TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho
Tafsir adalah penjelasan atau keterangan, dengan demikian pembicaraan kita yang bertajuk "fafsir Konstitusi Terhadap Sistem Peradilan di Indonesia" merupakan pembicaraan tentang penjelasan atau keterangan konstitusional mengenai Sistem Peradilan di Indonesia. Persoalannya adalah siapa yang berwenang memberi penjelasan dan di mana atau dalam bentuk apa penjelasan tersebut dapat ditemukan. Karen a tafsir merupakan hasil dari penafsiran, maka kedudukan atau status dari pihak yang melakukan penafsiran tentu akan berpengaruh terhadap hasilnya. Pihak yang melakukan penafsiran tentunya adalah mereka yang mempunyai otoritas, sehingga penjelasan yang diberikan dapat dijadikan pedoman atau pegangan sesuai dengan kebutuhan. Otoritas dari pihak yang memberikan penjelasan/tafsir dapat didasarkan pada kewenangan yang dimiliki berdasarkan ketentuan hukum maupun atas dasar kriteria lain. Perbedaan kedudukan/statusdari pihakyang memberi penjelasan, akan berpengaruh terhadap penjelasan yang diberikan. Pihak yang secara formal menurut hukum diberi kewenangan untuk melakukan penafsiran, penjelasan/tafsir yang dihasilkan memiliki kekuatan hukum jika dibuat sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku.
*Makalah ini disampaikan dalam Diskusi Panel Pembangunan Hukum Arah Pengembangan Sistem Peradilan Indonesia. diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. pada tanggal24-27 April 2007 di Yogyakarta
193
Siapakah yang berwenang melakukan tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia? Konstitusi atau undang-undang dasar sebagai hukum tertinggi negara (the highest law of the land) tentu tidak mungkin memuat norma hukum sampai detail dan lengkap. Pengaturan penyelenggaraan kehidupan bernegara melalui organ-organ negara dan pengaturan tentang haklkewajiban serta perlindungan warga negara (yang merupakan bagian utama dalam konstitusi) memerlukan pengaturan lebih lanjut. Pengaturan berbagai hal yang diperintakan dalam undang-undang dasar dalam bentuk peraturan hukum yang tingkatnya lebih rendah dikenal dengan sebutan undang-undang organik. Lembaga legislatif sebagai lembaga pembuat undang-undang, adalah lembaga yang melakukan penafsiran konstitusi dengan produk yang berupa undang-undang. Jika undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tersebut dibuat mengikuti tata cara yang telah ditentukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi maka undangundang tersebut mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis. Selanjutnya, bagaimana untuk mengetahui tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia? Konstitusi atau undangundang dasar tidak membuat tafsir, karena bukan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum. Sebagai hukum dasar, konstitusi justru berisi norma-norma hukum yang memerlukan perumusan lebih lanjut. Perumusan norma lanjutan dalam bentuk undang-undang pada hakikatnya merupakan penafsiran. Berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh lembaga peradilan, penafsiran yang dilakukan oleh lembaga pembentuk undang-undang lebih berbobot politik. Hal terse but tidak dapat dihindarkan mengingat bahwa lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga politik yang terdiri dari wakil-wakil rakyat
194
yang dipilih melalui mekanisme politik. Dengan demikian tidaklah keliru pendapat yang mengatakan bahwa hukum adalah hasil dari proses politik (law is a product of political process) dan bukan datang dari langit. Proses politik yang berlangsung di lembaga perwakilan dalam pembuatan undang-undang pada umumnya ditentukan oleh besar kecilnya jumlah suara anggota yang mendukung dan yang menentang. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan, yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kewengan
untuk
melakukan
pengujian
undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar pada hakikatnya adalah kewenangan untuk menafsirkan. Berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah Konsitusi diposisikan sebagai the sole interpreter of the constitution. Hal tersebut cukup mempunyai alasan yang kuat karena penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang dibuat bersifat final and binding. Dengan demikian, bentuk tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia dapat berupa undang-undang maupun putusan Mahkamah Konstitusi.
195
Meskipun kedua lembaga tersebut merupakan lembaga 'penafsir konstitusi ", karen a hakikat dari dua lembaga terse but berbeda, maka juga terdapat perbedaan dalam proses penafsiran. Lembaga legislatif diberi hak inisiatif untuk membuat tafsir konstitusi yang berupa undang-undang. Sedangkan peradilan (Mahkamah Konstitusi) tidak dapat mengambil inisiatif sendiri untuk melakukan penafsiran. Mahkamah Konstitusi sebagai badan peradilan bersifat menunggu pihak-pihak yang mengajukan perkara untuk diperiksa dan diputus. Para pihak yang mengajukan permohonan itupun haruslah pihak yang mempunyai legal standing, yakni pihak-pihak yang hak-hak konstitusionalnya dirugikan oleh undang-undang. Keberadaan berikut kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan akibat dari perubahan paradigma UndangUndang Dasar 1945 yang tidak lagi menganut sistem pembagian kekuasaan
tetapi
pemisahan
kekuasaan
dengan
menerapkan
prinsip checks and balances. Masing-masing organ negara dalam kedudukan yang sederajat satu dengan yang lain. Sebelum UUD 1945 diubah, paradigma yang dipakai adalah "supremacy of parliament" dengan menempatkankan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara dan diberi wewenang untuk menjalankan kedaulatan rakyat. (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum diubah). Melalui Perubahan Ketiga, kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum merupakan pasangang dari penerapan asas kedaulatan rakyat (demokrasi), sehingga pelaksanaan kedaulatan rakyat akan dikontrol oleh norma-norma hukum (nomokrasi).
196
Prinsip
kedaulatan
rakyat
menghendaki
keterbukaan
(tranparancy) dan tanggung jawab (accountability). Sedangkan prinsip
negara hukum menghendaki semua bentuk tindakan dan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
negara harus didasarkan atas
hukum. Dua prinsip penyelenggaraan pemerintahan negara harus tercermin dalam penataan sistem peradilan kita. Kehadiran sebuah komisi yang bersifat mandiri dan diberi wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merupakan (Pasai24B ayat (1) UUD 1945) merupakan paradigma baru untuk membangun sistem peradilan di Indonesia. Di luar lembaga legislatif dan peradilan, seseorang sebagai pribadi dapat melakukan penafsiran sesuai dengan pemahamannya. Namun demikian penafsiran jenis ini tidak mempunyai kekuatan hukum. Penafsiran secara individual baru berpengaruh jika dilakukan oleh seorang ahli di bidangnya dan yang kemudian pendapatnya diakui sebagai doktrin atau ajaran hukum. Konstitusi yang berlaku di Negara Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Sedangkan yang dimaksud dengan UUD 1945 adalah UUD 1945 yang telah diubah melalui Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat. Menurut Pasal II Aturan Tambahan, dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 hanya terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal saja. Artinya, UUD 1945 setelah perubahan tidak lagi menyertakan penjelasan seperti yang pernah ada sebelumnya. Selain
197
itu, kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam kondisi normal hanya menyangkut tiga hal saja, yakni (1) mengubah danmenetapkan Undang-Undang Dasar; (2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; dan (3) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. 8agaimana tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan di Indonesia dilakukan? Tafsir konstitusi terhadap sistem peradilan harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UndangUndang Dasar 1945. Ketentuan yang mengatur tentang sistem peradilan di Indonesia dirumuskan dalam 8A8 IX Undang-Undang Dasar 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman. 8A8 IX terdiri atas Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 248, Pasal 24C dan Pasal 25. Mengingat bahwa UUD 1945 tidak memiliki penjelasan, maka kita harus melihat pada ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasalnya. UUD 1945 tidak menyebutkan tentang sistem peradilan. 8A8 IX yang terdiri atas Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 248, Pasal 24C dan Pasal 25 mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman dan tidak secara eksplisit mengatur tentang sistem peradilan di Indonesia. Kata peradilan hanya disebut dalam Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi: 'Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, Pasal 248 menyebutkan sebuah Komisi Yudisial yang bersifat mandiri dan mempunyai wewenang untuk mengusulkan 198
pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim bukan merupakan wewenang kekuasaan kehakiman. Ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman pasca perubahan undang-undang dasar telah mengalami perubahan. Sebelum perubahan, ketentuan kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 hanya terdiri dua pasal, yakni Pasal 24 dan 25. Pasal 24 UUD 1945 sebelum diubah berbunyi: 'Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang". Rumusan Pasal 24 sebelum diubah berbeda sekali dengan rumusan setelah perubahan. Sebelum perubahan, sistem peradilan atau kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman. Setelah
perubahan
kekuasaan
kehakiman
tidak
hanya
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2)). Meskipun sama-sama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya terdapat perbedaan.
Mahkamah
Agung melaksanakan peradilan untuk menegakkan undang-undang, sedangkan Mahkamah Konstitusi melaksanakan peradilan untuk menegakkan konstitusi. Karena mempunyai fungsi untuk menegakkan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi disebut sebagai the guardian of the constitution.
Di samping itu, dalam Pasal 24 ayat (2) secara eksplisit disebutkan badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
199
Agung yang meliputi lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Artinya, bahwa pelaku kekuasaan kehakiman diluar Mahkamah Konstitusi berpuncak pada dan berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian Mahkamah Agung merupakan peradilan tertinggi yang membawahi empat lingkungan peradilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (2) UU No.4 Tahun 2004. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa pelaku kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi. Bagaimana kedudukan badan atau lembaga lain yang melakukan fungsi peradilan? Apakah hal itu bertentangan dengan konstitusi? Kalau dianggap bertentangan, bagaimana kekuatan dari putusan dari badanbadan atau lembaga-lembaga tersebut? Untuk perihal ini Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan melalui pengujian undang-undang. Perubahan pasal-pasal yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman melalui Perubahan Ketiga,
merupakan bagian dari
perubahan paradigma UUD 1945. Kemandirian kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan dijamin oleh konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: 'Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna rnenegakkan hukum dan keadilan ".
200
Bagaimanakah mekanisme kontrol terhadap pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat merdeka dilakukan? Hakim sebagai pelaku utama dalam sistem peradilan memiliki kebebasan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan ke pengadilan. Campur tangan dari pihak manapun terhadap perkara yang diperiksa, diad iii dan diputus oleh hakirn tidak dapat dibenarkan. Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak bertanggungjawab kepada lembaga lain. Tanggung jawab hakim merupakan tanggungjawab profesi yang tidak tunduk pada lembaga lain. Undang-undang tidak menyebutkan kepada siapa hakim atau peradilan harus bertanggungjawab. Undang-undang hanya menyebutkan bahwa peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Selanjutnya undangundang menyatakan bahwa peradilan dilakukan 'OEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" (Pasal 1, Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 48 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003). Mengingat hakim/peradilan
mempunyai
kedudukan
yang
merdeka dalam melaksanakan fungsinya, maka transparansi dalam menjalani fungsi peradilan merupakan hal yang sangat amat penting. Sidang peradilan harus terbuka untuk umum, kecuali ditentukan lain. Prinsip terbuka untuk umum dalam persidangan masih harus diikuti oleh terbukanya akses bagi publik untuk memperoleh putusan pengadilan secara mudah, cepat dan biaya ringan. Kecepatan dan kemudahan untuk segera dapat mengetahui putusan pengadilan merupakan suatu kebutuhan dan sekaligus tantangan dalam rangka menciptakan sistem peradilan di lndonseia. Sesuai dengan paradigma baru yang didasarkan pada prinsip keterbukaan dan akuntabilitas (kedaulatan
201
rakyat/demokrasi dan negara hukum), maka bentuk pertanggungan jawab lembaga peradilan dapat diwujudkan dalam bentuk penyampaian putusan secara cepat, mudah dan biaya ringan. Dalam rangka untuk melaksanakan prinsip checks and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan, Mahkamah Konstitusi diberi wewenang untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pengujian undangundang merupkan proses penafsiran. Mahkamah Konstitusi akan menguji apakah suatu undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden itu sesuai atau tidak dengan konstitusi (UUD 1945). Konstitusionalitas undang-undang yang diperiksa Mahkamah Konstitusi diputuskan dalam sidang pleno hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan tafsir konstitusi yang bersifat mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang diambil dalam sidang pleno hakim konstitusi merupakan pendapat Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan hukum. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi adalah final and binding dan tidak perlu ada lembaga khusus untuk melaksanakan putusan (eksekusi) karena semua pihak wajib melaksanakan putusan. Putusan mengikat sejak dibacakan dalam sidang pleno hakim konstitusi yang terbuka untuk umum. Dengan demikian, tidak ada pendapat Mahkamah Konstitusi yang disampaikan di luar persidangan dalam bentuk selain Putusan. Sejalan dengan itu, maka tidak pernah ada fatwa yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, yang perlu untuk diperhatikan adalah bagaimana penafsiran dilakukan Apakah suatu penafsiran konstitusi itu harus dilakukan berdasarkan prinsip "original intent", tekstual ataukah yang
202
bersifat kontekstual, sepenuhnya tergantung dari hakim yangjumlahnya sembilan orang. Pembicaraan tentang penafsirkan konstitusi apakah harus mengikuti original intent atau tidak, pernah menjadi perdebatan yang hangat di Amerika Serikat. Perdebatan dipicu ketika Attome General Edwin Meese Ill berbicara di depan Amarican Bar Association
pada tahun 1985. Dalam pidatonya, dia memberikan dukungan terhadap
'a jurisprudence
of original intention". Dia berpendapat bahwa: "The
original meaning of constitutional provisions and statutes provided the only reliable guide for judment". Tiga bulan setelah itu Jutice William
J. Brennen menyatakan ketidaksetujuannya atas pemikiran dari Meesee dan para pendukungnya. Dia menyatakan bahwa penafsiran yang didasarkan pada original intent tidak praktis dan tidak memadai (impractical and inadequate) dan untuk mengetahui secara Pasali tentang original intent bukan hal yang mudah. Bagaimana para hakim Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusional dalam perkara pengujian undang-undang tentunya terpulang dari orientasi para hakim yang berjumlah sembilan orang itu. Jika para hakim berpikiran "conservative"tentu sependapat dengan Meesee, namun jika berpikiran sedikit 'tiberal "dan mendukung judicial activism" mungkin akan sependapat dengan Jutice William J.
Brennen. Menjelang usia empat tahun, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa, mengadili dan memutus benyak perkara pengujian undang-undang. Sebagian dari perkara pengujian undang-undang yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi merupakan undang-undang yang terkait dengan penyelenggaraan sistem peradilan di Indonesia.
203