menurut al-Qur‘ân dan Sunnah. Proses kependidikan Islam bertugas pokok untuk membentuk kepribadian Islam dalam diri manusia selaku makhluk sosial dan individual.
9
Ibid, h. 10 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan pendekatan multidisipliner, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 13. 11 Akmal Hawl,Kompetensi Guru PAI, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),h. 3 10
12
2. Landasan dan tujuan Pendidikan Islam Pendidikan merupakan aktifitas
yang selalu terjadi secara
berkesinambungan dan juga merupakan sebagai sarana transformasi ilmu pengetahuan, agar pendidikan itu berjalan dengan semestinya maka pendidikan itu memerlukan suatu dasar-dasar yang kuat. Dasar adalah landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar dapat berdiri dengan kokoh. Pengertian dasar menunjukkan sesuatu yang penting dalam segala hal sebagai tempat berpijak dan berdirinya sesuatu, kaitannya dengan masalah pendidikan agar memiliki kekuatan dan kesinambungan yang kokoh dan kekuatan yang kuat.12 Kajian tentang pendidikan Islam tidak boleh lepas dari landasan yang terkait dengan sumber ajaran Islam yang mendasar yaitu al-Qur‘ân dan al-Hadiś yang merupakan sumber hukum dan pengetahuan Islam yang lengkap, ajarannya mencakup keseluruhan aspek hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kedudukan al-Qur‘ân
sebagai sumber dan dasar dapat dilihat
dalam kandungan surat al-Baqarah ayat 2 dan surat al-‘Alaq
Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.(Q.S. al-Baqarah: 2)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1). Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah(2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah (3). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5). 12
Djunaidatul Munawwaroh dan Tanenji, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: UIN Press,2003), Cet I. h. 110.
13
Al-Qur‘ân adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur dan merupakan kitab suci yang tiada tandingnya dengan kitab manapun dan siapapun, walau oleh ahli sastra sekalipun. Jika kita meneliti lebih dalam lagi surat alAlaq tersebut dapat kita pahami bahwa Allah SWT memerintahkan umatnya untuk menggali ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya agar umat manusia tidak terbelakang dalam hal ilmu pengetahuan. Karena dalam al-Qur‘ân memuat berbagai ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan tentang pendidikan. Al-Qur‘ân
memberikan petunjuk
dalam
persoalan-persoalan
aqidah, syari’ah dan akhlak dengan meletakkan dasar-dasar mengenai persoalan tersebut, Hal ini dikarenakan agama Islam merupakan jalan hidup yang menjamin kebahagian hidup pemeluknya di dunia dan akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang berfungsi untuk memberikan petunjuk yang sebaik-baiknya. Bagi umat Islam, al-Qur‘ân adalah landasan dasar dan pedoman pokok menjalani kehidupan, salah satunya pedoman hidup sosial. Selain al-Qur‘ân sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, Hadiś juga merupakan sumber ilmu Pengetahuan., karena hadiś merupakan perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW. Adapun Hadiś memiliki beberapa sinonim, menurut para pakar ilmu Hadiś yaitu Sunnah, Khabar, Atsar. Kata Hadiś berasal dari bahasa Arab dari kata” Hadatsa-Yahdutsu-Hudutsan”.13 Hadiś dijadikan sebagai dasar pendidikan agama Islam karena seluruh umat Islam telah menerima paham, bahwa Hadiś Rasulullah SAW, dijadikan sebagai pedoman hidup setelah al-Qur‘ân . Tingkah laku manusia yang telah ditegaskan keterangan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan menurut petunjuk
13
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2008), Cet. I, h.1.
14
yang masih mutlak dalam al-Qur‘ân , maka dicarikan pemecahannya dalam Hadiś. Sebagaimana al-Qur‘ân, Hadiś berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia menjadi muslim yang bertaqwa. Hadis memberikan keteladanan secara baik dan universal dalam pendidikan. Ia juga merupakan sumber berbagai aspek kehidupan manusia yang relevan dalam segala zaman dan tempat. Hadis kaya dengan konsep-konsep ilmu pengetahuan dan pendidikan yang masih belum di ungkap umumnya oleh umat Islam sendiri. 14 Dapat dipahami bahwa dasar pendidikan agama Islam adalah identik dengan dasar ajaran agama Islam itu sendiri yaitu Al-Qur‘ân dan Hadiś yang merupakan sumber hukum Islam dan pengetahuan yang mencakup tuntunan keseluruhan hidup manusia baik dunia maupun akhirat. Keduanya menjadi petunjuk yang tak pernah usang bagi manusia untuk menjalani kehidupannya.
al-Qur‘ân dan Hadiś
membimbing kegiatan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Kita dapat mengambil banyak pelajaran ataupun kisah di dalam al-Qur‘ân dan Hadiś yang dapat kita jadikan pedoman untuk menjalani kehidupan demi keselamatan dunia dan akhirat. Adapun tujuan pendidikan Islam yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadis adalah agar terwujud kepribadian seseoran yang membuatnya menjadi “insan kamil” yaitu manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT, hal ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan Allah dan dengan sesamanya.
14
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Bandung:Karisma Putra Utama, 2012), h. v
15
3. Macam-macam Nilai Pendidikan Islam Secara umum lingkup nilai pendidikan Islam dalam buku pendidikan perspektif Hadiś karya Prof. Dr. H. Abudin Nata yaitu: 15 a. Pendidikan Akidah Akidah dalam bahasa Arab diartikan sebagai ikatan, sangkutan, karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian lainnya akidah disebut dengan istilah keimanan yang berarti keyakinan. 16 Iman adalah kepercayaan dari dalam hati dengan penuh keyakinan yaitu melafadzkan dengan lidah, mengakui benar denngan hati dan mengamalkan dengan anggota badan. Pendidikan akidah disebut juga dengan pendidikan tauhid atau keimanan. Akidah adalah ajaran tentang keimanan terhadap keEsaan Allah SWT, pengertian iman secara sempit berarti kepercayaan sedangkan luas iman adalah keyakinan penuh yang dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh lidah dan diwujudkan dengan amal perbuatan.17
Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(15) Pendidikan akidah atau keimanan dalam Islam mencakup enam hal yang disebut dengan rukun iman. Kedudukan rukun iman menjadi central karena telah menjadi gantungan segala sesuatu 15
Abuddin Nata, Pendidikan Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Press, 2005), Cet. I, h. 78-
88 16
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, ( Jakarta; Grafindo, 2008), h. 199. Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Cet. IV, h. 98. 17
16
dalam Islam. Pendidikan yang pertama dan utama untuk dilakukan adalah pembentukan keyakinan kepada Allah SWT agar dapat melandasi sikap dan tingkah laku serta kepribadian anak didik. “Pembentukan iman seharusnya diberikan kepada anak sejak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadiannya. Berbagai hasil pengamat pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin di dalam kandungan telah mendapat pengaruh dari keadaaan sikap dan emosi ibu yang mengandungnya.”18 Nilai-nilai pendidikan keimanan termasuk aspek pendidikan yang patut ditekankan pada anak didik sejak usia dini, agar dapat mawas diri dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Dengan nilai pendidikan keimanan ini peserta didik akan merasa terdorong untuk belajar dengan sungguh-sungguh karena ia yakin dengan janji dan keutamaan menuntut ilmu yang Allah SWT telah sebutkan dalam al-Qur‘ân.
b. Pendidikan Ibadah Islam memberikan aturan-aturan peribadatan sebagai rasa syukur bagi makhluk kepada khalik, karena ajaran-ajaran Islam bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dalam hubungan-hubungannya dengan sang khalik yang diatur dalam ubudiyah juga dalam hubungannya sehari-hari dengan masyarakat sekitar, dan aturan budi pekerti yang baik. Menurut Dr. Zurinal dan Drs. Aminuddin yang mengutip dari Abu al-A‟la al- Maududi ibadah adalah “rasa tunduk seseorang kepada orang lain karena kebesaran dan kegagahannya, kemudian ia membatasi kemerdekaan dan kebebasan dirinya, serta patuh secara mutlak kepadanya”. 19
18
Zakiah Darajat, Pendidikan Anak dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), h. 55 19 Zurinal. Z dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Ciputat: LPUIN SyaHid, 2008), h. 26.
17
Ibadah ialah segala jenis ketaatan yang dilaksanakan sebagai tanda pengabdian kita kepada-Nya dengan tujuan mendapatkan ridha Allah SWT serta mengharapkan pahala yang Allah janjikan di akhirat kelak.20 Pendidikan ibadah merupakan hubungan sang khalik Allah SWT dengan makhluk yang merupakan amal shaleh dan latihan spiritual baik melalui ibadah shalat, zakat, puasa, dan amal shaleh lainnya. Islam dalam satu tujuan, yaitu penghambaan kepada Allah SWT Pelaksanaan ibadah merupakan semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT yang dilakukan dengan ikhlas untuk mendapat ridha-Nya. Ibadah adalah perilaku manusia yang dilakukan atas perinta Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah sperti pengaturan hidup seorang muslim baik itu melalui pelaksanaan shalat, pengaturan pola makan tahunan melalui puasa, serta kehidupan ekonomi muslim yang bertanggung jawab melalui zakat. Pendidikan ibadah telah menyatukan umat”21
, Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(162) Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)"(163). Menyampaikan pendidikan ibadah terhadap peserta didik diperlukan adanya metode atau cara terutama pengetahuan teoritis. Dalam hal nilai ibadah sesungguhnya ilmu adalah pemimpin amal perbuatan, sedangkan amal perbuatan ialah pengikutnya. Setiap
20 21
Ibid, h. 30 Abu Ahmadi, Op.Cit, h. 240
18
amal perbuatan yang tidak berpedoman kepada ilmu akan tidak berguna bagi pelakunya.
c. Pendidikan Akhlak Akhlak menurut adalah sifat yang tertanam kuat dalam jiwa dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik dan buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, sehingga hal ini sudah menjadi kepribadiannya. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan karena bersandiwara. 22 Akhlak adalah ibarat sifat atau keadaan dari perilaku yang tetap dan meresap dalam jiwa, darinya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah tanpa memerlukan pemikiran karena telah tertanam kuat sehingga menjadi kepribadiannya.23 Menurut Dr. M. Abdullah Daraz, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikatakan sebagai akhlak “apabila memenuhi syarat sebagai berikut, pertama, perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang-ulang sehingga perbuatan itu menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatanperbuatan itu dilakukan dengan kehendak sendiri bukan karena adanya tekanan tekanan yang datang dari luar seperti ancaman dan paksaan atau sebaliknya melalui bujukan atau pun rayuan.” 24 Pendidikan akhlak adalah kegiatan yang berkaitan dengan akhlak baik dengan Allah SWT, orang tua, maupun masyarakat sekitar lingkungan kehidupan sehari-hari yang bersumber dari alQur‘ân dan sunnah Nabi Agama Islam menganjurkan pemeluknya untuk meningkatkan kecakapan akhlak generasi muda, sebab pendidikan adalah sebuah penanaman modal manusia untuk masa depan dengan membekali
22 23
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Pers, 2013), Cet. 1, h. 4. M. Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011), cet. 2, h.
151 24
Abdurrahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011), Cet. I,hal.42
19
generasi muda budi pekerti yang luhur dan kecakapan tinggi. Kedudukan akhlak dalam pendidikan Islam amat penting. Islam menganjurkan agar kita berakhlak mulia dengan mencontoh perilaku Nabi Muhammad SAW, karena dalam diri beliau terdapat suri tauladan baik yang harus diterapkan.
d. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam Akmal Hawl ruang lingkup Pendidikan Islam mencakup usaha mewujudkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara lain: hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungna manusia dengan makhluk lain dan lingkungannya. 25 Hubungan manusia dengan Allah merupakan hubungan yang harus diutamakan dan secara tertib diatur tetap terpelihara agar manusia dapat mengendalikan diri dari melakukan kejahatan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Hubungan manusia dengan sesama adalah memelihara dan membina hubungan baik dengan sesama manusia. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri dengan senantiasa berlaku sabar, pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah, dan berakhlak baik. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup dengan memelihara semua ciptaan Allah untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia dan makhluk lainnya. 26
4. Tujuan Pendidikan Islam Pengertian dari tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu atau kegiatan selesai, dari penjelasan ini dapat kita lihat bahwa Pendidikan merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan, maka tujuan pendidikan pun bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang 25 26
Akmal Hawl, Op. Cit. h. M. Daud Ali, Op. Cit , h. 367-361 a
20
berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.27 Menurut Prof. Salman Harun, “Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang berdedikasi, yaitu manusia yang bekerja untuk kebaikan, giat, semangat, penuh tanggung jawab, tidak mengambil muka, karena ia mempersembahkan kerjanya demi
Allah. Hanya
dedikasilah yang akan membawa kemajuan, sedangkan mementingkan dirri sendiri akan merugikan masyarakat dan pada gilirannya cepat atau lambat akan merugikan dirinya sendiri juga”.28 Kemudian Prof Abdul Majid Khon mengutarakan kesimpulan tujuan Pendidikan Islam berdasarkan Hadiśt Nabi, yakni agar terbentuk manusia
yang
berkualitas
baik
jasmani
dan
rohani,
mampu
mengendalian diri dari hawa nafsu dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. 29 Seseorang yang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat, serta senang mengamalkan apa yang telah didapatkan selama ini, dan dapat mengambil manfaat dari alam semesta ini untuk kepentingan dunia dan akhirat. Selanjutnya ada pula yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membina umat manusia agar menjadi hamba yang senantiasa beribadah kepada Allah swt, dengan menyebarkan dan menanamkan ajaran Islam ke dalam jiwa manusia, mendorong penganutnya untuk mewujudkan nilai-nlai ajaran Al-Qur‘ân dan Hadiś, juga mendorong kita untuk menciptakan pola kemajuan hidup yang dapat menyejahterakan pribadi dan masyarakat , meningkatan derajat dan martabat manusia dan seterusnya.30
27
Dzakiah Derajat, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit, h. 29 Salman Harun, Tafsir Tarbawi. (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013),h. 34-35 29 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Karisma Putra Utama, 2012), h. 170 30 Abuddin Nata, Ilmu pendidikan Islam, op.cit,. h. 21 28
21
Adapun beberapa tujuan pendidikan Islam menurut Dzakiyah Derajat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam,yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan umum Tujuan umum adalah tujuan yang dicapai dengan semua kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan itu meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkahlaku, penampilan, kebiasaan, dan pandangan. Tujuan umum ini berbeda pada setiap tingkatan umur,kecerdasan, situasi, dan kondisi dengan kerangka yang sama. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus dapat tergambar pada pribadi seseorang yang sudah didik, walaupun dalam ukuran kecil dan mutu yang rendah, sesuai dengan tingkat-tingkat tersebut. 2. Tujuan akhir Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akhrnya terdapat pada waktu hidup didunia ini telah berakhir pula. Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dalam firman Allah dalam surat Al- imran ayat 102 Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai muslim yang merupakan ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan pendidikan. Insan kamil yang mati dan akan menghadap tuhannya merupakan tujuan akhir dari proses pndidikan Islam. 3. Tujuan sementara Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal. Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana. 4. Tujuan operasional Tujuan oprasional ialah tuajuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu
unit
kegiatan
pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan
22
diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebut tujuan operasional. Dalam pendidikan formal, tujuan operasional ini disebut juga tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan instrusioksional umum dan tujuan instruksional khusus (TIU dan TIK).31 Dalam tujuan opersional ini lebih banyak dituntut dari anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu, misalnya ia dapat berbuat, terampil melakukan, lancar mengucapkan, mengerti, memahami, meyakini, dan menghayati dalam soal kecil. Dalam pendidikan hal ini terutama dalam kegiatan lahiriyah, seperti bacaan dan kaifiyat shalat, dan tingkah laku. Anak harus sudah terampil melakukan ibadat, (sekurang-kurangnya ibadat wajib) meskipun ia belum memahami dan menghayati ibadat itu.
5. Pendidikan Sosial dan ruang lingkupnya Sedikit mengulas tentang pendidikan, yakni Tarbiyah dalam kata benda “rabba” ini digunakan untuk “Tuhan” mungkin karena Tuhan yang bersifat mendidik, mengasuh ,memelihara, dan menciptakan. Kata lain yang berarti pendidikan itu ialah “addaba” kata ta’lim dengan kata kerjanya ‘allama’ juga sudah digunakan pada zaman Nabi 32 Pendidikan merupakan salah satu bentuk interaksi manusia, yakni suatu tindakan sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi melalui suatu jaringan hubungan-hubungan kemanusiaan. Aspek-aspek sosial pendidikan dapat digambarkan dengan memandang ketergantungan individu-individu satu sama lain dalam proses belajar.33 Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk menumbuhkan, mendidik, mengasuh dan memelihara
31
Dzakiah Derajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 29-33 ibid, 25-26 33 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Op.cit, h. 205 32
23
personalitas yang utuh dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam kehidupannya dengan dengan lingkungan sekitar. a. Pengertian Sosial Adapun para ahli mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Sosial sebagai berikut: I.
Dalam Kamus Sosiologi dan Kependudukan mendefinisikan sosial adalah hubungan seseorang
individu dengan lainnya dari jenis
yang sama atau pada sejumlah individu untuk membentuk lebih banyak atau lebih sedikit, kelompok-kelompok yang terorganisir, juga tentang kecenderungan-kecenderungan dan impuls-impuls yang berhubungan dengan lainnya. 34 II.
Menurut R. Soegarda Poerbakawatja dan H. Ali Harahap dalam ensiklopedi
pendidikan
mendefinisikan
sosiologi
“adalah
penyesuaian kepentingan atau sifat-sifat umum dari masyarakat dengan
menyisihkan atau
melebur
kepentingan-kepentingan
dengan hasil timbul atau keadaan yang stabil serta harmonis". 35 Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial, artinya manusia sebagai warga masyarakat, yaitu dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri atau mencukupi kebutuhannya sendiri. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya.
b. Pendidikan Sosial Adapun pendapat para ahli pendidikan menafsirkan pendidikan sosial sebagai berikut :
34
Kartasapura, G. Kartini, kamus sosioogi dan kependudukan, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 382 35 R. Soegarda Poerbakadja dan A. H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 275
24
I.
Menurut St. Vembriarto “pendidikan sosial adalah usaha memengaruhi dan mengembangkan sikap sosial yang dilakukan secara sengaja dan sadar.36
II.
Menurut Abudin Nata “pendidikan sosial dalam Islam adalah menunjuk pada adanya inisiatif (kepekaan sosial) bagi anak dan memiliki sikap yang berani dan mandiri dengan tanggung jawab yang baik.” 37 Proses pendidikan dimulai dengan interaksi pertama individu dengan
anggota masyarakat lainnya dan tidak diadakan perbedaan antara orang tua dengan anak, antara guru dengan murid. Yang diutamakan adalah hubungan yang erat antara individu dengan individu yang lain atau individu dengan masyarakat. Belajar adalah sosialisasi yang berkontinu. Setiap individu dapat menjadi murid dan menjadi guru. Individu belajar dari lingkungan sosialnya dan juga mengajar dan memengaruhi orang lain.
“(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” Dari ayat di atas kita dapat mengetahui cara luqman mendidik anaknya dengan menanamkan nilai-nilai agama, mulai dari penampilan Luqman yang beriman, beramal saleh, bersyukur kepada Allah dan bijaksana dalam segala hal, kemudian sopan santun terhadap orang tua dan kepada semua mausia serta taat beribadah. 38
36
ST. Vembriarto, Pendidikan Sosial,(Yogyakarta: Paramita, 1984), h. 6 Abudin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadis, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), 38 Zakiah, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Op. cit, h. 63 37
25
Intisari dari nasihat Luqman pada anaknya adalah tentang pembinaan iman, amal saleh (ibadah), kepribadian yang sehat, kuat, dan penuh kepedulian terhadap masyarakat. Selain memelihara hubungan kita dengan Allah dan diri sendiri, kita juga harus memelihara dan membina hubungan baik dengan sesama manusia. Pendidikan sosial tidak akan lepas dari pendidikan masyarakat, Sjamsudhuha merumuskan pengertian masyarakat secara bertingkat yaitu: Pertama, sekelompok manusia yang merupakan kesatuan sosial dengan antar hubungan yang nyata dan memperlihatkan struktur yang nyata, memiliki nilai dan norma sosial serta kebudayaan, menempati wilayah tertentu, teroganisasi secra rapi atau tidak, ada tujuan, kebutuhan, kepentingan yang bersifat umum yang diprtahankan dengan disiplin dalam kerangka mempertahankan kelompok. Kedua, sekelompok manusia dengan antaar hubungan sosial nyata tetapi tidak terdapat struktur, memiliki nilai, norma dan kebudayaan, kepentingan atau minat umum yang sama 39 Terdapat hubungan yang kuat antara pendidikan dan masyarakat, hubungan tersebut berada dalam posisi simbiosis mutualisme. Pengaruh pendidikan dalam masyarakat terlihat pada peran pendidikan dalam mencerdaskan, menyadarkan, dan menggerakan masyarakat untuk mengikuti aturan agama dan kebijakan pemerintah.40 Dalam kamus pedagogik, pendidikan masyarakat diartikan sebagai proses akulturasi pada masyarakat yang masih muda oleh angotaanggota masyarakat yang lebih senior meliputi bagian pendidikan yang mempersiapkan anak-anak memperoleh gambaran tentang seluk beluk pergaulan hidup. 41
39
Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam, (Surabaya: JP Books,2008) h. 10 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Op. Cit, h. 217 41 ST. Vembriato, op. cit, h. 3 40
26
Hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat sosial dapat dijaga dan dipelihara antara lain dengan tolong-menolong, bantumembantu, memafkan, lapang dada dan berlaku adil pada siapapun. 42 Dari uraian di atas maka penulis memahami bahwa setiap kelompok atau masyarakat menjamin kelangsungan hidupnya melalui pendidikan. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka kepada anggota mudanya harus diteruskan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan dan bentuk kelakuan lainnya yang diharapkan akan dimiliki setiap anggota. Tiap masyarakat meneruskan kebudayaannya dengan beberapa perubahan kepada generasi muda melalui pendidikan, melalui interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai sosialisasi. Kematangan bersosialisasi sangat terkait dengan perkembangan sosial seseorang. Sedangkan perkembangan sosial berarti memperoleh kemampuan berprilaku yang sesuai dengan tuntunan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat memerlukan proses belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, belajar memainkan peran sosial sebagai individu yang dapat diterima masyarakat dan untuk bermasyarakat dengan baik harus menyukai orang dan aktifitas sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok masyarakat tempat mereka menggabungkan diri. Jadi, Pendidikan Sosial yaitu Pendidikan Kemasyarakatan atau pendidikan yang berbasis masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat merupakan upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam upayaupaya membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat dalam menjalankan perannya di kehidupan. Kelompok individu atau masyarakat ideal yang konseptualisasi hidupnya berdasarkan dan berstandarkan al-Qur‘ân dan Hadiś yang merupakan referensi utama agar terwujudnya masyarakat muslim yang 42
M. Daud Ali, Op. Cit, h. 370
27
akan mencipkatan suasana yang menentramkan dan mendamaikan setiap masing-masing individu dalam suatu lingkungan tersebut 43 Allah ta’ala telah mewajibkan untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran kepada setiap anggota/warga masyarakat berdasarkan firman-Nya dalam Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang bebunyi: 44
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” Al-Qur‘ân menjelaskan bahwa manusia yang mencapai kualitas hidup sejahtera adalah manusia yang beriman kepada Allah, berhasil membangun masyarakat yang peduli dan berbagi yang satu terhadap yang lain atas dasar cinta dan kasih sayang karena mengharap ridha Allah, seperti masyarakat Muhajirin dan Anshar yang dipimpin oleh Rasulullah SAW seperti digambarkan keadaan mereka dalam al-Qur’an yang
mengutamakan
membutuhkanya.
orang
lain,meskipun
mereka
sendiri
45
Mengembangkan tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan usaha mensejahterakan sosial yang mencakup lima hal, yakni bidang kesehatan, bidang pendidikan, perumahan, jaminan sosisal, dana jaminan pekerjaan. Lima tersebut selain dari tanggung jawab pemerintah, hal ini juga bagian tanggung jawab masyarakat muslim terhadap sesamana yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan, pendidikan, perumahan,dan jaminan sosial tersebut.46
43
Sjamsudhuha, op.cit, h. 67 Ibid, h. 72 45 Asep Usman Ismail, Al-Qur‘ân dan Kesejahteraan Sosial,(Jakarta: Lentera Hati 2012), h. 4 46 Ibid 44
28
Secara mendasar pendidikan sosial berkenaan dengan kebutuhan manusia yang melibatkan segala tingkah laku dan kebutuhanya, baik upaya dalam memenuhi kebutuhan materi, budaya and kejiwaanya. Memanfaatkan sumber daya yang ada di permukaan bumi, mengatur kesejahteraan dan pemerintahan, maupun kebutuhan lainnya dalam rangka mempertahankan kehidupan. Dari uraian di atas, Maka menurut hemat penulis, untuk menciptakan lingkungan masyarakat muslim yang sejahtera, hendaknya setiap muslim mencontoh ummat-ummat Rasul terdahulu yang mencintai Allah dengan menjalani ibadah yang baik sesuai dengan ketentuan Allah, saling tolong-menolong, salaing mengasihi hanya karena Allah dan mencegah kemungkaran.
B. Hasil Penelitian yang Relevan Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 1. Nidaul Islamiyyah, dengan judul “Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Surat Al-Furqan Ayat 63-72”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam surat Al-Furqan ayat 63-73 sifat hamba Allah adalah rendah hati (Tawadhu) dan membalas kejahatan dengan kebaikan, selalu mengingat Allah pada malam hari, dan di siang hari ia bersosialisasi dengan masyarakat, larangan boros dan kikir larangan membunuh nyawa yang diharamkan, larangan bermaksiat, perintah bertaubat dan larangan membuat kesaksian palsu dan menjauhkan perbuatan yang sia-sia. 47 Persamaan yang penulis kaji dengan penelitian ini adalah larangan kikir dan
bersosialisasi
dengan
baik
terhadap
masyarakat.
Adapun
perbedaannya dengan dalam penelitian saya membahas ciri-ciri pendusta agama, yaitu mereka yang tidak peduli anak yatim, menganjurkan berbuat baik, dan saling tolong-menolong. 47
Nidaul Islamiyyah, Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Surat Al-Furqan Ayat 6372,(Jakarta: UIN Jakarta,2013).
29
2. M. Romadhon, dengan judul Nilai-Nilai Penidian dalam Surat AlBaqarah Ayat 177 (Kajian Tafsir Thalili). Karya ini menjelaskan tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 177. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam surat Al-Baqarah ayat 177 yang meliputi ibadah mahdhah seperti melaksanakan rukun Islam ,dan ibadah ghairu mahdhah, seperti menfakahi keluarga, menyantuni anak yatim, membantu orang-orang miskin, memberikan pertolongan pada musafir, memerdekakan hamba sahaya. 48 Persamaan yang penulis kaji dengan penelitian ini adalah menyantuni anak yatim, membantu orang-orang miskin. Adapun perbedaannya dengan penelitian saya membahas ciri-ciri pendusta agama, larangan kikir, larangan ria dan menganjurkan untuk berbuat baik.
48
M. Ramadhon, Nilai-Nilai Pendidikan dalam surat Al-Baqarah Ayat 177, (Jakarta: UIN Jakarta,2012).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah mengenai kajian tentang tafsir Sȗrah Al-Mâ‘ȗn ayat 1-7. Adapun waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu selama satu semester terhitung dari tanggal 02 Maret 2015.
B. Metode Penelitian Dalam suatu metode penelitian, harus ada rancangan penelitian (research design) tertentu. Rancangan ini menggambarkan prosedur atau langkahlangkah yang harus ditempuh, sumber data dan dengan cara bagaimana data tersebut dihimpun dan diolah. Untuk itu, dalam penulisan skripsi ini perlu dikemukakan rancangan penelitian (research design) tersebut, agar jelas dan terarah dalam memecahkan masalah dari penulisan skripsi ini. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriprif analisis yang menggunakan tehnik analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research). Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maman, “sumber data penelitian kualitatif ialah tindakan dan perkataan manusia dalam suatu latar yang bersifat alamiah. Sumber data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti: dokumen, arsip, koran, majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya”. 1 Adapun literatur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer, yaitu sumber pokok yang menjadi acuan utama sebagai data penelitian karya ilmiah ini adalah tasfir al-Qur’an diantaranya sebagai berikut:
1
U. Maman Kh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006), h. 80
30
31
1. Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab 2. Tafsir Al-Azhar, Tafsir Juz ‘Amma As-Siraju’l Wahhaj karya Prof. Dr. M. Yunan Yusuf 3. Tafsir Qurthubi, Adapun data sekunder, yaitu data yang mendukung dan melengkapi sumber data primer: 1. Tafsir Al-Maragi, 2. kitab-kitab tafsir dan buku lain yang menjelaskan Tafsir Sȗrah AlMâ‘ȗn dan, 3. buku-buku yang membahas
tentang nilai-nilai, pendidikan Islam
dalam aspek sosial. Mengenai analisis data, analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, namum dalam kenyataannya analisis data kualitatif berlangsung selama proses pengumpulan data dari pada setelah pengumpulan data.2Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tahlili. Metode tafsir tahlili adalah satu metode tafsir yang mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Dalam hubungan ini, mufassir mulai dari ayat-ke ayat berikutnya, atau dari sȗrah ke sȗrah berikutnya dengan mengikuti urutan ayat atau sȗrah sesuai yang termaktub di dalam mushaf. 3 Prosedur metode tahlili dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat dan sȗrah per sȗrah. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan perkembangan generasi Nabi sampai Tabi’in, uraian ini bertujuan untuk memahamiAl-Qur‘ân yang mulia. 4 Dapat dipahami bahwa, tafsir tahlili ialah metode menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘ân dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayatayat yang ditafsirkan, serta menerangkan makna-makna yang tercakup sesuai 2
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2011), h.287 3 Ibid. 4 Rosihon Anwar,Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), h. 148
32
dengan keahlian dan kecenderungan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.
C. Fokus Penelitian Sugiyono berpendapat bahwa, “batasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut dengan fokus, yang berisi fokus masalah yang masih bersifat umum”.5 Dengan melihat pendapat Sugiyono, maka penulis mencantumkan apa yang ada dalam batasan masalah menjadi fokus penelitian dalam penulisan ini, yaitu mengenai tafsir Sȗrah Al-Mâ‘ȗn . Jadi, dalam penelitian ini penulis bermaksud mengkaji tentang tafsir Sȗrah Al-Mâ‘ȗn , dengan mencari data-data dan sumber yang membahas mengenai ayat tersebut.
D. Prosedur Penelitian Penelitian Kualitatif bermaksud membicarakan metodologi penelitian yang di dalamnya mencakup pandangan-pandangan filsafati mengenai realitas dan objek yang dikaji. Dalam penelitian ini, penulis meneliti menggunakan metode deskripstif untuk menggambarkan dan meringkas berbagai kondisi, situasi, atau berbagai fenomena sosial yang ada di masyarakat. Penelitian kualitatif melihat hubungan sebab-akibat dalam suatu latar yang bersifat alamiah, yakni peneliti mengamati keaslian suatu gejala sosial, kemudian dengan cermat peneliti menelusuri apakah fenomena tersebut mengakibatkan fenomena lain atau tidak, dan sejauh mana suatu fenomena sosial mengakibatkan terjadinya fenomena yang lain. 6 Dalam metode tafsir tahlili, para mufassir menguraikan makna yang dikandung oleh Al-Qur‘ân ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai urutan di dalam mushaf. Uraian ayat tersebut termasuk berbagai aspek yang dikandung oleh seluruh ayat dari surah Al-Mâ‘ȗn yang ditafsirkan dengan pengertian/makna kosa kata, Asbâbu nuzulnya (sebab-sebab turunnya ayat), 5 6
Sugiyono, Op. Cit, h.287 U. Maman,0p.cit, h. 76
33
kaitannya dengan ayat lain, baik sebelum atau sesudahnya (munasabah ayat), dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsiran Sȗrah Al-Mâ‘ȗn, baik yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, para Tabi’in maupun tafsir lainnya. 7 Dari penjelasan di atas, maka penulis akan meneliti dengan menguraikan: 1. Isi Sȗrah beserta artinya, arti dari kosa kata inti pada Sȗrah, 2. Sebab-sebab turunnya sȗrah, 3. Munasabah (hubungan dengan sȗrah lainnya)ayat, dan tafsir Sȗrah menurut para ahli. Pada bagian selanjutnya penulis akan, 4. Menganalisa nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam sȗrah Al-Mâ‘ȗn . Setelah menguraikan tafsir dan menganalisa nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam surah Al-Mâ‘ȗn, selanjutnya adalah menarik kesimpulan dari seluruh ayat pada sȗrah Al-Mâ‘ȗn . Kesimpulan dari penelitian ini berkaitan tentang apa saja kandungan seluruh ayat dari surah Al-Mâ‘ȗn kemudian bagaimana mengamalkan nilai-nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam ayat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
7
h. 71
Nasaruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‘ân , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Sekilas mengenai Sȗrah Al-Mâ’ȗn 1-7 1. Sebab-Sebab Turunnya Ayat Al-Mâ’ȗn termasuk sȗrah makiyyah, di dalam isi pokoknya menerangkan tentang beberapa sifat dan watak manusia yang bisa dianggap sebagai mendustakan agama, yakni menghardik anak yatim dan memenelantarkan mereka dalam kehidupan, tidak mau bersedekah dan tidak menganjurkan orang lain menyantuni fakir miskin. 1 Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin AsSuyuti
mereka
mengutip
dari
Imam
Ibnul
Mundzir
yang
mengetengahkan sebuah hadis melalui Tharif Abu Thalhah yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. yaitu “ bahwasannya ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik, karena mereka selalu memamerkan shalat mereka dihadapan orang-orang mu’min secara ria, sewaktu orang-orang mukmin diantara mereka, tetapi jika orang-orang mukmin tidak ada, maka mereka meninggalkan shalat”.2 Dalam sȗrah al-Mâ’ȗn ditegaskan pula perihal orang-orang yang mengerjakan shalat, tetapi mereka tidak mengahayati dan merenungkan bacaan-bacaannya, tidak memperhatikan tujuan shalat itu sendiri dan tidak sadar bahwa shalat dilakukan dalam upaya mencegah kejahatan dan kemungkaran. Bahkan mereka melakukan shalat hanya untuk sekedar pamer di hadapan manusia. Tujuh ayat dalam sȗrah al-Mâ’ȗn dan juga semua langkahlangkahnya menyinggung perilaku manusia yang sangat tercela. Diantara sifat tercela ialah melakukan ibadah hanya karena ingin pamer, 1
A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‘ân. Ter, Bahrun Abu Bakar, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002) h.953 2 Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzul, (Bandung:Penerbit Sinar Baru Bandung, 1990), h. 2791
34
35
bukan mencari ridha Allah SWT. Tidak bersedia membayar zakat, tidak mau bersedekah kepada fakir miskin, dan tidak memiliki belas kasihan terhadap yatim piatu yang menderita. Orang-orang yang memilik sifat dan watak sebagaimana dikemukakan di atas tidak lain hanyalah akan mendapat ancaman dan siksa neraka yang sangat pedih. Mereka termasuk orang mendustakaan agama Islam. 3 Sebagian berpendapat bahwa ia diturumkan berkaitan dengan Abu Sufyan, menurut Allamah Kamal Faqih Imani “Abu Sufyan yang biasa membunuh dua unta besar setiap hari untuk disantap bersama kaumnya. Namun, pada suatu hari, ada seorang anak yatim mendatangi pintunya dan meminta pertolongan. Alih-alih mendapat pertolongan, Abu Sufyan malah memukul anak yatim itu dengan tongkat dan mengusirnya”. 4 Mereka menunjukkan keshalehannya di depan kaum muslimin lain agar mendapat pujian dari publik, tetapi tanpa sepengetahuan kaum muslim ketika sedang tidak bersama orang-orang munafik, maka perlakuan mereka sangatlah bertolakbelakang dengan apa yang mereka lakukan di depan banyak orang . Peristiwa di atas telah melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang terkandung dalam sȗrah al-Mâ’ȗn, Yakni ayat yang ke-4 sampai dengan ayat yang ke-7, yang di dalamnya berisi tentang peringatan bagi perilaku orang-orang munafik.5
2. Munâsabatul Ayât Sebelum membahas tafsir sȗrah al-Mâ’ȗn terlebih dahulu penulis akan menguraikan munasabah atau hubungan sȗrah ini dengan sȗrah sebelumnya. Di dalam susunan Al-Qur‘ân sȗrah al-Mâ’ȗn didahului oleh sȗrah Al-Quraisy, dalam sȗrah ini menerangkan tentang
3
A. Mudjab Mahali, Op.Cit. Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Qur’an ”sebuah tafsir sederhana menuju cahaya AlQur‘ân”, Ter. Rahardian M.S, (Iran: al huda, 2006), jilid xx.. H. 349 5 A. Mudjab Mahali, Op.Cit. h. 954 4
36
penghidupan orang-orang Quraisy serta kewajiban yang seharusnya mereka penuhi. Allah mengatakan dalam sȗrah Quraisy, bahwa Dia membebaskan manusia dari kelaparan, sedangkan dalam sȗrah al-Mâ’ȗn Allah mencela orang-orang yang tidak menganjurkan dan tidak memberi makan kepada orang miskin. Sȗrah Quraisy juga membahas tentang perintah Allah untuk menyembah-Nya, maka dalam sȗrah al-Mâ’ȗn Allah mencela orang yang shalat dengan lalai dan ria’. 6 Dalam sȗrah Quraisy Allah meneraangkan tentang nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada orang-orang Quraisy, walaupun demikian tetap juga mengingkari hari kebangkitan, dalam sȗrah al-Mâ’ȗn Allah mengancam ummat yang yang bersikap demikian. 7 Al-Kautsar merupakan sȗrah setelah al-Mâ’ȗn dalam susunan alQur‘ân. Dalam sȗrah al-Mâ’ȗn dikemkakan sifat-sifat manusia yang lebih buruk, sedangkan dalam sȗrah al-Kaustar ditunjukkan sifat-sifat yang mulia dan diperintahkan untuk mengerjakannya. 8
3. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Menurut Ahli Tafsir a. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 1 Ayat pertama surah Al-Mâ’ȗn berbunyi:
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” Kalimat pertama adalah ََأَ َر َءيْت, Huruf pada kata tersebut َ merupakan kata tanya yang memiliki arti apa/apakah. Dalam istilah kamus Arab huruf disebut sebagaiَهمزة َاستفهام.
6
9
Hafiz Dasuki, Al-Qur‘ân dan Tafsirnya, (Jogjakarta:PT Dana Bhakti Wakaf), h. 815 Teuku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Qur’anul Karim, (Semarang:PT Pustaka Rizky Putra) h. 1618 8 Ibid, h. 819 9 Kaserun AS. Rahman dan Nur Mufid, Kamus Modern Arab-Indonesia, (Surabaya: AlKamal,Pustaka,2010) , h 7
37
Dalam kamus Nahwu dan Sharaf, istifhâm adalah minta kepahaman hakikat suatu nama, bilangan atau sifat. Adapun fungsi istifhâm pada hurufَ َأ
adalah untuk tashawwur (meminta
keterangan).10 Dalam kitab Al-Burhân fỉ Ulȗmil Qur’ân huruf hamzah istifhâm dijelaskan sebagai berikut: .11
وإذا دخلت على رأيت امتنع أن تكون من رؤية البصر أو القلب وصارت مبعىن أخربين كقولك أرأيك زيدا ما صنع يف املعىن تعدى حبرف ويف اللفظ تعدى بنفسه ِ ِ ب َ ْصلَّى} {أ ََرأَي َ ْ {أ ََرأَي:ومنه قوله تعاىل ُ ت الَّذي يُ َك ِّذ َ ت الَّذي يَْن َهى َعْبداً إِ َذا }بِالدِّي ِن Dari teks di atas maka dapat dipahami bahwa Apabila hamzah istifhâm masuk ke kata رأيتmaka tidak bisa diartikan menjadi penglihatan dengan mata dan hati, akan tetapi berarti memberitahu atau kabar, seperti perkataan: apakah kamu melihat apa yanag diperbuat Zaidun? Secara makna membutuhkan objek dengan menggunakan satu huruf sedangkan secara lafadz membutuhkan objek dengan sendirinya Sedangkan kata رأيتberasal dari kata kerjaَ رأيyang dalam kamus Al-Munawwir banyak memiliki arti seperti melihat, mengerti, menyangka, dan mengira. 12 Sedangangkan huruf َ تpada kalimat tersebut merupakan salah satu dhâmir (kata ganti orang) yang menunjukkan arti “Anda”. Dalam kamus Lisânul ‘Arab dijelaskan bahwa arti kata َر َء ي adalah sebagai berikut:
َ ََََ 10Imam Saiful Mu’minin, Kamus Ilmu Nahmu & Sharaf, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 43-44َ 11 Muhammad Badaruddin, Al-Burhân fỉ Ulȗmil Qur’ân, (Darul Ihya Kutub Arabiyah, 1957), jilid 4, h. 179 12 Ahmad warson munawwir, Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 495
38
: يقال, و مبعين العِلم ايل مفعولني,الرؤية بالعني تتع ّدي ايل مفعول واحد ّ :رأي 13 ًرأي زيداً عاملا 14 .الرؤيةّ النَّظَُر بالعني والقلب ّ :قال ابن سيده Dari penjelasan teks Lisânul ‘Arab di atas maka dapat dipahami bahwa kata رأيmemiliki arti melihat dengan indera penglihatan, dan kata الرّؤيةberarti melihat secara ainiyah/dzâhir (sesuatu yang nampak) membutuhkan pada satu objek, dan apabila kita artikan
الرّؤيةdengan “pendapat” maka kata ini membutuhkan pada dua objek, contoh dalam kalimat: ً ( رأي َزيداً َعالمَاDia melihat Zaid seorang yang berilmu). Dan menurut Ibnu Saidah, الرّؤيةmelihat dengan mata dan hati. Pada ayat pertama sȗrah al-Mâ’ȗn yang berbunyi َ أرءيتَالذي
يكذب بالدين, ayat ini bagaikan menyatakan: “apakah engkau wahai Nabi Muhammad SAW. Atau siapapun, telah melihat orang yang mendustakan hari pembalasan? Yakni beritahu aku tentang mereka?” 15 Ayat ini dimulai dengan pertanyaan “Tahukah Engkau?”, maka al-Qur‘ân menyuruh agar masalah yang ditanyakan itu diperhatikan sunguh-sungguh. Pertanyaan pada ayat ini mengenai penerapan agama, yakni “bagaimanakah ciri orang yang mendustakan agama?”, banyak yang mengira bahwa
pendusta agama adalah
mereka yang tidak melaksanakan rukun Islam saja, namun pemahaan ini sangatlah keliru. 16
13
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003), jilid 14, h. 360 14 Ibid 15 Quraih Shihab, Tafsir Al-Lubab “Makna,Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qr’an”, (Ciputat: Lentera Hati, 2012), h.760 16 M. Yunan Yusuf, Tafsir juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj, (Jakarta: Penamadani dan Az-Zahra Pustaka Prima, 2010), h. 778
39
Perlu diketahui bahwa pada ayat ini sebenarnya terdapat kalimat yang tidak disebutkan dan prediksi makna yang dimaksud adalah: bagaimana pendapat kamu mengenai orang yang mendustakan hari kiamat? apakah benar tindakannya atau salah?. 17 Pertanyaan pada ayat ini menyuruh kepada RasulNya agar memperhatikan pertanyaan ini dengan sungguh-sungguh, karena apabila pertanyaaan seperti ini tidak dijelaskan akan disangka bahwa yang mendustakan agama ialah semata-mata karena menyatakan tidak mau percaya kepada agama Islam, dan kalau ada orang yang sudah shalat, puasa, dia tidak lagi mendustakan agama. 18 Lebih lanjut Prof. M. Yunan Yusuf menjelaskan
ayat ini
memperingatkan Nabi dan kaum beriman agar benar-benar memahami agama sebagai ajaran yang menerapkan nilai-nilai secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari mendustakan hari kiamat dalam ayat ini adalah mengingkari nilai-nilai Islam dalam hal berkaitan dengan harkat dan martabat manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dimuliakan Allah. 19 Allah maha mengetahui, jadi pertanyaan yang diajukan pada ayat pertama ini bukanlah bertujuan untuk memperoleh jawaban, melainkan untuk menggugah hati dan pikiran lawan bicara agar memperhatikan kandungan pembicaraan tersebut, yakni mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama, yang tanpa itu keberagamaannya dinilai sangat lemah. 20 Pada ayat pertama ini lebih menjelaskan tentang beberapa sifat manusia yang mendustakan agama, yang dimaksud dengan menggunakan istilah الدينdalam ayat ini adalah untuk saat hari pembalasan. Mendustakan hari pengadilan agung itu mempunyai 17
Saikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh Dudi Rosyadi dan Faturrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h.. 789 18 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), h. 280 19 Ibid, h. 779 20 Quraish Shihab, tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‘ân , (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol. 15, h. 546
40
pengaruh yang sangat buruk terhadap perbuatan para pendusta, sebagaimana diuraikan dalam sȗrah al-Mâ’ȗn tersebut
di antaranya,
menghardik
anak
pengaruh buruk yatim dan tidak
menganjurkan orang lain untuk memberi ,makan kepada orang miskin. 21 M. Quraish Shihab ketika memberikan penjelasan terhadap pemaknaan الدينterlebih dahulu mengungkapkan bahwa الدينdari segi bahasa antara lain berarti agama, kepatuhan, dan pembalasan. Kata الدينdalam Q.S. al-Mâ’ȗn ayat pertama sangat populer diartikan dengan agama, tetapi dapat juga berarti pembalasan. Kemudian jika makna kedua ini dikaitkan dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya itu tidak menghasilkan apa-apa, maka berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orangorang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan. Sikap yang demikian merupakan pengingkaran serta pendustaan terhadap ad-dỉn, baik dalam arti agama, lebih-lebih dalam arti hari pembalasan. Bukankah yang percaya dan meyakini bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, namun yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di akhirat kelak. 22 Quraish Shihab melanjutkan, ia mengutip dari perkataan Sayyid Quthub tentang hakikat pembenaran الدينyaitu bukannya hanya pembenaran dengan lidah tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadapan sesama, Allah tidak menghendaki pembenaran tersebut hanya
21
Allamah Kamal Faqih, Tafsir Nurul Qur’an ”sebuah tafsir sederhana menuju cahaya AlQur‘ân” . (Jakarta: al-Huda, 2006), Jilid xx, h. 352 22 M. Quraish Shihab, Loc. Cit,
41
dengan lisan saja, namum harus dibuktikan dalam amalan seharihari. 23 Ahmad Mustafa Al-Maragi menyebutkan ciri-ciri orang-orang yang tidak percaya terhadap kebenaran agama atau hari pembalasan yakni “suka menghina orang-orang yang tidak mampu, bersikap sombong terhadap mereka”. 24 Dari uraian para mufassir di atas, maka penulis dapat memahami bahwa Ayat pertama ini menjelaskan tentang seperti apa sebenarnya maksud dari pendusta agama, dan bagaimana ciricirinya, yakni mereka yang menjalankan kehidupannya sehari-hari tanpa dilandasi oleh nilai-nilai ajaran Islam, kasar dan kikir terhadap anak yatim berlaku buruk kepada sesama dan beribadah bukan karena Allah, maka mereka yang berbuat demikanlah yang dikatakan sebagai pendusta agama.
b. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 2 Bunyi ayat kedua surah al-Mâ’ȗn adalah:
“Itulah orang yang menghardik anak yatim” Kata َ يَدُعyang berasal dari satu kata dan satu dhamir يyang menunjukkan arti orang ketiga tunggal, kata ع َّ ّدmemiliki arti menolak atau mengusir dengan keras dan kasar. 25 Menurut Quraish Shihab “kata َ يَدُعtidak harus diartikan terbatas pada dorongan fisik, tetapi mencakup segala macam penganiayaan,
23
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan kesan dan keserasian Al-Qr’an, (Ciputat: lentera Hati, 2002), Vol. 15, H. 553 24 Ahmad Mustafa Al-Maragi,Tafsir Al-Maragi, Ter. BAhrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 436 25 Ahmad Warson, Op. Cit, h. 405
42
gangguan dan sikap tidak bersahabat tehadap anak yatim”. 26 Dalam
َّ ّدdijelaskan sebagai berikut: kamus Lisânul ‘Arab kata ع
.دعه دفَ َعه َدفْ ًعا عنيفا ّ : و قال ابن دريد, َدفَ َعهُ يف َجفوة:دعا ّ ُ َدعَّه يَ ُد ّعه:دعع 27 .ف به ُعن ًفا َدفْ ًعا وانتِ َه ًارا ُ ُ اي يَعن,) (فذالك الذي يَ ُدعُّ اليتيم:يف التنزيل
Dari pernyataan Jamaluddin di atas maka dapat dipahami
َّ دadalah Memperlakukan dengan perlakuan kasar, dan maksud arti ع Ibnu Duraid berpendapat: mengusirnya, menghardik dengan kekasaran. Dalam contoh ayat pada sȗrah Al-Mâ’ȗn ayat dua yang berarti “Itulah orang yang menghardik anak yatim”, yakni memperlakukan anak yatim dengan kejam, mendorong dan mengusirnya. Kata berikutnya adalah اليتيم, kata ini memiliki arti anak yatim, yaitu anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya. 28
Dalam kamus
Lisânul ‘Arab kata اليتيمdijelaskan sebagai berikut: 29
. فقدان األب:تم واليَتَ ُم ُ ُ والي: ال َفرد: واليتيم. عن يعقوب, األنفر ُاد:تم ُ ُ الي:يتم 30 .العجي الذى متوت ّأمه ّ و, اليتيم الذي ييموت ابوه:قال ابن بري
Dapat dipahami bahwa اليتيمdari kata ال َيتَ َُم, اليُت َُمmaksudnya adalah terpisah atau kesendirian, menurut Ya’qub yatim berarti sendirian. واليُت ُم َواليَتَ َُم: keduanya sama-sama kehilangan seorang ayah. Menurut Ibnu Bari, yatim adalah anak yang meninggal ayahnya, dan piatu adalah anak yang meninggal ibunya. Bagian pertama sȗrah ini, Nabi Saw. Diperingatkan dengan cerminan buruk dari pengingkaran manusia terhadap akhirat melalui
26
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan kesan dan keserasian Al-Qr’an, (Ciputat: lentera Hati, 2002), Vol. 15, H. 547 27 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003), jilid 8, h. 101 28 Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 1587 29 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003), jilid 14, h. 360 30 Ibid
43
perbuatan-perbuatan mereka melalui firman Allah yang berbunyi: Sudahkah
Kamu
melihat
orang
yang
mendustakan
hari
pembalasan? Dialah yang menghardik anak yatim (dengan kasar). Dan tidak menganjurkan orang lain memberi makan yterhadap orang miskin.31 Ayat kedua sȗrah ini menjelaskan sebagian ciri-ciri pendusta agama berikutnya, yaitu mereka yang sungguh jauh dari kebajikan dan memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang. Penolakan seperti itu merupakan penghinaan dan takaburnya terhadap anak-anak yatim. 32 Kata yadu’-‘u adalah suatu kebencian yang sangat, rasa tidak senang, jijik dan tidak boleh mendekat. Apabila ada yang mencoba mendekat maka ditolak sehingga ia tersungkur. Jelaslah maksud ayat bahwa orang membenci anak yatim karena rasa benci, sombong dan kikir tidak boleh ada pada jiwa orang yang mengaku beragama. 33 Sikap buruk terhadap anak yatim ini muncul dari orang-orang yang pembenci, sombong, kikir dan pelit. Orang yang tidak mau mengasuh dan memberi bantuan sedikitpun kepada anak yatim, tidak hanya mengacuhkan mereka tetapi juga mengusir mentahmentah. Kalaupun ada orang yang tidak menghardik anak yatim dan mengurusnya dengan maksud tertentu sebagai jembatan untuk mendapat keuntungan bagi diri pribadi, seperti untuk keperluan komersial, maka ini juga termasuk dalam makna mendustakan agama. 34 Orang-orang yang menolak dan membentak anak-anak yatim yang datang kepadanya untuk memohon belas kasihnya agar
31
Allamah Kamal Faqih, Loc. Cit. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Lubab, Loc. Cit 33 Hamka, Loc. Cit 34 M. Yunus Yusuf, Op. Cit. h. 780 32
44
memberikan bantuan demi kebutuhan hidupnya, penolakan ini juga bentuk perilaku mendustakan agama.35 Abu Ja’far Muhamad menafsirkan ayat kedua ini sebagai berikut ”orang yang mendustakan agama adalah orang yang mencegah anak yatim dari haknya dan menżaliminya. 36 Syaikh Imam Al-Qhurtubi mengutip dari riwayat AdhDhahhak, yaitu: Amru bin Aidz. Ibnu Juraij berpendapat, “bahwa orang yang dimaksud adalah Abu Sufyan, karena ialah yang selalu menyembelih kambing atau unta pada setiap minggunya, namun ketika anak-anak yatim yang meminta daging sembelihan tersebut ia mengetuk kepala anak-anak yatim itu dengan tongkatnya”. 37 Kata َ يَدُعdan kata َ يَحُضdua kata ini digunakan dalam pola masa depan, mereka mengisyaratkan keawaman dalam perbuatan menyangkut anak yatim dan kaum miskin. Ketika kita berhubungan dengan anak yatim, perlakuan kasih sayang dan manusiawi lebih baik ketimbang memberi makanan, karena mereka harus menahan kurangnya kasih sayang dan kebutuhan spiritual daripada kebutuhan jasmani. 38 Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa semua ulama sepakat apabila ada seseorang memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang,
mendorong
dengan keras,
menghardikya,
mengabaikan haknya, menzhaliminya, serta sombong dan takabbur terhadap mereka, maka orang itu dianggap telah mendustakan hari pembalasan kelak, karena perilakunya jauh dari nilai kebajikan yang telah diajarkan agama.
35
Zaini Dahlan, Al-Qur‘ân dan Tafsirnya , (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf), Jilid x, h.
817 36
Abu Ja’far Muhammad bin Ath-Thabari Tafsir Ath-Thabari, Ter. Ahsan Ahkan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 983 37 Saikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh Dudi Rosyadi dan Faturrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 788 38 Allamah Kamal Faqih, Op. Cit, h. 353
45
c. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 3 Bunyi ayat ketiga pada surah al-Mâ’ȗn :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat” Kata المسكينyang artinya adalah yang fakir atau orang miskin. 39 Dalam kamus Lisânul ‘Arab kata المسكينdijelaskan sebagai berikut:
ِ ِال قال ابو, الذى ال شئ له يكفي عياله: و قيل, الذي ال شئ له: ني ُ ْ مسك ْ ِ ِ وهذا بعيد أل ّن مسكينا يف,قر اي قلّل حركتَه ُ املسكني الذي اَسكنه ال َف:اسحاق و الفرق بني, و قوله الذي أَس َكنَه الفقر ُُي ِرجه إيل معين مفعول,معىن فاعل وهو ِمفعيل من, سنذكر منه هنا شيئا,املِسكني و الفقري مذكور يف موضعه . مثل املِنطيق من النطق,السكون و الفقري الذي له, قال يو نس الفقري اَحسن حاال من املسكني:قال ابن االنباري 40 الس َكْيت ُ ْ و املسكني اَ ْس َوأُ حاال من,بعض ما يُقيمه ُ وهو قول ابن,الفقري Dari teks di atas maka dapat dipahami bahwa Miskin diartikan sesorang yang tidak memiliki sesuatu, dan dikatakan juga, orang yang tidak memiliki sesuatu cukup untuk menafkahinya, Abu Ishâq berpendapat: miskin adalah orang yang diselimuti kefakiran yaitu orang yang membatasi ruang geraknya (karena tidak memiliki sesuatu ia tidak dapat berbuat apa-apa). Dan makna ini sangat tidak tepat, karena kata miskỉn itu adalah subjek, dan perkatan Abu Ishâq yang mengatakan bahwasannya miskỉn itu adalah yang diselimuti kefakiran mengubah maknanya menjadi objek. Adapun perbedaan antara miskin dan fakir disebutkan pada tempatnya masing-masing, dan kami akan menyebutkan sebagian penjelasan dari kata tersebut. Salah satunya adalah mif’ỉlun dari kata assukȗn seperti al-mintỉq 39
Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 647 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003), jilid 13, h. 260 40
46
dari annutqi. Menurut Ibnu Al-Anbâri, Yunus berkata, fakir itu lebih baik keadaannya daripada miskin, dan fakir adalah orang yang memiliki sesuatu atau sebagian yang membuatnya bertahan hidup. Sedangkan miskin merupakan keadaan yang lebih buruk daripada fakir. Dan ini juga merupakan perkataan dari Ibnu Sukait. Asep Usman Ismail mengartikan kata مسكينbahwa “ istilah miskin
menggambarkan
dari
keadaan
diri
seseorang
atau
sekelompok orang yang lemah”. 41 Dalam ayat ini Allah menegaskan lebih lanjut bagaimana sifat pendusta itu, menurut Prof. H. Zaini Dahlan, MA. Dkk “yaitu dia tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Berdasarkan keterangan ini, bila seseorang tidak sanggup membantu orang-orang miskin, maka hendaklah ia menganjurkan orang lain untuk usaha yang mulia itu”.42 Orang yang tidak mau berbagi dan membenci orang lain yang berbagi, mereka memiliki sifat kikir, buka orang-orang yang tidak dapat berbagi karena memang mereka tidak mampu, tetapi karena pendustaannya terhadap balasan dan ganjaran di akhirat nanti. 43 Mereka yang tidak mau mengajak orang lain supaya memberi makan orang miskin, ia melahap dan menikmatinya sendiri tanpa memikirkan orang miskin atau tidak dididiknya anak istrinya supaya menyediakan makanan bagi orang miskin itu jika mereka datang meminta bantuan. Orang seperti ini pun disebut sebagai pendusta agama. 44 Quraish shihab menekankan bahwa “ayat di atas bukannya menyatakan tidak memberi makan, tetapi tidak menganjurkan
41
Asep Usman Ismail, Al-Qur‘ân dan Kesejah teraan Sosial, (Jakarta: Lentera Hati 2012), h.
8 42
Zaini Dahlan, Op. Cit, h. 818 Syaikh Imam Al-Qurtubi, Op. Cit, h. 791 44 Hamka, Op. Cit, h. 281 43
47
memberi makan (harta). Dengan demikian tidak ada alasan bagi siapa pun, kendati miskin, untuk tidak mengamalkan kebaikan”. 45 Abu Ja’far maksud “tidak menganjurkan memberikan makan orang miskin” ialah tidak mendorong orang lain untuk memberi makan kepada orang yang membutuhkan.46 M. Yunan mengutip dari Imam Zamakhsyari, seseorang disebut sebagai pendusta agama “karena dalam sikap dan perangainya. Tidak mau menolng sesamanya yang lemah padahal Allah telah menjanjikan pahala dan balasan, tentu dia akan takut dengan azab Allah. Kalau sudah ditolaknya anak yatim dan didiamkannya orang miskin minta makan, jelaslah bahwa agama itu didustakannya”. 47 Perlu diketahui bahwa orang-orang yang rajin melaksanakan ibadah shalat dan puasa sekalipun, namun ia suka menghina, pelit dan tidak mau menghimbau orang lain untuk berbuat kebajikan, mereka tetap dikelompokkan sebagai orang yang tidak percaya kepada agama. Orang yang benar-benar percaya pada agama, pasti ia akan menjadi orang yang tawadhu, tidak takabbur terhadap fakir miskin, tidak mengusir dan tidak mengahrdik mereka.48 Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin AsSuyuti, ayat ini diturunkan berkenaan orang yang bersikap demikan tersebut adalah Al-Ash Ibn Wa’il atau Al-Walid Ibnu Mughirah.49 Dapat dipahami bahwa para mufassir sepakat menjelaskan tentang lanjutan ciri-ciri orang yang mendustakan agama, yakni mereka yang tetap melakukan shalat terlebih bagi yang tidak melakukannya sedangkan mereka tidak mau memberi makan (harta) pada orang miskin, padahal itu adalah salah satu amal shaleh yang paling penting dia tahu akan adanya pahala atau balasan dari Allah 45
M.Quraih shihab, Membumikan Al-Qur‘ân 2, (Jakarta: Lentera hati 2010) h. 186 Abu Ja’far Muhammad bin Ath-Thabari ,Op. Cit, h. 985 47 M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h. 781 48 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Op. Cit, h. 436 49 Imam Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru, 1990), h. 2788 46
48
untuk setiap perbuatan kita, sehingga kalaupun kita tidak bisa memberi makan (harta) seorang miskin, kita harus menganjurkan orang lain untuk berbuat demikian. Mereka yang kikir biasanya akan selalu mencari alasan untuk tidak mengeluarkan hartanya, maka orang yang berperangai demikian lemah imannya dan keyakinannya tidak kokoh.
d. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 4-5 “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (5)” Kata ويلyang memiliki arti celaka atau binasa. 50 jika dilihat dari kamus Lisânul ‘Arab maka penjelasannya adalah::
وأصل الويل يف اللغة: قال,لكل من وقع يف عذاب أو َهلَكة ّ كلمة تقال:الويل ويل: تقول. اهلالك يُدعى به ملن وقع يف َهلَكة يَستَ ِح ُقها:يل َ و.العذاب واهلالك ُ الو 51 ويل للمطففني: ومنه,لزيد Maka dapat dipahami الويلadalah kata yang dimaksudkan untuk setiap orang yang terkena azab atau kebinasaan/kehancuran. Dan dikatakan pula, bahwasannya الويلmenurut bahasa berarti azab dan celaka/binasa, dan الويلmerupakan kebinasaan, dilontarkan kepada orang yang berhak menerimanya. Sebagai contoh, binasalah bagi Zaid, dan dalam al-Qur‘ân disebutkan: celakalah bagi orangorang yang curang. berikutnya adalah Kata ساهون, kata ini merupakan isim fâil, yang asal katanya adalah سهاmemiliki arti lupa.52 50
Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 1586 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003), jilid 11, h. 883 51
49
Lisânul ‘Arab menjelaskan pengertian سهاsebagai berikut:
ِ هاب قل .ب عنه اىل غريه ُ َ نسيان الشيء والغفلة عنه وذ:ُالسهوة ّ السهو و ّ :سها .54. الغفلة عن شيئ منها:الصالة ّ هو يف ّ ُ الس ,السهو عنه تركه مع العِلم ّ و,هو يف الشئ تركه عن غري علم ّ :قال ابن األ ثري ُ الس 55 .) (الّذين ُهم عن صلتهم ساهون:ومنه قوله تعاىل 53
Dari teks di atas dapat dipahami bahwa kata ساهونberasal dari kata سهاyang bentuk masdarnya adalah َ السّهوdan ُالسّهو َة, artinya adalah melupakan sesuatu dan lalai terhadap sesuatu tersebut, dan berlalunya hati tentangnya kepada hal yang lain (hatinya menuju sesuatu yang lain sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya). Adapun lupa dalam shalat, yaitu lalai terhadap suatu bagian dari shalat. Ibnu Atsir berkata bahwasannya ( السّهو فيlupa) pada sesuatu berarti meninggalkannya tanpa disadarinya (tidak disengaja), sedangkan ( السّهو عنlalai) meninggalkan sesuatu secara sengaja atau sadar. Seperti potongan firman Allah dalam sȗrah Al-Mâ’ȗn
(“ الّذين َهُم َعن َصلتهم َساهونyaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. Ayat sebelumnya membahas bahwa mereka yang menghardik anak yatim dan tidak memperlakukannya dengan baik, begitu pula dengan orang-orang yang tidak menganjurkan memberi makan kepada orang yang butuh, mereka merupakan orang-orang yang mendustakan agama yang menigkari hari pembalasan. Pada ayat ke 4-5 yang artinya berbunyi “maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,”
52
Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 674 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003), jilid 14, h. 499-500 54 Ibid 55 Ibid 53
50
menurut Abu Ja’far maksudnya adalah “maka lembah yang dialiri oleh nanah para penghuni neraka, diperuntukkan bagi orang-orang munafik yang mengerjakan shalat tapi dengan shalat itu mereka tidak menginginkan Allah, dan dalam shalat itu mereka lalai dalam mengerjakannya”.56 Quraish Shihab menafsirkan bahwa “ayat ini merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang-orang yang pada saat shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesuatu selain shalatnya”.57 Shalat adalah sarana untuk menyembah Allah yang merupakan simbol ketundukan dan penyerahan diri kepada-Nya. Pendusta agama juga melakukan shalat, namun bukan menegakkan shalat. Orang yamng menegakan shalat maka ia akan mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar, maka bagi orang yang hanya melakukan shalat sebagai formalitas adalah celaka dengan dengan dimasukan ke neraka weil. 58 Orang yang telah melakukan shalat, shalatnya hanya membawa celaka bagi dirinya, karena tidak dikerjakan secara sungguhsungguh, tidak timbul dari kesadarannya bahwa kita adalah sebagai hamba Allah.59 Kata ساهونyang memiliki arti suatu kesalahan yang dilakukan tanpa disengaja atau secara lalai. Ayat ini ingin mengatakan bahwa mereka abai dari shalat, membiarkan waktu shalatnya tertunda berlalu dalam kesia-siaan demi aktivitas tertentu baik pekerjaan maupun kesenangan duniawi atau mereka yang shalat hanya untuk
56
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Tahabari, Op. Cit, h. 983 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op. Cit, h. 550 58 M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h. 781 59 Hamka, Loc. Cit 57
51
dianggap sholeh, bagaimanapun jenis orang yang shalatnya seperti demikian layak mendapat murka Allah. 60 Zaini Dahlan menafsirkan ayat ini dengan penjelasan sebagai berikut: bahwa Allah mengungkapkan satu ancaman yaitu celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat dengan tubuh dan lidahnya namun tidak sampai ke hatinya. Dia lalai tidak menyadari apa yang dia ucapkan lidahnya dan yang dikerjakan oleh sendi anggotanya. Ia ruku’ dan sujud dalam keadaan lengah, ia mnegucapkan takbir tetapi tidak menyadari apa yang diucapkannya. Semua itu adalah hanya gerak biasa dan katakata hafalan semata yang tidak mempengaruhi apa-apa, tidak ubahnya seperti robot.61 Sejalan dengan pendapat di atas, Ahmad Mustafa menafsirkan ayat ini sebagai berikut “siksaan itu bagi orang-orang yang melakukan shalat hanya dengan raganya saja tidak membekas dalam jiwa, dan tidak membuahkan hasil dari tujuan shalat. Hal ini karena hatinya kosong, sehingga tidak berpengaruh pada tingkah lakunya.62 Berbanding lurus dengan pernyataan di atas, bahwa sebelumnya Nabi pun pernah bersabda dan diriwayatkan oleh HR. Thabrani yang berbunyi:
ِ ِ ِ َو,ائر َع َملِ ِه ْ صلُ َح َ العْب ُد يَوم القيَ َامة َ ب َعلَْيه َ ت َ فا ْن,ُالص َالة َ َأ ََّو ُل َما ُُي ُ اس ُ صلُ َح َس ت فَ َس َد َسائُِر َع َملِ ِه ْ إِ ْن فَ َس َد “Amalan yang mula-mula dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat ialah shalat. Jia ia baik, maka baiklah seluruh amalannya, sebaliknya jika jelek, jeleklah pula semua amalannya.” 63 Shalat merupakan tiangnya agama, maka perintah shalat harus dikaji secara kritis, sebab perintah shalat seringkali hanya dipahami dari sisi ritualnya saja, sementara sisi dampak sosialnya dilupakan. 60
Allamah Kamal Faqih, Op. Cit, h. 354 Zaini Dahlan, Op. Cit, h. 818 62 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op. Cit, h. 437 63 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 2013), h. 206 61
52
Shalat berkaitan erat dengan perbaikan aspek sosial, berarti baiknya shalat harus dibarengi dengan kebaikkan sosial, jika tidak ada dampak positif dalam masyarakat utamanya dalam tolong menolong dan memberi bantuan orang-orang yang menderita, maka shalat adalah sesuatu hal yang mencelakakan, celaka karena tidak mendapat pahala atau sia-sia. 64 Setelah menelusuri tafsir dari ayat 4-5 ini maka dapat dipahami bahwa ternyata melakukan shalat saja tidak cukup dianggap sholeh, karena syarat dan pokok dari shalat adalah kesadaran sebagai hamba dan keikhlasan yang melakukannya karena Allah SWT. Seringkali kita mendengar bahwa shalat akan mencegah kita dari perbuatan munkar, maka dari kalimat inilah kita bisa mengetahui apakah shalat kita sudah baik atau belum dengan melihat prilaku kita sehari-hari. Dari sȗrah ini ditemukan dua syarat pokok atau tanda utama dari pemenuhan hakikat shalat, pertama, keikhlasan melakukannya demi karena Allah. Kedua, merasakan kebutuhan orang-orang lemah dan kesediaan mengulurkan bantuan walau yang kecil sekalipun.
e. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 6 “Orang-orang yang berbuat ria” Kata َي َُرا ُءونadalah bentuk dari isim fâil, asal katanya adalah
رأيyang memiliki arti melihat.65 Umar Sulaiman menjelaskan “Ria menurut bahasa adalah, seseorang yang senang dilihat dalam melakukan suatu amal, padahal sebenarnya kalau tidak dilihat, maka amalnya tidaklah demikian.” 66
64
Sri Muryanto, Islam Agama Cinta, (Semarang: Gama Gemilang, 2006), h. 40 Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 460 66 Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, ikhlas agaramal tak sia-sia, (Jakarta:Gadika Pustaka, 2007), h. 137 65
53
Dalam kamus Lisânul ‘Arab dijelaskan bahwa mengandung arti sebagai berikut :
lafadz رأي
يراؤون ومينعون: وقوله, يراؤون الناس: وأما قول اهلل عز وجل:قال أبو منصور ولكن معناه إذا آبصرهم النّاس صلّو وإذا مل يرو هم, فليس من املشاورة,املاعون 67 تركوا الصالة Dapat dipahami bahwa رأيdari perkataan Abu Mansur:
berdasarkan firman Allah: َيراؤون َالناسdan firman-Nya juga:
يراؤون َويمنعون َالماعون, tidak ada kesepakatan satu sama lain, tetapi bermakna, apabila orang-orang melihatnya, maka mereka shalat, dan jika tidak ada yang melihatnya, maka mereka meninggalkan shalat. Atau dapat disimpulkan bahwa orang yang melakukan ibadah tersebut hanya untuk pamer/dilihat orang-orang. Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan bagaimana ciri-ciri orang yang shalatnya hanya akan membawa celaka bagi pelakunya sendiri karena shalatnya tidak disertai kesadaraan hatinya, maka di ayat enam ini Allah melanjutnya firmannya bahwa disamping orang-orang yang lalai dalam shalatnya dia juga ria, mereka ingin dilihat orang bahwa shalatnya khusyu. Orang-orang yang bila menyantuni anak yatim dia bermuka manis, bila memberi makan fakir miskin ia sangat antusias, tetapi mereka hanya ingin dilihat dan dipuji. Disebabkan karena rianya itu, kalau orang tidak mengujinya atau berkurang sedikit dari yang biasa ia terima, maka ia berhenti itu melakukan perbuatan tersebut.68 Sejalan dengan uraian di atas, Hamka menafsirkan, “orangorang yang ria’ pada ayat enam ini termasuk pendusta agama, kadang ia bermuka manis kepada anak yatim, menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang terlihat khusyu’’ shalat, tetapi
67
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003), h. 373 68 M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h. 784
54
semua itu dikerjakannya karena ria agar dilihat dan dipuji orang lain. 69 Lebih lanjut Ahmad Mustafa menjelaskan “mereka melakukan perbuatan-perbuatan itu hanya karena ingin mendapat pujian orang lain. Tetapi hati mereka sama sekali tidak mengetahui hikmah dan rahasia-rahasianya”. 70 Menurut Saikh Imam Al-Qurthubi, “makna hakiki dari kata ria adalah mengharapkan sesuatu yang bersifat duniawi melalui ibadah, dan makna awal dari kata ini adalah mencari kedudukan di hati manusia”.71 Pengertian ria’ yang sebenarnya menurut Ahmad Mustafa AlMaragi adalah mengharapkan keduniaan dengan kedok ibadah untuk mempertahankan kedudukannya di mata masyarakat.72 Kurangnya iman dan keingkaran terhadap balasan dari Allah akan
memunculkan
salah
satu
unsur
kepura-puraan
dan
kemunafikan dengan mengabaikan ganjaran dari Allah dan hanya memperhatikan keridhaan makhluk lain. 73 Ria adalah sesuatu yang tidak terlihat atau bersifat abstrak, sangat sulit dapat dideteksi oleh orang lain, bahkan yang bersangkutan sendiri tidak menyadarinya. Ria diibaratkan sebagai semut kecil hitam berjalan dengan perlahan di tengah kelamnya malam di tubuh seseorang.74 Dari keterangan di atas maka dapat dipahami bahwa penyebab rusaknya ibadah kita adalah perbuatan ria, yakni hilangnya makna dan nilai dari ibadah yang dilakukan. banyak dari kita yang tidak menyadari bahwa kita sering kali berbuat ria dengan cara bercerita dengan teman-teman kita atas kebaikan yang telah kita lakukan, 69
Hamka, Op. Cit, h. 282 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op. Cit, h. 436 71 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Op. Cit, h. 795 72 Ahmad Mustafa Al Maragi, Op. Cit, h. 434 73 Allamah Kamal Faqih, Loc. Cit 74 Quraih Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op, Cit, h. 551 70
55
menganggap diri paling baik, dengan kalimat pembuka “bukannya mau sombong ya, saya cerita ini/itu”, menulis status di media sosial tentang ibadah yang kita lakukan, dan lain sebagainya, Hal ini hanya akan menghapus esensi dari tujuan ibadah yang kita lakukan walau secara teknis shalat kita sudah sah. Berkaitan dengan ini Rasul pernah bersabda yang berbunyi: ria itu amatlah samar dibanding derapnya semut hitam dikegelapan malam yang merayap dipakaian hitam yang kasar.
f. Tafsir Sȗrah Al-Mâ’ȗn Ayat 7 “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna “ Kata inti terakhir adalah الماعونyang memiliki arti bantuan atau pertolongan.75 Dalam lisanul arabi kata Al-Mâ’ȗn dijelaskan sebagai berikut: 76
. الطاعة:املاعون املاعون: أنه قال, روي عن علي رضوان اهلل عليه. ومينعون املاعون:يف التنزيل العزيز َ . 77الزكاة Maka dapat dipahami bahwa kata al-maun memiliki arti ketaatan atau kebaikan. Sedangkan yang dimaksud dalam ayat Sȗrah al-Mâ’ȗn, diriwayatkan dari Ali Ra. Al-Mâ’ȗn adalah zakat. Sesuai dengan penjelasan arti di atas, pada kosa kata ini Syaikh Imam Al-Qurthubi menjelaskannya sebagai berikut: Para ulama yang mengartikan kata الماعونdengan makna zakat, maka kata tersebut adalah bentuk fâ’ul dari kata al-mu’n, yang artinya adalah sesuatu yang sedikit. Hubungan antara al-mu’n yang bermakna sesuatu yang sedikit dengan kewajiban zakat adalah 75
Ahmad Warson Munawwir, Op. Cit, h. 988 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisânul ‘Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob AlIlmiyah, 2003), vol. 13, h. 515 77 Ibid 76
56
karena zakat itu hanya diambil dari dua setengah persen keseluruhan harta, dan jumlah itu adalah jumlah yang sedikit sesuatu yang banyak. Kalangan yang berpendapat bahwa الماعونberasal dari mau’nah (bantuan), dan huruf alif pada tersebut adalah huruf pengganti kata ta’ marbuthah.78
dari dari kata kata
Ayat ini merupakan ayat terakhir pada sȗrah al-Mâ’ȗn yang artinya berbunyi “enggan menolong dengan barang berguna” ini adalah ciri berikutnya dari pendusta agama, ia selalu mengelak dari perbuatan menolong sesama, selalu menahan, bahkan menghalanghalangi orang lain yang ingin menolong. Hatinya selalu terpaut pada benda yang fana, ia selalu membenci orang lain mempertahankan apa yang dimilikinya. Dia menyangka begitulah hidup yang baik, padahal itulah yang akan membawanya celaka.79 Sȗrah ini memang sangat tepat dan pas jika ditujukan kepada orang-orang munafik. Seperti yang telah disebutkan apada ayat sebelumnya, pada diri mereka terkumpul tiga sifat buruk, yakni meninggalkan shalat, bersifat ria dan kikir terhadap harta. Sifat-sifat tersebut sangat jauh dengan karakter seorang muslim sejati yang seharusnya. Siapa saja yang melakukan salah satu dari ketiga hal tersebut tetap akan mendapatkan sebagian dari hukuman wail, karena kikir, ria, dan meninggalkan shalat adalh sifat-sifat tercela. 80 Menurut Syaikh Imam Qurthubi Ayat ini menjelaskan tentang “mereka yang tidak tergerak sedikitpun hatinya untuk membantu orang lain, bahkan justru dia menghalangi orang yang hendak melakukan pertolongan tersebut dengan berbagai cara dan dalih agar pertolongan tersebut tidak terlaksana”. 81 Lebih lanjut Ahmad Mustafa menafsirkan bahwa “mereka yang tidak memberikan apa yang menjadi kebutuhan kaum miskin. 78
Saikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh Dudi Rosyadi dan Faturrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 801 79 Hamka, Loc. Cit 80 Saikh Imam Al-Qurthubi, Op. Cit, h. 803 81 M. yunan Yusuf, Op. Cit, h. 784
57
Biasanya, orang kikir tidak mau memberikan berbagai kebutuhan orang lain, seperti panci, kapak dan lain sebagainya.mereka juga akan dinyatakan sebagai orang bakhil dikalangan masyarakat luas”.82 Allah
telah
menggambarkan
tentang
orang-orang
yang
mendustakan agama, yaitu mereka yang enggan memberikan hartanya kepada orang lain, dan Allah menggambarkan ini secara umum, tanpa mengkhususkan sesuatu. Allah menyatakan bahwa mereka enggan memberikan kepada orang lain apa-apa yang biasa saling dipinjamkan di antara mereka, dan enggan memberikan kepada orang butuh dan orang miskin hal-hal yang telah diwajibkan Allah atas mereka pada harta mereka, yaitu hak-haknya, karena semua
ini
merupakan
manfaat-manfaat
manfaatnya oleh sesama manusia. Berkaitan
dengan
yang
bisa
diambil
Zaini
Dahlan
83
keterangan
dia
atas,
menambahkan, “sifat pendusta agama ialah ria, curang, aniaya, takabur, kikir, memandang rendah rang lain, tidak mementingkan yang lain kecuali dirinya sendiri, bangga dengan harta dan kedudukan serta tidak mau mengeluarka sebagian hartanya untuk keperluan orang lain”. 84 Allamah Kamal Faqih menambahkan “seseorang yang enggan memberikan barang-barang remeh kepada orang lain adalah orang yang pelit, tidak mempunyai iman sama sekali. Benda-benda ini tidak berharga mahal, tetapi kadang-kadang sangat berguna, sehingga ketia seseorang menolak menyedekahkannya kepada orang lain maka akan menghasilkan sejumlah kesulitan penting dalam kehidupan masyarakat”.85
82
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Op. Cit, h. 437 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Op. Cit, h. 1012 84 Zaini Dahlan, Op. Cit, h. 818 85 Allamah kamal Faqih, Op. Cit, h. 354
83
58
Allamah mengutip sebuah hadis yang berbunyi “orang yang menolak untuk memberikan kebutuhan-kebutuhan tetangganya, pada hari kiamat Allah akan menolak untuk memberikan kebaikanNya dan meninggalkan orang itu sendirian, dan alangkah buruknya bagi siapa pun yang Allah tinggalkan sendirian”. 86 Penelusuran dari ayat terakhir ini maka dapat dipahami bahwa Allah
menjelaskan
ciri-ciri
berikutnya
bagi
mereka
yang
mendustakan agama. Allah telah menegaskan ancaman celaka bagi mereka yang mendustakan agama, yakni orang-orang tidak peduli terhadap kehidupan anak yatim, orang-orang miskin, mereka yang enggan sekali menolong sesamanya yang sangat membutuhkan, bahkan menghalang-halangi orang lain yang hendak melakukan pertolongan. Semua sifat-sifat di atas sangatlah jauh dari ajaran Islam yang mengajarkan kita agar selalu baik dalam berhubungan, baik hubungan dengan Allah maupun hubungan sesama manusia.
B. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Aspek Sosial dalam Sȗrah Al-Mâ’ȗn dan Dampaknya Orang yang dinilai baik keislamannya tidak hanya baik dalam ritual ibadahnya saja, melainkan juga baik dalam hubungan sosial. Surah alMâ’ȗn merupakan salah satu wahyu yang menuntut tentang dakwah dan tanggung jawab sosial umat Islam. Pada sȗrah al-Mâ’ȗn al-Qur‘ân tidak semata-mata memberi penekanan menyangkut kepercayaan atau rukun iman, tidak juga amalan-amalan yang berkaitan dengan rukun Islam saja, tetapi perhatian dan perlakuan kita terhadap anak yatim serta penghayatan dan pengalaman substansi shalatnya yang ditegaskan, yakni perbuatan kita sebagai bentuk penghambaan kepada Allah dan pemberian bantuan dalam bentuk dan segi apapun meskipun kecil atau sedikit kepada siapa pun yang memerlukan, dia yang menjaga baik hubungannya dengan Allah dan
86
Ibid, h. 355
59
sesamanya, maka semua kebaikan tersebut merupakan tanda sebagai muslim yang baik dan benar. Dalam sȗrah ini, Allah menjelaskan keburukan mereka yang mendustakan agama dengan menerangkan ciri-cirinya, yaitu mereka yang menelantarkan anak yatim, tidak mau membantu orang miskin, mereka yang menjalankan shalat hanya untuk mendapatkan perhatian manusia, serta mereka yang enggan meminjamkan barang miliknya untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Setelah menelusuri tafsir dari para ulama di atas, maka dapat diklasifikasikan bahwa nilai-nilai sosial yang diajarkan dalam Sȗrah alMâ’ȗn adalah sebagai berikut: 1. Sikap Memperhatikan Anak Yatim Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi anak yatim yang sesungguhnya, yakni mereka yang ditinggal wafat oleh ayahnya, mereka masih dikatakan yatim apabila usianya masih dibawah tujuh belas tahun. M. Quraish Shihab juga menjelaskan hal yang senada yaitu bahwa istilah yatim digunakan untuk menunjuk anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat, atau anak binatang yang induknya telah tiada. Kematian ayah bagi seseorang yang belum dewasa menjadikannya
kehilangan
pelindung,
ia
seakan-akan
menjadi
sendirian, sebatang kara, karena itu ia dinamai yatim. 87 Islam menganjurkan memberi perlindungan kepada anak yatim antara lain: a. Memelihara
harta anak
yatim,
yaitu
melarang keras dan
menyalahgunakan harta anak yatim b. Memperlakukannya secara baik, yaitu menggerakkan umat muslim untuk berperan sebagai orang tua yang mengasuh, mengasah, dan mengasihi mereka.
87
M. Quraish Shihab, Loc. Cit
60
c. Kewajiban memberi nafkah, yaitu tidak menelantarkan mereka dari segi pangan, sandang dan papan.88 Anak-anak yatim sangat membutuhkan bantuan dari orang-orang yang
mampu
lagi
dermawan.
Memelihara
anak
yatim
dan
menyelamatkan harta bendanya merupakan kewajiban bersama. Apabila ada anak yatim yang hidup terlantar, umat Islam yang berada di sekitarnya tergolong orang-orang yang mendustakan agama, pernyataan ini telah dijelaskan pada awal tafsir Sȗrah al-Mâ’ȗn .89 Quraish Shihab mengemukakan bahwa “di dalam al-Qur‘ân ditemukan 12 sȗrah yang berbicara tentang anak-anak yatim, ayat-ayat tersebut menguraikan berbagai tuntunan, ada yang berupa perintah, ada juga larangan, ada lagi pujian dan kecaman”. Adapun pada sȗrah alMâ’ȗn, Allah menjelaskan tentang kecaman terhadap pelaku kekerasan pada anak yatim. 90 Bantuan yang terbaik bagi mereka tentunya berupa kasih sayang dan pendidikan. Anak-anak yatim sangat memerlukan kasih sayang. Secara psikologis, orang yang telah dewasa sekalipun akan sedih hatinya apabila kehilangan orang yang sangat dekat dalam hidupnya. Orang yang selama ini menyayangi, memperhatikan dan menasihati kita telah berpulang kepangkuan-Nya, bayangkan apabila hal ini terjadi pada anak kecil, oleh sebab itu kita harus bersikap lemah lembut terhadap mereka, menyayangi mereka dan menyantuni mereka. Seseorang tidak boleh mebiarkan anak yatim dalam keadaan sengsara apalagi menghardik dan mengabaikan mereka dengan perasaan benci. Rasûlullâh semasa hidupnya sangat dekat dengan anak-anak yatim dan beliaupun sangat menyayangi mereka. Beliau didik anak-anak yatim agar ketika dewasa kelak mereka akan tumbuh menjadi baik dan mulia. Kecintaan dan kasih sayang beliau patut dijadikan teladan oleh 88
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur‘ân Tematik, (Jakarta: Kamil Pustaka, 2014), h. 276 Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam “Edisi yang disempurnakan, (Bogor: Cahaya Islam, 2006), h. 521 90 Quraish Shihab, membumikan Al-Qur‘ân , (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 181 89
61
siapa saja dalam mengasuh dan menyayangi anak-anak yatim. Banyak sabda Rasul tentang persoalaan anak yatim, salah satunya berbunyi:
و أشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئا,أنا و كافل اليتيم يف اجلنّة هكذا
“Aku dan pengurus anak yatim kelak di surge akan seperti ini, sambil mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan membuat sedikit jarak di antara keduanya” (H.R. Bukhari)91 Islam sangat memperhatikan segala hal mengenai anak yatim, memberikan kedudukan yang tinggi terhadap anak yatim dengan memerintahkan kaum muslim untuk berbuat baik dan memuliakan mereka.
Dalam
menyantuni
anak
menyantuni yatim
anak
tidak
yatim,
hanya
sebaiknya
dengan
seseorang
memperhatikan
makanannya saja, melainkan juga segala apa yang ia butuhkan, seperti pendidikan agamanya. Hendaklah menyekolahkannya ke lembaga pendidikan yang baik seperti pesantren atau madrasah. Hal ini bertujuan agar anak yatim sejak dini mendapat bekal dengan ilmu agama yang bisa memberi manfaat bagi kehidupan mereka dalam menjalankan perannya dengan baik dan benar di masa yang akan datang. Setelah menelusuri keterangan sebelumnya, bahwa banyak dari kita yang belum sepenuhnya sadar betul bagaimana sebenarnya yang disebut dengan pendusta agama, namum sebagian lagi yang telah menyadarinya akan langsung nampak jelas dari perilaku mereka bagaimana menyantuni anak yatim dan menyikapi orang miskin dengan baik dan benar. Di pesantren Dârul Aitam contohnya, ini merupakan yayasan pendidikan yang didirikan langsung oleh para dermawan dari Negara Kwait yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menyejahterakan anak-anak yatim baik dari segi sandang, pangan, pendidikan dan lain sebagainya. Dana yang mereka kucurkan selalu rutin diterima oleh pengurus yayasan yang berada di sini demi
91
Muhammad Ibnu Ismail Abi Abdullah Al-Bukhari, Al-Jamỉ’ As-Shahỉh Al-Mukhtashar, (Bairut: Daar Ibnu Katsỉr, 1987)
62
terlaksana dengan baik niat mulia mereka, agar hubungan dengan Allah dan manusia tetap terjalin dengan baik. 2. Membantu Orang Miskin dan Dhu’afa Rasul menganjurkan umatnya untuk menyayangi anak yatim dan mengasihi orang miskin. Sȗrah al-Mâ’ȗn mengajak kaum muslim untuk memperhatikan kaum miskin. Bersedekah bagi fakir miskin merupakan pekerjaan yang baik bagi sendiri dan orang lain, karena sebagian dari harta yang kita miliki ada hak orang lain bagi mereka yang membutuhkan. Sȗrah al-Mâ’ȗn menyadarkan kita bahwa orang beriman yang taat beragama, tekun shalat, serta rajin zikir, dan membaca alQur‘ân , serta berulang-ulang menunaikan haji dan umrah akan tetap dikelompokkan sebagi pendusta agama, jika ketaatan beribadahnya tidak melahirkan kepedulian sosial terhadap kaum dhuafa. Ciri kedua para pendusta agama yang telah dibahas pada bab sebelumnya
adalah
mereka
yang
tidak
mau
menolong
atau
menganjurkan ntuk memberi makan orang miskin. Mengasihi orang miskin juga merupakan kewajiban kita sebagai muslim yang meyakini akan hari akhir dan hari pembalasan. Perjuangan untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin dan dhu’afa merupakan tanggung jawab negara dan seluruh anggota masyarakat. Memberi makan kepada orang miskin merupakan salah satu pertolongan pertama dalam penanggulangan kemiskinan, hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab orang kaya saja, tetapi sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim, oleh sebab itu pada Sȗrah alMâ’ȗn Allah mengecam orang-orang yang tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Dalam pandangan al-Qur‘ân penanggulangan kemiskinan harus menjadi gerakan kolektif umat yang saling bersatu padu dari setiap lapisan masyarakat.92
92
Asep Usman Ismail, Al-Qur‘ân dan Kesejahteraan Sosial, (Tangerang: Lentera Hati, 2012) , h. 40-41
63
Kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab masyarakat dan Negara, karena kemiskinan merupakan pangkal munculnya berbagai masalah sosial. Mengatasi fenomena kemiskinan merupakan berjuang di jalan Allah. Sȗrah
al-Mâ’ȗn menyadarkan kita bahwa orang yang
beriman dan taat beragama, tekun shalat, serta rajin dzikir, membaca alQur‘ân dan berulang-ulang mengerjakan haji dan umrah akan tetap dikelompokkan sebagai kelompok pendusta agama, jika ketaatan beribadahnya tidak melahirkan kepedulian sosial terhadap nasib kaum dhu’afa.93 Quraish Shihab menekankan “ perlu digarisbawahi bahwa ayat di atas bukannya menyatakan ‘tidak memberi makan’ tetapi ‘tidak menganjurkan memebri makan’, dengan demikan tidak ada alasan bagi siapapun, kendati miskin untuk tidak mengamalkan ayat di atas” 94 Menyeru atau mengajak orang lain kepada kebajikan, baik melalui lisan maupun tindakan merupakan perbuatan yang telah disinggung oleh Sȗrah
al-Mâ’ȗn
kewajiban pelaksanaannya. Sesuai dengan firman
Allah dalam hadis qudsi mengenai keutamaan menyeru kepada kebaikan adalah sebagai berikut: َ َلمعروفَوانهواَعنَالمنكر ََم َرواَبا ِ “suruhlah dengan yang makruf dan laranglah dari pperbuatan yang mungkar”(diriwayatkan oleh dailamy dari Aisyah) 95 Menyuruh berbuat baik dan melarang kemungkaran merupakan perbuatan Fardhu kifâyah. Kita harus menunjukkan contoh dan teladan yang baik dan melarang berbuat jahat. Kita harus melakukan apa yang kita serukan, karena cara ini merupakan nasihat yang paling baik dan utama. 96
93
Ibid, h. 37 Quraish Shihab, membumikan Al-Qur‘ân Jilid 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. 185-186 95 Firdaus A. N. 325 Hadis Qudsi pilihan “Jalan ke Surga”, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,1990), h. 75 96 Imam Habib Abdullah Haddadh, Nasehat Agama dan Wasiat Imam, ( Semarang: CV. Putra Semarang, 1986), h. 260 94
64
Kita semua telah dimampukan oleh Allah untuk saling tolong menolong bahkan meskipun kita tidak mampu mengasihi mereka dengan materi, cukuplah kita menolongnya dengan cara menasihati atau menyarankan orang sekitar kita yang sekiranya mampu menolong secara materi sebagai bentuk kepedulian kita terhadap mereka. Perlakuan kita yang terkadang acuh dengan anak yatim dan orang miskin acapkali membuat kita lupa akan esensi sȗrah al-Mâ’ȗn yang telah kita hapal, dengar dan baca. Cinta kepada Allah tidak cukup hanya menegakkan ritual ibadah saja, tetapi harus ada hubungannya dengan tingkat kebaikan hubungan sosial, hali ini berarti, benarnya ibadah kita kita dapat di ukur dari bagaimana hubungan sosial kita. Banyak ayat al-Qur‘ân
yang
mengajarkan kita agar peduli terhadap sesama, tidak mementingkan diri sendiri dengan rajin ibadah tetapi melupakan kaum lemah, karna orangorang yang demikian adalah termasuk golongan orang-orang yang egois, dan Allah sunguh sangat tidak suka manusia yang egois dan sombong, sebab mereka adalah termasuk pendusta agama. 97 Usaha melatih kebiasaan untuk peduli kepada fakir dan miskin harus dilakukan sedini mungkin, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan lain sebagainya. Pembentukan itu bisa dilakukan dengan mengadakan program penarikan sumbangan pada waktu yang telah ditentukan secara berkala dan mengadakan bakti sosial, hal ini dilakukan agar kita turut merasakan penderitaan mereka yang lemah sehingga mendorong kita untuk peduli kepada lingkungan sekitar. Seseorang yang membiasakan memberikan pertolongan kepada orangorang miskin, berarti seseorang mendidik dirinya untuk selalu peka dengan orang-orang disekitarnya yang hidup dengan penuh kekurangan, dan selalu menjadikan kehidupannya untuk senantiasa menjadi dermawan kepada orang-orang yang memerlukan pertolongan darinya.
97
Sri Muryanto, Islam Agama Cinta, (Semarang: Gama Gemilang, 2006), h. 42
65
3. Melatih Keikhlasan dan Menjauhi Sifat Ria Dalam melakukan segala hal, haruslah disertai keikhlasan. Tidak ada perbedaaan pendapat, bahwa ikhlas merupakan salah satu syarat sah diterimanya suatu amal. Kita niatkan segala sesuatunya hanya untuk mencari ridha Allah, bila suatu amal tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah maka amal tersebut tidak akan bernilai apa-apa. Dalam Sȗrah al-Mâ’ȗn Allah menerangkan bahwa orang yang tidak ikhlas atau mereka yang ria dalam beribadah atau beramal yaitu hanya untuk mendapat kesan baik dari pandangan manusia, maka orang tersebut termasuk dalam kategori pendusta agama. Ikhlas adalah mengharapka ridha Allah semata dalam amalan hati dan anggota badan, sedangkan makna ria’ adalah menuntut kedudukan dan kehormatan dalam pandangan manusia, segala bentuk ibadah yang dilakukan bertujuan agar orang memujinya, menghormatinya dan memberinya harta benda sebagai bentuk penghargaan. Orang yang ikhlas tidak akan takut terhadap celaan dan tidak pula bangga dengan segala bentuk penghargaan dari manusia, karena ikhlas itu adalah melakukan suatu perbuatan hanya untuk mencari ridha Allah semata, sedangkan tanda-tanda orang yang ria adalah menyukai pujian dan sanjungan, dan benci terhadap celaan atau kritikan, karena ria selalu dilandas dengan pengharapan pujian dari orang lain. Ria merupakan perbuatan yang berbahaya dan mengancam, banyak ayat dan hadis yang mengancam, jika kita melakukan ibadah karena ria, maka ia termasuk dosa besar, bahkan termasuk syirik. Orang yang beramal karena ria pasti tidak mengharapkan ridha Allah semata. Sedangkan ikhlas mengharuskan seorang hamba untuk beribadah hanya karena Allah saja, perbuatan ini sama saja dengan mempermainkan syari’at dan tidak meletakan sesuatu pada tempatnya. 98
98
Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Ikhlas Agar Agama Tak Sia-Sia, (Jakarta: Gadika Pustaka, 2007), h.130
66
Ria merupakan perilaku yang dapat mebinasakan pelakunya, karena itu, menjaga diri dari sifat ria adalah perlu bahkan wajib. Di antara contoh ria yaitu, misalnya: seseorang yang berangkat beribadah ke masjid dan ia berangkat lebih awal, namun dengan niat agar gerak geriknya dilihat dan diperhatikan orang banyak. Contoh lainnya seseorang yang beramal mengharapkan pahala dari Allah dan untuk mendekatkan diri pada-Nya, namun ia juga suka memperlihatkan dan menyebutkan amalanya kepada orang ramai agar dipuji dan dihormati, maka semua perbuatan seperti ini tidak meghasilkan pahala apapun. Sebelum melaksanakan segala amalan, kita harus meluruskan niat kita, terutama dalam ibadah. Kita niatkan bahwa tujuan yang hendak dicapai beribadah hanya satu, yaitu ridha Allah. Jiwa manusia diciptakan untuk beribadah dan berharap kepada Allah, bila dia beribadah dan berharap kepada selain Allah, sesungguhnya dia telah menzalimi dirinya sendiri. 99 Landasan setiap perbuatan dibangun dengan niat, karena Islam telah mengajarkan bahwa sebelum mengerjakan sesuatu harus diawali dengan niat, niat yang dimaksud adalah niat yang suci, sesuai dengan hadis Nabi yang di kutip oleh Allamah Kamal Faqih dari kitab Wasa’il asy-Syi’ah yang berbunyi: “segenap perbuatan tergantung pada niat, sesungguhnya bagi manusia terggantung pada niatnya. Bagi siapa saja yang berjuang demi Allah dalam jihad ganjarannya di sisi Allah, dan barangsiapa yang yang berjuang demi dunia ini atau bahkan demi seutas tali pengikat (seekor unta) maka ia hanya akan memperoleh hal tersebut (dan tidak lebih).”100 Dalam berbuat kebaikan dan beribadah selain harus dilakukan dengan ikhlas dan didasarkan niat hanya karena mencari ridha Allah saja, juga dibutuhkan kesabaran, yakni dengan keuletan, konsistensi,
99
Ibid, h. 42 Allamah Kamal Faqih, Op. Cit, h. 356
100
67
dan berkesinambungan, serta meyakini janji Allah bahwa oranng yang melakukan kebaikan tidak akan disia-siakan, begitupula sebaliknya. Untuk menghindari dari perbuatan ria, maka sebaiknya kita beramal secara rahasia agar tidak dilihat atau diketahui orang banyak, karena hal ini lebih dekat kepada keikhlasan, namun apabila seseorang yang menyadari bahwa ridha Allah akan berbuah manis yaitu hatinya sudah benar-benar besih dan ikhlas, yang apabila beramal secara terangterangan hanya semata-mata untuk memberi contoh yang baik terhadap orang sekitarnya.
4. Menjauhi Sifat Kikir Sesuai dengan konteks Sȗrah al-Mâ’ȗn pada ayat terakhir yang menjelaskan bahwasanya orang yang enggan untuk menolong dengan barang berguna juga salah satu ciri pendusta agama, oleh sebab itu kita Islam mengajarkan kita agar selalu berkasih sayang dan memiliki sifat murah hati kepada sesama manusia, yaitu menafkahkan sebagian harta yang kita miliki kepada yang membutuhkannya di jalan yang benar, misalnya memberi pinjaman kepada yang membutuhkan. Al-Qur‘ân
menegaskan tentang bahaya sifat kikir pada QS.
Muhammad ayat 38 yang berbunyi:
“Ingatlah, kamu Ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orangorang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini”
68
Sifat
kikir
merupakan
kebakhilan
yang
melampaui
batas,
sebagaimana telah ditafsirkan dia atas, yaitu mereka tidak mau memeberi bantuan dengan barang sepele. Ia mengutamakan hartanya dan bertekad untuk menahannya. Ia menjadi seorang yang bakhil untuk membelanjakan hartanya pada jalan yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi dirinya disisi Allah. Rasulullah bersabda:
بعيد من اجلنة, بعيد من الناس,البخيل بعيد من اهلل “Orang yang kikir itu jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga”. 101 Sifat kikir merupakan salah satu sifat tercela yang harus dihindari dalam hidup bermasyarakat. Kekikiran tidak akan mendatangkan kekayaan, bahkan akan mendatangkan kemiskinan karena orang lain juga tidak ingin berbagi dengannya. Biasanya orang yang memiliki sifat kikir, tidak mau memberikan sedikitpun hartanya kepada orang lain, tidak mau berbagi rizki dengan orang lain, karena ia takut hartanya akan habis jika ia berbagi dengan orang lain. Padahal sebagian dari harta yang dimiliki ada hak orang lain didalamnya. Oleh sebab itu, sedikit dari harta yang dimiliki seharusnya diberikan untuk menolong orang lain. Adapun dampak dari nilai-nilai sosial yang terkandung dalam surah ini yaitu dapat memberi solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan, sebab surah al-Ma’un mengajarkan kita agar tidak menolak atau mengabaikan sesorang dalam memenuhi kebutuhannya, seperti tidak memotong atau menghambat dana yang seharusnya dialokasikan kepada orang-orang yang membutuhkan, enggan menolong dan enggan mengingatkan agar saling menolong, bahkan melarang orang lain untuk menolong para kaum lemah, tidak mengabaikan kewajiban kita untuk membayar zakat. Dampak selanjutnya adalah menjadi pribadi yang dermawan dalam rangka pembelaan kaum lemah yaitu dengan pemenuhan kebutuhan dasar 101
Habipb Abdullah, Op. Cit, h. 417-418
69
atau pokok mereka, karena pada surah ini terdapat pemahaman untuk melindungi dan mengayomi orang-orang lemah, seperti anak yatim, dhu’afa lansia, pengemis dan lain sebagainya. Pemenuhan kebutuhan pokok dapat diaplikasikan dengan beasiswa miskin, pemberian sembako/santunan, bantuan pendidikan dan bantuan kesehatan, serta membayar zakat dan pajak dengan pas dan tepat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan Islam dalam aspek sosial yang terkandung dalam surat al-Mâ‘ȗn adalah tentang materi yakni kesejahteraan sosialnya saja, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pada ayat 1-3 disebutkan beberapa ciri-ciri pendusta agama, yaitu mereka yang tidak memperhatikan hak anak yatim dan tidak peduli dengan nasib fakir miskin serta tidak menganjurkan untuk saling tolong menolong dalam berbuat kebaikan. 2. Ayat berikutnya menegaskan tentang bagaimanakah sholat bisa membuat pelakunya celaka, vaitu orang yang suka melalaikan sholat. Sebagaimana kita ketahui, bahwa sholat itu dapat mencegah kita dari perbuatan munkar atau tercela. Baik atau buruknya kualitas sholat kita dapat dilihat dari perilaku kita sehari-hari. 3. Di ayat ke-6 dijelaskan bagaimana sifat orang ria yang akan menjerumuskan pelakunya kekebinasaan, yaitu orang melakukan kebaikan hanya untuk mengharap pujian dan perhatian manusia. 4. Secara keseluruhan pendusta agama yang telah digambarkan oleh sȗrah al-Mâ‘ȗn antara lain perilaku buruk terhadap anak yatim, tidak memberi makan orang miskin, enggan mengingatkan/menganjurkan pada kebaikan, lalai dalam mendirikan sholat, menipu diri dengan perbuatan ria dan enggan berbuat baik. 5. Adapun ayat yang mengandung nilai-nilai sosial adalah ayat kedua, ketiga dan ketujuh. Dimana Allah mengklaim para pendusta agama yakni, orang tidak memedulikan anak yatim, orang yang tidak mau memberi makan orang miskin dan orang yang bakhil.
70
71
B. Implementasi Allah memerintahkan kita lewat firman-Nya dalam Surat Al-Mâ‘ȗn agar kita melindungi dan mengayomi kaum lemah baik dari segi makanan, pendidikan, tempat tinggal, dan kesehatan. Penerapan ayat ini dapat diaplikasikan pada penyediaan beasiswa miskin, sembako, bantuan BOS, JAMKESMAS, ASKES, rumah zakat, BAZIS, serta bantuan atau tunjangan apapun
yang
dapat
memberikan
kontribusi
bagi
mereka
yang
membutuhkan. Semua ini dapat diwujudkan apabila pendidikan akhlak yang benar sudah ditanamkan sejak dini, maka kepekaan akan kebutuhan sesama orang lain bisa dirasakan sehingga terjalin kerja sama yang baik.
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah penulis kemukakan, maka ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan sebagai bahan masukan dan saran dalam upaya meningkatkan pendidikan, khususnya pendidikan sosial. Adapun saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut: 1. Sebagai umat muslim yang meyakini bahwa Allah adalah Maha segalanya, sudah seharusnya kita menjaga perbuatan dan lisan kita terhadap sesama manusia. Ibadah yang baik berbanding lurus dengan perbuatan kita. 2. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik sedini mungkin, dengan bersedia mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain demi meraih cinta dan ridha-Nya adalah yang terbaik. 3. Pemahan terhadap al-Qur‘ân belum bisa dikatakan sempurna apabila tidak diiringi dengan pengamalan isi kandungan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, maka sebagai pendidik, baik formal maupun nonformal hendaknya membantu menanamkan nilai-nilai sosial agar lebih mudah mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari., karena al-Qur‘ân bukan hanya untuk dibaca, di hafal dan dipahami saja, tetapi lebih pada pengamalan isi al-Qur‘ân yang telah kita pelajari.
DAFTAR PUSTAKA . A. N, Firdaus. 325 Hadis Qudsi pilihan “Jalan ke Surga”, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,1990. Agil, Said Husin Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani, Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005, cet II. Ahmadi, Abu, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, Cet. IV. An- Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, Bandung: Diponegoro,1992. An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani: 1995, Cet. II. Anwar, Rosihon, Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2009. Arifin, M, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Assegaf, Abdurrahman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2011, Cet. I. AS. Kaserun, Rahman dan Nur Mufid, Kamus Modern Arab-Indonesia, Surabaya: Al-Kamal Pustaka, 2010. Ath-Thabari, Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan, jilid. 15. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007 Baidan, Nasaruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur‘ân, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Dahlan, Zaini, Tafsir Al-Qur‘ân , Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, cet 10.
72
73
Darajat,
Zakiyah,
Pendidikan
Islam
dalam
Keluarga
dan
Sekolah,
Jakarta:Ruhama, 1995, cet. 2 Dasuki, Hafiz Al-Qur‘ân dan Tafsirnya, Jogjakarta: PT Dana Bhakti Wakaf. Daud, Mohammad Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta; Grafindo, 2008. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. II. Departemen Agama RI, Al-Qur‘ân
dan Terjemahnya , Bandung: CV. Penerbit
Diponegoro, 2007. Fatimatuzzahra,Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam surat Al-Muzamil Ayat 1-10, Jakarta: UIN Jkarta, 2012 Habib, Imam Abdullah Haddadh, Nasehat Agama dan Wasiat Imam, Semarang: CV. Putra Semarang, 1986. Harun, Salman, Tafsir Tarbawi. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013. Hamid, Abdul Hasyimi, Mendidik ala Rasulullah, Jakarta: Pustaka Azam, 2001. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982. Hawl, Akmal, Kompetensi Guru PAI, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, h. 3 Ibnu, Muhammad Ismail Abi Abdullah Al-Bukhari, Al-Jamỉ’ As-Shahỉh AlMukhtashar, Bairut: Daar Ibnu Katsỉr, 1987. Imam, Saikh Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Ter . dari Tafsir Al-Qurthubi oleh Dudi Rosyadi dan Faturrahman, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009. Jalaluddin, Imam Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzul, Bandung:Penerbit Sinar Baru Bandung, 1990.
74
Kamal, Allamah faqih imani, Tafsir Nurul Qur’an ”sebuah tafsir sederhana menuju cahaya Al-Qur‘ân”, Ter. Rahardian M.S, Iran: al huda, 2006, jilid xx.. Kartasapura, G. Kartini, kamus sosioogi dan kependudukan, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. M. Ramadhon, Nilai-Nilai Pendidikan dalam surat Al-Baqarah Ayat 177, Jakarta: UIN Jakarta,2012. Mudjab, A. Mahalli, Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur‘ân., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 Majid, Abdul Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: AMZAH, 2008, Cet. I. Majid, Abdul Khon, Hadis Tarbawi, Jakarta: Karisma Putra Utama, 2012. Maman Kh, U., dkk. Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek. Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006. Muhammad Badaruddin,
Al-Burhân fỉ Ulȗmil Qur’ân, Darul Ihya Kutub
Arabiyah, 1957, jilid 4. Muhammad, Jamaluddin Abi Al-Fadhli. Lisânul ‘Arab, vol. 14. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003a. ----------. Lisânul ‘Arab, vol. 13. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003b. ----------. Lisânul ‘Arab, vol. 8. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003c. ----------.
Lisânul ‘Arab, vol.11. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah,
2003d. ----------. Lisânul ‘Arab, vol. 14. Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003e.
75
Muhammad, Teuku hasbi Ash Shiddieqy, Al-Bayan Tafsir Penjelas Qur’anul Karim, Semarang: PT Pustaka Rizky Putra h. 1618 Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Munawwaroh, Djunaidatul dan Tanenji, Filsafat Pendidikan, Jakarta: UIN Press,2003, Cet I. Mustafa, Ahmad Al-Maragi,Tafsir Al-Maragi, Ter. BAhrun Abu Bakar, dkk, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993. Muryanto, Sri, Islam Agama Cinta, Semarang: Gama Gemilang, 2006. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Cet. I. Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam dengan pendekatan multidisipliner, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Nata, Abuddin, Pendidikan Perspektif Hadits, Jakarta: UIN Press, 2005, Cet. I. Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Pers, 2013, Cet. 1. Nidaul Islamiyyah, Nilai-Nilai Pendidikan Sosial dalam Surat Al-Furqan Ayat 6372,Jakarta: UIN Jakarta,2013. Nuraida, Charater Building Guru PAI, (Jakarta, Aulia Publishing House, 2008), Cet: II. Perpustakaan Nasional RI, Tafsir Al-Qur‘ân
Tematik, Jakarta: Kamil Pustaka,
2014. Rijal, Syamsul Hamid, Buku Pintar Agama Islam “Edisi yang disempurnakan, Bogor: Cahaya Islam, 2006. Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: PT Al-Ma’arif, 2013.
76
Salim, Peter, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta: Modern English Press, 2005. Saiful, Imam Mu’minin, Kamus Ilmu Nahmu & Sharaf, Jakarta: AMZAH, 2009. Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 15. Jakarta: Lentera Hati, 2002 ----------, AL-LUBÂB: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012 ----------. Membumikan Al-Qur‘ân 2, Jakarta: Lentera hati 2010. Sjamsudhuha, Pengantar Sosiologi Islam, Surabaya: JP BOOKS, 2008. Syihab, Umar, Kontekstualisasi Al-Qur‘ân ; Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur‘ân, Jakarta : Penamadani, 2005. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur‘ân, Bandung: Mizan Pustaka, 1997, cet.VI Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986. Soegarda, R. Poerbakadja dan A. H. Harahap, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Balai Pustaka, 1994. Sulaiman, Umar Abdullah Al-Asyqar, ikhlas agar amal tak sia-sia, Jakarta: Gadika Pustaka, 2007, h. 137 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta, 2011. Usman, Asep Ismail, Al-Qur‘ân dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Lentera Hati 2012. Vembriarto, ST., Pendidikan Sosial, Yogyakarta: Paramita, 1984. Yusuf , M. Yunan, Tafsir Juz ‘Amma Sirajl Wahhaj, Jakarta: Pena Madani, 2010.
77
Yunan, M. Yusuf, Tafsir juz ‘Amma As-Sirajul Wahhaj, Jakarta: Penamadani dan Az-Zahra Pustaka Prima, 2010. Z. Zurinal, dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, LPUIN Jakarta, 2008
LEMBAR UJI REFERENSI Nama
Anisya Ulfah
NIM
1111011000070
Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Judul
Tafsir Sflrah Al-Mf iin (Nilai-Nilai Perdidikan Sosial) Judul Buku
No 1
2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'dn, (Bandung: Mizan ,1997) cet. M, h. 319 Said Agil Husin
BAB
No. Footnote
Halaman Skripsi
I
I
I
1
2
2
2
5
10
I
3dan8
2 danl
I
4
J
2
7,27,31,
14,19,22
Paraf Pembimbing
I
,
Munawar, Akrualisasi
Nilai-Nilai Qur'ani (Ciputat PT. Ciputat 3
4
Press,2005), cet II, h. 4. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'dn, Bandung: Mizan Pustaka, 2007 , Cet. 1, h. 16.
Zal
5
Sj
6
Sosiologi Islam, (Surabaya:JP BOOKS, 200$, h, r07-t ts M. Yunan Yusuf, Tqfsir Juz 'Amma Sirajl Wahhaj, (lakarta: Pena Madani, 2010), h.786
7
ZakryahDarajat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan S elro I ah, (J akxta:Ruhama, 1995) cet.2 h.35. 55 .63
P
32
I
5
4
2
39,43, 44
25,26
1
6
4
4
39,51, 61,66, 73.82-
44,47, 49, 51,53,56
1
7
4
2
18,39
L6,24
l )
8
I
10
11
13
15
Umar Syihab, Kontekstualisasi AlQur'dn ; Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hulasm dalam Al - Qur' dn (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm. 41. Peter Salimo Yenny Salim, Kamw B*hosa Indanesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 2005), h.103. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahxa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2AA2), Cet. II, h. 783 MohammadNoor Syam, Fil safat P endidikan dan Das ar Filsafat P endidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h.133 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam , (Jakarta: Logos \Yacana Iknu, 1997),, Cet.I, h.9.
M. Aifin,Ilmu
I
9 dan 10
5dan6
2
1
I
2
2
9
2
3 dan4
9
I
2
6
10
2
Sdanq
10dan 1l
a L
10,31,
LL,24,22,
34, dan
dan 25
Pendidikan Islam; Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan P endelmt an Int erdi s ipline, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. fV, h. 1l
l6
AbuddinNxa"Ilmu Pendidi*an Is lam dengan pendekatan multidis ipl iner, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 13.
4L
rF l-
17
18
19
tl
Akmal Hawl,Kompetensi Guru PAI, (Jakarta: Raiawali Pers, 20 13i"h. 3 Djunaidatul Munawwaroh dan Tanenji, Filsafat P endidikan, (Jakarta: {IIN Press,2003), Cet I. h. 110.
2
2
t2
t2
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH,2008), Cet.I,
2
13
r3
2
14,29
14,20
2
15,37
14,24
16,27,
15, 19 dan 25
11
dan26
I
dan 19
h.1. 20
21
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbqwi, Bandung: Karisma Putra Utama, 20l2,hal. V Abuddin Nx4- Pendidikon Perspelctif Hadits, (Jakarta: LIIN Press, 2005), CeL I, h. 7888
22
23
Mohammad Daud Aii, P endidikan Agama Islam, ( Jakarta; Grafindo, 2008),
h. 199. Abu Ahmadi, Dascr-
2
dan 43
[t7
2
17,21
?
19,2A
l6
2
22
L7
2
23
18
2
24
18
15,
Dasar Pendidtlmn Agama Islarn, (Jakarta: Bumi Aksara,2004), Cet.IV, h. 98. 25
28
Zvljrnal Z. dan Aminuddin, Fiqih lbadah, Ciputat: LPUIN SyaHid, 2008, h.26, 30 Abuddin Natz, Akhlak Ta s aw
29
uf, (Jakarta : Raj a
Pers,2013), Cet. 1, h. 4. M. Alim, Pendidikan Agama klam, Bandung: PT. RemajaRosdaKarya,
20rt"h. 30
151
Abdurrahman Assega{ Fils afat P endidilmn Is lam,
I
31
{Jakarta: Raja Grafindo, 2011). Cet.I.hal.42 Salman Harun, Tafsir Tar b ot vi. (Ciputat:
1 2
29
20
2
35
23
2
36
23
2
37 dan42
23 dan25
2
45,46
?7
4
16,93,
38,62
UIN
Jakarta Press, 2013)h. 3435 33
34
35
39
Kartasapura, G. Kartini, kamus sosiologi dan kependudukan, { Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h.
382 R. Soegarda Poerbakadja dan A. H. Harahap, Ens ikl ope di P en di dikan, {Jakarta: Belai Pustalra, 1994), h. 275 ST. Vembriarto, Pendidikan Sosial,(Yogyakarta: Paramita, 1984), &. 6 Asep Usman Ismail,,4/Qur'dn dan Kesejahteraan S o s i a l, (J akarta: L entera
94
Hati201?),h.4
40
41
42
U. MarnanKh, dkk., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Pral*ek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada Press, 2006), h. 80 Sugiyono, Metode P enel i t i an Kuanti tatif, Kua I i t at if dan Komb in as i (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 20l l). h.287 Rosihon Anw ar,P engantar Ulumul
Qltr'an, @andung: CV Pustaka Setia, 2009), h. 148
J
ldan6
30 dan 32
_)
2 dan3,
31 dan 32
dan 5
a J
4
3t
rY
43
Nasaruddin
Baidan, Penafsiran Al-Qur'dn, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h.
J
7
JJ
I
34
J
34
4
35
5,8,11, 14,17,
35,36, 37,39 ,
19,23, 26,
39, dan 40
6 dan 25
36 dan 40
10
36
12,13, 2A,21,
37 dan39
Metodologi 31
44
45
46
Departemen Agama F.l, AlQur'dn dan Terjemahnya ,
(Bandung: CV. Penerbit Dioonesoro. 200n. h. 485 Imam Saiful Mu'minin, Kamus Ilmu Nahmu & Sharaf, (Jakarta: AMZAH' 2009), h.43-44 Muhammad Badaruddin,
l/-
I
Burhdnfi Ufrmil Qur'dn, (Darul Ihya Kutub Arabiyah, 1957),
jilid
4,h.179 47
47
48
49
50
Ahmad Warson Munawwir, l/Munawwir: Kamus Bahasa ArabIndones ia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.495, 405, 1 587, 647,1586,674, 460, dan 988 Jamaluddin Abi Al-Fadhli
Muhammad, Lisdnul'Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Itmiyah,2003) vol. 14, h. 360, 373 Jamaluddin Abi f-Fadhli Muhammad, Lis dnul' Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmivah" 2003) vol. 8. h. 101 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad Lisdnal'Arab, @eirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah,2003) vol. 14, h. 360, 499-500 Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisdnul'Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob
Al-Ilmiyah,2003) vol. 13, h.260, 515
L=
dan 22
15, 25,
38 dan 40
dan 28 I
\
5t
Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Li"sdnul' Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Itmiyah,2003), jilid 11, h.883
52
Saikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir
Al-Qurthubr, Ter . dari Tafsir AlQurthubi oleh Dudi Rosyadi dan Fahrrahman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), h. 801, 788, 789,
18
38
29,4A, 54,57,81
40,44, 48,49,
dan 76
56 dan 54
l
79t 53
54
Quraish Shihab, Tafsir AlMisbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, vol. 14 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 547 ,546,553, 550, 55 1, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafs ir Ath-Thabari, Terj. Ahsan Askan,, jilid. 15 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2AO7),
h.983.98s.983. 55
9,43,45, 46,65, 54,89
36,
M,
45,46, 51,54, 59
47,49,
53,60, 64, darl 84
51, dan 56
38 dan 49
43 dan 47
1012
Quraish Shihab, Al-Lubdb: Malcna, Tujuaru, dan Pelajaran Surah- Surah Al - Qur' an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012),
-tr
h.760 56
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), h. 280,
779,281,282,
41,42, 50,59,
67,74
44,47, 49,51, 54 dan55
dan 80 58
59
60
Umar Sulaiman Abdullah AtAsyqar, ikhlas agar amal tak siasza, (Jakarta:Gadika Pustaka 2007), h.t37,130,42, Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad, Lisdnul'Arab, (Beirut Libanon: Dar Al Kotob Al-Ilmiyah, 2003), h. 373
A. Mudjab Mahalli, Asbabun
Nwul
Studi Pendalaman
Al-
Qur'dn- Ter, Bahrun Abu Bakar, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002) h.953
24,99,
39,65
100,
30
4L
30 dan 32
4l dan42
7
61
Imam Jalaluddin Al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemah Tafsir Jalolain berikut Asbaabun Nuzul, (Bandung :Penerbit Sinar Baru Bandung, 1990), h. 2791, 2788,
31,63
40,50
62
Allamah kamal faqih imani, Tafsir Nurul Qur'an "sebualt tafsir sederhana menuju cahaya Al-Qur'dn", Ter. Rahardian M.S. (kan: al huda, 2006), jilid xx.. H. 349,352,353, 354, 354,
33,44, 48,55, 68,79, 86,101
42,45, 46,48, 51,54, 57 dan66
35
43
36 dan37
43
47,62,
46,50, 52,54,
63
64
66
67
Hafiz Dasuki, AI-Qur'dn dan Tafs irny a, (Jogj akarta :PT Dana Bhakti Wakaf), h. 815 Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al- Bayan Tafs ir Perujelas Qur'anul K*rim, (Semarang:PT Pustaka Rizky Putra) h. 1618 Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafs ir Al-Maragi, Ter. BAhrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 436, 436, 437, 436, 434,437 Zaini Dahlan, Tafsir Al-Qur'dn , (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf), h.817,818,
70,75, 77,83,
s6,
52,56, 69,95,
47,48, 52,57
68
M.Quraih shihab, Membumilmn Al-Qur'dn 2, (Jakarta: Lentera hati2010)h.186
59
49
69
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma'arif, 2013),
71
52
72,99
53,63,
h.206 70
Sri Muryanto, Islam Agama Cinta, (Semarang: Gama Gemilang, 2006), h. 4A,42
I
h
V
7'
M. Quraish Shihab, Tafsir AtQar'dn Tematik,(Jakarta: Kamil Pustaka,2014), h.276
89
59
72
Syamsul Rijal Flamid, Buku Pintar Agama Islam "Edisiyang dis empurnakan, (Bogor: Cahaya
90
59
91,95
59,62
92
60
I
Islam,2006), h.52L t3
Quraish Shihab, membumikan AlQur'dn, (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h.181,185-186
74
Muhammad Ibnu Ismail Abi Abdullah Al-Bukhari, Al-Jami' As - Shahih
Al- Mukhtas har,
L-
Eairut: Daar Ibnu Katsir, 1987) 75
Firdaus A. N. 325 Hadis
Sqdii pilihan "Jalan ke Surga", (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu
96
63
97 dan
63 dan 67
Java.1990). h. 75 76
Imam Habib Abdullah Haddadh, Nasehat Agama dan Wasiat Imam, ( Semarang: CV. Putra Semarans. 1986). h. 260
102
'-l