“Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern”
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh : FIQIH KURNIAWAN NIM: 1112034000072
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2017 M
ABSTRAK
Fiqih Kurniawan Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik Dan Modern Islam kāffah merupakan istilah yang diangkat dari ayat al-Qur‘an. Sementara dalam ranah tafsir sendiri, kata al-silm yang terkandung dalam ayat tersebut memuat beragam macam penafsiran. Kata al-silm mengandung arti Islam, ketaatan, tunduk dan perdamaian. Dari ragam penafsiran tersebut kemudian dalam konteks sekarang di Indonesia sebagian kalangan Islam menggunakan penafsiran al-silm dengan Islam. Implikasi dari penafsiran tersebut kemudian memunculkan pemahaman bahwa Islam harus diterapkan secara kāffah (menyeluruh) meliputi ideologi negara berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 208. Penafsiran yang pada awalnya sebagai sebuah alat untuk untuk mengetahui makna yang terkandung dalam kalam ilahi—bergeser menjadi sebuah alat kepentingan kelompok Islam tertentu. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana sumber teks tafsir berbicara mengenai kata al-silm kāffah dan mengetahui bagaimana relevansi di antara kalangan Islam di Indonesia memahami sebuah konsep Islam kāffah. Maka metode penelitian skripsi yang digunakan peneliti adalah metode analisiskomparatif. Metode bermaksud menganalisis perbandingan penafsiran klasik dengan modern terhadap masalah yang sedang peneliti kaji. Penafsiran klasik menyajikan banyak makna al-silm yang bersumber pada riwayat, sementara mufassir modern lebih menekankan konteks sosial masyarakat dalam penafsirannya. Kemudian untuk mengkaitkan dengan konteks sekarang, penulis menggunakan pendekatan kontekstual Abdullah Saeed. Pendekatan kontekstual bertujuan untuk memahami bagaimana sebuah penafsiran relevan dengan konteks yang mengitarinya. Berdasarkan objek yang diteliti, penulis telah menemukan beberapa temuan terkait tersebut. Pertama, mufassir klasik cenderung menafsirkan al-silm dengan Islam, sedangkan mufassir modern menafsirkan al-silm dengan nilai. Kedua, sebagian kelompok Islam menggunakan Islam kāffah untuk menerapkan syariat Islam. Ketiga, sebagian cendekiawan Muslim di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid menolak pemahaman Islam kāffah, di samping merupakan tindakan subversif kebahasaan, yaitu titik puncak dari Islam kāffah menurut Abdurrahman Wahid ialah mendirikan negara Islam. Keempat, dalam ranah nalar publik, Islam kāffah sebagai ideologi telah mengalami benturan karena berseberangan dengan ideologi Pancasila dan sistem demokrasi yang dianut oleh NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillah. Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan kekuatan jasmani, rohani, taufik, rahmat dan hidayah-Nya, serta kemudahan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan atau pun cobaan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW. Rasul penutup para Nabi, serta tidak lupa untuk para keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi merupakan satu di antara tugas yang harus diselesaikan dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Agama Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul skripsi ini adalah ―Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern‖. Penulis menyadari kesulitan dalam menyelesaikan skripsi yang dikerjakan dan juga penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini dan sangat memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis membuka lebar-lebar kritikan dan saran yang sifatnya konstruktif. Penulis menyadari sepenuhnya, karya ini bisa terwujud bukan karena hasil seorang diri, namun tidak lain berkat dukungan moril dan materil yang telah rela meluangkan waktu disela-sela kesibukannya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
v
1. Bapak Prof. Dede Rosyada, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta seluruh jajarannya. 3. Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, MA. dan Ibu Dra. Banun Binaningrum M.Pd. selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir. 4. Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran serta memberikan banyak ilmu serta dukungan dan motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah memanjangkan umurnya, dan senantiasa membalas segala kebaikan beliau. 5. Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA. selaku Pengasuh penulis ketika mondok di Pondok Pesantren Dar al-Qur‘an ArjawinangunCirebon dan Pamulang-Tangerang Selatan. Maha Guru yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak Kusmana MA. selaku dosen penasehat akademik yang telah memotivasi penulis untuk selalu bersikap kritis serta dituntut untuk selalu doyan membaca. 7. Mang Mukti Ali selaku paman penulis yang telah memberikan banyak ilmu yang tidak didapat penulis selama duduk di bangku kuliah. Yang telah ikhlas merelakan kesibukannya untuk ngaji kitab fiqh dan tasawuf, diskusi tasawuf Ibnu ‗Arabi dan pemikiran-pemikiran tokohtokoh Timur Tengah dan Barat modern.
vi
8. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Bapak H. Sanaji dan Ibu Hj. Nurasiya, yang telah mencurahkan cinta, kasih dan doa-doa yang tulus ikhlas sepanjang waktu. Semoga Allah memanjangkan umur keduanya, senantiasa diberikan kesehatan dan dijembarkan rejekinya. Semoga Allah membalas semua kebaikan-kebaikan keduanya. 9. Keluarga besar Bani Qusyairi dan Bani ‗Abdullah yang telah banyak berbagi suka dan duka, dukungan serta do‘a. 10. Teman-teman seperjuangan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir angkatan 2012, semoga tali kekeluargaan kita semua senantiasa tetap berjalan dengan baik juga semoga senantiasa diberikan kesehatan dan kemudahan dalam mencapai maksud dan tujuannya. 11. Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD), Himpunan Mahasiswa Cirebon Jakarta Raya (HIMA-CITA), dan Persatuan Mahasiswa Alumni Dar al-Tauhid (Permada) Arjawinangun-Cirebon, yang telah banyak memberikan ilmu dalam suasana organisasi dan diskusi-diskusi yang interaktif. 12. Keluarga
besar
alumni
Pondok
Pesantren
Dar
al-Qur‘an
Arjawinangun-Cirebon, Kang Mukromin, Kang Nasihin, Kang Ali Murtadlo, Gus Firnas Adha, Azhar Maulana, Syuhada al-Ibnu, dan lain-lain, yang telah banyak berbagi suka dan duka. 13. Kelompok KKN Infijar, semoga dimudahkan dan dilancarkan dalam menyusun skripsi.
vii
14. Teman-teman Penerbit Buku, Mas Shalahuddin selaku penyunting penerbit Javanica, Exchange, Mas Aryo penerbit Serambi, yang telah memberikan banyak ilmu tentang perbukuan.
Ciputat, 07, 05, 2017
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku ―Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi)‖ yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. A. Konsonan Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ا
-
Tidak dilambangkan
ب
B
be
خ
T
te
ز
Ts
te dan es
ج
J
je
ح
ẖ
h dengan garis bawah
خ
Kh
Ka dan ha
د
D
de
ر
Dz
de dan zet
ix
س
R
er
ص
Z
zet
ط
S
es
ش
Sy
es dan ye
ص
Sh
es dengan ha
ض
Dh
de dengan ha
ط
ṯ
te dengan garis di bawah
ظ
ẕ
zet dengan garis di bawah
ع
‗
koma terbalik di atas hadap kanan
غ
Gh
ge dan ha
ف
F
ef
ق
Q
ki
ك
K
ka
x
ل
L
el
م
M
em
ى
N
en
و
W
we
ٍ
H
ha
ء
‘
apostrof
ٌ
Y
ye
B. Tanda Vokal 1. Vokal Pendek Tanda Vocal Arab
Tanda Vocal Latin
Keterangan
ـــــﹷ
A
fatẖah
ـــــﹻ
I
Kasrah
ـــــﹹ
U
dhammah
2. Vokal Panjang
xi
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ىا
Ā
a dengan garis di atas
ٍى
Ī
i dengan garis di atas
ىى
Ū
u dengan garis di atas
Tanda Vocal Arab
Tanda Vocal Latin
Keterangan
ٌ ـــــﹷ
Ai
a dan i
ـــــﹷ و
Au
a dan u
Contoh: قال
: qāla
َقىل
: yaqūlu
قُل
: qīla
جشي
: jarā 3. Diftong
4. Kata Sandang ()ال
الوسجذ: al-Masjidu الضشوسج
: al-Dharûrah
xii
5. Tasydid ))ــــﹽ
اإلسال ّهُح
: al-Islāmiyyah
ستٌّا
: Rabbunā
6. Ta Marbutah Kata Arab
Alih Aksara
طشَقح
Tarīqah
الجاهعح اإلسالهُح
al-Jāmi‟ah al-Islāmiyyah
وحذج الىجىد
Waẖdah al-Wujūd
7. Singkatan-singkatan QS
: al-Qur‘an Surat
SAW
: Shallallahu ‗Alaihi Wasallam
SWT
: Subhanahu Wa Ta‗ala
RA
: Radhiyallahu ‗Anhu
xiii
DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................i LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................iii ABSTRAK ............................................................................................................iv KATA PENGANTAR ..........................................................................................v PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................ix DAFTAR ISI .......................................................................................................xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ........................................................14 C. Tujuan Penelitian .......................................................................................15 D. Manfaat Penelitian .....................................................................................15 E. Tinjauan Pustaka .......................................................................................16 F. Metodologi Penelitian ...............................................................................19 G. Sistematika Penulisan ................................................................................21 BAB II DISKURSUS ISLAM KĀFFAH A. Definisi ......................................................................................................23 1. Islam ..........................................................................................................23 2. Kāffah ........................................................................................................35 3. Islam Kāffah ..............................................................................................40 B. Pandangan Ulama Terhadap Islam Kāffah ................................................43 C. Cara Pandang Islam Kāffah .......................................................................51 BAB III PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]: 208 A. Asbāb al-Nuzūl QS. Al-Baqarah [2]: 208 ..................................................56 B. Penafsiran Klasik atas al-Silm Kāffah .......................................................59 C. Penafsiran Modern atas al-Silm Kāffah .....................................................67
xiv
BAB
IV
ANALISIS-KOMPARATIF
PENAFSIRAN
KLASIK
DAN
MODERN ATAS AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]:208 DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA A. Corak Penafsiran .......................................................................................76 B. Keserasian al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 ................................77 C. Segi Penafsiran ..........................................................................................78 D. Relevansi Penafsiran ayat al-Silm Kāffah dalam Konteks Indonesia ........84 BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan................................................................................................93
B.
Saran-saran ...............................................................................................94
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................95
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Metode penafsiran terhadap al-Qur‘an senantiasa menarik untuk dikaji maupun diteliti. Jika ditarik pada masa lalu, para ulama klasik telah menerapkan beberapa cara menafsirkan al-Qur‘an, seperti tafsir bi al-Ma‟tsūr yang menekankan pada riwayat dan cenderung tekstualis, sedangkan bi al-Ra‟yi yang lebih mengutamakan pendekatan akal dan cenderung kontekstual.1 Namun, upaya rekonstruksi metode penafsiran tidak berhenti pada masa klasik saja, pada era kontemporer ini beragam cendekiawan Muslim yang konsentrasi di bidang alQur‘an menawarkan beragam cara pembacaan al-Qur‘an, misalnya Muhammad ‗Abduh,2 Fazl al-Rahman,3 atau ‗Abd al-Hay al-Farmāwī. Merujuk pendapat alFarmāwī di dalam kitabnya al-Bidāyah fī Tafsīr al-Maudhū„ī, ia merumuskan ada
1
Misalnya mufassir klasik menafsirkan al-Qur‘an dengan cara: Pertama, bi al-Ma‟tsūr seperti Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān; Ibnu ‗Atiyyah, al-Muharrar al-Wajīz; Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm; al-Suyūtī, al-Dur al-Mantsūr. Kedua, bi al-Ra‟yi seperti al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf; al-Rāzī, Mafātih al-Ghaib; al-Alūsī, Rūh al-Ma„ānī; Abī Hayyān, al-Bahr al-Muhīt; Abī al-Sa‗ūd, Irsyād al-„Aql al-Salīm. Lihat ‗Abd al-Rahman ibn Sulaimān al-Rūmī, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr waManāhijuhu, (Riyādh: Maktabah al-Taubah, 1994) cet. IV. 2 Yang ditekankan oleh ‗Abduh adalah bagaimana caranya mengembalikan al-Qur‘an sebagai kitab hidayah untuk umat Islam.Namun, secara eksplisit ‗Abduh melakukan pembacaan terhadap al-Qur‘an bukan saja lewat ilmu-ilmu yang berkembang dalam Islam, melainkan juga yang berkembang di barat seperti ilmu-ilmu sosial, politik, dan hermeneutika. Aspek tersebut yang secara tidak langsung mempengaruhi pembacaan ‗Abduh terhadap al-Qur‘an. 3 Fazl al-Rahman menawarkan pembacaan al-Qur‘an dengan metode yang dikenal yaitu double movements (gerak ganda). Berbeda dengan ‗Abduh, Ia secara implisit menawarkan pembacaan terhadap al-Qur‘an dengan metode yang berkembang di barat yaitu hermeneutika. Hal tersebut yang mempengaruhi cendekiawan Muslim setelahnya untuk mengembangkan metode pembacaan al-Qur‘an dengan ilmu bantu yang terdapat di barat, khususnya hermeneutika.
1
2
empat metode penafsiran al-Qur‘an 4 yaitu tahlīlī (analitis), ijmalī (global), muqarran (perbandingan) dan maudhū„ī (tematik).5 Beberapa ulama di atas telah menawarkan beragam metode penafsiran alQur‘an menginsipirasi Abdullah Saeed untuk bergelut di dunia kajian al-Qur‘an. Berbeda dengan yang lain, Saeed mempersoalkan pendekatan tekstualis yang mengadopsi pendekatan literalistik terhadap teks.6 Demi menyeimbangkan tafsir tekstual yang begitu dominan, Saeed menawarkan pendekatan kontekstual yang menurutnya amat penting untuk umat Islam kontemporer.7 Perdebatan inilah yang akhir-akhir ini menarik untuk dikaji. Sebagaimana Ahmad Taufik catat bahwa metode tafsir klasik dianggap bisa melahirkan penafsiran yang eksklusif. Ini disebabkan metode penafsiran yang digunakan adalah metode kebahasaan yang cenderung tekstual.8 Berbeda dengan pendekatan tekstual, pendekatan kontekstual cenderung melihat al-Qur‘an terutama sebagai sumber pedoman praktis yang seharusnya diimplementasikan
secara
berbeda
ketika
perubahan
dalam
masyarakat
membutuhkannya, sepanjang tidak melanggar hal-hal fundamental dalam Islam.9 Sementara pendekatan tekstual cenderung bersifat rigid, literal, dan tidak menerima kondisi perubahan zaman. Hal tersebut yang disoroti oleh cendekiawan 4
Penulis punya pendapat berbeda apa yang sudah dirumuskan oleh al-Farmāwī di dalam kitabnya. Menurut penulis apa yang dirumuskan al-Farmāwī ini hanya pada sistematika penulisan saja bukan pada teknik penafsiran. 5 ‗Abd al-Hay al-Farmāwī, al-Bidāyah fī Tafsīr al-Maudhū„ī: Dirasah Manhājiyyah Maudhū„iyyah, (Cairo: Matba‗ah al-Hadharah al-‗Arabiyyah, 1997) h. 9. 6 MK Ridwan, Metodologi Penafsiran Kontekstual; Analisis Gagasan dan Prinsip Kunci Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed, dalam Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 1, No. 1, Juni 2016, h. 4. 7 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 12. 8 Ahmad Taufik, Hubungan Antar Umat Beragama (Studi Kritis Metodologi Penafsiran Tekstual) dalam Journal of Qur‟ȃn and Hadīts Studies, Vol. 3, No. 2, 2014, h. 142. 9 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 43.
3
Muslim kontemporer untuk mengkaji tafsir yang terkait dengan gerakan Islam fundamentalisme.10 Dalam menyikapi persoalan ini, seringkali ayat yang berbunyi tentang Islam yang secara eksplisit disebutkan di dalam al-Qur‘an ditafsirkan secara tekstual seperti, ―Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam‖ (QS. Ali ‗Imran [3]: 19), ―Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,‖ (QS. Ali ‗Imran [3]: 85), ―dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu‖ (QS. AlMaidah [5]: 3). Ayat-ayat di atas sangat rentan untuk dijadikan justifikasi (pembenaran) oleh kelompok Islam fundamentalis 11 atas sikap fanatisme dan sektarianisme 12
10
Izza Rahman dalam tulisannya mengatakan bahwa popularitas di antara para salafi modern seringkali didasarkan pada tradisi tafsir sebagaimana halnya Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm karya Ibnu Katsīr (yang mana secara prinsip dan metode mengikuti apa yang digariskan oleh gurunya yaitu Ibnu Taimiyyah, salah satu figur salafi unggulan) dan Jāmi„ al-Bayān karya alTabarī (sebagian besar direkomendasi dalam tafsir Ibnu Taimiyyah). Lihat Izza Rahman, Salafi Tafsir: Textualist and Authoritarian? dalam Journal of Qur‟ȃn and Hadīts Studies, Vol. 3, No. 2, 2012, h. 200. 11 Istilah fundamentalisme sampai sekarang masih diperdebatkan. Fundamentalisme sendiri merupakan sebuah istilah keagamaan yang lahir dari tradisi keagamaan Kristen. Lihat Badarussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik atas Barat, (Yogyakarta: LKiS, 2015) h. 2. Istilah ini juga tidak bisa lepas dari respon sebagian pemikir Muslim seperti Hassan Hanafi, menurutnya dalam Islam dikenal dengan istilah al-ushȗliyyah sebagai padanan dari kata asing yakni fundamentalisme. Sehubungan dengan ini banyak di kalangan Muslim yang menolak anggapan Barat yang menjadikan istilah fundamentalisme sebagai istilah yang menunjuk peristiwa mutakhir setelah Khomeini memerintah di Iran dan para peneliti Barat memutar balik fakta yang ada. Lihat Hassan Hanafi, Fundamentalisme dan Modernitas Gerakan Islam Kontemporer: Periode Sejarah Ketiga, dalam Hassan Hanafi & Muhammad ‗Abid al-Jabiri, Dialog Timur & Barat: Menuju Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan Egaliter, Penerjemah: Umar Bukhory, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h. 58. Istilah fundamentalisme sering disandingkan dengan ekstrimisme dan radikalisme. Secara sederhana Tholkhatul Khoir telah menulis perbedaan karakter antara ketiganya. Menurutnya, radikalisme adalah orang-orang yang ingin mengubah masyarakat dari atau bersama akarnya. Sementara ekstrimisme adalah komitmen dan keinginan untuk menggunakan sebuah perhitungan yang memberikan nilai yang luar biasa terhadap sasaran dan hasil. Karenanya, ia adalah sebuah gerakan yang rasional, tentunya bagi orang yang bekerja di dalamnya, di mana nilai-nilainya berbeda dengan gerakan lain. Sedang fundamentalisme merujuk pada skripturalisme, pemahaman ketat terhadap perintah-perintah yang tertulis dalam teks-teks agama, dan tendensi kuat untuk kembali kepada dasar-dasar (fundamental) agama. Lihat
4
yang berujung pada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Karena mereka meyakini bahwa apa yang mereka persepsikan tentang Islam adalah yang paling benar (truth claim) 13 atau meminjam istilah Tariq Ramadan—alienasi, 14 sedangkan yang lain adalah salah. Sikap keberagamaan ini yang biasa disebut dengan keberagamaan yang eksklusif.15 Sayangnya, Islam sebagai sebuah agama mempunyai teks yang bisa dipandang dari berbagai sudut. Betapa tidak, al-Qur‘an yang diyakini sebagai Tholkhatul Khoir, Tujuh Karakter Fundamentalisme Islam, dalam Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014, h. 54-55. 12 Sektarianisme adalah semangat membela suatu sekte atau madzhab. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h. 1287. Para penganut sektarianisme berpandangan bahwa realitas duniawi sudah tercemari kejahatan. Kedamaian tak akan tercipta di dalam dunia, melainkan di luarnya. Lihat Muhammad Abu Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai Dalam Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010) h. 11. Jika merujuk dalam alQur‘an, Islam bukanlah agama sektarianisme. Adapun ada beberapa tafsir yang tendesi mengandung ajaran sekte-sektenya. Sekte Mu‗tazilah yaitu al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf. Sekte Syi‗ah yakni Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān. Selain itu alDzahabī mencatat Kitab Tafsīr liSayyīd al-„Alwī sebagai tafsir dari sekte Syi‗ah. Lihat Muhammad Husaīn al-Dzahabī, al-Ittijāh al-Munharifah fī Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm: Dawāfi„uhā wa Daf„uhā, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1986) Cet. III, h. 55. 13 Secara bervariasi, klaim kebenaran agama itu didasarkan atas ajaran otoritatif dari pemimpin karismatik ―yang mendapatkan ilham‖ atau menyerupai orang suci, juga didasarkan pada interpretasi atas teks suci, yang sering dikaitkan dengan para pemimpin berbakat semacam itu. Klaim-klaim itu mewarnai tradisi agama secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Dalam setiap agama, klaim kebenaran merupakan fondasi yang mendasari keseluruhan struktur agama. Namun, ketika interpretasi tertentu atas klaim tersebut menjadi proporsi-proporsi yang menuntut pembenaran tunggal dan diperlakukan sebagai doktrin kaku, kecenderungan terhadap penyelewengan dalam agama ini muncul dengan mudah. Kecenderungan tersebut merupakan tanda-tanda awal kejahatan yang menyertainya. Lihat Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin Washil, (Bandung: Mizan Publika, 2013) h. 78. 14 Istilah alienasi sebagaimana dikutip oleh Abd. Muid—adalah istilah Tariq Ramadhan yang diartikannya sebagai penampilan pemahaman kebenaran yang eksklusif; kebenaran yang buta dan membutakan; kebenaran yang mengukung, bukan yang membebaskan; padahal menafikan keragaman yang merupakan kehendak Tuhan sendiri. Lihat Abd. Muid N. Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun 2013) h. 649. 15 Dalam menanggapi persoalan kebenaran dari tradisi agama, ada beberapa pendekatan yang prinsipil, yaitu, ekslusivisme, inklusivisme, dan pluralisme. Pandangan eksklusivisme sangat ekstrem, karena mengklaim bahwa kebenaran hanyalah miliknya. Sedangkan pluralisme adalah bentuk moderat dari relativisme, yang mengatakan bahwa semua agama adalah benar. Sedangkan inklusivisme yang mengatakan bahwa keselamatan bukanlah milih agama tertentu, tetapi agamaagama lain pun memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang ada di luar dirinya itu disebut sebagai agama ―anonim‖. Lihat Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001) h. 12. Bandingkan dengan buku Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Bersasis Al-Qur‟an, (Depok: KataKita, 2009) h. 54-59.
5
kalam Allah yang transenden (di luar segala kesanggupan manusia), akhirnya harus ―Terintervensi‖ oleh upaya-upaya manusia yang tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan
teologi,
politik,
sosial
dan
budaya.
16
Karenanya,
heterogenitas penafsiran merupakan sesuatu yang tak terelakkan.17 Celakanya, keragaman teks kemudian disederhanakan menjadi satu-dua ayat yang digunakan sebagai justifikasi untuk mengabsahkan kekerasan.18 Karena pembacaan terhadap al-Qur‘an yang cenderung kaku, tekstual dan menanggalkan aspek sosio-historis ketika ayat al-Qur‘an tersebut diturunkan. 19 Kasus ini bisa dilihat pada ayat-ayat tentang perintah membunuh orang kafir,
20
larangan
pengambilan seorang pemimpin non-Muslim 21 dan lebih dari itu, menurut Muhammad al-Ghazali ada orang yang berpandangan dikotomis dengan mengatakan bahwa Islam adalah yang mendorong umatnya untuk berperang.22
16
M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Taufik Adnan Kamal, Rekonstruksi Sejarah al-Qu‟an, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013) h. ix. 17 Junaidi Abdillah, Dekontruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan, (Lampung: Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011) h. 73. 18 Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007) h. 38. 19 Menurut Baharudin, tradisi muslim ‗radikal‘ sering menafsirkan beberapa ayat alQur‘an secara sepotong-potong untuk menguatkan pendirian dan ideologinya. Lihat Mohammad Baharudin, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012) h. 41. 20 Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah). (al-Baqarah [2]: 191). 21 Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. (Ali Imran [3]: 28). 22 Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, (Bandung: Mizan, 2008) h. 113, dalam kasus ini Muhammad al-Ghazali menukil firman Allah yang berbunyi, Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya, dan hanya berhenti sampai di situ, padahal menurut al-Ghazali ayat tersebut masih ada lagi kelanjutannya, Sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya.
6
Abdul Mustaqim mengutarakan bahwa ayat-ayat di atas dapat disebut ayat-ayat ‗radikal‘ 23 yang dapat menjadi pemicu terjadinya aksi kekerasan terhadap non-Muslim, atau bahkan terhadap kelompok lain yang tidak satu ideologi, 24 apalagi jika dipahami hanya dari sisi terjemahan (makna teksnya), tanpa mempertimbangkan konteks, spirit, dan implikasinya dalam masyarakat multikultural dewasa ini.
25
Hal ini yang dicermati oleh Ziauddin Sardar,
menurutnya ada dua kelompok yang sama-sama keliru dalam memahami alQur‘an. Sebagian muslim dijadikan dalil bagi kekerasan tak pandang bulu dan oleh sebagian non-Muslim dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa Islam pada dasarnya adalah agama kekerasan.26 Seperti diketahui, kelompok-kelompok garis keras memahami teks-teks keagamaan secara harfiah, dan mengabaikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak mendukung kepentingan mereka. Maka pesan agama pun direduksi sebatas makna atau pesan yang bisa disampaikan dalam rangkaian-rangkaian huruf-huruf 23
Dalam kamus istilah , radikal memiliki arti sama sekali; besar-besaran dan menyeluruh, keras, kokoh, mau dan tajam (dalam berpikir). Lihat Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, t.th) h. 648. 24 Ideologi dipakai untuk menunjukkan kelompok ide-ide yang teratur menangani bermacam-macam masalah politik, ekonomi dan sosial; atas haluan; pandangan hidup dunia. Lihat Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmah Populer, h. 239. Andrew Heywood mengatakan bahwa, asal usul istilah ideologi sendiri ternyata tidak sejelas yang diduga. Kata ini dipadukan selama Relovusi Prancis oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), dan digunakan di media publik pertama kali 1796. Di benak de Tracy ketika menggagasnya, istilah ideologie berarti ―ilmu tentang ide-ide‖—secara harfiah ―idea-logy‖, sebuah bidang studi yang baru diklaimnya. Menurut Heywood, konsep ideologi sampai sekarang masih terjadi ketidaksepakatan. Namun Heywood menyimpulkan makna-makna terkait ideologi salah satunya; ide-ide politik yang membentuk atau mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kelas atau sosial. Lihat Andrew Heywood, Ideologi Politik: Sebuah Pengantar, Penerjemah: Yudi Santoso, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016) h. 8. Lihat juga L. Laeyendecker, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Penerjemah: Samekto, (Jakarta: Gramedia, 1983) h. 63. 25 Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, h. 356. 26 Ziauddin Sardar, Ngaji Qur‟an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 218.
7
saja sesuai dengan ideologi mereka. 27 Dalam konteks ini, perhatian penulis terhadap masalah tersebut berfokus pada munculnya isu Islam kāffah. 28 Istilah Islam kāffah merupakan salah satu kasus penafsiran yang sampai sekarang masih debatable. Berislam secara kāffah berarti mengamalkan syariat Islam dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan yang diajarkan. 29 Tidak dibenarkan percaya dan mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian ajaran Islam yang lain.30 Pandangan ini berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 208: ―Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.‖(QS. Al-Baqarah [2]: 208) Istilah Islam kāffah diangkat dari kata ( ادخلىا فٍ السلن كافحmasuklah kalian ke dalam al-silm secara kāffah). Dalam literatur tafsir sendiri memunculkan beragam macam penafsiran, sebagian menafsirkan kata al-silm dengan Islam, 27
Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, (Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, the Wahid Institute, Maarif Institue, 2009) h. 103. 28 Isu Islam kāffah sejajar dengan isu islamic state (negara Islam). Dalam era rezim Soeharto, isu Islam kāffah maupun negara Islam tidak bisa didiskusikan secara terbuka, sehingga hanya menjadi diskusi ―bawah tanah‖. Lihat Farha Ciciek, Melawan Kekerasan Yang Tidak Kasat Mata “Pergulatan Kaum Perempuan di Pesantren al-Firdaus, Siraman, Jawa Tengah”. Dalam MAARIF, Vol. 5, No. 2 – Desember 2010, h. 90. Selain itu, Ahmad Syafi‘i Mufid mencatat bahwa faham al-Islām din wa daulah atau Islam kāffah ternyata mendapatkan perhatian dan diminati kalangan kampus dan anak muda Islam pada tahun 1980-an. Lihat Ahmad Syafi‘i Mufid, Faham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di Indonesia, dalam HARMONI: Jurnal Multikultural & Multireligius, Volume VIII, Nomor 30, April – Juni 2009, h. 15. 29 Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan, (Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015) h. 204. 30 Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam, (Jurnal Karsa, Vol IX, 2006) h. 809.
8
sebagian yang lain menafsirkannya dengan kepasrahan, perdamaian, dan ketundukan. Penafsiran terhadap al-silm dengan Islam ini yang kemudian pada konteks sekarang mendapatkan tanggapan yang serius oleh kalangan cendekiawan Muslim di Indonesia. Sementara kata kāffah secara umum dimaknai dengan keseluruhan atau totalitas. Bila ditinjau dari segi penafsiran, perbedaan penafsiran tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori. Pertama, era mufassir klasik seperti; Ṯabarī, 31 al-Qurṯubī, 32 dan Ibnu Katsīr, 33 cenderung menafsirkan al-silm dengan pengertian Islam sebagai agama, yang harus diikuti seluruh syariat-Nya, dengan pengertian mengerjakan seluruh yang diperintah-Nya, dan meninggalkan seluruh yang dilarang-Nya. Sedangkan yang kedua, ter-reprentasi pada mufassir modern seperti Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī.34 Meskipun sebagian mufassir modern berhaluan sama dengan mufassir klasik,35 namun karena pendekatan yang digunakan berbeda dalam penafsirannya, maka mereka lebih cenderung menafsirkan kata al-silm dengan rekonsiliasi. Artinya, rekonsiliasi yang ditegaskan dalam mufassir modern yakni hendak mendamaikan persoalan-persoalan konflik internal umat Islam yang sampai 31
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401. Misalnya Ibnu ‗Abbās juga menafsirkan ayat tersebut dengan, ―di dalam syariat agama Muhammad SAW. seluruhnya. Lihat Muẖammad ‗Alī Baidhāwī, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr ibn „Abbās, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2000) h. 36. 32 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah, 2006) Juz III, Cet. I, h. 329. 33 Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. 34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 543. 35 Seperti tafsir al-Syaikh Muẖammad al-Nawāwī al-Jāwī, Maraẖ Labīd Tafsīr alNawawī, (Dār al-Fikr, t.th) Juz I, h. 54. Lihat juga Bisyrī Mushṯafa, Al-Ibrīz liMa„rifati Tafsīr alQur‟ān al-„Azīz, (Kudus: Menara Kudus, t.th) Juz I, h. 74.
9
sekarang masih saja terus terjadi permusuhan dan pertikaian. 36 Seperti halnya dalam tafsir al-Tabarī, rekonsiliasi yang dimaksud adalah masuklah kamu sekalian dalam perdamaian dan egalitarian atau perbaikan, meninggalkan perang dan membayar jizyah atau upeti.37 Jika mengambil penafsiran al-silm kāffah dengan Islam yang menyeluruh, maka ayat ini berarti memerintahkan kepada setiap orang yang beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam secara totalitas. Konsekuensi pemahaman seperti ini yang pada era dewasa sekarang akrab disebut dengan Islam kāffah yang mengandaikan tegaknya syariat Islam sebagai sumber hukum di muka bumi. 38 Pemahaman tersebut mencapai titik kulminasi (tertinggi) ketika al-silm bermakna dengan Islam ditafsirkan secara formalis dan simbolis. Artinya, pengaktualisasian Islam tidak berhenti sebatas tingkah laku personal, lebih dari itu yang dikehendaki Islam kāffah adalah penerapan secara menyeluruh meliputi perubahan ideologi dan struktur negara yang sesuai dengan syariat Islam. Masalah demikian bisa
36
Penafsiran demikian bisa dilihat dalam tafsir Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr alQur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II. 37 Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398. 38 Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam, h. 809. Terakit dengan ini, Gus Dur mengatakan bahwa bermula dari ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam kategori al-akhta‟ al-sya‟iah (kesalahankesalahan yang populer) yaitu idiom ―Islam kāffah‖ yang hanya dikenal dalam komunitas muslim Indonesia yang tidak begitu akrab dengan kaidah-kaidah gramatikal Arab. Istilah ―Islam kāffah ‖ tidak hanya merupakan tindakan subversif gramatikal tetapi juga pemaksaan istilah yang kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk ―Islam kāffah‖ ini sebagai doktrin teologis. Doktrin ini di tangan mereka mengalami pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Lihat Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. (Jakarta: The Wahid Institue, 2006) h. 3
10
dilihat pada pemikiran tokoh-tokoh perintis Islam fundamentalis kontemporer blok timur seperti al-Maudūdī,39 Sayyid Quṯb,40 dan Taqiyuddin al-Nabẖani.41 Pemikiran dan gerakan Islam di negara-negara Islam memang mempunyai pengaruh luas terhadap pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, meskipun ada juga beberapa perbedaan penting, baik dalam substansi maupun bentuknya. 42 Namun, ide taṯbīq al-syarī„ah (penerapan syariat) masih menjadi ―idaman‖ bagi para penyeru negara Islam khususnya di Indonesia, 43 hal tersebut sesuai dalam pandangan sebagian gerakan Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama dan negara.44 Karena menurutnya, Islam adalah agama dan sekaligus kekuasaan,
39
Misalnya al-Maudūdī dengan ẖakimiyatullah yang diartikan dengan hanya mengikuti peraturan-peraturanNya saja. Abū al-‗Alā al-Maudūdī, al-Khilāfah wa al-Mulk, (Dār el-Qalam, 1978) Cet. I, h. 16. 40 Sama halnya dengan al-Maudūdī, bentuk pemerintahan yang ideal adalah suatu negara yang berdasarkan atas kedaulatan hukum Ilahi (ẖakimiyatullah). Sayyid Quṯb, Petunjuk Sepanjang Jalan, (tp, t.th) h. 38. 41 Taqiyuddin ialah pendiri Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, Allah telah mewajibkan umat Islam agar menerapkan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka, menjalankan pemerintahan Islam, serta menjadikan hukum-hukum syariat yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sebagai konstitusi dan sistem perundang-undangan mereka. Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara Khilafah Islamiyyah, Penerjemah: Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa, (Bangil: Al-Izzah) 2008. h. 376. Lihat juga Taqiyuddin al-Nabẖani, Mafāhim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2011) Cet. XI, h. 21. 42 Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2012) h. 92. 43 Khamami Zada telah mencatat gerakan Islam radikal di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran tokoh (pionir) beberapa negara Timur Tengah, seperti al-Maudūdī, Sayid Quṯb, Hassan al-Banna, Hasan al-Turabi, dan Muẖammad Taqiyuddin al-Nabhani. Pada gilirannya, Islam radikal di Indonesia pun sebagiannya dalam hal penamaan organisasi/kelompok menggunakan nama yang sama dengan gerakan Islam di Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Front Islamic Salvation (FIS), dan Mujahidin. Lihat lebih detail, 43 Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, h. 92. 44 Farag Fouda, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, Penerjemah: Novriantoni, (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. II, h. 9. Diskursus tentang hal demikian sebenaranya telah ada sejak dulu. Para pemikir dan tokoh Islam modernis dan Masyumi di Indonesia selain Z.A. Ahmad, banyak mengupas gagasan negara Islam dan terlibat dalam polemik soal dasar negara pada awal kemerdekaan hingga pada masa perdebetan di Majelis Konstituante tahun 1957. Agus Salim, Muhammad Natsir, Soekiman, Kahar Muzakkar, Hamka, Isa Anshari, Kasman Singodimedjo, banyak menggagas soal Islam sebagai dasar negara dan tentang konsep negara Islam sejak era kebangkitan hingga awal dan pasa-
11
sehingga hubungan antara agama dan negara, antara aspek ritual dan politik, sangat erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisahkan.45 Pada aspek lain, sebagaimana dalam pandangan Moh. Zahid, ia menyebut stigma terhadap Islam bahwa tindakan kekerasan seringkali dikaitkan sebagai upaya berislam kāffah dengan pemberian label jihad dan amar ma„ruf nahi munkar untuk membenarkan dan menguatkan kebenarannya. 46 Lebih tegas lagi Abdul Mustaqim mengatakan bahwa dalam benak mereka, seolah ada anggapan bahwa jika seorang muslim semakin militan dan agresif, serta intoleransi akan semakin Islamis dan semakin kāffah.47 Dengan demikian, ayat al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 ini telah mengeluarkan satu poin pemikiran yang sangat mendasar dalam wacana Islam kontemporer yaitu bagaimana al-silm kāffah diartikan dengan Islam secara menyeluruh (Islam kāffah). Pandangan demikian yang menurut hemat penulis sangat kontradiktif apabila mengacu pada aspek penafsiran yang sangat multitafsir. Apalagi tidak ditemukan dalam ijma„ (konsensus) tafsiran kata al-silm
kemerdekaan tahun 1945. Sedangkan kartosoewirjo, Daud Beureuh, dan Kahar Muzakkar yang terlibat dalam gerakan DI/TII dalam fase yang panjang sejak tahun-tahun awal pasca-kemerdekaan hingga tahun 1964; negara Islam merupakan tujuan dari gerakannya, yakni membentuk Negara Islam Indonesia. Lihat Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, h. 172. 45 Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakara: Paramadina, 2003) h. 93. 46 Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam, h. 816. 47 Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, h. 361. Lihat juga Irfan Idris, Membumikan Deradikalisasi, (Jakarta: Daulat Press, 2016) h. 30.
12
adalah Islam. 48 Sehingga perlu untuk mengadopsi penafsiran lain yang lebih inklusif untuk menghindari pemahaman yang keliru di tengah masyarakat dalam menyikapi QS. Al-Baqarah [2]: 208. Tidak dapat dipungkiri bahwa sentralitas penafsiran, baik penafsiran klasik maupun modern, atau penafsiran secara tekstualis maupun kontekstualis, seringkali dijadikan pijakan legitimasi (pembenaran) untuk beberapa tindakan yang berdasarkan pada produk penafsiran yang inklusif atau eksklusif. Karena istilah Islam kāffah sebagaimana yang muncul dan berkembang sekarang, merupakan sesuatu yang berangkat dari sebuah penafsiran secara tekstual 49 terhadap teks al-Qur‘an. Sehubungan dengan ini Abdullah Saeed menulis: Pada masa modern, tekstualisme secara erat dihubungkan dengan aliran salafisme kontemporer, namun pendekatan ini seharusnya dipahami sebagai pendekatan yang lebih tersebar luas, mengingat banyak pemikiran tradisional dalam penafsiran-penafsiran ayat-ayat hukum dan teologi didasarkan pada pendekatan tekstual seperti ini.50 48
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur‟an. (Manado: Jurnal Al-Ulum, Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011) h. 291. Bahkan dalam tradisi tafsir dikenal dengan istilah Ijma„ (kesepakatan). Berbeda dengan fiqh yang mempunyai bagian istimewa karena keperdulian para ulama, maka ijma„ merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting. Sebaliknya, para ulama tidak terlalu memperdulikan ijma„ dalam dunia tafsir. jika fiqh menandakan kesepakatan atas suatu hukum syara‗, maka ijma„ dalam tafsir adalah adanya kesepakatan dari para mufassir dari sesuatu yang tetap tentang penyingkapan ucapan mereka di dalam tafsir—atas suatu makna dari beberapa makna dalam menafsirkan ayat dari Kitab Allah. Lihat Musa‗īd ibn Sulaimān al-Ṯayyār, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, (Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993) h. 70. 49 Yusuf Rahman dalam menela‘ah buku Adis Duderija ―Constructing a Religiously Ideal “Believer” and “Woman” in Islam: Neo-traditional Salafi and Progressive Muslims‟ Method of Interpretation, ia menggambarkan perbedaan metode pendekatan penafsiran antara muslim Salafi, atau neo tradisional salafi (NTS), dengan muslim progresif (MP). Menurutnya, yang pertama menggunakan pendekatan tekstual sementara yang kedua menggunakan kontekstual. Kedua pendekatan inilah yang kemudian mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkan tema-tema penting dalam Islam, seperti konsep orang beriman (believer/mu‟min) dan perempuan (woman) yang ideal dalam Islam. Lihat Yusuf Rahman, Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap alQur‟an dan Hadits (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif), Journal of Qur‘ȃn and Hadȋth Studies – Vol. 1, No. 2 (2012), h. 297. 50 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 38. Secara lebih gamblang Saeed menjelaskan lebih lanjut. Saeed membagi praktik tekstualisme dalam suatu spektrum: dari tekstualisme lunak (soft tekstualisme) hingga tekstualisme keras (hard tekstualisme). Tekstualisme lunak menganggap makna literal sebagai basis pengkajian makna teks,
13
Pemahaman tentang praktek penafsiran yang digambarkan Abdullah Saeed di atas, bisa diasosiasikan dengan cara pandang sebagian gerakan Islam yang melakukan pendekatan terhadap al-Qur‘an secara tekstual (literal), sebagaimana dalam kasus kata al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 di atas. Dan hingga sekarang, istilah Islam kāffah sangat familiar dijadikan sebuah alat legitimasi khususnya di Indonesia. Karena bagi yang pro-penafsiran al-silm dengan Islam— mengatakan ayat tersebut merupakan sebagai sebuah perintah untuk menegakkan syariat Islam secara kāffah dalam tataran personal maupun struktur negara. Sementara tidak sedikit pula cendekiawan Muslim yang menolak pemahaman tersebut. Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern.” Penelitian ini penting dilakukan untuk melihat perbedaan dan pergeseran makna terhadap kata al-silm kāffah di kalangan para mufassir, baik klasik maupun modern. Penelitian ini juga akan melihat kesesuaian penafsiran-penafsiran mereka dengan persoalan kekinian, khususnya Indonesia. Dalam literatur tafsir sendiri, kata al-silm memiliki banyak arti/penafsiran seperti ketaatan, tunduk, perdamaian, dan Islam (agama). Penulis menyoal
tetapi juga memungkinkan kelenturan penafsiran sambil berusaha mempertahankan makna berbasis riwayatnya. Tekstualisme keras mempraktikkan pemahaman makna literal kata secara kaku tanpa mempertimbangkan kompleksitas maknanya. Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 38.
14
kembali pemaknaan kata al-silm dan al-silm kāffah perspektif karya tafsir klasik dan modern agar relevan dengan kondisi kekinian, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, judul penelitian skripsi ini adalah Tafsir al-Silm Kāffah dalam QS. AlBaqarah [2]: 208: Studi Komparatif Penafsiran Mufassir Klasik dan Modern. B. Batasan dan Rumusan Masalah Mengacu kepada latar belakang di atas, penulis membatasi diri pada kajian menyangkut penafsiran. Pada poin ini, penulis meneliti penafsiran ayat yang terkait terma al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 dalam tafsir klasik seperti al-Ṯabarī, al-Qurṯubī, dan penafsiran modern seperti, Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī. Penulis menggunakan penafsiran al-Ṯabarī dan al-Qurṯubī untuk melihat aspek penafsiran yang ditekankan oleh keduanya yaitu berupa kecenderungan tekstualis yang berkaitan dengan kebahasaan. Karena aspek tersebut menyediakan berbagai macam tafsiran yang diakses lewat jalur riwayat dan qira‘at. Selain itu penulis menggunakan penafsiran Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī untuk melihat aspek penafsiran dari sudut aspek sosial (adab alijtimȃ„). Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah skripsi ini adalah Bagaimana penafsiran mufassir klasik dan modern terhadap kata “al-silm kāffah” QS. al-Baqarah [2]: 208 dan relevansinya dalam konteks kekinian, khususnya di Indonesia?
15
C. Tujuan Penelitian 1. Penulis berusaha mencari relevansi penafsiran al-Ṯabarī, al-Qurṯubī, alMarāghī, dan Muẖammad ‗Abduh dengan menyesuaikan terhadap masyarakat Indonesia, dengan situasi dan kondisi kebhinekaan suku bangsa, ras dan agama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan budaya yang sama-sama berkeinginan untuk menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera. 2. Penelitian ini sekaligus berusaha mengetahui perdebatan akademik dalam menyikapi paham Islam kāffah di tengah masyarakat Indonesia pada masa kini dengan cara mengumpulkan data-data yang terlibat yaitu dari sumber pustaka maupun sumber internet yang berkaitan dengan pemahaman terhadap Islam kāffah. D. Manfaat Penelitian 1.
Secara Teoritis a.
Hasil pembahasan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai terma al-silm kāffah secara komprehensif, sehingga menjauhkan dari produk penafsiran secara literal yang bertentangan dengan konteks sekarang di Indonesia.
b.
Selain itu juga sebagai bahan khazanah keilmuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna al-silm kāffah dalam berbagai literatur kitab tafsir.
2.
Secara Praktis
16
a.
Sekiranya pembahasan ini dapat mengurangi pemahaman keliru yang berkembang di kalangan masyarakat dalam menyikapi istilah Islam kāffah yang digencarkan oleh sebagian kalangan Islam untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia.
b.
Selain itu agar dapat menambah rasa kasih sayang di antara sesama manusia, serta memberikan motivasi untuk menegakkan agama Islam yang mempunyai rasa cinta damai dan menghargai perbedaan dalam tatanan masyarakat Indonesia yang pluralistik.
E. Tinjauan Pustaka Sejauh penelaah penulis, belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus membahas tentang masalah ayat al-silmi kāffah dalam tinjauan penafsiran mufassir klasik dan modern. Meskipun sudah terdapat beberapa penelitian dalam bentuk buku, namun dalam perspektif yang berbeda. Selain aspek penafsiran, penelitian ini juga merambah pada aspek gerakan keagamaan yang menunggangi doktrin Islam kāffah sebagai kepentingannya. Dua aspek tersebut yang membedakan dengan penelitian-penelitian lainnya yang penulis temukan di bawah ini. Pertama, penelitian dalam bentuk buku yang dilakukan oleh Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual: Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah.51 Rahman dalam buku tersebut menjelaskan bahwa Islam harus diamalkan secara totalitas, tidak sepotong atau sepihak, serta kontekstual. Yang menarik adalah buku tersebut membicarakan Islam kāffah tidak hanya dalam segi syariat, tauhid, 51
Abd. Rahman Assegaf, Studi Islam Kontekstual; Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah. (Yogyakarta, Gama Media, 2005)
17
atau akhlak saja, melainkan juga memperhatikan isu-isu kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Kedua, jurnal yang cukup menarik di tulis oleh Moh. Zahid dengan judul Islam Kaffah dan Implementasinya (Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam).52 Dengan cara pandang hukum Islam, Zahid secara eksplisit menyetujui konsep keberislam secara kāffah. Namun, Zahid mengatakan bahwa wujud kongkrit Islam kāffah diyakini akan berbeda-beda di muka bumi karena implikasi dari pemahaman terhadap konsep qat„i-zanny. Ia juga mengakui bahwa dalam hukum Islam juga terdapat keragaman sehingga tidak mungkin untuk menerapkannya. Ketiga, buku yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tuwaijiri dengan judul Ensiklopedia Islam Kaffah. 53 Ensiklopedia tersebut merupakan cakupan hampir seluruh persoalan tentang Islam seperti; akidah, tauhid dan keimanan, adab (etika), serta persoalan fiqh seperti taharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. At-Tuwaijiri berhasil menyatukan pemahaman persoalan keislaman secara menyeluruh. Pendeknya, ia memahami Islam kāffah sebagai sebuah perangkat yang tersaji secara lengkap dalam disiplin ilmu keislaman. Keempat, penelitian dalam bentuk Tesis ditulis oleh Muslih Hidayat berjudul, Strategi Pendidikan Islam Kaffah Dalam Kegiatan Kerohanian Islam Dan Halaqah Tarbawiyah Serta Implikasinya Terhadap Sikap Keberagamaan
52
Moh. Zahid, ―Islam Kaffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam,‖ Jurnal KARSA, Vol. IX, 2006. 53 Syaikh Muhammad bin Ibrahim at Tuwaijiri, Ensikopledia Islam Kaffah, (Surabaya: Pustaka Yassir, 2013).
18
Siswa Di Sma Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta.54 Tesis tersebut menyajikan penelitian lapangan yang berkaitan dengan dunia pendidikan sekolah. Secara singkat, Muslih memahami Islam kāffah sebagai sebuah sistem yang berkaitan dengan kegiatan agama yang ada di sekolah ia teliti. Kelima, karya tulis lainnya tentang Islam kāffah tersaji dalam karya Hilmy Bakar Almascaty, Islam Kaffah: Paradigma Idiologi dan Intelektual Untuk Aktivis Gerakan Islam. 55 Secara garis besar, Hilmy Bakar mendukung penuh terhadap gagasan Islam kāffah dalam pengertian menerapkan syariat Islam. Tidak sampai di situ, ia mencoba untuk mengubah paradigma negatif terhadap Islam kāffah, bahwa Islam kāffah merupakan jalan yang lurus atau benar dalam pandangan al-Qur‘an dan sunnah bukan jalan yang sesat. Oleh karena itu, ia mendukung penuh gagasan dari berbagai tokoh yang menyetujui ideologi tersebut. Beberapa literatur pustaka yang telah penulis sampaikan di atas, belum ada yang meneliti penafsiran al-silm kāffah perspektif karya tafsir, khususnya karya tafsir klasik (tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī) dan modern (tafsir al-Manār dan tafsir al-Marāghī). Ranah kosong inilah yang penulis akan teliti tentang penafsiran al-silm kāffah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 dari perspektif karya tafsir klasik dan modern. Meskipun penulis tidak menafikan ada yang memahami al-silm kāffah dengan Islam Kāffah.
54
Muslih Hidayat, Strategi Pendidikan Islam Kaffah Dalam Kegiatan Kerohanian Islam Dan Halaqah Tarbawiyah Serta Implikasinya Terhadap Sikap Keberagamaan Siswa Di SMA Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta, (UIN Sunan Kalijaga: Program Studi Pendidikan Islam, 2015). 55 Hilmy Bakar AlMascaty, Islam Kaffah: Paradigma, Intelektual, Gerakan. Di unduh dari https://www.scribd.com/doc/17233507/. Diakses pada tanggal 20/10/2016.
19
F. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penela‘ahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
2.
Metode Pengumpulan Data a.
Sumber Data Primer
Sumber primer adalah tempat atau gudang penyimpan orisinal dari data sejarah.56 Adapun sumber data primer yang berkaitan dengan buku yaitu Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 2015. Sementara tafsir yang akan diteliti yaitu tafsir Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-Fikr, 2005. Aẖmad bin Abī Bakr alQurṯubī, al-Jāmi„ li Ahkam al-Qur‟ān, Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah, 2006. Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār. Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1999. Ahmad Mushtafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Mesir: Syarkah Maktabah wa Maṯba‗ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946. b. Sumber Data Sekunder Sumber sekunder adalah catatan-catatan yang ―jaraknya‖ telah jauh dari sumber orisinil. 57 Data sekunder merupakan data pendukung, biasanya sudah tersusun dalam dokumen-dokumen,58 buku-buku, kitab tafsir, kitab hadis, kamus,
56
Moh, Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) Cet. VII, h. 50. Moh. Nazir, Metode Penelitian ,h. 50. 58 Sumardi Surya Brata, Metode Penelitian, (Jakarta: Grafindo Persada, 1998) h. 85. 57
20
artikel di majalah dan internet, maupun media informasi lainnya yang bisa dipertanggungjawabkan kebenaran datanya yang berkaitan dengan pokok pada permasalahan ini dan dianggap penting untuk dikutip. 3.
Metode Analisis Data a.
Metode Deskriptif Analisis
Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yang ditawarkan oleh Abdullah Said yaitu kontekstual. pendekatan ini menaruh perhatian terhadap suatu konteks yang mengitari suatu teks ketika diturunkan, kemudian menyesuaikannya dengan masa kini.59 b. Metode Analisis-Komparatif Metode
komparatif
sendiri
terdapat
tiga
aspek
yang
dapat
diperbandingkan, yaitu membandingkan ayat al-Qur‘an dengan ayat yang lainnya, baik redaksinya sama maupun membandingkan ayat yang seolah-olah saling bertentangan, membandingkan ayat al-Qur‘an dengan hadits-hadits nabi, dan membandingkan berbagai penafsiran ulama tafsir dengan pendapat yang lainnya.60 Dalam penelitian ini, penulis membandingkan penafsiran Ibnu Jarīr alṮabarī, al-Qurṯubī, al-Marāghī dan Muhammad ‗Abduh mengenai makna al-silm kāffah. Karena yang menjadi sasaran pembahasan adalah pendapat ulama tafsir, maka metodenya adalah: 1) menyajikan ayat yang dijadikan objek studi beserta sebab turunnya ayat tersebut; 2) mengumpulkan dan mengemukakan pendapat
59 60
383.
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015). Nashrudin Baidan, Wawasan Baru al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h.
21
para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut, 61 dalam hal ini penafsiran ulama klasik dan modern yang dijadikan objek kajian; 3) membandingkan pendapat mereka untuk mendapatkan persamaan dan perbedaannya. G. Sistematika Penulisan Sistematika pembahasan dalam kajian ini terdiri dari lima bab, yaitu: Bab I pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika pembahasan. Bab II membahas diskursus umum tentang Islam kāffah. Pertama menyajikan definisi antara Islam dan kāffah dan Islam. Setelah itu, menyajikan pandangan ulama terhadap Islam kāffah. Kemudian mencari cara pandang Islam kāffah dalam konteks pemikiran Islam dan negara. Bab III membahas penafsiran terhadap ayat al-silm kāffah. Poin pertama membahas sebab turunnya ayat tersebut, lalu kedua pada aspek penafsiran dibagi menjadi dua bagian yakni penafsiran klasik dan penafsiran modern. Bab IV membahas analisis-komparatif antara penafsiran klasik dan modern. Aspek pertama, menjelaskan tentang corak penafsiran. Kedua, terkait dengan keserasian ayat al-silm kāffah dengan ayat sebelumnya. Ketiga, menjelaskan penafsiran, dan keempat menjelaskan relevansi ayat al-silm kāffah dengan konteks Indonesia. 61
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 145. Syukri Saleh menambahkan dengan metode membandingkan pendapat mufassir sehingga diketahui identitas, pola pikir, kecenderungan dan aliran yang mereka promosikan. Lihat Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007) h. 53.
22
Bab V adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran-saran penulis berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan penulisan skripsi ini.
BAB II DISKURSUS ISLAM KĀFFAH
A. Definisi Sebelum mendefinisikan istilah Islam kāffah secara utuh, perlu diketahui bahwa istilah tersebut berangkat dari sebuah ayat yang berbunyi udkhulū fī al-silm kāffah, 1 artinya masuklah kalian semua ke dalam Islam/perdamaian secara menyeluruh.2 Dari ayat tersebut kemudian menjadi sebuah istilah yang maklum disebut dengan Islam kāffah. Sejalan dengan hal ini Esack mengatakan bahwa pengkajian atas istilah din dan, terutama, islam, jelas menjadi sentral bagi pemahaman ayat-ayat ini dan juga soal Islam, eksklusivisme, dan pluralisme agama.3 Oleh sebab itu dalam bab ini, penulis akan menjelaskan keterkaitan ayat al-silm kāffah dengan Islam kāffah dalam format yang eksklusif dan sebaliknya perdamaian kāffah yang bersifat inklusif. 1. Islam Di dalam al-Qur‘an, kata yang terambil dari akar kata s-l-m disebut sebanyak 73 kali, baik dalam bentuk fi„il (kata kerja), mashdar (kata dasar/asal), maupun isim fa„il (kata sifat/pelaku perbuatan) dengan perincian sebagai berikut:
1
QS. Al-Baqarah [2]: 208. Penulis menyajikan makna Islam/Perdamaian merujuk pada penafsiran Quraish Shihab terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 208. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 544. 3 Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme, Penerjemah: Watung A. Budiman, (Bandung: Mizan, 2000) h. 169. 2
23
24
1.
Bentuk fi„il:
a. Fi„il madhi (sebanyak 14 kali): 1) Aslama: 5 kali: QS. Al-Baqarah [2]: 112. ‗Ali ‗Imrān [3]: 83, al-Nisā [4]: 125, al-An‘ām [6]: 14, al-Jin [72]: 14. 2) Aslamā: 1 kali pada QS. Al-Shāffat [37] : 103. 3) Aslamū: 3 kali QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 20. Al-Māidah [5]: 44, al-Hujurat [49]: 17. 4) Aslamtum: 1 kali pada QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 20. 5) Aslamtu: 3 kali pada QS. Al-Baqarah [2]: 121, ‗Ali ‗Imrān [3]: 20, dan al-Naml [27]: 44. b. Fi„il Mudhari„: (sebanyak 5 kali): 1) Yuslim pada QS. Luqmān [31]: 22. 2) Yuslimūn pada QS. Al-Fath [48]: 16. 3) Tuslimūn pada QS. Al-Nahl [16]: 81. 4) Uslima pada QS. Ghāfir 40: 66. 5) Muslima pada QS. AlAn‗ām [6]: 71. c. Fi„il Amar: (sebanyak 3 kali): 1) Aslim pada QS. Al-Baqarah [2]: 131. 2) Aslimū: QS. Al-Hajj [22]: 34, dan al-Zumar [39]: 54. 2. Bentuk Mashdar sebanyak 9 kali. a. Kata dasar aslama sebanyak 8 kali: 1) Al-Islām 6 kali: QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 18, 85; al-Māidah [5]: 3; al- An‗ām [6]: 125; al-Zumar [39]: 22; alShāff [61]: 7. 2) Islāmakum pada QS. Al-Hujurat [49]: 17. 3) Islāmihim pada QS. Al-Taubah [9]: 74. b. Kata dasar salima: al-silm QS. Al-Baqarah [2]: 208. 3. Bentuk fa„il/kata sifat: sebanyak 24 kali. a. Mufrad sebanyak 3 kali: 1) Musliman 2 kali, QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 67; Yusuf [12]: 101. 2) Muslimātun QS. Al-Baqarah [2]: 128. b. Mutsanna 1 kali pada QS. Al-Baqarah: 128.
25
c. Jamak sebanyak 38 kali: Muslimūn 15 kali pada QS. Al-Baqarah [2]: 132, 133, 136; ‗Ali ‗Imrān [3]: 152, 64, 80, 84, 102, al-Māidah [5]: 111; al-Naml [27]: 81; al-‗Ankabūt [29]: 46; al-Rūm [30]: 53; al-Jin [72]: 14. Secara lebih ringkas, dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Mustaslimȗn (menyerah diri) Mustaslimȗn juga memiliki huruf dasar yang sama dengan ―Islam‖, yaitu sin, lam, dan mim. Sehingga Mustaslimȗn atau menyerah diri merupakan makna lain dari Islam secara bahasa. Allah SWT Berfirman:
―Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” (QS. Al-Shāffat [37]: 26) 2. Aslama (menyerahkan diri)
“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.‖ (QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 83)
26
“(tidak demikian) bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]: 112) 3. Salīm (bersih dan suci)
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Al-Syu‘ara [26]: 89)
“(lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.” (QS. Al-Shāffat [37: 84) 4. Salmu (damai) Al-silm yang diartikan dengan Islam, dalam bentuk fathah sin juga diartikan dengan perdamaian merujuk QS. Al-Anfāl [8]: 61.
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah.‖ (QS. Al-Anfāl [8]: 61).
“Janganlah kamu lemah dan minta damai Padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu. (QS. Muhammad [35]: 47) 5. Islam
27
Kata salm dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Selain itu, dalam al-Qur‘an banyak ayat yang secara eksplisit menyebutkan kata Islam sebagaimana berikut:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 19)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. ‗Ali ‗Imrān [3]: 85)
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. Al-Māidah [5]: 3) 6. Salām (selamat dan sejahtera)
―Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (QS. Maryam [19: 47) 7. Muslimūn (menyerahkan diri)
28
―Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah Kami menyerahkan diri." (QS. ‗Ali ‗Imrūn [3]: 84)
“Ya Tuhan Kami, Jadikanlah Kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu Kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada Kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji Kami, dan terimalah taubat kami.” (QS. Al-Baqarah [2]: 128)
29
“Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. Al-Baqarah [2]: 132) Menurut Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat ini, Ibrahim telah mewasiatkannya yakni millat/agama, atau prinsip ajaran itu kepada anak-anaknya, yakni Ismail, Ishak, dan saudara-saudara mereka, demikian pula Ya‗qub, yang merupakan anak Nabi Ishak putra Nabi Ibrahim as. Dia juga mewasiatkkannya kepada anak-anaknya, yakni para leluhur dari Bani Israil yang hidup pada masa Nabi Muhammad SAW.4 Wasiat adalah pesan yang disampaikan kepada pihak lain secara tulus, menyakut suatu kebaikan. Biasanya wasiat disampaikan pada saat-saat menjelang kematian, karena ketika itu, interes dan kepentingan duniawi sudah tidak menjadi perhatian si pemberi wasiat. Nabi Ibrahim as, berkata, ―Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagi kamu.‖ Maksudnya, agama ini adalah tuntunan Allah, bukan ciptaanku. Memang banyak agama yang dikenal oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, adalah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu, maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya, yakni memeluk agama Islam.5
4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 312. 5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h. 313.
30
Al-Tabarī mengatakan firman Allah wawashshā bihā ketika Ibrahim mewasiatkan ucapan ini, yang dimaksud ucapan tersebut adalah firman Allah aslamtu lirabb al-„ālamīn, yaitu Islam yang diperintahkan Allah kepada Muhammad SAW, yakni ikhlas beribadah, mengesakan Allah, hati dan tubuh tunduk kepada-Nya. 6 Dari perkataan al-Tabarī dapat ditegaskan bahwa maksud dari agama Islam yang diwasiatkan oleh Ibrahim adalah Islam dalam definisi menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Dari penjelasan ayat ini dapat diketahui bahwa para mufassir memiliki pandangan yang beragam dalam mendeskripsikan model agama Islam yang termaktub melalui wasiat Ibrahim. Sebagian mufassir menafsirkan wasiat tersebut yakni agama (millah). Namun menurut satu pendapat, yang dimaksud adalah ucapan yang berbunyi, aslamtu lirabb al-„ālamīn, ―Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.‖ Menurut al-Qurtubī, pendapat ini lebih benar. Sebab ungkapan tersebut merupakan ungkapan terdekat yang baru diucapkan. Yakni katakanlah oleh kalian,: ―Kami telah tunduk.‖7 Senada dengan al-Qurtubī, Sayyid Qutb mengutip ayat sebelumnya bahwa aslamtu lirabb al-„ālamīn ―Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam.‖ Menurut Qutb, itulah millah Ibrahim. Islam yang murni dan tegas.8
6
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Cairo: Dār Hajr, 2001) Cet. I, Juz II, h. 582. 7 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah, 2006) Juz II, h. 408. 8 Sayyid Qutb, Fi Zilal Al-Qur‟an, Penerjemah: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Press, 2001) Cet. I, Jilid I, h. 363.
31
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenarbenar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.” (QS. ‗Ali ‗Imran [3]: 102)
“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, Maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri." (QS. Yunus [10]: 84)
“Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berserah diri. (QS. ‗Ali ‗Imran [3]: 52)
Jika ditinjau secara lebih luas mengenai definisi Islam, di dalam kamus disebutkan Islam secara harfiah bermakna ketundukan, kepasrahan, kepatuhan.9 Dalam kamus al-Munawwir, al-Islam diartikan dengan damai dan selamat. 10 Glasse sendiri mendefinisikan Islam dari kata salam yang berarti pasrah, damai, selamat. 11 Menurut Toishihiko Izutsu, secara harfiah Islam berarti ―Ia telah menyerahkan wajahnya kepada Allah‖. 12 Adanya penyerahan terhadap Tuhan,
9
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak 1996) h. 24. 10 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, 1997) Cet . XIV h. 655. 11 Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (Ringkas), Penerjemah: Ghufron (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) Cet. II, h. 174. 12 Toishihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Qur‟an, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997) h. 221.
- Indonesia, (Yogyakarta: A. Mas‘udi, terhadap Al-
32
Rajudin Isma‘il menambahkan bahwa Islam itu adalah hubungan jiwa pribadi dengan Allah.13 Kata ―Islam‖ berasal dari kata salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh (QS. AlBaqarah [2]: 112). Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam, pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.14 Menurut Cak Nur, pasrah kepada Allah atau al-islam itu sebenarnya suatu sikap batin, jadi bersifat sangat perorangan (personal). Maka, dari sudut kenyataan ini, hanyalah orang bersangkutan sendiri saja—selain Allah Yang Mahatahu—yang benar-benar mengetahui apakah ia secara sejati pasrah kepada Allah (muslim) atau tidak.15 Secara terminologi menurut Harun Nasution, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW. sebagai Rasul. 16 Selain itu, al-Rāghib al-Isfahānī membagi istilah Islam menjadi dua macam:
13
Radjudin Isma‘il, Akar Islam Kontemporer, (Jakarta: Badan Wakaf Al-Qur‘an. 2005)
h. 196. 14
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam dalam Al-Qur‟an, (Manado: Jurnal Al-Ulum, 2011) h. 285. Baca juga Toishihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur‟an, h. 221. 15 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1992) h. 345. 16 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2010) Jilid I, h. 17. Baca juga Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1980) Cet. II, h. 98. Khalifah Abdul Hakim memiliki persepektif tersendiri, menurutnya Islam bukan agama yang bersumber pada diri pribadi Muhammad. Nabi muhammad menyatakan bahwa semenjak Adam dan seterusnya semua pembawa ajaran agama yang benar, yang diutus oleh Allah untuk menyebarkan dan mengamalkan kebenaran, memeluk satu-satunya agama yang sama dalam bahasa Arab disebut Islam. Lihat Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami: Menyeharikan pemikiran Transedental (Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1986) h. 3.
33
Pertama, di bawah iman, yakni mengakui dengan lidah saja, dengan begitu darahnya terpelihara. Tidak jadi soal apakah keyakinan masuk ke dalam hatinya atau tidak. Kedua, di atas iman, yakni bersamaan dengan pengakuan lisan, juga dalam hati, dan diamalkan dalam perbuatan dan penyerahan diri kepada Tuhan dalam segala hal yang telah Dia tentukan dan tetapkan. Sebagaimana, yang diingatkan dalam kisah Ibrahim, ketika Tuhan berkata kepadanya, ―Islamlah (Pasrahlah)‖. Ibrahim berkata, ―Aku pasrah kepada Pemelihara Seluruh Alam.‖ (surah alBaqarah ayat: 131).17 Menurut Cyril Glasse, selain digunakan sebagai nama agama, kata ―Islam‖ juga digunakan dalam pengertian teknis bersama dua istilah lainnya, yakni Islam, iman, ihsan, ketiganya merupakan aspek fundamental dari agama ini. Dalam istilah ini Islam mengandung pengertian yang sama dengan ibadah, yang mencakup segala macam perbuatan kebajikan, lima rukun Islam, dan ketundukan terhadap syariat.18 Bernard Lewis memosisikan kata Islam sebagai dua makna yang saling terkait namun berbeda, seperti halnya Christianity 19 dan Christendom (Umat Kristen). Pada satu sisi kata tersebut berarti sebuah agama, sebuah sistem keyakinan dan ibadah; sementara pada sisi lain, kata tersebut bisa bermakna peradaban yang tumbuh dan berkembang di bawah perlindungan tersebut. Oleh
17
Al-Rāghib al-Ishfahānī, Mufradāt al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Syamiyyah. 1996) h. 270. Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam (ringkas), Penerjemah: Ghufron A. Mas‘adi, h. 174. 19 Agama yang berdasarkan pada keyakinan bahwa Kristus adalah anak Tuhan, dan ajaran-ajarannya. Lihat Kamus Oxford, h. 72. 18
34
karena itu, menurut Lewis kata Islam mencerminkan sejarah lebih dari empatbelas abad, sepertiga miliar umat, dan tradisi agama serta budaya yang beragam. 20 Dalam kerangka yang lebih luas, Haedar Nashir membagi Islam ke dalam tiga tingkatan yang saling berhubungan, yaitu: (1) Islam sebagai keyakinan dan sebagai
sistem
keagamaan
yang
kepercayaan-kepercayaan
pokoknya
mengidentifikasikan para penganutnya sebagai Muslim; (2) Islam sebagai sebuah kebudayaan dan cara hidup yang akan mengintegrasikan Muslim ke dalam suatu negara-negara; dan (3) Islam sebagai suatu ideologi politik yang serangkaian nilainya dapat menyosialisasikan umat Islam ke dalam komunitas politik yang terpisah.21 Dari pengertian yang tersaji di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam alQur‘an dengan berbagai derivasinya dari kata Islam, dapat ditarik kesimpulan bahwa arti Islam dengan berbagai derivasinya lebih condong kepada arti sikap berserah diri. Ini sesuai dengan berbagai definisi-definisi di atas, baik secara bahasa maupun istilah yakni merupakan suatu sikap kepasrahan, tunduk, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, ditemukan pula kata yang sejenis dengan al-silm
20
Bernard Lewis, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji, Penerjemah Ahmad Lukman (Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004) h. 3. Hal serupa terdapat dalam skripsi Rizky Munggaran, ia membagi Islam ke dalam dua variabel, baik sebagai ajaran normatif maupun secara empiris. Dalam artian normatif, al-Islam mengarah kepada suatu makna luhur dan tinggi, yakni ―berserah diri kepada Tuhan‖, sedangkan dalam realitas empiris al-Islam merupakan suatu refleksi dari suatu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. yang dibedakan dengan agama-agama lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu dan lain sebagainya. Lihat Rizky Munggaran, Penafsiran Inklusif Nurcholis Madjid Mengenai Makna Al-Islam: Telaah Surah AliImran ayat 19 dan 85, (Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 33. 21 Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2013) h. 120.
35
dalam al-Qur‘an, termaktub bahwa kata al-salmu memiliki arti damai atau perdamaian. Secara lebih luas kini Islam telah membentuk sebuah formatnya dalam bungkusan yang formal. Sehingga Islam kini tidak lagi bersifat privasi yang dipraktekkan setiap individualnya, melainkan telah mewujud apa yang disebut Haedar Nashir di atas dengan suatu ideologi politik (publik).22 Poin terakhir ini yang akan penulis jelaskan mengenai perdebatan yang menyelimuti al-silm kāffah, Islam kāffah, perdamaian kāffah. Sebagaimana menurut Esack, dalam konteks kalimat ―ia masuk ke dalam al-silm.‖ Islam diartikan sebagai nama suatu agama. Menurutnya,
istilah
ini
juga
bermakna
―rekonsiliasi‖,
―damai‖
atau
―keseluruhan‖.23 2. Kāffah Menurut Ibnu Manzȗr, kāffah yakni al-jamā„ah (kelompok). Dikatakan: ―al-jamā„ah min al-nās‖ (sekelompok orang). Dikatakan juga ―laqaituhum kāffatan ay kulluhum‖ (saya bertemu mereka semuanya, artinya semua mereka). Setiap yang memanjang maka ujung tepinya disebut dengan kuffah, dan setiap yang bundar disebut kiffah, contoh kiffah al-mīzān (piring timbangan). Dinamakan kuffah al-tsaub (tepi baju) karenanya mencegah baju berantakan. Asal kaff yaitu
22
Menurut Komaruddin Hidayat, perkembangan Islam akan mudah diterima oleh masyarakat yang semakin plural dan memberikan pencerahan moral, spiritual, dan intelektual, ketika tampil tidak dengan jargon dan kendaraan politis-ideologis. Memang, ideologisasi agama itu suatu kenyataan yang sulit dielakkan sepanjang sejarahnya, tetapi perlu ditegaskan, bahwa Islam bukan produk ideologi. Islam adalahh ajaran wahyu, namun melahirkan ideologi sosial keagamaan. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura Books, 2012) h. 179. 23 Farid Esack, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme, h. 172.
36
al-man„u (mencegah). Dari sini dikatakan, karena bagian pinggir tangan adalah kaffu (telapak), karenanya bagian dari anggota badan. Dan yang dimaksud tersebut adalah al-rāhah (telapak tangan) serta al-ashābi„ (jari-jari).24 Dalam al-Qur‘an disebutkan, yā ayyuhā alladzīna āmanū udkhulū fī alsilm kāffah.‖ Menurut Abū Ishaq, makna ―kāffah‖ dalam ayat ini adalah ―jāmi„‖ (semuanya) dan ―ihātah‖ (serba meliputi). Maka, menurutnya, ayat ini boleh diartikan, ―Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh, atau dalam seluruh syariatnya.‖25 Namun yang dipaparkan Abū Ishaq adalah sebuah kemungkinan. Sebab, ia masih menyebut kata-kata ―fayajūzu an yakūna ma„nahu‖ yang berarti ―maka boleh jadi maknanya‖ demikian.26 Dalam literatur lain dikatakan, kāffah adalah bentuk muannats dari al-kaff yakni al-jamā„ah (kelompok). Dikatakan ―sekelompok orang telah datang secara menyeluruh, artinya seluruh mereka. 27 Namun dalam konteks ayat ini, kata ―kāffah‖ tidak menunjukkan makna sekelompok orang. Menurut Ibnu ‗Asyūr, kāffah adalah isim yang berfaedah mencakup bagian-bagian sesuatu yang mensifatinya. Dalam gambaran bentuknya, kāffah seperti bentuk isim fa„il dari kata kaffa, akan tetapi secara kebetulan bentuknya seperti itu. Tidak ada makna kaff dan tidak ada kebutuhan untuk memaksakan penjelasan keserasian di antara kata dan maknanya yang dimaksud di dalam kalimat tersebut.
24
Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, (Bairūt: Dār al-Shādir, t.th) Jilid IX, h. 305. Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 305. 26 Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 305. 27 Luīs Ma‗lūf, Al-Munjīd fī al-Lughah wa al-Adāb wa al-„Ulūm, (Bairūt: Al-Matba‗ah alKatsulikiyyah, t.th) Cet. XVIIII, h. 689. 25
37
Huruf ta yang ada dalam kata kāffah menurut Ibnu ‗Asyūr, yakni di dalam semua keadaan. Sebagaimana dalam keadaan mu‟akkad (penegas), mudzakkar, mufrad (tunggal) atau jamak. Contoh ―wa qātilȗ al-musyrikīna kāffah.‖ Kebanyakan kāffah digunakan dalam sebuah kalimat sebagai hāl dari isim sebelumnya sebagaimana QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut, kāffah menjadi hāl dari dhamir udkhulū, artinya menjadi hāl bagi keadaan kamu sekalian.28 Senada dengan Ibnu Manzūr, al-Alūsī dalam tafsirnya mengatakan bahwa kāffah, kata asalnya dari kaff yang bermakna mencegah. 29 Dengan penjelasan yang berbeda menurut al-Zamakhsyarī, kāffah dari huruf kaff, seakan-akan bahwa mereka mencegah salah satu dari sebagian mereka untuk keluar dari kelompok mereka.30 Kāffah juga digunakan sebagai arti jumlah, dengan dihubungkan bahwa kāffah ialah sesuatu yang dapat mencegah beberapa bagian dari perpecahan. Huruf ta dalam kȃffah menurut al-Alūsī merupakan ta‟nits atau untuk memindahkan dari kategori sifat (sifatiyyah) kepada kategori isim (ismiyyah) seperti kata كعاهح ―ka„āmatin‖ dan ― كخاصحkakhashshātin.‖ Abī Hayyān menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kata kāffah merupakan isim fa„il yang bermakna jamī„ān (menyeluruh). Asal kata kāffah merupakan derivasi (isytiqāq) dari kaff yaitu sesuatu yang dapat mencegah dari seseorang
28
Muhammad Tāhir ibn ‗Asyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunis: Dār Sahnūn li alNasyr wa al-Tauzī‗, t.th) Juz II, h. 278. 29 Imām al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī īȋ Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ alMatsānī, (Bairūt: Dār Iẖya al-Turats al-‗Arabī, 1985) Cet. IV, Juz I h. 97. 30 Abī al-Qāsim Mahmūd ibn ‗Umar al-Zamakhsyarī, Al-Kasysyāf, (Riyādh: Maktabah al‗Abȋkan, 1998) Cet. I Juz II, h. 418
38
yang mengambilnya, dan kaff dalam kalimat tersebut bermakna mencegah.31 Ibnu ‗Atiyyah dalam tafsirnya menjelaskan lebih lanjut beberapa hubungan khitab dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 dengan kata kāffah sebagaimana berikut: ―‗Ikrimah berkata bahwa khitab ayat tersebut ditujukan kepada orang yang percaya dengan nabi dari Bani Israil seperti ‗Abdullah ibn Salām dan selainnya, bahwa mereka pergi untuk mengagungkan hari sabtu dan membenci daging unta, dan mereka berkehendak menggunakan sesuatu dari hukum taurat dan mencampur hukum taurat dengan hukum Islam, maka turunlah ayat ini kepada mereka. Maka menurut Ibnu ‗Atiyyah, kāffah dalam konteks ini yaitu untuk memisahkan bagian syariat belaka.‖ ―Ibnu ‗Abbas berkata, ayat ini diturunkan kepada Ahl al-Kitab. Bermakna ―Hai orang-orang yang beriman kepada Musa dan Isa, masuklah kalian ke dalam Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW. secara keseluruhan.‖ Menurut Ibnu ‗Atiyyah, kāffah dalam konteks ini berfungsi untuk memisahkan bagian syariat, dan ditujukan kepada orang yang memandang kata al-silm dengan Islam. Dan orang yang memandang kāffah dengan almusālamāh ia berkata: mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam ketaataan mereka yang masih bersifat terbagi-bagi, maka kāffah dalam konteks tersebut maknanya adalah jamȋ„ān (seluruhnya). Kemudian menurut Ibnu ‗Atiyyah, yang dimaksud kāffah dengan arti jamā„ah (kelompok) yaitu saling mencegah terjadi pertentangan.‖32 Sementara itu dalam menafsirkan kata kāffah, al-Rāzī mengutip pendapat Imam Qaffāl. Ia berkata, kāffah itu maknanya kembali kepada orang-orang yang diperintah untuk masuk, yaitu masuklah kalian secara berjama‗ah di dalam Islam, janganlah kalian berpecah-belah dan janganlah kalian berselisih. Imam Qotrab berkata: orang-orang Arab mengatakan, ―saya melihat satu kaum berkumpul yang punya komunitas, dan saya melihat perempuan-perempuan berkumpul.‖ Kāffah bisa juga dikembalikan pada Islam yaitu masuklah kalian semua ke dalam Islam seluruhnya, yaitu seluruh syariatnya. Al-Wāhidī berkata, ini tepatnya jika tafsir 31
Abī Hayyān al-Andalūsī, Al-Bahr al-Muhīt, (Bairūt: Dūr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1993) Cet. I Juz II, H. 118. 32 Ibnu ‗Atiyyah al-Andalūsī, Al-Muharrar al-Wajīz īȋ Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2001) Juz I h. 283.
39
secara zahir karena memang mereka diperintahkan untuk melakukan semuanya, artinya makna kāffah dalam lughah itu pencegahan, dikatakan: كففد فالًا عي السىء
َ― اٌ هٌعرsaya mencegah fulan dari kejelekkan artinya saya mencegahnya.‖33 Kata ( كافحkāffah) sendiri dalam kamus al-Munawwir bermakna seluruhnya (tanpa terkecuali).34 Dalam menafsirkan kata kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208, alSuyūtī mengatakan bahwa kata ini di-nashab-kan karena menjadi hāl dari kata alsilm,35 atau dari dhamir orang-orang yang beriman. Kata ini menurut al-Qurtȗbȋ diambil dari ucapan mereka ―kafaftu,‖ yakni mana„tu (aku mencegah). Maksudnya, tidak ada seorang pun dari kalian yang tercegah atau terlarang untuk masuk ke dalam Islam. Itu karena makna al-kaff adalah al-man„u (larangan).36 Dalam tinjauan al-Qur‘an, terma ( كافحkāffah) terdapat empat kali dipakai dalam al-Qur‘an. Dua kali disebut dalam QS. Al-Taubah [9]: 36), yaitu:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya.‖ (QS. al-Taubah [9]: 36)
33
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1981) Juz V, h. 226. Lihat juga Ibnu Manzūr, Lisān al-„Arab, h. 303. 34 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997) cet ke-XIV, h. 1220. Lihat juga Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, Juz II, h.394. 35 Jalāl al-Dīn Muẖammad ibn Ahmad Muẖammad al-Maẖallī dan Jalāl al-Dīn ‗Abd alRahman ibn Abī Bakr al-Suyūṯī, Tafsīr al-Jalālaīn, (Damasykus: Dār Ibn Katsīr, t.th) Juz II, h. 33. Sebagian mufassir mengatakan kāffah menjadi hāl dari udkhulū. Lihat Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394. Lihat juga Imām al-Alūsī alBaghdādī, Rūẖ al-Ma‟ānȋ fī Tafsīr al-Qur„ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānȋ, h. 97.
40
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).‖ (QS. al-Taubah [9]: 122)
―Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia.‖ (QS. al-Saba‘ [34]: 28) 3. Islam Kāffah Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa Istilah Islam kāffah diangkat dari kata ( ادخلىا فٍ السلن كافحmasuklah kalian ke dalam Islam secara kāffah).37 Islam kāffah memiliki makna mengamalkan syariat Islam dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan yang diajarkan.38 Tidak dibenarkan percaya dan mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian ajaran Islam yang lain.39 Pemahaman demikian tidak bisa lepas dari penafsiran terhadap kata al-silm kāffah yang terkandung dalam ayat tersebut. Islam kāffah sebagaimana yang dilansir situs Assunah maknanya adalah Islam secara menyeluruh, dengan seluruh aspeknya, seluruh sisinya, yang terkait urusan iman, atau terkait dengan akhlak, atau terkait dengan ibadah, atau terkait dengan mu‗amalah, atau terkait dengan urusan pribadi, rumah tangga, masyarakat,
37
Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam, (Jurnal Karsa, Vol IX, 2006) h. 809. 38 Cecep Supriadi, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman dan Keindonesiaan, (Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015) h. 204. 39 Moh. Zahid, Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam, h. 809.
41
negara dan yang lainnya yang sudah diatur dalam Islam.40 Semua masuk dalam perintah ini: ―Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kepada Islam secara kāffah (menyeluruh).41 Perspektif lain Islam kāffah dimaknai secara ritual. Dalam pandangan ini, muslim yang kāffah tidak berhenti pada ritual-ritual keagamaan saja, tetapi sudah menjajaki substansi dari ritual-ritual tersebut. Seperti seorang Muslim yang rajin shalat berjamaah di masjid, rajin i„tikaf, rajin berpuasa sunnah, rajin ―memutar‖ tasbih, tetapi perilakunya kurang baik, misalnya, sering menggunjing dan lainlain. Itu terjadi karena ibadah ritual yang ia lakukan tidak sampai pada substansinya.42 Sebagian
yang
lain
memandang
QS.
Al-Baqarah
[2]:
208,
mengindikasikan hanya ada dua buah pilihan. Pertama, masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dengan melaksanakan ajarannya yang komprehensif dan paripurna, atau apabila tidak mau melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan, maka yang ada hanya pilihan kedua, yaitu mengikuti langkah-langkah setan dengan melakukan pembeda-bedaan ajaran Islam atau meremehkan sebagian ajarannya.43
40
Tanpa penulis, Islam Kaffah. Di unduh dari http://www.assunnah.mobie.in/. Diakses pada tanggal 1/November/2016. 41 Tanpa penulis, Memahami dan Mengamalkan Islam Secara Kaffah Solusi Satu-satunya Bagi Umat Islam, di unduh dari http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/06/ Diakses pada tanggal 1/November/2016. 42 Nanang Rosyidi, Apa itu Muslim Yang Kaffah, di unduh dari http://m.kompasiana.com/nanagrosidi/. Diakses pada tanggal 1/November/2016. 43 Muhammad Nur Ichwan Muslim, Kaffah dalam Beragama, di unduh dari http://muslim.or.id. Diakses pada tanggal 1/November/2016.
42
Tulisan Muhammad Shiddiq al-Jawi dengan judul ―Menjadi Muslim Kaffah: Menerjunkan Diri dalam Syariat Islam Secara Total,” menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib masuk Islam secara kāffah, yaitu masuk ke dalam segala syariat dan hukum Islam secara keseluruhan, bukan berislam sebagian dan mengambil selain syariat Islam untuk sebagian lainnya. Lebih tegas Shiddiq mengatakan merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku dirinya Islam, namun mereka mengingkari atau mencampakkan sebagian syari‗at Islam dari realitas kehidupan—seperti mengikuti sekulerisme.44 Pemahaman tentang Islam yang menyeluruh ini mencapai titik kulminasi (tertinggi) ketika Islam dipandang bukan hanya persoalan pribadi melainkan juga berbaur dengan struktur negara—sesuai dengan apa yang Bassam Tibi katakan bahwa ciri-ciri kalangan Islamis adalah bersifat totaliter. 45 Menurut Nadirsyah Hosen, bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu mewajibkan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka berislam secara kāffah artinya mendukung dan berjuang untuk menegakkan sistem dan bentuk ketatanegaraan tersebut.
44
Muhammad Shiddiq al-Jawi, Menjadi Muslim Kaffah Menerjunkan Diri Dalam Syariat Islam Secara Total, di unduh dari http://jasawebenigma.wordpress.com/2012/12/13. Diakses pada tanggal 28/November/2016. 45 Argumentasi yang ditulis Bassam Tibi sebagai respon terhadap slogan kalangan Islamis yang mengatakan al-Islām huwa al-hāll (Islam adalah solusi). Dalam menyikapi hal demikian Bassam Tibi mengatakan bahwa Islam bukanlah solusi, setidaknya bukan solusi politik bagi krisis pembangunan yang ada dan bagi krisis pemerintahan politik rezim otoriter. Kalangan Islamis sudah tepat merujuk pada krisis yang ada (dalam pembangunan, ekonomi, legitimasi kekuasaan, dan alienasi budaya), tetapi solusi yang mereka hadirkan, ketika mengambil bentuk konkret sebagai negara syariat, malah menunjuk kepada pemerintahan totaliter. Jika mereka merebut kekuasaan, baik melalui jihad maupun melalui kotak suara, mereka tidak berada dalam posisi untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat Islam. Sebaliknya, Islamisme menciptakan suatu kode perilaku eksklusif yang kaku dengan maksud memaksa orang menjadi patuh, bukan menggunakan syariat sebagai ―hukum‖ tetapi menyatakan hukum dari gerakan tersebut agar menjadi syariat. Pemaksaan ini yang menurut Tibi merupakan ciri-ciri totaliter yang tidak pernah ada dalam Islam tradisional. Bassam Tibi, Islam dan Islamisme. Penerjemah: Alfathri Adlin, (Bandung: Mizan, 2016) h. 225.
43
Sebaliknya bagi mereka yang berpandangan bahwa Islam itu tidak mewajibkan secara syar„i akan bentuk dan sistem ketatanegaraan tertentu, maka mereka tidak merasa berkurang ke-kāffah-an mereka dalam ber-islam hanya karena tidak mendukung sistem dan bentuk ketatanegaraan tersebut.46 Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah Islam kāffah merujuk kepada dua perspektif. Pertama, Islam kāffah dipahami secara moderat dengan mengandaikan menjadi seorang muslim yang
kāffah pada persoalan
pribadi. Kedua, Islam kāffah yang dipahami sebagai suatu gagasan yang menghendaki Islam tidak hanya memperhatikan persoalan pribadi, juga mengandaikan Islam diterapkan secara menyeluruh (kāffah) meliputi struktur kenegaraan. Namun, dalam penelitian ini, penulis hendak mengurai Islam kāffah dalam perspektif kedua. B. Pandangan Ulama Terhadap Islam Kāffah Quraish Shihab mengatakan dalam tafsirnya bahwa kata al-silm, yang diterjemahkan dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau tidak mengganggu. 47 Kedamaian oleh ayat ini diibaratkan berada dalam suatu wadah yang dipahami dari kata fī, yakni dalam; orang yang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya ke dalam wadah itu secara menyeluruh sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah atau koridor kedamaian. Ia damai dengan dirinya, keluarganya, dengan seluruh manusia, binatang, dan
46
Nadirsyah Husein, Islam Kaffah, di unduh dari http://media.isnet.org/kmi/isnet/Nadirsyah/. Diakses pada tanggal 1/November/2016. 47 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h. 543.
44
tumbuh-tumbuhan serta alam raya, walhasil kāffah, yakni secara menyeluruh tanpa kecuali.48 Lebih lanjut Shihab menegaskan bahwa ayat ini menuntut setiap yang beriman agar melaksanakan seluruh ajaran Islam, jangan hanya percaya dan mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian yang lain. Ia dapat juga bermakna masuklah kamu semua kāffah tanpa kecuali, jangan seorang pun di antara kamu yang tidak masuk ke dalam kedamaian/Islam. Berbeda dengan Quraish Shihab, dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu Katsīr mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, hendaklah mereka berpegang kepada tali Islam dan semua syariatnya serta mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya dengan segala kemampuan yang ada pada mereka.49 Al-‗Aufi sebagaimana Ibnu Katsīr kutip dalam penafsirannya mengatakan bahwasannya maknanya adalah ‗Islam‘ (Diriwayatkan dari Ibnu ‗Abbās, Mujāhid, Tawūs, Al-Dhahāk, Qatādah, Al-Suddi, dan Ibnu Zaid), sementara al-Dhahāk mengatakan ‗ia bermakna ketaatan‘ (Diriwayatkan dari Ibnu ‗Abbās, Abū al‗Aliyah, dan Rabī‗ bin Anas). Mengenai firman-Nya ‗kāffah‟, Ibnu ‗Abbas, Mujāhid, Abū al-‗Aliyah, ‗Ikrimah, Rabī‗ bin Anas, Al-Suddi, Muqātil bin Hayyān, Qatādah, dan al-Dhahāk mengatakan ‗maknanya berarti jamī„ān
48
544.
49
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, h.
Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al„Aẕīm, h. 273.
45
(keseluruhan),‘ sementara Mujāhid mengatakan, ―Artinya, kerjakanlah semua amal shalih dan segala macam kebajikan.‖ Oleh karena itu, makna keseluruhannya
adalah
bahwa
mereka
seluruhnya
diperintahkan
untuk
mengerjakan semua cabang iman dan syariat Islam, yang jumlahnya sangat banyak, sesuai dengan kemampuan mereka.50 Berbeda dengan mufassir lainnya, dengan perspektif yang berbeda TabāTabā‘ī dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa ayat yā ayyuha alladzīna āmanū merujuk firman-Nya: ‖ اال اى ًصش هللا قشَةingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu deket.‖ QS. Al-Baqarah [2]: 214. Tujuh ayat sempurna yang menjelaskan suatu cara saling menjaga persatuan agama di dalam komunitas manusia. Cara tersebut yaitu dengan masuk ke dalam al-silm (perdamaian). Secara ringkas Allah telah menjelaskan dari ucapan dan sesuatu yang Allah pandang dari suatu perbuatan. Sesugguhnya Allah tidak menghendaki perpecahan dalam satu agama, dan tidak mengendalikan kebahagian di dunia dan di akhirat. Tidak ada solusi kerusakan bagi suatu kaum kecuali karena keluar dari perdamaian dan menggunakan ayat-ayat Allah dengan merubahnya, dan menempatkan ayat tidak sesuai dengan tempatnya. Hal seperti itu bisa disaksikan dalam Bani Israil dan selain mereka dari umat-umat masa lampau dan yang membuat pandangannya di dalam umat. Akan tetapi Allah telah menjanjikan mereka dengan pertolongan: alā inna nashra Allah qarīb.
50
Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al„Aẕīm, h. 273.
46
Sementara firman-Nya َا اَها الزَي آهٌىا فٍ السلن كافح, al-silm yakni Islam dan berserah diri maknanya adalah satu, sementara kāffah sebagai kalimat ta‟kid (penguat) bermakna jamī„ān (seluruhnya). Ketika khitab tersebut ditujukan kepada orang-orang mukmin, sungguh mereka telah diperintahkan untuk masuk ke dalam Islam secara menyeluruh. Bentuk perintah tersebut berbentuk jamak, setiap orang mendapatkan bagian-bagiannya. Perintah tersebut merupakan wajib bagi setiap mukmin dan juga wajib bagi semuanya. Bahwasannya mereka tidak terjadi perselisihan di dalam perintah tersebut, dan mereka berserah diri terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya SAW.51 Khitab ayat tersebut juga ditujukan kepada orang-orang mukmin secara khusus, maka al-silm tersebut ditujukan kepada orang-orang yang diajak kepada jalan Allah yaitu berserah kepada-Nya setelah iman kepada-Nya, maka wajib bagi setiap orang-orang mukmin untuk memasrahkan kamu sekalian terhadap perintah kepada-Nya. Dan janganlah kalian semua mentaati mereka dengan dalih perdamaian yang menggunakan pendapat yang diktator (istibdād). Dan kalian semua tidak meletakkan bagi diri kalian di samping mereka dengan cara mengikutinya dari selain apa yang sudah Allah dan Rasulnya jelaskan. Maka tidaklah rusak suatu kaum kecuali dengan mengikuti hawa nafsu dan ucapan yang didasari tanpa ilmu. Dan suatu kaum tidak akan merusak karena kebenaran hidup
51
Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, (Teheran: Dār alKutub al-Islamiyyah, 1973) Cet. II Juz II, h. 103.
47
dan kebahagiaan yang sesungguhnya dari kaum tersebut kecuali dari ikhtilāf (perbedaan).52 Pada tataran bahasa, kata al-silm bisa dibaca dengan harakat fathah pada sin (yakni al-salmu) dan bisa juga dengan harakat kasrah (yakni al-silmi). AlKisā‘i mengatakan bahwa maknanya adalah sama. Demikian juga menurut ulama Bashrah. Keduanya bisa dimaknai al-islām (pasrah) dan al-musȃlamȃh (perdamaian). Kata kāffah menurut Imam al-Syaukani adalah hāl dari al-silm atau dari dhamir kalimat ―orang-orang beriman‖. Imam al-Syaukani menjelaskan lebih lanjut, berdasarkan makna yang pertama adalah: Janganlah seorang pun dari kalian keluar. Sedangkan yang kedua: janganlah keluar sedikit pun dari Islam, akan tetapi masukilah seluruhnya, yakni: masuklah ke dalam semua karakter Islam. Kata kāffah merupakan derivasi dari kata: kafaftu yang artinya mencegah, yakni: Janganlah seorang pun dari kalian yang enggan memasuki Islam. Al-kaffu artinya al-man„u (mencegah).53 Selain itu, al-silm dengan kasrah dan fathah yakni al-istislām (menyerahkan diri) dan ketaatan, oleh karena itu dimaknai dengan perdamaian dan Islam. Kāffah yaitu isim dalam bentuk makna jumlah, karenanya mencegah beberapa bagian dari perpecahan. 54 Lebih lanjut Wahbah al-Zuhailī dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud al-silm dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 yakni Islam, memuliakan orang yang beriman dengan menjadikan Islam 52 53
h. 813. 103.
54
Muhammad Husaīn al-TabāTabā‘ī, Al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, h. 103. Imam Al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Cet. I, Jilid I, Wahbah al-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Wasīt, (Damasykus: Dār al-Fikr, 2001) Cet. I, Juz I, h.
48
sebagai agama berupa melakukan amal dengan seluruh cabangnya dan hukumhukumnya. Dan tidak beriman seseorang yang beramal dengan sebagian hukumnya seperti shalat, puasa, dan meninggalkan sebagian hukum yang lain seperti zakat, jihad dan berhukum dengan kitab Allah dan batasan-batasannya, dan juga meninggalkan keharaman seluruhnya dan mencegah khamr (mabuk), riba, zina, menyuap, dan kezaliman.55 Makna menyerahkan diri kalian semua kepada Allah dan mentaati-Nya tersebut menurut al-Zuhailī dalam bentuk jumlah, baik yang zahir maupun batin. Dan khitab yang ditujukan kepada orang-orang munafik, atau masuklah kalian semua ke dalam Islam seluruhnya dan janganlah kalian semua mencampurkan Islam dengan selainnya. Sedangkan khitab yang ditujukan untuk orang mukmin Ahl al-Kitab, bahwasannya setelah masuk Islam mereka masih mengagungkan hari sabtu dan mengharamkan unta dan susunya. Atau di dalam syariat Allah seluruhnya dengan iman terhadap nabi-nabi dan kitab-kitabnya secara menyeluruh.56 Berbeda dengan al-Zuhailī, Sayyid Qutb menjelaskan secara tegas dalam tafsirnya, ia mengatakan, ―ketika menyeru orang-orang yang beriman agar masuk ke dalam kedamaian (Islam) secara total, Allah SWT memperingatkan mereka dari mengikuti langkah-langkah setan. Petunjuk atau kesesatan. Islam atau jahiliyah. Jalan Allah SWT atau jalan setan. Petunjuk Allah SWT atau kesesatan setan. Dengan ketegasan seperti ini seharusnya seorang muslim bisa mengetahui
55
Wahbah al-Zuhailī, Al-Tafsīr al-Wasīt, h. 103. Muhammad al-Syairazī al-Baidhāwī, Tafsīr al-Baidhāwī al-Musammā Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta‟wīl, (Cairo: Al-Maktabah al-Taufȋqiyyah, t.th) Juz I, h. 146. 56
49
sikapnya, sehingga tidak terombang-ambing, tidak ragu-ragu, dan tidak bingung di antara berbagai jalan dan dua arah.57 Sesungguhnya di sana tidak ada beraneka ragam manhaj (metodologi) yang harus dipilih salah satunya oleh seorang mukmin, atau dicampur aduk salah satunya dengan yang lain. Tidak! Sesungguhnya orang yang tidak masuk ke dalam kedamaian (Islam) secara total, orang yang tidak menyerahkan dirinya secara murni kepada Allah SWT dan syariat-Nya, orang yang tidak melepaskan semua tashawwur (konsepsi), manhaj dan syariat lain, sesungguhnya ia berada di jalan setan dan berjalan di atas langkah-langkah setan.58 Di sana tidak ada solusi tengah, tidak ada manjah selain Islam, tidak ada langkah setengah-setengah! Di sana hanya ada kebenaran dan kebatilan. Petunjuk dan kesesatan. Islam dan jahiliyah. Manhaj Allah atau kesesatan setan. Allah SWT menyeru orang-orang yang beriman pada bagian pertama untuk masuk ke dalam kedamaian (Islam) secara total; dan memperingatkan pada bagian kedua dari mengikuti langkah-langkah setan. Kemudian hati dan perasaan mereka tersadar dan rasa khawatir mereka tersentak dengan peringatan tentang permusuhan setan terhadap mereka tersebut. Permusuhan yang sangat jelas lagi gamblang, yang tidak akan pernah dilupakan kecuali oleh orang yang lengah, sedangkan kelengahan memang tidak pernah terjadi bersama keimanan.59 Berbeda dengan mufassir lainnya, al-Rāzī mempunyai pandangan tersendiri. Menurutnya yang pertama, ayat yā ayyuhā alladzīna āmanū,
57
Sayyid Qutb, Fī Zilāl al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Syūrūq, 1998) Juz I-IV, h. 211. Sayyid Qutb Fī Zilāl al-Qur‟ān, h. 211. 59 Sayyid Qutb, Fī Zilāl al-Qur‟ān, h. 211. 58
50
mengisyaratkan pengetahuan dan kepercayaan di dalam hati, dan ayat udkhulū fī al-silm kāffah, mengisyaratkan untuk meninggalkan segala dosa dan kemaksiatan. Karena maksiat itu bertentangan dengan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga meninggalkannya disebut dengan al-silm (selamat). Atau bisa jadi yang dimaksud ayat itu, jadilah kalian semua orang-orang yang meyakini Allah, dan membuktikan dengan ketaatan dan meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Karena menurut madzhab kami, iman itu masih akan tetap ada meskipun iman tersebut disibukkan dengan kemaksiatan. Inilah takwilan yang nyata. Kedua, yang dimaksud dengan al-silm yaitu keadaan seorang hamba yang ridha dan hatinya tidak ada ketertekanan. Sebagaimana dalam sebuah hadits diriwayatkan, ―Ridha terhadap takdir itu adalah pintu Allah yang paling agung.” Ketiga, yang dimaksud dengan al-silm yaitu meninggalkan sifat balas dendam, sebagaimana yang dikatakan firman-Nya, ―Ketika kalian berjalan, berjalanlah kalian dengan mulia, ambillah maaf, dan perintahkanlah sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.‖ Menurut al-Rāzī, inilah yang dikatakan dalam penafsiran ayat tersebut.60 Dalam menyikapi QS. Al-Baqarah [2]: 208, al-Sa‗di menafsirkan bahwa ini merupakan perintah Allah SWT kepada orang-orang yang beriman untuk masuk ―al-silm kāffah,‖ ke dalam Islam keseluruhan. Maksudnya, dalam seluruh syariat-syariat agama, mereka tidak meninggalkan sesuatu pun darinya, dan agar mereka tidak seperti orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apabila hawa nafsunya itu sejalan dengan perkara yang disyariatkan, maka dia 60
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, h. 225.
51
kerjakan, namun bila bertentangan dengannya, maka dia tinggalkan. Yang wajib adalah menundukkan hawa nafsunya kepada Agama, dan ia melakukan segala perbuatan baik dengan segala kemampuannya, dan apa yang tidak mampu dilakukan, maka dia berusaha dan berniat melakukannya dan menjangkaunya dengan niatnya tersebut. Ketika masuk ke dalam Islam dengan keseluruhan, maka tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan terjadi, kecuali bertentangan dengan jalan-jalan setan.61 C. Cara Pandang Islam Kāffah Di kalangan umat Islam, sampai sekarang sangat akrab dikenal doktrin yang berbunyi al-Islām huwa al-Dīn wa al-Daulah (Islam adalah agama dan negara).62 Islam di sini menurut Komaruddin Hidayat adalah agama dan sekaligus kekuasaan. Sehingga hubungan antara agama dan negara, antara aspek ritual dan politik, sangat erat kaitannya, bahkan tidak bisa dipisahkan.63 Islam bagi sebagian pemeluknya merupakan agama yang kāffah (holistis dan universal), yang memiliki sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali urusan negara.64 Sehubungan dengan ini menurut Munawir Sjadzali, di kalangan
61
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‗di Zulharman, Tafsir Al-Qur‟an, Penerjemah: Muhammad Iqbal, Izzudin Karimi, Muhammad Ashim, Mustofa Aini, Zuhdi Amin, (Jakarta: Darul Haq, 2015) Cet. VI, Jilid I, h. 356. 62 Zaprulkhan, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Jurnal Walisongo, 2014) Vol. 22, h. 106. Selain doktrin tersebut tumbuh doktrin lain yang mengemuka di antaranya, ―Islam sebuah alternatif‖ (al-Islām huwa al-hāl), menegakkan Syariat Islam (Tatbīq al-Syarī„ah), mendirikan negara Islam (al-Khilāfah al-Islāmiyyah), Zuhairi Misrawi dalam kata pengantar buku Fundamentalisme Progressif: Era Baru Dunia Islam, h. 19. Islam adalah akidah dan syariat, agama dan negara, metode dan budaya serta tata cara hidup. Muhammad Rasyād ‗Abd al-‗Azīz Mahmūd, Atsar al-Fikr al-„Ulmānī fī al-Mujtama„ al-Islāmī, (Cairo: Dār al-Muhadditstsīn, 1988) h. 14. 63 Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah, (Jakara: Paramadina, 2003) h. 93. 64 Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 74. Misalnya dalam pandangan Gamal al-Banna, kata negara
52
umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Pertama, aliran yang berpendirian Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan. Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan oleh empat al-Khulafah alRasyidin.65 Kedua, aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Nabi tidak pernah mendirikan dan mengepalai satu negara. Agama adalah sesuatu yang
(daulah) tidak ditemukan dalam al-Qur‘an, melainkan hanya terdapat dalam satu tempat saja dan itu pun berkenaan dengan harta rampasan perang: ―agar tidak ada ‗penguasaan‘orang-orang kaya dari kalian‖ dan satu lagi kata ―Nudawiluha‖ pecahan dari kata ―Daulah‖ dalam ayat: ―watilka alayyamu nudawiluha baina al-nas‖. Sementara, dalam kamus manapun tidak ada yang memberikan makna terhadap kata ―Daulah‖, kecuali dengan makna yang ada pada kandungan ayat al-Qur‘an tersebut, yaitu dengan makna ―Ghalabah‖, yaitu ―penguasaan‖, atau mengalahkan. Lihat Gamal al-Banna, Relasi Agama & Negara, h. 6. 65 Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993) Cet. V, h. 1. Menurut Ali Masykur Musa, kelompok ini terdiri kelompok tradisionalis dan fundamentalis. Faksi tradisionalis yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi praktik dan tradsisi pemikiran politik Islam klasik dan pertengahan. Tokoh faksi ini seperti Rasyid Ridha. Sementara faksi fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam secara total dan menolak sistem yang buat manusia. Tokohtokohnya seperti Sayyid Quṯb, al-Maudūdī, dan Hasan al-Turabi. Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, h. 38.
53
terpisah sama sekali dengan negara. Agama adalah urusan pemeluknya masingmasing yang tidak ada sangkut pautnya dengan negara. 66 Ketiga, aliran yang menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptaannya. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. 67 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cara pandang yang digunakan oleh Islam kāffah ialah aliran yang mengatakan bahwa Islam adalah sebuah perangkat alat yang lengkap meliputi berbagai aspek termasuk kehidupan negara. Setelah melihat pemaparan terkait term Islam dan kāffah di atas, dapat disimpulkan perdebatan tersebut bermuara pada dua kecenderungan yakni bagaimana Islam ditafsirkan secara formalistik dan Islam ditafsirkan secara nilai (etika). Pertama, individu atau kelompok Islam yang menghendaki syariat Islam diterapkan secara kāffah dalam seluruh sendi kehidupan. Sementara yang kedua adalah anti-tesis dari poin pertama yakni menolak pemahaman Islam kāffah dalam ranah institusi. Kecenderungan yang ditempuh oleh kelompok kedua adalah Islam 66
Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, h. 1. Kelompok sekuler atau liberal yang ingin memisahkan antara Islam dan negara. Pengusung kelompok ini adalah Ṯaha Husein dan ‗Ali ‗Abd al-Rāziq. Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, (Jakarta: Serambi, 2014) h. 38. 67 Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), cet ke-5, h. 2. Ali Masykur Musa mengelompokkannya ke dalam kelompok modernis dan neomodernis, dalam pengertian bahwa Islam mengatur masalah keduniaan atau kemasyarakatan secara garis besarnya saja. Sementara secara teknis terbukti untuk mengadopsi sistem lain yang dalam hal ini adalah sistem Barat yang telah menunjukkan kelebihannya. Di antara tokoh kelompok ini adalah Muhammad ‗Abduh, Husein Haikal, dan Muhammad Asad. Lihat Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam terhadap Isu-Isu Aktual, h. 38.
54
yang mengedapankan nilai seperti kepasrahan, ketundukan serta menghendaki perdamaian secara kāffah (menyeluruh) dengan menyesuaikan terhadap prinsipprinsip demokrasi dan pancasila seperti menghargai perbedaan, menegakkan keadilan, dan menjunjung tinggi toleransi beragama.
BAB III PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]: 208
Isu Islam kāffah menjadi salah satu isu terpanas dalam pemikiran Islam kontemporer—khususnya di Indonesia. Jika dilihat dari sudut penafsiran itu sendiri masih terjadi ikhtilāf—sebagian mengartikan dengan Islam, ketaatan, sebagian yang lain mengartikan dengan perdamaian. Misalnya sebagian mufassir klasik menilai bahwa ayat tersebut sebagai perintah untuk masuk ke dalam agama Islam secara komprehensif. Senada dengan itu, sebagian mufassir modern juga menilai QS. Al-Baqarah [2]: 208, sebagai bentuk perintah untuk masuk ke dalam Islam secara total dan juga dimaknai dengan perdamaian. Namun, antara mufassir klasik dan modern terdapat perbedaan pendekatan yang digunakan. Bila sebagian mufassir klasik memfokuskan pada persoalan tekstualis
1
(bahasa, atsar
2
dan qira‘at), sementara mufassir modern lebih
1
Penulis memakai istilah Abdullah Saeed dalam menganalisis pendekatan tafsir. Menurut Saeed, pendekatan testual menekankan pemahaman teks berbasis riwayat, yang sering berbasis pada pembacaan teks secara literal. Tekanan kepada tekstualisme dalam tafsir (yang saya rujuk sebagai ―pendekatan tekstual‖) bertujuan untuk mempertahankan pemahaman berbasis riwayat setepat mungkin dan mendukung pemahaman itu dengan mengutip serangkaian teks, misalnya teks al-Qur‘an dan hadis, serta atsar (pendapat para teolog, ulama fikih dan mufassir generasi awal). Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 38. 2 Atsar adalah apa yang diriwayatkan dari Rasul SAW. dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat atau dari tabi‗in secara mauqūf kepada mereka atau secara marfū‗ (kepada Nabi). Lihat Musa‗id Muslim ‗Ali Ja‗far, Manāhij al-Mufassirīn, (Dār al-Ma‗rifah, 1980) h. 33. Para ulama berbeda pendapat dalam merujuk pada tafsir tabi ‗in dan mengambil perkataan mereka
55
56
menekankan konteks, serta meminimalisir persoalan penafsiran secara tekstual sebagaimana yang dilakukan mayoritas mufassir klasik. Berangkat dari hal tersebut, maka pada bab ini penulis akan mengkaji penafsiran atas ayat al-Qur‘an yang menjadi fokus perdebatan mengenai isu seputar Islam kāffah yang lantas sangat akrab dalam gerakan keagamaan Islam era kontemporer. Al-Qur‘an menyatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208) Fokus bab ini adalah bagian ayat al-silm kāffah dan tidak mendiskusikan penggalan ayat setelahnya. Pembatasan lainnya adalah dalam ranah penafsiran. Dalam mengkaji kata tersebut, penulis menggunakan penafsiran klasik dan modern. Mufassir klasik direpresentasikan oleh al-Ṯabarī dan al-Qurṯubī, sementara penafsiran modern direpresentasikan oleh Muẖammad ‗Abduh dan alMarāghī. A. Asbāb al-Nuzūl QS. Al-Baqarah [2]: 208 Al-Qur‘an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menghadapi berbagai situasi-kondisi dan persoalan hidup. Ayat-ayat tersebut diturunkan dalam apabila tidak diriwayatkan dalam riwayat tersebut sesuatu dari Rasul SAW. atau dari para sahabat. Mayoritas para mufassir membolehkan mengambil ucapan tab‘in dalam penafsiran, karena mereka bertemu dan bahwa mereka mayoritas tafsirnya dari para sahabat. Lihat Muẖammad Husain alDzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Kuwaīt: Dār al-Nawādir, 2010) Jilid I, h. 128.
57
keadaan dan waktu yang berbeda sesuai dengan situasi-kondisi yang dihadapi oleh orang yang menerimanya yaitu Nabi Muhammad SAW. Kata asbāb (tunggal: sabab) berarti alasan atau sebab.3 Jadi, asbāb al-nuzūl berarti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya sebuah ayat. 4 Adapun sebab turunnya ayat ini, terdapat beberapa riwayat sebagai berikut: Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ikrimah, dia berkata, ―Abdullah bin Salām, Tsa‗labah, Ibnu Yamin, Asad bin Ka‗āb, Usaid bin Ka‗āb, Sa‗ad bin ‗Amr dan Qais bin Zaid, semuanya adalah orang-orang Yahudi. Mereka berkata pada Rasulullah SAW:
، فذعٌا فلٌُس ِثد فَُ! وإى الرىساج كراب هللا،َ َىم السثد َى ٌم كٌا ًعظو،َا سسىل هللا " َا أَها الزَي آهٌىا ادخلىا فٍ السلن كافح وال ذرثعىا:فذعٌا فلٌقن تها تاللُل ! فٌضلد .خطىاخ الشُطاى ―Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Maka biarkanlah kami melakukan ritual kami pada hari itu. Dan Taurat adalah Kitab Allah, maka biarkanlah kami bangun malam dengannya. Maka turunlah ayat yang berbunyi َا أَها الزَي آهٌىا ادخلىا فٍ السلن كافح. Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhannya.‖5 Riwayat lain dari Ibnu ‗Abbas sebagaimana yang dikutip al-Qurṯubī. Ibnu ‗Abbās berkata, ayat ini diturunkan kepada Ahli Kitab: 3
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997) Cet. XIV, h. 602. 4 Ahmad Izzan, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur‟an, (Bandung: Tafakur, 2011) cet-IV, h. 96. Lihat juga Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) h. 132. 5 ‗Abdul Fataẖ ‗Abd al-Ghānī al-Qādhī, Asbāb al-Nuzūl „an al-Shaẖābah wa alMufassirīn, (Cairo: Dār al-Salām, 2007) Cet. III, h. 36. Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Fikr, 2005) Jilid II, h. 400. Lihat juga Jalāl al-Dīn al-Suyūṯī, Al-Dur al-Mantsūr fȋ Tafsīr bi al-Ma‟tsūr, (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) Juz I, Cet I, h. 433. Hal serupa terdapat dalam tafsir Imām al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī fī Tafsīr alQur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānī, (Bairūt: Dār Iẖya al-Turats al-‗Arabī, 1985) Cet. IV, Juz I h. 97. Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Al-Wahidi al-Nisaburi, Asbāb alNuzūl: Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur‟an, Penerjemah: Moh. Syamsi, (Surabaya: Amelia Surabaya, 2014) h. 96.
58
َّ ًَّصل سلَّ َن َ َُّللا َ علَ ُْ َِ َو َ َا أَها الزَي آهٌىا توىسً وعُسً ادخلىا فٍ اإلسالم توحوذ،ًٌوالوع كافح ―Pengertian (ayat ini adalah) : Hai orang-orang yang beriman kepada Musa dan Isa, masuklah kalian ke dalam Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW. secara keseluruhan.‖6 Al-Rāzī mengatakan bahwa ayat ini sebetulnya diturunkan kepada golongan orang-orang muslim dari kalangan Ahli Kitab. 7 Sebagaimana dalam riwayat al-Ṯabarȋ di atas, ayat tersebut merujuk kepada kalangan Yahudi yang masih mengagungkan syariatnya seperti Abdullah bin Salām, 8 Tsa‗labah, Ibnu Yamīn, Asad bin Ka‗āb, Usaid bin Ka‗āb, Sa‗ad bin Amr dan Qais bin Zaid. Seperti mengagungkan hari sabtu, membenci daging unta dan susunya. 9 Kalangan Ahli Kitab tersebut meliputi yang beriman kepada Musa dan Isa. Kemudian Allah benci terhadap mereka, dan memerintahkan mereka untuk masuk Islam secara kāffah, artinya dalam syariat Islam secara keseluruhan.10 Berdasarkan beberapa riwayat sebab turunnya ayat di atas, secara seragam dapat dikatakan bahwa sebab turunnya ayat tersebut adalah berkaitan dengan kalangan muslim dari Ahli Kitab yang masih mengagungkan syariat Nabi Musa, sementara mereka sudah masuk Islam. Maka turunlah ayat tersebut untuk memerintahkan mereka agar masuk ke dalam Islam secara menyeluruh.
6
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah, 2006) Juz II, h. 329. Lihat juga Al-Imām al-Wāhidī, Asbāb al-Nuzūl, (Bairūt: Dār al-Kutub al‗Ilmiyyah, 2009) Cet. IV, h. 68. 7 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, (Bairūt: Dār al-Fikr, 1994) Juz V, h. 225. 8 Seperti tafsir al-Syaikh Muẖammad al-Nawāwī al-Jāwī, Maraẖ Labīd Tafsīr al-Nawawī, (Dār al-Fikr, t.th) Juz I, h. 54. 9 Sayyid Maẖmūd al-Alūsī al-Baghdādī, Rūẖ al-Ma„ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa al-Sab„ al-Matsānī, h. 97. 10 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, h. 225.
59
B. Penafsiran Klasik atas al-Silm Kāffah Al-Ṯabarī11 mengatakan bahwa para ahli takwil12 berbeda pendapat dalam memaknai al-silm pada ayat ini. Sebagian berkata maknanya adalah Islam. 13 Ia mengutip riwayat: ―Muhammad bin ‗Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abū ‗Āshim menceritakan kepada kami, dari Isa, dari Ibnu Abī Nājih, dari Mujāhid tentang firman Allah: سِلن ّ ادخلىا فٍ الia berkata: masuklah ke dalam Islam. Al-Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: ‗Abd al-Razāq memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ma‘mar memberitahukan kepada kami, dari Qatādah dalam firman Allah: ٍادخلىا ف سِلن ّ الia berkata: masuklah ke dalam Islam. Muhammad bin Sa‗d menceritakan kepadaku, ia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, ia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, ia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari ‗Ibnu ‗Abbās سِلن ّ " ادخلىا فٍ ال: ia berkata: السلن: Islam. Musa bin Harūn menceritakan kepadaku, ia berkata: ‗Amr memberitahukan kepada kami, ia berkata: Asbat menceritakan kepada kami, dari Al-Suddi ادخلىا فٍ السلنia berkata: ke dalam Islam. 11
Nama lengkapnya adalah Mujāhid bin Jabr al-Makki Abȗ al-Hajjaj al-Makhzūmī alMuqri‘, maulā al-Sai‘ib bin Abū al-Sa‘īb. Ia banyak meriwayatkan dari ‗Ali, Sa‘d bin Abī Waqqas, empat orang Abdullah, Rafi‗ bin Khudaij, ‗Āisyah, Ummu Salamah, Abū Hurairah, Suraqah bin Malik, ‗Abdullah bin al-Sa‘ib al-Makhzȗmi dan lainnya. Sedang yang meriwayatkan darinya adalah ‗Atā‗, ‗Ikrimah, ‗Amr bin Dinar, Qatādah, Sulaimān al-Ahwal, Sulaimān alA‗masy, Abduulah bin Katsīr ‗Umar, dan wafat pada 102 atau 103 H. Tetapi menurut Yahya alQattan, ia wafat pada tahun 104 H. Lihat Manna‗ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, penerjemah: Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2012) h. 525. 12 Para ulama klasik dan modern berbeda pendapat perihal perbedaan antara tafsir dan takwil. Sebagian menyamakan takwil dengan tafsir dan sebagian lagi menolaknya. Mayoritas para ulama klasik menyamakan tafsir dengan takwil. Namun pada era sekarang, menurut Hamdi tafsir berkaitan dengan aspek eksternal sebuah teks, seperti asbāb al-nuzūl, cerita, makkiyyah, madaniyyah, nāsikh, mansūkh, ‗amm, khash, mutlaq, muqayyad, mujmal, mufassar, dan sebagainya. Semua ilmu ini bersifat riwāyah. Dalam arti bahwa aspek-aspek tersebut hanya disebut sebagai ―pengetahuan‖ tentang apa saja di seputar permasalahan tersebut. Dari sini terlihat bahwa tafsir merupakan ilmu yang menjadi pengantar bagi aktivitas takwil, yaitu aktivitas pengalihan ayat ke makna yang dimungkinkannya. Jadi, tafsir merupakan bagian dari proses takwil. Pada proses takwil inilah signifikansi makna ayat bisa ditemukan sesuai dengan horison kesejarahan seorang muawwil (penakwil). Lihat A. Zainul Hamdi, Hermeneutika Islam: Intertekstualitas, Dekonstruksi, Rekonstruksi, dalam Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, No. 14, Vol. V, 2003. h. 69. Lihat juga Aksin Wijaya, Arah Baru Ulum Al-Qur‟an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 147. Lihat juga ‗Abd al-Rahman ibn Sulaimān al-Rūmī, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, (Riyādh: Maktabah al-Taubah, 1994) Cet. IV, h. 8. 13 Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 397.
60
Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Wahhab memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata mengenai firman Allah: ادخلىا فٍ السلنia berkata: السلنyakni Islam. Aku telah diberitahu dari Al-Husain bin Faraj, ia berkata: aku mendengar Abu Muadz bin Fadl bin Khālid, ia berkata: Usaid bin Sulaimān, ia berkata: aku mendengar al-Dhahāk berkata: ادخلىا فٍ السلنke dalam Islam.‖ Yang lain berpendapat: maknanya adalah masuklah ke dalam ketaatan. Sebagaimana riwayat berikut: ―Aku telah diberitahu dari Amar, ia berkata: Ibnu Abī Ja‗far menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari al-Rabi‘: ادخلىا فٍ السلنia berkata: masuklah ke dalam ketaatan.‖ Al-Ṯabarī menyimpulkan riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa tafsiran yang lebih utama tentang firman: ادخلىا فٍ السلنadalah pendapat yang mengatakan: Bahwa maknanya adalah masuklah ke dalam Islam dengan sepenuhnya.14 Ia memilih tafsir pada ayat " " ادخلىا فٍ السلنmaknanya dengan Islam, dengan dalih bahwa karena sesungguhnya ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang mukmin, dan jika khiṯab tersebut ditujukan kepada orang mukmin maka tidak akan keluar dari dua masalah ini: Pertama, Khiṯab ini ditujukan kepada orang yang percaya dengan Nabi Muhammad SAW. dan membenarkannya serta membenarkan apa yang datang padanya. Maka ayat tersebut tidak bisa dikatakan kepada mereka sementara mereka ahli iman: ―masuklah ke dalam perdamaian dengan orang mukmin dan penyerahan‖ karena perdamaian dan penyerahan itu ditujukan kepada golongan yang sedang berperang agar mereka memberhentikan perang, sedangkan kepada
14
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399.
61
sekutu tidak boleh dikatakan ―berdamailah dengan fulan‖, sedangkan tidak ada perang dan tidak ada permusuhan di antara mereka. Kedua, khiṯab ini ditujukan kepada orang yang beriman dan membenarkan terhadap para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. dan apa yang datang bersama mereka, akan tetapi mereka mengingkari kenabian Muhammad SAW, maka dikatakan kepada mereka: "سلن َّ "ادخلىا فٍ ال, yakni Islam dan bukan perdamaian, karena Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk percaya dengan-Nya, dengan Nabi-Nya Muhammad dan apa yang datang bersamanya, dan terhadap apa yang diserukan oleh mereka, bukan memerintahkan untuk menyerah dan melakukan perdamaian, bahkan dalam keadaan tertentu melarang nabi-Nya untuk melakukan perdamaian dengan orang kafir. 15 Allah berfirman: ―Jangan kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah bersamamu” (QS. Muhammad [47]: 35). Dibolehkan dalam keadaan tertentu jika diajak untuk melakukan perdamaian, Allah berfirman :“Jika mereka condong kepada perdamian maka condonglah kepadanya”. (QS. Al-Anfāl [8]: 61). Sedangkan untuk memulai mengajak perdamaian tidak ada di dalam al-Qur‘an. Maka menurut al-Ṯabarī boleh ayat " " ادخلىا فٍ السلنditafsirkan demikian. Selain penjelasan khiṯab di atas, dalam menafsirkan ayat ini al-Ṯabarī mengutip beberapa perbedaan qira‗at. 16 Menurutnya, Ahl al-Hijaz membaca "
15
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399. Menurut al-Dzahabī, yang menyebabkan Ibnu Jarir memberi perhatian terhadap sisi qira‘at karena ia tergolong ulama qira‘at, sehingga para ulama berkomentar, ―Ibnu Jarīr telah mengarang kitab khusus tentang qira‘at dalam 18 volume yang di dalamnya menjelaskan semua qira‘at yang masyhur dan yang syadz (ganjil) bahkan ia menguraikannya. Lalu ia memilih qira‘at 16
62
" ادخلىا فٍ السلنdengan mem-fatẖah-kan sin, sedangkan orang-orang Kuffah 17 membaca " " ادخلىا فٍ السلنdengan meng-kasrah-kan sin. Sedangkan yang membaca fatẖah pada huruf sin dari ayat ادخلىا فٍ السلن, mereka menakwilkan ayat tersebut dengan makna الوسالوحyaitu rekonsiliasi, dengan arti: masuklah kamu sekalian dalam perdamaian dan egalitarian atau perbaikan, meninggalkan perang dan membayar jizyah atau upeti.18 Sedangkan orang-orang yang membaca ayat tersebut dengan mengkasrah-kan sin, maka bahwasannya mereka telah berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Sebagian dari mereka ada yang mengartikannya dengan Islam, dengan arti masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan. 19 Dan sebagian dari mereka mengartikannya dengan perdamaian, dengan arti: masuklah kalian semua ke dalam kedamaian. Dan mereka mengambil dalil bahwa sin yang di-kasrah-kan itu bermakna perdamaian sesuai perkataan Zuhair bin Abī Salma. Dalam masalah qira‘at, al-Ṯabarī menyimpulkan: ―Bahwa qira‘at yang lebih utama bacaan ayat itu adalah qira‘at yang membaca sin dengan kasrah, karena hal itu jika dibaca demikian juga mengandung makna perdamaian.‖
yang tidak keluar dari yang masyhur. Sayangnya karya besarnya itu lenyap di telan masa, sehingga tidak sampai kepada kita sebagaimana karya-karyanya yang lain. Lihat Muhammad Husein alDzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1. Penerjemah: H. Nabhani Idris, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010) h. 204. 17 Menurut Shālih al-‗Utsaimīn, Ahli Kuffah mereka adalah para pengikut Ibnu Mas‘ūd seperti Qatādah, ‗Alqamah, dan Sya‗bi. Lihat Muẖammad Shālih al-‗Utsaimīn, Ushūl fī al-Tafsīr, (al-Maktabah al-Islāmiyyah, 2001) h. 38. 18 Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398. 19 Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 398.
63
Sesungguhnya makna Islam adalah kelanggengan perbuatan yang baik bagi orang Arab lebih diutamakan daripada perdamaian dan penyerahan, kemudian mereka menyebut syair Akhi Kindah:
َسأ َ َْر ُ ُه ُن ذ ََىلَّ ْىا ُه ْذتِشٌََا...س ِْل ِن لَ ّوا ّ ُِشذٍِ ِلل َ ُع ْىخ َ َد َ عش ―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku melihat mereka berpaling ke belakang.‖ Setelah melihat perbedaan ahli takwil, kemudian al-Ṯabarī men-tarjih: ―Pendapat yang benar menurutku adalah bahwasannya Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengamalkan semua syariat Islam, masuk di dalamnya orang-orang yang beriman dan membenarkan dengan Muhammad SAW. serta apa yang datang bersamanya dan orang-orang yang beriman dengan para nabi sebelum Muhammad SAW. dan apa yang dibawa oleh mereka, Allah telah menyeru kedua golongan tersebut untuk mengamalkan syariat Islam dan ketentuanketentuannya, menjaga kewajiban yang telah Allah bebankan kepada mereka, dan melarang untuk meninggalkan satu pun dari ajaran tersebut, ayat ini umum masuk di dalamnya semua yang beriman, tidak ada kekhususan antara yang satu dengan yang lain.‖20 Setelah melihat penafsiran al-Ṯabarī dalam ayat ini, dapat disimpulkan bahwa ia secara eksplisit lebih memilih penafsiran al-silm dengan Islam tenimbang (daripada) dengan perdamaian. Hal ini yang kemudian mempengaruhi mufassir klasik setelahnya seperti al-Qurṯubī. 21 Penafsiran al-Qurṯubī tidak jauh berbeda dengan al-Ṯabarī. Al-Qurṯubī menegaskan pilihan tafsirannya terhadap kata al-silm pada awal penafsirannya dengan mengkaitkan ayat sebelumnya bahwa Allah menjelaskan manusia terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu orang yang
20
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401. Beliau adalah Abū ‗Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn al-Farīd al-Anshārī al-Hazraj al-Andalūsī. Beliau adalah seorang yang zuhud, wara‘ dan bertakwa kepada Allah SWT. Beliau senantiasa menyibukkan diri dalam menulis dan beribadah. Al-Dzahabī mencatat tentang tahun wafat beliau yakni tertulis bahwa beliau wafat tepatnya pada bulan syawwal tahun 671 H. Lihat Muhammad Husaīn al-Dzahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Cairo: Maktabah al-Wahbah, 2003) Cet. II, Jilid II, h. 336. 21
64
beriman, orang kafir, dan orang munafik,22 maka Allah berfirman, ―Anutlah oleh kalian semua agama yang satu dan peluklah agama Islam, serta konsistenlah kalian terhadapnya.‖ Jika demikian, maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurṯubī adalah Islam.23 Al-Qurṯubī mengutip syair al-Kindi sebagai riwayat yang mendukung penafsiran al-silm dengan Islam sebagai berikut:
َسأ َ َْر ُ ُه ُن ذ ََىلَّ ْىا ُه ْذ ِتشٌََا...س ِْل ِن لَ ّوا ّ ُِشذٍِ ِلل َ ُع ْىخ َ َد َ عش ―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku melihat mereka berpaling ke belakang.‖ Yakni (menyeruh) untuk memeluk agama Islam ketika orang-orang Kindi murtad sepeninggal Nabi SAW. bersama Asy‘ats bin Qais al-Kindi. 24 Serupa dengan al-Ṯabarī, al-Qurṯubī pun mengutip beberapa riwayat: ―Menurut satu pendapat, (dalam ayat ini) Allah memerintahkan orang-orang beriman dengan mulutnya saja agar masuk Islam dengan sepenuh hati mereka. Ṯāwus dan Mujāhid berkata, Masuklah kalian ke dalam urusan agama.25 Sufyān al-Tsauri berkata, (masuklah kalian) ke dalam semua bentuk kebajikan.‖26 Hal serupa lain penafsiran al-Qurṯubī dengan al-Ṯabarī dalam aspek kebahasaan. Menurut al-Qurṯubī, kata al-silm dibaca kasrah pada huruf sin. Al22
Dilontarkannya kata ‗iman‘ untuk ketiga kelompok ini, karena Ahli Kitab adalah orang-orang yang beriman kepada nabi dan kitab mereka, dan orang munafik juga menyatakan keimanan dengan lisan walaupun hatinya tidak beriman. Lihat Imam Al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) Cet. I, Jilid I, h. 813 . 23
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 392. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393. 25 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393. 26 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393. 24
65
Kisā‗i berkata, ―Makna al-silm dan al-salm itu sama.‖ Demikian pula menurut pendapat mayoritas ulama Bashrah. Kedua kata itu bisa berarti Islam dan rekonsiliasi. Namun Abū ‗Amr al-‗Ala membedakan makna keduanya, dia membaca, udkhulū fī al-silm ―masuklah kamu ke dalam Islam.” Dia berkata, ―Alsilm adalah Islam.‖Sementara dalam surat al-Anfāl dan Muẖammad dia membaca dengan ―al-salm.‖ Dia berkata, ―dengan fatẖah huruf sin, yakni rekonsiliasi.‖ Namun pemilahan ini diingkari oleh al-Mubarrad. ‗Āshim al-Jahdari berkata, ―al-silm adalah Islam, al-salm adalah perdamaian (al-shulh), dan alsalām adalah tunduk (al-istislām).‖27 Muhammad bin Yazid juga mengingkari pemilahan ini. Dia berkata, ―Bahasa Arab dipahami melalui jalur pendengaran, bukan melalui jalur aturan atau tata bahasa. Orang yang membuat perbedaan tersebut memerlukan pembuktian. Sementara itu orang-orang Bashrah meriwayatkan bahwa banu fulȃn (anak cucu) adalah silm, salm dan salam, yang maknanya adalah sama.‖ Al-Jauhari berkata, ―Al-silm yang mengandung makna perdamaian boleh di-fatẖah-kan atau di-kasrah-kan (huruf sin-nya). Boleh juga diucapkan dalam bentuk mudzakar dan mu‟annats. Makna asalnya adalah al-istislām (tunduk) dan al-inqiyād (patuh). Oleh karena itu, al-shulẖ (perdamaian) disebut juga dengan salm atau silm.‖28
27 28
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān,h. 393. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
66
Sedangkan penafsiran terhadap firman Allah: َكافَّحsendiri, al-Ṯabarī menafsirkannya menyeluruh dan kesemuanya ()جوُعا. 29 Hal senada al-Qurṯubī menafsirkan kata َكافَّحadalah jamī„ān (seluruhnya). Namun al-Qurṯubī memberi penjelasan lebih lanjut mengenai hal tersebut. Menurutnya kata ini di-nashab-kan karena menjadi ẖāl dari kata al-silm, atau dari dhamir orang-orang yang beriman. 30 Maka bisa dikatakan, “Masuklah kalian semua orang-orang yang beriman secara kāffah di dalam Islam atau perdamaian”. Lebih lanjut al-Qurṯubī menjelaskan bahwa kata ( ) َكافَّحini diambil dari ucapan mereka ―kafaftu,‖ yakni mana„tu (aku mencegah). Maksudnya, tidak ada seorang pun dari kalian yang tercegah atau terlarang untuk masuk ke dalam Islam. Itu karena makna al-kaff adalah al-man„u (larangan). Contohnya adalah kuffah alqamīsh (tepi baju), sebab bagian tepi ini mencegah baju berantakan. Contoh lainnya adalah kiffah al-mīzān (piring timbangan), sebab piringan inilah yang menampung sesuatu yang ditimbang dan mencegahnya berhamburan. Contoh lain lagi adalah kaff al-insān (telapak tangan manusia), yang mencakup hal-hal manfaat dan mudharat bagi dirinya. Setiap yang bundar adalah kiffah dan setiap yang memanjang adalah kuffah. Adapun makna rajulun makfūf al-bashar adalah orang yang tercegah untuk melihat. Dengan demikin, jamaah dinamakan kāffah karena mereka tidak mungkin tercerai-berai.31
29
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 401. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394. 31 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 394. 30
67
C. Penafsiran Modern atas al-Silm Kāffah Berbeda dengan penafsiran klasik yang hanya berfokus pada ranah tekstualis (kebahasaan), penafsiran modern menafsirkan kata al-silm kāffah dengan pendekatan lain, yakni lebih mengedepankan upaya kontekstualisasi penafsiran dengan realitas. Sebagaimana tertera pada penafsiran Muẖammad 32 ‗Abduh dan al-Marāghī.33 Dalam hal ini tidak bisa lepas—sebagaimana menurut Hamim Ilyas sebagai pijakan bagi pembaruan agama dan sosial yang mereka citacitakan.34 Muẖammad ‗Abduh memulai penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 208, dengan menjelaskan munāsabah (keserasian) ayat al-silm kāffah dengan ayat sebelumnya sebagaimana yang juga dilakukan al-Qurṯubī. Menurut ‗Abduh, ayat sebelumnya menjelaskan perbedaan manusia tentang kebaikan dan keburukan dan tentang perbaikan dan perusakan, lalu Allah hendak memberi petunjuk kepada kita tentang sesuatu yang dapat mengumpulkan manusia secara keseluruhan dalam keadaan yang baik dan damai.35 Kesepakatan yang telah ditetapkan oleh Islam yaitu sesuatu yang telah ditentukan berupa iman kepada Allah dan hari 32
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‗Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya, ‗Abduh bin Hasan Khairullah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya, mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar ibn Khattab. Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu‟tazilah, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1981) h. 19. 33 Nama lengkapnya adalah Ahmad Mushtafa ibn Mushtafa ibn Muhammad ‗Abd alMun‗īm al-Qādhī al-Marāghī. Ia lahir pada tahun 1300H/1883M di kota al-Marāghah, Provinsi Suhaj, kira-kira 700 km arah selatan kota Kairo. lihat Adil Nuwayhid, Mu„jam al-Mufassirīn Shadr al-Islām hatta al-„Ashr al-Hādir, (Bairūt: Mu‘assasah al-Nuwayhid al-Tsaqāfiyyah, 1988) Cet. II, Jilid I, h. 80. 34 Hamim Ilyas, Mengembalikan Fungsi al-Qur‟an: Paradigma dan Metode Tafsir alManar, dalam Syafa‘atun Almirzanah, Sahiron Syamsuddin, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur‟an dan Hadis (Teori dan Aplikasi), (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 20120 Cet. II, h. 104. 35 Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, h. 207.
68
akhir. Dan petunjuk ini dijadikan redaksinya dengan menggunakan redaksi perintah dan memuliakan ahli iman. Berbeda dengan ‗Abduh, Menurut al-Marāghī ayat-ayat sebelumnya yang telah lalu perihal pembagian manusia menjadi dua golongan yaitu ada yang baik dan ada yang rusak; golongan pertama menurut al-Marāghī hanya mengharapkan keridhaan dari Allah atas amal perbuatannya, sedangkan golongan kedua mereka yang selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi dengan merusak tanaman dan membunuh hewan ternak. 36 Maka pada ayat ini menurut al-Marāghī, Allah memberi nasehat kepada kita bahwa ciri khas orang mukmin adalah bersatu dan bersepakat bukan pecah belah dan terbagi-bagi.37 Muẖammad ‗Abduh berpendapat bahwa makna kata al-silm adalah rekonsiliasi (saling membangun perdamaian), tunduk, dan penyerahan. Makna alsilm bisa ditunjukan dengan perdamaian dan keselamatan, dan juga bisa dimaknai dengan agama Islam. 38 Menurut ‗Abduh, sebagian mufassir menafsirkan silmi dengan perdamaian dan sebagian lain menafsirkan al-silm dengan Islam. Sementara كافحmenjadi hāl dari kata al-silm, artinya semua syariat-Nya. Berbeda dengan ‗Abduh, menurut al-Marāghī, كافحartinya menuruti hukum Allah secara keseluruhan, dilandasi dengan berserah diri, tunduk dan ikhlas kepada Allah. AlMarāghī memberikan gambaran maksud berserah diri kepada Allah yaitu:
.وهي اصىلَ الىفاق والوسالح تُي الٌاط وذشك الحشوب تُي الوهرذَي تهذَح 36
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II, h. 114. 37 Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. 38 Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 207.
69
Di antara pokok-pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan meninggalkan pertempuran di antara orang-orang yang sehidayah.39 ‗Abduh mengatakan bahwa prinsip al-silm adalah mematuhi perintah Allah dan ikhlas menjalankannya, serta adanya kesepakatan dan saling memberi keselamatan di antara manusia, meninggalkan peperangan dan pembunuhan di antara orang-orang yang sudah diberi petunjuk. Kata al-silm mencakup semua makna, dan perintah untuk masuk tersebut adalah orang-orang yang sudah masuk harus secara sempurna menjalankannya dengan secara tetap dan konsisten.40 Sebagaimana dalam satu pendapat, menurut ‗Abduh khiṯab ayat ini diperuntukkan untuk Ahli Kitab atau semua orang yang beriman kepada Allah, maka pada hakekatnya masuk di dalamnya. Allah berkata kepada mereka, jika kalian tidak masuk ke dalam agama Islam yang sempurna dengan mengikuti akhlak Islam secara sempurna dengan diutusnya nabi terakhir, maka iman kalian tidak akan bermanfaat dan kalian akan tetap melakukan permusuhan dan perpecahan, sementara agama Allah ingin mempersatukan dan tidak ingin memecah belah.41 Dan ini saya tulis setelah mempelajari tafsir guru kami terhadap ayat ini. Selanjutnya ‗Abduh memberikan penjelasan secara lebih luas. Ia mengatakan bahwa kalimat ini adalah kalimat yang agung. Dan kaidahnya, kalau semua ulama membangun madzhabnya di atas pondasi kalimat ini maka tidak dikhawatirkan terjadi perpecahan di dalam umat. Karena ayat ini menjelaskan
39
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 207. 41 Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 207. 40
70
wajib mengambil Islam secara komprehensif.42 Kita melihat semua yang datang dari al-Syāri„ (Allah dan Rasul) di semua masalah dari teks firman-Ku dan dari Sunnah yang harus diikuti, kita memahami apa yang dikehendaki secara keseluruhan dan kita mengamalkanya. Tidak dengan cara seporadis dengan mengambil kalimat atau satu hadis saja dan dijadikan hujjah kepada madzhab yang lain. Dan kamu meninggalkan sesuatu yang bertentangan dengan teks alQur‘an dan hadis, juga harus memahami nasakh mansūkh, atau menghukumi dengan ragu-ragu (ihtimal). Kalau anda mengajak para ulama untuk mengamalkan ayat ini menurut ‗Abduh, artinya mereka mengetahui dan tidak mengingkari di antara keduanya dan sebagian ulama men-tarjih tafsiran yang lain secara tetap, dan mereka menolak karena merasa besar dan kalian berkata, ―kami menentang terhadap orang-orang yang sombong‖. Karena itu kita harus meninggalkan madzhab dan berusaha mengajak umat Islam konsisten pada satu madzhab.43 Pada sisi lain, menurut ‗Abduh ayat ini dalam suatu keadaan kita bisa menemukan petunjuk dan pencerahan dalam perkataan ulama-ulama. Kalau umat mengikutinya maka dia akan bisa konsisten berada dalam jalannya dan bisa mencapai suatu kebenaran setelah keluar dari kesempitan perbedaan dan pertentangan menuju persatuan dan kesepakatan. Sebab, eksisnya kuasa perbedaan dan pertentangan itu terjadi karena kebodohan dan fanatisme orang-
42 43
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208. Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
71
orang yang cinta jabatan dari golongan ulama yang mempertahankan madzhab, dan dengan jabatannya itu mereka hidup dan mereka dimuliakan. Para Umara dan penguasa mendukung para ulama untuk menolong kepada mereka agar para umat itu mematuhinya dan memutus jalan kebebasan akal (berfikir) dan kemandirian umat. Karena itu, hal ini membantu mereka menciptakan suatu kediktatoran (istibdād). Sehingga kita akan terus-terusan tidak bisa lepas dari kerusakan dan kerusakan. Kesepakatan ucapan umat dan ulama secara otomatis sudah diketahui kebenarannya, dan lalu ditetapkan oleh hakim agar umat itu mengikutinya. Karena orang elit harus diikuti orang awam, dan ini salah satu jalan untuk membatalkan otoritas hakim.44 Inilah tafsir yang mendukung dengan mencela orang-orang yang telah menjadikan al-Qur‘an itu terbagi-bagi (idhdhīn). Mereka mengingkari orangorang yang mengimani sebagian dan mengkafirkan bagian yang lain. Artinya mereka mengamalkan sebagian ayat al-Qur‘an sebagai agama dan meninggalkan sebagian yang lain dengan cara ditakwil atau tidak. Seperti keyakinan seseorang yang tidak mempercayai bahwa ayat itu dari Allah. Padahal wajib mengambil alQur‘an dan agama secara komprehensif dan memahami hidayah secara keseluruhan dari nabi. Ini sudah ketetapan, baik ayat itu ditafsirkan atau tidak.45 Sebagian mufassir berpendapat bahwa kāffah menjadi ẖāl yang kembali ke orang-orang yang beriman dengan artian masuklah kalian semua ke dalam Islam secara menyeluruh, jangan ada yang tersisa satu pun dari kalian. Orang yang 44 45
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208. Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208.
72
berpendapat demikian bahwa nidā (panggilan) orang-orang yang beriman ditujukan kepada Ahli Kitab. Maka dari itu tidak bisa dikatakan bahwa iman di sini diharuskan masuk ke dalam Islam, seandainya perintah orang-orang beriman untuk masuk Islam memang harusnya demikian. Iman itu mempercayai secara pasti serta memproklamirkan diri, barang siapa yang percaya sesuatu maka harus masuk ke dalamnya tanpa terkecuali.46 Sedangkan pendapat mayoritas ulama bahwa ilmu yang tidak wajib diamalkan sudah tentu salah. Ilmu yang dipercayai berkaitan dengan kemanfaatan atau kemadharatan wajib diamalkan selama tidak bertentangan
dalam
objektivitasnya dengan ilmu yang lebih kuat. Adapun ilmu teoritik yang bertentangan ilmu dengan ilmu dharuri (yang pasti benarnya) atau bertentangan dengan ilmu yang lebih kuat, maka kedua ilmu itu tidak wajib diamalkan.47 Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazalī, Ibn Taimiyyah dan al-Syāṯībī pengarang kitab al-Muwaffaqāt bahwa ilmu yang benar adalah ilmu yang harus diamalkan. Dan kebenaran yang akan terperinci, didukung oleh ayatayat al-Qur‘an sebagai dalilnya. Dan Allah menunjukkan kepada orag yang berkata bahwa ayat tersebut diturunkan kepada Ahli Kitab. Sebagaiamana yang diriwayatkan Ibnu Jarīr dari ‗Ikrimah berkata: ‗Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan. Maka biarkanlah kami melakukan ritual kami pada hari itu. Dan Taurat adalah Kitab Allah, maka biarkanlah kami bangun malam dengannya. Maka turunlah ayat yang berbunyi َا أَها الزَي آهٌىا ادخلىا فٍ السلن كافح. Hai
46 47
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208. Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209.
73
orang-orang yang keseluruhan.48
beriman,
masuklah
ke
dalam
Islam
secara
Menurut ‗Abduh, khiṯab tersebut tertuju untuk kalangan Yahudi secara khusus, tidak untuk Ahli Kitab secara umum. Akan tetapi menurutnya riwayat tersebut tidak shaẖih, dan riwayat tersebut menunjukan atas dirinya, maka riwayat tersebut adalah yang objektif terhadap ayat tersebut.49 Aspek kedua, dalam arti al-silm yang diartikan dengan rekonsiliasi dan kesepakatan. Karena hal tersebut merupakan sesuatu yang dapat menghilangkan permusuhan dan pertentangan, dan dengan cara menjaga persatuan, serta memperkokoh persaudaraan. Tidak bisa menghilangkan sesuatu kecuali dengan menghilangkan sebab-sebabnya (permusuhan dan pertentangan). Dan tidak bisa menjadi nyata kecuali dengan memantapkan mediasi-mediasinya (persatuan dan memperkokoh persaudaraan).50 Ini sesuai dengan ayat, ―Berpegang tegulah pada tali Allah secara berjamaah dan jangan berpecah belah, ayat yang lain, ―Dan janganlah kalian saling bertentang, dan nabi bersabda: Setelah aku wafat janganlah kalian kembali menjadi orang kafir yang sebagian kalian akan menggorok leher sebagian yang lain.‖ Tapi menurut ‗Abduh, kita masih menentang ayat-ayat ini sehingga kita masih tetap berpecah belah, bermusuhan, membunuh, memfitnah, dengan syubhat agama. Karena kita masih berpegang teguh pada perbedaan madzhab. Setiap golongan pasti akan fanatik buta terhadap mazhabnya dan menghina madzhab
48
Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209. Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209. 50 Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209. 49
74
yang lain dengan menyangka ia sedang menolong agama. Seperti pembunuhan Sunni terhadap Syi‗ah, Syi‗ah melengserkan ‗Ibadiyya, Syafi‗iyyah menuduh Hanafiyyah sebagai Tar-Tar, Hanafiyyah meng-qiyas-kan Syafi‗iyyah sebagai kafir dzimmi. Inilah orang-orang yang ber-taklid yang mengakibatkan Islam mundur, maka menurut ‗Abduh marilah kita mengikuti jalan salaf. Sementara menurut al-Marāghī, makna ayat tersebut adalah ―wahai orangorang yang beriman dengan sepenuh hati dan tingkah laku, tetaplah kalian menjalankan ajaran-ajaran Islam sejak hari ini dan seterusnya,‖ jangan sekali-kali kalian melepaskan salah satu dari syariat-syariatnya. Bahkan ambillah Islam secara keseluruhan dan pahamilah maksud Islam yang sebenarnya.51 Dalam setiap tingkah laku dan menghadapi setiap masalah, pakailah nash-nash al-Qur‘an dan sunnah-sunnah rasulullah, lalu amalkanlah setiap anjurannya. Jangan mengambil satu dalil nash atau dalil sunnah saja tanpa memperdulikan dalil-dalil nash atau sunnah lainnya, sebab mungkin berselisih paham dengan hujjah yang dipakainya. Dan hal ini bisa menimbulkan perpecahan dan percekcokan yang semakin seru di antara kalian dan akhirnya kehancuranlah bagi kalian semua.52 Al-Marāghī memberikan contoh akibat dari permusuhan dan perpecahan sebagaimana penafsiran ‗Abduh. Ia mengatakan: ―Tetapi kaum muslimin telah menyimpang dari anjuran ini. Kini mereka berpecah belah dan saling baku hantam, sebagian memusuhi sebagian lainnya. Mereka mendirikan madzhab-madzhab yang saling berlainan. Setiap madzhab memusuhi madzhab lainnya dengan anggapan bahwa mereka sendirilah yang menegakkan agama. Padahal hakikatnya mereka menghina agama, karena membuat perpecahan di kalangan kaum 51 52
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
75
muslimin. Yang bermadzhab Sunni menghantam saudaranya sendiri yang bermadzhab Syi‗ah, yang bermadzhab Syafi‗i menghina bangsa Tar-Tar, oleh karena mereka menganut madzhab Abu Hanifah, dan mereka yang mengikuti ulama khalaf (mutaakhirīn) mengecam pengikut-pengikut madzhab ulama salaf, demikian seterusnya.‖53 Dengan melihat penafsiran-penafsiran di atas, para mufassir klasik menunjukkan tingkat kompleksitas penafsiran yang tinggi khususnya pada ranah kebahasaan. Seperti al-Ṯabarī dan al-Qurṯubī yang dalam penafsirannya mengutip beberapa perbedaan para ahli takwil terkait riwayat dan qira‘at dalam menyikapi kata al-silm kāffah. Dengan mediasi tersebut, kemudian keduanya memilih, seperti al-Ṯabarī yang mentarjih penafsiran kata al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh. Sementara mufassir modern seperti Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī, kendati pun dalam beberapa penafsirannya mereka mengutip perbedaan qira‘at dan riwayat atau kebahasaan, tetapi mereka lebih menekankan konteks sosial yang mengitarinya. Konteks pertikaian antara madzhab, hilangnya perdamaian dan adanya permusuhan di antara umat Islam yang mengantarkan mufassir modern menafsirkan kata al-silm kāffah dengan islam (nilai) yang harus diterapkan secara komprehensif. Dari perbedaan natijah (hasil) penafsiran yang sangat siginifikan dari kedua mufassir tersebut yang selanjutnya akan penulis paparkan analisiskomparatif di antara keduanya; mufassir klasik dan modern dalam menafsirkan kata al-silm kāffah.
53
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114.
BAB IV ANALISIS-KOMPARATIF PENAFSIRAN KLASIK DAN MODERN ATAS AYAT AL-SILM KĀFFAH QS. AL-BAQARAH [2]:208 DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA
A. Corak penafsiran Setiap tafsir mempunyai corak yang berbeda-beda meskipun masih dalam ruang lingkup yang sama sebagai model tafsir tahliīī. 1 Penafsiran dengan menggunakan metode penulisan tahliīī tentu tidak bisa dilepaskan dari subyektifitas penulisnya, yaitu kecenderungan atau orientasi pemikiran yang dilatar belakangi oleh pendidikan, bacaan dan lingkungan hidup penulisnya. 2 Beberapa hal tersebut yang kemudian memunculkan corak penafsiran yang berbeda-beda. Di antara keempat mufassir, hanya penafsiran al-Ṯabarī yang tidak memiliki corak khusus karena al-Ṯabarī menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an berdasarkan riwayat. 3 Berbeda dengan al-Ṯabarī, al-Qurṯubī memiliki corak
1
Metode tahliīī adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‘an secara analitis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya. Penafsiran dengan metode ini dilakukan secara berurutan dan berkesinambungan terhadap ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutannya yang terdapat dalam mushhaf ‗Utsmani yang ada sekarang. Mulai dari awal surah al-Fatihah sampai dengan akhir surat al-Nas. Acep Hermawan, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011) h. 117. Lihat juga Musa‗īd ibn Sulaimān al-Ṯayyār, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, (Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993) Cet. I, h. 19. 2 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011) h. 96. 3 Faizah Ali Syibromalisi, Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 11.
76
77
fiqih. 4 Sedangkan Muẖammad ‗Abduh dan al-Marāghī memiliki corak adabi ijtima„i.5 B. Keserasian Ayat al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 Mengenai keserasian ayat ini, penafsiran klasik dan modern mempunyai perbedaan pendapat. Al-Ṯabarī dalam hal ini tidak mencantumkan pembahasan tentang keserasian ayat QS. Al-Baqarah [2]: 208, dengan ayat sebelumnya. Mufassir klasik seperti al-Qurṯubī dalam pembahasan awal penafsirannya menjelaskan bahwa pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan manusia terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu orang yang beriman, orang kafir, dan orang munafik, maka Allah berfirman, ―Anutlah oleh kalian semua agama yang satu dan peluklah agama Islam, serta konsistenlah kalian terhadapnya.‖ Jika demikian, maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurṯubī adalah Islam.6 Sementara dalam pandangan ‗Abduh, ayat sebelumnya menjelaskan perbedaan manusia tentang kebaikan dan keburukan dan tentang perbaikan dan perusakan, lalu Allah hendak memberi petunjuk kepada kita tentang sesuatu yang dapat mengumpulkan manusia secara keseluruhan dalam keadaan yang baik dan damai.7 Berbeda dengan al-Qurṯubī dan ‗Abduh, menurut al-Marāghī, ayat-ayat sebelumnya yang telah lalu menjelaskan perihal pembagian manusia menjadi dua 4
Acep Hermawan, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, h. 116. Arie Machlina Amri, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, (INSYIRAH, Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam, Vol. 2, No. 1, Juni 2014) h. 8. Tafsir al-adȃb al-ijtima„i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Acep Hermawan, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, h. 116. 6 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, (Bairūt: Mu‘assasah al-Risālah, 2006) Juz II, h. 392. 7 Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, (Bairūt: Dār al-Kutub al‗Ilmiyyah, 1999) Juz II, h. 207. 5
78
golongan yaitu ada yang baik dan ada yang rusak; golongan pertama menurut alMarāghī hanya mengharapkan keridhaan dari Allah atas amal perbuatannya, sedangkan golongan kedua mereka yang selalu menimbulkan kerusakan di muka bumi dengan merusak tanaman dan membunuh hewan ternak.8 Maka pada ayat ini menurut al-Marāghī, Allah memberi nasehat kepada kita bahwa ciri khas orang mukmin adalah bersatu dan bersepakat bukan pecah belah dan terbagi-bagi.9 C. Segi Penafsiran Al-Tabarī tetap sangat dekat dengan pemahaman literal atas kata-kata dalam ayat ini, dan mengedepankan ragam riwayat yang secara esensial merupakan parafrase (interpretasi) atas ayat tersebut. 10 Misalnya, dia mengutip tujuh riwayat dalam mengupas kata al-silm. Al-Tabarī menyimpulkan riwayatriwayat yang berkait dengan kata al-silm dengan mengatakan bahwa ayat ini lebih tepat ditafsirkan al-silm dengan Islam. Maka takwilannya adalah perintah untuk masuk ke dalam Islam secara kāffah. Alasan yang ia berikan untuk hal ini adalah karena sesungguhnya ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang mukmin. Sementara kata kāffah secara sepakat dimaknai dengan menyeluruh. Namun, al-Tabarī menggarisbawahi terkait khitab tersebut. Ia secara tegas mengatakan bahwa khitab tersebut apabila ditujukan kepada orang-orang mukmin, maka tidaklah mungkin kata al-silm diartikan dengan perdamaian sementara orang-orang mukmin dalam kondisi tidak berperang atau damai. Dalam
8
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Syarkah Maktabah wa Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, 1946) Juz II, h. 114. 9 Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. 10 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, (Bandung: Mizan, 2015) h. 186.
79
hal ini al-Tabarī secara eksplisit menekankan konteks perang dan damai dalam memahami makna al-silm kāffah. Sedangkan dalam kesempatan lain bila khitab tersebut ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada nabi-nabi terdahulu sementara mereka mengingkari kenabian Nabi Muhammad SAW. maka khitab tersebut memerintahkan kepada mereka untuk memasuki agama Islam dan mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. secara kāffah. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Tabarī dengan didukung beberapa riwayat yang ia masukkan dalam menakwilkan ayat ini kemudian ia jelaskan secara lebih luas terhadap al-silm kāffah yaitu bahwasannya Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengamalkan semua syariat Islam, masuk di dalamnya orang-orang yang beriman dan membenarkan dengan Muhammad SAW. serta apa yang datang bersamanya dan orang-orang yang beriman dengan para nabi sebelum Muhammad SAW. dan apa yang dibawa oleh mereka, Allah telah menyeru kedua golongan tersebut untuk mengamalkan syariat Islam dan ketentuan-ketentuannya, menjaga kewajiban yang telah Allah bebankan kepada mereka, dan melarang untuk meninggalkan satu pun dari ajaran tersebut, ayat ini umum masuk di dalamnya semua yang beriman, tidak ada kekhususan antara yang satu dengan yang lain.‖11 Para mufassir generasi modern seperti ‗Abduh dan al-Marāghī berbeda dengan al-Tabarī dalam menyikapi ayat tersebut. Berbeda dengan mufassir klasik yang menyandarkan penafsirannya pada pendekatan tekstual. Sebaliknya,
11
Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, (Bairūt: Dār al-Fikr, 2005) Jilid II, h. 401.
80
mufassir
modern
secara
kuat
menyadari
adanya
tantangan
bagaimana
menghubungkan al-Qur‘an dengan berbagai masalah dan kebutuhan masyarakat modern. 12 Sebagaimana diketahui bahwa kata al-silm dalam literatur tafsir menyebutkan sebagian maknanya adalah Islam. Namun, makna Islam kemudian bergeser ketika sebagian kalangan dalam ranah sosial melegitimasi penafsiran alsilm kāffah dengan suatu idiom Islam kāffah. Masalah demikian sesuai apa yang disajikan ‗Abduh dan al-Marāghī dalam penafsirannya. ‗Abduh dan al-Marāghī memberikan ruang kosong pada mufassir klasik ihwal konteks yang mengitarinya dalam menafsirkan al-silm kāffah QS. [2]: 208. Perhatian mereka berdua terhadap konteks tersebut dapat diidentifikasi dalam penafsirannya sebagai berikut: ―Menurut al-Marāghī, di antara pokok-pokok berserah diri kepada Allah ialah cinta damai dan meninggalkan pertempuran di antara orang-orang yang sehidayah. 13 Sementara menurut ‗Abduh: Prinsip al-silm adalah mematuhi perintah Allah dan ikhlas menjalankannya, serta adanya kesepakatan dan saling memberi keselamatan di antara manusia, meninggalkan peperangan dan pembunuhan di antara orang-orang yang sudah diberi petunjuk.‖14 Penafsiran ini secara garis besar mewakili makna lain dari al-silm yaitu perdamaian. Meskipun demikian, secara panjang lebar ‗Abduh telah menjabarkan kontekstualisasi dari ayat tersebut. ‗Abduh dalam penjelasan penafsirannya membagi dua persoalan yang menjadi perhatian umat Islam. Pertama, fanatisme madzhab, kedua, upaya rekonsiliasi.15Yang pertama ia angkat berdasarkan realitas
12
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 40. Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. 14 Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208. 15 Menurut Saeed, para ulama modern termasuk ‗Abduh, konteks modern menuntut peninjauan ulang terhadap warisan intelektual Muslim di mana umat Islam saat itu cenderung 13
81
yang terjadi pada masanya terkait fanatisme antar madzhab. Dalam penafsirannya, ‗Abduh mengatakan bahwa teks al-Qur‘an harus dipahami secara keseluruhan, tidak dengan cara seporadis mengambil satu ayat atau hadis saja untuk dijadikan pembenaran madzhabnya.16 Dalam hal aspek rekonsiliasi, ‗Abduh menjelaskan bahwa upaya rekonsiliasi merupakan suatu yang dapat menghilangkan permusuhan dan pertentangan, dengan cara menjaga persatuan, serta memperkokoh persaudaraan.17 Ia berpendapat bahwa akibat persoalan madzhab manusia menjadi terpecah belah. Maka ia menyimpulkan bahwa penafsiran al-silm kāffah yang tepat adalah memasuki islam secara komprehensif dengan sarat adanya kesepakatan dan perdamaian di antara sesama umat Islam serta meninggalkan fanatisme madzhab. Upaya mengkontekstualisasikan ayat seperti yang dijelaskan ‗Abduh tersebut merupakan sesuatu yang tidak terdapat pada mufassir klasik. Bahkan jika melihat penafsiran al-Qurtubī, ini sesuai dengan perkataan Abdullah Saeed bahwa sebuah usaha untuk kembali kepada pendekatan text-centric (berpusat pada teks) al-Tabarī.18 Ini sesuai dengan perkataannya yang mengutip al-Tabarī bahwa alTabarī menafsirkan kata (al-silm dalam ayat ini) dengan Islam karena alasan yang telah disebutkan.19 Ia sama dengan al-Tabarī yaitu memasukkan beberapa riwayat, akan tetapi berbeda dengan al-Tabarī, al-Qurtubī memberikan penafsiran hukum setelahnya. mengikutinya secara buta (taqlīd). Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 41. 16 Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 208. 17 Muẖammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, h. 209. 18 Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 194. 19 Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393.
82
Sejak awal al-Qurtubī menjelaskan bahwa ayat sebelumnya membicarakan tentang orang-orang beriman, orang munafik dan orang kafir. Maka makna kata al-silm yang tertera dalam ayat ini menurut al-Qurtubī adalah Islam.20 Penjabaran tentang Islam yang dimaksud, al-Qurtubī tempatkan dalam corak penafsirannya yaitu corak fiqh. Dalam hal ini ia menyebut bahwa Islam terdiri dari delapan bagian, yaitu shalat, zakat, puasa, haji, umrah, jihad, memerintahkan kepada yang ma„ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Merugi sekali orang tidak mempunyai bagian dalam Islam. 21 Demikian menurut al-Qurtubī. Penemuan al-Qurtubī terhadap makna al-silm dengan Islam juga ia perkuat dari salah satu syair:
َسأ َ َْر ُ ُه ُن ذ ََىلَّ ْىا ُه ْذتِشٌََا...س ِْل ِن لَ ّوا ّ ُِشذٍِ ِلل َ ُع ْىخ َ َد َ عش ―Aku menyeru keluargaku untuk menganut agama Islam ketika aku melihat mereka berpaling ke belakang.‖ Partikel al-silm dalam syair tersebut bermakna Islam karena konteks yang mempengaruhi syair tersebut berkaitan dengan adanya sebagian kabilah Kindi yang murtad setelah Rasulullah meninggal. Maka jelas al-silm dalam konteks syair tersebut bermakna dengan Islam. Jika melihat pendekatan al-Tabarī dan al-Qurtubī dalam menafsirkan ayat ini, maka keduanya sama-sama memberi perhatian yang khusus terhadap— meminjam istilah Abdullah Saeed yaitu tekstual.22 Untuk kasus ayat ini, al-Tabarī
20
Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 392. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 393. 22 Salah satu yang menjadi perhatian Saeed dalam memahami tafsir tekstual adalah ada pada aspek qira‘at dan riwayat yang menurutnya diberlakukan secara statis. Pendekatan ini didasarkan pada pandangan bahwa makna yang sudah baku ini memungkinkan sang pembaca tetap 21
83
dan al-Qurtubī dalam tafsirnya lebih didominasi oleh sumber-sumber riwayat (atsar) dan perdebatan qira‘at (kebahasaan). Sebagaimana telah disebutkan bahwa sesuatu yang tidak terdapat dalam diri al-Qurtubī adalah terletak pada tidak adanya pen-tarjih-an terhadap riwayat sebagaimana yang dilakukan oleh alTabarī. Namun keduanya sama-sama menaruh perhatian pada aspek qira‘at yang cukup serius. Perihal qira‘at menjadi elemen yang sangat penting dalam tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī. Karena dengan cara menelusuri perdebatan qira‘at bisa ditemukan suatu makna dasar terhadap suatu kata. Secara garis besar, mufassir klasik seperti al-Tabarī dan al-Qurtubī mengutip perdebatan qira‘at dalam menafsirkan ayat alsilm kāffah terdapat tiga kelompok. Pertama, kelompok yang membaca kata alsilm dengan kasrah bermakna Islam. Kedua, kelompok yang membaca al-silm dengan fathah bermakna perdamaian. Ketiga, kelompok yang mengakomodir keduanya yaitu al-silm bisa dibaca dengan kasrah dan fathah yang bermakna Islam dan perdamaian. Sementara kata kāffah tidak ada perdebatan secara kata atau pun makna. Sampai pada tahap ini dapat disimpulkan bahwa mufassir klasik seperti alTabarī dan al-Qurtubī menafsirkan kata al-silm kāffah dengan agama Islam secara menyeluruh, melalui perangkat riwayat-riwayat, qira‘at atau pun syair pada masa awal Islam. Mesikpun al-Tabarī telah melakukan penafsiran yang secara tekstual tersebut, sisi lain yang harus menjadi pertimbangan adalah bahwa al-Tabarī tetap
loyal dengan teks dan menjauhkan diri dari subjektivitas yang bisa masuk ke dalam penafsiran teks. Lihat Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, h. 39.
84
mengakomodir berbagai takwilan yang ada. Sedangkan Muhammad ‗Abduh dan al-Marāghī menafsirkan kata al-silm kāffah dengan mengkaitkan dengan konteks sosial yang mengitarinya yaitu perihal fanatisme madzhab dan rekonsiliasi di antara umat Islam. D. Relevansi Penafsiran ayat al-Silm Kāffah dalam Konteks Indonesia Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Islam kāffah hingga kini masih multi-tafsir dalam pandangan para mufassir. Ada sebagian yang memahami Islam kāffah sebagai pelaksanaan syariat Islam secara total (kāffah) termasuk dengan memberi label negara Islam dan sejenisnya. 23 Mereka beranggapan kelompok yang tidak sehaluan, dituduh tidak Islami dan menolak syariat Islam. Salah satu dalil yang kerap dijadikan landasar dasar teologinya adalah QS. Al-Baqarah [2]: 208. Di samping menafsirkan dengan Islam, sebagian mufassir memahami kata al-silm tersebut dengan tunduk, patuh, dan perdamaian. Kalau Islam kāffah itu kemudian dimaknai dengan keharusan untuk mendirikan negara Islam, maka sebenarnya nabi sendiri secara eksplisit tidak memerintahkan atau mewariskan konsep negara tertentu. 24 Ayat di atas juga secara implisit tidak menegaskan bahwa berislam secara kāffah tidak harus
23
Misalnya para mufassir klasik seperti dalam Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 323. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 329. Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. 24 Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi merupakan hasil dari banyak peristiwa yang terjadi secara kebetulan, meskipun ia merupakan pemecahan yang paling sesuai dengan praktik-praktik tradisional Arab. Jelas tidak ada motif agama dalam pemilihan itu. Sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa mereka merasa kehilangan akal pada saat itu, karena tidak punya aturan eksplisit untuk menghadapi keadaan itu, dan reflek-reflek politiklah yang dominan saat itu. Lihat Abdelmajid Charfi, Sudah Tibakah Waktu Pembaruan Islam? dalam Abdou Filali-Ansary, Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana? Penerjemah: Machasin, (Bandung: Mizan, 2009) h. 284.
85
dengan sebuah negara
yang berlabelkan Islam.
Apalagi usaha untuk
memformalkan ajaran Islam ke dalam bentuk negara dalam konteks Indonesia jelas bertentangan dengan konteks ayat di atas. Sebab tidak hanya akan bermasalah pada aspek penafsiran, tetapi juga akan menimbulkan konflik sosial dan agama. Persatuan dan kesatuan yang sekian lama diikat oleh Pancasila 25 dalam bentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) akan terancam.26 Namun, sampai sekarang kalangan fundamentalisme Islam selalu menggembor-gemborkan apa yang Kuntowijoyo sebut dengan konsep kehidupan teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan berpusat kepada Tuhan. Sehubungan dengan ini Kuntowijoyo menulis: ―Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu diaktualisasikan menjadi amal; bahwa konsep tentang iman, tentang tauhid, harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah zakat—misalnya—adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah untuk terwujudnya kesejahteraan sosial.‖27 25
Rumusan Pancasila secara imperatif harus dilaksanakan oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila Pancasila merupakan satu kesatuan yang integral, yang saling mengandaikan dan saling mengunci. Ketuhanan dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara, tetapi diletakkan dalam konteks negara kekeluargaan yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012) Cet. II, h. 88. 26 Pada batas-batas tertentu, Indonesia menganut atau menerapkan nilai-nilai sekularistik, dan secara bersamaan juga menganut nilai-nilai religius. Kenyataan ini harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan penerapan syariat Islam di Indonesia. Jika dicermati, aspek persinggungan antara syariat Islam (sebagai konsep penerapan hukum positif) dan kepentingan warga negara di Indonesia juga akan mengalami banyak kendala. Sebagaimana menurut Gus Dur, kehadiran sistem Islami tersebut secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama Islam secara otomatis menjadi warga negara kelas dua. Lihat Halid Alkaf, Quo Vadis: Liberalisme Islam Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2011) h.235. Lihat juga Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. h. 4 27 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008) Cet. I, h. 383.
86
Tulisan Kuntowijoyo di atas relevan bila dikaitkan dengan QS. Al-Baqarah [2]: 208, 28 berbicara tentang seruan untuk orang-orang yang beriman lalu keimanannya
direalisasikan
dengan
perintah
untuk
masuk
ke
dalam
Islam/perdamaian secara kāffah. Dikotomi dua makna antara Islam dan perdamaian tersebut yang mengantarkan pada implikasi yang sangat vital dalam konteks sekarang. Gus Dur telah mengatakan bahwa implikasi penafsiran al-silmi menjadi Islam mengharuskan adanya sebuah entitas formal, sedangkan secara perkembangannya,
pengandaian
Islam
secara
formalis
tersebut
selalu
mendapatkan tindakan repressif oleh kelompok Islam arus utama29 sebagaimana beberapa contoh kasus di atas. Kalangan Islam yang cara berfikirnya fundamental mensematkan al-silm dengan Islam kāffah, mereka merujuk ke beberapa kitab tafsir klasik yang representatif seperti tafsir al-Ṯabarī.30 Seperti contoh tulisan Rokhmat S. Labib yang berjudul Masuk Islam Secara Kāffah, ia menafikan makna lain dari al-silm
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam al-silm keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” 29 Penyebutan kelompok Islam arus utama untuk menggambarkan perlawan terhadap gerakan Islam yang Kuntowijoyo sebut dengan kelompok sempalan. Kelompok sempalan tersebut yang selalu mendapatkan resistensi oleh kelompok Islam arus utama. Kuntowijoyo membagi dua jenis kelompok sempalan. Pertama, kelompok sempalan dalam arti keagamaan dan kedua, kelompok sempalan dalam arti politik. Jika kelompok pertama berada di luar main-stream, kelompok kedua—sekalipun cenderung mempunyai berbeda—masih tetap dalam main-stream umat. Selengkapnya lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, h. 340. 30 Menurut al-Ṯabarī, tafsiran yang lebih utama tentang firman: ادخلىا فٍ السَّلنadalah pendapat yang mengatakan: Bahwa maknanya adalah masuklah ke dalam Islam dengan sepenuhnya. Lihat Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399. Lihat juga Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗īl Ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm, (Cairo: Mu‘assasah Qurṯubah, 2000) Juz II, Cet. I, h. 273. Abī Bakr al-Qurṯubī, Al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, h. 329.
87
yakni al-musālamāh yang bermakna perdamaian, atau meninggalkan perang. 31 Menurutnya, bila menafsirkan al-silm dengan perdamaian, maka jelas bertentangan dengan banyak ayat dan hadits yang mewajibkan perang melawan kafir.32 Implikasi penafsiran demikian yang telah banyak diadopsi oleh kalangan Islam fundamentalis untuk memperkokoh visi-misinya sebagai golongan yang mempresentasikan muslim yang total (kāffah).33 Oleh karena itu, apabila menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam kāffah tersebut kontradiktif pada tataran sosiologis, maka alternatif lain yang harus ditekankan di sini adalah mencari penafsiran yang relevan—berdimensi inklusif. Karena penafsiran yang berdimensi eksklusif yang digencarkan oleh sebagian kelompok Islam, terkadang cenderung menghasilkan produk tafsir yang radikal.34 Implikasi dari penafsiran yang harfiah (tekstual) tersebut, kemudian banyak yang 31
Beberapa kitab tafsir mengaitkan makna al-silm sebagai bagian untuk menegakkan perdamaian dan meninggalkan peperangan. Misalnya Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr alMarāghī, Juz II, h. 114. Ibnu Jarīr al-Ṯabarī, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, h. 399. Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr (Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1990) Juz 5-6, h. 176. 32 Rokhmat S. Labib mengutip QS. Al-Baqarah [2]: 216 tentang ayat yang artinya, diwajibkan atas kalian perang. Ia mempertegas bahwa kewajiban tersebut makin dikukuhkan dengan adanya perintah kepada kaum Muslim untuk berangkat perang, baik dalam keadaan ringan maupun berat (QS. Al-Taubah [9]: 41. Bagi yang tidak mau berangkat, diancam dengan azab yang pedih (QS Al-Taubah [9]: 39). Bahkan, perang yang diwajibkan itu bukan hanya ketika kaum Muslim diserang musuh (QS. Al-Baqarah [2]: 190). Bertolak dari fakta tersebut menurut Rakhmat, kata al-silm tidak bisa dimaknai al-musālamah (perdamaian). Selebihnya bisa diakses di http://mediaumat.com/telaah-wahyu/917.html. Diakses pada tanggal 5/November/2016. 33 Syu‘bah Asa memberikan komentarnya terkait penggunaan makna antara Islam dan perdamaian dalam QS. Al-Baqarah [2]: 208 tersebut. Ia mengajukan pertanyaan, mengapa arti ‗kedamaian‘ jarang sekali dipilih? Karena, dalam rangkaian ayat sebelumnya terdapat pernyataan tentang para munafik yang, kalau diambil sebagai dasar pertimbangan (meski tidak harus, mengingat kadar kaitan yang tidak mutlak), menjadikan arti ‗kedamaian‘ dalam ayat ini mungkin terasa sedikit antagonistis. Kasus munafik pula yang menyebabkan mayoritas mufassir (tidak semua) menghubungkan silm dengan keberislaman secara keseluruhan. Lihat Syu‘bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000) h. 113. 34 Menurut Baharudin, tradisi muslim ‗radikal‘ sering menafsirkan beberapa ayat alQur‘an secara sepotong-potong untuk menguatkan pendirian dan ideologinya. Lihat Mohammad Baharudin, Islam Idealitas Islam Realitas, (Jakarta: Gema Insani, 2012) h. 41. Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007) h. 38. Lihat juga Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin Washil, (Bandung: Mizan Publika, 2013) h. 104.
88
menstigmatisasi Islam sebagai agama yang keras. 35 Oleh karena itu, kebutuhan mengadopsi penafsiran yang inklusif lebih bertujuan untuk membela al-Qur‘an sebagai kitab toleransi, 36 dan mengembalikan citra Islam sebagai agama yang damai.37 Dalam konteks inilah, menafsirkan
al-silm kāffah dengan perdamaian
yang menyeluruh (kāffah) menemukan lokusnya. Al-Qur‘an tidak lagi ditafsirkan secara eksklusif, melainkan al-Qur‘an dilegitimasi untuk sebuah pembenaran yang positif untuk menebarkan benih Islam yang penuh dengan kasih sayang bukan Islam yang garang, akan tetapi Islam rahmah li al-„ālamīn.
38
Al-Qur‘an
menggunakan istilah al-silm kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208 bukan kemudian ditafsirkan menjadi sebuah doktrin yaitu Islam kāffah, melainkan berupa seruan
35
Roni Ismail, Islam dan Damai (Kajian Atas Pluralisme Agama Dalam Islam), dalam Kompetisi Damai dalam Keragaman, (Religi: Jurnal Studi Agama-agama, Vol. IX, No. 1, 2013) h. 53. 36 Contoh buku yang membahas tentang ini adalah karangan Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Fitrah, 2007). 37 Salah satu dari sembilan puluh sembilan Asma Allah adalah al-Salām (Maha Damai). Setiap lafaz (kata) yang diucapkan umat Islam dalam setiap shalat yang lima kali sehari semalam adalah kata-kata perdamaian. Ucapan pertama ketika selesai dari shalat adalah ―salam‖ (perdamaian). Ketika umat Islam saling berjumpa pun mengucapkan ―salam‖ (perdamaian). Demikian juga, kata sifat dari muslim artinya perdamaian dan surga dalam Islam adalah suatu tempat yang damai (Dār al-Salām). Semua ini memperlihatkan betapa mendasar dan kuatnya pengertian perdamaian dalam Islam. Lihat Supriyanto, Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam Pandangan Islam, (Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2, Desember 2013) h. 311. Lihat juga Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama: Menjadikan Hidup Lebih Ramah dan Santun, (Jakarta: Hikmah, 2010) Cet. II, h. 35. 38 Al-Qur‘an secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa seruan Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiyā‘ [21]: 107). Nabi Muhammad Saw. sendiri telah mengidentifikasi dakwahnya ketika bersabda: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Sabda ini menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, merupakan penolakan kuat terhadap segala bentuk radikalisme, fanatisme, dan bentuk kekerasan lainnya. Lihat Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi. Penerjemah: Abdullah Hakam Shah, (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 112. Lihat juga M. Ridwan Lubis, Agama dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia, (Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Pusat Kerukunan Umat Beragama, t.th) h. 385.
89
membangun perdamaian secara total, tidak setengah-setengah.39 Ketika seseorang telah menjalankan perdamaian secara kāffah, ia akan menemukan kedamaian di dunia yang ia dambakan.40 Seruan perdamaian telah dibahas pada mufassir modern seperti ‗Abduh dan al-Marāghī dalam penafsirannya terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 208. Kecenderungan menafsirkan al-silm dengan perdamaian ini dipertegas kembali oleh mufassir Indonesia seperti Hasbi Ash-Shiddieqy, 41 Mahmud Yunus, 42 dan Quraish Shihab. Dalam penafsirannya mereka lebih cenderung memaknai al-silm dengan perdamaian bukan dengan Islam. Penafsiran menarik dari Hasby dalam tafsirannya, ia mengemukakan bahwa di antara dasar-dasar Islam adalah 39
Bagi Tariq Ramadhan sebagaimana dikutip Abd. Muid, umat Muslim seharusnya melakukan rekonsiliasi antara keinginannya dengan pesan-pesan keadilan, kesetaraan, dan pluralisme, daripada terobsesi terhadap aplikasi formalistik atas hukuman-hukuman dalam Islam yang sebenarnya lebih merupakan bentuk frustasi atau perasaan ter-alienasi terhadap kenyataan dominasi Barat. Abd. Muid N. Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun 2013, h. 649. 40 Menarik mengutip pendapatnya Imam Taufiq, ia mengatakan bahwa istilah al-silm kāffah ia sebut sebagai perdamaian fluktuatif, yaitu perwujudan sinergi antara karakter perdamaian dan strategi perdamaian guna mewujudkan perdamaian. Sesuai sifatnya, perdamaian fluktuatif ini bersifat dinamis karena pada dasarnya perdamaian dunia yang dijelaskan al-Qur‘an tidak lepas dari fluktuasi perubahan kondisi psikis seseorang dan kondisi sosial. Lihat Imam Taufiq, Al-Qur‟an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur‟an, (Bandung: Bentang, 2016) h. 113. 41 Prof. DR. Hasbi al-Shiddieqy lahir di Lhokseumawe, 10 Maret 1904/22 Zulhijah 1321 H, wafat di Jakarta, 9 Desember 1975/5 Dulhijah 1395 H. Ia seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan ushul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu kalam. Ayahnya, Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su‘ud, seorang ulama terkenal di kampungnya dan mempunyai sebuah pesantren (meunasah). Ibunya bernama Teungku Amrah binti Teungku Chik Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz, putri seorang Qadhi Kesultanan Aceh ketika itu. Menurut silsilah, Hasbi al-Shiddieqy adalah keturunan Abu Bakar al-Shiddieq (573-634 M/13 H), khalifah pertama. Ia sebagai generasi ke 37 dari khalifah tersebut melekatkan gelar al-Shiddieqy di belakang namanya. Lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, (Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013) Cet. II h. 159. 42 Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1899 Masehi. Bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan 1316 H di desa Sungayang Baru Sangkar Sumatera Barat. Tahun kelahirannya bersamaan dengan dicetuskannya politik etics, assosiate politik, atau lebih dikenal oleh masyarakat dengan zaman politik balas jasa dari pemerintah kolonial Belanda.uapaya balas budi terhadap masyarakat Indonesia dilakukan melalui jalur pendidikan. Meskipun secara yuridis formal sudah ditetapkan pada tahun 1899, namun secara efektif baru terealisir awal abad kedua puluh. Selebihnya lihat Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 58.
90
kerukunan dan perdamaian sesama manusia, dan tidak saling menyerang antarpemeluknya.43 Hampir senada dengan Hasby, Shihab menafsirkan al-silm dalam ayat tersebut dengan kedamaian atau Islam, makna dasarnya adalah damai atau tidak mengganggu.44 Perdamaian menurut Quraish Shihab merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan ajarannya tentang Allah. Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan manusia.45 Islam adalah agama perdamaian.46 Perdamaian merupakan dasar hubungan dalam Islam. Sehingga menurut Imam Taufiq, Islam mengajarkan perdamaian sebagai prinsip hubungan antarmanusia. Hal itu tercermin dari kata Islam yang mengandung arti perdamaian, sehingga setiap insan yang mengikrarkan diri sebagai muslim sepatutnya mengejewantahkan perdamaian sebagai prinsip interaksi sosial.47 Jika mengkaitkan penafsiran mufassir modern dan diikuti oleh mufassir Indonesia di atas, secara substansi memiliki nilai dasar yang sama dengan pemikiran-pemikiran cendekiawan Muslim seperti Gus Dur maupun Cak Nur terkait masalah demikian. Dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur mempertegas bahwa nilai yang terkandung dari sebuah perdamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak perlu dijabarkan oleh sebuah 43
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000) h. 434. 44 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2009) Cet. I, Vol. I, h. 543. 45 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1999) Cet IX, h. 378. 46 Askar, Mengembangkan Budaya Damai di Sekolah Melalui Manajemen Kelas Yang Demokratis Berbasis Nilai-nilai Keislaman, (Palu: Jurnal Hunafa, Vol. 6, No. 2, Agustus 2009) h. 143. 47 Imam Taufiq, Al-Qur‟an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis AlQur‟an, h. 202.
91
sistem tertentu, termasuk sistem Islami.48 Sementara Cak Nur menekankan bahwa inti ajaran Islam menurutnya, yaitu damai, kedamaian, perdamaian dan semua pengertian perluasannya yang dalam bahasa Arab dinyatakan dalam kata-kata yang di-tashrif-kan dari akar kata s-l-m seperti salām, salāmah atau salāmatun, salam, salm, silm, adalah juga bersifat universal atau menjagad-raya.49 Dalam hal ini bukan al-silm yang diartikan Islam lalu bergeser ke arah ideologisasi. Sebab Islam itulah inti hidup keagamaan, yaitu sikap tunduk (dīn, dari kata kerja dāna-yadinu) kepada Allah Swt. Yang menghasilkan salam (damai) dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan alam sekelilingnya. Maka Islam menghasilkan salāmah (salamat, selamat), sejahtera dan sentosa.
50
Dengan
demikian Islam berarti damai, dan juga berarti tunduk dan patuh kepada kehendak Allah. Dua pengertian ini mempunyai akar yang sama secara psikologis. Allah berarti kehendak universal yang kreatif dan abadi dari setiap keberadaan; Allah berpihak pada keharmonisan dan segala sesuatu yang memihak kepada konflik atau ketidakharmonisan berarti anti Tuhan (Allah).51 Terkait kemungkinan makna kedua, harus disadari bahwa saat ini kedamaian merupakan kebutuhan urgen umat Muslim; kedamaian internal dan kedamaian eksternal menyangkut hubungan umat Islam dengan kelompok lain (non-Muslim). Umat Muslim perlu menanamkan penolakan, di dalam jiwa 48
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. h. 3. 49 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. (Jakarta: Paramadina, 2008) Cet. III, h. 220. 50 Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2010) Cet. IV, h. 78. 51 Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami: Menyeharikan Pemikiran Transedental (Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1986) h. 3.
92
mereka, terhadap segala bentuk pertikaian di antara mereka sendiri. Pertikaian tersebut sebagaimana ‗Abduh dan al-Marāghī gambarkan dalam penafsirannya: ―Setiap madzhab memusuhi madzhab lainnya dengan anggapan bahwa mereka sendirilah yang menegakkan agama. Padahal hakikatnya mereka menghina agama, karena membuat perpecahan di kalangan kaum muslimin. Yang bermazhab Sunni menghantam saudaranya sendiri yang bermadzhab Syi‗ah, yang bermadzhab Syafi‗i menghina Bangsa Tar-Tar, oleh karena mereka menganut madzhab Abu Hanifah, dan mereka yang mengikuti ulama khalaf (mutaakhirin) mengecam pengikut-pengikut madzhab ulama salaf, demikian seterusnya.‖52 Maka dengan demikian, berdasarkan pertimbangan di atas menurut hemat penulis, menafsirkan al-silm kāffah dengan perdamaian secara menyeluruh lebih relevan daripada menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh atas dasar segala pertimbangan atau implikasi-implikasi yang akan mengarah kepada sikap eksklusif, seperti intoleransi, dan bahkan ekstrimisme apabila menafsirkan al-silm kāffah dengan Islam secara menyeluruh bukan dengan perdamaian yang kāffah (menyeluruh).
52
Aẖmad Mushṯafa al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, h. 114. Senada dengan ini, kasus lain misalnya; yang berjilbab mencela yang tidak berjilbab; yang berjenggot memandang rendah yang tidak berjenggot; Ahl al-Sunnah mengkafirkan Syi‟ah, dan begitu sebaliknya. Belum lagi pertentangan-pertentangan dengan para penganut agama-agama lain, khususnya Kristen dan Yahudi. Demikianlah kondisi umat Muslim; dari dulu hingga sekarang. Pengantar Penyunting, Menembus Dinding Pembatas, dalam Mukti Ali, Islam Mazhab Cinta (Bandung: Mizan, 2015) h. 35.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Kesimpulan skripsi ini menunjukkan bahwa kata al-silm dimaknai dengan ―lembaga‖ oleh mufassir klasik dan ―nilai‖ oleh mufassir modern. Kata al-silm dalam tafsir al-Tabarī dan al-Qurtubī diartikan dengan agama islam, sementara alsilm dalam tafsir Muhammad ‗Abduh dan al-Marāghī diartikan dengan kepasrahan, ketundukan dan perdamaian. Kedua pemaknaan ini berimplikasi terhadap penafsiran al-silm kāffah yang ditafsirkan dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam kehidupan, sebagaimana penafsiran al-Tabarī dan al-Qurtubī. Sedangkan mufassir modern, Muhammad ‗Abduh dan al-Marāghī, menafsirkan al-silm kāffah dengan mematuhi perintah Allah secara komprehensif dan ikhlas menjalankan-Nya, saling memberi keselamatan di antara manusia, meninggalkan peperangan/permusuhan dan pembunuhan, serta memperkokoh persaudaraan. Dari kedua penafsiran mufassir klasik dan modern tersebut, penafsiran ‗Abduh dan al-Marāghī lebih relevan dengan konteks Indonesia saat ini karena masyarakat Indonesia yang majemuk dan plural yang bertumpu pada ideologi pancasila dan UUD 1945 mengharuskan saling menjaga persatuan dan kesatuan untuk mencapai kemaslahatan dan keharmonisan bersama di dalam bernegara. Sedangkan sebaliknya, penafsiran al-Tabarī dan al-Qurtubī tidak relevan karena
93
94
mengharuskan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh yang secara jelas bertentangan dengan ideologi pancasila dan UUD 1945. B. Saran-saran Seperti termaktub dalam al-Qur‘an bahwa ―kebenaran itu dari Tuhanmu (QS. Al-Baqarah [2]: 147).‖ Begitu pula dengan skripsi ini yang sangat jauh dari kesempurnaan dan kebenaran, karenanya yang absolut hanya milik Allah semata. Berkenaan dengan pembahasan ini bahwasannya masih banyak yang bisa lebih dieksplorasi dalam skripsi ini, seperti halnya bagaimana masih ada upaya beberapa sebagian kelompok Islam yang menafsirkan al-Qur‘an secara literaris akhir-akhir ini di Indonesia. Selain itu, teks ini berangkat dari ayat yang sifatnya qaṯ‟i. Namun ayat ini sering dipolitisasi untuk dijadikan senjata dalam mendukung ideologi kaum tertentu. Oleh karena itu, penting untuk penelitian selanjutnya perlu diteliti lebih jauh tentang ―Tafsir al-Silm Kāffah QS. Al-Baqarah [2]: 208‖ dalam spektrum pembahasan yang lebih luas dan komprehensif.
95
Daftar Pustaka
Abdillah, Junaidi, Dekontruksi Tafsir Ayat-ayat Kekerasan, Lampung: Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011. ‗Ali Ja‗far, Musa‗īd Muslim, Manāhij al-Mufassirīn, Dār al-Ma‗rifah, 1980. Ali, Mukti, Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia, Bandung: Mizan, 2015. Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Ciputat: Mazhab Ciputat, 2013. Amri, Arie Machlina, Metode Penafsiran Al-Qur‟an, INSYIRAH: Jurnal Ilmu Bahasa Arab dan Studi Islam, Vol. 2, No. 1, Juni 2014. Andalūsī, Abī Hayyān al-, al-Bahr al-Muhīt, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, Cet. I Juz II, 1993. Andalūsī, Ibnu ‗Atiyyah al-, al-Muharrar al-Wajīz fī Tafsīr al-Kitāb al-„Azīz, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, Juz I, 2001. Anwar, M. Syafi‘i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995. Asa, Syu‘bah, Dalam Cahaya Al-Qur‟an Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-Nur, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000. Askar, Mengembangkan Budaya Damai di Sekolah Melalui Manajemen Kelas Yang Demokratis Berbasis Nilai-nilai Keislaman, Palu: Jurnal Hunafa, Vol. 6, No. 2, Agustus 2009. Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab - Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak 1996. Audah, Ali, Dari Khazanah Dunia Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999. Badarussyamsi, Fundamentalisme Islam: Kritik atas Barat, Yogyakarta: LKiS, 2015. Badruzzaman, Abad, Menggagas Tafsir Ala Indonesia: Sebuah Upaya Revitalisasi dan Pribumisasi Al-Qur‟an, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.),
96
Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013. Baghdādī, Imȃm al-Alūsī al-, Rūẖ al-Ma‟ānī fī Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẕīm wa alSab„ al-Matsānī, Bairūt: Dār Iẖyā‘ al-Turats al-‗Arabī, t.th. Juz II. Baharudin, Mohammad, Islam Idealitas Islam Realitas, Jakarta: Gema Insani, 2012. Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Baidhāwī, Muhammad al-Syairazī al-, Tafsīr al-Baidhāwī al-Musammā Anwār alTanzīl wa Asrār al-Ta‟wīl. Cairo: Al-Maktabah al-Taufīqiyyah. Juz I, t.th. Barry, M. Dahlan Al-, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, t.th. Dzahabī, Muẖammad Husaīn al-, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Kuwait: Dār alNawādir, Jilid I, 2010. ————, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1. Penerjemah: H. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2010. Dimasyqī, Al-Hāfiz ‗Imaddudīn Abī al-Fidā‘ Ismā‗il Ibn Katsīr al-, Tafsīr alQur‟ān al-„Azīm, Mu‘assasah Qurtubah, Juz II, Cet. I, 2000. Esack, Farid, Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur‟an, Liberalisme, Pluralisme, Penerjemah: Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000. Filali-Ansary, Abdou, Pembaruan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana. Penerjemah: Machasin, Bandung: Mizan, 2009. Fouda, Farag, Kebenaran Yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim, Penerjemah: Novriantoni, Jakarta: Paramadina, 2008 Cet. II, h. 9. Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur‟an, Jakarta: KataKita, 2009. Ghazali, Abd. Moqsith, Ummu Kaltsum, Lilik, Tafsir Ahkam, Ciputat: UIN Press, 2015. Ghazali, Syaikh Muhammad Al-, Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini, Bandung: Mizan, 2008.
97
Glasse, Cyril, Ensiklopedia Islam, Penerjemah: Ghufron A. Mas‘udi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999. Hadi, Umar, Mu‘ti, Abdul, Rahman, Izza, Mundzir, Ilham, (ed.), Islam in Indonesia: A to Z Basic Reference, (Jakarta: Directorate of Public Diplomacy of the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, 2011) Cet. II. Hakim, Khalifah Abdul, Hidup yang Islami: Menyeharikan pemikiran Transedental (Akidah dan Ubudiah), Penerjemah: Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Press, 1986. Hamdi, A. Zainul, Hermeneutika Islam: Intertekstualitas, Dekonstruksi, Rekonstruksi, dalam Gerbang: Jurnal Studi Agama dan Demokrasi, No. 14, Vol. V, 2003. Hanafi, Muhlis M. (ed.), Al-Qur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013. Hanafi, Hassan & ‗Abid al-Jabiri, Muhammad, Dialog Timur & Barat: Menuju Rekonstruksi Metodologis Pemikiran Politik Arab yang Progresif dan Egaliter, Penerjemah: Umar Bukhory, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015. Hermawan, Acep, „Ulumul Quran: Ilmu untuk Memahami Wahyu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Heywood, Andrew, Ideologi Politik: Sebuah Pengantar, Penerjemah: Yudi Santoso, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016. Hidayat, Komaruddin, Psikologi Beragama, Jakarta: Hikmah, 2010. ————, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peradaban di Panggung Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2003. ————, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books, 2012. ———— (ed.), Kontroversi Khilafah: Islam, Negara, dan Pancasila, Jakarta: Mizan, 2014. Idris, Irfan, Membumikan Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, 2016. Ishfahānī, Al-Rāghib al-, Mufradāt al-Qur‟ān, Bairȗt: Dār al-Syamiyyah. 1996. Ismail, Roni, Islam dan Damai (Kajian Atas Pluralisme Agama Dalam Islam), dalam Kompetisi Damai dalam Keragaman, Religi: Jurnal Studi Agamaagama, Vol. IX, No. 1, 2013.
98
Izzan, Ahmad, Ulumul Qur‟an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas AlQur‟an, Bandung: Tafakur, 2011, cet-IV. Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap AlQur‘an, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997. Jamal, Misbahuddin, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur‟an. Manado: Jurnal AlUlum, Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011. Jāwī, Muẖammad al-Nawāwī al-, Maraẖ Labīd Tafsīr al-Nawawī, Dār al-Fikr, t.th. Kamal, Adnan Taufik, Rekonstruksi Sejarah al-Qu‟an, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013. Kimball, Charles, Kala Agama Jadi Bencana. Penerjemah: Nurhadi dan Izzuddin Washil, Bandung: Mizan Publika, 2013. Khoir, Tholkhatul, Tujuh Karakter Fundamentalisme Islam, dalam Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2008. Laeyendecker, L. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, Penerjemah: Samekto, Jakarta: Gramedia, 1983. Lewis, Bernard, Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror Yang Keji, Penerjemah Ahmad Lukman, Jakarta: PT. Ina Publikatama, 2004. Lubis, M. Ridwan, Agama dalam Diskursus Intelektual dan Pergumulan Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia Pusat Kerukunan Umat Beragama, t.th. Misrawi, Zuhairi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme, Jakarta: Fitroh, 2007. Machmudi, Yon, Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party (PKS), Australia: ANU E Press, 2008. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 1992. ————, Cendekiawan & Religiusitas Masyarakat: Kolom-kolom di Tabloid Tekad, Jakarta: Paramadina, 1999.
99
————, Nurcholis, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2008. ————, Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2010. Maẖallī Jalāl al-Dīn Muẖammad ibn Aẖmad Muẖammad al-, dan Suyūṯī, Jalāl alDīn ‗Abd al-Rahman ibn Abī Bakr al, Tafsīr al-Jalālaīn, Damasykus: Dār Ibn Katsīr, t.th. Juz II. Maẖmūd, Muẖammad Rasyād ‗Abd al-‗Azīz, Atsar al-Fikr al-„Ulmānȋ fī alMujtama„ al-Islāmī, Cairo: Dār al-Muẖadditstsīn, 1988. Manzūr, Ibnu, Lisān al-„Arab, Bairūt: Dār al-Shādir, Jilid IX, t.th. Martin van Bruinessen (ed.), Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme, Bandung: Mizan, 2014. Marāghī, Ahmad Mushṯafa al-, Tafsīr al-Marāghī, Mesir: Syarkah Maktabah wa Maṯba‘ah Mushṯafa al-Bābi al-Halbi, Juz II, 1946. Maudūdī, Abū al-‗Ala al-, al-Khilāfah wa al-Mulk, Dār el-Qalam, 1978. Luīs Ma‗lūf, Al-Munjīd fī al-Lughah wa al-Adāb wa al-„Ulūm, Bairūt: AlMaṯba‗ah al-Katsulikiyyah, t.th. Morgan, Kenneth W, Islam Jalan Lurus, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1980. Muid N, Abd, Harmoni Islam dan Barat dalam Bingkai Komunikasi Multikultural, dalam Jurnal Bimas Islam, Vol. 6 no. 4, Tahun 2013. Mufid, Ahmad Syafi‘i, Faham Islam Transnasional dan Proses Demokratisasi di Indonesia, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural & Multireligius,Vol. VIII, No. 30, April-Juni 2009. Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS: Suara dan Syariah, Jakarta: KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2012. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997. Munggaran, Rizky, Penafsiran Inklusif Nurcholis Madjid Mengenai Makna AlIslam: Telaah Surah Ali-Imran ayat 19 dan 85, Ciputat: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
100
Mursi, Muhammad Said, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012. Mustaqim, Abdul, Deradikalisasi Penafsiran al-Qur‟an dalam Konteks Keindonesiaan yang Multikultur, dalam Muhlis M. Hanafi (ed.), AlQur‟an di Era Global: Antara Teks dan Realitas, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‘an, 2013. Mushṯafa, Bisyrī, Al-Ibrīz liMa„rifati Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīz, Kudus: Menara Kudus, t.th. Nabẖani, Taqiyuddin al-, Mafāhim Hizbut Tahrir, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2011. Nashir, Haedar, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Bandung: Mizan, 2013. Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press, 2010. Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011. Nimer, Muhammad Abu, Nirkekerasan dan Bina-Damai Dalam Islam: Teori dan Praktik, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010. Nisaburi, Al-Wahidi al-, Asbȃb al-Nuzȗl: Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat AlQur‟an, Penerjemah: Moh. Syamsi, Surabaya: Amelia Surabaya, 2014. Qādhī, ‗Abdul Fatah ‗Abd al-Ghānī al-, Asbāb al-Nuzūl „an al-Shaẖābah wa alMufassirīn, Cairo: Dār al-Salam, 2007. Cet. III. Qomar, Mujamil, Fajar Baru Islam Indonesia: Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, Bandung: Mizan, 2012. Qutb, Sayyid, Fī Zilāl al-Qur‟ān, Bairūt: Dār al-Syūrūq. Juz I-IV, 1998. ————, Petunjuk Sepanjang Jalan. t.p, t.th. Qurṯubī, Abī Bakr al-, al-Jāmi„ li Aẖkam al-Qur‟ān, Bairūt: Mu‘assasah alRisālah, 2006. Rahman, Yusuf, Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-Qur‟an dan Hadits (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif), Journal of Qur‘an and Hadith Studies – Vol. 1, No. 2, 2012. Rāzī, Fakhr al-Dīn al-, al-Tafsīr al-Kabīr, Bairūt: Dār al-Fikr, Juz V, 1994.
101
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsīr al-Manār. Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, Juz II,1999. Rodhi, Muhammad Muhsin, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara Khilafah Islamiyyah, Penerjemah: Muhammad Bajuri dan Romli Abu Wafa, Bangil: Al-Izzah, 2008. Rusli, Ris‘an, Pembaharuan Pemikiran modern dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Rūmī, ‗Abd al-Rahman ibn Sulaimān al-, Buhūtsu fī Ushūl al-Tafsīr wa Manāhijuhu, Riyādh: Maktabah al-Taubah, 1994. Cet. IV. Saeed, Abdullah, Al-Quran Abad 21: Tafsir Kontekstual, Bandung: Mizan, 2015. Sadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993, Cet. V. Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007. Sardar, Ziauddin, Ngaji Qur‟an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab Persoalan Mutakhir, Jakarta: Serambi, 2014. Sa‘di Zulharman, Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-, Tafsir Al-Qur‟an, Penerjemah: Muhammad Iqbal, Izzudin Karimi, Muhammad Ashim, Mustofa Aini, Zuhdi Amin, Jakarta: Darul Haq, Cet. VI, Jilid I, 2015. Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Ciputat: Lentera Hati, Cet. I, Vol. I, 2009. ————, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1999. Cet IX. Solahudin, NII Sampai JI: Salafy Jihadisme Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011. Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001. Sulaimān al-Ṯayyār, Muhammad Sa‘īd ibn, Fushūl fī Ushūl al-Tafsīr, Riyādh: Dār al-Nasyr al-Daulī, 1993. Supriadi, Cecep, Relasi Islam dan Negara: Wacana Keislaman Keindonesiaan, Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015.
dan
102
Supriyanto, Perdamaian dan Kemanusiaan Dalam Pandangan Islam, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2, Desember 2013. Suyūṯī, Jalāl al-Dīn al-, Al-Dur al-Mantsūr fī Tafsīr bi al-Ma‟tsūr, Bairūt: Dār alKutub al-‗Ilmiyyah, 1990, Juz I, Cet I. Syaukani, Imam Al-, Tafsir Fathul Qadir, Jakarta: Pustaka Azzam. Cet. I, Jilid I, 2008. Syibromalisi, Faizah Ali, Azizy, Jauhar, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Ṯabarī, Ibnu Jarīr al-, Jāmi„ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, Bairūt: Dār alFikr, 2005. TabāTabā‘ȋ, Muhammad Husaīn al-, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur‟ān, Teheran: Dār al-Kutub al-Islamiyyah. Cet. II. Juz II, 1973. Taher, Tarmidzi, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, dalam Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM, 1998. Tāhir ibn ‗Asyūr, Muhammad, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Tunis: Dār Sahnūn li al-Nasyr wa al-Tauzī‗, Juz II, t.th. Taufiq, Imam, Al-Qur‟an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur‟an, Bandung: Bentang, 2016. Tibi, Bassam, Islam dan Islamisme. Penerjemah: Alfathri Adlin, Bandung: Mizan, 2016. Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014 dan, Pemimpin MPR, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012. Cet. II. Turmudi, Endang dan Sihbudi, Riza (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: LIPI Press, 2005. Utsaimīn, Muhammad bin Shāliẖ al-, Politik Islam. Penerjemah: Ajmal Arif, Jakarta: Griya Ilmu, 2014. ————, Ushūl fī al-Tafsīr, al-Maktabah al-Islāmiyyah, 2001. ————, Syarh Ushūl fī al-Tafsīr, Riyādh: Mu‘assasah al-Syaikh Muhammad Shāliẖ ibn al-‗Utsaimīn al-Khairiyyah, 2013.
103
Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institue, 2006. ————, (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Jakarta: Desantara Utama Media, 2009. Wahid, Marzuki, Kompilasi Hukum Islam dan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, (Bandung: Marja, 2014. Wāẖidī, Al-Imām al-, Asbāb al-Nuzūl, Bairūt: Dār al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2009. Cet. IV. Wijaya, Aksin, Arah Baru Ulum Al-Qur‟an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Yusuf, Kadar M, Studi Al-Qur‟an, Jakarta: Amzah, 2009. Zada, Khamami, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2012. ————, Wacana Syariat Islam: Menangkap Potret Gerakan Islam di Indonesia, dalam Deformalisasi Syariat, Jakarta: Tashwirul Afkar: Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 12 tahun 2002. Zahid, Moh. Islam Kāffah dan Implementasinya: Mencari Benang Merah Tindak Kekerasan atas Nama Islam, Jurnal Karsa, Vol IX, 2006. Zamakhsyarī, Abī al-Qāsim Mahmūd ibn ‗Umar al-, al-Kasysyāf, Riyādh: Maktabah al-‗Abīkan, Cet. I Juz II, 1998. Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004. Zaprulkhan, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jurnal Walisongo, 2014. Vol. 22. Zaqzuq, Mahmud Hamdi, Reposisi Islam di Era Globalisasi. Penerjemah: Abdullah Hakam Shah, Yogyakarta: LKiS, 2004. Za‘rur, Azu, Seputar Gerakan Islam. Penerjemah: Yahya Abdurrahman, Bogor: Al-Azhar Press, 2014. Cet XIV. ————, Ensiklopedia: Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, Dan Gerakan Islam, Penerjemah: Muhtarom, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006.
104
————, Menuju Persatuan Umat: Pandangan Intelektual Muslim Indonesia, Bandung: Mizan, 2012. Zuhailī, Wahbah al-, al-Tafsīr al-Wasīt, Damasykus: Dār al-Fikr. Cet. I, Juz I, 2001. Sumber internet: http://www.assunnah.mobie.in/artikel/islam_kaffah. http://kajiansalafyui.wordpress.com/2009/06/06/kajian-islam-ilmiah-memahamidan-mengamalkan-islam-secara-kaffah-solusi-satu-satunya-bagi-umatislam/. http://m.kompasiana.com/nanagrosidi/apa-itu-muslim-yang-kaffah http://muslim.or.id/2067-kaffah-dalam-beragama.html. http://media.isnet.org/kmi/isnet/Nadirsyah/kaffah.html. http://jasawebenigma.wordpress.com/2012/12/13/menjadi-muslim-kaffahmenerjunkan-diri-dalam-syariat-islam-secara-total. https://hizbut-tahrir.or.id.