TINJAUAN PUSTAKA Mountaineering Mountaineering mengandung arti kegiatan alam bebas yang berlokasi di daerah pegunungan. Mountaineering dapat mencakup beberapa yang tidak hanya
mendaki
gunung,
kegiatan
yang
dapat
dikategorikan
sebagai
mountaineering antara lain mendaki gunung (mountain hiking), memanjat tebing (rock climbing), mendaki gunung es (ice climbing dan snow climbing). Hill Walking adalah kegiatan yang paling banyak dilakukan di Indonesia. Sebagian
besar
gunung
di
Indonesia
memang
hanya
memungkinkan
berkembangnya tahap ini. Aspek yang lebih menonjol dalam kegiatan ini adalah daya tarik dari alam yang dijelajahi (Rahman 2008). Fisiologi Tubuh di Daerah Pegunungan Mendaki gunung adalah perjuangan manusia melawan ketinggian dan segala konsekuensinya. Berubahnya ketinggian tempat, maka kondisi lingkungan akan berubah. Kondisi lingkungan yang perubahannya tampak jelas apabila dikaitkan dengan ketinggian adalah suhu dan kandungan oksigen udara. Semakin bertambah ketinggian maka suhu akan semakin turun dan kandungan oksigen udara juga semakin berkurang. Fenomena alam seperti ini beserta konsekuensinya terhadap keselamatan jiwa merupakan hal yang penting diketahui dalam mempelajari proses fisiologi tubuh di daerah ketinggian. Manusia termasuk organisme berdarah panas (poikiloterm), dengan demikian
manusia
memiliki
suatu
mekanisme
thermoreguler
untuk
mempertahankan kondisi suhu tubuh terhadap perubahan suhu lingkungannya. Namun, suhu yang terlalu ekstrim dapat membahayakan. Jika tubuh berada dalam kondisi suhu yang rendah, maka tubuh akan terangsang untuk meningkatkan
metabolisme
untuk
mempertahankan
suhu tubuh
internal
(misalnya dengan menggigil). Oleh karena itu, untuk mengimbangi peningkatan metabolisme, kita perlu asupan makanan, karena makanan yang kita makan itulah yang menjadi sumber energi dan tenaga yang dihasilkan lewat oksidasi. Oksigen bagi tubuh organisme aerob adalah menjadi suatu konsumsi vital untuk menjamin kelangsungan proses-proses biokimia dalam tubuh. Konsumsi oksigen dalam tubuh biasanya sangat erat hubungannya dengan jumlah sel darah merah dari konsentrasi hemoglobin dalam darah. Semakin tinggi jumlah darah merah dan konsentrasi hemoglobin, maka kapasitas oksigen respirasi akan meningkat. Oleh karena itu untuk mengatasi kekurangan oksigen di
ketinggian,
kita
perlu
mengadakan
latihan
aerobik,
karena
disamping
memperlancar peredaran darah, latihan ini juga merangsang memacu sintesis sel-sel darah merah. Program atau latihan aerobik merupakan dasar yang perlu mendapatkan kapasitas fisik yang maksimum pada daerah ketinggian. Kebiasaan melakukan latihan aerobik secara teratur, dapat menambah kelancaran peredaran darah dalam tubuh, memperbanyak jumlah pembuluh darah yang memasuki jaringan, memperbanyak sintesis darah merah, menambah kandungan jumlah hemoglobin darah dan juga menjaga optimalisasi kerja jantung. Dengan terpenuhinya hal-hal tersebut di atas, maka mekanisme pengiriman oksigen melalui pembuluh darah ke sel-sel yang membutuhkan lebih terjamin. Kesegaran jasmani adalah syarat utama dalam pendakian. Komponen terpenting yang ditinjau dari sudut faal olahraga adalah system kardiovaskular dan neuromuskular (Rahman 2008). Klasifikasi Olahraga Setiap cabang olahraga mempunyai macam-macam aktivitas serta lama aktivitas yang berbeda-beda. Oleh sebab itu masing-masing cabang olahraga tersebut digolongkan menurut tingkat intensitasnya serta kebutuhan energi yang diperlukannya seperti yang tercantum di bawah ini. Tabel 1 Pengelompokan olahraga berdasarkan intensitas Klasifikasi Olahraga Olahraga ringan
Olahraga sedang
Olahraga berat
Olahraga berat sekali
Sumber : Soerdjodibroto 1984
Contoh Menembak Golf Bowling Panahan
Bulutangkis Bola basket Hockey Soft ball Renang Tinju Gulat Kempo Judo Wall climbing Balap sepeda Angkat besi Marathon Rowling Hiking (Mountaineering)
Kecukupan Zat Gizi Olahragawan Pengetahuan tentang pemilihan makanan yang tepat dan adekuat sangat menunjang kenaikan prestasi olahraga. Zat-zat gizi di dalam makanan dapat dikelompokan menjadi zat gizi sumber energi (karbohidrat dan lemak), zat gizi pembangun tubuh (protein), dan zat gizi pengatur tubuh (vitamin dan mineral). Ketiga zat gizi tadi diutilisasi di dalam tubuh guna menghasilkan energi dalam proses-proses aerob dan anaerob. Apabila proporsi aerob lebih menonjol, maka olahraga tersebut digolongkan sebagai olahraga aerob, sedangkan apabila proporsi anaerob lebih menonjol, maka olahraga tersebut digolongkan sebagai olahraga anaerob. Olahraga dikelompokan menjadi empat, yaitu olahraga ringan, olahraga sedang, olahraga berat, dan olahraga berat sekali. Masing-masing kelompok mempunyai kebutuhan kalori yang berbeda (Soerjodibroto 1984). Kecukupan zat gizi (recomemded diatery allowance/RDA) adalah jumlah masing-masing zat gizi yang dianjurkan dipenuhi oleh seseorang agar hampir semua orang (sekirat 97,5 % populasi) hidup sehat. Kebutuhan dan kecukupan zat gizi disusun untuk kelompok umur dan berat badan tertentu menurut jenis kelamin (Hardiansyah & Martianto 1992). Menurut Karyadi dan Muhillal (1990), kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan untuk mencakup semua orang sehat. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, genetika serta keadaan hamil dan menyusui. Lie (1969) mengungkapkan pada dasarnya prinsip yang menentukan keperluan gizi para olahragawan dalam latihan sama dengan kebutuhan orang non-atlet. Kebutuhan gizi olahragawan
harus sesuai dengan prinsip “Gizi
Seimbang” yang mengandung cukup karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, air, dan serat. Namun, kebutuhan zat gizi untuk olahragawan berbeda dengan rata-rata kecukupan masyarakat pada umumnya. Hal ini dikarenakan aktivitas olahragawan tidak sama dengan aktivitas masyarakat pada umumnya serta kondisi-kondisi tertentu pada olahragawan
harus ditunjang asupan gizi
yang tepat. Miharjda (2000) mengatakan kebutuhan gizi harian olahragawan berubah-ubah, tergantung pada intensitas latihannya. Menu makanan harus mengandung karbohidrat sebanyak 60-70%, lemak sebanyak 20-25%, serta protein sebanyak 10-15% dari total kebutuhan energi seorang olahragawan (Antonio et al. 2008).
Tujuan pengaturan makanan bagi olahragawan
adalah untuk mengisi
cadangan glikogen otot dan hati serta menjaga karbohidrat maupun lemak agar tetap tersedia dalam darah untuk digunakan oleh otot. Penggunaan karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi selama olahraga tergantung pada intensitas dan lamanya aktivitas tersebut. Secara umum, penggunaan karbohidrat meningkat dengan meningkatnya intensitas fisik. Sebaliknya, penggunaan karbohidrat menurun dengan makin lamanya aktivitas fisik berlangsung. Namun, jumlah karbohidrat dan lemak yang digunakan oleh otot dapat dinaikkan, tergantung pada ketersediaannya. Meskipun tubuh dapat menggunakan lemak pada intensitas kegiatan yang lebih rendah, lemak tidak dapat menyediakan energi secepat kerbohidrat pada kegiatan fisik yang berat (Rimbawan 2004). Kebutuhan Energi Kebutuhan energi orang sehat dapat diartikan sebagai tingkat asupan energi yang dapat dimetabolisasi dari makanan yang akan menyeimbangkan keluaran
energi,
ditambah
dengan
kebutuhan
energi
tambahan
untuk
pertumbuhan, kehamilan, dan penyusuan (Arisman 2002). Terkait dengan kesehatan dan performa secara umum diketahui bahwa prioritas utama dalam pemantauan status gizi pada olahragawan adalah menjaga keseimbangan energi. Tabel di bawah ini memperlihatkan secara langsung kebutuhan gizi yang dibutuhkan dalam latihan seorang olahragawan (Moffat 2002) Tabel 2 Keperluan energi yang diperlukan dalam aktivitas Aktivitas
METs
Tidur 0.9 Bekerja di kantor 1.5 Berlari (7.5 mph) 13.5 Berenang (2 mph) 8.0 Bersepeda 12.0 Aktivitas di rumah 2.5 Aktivitas ringan 1.3 Sumber : Moffatt dan Cheunront 2002
Durasi (Jam) 8.0 8.0 0.8 0.5 1.7 3.0 2.0
Energi Expenditure (Kal) 540 900 810 318 1530 563 195
Energi untuk otot berkontraksi diperoleh dari pengubahan energi kimia menjadi tenaga mekanis. Mula-mula dari bentuk ATP, yang kemudian disusul oleh hasil metabolisme karbohidrat dan lemak. Bergantung pada jenis olahraga, kebutuhan energi dapat berkisar antara 2500-4500 kkal dengan proporsi karbohidrat 55-67%, lemak 20-30%, dan protein 13-15%. Protein tidak dipakai sebagai sumber energi dalam kegiatan olahraga. Zat ini lebih berfungsi sebagai pengatur cairan tubuh dan untuk mempertahankan kondisi jaringan yang dipakai (Ranggasudira 1984).
Pada atlet, jika melihat dampak dari latihan yang dilakukannya berupa pengeluaran energi, maka terlihat jelas bahwa keadaan ini bervariasi tergantung tingkat kesulitannya. Tingkat kesulitan terhadap olahraga yang dimainkan ini secara teoritis juga mempengaruhi tingkat pengeluaran energi. Selain beberapa faktor latihan lain yang dapat mempengaruhi tingkat pengeluaran energi yaitu durasi, frekuensi, dan intensitas dari latihan yang dilakukan (Paish 1991 diacu dalam Helinda 2000). Kebutuhan Karbohidrat Karbohidrat memiliki manfaat luas, meliputi sumber energi utama pada kebanyakan mahluk hidup, cadangan energi tubuh, dan komponen membran sel yang berperan sebagai perantara berbagai komunikasi antar sel. Berdasarkan jumlah molekul gula sederhana pembentuknya, karbohidrat digolongkan menjadi monosakarida, disakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Pati adalah contoh karbohidrat yang banyak terdapat pada umbi-umbian dan biji-bijian. Pati adalah polimer glukosa. Karbohidrat adalah zat gizi penting dalam kehidupan manusia. Karbohidrat merupakan sumber energi utama yang memungkinkan manusia beraktivitas sehari-hari. Karbohidrat dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan sumber. Sebanyak 60-70% kebutuhan energi tubuh manusia diperoleh dari karbohidrat (Rimbawan 2004). Sumber karbohidrat yang dominan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia antara lain beras, jagung, sagu, dan umbi-umbian. Karbohidrat merupakan sumber energi utama dan memegang peranan sangat penting untuk seorang olahragawan dalam melakukan olahraga. Ketika berolahraga, energi berupa ATP dapat diambil dari karbohidrat yang terdapat dalam tubuh berupa glukosa dan glikogen yang disimpan dalam otot dan hati. Selama beberapa menit permulaan kerja glukosa darah merupakan sumber energi utama, selanjutnya tubuh menggunakan glikogen otot dan hati. Glikogen otot dipergunakan langsung oleh otot untuk pembentukan energi, sedangkan glikogen hati mengalami perubahan untuk menjadi glukosa yang akan masuk ke peredaran darah untuk selanjutnya dipergunakan oleh otot (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1997). Menurut
Damayanti
(2000),
masalah
utama
yang
sering
ditemui
olahragawan yang sedang berlatih dengan keras adalah kelelahan atau ketidakmampuan untuk memulihkan rasa lelah, dari satu latihan ke latihan berikutnya. Oleh karena itu pemenuhan energi dan karbohidrat harus menjadi
prioritas bagi olahragawan yang menjalani latihan intensif. Pemberian karbohidrat bagi olahragawan bertujuan untuk membentuk glikogen otot dan hati. Kebutuhan Lemak Istilah lipida meliputi senyawa-senyawa heterogen, termasuk lemak dan minyak yang umum dikenal di dalam makanan, fosfolipida, sterol, dan ikatan lain sejenis yang terdapat di dalam makanan dan tubuh manusia. Asam lemak yang diperlukan tubuh serta tubuh tidak dapat mensintesisnya disebut asam lemak esensial, yaitu asam linoleat dan asam linolenat. Kekurangan asam lemak tersebut dapat menyebabkan gangguan syaraf dan penglihatan. Lemak berfungsi sebagai sumber energi yang menghasilkan energi paling besar, yaitu 9 kkal per gram. Selain itu, lemak juga berfungsi sebagai alat angkut vitamin larut lemak, menghemat protein, memberikan rasa kenyang dan lezat, serta memelihara status tubuh. Lemak dalam tubuh berperan sebagai sumber energi terutama pada olahraga dengan intensitas sedang dalam waktu lama, misalnya olahraga yang bersifat endurance. Pada olahraga yang bersifat endurance, lemak dapat dipergunakan, tetapi pertama-tama harus dipecah dahulu menjadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak bebas diangkut ke jaringan lain khususnya ke otot dan dipergunakan sebagai sumber energi. Pembentukan energi dari asam lemak membutuhkan oksigen lebih banyak dibanding karbohidrat, oleh karena itu tidak dapat diharapkan pada olahraga berat dalam waktu singkat (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1997). Menurut Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (1993), konsumsi energi dari lemak dianjurkan tidak lebih dari 30% total energi per hari. Bagi mereka yang membutuhkan lebih banyak karbohidrat perlu menurunkan konsumsi lemak untuk mengimbanginya. Sumber utama lemak adalah minyak tumbuh-tumbuhan, mentega, mergarin, dan lemak hewan. Selain itu, lemak juga berasal dari kacang-kacangan, biji-bijian, daging, dan ayam, susu, keju, telur, serta makanan yang dimasak dengan lemak. Buah dan sayuran mengandung sedikit lemak, kecuali alpukat (Almatsier 2003) Kebutuhan protein Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh. Seperlima bagian tubuh adalah protein. Semua enzim, hormon, pengangkut zat gizi dan darah, serta matriks intraseluler adalah protein. Selain itu, asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai prekusor sebagian
besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk kehidupan. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2003). Protein dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan, pembentukan otot, pembentukan sel-sel darah merah, pertahanan tubuh terhadap penyakit, enzim dan hormon, dan sintesa jaringan-jaringan tubuh lainnya. Protein dicerna menjadi asam-asam amino, yang kemudian dibentuk protein tubuh di dalam otot dan jaringan lain. Protein dapat berfungsi sebagai sumber energi apabila karbohidrat yang dikonsumsi tidak mencukupi seperti pada waktu berdiet ketat atau pada waktu latihan fisik intensif. Sebaiknya, kurang lebih 15% dari total kalori yang dikonsumsi berasal dari protein (Husaini 2000). Menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat (1997), protein dalam makanan dibutuhkan sebanyak 10-15% dari total energi, dengan perbandingan protein hewani dan protein nabati 1:1. Campbell et al. (2007) menyatakan bahwa kebutuhan protein olahragawan lebih banyak diatas rata-rata orang pada umumnya. Asupan protein sebanyak 1,4 -2 g/kg berat badan tidak hanya aman untuk menunjang aktivitas atlet, tetapi juga meningkatkan waktu adaptasi dalam latihan. Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging, unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu dan kacang-kacangan lainnya (Almatsier 2003). Kebutuhan Vitamin dan Mineral Vitamin dan mineral di dalam tubuh tidak mengandung energi. Namun, vitamin sangat penting terutama untuk mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi dan sebagai koenzim. Mineral dibutuhkan terutama untuk mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi dan sebagai kofaktor (DBGM 1997). Vitamin dan mineral memainkan peranan penting dalam mengatur dan membantu reaksi kimia zat gizi penghasil energi, sebagai koenzim dan kofaktor. Moeloek (1995) menyatakan bahwa olahraga tidak meningkatkan kebutuhan vitamin karena olahraga tidak membakar vitamin. Apabila menu yang dikonsumsi seimbang, maka tidak diperlukan suplementasi. Diet yang sesuai akan didapatkan asupan vitamin yang memadai. Hasil penelitian Prof. Ludwig Prokop dari Austria yang melakukan penelitian mengenai manfaat pemberian vitamin bagi olahragawan, dosis saat latihan, serta dosis untuk suatu
pertandingan. Hasilnya adalah ada hal yang harus diperhatikan mengenai penggunaan vitamin yaitu hubungan antara jumlah vitamin dengan kapasitas penampilan fisik pemakainya. Jika seseorang mengalami kekurangan vitamin, maka kapasitas penampilan fisiknya akan terganggu. Maka itulah perlu ditambahkan asupan vitamin (Sumosardjono 1986). Konsumsi Makanan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi, kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim dan aktivitas fisik (Almatsier 2003). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Pengaturan makanan yang tepat bagi seorang olahragawan
sesuai
dengan cabang olahraganya akan dapat menunjang performa. Makanan yang baik harus seimbang dan sesuai, yaitu tidak hanya disesuaikan dengan kebutuhan energi dalam bentuk kalori saja, tetapi juga harus diperhatikan komposisi
makanannya.
olahragawan
Komposisi
makanan
yang
baik
bagi
seorang
terdiri dari 50-55% karbohidrat, 10-20% protein, serta 30-35%
lemak (Sumosardjuno 1990 diacu dalam Helinda 2000) Sanjur (1982) menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Ketersediaan pangan tidak selalu mencerminkan konsumsi makanan yang sebenarnya, karena konsumsi pangan yang sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, tetapi juga oleh harga makanan dan faktor sosial budaya. Secara umum ada dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu kalori dan konsumsi protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan protein dipenuhi dari konsumsi sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur, dan susu (Hardinsyah & Martianto 1988). Riyadi (1996) mengungkapkan bahwa pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya yang terpenting adalah ketersediaaan pangan dan pola sosial budaya.
Ketersediaan pangan tekait jenis dan jumlah pangan di dalam pola makanan di suatu daerah tertentu, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah ditanam di tempat tersebut selama jangka waktu lama. Bila pangan tersedia secara berkelanjutan, maka dapat membentuk kebiasaan makan. Pola kebudayaan juga mempengaruhi orang dalam memilih pangan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana
cara
pengolahannya,
penyalurannya,
penyiapannya
dan
penyajiannya. Pilihan pangan biasanya ditentukan oleh adanya faktor-faktor penerimaan atau penolakan terhadap pangan oleh seseorang atau sekelompok orang. Pangan dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang karena disukai, tersedia dan terjangkau, faktor sosial serta alasan kesehatan. Faktorfaktor dasar yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi adalah rasa lapar atau kenyang, selera atau reaksi cita rasa, motivasi, ketersediaan pangan, suku bangsa, agama, status sosial ekonomi dan pendidikan (Riyadi 1996). Suharjo (1989) menyatakan bahwa kebiasaan makan adalah suatu gejala budaya dan sosial yang dapat memberikan gambaran perilaku dengan nilai-nilai yang dianut seseorang atau suatu kelompok dalam masyarakat. Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada orang dengan kondisi ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi ekonominya lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi memiliki daya beli yang tinggi sehingga dapat mengkonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi. Penggunaan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umunya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intake konsumsi zat gizi (Gibson 1990). Namun, metode frekuensi pangan juga dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif. Hal ini tergantung dari tujuan penelitian, apakan hanya ingin menggali frekuensi penggunaan pangan saja atau juga dengan konsumsi zat gizinya. Dengan metode ini, kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu selama kurun waktu spesifik dan sekaligus mengestimasi
konsumsi zat gizinya. Kuisioner yang digunakan mempunyai dua komponen utama, yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan. Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi MentahMasak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (DPM). Terdapat empat metode dalam survei konsumsi pangan secara kuantitatif yaitu metode inventaris (inventory method), metode pendaftaran (food list method), metode mengingat kembali (recall 24 jam), metode penimbangan (weighing method), perkiraan makanan (estimated food records), metode food account dan pencatatan (household food records) (Supariasa et al. 2001). Untuk menghitung kecukupan gizi seseorang dapat mengacu pada Daftar Kecukupan Gizi (DKG), yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan zat gizi rata-rata per orang perhari bagi orang sehat Indonesia. Angka Kecukupan Gizi (AKG) tersebut sudah memperhitungkan variasi kebutuhan individu, sehingga kecukupan ini setara dengan kebutuhan rata-rata ditambah jumlah tertentu untuk mencapai tingkat aman. AKG dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi seseorang (Hardinsyah & Briawan 1994). Tingkat konsumsi adalah perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah: (1) defisit tingkat berat (<70% AKG); (2) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (3) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (4) normal (90-119% AKG); dan (5) kelebihan ( 120% AKG). Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral menurut Gibson (2005) yaitu (1) kurang (<77% AKG) dan (2) cukup ( 77% AKG). Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2003). Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan makanan. Menurut Riyadi (1995), status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang
yang
diakibatkan
oleh
konsumsi,
penyerapan,
dan
penggunaan zat gizi. Selain itu, status gizi juga merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan
nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Metode yang digunakan untuk menilai status gizi antara lain konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Ukuran fisik seseorang sangat berhubungan dengan status gizi. Oleh karena itu, antropometri digunakan sebagai indeks yang baik dan dapat digunakan sebagai penentuan status gizi untuk negara berkembang. Hal ini dikarenakan cara perhitungan secara antropometri lebih murah dibandingkan cara lain. Secara umum, antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Apabila ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pada orang dewasa status gizi ditentukan dengan menggunakan indeks massa tubuh atau body mass index (Riyadi 1995). Namun, menurut Damayanti (2000), indeks massa tubuh (IMT) yang dibuat untuk populasi umum tidak cocok digunakan pada atlet. Olahragawan dengan lean body mass yang menigkat mungkin mempunyai kadar lemak yang rendah, namun IMTnya melebihi batas yang dianjurkan. Status gizi sangat mempengaruhi prestasi olahraga. Menurut Moeloek (1995) untuk mencapai prestasi olahraga yang baik, banyak faktor yang berperan, anrata lain ukuran dan tipe tubuh, kapasitas fungsional, status gizi, psikologi, latihan, taktik, serta strategi. Status gizi yang baik sangat diperlukan untuk memperoleh kondisi fisik yang prima. Pengetahuan Gizi Pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan yang menjadi penentu utama prilaku seseorang (Engel et al. 1994). Sedangkan menurut Notoadmodjo (1993), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap sesuatu objek. Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang amat berpengaruh terhadap daya nalar yang dimiliki oleh orang tersebut. Pengetahuan ini didapatkan dari pendidikan formal, maupun informal. Riyadi (1996) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi adalah banyaknya informasi yang dimiliki oleh seseorang mengenai kebutuhan tubuh akan zat gizi, kemampuan seseorang untuk menerapkan pengetahuan gizi ke dalam pemilihan bahan pangan, dan cara pemanfaatan pangan yang sesuai dengan keadaanya. Oleh karena itu, pengetahuan gizi sangat erat hubungannya dengan baik buruknya kualitas gizi dari makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan gizi dapat diperoleh
dari pendidikan formal maupun non-formal. Pendidikan formal seperti pendidikan di sekolah serta pendidikan non-formal seperti membaca koran, mendengarkan radio, maupun menonton televisi yang menyajiakan liputan mengenai gizi. Karyadi (1990) mengatakan bahwa masalah gizi yang timbul sebenarnya disebabkan oleh prilaku yang salah, yakni adanya ketidakseimbangan antara konsumsi dan kecukupan gizinya. Pengetahuan gizi yang kurang akan menimbulkan anggapan bahwa makanan yang baik adalah makanan yang mahal. Sedangkan pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari paradigma yang salah. Metode Recall Mengingat kembali dan mencatat jumlah serta jenis pangan dan minuman yang telah dikonsumsi selama 24 jam merupakan metode pengumpulan data yang paling banyak dan paling mudah dilakukan. Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu, biasanya 24 jam sebelumnya. Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam URT, setelah itu baru dikonversikan kedalam satuan berat. Proses mengingat ini dipandu oleh pewawancara terlatih yang idealnya adalah seorang ahli gizi atau orang lain yang mengerti pangan dan gizi, serta mampu menggunakan instrument baku disamping harus pula menguasai jenis pangan yang tersedia di pasaran, serta mengerti membuat santapan berbasis etnis tertentu. Wawancara biasanya bersifat terstruktur sembari memperagakan makanan contoh atau food model. Penyertaan food model sangat bermanfaat, terutama untuk menggali informasi tentang rincian penting, seperti ukuran makanan yang dimaksud. Seluruh makanan yang disantap dan minuman yang diminum harus dicatat serinci mungkin. Jika santapan berupa produk buatan pabrik, nama pabrik harus ditulis termasuk apabila responden mengonsumsi suplemen (Arisman 2002). Metode
recall
ini
murah
dan
tidak
memakan
waktu
banyak.
Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena hanya mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian tenaga pencatat dalam mengonversikan URT kedalam satuan berat serta adanya variasi URT antar daerah serta variasi intrerpretasi besarnya ukuran antar responden.
Aktivitas Fisik Kegiatan fisik membutuhkan energi lebih banyak dari pada beristirahat. Oleh karena itu, penting sekali untuk memikirkan derajat kegiatan fisik pada saat penentuan akan besaran energi. Banyak penelitian mengenai nilai energi dari kegiatan fisik tengah dilakukan menggunakan kalorimeter tak langsung dan nilai rata-rata hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan. Metode penentuan derajat kegiatan fisik dihitung menggunakan metode faktorial. Dengan menggunakan cara ini, orang merinci jenis serta lamanya kegiatan yang telah dilakukan selama 24 jam untuk kemudian diisikan kedalam tabel, kemudian dikalikan dengan koefisien tiap jenis kegiatan. Metode yang lainnya
adalah
dengan
menggunakan
metode
yang
diajukan
oleh
WHO/FAO/UNU dan hasil penelitian kantor menteri KLH dan Puslitbang Gizi Bogor tahun 1986. Metode WHO/FAO/UNU membagi kegiatan menjadi 4 derajat, yaitu: kerja ringan (20% BMR), sedang (30% BMR), berat (40% BMR), dan sangat berat (50% BMR). Sementara hasil penelitian KLH dan Puslitbang Gizi, berdasarkan penelitian badan tersebut pada pekerja diberbagai perusahaan, juga membagi kegiatan fisik menjadi 4, yaitu kerja staf, kerja ringan, kerja sedang, dan kerja berat (Arisman 2002). Tabel 3 Faktor aktifitas untuk setiap kegiatan Kkal per menit
Jenis Kegiatan Laki-laki
Wanita
Tidur
1,1
0,9
Duduk
1,4
1,1
Berdiri
1,7
1,4
Pekerjaan Kantor
1,8
1,6
Pekerjaan rumah ringan
2,6
2,0
Pekerjaan rumah sedang
4,3
3,4
Pekerjaan rumah berat
5,0
4,0
2,5
2,0
Istirahat
Bekerja
Olahraga Rekreasi sedentary
Kkal per menit
Jenis Kegiatan Laki-laki
Wanita
Panahan
4,6
3,9
Badminton
6,5
5,5
Baseball
4,6
-
Basket
14,3
12,1
Bersepeda santai
5,9
5,0
Billiard
2,6
-
Tinju
15,0
-
Golf
5,2
4,4
Judo
22,8
24,8
Mendaki Gunung
9,8
8,3
Rugby
13,7
-
Voli
8,5
7,2
Sumber : Durnin, JVGA, dan Passmore, R 1967