“SUWUNG” MEMBAWA SENI DALAM PANGGUNG NASIONALISME : SEBUAH TINJAUAN SEJARAH
DRA. ANAK AGUNG AYU RAI WAHYUNI,M.SI
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA 2015
“Suwung” Membawa Seni Dalam Panggung Nasionalisme : Sebuah Tinjauan Sejarah
Abstrak Pada tahun 1954 untuk pertama kalinya Indonesia mengirim misi kebudayaan ke luar negeri. Misi kebudayaan pertama ini dikirim ke Cina (RRC) selama tiga bulan, dan diikuti oleh seniman-seniman dari berbagai daerah di Indonesia. Ini merupakan bagian dari semangat “Seni Nasional” dan “Menjadi Indonesia, yang digalakkan oleh pemerintah. Pada masa selanjutnya (orde baru) seni sering menjadi alat propaganda politik pemerintah, baik lewat Departemen Penerangan maupun kampanye partai Golkar. Selain itu seni juga menjadi bagian penting dalam program pariwisata yang tengah digalakkan pemerintah saat itu, yang kemudian menjadi penyebab dari lahirnya seni-seni kreasi baru atau seni untuk hiburan, dan kemudian menjadi keadaan yang terus berlangsung hingga saat ini. Perubahan seni ini baik dari bentuk, fungsi maupun maknanya merupakan hasil dari bagaimana seni diposisikan sesuai kebutuhan zamannya. Dalam hubungannya dengan upaya nasionalisme adalah bagaimana seni ini diposisikan untuk upaya tersebut, mengingat “kelebihan” seni yang mudah diterima serta mampu menyentuh sesuatu yang terdalam dari diri manusia, yaitu jiwa dan rasa.
1.
Pendahuluan Dalam dunia seni, terutama seni pertunjukan, terdapat bagian yang
dianggap sangat penting untuk membuat karya seni menarik dan menjadi karya seni yang mengagumkan, bagian itu disebut penjiwaan. Penjiwaan adalah bagian yang tidak boleh dilewatkan dari seorang seniman, sekaligus bagian yang akan membuatnya berbeda dari orang kebanyakan. Kebanyakan orang lain dapat melakukan sesuatu seperti yang dilakukan seorang seniman, akan tetapi tetap tidak lebih indah dari apa yang dilakukan seniman. Sumaryono menyebut bagian ini sebagai suatu daya yang membuat suatu karya itu “hidup”.1 Jika dihubungkan dengan permasalahan saat ini (nasionalisme), apakah bagian ini (penjiwaan) adalah sesuatu yang terlewat atau menjadi nilai minus dari nasionalisme bangsa ini? sehingga nasionalisme menjadi permasalahan yang berkepanjangan. 1
Sumaryono dan Endo Suanda. Tari Tontonan. Jakarta : Lembaga pendidikan Seni Nusantara. 2006, hlm. 17.
1
Pada tahun 1928, dalam sebuah kongres pemuda yang kedua, dilantunkan lagu Indonesia Raya oleh W.R. Supratman untuk pertama kali dan dijadikan lagu kelahiran pergerakan Indonesia, pada tahun 1954 untuk pertama kalinya Indonesia mengirim misi kebudayaan yang berisi seniman-seniman Indonesia ke Cina, pada tahun 1950-an sampai awal 1965 muncul semboyan “seni untuk revolusi” dalam panggung kebudayaan nasional, pada kurun waktu 1970-1998 seni sering menjadi bagian dari program sosialisasi Departemen Penerangan di desa-desa. Apa yang disebutkan di atas adalah sedikit contoh dari keterlibatan seni dalam usaha-usaha untuk membentuk “sesuatu” yang kemudian disebut “menjadi Indonesia”. Suatu usaha yang membuktikan bahwa seni telah difungsikan sebagai alat untuk mencapai sesuatu yang bahkan di luar dari fungsi seni itu sendiri, yakni sebagai hiburan. Mengapa hal ini dilakukan? Dan bagaimana bisa? karena memang hal ini terbukti berhasil. Bukan tidak mungkin seni kembali dapat digunakan sebagai cara untuk “memikat” hati bangsa ini, menjadikannya nasionalis, yang tentu saja dengan penuh penjiwaan. Lalu dimana tepatnya posisi dunia seni dalam usaha pembentukan nasionalisme dan rasa kebangsaan ini? Dan bagimana posisinya? Tentu saja ini akan menjadi kajian yang menarik. Akan tetapi dalam kajian ini tidak membahas tentang dimana dan bagaimana posisi seni, melainkan dimana dan bagaimana seni ini diposisikan dalam usaha pembentukan nasionalisme dan rasa kebangsaan.
2.
Sebuah Tinjauan Sejarah “Bagaimana pentingnya tur-tur para seniman pertunjukan ini, yakni rasa menjadi Indonesia yang ditanamkan lewat interaksi satu sama lain ketika mewakili bangsa… Mereka mengalami bagaimana menjadi bagian dari Indonesia, dan bagaimana budaya mereka mendapat tempat di dalamnya. Mereka adalah para pemuda, mereka bangga dipilih untuk mewakili bangsanya. Mereka sangat ingin tahu satu sama lain, dan sangat terbuka atas pengalaman baru.”2
2
Jennifer Lindsay. “Menggelar Indonesia Di Luar Negeri” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed.). Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965. Denpasar : pustaka Larasan. 2011, hlm. 248. Kalimat ini adalah komentar Jennifer Lindsay terhadap apa yang ditulis Edi Setyawati “Tari Indonesia 1951-2000” dalam Philip Yampolsky (Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan).
2
Kalimat di atas adalah penggambaran dari apa yang dilakukan pemerintah kala itu lewat misi-misi kebudayaannya, yang membawa dampak tersendiri terhadap pribadi seniman dan dunia seni di Indonesia. Pada kurun waktu 1950 sampai dengan awal 1965, pemerintah menempatkan dirinya dalam panggung seni nasional bahkan internasional. Misi-misi kebudayaan dikirim ke berbagai Negara, seperti Cina, Pakistan, Uni Soviet, Korea Utara, Amerika Serikat, Prancis, Kamboja, Mesir.3 Misi kebudayaan pertama adalah ke RRC (Republik Rakyat Cina) pada tanggal 21 Juli 1954 selama tiga bulan dan dikepalai oleh
Mangatas
Nasution
dari
Kantor
Pendidikan,
Pengamatan
dan
Kebudayaan(P.P.& K) pusat. Dalam misi ini diisi oleh 60 orang yang berisi pejabat, seniman, fotografer resmi dan Pelukis.4 Seniman-seniman ini berasal dari berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Solo, Jawa Barat, Medan, Padang dan Sulawesi, serta pelukis yang dibawa adalah Henk Ngantung.5
Mereka
membawakan tari-tari daerah, lagu daerah, dan lagu nasional atau kebangsaan. Rombongan ini tampil di Beijing dalam perayaan-perayaan hari kemerdekaan Indonesia, dan setelah itu mereka melakukan perjalanan keliling Cina dengan menggelar pertunjukan di berbagai kota. Pada tanggal 1 Oktober rombongan ini menjadi bagian dari perayaan ulang tahun kelima berdirinya RRC. Sepulang dari RRC kebanyakan dari mereka menjadi langganan dalam tur-tur kesenian lainnya. Misi kebudayaan ke RRC ini dianggap sangat penting peranannya dalam keberangkatan misi kebudayaan selanjutnya, serta memiliki andil dalam panggung seni nasional, pengalaman yang dibawa oleh para seniman ini menjadi bahan dalam pembentukan seni Indonesia. Misalnya Bagong Kussudiardjo dan Wisnoe Wardhana yang kemudian banyak menghasilkan tari-tari Modern,6 atau Sutanti (penari dari Yogyakarta) yang menjadi bagian dalam pendirian Akademi Tari Nasional di Yogyakarta. Dalam tur kesenian ini pula lah banyak bermunculan tari-
3
Ibid., hlm. 227. Misi kebudayaan ini menurut Jennifer Lindsay sebagai bentuk ekspresi rasa percaya diri. 4 Ibid., hlm. 224. 5 Henk Ngantung adalah salah satu pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyta (Lekra), serta pimpinan Lembaga Seni Rupa Indonesia yang kerap mengadakan pameran tunggal maupun bersama. Lihat Tempo. Lekra dan Geger 1965. Jakarta : Gramedia. 2014, hlm. 4 dan 23. 6 Mereka berdua kemudian mendirikan sekolah seni tari pada tahun 1958, yakni Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja dan Contemporary Dance School Wisnoewardhana.
3
tari gaya baru (tari tradisi yang repertoire nya dibuat lebih singkat, terkadang dibuat baru), karena memang menyesuaikan dengan kebutuhan panggung. Pada tahun 1957 diadakan tur kesenian yang berisi 30 seniman selama tiga bulan di Cekoslowakia, Uni Soviet, Polandia, Hungaria dan Mesir.7 Misi ke RRC dan Cekoslowakia ini dianggap misi terbesar, dengan melihat lama waktu acara serta banyaknya daerah yang dituju. Pemilihan daerah tujuan ini memang tidak terlepas dari situasi politik saat itu, pemerintah yang kala itu condong ke arah Negara sosialis berusaha untuk mempereratkan diri, tentu saja tidak lupa Negara-negara Non-Blok. Meskipun begitu bukan berarti pemerintah tidak melakukan misi kesenian ke luar dari kelompok tersebut. Pada tahun 1961 pemerintah mengirim duta keseniannya ke AS dalam bagian acara “Floating Fair”.8 Pada tahun 1964 Indonesia kembali mengirim 60 seniman dalam New York World’s Fair selama tujuh bulan. Apa yang dilakukan dalam tur-tur kesenian atau misi kebudayaan ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah saat itu yang berusaha memperkenalkan “wajah baru” Indonesia di dunia internasional. Selain usaha untuk membentuk rasa kecintaan terhadap Indonesia, perasaan kebangsaan merupakan program lain yang ditargetkan oleh pemerintah kala itu. Bagaimana semuanya yang saat itu harus serba revolusioner terjadi dalam segala aspek, termasuk panggung seni. Claire Holt menyebut apa yang diinginkan Sukarno ini dengan sebutan “Seni Nasional”,9 atau Jennifer Lindsay menyebutnya “menjadi Indonesia”. Banyak lembaga kebudayaan yang didirikan atas anjuran presiden,10 tentu saja sekolahsekolah seni juga banyak bermunculan, seperti ASRI (Akademi Seni Rupa 7
Salah satu seniman yang turut dalam misi ini adalah Irawati Durban Ardjo, yang merupakan ahli tari Sunda (murid Rd. Tje Tje Soemantri). Ia banyak menciptakan karya tari atau drama tari, sekaligus Pendiri kelompok seniman “Pusbitari”, dan aktif mengajar tari di luar negeri atas undangan dari AS. 8 Indonesia “Floating Fair” adalah acara kesenian yang megah yang dilakukan Indonesia. Acara ini berlangsung diatas kapal yang mengunjungi Honolulu, Jepang, Singapura, Hongkong, dan Manila. Selengkapnya lihat Jennifer Lindsay, 232. 9 Claire Holt. Melacak Jejak perkembangan Seni Di Indonesia. Bandung : Arti.line. 2000, hlm. 309. 10 Presiden kala itu menganjurkan setiap partai politik memiliki lembaga kebudayaan. Tempo. Lekra dan Geger 1965. Jakarta : Gramedia. 2014, hlm. 17. Lekra, LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia) adalah contohnya. Selain ada juga badan-badan kesenian daerah seperti BKDB (Badan Kesenian Jawa Barat) ataupun ikatan seniman, seperti ISTI (Ikatan Seni Tari Indonesia), Fronsema (Fron Seniman Makasar), dan Seniman Indonesia Muda (SIM).
4
Indonesia), Departemen Arsitektur dan Seni Rupa ITB (Institut Teknologi Bandung), dan Konservatori Karawitan Solo, ketiganya pada tahun 1950. Pemerintah juga kerap memberikan sumbangan finansial kepada mahasiswa sekolah seni, memberikan beasiswa atau menyetujui beasiswa yang diberikan oleh pemerintah asing dan yayasan swasta untuk seniman Indonesia.11 Selain itu dari lembaga kebudayaan yang ada juga kerap mengirim anggotanya untuk belajar ke luar negeri, yang paling mencolok adalah Lekra. Biasanya Lekra mengirim anggotanya ke Negara-negara yang dianggap memiliki ideologi serumpun.12 Mereka juga kerap mengirim anggotanya dalam festival Pemuda Sosialis Sedunia yang diadakan oleh World Federation of Democratic Youth (WFDY). Perjalanan yang disebutkan diatas memang kebanyakan bertumpu pada seni pertunjukan. Sebenarnya dalam seni rupa dan sastra juga mengalami “babak baru”, dan tidak kalah “bergejolaknya” dengan seni pertunjukan. Dalam seni rupa muncul seniman-seniman yang sampai saat ini masih diakui “sumbangan besarnya”,
sebut
saja
Afandi
yang
dianggap
sebagai
pencetus
aliran
ekspresionisme modern Indonesia, Sudjojono yang dianggap sebagai pendiri gerakan seni modern Indonesia,13 salah satu pendiri Seniman Indonesia Muda (SIM) pada tahun 1946 yang dijadikan sebagai tempat berkarya dari gaya yang dia sebut “gaya Indonesia”, yang sebelumnya telah ia coba perkenalkan lewat Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1937-an, dan terakhir tentu saja Hendra Gunawan, pemimpin kelompok “Pelukis Rakyat”14 yang dekat dengan Lekra. Di bawah kelompok “Pelukis Rakyat” muncul seniman muda berbakat 11
Claire Holt, op.cit., hlm. 304-306. Saat itu hubungan Indonesia-Belanda dalam hal budaya lewat STICUSA (Stichting voor Cultureel Samenwerking) memberikan beasiswa kepada seniman Indonesia untuk studi di Belanda pada tahun 1957. Selain itu ada juga Rockefeller Foundation, salah satu peserta nya adalah Usmar Ismail yang dikenal sebagai “bapak film Indonesia” dan Bagong Kussudiardja serta Wisnoe Wardhana. 12 Tempo. op.cit., hlm. 16. Untuk lebih lengkapnya lihat Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam “Lekra Tak Membakar Buku”. 13 Claire Holt. op.cit., hlm. 327. Meskipun begitu peran Sudjojono sebagai bapak seni lukis Indonesia baru ditolak oleh Sumarjo, yang justru mengatakan bahwa keyakinan Sudjojono justru merusak perkembangan kesenian Indonesia (Lihat Els Bogarets : “Kemana arah kebudayaan kita? Menggagas kembali kebudayaan di Indonesia pada masa dekolonisasi” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem. Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965, (2011 : 274). 14 Pelukis Rakyat dapat dianggap pecahan SIM. Pendirinya Hendra Gunawan merupakan anggota SIM. Dikarenakan ketidakcocokan dengan gaya Sudjojono, ia memilih keluar dan mendirikan Pelukis Rakyat. Bersamanya ikut Afandi dan Trubus Soedarsono.
5
seperti Trubus Gunawan, Batara Lubis, dan Tarmizi. Tentu saja yang tidak boleh dilupakan
adalah
peran
presiden
Soekarno
dalam
mengumpulkan
atau
menampung karya pelukis Indonesia dalam Istana Kepresidenan baik di Jakarta mapun di Bogor. Dalam dunia sastra tentu saja yang sangat terkenal adalah perseteruan sastrawan Manikebu dan Lekra, dengan tokohnya yang penting adalah Taufiq Ismail dan Pramoedya Ananta Toer. Akan tetapi di luar itu geliat sastra juga terjadi pada ranah yang lain, yakni masuknya sastra Islam di Indonesia. Saat itu sastrawan Indonesia banyak yang melakukan hubungan dengan sastra dari Mesir.15 Banyak karya sastra Mesir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tokoh penting dalam gerakan ini adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) yang berhasil menerbitkan majalah kebudayaan Islam, Pandji Masyarakat pada tahun 1950-an.16 Dalam majalah ini banyak berisi karya-karya sastrawan Indonesia, baik cerpen maupun esai, tidak sedikit terjemahan dari satra Mesir. Redaksi majalah ini memiliki hubungan dekat dengan Universitas AlAzhar di Mesir. Majalah ini jugalah yang nantinya menjadi cikal bakal berdirinya majalah Gema Islam pada tahun 1962, sebagai penerus pembaharuan dan penyebar kebudayaan dan keilmuan Islam di Indonesia. Apa yang menarik pada masa ini adalah bagaimana semuanya bergeliat mencari jati diri atau bentuknya, begitu juga dalam dunia seni. Keadaan yang dianggap terbalik jika dibandingkan dengan masa setelahnya. Pasca peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S), arus seni di Indonesia sempat berhenti, meskipun pada akhirnya berangsur-angsur membaik. Dunia seni pada masa ini (orde baru) dianggap tidak begitu semarak, dikarenakan campur tangan pemerintah dalam mengontrol “kebebasan” seni.17 Kesenian tradisional misalnya, dalam pertunjukannya mereka harus melewati perijinan terlebih dahulu 15
Mesir saat itu dianggap sebagai tempat yang paling maju dalam hal kebudayaan dan keilmuan Islam, mereka telah melakukan pembaruan dengan mengadopsi gagasan-gagasan modern barat. 16 Harius Salim. “Muslim Indonesia dan Jaringan Kebudayaan” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem. Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965. Denpasar : pustaka Larasan. 2011, hlm. 83. 17 Akan tetapi jika dibandingkan lebih lanjut, sesungguhnya keadaan ini tidak jauh berbeda pada masa orde lama, campur tangan pemerintah kala itu, dengan semboyan seni revolusionernya berhasil meredam atau menekan seni yang tidak beraliran revolusioner. Saat itu muncul istilah Seni untuk seni No! Seni untuk revolusi Yes!.
6
kepada yang berwenang (kodim atau kodam), dan tidak heran ketika pertunjukan seni ditolak karena dianggap tidak memenuhi persyaratan. Kesenian tradisional sering juga dijadikan sebagai media pemerintah untuk menyuarakan programprogram yang tengah dijalankan. Ludruk misalnya yang saat itu dianggap sebagai corong pemerintah dalam menyampaikan program dan kebijakan pemerintah.18 Hal ini juga terjadi pada seni tradisional lainnya, seperti salah satunya adalah Lengger. Selain itu sering juga dijadikan sebagai alat kampanye, terutama partai Golongan Karya (Golkar), tentu saja fungsi utamanya adalah sebagai daya penarik masa. Selain itu kesenian tradisional juga dijadikan sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat dalam acara Departemen Penerangan. Dengan fungsi baru tersebut banyak kesenian tradisional yang merubah komposisi-komposisinya. Dibuat lebih singkat adalah salah satu contohnya, dan disesuaikan dengan “keinginan zaman”. Program pemerintah yang mengundang seniman-seniman tradisional untuk tampil di Istana Negara seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Sukarno, sebenarnya juga masih dilakukan. Seniman di daerah juga sering diundang, baik dalam acara malam kesenian maupun acara formal, dan tidak jarang ikut dalam pertunjukan kesenian tradisional di luar negeri. Diplomasi kebudayaan juga terus dilakukan, salah satu contohnya adalah pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat) pada tanggal 6 Oktober 1990 di Kennedy Centre, Washington D.C.19 Rombongan seni Indonesia ini berasal dari Yogyakarta, Bali, Jawa Barat, dan Aceh. Rombongan Yogyakarta dan Bali menggelar pertunjukan di berbagai tempat di Los Angeles karena permintaan panitia Los Angeles Festival. Rombongan ini merupakan pagelaran perdana dari KIAS. Tahun berikutnya juga akan hadir empat rombongan kesenian daerah di Amerika pada bulan Februari. Pemerintah saat itu juga dianggap memiliki ketertarikan dalam pengembangan pariwisata di Indonesia. Seni-seni daerah diperkenalkan, dan dibentuk untuk kepentingan pariwisata, berbagai daerah dipersiapkan, seperti sarana infrastruktur (lewat program pelita dan Repelita). Visit Indonesia Year 18
Helene Bouvier. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura. Bogor : Grafika Mardi Yuana. 2002,hlm. 134. 19 Soedarsono “Secara Alami dan Kultural Seharusnya Indonesia Mampu Menjadi Negara wisata Nomor Satu Di Asia Tenggara” dalam Soedarsono. Pengantar Sejarah Kesenian II. Tanpa tempat dan tahun terbit, hlm. 3.
7
pertama tahun 1991 adalah salah satu contoh dari keseriusan pemerintah. KIAS yang diadakan pada tahun 1990 merupakan langkah awal pemerintah untuk menarik wisatawan Amerika ke Indonesia. Visit Indonesia Year 1991 ini diharapkan mampu menarik banyak wisatawan ke Indonesia, meskipun pada akhirnya gagal akibat munculnya perang Teluk. Pada tahun 1992 Indonesia menjadi tempat Visit ASEAN Year. Di Jakarta saat itu diadakan Gelar Budaya Nusantara, yang diisi oleh pagelaran seni dari daerah-daerah, sedangkan di Yogyakarta diadakan ASEAN Festival of Arts, yang diikuti oleh perwakilan dari semua anggota ASEAN. Secara umum seni pada masa ini banyak dikemas untuk kepentingan pariwisata dan politik pemerintah. Oleh karena itu, keadaan ini sering dianggap tidak memberikan suasana yang semarak dalam panggung seni, meskipun hal ini ditolak oleh Soedarsono, yang justru mengganggap pada masa ini kebebasan individu (dalam berkesenian) mulai “dijamin”, sehingga bermunculan karya-karya individual dimana-mana.20 Keadaan ini terus berlanjut sampai saat ini. Di era yang sangat modern, kesenian lebih berorientasi pada hiburan, baik itu hiburan seharihari maupun hiburan untuk daya tari pariwisata. Seperti yang terjadi sebelumnya ketika kesenian tradisional mulai kehilangan “bentuknya” dengan mengikuti keinginan “pasar” (hiburan), pada masa ini kesenian tradisional lebih tergantung pada selera pasar.21 Bentuknya tidak lagi utuh, meskipun ada beberapa yang bertahan, ketika para senimannya berhasil membuat “seni gaya baru” untuk menggantikan kesenian tradisional dalam kepentingan pariwisata. Sektor pariwisata
juga
terus
berkembang
(sebagai
warisan
dari
pemerintahan
sebelumnya), hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki festival atau acara kota yang menggelar kekayaan seni budayanya, yang mampu menembus taraf nasional bahkan diantaranya internasional.22 20
Soedarsono, “Perkembangan Seni dan Masyarakat Indonesia Di Akhir Abad 20 (Sekilas Pengamatan), dalam Soedarsono. pengantar Sejarah Kesenian II. Tanpa tempat dan tahun terbit, hlm. 2. Sesungguhnya ini merupakan perbandingan dari apa yang terjadi pada masa sebelumnya yang menganggap seniman hanya tertuju pada penciptaan “Seni Nasional”. 21 Penelitian mengenai seni tradisional selalu menempatkan tantangan pasar atau pariwisata sebagai keadaan yang harus dihadapi oleh seni tradisional, dalam keberlangsungannya memiliki andil yang sangat besar. 22 Daerah seperti Yogyakarta dan Bali tentu saja lebih terkenal, acara keseniannya banyak yang bertaraf internasional, bersamaan dengan banyaknya wisatawan manca Negara di kedua daerah tersebut. Sebut saja Pesta Kesenian Bali yang sebenarnya merupakan bagian dari
8
Visit Indonesia Year yang dimulai tahun 1991 terus berlangsung sampai sekarang dengan tema-tema yang berbeda-beda.23 Acara kesenian di Istana Kepresidenan juga terus dilakukan. Pertunjukan kesenian daerah di luar negeri juga terus dilakukan, bahkan sekarang jadi lebih bebas (tidak hanya mengandalkan program pemerintah). Ini bisa berlangsung langsung dari sanggar atau pelatihan seni dengan cara mencari sponsor di luar negeri. Berbagai festival dunia juga sering diadakan di Indonesia, salah satunya adalah Festival Internasional Bahasa dan Budaya (IFLC) yang merupakan festival tahunan Turki, tahun ini diadakan di Jakarta, dan diikuti oleh pertunjukan seni dari Indonesia dan Turki. Festival seni Indonesia yang dikemas modern juga dilakukan, seperti Pertunjukan Salam Kreatif : Kolaborasi Budaya dan Seni Kontemporer di Jakarta pada tanggal 14 Oktober 2014 di Taman Ismail Marzuki. Pertunjukan ini diisi oleh seni-seni daerah yang dikemas dengan gaya modern, bahkan musisi muda juga ikut ambil bagian, seperti Sandy Sandoro dan Monita Tahalea. Secara umum keadaan saat ini merupakan keberlanjutan dari keadaan sebelumnya.
3.
Seni dan Nasionalisme “Tunjukan bagaimana engkau menari, dan saya akan mengetahui dari mana asalmu”24 Kalimat di atas merupakan penggambaran dari begitu banyaknya tari
yang terdapat di Indonesia, bahkan sebuah tarian dapat mencirikan daerah asalnya. Tari dan gaya-gaya tari yang ada di Indonesia mungkin sama banyaknya dengan jumlah dialek atau bahasa yang ada.25 Di tambah lagi dengan keseniankesenian lainnya, seperti musik, rupa, dan teater, yang juga mampu mencirikan daerah asalnya, ini merupakan kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Dalam hubungannya dengan “penguatan” Nasionalisme, kesenian tradisional memiliki tempat yang penting. Kekayaan yang dimiliki secara utuh dan acara ulang tahun kota Denpasar. Di Banyuwangi yang selama ini tidak begitu terkenal dalam hal pariwisata, semenjak tahun 2012 berhasil menjadikan dirinya sebagai destinasi pariwisata, tentu saja dengan program-program yang dijalankan, salah satunya adalah Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) dan Gandrung Sewu yang menjadi festival bertaraf internasional. 23 Sejak tahun 2011, Visit Indonesia Year berganti nama menjadi “Wonderful Indonesia”. 24 Claire Holt. op.cit., hlm. 115. 25 Ibid.,
9
turun temurun yang dimiliki oleh rakyat Indonesia dapat dijadikan sebagai modal dalam pemahaman budaya bangsa, terlebih nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, pemahaman mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalam kesenian tradisional menjadi penting. Kesenian tradisional secara umum memiliki nilai lebih jika dibandingkan dengan seni modern. Pertama, seni tradisi biasanya mengandung nilai-nilai atau pesan moral yang memang secara turun temurun diwariskan dan dijadikan bahan pengajaran. Misalnya Gandrung di Banyuwangi yang banyak berisi pesan atau petuah dalam menjalani hidup. Kedua, terdapat unsur kebersamaan, dalam pagelarannya seni tradisi selalu melibatkan masyarakat, baik dalam persiapannya maupun pertunjukannya. Dalam dunia tari, tari tradisi masuk dalam bagian tari komunal, dan salah satu fungsi tari komunal ini adalah integrasi sosial, forum dialog dan kritik sosial, dan pendidikan.26 Jika dilihat dari fungsi di atas, seni tradisi memiliki fungsi lebih dari sekedar hiburan. Selain itu seni tradisional erat kaitannya dengan sejarah daerah asalnya. Misalnya Lengger di Jember yang erat kaitannya dengan sejarah perkebunan di Jember, dan Gandrung yang dekat dengan sejarah perjuangan orang Banyuwangi melawan penjajah. Kedua hal inilah yang menjadi alasan mengapa seni tradisi layak untuk menjadi bagian dari usaha pemahaman kebangsaan. Apa yang kemudian menjadi penting adalah bagaimana seni baik tradisi maupun modern diposisikan dalam upaya tersebut. Melihat keadaan sekarang yang lebih menempatkan seni tradisi untuk kepentingan hiburan, apalagi seni modern, memang jauh dari upaya di atas. Banyak seni tradisional yang merubah bentuknya untuk kepentingan hiburan, dengan mengesampingkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Terlebih lagi keadaan seni modern, musik misalnya yang paling akrab dengan masyarakat saat ini (terutama anak muda), mulai dipertanyakan kualitasnya, sebutan “asal jadi” kerap menjadi penggambaran dari keadaan musik saat ini.27 Pada tahun 1960-1970-an, musik di luar negeri (terutama Amerika dan Inggris) muncul gerakan baru, yang dianggap sebagai bagian dari budaya counter
26
I Wayan Dibia, FX. Widaryanto, dan Endo Suanda. Tari Komunal. Jakarta : Lembaga pendidikan Seni Nusantara. 2006, hlm. 232-252. 27 Bagaimana musik saat ini kerap dibandingkan dengan musik-musik tahun 70-an sampai 90-an, yang dianggap lebih “indah”, dan memiliki arti atau pesan dalam karya-karyanya.
10
culture yang muncul di Amerika. Musik mereka banyak berisi pesan-pesan perdamaian, perlawanan dan penggambaran dari keadaan saat itu. Nama-nama seperti Jimmi Hendrix, John Lennon, dan Bob Dylan adalah musisi top saat itu. Lagu “Imagine” karya John Lennon yang dianggap karya paling terkenal dari generasi saat itu, yang sering disebut “flower generation”.28 Selanjutnya musisi dunia juga sering menjadi bagian dari peristiwa besar semacam itu, seperti U2 yang
banyak
mengikuti
kegiatan-kegiatan
amal
internasional
(misalnya
berpartisipasi dalam A Conspiracy of Hope Tour sebagai dukungan kepada Amnesti International untuk membantu pengangguran di Irlandia), atau salah satu lagunya “Walk On” yang didekasikan untuk tokoh pro demokrasi Burma “Aung San Suu Kyi”.29 Lalu bagaimana di Indonesia? Di Indonesia musisi sejenis yang banyak mengisi karyanya dengan kritikan terhadap keadaan sekitar adalah Iwan Fals. Tentu saja bagaimana lagunya “Suara Buat Wakil Rakyat” yang sempat dicekal, masih diingat oleh masyarakat sampai sekarang, dan dijadikan lagu kritikan kepada pemerintah. Musisi mudah juga bermunculan, Slank dengan lagunya Gosip Jalanan, dan Netral “Garuda Di Dadaku” yang biasanya kerap dinyanyikan bersamaan dengan perjuangan atlitatlit Indonesia, serta yang terakhir adalah Kikan dengan lagunya “Serukan Keadilan” sebagai gambaran dari maraknya kasus korupsi dan
upaya
pemberantasannya. Selain itu ada juga musisi Indonesia yang mencoba melestarikan lagu-lagu daerah, seperti Tompi dalam album “Symphonic Tales of Indonesia”, ada juga Ananda Sukarlan dengan album “Rapsodia Nusantara”nya.30 Hal ini adalah sedikit contoh dari peran seni bersama dengan senimannya
28
Kelompok pendukung Budaya counter culture ini sekarang lebih dikenal dengan kelompok Hipis. 29 U2 adalah band Irlandia. Selain kegiatan tersebut ia bersama musisi terkenal lainnya (seperti Sting-The Police, Freddie Mercury-Queen) juga ikut dalam live aid (band aid) untuk mengumpulkan uang guna membantu upaya anti kemiskinan di Ethiopia, meskipun akhirnya upaya ini mendapat kritikan keras. 30 Ini merupakan project Tjut Nyak Deviana Daudsjah, yang menggabungkan musik orchestra dari Orchester der Kulturen Germany dengan vokalisnya Tompi. Terdapat 10 lagu yang dibawakan, seperti Yamko Rambe Yamko, Cublak-Cublak Suweng, dan Keroncong Kemayoran. Sedangkan album Rapsodia Nusantara merupakan aransemen lagu-lagu daerah nusantara, yang dikemas dengan musik jazz (permainan piano Ananda Sukarlan). Rapsodia Nusantara ini sampai sekarang sudah berjumlah 15, salah satu contohnya adalah “Rayuan Pulau Kelapa” dan “KicirKicir”.
11
untuk sesuatu yang lebih besar daripada fungsinya sebagai hiburan, meskipun sebenarnya dengan fungsi seperti ini, ia tetap memasukan unsur hiburan di dalamnya. Hal yang sama juga terjadi pada dunia film Indonesia, meskipun sempat dianggap mengalami penurunan kualitas, belakangan ini banyak sineas Indonesia yang memproduksi film-film yang sarat akan pesan moral dan juga berisi kekayaan
Indonesia, serta yang berusaha “membuka mata” para
penontonnya untuk melihat keadaan di sekitarnya. Contoh yang terbaru adalah “Negri Tanpa Telinga” karya Lola Amaria yang berisi sindiran kepada para koruptor di Indonesia yang dianggap sangat fenomenal dan berani, atau film “Tanah Surga Katanya” karya Herwin Novianto yang menggambarkan keadaan warga Indonesia di perbatasan (Malaysia), serta “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” karya Dedy Mizwar yang banyak berisi sindiran dan penggambaran keadaan masyarakat perkotaan saat ini. Terakhir adalah festival atau kompetisi film dokumenter (Eagle Award Documentary Competition) yang berusaha melihat Indonesia dalam “lensa film dokumenter”, yang dianggap sebagai bagian dari apa yang mereka sebut “Merangkai Indonesia” atau “Menjadi Indonesia”. Hal-hal seperti inilah yang membuat seni layak dijadikan sebagai cara untuk menguatkan nasionalisme atau kepedulian terhadap Negara dan bangsa. Apa yang ingin disampaikan dari ini adalah, bagaimana dengan seni keadaan bangsa ini dapat disampaikan, dengan seni kekayaan bangsa ini dapat ditunjukkan, dan bagaimana seni mampu memberikan pesan-pesan moral dan mengaktualisasi nilai-nilai nasionalisme. Seni yang tidak terikat oleh etnis ataupun agama dapat menjadi bahasa penghubung dalam menjalin komunikasi, yang sebenarnya adalah langkah awal dari nasionalisme, ditambah lagi seni adalah hal yang mudah diterima dan diingat. Dengan pemahaman atau wawasan seni tradisional kekayaan Indonesia ditunjukan, memperkenalkan daerah-daerah bersama dengan budayanya yang tersebar di Indonesia lewat seni, maka pemahaman tentang keberadaan dan kedudukan bangsapun tercapai. Apa yang tidak boleh dilupakan adalah, dalam seni terdapat unsur yang disebut “penjiwaan”, ini tidak hanya terjadi kepada pelakunya melainkan juga kepada penontonya, unsur yang akan memberikan sebuah pengalaman yang berkesan, yang dapat menyentuh apa yang disebut “sesuatu yang terdalam dari diri 12
manusia”. Misalnya bagaimana seisi stadion mampu terbakar semangatnya, tergerak hatinya ketika menyanyikan lagu “Indonesia Raya” ketika Timnas Indonesia bertanding. Hal-hal yang seperti inilah yang patut untuk dilakukan. Jika ingin melihat pada sejarah bangsa ini, seperti yang ditulis sebelumnya, pada masa pemerintahan Sukarno seni dijadikan sebagai cara untuk menguatkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia, terlepas dari perseteruan yang muncul, apa yang menjadi penting adalah bagaimana seni mendapat tempat, dan dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam upaya penguatan nasionalisme. Berkaitan dengan upaya tersebut, peran pemerintah menjadi penting. Pemerintah yang memiliki kekuatan yang paling besar diharapkan serius dalam upayanya membangun rasa nasionalisme dan kebangsaan, yang dalam kasus ini dapat dilakukan dalam dan lewat panggung seni. Perhatian dan komitmen pemerintah dapat menjadi kunci dari sukses tidaknya upaya ini. Misalnya, dukungan pemerintah pada upaya pembelajaran, pagelaran atau pameran seni yang dilakukan seniman-seniman daerah baik di dalam maupun luar negeri, perhatian pemerintah pada upaya publikasi pertunjukan-pertunjukan seni, serta keikutsertaan pemerintah dalam membentuk segmen pasar dengan kondisi yang kondusif untuk berkembangnya seni, terutama seni tradisional. Akan tetapi dengan melihat keadaan sekarang, upaya seperti ini tidaklah lazim dilakukan, saat ini nasionalisme dapat dan mungkin “hanya” dapat disampaikan dan diajarkan
lewat
mata pelajaran
(misalnya Pendidikan
Kewarganegaraan) dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Dalam bahasa Jawa terdapat istilah “Suwung”, yang secara harfiah berarti gila, kurang waras atau kosong, akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut dapat diartikan sebagai “merasakan kehadiran sesuatu meskipun tidak atau belum tampak”, mungkin kata ini adalah kata yang cocok untuk menggambarkan upaya membawa seni dalam pemahaman dan penguatan nasionalisme saat ini, yang masih dianggap remeh atau tidak mendapatkan tempatnya.
4.
Simpulan Dalam upaya penguatan rasa dan pemahaman nasionalisme, seni dapat
dijadikan cara untuk mencapainya. Sifat seni yang mudah diterima dan mudah 13
diingat, serta tidak terikat pada kelompok etnis atau agama membuatnya menjadi sarana yang paling mudah. Seni juga menjadi bagian dari sejarah Indonesia, seperti semangat “Seni Nasional” dan “Menjadi Indonesia” yang diwujudkan lewat misi-misi kebudayaan pemerintah Orde Lama, begitu juga dengan kebijakan politik orde baru. Hal ini merupakan bukti bagaimana seni ini diposisikan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya merupakan bagian dari kebutuhan zamannya. Selain itu seni dengan segala nilainya, yang mudah diterima dan mudah diingat oleh masyarakat membuatnya layak untuk dijadikan bagian dari upaya penguatan nasionalisme. Selain itu kelebihan seni yang mampu menyentuh perasaan dan jiwa manusia menjadi nilai lebih, dan sekaligus kelebihan yang dianggap
penting
yang
mana
merupakan
kekurangan
nasionalisme selama ini, yakni perasaan dan penjiwaan.
14
dari
pemahaman
DAFTAR PUSTAKA Bogarets, Els. “Kemana arah kebudayaan kita? Menggagas kembali kebudayaan di Indonesia pada masa dekolonisasi” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed.). Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 1950-1965. 2011.Sumaryono dan Suanda, Endo. Tari Tontonan. Jakarta : Lembaga pendidikan Seni Nusantara. 2006. Bouvier, Helene. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura. Bogor : Grafika Mardi Yuana. 2002. Dibia, I Wayan, Widaryanto, FX, dan Suanda, Endo. Tari Komunal. Jakarta : Lembaga pendidikan Seni Nusantara. 2006. Holt, Claire. Melacak Jejak perkembangan Seni Di Indonesia. Bandung : Arti.line. 2000. Lindsay, Jennifer. “Menggelar Indonesia Di Luar Negeri” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed.). Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 19501965. Denpasar : pustaka Larasan. 2011. Salim, Harius. “Muslim Indonesia dan Jaringan Kebudayaan” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed.). Ahli Waris Budaya Dunia : Menjadi Indonesia 19501965. Denpasar : pustaka Larasan. 2011. Soedarsono “Secara Alami dan Kultural Seharusnya Indonesia Mampu Menjadi Negara wisata Nomor Satu Di Asia Tenggara” dalam Soedarsono. Pengantar Sejarah Kesenian II. Tanpa tempat dan tahun terbit. Soedarsono, “Perkembangan Seni dan Masyarakat Indonesia Di Akhir Abad 20 (Sekilas Pengamatan), dalam Soedarsono. Pengantar Sejarah Kesenian II. Tana tempat dan tahun terbit. Tempo. Lekra dan Geger 1965. Jakarta : Gramedia. 2014.
Majalah
Abal, Fatrah. “Suatu Rekaman Proses”, dalam Kadung Dadi Gandrung Wis. Jakarta : Kasitha Smarandhana. 1992. Efendy, Bisri dan Anoegrajekti, Novi. “Penari Gandrung dan Gerak Sosial Banyuwangi”, dalam Srinthil. No. 12. Depok : Kajian Perempuan Desantara. 2007. W. Oryza Ardyansyah. “Lengger : Rute Malam, Mengukur Jalan”, dalam Srinthil. No. 3. Depok : Kajian Perempuan Desantara. 2003.
15
Internet http://kitaanaknegeri.com/ananda-sukarlan-rapsodia-nusantara/ tanggal 25 Juni 2015 pukul 19.10 Wita).
(diakses
pada
http://www.wartajazz.com/news/2015/03/09/komposisi-manis-rapsodianusantara-khas-ananda-sukarlan-java-jazz-festival-2015 (diakses pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 19.00 Wita). http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/14/09/09/nbm8p4-antaraorkestra-lagu-daerah-dan-tompi (diakses pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 21.00 Wita). http://teatergarasi.org/?p=913&lang=id (diakses pada tanggal 22 Juni 2015 pukul 19.30 Wita). http://www.amb-indonesie.fr/index.php?option=com_content&view=article&id= 407:pagelaran-seni-budaya-di-andorra&catid=59:ambassade-dindonesie &Itemid=26 (diakses pada tanggal 22 Juni 2015 pukul 20.00 Wita) http://print.kompas.com/baca/2015/04/10/Pergelaran-Seni-untuk-PerdamaianInternasional (diakses pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 20.30 Wita) https://en.wikipedia.org/wiki/Visit_Indonesia_Year (diakses pada tanggal 23 Juni 2015 pukul 19.00 Wita) http://www.antaranews.com/berita/458753/kolaborasi-budaya-dan-senikontemporer-pertunjukan-salam-kreatif (diakses pada tanggal 25 Juni 2015 pukul 21.00 Wita) https://en.wikipedia.org/wiki/U2 (diakses pada tanggal 27 Juni 2015 pukul 19.00 Wita).
16