SUSUNAN EDITOR JURNAL EKOTONIA
PENANGGUNG JAWAB : Henny Helmi, S.Si., M.Si (Ketua Jurusan Biologi)
KETUA REDAKSI : Budi Afriyansyah, S.Si., M.Si.
KETUA TIM EDITOR : Dr. Yulian Fakhrurrozi, S.Pd., M.Si.
ANGGOTA TIM EDITOR : Nur Annis Hidayati, S.Si., M.Sc.
Anggraini, S.Si., M.Si.
TIM TEKNIS : Novi Handayani, A.Md. Herbowo Dwi Warasto, A.Md. Siti Aminah, S.Si.
ALAMAT REDAKSI : JURUSAN BIOLOGI GEDUNG TELADAN, KAMPUS TERPADU UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG, BALUNIJUK HP. 081367155581; FAX. 0717-421303 LAMAN : http://journal.ubb.ac.id EMAIL :
[email protected]
DAFTAR ISI
Keanekaragaman Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Bangka dalam Berkebun Lada (Studi Kasus di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka) Henri, Yulian Fakhrurrozi, Dian Akbarini ...................................................................................... 1 Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat Tradisional Oleh Etnik Lom Di Bangka Budi Afriyansyah, Nur Annis Hidayati, Hapis Aprizan ...............................................................8 Identifikasi Dan Prevalensi Cacing Intestinal Pada Kijang Bangka (Muntiacus Muntjak Bancanus) Dari Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka Budi Afriyansyah, Nur Annis Hidayati, Randy Syafutra............................................................... 19 Antibacterial Activity of Belilik (Brucea javanica (L).Merr) and Benta (WikstroemiaandrosaemofoliaDecne) toInhibitthe Enteropathogenic Bacteria Henny Helmi, IdhaSusanti, Noptian Asmara Agung, SadamKusen ............................................... 26 Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sapu-sapu (Baeckea frutescens), Kertau (Morus alba) dan Beluntas (Pluchea indica) dalam Menghambat Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro Pancawati, Henny Helmi, Yulian Fakhrurozi ................................................................................. 36 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin (Rhodamnia cinerea Jack) Terhadap Bakteri Enteropatogen SitiAminah, Henny Hemi, IdhaSusanti ........................................................................................... 46 Identifikasi Habitat Lebah (Apis dorsata) Penghasil Madu Pelawan Di Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat1) Melda Trisnawati Saragih2), Mirza Kurnia, Fitriyani, Nur Annis Hidayati .................................... 56
Keanekaragaman Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Bangka dalam Berkebun Lada (Studi Kasus di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka) Henri1*, Yulian Fakhrurrozi1, Dian Akbarini2 3Badan
1Jurusan Biologi, Universitas Bangka Belitung Perencanaan Pembangunan Daerah, Statistik dan Penanaman Modal, Bangka Tengah
Abstrak lndonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang amat tinggi. Salah satu komoditas perkebunan yang paling dominan dibudidayakan masyarakat Bangka adalah lada. Untuk mengetahui pola pemanfaatan sumberdayatumbuhan oleh masyarakat Bangka, perlu dilakukan studi mengenai pemanfaatan tumbuhan, khususnya dalam berkebun lada. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan inventarisasi dan pengetahuan pemanfaatan tumbuhan dan upaya konservasi. Penelitian dilaksanakan dari Oktober 2013 sampai Februari 2014, di Desa Jada Bahrain, Jurung dan Kimak, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Metode penelitian yang digunakan dengan survei eksploratif meliputi wawancara, observasi dan identifikasi tumbuhan. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 53 jenis dalam 31 famili tumbuhan digunakan oleh masyarakat Bangka untuk berkebun lada. Sebanyak 42 jerus dimanfaatkan sebagai tiang panjat lada, 17 jenis sebagai pelindung lada dan 7 jenis sebagai tali ikat sulur lada. Pemanfaatan tumbuhan ini juga bisa saling tumpang-tindih dalam segi pemanfaatannya. Jenis tumbuhan yang terancam sulit didapatkan dan harus dilestarikan yaitu: Polyalthia sumatrana, Shorea beIangeran, Cantleya corniculata dan Aporosa microcalyc. Kata kunci:keanekaragaman, pemanfaatan, berkebun lada, Bangka, konservasi Abstract Indonesia is rich with natural resources and biodiversity. One of the most dominant plantation commodities in Bangka was pepper. To determine the pattern of plant diversity utilization, there should be a study about plant utilization, especially in pepper plantation. The purpose of this research was to conduct an inventory of plants utilization knowledge and conservation effort. The study was conducted from October 2013 to February 2014 in Jada Bahrain, Jurung and Kimak village, Merawang district, Bangka regency. The study used explorative survey that involves interview, observation and plant indentification. Data were analyzed by descriptive qualitative and quantitative method. The result of study shows that there are 53 species in 31 families of plants that are utilized by the society for planting pepper. As many as 42 species are used as pepper climbing pole, 17 species as the cover of pepper and 7 species as tendrils suspender of pepper. The utilization of these plants can be overlapping. The species of endangered plants that are difficult to obtain should be conserved, they are: Polyalthia sumatrana, Shorea belangeran, Cantleya corniculata and Aporosa microcalyx. Keywords: diversity, utilization, pepper planting, Bangka, conservation
PENDAHULUAN Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (Indrawanet al., 2007), Keanekaragaman tumbuhan dipadukan dengan keragaman suku bangsa, akan melahirkan sistem pengetahuan dan kearifan lokal tentang hubungan budaya satu masyarakat dengan alam nabatinya (Irwan et al., 2013). Hutan merupakan sumberdaya alam yang Alamat Korespondensi Penulis: Henri Email :
[email protected] Alamat: Kampus Terpadu Universitas Bangka Belitung, Bangka 33172, HP: 081918902160
sangat penting dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan diantaranya adalah kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa buruan (Marispatin, 2010). Pembukaan lahan baru, terutama hutan adalah lahan yang sama sekali belum pernah dibuka dan ditanami jenis tanaman apapun (Sarpian, 2003). Sektor pertanian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih di dominasi oleh sub sektor perkebunan. Salah satu komoditas perkebunan yang paling dominan adalah usahatani lada. Sejak zaman Belanda, tanaman
1
KeanekaragamanTumbuhan yang DimanfaatkandalamBerkebunLada(Henri, et al.)
lada di Bangka dikenal sebagai lada kualitas tinggi yang terkenal di dunia internasional dengan sebutan “Muntok White Pepper” (Sarpian, 2003, & Irawati et al., 2005).Usaha lada mengalami degradasi, dalam dasawarsa terakhir usaha tani lada mengalami degradasi, baik luas areal maupun produksinya. Menurut data tahun 2008, areal lada tinggal 60% dari tahun 2000 dan produktivitas menurun dari 990 kg menjadi 870 kg/ha atau penurunan 1,2%/tahun. Jika pada awal 2000-an luas areal lada mencapai 58 ribu ha dengan produksi 57,60 ribu ton, pada akhir dasawarsa hanya tinggal 35 ribu hektare dengan produksi 30,45 ribu ton (Wahyudi, 2010). Adanya pemanfaatan tumbuhan tersebut oleh masyarakatsedikit-banyak memberikanpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan hidup seharihari kepada masyarakat lokal. Secara tradisional,masyarakat memiliki kearifan lokal yang merupakan potensi dan kekuatan dalam pengelolaan suatu kawasan hutan (Nopandry, 2007). Untuk mengetahui pola pemanfaatan sumberdaya tumbuhan oleh masyarakat umumnya di Bangka Belitung, perlu dilakukan studi mengenai pengetahuan yang ada di masyarakat setempat, khususnya mengenai pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat setempat dalam berkebun lada. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2013 sampai Februari 2014, di Desa Jada Bahrain, Desa Jurung dan Desa Kimak, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Penelitian ini secara umum menggunakan metode survei eksploratif. Sifat penelitian ini yaitu kreatif, fleksibel, terbuka dan semua sumber dianggap penting sebagai sumber informasi.Menurut Nazir (2005), metode survei ini juga mengevaluasi dan membandingkan terhadap hal-hal yang dikerjakan orang dalam
mengenai situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa mendatang. Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan informasi dilakukan dengan sistem wawancara semi-terstruktur terhadap informan kunci yang dilakukan secara purposive sampling (Primadesi, 2010). Informan dalam penelitian ini adalah petani dan masyarakat yang memiliki keahlian dan pengalaman yang lama dalam mengenal jenisjenis dan manfaat dari tumbuhan yang diketahui oleh masyarakat serta manfaat lainnya selain sebagai untuk berkebun lada. Pengumpulan informasi dibuktikan dengan catatan atau lembar isian dan rekaman wawancara. Pada metode ini akan dilengkapi dengan dokumentasi rekaman, gambar atau foto dan koleksi tumbuhan yang akan diherbarium. (Suyonotrimo, 1987). Identifikasi spesies tumbuhan yang belum diketahui, dilakukan cek silang dengan koleksi Herbarium Bangka Belitungense dan berbagai buku/literatur tentang tumbuhan yang ada seperti Tumbuhan Berguna Indonesia I-IV (Heyne, 1987), Flora of Java (Backer & Brink, 1968), dan Flora Malesiana (Cheek & Jebb, 2001). Pengolahan data dapat dilakukan dengan tabel tabulasi dan diagram. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif (Sarwono, 2006). Analisis deskripsi kualitatif akan mendeskripsikan tingkat aktivitas masyarakat di dalam pemanfaatan kawasan hutan. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan unit analisis yang didasarkan pada data primer dan data sekunder. Hasil analisis kemudian diklasifikasikan sesuai dengan tujuan penelitian (Asrianny& Dasir, 2012). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan Lokal tentang Berkebun Lada Berdasarkan pengetahuan dari 30 informan, diketahui bahwa masyarakat di Desa Jada Bahrain, Desa Jurung dan Desa Kimak memiliki pemahaman tersendiri tentang berkebun lada (kebon sahang; dalam bahasa lokal Bangka) sebagai bagian dari pengetahuan lokal dan kearifan tradisional. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 53 jenis tumbuhan yang dapat digunakan untuk berkebun lada. Hal ini menunjukkan bahwa cukup tinggi pemanfaatan
2
tumbuhan oleh masyarakat Bangka jika dibandingkan dengan masyarakat Melayu Belitung, karena berdasarkan penelitian Fakhrurrozi (2001), menyebutkan bahwa terdapat 25 jenis tumbuhan buah liar edibel (BLE) yang dimanfaatkan juga untuk berkebun lada. Adapun menurut masyarakat setempat, manfaat yang bisa digunakan dari tumbuhan untuk berkebun lada, yaitu sebagai: tiang panjat junjung; dalam bahasa lokal Bangka), pelindung lada (tudungan; dalam bahasa lokal Bangka) dan tali ikat sulur lada (pengikat; dalam bahasa lokal Bangka). Tiang panjat (junjung) ini sendiri terbagi menjadi dua yaitu sebagai tiang panjat sementara (junjung bebulak, dalam bahasa lokal Bangka) dan tiang panjat tetap (junjung tetap; dalam bahasa lokal Bangka). Sementara itu junjung tetap terbagi lagi menjadi junjung mati dan junjung idup, sedangkan untuk junjung idup bisa dikembangkan atau dibudidayakan melalui sistem stek batang dan tanam biji atau anakan Keanekaragaman tumbuhan untuk berkebun lada Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang menjadi responden, terdapat 32 famili yang terdiri atas 53 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan baik sebagai junjung, penutup maupun tali ikat pada lada, dilihat dari familinya jumlah jenis terbanyak termasuk dalam famili Myrtaceae yaitu 15 jenis, masih cukup tinggi tingkat keanekaragaman tumbuhan di daerah tersebut. Tabel 1.Perbandingan pemanfaatan masyarakat untuk berkebun lada Penggunaan Tiang panjat lada Penutup lada Tali ikat lada Total/Desa
Jada Bahrain
Jumlah jenis tumbuhan (/Desa)
tumbuhan
Total
oleh
(%)
Jurung
Kimak
jenis
23
29
27
42
79,24
14
11
14
17
32,07
4 33
5 36
6 40
7
13,07
Berdasarkankeanekaragamannya, famili Myrtaceae lebih mendominasi, hal ini diasumsikan karena: a) Beberapa jenis tumbuhan yang tergolong dalam famili ini memang banyak dan sering dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun lada dibandingkan dengan famili lainnya; b) Famili Myrtaceae ini umumnya mampu dan sukses bertahan pada kondisi tanah masam dan tingkat stress famili Myrtaceae bisa
menghasilkan metabolit sekunder, sehingga tumbuhan ini kebal akan kondisi tanah yang masam. Senyawa yang dihasilkannya berupa fenol, salah satunya tanin; c) Dari segi struktur/sifat kayu umumnya lebih kuat dan tidak mudah buruk. Adapun kualitas kayu yang bermanfaat untuk bekebun lada juga termasuk dalam tingkatan berkualias baik, seperti: Eugenia lepidocarpa (samak), Rhodamnia cinerea (merapin),danTristaniopsis merguensis (pelawan). Dari 30 informan di Desa Jada Bahrain, Jurung dan Kimak, perbandingan tingkat penggunaan tumbuhan untuk berkebun lada (Tabel 1) sedangakan untuk mengetahui tingkatan pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat setempat untuk berkebun lada (Gambar 2).
Gambar 2. Pola tumpang tindih pemanfaatan jenis tumbuhan
Berdasarkan Tabel 1 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tiang panjat lada (42 jenis, 79,24%), disusul sebagai pelindung lada (17 jenis, 32,07%) dan sebagai tali ikat sulur lada (7 jenis, 13,07%). Analisis menunjukkan bahwa terjadinya tumpang tindih pemanfaatan tumbuhan dalam diagram venn (Gambar 2), menyebabkan terjadinya multi fungsi suatu tumbuhan tersebut untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dalam berkebun lada. Dilihat dari tumpang tindih pemanfaatannya yang bermanfaat sebagai tiang panjat dan penutup lada yaitu 11 jenis (20,74%), sebagai tiang panjat dan tali ikat lada yaitu 1 jenis (1,89%), dan bermanfaat sebagai pelindung lada dan tali ikat lada yaitu 1 jenis (1,89%). Hal ini dapat dijadikan informasi dasar sebagai upaya konservasi dilihat dari segi tingkat ketermanfaatannya tersebut. Pemanfaatan tumbuhan sebagai tiang panjat Berdasarkan pengetahuan informan dari masyarakat di Desa Jada Bahrain, Jurung dan Kimak, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, ada 42 jenis tumbuhan yang digunakan
3
KeanekaragamanTumbuhan yang DimanfaatkandalamBerkebunLada(Henri, et al.)
sebagai junjung lada. Dari data jenis-jenis tersebut berasal dari 23 famili. Umumnya famili Myrtaceae memiliki jumlah jenis terbanyak (15 jenis atau 35,7% dari total keseluruhan). Pemanfaatan tumbuhan sebagai tiang panjat (junjung) ini dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: berdasarkan banyaknya pengguna (fakta) dan berdasarkan kualitas kayunya (kenyataan). Tabel 2. Perbandingan antara jumlah informan dan kualitas kayu Jumlah Jumlah Kualitas Jumlah pengguna (jenis) (%) kayu (jenis) (%) (informan) SB (25-30) 1 2,38 SB (5) 5 11,9 B (19-24) 2 4,76 B (4) 10 23,8 C (13-18) 3 7,14 C (3) 7 16,67 S (7-12) 8 19,05 B* (2) 14 33,34 SS (1-6) 28 66,67 BS (1) 6 14,29 Jumlah 42 100 Jumlah 42 100 Keterangan: SB= Sangat Banyak; B= Banyak; C= Cukup; S= Sedikit; SS= Sangat Sedikit. SB= Sangat Baik; B= Baik; C= Cukup; B*= Buruk; BS= Sangat Buruk
Pada Tabel 2, tampak bahwa jumlah kumulatif jenis tumbuhan berdasarkan jumlah pengguna (orang) dan berdasarkan tingkatan kualitas yang diketahui oleh masyarakat sebagai responden adalah bervariasi. Kualitas bagus dan banyak digunakan yaitu seperti jenis Schima wallichii (seruk), Tristaniopsis merguensis (pelawan), Eugenia lepidocarpa (samak)danCalophyllum lanigerum(mentangor belulang), karena ketersedian kayu masih mudah didapat. Sedangkan kualitas bagus tetapi sedikit digunakan yaitu jenis Shorea belangeran (melangiran), disebabkan karena susah dicari dan dianggap memiliki nilai ekonomi lebih apabila digunakan selain sebagai tiang panjat saja. Faktor utama pemilihan kayu oleh masyarakat setempat yaitu dilihat dari segi ketahanan kayu seperti kuat dan tahan terhadap rayap. Tabel 3.Jumlah jenis tumbuhan yang digunakan sebagai junjung bebulakdan junjung tetap Jenis junjung Jada Bahrain Jurung Kimak (jenis) (jenis) (jenis) Junjung bebulak 13 11 6 Junjung idup 4 4 6 Junjung mati 17 21 21
Pemanfaatan tumbuhan sebagai tiang panjat lada menurut kelompoknya dibagi menjadi tiga yaitu: tiang panjat sementara (junjung bebulak), tiang panjat tetap yang dibagi lagi menjadi dua yaitu tiang panjat hidup (junjung hidup) dan tiang panjat mati (junjung mati). Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa masyarakat lebih banyak menggunakan
junjungmati untuk tanaman ladanya dibandingkan menggunakan junjungidup. Hal ini dikarenakaan tidak memerlukan pemangkasan seperti junjungidup dan tidak akan terjadi konkurensi akar. Adapun beberapa jenis junjung yang digunakan sebagai junjung bebulak maupun junjung tetap baik yang hidup maupun yang mati (Tabel 3). Adapun beberapa jenis tumbuhan yang digunakan sebagai junjung hidup adalah sebagai berikut: Arthrophyllum diversifolium (juluk antu), Dilleniasuffructicosa (simpur), Erythrina lithosperma (dadap), Gaertnera vaginans (kayu abu), Ilex cymosa (mensirak), Melaleucaleucadendron (gelam), S. pachyphyllum (sabar bubu) dan Syzygium sp. (kayu payak). Akan tetapi dari 8 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai junjung hidup ini yang sering ditanam dan disenangi oleh petani yaitu E. lithosperma (Dadap). Menurut Rismunandar (2000), tanaman dadap sangat disenangi petani lada terutama petani kecil, karena: a. Pertumbuhannya cepat; b. Bibit mudah diperoleh dan murah; c. Dapat menghasilkan daun yang berguguran dan daun dari hasil pemangkasan; dan d. Dapat ditanam bersamaan waktunya dengan bibit lada. Pemanfaatan tumbuhan sebagai pelindung lada Dari hasil wawancara dengan masyarakat di Desa Jada Bahrain, Jurung dan Kimak, diketahui bahwa terdapat sekitar 17 jenis dan 12 famili tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai pelindung pada lada (Tabel 4). Tabel 4. Perbandingan antara jumlah informan dan kualitas daun Jumlah pengguna (informan) SB (25-30) B (19-24) C (13-18) S (7-12) SS (1-6) Jumlah
Jumlah (jenis)
(%)
Kualitas daun
Jumlah (jenis)
(%)
0 1 2 4 10 17
0 5,88 11,77 23,53 58,82 100
SB (5) B (4) C (3) B* (2) BS (1) Jumlah
3 4 5 3 1 17
17,64 23,53 35,30 17,65 5,88 100
Pelindung pada lada yang diamati pada lokasi penanaman dapat berupa plastik atau aneka dedaunan beserta dahan dan rantingnya. Biasanya yang sering digunakan berupa dedaunan, ranting dan dahan pohon di sekitar lokasi perkebunan lada (Sarpian, 2003). Adapun dedaunan yang sering digunakan oleh para petani berdasarkan hasil wawancara yaitu famili Myrtaceae merupakan kelompok terbanyak dengan 3 jenis yaitu Eugenia lepidocarpa (samak), Syzygium muelleri (uber) dan
4
Tristaniopsis merguensis (pelawan). Walaupun famili Myrtaceae yang mendominasi, akan tetapi jenis yang banyak digunakan dengan kualitas yang bagus yaitu seperti Aporosa microcalyx (pelangas), Gleichenia linearis (resam), Lithocarpus blumeanus (kabal putih)dan Nephelium lappaceum (rambutan). Faktor utama pemilihan dedaunan sebagai penutup lada ini adalah dilihat dari segi ketahanan daun yaitu cepat rontok atau tidak. Pemanfaatan tumbuhan sebagai tali ikat sulur lada Berdasarkan Tabel 5, menunjukkan bahwa berkurangnya pengetahuan masyarakat yang menjadi responden tentang tali ikat sulur lada, dibuktikan dengan hanya terdapat 7 jenis tumbuhan yang biasa dimanfaatkannya. Hal ini dikarenakan responden lebih dominan menggunakan tali plastik sebagai tali ikat sulur ladanya pada saat ini. Polyalthia sumatrana(banit)danHibiscus tiliaceus (baruk) merupakan jenis tali ikat yang berkualitas bagus dan masih banyak digunakan. P. sumatranamerupakan jenis yang sudah sulit didapat dan cukup langka, serta masa hidup lebih lama (kayu besar), sedangkan H. tiliaceus (baruk) merupakan jenis yang masih banyak ditemukan dihabitatnya dan jumlahnya juga banyak (kayu kecil). Tabel 5.Perbandingan antara jumlah informan dan kualitas tali ikat Jumlah pengguna (informan) SB (25-30) B (19-24) C (13-18) S (7-12) SS (1-6) Jumlah
Jumlah (jenis)
(%)
Kualitas tali ikat
Jumlah (jenis)
(%)
0 0 2 1 4 7
0 0 28,57 14,29 57,14 100
SB (5) B (4) C (3) B* (2) BS (1) Jumlah
2 3 2 0 0 7
28,57 42,86 28,57 0 0 100
Adapun faktor utama pemilihan tali ikat sulur lada ini adalah tahan kuat, tidak mudah putus dan rapuh. Pengikatan sulur ini bertujuan untuk membantu pertumbuhan tanaman lada dan membantu agar batang tanaman dapat merambat dengan baik pada tiang panjat. Menurut Sarpin (2003), Pengikatan ini bertujuan untuk membantu pertumbuhan tanaman lada dan membanfu agar batang tanaman dapat merambat dengan baik pada tiang panjat. Kelompok tumbuhan berguna potensial Kegunaan sumberdaya alam hayati berupa tumbuhan tidak hanya digunakan saja sebagai
tiang panjat lada, pelindung lada dan pengikat sulur lada. Akan tetapi beberapa jenis tumbuhan ini memiliki manfaat, baik manfaat utamanya untuk berkebun lada maupun manfaat sekunder atau lainnya untuk berkebun lada. Dari total 53 jenis tumbuhan ini, yang berguna potensial (Tabel 6). Tabel 6.Kelompok tumbuhan berguna potensial Manfaat Jumlah Manfaat tumbuhan
jenis
tumbuhan
Jumlah jenis
Berkebun lada
53
Makanan
4
Penghasil kayu
12
Penghasil bahan
4
bakar Obat-obatan
bangunan 5
Anyaman dan
4
kerajinanan
Dalam menentukan jenis-jenis tumbuhan berguna potensial, ada beberapa faktor yang biasanya dijadikan sebagai dasar pemilihan. Menurut Purnawan (2006), faktor-faktor tersebut antara lain: ekologis, ekonomis, manfaat dan seluruh bagian tumbuhan dari jenis tersebut dapatdimanfaatkan oleh manusia. Varietas lada yang ditanam oleh masyarakat Berdasarkan hasil kajian wawancara dengan masyarakat setempat, terdapat 4 varietas lada yang sering ditanam oleh masyarakat, yaitu bibit lada varietas Lampung dan Merapin. Varietas ini menjadi dominan ditanam oleh masyarakat/petani lada setempat, karena selain bibitnya mudah didapat, harganya cukup terjangkau dan kualitasnya juga bagus. Selain itu yang menjadi karakteristik petani dalam memilih varietas lada adalah sifat ketahananya terhadap hama dan penyakit. Upaya konservasi dan potensi pengembangan Sumberdaya alam dapat dikelola agar lestari bila persepsi masyarakat, yang sering mempunyai isu dan tempat spesifik (site specific), diintegrasikan kedalam strategi pengelolaan yang adaktif dengan jaminan adanya partisipasi masyarakat (Soedjito & Sukara, 2006). Kebanyakan masyarakat di ketiga desa ini masih mempertahankan sistem upaya pelestarian berdasarkan kearifan lokal daerah masing-masing yang terbukti dengan dibuatnya hutan larangan seperti di Desa Jurung dan Kimak untuk mengambil tumbuhan. Menurut masyarakat upaya ini di buat supaya pelestarian lingkungan hutan dan pemeliharan keanekargaman tetap
5
KeanekaragamanTumbuhan yang DimanfaatkandalamBerkebunLada(Henri, et al.)
terjaga dan tidak dijangkau oleh masyarakat secara sembarangan.. Untuk memulai upaya suatu konservasi haruslah diketahui terlebih dahulu status tumbuh, tingkat keberadaan dan habitat tumbuhnya. Oleh karena itu masyarakat harus memilki pengetahuan dan pola fikir untuk menjaga terutama hutan berdasarkan kearifan lokalnya yang harus diiringi oleh peraturan perundangan lokal pemerintah untuk melindungi keanekaragaman tumbuhan tersebut. Adapun jumlah jenis tumbuhan berdasarkan status tumbuh, keberadaan dan habitatnya masingmasing (Tabel 7). Tabel 7.Status konservasi tumbuhan berdasarkan status tumbuh dan keberadaan Status tumbuh Liar
Jumlah (jenis) 42
(%)
Jumlah (jenis) 36
67,92
Terutama Liar Liar Budidaya
2
3,78
Banyak
14
26,41
5
9,43
1
1,89
1
1,89
7,55
Banyak Sekali Jarang Sekali Jarang
Terutama Budidaya Total
4
1
1,89
53
100
Total
53
100
79,2 4
Keberadaan Ada
(%)
Perlunya upaya agar status tumbuh dan tingkat keberadaan tetap terjaga walaupun tingkat pemanfaatan oleh masyarakat cukup besar maka diperlukan upaya konservasi (Fakhrurrozi 2001). Berdasarkan hasil wawancara KESIMPULAN Total jumlah jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam berkebun lada sebanyak 53 jenis dalam 31 famili. Tiang panjat lada sebanyak 42 jenis dalam 22 famili, pelindung lada sebanyak 17 jenis dalam 12 famili, tali ikat sulur lada sebanyak 7 jenis dalam 7 famili dan famili Myrtaceae merupakan famili yang paling dominan. Upaya pelestarian yang dapat menjaga keanekaragaman hayati yaitu dengan menerapkan sistem tebang pilih dan melakukan penanaman kembali atau peremajaan tumbuhan. Jenis tumbuhan yang terancam susah didapat dan harus dilakukan pelestarian seperti: Polyalthia sumatrana (banit), Shorea belangeran, Cantleya corniculata, dan Aporosa microcalyc.Perlunya pengembangan lebih lanjut tentang pemanfaatan tumbuhan olehmasyarakat Bangka dalam berkebun lada melalui upaya konservasi jenis-jenis penting berbasiskan
beberapa jenis tumbuhan yang terancam susah didapat dan harus dilakukan pelestarian seperti: Polyalthia sumatrana(banit), Shorea belangeran (melangiran), Cantleya corniculata (bedaru)dan Aporosa microcalyx (pelangas). Keanekaragaman ini akan terjaga apabila sistem pengetahuan atau kearifan masyarakat juga masih terjaga. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Indrawan, Primack & Supriatna (2007), pemanfaatan berkelanjutan merupakan salah satu pendekatan yang dapat menyelamatkan upaya konservasi. Menurut Santosa (2009), sampai saat ini masyarakat harusnya memanfaatkan sumberdaya alam dengan dua cara yaitu: memanfaatkan secara langsung dari alam dan dengan cara mengelola atau membudidayakannya. Selain upaya konservasi, maka diperlukan juga upaya pengembangan potensi agar sumberdaya alam yang ada tetap lestari, yaitu dengan cara stek batang tumbuhan dan melalui biji/anakan. Pengembangan dengan cara stek batang umumnya sudah sering dilakukan oleh masyarakat setempat karena dianggap bisa memulihkan kembali jenis-jenis tumbuhan yang terancam susah untuk didapatkan yaitu dengan cara mengambil potongan sebagian batang/dahan yang akan ditanam kembali. Untuk pengembangan melalui biji/anakan lebih susah dibandingkan dengan stek batang, karena diasumsikan memerlukan waktu yang relatif lebih lama. masyarakat lokal (kearifan lokal) dan pembinaan kemandirian. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada masyarakat Desa Jada Bahrain, Desa Jurung dan Desa Kimak, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka yang telah memberikan informasi dan kerjasanya dalam pengambilan data selama penelitian di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Asrianny, Dassir R. 2012. Pemanfaatan Sumberdaya Hutan di Hutan LindungKecamatan Alu,Kabupaten Polman, Provinsi Sulawesi Barat. J. Perennial. 8 (2): 93-98. Backer CA and Brink RCBVD. 1968. Flora of Java (Spermathopytes Only), Volume III.
6
Netherland: Groningen.
Wolters-Noordhoof
N-V,
Pangrangro. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Cheek M and M Jebb. 2001. Flora Malesiana Series I: Sedd Plant, Volume 15. National Herbarium Netherland, University Neider Branch. Netherland.
Rismunandar. 2000. Lada Budidaya dan Tata Niaganya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Fakhrurrozi Y. 2001. Satuan-satuan Lansekap dan Keanekaragaman Tumbuhan Buah-buahan Liar Edibel dalam Kehidupan Masyarakat Melayu Belitung.[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia IIV. Badan Litbang Kehutanan,penerjemah.Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: de Nuttige Planten van Indonesia. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Irawati AFC, Ahmadi, Issukindarsyah. 2005. Pengkajian Budidaya Lada di Bangka Belitung.Bangka Belitung: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Irwan YR, Fitmawati, Herman. 2013. Pengetahuan Tumbuhan Obat Dukun Sakai Desa Sebangar Duri Tiga Belas dan Desa Kesumbo Ampai Duri Kabupaten Bengkalis. J. Biosantifika. 5 (1): 1-6.
Santosa A. 2009. Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan. Bogor: Pokja Kebijakan Konservasi-Environmental Services Program (ESP). Sarpian T. 2003. Pedoman Berkebun Lada dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta: Kanisius. Sarwono J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Soedjito H dan Sukara E. 2006. Mengilmiahkan Pengetahuan Tradisional: SumberIlmu Masa Depan Indonesia. Jakarta: Komite Nasional MAB Indonesia-LIPI. Suyonotrimo. 1987. Dari Dokumentasi ke SIG. Bandung: Remaja Karya. Wahyudi A. 2010. Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung. Sinar Tani. Edisi 17-23 November 2010.
Masripatin N. 2010. Cadangan Karbon pada berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Bogor: Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Nopandry B. 2007. Hutan Untuk Masyarakat Pemanfaatan Lestari HutanKonservasi. Buletin Konservasi Alam 7 (1): 4-8. Primadesi Y. 2010. Peran Masyarakat Lokal dalam Usaha Pelestarian Naskah-Naskah KunoPaseban. J. Bahasa dan Seni. 11 (2): 120-127. Purnawan BI. 2006. InventarisasiKeanekaragaman Jenis Tumbuhan di Taman Nasional GunungGede
7
PEMANFAATAN HEWAN SEBAGAI OBAT TRADISIONAL OLEH ETNIK LOM DI BANGKA Budi Afriyansyah1), Nur Annis Hidayati2), Hapis Aprizan3) Fakultas Petanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 1) email:
[email protected] 2 Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 2) email:
[email protected] 3 Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 3) email:
[email protected]
1
Abstract Knowledge about the use of animals as a traditional medicine is benefit to society and must be saved. This knowledge can be used as a source of reference for researchers in the development of science and alternative ideas in the present. The purpose of this study were reveal diversity of animal drug ethnic Lom in Bangka and Lom ethnic knowledge traditional in Bangka about diversity of animal drug and used of animals as a traditional medicine. Research was conducted from January to May 2015 in Air Abik, Pejem, and Mapur village. Methods used in this research were purposive sampling (determine informans), interview and direct obeservation. Result showed that ethnic Lom used 24 species animals as medicine from 10 class in traditional medicine. The animal species most used is from the class of mammals (38%). Seen from habitat, animals are used as traditional medicines are mostly terrestrial animals (44%) are living wild in the woods. The most used animal that is part of the body (76%). Results of grouping by type of disease and the type of animals that have properties as a medicinal ingredient, there were 18 types of diseases that can be cured (medical or non-medical disease). Ethnic Lom had a good knowledge about the diversity of animal species and benefit of drugs, but this knowledge is declining and began to be forgotten by the people of ethnic Lom. The results of the interviews and observations in the field showed animal species of cacing tanah (Pheretima sp.) and undurundur (Myrmeleon sp.) has the potential to be developed, not only as a animals drug used ethnic Lom communities but also can improve the economy of communities in the region. Keywords: Bangka, benefit animal, ethnic Lom, traditional medicines Zulkarnain & Franto (2014), pengetahuan etnik 1. PENDAHULUAN Lom ini didapatkan dari penuturan orang tua, tukar pikiran dengan anggota masyarakat dan Bangka merupakan pulau yang kaya hasil pengalamannya sendiri. Hal ini berarti, sumber daya alam. Selain itu, pulau ini juga pengetahuan ini hanya disampaikan secara memiliki keragaman dan kekhasan budaya lisan dari generasi ke generasi pada masyarakat yang dihasilkan oleh beragam etnik. Salah satu yang bersangkutan. Pengetahuan yang seperti etnik yang ada di Pulau Bangka adalah etnik ini sangat mudah terancam kepunahan karena Lom (PUSDATINKOMTEL 2013). pengetahuan ini tidak terdapat dalam bentuk Etnik Lom merupakan penduduk asli tertulis (Nugraheni & Winata 2002 dalam Bangka dan termasuk etnik tertua yang ada di Nuraini 2010). Salah satu pengetahuan yang Pulau Bangka. Etnik Lom berasal dari merupakan warisan etnik Lom adalah keturunan langsung tokoh mitologi yang sakti, pemanfaatan hewan sebagai bahan obat ialah keturunan akek antak. Tokoh ini tradisional. merupakan nenek moyang atau leluhur yang Menurut Costa-Neto (2005), hewan yang memiliki kepercayaan adat (Deqy 2014). digunakan sebagai sumber obat tradisional Etnik Lom mempunyai pengetahuan yang biasanya adalah hewan yang telah mati. baik mengenai pengelolaan keanekaragaman Bagian-bagian hewan yang biasanya digunakan sumber daya alam dan lingkungan sekitarnya sebagai obat tradisional antara lain: daging, (Adelia 2010). Berdasarkan penelitian 8
tanduk, tulang, ekor, bulu, kuku, lemak, empedu, dan cangkang. Adapun produk hewan yang bisa digunakan sebagai obat tradisional adalah urin, feses, madu, dan susu. Pengetahuan tentang pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional sangat berguna bagi masyarakat dan harus diselamatkan. Pengetahuan ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk swadaya dan swasembada masyarakat karena praktik dan teknik yang telah dikenal, mudah dipahami dan mudah dikuasai. Pengetahuan ini juga dapat menghilangkan ketergantungan pada sumber dari luar yg biasanya mahal (IIRR 1996 dalam Adelia 2010). Selain itu, adanya pengetahuan ini dapat menjadi sumber acuan bagi peneliti dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan ide-ide alternatif di masa kini (Soedjito & Sukara 2006 dalam Adelia 2010). Penelitian mengenai etnik Lom sudah pernah dilakukan dengan beberapa judul antara lain tentang: Studi etnografi orang Lom (Smedal 1989), pemanfaatan tumbuhan obat (Adelia 2010), inventarisasi tumbuhan obat (Tim Peneliti Ristoja 2013), dan sejarah masuknya islam di Bangka (Deqy 2014). Akan tetapi penelitian etnik Lom tentang pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional belum pernah dilaporkan sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Etnik Lom mempunyai pengetahuan yang baik mengenai pengelolaan keanekaragaman sumber daya alam dan lingkungan sekitarnya. Pengetahuan tentang pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional sangat berguna bagi masyarakat dan harus diselamatkan karena pengetahuan ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk swadaya dan swasembada masyarakat serta menjadi sumber acuan bagi peneliti dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan ide-ide alternatif di masa kini. Pengetahuan etnik Lom tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional telah didokumentasikan secara tertulis. Namun, upaya untuk mendokumentasikan secara tertulis pengetahuan tradisional etnik Lom dalam pemanfaatan hewan sebagai obat belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu: 1. Mengungkapkan keanekaragaman jenis hewan obat etnik Lom di Bangka
2.
Mengungkapkan pengetahuan etnik Lom di Bangka tentang keanekaragaman jenis hewan obat dan pemanfaatannya sebagai obat tradisional
2. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juni 2015 di Kecamatan Belinyu dan Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka. Lokasi yang dipilih ialah Dusun Air Abik dan Dusun Pejam di Kecamatan Belinyu, serta Desa Mapur di Kecamatan Riau Silip. Lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian karena lokasi ini dikenal sebagai ranah orang Lom (Deqy 2014). Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, alat perekam, kamera digital, dan kuesioner. Survei Pendahuluan Survei yang dilakukan bertujuan untuk melakukan pendekatan/pengenalan kepada informan kunci sebelum diwawancarai. Pendekatan ini dilakukan agar nantinya mempermudah peneliti dalam pengambilan data. Pengumpulan Data dan Informasi Pengumpulan data dan informasi dilakukan berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal, dengan menggunakan tiga macam teknik ialah penentuan informan kunci, wawancara dan pengamatan. Penentuan informan kunci. Metode yang digunakan dalam pemilihan informan kunci ialah metode purposive sampling. Menurut Chambers (1996 dalam Adelia 2010), purposive sampling ialah teknik pemilihan informan kunci dengan pertimbangan peneliti, dalam hal ini kriteria informan kunci yang dipilih ialah umur di atas 40 tahun, memiliki pengetahuan yang baik tentang penggunaan hewan sebagai obat tradisional dan telah memanfaatkan hewan sebagai obat tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Wawancara. Sistem wawancara ialah “open ended” (terbuka-mendalam) terhadap beberapa informan kunci di daerah setempat. Informan kunci yang dipilih untuk diwawancarai ada 9 orang. Informan kunci dari 9
Dusun Air Abik empat orang, Dusun Pejam empat orang dan Dusun Tuing Desa Mapur satu orang. Pengamatan. Setelah dilakukan wawancara kepada informan kunci dan informasi telah diperoleh kemudian dilakukan pengamatan langsung. Pengamatan dilakukan secara langsung di kediaman informan kunci. Proses pengamatan didokumentasikan menggunakan kamera foto, lalu hasilnya dicatat. Identifikasi Setelah pengumpulan data dan informasi selesai, dilakukan pengumpulan spesimen hewan obat jika ada. Spesimen difoto dan diidentifikasi dengan menggunakan beberapa buku, untuk mengidentifikasi Pisces digunakan buku The Fresh-Water Fishes of North Borneo (Inger & Kong 1962), untuk Amphibi buku The Systematics and Zoogeography of The Amphibia of Borneo (Inger 1966), Measuring and Monitoring Biological Diversity Standard Methods for Amphibians (Heyer et al. 1994) dan Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar 1998), untuk Invertebrata buku Kunci Determinasi Serangga (Christina 1991) dan An Introduction to the Invertebrate (Moore 2006), untuk Vertebrata buku Bahan Ajar Satwa Liar (Kusumawati & Sardjana 2011), dan bukubuku terkait lainnya. Jika tidak ada hewannya, foto hewan tersebut dicari dan dicrosscheck dengan informan kunci. Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan dalam bentuk tabulasi dan analisis deskriptif. Pembuatan tabel bertujuan untuk merangkum data seperti nama spesies hewan, nama lokal, kelas, famili, habitat, kegunaan hewan, bagian hewan yang digunakan, dan cara penggunaan (CIFOR 2002 dalam Adelia 2010). Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran serta penjelasan terhadap seluruh data yang terkumpul. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan Etnik Lom tentang Keanekaragaman Jenis Hewan Obat Etnik Lom memiliki pengetahuan yang baik tentang keanekaragaman jenis hewan, khususnya hewan yang dijadikan sebagai obat. Masyarakat etnik Lom mengenal berbagai jenis hewan yang ada di sekitarnya dan cara
pemanfaatannya sebagai obat berdasarkan kebudayaan mereka karena kebanyakan masyarakat etnik Lom masih menggunakan hewan dalam pengobatan tradisional. Hal ini sesuai dengan pernyataan Badge & Jain (2013) bahwa suku-suku dan masyarakat pedesaan yang berada di kawasan hutan terpencil dan mendalam pada umumnya masih tergantung pada tumbuhan dan hewan untuk merawat kesehatan dan mengobati berbagai penyakit. Pengetahuan etnik Lom tentang keanekaragaman hewan sebagai bahan obat kebanyakan mereka dapatkan dari penuturan orang tua yang kemudian pengetahuan tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu pengetahuan ini juga mereka dapatkan dari hasil pengalamannya sendiri dan tukar pikiran dengan etnik lainnya, artinya pengetahuan etnik Lom tersebut tidak selalu dari sistem pewarisan tetapi juga berasal dari pengalaman hidupnya dan informasi yang datang dari luar yang diserapnya. Seperti pada kegunaan jenis ayam hitam (Phasianidae) sebagai obat untuk mengobati malaria yang sebenarnya pengetahuan ini etnik Lom dapatkan dari informasi yang datang dari etnik Tionghoa. Hal yang sama juga disebutkan dalam penelitian Kuntorini (2005) bahwa pengetahuan masyarakat tentang obat tradisional di Kotamadya Banjarbaru yang terdiri atas berbagai macam etnik juga diperoleh secara turun temurun, dan ada juga diperoleh dari tetangga. Etnik Lom beranggapan bahwa semua tumbuhan mempunyai khasiat sebagai obat, terutama tumbuhan yang mengandung rasa pahit. Lain halnya dengan hewan, tidak semua hewan dapat dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit. Persepsi ini telah memberikan pandangan pada masyarakat etnik Lom tentang potensi obat tradisional, di mana pemanfaatan tumbuhan lebih banyak dibandingkan dengan hewan. Hewan obat menurut pandangan etnik Lom adalah hewan yang dapat menjaga kesehatan dan menyembuhkan penyakit, baik penyakit medis maupun penyakit nonmedis. Penyakit medis yang dimaksud ialah penyakit yang memang dapat dilihat dengan kasat mata dan bisa disembuhkan oleh dokter. Penyakit nonmedis ialah penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus (jin) dan dapat disembuhkan oleh dukun/paranormal. 10
Beberapa pengobatan penyakit medis maupun nonmedis ini juga masih menggunakan jampijampi (mantra). Hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa pengobatan penyakit etnik Lom selalu menghubungkan dengan mitos dan unsur magis (gaib). Pengetahuan etnik Lom tentang keanekaragaman jenis hewan obat mengalami kemunduran yang cukup signifikan dibandingkan beberapa dekade lalu. Berdasarkan penuturan informan kunci, pada masa lalu mereka mengenal dengan baik jenisjenis hewan obat yang terdapat di hutan sekitar mereka atau yang biasanya disebut hutan adat berdasarkan pemanfaatannya. Akan tetapi, pada saat ini pengetahuan tentang keanekaragaman jenis hewan obat ini sudah mulai ditinggalkan atau dilupakan oleh masyarakat etnik Lom, khususnya generasi muda. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: adanya pertimbangan orang tua dalam mewarisi pengetahuan, konversi habitat hewan dan tersedianya fasilitas kesehatan. Pertimbangan orang tua, ternyata tidak semua pengetahuan ini diwariskan ke generasi muda karena dalam mewariskan pengetahuan tersebut orang tua juga memiliki berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangannya ialah kemampuan generasinya dalam menjaga lingkungan yang ada. Konversi habitat hewan, hutan yang menjadi habitat alami hewan obat
telah dikonversi menjadi areal perkebunan sawit dan pertambangan sehingga keberadaan jenis hewan obat tersebut semakin sulit ditemukan. Tersedianya fasilitas kesehatan, anggota masyarakat etnik Lom yang menderita sakit sekarang lebih menyukai melakukan pengobatan secara modern ke tempat pelayanan kesehatan yang ada. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwanto et al. (2005 dalam Adelia 2010) bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan pengetahuan tradisional mulai ditinggalkan. Pertama, habitat hewan telah banyak dikonversi menjadi areal perkebunan, lahan perladangan dan persawahan serta pemukiman. Kedua, terbukanya suatu kawasan menyebabkan dibangunnya sarana pelayanan publik. Ketiga, pengobatan secara tradisional pengaruh penyembuhannya relatif lebih lama. Keempat, pengobatan secara tradisional kurang praktis dan efisien. Keanekaragaman Jenis Hewan yang Dimanfaatkan sebagai Obat oleh Etnik Lom Etnik Lom di Bangka memanfaatkan 24 spesies hewan obat dan 24 famili yang berasal dari 10 kelas dalam pengobatan tradisional ialah Invertebrata (Arachnida, Bivalvia, Oligochaeta, Insecta, Xiphosura) dan Vertebrata (Pisces, Amphibi, Reptil, Aves, Mamalia) (Tabel 1). Dari 10 kelas tersebut, spesies hewan dan famili yang
Tabel 1 Keanekaragaman jenis hewan obat yang digunakan etnik Lom di Bangka Kelas
Famili
Nama lokal (Nama umum)
Spesies
T
Habitat Ak Ar
Invertebrata 1. 2. 3. 4.
Arachnida Bivalvia Oligochaeta Insecta
5. Xiphosura Vertebrata
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Theraphosidae Teredinidae Megascolecidae Apidae Gerridae Myrmeleontidae Phasmatidae Limulidae
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Theraphosa sp. Bactronophorus thoracites Pheretima sp. Apis sp. – Myrmeleon sp. – –
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Keribik lutong Temilok Cacing tanah Lebah madu Anggang-anggang Undur-undur Ajong jepang (Belalang) Kuncok (mimi mintuno)
√ √ √ √ √ √ √ √
11
6. Pisces
∑
10
Cyprinidae Channidae Ranidae Crocodylidae Geoemydidae Pythonidae Phasianidae Bovidae Cercopithecida Dugongidae Felidae Muridae Pteropodidae Suidae Tragulidae Tupaiidae 24
%
-
-
7. Amphibi 8. Reptil
9. Aves 10. Mamalia
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Puntius binotatus Channa striata Rana sp. Crocodylus porosus – Python reticulatus Gallus gallus domesticus Capra aegagrus Macaca fascicularis Dugong dugon Fellis sp. – Pteropus sp. Sus barbatus oi Tragulus sp. Tupaia sp. 24 -
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Ikan tanah-tanah Ikan gabus Katak Buaya muara Kura-kura Ular sabak Ayam hitam Kambing Kera Ikan duyung (dugong) Kucing Tikus hutan Kalong (kelelawar) Babi hutan Pelandok (kancil) Tupai 24 -
√
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 11
8
√ 6
44
32
24
Keterangan: ∑ = jumlah; % = persentase; T = terrestrial; Ak = akuatik; Ar = arboreal
Gambar 1 Jumlah spesies hewan obat yang dimanfaatkan etnik Lom berdasarkan kelas hewan paling banyak digunakan oleh etnik Lom sebagai obat tradisional berasal dari kelas Mamalia (38%) (Gambar 1). Berdasarkan hasil wawancara, hal ini dikarenakan kelas Mamalia kebanyakan berukuran besar sehingga mudah terlihat oleh masyarakat etnik Lom dan kelas ini juga lebih sering berinteraksi dengan masyarakat etnik Lom. Selain itu, Indonesia juga dikenal memiliki jumlah spesies Mamalia terbanyak di Dunia. Seperti halnya etnik Lom, di India penelitian tentang hewan obat pada etnik Gond (Badge & Jain 2013) dan etnik Karbi Anglong (Verma et al. 2014) juga
menunjukkan bahwa hewan yang paling banyak digunakan adalah Mamalia. Berdasarkan habitatnya, terdapat tiga kelompok hewan obat yang dimanfaatkan etnik Lom ialah hewan terestrial, akuatik dan arboreal. Di antara ketiga kelompok hewan tersebut, yang paling banyak digunakan ialah hewan terestrial (44%) (Tabel 1). Artinya, kebanyakan hewan yang digunakan oleh etnik Lom sebagai obat hidup di darat. Hal ini diduga karena etnik Lom juga menetap di kawasan hutan di mana hewan terestrial ini 12
lebih mudah ditangkap dan dimanfaatkan sebagai obat. Pemanfaatan Hewan sebagai Obat Tradisional Secara tradisi, etnik Lom memanfaatkan hewan obat secara alami. Mereka memanfaatkan hewan obat yang berada di sekitarnya untuk merawat kesehatan dan menyembuhkan penyakit. Bantuan obat-obatan tradisional yang berasal dari hewan mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat etnik Lom. Dilihat dari cara pemakaiannya, hewan lebih banyak dimanfaatkan etnik Lom sebagai obat dalam daripada obat luar, ialah sebanyak 67% (Tabel 2). Bagian Hewan yang Dimanfaatkan sebagai Obat Bagian-bagian hewan yang digunakan oleh etnik Lom untuk pengobatan ialah berasal dari bagian tubuh dan produk dari suatu proses. Bagian tubuh terdiri atas alat kelamin, bulu, cangkang, daging, empedu, gigi, hati, kepala, kuku, lidah, minyak, plasenta, dan seluruh tubuh. Produk dari suatu proses terdiri atas
feses, madu, telur, dan urine. Beberapa bagian hewan yang digunakan etnik Lom untuk pengobatan juga disebutkan dalam penelitian Mishra et al. (2011) bahwa bulu, feses, empedu, minyak, dan hati merupakan bagianbagian hewan yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan obat tradisional yang dimanfaatkan oleh etnik di Orissa, India. Bagian-bagian hewan tersebut dapat mengobati penyakit asma, kulit, demam dan rematik. Hal ini membuktikan bahwa bagian-bagian hewan yang dimanfaatkan etnik Lom untuk pengobatan memang telah banyak digunakan sebagai bahan obat. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa bagian hewan yang paling banyak digunakan sebagai obat ialah bagian tubuh sebanyak 76% (Gambar 2). Menurut informan kunci hal ini dikarenakan pengetahuan tentang penggunaan bagian tubuh hewan memang lebih banyak diturunkan oleh orang tua atau leluhur etnik Lom.
Tabel 2 Penggunaan/pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional oleh etnik Lom di Bangka Nama lokal (Nama umum)
Penggunaan/pemanfaatan
Bagian tubuh/ produk dari suatu proses
Cara pemakaian OL
OD
1.
Keribik lutong (tarantula)
Menumbuhkan rambut
Seluruh tubuh
√
2.
Temilok
Obat sakit pinggang
Seluruh tubuh
√
3.
Cacing tanah
1. Obat panas dalam
1. Seluruh tubuh
√
2. Obat tifus
2. Seluruh tubuh
√
4.
Lebah madu
Obat batuk
Madu
√
5.
Anggang-anggang
Obat digigit lipan
Seluruh tubuh
6.
Undur-undur
1. Obat maag
1. Seluruh tubuh
√
2. Obat hernia (tekelulor)
2. Seluruh tubuh
√
7.
Ajong jepang (Belalang)
Obat sakit perut
Feses
√
8.
Kuncok (mimi mintuno)
Mengusir setan (makhluk halus)
Cangkang
√
9.
Ikan tanah-tanah
√
√
Obat sakit kepala
Kepala
10. Ikan gabus
Obat luka dalam
Daging
11. Katak
1. Obat sakit gigi
1. Daging
2. Obat luka dalam
2. Seluruh tubuh
3. Obat penurun panas
3. Telur
4. Obat digigit lipan
4. Urine
1. Stamina
1. Alat kelamin
√
2. Obat sariawan/sakit gigi
2. Gigi
√
1. Obat sesak nafas
1. Hati
√
2. Obat ambeien
2. Kepala
√
1. Obat luka
1. Empedu
12. Buaya 13. Kura-kura 14. Ular sabak
√ √ √ √ √
√
13
2. Obat penyakit kulit
2. Empedu
3. Obat luka
3. Feses
√
4. Obat luka/memar
4. Minyak
√
15. Ayam hitam
Obat malaria
Bulu
√
16. Kambing
Stamina
Alat kelamin
√
17. Kera
Obat terkena santet/sihir (runggun)
Lidah
√
18. Ikan duyung (dugong)
Obat terkena santet/sihir (runggun)
Gigi
√
19. Kucing
Memperlancar persalinan
Plasenta
√
20. Tikus
Obat sesak nafas
Seluruh tubuh
√
21. Kalong (kelelawar)
Obat sesak nafas
Hati
√
22. Babi hutan
1. Penyakit anak-anak (budak)
1. Hati
√
2. Mengusir setan (makhluk halus)
2. Kuku
√
23. Pelandok (Kancil)
Obat Mata
Urine
√
24. Tupai
1. Stamina
1. Alat kelamin
√
2. Obat diabetes
2. Daging
√
-
-
Persentase cara pemakaian (%)
√
33
67
Keterangan: OL = obat luar, OD = obat dalam
Gambar 2 Diagram jumlah bagian hewan obat yang digunakan oleh etnik Lom di Bangka Macam penyakit dan cara pengobatannya Berdasarkan hasil pengelompokkan menurut macam penyakit dan cara pengobatannya, tercatat ada 18 jenis penyakit yang dapat disembuhkan, baik yang tergolong penyakit medis (14 penyakit) maupun nonmedis (4 penyakit). Penyakit medis terdiri atas penyakit saluran pernapasan, luka/bengkak, sakit digigit lipan, penyakit kepala dan demam, penyakit kulit, penyakit malaria, penyakit mata, penyakit saluran pembuangan, penyakit saluran pencernaan, penyakit otot dan persendian, hernia (tekelulor), sakit gigi/sariawan, stamina, dan menumbuhkan rambut. Penyakit nonmedis terdiri atas mengusir setan, terkena santet/sihir (runggun), penyakit anak-anak (budak), dan sulit melahirkan (Tabel 3).
Jenis Hewan Obat yang Berpotensi dikembangkan sebagai Obat Jenis hewan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat terdiri atas beberapa kriteria ialah hewan mudah ditemukan, masih banyak tersedia di alam, mampu menyembuhkan penyakit yang tergolong berat, dan memiliki nilai ekonomis. Pada umumnya, semua spesies hewan yang dimanfaatkan etnik Lom sebagai obat memiliki potensi untuk dikembangkan karena hewan tersebut tidak hanya mampu mengobati penyakit yang ringan dan berat, namun juga memiliki nilai ekonomis, akan tetapi kebanyakan hewan yang digunakan etnik Lom sebagai obat saat ini semakin sulit ditemukan dan sedikit tersedia di alam. Contohnya: keribik lutong, pelandok, ajong jepang, kuncok 14
(mimi mintuno), ular sabak, babi hutan, dan ikan duyung saat ini sulit ditemukan karena habitat hewan tersebut telah banyak yang rusak karena dikonversikan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan. Beberapa hewan yang masih mudah ditemukan dan banyak terdapat di alam ialah cacing tanah dan undur-undur. Dari beberapa hewan yang digunakan etnik Lom untuk pengobatan, cacing tanah (Pheretima sp.) dan undur-undur (Myrmeleon sp.) merupakan jenis hewan obat yang berpotensi untuk dikembangkan. Kedua jenis hewan tersebut selain masih mudah ditemukan dan banyak terdapat di alam, namun juga mampu mengobati penyakit yang tergolong berat serta memiliki nilai ekonomis. Status Konservasi Pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional oleh etnik Lom akan mempengaruhi kestabilan populasi hewan di alam karena masyarakat etnik Lom ini lebih banyak menggunakan bagian tubuh dalam pengobatan dibandingkan dengan produk dari suatu proses dan hewan yang mereka gunakan sebagai obat ini kebanyakan diperoleh dari tangkapan alam bukan dari hewan budi daya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999,
Appendiks CITES dan IUCN Red List, masyarakat etnik Lom memanfaatkan 6 spesies hewan yang dilindungi ialah kuncok (mimi mintuno), buaya, kambing, ikan duyung, kalong, dan pelandok (kancil) (Tabel 4). Status perlindungan ini seharusnya diketahui masyarakat etnik Lom agar selanjutnya dalam pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional tidak dilakukan berlebihan dan masyarakat semakin punya kesadaran dalam pembudidayaan hewan yang akan digunakan sebagai obat. Etnik Lom memiliki pengetahuan yang baik tentang pengelolaan keanekaragaman sumber daya alam dan lingkungan sekitarnya baik pengetahuan tentang tumbuhan obat maupun hewannya. Akan tetapi, pemanfaatan tentang tumbuhan dan hewan obat semakin menurun dan mulai terlupakan oleh masyarakat etnik Lom karena habitat alami tumbuhan dan hewan obat telah dikonversi menjadi areal perkebunan sawit dan pertambangan sehingga keberadaan jenis hewan obat tersebut semakin sulit ditemukan. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pembudi dayaan atau konservasi hutan untuk menanggulangi erosi sumberdaya tumbuhan dan hewan yang berguna tersebut.
Tabel 3 Pengelompokkan macam penyakit dan cara pengobatan, meramu/meracik obat Macam penyakit
Cara pengobatan, meramu/meracik obat
Medis 1. Penyakit saluran pernapasan a) Batuk b) Sesak napas
2. Luka/bengkak a) Luka dalam b) Luka/memar luar
c) Bengkak ulat bulu
Macam penyakit 3.
Sakit digigit lipan
4. Penyakit kepala dan demam a) Sakit kepala b) Sakit panas dalam c) Panas tubuh/demam 5. Penyakit kulit 6. Penyakit malaria
a) Madu diminum sebelum tidur + mantra b) Anak tikus yang baru lahir langsung ditelan/dimakan Hati kura-kura dicampur dengan air panas, lalu diminum Hati kalong dipanggang, dimakan a) Anak katak (berudu) langsung dimakan Ikan gabus dipanggang, dimakan dagingnya b) Empedu ular sabak dioles pada bagian tubuh yang luka Feses ular sabak dioles pada bagian tubuh yang luka Minyak ular dioles atau diururt pada bagian tubuh yang terluka atau memar c) Minyak babi hutan dioles pada bagian tubuh yang terkena ulat bulu + mantra
Cara pengobatan, meramu/meracik obat Seluruh tubuh anggang-anggang ditumbuk hingga halus, ditempel pada bagian tubuh yang disengat kelabang + mantra Urine katak langsung ditetes pada bagian tubuh yang digigit lipan + mantra a) Kepala ikan tanah-tanah ditumbuk, ditempel pada bagian kepala yang sakit + mantra b) Cacing tanah langsung dimakan c) Telur katak langsung dimakan Empedu ular sabak langsung dimakan Ayam kampung yang semua bulunya hitam direbus, diambil bulunya dan dimasukkan kedalam kain hitam, diusap ketubuh + mantra
15
7. Penyakit mata 8. Penyakit saluran pembuangan a) Penyakit ambeien b) Gula darah (diabetes) 9. Penyakit saluran pencernaan a) Maag b) Sakit perut c) Tifus
Urine pelandok yang masih berada dalam kantung kemihnya langsung ditetes ke mata a) Kepala kura-kura dipotong, dipanggang, dimakan b) Daging tupai dipanggang, dimakan
10. Penyakit otot dan persendian
a) Seluruh tubuh undur-undur langsung dimakan b) Feses ajong jepang dicampur dengan air dingin, diminum c) Cacing tanah digoreng tanpa minyak hingga kering, ditumbuk, dicampur dengan air panas, diminum Temilok langsung dimakan
11. Tekelulor (hernia)
Undur-undur langsung dimakan
12. Sakit gigi/sariawan
Daging bagian paha katak ditumbuk hingga halus, dimasukkan ke dalam gigi yang berlubang, diambil kembali dagingnya Gigi buaya direndam dalam air dingin, diminum airnya + mantra Alat kelamin buaya atau tupai bisa langsung dimakan Alat kelamin kambing dikeringkan, direndam, diminum Tarantula dibakar terlebih dahulu, lalu dicampur dengan kemiri yang sudah dibakar, dioles pada bagian tubuh yang ingin ditumbuhkan rambut
13. Stamina 14. Menumbuhkan rambut Nonmedis 15. Diganggu setan
17. Penyakit budak
Kuku babi hutan dibakar, dioles dikening anak + mantra Cangkang kuncok dijemur, dibakar, dioles dikening anak + mantra Lidah kera dikeringkan, direndam, diminum + mantra Gigi taring ikan duyung direndam dalam air dingin, diminum airnya + mantra Hati babi hutan dipanggang, dimakan + mantra
18. Sulit melahirkan
Plasenta kucing jantan yang baru lahir dikeringkan, direndam, diminum + mantra
16. Terkena runggun
Tabel 4
Spesies hewan yang digunakan sebagai obat oleh etnik Lom di Bangka dengan status dilindungi menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, Appendiks CITES dan IUCN Red List Status konservasi
Nama lokal (Nama umum) 1.
Kuncok (mimi mintuno)
2.
Buaya
3.
Kambing
4.
Ikan duyung (dugong)
5.
Kalong (kelelawar)
6. Pelandok (kancil)
Indonesia
CITES
IUCN
-
-
LR/nt
PP no 7/1999
I
LR/lc
-
-
VU
PP no 7/1999
I
VU
-
II
-
PP no 7/1999
-
DD
Keterangan: LR = Lower Risk; nt = near threatened; lc = Least Concern; VU = Vulnerable; DD = Data Deficient; I = Apendix I CITES; II = Apendix II CITES
4. KESIMPULAN
3.
1.
4.
2.
Etnik Lom memanfaatkan tidak kurang dari 24 jenis hewan obat dari 10 kelas dalam pengobatan tradisional. Jenis hewan yang paling banyak digunakan ialah dari kelas Mamalia (38%). Dilihat dari habitatnya, hewan yang digunakan sebagai obat tradisonal kebanyakan merupakan hewan terestrial (44%) yang hidup liar di hutan.
5.
Bagian hewan yang paling banyak digunakan ialah bagian tubuh (76%). Hasil pengelompokkan menurut jenis penyakit dan jenis hewan yang mempunyai khasiat sebagai bahan obat, tercatat ada 18 jenis penyakit yang dapat disembuhkan (penyakit medis maupun nonmedis). Etnik Lom memiliki pengetahuan yang baik tentang keanekaragaman jenis hewan obat dan pemanfaatannya, akan tetapi 16
6.
pengetahuan ini semakin menurun dan mulai dilupakan oleh masyarakat etnik Lom. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jenis hewan cacing tanah (Pheretima sp.) dan undurundur (Myrmeleon sp.) berpotensi untuk dikembangkan, tidak hanya sebagai hewan obat yang digunakan masyarakat etnik Lom tetapi juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di kawasan tersebut.
5. REFERENSI Adelia N. 2010. Pengetahuan Tradisional tentang Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Obat oleh Suku Lom Dusun Air Abik Kecamatan Belinyu Bangka [Skripsi]. Balunijuk: Universitas Bangka Belitung. Badge N, Jain S. 2013. An ethnozoological studies and medicinal values of vertebrate origin in the adjoining areas of Pench National Park of Chhindwara District of Madhya Pradesh, India. Int. J. of Life Sciences1 (4): 278-283 Christina LS. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Yogyakarta: Kanisius [CITES] Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. 2007. Appendices I, II and III. http://www.cites.org [15 Mei 2015] Costa-Neto EM. 2005. Animal Base Medicines: Biological Propection and the Sustainable Use of Zootherapeutic Resources. An Acad Bras Cienc 77 (1): 33-43 Deqy TS. 2014. Korpus Mapur dalam Islamisasi Bangka. Yogyakarta: Ombak Hamdani R, Tjong DH, Herwina H. 2013. Potensi Herpetofauna dalam Pengobatan Tradisional di Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas 2 (2): 110117 Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LAC, Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity Standard Methods for Amphibians. Washington and London: Smithsonian Institution Press. Inger RF, Kong CP. 1962. The Fresh-Water Fishes of North Borneo. Chicago, United
States of America: Chicago Natural History Museum Press Inger RF. 1966. The Systematics and Zoogeography of The Amphibia of Borneo. Chicago, U.S.A.: Field Museum Press [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2001. The IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org [15 Mei 2015] Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Bogor: Puslitbang Biologi Kuntorini EM. 2005. Botani Ekonomi Suku Zingiberaceae sebagai Obat Tradisional oleh Masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. J. Bioscientiae 2 (1): 25-36 Kusumawati D, Sardjana IKW. 2011. Bahan Ajar Satwa Liar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Marinespecies. 2015. World Register of Marine Species. http://www.marinespecies.org [11 April 2015] Mishra N, Rout SD, Panda T. 2011. Ethnozoological studies and medicinal values of Similipal Biosphere Reserve, Orissa, India. http://www.academicjournals.org/ajpp [14 Maret 2015]. Moore J. 2006. An Introduction to the Invertebrates. New York: Cambridge University Press. Nuraini D. 2010. Inventarisasi Tumbuhan Obat di Kecamatan Air Gegas, Kecamatan Payung dan Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan [skripsi]. Balunijuk: Universitas Bangka Belitung. PUSDATINKOMTEL. 2013. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. http://www.kemendagri.go.id/pages/profil -daerah/provinsi/detail/19/kepulauanbangka-belitung [23 Januari 2015] Smedal OH. 1989. Order and Difference: An Ethnographic Study of Orang Lom of Bangka, West Indonesia. http://www.anthrobase.com/Txt/S/Smedal _O_02.htm [5 Februari 2015] Tim Peneliti Ristoja. 2013. Tumbuhan Obat Suku Lom Seri Tumbuhan Obat Bangka Belitung. Pangkalpinang: UBB Press. Verma AK, Prasad SB, Rongpi T, Arjun J. 2014. Traditional Healing with Animals (Zootherapy) by The Major Ethnic Group 17
of Karbi Anglong District of Assam, India. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences6 (8): 593600. Zulkarnain I, Franto. 2014. Pemberdayaan Masyarakat melalui Pemetaan Partisipatif untuk Identifikasi dan Pemetaan Wilayah Adat Suku Lom [Laporan KKN PPM].
Balunijuk: Universitas Bangka Belitung In Press
18
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI CACING INTESTINAL PADA KIJANG BANGKA (MUNTIACUS MUNTJAK BANCANUS) DARI PENANGKARAN SATWA ZAKARIA, PANGKALPINANG, BANGKA Budi Afriyansyah1), Nur Annis Hidayati2, Randy Syafutra3 Fakultas Petanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 1) email:
[email protected] 2 Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 2) email:
[email protected] 3 Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 3) email:
[email protected] 1
Abstract Zakaria’s Animal Captivity is a conservation captivity. There are 12 Bangka muntjacs in Zakaria’s Animal Captivity. Various infections and diseases are unavoidable, such as those that are caused by intestinal worms. This research aimed to determine which intestinal worms parasitize Bangka muntjacs and their prevalences through feces examination, and determine its health status. The research consisted of collection and treatment of samples, samples examination (qualitative: floatation and sedimentation method, and quantitative: Whitlock method), identification and data analysis. Qualitative examination showed that eggs of Echinococcus sp., Metagonimus sp. and Schistosoma sp. were found in Bangka muntjacs. Total egg’s prevalence of intestinal worm of Bangka muntjac was 33,3 %, with 16,6 % for male and 36,6 % for female. The highest egg prevalence was for Echinococcus sp. (83,3 %) and the lowest was for Metagonimus sp. and Schistosoma sp. (8,3 %). TEGF (Total of Eggs per Gram Feces) of Bangka muntjac was 63,63 ± 7,41, with TEGF of male was 36,89 ± 1,93 and TEGF of female was 69,98 ± 8,51. It indicates the health status of Bangka muntjacs from Zakaria’s Animal Captivity relatively healthy. Keywords:’Bangka muntjac, feces, intestinal worm, Zakaria’s Animal Captivity 1. PENDAHULUAN Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam tubuh organisme lain (inang) yang merusak jaringan, mengisap darah dan mengambil makanan inang. Keberadaan parasit ini sangat mempengaruhi kualitas dan kesehatan inang yang terinfeksi (Lim 1998 dalam Pramiati 2002). Berdasarkan habitatnya, parasit dikelompokkan menjadi ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di permukaan luar tubuh inang, misalnya caplak dan kutu. Sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang, misalnya protozoa (Pramiati 2002). Cacing intestinal merupakan endoparasit yang diketahui sering menyerang kijang (Muntiacus muntjak). Salah satu diantaranya adalah serangan cacing Paramphistomum spp., Haemonchus spp., Strongyloides spp., Trichuris spp., Trichostrongylus spp., Oesophagostomum spp. dan Capillaria spp. pada kijang dari Kebun Binatang Dhaka, Kebun Binatang Chittagong dan Taman Safari Dulahazara, Bangladesh
(Kanungo et al. 2010). Penelitian cacing intestinal yang menyerang kijang di Indonesia khususnya di penangkaran diketahui belum pernah dilakukan. Hal ini mengakibatkan penangkaran kijang yang ada di Indonesia menjadi kesulitan menangani masalah demikian. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosis kijang yang terinfeksi cacing intestinal sejak dini agar dilakukan pencegahan dan pengobatan secara berkala. Pencegahan dan pengobatan menjadi efektif dilakukan apabila diketahui secara pasti jenis cacing intestinal yang menginfeksi. Bayadhi (2012) menyatakan salah satu cara mendiagnosis keberadaan dan jenis cacing intestinal dalam tubuh hewan (dalam hal ini kijang) adalah melalui pemeriksaan feses. Penelitian mengenai identifikasi dan prevalensi cacing intestinal pada feses kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) dari Penangkaran Satwa Zakaria Pangkalpinang, Bangka penting dilakukan karena jenis dan prevalensi cacing intestinal pada kijang Bangka 19
tersebut dapat diketahui sehingga pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan dengan tepat. Upaya pencegahan dan pengobatan yang dilakukan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesehatan kijang Bangka sehingga kelestariannya tetap terjaga. Selain itu dengan adanya penelitian ini, referensi mengenai jenis dan prevalensi cacing intestinal pada kijang di Indonesia menjadi semakin bertambah. 2. METODE PENELITIAN Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2013 hingga bulan Mei 2013. Sampel feses kijang Bangka diambil dari Penangkaran Satwa Zakaria di Kelurahan Gabek I, Kecamatan Gabek, Kota Pangkalpinang. Perlakuan, pemeriksaan dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Biologi, Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi (FPPB), Universitas Bangka Belitung (UBB). Objek Penelitian Objek penelitian adalah feses kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus Lyon 1907). Kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria berjumlah 12 ekor yang terdiri dari 2 ekor jantan dan 10 ekor betina. Kijang Bangka termuda dan tertua adalah jantan dengan umur masing-masing 3 bulan dan 2 tahun 9 bulan.
Alat dan Bahan Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian antara lain: alat sentrifuse (centrifuge tool) dan tabung sentrifuse (centrifuge tube), botol sampel, counting chamber dan pipet khusus counting chamber, gelas beker (beaker glass), kaca objek (object glass) dan kaca penutup (cover glass), lemari pendingin (freezer), mikroskop Olympus-FSX100, penyaring (saringan teh dengan ukuran lubang 750900’x’600-675’µm), pipet kaca, sarung tangan, spatula, dan timbangan digital. Sedangkan bahan yang diperlukan antara lain: feses kijang Bangka, larutan gula Sheather (campuran dari 55’% gula pasir, 44’% air suling dan 1’% fenol cair) dan larutan lugol. Pengambilan dan Perlakuan terhadap Sampel Feses Sampel feses yang diambil adalah feses segar 12 ekor kijang Bangka yang jatuh ke
tanah. Pengambilan sampel feses dilakukan sekali dalam sehari selama tiga hari berturutturut pada pukul 08.00 WIB-10.00 WIB. Feses diamati kondisinya (bentuk dan konsistensi), kemudian disimpan dalam botol sampel serta diberi label identitas. Berat feses yang diambil ± 5 g dan disimpan dalam freezer pada suhu ± 4’°C sampai proses pemeriksaan. Sampel feses tersebut diperiksa dengan cara:’(1)’pemeriksaan kualitatif, yaitu dengan metode pengapungan (floatation) dan metode pengendapan (sedimentation), dan (2)’pemeriksaan kuantitatif, yaitu dengan menggunakan metode Whitlock (Bayadhi 2012). Identifikasi Telur, Larva dan Cacing Intestinal Telur, larva dan cacing intestinal yang ditemukan pada feses kijang Bangka diukur panjang dan lebar, kemudian dibandingkan secara morfologi telur, larva atau cacing intestinal dewasa yang terdapat pada literatur sampai tingkat marga. Analisis Data Analisis data dijabarkan secara deskriptif dari hasil identifikasi dan perhitungan telur atau hasil identifikasi larva atau cacing intestinal. Sampel feses dinyatakan positif bila ditemukan telur, larva atau cacing intestinal dewasa. Prevalensi digunakan dalam analisa data. Dorland (2002) dalam Mulyaningrum (2010) menyatakan prevalensi adalah persentase jumlah makhluk hidup (dalam hal ini kijang Bangka) dalam populasi yang menderita suatu infeksi (dalam hal ini infeksi dari cacing intestinal). Berikut rumus prevalensi (Bayadhi 2012), yaitu:
Jumlah telur cacing intestinal per gram feses dalam metode Whitlock dihitung dengan rumus TTGF (Total Telur per Gram Feses) (Whitlock 1948 dalam Kurniawan 2011) sebagai berikut:’ TTGF
=
Keterangan: n =””Jumlah telur dalam “”””””””””1 kamar hitung
cacing
intestinal
20
Bf =””Berat feses (tinja) (g) Vt =””Volume sampel total (mL) Vk =””Volume kamar hitung (vk = 0.5 “”””””””””mL/kamar) TTGF dengan standard error dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Sudjana 1986):
Keterangan: x̅ =””TTGF SD =””Standard deviation (simpangan baku) n =””Jumlah sampel penelitian SE =””Standard error (kesalahan baku) Ax̅ =””TTGF dengan standard error Untuk menentukan tingkat infeksi telur cacing intestinal (ringan, sedang dan berat) digunakan standar DI (derajat infeksi) dari TTGF (Tabel 1). Tabel’1”Standar DI dari TTGF TTGF 001 – 199 200 – 999 >’1.000
dibandingkan dengan standar DI pada Tabel 3 tergolong kedalam kategori ringan, sehingga disimpulkan status kesehatan kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria tergolong sehat. Kondisi Sampel Feses Kijang Bangka Sampel feses kijang Bangka yang didapatkan memiliki bentuk seperti pil dan berwarna hijau kecokelatan hingga cokelat kehitaman. Feses kijang Bangka yang berbentuk padat dengan konsistensi lembek menunjukkan bahwa feses tersebut dalam keadaan normal atau tidak dalam kondisi diare. Jenis Telur Cacing Intestinal Dari hasil identifikasi telur cacing intestinal terhadap 36 sampel feses kijang Bangka ditemukan tiga jenis telur cacing intestinal, yaitu: Echinococcus sp. (filum Platyhelminthes; kelas Cestoda; bangsa Cyclophyllidea; suku Taeniidae), Metagonimus sp. (filum Platyhelminthes; kelas Trematoda; subkelas Digenea; suku Heterophyidae) dan Schistosoma sp. (filum Platyhelminthes; kelas Trematoda, Derajat Infeksi (DI) subkelas Digenea, suku Schistomatidae) (Tabel 2). Ringan (Low) Tabel’2”Jenis telur cacing intestinal yang ditemukan dari penelitian dan literatur Sedang (Intermediate) Berat (Heavy)
Sumber:”(Gordon 1973) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam pemeriksaan kualitatif ditemukan keberadaan telur cacing Echinococcus sp., Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. pada kijang Bangka. Selain itu didapat juga penghitungan prevalensi total telur cacing intestinal pada kijang Bangka, yaitu: 33,3 % (16,6 % pada jantan dan 36,6 % pada betina). Untuk prevalensi telur tertinggi adalah Echinococcus sp. (83,3 %) dan terendah adalah Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. (8,3 %). Penghitungan TTGF (Total Telur per Gram Feses) kijang Bangka diketahui sebesar 63,63 ± 7,41 (TTGF jantan sebesar 36,89 ± 1,93 dan TTGF betina sebesar 69,98 ± 8,51). TTGF kijang Bangka tersebut jika
Tiga jenis telur cacing intestinal (Echinococcus sp., Metagonimus sp. dan Schistosoma sp.) ditemukan dalam 21
pemeriksaan kualitatif dengan metode pengapungan (floatation). Untuk pemeriksaan kualitatif dengan metode pengendapan (sedimentation), tidak ditemukan telur atau cacing intestinal. Selain itu ditemukan juga satu jenis sporozoa, yaitu Eimeria sp. dalam pemeriksaan kualitatif dengan metode pengapungan. Namun tidak dibahas lebih lanjut karena penelitian ini terbatas pada telur cacing intestinal atau cacing intestinal saja, tidak untuk protozoa atau sporozoa. Telur cacing intestinal yang ditemukan seluruhnya dalam keadaan belum berkembang dan secara umum morfologi dari telur ini berbentuk bulat hingga oval, bewarna kuning kecokelatan dan memiliki dinding. Perbedaan antara satu jenis telur dengan yang lain didasarkan pada karakteristik morfologi yang khas serta ukurannya. Telur cacing intestinal yang ditemukan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Echinococcus sp. Telur cacing Echinococcus sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka berbentuk bulat tanpa opercular shoulder dan operculum, berwarna kuning kecokelatan, berdinding bergaris secara radier, serta memiliki diameter rata-rata sekitar 25-30 µm. Ciri telur cacing Echinococcus sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka tersebut berciri sama dengan apa yang dinyatakan literatur (Price 2004; Yamamoto et al. 2006; Yamaguchi 1992 dalam Jusmaldi & Wijayanti 2010; Jusmaldi & Wijayanti 2010), yaitu: telur berbentuk bulat tanpa opercular shoulder dan operculum, berwarna kuning sampai kuning kecokelatan, berdinding bergaris secara radier dengan embryophore yang tebal, serta berdiameter rata-rata sekitar 24-30 µm. 2.
Metagonimus sp. Telur cacing Metagonimus sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka berbentuk ovoid (bujur telur) dengan opercular shoulder dan operculum pada salah satu ujungnya, berdinding tebal, berwarna kuning kecokelatan, serta memiliki panjang 35,91 µm dan lebar 21,65 µm. Ciri telur cacing Metagonimus sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang
Bangka tersebut berciri sama dengan apa yang dinyatakan literatur (Chai & Lee 1990; Ditrich et al. 1992; Saito et al. 1997; Price 2004; Uppal & Wadhwa 2005; Jusmaldi & Wijayanti 2010; Lee et al. 2012), yaitu: telur berbentuk ovoid, berdinding tebal, berwarna kuning pucat hingga cokelat terang, mempunyai opercular shoulder yang tidak menyolok dengan operculum yang menonjol pada salah satu ujung dan blunt point (titik tumpul) yang sangat kecil pada ujung lainnya, berembrio, serta memiliki panjang rata-rata sekitar 23-36 µm dan lebar rata-rata sekitar 11,5-23 µm. 3.
Schistosoma sp. Telur cacing Schistosoma sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka berbentuk memanjang (panjang sekitar 192,16 µm dan lebar sekitar 46,47 µm) dengan tonjolan seperti spine pada salah satu ujungnya, berwarna kuning kecokelatan, serta berdinding tembus sinar. Ciri telur cacing Schistosoma sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka tersebut berciri sama dengan apa yang dinyatakan literatur (Price 2004; Jusmaldi & Wijayanti 2010), yaitu: telur berwarna cokelat kekuningan, berdinding tembus sinar, terdapat tonjolan seperti spine yang mencolok pada salah satu ujungnya, serta memiliki panjang ratarata sekitar 70-232 µm dan lebar rata-rata sekitar 45-90 µm.
Prevalensi Telur Cacing Intestinal pada Kijang Bangka Berdasarkan data Tabel 3 diketahui prevalensi total telur cacing intestinal pada kijang Bangka sebesar 33,3 % dengan prevalensi telur cacing intestinal pada kijang Bangka jantan sebesar 16,6 % dan prevalensi telur cacing intestinal pada kijang Bangka betina sebesar 36,6 %. Selain itu diketahui prevalensi telur cacing Echinococcus sp. merupakan yang tertinggi (83,3 %), sedangkan prevalensi telur cacing Metagonimus sp. dan Scistosoma sp. merupakan yang terendah (8,3 %). Perbedaan tingkat prevalensi telur cacing ini kemungkinan disebabkan oleh penyebaran dan jumlah populasi hospes / inang perantara 22
berupa jenis siput di lokasi penelitian dan tercemarnya sumber pakan oleh telur cacing intestinal, mengingat sumber pakan pada lokasi penelitian ini sebagian besar diambil dari luar penangkaran. Namun dalam penelitian ini pengamatan hospes perantara dan sumber pakan tidak dilakukan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jusmaldi & Wijayanti (2010) dalam penelitiannya tentang prevalensi infeksi telur cacing gastrointestinal pada penangkaran rusa sambar di Desa Api-Api Kabupaten Penajam Paser Utara.
kijang Bangka sebesar 63,63 ± 7,41 dengan TTGF kijang Bangka jantan sebesar 36,89 ± 1,93 dan TTGF kijang Bangka betina sebesar 69,98 ± 8,51. TTGF kijang Bangka tersebut jika dibandingkan dengan standar DI pada Tabel 2 tergolong kedalam kategori ringan, sehingga disimpulkan status kesehatan kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria tergolong sehat. Tabel’4”TTGF kijang pemeriksaan kuantitatif Whitlock
Bangka dengan
dalam metode
Tabel’3”Prevalensi telur cacing intestinal dalam pemeriksaan kualitatif dengan metode pengapungan
Tingginya prevalensi telur cacing Echinococcus sp., serta rendahnya prevalensi telur cacing Metagonimus sp. dan Scistosoma sp. pada kijang Bangka kemungkinan besar juga disebabkan oleh faktor tingkat kekebalan inang. Echinococcus sp. diduga memiliki kemampuan menghindari pertahanan tubuh kijang Bangka yang lebih baik dibandingkan dengan Metagonimus sp. dan Scistosoma sp., sehingga perkembangannya jauh lebih baik. Kemampuan Echinococcus sp. menghindari pertahanan tubuh kijang Bangka ini kemungkinan besar dikarenakan ketebalan cangkang telur Echinococcus sp. yang cukup kuat dan resisten untuk menahan serangan sel darah putih kijang Bangka. Sebaliknya untuk ketebalan cangkang telur Metagonimus sp. dan Scistosoma sp. kemungkinan besar belum cukup kuat dan resisten untuk menahan serangan-serangan sel darah putih kijang Bangka, sehingga perkembangannya jauh lebih buruk dibandingkan perkembangan Echinococcus sp. Hal yang sama dinyatakan oleh Soulsby (1982) bahwa pada umumnya infeksi cacing intestinal berjalan kronis diakibatkan oleh lemahnya pertahanan alamiah dan kemampuan cacing intestinal untuk mengelak dari pertahanan spesifik inang definitif. Tingkat Infeksi Telur Cacing Intestinal Berdasarkan data Tabel 4 diketahui TTGF
Tindakan Pengendalian Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa kijang Bangka di Penangkaran Zakaria masih terpelihara dengan baik. Hal ini menandakan sistem pemeliharaan di penangkaran tersebut tergolong ke dalam kategori baik. Walaupun demikian, tindakan pengendalian perlu dilakukan untuk mengendalikan infeksi dan penyakit yang disebabkan cacing intestinal pada kijang Bangka di kemudian hari. Pengendalian infeksi dan penyakit cacing intestinal merupakan salah satu usaha untuk mengoptimalkan pemeliharaan hewan penangkaran (dalam hal ini kijang Bangka). Menurut Infovet (2008), cara yang dapat dilakukan agar penangkaran terhindar dari infeksi dan penyakit cacing intestinal adalah dengan melakukan pencegahan, yaitu: memberikan obat cacing intestinal (antelmintik) berspektrum luas secara berkala sesuai dengan dosis pencegahan, melakukan sanitasi areal penangkaran dan peralatan penangkaran, menjaga kepadatan areal penangkaran, memberikan ransum dengan kandungan mineral dan protein yang cukup untuk hewan penangkaran, serta mencegah areal penangkaran menjadi becek dan berlumpur. Selain pencegahan, pengobatan pada hewan penangkaran yang telah terserang 23
infeksi dan penyakit cacing intestinal juga harus dilakukan dengan cara memberikan antelmintik sesuai dengan jenis cacing intestinal dan dosis pengobatan. Selain itu, pemberian antelmintik sebaiknya dilakukan secara serempak dalam satu areal penangkaran yang terserang. 4. KESIMPULAN 1.
2.
3.
Pemeriksaan kualitatif menunjukkan adanya keberadaan dari telur cacing Echinococcus sp., Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. pada kijang Bangka. Prevalensi total telur cacing intestinal pada kijang Bangka adalah 33,3 % dengan 16,6 % pada jantan dan 36,6 % pada betina. Prevalensi telur tertinggi adalah Echinococcus sp. (83,3 %) dan terendah adalah Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. (8,3 %). TTGF kijang Bangka sebesar 63,63 ± 7,41 dengan TTGF kijang Bangka jantan sebesar 36,89 ± 1,93 dan TTGF kijang Bangka betina sebesar 69,98 ± 8,51. Hal ini menandakan status kesehatan kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria tergolong sehat.
5. REFERENSI Bayadhi A. 2012. Identifikasi Cacing Parasit pada Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kebun Binatang Bandung [skripsi]. Bandung: Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia. Blagburn B. 2010. Diagnostic Manual: Internal Parasites of Dogs and Cats. Novartis Animal Health US, Inc. [CDC]”’Center”for”Disease”Control”and”Prev ention. 2009a. Intestinal Parasites: Comparative Morphology, Trematode Eggs Found in Stool Specimens of Humans. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/frames / morphologytables/body_morph_figure5.ht m [28 Maret 2013]. CDC. 2009b. Schistosomiasis. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ HTML/ImageLibrary/SZ/Schistosomiasis/
body_Schistosomiasis_il7.htm [28 Januari 2013]. CDC. 2010. Echinococcocis. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ HTML/ImageLibrary/AF/Echinococcosis/ body_Echinococcosis_il5.htm [28 Januari 2013]. Chai JY, SH Lee. 1990. Intestinal Trematodes of Humans in Korea: Metagonimus, Heterophyids and Echinostomes. Korean J of Parasitol 28: 103-122. Ditrich O, M Giboda, T Scholz, SA Beer. 1992. Comparative Morphology of Eggs of Haplorchiinae (Trematoda: Heterophyidae) and Some Other Medically Important Heterophyid and Opisthorchiid Flukes. Folia Parasitol 39: 123-132. Gordon HM. 1973. Epidemiolog of Helminthiasis Course for Veteran on Parasitology and Epidemiology. Australia: University of Sydney. Infovet. 2008. Cacingan dan Pengobatannya. [terhubung berkala]. http://www.majalahin fovet.com/2008/07/cacingan-danpengobata nnya.html [20 Mei 2013]. Jusmaldi, A Wijayanti. 2010. Prevalensi dan Jenis Telur Cacing Gastrointestinal pada Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Penangkaran Rusa Desa Api-Api Kabupaten Penajam Paser Utara. Bioprospek 7 (2): 77-85. Lee JJ, BK Jung, H Lim, MY Lee, SY Choi, EH Shin, JY Chai. 2012. Comparative Morphology of Minute Intestinal Fluke Eggs that Can Occur in Human Stools in Republic of Korea. Korean J Parasitol 50 (3): 207-213. Mulyaningrum P. 2010. Prevalensi Penyakit Invaginasi pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dengan Rumah Sakit Dokter Pirngadi Medan Periode 2006-2009 [skripsi]. Medan: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Kanungo S, Das A, Das GM, Shakif-ul-Azam. 2010. Prevalance of gastro-intestinal helminthiasis in Captive Deer of Bangladesh. Wayamba J of Animal Sci 1: 42-45. Kurniawan MC. 2011. Inventarisasi Cacing Saluran Pencernaan Elang Jawa (Spizaetus 24
bartelsi Stressman, 1924) dan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus Gmelin, 1788) di Habitat Eks-Situ [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pramiati I. 2002. Cacing Ektoparasit pada Kura-Kura Air Tawar (Cuora amboinensis) di Daerah Banten [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Price DL. 2004. Helminth Key. [terhubung berkala].”http://health.usf.edu/publichealt h/gh/parasitology/sem/helminthkey.htm [28 Maret 2013]. Saito S, JY Chai, KH Kim, SH Lee, HJ Rim. 1997. Metagonimus miyatai sp. nov. (Digenea: Heterophyidae), a New Intestinal Trematode Transmitted by Freshwater Fishes in Japan and Korea. Korean J of Parasitol 35 (4): 223-232. Soulsby. 1982. Helmints, Artropods and Protozoa of Domesticated Animal. 7th Edition. London: Bailliere and Tindol. Sudjana. 1986. Metode Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito. Uppal B, V Wadhwa. 2005. Rare Case of Metagonimus yokogawai. Indian J of Med Microbiol 23 (1): 61-62. Yamamoto N, Y Morishima, M Kon, M Yamaguchi, S Tanno, M Koyama, N Maeno, H Azuma, H Mizusawa, H Kimura, H Sugiyama, K Arakawa, M Kawanaka. 2006. The First Reported Case of a Dog Infected with Echinococcus multilocularis in Saitama Prefecture, Japan. Jpn J Infect Dis 59: 351-352.
25
Antibacterial Activity of Belilik (Brucea javanica (L).Merr) and Benta (WikstroemiaandrosaemofoliaDecne) toInhibitthe EnteropathogenicBacteria Henny Helmi, IdhaSusanti, Noptian Asmara Agung, SadamKusen Biology Department, Bangka Belitung University Corresponding Author e-mail:
[email protected], Phone/fax: (0717)422145 ABSTRACT Some plants has been used as traditionalmedicine since for along time ago. One of common disease which happen frequently in tropical country is diarrhea caused by the enteropathogenic bacteria such as Enteropathogenic Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Shigella sp.. Some plants which common used as medicine to cure diarrheain Bangka Belitung, Indonesia are belilik (Brucea javanica(L.)Merr).andbenta (WikstroemiaandrosaemofoliaDecne). Some parts of plants which can used as medicine are leaves, roots,and fruits. The aim of this study to know the antibacterial activity of ethanol crude extract of the roots and fruits of B. Javanicaand the leaves and fruits of W. Androsaemofoliaagainst the enteropathogenic bacteria (EPEC, P.aeruginoa, S. aureus, Shigella sp.). The method was used papper disc diffusion method. The results showed that at concentration 10 mg/mL, 20 mg/mL, and 30 mg/mL roots and fruits of B. Javanicacould not inhibit the enteropathogenic bacteria, while leaves and fruits of W.androsaemofoliacould inhibit the enteropathogenic bacteria. The leaves of W.androsaemofolia was the best extract to inhibit the growth of EPEC (20.55±1.5mm) and S.aureus (22.14±4.5mm), even if this extract compared to kanamysin at the same concentration (30 mg/mL). The fruits of W.androsaemofolia showed the best inhibition against Shigella sp. (19.64±1.8mm). Keywords:antibacterial,Brucea bacteria,WikstroemiaandrosaemofoliaDecne,
INTRODUCTION Recently, antibiotic resistance has become a global problem in the world. Some of pathogenic and infectious bacteria caused enteropathogenic disease are EPEC (Enteropathogenic E.coli), Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Shigellasp. Kusmala (2012),Noveria (2012), stated those bacteria are resist tosome antibiotic such as kanamysin,sefotaksim, amoxilin,chloramphenicol and tetracycline. Resistance case forced some researchers to find alternative drug to treat various disease such as antimicrobial drugs from medicinal plants. Contrary to the synthetic drugs, antimicrobials of plantare not associated with side effects and
javanica(L.)Merr,enteropathogenic
havetherapeutic potential to treat diseases(Anand et al, 2011) Researchers are increasingly turningtheir attention to natural products looking for new leadsto develop better drugs against cancer, as well as viral and microbial infections (Srinivasan et al, 2001).80% of the world’s population relies ontraditional medicines for primary healthcare, most of which involve the use of plantextracts(Sandhya et al, 2006). Many of plants has medicinal properties, such as antibacterial properties. Many of the plants used to day were known to the people of ancient culture throughout the world for their medicinal powers (Zalika 1975 in Dipankaret al, 2011). The used of plants traditionally by indigenous society can provide the foundation to modern 26
pharmaceutical compound (Philip et al, 2009). Indonesia is known as the second country which has plant diversity in the world after Brazil (Sampurno 2007). Supported by indigenous culture and knowledge of medicinal so that Indonesia posseses diversity of medicinal plants. Bangka Belitung Islands is a province in Indonesia which also rich of folk medicine.Bangka Belitung Community using plant such as belilik (Bruceajavanica (L) Merr )(Adelia 2010) and benta (Wikstroemiaandrosaemofolia Decne) as drugs in the treatment of diarrhea. B.javanica’s fruit can be used for the treatment of malaria, amoebic dysentery, vaginal candidiasis, hemorrhoids, intestinal worms, papilloma, and cancers of the throat while the roots for the treatment of malaria, fever, and food poisonous (Dalimartha 2001). Mixing of roots and stems are used for the treatment of fever and indigestion (Hendrian & Haidah 1999). B.javanica’s fruit contains saponins and tannins (Rahayu et al, 2009) so it assumed that root also contains these compounds. These compounds have the ability as antibacterial. BangkaBelitung community also used W.androsaemofoliaas antimalaria, but some people also used this plant as diarrhea’s drug.W.indica is still one genus with W. androsaemofolia containing the active component such as flavonoid, biflavonoid, coumarins, lignans, essential oils and polysaccharides (Li et al,2009) so that this plant allegedly also has properties as antibacterial. Those medicinal plants has a high erutility value to treat the disease. Information antibacterial activity against enteropathogenic bacteria in vitro of these plant have not been much studied. Therefore in this research antibacterial activity of B.javanica and
W.androsaemofolia against enteropathogenicbacteriawere investigated. The aim of this research to know the antibacterial activity of these plant and compared them to commercial antibiotic. This research can open new opportunity in treatment of diarrhea. MATERIAL AND METHOD Plant material Medicinal plant used in this study werebelilik (B.javanica (L)Merr) and Benta (W.androsaemofoliaDecne). B.javanicawere collected from Selindung, Pangkalpinang, Bangka Island while W.androsaemofolia were collected from Tanjungpandan, Belitung Island Indonesia. Extraction Extraction weredone by using soxhlet method. A total of each 100 g of B.javanica’sfruit and root, W.androsaemofolia’s leaves and fruit were crushed, then were soaked in 96% ethanol and heated to get the perfect extract and the solvent became clear. The solvent then were dried by using a vaccum rotary evaporator. Then the total percentage yield of extractionwere weighed and counted. Phytochemical tested Phytochemical analysis were analyzed by using qualitative method.This analysis was use to know the active compound of Belilik(Bruceajavanica (L.) Merr) fruit and root, W.androsaemofolia leaves and fruit. There are some active compound that analyzed such as alkaloids, flavonoids, phenols, saponins, steroid,tannins, and triterpenoid .
27
Alkaloids.30 mg of extract were added 10 mL of CHCl3 – NH3 , then filtered into a test tube. The filtrate was added with 3-5 drops of 2 M sulfuric acid and shaken untill formed two layers. Acid layer (top layer) pipette into another test tube, then added a pipette of Dragendorff reagent. Alkaloids detected by the formation of an orange to red brown sediment (Robinson 1995) Flavonoids. 30 mg of extractwere added 100 mL of hot water, boiled for 5 minutes, then filtered. The filtrate was added 5 mL of 0.05 mg Mg powder and concentrated HCl , then shaken vigorously. Positive test was indicated by the formation of red,yellow or orange (Harborne 1996) . Phenols. 30 mg of the extract were added 10 drops of 1 % FeCl3 . Positive extract contains phenols when produced green, red, purple or dark black ( Harborne 1996) . Saponins. 30 mg of extract were extracted with 5 mL of diethyl ether so divided two fractions which are soluble and insoluble in diethyl ether . Insoluble fraction of diethyl ether were then added 5 mL of water in a test tube and shaken. Positive test for the saponins indicated by foam with a height of 1-3 cm for 15 minutes ( Harborne 1996). Tannins. 30 mg of the extract were added hot water and boiled for 5 minutes and filtered and the filtrate was divided into 2 parts and each added FeCl3 1 %. The presence of tannins and poliphenol characterized by the formation of blue-green color and added gelatin (the presence of tannins characterized by the formation of a white precipitate ) (Harborne 1996) . Triterpenoids and Steroids. Soluble fraction in diethyl ether of saponin separated, then added 10 drops of glacial CH3COOH and 2 drops of concentrated
H2SO4. The solution was shaken slowly and left in few minutes. Steroids gave a blue or green color while for triterpenoids gave red or purple (Harborne 1996).
Test microorganism. Four enterophatogenic bacterial strains were used in this study: EPEC, P.aerugionosa, S.aureus, and Shigella sp. The bacteria obtained from the Microbiology Laboratory, Bangka Belitung University, Indonesia. Bacterial strains were cultivated at 37°C and maintened on NA (Oxoid, USA) slant at 4° C. Antimicrobial activity assay Antimicrobial activity was determined against four bacterial pathogens by papper disc diffusion method. The crude ethanol extract and antibiotic (kanamysin as control) were dissolved in aquades. Extract and antibiotic were tested in three concentration (10mg/mL, 20 mg/mL, and 30 mg/mL). 20 ml of Nutrient Agar and 100µL of bacterias at log phase (106-108 cell/mL) were poured intopetridishes (90mm each side), mixed and made homogent. After the agarplate solid, 6 mm diameter of blank antibiotic disc which had been soaked in extract and antibiotic with different concentration in 5 minutes, then placed on the surface of the inoculated agar plates. The plates were incubated at 37° C for 24 hour. The antibacterial activity was evaluated by measuring the zone of growth inhibition sorrounding the disc. Negative control were using papper disc soaked with aquades. The diameter of inhibition zone was measured by digital Vernier Caliper. Inhibition zone was calculated with
28
formula: Diameter of total inhibition zone- diameter of papper disc (6mm).
resulting 11.21% while leaves resulting 4.4%. The results of phytochemical test The result of phytochemical analysis by using qualitative method indicated that the B.javanica’s fruit contained alkaloids, flavonoids, and phenols, whereas the B.javanica’s root containedalkaloids, phenols, and saponins. The phytochemical tested of W.androsaemofolia showed that W. androsaemofolia fruits contained phenols, saponinsand steroidswhile leaves contained phenol and steroid (Table 1).
RESULT Extraction of medicinal plants The results showed that the extraction by using ethanol as solvent yielded different extract mass. The yield B.javanica’s fruits extraction resulting 2.9% while root resulting 8.39%. The yieldW.androsaemofolia’s fruits extraction Table1. Phytochemical test of tested plants Compounds Alkaloids Flavonoids Phenols Saponins Steroids Tanins and Poliphenols Triterpenoids Note : (+) detected
B. javanicafruits + + + -
B.javanicaroots + + + -
W.androsaemofoliafruits + + + -
W.androsaemofolialeaves + + -
-
-
-
-
Antibacterial Tested Based on the antibacterial tested showed that ethanol extract of W.androsaemofolia could inhibit the enteropathogenic bacteria effectively. At concentration 10,20,30 mg/mL B.javanica couldn’t inhibit the
growth of the enteropathogenic bacteria (Table2).W.androsaemofolia leaves made the best inhibition against EPEC (20.55±1.5mm)and S.aureus (22.14±4.5mm) even compared to kanamysin (15.3±6.6mm for EPEC and 19.61±6.0mm) at concentration 30mg/mL.
Table 2. Results of antibacterial test of the investigated plants in agar diffution assay Concentration Extract/ antibiotic B. javanicafruits
B. javanicaleaves
W.androsaemofoliafruits
W.androsaemofolialeaves
(mgmL-1)
Means of Inhibition zone (mm) against EPEC
P.a
S.a
Sh
10
0.0
0.0
0.0
0.0
20
0.0
0.0
0.0
0.0
30
0.0
0.0
0.0
0.0
10
0.0
0.0
0.0
0.0
20
0.0
0.0
0.0
0.0
30
0.0
0.0
0.0
0.0
10
11.13±1.3
13.47±2.5
16.59±3.0
17.13±1.7
20
15.39±1.0
14.54±0.8
15.88±3.0
18.58±2.3
30
12.63±1.1
14.17±1.7
16.48±3.0
19.64±1.8
10
17.33±2.5
12.24±0.7
16.09±4.5
12.89±2.1
29
Kanamycin
20
19.36±0.9
13.07±0.4
17.49±4.3
11.06±1.4
30
20.55±1.5*
14.74±2.2
22.14±4.5*
14.74±1.0
30
15.3±6.6
23.58±5.6*
19.61±6.0
22.21±0.3*
Notes: *(the best inhibition against tested bacterias)
Although compared to kanamysin, W.androsaemofolia’s fruits could not give better inhibition zone but Duncan Multiple Range Test (DMRT) showed that W.androsaemofolia’s fruits
againstShigella sp. made the same inhibition zones with W.androsaemofolia’sleavesagainst EPEC and S.aureus(Table 3).
Table 3. DMRT interaction between W.androsaemofoliaextract and bacteria Extract andbacteria
Inhibition zone (mm)
W.androsaemofolia leaves to EPEC 19.078a W.androsaemofolia fruits toShigellasp. 18.901a W.androsaemofolia leaves to S.aureus 18.568a W.androsaemofolia fruits to S.aureus 16.322b W.androsaemofolia fruits to P.aeruginosa 14.060c W.androsaemofolia leaves toP.aeruginosa 13.348c W.androsaemofolia fruits to EPEC 13.120c W.androsaemofolia leaves to Shigellasp. 12.790c Note: the same letter after inhibition zone showed the same effect of extract
DISCUSSION Ethanol crude extract of B.javanica both fruit and leaves can’t inhibit the EPEC, P.aeruginosa,S.aureus, Shigella sp..B.javanica called belilik in Bangka or makassar fruit in other province in Indonesia,Ya - and - zi in China is widely used to treat cancer disease but it also can serve as an anti-pyretic, detoxification, anti-inflammatory and anti-virus with the level of toxicity low (Chen et al, 2013). Based on this research, B. javanica fruit contained alkaloids, flavonoids, and phenols, whereas the B.javanica root contained alkaloids, phenols, and saponin (Table 1). Some researches stated thatB.javanica produces a variety of active compounds include: alkaloids (brucamarine, yatanine), glucoside (brucealin , yatanoside), and phenol (bruceno and bruceolic acid). The seeds of B.javanica containing brusatol and bruceine A, B, C, E, F, G, H. The flesh of B.javanica fruit contains fatty oil, oleic
acid, linoleic acid, stearic acid, and palmitic acid. Based on all that compound, the most were brucein (Wijayakusuma, 2008; Chen et al, 2013). Although, B.javanica contained antimicrobial compound such as alkaloids, phenols,saponins but in this study at concentration 10, 20,30 mg/mL can’t inhibit the tested bacterias. It assumed that by increasing the concentration level or other type of extraction and other solvent, both fruits or leaves of B.javanicamay be able to inhibit the tested bacterias.It also supported by Senthilnath et al, (2013) they stated that the plant extracts may have contained antibacterial constituents, just not in sufficient concentrations, so as to be effective. It is also possible that the active chemical constituents were not soluble in solvent their use. Sornwatana et al,(2013) stated that brucin, an antibacterial peptide derived from fruit protein of fructus B. javanica showed the most potent antibacterial activity against Strep. pyogenes. Rahayu et al,(2009) stated that 30
soxhletation extract of B. Javanicawas more effective than maceration at 30%, 60%, 90% concentration againstShigella dysentriaeATCC 9361 in vitro. In this study, W. androsaemofolia can inhibit all tested bacterias, both gram positive and negative.The demonstration of antimicrobial activity against both gram positive and gramnegative bacteria by the plant may be indicative of the presence of broad spectrumof antibiotic compounds (Lanset al, 2001). W.androsaemofolia’sleaves showed the best inhibition to EPEC and S.aureus at 30mg/mL even compare to kanamysin at the same concentration.W.androsaemofolia’s fruits showed good effect to inhibitShigellasp..DMRT showed that the capability of W.androsaemofolia‘sfruitinhibitShigella sp. was the same with the capability of W.androsaemofolia’s leaves inhibit EPEC and S.aureus. (Table 3 and figure 1)..The effect of W.androsaemofolia both leaves and fruits were different against four tested bacteria (Table 2.) but generally W.androsaemofolia can inhibit both gram positive and gram negative. Gywali et al, (2013) also stated that the mode of action of antimicrobial agents depended on the type of microorganism. Gram-positive bacterial cell walls contain peptidoglycan and teichoic or teichuronic acid, and the bacterium may or may not be surrounded by a protein or polysaccharide envelope. Gram-negative bacterial cell walls contain peptidoglycan, lipopolysaccharide, lipoprotein, phospholipid, and protein. The critical attack site of anti-cell-wall agents is the peptidoglycan layer. This layer is essential for the survival of bacteria in hypotonic environments; loss or damage of this layer destroys the rigidity of the bacterial cell wall, resulting in death. Outer wall of
Gram-positive and Gram-negative species and detail of porin channels of Gramnegative bacteria. Antimicrobial agents diffuse easily through the loose outer wall of Gram-positive bacteria, but must go through the narrow channels of the Gramnegative (Harold et al, 1996). In this research, it was assumed that W.androsaemofolia extract both leaves and fruits could cause damage cell wall of Gram positive and negative so that the extracts could inhibit the growth of both Gram positive bacteria (S.aureus) or Gram negative bacteria (EPEC, Shigella sp., and P.aeruginosa) The Chinese traditional medicinal showed that Wikstroemia apply as antioxidants, antimicrobes, antiinflamation, antivirus,antitumor, anticancer and antibrowning (Huang et al,2010; Lu et a,. 2011; Li et al,2012; Lu et al,2012; Koet al,2013).In this research, W. androsaemofolia fruits contained phenols, steroids and saponins while leaves contained phenols and steroids. Some researches reported thatWikstroemiacontained some flavonoid, biflavanoid, koumarin, atsiri oil, lignan, polysacharide, and others important compound (Huang et al,2010; Liet al,2010; Li et al,2012; Koet al,2013; Lu et al,2011; Lu et al,2012).Wikstroemiacontained flavonoid/biflavonoid, such asNaringin, 5,6,7-Trihydroxy-4’-methoxydihydroflavonol, kaempferol-3-O-b-Dglucopyranoside, kaempferol-3robinoside-7-rhamnoside, wikstrol A, wikstrol B, chamaejasmin, neochamaejasmin,isochamaejasmin,chama echromone, genkwanin, quercetin, quercitrin, sikokianin B, sikokianin C, sikokianin D, stelleranol, genkwanol C, genkwanol B, tricin, dan 4'methoxydaphnodorin (Li et al,2005;Huang et al,2010; Chen et al,2012; Li et al,2012; 31
Wei et al,2012; Yongqinet al, 2012; Koet al,2013). Yang & Zu (2006) reported that Wikstroemia indica decoction showed antibacterial activity against Bacillus coli,Staphylococcus aureus,Bacillus subtilis,Sarcina lutea using the doubling dilution method. The MIC of Bacillus coli, Staphylococcus aureus,Bacillus subtilis,Sarcina lutea were 156mg/mL,78mg/mL,78mg/mL and 39mg/mL,respectively;furthermore the MBC of the four kinds of bacteria were 312mg/mL,156mg/mL,156mg/mL and 78mg/mL,respectively. They conclude that the antibacterial activity was displayed as follow from strong to weak:Sarcina lutea,Staphylococcus aureus,Bacillus subtilis and Bacillus coli. Both leaves and fruits extract of W.androsaemofolia showed difference against bacteria tested, depend on active compound contained in each extract.Arulmozhi et al, (2007) stated that the antibacterial properties of medicinalplants may be due to presence of different chemical agents which were classified asbioactive antimicrobial compounds. Difference concentration also showed difference of zone inhibition. Yang & Zu (2006) stated that the antibacterial activity depended on the concentration. The optimal effectiveness of a medicinalplant may not be due to the one main active constituent, but may be due to the combinedaction of different compounds originally in the plant (Bhandarkaret al., 2003).Phenol compounds have capacity to link with .
proteins and bacterial membrane to form complexes (Zongo et al, 2011). Steroids have beenreported to have antibacterial properties, thecorrelation between membrane lipids andsensitivity for steroidal compound indicated the mechanism in which steroids specificallyassociate with membrane lipid and exerts itsaction by causing leakages from liposomes(Raquel et al., 2007). Antimicrobial property of saponin is due toits ability to cause leakage of proteins andcertain enzymes from the cell (Zablotowiczet al., 1996). The best concentration to inhibit the growth enteropathogenic bacteria was 30 mg/mL so that compared to commercial antibiotic aminoglycoside kanamysin at this concentration. Aminoglycosides are complex sugars connected in glycosidic linkage. Essential to the activity of these agents are free NH4 and OH groups by which aminoglycosides bind to specific ribosomal proteins (Haroldet al, 1996).Bactericidal effect of the aminoglycoside kanamycin has been extensively investigated revealing that it irreversibly binds to 16 S of 30S ribosomal subunit (Franklin & Snow 2005). In addition to targeting the protein synthesis machinery, kanamycin also inhibited the synthesis of DNA and targeted the cellular membrane composition. The increase in the incorporation of glucose into the lipids and hydrophobic fraction showed that cellular membrane was also damaged by the kanamycin treatment (Faraji et al, 2006)
a b Figure 1.Inhibition zone caused by W.androsaemofoliaa. leaves against EPECb. fruits against Shigella sp.
32
The results showed that W.androsaemofolia can be alternative as antimicrobial agents in new drugsfor the therapy of infectious diseases causedby the enteropathogenic bacterias especially EPEC, S.aureus, Shigella. But further studies mustbe carried out to enhance the activity of plant extracts, may be by using other solvent, extraction techniques, or purification. It is also necessary to checksafety of plant extracts beforepharmaceutical uses. The studyscientifically proves the importance of plantproducts in development of a potentantibacterial agent. ACKNOWLEDGMENT We would thank to Umajaya and Yuliana who assisted in Brucea javanica’s antibacterial in Microbiology Laboratory, Bangka Belitung University REFERRENCES Adelia N. 2010. Pengetahuan Tradisional Tentang Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat Suku Lom di Dusun Air Abik desa Gunung Muda Kecamatan Belinyu Bangka[skripsi].Bangka: Universitas Bangka Belitung. Anand SP, Doss A,Nandagopalan V.2011. Antibacterial studies on leaves of Clitoria ternateaLinn – a high potential medicinal plant. IntJ of AppBiol and Pharmaceu Tech2 (3). Arulmozhi S, Mazumder PM, Ashok P,Narayanan LS. 2007. Pharmacological activities of Alstonia scholaris Linn. (Apocynaceae)- A review. Pharmaco.Rev.1: 163 165. Bhandarkar M, Khan A. 2003. Protective effect of Lawsonia alba Lam. Against CCl4 induced hepatic damage in albino rats. Indian. J. Exp. Biol. 41: 85-87. Chen LY, Chen IS, Peng CF. 2012. Structural Elucidation and Bioactivity
of Biflavonoids from the Stems of Wikstroemiataiwanensis. Asian Nat Prod Res. 14 (4):401-6 Chen M, Chen R, Wang S, Tan W, Hu Y, Peng X, Wang Y. 2013. Chemical components, Pharmacological properties, and nanoparticulate delivery systems of Bruceajavanica. Int J of Nanomedicine.8: 85–92 Dalimarta S. 2001. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia.Jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya. Hlm: 28- 33. Dipankar C,Murugan S, Devi PU.2011.Review on Medicinal and Pharmacological Properties of Iresine herbstii, Chrozophora rottleri and Ecbolium linneanum. Afr J Tradit Complement Altern Med. 8(5 Suppl): 124–129. Faraji R, Parsa A, Torabi B, Withrow T. 2006. Effects of kanamycin on the Macromolecular Composition of kanamycin Sensitive Escherichia coli DH5! Strain.J of ExperimentMicrobiol and Immun (JEMI) Vol. 9:31Franklin TJ,Snow GA. 2005. Biochemistry and molecular biology of antimicrobial drug action. 6th ed. Springer, Cheshire, England Gywali R. et al. 2013. Antibacterial and cytotoxic activities of high altitude essential oils from Nepalese Himalaya.J.Med.Plants.Res. 7(13), pp. 738-743 Harborne JB.1996.MetodeFitokimia Penuntun Cara Modern MenganalisisTumbuhan. Terbitan Kedua: Bandung. ITB Harold CN, Thomas DG. 1996.Medical Microbiology.4th edition.Baron S, editor.Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston. Hendrian, Hadiah JT. 1999. Koleksi Tumbuhan Obat Kebun Raya Bogor. Bogor: UPT Balai Pengembangan
33
Kebun Raya Lembaga Pengetahuan Indonesia.
Ilmu
Huang W, Zhang X, Wang Y, Ye W, Ooi V, Chung H, Li Y. 2010. Antiviral biflavonoid from radix Wikstroemia (Liaogewanggen).Chinese Med.5(1):23. Ko YC, Feng HT, Lee RJ, Lee MR. 2013. The determination of plavonoids in Wikstroemia indica with photo-diode array detection and negative electrospray ionization tandem spectrometry [abstract]. Mass Spectrom27:59-67. Kusmala D. 2012. Uji Efektivitas Antibiotik yang Dihasilkan Cendawan Endofit dengan Beberapa Jenis Antibiotik Sinteteik dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Enteropatogenik Eschericia coli dan Pseudomonas aeruginosa. [skripsi]: Universitas Bangka Belitung Lans C, Harper T, Georges K, Bridgewater E. 2001. Medicinal andethnoveterinary remedies of hunters inTrinidad.BMC Complement Altern.Med., 1: 10. Li J. Lu LY, Zeng LH, Zhang C, Hu JL, Li XR. 2005. Sikokianin D, A New C-3/C3"-Biflavanone from the Roots of Wikstroemia[abstract]. http://www.mdpi.com/journal/molecule s.Accesed 14 Juli 2013. Li YM, Zhu L, Jiang JG, Yang L, Wang DY. 2012. Bioactive component and pharmacological action of Wikstroemia indica (L.) C.A. Mey and its clinical application [abstract]. CurrPharma Biotech.10(8): 1389-2010. Li JJ, Li C. 2010. Ultrasonic-microwave Synergistic Extraction and Antioxidant Activity of Total Flavonoids from Wikstroemia indica (Linn.) C.A. Mey [abstract]. Food Science: 16 Lu CL, Li YM, Fu GQ, Yang L, Jiang JG, Zhu L, Lin FL, Chen J, Lin QS. 2011. Ekstraction ptimization od daphnoretin from root bark of Wikstroemia indica
(L.) C.A. and its anti-tumor activity test [abstract]. Food Chemistry124(4):15001506. Lu CL, Zhu L, Piao JH, Jiang JG. 2012. Chemical compositions extracted from Wikstroemia indica and their multiple activities [abstract]. Pharm. Biol.50(2):225-231. Noveria I. 2012. Uji Efektivitas Antibiotik yang Dihasilkan Cendawan Endofit dengan Antibiotik Sintetik dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus dan Shigella sp. [skripsi]: Universitas Bangka Belitung Philip K, et al. 2009. Antimicrobial Activity of Some Medicinal Plants from Malaysia.American J of Appl Sciences. 6 (8): 1613-1617 Rahayu MP, Wiryosoendjoyo K, PrasetyoA. 2009. Uji aktivitas antibakteri ekstrak soxhletasi dan maserasi buah makasar (Brucea javanica (L) Merr.) terhadap bakteri Shigella dysentriae ATCC 9361 secara in vitro.Biomedika. 2 (1) 40-46 Raquel, Epand F. 2007. Bacterial lipidcomposition and the antimicrobialefficacy of cationic steroid compounds.BiochimicaetBiophysicaAct a.Pp. 2500 -2509. Robinson.1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB. Bandung Sornwatana T, Roytrakul S, Wetprasit N, Ratanapo S. 2013.Brucin, an antibacterial peptide derived from fruit protein of FructusBruceae, Bruceajavanica (L.) Merr.. . [abstract]. Lett.Appl.Microbiol. 57(2):129-36 Sandhya B, Thomas S, Isabel W,ShenbagarathaiR. 2006:Ethnomedicinal plants used by thevalaiyan community of Piranmalaihills (Reserved forest), Tamil Nadu,India A pilot study. Afri.J. ofTrad. Compl.and Alter. Med., 3:101-114. 34
Sampurno.2007. Obat Herbal dalam Prespektif Medik dan Bisnis.http://mot.farmasi.ugm.ac.id/f iles/13OBAT%20HERBAL_Sampur no.pdf. Accesed 03 November 2012. SenthilNath R, Balu PM and Murugesan K.Phyto-chemical Screening and Antibacterial Activity of Five Indian Medicinal Plants against Human Pathogens .Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci(2013) 2(3):75-84 Srinivasan D, Nathan, Sangeetha T, Suresh,Perumalsamy P, Lakshmana. 2001. Antimicrobialactivity of certain Indian medicinal plants used in folkloric medicine. J. Ethnopharmacology. 74: 217-220. Wang Y, Gilbert MG. 2007. "Wikstroemiaandrosaemofolia".Flora of China 13: 213, 215, 230. Yang Z,Du Z.2006.Study on antibacterial activity of Wikstroemia indica
decoction(abstract) J of Harbin Medicinal University Yongqin Y, Xin Z, Feng H, Zhibin S. 2012. Chemical Constituents of Wikstroemiaindica[abstract]. Chinese Journal of Modern Applied Pharmacy 29 (8): 697-699. Wijayakusuma H. 2008. AtasiKankerdenganTanamanObat. Jakarta: PuspaSehat. Zablotowicz RM, Hoagland RE, and Wagner SC. 1996.Effect of saponins on the growth and activity of rhizosphere bacteria.Adv in Experiment Med and Biol. 405,(83–95), 1996 Zongo, C., A. Savadogo, K.M. Somda, J. Koudou and A.S. Traore, 2011.In vitroevaluation of the antimicrobial and antioxidant properties of extracts from whole plant of Alternantherapungens H.B. & K. and leaves of Combretumsericeum G. Don. Int J of Phytomedicine.3: 182-191
35
Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sapu-sapu (Baeckea frutescens), Kertau (Morus alba) dan Beluntas (Pluchea indica) dalam Menghambat Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro
Antifungal Activity Test of Crude Ethanol Leaves Extract of Sapu-sapu (Baeckea frutescens L.), Kertau (Morus alba L.) and Beluntas (Pluchea indica L.) to Candida albicans Cause Candidiasis In Vitro. Pancawati, Henny Helmi, Yulian Fakhrurozi ABSTRACT Sapu-sapu (B. frutescens L.), beluntas (P. indica L.) and kertau (M. alba L.) are some medicinal plants which people often used for treating disease caused by yeast. The aims of this research were to know active compounds of leaves sapu-sapu (B. frutescens), beluntas (P. indica) and kertau (M. alba) and to know antifungal activity of those extracts to in inhibitit C. albicans. Extraction by maceration with ethanol 96%. The yield of extraction is 5,94 % for sapu-sapu, 6,56% for beluntas and 9% for kertau. Antifungal activity test was conducted by colony counting method with concentrations extract 500 mg/mL, 600 mg/mL and 700 mg/mL. Antibiotic ketokonazol was used as positive control as comparation. Data were analyzed both qualitatively and qualitative. Phytochemical contents were tested qualitatively. Phytochemical test showed that leaves extract of sapu-sapu (B. frutescens), and kertau (Morus alba) contain flavonoid, saponin, phenol, and tannin whereas beluntas contain flavonoid, saponin, steroid, phenol and tannin. The antifungal activity indicate that extract beluntas with concentrations 50 mg/ml was concentrations killing minimum, whereas statistics analysis to leaves of sapu-sapu (Baeckea frutescens) and kertau (Morus alba) indicate that both of these extract can inhibit the growh of C. albicans with the best concentrations 600 mg/ml. Key word: Baeckea frutescens, Pluchea indica, Morus alba, antifungal, C. albicans and Phytochemical
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia diperkirakan memiliki hutan tropika mencapai 143 juta ha yang merupakan tempat tumbuh 80% dari tumbuhan obat yang ada di dunia (Pramono 2002). Ersam (2004) diacu dalam Ristoja (2013), menyatakan bahwa distribusi tumbuhan obat tingkat tinggi yang terdapat di hutan tropika Indonesia lebih dari 12% (30.000 jenis) dari yang terdapat di muka bumi. Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional yang secara turun menurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional (Rahayu et al. 2009), dan juga kaya dengan keanekaragaman suku dan budaya. Hidayah (1997) diacu dalam Ristoja (2013) telah mengkaji 554 kelompok suku di Indonesia berdasarkan keaslian bahasa dan etnis. Masing-masing suku memiliki khasanah yang berbeda-beda. Pada setiap suku, terdapat beraneka ragam kekayaan kearifan lokal masyarakat, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan tradisional. Tumbuhan obat merupakan tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern ataupun obat-obat tradisional (Rini 2009). Menurut badan POM (2006), hanya 283 tumbuhan obat yang telah dibudidayakan, walaupun sebagian dari tumbuhan masih diambil dari hutan. Pemanfaatan jenis tumbuhan sebagai obat memiliki keunggulan, yaitu murah, mudah diolah, dan memiliki sedikit efek samping. Penggunaan tumbuhan obat lebih unggul jika dibandingkan dengan obat sintetik khususnya antibiotik. Penggunaan antibiotik yang berlebihan menyebabkan tidak hanya mikroba patogen yang terbunuh tetapi juga flora normal yang ada dalam tubuh ikut terbunuh. Selain itu pemakaian antibiotik yang tidak tepat untuk pengobatan infeksi oleh mikroba dapat memunculkan berbagai masalah setelah puluhan tahun pemakaiannya yaitu dapat menimbulkan resistensi terhadap antibiotik (Green 2005). Penelitian tentang aplikasi tumbuhan obat di Indonesia masih sangat terbatas dibandingkan negara lain.
Beberapa penelitian tumbuhan obat digunakan sebagai anti mikroba telah banyak dilakukan secara in vitro (Indrawati & Seta 2008). Beberapa tumbuhan yang telah diteliti memiliki potensi ektrak minyak atsiri sebagai pengendalian mikroba, diantaranya rimpang kunyit (Curcuma domestica), sirih (Piper battle) (Suryana 2009), kencur (Caempferia galanga) (Gholib 2009) beluntas (Pluchea indica) (Manu 2013). Kehadiran mikroba dalam tubuh manusia adalah hal yang wajar, karena di dalam tubuh terdapat flora normal, contohnya C. albicans. Sebagai flora normal C. albicans terdapat di jaringan mukosa dan saluran pencernaan (Brown et al. 2005). Namun, dalam kondisi yang melimpah spesies ini sangat berbahaya untuk kesehatan. Spesies ini dapat menyebabkan sariawan, lesia pada kulit, dan vulvavaginistis, dan bahkan dapat menimbulkan kanker (Dinubile et al. 2005). Penyakit yang ditimbulkan spesies ini merupakan masalah yang mewakili salah satu alasan paling sering bagi wanita pada semua kelompok umur untuk berkunjung ke dokter. Diperkirakan sekitar 70 – 75% wanita selama hidupnya akan mengalami sedikitnya satu kali fase vaginistis yang disebabkan oleh C. albicans (Umar 2011). Penelitian pendahuluan tentang daya hambat pertumbuhan spesies ini telah dilakukan dengan menggunakan minyak kelapa murni, namun hasilnya kurang menghambat pertumbuhan (Dewi & Haryadi 2009). Tumbuhan yang diduga mampu menghambat pertumbuhan mikroba adalah tumbuhan sapu-sapu (Baeckea frustesens), beluntas (Pluchea indica), kertau (Morus albus) karena mengandung senyawa anti mikroba seperti fenol hidrokuinon, alkaloid, polifenol, flavonoid, dan saponin. Tumbuhan beluntas dan pasak bumi memiliki senyawa aktif ini, namun untuk senyawa aktif pada sapu-sapu belum ada data. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan uji aktivitas daya hambat dari ektrak kasar sapu-sapu (Baeckea furstesens), beluntas (Pluchea indica), kertau (Morus albus) terhadap C. albicans secara In Vitro.
36
Rumusan Masalah Sampai saat ini penyakit kandidiasis yang disebabkan oleh spesies C. albicans masih banyak diderita oleh wanita. Penyakit ini membutuhkan alternatif pengobatan mengingat sering terjadinya resistensi mikroba terhadap penggunaan obat modern dan kimiawi. Salah satu alternatifnya dengan menggunakan pengobatan tradisional menggunakan tumbuhan obat sehingga dibutuhkan penelitian yang mampu membuktikan khasiat dari daun sapu-sapu, beluntas dan kertau terhadap pengobatan penyakit kandidiasis dengan cara pembentukan zona bening di sekitar isolat uji. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ekstrak daun sapu-sapu (Baeckea frustesens), beluntas (Pluchea indica), dan kertau (Morus albus) dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans penyebab
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Rencana penelitian dilaksanakan dari November 2013 sampai Februari 2014. Pengambilan sampel dilakukan pada 2 lokasi yang berbeda, yaitu di Selindung Pangkalpinang, dan di Desa Pinang Sebatang Kabupaten Bangka Tengah. Proses ekstraksi daun dan uji fitokimia dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, serta uji antifungi dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Alat Bahan
dan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, aluminium foil, autoklaf, blender, cawan petri, erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, gunting, GPS, hotplate, inkubator, jangka sorong digital, jarum ose, kamera, Laminar Air Flow (LAF), microwave, mikro pipet, micro tip, pinset, pipet tetes, rotary evaporator, tabung reaksi, tisu, plastik wrap, orbital shaker, soil tester, spatula, spektrofotometer (UV-VIS 1800), tabung eppendorf, dan termohigrometer dan vortex. Bahan yang digunakan yaitu, daun sapu-sapu (Baeckea frustesens), beluntas (Pluchea indica), kertau (Morus albus), alkohol 70%, akuades steril, etanol, agar-agar, kloramfenikol, media Sabouraud Dextrose Broth (SDB), Magnesium (Mg), Asam klorida (HCl), FeCl3 5%, dan isolat C. albicans (isolat berasal dari Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia).
Prosedur Penelitian Pengambilan Sampel dan Ekstraksi Pengambilan sampel tumbuhan di ambil didua lokasi yang berbeda dengan memperhatikan kondisi lingkungan seperti, kelembaban, suhu, pH tanah dan titik koordinat lokasi. Sampel yang daun sapu-sapu (Baeckea frutesens), beluntas (Pluchea
indica) dan kertau (Morus albus) diambil bagian daun yang tua. Sampel yang telah diperolah dicuci dan dilakukan pengeringan diudara terbuka tidak langsung terkena sinar matahari supaya senyawa bioaktif tidak rusak. Setelah kering lalu diblender. Bahan simplisia lalu dimaserasi dengan etanol 95% selama 3×24 jam, sebagai asumsi bahwa pelarut polar ini dapat menarik semua senyawa terkandung dalam daun sapusapu, beluntas dan pasak bumi. Proses ektraksi dilanjutkan
penyakit kandidiasis. Serta mengetahui konsentrasi hambat minimum dari ketiga sampel tumbuhan dalam mengahambat pertumbuhan C. albicans. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif sebagai tumbuhan obat untuk diaplikasikan sebagai obat tradisional dalam masyarakat mengatasi penyakit kandidiasis. Hipotesis Sedikitnya ada satu pasang interaksi perlakuan jenis ektrak dan isolat uji (C. albicans). Perlakuan konsentrasi dari jenis ektrak mampu menghambat pertumbuhan C. albicans
dengan proses penguapan menggunakan rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental etanol yang merupakan ekstrak kasar (crude extract). Untuk mencegah penguraian atau perusakan senyawa ekstrak tersebut disimpan di dalam lemari es pada suhu 0oC (Harborne 1987). Analisis Laboratorium Kurva Pertumbuhan Khamir Kultur isolat C. albicans diamati kurva pertumbuhannya dengan menginokulasi 1 ose biakan C. albicans pada media SDB cair 50 ml dan dihomogenkan dengan orbital shaker selama 24 jam pada suhu 37oC dengan kecepatan 125 rpm. Setelah 24 jam, sebanyak 1 ml kultur C. albicans dipindahkan ke dalam 50 ml media SDB steril dan diinkubasi pada suhu 370C dengan kecepatan 125 rpm. Sebanyak 3 ml sampel C. albicans tersebut dimasukkan kedalam kuvet. Sebagai blanko digunakan 3 ml media SDB steril. Sampel C. albicans diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm setiap 2 jam sekali mulai jam ke-0 sampai absorbansinya mencapai 0.6-0.8. Absorbansi yang didapat digunakan untuk uji selanjutnya. Penentuan Kosentrasi Hambat Minimum (KHM) Penentuan KHM mengguankan metode dilusi cair untuk menentukan nilai konsentrasi hambat minimum. Untuk uji dilusi, masing-masing ekstrak diencerkan dengan penambahan akuades steril dengan berbagai konsenterasi ekstrak 20, 100 dan 200 mg/ml. Esktrak yang telah dicampur dihomogenkan kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi media SDB (Sauboraud Dextrose Broth) steril, kemudian sebanyak 1 ml isolat khamir pada absorbansi 0.6-0.8 yang telah didapat dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37 oC selama 24 jam. Pengamatan hasil uji KHM dilakukan dengan melihat kekeruhan secara visual pada tabung reaksi (Pratiwi 2008). Uji Aktivitas Antifungi Uji aktivitas daya hambat ekstrak etanol daun sapusapu (Baeckea frustesens), beluntas (Pluchea indica) dan kertau (Morus albus) dilakukan dengan metode dilusi cair. Uji diawali dengan memasukkan suspensi khamir 10-6 sebanyak 0,5 ml ke dalam tiap-tiap tabung uji yang berisi 9 ml media SDB (Sauboraud Dextrose Broth), masing-masing ekstrak ditimbang dengan konsentrasi 500 mg, 600 mg, dan 700 mg, kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendrof dan ditambahkan akuades steril. Ektrak dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Setelah homogen dicampurkan dengan media SDB yang berisi suspensi isolat uji, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Sebagai kontrol
37
positif digunakan antibiotik ketokonazol 30 mg/ml, sedangkan kontrol negatif tanpa penambahan ektrak. Hasil inkubasi diamati kekeruhannya. Selanjutnya, cairan kultur hasil inkubasi digoreskan pada media agar SDA (Sauboraud Dextrose Agar) menggunakan ose lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Pertumbuhan koloni jamur pada media agar SDA diamati dan dibandingkan dengan kontrol positif dan kontrol negatif (media dan isolat). Uji daya hambat dilanjutkan dengan menginokulasi cairan kultur hasil inkubasi pada media SDA dengan metode tuang. Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam. Penghitungan koloni yang tumbuh pada masing-masing konsentrasi ektrak dihitung dengan menggunakan colony counter, selanjutnya dilakukan analisis data. Uji Fitokimia Analisis fitokimia dilakukan untuk mengetahui keberadaan komponen aktif secara kulitatif yang terdapat pada ekstrak kasar daun tumbuhan sapu-sapu, beluntas dan pasak bumi dengan metode Harborne (1987). Analisis fitokimia ditujukan untuk mengetahui keberadaan flavonoid, saponin dan fenol hidrokuino.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RALF) dengan 2 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah ekstrak daun. Faktor kedua adalah konsentrasi ekstrak. Pengujian dilakukan sebanyak tiga ulangan. Parameter jumlah isolat yang tumbuh pada masing-masing perlakuan. Data kuantitatif dianalisis menggunakan ANOVA. Jika berpengaruh sangat nyata (α = 0,01) dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan. Hasil uji fitokimia dianalisis secara deskriptif.
Uji flavonoid Ketiga sampel tumbuhan ditimbang sebanyak 30 mg ditambah magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel mengandung flavonoid, yaitu terbentuk warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol.
µ
Rumus linier RALF (Rancangan Acak Lengkap Faktorial) : Yijk= µ + Ai + Bj + Ai*Bj + ∑ijk Keterangan : Yijk : Jumlah pertumbuhan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan taraf ke-i dari faktor jenis ekstrak dan taraf ke-j dari faktor konsentrasi jenis ekstrak : Rataan umum pertumbuhan isolat : Pertumbuhan isolat kerena pengaruh jenis ekstrak pada taraf ke-i : Pertumbuhan isolat kerena pengaruh konsentrasi ekstrak pada taraf ke-j
Uji saponin Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. 30 mg sampel ditimbang dan ditambahkan 1 tetes HCl 2 N sambil dipanaskan. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang menunjukkan sampel mengandung saponin.
(
)
: Pertumbuhan isolat karena interaksi jenis ekstrak ke-i dan konsentrasi jenis ekstrak ke-j. :Pengaruh selain perlakuan pada satuan percobaan ke-k yang acak dan menyebar normal
Uji fenol Sampel sebanyak 30 mg ditimbang, ditambahkan 2 tetes latutan FeCl3 5% . Hasil uji positif sampel mengandung senyawa fenol, yaitu terbentuknya larutan berwarna hijau atau hijau biru. HASIL DAN PEMBAHASAN
sedangkan ekstrak kertau memiliki berat akhir 45 gram dengan rendemen 9%.
Hasil Kondisi Lingkungan dan Ekstraksi Lingkungan tempat pengambilan sampel daun sapusapu, beluntas dan kertau memiliki kondisi yang berbeda-beda (Tabel 1). Kondisi tanah pada tempat pengambilan sampel daun sapu-sapu memiliki tekstur tanah yang berpasir, pH 5, suhu 32,6oC dan kelembaban 72%. Tanah tempat pengambilan
Tabel 2 Data rendemen ekstrak daun sapu-sapu, beluntas dan kertau dengan metode maserasi. No. Jenis Daun Berat akhir Rendemen % simplisia (gram) 1.
Sapu-sapu
29,7
5,94
2.
Beluntas
32,8
6,56
3.
Kertau
45
9
sampel daun beluntas memiliki tekstur tanah liat berbatu dengan pH 6,2 dan memiliki suhu 33,2oC serta kelembaban
Kurva Pertumbuhan
75%, sedangkan pada lokasi pengambilan daun kertau tekstur
Hasil pengukuran pertumbuhan C. albicans pada
tanah hitam, memiliki pH 6 dan suhu 31,6oC dengan
jam ke-0 memiliki nilai absorbansi 0,171. Pada jam ke-2 nilai
kelembaban 67,5%.
absorbansi naik menjadi 0,261 dan pada jam ke-4
Berat akhir dari hasil ekstraksi ketiga sampel daun
pertumbuhan meningkat menjadi 0,697 (Gambar 5), jam ke-6
disajikan pada Tabel 2. Ekstrak daun sapu-sapu memiliki berat
absorbansi 0,971, jam ke-8 1,091, jam ke-10 1,117, dan pada
akhir 29,7 gram dengan rendemen 5,94%, ekstrak beluntas
jam ke-12 1,276. Pertumbuhan pada jam ke-6, 8, 10, dan 12
memiliki berat akhir 32,8 gram dengan rendemen 6,56%,
terlihat terjadi peningkatan, namun dalam jumlah yang sedikit.
38
Pada jam ke-14 dan ke-16 mulai terjadi penurunan dengan
perjam. Hasil penghitungan terlihat bahwa laju pertumbuhan
nilai absorbansi 1,247 dan 1,217. Hasil pengukuran
spesifik ada pada pengukuran jam ke-4 dengan laju
pertumbuhan C. albicans
pertumbuhan 0,109 sel/ml perjam (Lampiran 5).
juga dinyatakan dalam sel/ml
Laju pertumbuhan Sel/jam dan Jumlah koloni CFU/ml
Kurva Pertumbuhan C. albicans 1,4 1,2 1 jumlah koloni (log CFU/ml) Laju pertumbuhan spesifik sel/ml perjam
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
-0,2 Waktu pengukuran (jam)
Gambar 5 Pengukuran jumlah koloni C. albicans (log CFU/ml) dan laju pertumbuhan spesifik (sel/ml perjam). tidak terdapat pertumbuhan C. albicans, sedangkan pada Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Hasil pengujian KHM pada konsentrasi 50 mg/ml, 100 mg/ml dan 150 mg/ml pada ekstrak daun beluntas sudah
sampel ekstrak daun sapu-sapu dan daun kertau C. albicans masih tumbuh. Data hasil pengujian KHM disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak etanol sapu-sapu, kertau dan beluntas dengan metode gores. Sampel ekstrak Pertumbuhan C. albicans Kontrol C. albicans Kontrol ketokonazol 30 mg/ml (tanpa ekstrak) 50 mg/ml 100 150 mg/ml mg/ml Sapu-sapu + + + + Kertau + + + + Beluntas + Keterangan: (+)= Tumbuh, (-)= tidak tumbuh. Aktivitas Antifungi Hasil uji aktivitas antifungi ekstrak daun sapu-sapu pada konsentrasi 500 mg/ml memiliki jumlah rata-rata koloni 920,33. Konsentrasi 600 mg/ml pertumbuhan koloni C.
albicans berkurang menjadi 570,33 dan pada konsentrasi 700 mg/ml rata-rata jumlah koloni 29,67. Ekstrak daun kertau pada konsentrasi 500 mg/ml pertumbuhan koloni C. albicans 483,33, menurun pada konsentrasi 600 mg/ml dengan jumlah koloni 23,33 dan 14 koloni pada konsentrasi 700 mg/ml.
39
Pertumbuhan koloni C. albicans 1000,00
934,71
920,33
900,00 Rata-rata pertumbuhan
800,00 700,00 570,33
600,00
483,33
500,00
500 mg/mL
400,00
600 mg/mL
300,00
700 mg/mL
200,00 100,00
29,67
22,33 14,00
0
0,00 sapu-sapu
kertau
Kontrol (+) 30 mg/mL Sampel uji
kontrol (-) 0 mg/mL
Hasil analisis data (Tabel 4) menunjukkan bahwa konsentrasi
pertumbuhan koloni C. albicans, sedangkan ekstrak dan
memberikan pengaruh sangat nyata dalam menghambat
interaksi tidak memberikan pengaruh nyata.
Tabel 4 Hasil analisis data ANOVA ekstrak daun sapu-sapu dan kertau dengan taraf kepercayaan 99%. Sumber keragaman
Derajat bebas
Kuadrat tengah
F hitung
F tabel (α 0,01)
kk
Ekstrak
1
222889.389
2.75tn
0.1229
3,8927
Konsentrasi
2
982001.376
12.14**
0.0013
65506.013
0.81tn
0.4679
Interaksi
2
Galat
12
Total 17 Keterangan: **: berpengaruh sangat nyata, tn= tidak berpengaruh nyata Konsentrasi 500 mg/ml merupakan perlakuan yang
5), meskipun menunjukkan tidak beda nyata dengan
secara rerata pertumbuhan koloninya tertinggi. Pertumbuhan
konsentrasi 600 mg/ml, namun berbeda nyata dengan
koloni terendah terdapat pada konsentrasi 700 mg/ml (Tabel
konsentrasi 500 mg/ml.
Tabel 5 Rerata jumlah koloni C. albicans pada ekstrak daun sapu-sapu dan kertau konsentrasi yang berbeda. Konsentrasi
Rata-rata pertumbuhan koloni C. albicans
500 mg/ml 600 mg/ml 700 mg/ml
870,2a 229,6b 134,6b
Keterangan: Angka-angka pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan (99%). Fitokimia
flavonoid, saponin, fenol, dan tanin, sedangkan ekstrak daun Hasil pengujian senyawa fitokimia ekstrak daun
beluntas mengandung senyawa aktif flavonoid, saponin, fenol,
sapu-sapu dan daun kertau mengandung senyawa aktif
40
steroid, dan tanin. Hasil pengujian fitokimia dari ekstrak daun sapu-sapu, beluntas dan kertau disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Pengamatan uji fitokimia ekstrak etanol daun sapu-sapu, beluntas dan kertau. Jenis uji Jenis ekstrak Flavonoid Saponin Fenol Sapu-sapu + + + Beluntas + + + Kertau + + + Keterangan: (+) = terdapat senyawa aktif, (-) = tidak terdapat senyawa aktif.
Steroid + -
Tanin + + +
Pembahasan
diketahui kehilangan beratnya selama proses pengolahan.
Kondisi Lingkungan dan Ekstraksi
Rendemen terbesar adalah ekstrak daun kertau 9%. Rendemen
Pengambilan sampel daun sapu-sapu, beluntas dan
didapatkan dengan cara menghitung berat akhir bahan yang
kertau dilakukan di tiga lokasi yang berbeda. Dari pengamatan
dihasilkan dari proses dan dibandingkan dengan berat awal
kondisi lingkungan dari ketiga tempat pengambilan sampel
sebelum mengalami proses ekstraksi (Pereira 2009). Ekstrak
(Tabel 1) terlihat bahwa kondisi tanah berbeda-beda, begitu
kasar yang diperoleh pada beluntas dan kertau (murbei)
juga dengan kondisi pH tanah dari ketiga sampel daun yang
memiliki tekstur yang sangat lunak, sehingga mempermudah
cenderung asam. Kondisi lingkungan sangat berpengaruh
pada saat uji antifungi. Hasil ekstrak sapu-sapu diperoleh
dalam pembentukan senyawa metabolit sekunder. Menurut
ekstrak dalam bentuk kristal (Lampiran 1).
Rao (1994), pH tanah yang asam sangat mempengaruhi tersedianya unsur hara yang diperlukan tumbuhan sehingga akan menjadi cekaman untuk pertumbuhan tumbuhan.
Kurva Pertumbuhan Pertumbuhan
C.
albicans
pada
jam
ke-0
Menurut Purwaningsih & Amir (2001), tumbuhan
menunjukkan bahwa pertumbuhan pada fase lag (Gambar 5).
sapu-sapu penyebarannya terbanyak di daerah seperti hutan
Fase lag mewakili periode waktu dimana sel kehilangan
kerangas. Hutan kerangas adalah hutan yang mempunyai jenis
metabolisme dan enzim sebagai akibat kondisi tidak
tanah berpasir putih pada bagian atasnya dan lapisan bawah
menguntungkan pada saat pemindahan kultur, dan baru akan
berwarna hitam dengan tekstur agak kering dan memiliki pH
beradaptasi dengan lingkungan barunya (Jawetz et al. 1996).
asam. Hal ini sesuai dengan pengamatan kondisi lingkungan
Terlihat pada kurva pertumbuhan bahwa fase optimum C.
pada tekstur tanah dan pH tanah. Tumbuhan beluntas dapat
albicans terdapat pada jam ke-4 setelah inkubasi dengan nilai
hidup liar di lahan kosong dan hutan bahkan pada daerah yang
absorbansi 0,697 dan pada jam ke-6 setelah inkubasi berkisar
bertanah kering, gersang dan kondisi tanah yang berbatu
antara 0,8-0,9. Fase optimum pertumbuhan mikroba dikenal
(Syamsuhidayat & Hutapea 1991), sedangkan kertau memiliki
dengan fase eksponensial. Fase eksponensial merupakan fase
habitat tanah yang cenderung subur dan bertekstur lembut
yang menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas sel,
seperti tanah hitam (Utomo 2013).
seperti pembelahan sel sehingga sel meningkat. Akhir dari fase
Proses ekstraksi ketiga sampel daun menghasilkan
ini sel-sel mulai kurang aktif dalam melakukan pembelahan
ekstrak kasar dengan berat yang berbeda-beda. Berat akhir
sehingga pertumbuhan diperlambat, fase ini dikenal dengan
ekstraksi dipengaruhi oleh banyak jumlah pelarut dan tekstur
fase stasioner (Jawetz et al. 1996). Perhitungan laju
simplisia yang ingin diekstrak. Sebelum diekstrak bahan
pertumbuhan spesifik C. albicans tertinggi ada pada jam ke-4
simplisia harus dihancurkan dahulu guna memperluas sudut
dengan nilai 0,109 sel/ml perjam.
kontak pelarut dengan simplisia (Fauzi 2013). Semakin banyak pelarut, maka jumlah produk yang diperoleh akan semakin besar, hal ini dikarenakan distribusi partikel dalam pelarut semakin menyebar, sehingga memperluas permukaan kontak.
Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Hasil uji KHM (Tabel 3) pada ekstrak daun beluntas terlihat bahwa pada konsentrasi 50 mg/ml C. albicans sudah tidak tumbuh. Hal ini membuktikan bahwa pada konsentrasi
Perbedaan konsentrasi solut dalam pelarut membuat rendemen semakin besar (Fauzi 2013). Rendemen adalah persentase produk yang didapatkan dari membandingkan berat
50 mg/ml merupakan konsentrasi bunuh minimum (KBM) suatu antifungi dari ekstrak daun beluntas dalam membunuh C. albicans. Ekstrak kertau dan sapu-sapu pada konsentrasi 50
awal bahan dengan berat akhirnya (Tabel 2), sehingga dapat
41
mg/ml, 75 mg/ml dan 100 mg/ml C. albicans masih dapat tumbuh.
Kontrol
(+)
dengan
penambahan
Hasil analisis data (Tabel 4) menunjukkan bahwa
antibiotik
ekstrak dan interaksi tidak berpengaruh nyata, sedangkan
ketokonazol 30 mg/mL pertumbuhan C. albicans tidak
konsentrasi menunjukkan berpengaruh sangat nyata terhadap
terlihat. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun beluntas
pertumbuhan jumlah koloni C. albicans. Hal ini dapat dilihat
memiliki kadar bunuh minimum yang hampir mendekati
dari hasil pengujian aktivitas antifungi dimana pertumbuhan
konsentrasi ketokonazol dalam menghambat pertumbuhan C.
koloni C. albicans semakin berkurang pada konsentrasi yang
albicans. Sampel ekstrak kertau dan sapu-sapu konsentrasi
tinggi. Hasil analisis data rerata jumlah koloni C. albicans
rendah belum bisa menghambat pertumbuhan C. albicans.
ekstrak daun sapu-sapu dan beluntas pada konsentrasi yang
Penambahan konsentrasi dilakukan untuk mencari konsentrasi
berbeda, menunjukkan bahwa konsentrasi 700 mg/ml jumlah
hambat minimum, sehingga ekstrak daun sapu-sapu dan kertau
koloni terendah yaitu 134,6 koloni, meskipun tidak berbeda
dapat dijadikan alternatif lain selain ekstrak daun beluntas
nyata pada kosentrasi 600 mg/ml dengan jumlah koloni 229,6,
dalam menghambat pertumbuhan C. albicans penyebab
namun berbeda nyata dengan konsentrasi 500 mg/ml dengan
penyakit kandidiasis.
jumlah koloni 870,2.
Aktivitas Antifungi Uji aktivitas antifungi ekstrak etanol hanya dilakukan
pada
ekstrak
daun
sapu-sapu
dan
kertau
Fitokimia
menggunakan konsentrasi bertingkat (500 mg/mL, 600
Jumlah koloni yang tumbuh dari perlakuan ekstrak
mg/mL dan 700 mg/mL). Penggunaan konsentrasi bertingkat
daun sapu-sapu, beluntas dan kertau berbeda-beda. Hal ini
bertujuan untuk melihat pengaruh konsentrasi terhadap
diduga karena kandungan senyawa yang berpotensi sebagai
pertumbuhan C. albicans. Kontrol positif pada pengujian
antifungi
menggunakan ketokonazol 30 mg/mL. Ketokonazol adalah
Kemampuan ekstrak sapu-sapu, beluntas dan kertau dalam
suatu derivat imidazole-dioxolane sintetis yang memiliki
menghambat pertumbuhan C. albicans diduga kerena aktivitas
aktivitas antimikotik yang kompeten terhadap dermatofit
senyawa fitokimia yang memberi pengaruh dalam aktivitas
khamir
floccosum,
antifungi seperti flavonoid, saponin, steroid, fenol, dan tanin.
Pityrosporum sp, Candida. Ketokonazol bekerja dengan
Pengujian fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan
menghambat enzim sitokrom P. 450 yang bertanggung jawab
senyawa aktif pada sampel ekstrak daun sapu-sapu, beluntas
merubah lanosterol menjadi ergosterol yang menyebabkan
dan kertau. Senyawa aktif merupakan senyawa hasil metabolit
dinding
sekunder yang umumnya digunakan tumbuhan untuk
Tricophyton
sel
sp,
jamur
Epidermophyton
menjadi
permiabel
dan
terjadi
yang dimiliki
oleh ketiga sampel
ekstrak.
melindungi diri dari hama maupun penyakit infeksi oleh
penghancuran jamur (Ramona 2008). 6)
mikroba (Burger et al. 1998). Menurut Harborne (1987),
memperlihatkan bahwa ekstrak kasar etanol sapu-sapu dan
bahwa metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang
kertau mampu menghambat pertumbuhan C. albicans yang
esensial. Pengujian senyawa fitokimia memiliki pereaksi yang
ditunjukkan berkurangnya pertumbuhan koloni. Pertumbuhan
berbeda-beda.
Hasil
uji
aktivitas
antifungi
(Gambar
koloni pada konsentrasi 500 mg/mL pada ekstrak daun sapu-
Pengujian
senyawa
fitokimia
(Tabel
8)
sapu dan kertau terlihat bahwa pertumbuhan C. albicans masih
menunjukkan bahwa ekstrak beluntas positif mengandung
sangat
mg/ml
senyawa yang diuji yaitu flavonoid, saponin, fenol, steroid dan
dengan
tanin. Beluntas berdasarkan penelitian Sulistyaningsih (2009)
berkurangnya jumlah koloni. Pada pengujian konsentrasi
mengandung senyawa aktif berupa fenol, tanin, alkaloid,
hambat minimum (KHM), ekstrak daun beluntas sudah
steroid dan minyak atsiri. Senyawa fitokimia yang terdeteksi
memperlihatkan
terhadap
pada ekstrak daun sapu-sapu yaitu flavonoid, saponin, fenol,
pertumbuhan C. albicans pada konsentrasi yang rendah yaitu
tanin, dan steroid. Daun sapu-sapu senyawa aktif terbanyak
50 mg/mL, 75 mg/mL, dan 100 mg/mL. Data pada pengujian
adalah golongan minyak atsiri sineol (Sunarti 2004).
antivitas antifungi menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak
Sedangkan pada ekstrak daun kertau hasil positif uji fitokimia
yang semakin tinggi maka daya antifungi semakin baik, karena
yaitu flavonoid, saponin, fenol, dan tanin. Daun kertau
koloni C. albicans yang tumbuh semakin sedikit.
memiliki kandungan senyawa flavonoid, dan beberapa
tinggi,
pertumbuhan
namun Candida
pada
konsentrasi
mengalami
aktivitas
daya
600
penurunan
hambatnya
senyawa turunan fenol lainnya seperti saponin, steroid, dan
42
tanin namun dalam jumlah yang sangat sedikit (Ferlinahayati
terganggu. Hal ini didukung oleh Saustromo (1990) dalam
et al. 2012).
Rahmah & Rahman (2010), yang menyatakan bahwa senyawa
Hasil uji fitokimia (Tabel 9) pada ekstrak beluntas
fenol dapat mengganggu aktivitas senyawa protease, dimana
berbeda dengan ekstrak daun sapu-sapu dan kertau karena
enzim tersebut sangat dibutuhkan oleh C.albicans untuk
pada ekstrak daun beluntas mengandung senyawa steroid.
mendegradasi protein sehingga mengakibatkan metabolisme
Steriod merupakan gugus turunan dari saponin. Steroid
terganggu dan pertumbuhan terhambat yang memungkinkan
tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat.
tejadinya kematian sel.
Tipe saponin ini memiliki efek anti jamur. Menurut Padmini
Secara umum flavonoid merupakan senyawa
et al. diacu dalam Warsinah (2011), menjelaskan bahwa
polifenol yang bersifat dapat merusak membran sel sehingga
mekanisme steroid menghambat pertumbuhan C. albicans
terjadi perubahan permeabilitas sel (Kumalasari & Sulistyani
dengan merusak membran sel sehingga terjadi kebocoran ion
2011). Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa
dari sel Candida. Turunan komplek saponin ini menjadi
metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam
pertimbangan mengapa ekstrak beluntas lebih aktif dalam
jaringan tanaman untuk mempertahankan dirinya dari
menghambat pertumbuhan C. albicans dibandingkan dengan
serangan penyakit dan organisme patogen (Rajalakshmi &
ekstrak daun sapu-sapu dan kertau.
Narasimhan 1985). Flavonoid termasuk golongan senyawa
Saponin merupakan golongan senyawa alam yang
fenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6 (Maslarova &
rumit, yang mempunyai massa dan molekul besar, dengan
Yanishlieva 2001). Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin
kegunaan luas dan mudah larut dalam air dan tidak larut dalam
aromatik A, satu cincin aromatik B, dan cincin tengah
eter (Burger et al. 1998). Saponin dalam aktivitasnya
heterosiklik yang mengandung oksigen. (Redha 2010).
menghambat pertumbuhan mikroba dengan membentuk
Flavonoid bersifat lipofilik yang memungkinkan dalam
komplek sterol dengan gugus turunannya
pada membran
merusak membran mikroba (Santoso et al. 2010). Kemampuan
plasma sehingga menghancurkan semi permeabilitas sel lalu
flavonoid yang bersifat lipofilik ini diduga merupakan faktor
mengarah pada kematian sel (Kumalasari & Sulistyani 2011).
yang mampu menghambat pertumbuhan C. albicans dengan
Komponen senyawa aktif yang juga sangat
merusak permeabilitas sel sehingga membran sel candida
perpengaruh pada pertumbuhan C. albicans pada sampel
menjadi rusak dan metabolismenya terganggu.
ekstrak daun sapu-sapu, beluntas dan kertau adalah komponen
Tanin merupakan senyawa yang memiliki sifat
fenol. Komponen fenol bertanggung jawab pada aktivitas
antimikroba karena kemampuannya menonaktifkan protein
antijamur dalam melawan C. albicans (Ezoubeiri et al. 2005).
enzim dan protein transport (Murphy 1999, diacu dalam
Menurut Pelczar dan Chan (1986), mekanisme senyawa fenol
Ismunandar 2008). Menurut Robinson diacu dalan Yuliana
sebagai antifungi yaitu berinteraksi dengan dinding sel fungi,
2013, mekanisme kerja tanin adalah dengan cara menghambat
dimana pada kadar yang rendah akan mendenaturasi protein
enzim pada mikroba. Sebagai senyawa turunan fenol, tannin
dan pada kadar yang tinggi akan menyebabkan koagulasi
mempunyai rasa yang sepat yang diduga dapat mengikat salah
protein sehingga sel akan mati. Protein merupakan komponen
satu protein mikroba. Menurut Ishida et al. (2006) yang diacu
yang sangat penting bagi semua sel hidup termasuk C.
dalam Lidyawita et al. (2013) menyatakan bahwa tanin dapat
albicans.
akan
menghambat pertumbuhan C. albicans dengan mempengaruhi
menyebabkan kerapuhan pada dinding sel C. albicans
intregritas dinding sel yang berikatan dengan makromolekul
sehingga mudah ditembus zat-zat aktif lainnya yang juga
seperti
bersifat fungistatik. Jika protein yang terdenaturasi adalah
kemampuan melekat pada permukaan inang, menghambat
protein enzim, maka enzim tidak dapat bekerja yang
pertumbuhan germ tube, dan menstimulasi sel inang untuk
menyebabkan metabolisme terganggu sehingga reproduksi
fagositosis.
Terdenaturasinya
protein
tentunya
protein
dan
polisakarida,
serta
menurunkan
pun terhambat. Denaturasi protein membuat C. albicans tidak dapat mendegradasi senyawa-senyawa komplek yang terdapat disekelilingnya
sehingga
membuat
penyerapan
nutrisi
DAFTAR PUSTAKA
43
Apriyansyah B et al. 2013. Tumbuhan Obat SUKU LOM. Nurtjahya E, Sari E. Editor. Bangka Belitung: UBB Press. Atmoko T, Ma’aruf A. 2009. Uji Toksisitas dan Skrining Fitokimia Ekstrak Tumbuhan Sumber Pakan Orangutan terhadap Larva Artemia salina L. J. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. BPTP Samboja: Kalimatan Timur. Vol:6 No:1. Hlm: 3745. Ardiansyah L, Nuraida dan Andarwulun. 2002. Aktivitas Anti Bakteri Ektrak Daun Beluntas (Pluchea indica L.). Malang: Prosiding Seminar Tahunan PATPI. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2006. Monograf Ekstrak Tanaman Obat. Indonesia: Jakarta. Bean AR. 1997. A Revision of Beackea (Myrtaceae) in Eastern Australia, Malesia and South-East Asia. J. Telopia 7(3): 245-268. Biswas SK, Chaffin WL. 2005. Anaerobic Growth of C. albicans does not Support Biofilm Formation Under Similar Conditions used for Aerobic Biofilm. Curr Microbial. Vol. 02. No.1. Hlm : 78-88. Brown, Thomson CA, Mohamed. 2005. Systemic Candidiasis in an Apparently Immunocompetent Dog. J Vet Diagn Invest. Hlm:6 Burger I, Albrecht CF, Spici HSC, Sandor P. 1998. Triterpenoid Saponin From Bacium Gradivlona. Var. Obovatum Phytochemistry. 49. 2087-2089. Dewi SS, Aryadi T. 2010. Efektivitas Virgin Coconut Oil (VCO) terhadap Kandidiasis secara In Vitro. Semarang: UNIMUS. Dinubile MJ, Bille D, Sable CA, Kartsonis NA. 2005. Invasive Candidiasis in Cancer Patiens Observasions From a Randomized Clinical. J. Infect. 50(5) : 433-9.
Green J, Rianto S. 2005. Pengobatan Alami Mengatasi Bakteri. Jakarta: Prestasi Pustaka. Hadiwiyoto S. 1994. Teori dan Prosedur Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Yogyakarta: Liberty. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penentuan Cara Modern Menganalisis Tumbuhan (terjemahan Kosasih & Iwang S) Edisi 2. Bandung: ITB. Hastuti US, Oktantia A, Khasanah HN. 2013. Daya Antibakteri Ekstrak Daun dan Buah Murbei (Morus alba L.) terhadap Stphylococcus aureus dan Shigella dysenteriae. J.080. Malang: UNM. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Jakarta : Badan Penelitian dan pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Indrawati A, Seta DR. 2008. Dry Method Treatment and Warm Pipper betle L. Leaves in Bottlenose Dolphin. J. Micro. 121-134. Ismunandar W. 2008. Potensi Antibakteri Kulit Kayu dan Daun Tanaman Akway (Drymis Sp.) dari Papua. Bogor: Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika. Kusumaningtyas E. 2008. Mekanisme Infeksi Candida albicans pada Permukaan Sel. J. Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner: (30): 304-312. Lidyawita R, Sudarsono, Hartini. 2012. Daya Antifungi Rebusan Kulit Batang Jambu Mete (Anacardium Occidentale L.) terhadap C. albicans pada Resin Akrilik. J. Trad. Med. 1 Hlm: 46-52. Yogyakarta: UGM.
Entjang I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Manu RRS. 2013. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea indica L.) terhadap Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Pseudomonas aeruginosa. Surabaya: UBAYA.
Ersam T. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia dalam Merekayasa Model Molekul Alami. Seminar Nasional Kimia VI.
Mardisiswojo S, Mangunsudarso. 1975. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang. Prosiding Seminar Etnobotani. 4143.
Ezoubeiri A et al. 2005. Isolation and Antimicrobial Activity of Two Phenolics Compounds from Pulicaria odora L. J. Ethanopharmacol. (99) Hlm: 287-292.
Maslarova NV, Yanishlieva. 2001. Inhibiting Oxidation ,Antioxidants in Food, Practical Applications. J. Woodhead Publishing. Cambridge: 22-70.
Ferlinahayati, Hakim EH, Syah YM, Juliawaty LD. 2012. Senyawa Morusin dari Tumbuhan Murbei Hitam (Morus nigra). J. Pene1itian Sains. 15(2). Hlm: 7073.
Pelczar MJ, Chan ESC. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 1. Jakarta: UI Press.
Gholib D. 2009. Daya Hambat Ekstrak Kencur (Kaempferia galangal L.) Terhadap Pertumbuhan Trichophyton mentagrophytes dan Crytococcos neoformans Jamur Penyebab Penyakit Panu. Bul. Littro. Vol.20 No.1 Hlm:59-69. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner.
Peoloengan M, Chairul, Komala I, Salmah S, Susan MN. 2006. Aktivitas Antimikroba dan Fitokimia dari Beberapa Tanaman Obat. Seminar Nasional. Bogor Pereira I. 2009. Analisis Tumbuhan. Malang: Universitas TRIBHUWANA.
44
Pramono E. 2002. The Commersial Use Of Tradisional Knowledge and Medicinal Plants in Indonesia. Bangladesh: Biological Resources in Asia Center. Pratiwi ST. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. Pribadi ER. 2009. Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia serta Arah Penelitian dan Pengmbangannya. Bogor: BPTO. Purwaningsih, Amir M. 2001. Beberapa Vegetasi Hutan di Kawasan Cagar Alam Muara Kendawang, Kalimantan Barat. J. Sumberdaya Hayati. Hlm:3140. Bogor: LIPI. Purwanto Y, Waluyo EB. 1992. Etnobotani Suku Dani di Lembah Baliem-Irian Jaya. Prosiding Seminar Etnobotani. Bogor. 132-148. Purwanto Y. 1996. Tradisi Pengobatan dan pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Bahan Obat Tradisional Oleh Masyarakat Dani di Lembah Baliem. Prosiding Simposium Nasional I Tumbuhan Obat dan Senyawa Aromatik. APINMAP: 653-659. Rahayu S, Sofaroh AE, dan Permatasari DN. 2009. Teh Celup Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra), Minuman Sehat Penunjang Kanker. Yogyakarta: UGM. Rahmah N, Rahman A. 2010. Uji Fungistatik Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) Terhadap Candida albicans. J. Bioscientiae. (7). 17-24. Rajalakshmi D, Narasimhan S. 1985. Food Antioxidants: Sources and Methods of Evaluation. J. Technological Toxilogical and Health Perspectives. Hongkong: 76-77. Ramona DL. 2008. Pengobatan Dermatomikosis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. USU. Rao NSS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan
Sulistianingsih. 2009. Potensi Daun Beluntas (Pluchea indica Less.) Sebagai Inhibitor terhadap Pseudomonas aeruginosa Multi Resistant dan Methicillin Resistans Stapylococcus aureus. Bandung: Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran [Skripsi]. Sulistyani, Kumalasari. 2011. Aktivitas Antifungi Ekstrak Etanol Batang Binahong (Anredera cordifolia S.) terhadap Candida albicans Serta Skrining Fitokimia. J. Ilmiah Kefarmasian (1). 2. Hlm: 51-62. Sunarti S. 2004. Jungrahab (Baeckea frutescens L.) Satusatunya Tumbuhan Obat dari Marga Baeckea di Indonesia dan Koleksinya di Herbarium Bogoriense. Bogor: LIPI. Suryana I, Achmad 2009. Pengujian Aktivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betleLinn.) terhadap Rhizoctonia sp. secara In Vitro. Bul. Litro. Vol. 20 No. 1, Hlm: 9298. Bogor: ITB. Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka. Tjay TH, Rahardja K. 2005. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: Elex Media Komputindo. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. 2004. Microbiology An Introduction. New York: Benjamin Cummings. Umar ANL. 2011. Perbandingan Ekstrak Kasar Daun Kemangi (Ocimum basilicum L.) dengan Kotokonazol 2% dalam Menghambat Pertumbuhan Candida sp. pada Kandidiasis Vulvovaginistis. Semarang: Universitas Diponegoro [Skripsi]. Utomo D. 2013. Pembuatan Serbuk Effervescent Murbei (Morus alba L.) dengan Kajian Konsentrasi Maltodektrin dan Suhu Pengering. J. Tekpan. 5(1) 49-69. Warsinah, Kusumawati E, Sunarto. 2011. Identifikasi Senyawa Antifungi dari Kulit Batang Kecapi (Sandoricum koetjape) dan Aktivitasnya Terhadap Candida albicans. J. Obat Tradisional. 16(3), Hlm: 165-173.
Tanaman. Jakarta: UI Prees. Sastrosupadi A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang
Yusuf UK. 2001. Beackea frutescens L. Valkenburg & Bunyapraphatsa. Editor. J. Planmed. 12(2) : 96-98.
Pertanian. Yogyakarta: KANISIUS. Sudjana. 1980. Design dan Analisis Eksperimen. Bandung: Tarsito Santoso S, Widodo, Azis A. 2010. Pengaruh Ekstrak Etanol Bawang Bombay (Allium cepa) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Isolat 076-SV Secara In Vitro. Bakteriologi Medik. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
45
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin (Rhodamnia cinerea Jack)Terhadap Bakteri Enteropatogen SitiAminah, Henny Hemi, IdhaSusanti
ABSTRAK Merapin (Rhodamnia cinerea Jack) merupakan tumbuhan obat yang telah digunakan masyarakat Bangka Belitung sebagai obat diare. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak kasar daun merapin terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Shigella sp. dan E. coli Enteropatogenik (EPEC), dan untuk mengetahui senyawa yang terdapat pada daun merapin yang berperan sebagai antibakteri. Ekstraksi daun merapin dilakukan secara maserasi menggunakan pelarut aseton. Selanjutnya pengujian aktivitas antibakteri ekstrak dilakukan dengan metode difusi kertas cakram. Penelitian ini menggunakan 3 perlakuan konsentrasi ekstrak daun merapin yaitu 70 mg/mL, 80 mg/mL, dan 90 mg/mL, kontrol positif (kanamisin 30 mg/mL, kanamisin 40 mg/mL, dan kloramfenikol 50 mg/mL), kontrol negatif (aseton). Rendemen yang dihasilkan ekstrak dengan metode maserasi sebanyak 4,66%. Adanya pengaruh pemberian ekstrak daun merapin terhadap keempat bakteri ditandai dengan terbentuknya zona bening pada setiap perlakuan. Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak (70 mg/mL, 80 mg/mL, dan 90 mg/mL) tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan zona bening. Jenis bakteri uji Gram positif (S. aureus) memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap ekstrak merapin dibandingkan dengan bakteri Gram negatif (EPEC, P. aeruginosa, Shigella sp.). Diameter zona bening yang dihasilkan ekstrak kasar daun merapin pada tingkat kepercayaan 99% dari masing-masing bakteri yaitu 15,34 mm (S. aureus), 7,210 mm (EPEC), 9,83 mm (P. aeruginosa), dan 8,28 mm (Shigella sp.). Zona bening yang dihasilkan kontrol positif lebih besar dari pada ekstrak kasar daun merapin. Uji kualitatif fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak daun merapin mengandung fenol, tanin, saponin, steroid, dan flavonoid. . Kata kunci: Rhodamnia cinerea, antibakteri, enteropatogen.
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit akibat infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang terus berkembang. Penyakit akibat infeksi ini terutama terjadi di negara berkembang dimana tingkat pengetahuan dan kesadaran pentingnya kesehatan masih rendah (Tjay et al. 2002). Sebagian besar penyakit infeksi di dunia disebabkan oleh bakteri, sehingga dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat yaitu dengan mengendalikan populasi bakteri yang dapat menimbulkan
infeksi (Arisman 2009). Salah satu cara pengendalian gangguan kesehatan akibat infeksi bakteri adalah menggunakan antibakteri. Antibakteri merupakan suatu senyawa dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan membunuh mikroorganisme (Pratiwi 2008). Antibakteri yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab penyakit infeksi pada manusia harus memiliki toksisitas selektif yang tinggi, artinya antibakteri tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba tetapi relatif tidak 46
toksik untuk inang (Pelczar & Chan 1986). Sampai sekarang ini banyak antibiotik komersial yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri tetapi apabila digunakan terus menerus akan menimbulkan resistensi bakteri. Pada tahun 2011 penderita diare yang berkunjung kepukesmas berjumlah 1.496 penderita (41,31%) (Dinas Kesehatan Pangkalpinang 2012). Pada saat ini angka kematian pasien akibat infeksi bakteri patogen yang resisten, telah mencapai lebih dari 1,5 juta setiap tahunnya infeksi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa bakteri patogen yang saat ini semakin sulit diatasi dengan antibiotik. Hal tersebut dikarenakan banyaknya kuman atau bakteri yang telah resisten terhadap antibiotik, baik di tengah masyarakat maupun di dalam rumah sakit (Republika 2009). Berdasarkan penelitian Kusmala dan Noveria (2012). Shigella sp., Staphylococus aureus, Pseudomonas aerugenosa, dan EnteropatogenicEscherichia coli (EPEC)merupakan bakteri enteropatogenik yang telah resisten terhadap beberapa antibiotik sintetik seperti Tetrasiklin, Amoxilin dan Kloramfenikol. Keempat bakteri ini dapat menimbulkan penyakit gastrointerestis seperti diare, disentri, kolera, hepatitis A dan hepatitis B (Fardiaz 1992). Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan resistensi bakteri yaitu dengan mencari antibakteri baru yang cocok dan memiliki potensi yang lebih tinggi dalam menghambat atau membunuh bakteri patogen yaitu antibakteri yang terdapat pada ekstrak suatu tumbuhan yang memiliki khasiat untuk obat. Kandungan senyawa metabolit sekunder telah terbukti bekerja sebagai derivat antikanker, antibakteri dan antioksidan, antara lain adalah golongan alkaloid, tanin, golongan polifenol dan turunannya. Pengobatan dengan menggunakan tumbuhan obat secara tradisional akan lebih aman dengan diimbangi pemakaian dan dosis yang tepat dibandingkan dengan pengobatan kimia
yang terkadang menimbulkan efek samping (PROSSEA 1999). Merapin (Rhodamnia cinerea) merupakan salah satu tumbuhan obat yang digunakan masyarakat Bangka Belitung sebagai obat diare, sariawan, batuk, dan mengobati luka (Fakhrurrozi 2009). Kulit batang tumbuhan ini oleh etnis Anak Dalam di daerah Jambi digunakan untuk mengobati diare, sedangkan pucuk daunnya biasa dimanfaatkan untuk pengobatan pasca melahirkan oleh orangorang etnis melayu tradisional di daerah perbatasan Riau-Jambi (Abdullah et al. 2010). Selain itu, uji fitokimia yang dilakukan oleh Febriansyah (2009) menunjukkan ekstrak metanol daun dan kulit batang merapin (R. cinerea) mengandung tanin, alkaloid, dan glikosida. Senyawa-senyawa ini memiliki aktivitas antibakteri. Aseton merupakan pelarut organik yang paling baik dalam melarutkan senyawa tanin yang terdapat dalam suatu sampel tumbuhan (Chavan et al. 2001 & Khairul et al. 2010). Pengujian ekstrak senyawa daun merapin dengan pelarut aseton belum pernah dilakukan. Sehingga diduga ekstraksi dengan pelarut aseton memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan metanol. Rumusan Masalah Penelitian ini dilakukan karena banyaknya penyakit infeksi khususnya pada gastroenteris yang susah disembuhkan akibat bakteri patogen yang telah resisten terhadap beberapa antibiotik. Alternatif pengobatan dengan tumbuhan obat diharapkan dapat menjadi solusi. Salah satu tumbuhan obat itu adalah daun merapin (R. cinerea) yang secara tradisional telah digunakan oleh masyarakat Bangka Belitung sebagai obat. Senyawa kimia seperti tanin, alkaloid, dan glikosida pada tumbuhan merapin (R. cinerea) diduga memiliki aktivitas sebagai antibakteri.
47
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk: a). Mengetahui aktivitas senyawa antibakteri hasil ekstraksi dari tanaman daun merapin menggunakan pelarut aseton terhadap bakteri E. coli (EPEC), S. aureus, P. aerugenosa dan Shigella sp. b). Mengetahui senyawa aktif yang terdapat dalam ekstrak kasar aseton daun merapin (R. cinerea) melalui uji fitokimia secara kualitatif. Manfaat Hasil penelitian dapat memberikan informasi mengenai potensi tanaman obat merapin (R. cinerea) dalam menghambat bakteri patogen penyebab infeksi dan dapat memperoleh data mengenai konsentrasi ekstrak yang paling efektif dalam menghambat bakteri patogen. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini direncanakan berlangsung pada bulan Januari hingga Mei 2013. Pengambilan sampel dilakukan di Balunijuk, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka.Ekstraksi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor, uji antibakteri dilakukan di Laboratorium Biologi, Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi di Universitas Bangka Belitung dan uji fitokimia dilakukan di Laboratorium MIPA Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Alat dan Bahan Alat dan Bahan Adapun Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, cawan petri, erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, gunting, hotplate, inkubator, jangka sorong digital, jarum ose, Laminar Air Flow (LAF), mortal, microwave, orbital shaker, pembakar spiritus, pengaduk gelas, pinset, pipet tetes, pipet mikro, spektrofotometer UV-Vis, tabung reaksi, timbangan digital dan vortek.
Bahan yang digunakan adalah asetton, alkohol 70%, akuades steril, asam sulfat, CH3COOH glacial,dietil eter,reagen Dragendorff (campuran Bi(NO3)2. 5H2O dalam asam nitrat dan larutan KI), ekstrak daun merapin, FeCl3 1%, H2SO4 dan HCL,kloroform-amoniak, media NA (Nutrien Agar), NB (Nutrien Broth), Magnesium (Mg), dan isolat bakteri Staphylococcus aureus, EPEC, Pseudomonas aeruginosa dan Shigella sp. (isolat berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Pengambilan Sampel Daun merapin yang telah diambil dimasukkan dalam kantong plastik. Daun yang telah diambil akan dilakukan ekstraksi di Laboratorium Kimia Analitik, Institut Pertanian Bogor (dilakukan oleh teknisi Laboratorium Kimia Analitik, Institut Pertanian Bogor). Penghitungan Rendemen Rendemen ekstrak dihitung dengan cara sebagai berikut: Rendemen = x 100% Analisi Laboratorium
a. Ekstrak Kasar Daun Merapin. Pengekstrakkan dilakukan dengan metode maserasi. Sebanyak 500 gr daun merapin dicuci dan dihaluskan, selanjutnya direndam ke dalam aseton murni dengan perbandingan 1 : 5 selama 24 jam pada suhu ruang. Pelarut diuapkan dengan menggunakan vaccum rotary evaporator(dilakukan oleh teknisi Laboratorium Kimia Analitik, Institut Pertanian Bogor). b. Kurva Pertumbuhan Bakteri (Cappucino & Sherman 1987) Sebelum melakukan uji efektivitas antibakteri terhadap bakteri patogen, perlu dilakukan kurva pertumbuhan bakteri untuk melihat pertumbuhan optimum bakteri. Penentuan kurva pertumbuhan 48
bakteri dilakukan dengan metode turbidimetri. Sebanyak satu ose bakteri uji EPEC, P. aeruginosa, Shigella sp. dan S. aureus ditumbuhkan dalam 50 ml media NB. Bakteri tersebut dikocok dengan shaker selama 24 jam pada suhu 37oC dengan kecepatan 125 rpm. Sebanyak 1 ml bakteri yang telah dikocok dengan shaker selama 24 jam dipindahkan ke dalam 50 ml media NB steril dan diinkubasi pada suhu 37 OC dengan kecepatan 125 rpm. Sebanyak 5 ml sampel bakteri uji tersebut dimasukkan ke dalam kuvet. Sebagai blanko digunakan 5 ml media NB steril. Sampel bakteri uji diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 620 nm setiap 2 jam sekali mulai jam ke-0 sampai jam ke24. Absorbansinya dibaca sampai mencapai 0.6-0.8 A (setara dengan konsentrasi 106-108 sel/ml). Bakteri dengan absorbansi 0,6-0,8 A digunakan untuk uji selanjutnya (uji antibakteri). Hasil analisis dengan spektrofotometer dibandingkan dengan metode TPC untuk menghasilkan kurva pertumbuhan bakteri. TPC dilakukan dengan cara mengambil 1 ml bakteri uji yang telah dilakukan pengenceran, kemudian dimasukan kedalam cawan perti dengan menggunakan metode sebar. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 OC selama 24 jam.
cakram tersebut ditekan menggunakan pinset steril supaya menempel sempurna pada permukaan agar. Bakteri uji selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 OC selama 24 jam. Pengujian dilakukan sebanyak 3 ulangan. Sebagai kontrol positif digunakan Antibiotik sintetik yaitu kanamisin (30 mg/ml) untuk bakteri EPEC, kanamisin (30 mg/ml) untuk bakteri P. aeruginosa, kloramfenikol (50 mg/ml) untuk bakteri S. aureus dan kanamisin (40 mg/ml) untuk bakteri Shigella sp. 1 ml bakteri uji pada pengenceran 10-8 dituang kedalam cawan petri, kemudian ditambahkan 20 ml media NA dengan suhu 40 OC lalu didinginkan. Kertas cakram direndam dengan ekstrak daun merapin dengan berbagai variasi konsentrasi (10 mg/ml- 100 mg/ml) selama 30 menit. Kertas cakram yang telah dicelupkan kedalam ekstrak diletakkan dipermukaan agar yang telah terisi bakteri uji. Bakteri uji selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 OC selama 24 jam. Pengujian dilakukan sebanyak 3 ulangan. Sebagai kontrol negatif dilakukan tanpa penambahan ekstrak pada kertas cakram. 1 ml bakteri uji pada pengenceran dituang kedalam cawan petri. Selanjutnya ditambahkan 20 ml media NA pada suhu 40 OC. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37OC selama 24 jam. Pengujian dilakukan 3 ulangan.
c. Uji Aktivitas Antibakteri Masing-masing sebanyak 1 ml bakteri uji pada pengenceran 10-8 dituang kedalam cawan petri, kemudian ditambahkan 20 ml media NA dengan suhu 40 OC lalu didinginkan. Selanjutnya kertas cakram direndam dengan ekstrak daun Merapin (R. cinerea) dengan berbagai variasi konsentrasi (10 mg/ml100 mg/ml) selama 30 menit. Selanjutnya kertas cakram yang telah dicelupkan kedalam ekstrak diletakkan dipermukaan agar yang telah terisi bakteri uji. Kertas
d. Pengukuran Luas Area Pembentukan Zona Bening Zona bening yang terbentuk oleh ekstrak daun merapin (R. cinerea) disekitar isolat uji, diukur diameternya dengan menggunakan jangka sorong digital. Rumus Diameter Penghambatan = B-A Keterangan : A = Diameter kertas cakram B = Diameter zona hambatan
49
Uji Fitokimia Daun Merapin Analisis fitokimia yang dilakukan dalam penelitian ini hanya dilakukan secara kualitatif. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui senyawa-senyawa aktif yang terkadung dalam daun merapin (Harborne 1996). a. Uji Alkaloid 30 mg ekstrak ditambah 10 mL kloroform-amoniak, kemudian disaring kedalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan dengan 3-5 tetes asam sulfat 2 M dan dikocok hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam (tserdapat pada bagian atas) dipipet dalam tabung reaksi lain, lalu ditambahkan dengan 1 pipet pereaksi Dragendorff (campuran Bi(NO3)2. 5H2O dalam asam nitrat dan larutan KI). Adanya alkaloid ditunjukan dengan terbentuknya endapan jingga sampai merah coklat pada pereaksi Dragendorff b. Uji Saponin Sebanyak 30 mg ekstrak diekstraksi dengan 5 mL dietil eter , sehingga terbagi menjadi 2 fraksi yaitu yang larut dan yang tidak larut dalam dietil eter. Fraksi yang tidak larut dietil eter kemudian ditambahkan air sebanyak 5 mL dalam tabung reaksi lalu dikocok. Ekstrak dinyatakan positif mengandung saponin apabila terdapat busa dengan ketinggian 13 cm bertahan selama 15 menit. c. Uji Triterpenoid dan Steroid Fraksi yang larut dalam dietil eter dari saponin dipisahkan, kemudian ditambahkan dengan CH3COOH glasial sebanyak 10 tetes dan H2SO4 pekat sebanyak 2 tetes. Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Steroid memberikan warna biru atau hijau, sedangkan untuk triterpenoid memberikan warna merah atau ungu d. Uji Flavanoid 30 mg ekstrak ditambahkan dengan 100 mL air panas, didihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan 0,05 mg serbuk Mg
dan HCL pekat, kemudian dikocok kuatkuat. Uji positif ditunjukan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga e. Uji Fenolik 30 mg ekstrak ditambahkan 10 tetes FeCl3 1%. Ekstrak positif mengandung fenol apabila menghasilkan warna hijau, merah, ungu atau hitam pekat. f. Uji Tanin dan Polifenol Sampel ditambah air panas dan didihkan selama 5 menit dan disaring fitratnya dibagi dua masing-masing ditambahkan FeCL3 1% (adanya tanin dan polifenol terbentuk warna biru hijau) dan ditambah gelatin (adanya tanin ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna putih). Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi ekstrak daun merapin masing- masing dengan 3 taraf konsentrasi ekstrak daun merapi. Faktor kedua adalah jenis bakteri patogen yang terdiri dari 4 taraf yaitu EPEC, P. aeruginosa, S. aureus, dan Shigella sp. Penelitian dilaksanakan dengan 3 kali ulangan. Parameter yang diamati adalah pembentukan zona bening. Data kuantitatif dianalisis menggunakan ANOVA. Jika berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan (Gomes 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kurva pertumbuhan bakteri yang telah dilakukan dengan metode turbidimetri setiap bakteri memiliki kecepatan pertumbuhan berbedabeda. Bakteri melakukan reproduksi dengan cara pembelahan biner menghasilkan dua anakan dengan ukuran 50
yang sama. Waktu yang diperlukan untuk membelah diri disebut waktu generasi. Pembelahan sel diawali dengan pertumbuhan dinding sel kearah dalam membentuk septa. Pada bakteri EPEC (0,870), Shigella sp. (0,883) dan P. aerugenosa(0,833) pertumbuhan optimum atau sering dinamakan fase log terjadi pada waktu 8 jam inkubasi, sedangkan S. aureus pertumbuhan optimumnya terjadi pada waktu 10 jaminkubasi dengan absorbansi 0,854). Menurut Hidayat (2006), ada perbedaan antara bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dalam pembelahan. Gram positif menyintesis dinding sel baru dalam zona equatorial sepanjang axis, sedangkan bakteri gram negatif menyintesis dinding sel dengan interkolasi sepanjang dinding utuh. Selain itu waktu generasi bakteri juga dipengaruhi oleh faktor medium, spesies dan umur bakteri. Rendemen Rendemen ekstrak dihitung dengan cara sebagai berikut:
Rendemen 100%
=
,
=
x x 100%
= 4,66 Aktivitas ekstrak daun merapin dalam menghambat bakteri enteropatogenik dilihat dari terbentuknya zona bening disekeliling kertas cakram. Semakin besar diameter zona bening yang terbentuk maka kemampuan ekstrak dalam menghambat pertumbuhan bakteri semakin tinggi. Untuk melihat efektifitasnya maka diperlukan pembanding antibiotik sebagai kontrol positifnya. Antibiotik yang digunakan adalah kanamisin 30 mg/mL, kanamisin 40 mg/mL, dan kloramfenikol 50 mg/mL. Ringkasan hasil analisis sidik ragam pembentukan zona bening bakteri S. aureus, EPEC, P. aerugenosa,Shigella sp. berdasarkan perlakuan konsentrasi ekstrak kasar daun merapin dsajikan pada tabel 1.
Tabel 1 Analisis Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Daun Mertapin terhadap Pembentukan Zona Hambat Bakteri Enteropatogenik Perlakuan Konsentrasi Parameter Bakteri Interaksi KK Ekstrak Zona Hambat
F hit 0,49tn
Pr > F 0,6174
F hit 15,6*
Pr > F < ,0001
F hit 1,7tn
Pr > F 0,1648
Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata pada taraf 99% ( = 0,01) : *: Berbeda nyatapada taraf 99% ( = 0,01) Pr > F: Nilai Probability
Hasil analisis sidik ragammenunjukkan bahwa jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap pembentukan zona bening. Namun konsentrasi ekstrak
dan interaksinya dengan bakteri tidak berpengaruh nyataterhadap pembentukan zona bening.
Tabel 2Hasil Uji Lanjut Ekstrak Daun Merapin terhadap Pembentukan Zona BeningBakteri Enteropatogenik Diameter Bakteri Ekstrak Daun Merapin (mm) Standar Daya Hambat S. aureus 70 15,82 ab Kuat 80 21,957 a Kuat 51
90 70 80 90 70 80 90 70 80 90
EPEC
P. aerugenosa
Shigella
12,013 bc 3,230 cd 0,880 d 7,210 bcd 5,457 cd 4,027 cd 5,303 cd 4,040 cd 5,317 5,520 cd
Kuat Lemah Lemah Sedang Sedang Lemah Sedang Lemah Kuat Sedang
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan, Bold Hitam (antibiotik yang memiliki diameter zona hambat paling besar)
Hasil pada tabel 2 menunjukkan dinding selnya lebih banyak mengandung bahwa zona bening yang paling besar lipid yang bersifat hidrofobik (Dewi dihasilkan oleh bakteri gram positif 2010).Kebanyakan senyawa aktif yang S.aureuspada konsentrasi 80 dihasilkan ekstrak kasar daun merapin mg/mLsebesar 21,957 mm. Ekstrak kasar seperti flavonoid, fenol, dan polifenol daun merapin juga mampu menghambat bersifat polar. Senyawa aktif pada ekstrak bakteri gram negatif Shigella sp, EPEC, daun merapin lebih mudah menembus dan P. aerugenosa dengan zona bening lapisan peptidoglikan yang bersifat polar paling besar 5,520 mm, 7210 mm, dan sehingga terjadi kerusakan pada dinding, 5,457 mm, namun menurut metode Davis membran, dan bagian internal sel akan & Stout (1971) ketiganya masih menyebabkan bakteri gram positif tidak dikatagorikan sedang. dapat menahan tekanan osmotik tinggi dari Dinding sel bakteri gram positif dalam sel sehingga mengakibatkan lisis terdiri dari 90% peptidoglikan yang berupa sel. polisakarida (asam teikoat) yang bersifat hidrofiliksedangkan bakteri gram negatif Tabel 1 Analisis Sidik Ragam Pengaruh Antibiotik terhadap Pembentukan Zona Hambat Perlakuan Parameter
Konsentrasi dan Jenis Bakteri Antibiotik
F hit Zona Hambat 7,58* Bakteri Enteropatogenik
Pr > F 0,003
F hit Pr > F 2,23tn 0,112
Interaksi
KK
F hit Pr > F 1,56tn 0,2045
Keterangan: tn: tidak berpengaruh nyata pada taraf 99% ( = 0,01) : *: Berbeda nyatapada taraf 99% ( = 0,01) Pr > F: Nilai Probability
Hal ini menunjukkan uji sidik ragam konsentrasi dan jenis antibiotik berpengaruh nyata terhadap zona bening bakteri. Hal ini menunjukkan bahwa setiap konsentrasi memiliki aktivitas yang berbeda dalam pembentukan zona bening
sedangkan, jenis bakteri uji dan interaksinya dengan konsentrasi antibiotik tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan zona bening. Terbentuknya zona bening menandakan kemampuan antibiotik dalam menghambat 52
pertumbuhan bakteri yang diujikan.Setiap antibiotik berbeda dalam sifat fisika kimia, farmakologi, spektrum antibakteri atau mekanisme kegiatannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penghambatan mikroorganisme oleh antibiotik asdalah kepadatan populasi mikroorganisme,
kepekaan terhadap bahan antimikrobia, lamanya bahan antimikrobia diaplikasikan pada mikroorganisme, konsentrasi bahan antimikrobia, suhu dan kandungan bahan organik (Lay 1994, diacu dalam Yuari 2009).
Tabel 2Hasil Uji Lanjut Ekstrak Daun Merapin terhadap Pembentukan Zona BeningBakteri Patogen. Diameter Standar Daya Bakteri Antibiotik mg/ml (mm) Hambat S. aureus Kanamisin 30 23,127 bc Sangat kuat Kanamisin 40 21,913 bc Sangat kuat Kloramfenikol 50 22,713 bc Sangat kuat EPEC Kanamisin 30 20,527 bc Sangat kuat Kanamisin 40 21,963 bc Sangat kuat Kloramfenikol 50 46,2467 a Sangat kuat P. aerugenosa Kanamisin 30 26,027 bc Sangat kuat Kanamisin 40 21,430 bc Sangat kuat Kloramfenikol 50 35,743 ab Sangat kuat Shigella Kanamisin 30 20,213 bc Sangat kuat Kanamisin 40 14,973 c Kuat Kloramfenikol 50 26,507 bc Sangat kuat Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan, Bold Hitam (antibiotik yang memiliki diameter zona hambat paling besar)
Menurut Pelczar (1988), kloramfenikol dan kanamisin merupakan antibiotik yang berspektrum luas karena mampu menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dengan kategori sangat kuat menurut metode Davis & Stout (1971). Menurut Pratiwi (2008), S. aureus merupakan salah satu bakteri yang resisten terhadap beberapa antibiotik sehingga pada uji lanjut S. aureus memberikan zona hambat yang paling kecil pada antibiotik kanamisin 30 mg. S. aureusmerupakan bakteri Gram positif dengan dinding sel disusun oleh rantai tetrapeptida yang terdiri dari (L-alanin-D-isoglutaminil-Llisin-D-alanin) dan jembatan interpeptida yang terdiri dari lima unit glisin. Unit asam mumarat didistribusi oleh interpeptida dengan ikatan kovalen, yang akan menghasilkan struktur yang kuat.
Struktur ini sangat resisten terhadap kerusakan (Thorpe 1995). Pada bakteri gram negatif (EPEC, P. aerugenosa, dan Shigella sp.) yang menghambat paling kuat dari ketiga bakteri tersebut adalah kloramfenikol 50 mg/ml. Kloramfenikol merupakan antibiotik dapat berikatan dengan subunit ribosom 50 S untuk mencegah sintesis protein dan menyebabkan kesalahan pembacaan kode oleh mRNA akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan nonfungsional pada sel mikroba (Jawetz et al 2001). Berdasarkan Uji lanjut, diameter zona hambat yang dihasilkan daun merapin jauh lebih kecil dibandingkan dengan kontrol dalam menghambat ke empat bakteri walaupun konsentrasi kontrol positif jauh lebih kecil dari konsentrasi ekstrak. Hal ini dapat 53
disebabkan karena ekstrak daun merapin merupakan ekstrak kasar yang masih banyak mengandung bahan organik lain. Hal ini diperkuat oleh Fardiaz (1992) yang menyatakan bahwa, senyawa organik lain dapat menurunkan aktivitas zat antibakteri dengan cara menginaktifkan dan mengganggu kontak antara zat antibakteri dengan sel bakteri, sehingga dapat melindungi bakteri dari zat antibakteri. Penguatan aktivatas antibakteri dapat dilakukan dengan pemurnian lebih lanjut agar diperoleh ekstrak murni yang hanya mengandung senyawa antibakteri atau
konsentrasi ekstrak daun merapin ditingkatkan. Analisis fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada suatu tumbuhan. Uji fitokimia ini bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder daun merapin yang berperan sebagai antibakteri. Senyawa yang di uji antara lain saponin, triterpenoid, tanin, alkaloid, steroid, dan fenol. Uji fitokimia yang dilakukan berdasarkan pada reaksi yang menghasilkan warna atau endapan (Rafi 2003 dalam Pratiwi 2008).
Tabel 5 hasil ujifitokimia ekstrak kasar aseton daun merapin (R. cinerea) Senyawa Alkaloid Flavonoid Triterpinoid Steroid Saponin Fenolik Tanin
Hasil + + + + +
Keterangan Kuning bening Hijau tua, terbentuk endapan Coklat, terdapat busa Hijau kehitaman Biru kehitaman, terbentuk endapan
Flavonoid, tanin, polifenol dan fenolik merupakan senyawa golongan fenol. Senyawa fenol merupakan senyawa yang penting karena merupakan kelas besar diantara senyawa-senyawa penyusun tumbuhan. Mekanisme antibakteri senyawa fenolik adalah dengan mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma mikroba, termasuk diantaranya mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Harborne 1987). Senyawa saponin merupakanzat yang apabila berinteraksi dengan dindingbakteri maka dinding tersebut akan pecah atau lisis (Pratiwi 2008). Saponin akan mengganggutegangan permukaan dinding sel, maka saattegangan permukaan tergangguzat antibakteriakan dapatt dengan mudah masuk kedalam sel danakan mengganggu metabolisme hingga akhirnyaterjadilah kematian bakteri.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah M. 2009. Mustikaningtyas1 D, dan Widiatningrum T. Inventarisasi Jenis-Jenis Tumbuhan Berkhasiat Obat di Hutan Hujan Dataran Rendah Desa Nyamplung Pulau Karimunjawa. http://www.google.com/url?q=http://jo urnal.unnes.ac.id/nju/index.php/biosain tifika/article/download/1 (21 Febuari 2013) Arisman. 2008. Keracunan Makanan Buku: Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Cappuccino JG, Sherman N. 2001. Microbiology: A Laboratory Manual. USA Benjamin Cummings Publishing. Chavan, U.D., Shahidi, F., and Naczk, M., (2001), Extraction of condensed tannins from beach pea (Lathyrus maritimus L.) as affected by different solvents, Food Chemistry, 75, pp. 509-512. 54
http://www.ingentaconnect.com/content /els/03088146/2001/00000075/0000000 4/art00234 (26 Febuari 2013) Davis WW, Stout TR. 1971. Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic Assay. Microbiology 22: 659-665 Dewi, F.K. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Buah Mengkudu (Morinda citrifolia, Linnaeus) terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang. 2012. Kota Pangkalpinang ANAL. HTTP:// www.google.com/gwt/x?hl=id&u=http: // dinas kesehatankotapangkalpinang.blogspot.c om. Kusmala D. 2012. Uji Efektifitas Antibiotik yang Dihasilkan Cendawan Endofit Dengan Beberapa Jenis Antibiotik Sintetik Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri [skripsi]. Balunijuk: Universitas Bangka Belitung. Fakhrurrozi Y. 2009. Landscap Tumbuhan Obat Masyarakat Belitung. Bogor: IPB Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Febriansyah R. 2009. Daun dan Kulit Kayu Rhodamnia cinerea. http://perpus.fkik.uinjkt.ac.id/file_digita
l/Ahmed%20Rizky%20F%20%28SKRI PSI%29.pdf (8 November 2012). Gomes G. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian Edisi kedua. Jakarta: Universitas Indonesia. Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: ITB. Khairul M. 2010. Ekstraksi dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin dari Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi. L) Kajian Variasi Pelarut. VV http://lib.uinmalang.ac.id/?mod=th_detail&id=055 30001 (26 Febuari 2013). Noveria I. 2012. Uji Efektifitas Antibiotik yang Dihasilkan Cendawan Endofit Dengan Antibiotik Sintetik Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri [skripsi]. Balunijuk: Universitas Bangka Belitung. Pratiwi S. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta: Universitas Indonesia Press. PROSEA. 1999. Medical and Poisonous Plant. Leiden: Backhuys Publisher. Tjay H T, Rahardja K. 2002. Obat-Obatan Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya. Jakarta: PT Elek Media Kompotondo Kelompok Gramedia.
55
Identifikasi Habitat Lebah (Apis dorsata) Penghasil Madu Pelawan Di Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat1) (Identification Mullet Bee (Apis dorsata) Ultimate Honey Pelawan on Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat) Melda Trisnawati Saragih2), Mirza Kurnia, Fitriyani, Nur Annis Hidayati
ABSTRACT This study aimed to identify pelawan-honey-bee habitat in Kacung, West Bangka. This study was expected to inform about vegetation that usually choosed by pelawan-honeybee as their habitat and to give a consideration input to government and relevant parties involved in habitat and potency management of pelawan-honey-bee in West Bangka. This study used direct observation and systematically sampling method in indentify bee habitat, in which sampling distant used was 10 m. Results showed that in Kacung, pelawan-honey-bee usually lodged on tree namely pelempang putih, pules and mentepung. Key words: Apis dorsata, habitat, pelawan, honey
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati dari lebah madu. Kondisi Indonesia sangat potensial bagi perkembanganlebah madu. Beberapa potensi yang mendukung keberadaan lebah di Indonesia adalah melimpahnya flora berbunga sebagai sumber pakan lebah, terdapat jenis-jenis lebah utama yang menghasilkan madu sertakondisi agroklimat tropis yang mendukung perkembangan lebah. Lebah madu merupakan serangga polinator pada berbagai jenis tumbuhan. Kunjungan lebah madu pada tumbuhan adalah untuk mendapatkan makanan. Ketersediaan makanan merupakan faktor penting dari keberadaan koloni pada suatu habitat. Makanan dari lebah
madu adalah polen dan nektar tumbuhan yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari berbagai spesies tumbuhan berbunga. Oleh karena itu, dibutuhkan vegetasi tumbuhan di sekitar sarang lebah madu yang berfungsi seabagai penghasil makanan bagi lebah madu. Lebah madu pelawan adalah lebah yang mengambil nektar bunga pelawan (Tristaniopsis merguensis). Jenis lebah madu yang ditemukan adalah Apis dorsata. Lebah jenis ini dikenal memiliki sifat yang liar dan sensitif jika diganggu oleh musuhnya. Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat merupakan daerah penghasil madu pelawan. Habitat dari madu ini terletak dihutan Desa Kacung. Penelitian habitat lebah madu di Desa Kacung belum pernah dilakukan. Pengungkapan data tentang 56
habitat lebah madu pelawan tersebut nantinya dapat dimanfaatkan sebagai acuan dasar tentang identifikasi habitat lebah (Apis dorsata) penghasil madu pelawan selanjutnya sehingga penelitian ini perlu dilakukan.
cahaya diukur dan dicatat. Kemudian dari sarang lebah madu berada, ditarik garis lurus dengan panjang 10 meter dan diamati tumbuhan apa yang terdapat di sepanjang garis tersebut. Penarikan garis lurus dilakukan dengan empat titik pada setiap habitat sarang lebah penghasil madu pelawan berada. Data yang telah dikumpulkan diolah dan ditabulasi untuk mengidentifikasi habitat lebah penghasil madu pelawan dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
METODOLOGI PENELITIAN Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi/survei dan wawancara dimana lokasi ditentukan secara purposive sampling. Habitat atau tempat sarang lebah madu dicari di sekitar hutan Desa Kacung. Habitat yang diamati adalah sarang lebah madu dengan teknik suar, sunggau dan alami. Pada setiap habitat sarang lebah penghasil madu pelawan, faktor lingkungan berupa suhu udara, kelembaban dan intensitas
Pengamatan vegetasi tumbuhan pada habitat lebah madu di Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat menggunakan empat titik pengamatan pada masing-masing teknik dengan ukuran sepanjang 10 m (Gambar 1).
U Titik 3 10 m W
Titik 2
10 m
Sarang lebah madu Titik 1
10 m E
Titik 4
10 m
Gambar 1. Titik pengamatan vegetasi Analisis Data Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakan Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener dan Kemerataan Jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi. Penelitian Indeks Kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan antar lokasi pengamatan berdasarkan jenis tumbuhan yang ditemukan di sekitar habitat lebah madu. Rumus Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
adalah H’ = -∑ [(ni/N) LN (ni/N)] dan rumus kemerataan jenis (Evenness) adalah E = ∑H’/LN(s). Dimana H’ adalah Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, ni adalah jumlah individu jenis ke-i, N adalah total seluruh individu, E adalah indeks kemerataan jenis (Evenness) dan s adalah jumlah jenis tumbuhan. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah jenis ditemukan pada
tumbuhan yang seluruh lokasi 57
penelitian di Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat sangat beranekaragam. Pada teknik Suar ditemukan sebanyak 7 jenis tumbuhan dengan jumlah sebanyak 267, pada teknik Sunggau ditemukan sebanyak 13 jenis dengan jumlah sebanyak 154 sedangkan pada teknik alami ditemukan sebanyak 17 jenis dengan jumlah sebanyak 98.
Faktor lingkungan seperti faktor abiotik (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan faktor biotik (tumbuh-tumbuhan) sangat berpengaruh terhadap habitat lebah penghasil madu pelawan. Berikut data hasil pengamatan faktor lingkungan abiotik dan biotik yang ditemukan pada saat penelitian (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil pengamatan faktor – faktor lingkungan Teknik
Titik Koordinat
Suhu UdaraoC
Kelembaban
Intensitas Cahaya
Sunggau
S 010 53’ 208’’
35
85%
0.24
Suar
E 105031’760’’ S 01053’302’’
31
86%
0.6
40
82%
0.27
0
Alami
E 105 31’806’’ S 01053’197” E105031’668”
Suatu vegetasi akan memiliki keanekaragaman jenis yang berpengaruh terhadap keadaan habitat lebah madu pelawan. Berikut ini
merupakan keanekaragaman jenis vegetasi di sekitar habitat lebah madu pelawan (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Perhitungan Keanekaragaman Jenis (H’) untuk Ketiga Teknik pada Tingkat Semai dan Pancang Teknik Keanekaragaman Jenis (H') Semai Pancang Suar 0.60 0 Sunggau 0.54 0.60 Alami 0.46 0.64 Suatu vegetasi akan memiliki kemerataan jenis yang berpengaruh terhadap keadaan habitat lebah madu
pelawan. Berikut ini merupakan kemerataan jenis vegetasi di sekitar habitat lebah madu pelawan (Tabel 3).
58
Tabel 3. Hasil Perhitungan Kemerataan Jenis (E) untuk Ketiga Teknik pada Tingkat Semai dan Pancang Teknik Kemerataan Jenis (E) Semai Pancang Suar 0.31 0 Sunggau 0.22 0.34 Alami 0.17 0.36 Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa habitat sarang lebah yang ditemukan di Desa Kacung Kecamatan Kelapa merupakan habitat sarang lebah madu alami. Jenis lebahnya adalah lebah Apis dorsata atau lebah hutan. Sarang lebah madu Apis dorsatatersebut ditemukan berada pada
pohon yang sudah mati dan ada juga pada pohon yang masih hidup. Habitat hidup lebah madu yang ditemukan dilakukan dengan 3 teknik, dimana dengan 2 teknik pancingan yaitu teknik suar dan teknik sunggau (Gambar 2a) sedangkan 1 lagi dengan teknik alami (Gambar 2b).
Gambar 2. (a) Teknik Sunggau dan (b) Teknik Alami Teknik sunggau adalah suatu teknik yang dilakukan untuk memancing adanya lebah madu dengan kayu yang tumbang secara alami atau dengan kayu yang dipotong sebagian akarnya agar dapat tumbang dengan kemiringan kayu sekitar 45o tetapi kayu tersebut masih hidup, teknik ini ini dijumpai di Desa Kacung pada titik koordinat S 01o 53’ 208’’ E 105031’760’’. Teknik suar adalah suatu teknik untuk memancing lebah madu dengan kayu yang sudah mati, dimana posisi kayu dimiringkan dengan kemiringan sekitar 45o agar lebah dapat membuat sarangnya, teknik ini berada pada titik koordinat S 01053’302’’ E 105031’806’’. Teknik alami adalah
suatu teknik dimana lebah madu membuat sarangnya pada kayu yang masih hidup dan menjulang keatas tanpa adanya teknik pancingan, teknik ini berada pada titik koordinat S 01053’197” E105031’668”. Lebah madu Apis dorsata pada teknik sunggau ditemukan pada pohon pelempang putih yang tumbang tetapi masih hidup dimana arah sarang lebah madu pada teknik ini yaitu ke arah utara, pada teknik suar lebah madu ini ditemukan pada pohon mentepung dengan arah sarangnya yaitu ke arah barat sedangkan pada teknik alami ditemukan pada pohon pules dengan arah sarangnya yaitu ke arah selatan. Diduga arah sarang lebah pada masing59
masing teknik tersebut mengarah pada sumber pakan lebah tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa vegetasi pada teknik suar memiliki jumlah jenis tumbuhan yang paling banyak. Hal ini disebabkan karena struktur tanah disekitar teknik suar lebih baik, tidak terlalu kering dan tidak terlalu tergenang air, sehingga diperkirakan kondisi seperti itu tempat yang cocok untuk tumbuhnya tumbuhtumbuhan tersebut. Sementara vegetasi pada habitat teknik Sunggau tidak terlalu banyak dikarenakan kondisi lingkungan yang lembab dan tergenang air sehingga memungkinkan hanya tumbuh-tumbuhan air yang mampu hidup dengan baik pada habitat ini sedangkan vegetasi pada habitat teknik alami yang paling sedikit, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang sedikit lembab dan sedikit kering. Tingginya keragaman tumbuhan pada habitat lebah madu alami dibandingkan dengan teknik lainnya bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan yang mendukung. Semakin banyaknya jenis tumbuhan pada habitat lebah madu maka semakin baik pula kondisi habitat lebah madu tersebut. Tumbuhtumbuhan tersebut selain sebagai pelindung sarang lebah madu juga dapat digunakan sebagai sumber nektar bagi madu tersebut. Hasil perhitungan keanekaragaman secara keseluruhan pada masing-masing teknik pengamatan memiliki keanekaragaman yang rendah. Terlihat adanya perbedaan antara habitat pada teknik suar, sunggau dan alami. Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada tingkat semaidan tingkat pancang tertinggi adalah pada teknik suar (0,60) dan pada teknik alami (0,64). Menurut Asrianny et al (2008) H’< 1 keanekaragaman rendah, H’ 1-3 tingkat keanekaragaman sedang dan H’> 3 keanekaragam tinggi. Odum
(1971) menyatakan semakin tinggi nilai keanekaragamannya semakin tinggi juga tingkat keanekaragamannya, namun sebaliknya jika nilai H’ semakin rendah maka tingkat keanekaragamannya semakin rendah juga. Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian (Odum 1971). Jika nilai kemerataan jenis (e) semakin mendekati satu maka tingkat persebarannya semakin merata dan begitu sebaliknya jika mendekati nol maka tingkat kemerataanya rendah. Pada tingkat semai teknik yang memiliki kemerataan jenis tertinggi adalah teknik suar (0.31) kemudian teknik sunggau (0.22) dan yang terakhir teknik alami (0.17). Sedangkan pada tingkat pancang kemerataan jenisnya tidak terlalu berbeda karena teknik alami (0.36) dan teknik sunggau (0.34) sedangkan teknik Suar tidak ada. Adanya perbedaan tingkat kemerataan disetiap habitat pada teknik-teknik tersebut dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan beserta kondisi lingkungan yang berbeda. Lebah madu (Apis dorsata) menghisap nektar bunga pohon pelawan (T. merguensis). T. merguensis merupakan tumbuhan penghasil nektar yang dimanfaatkan sebagai makanan bagi lebah yang menghasilkan madu pelawan. T. merguensis ditemukan dalam jumlah sedikit dan hanya ditemukan di satu habitat yaitu pada teknik sunggau dengan jumlah 21 batang. Tumbuhan ini memiliki indeks keanekaragaman (0,18) dan indeks kemerataan (0,10). Terlihat bahwa sedikitnya jumlah dari pohon pelawan disekitar habitat lebah tersebut, meskipun demikian lebah madu (Apis dorsata) tetap mencari nektar bunga pohon pelawan diluar habitatnya sehingga dapat menghasilkan madu 60
pelawan.Hasil pengamatan dilapangan menunjukan bahwa sebaran pohon pelawan di sekitar teknik sunggau terlihat lumayan jauh berkisar antara 710 m. Faktor–faktor abiotik yang mempengaruhi habitat lebah madu adalah faktor suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya. Suhu yang di temukan pada habitat lebah madu dengan teknik suar, sunggau, dan alami adalah 41oC, 40oC, dan 31oC. Hal tersebut membuktikan bahwa lebah madu hidup pada suhu yang sangat tinggi dan panas. Sarwono (2001) mengatakan habitat yang cocok untuk lebah madu dicirikan dengan suhu ideal tempat yang cocok bagi lebah adalah sekitar 26oC, pada suhu ini lebah dapat beraktifitas normal. Suhu di atas10oC lebah masih bisa beraktifitas. Lokasi yang disukai lebah adalah tempat terbuka, jauh dari keramaian dan banyak terdapat bunga sebagai pakannya. Kelembaban habitat lebah madu dari teknik suar, sungau dan alami adalah 86%, 85%, dan 82%. Artinya habitat lebah madu dapat bertahan pada kelembaban yang tinggi yang memungkinkan keadaan tersebut dalam keadaan yang lembab. Menurut Sarwono (2001) lokasi lebah biasanya terdapat pada suhu udara 20-34oC dengan kelembaban 70-80% yang jauh dari bau dan asap yang menyengat. Intensitas cahaya dari habitat lebah madu yang ditemukan pada teknik suar, sunggau dan alami adalah 0,6, 0,24 dan 0,27. Artinya keadaan intensitas cahaya yang ditempati lebah madu pelawan sangat rendah sehingga matahari tidak masuk kedalam habitat tersebut. Sarang lebah madu membutuhkan tempat yang tidak terlalu menyengat matahari tetapi cukup untuk menghangatkan sarang lebah. Hal tersebut diduga terjadi karena keadaan semai dan pancang yang
mengelilingi habitat dari lebah madu pelawan sehingga cahaya matahari sangat rendah kemungkinan untuk menembus habitat tersebut. Hasil tersebut menunjukkan bahwa habitat lebah madu akan sangat berpengaruh terhadap faktor–faktor lingkungan berupa faktor abioktik dan biotik seperti yang telah diketahui. Hasil dari penelitian ini dibuat sebagai acuan dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya. Potensi Apis dorsata sangat terkait dengan konservasi hutan, karena hutan sebagai habitat berbagai jenis tanaman hutan yang bunganya merupakan sumber pakan lebah (nektar). Disamping itu, lebah hutan menjadi agen penyerbukan (polinator) bagi tanaman hutan. Proses saling ketergantungan antara lebah dengan hutan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dalam konteks ini, lebah hutan dapat berfungsi sebagai agen penyelamat hutan sebab keberadaan lebah hutan sangat tergantung pada hutan. Oleh karena itu diperlukan kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan. Bagi hutan di Desa Kacung, keberadaan Apis dorsata juga menjadi faktor penting karena jika tanpa lebah hutan maka proses keberlanjutan jenis vegetasi akan berkurang secara sistemik seiring hilangnya polinator. Berdasarkan hasil pengamatan habitat yang paling baik sebagai tempat bersarang lebah madu untuk konservasi yaitu pada pohon pules, vegetasi tumbuhan yang banyak dan faktor lingkungan seperti suhu yang rendah, kelembaban yang tinggi dan intensitas cahaya yang sedang. KESIMPULAN DAN SARAN Keberadaan habitat lebah penghasil madu pelawan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor biotik seperti tumbuh-tumbuhan dimana 61
tingkat keanekaragaman dan tingkat kemerataan tumbuhan serta jumlah pohon pelawan yang terdapat pada habitat sangat mempengaruhi habitat lebah madu pelawan. Untuk mendapatkan data tentang habitat lebah madu pelawan di Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat diperlukan penelitian yang lebih lanjut tentang identifikasi lebah (Apis dorsata) penghasil madu pelawan di Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat. Selain itu juga diharapkan agar penelitian ini menjadi acuan dasar bagi peneliti selanjutnya. Oleh karena itu kritik dan saran penyusun harapkan agar dapat memperbaiki dan menambah data informasi di masa mendatang.
Sarwono B. 2001. Lebah Madu. Jakarta: Agro Media Pustaka.
UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Kepala Desa Kacung atas kebaikan dan fasilitas yang diberikan selama pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Bapak Nizar dan Bapak Zulkarnain yang telah memandu kami dalam menelusuri hutan pelawan di Desa Kacung.
DAFTAR PUSTAKA Asrianny et al. 2009. Keanekaragaman dan Kelimpahan Jenis Liana (Tumbuhan memanjat) pada Hutan Alam di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin. Jurnal Perennial, 5 (1) : 23-30 Odum PE. 1971. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta: University Press 62
TATA CARA PENULISAN ARTIKEL JURNAL EKOTONIA 1. PEDOMAN UMUM a. Naskah merupakan ringkasan hasil penelitian. b. Naskah sudah ditulis dalam bentuk format PDF yang sudah jadi dan siap cetak sesuai dengan template yang disediakan. Template tentang tata cara penulisan artikel dapat diunduh di laman biologi.ubb.ac.id. c. Ukuran file PDF naskah maksimal 5MB. d. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan huruf Time New Roman font 11. Panjang naskah sekitar 8–15 halaman dan diketik 1 spasi. e. Naskah dalam format pdf diserahkan ke Redaksi Jurnal Ekotonia. f. Seting halaman adalah 2 kolom dengan equal with coloumn dan jarak antar kolom 5 mm, sedangkan Judul, Identitas Penulis, dan Abstract ditulis dalam 1 kolom. g. Ukuran kertas adalah A4 dengan lebar batas-batas tepi (margin) adalah 3,5 cm untuk batas atas, bawah dan kiri, sedang kanan adalah 2,0 cm. 2. SISTIMATIKA PENULISAN a. Bagian awal : judul, nama penulis, abstraksi. b. Bagian utama : berisi pendahuluan, Kajian literature dan pengembangan hipotesis (jika ada), cara/metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan kesimpulan dan saran (jika ada). c. Bagian akhir : ucapan terima kasih (jika ada), keterangan simbol (jika ada), dan daftar pustaka. 3. JUDUL DAN NAMA PENULIS a. Judul dicetak dengan huruf besar/kapital, dicetak tebal (bold) dengan jenis huruf Times New Roman font 12, spasi tunggal dengan jumlah kata maksimum 15. b. Nama penulis ditulis di bawah judul tanpa gelar, tidak boleh disingkat, diawali dengan huruf kapital, tanpa diawali dengan kata ”oleh”, urutan penulis adalah penulis pertama diikuti oleh penulis kedua, ketiga dan seterusnya. c. Nama perguruan tinggi dan alamat surel (email) semua penulis ditulis di bawah nama penulis dengan huruf Times New Roman font 10. 4. ABSTRACT a. Abstract ditulis dalam bahasa Inggris, berisi tentang inti permasalahan/latar belakang penelitian, cara penelitian/pemecahan masalah, dan hasil yang diperoleh. Kata abstract dicetak tebal (bold). b. Jumlah kata dalam abstract tidak lebih dari 250 kata dan diketik 1 spasi. c. Jenis huruf abstract adalah Times New Roman font 11, disajikan dengan rata kiri dan rata kanan, disajikan dalam satu paragraph, dan ditulis tanpa menjorok (indent) pada awal kalimat. d. Abstract dilengkapi dengan Keywords yang terdiri atas 3-5 kata yang menjadi inti dari uraian abstraksi. Kata Keywords dicetak tebal (bold). 5. ATURAN UMUM PENULISAN NASKAH a. Setiap sub judul ditulis dengan huruf Times New Roman font 11 dan dicetak tebal (bold). b. Alinea baru ditulis menjorok dengan indent-first line 0,75 cm, antar alinea tidak diberi spasi. c. Kata asing ditulis dengan huruf miring. d. Semua bilangan ditulis dengan angka, kecuali pada awal kalimat dan bilangan bulat yang kurang dari sepuluh harus dieja. e. Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas, dan diberi nomor urut.
6. REFERENSI Penulisan pustaka menggunakan sistem Harvard Referencing Standard. Semua yang tertera dalam daftar pustaka harus dirujuk di dalam naskah. Kemutakhiran referensi sangat diutamakan. A. Buku [1] Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul Buku cetak miring. Edisi, Penerbit. Tempat Publikasi. Contoh: O’Brien, J.A. dan. J.M. Marakas. 2011. Management Information Systems. Edisi 10. McGraw-Hill. New York-USA. B. Artikel Jurnal [2] Penulis 1, Penulis 2 dan seterusnya, (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama Jurnal Cetak Miring. Vol. Nomor. Rentang Halaman. Contoh: Cartlidge, J. 2012. Crossing boundaries: Using fact and fiction in adult learning. The Journal of Artistic and Creative Education. 6 (1): 94-111.
C. Prosiding Seminar/Konferensi [3] Penulis 1, Penulis 2 dst, (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama Konferensi. Tanggal, Bulan dan Tahun, Kota, Negara. Halaman. Contoh: Michael, R. 2011. Integrating innovation into enterprise architecture management. Proceeding on Tenth International Conference on Wirt-schafts Informatik. 16-18 February 2011, Zurich, Swis. Hal. 776-786. D. Tesis atau Disertasi [4] Penulis (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul. Skripsi, Tesis, atau Disertasi. Universitas. Contoh: Soegandhi. 2009. Aplikasi model kebangkrutan pada perusahaan daerah di Jawa Timur. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Joyonegoro, Surabaya. E. Sumber Rujukan dari Website [5] Penulis. Tahun. Judul. Alamat Uniform Resources Locator (URL). Tanggal Diakses. Contoh: Ahmed, S. dan A. Zlate. Capital flows to emerging market economies: A brave new world?. http://www.federalreserve.gov/pubs/ifdp/2013/1081/ifdp1081.pdf. Diakses tanggal 18 Juni 2013. 7. ATURAN TAMBAHAN 7.1 Penulisan Rumus Rumus matematika ditulis secara jelas dengan Microsoft Equation atau aplikasi lain yang sejenis dan diberi nomor seperti contoh berikut.
1 5
N
log n (rX n )
(1)
n 1
7.2 Penulisan Tabel Tabel diberi nomor sesuai urutan penyajian (Tabel 1, dst.), tanpa garis batas kanan atau kiri. Judul tabel ditulis di bagian atas tabel dengan posisi rata tengah (center justified) seperti contoh berikut.
Tabel 1. Perbandingan Acid dan Ensimatis Hidrolisat Acid Ensimatis Total sugar (g) 5,5 3,9 Rhamnose 2,5 1,3 Fucose 2,0 1,2 Manose 0,5 1,0 7.3 Gambar Gambar diberi nomor sesuai urutan penyajian (Gambar.1, dst.). Judul gambar diletakkan di bawah gambar dengan posisi tengah (center justified) seperti contoh berikut.
Gambar 1. Mikroskopi isolat VTM1, VTM5, VTM6, VTM9 dan VT 12.
Template Artikel Jurnal Ekotonia
JUDUL DITULIS DENGAN FONT TIMES NEW ROMAN 12 CETAK TEBAL (MAKSIMUM 12 KATA) Penulis11), Penulis22) dst. [Font Times New Roman 10 Cetak Tebal dan NamaTidak Boleh Disingkat] 1 Nama Fakultas, nama Perguruan Tinggi (penulis 1) email: penulis
[email protected] 2 Nama Fakultas, nama Perguruan Tinggi (penulis 2) email: penulis
[email protected]
Abstract [Times New Roman 11 Cetak Tebal dan Miring] Abstract ditulis dalam bahasa Inggris yang berisikan isu-isu pokok, tujuan penelitian, metoda/pendekatan dan hasil penelitian. Abstract ditulis dalam satu alenia, tidak lebih dari 200 kata. (Times New Roman 11, spasi tunggal, dan cetak miring). Keywords: Maksimum 5 kata kunci dipisahkan dengan tanda koma. [Font Times New Roman 11 spasi tunggal, dan cetak miring]
1. PENDAHULUAN [Times New Roman 11 bold] Pendahuluan mencakup latar belakang atas isu atau permasalahan serta urgensi dan rasionalisasi kegiatan (penelitian atau pengabdian). Tujuan kegiatan dan rencana pemecahan masalah disajikan dalam bagian ini. Tinjauan pustaka yang relevan dan pengembangan hipotesis (jika ada) dimasukkan dalam bagian ini. [Times New Roman, 11, normal]. 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian menjelaskan rancangan kegiatan, ruang lingkup atau objek, bahan dan alat utama, tempat, teknik pengumpulan data, definisi operasional variabel penelitian, dan teknik analisis. [Times New Roman, 11, normal].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian ini menyajikan hasil penelitian. Hasil penelitian dapat dilengkapi dengan tabel, grafik (gambar), dan/atau bagan. Bagian pembahasan memaparkan hasil pengolahan data, menginterpretasikan penemuan secara logis, mengaitkan dengan sumber rujukan yang relevan. [Times New Roman, 11, normal]. 4. KESIMPULAN Kesimpulan berisi rangkuman singkat atas hasil penelitian dan pembahasan. [Times New Roman, 11, normal]. 5. REFERENSI Penulisan naskah dan sitasi yang diacu dalam naskah ini disarankan menggunakan aplikasi referensi (reference manager) seperti Mendeley, Zotero, Reffwork, Endnote dan lain-lain. [Times New Roman, 11, normal].
Keanekaragaman Tumbuhan yang Dimanfaatkan oleh Masyarakat Bangka dalam Berkebun Lada (Studi Kasus di Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka) Henri, Yulian Fakhrurrozi, Dian Akbarini ...................................................................................... 1 Pemanfaatan Hewan Sebagai Obat Tradisional Oleh Etnik Lom Di Bangka Budi Afriyansyah, Nur Annis Hidayati, Hapis Aprizan ...............................................................8 Identifikasi Dan Prevalensi Cacing Intestinal Pada Kijang Bangka (Muntiacus Muntjak Bancanus) Dari Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka Budi Afriyansyah, Nur Annis Hidayati, Randy Syafutra............................................................... 19 Antibacterial Activity of Belilik (Brucea javanica (L).Merr) and Benta (WikstroemiaandrosaemofoliaDecne) toInhibitthe Enteropathogenic Bacteria Henny Helmi, IdhaSusanti, Noptian Asmara Agung, SadamKusen ............................................... 26 Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Sapu-sapu (Baeckea frutescens), Kertau (Morus alba) dan Beluntas (Pluchea indica) dalam Menghambat Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro Pancawati, Henny Helmi, Yulian Fakhrurozi ................................................................................. 36 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin (Rhodamnia cinerea Jack) Terhadap Bakteri Enteropatogen SitiAminah, Henny Hemi, IdhaSusanti ........................................................................................... 46 Identifikasi Habitat Lebah (Apis dorsata) Penghasil Madu Pelawan Di Desa Kacung Kecamatan Kelapa Kabupaten Bangka Barat1) Melda Trisnawati Saragih2), Mirza Kurnia, Fitriyani, Nur Annis Hidayati .................................... 56