Kreatif dalam Konteks Pendidikan Seni bagi Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreativitas) Oleh: Anne Nurfarina Program Studi DKV STISI Telkom E-mail:
[email protected]
Abstract Primadi Tabrani told in his Human humanity creativity states that essentially creative is the core of human nature, either on normal human or mental retarded. Which distinguishes it is the level or the level of each individual. If in the case of people with autism with the mental retarded found one interest or particular interest such as drawing, or playing music, it means that there is any creative content in them self. People with autism are signed by disability in socialization and difficult to build community with the people around him. Kuntz stated that the people with autism are very sensitive to the things that are audio and visually stimulated by daily event. If it is connected to the theory of Primadi about basic concept that human is to create on then it is very important to identify its creative aspect, especially in cognition development. In the book of creativity development of gifted child written by Prof. Dr. Tami Munandar the expert of education psychology in Indonesia, sated that creative is the foundation of education itself. Developing human resource qualified that brings Indonesia to the leading position, at least equal with other countries, both in building economy, politic, and socio-cultural, essentially it demands education commitment for two things, those are: a) identify and development superior talents in various field, and b) accumulation and development of creativity which is basically owned by everyone, yet need to be identified and stimulated at an early age. Therefore the educator needs to be prepared and trained in order to have professional competence to nurture gifted child and teach creatively. (Key word: Creativity, Education, Art, Children with Autism)
1. LATAR BELAKANG Ada 4 hal penting yang berhubungan dan saling mendukung dalam upaya pendidikan anak, yakni: pengembangan kreativitas, lingkungan yang merangsang perkembangan bakat dan kreativitas, pembelajaran dan teknik kreatif serta mengatasi hambatan dalam
pengembangan kreativitas. Namun selain itu, Munandar menyayangkan pemahaman tentang kata kreativitas, pengertian kreativitas sebagai sifat yang diwarisi oleh orang yang berbakat luar biasa atau genius. Kreativitas diasumsikan sebagai sesuatu yang
17 | J u r n a l S e n i R u p a & D e s a i n V o l . 4 N o . 2 2 0 1 3
dimiliki atau tidak dimiliki, dan tidak banyak yang dapat dilakukan melalui pendidikan untuk mempengaruhinya. (Munandar: 7) Prof. Dr Utami Munandar (1995) telah meneliti anak-anak yang tinggal kelas di berbagai tempat di Indonesia. Hasil penelitian itu mengejutkan sekali. Ternyata 90% anak tinggal kelas termasuk anak yang sangat pandai. Begitu pula anak autistik. Banyak diantara mereka justru sangat pandai, Albert Einstein, Picasso, dan Thomas Alfa Edison ketika duduk di bangku sekolah termasuk anak bermasalah dan mereka pengidap autisme. Anak autistik terbagi menjadi tiga kelompok, yakni IQ rendah, sedang, dan tinggi. Menurutnya, mereka tinggal kelas karena tak memperoleh pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan. Anak autistik butuh pendamping dan perhatian khusus agar bisa belajar dengan baik. Sekolah inkusif merupakan sekolah yang memberi kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus untuk belajar dengan anak-anak normal. Pemaparan di atas merupakan gambaran keterkaitan kreativitas dengan pendidikan, karena keduanya saling berkorelasi. Hal ini akan saling mendukung seperti dikatakan oleh Utami Munandar berikutnya bahwa pengembangan kreativitas secara umum dan khususnya dalam program pendidikan anak berbakat, meliputi ranah kognitif (pemikiran), afektif (sikap dan kepribadian ), dan Psikomotor (keterampilan dan perilaku). (Munandar, 2004:1) Bila dicermati, konstelasi hemisphere otak manusia yang dikenal sebagai otak kiri dan kanan, secara fisik menunjukkan
posisi simetri yang saling bersebelahan. Konsep kognitif hanya dikenali sebagai tempat bagi pengetahuan eksakta, sementara hanya afeksi saja yang tersedia bagi peluang kreatif.Sehingga beberapa orang tua yang anak-anaknya autis merasa bahwa anaknya tidak cerdas karena hanya berminat pada menggambar saja. Sesudah itu anak tidak distimulasi lagi dan terjebak pada penanganan anak apa adanya, membiarkan si anak tumbuh berkembang secara fisik saja. Guilford dalam pidatonya yang terkenal pada tahun 1950 memberikan perhatian terhadap masalah kreativitas ditelantarkan dalam pendidikan formal, padahal amat bermakna bagi pengembangan potensi anak secara utuh dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Kemudian dengan diajukannya model struktur intelektual, tampak perhatian kreativitas, termasuk hubungan antara dan intelegenasi sangatlah meningkat, khususnya sejauh mana antara inteligensi berpengaruh terhadap kreativitas seseorang. Model struktur intelek membedakan antara berpikir konvergen dan divergen. Kemampuan berpikir konvergen mendasari tes intelegensi tradisional dan kemampuan berpikir divergen merupakan indikator dari kreativitas. (Munandar:8) Pemikiran Guilford telah dibuktikan oleh Utami Munandar dalam penelitiannya hasil studi korelasi dan analisis faktor yang membuktikan tes kreativitas sebagai dimensi fungsi kognitif yang relatif bersatu yang dapat dibedakan dari tes intelegensi; tetapi berpikir divergen (kreativitas) juga menunjukkan hubungan yang bermakna dengan
18 | A n n e N u r f a r i n a : K r e a t i f d a l a m K o n t e k s P e n d i d i k a n S e n i b a g i Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreatifitas)
berpikir konvergen (Munandar:9)
Pendidikan
(intelegensi)
Kognitif, afektif, psikomotor
Kreatifitas (Seni)
Gambar 1: Skema kaitan pendidikan dengan kreatifitas
Setelah deskripsi teoritis Utami Munandar tentang kreativitas sebagai metode stimulus bagi peningkatan intelegensi siswa dari perspektif pendidikan, maka dalam sub-bab ini akan dipaparkan kreativitas dalam perspektif seni. Dalam buku Kreativitas dan Humanitas oleh Yasraf Amir Piliang membuat pengantar yang menyatakan bahwa kreativitas tidak saja merupakan kapasitas atau kemampuan dasar manusia, akan tetapi lebih jauh lagi disamping rasionalitas merupakan identitas manusia, yang menunjukkan keunggulannya dari binatang. Oleh karena itu, kreativitas merupakan ciri manusia, ekspresi dari humanitas itu sendiri. 1.1. Proses Kreatif dalam Seni Disadari atau tidak kemampuan kreatif manusia tertimulasi oleh hal-hal yang didapat dari lingkungan dan pengalaman yang dimiliki, Primadi menyatakan secara definitif bahwa kreatif adalah kemampuan yang membantunya untuk dapat berbuat lebih dari kemungkinan rasional dari data dan pengetahuan yang dimilikinya. (Tabrani; hal. 34)
Pendapat Primadi yang menunjuk bahwa kemampuan kreatif manusia terstimulasi oleh hal-hal yang didapat dari lingkungan dan pengalaman yang dimiliki selaras dengan pendapat Kuntz yang menyatakan bahwa penderita autis punya kepekaan terhadap audio visual yang terstimulasi pula oleh lingkungan dan kejadian sehari-hari. Artinya ada keterkaitan yang signifikan antara proses kepekaan tersebut dengan aktifitas yang ditunjukkan penderita dalam konteks kreatif. Misalnya ketika Aan, penderita autis berumur 19 tahun yang begitu tertarik terhadap bentuk-bentuk logo mobil dan menjadi pemicu untuk berkarya secara terus menerus. Atau, Nunay, penderita autis yang ketika berumur 13 tahun mampu menangkap nada jingle iklan televisi dan langsung mampu memainkannya dengan alat musik piano. Lain halnya dengan Jovi, penderita autis berumur 15 tahun yang mampu memainkan gitar hanya dengan dua kali latihan saja. Dengan demikian, tidak bisa disangkal bahwa kreativitas menjadi pintu masuk bagi stimulasi pembelajaran penderita autis khususnya anak-anak yang masih bisa dibangun kemampuannya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus termasuk anak-anak penderita autis punya kemampuan kreatif ini. Yang membedakan setiap individu adalah tingkatannya, bahwa kreativitas memiliki berbagai norma, pertama gradasi yaitu yang berhubungan dengan kapasitas dan abilitas yang dimiliki masing-masing individu; kedua, level (tahap), yaitu yang berhubungan dengan tingkat mutu kreativitas yang dicapai oleh individu pada titik tertentu dalam perjalanan usianya; ketiga,
19 | J u r n a l S e n i R u p a & D e s a i n V o l . 4 N o . 2 2 0 1 3
periode yaitu yang berhubungan dengan apa yang dicapai individu pada titik tertentu dalam perkembangan sejarah atau kebudayaan manusia; keempat degree (derajat atau taraf) yaitu yang merupakan manifestasi gradasi, level, periode tersebut, atau pengejawantahan dari kreativitas itu sendiri. (Tabrani; hal. 34). Lebih lanjut lagi Primadi menyatakan bahwa manusia merupakan satusatunya mahluk yang lengkap, yang memiliki kreativitas pasif dan aktif. Konsekuensi logis darinya, bahwa setiap manusia adalah mahluk yang dapat mengejawantahkan gejala-gejala kreatif, sebab jika tidak, maka ia bukanlah manusia. Tentu saja hipotesis tersebut perlu dibuktikan terlebih dahulu. Bahasan ini dimaksudkan untuk pembuktian, yang akan dicapai dengan menarik kesimpulan melalui studi perbandingan dari pendapat-pendapat para peneliti yang menyelidiki masalah ini, melalui jalan-jalan lain. (Tabrani; hal. 34) Kreativitas aktif dan pasif menunjukkan ditahap mana penderita autis ini sudah dibangun ability-nya, bukan hanya pada persoalan tingkat atau level intelektualitasnya. Karena berdasarkan rekomendasi sebelumnya, kreativitas berhubungan dengan degree atau tingkat pengalamannya. Jika terus disosialisasi dan dibangun, maka penderita autis yang berumur 15 tahun akan lebih punya banyak kemampuan kreatif ketimbang penderita autis yang berumur 28 tahun yang terlambat ditangani. Walaupun kedua-duanya dalam level IQ yang nyaris sama. Artinya, kekuatan itu ada dalam usaha menstimulasi; sekedarnya atau aktif, ditangani dini atau terlambat.
Demikian jika dikatakan bahwa satusatunya makhluk yang berkemampuan kreatif adalah manusia maka sudah dapat dipastikan anak-anak penderita autis memiliki elemen yang dapat dibangun demi menyokong kualitas hidupnya. Masalahnya adalah pendapat umum atau stigma tentang normal dan tidak yang muncul di masyarakat, seseorang dengan label cacat dianggap jauh dari kemampuan kreatif. Namun dari catatan penulis, bila kreatif dimaknai sebagai kemampuan yang membantu manusia untuk dapat berbuat lebih dari kemungkinan rasional dari data dan pengetahuan yang dimilikinya maka stigma ini harus dilihat dari kasus atau tingkat kecacatan itu. Contoh yang paling sederhana, seorang anak autis mampu belajar berpakaian sendiri, atau mampu mandi dan mengatur rambutnya berdasarkan pengalaman dia di urus ibunya. Dia meningkatkan kemampuannya bahkan keluar dari sekedar kemampuan behavioristic saja misalnya secara tibatiba mampu memainkan jingle iklan dari TV pada pianonya. Kiranya tak seorang pun diantara kita yang meragukan bahwa manusia memiliki kemampuan fisik dan kemampuan rasio, baik pasif maupun aktif. Oleh sebab itu kedua kemampuan tersebut tidak mendapatkan sorotan khusus dalam bahasan ini. Mengenai kemampuan kreatif belum ada kata sepakat, namun umumnya diakui bahwa seniman, penemu (investor) dan jenius-jenius memiliki kemampuan tersebut. (Primadi; hal. 35)
20 | A n n e N u r f a r i n a : K r e a t i f d a l a m K o n t e k s P e n d i d i k a n S e n i b a g i Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreatifitas)
1.2. Kreativitas Seni pada Anak-anak Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa stigma di masyarakat Indonesia pada umumnya mengkaitkan kecerdasan hanya dimiliki oleh otak kiri saja. Hal-hal yang sifatnya eksak saja, sehingga ketika seorang anak berminat dalam bidang seni, orang tua cenderung akan menganggapnya sebagai sebuah kegagalan. Stigma ini jelas mengaburkan posisi seni yang seharusnya dipahami sebagai bidang yang juga bermanfaat atau fungsi, misalnya seni sebagai media terapi. Dari beberapa catatan merujuk pada opini orang tua anak-anak penderita autis di sekolah Inklusi Temara Ilmu, ketidak pahaman ini jelas tergambar. Kekecewaan dan harapan yang meredup ketika sang anak hanya berminat pada kegiatan menggambar saja, atau bermain gitar saja. Sehingga di titik ini penulis memandang ada persoalan besar yang membuat anakanak penderita autis ini justru diajuhkan dari peluang pengembangan kemampuannya. Terutama ketika mereka justru hanya difokuskan pada pembelajaran reguler dan ujian-ujian standar nasional dalam konteks pengembangan kognisi. Seni yang dimaknai sebagai proses kreatif, justru bisa membangun secara komprehensif ketiga aspek kemampuan yakni kognisi, afeksi dan motorik. Sudah jelas semua anak-anak memiliki kemampuan kreatif. Ini merupakan hasil penelitian pada masyarakat Barat, yang diakui psikologi sebagai berlaku bagi anak-anak pada umumnya. Jika ada anak yang seolah tidak memilki kreativitas, pasti ada sesuatu yang menghalanginya, untuk dapat memanifestasikan kemampuan
tersebut. Bahkan R.M. Simon seorang seniman yang kemudian menjadi art therapist dari New York, dalam bukunya Symbolic Images in Art as Therapy mengatakan bahwa terhambatnya inisiatif berkreativitas dapat membahayakan fisik dan mental individu. “When Creative initiative is blocked, an adult or child feels helpless and if this enforced passivity is unrelieved, there is a real danger of mental or physical illness. If this occurs, an art therapist can provide the conditions in which creative life can be resumed”. (Simon;hal.1) C. Kreativitas Seni dalam Dunia Skizoprenia Untuk memperjelas seni sebagai bagian dari kreativitas manusia dalam segala strata dan latar belakang serta kondisi kejiwaannya maka perlu dikemukakan dalam bab ini kaitannya. Tidak lain untuk menegaskan bahwa bahkan manusia dengan sakit jiwa pun diketahui berolah kreatif dalam seni. Memang, para ahli jiwa sendiri akan kesulitan membuat batasan yang tegas antara manusia yang sehat dengan yang sakit jiwanya, antara manusia yang normal dengan yang abnormal. Pada umumnya psikologi dan psikoanalisa, berpendapat bahwa mereka yang sakit jiwanya adalah mereka yang karena tidak bisa membedakan antara realita dengan fantasi, selalu hidup dalam alam fantasi, imajinasi, halunisasi, mimpi dan sebagainya, sehingga kehilangan makna waktu dan ruang (space/time sense), bersikap irasional dan sebagainya. Dunia fantasi ini pada umumnya tidak pernah mencapai sublimasi, karena pada mereka yang sakit jiwanya, fantasi tersebut lebih merupakan represi
21 | J u r n a l S e n i R u p a & D e s a i n V o l . 4 N o . 2 2 0 1 3
proyeksi, reaksi, regresi dan sebagainya. (Tabrani; hal. 35) Tentang hubungan kreativitas dan ketidaksadaran, J.L. Davies merasa heran mengapa perhatian manusia yang begitu besar pada psikologi, tapi sangat sedikit perhatiannya dalam memanfaatkan pengetahuan kita tentang ketidaksadaran (unconscious), dalam mengembangkan kemampuan kreatif manusia. Ia menyebutkan bahwa dalam inti manusia (our innermost centers) terpenjara suatu energi intelek (intellectual energy) yang tak terbatas, energi yang merupakan kebahagiaan abadi (eternal delight), padahal kita memiliki kuncinya. Ia menyebut pula bahwa setiap manusia memiliki kemampuan kreatif yang misterius. (Tabrani: hal. 41) Lawrence S. Kubie sementara itu berpendapat, mentalitas manusia memiliki tiga komponen, yaitu conscious, preconscious, dan unconscious. Dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa komponen conscious erat hubungannya dengan kemampuan rasio, komponen preconscious erat hubungannya dengan kemampuan kreatif. Ia berpendapat, meskipun apa yang kita sadari pada umumnya hanya proses conscious, tetapi sesungguhnya kita tidak pernah belajar dan berfikir (learn and think) secara conscious. Dalam kenyataannya, proses conscious bukanlah komponen mental manusia yang utama. Ia juga tidak pernah dapat bekerja sendiri. Siang-malam, tidur-bangun, terus menerus tiada hentinya terjalin suatu kerja sama (interplay) antara ketiga komponen tersebut. Ada petunjukpetunjuk nyata, yang sampai sekarang terabaikan, bahwa yang paling
menentukan, selalu bekerja dan dinamis bukanlah conscious atau unconscious, tapi preconscious. Ia menyatakan pula bahwa kreativitas terdapat pada bayi, bocah, anak, pemuda, remaja, dewasa, sampai mahasiswa dan sarjana-sarjana yang sudah bekerja. Dikatakan juga bahwa kreativitas memiliki, apa yang penulis sebut sebagai gradasi dan level. Level tidak selalu berkesinambungan, tidak pula mengikuti grafik yang dapat diramalkan , memiliki pasang dan surut, masa laten, membeku, dan sebagainya yang periodenya masing-masing berbeda pada individu yang satu dengan yang lain. Bahkan pada individu yang sama, dari yang harian sampai tahunan bahkan puluhan tahun membeku. Untuk kemudian terjadi suatu luapan atau kilatan-kilatan kreativitas. (Tabrani; hal. 42) Tentang hubungan kreativitas dengan proses kreasi, Living A Taylor berpendapat bahwa perkembangan seni dan ilmu bergantung kepada usaha kreatif. Kemajuan pada dasarnya merupakan konsekuensi dari kreativitas manusia. Walter Darwin Teague diantaranya berkata: “Sesungguhnya prestasi-prestasi ilmiah yang terbaik, adalah hasil bersama, baik imajinasi kreatif maupun rasio, dan ia memberikan suatu kejutan dengan kilatan-kilatan insight yang kemilau, jauh sebelum struktur pembuktian yang mendukungnya dapat dibangun. “Sementara itu seorang filsuf pendidikan, John Dewey, melihat adanya hubungan yang nyata (affinity) antara gaya (style) dalam riset dan sains dengan praduga, percobaan, penelitian dan bermain-main (probing, exploring, play) dengan pembawaan alamiah anakanak. (Tabrani;hal. 43)
22 | A n n e N u r f a r i n a : K r e a t i f d a l a m K o n t e k s P e n d i d i k a n S e n i b a g i Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreatifitas)
Buku Leerboek der Psychologie dan buku Mensenkenies cukup dapat memberikan gambaran umum dari pendapat psikologi tentang kreativitas. Psikologi pada umumnya, belum berani secara tegas untuk menyebutkan bahwa semua manusia adalah kreatif, tapi dalam uraian-uraiannya tampak bahwa kreativitas (buku-buku tersebut masih memakai istilah fantasi) ada pada setiap manusia, pada anak-anak, seniman, penemu dan para jenius (fantasi, imajinasi, mencipta). Pada sebagian dari kita ada di dalam menikmati suatu karya seni ataupun penghayatan pengalaman dalam mengikuti pelajaran, kuliah, cerita, pembicaraan dan sebagainya (fantasi, imajinasi, tuntutan). Selain itu disebutkan pula bahwa kreativitas berbeda-beda mutunya pada individu satu dengan yang lain, dari yang hampir tampak sampai para jenius dan seniman-seniman besar. D. Mentalitas Kreatif di Usia Anak-anak Belajar adalah proses memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar ialah ciri penting yang membedakan dari jenis-jenis makhluk lain, itu memberikan manfaat bagi individu dan juga masyarakat. Bagi individu dalam kebudayaan kita, kemampuan untuk belajar secara terus menerus memberikan sumbangan bagi pengembangan berbagai ragam gaya hidup. Dalam konteks belajar, maka sesungguhnya manusia sedang mengembangkan kemampuan kreativitasnya. Perkembangan kreativitas sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognitif individu karena kreativitas sesungguhnya merupakan perwujudan dari pekerjaan otak. Para
pakar kreativitas, misalnya Clark (1988) dan Gowan (1989) melalui Teori Belahan Otak (Hemisphere Theory) mengatakan bahwa sesungguhnya otak manusia itu menurut fungsinya terbagi menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kiri (left hemisphere) dan belahan otak kanan (right hemisphere). Otak belahan kiri mengarah kepada cara berfikir konvergen (convergen thinking), sedangkan otak belahan kanan mengarah kepada cara berfikir menyebar (difergent thinking). Berkenaan dengan teori belahan beserta fungsinya ini (Clark, 1983: 24) mengemukakan sejumlah fungsi otak sesuai dengan belahannya itu sebagaimana tertera pada table berikut ini. Fungsi Belahan Otak Kiri dan Belahan Otak Kanan (Clark, 1983: 24) Jean Piaget dalam hasil risetnya menyatakan tentang mentalitas kreatif pada anak-anak, sebagai berikut: Anak-anak berpikir secara non-discursif (tidak ruwet tapi spontan atau intuitif) dan dapat bergerak sekaligus dari polapola dasar (premis) langsung ke kesimpulan dalam satu tindak intuitif, tanpa pernah diganggu oleh cara berpikir deduktif. Hal ini bahkan juga terjadi saat anak-anak menyatakan pikirannya dengan kata-kata. Pada manusia dewasa hanya peristiwa penemuan (invention) yang memiliki ciri-ciri intuitif ini, dengan pada beberapa tahap dibantu oleh pikiran deduktif. Anak-anak menggunakan skema-skema imagery (bayangan tanggapan atau pengamatan) dan skema-skema analogi, kedua skema yang sangat aktif pada saat berpikir, sungguh pun sulit dilihat gejalagejalanya karena ia seakan hanya untuk
23 | J u r n a l S e n i R u p a & D e s a i n V o l . 4 N o . 2 2 0 1 3
dirinya sendiri (incommunicable) dan bersifat sementara. (hal.47) Tentang hubungan kreativitas dan usia pada manusia dikemukakan oleh Hughes Mearns. Saya rasa setiap orang tahu bahwa kreativitas masih berlimpah-limpah pada tiga kelas terendah dari sekolah dasar, dan masih banyak sisanya di kelas empat dan lima, sungguhpun ia mulai menghilang dengan cepat sebagai akibat desakan tugas-tugas sekolah. Di kelas enam dan tujuh ia hanya tampak pada beberapa anak saat bercanda, tapi dikelas delapan ia benar-benar telah hilang. Benarkah demikian? Adalah keyakinan saya bahwa kreativitas sesungguhnya hanya mengundurkan diri dari pandangan publik. Dunia sekolah tidak menghargai hasil-hasilnya, menolaknya seakan-akan ia tak ada gunanya, bahkan terkadang dianggap tak bermoral (immoral) untuk memilikinya. Primadi Tabrani menekankan pula, bahwa dalam konsep kreatif tersembunyi sikap bermain, dengan letupan-letupan ide. “Demikianlah jadinya, kira-kira pada kelas delapan, kreativitas merupakan kenakalan yang dicintai pemiliknya secara sembunyi-sembunyi, untuk akhirnya terpaksa menyerah dan menghilang untuk selama-lamanya…” (Tabrani; hal. 48) Di bagian lain pada halaman yang sama dikatakan pula nahwa: Setiap orang adalah seniman, siapa saja yang mencipta (to create) adalah seniman dan bukankah tidak seorangpun yang tidak mencipta? ….. dari yang praktis nol pada saat kita semata mengikuti kemauan orang lain, sampai ke self ekspresi yang lengkap. Ia
adalah milik individu dan kita harus belajar menghargainya, atau kita akan sama sekali merusak milik individu yang sangat berharga itu. Manusia adalah artis yang kreatif pada setiap saat. Juga Florence Cane yakin, kemampuan kreatif dimiliki setiap manusia sejak ia lahir. Ia menentang pendapat banyak pendidik yang berpendirian bahwa kemampuan kreatif menghilang menjelang dewasa dan yakin perkembangan dan pertumbuhan manusia pada usia-usia tersebut justru memberikan peluang yang lebih baik bagi kreativitas daripada menghambatnya. Bahwa hal ini tidak terjadi adalah karena kesalahan dalam kualitas pendidikan kita. Sementara itu riset dari E Paul Torrance bersama timnya, selama kira-kira lima tahun menyelidiki kemampuan kreatif ini, diantaranya dengan tes-tes nonverbal originality pada berbagai budaya yang berbeda, memberikan hasil-hasil sebagai berikut: Kemampuan kreatif tidak menunjukan tanda-tanda menurun di kelas empat pada bangsabangsa Samoa, India dan Negro Amerika. Di Amerika, Jerman, Australia, kemampuan kreatif tampak menurun setelah kelas 4. Menurun dan menghilangnya kreativitas bukanlah suatu pertumbuhan manusia yang wajar, tapi akibat terlalu dipentingkannya conformity dan standarisasi pada aturan-aturan dan norma-norma (rules & regulation) pada masyarakat modern. (Tabrani; hal. 49) Dan akhirnya perlu dikemukakan pendapat Viktor Lowenfeld, ekspresi diri yang sejati harus melalui identifikasi – diri (selft–identification) dan bila demikian maka ia adalah ekspresi
24 | A n n e N u r f a r i n a : K r e a t i f d a l a m K o n t e k s P e n d i d i k a n S e n i b a g i Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreatifitas)
kreatif. Dari uraiannya, penulis mengambil kesimpulan, yang dimaksudkan dengan identifikasi-diri tersebut berhubungan dengan pengalaman yang dihayati (gee-leefd, lived) dan bukan yang dijalani (be-leefd, experience) seperti yang telah dimukakan oleh G. Van der Leeuw dan J. Maritain sebelumnya. Selanjutnya ia berpendapat, kreativitas dimiliki oleh semua manusia, bahkan yang cacat secara fisik maupun mental. Kreativitas merupakan salah satu insting, spirit, kualitas intrinsik, yang dimiliki sejak lahir. Ia menyebutkan pula bahwa penemuan-penemuan psikologi terbaru menyebutkan kreativitas sebagai salah satu golongan dasar, yang tanpanya berarti bukan manusia, dan yang membedakannya dengan binatang. Manusia dapat mencipta, binatang tidak. (Tabrani; hal.50) 2. PROSES INTERRELASI, INTERAKSI DAN INTEGRASI Dikatakan bahwa penderita autis mempunyai kepekaan terhadap hal-hal yang bersifat audio dan visual yang terstimulasi oleh kejadian sehari-hari. Dalam hal ini, Kuntz menggaris bawahi bahwa kondisi tersebut sebagai kelebihan mereka. Bisa jadi, bila hal ini merupakan kekuatan pada penderita autis maka kekuatan inilah yang menjadi peluang untuk membangun kemampuan mereka. Proses interelasi, interaksi dan integrasi dalam sub bab ini penulis maksudkan agar didapat gambaran bagaimana pola sikap interelasi, interaksi dan integrasi manusia pada umumnya, sehingga bisa didapat gambaran ketiga aspek ini pada penderita autis, khususnya anak-anak.
Mengenai proses interasi, interaksi dan integrasi ini, A. Willek dan K. Goldstein menyebutkan apa yang disebutnya sebagai synaesthesie, yakni saling mempengaruhi antara indra. Misalnya ada manusia yang bila mendengar nadanada suara, maka ia akan melihat nadanada warna atau sebaliknya. Florence Cane, misalnya adalah salah seorang yang memilliki kemampuan tersebut. Ia melihat gambar visual yang berwarna saat ia mendengar nada-nada lagu yang mengharukan, dan gambar tersebut diungkapkannya dalam lukisan. Sebagai seorang pendidik seni rupa ia menggunakan prinsip tersebut. Melalui integrasi antara indra gerak, keseimbangan, dan pendengaran dalam irama (rhythm) dengan atau tanpa tambahan suara dari luar (biasanya suara muridnya sendiri), ia mengusahakan agar anak didiknya dapat mencapai synaesthesie dan mencetuskan inspirasi-inspirasi visual yang diungkapkan lewat lukisan. (Tabrani; hal. 76) W.N.Denber dalam penelitianpenelitiannya antara lain menyebutkan adanya interaksi sensoris, yaitu pendekatan (reciprocal approach) antara pelbagai indra. Misalnya interaksi sensoris antara indra-indra penglihatan dan pendengaran, penglihatan dan penciuman, penglihatan dan peraba, penglihatan dan pencecap, pendengaran dan pencecap, pendengaran dan penciuman, terutama dalam hal kepekaan (acuity), lama dan kejelasannya (after image) serta kualitas nada-nadanya. Ia menyebutkan pula interaksi Sensoris Motoris, yaitu bahwa setiap pengalaman atau persepsi pada hakikatnya adalah hasil kerja sama sensory analyser dengan motor
25 | J u r n a l S e n i R u p a & D e s a i n V o l . 4 N o . 2 2 0 1 3
analyser. Sherington, fisiolog Inggris yang terkenal berpendapat bahwa seluruh bagian-bagian dari susunan saraf saling berhubungan, dan tak satu bagian pun dari susunan saraf tersebut yang dapat bereaksi tanpa mempengaruhi atau dipengaruhi oleh bagian-bagian susunan saraf lainnya. Seluruh susunan saraf tersebut tidak pernah berada dalam keadaan istirahat yang absolute. Watson, pelopor Behaviorism di Amerika, sudah mengemukakan teori tentang peripheral thinking yang menentang teori central thinking disekitar tahun 1914. Belakangan ini baru kemudian terbukti secara elektronis, bahwa kita berpikir tidak hanya dengan otak, tapi dengan keseluruhan organism kita. (hal. 77) Bagi beberapa anak penderita autis yang sempat penulis bimbing, dalam program kreatif yang mengitegrasikan visual dan audio, kegiatan menggambar yang diawali dengan menyanyi bersama-sama terlihat diminati dan mereka mau berpartisipasi. Seorang murid bernama Selvi, penderita autis yang sekarang berumur 16 tahun. Termasuk penderita autis dalam kategori low behavior, sering tantrum yang disertai dengan menyakiti diri sendiri. Diawal pertemuan menunjukkan sikap yang menolak dan tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan. Namun dalam pertemuan ke empat, subjek sangat antusias dan menjadi satu-satunya siswa yang membuat tokoh imajinasi terbaik. (Program imajinatif melalui kegiatan menggambar). Termasuk mau menyanyi walaupun dengan suara dan kalimat yang tidak jelas. Lain halnya dengan Edwin, penderita autis di sekolah inklusi ini sangat berminat dalam program.
Mau berinteraksi dan mau terlibat dalam kegiatan, program yang mengintegrasikan dua hal tadi; audio dan visual. Ketika diminta mempresentasikan karyanya, Edwin melakukan dengan sukarela walaupun dengan kata-kata dan suara yang tidak jelas. Contoh lain yang berhubungan dengan program kreatif yang melibatkan unsur interrelasi, integrasi dan interaksi adalah Jovi. Penderita autis dalam kategori ringan dan mempunyai tingkat intelektualitas tinggi. Untuk hal-hal yang teknis Jovi mau melakukan dengan baik, namun sangat takut untuk keluar ‘aturan’ yang sudah diterapkan orang tuanya. Misalnya, bahwa ketika pesawat mengudara posisi awan harus di atas pesawat tersebut. Dia tampak frustasi ketika merasa telah membuat kesalahan dengan menggambar awan di bawah pesawat dan berusaha menghapusnya sampai kertasnya sobek. Atau, kertas gambar harus selalu diberi garis pinggir karena menurut ibunya hal tersebutlah yang paling benar dan rapih. Namun kekakuan tersebut mencair ketika penulis ajak untuk berkolaborasi dalam tim vokal grup yang akan tampil bersama teman-teman sekelasnya. Antara gerak, nyanyian dan stimulus visual yang sebelumnya penulis sampaikan, memotivasi Jodi berpartisipasi dengan riang gembira, menemukan gerak tarian yang luwes dan berminat untuk belajar memainkan gitar. Hanya dua kali latihan, Jovi langsung bisa memainkannya dan memilih bermain gitar untuk lagu kedua setelah sebelumnya turut menyanyi dan menari. Namun, sayangnya orang tua Jovi menganggap bahwa kemampuan tersebut bukanlah hal yang menjanjikan
26 | A n n e N u r f a r i n a : K r e a t i f d a l a m K o n t e k s P e n d i d i k a n S e n i b a g i Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreatifitas)
untuk masa depannya, sehingga Jovi akhirnya dipindahkan ke sekolah yang lebih fokus membangun kemampuan otak kirinya. Melihat ke belakang ada kondisi yang tergambarkan sebagai representasi pendapat Primadi Tabrani yakni: .....di Amerika, Jerman, Australia, kemampuan kreatif tampak menurun setelah kelas 4. Menurun dan menghilangnya kreativitas bukanlah suatu pertumbuhan manusia yang wajar, tapi akibat terlalu dipentingkannya conformity dan standarisasi pada aturan-aturan dan norma-norma (rules & regulation) pada masyarakat modern. (Tabrani; hal. 49) Jelasnya, kasus seperti Jovi akan membuat melemahnya kemampuan kreatifnya. “When Creative initiative is blocked, an adult or child feels helpless and if this enforced passivity is unrelieved, there is a real danger of mental or physical illness. If this occurs, an art therapist can provide the conditions in which creative life can be resumed”. (Simon;hal.1) Robert Wells menyebutkan bahwa proses seleksi atas stimulus yang datang dari luar sudah terjadi pada alat indra dan proses coding serta decoding ini berlangsung pula sepanjang perjalanan stimulus tersebut pada urat-urat saraf penghubung, serta pada sinapssinapsnya (stasiun-stasiun relay), sehingga stimulus yang terpenting saja yang bisa mencapai otak, ia tidak akan bisa menerima dan memproses semua rangsangan tersebut. Dari sini kita bisa melihat adanya proses interrelasi, interaksi dan integrasi yang rapih.
2.1. Keistimewaan Mata Berbeda dari indra-indra lainnya (yang terbentuk dari superficial ectoderm embryo), maka mata kita merupakan satu-satunya indra yang sebagian terbentuk dari brain ectoderm. Sesungguhnyalah mata kita merupakan alat indra yang lebih kompleks dari yang pernah kita duga. Mata kita terbentuk dari tiga lapisan embrio. Lensa, lapisan luar kornea, kelopak mata, conjunctiva dan perlengkapan air mata, seperti pula indra-indra yang lain, terbentuk dari superficial ectoderm dan karenanya matang terlebih dahulu.Sciera, Choroid, vitreus, dan aquous humour, iris dan kornea terbentuk dari lapisan mesoderm embryo, yaitu lapisan yang antara lain membentuk otot-otot dan karenanya juga matang terlebih dahulu. Retina dan syaraf penglihatan terbentuk dari brain ectoderm, tepatnya dari masa kelabu cerebral cortex. Seperti pula cerebral cortex, maka retina dan syaraf penglihatan belum siap pada saat lahir, dan masih harus melalui proses pembentukan, pertumbuhan dan pematangan secara bertahap. Sehingga meskipun mata belum siap saat lahir, tapi alat optik dan mekanismenya telah siap. (Tabrani; hal. 77) Jadi semenjak pembentukannya, mata kita merupakan suatu proses interrelasi, interaksi, dan integrasi di antara indra peraba, indra gerak motoris dan juga indra keseimbangan melalui t.n.r dan refleks postural dengan indra penglihatan. Robert Froman bahkan secara tegas mengatakan bahwa penglihatan (sight) sebaiknya dipahami sebagai hasil bersama berbagai indra. (hal. 78) Teori ini mendukung penulis dalam konteks kerja lapangan, asumsi bahwa
27 | J u r n a l S e n i R u p a & D e s a i n V o l . 4 N o . 2 2 0 1 3
kegiatan menggambar sebagai aktivitas seluruh sensori; penglihatan, pendengaran dan motorik termuat dalam sensor penglihatan yakni mata. 2.2. Memori, Imajinasi dan Kreativitas Sederhananya, memori adalah gudang tempat menyimpan imaji-imaji langsung yang dianggap perlu disimpan. Kreativitas memegang peranan penting dalam proses integrasi memori dan membantu diperolehnya memori yang bermutu. Imajinasi adalah mekanisme untuk mengambil kembali imaji yang tersimpan dalam memori, baik dalam bentuk asli maupun kombinasi. Kreativitas berperan penting dalam mengoordinasikan kerja imajinasi. Tentu saja gambaran ini terlalu sederhana, dan dengan memanfaatkan hasil-hasil penyingkapan serangkaian akibat terlalu mementingkan beberapa hal, seperti di Bab II, maka permasalahan memori, imajinasi dan kreativitas ini mesti didudukkan dalam proporsi yang wajar. Dikatakan bahwa penderita autis tidak berimajinasi, terutama untuk hal-hal tertentu misalnya imajinasi bermain, atau permainan kata-kata. Namun, belum terlalu jelas bagaimana dengan imajinasi visual. Karena pada kenyataannya, anak-anak penderita autis mampu membuat sesuatu yang imajinatif sifatnya misalnya; membuat topeng versi dirinya sendiri atau tokoh kartun versi khayalannya. 3. PENDIDIKAN SENI BAGI AUTISM Seni berpotensi menawarkan pada semua anak-anak kesempatan untuk mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman. Seorang anak akan melukis atau menggambar apa yang dia telah alami,
dikaitkan dengan apa yang dia gambar sehingga mendorong tahap lebih lanjut yakni membuat koneksi. Seni menawarkan potensi untuk bekerja dengan cara yang berlapis-lapis, dalam konteks memotivasi, bermakna dan energi. Hal ini dimungkinkan untuk memanfaatkan proses bermain (dengan cara alami pada proses belajar semua anak). (Peter, 1998, hal.171) Pendidikan seni dapat sangat meningkatkan kualitas hidup dari seorang anak dengan autisme. Ada outlet emosional dan kreatif yang luas bisa diperoleh melalui studi seni. Anakanak dengan autisme akan memperoleh keterampilan hidup dan menemukan diri mereka pada jalan penemuan diri melalui karya seni mereka (Petrus, 1998). Dengan mencerahkan anak, pendidikan seni melepaskan potensi yang belum dimanfaatkan dalam tiap individu dengan autisme. Akhirnya, pendidikan seni dapat memberikan anak dengan autisme kesempatan untuk bersenang-senang. Makalah ini akan mengeksplorasi cara-cara di mana pendidikan seni dapat digunakan untuk memperkaya kehidupan mereka. Dalam rangka untuk lebih memahami anak-anak yang memperoleh manfaat dari pendidikan seni, harus terlebih dahulu ditetapkan kondisi autism. Autisme didefinisikan oleh IDEA sebagai cacat perkembangan yang mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal dan interaksi sosial, umumnya terlihat sebelum usia 3 tahun ..." (Heward, 2003). Gejalanya antara lain melakukan kegiatan berulang dan gerakan stereotip, resistensi terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian, dan tanggapan biasa untuk pengalaman sensoris" Sering
28 | A n n e N u r f a r i n a : K r e a t i f d a l a m K o n t e k s P e n d i d i k a n S e n i b a g i Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreatifitas)
tantrum atau mengamuk karena hal-hal yang tidak dapat dipahami. Autisme pada setiap individu berbeda. Pada bidang pendidikan khusus sering disebut spektrum autisme khususnya ketika mempertimbangkan diagnosis. Spektrum autisme merupakan varians yang luas pada setiap anak tertentu. Penyebab autisme masih belum jelas. Penelitian saat ini menunjukkan bahwa genetika dan keturunan mungkin memainkan peran dalam terjadinya autisme. Pendidikan seni hanya salah satu metode yang telah terbukti efektif bagi mereka dengan autisme (Osborne, 2003, Kellman, 2004). Pendidikan Seni merupakan bidang yang perlu didefinisikan lebih lanjut (Petrus, 1998). Dalam kasus ini, pendidikan seni digunakan untuk menjelaskan pendidikan hal berpusat pada kurikulum seni. Hal ini sering diasumsikan bahwa ada sedikit perbedaan antara pendidikan seni dan terapi seni. Pada kenyataannya, ada perbedaan besar antara keduanya. Seni terapi adalah bentuk pengobatan yang diterima dalam komunitas kebutuhan khusus. Sering digunakan ketika bekerja dengan siswa dengan kebutuhan khusus, terapi seni menawarkan kombinasi praktek terapi dan ekspresi emosi. Jangan salah, keduanya menerapkan penggunaan seni dalam konteks yang positif untuk dicatat respon artistik dari siswa. Keduanya dapat digunakan dalam kaitannya dengan lebih baik kehidupan anak-anak (Petrus, 1998). Namun, pendidikan seni tidak berusaha untuk mengekstrak informasi dari seorang individu dalam rangka untuk mengobati gangguan atau kondisi. Terapi Seni dapat digunakan bersama dengan jenis lain dari terapi, seperti ujian psikologis dan terapi
musik. Pendidikan seni merupakan upaya berbasis kurikulum dimaksudkan untuk mengembangkan intelektual dan kreativitas kehidupan individu. "Seorang guru seni akan bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan anakanak, keterampilan dan pemahaman" (Petrus, 1998). Ada area abu-abu antara terapi dan pendidikan, keduanya adalah 'terapi' dalam arti bahwa mereka mengakui nilai dari proses kreatif untuk melepaskan ketegangan dan mendukung pemahaman perasaan (Petrus, 1998). Perbedaan antara dua bidang yang jelas, tetapi pesannya sama yakni membantu anak-anak melalui karya seni. Ada sejumlah manfaat besar yang akan diperoleh untuk anak dengan autisme dalam pendidikan pengenalan seni. Seni dapat mengenalkan anak-anak pada kreatif dan mengekspresikan emosional diri yang lebih baik. Manfaat pendidikan seni juga dapat mencakup peningkatan keterampilan motorik halus anak dan penemuan diri. Yang terpenting, seni memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi anak dengan autisme. Seni memberikan kesempatan untuk menjalin kebersamaan antara anak autis dan terapis atau guru, untuk terbangunnya komunikasi verbal dan cara mengetahui pengembangan kognitif sebagaimana subyek kurikulum lainnya seperti matematika atau ilmu eksak lain. Meskipun kasus ini dapat dibuat dengan pendekatan kreatif, namun seni memberikan akses khusus untuk mengetahui cara-cara yang didasarkan pada kreativitas, dan kesadaran spiritual dan estetika. (Osborne, 2003)
29 | J u r n a l S e n i R u p a & D e s a i n V o l . 4 N o . 2 2 0 1 3
4. KESIMPULAN Kreativitas adalah hasil lain dari pendidikan termasuk pembelajaran seni, intinya, kreativitas merupakan elemen penting dalam praktek seni. Seni tidak hanya mendorong ekspresi emosional, tapi juga meningkatkan sikap kreatif itu sendiri. Memecahkan masalah adalah salah satu dari banyak manfaat yang dihasilkan melalui aktivitas kreatif termasuk seni rupa. Kemampuan untuk memecahkan masalah bisa menjadi keterampilan yang berharga, terutama untuk anak dengan autisme. Anak-anak dengan autisme sering berpikir dalam pola dan menikmati pengulangan, khususnya karena dalam kondisi pengulangan tersebut terganggu, maka anak autis dapat menjadi tidak stabil dan agresif. Pembelajaran melalui seni merupakan proses pemecahan masalah yang dapat menyediakan mekanisme pengulangan tersebut. Kreativitas adalah pembelajaran itu sendiri, dan seni dapat mengakomodir keduanya. Anak-anak dengan autisme sering dilihat ketidakberdayaannya saja, terutama dalam konteks belajar sehigga sulit untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya. Padahal, pendidikan seni memungkinkan anak-anak dengan autisme memperluas proses berpikir mereka melalui pemecahan masalah artistik. Dari semua rujukan teori, tergambar bahwa pemahaman kreatif dalam konteks seni digambarkan sebagai sebuah hakekat manusia. Penderita autis sebagaimana manusia pada umumnya berkemampuan kreatif, namun dalam level yang berbeda antara satu individu dan individu lainnya. Sekarang ini, pada umumnya para
peneliti telah sepakat bahwa semua anak-anak memiliki kemampuan kreatif. Ini merupakan hasil penelitian pada masyarakat Barat, yang diakui psikologi sebagai berlaku bagi anak-anak pada umumnya. Jika ada anak yang seolah tidak memilki kreativitas, pasti ada sesuatu yang menghalanginya, untuk dapat memanifestasikan kemampuan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA 1. Chris Williams and Barry Wright, (2004) How to Live with Autism and Asperger Syndrome –Dian Rakyat, Jakarta 2. Carole Gray and Julian Malins, (2004), Visualizing Research, Ashgate, USA 3. Creswell, John.W. (2007), Qualitative Inquiry & Research Design-Choosing Among Five Approaches, Sage Publication, London. 4. Djohan, (2006), Musik Terapi, Galang Press 5. Dr. H.Syamsu Yusuf LN.,M.Pd. (1995) Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, Bandung 6. Kientz, M.A., & Dunn, W. (1997). Comparison of the performance of children with and without autism on the sensory profile. The American Journal of Occupational Therapy. 7. Liebmann, Marian. (1986),Art Therapy for Groups, Brookline Books, Cambridge, Massachusetts 8. Ludlow,Amanda K. (2006), The Effect of Colored Overlays on Reading Ability in Children with Autism, Journal, Journal of Autism and Developmental Disorders, Vol. 36, No. 4.
30 | A n n e N u r f a r i n a : K r e a t i f d a l a m K o n t e k s P e n d i d i k a n S e n i b a g i Anak Autis (Sebuah Tinjauan Teoritis tentang Kreatifitas)
9. Munandar, Utami.Prof.Dr., (2004), Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat, Rineka Cipta, DEPDIKNAS. 10. M. Edelson,Stephen. (1992). Social Behavior in Autism,Center for the Studi of Autism, Salem, Oregon 11. Syarief, Achmad. (2006), Behavioral research, ITB 12. Pink, Daniel.H., (2005), A Whole New Mind, Penguin Group, USA 13. Rasmussen Hatch, Cindy. (1995) Sensory Integration, Therapy, Nortwest, Beaverton 14. R.M.Simon, (1997). Symbolic Images in Art As Therapy, Routledge, London and Newyork. 15. Jane Stokes,Jane. (2006), How to Do Media and Cultural Studies, Panduan untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, Bentang, Yogjakarta. 16. Tabrani, Primadi, (2007), Kreativitas Humanitas Manusia, Jalasutra, Bandung 17. Tabrani, Primadi. (2005), Bahasa Rupa, Kelir, Bandung 18. Wardhani, Yurike Fauzia (2009), Autisme, Terapi Medis Alternatif, Penerbit Anggrek, Yogjakarta. 19. Waterhouse, Stella. (1950), A Positive Approach to Autism, Jessica Kingsley Publisher, London, England.
31 | J u r n a l S e n i R u p a & D e s a i n V o l . 4 N o . 2 2 0 1 3