PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYEDUHAN TEH HITAM (Camellia sinensis) SERTA PROSES PENCERNAAN SECARA IN VITRO TERHADAP PENGHAMBATAN AKTIVITAS ENZIM ALFA AMILASE DAN ALFA GLUKOSIDASE SECARA IN VITRO SKRIPSI
SURIAH ANGGRAENI F24070073
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
EFFECT OF TEMPERATURE AND DURATION TIME OF BREWING BLACK TEA (Camellia sinensis) ALSO DIGESTION PROCESS IN VITRO CONCERNING INHIBITION OF ALPHA AMYLASE AND ALPHA GLUCOSIDASE ACTIVITY IN VITRO Suriah Anggraeni and Endang Prangdimurti Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 251 8624622, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Diabetes is a chronic disease that occurs either when the pancreas does not produce enough insulin or when the body cannot effectively use the insulin. Natural alpha amylase and alpha glucosidase inhibitors from food-grade plants offer an attractive strategy to eather manage or prevent type 2 diabetes by controlling of starch breakdown and intestinal glucose absorption. Black tea is the second most widely consumed beverage in the world after water. A lot of researches about bioactive compounds in tea related have been done. In this study, six extracts treated with different combination of temperature and brewing time were investigated for alpha amylase and alpha glucosidase inhibitory potential. Furthermore, the influence of the digestion condition in vitro to the activity of the enzymes was also performed in this study. The enzymes inhibitory and total phenol was measured by spectrophotometric while tannin content was measured by gravimetric method. Results showed that tea brewed by 70oC 15 minutes, 70oC 30 minutes, 100oC 5 minutes, 100oC 15 minutes can optimally inhibit amylase at initial extract (as an estimation of salivary alpha amylase), 70oC 15 minutes and 100oC 5 minutes can optimally inhibit pH digestion-controlled extract (pancreatic amylase), 70oC 30 minutes and 100oC 30 minutes can optimally inhibit alpha glucosidase at initial extract, also 70oC 15 minutes, 100oC 15 minutes, and 100oC 30 minutes can optimally inhibit at pH digestion-controlled extract. Alpha amylase inhibitory has a positive correlation with tannin content but not with total phenol. While alpha glucosidase inhibitory showed no correlation with tannin and showed a negative correlation with total phenol. Keywords: alpha amylase, alpha glucosidase, black tea, diabetes, inhibitory
SURIAH ANGGRAENI. F24070073. Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro. Dibawah bimbingan Endang Prangdimurti. 2011.
RINGKASAN
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang jumlah penderitanya terus meningkat setiap tahunnya di dunia, termasuk di Indonesia. Diabetes Melitus merupakan suatu keadaan dimana tubuh penderitanya tidak memproduksi hormon insulin atau memproduksinya namun jumlahnya tidak cukup atau tubuh memang tidak bisa menggunakannya secara efektif sehingga terdapat kelebihan glukosa dalam darahnya. Keadaan dimana darah mengandung kelebihan glukosa disebut hiperglikemia. Hiperglikemia memicu terjadinya kerusakan sistem tubuh sehingga tidak jarang penderita diabetes mengidap penyakit komplikasi. Senyawa bioaktif pada tanaman telah banyak dilaporkan memiliki efek positif terhadap kesehatan. Karena berasal dari tanaman, senyawa tersebut lebih aman dikonsumsi, efek samping yang ditimbulkan relatif rendah, dan biasanya murah dan mudah didapat. Teh merupakan tanaman yang biasa dijadikan sebagai minuman dengan cara menyeduh pucuk daunnya dengan air panas pada suhu dan waktu yang bervariasi. Teh dilaporkan mengandung banyak komponen bioaktif. Senyawa bioaktif teh diduga dapat mengontrol diabetes dengan cara menghambat enzim penting yang dapat memecah karbohidrat, yaitu enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan suhu penyeduhan teh hitam serta proses pencernaan secara in vitro terhadap penghambatan aktivitas enzim alfa amilase dan enzim alfa glukosidase secara in vitro sebagai salah satu upaya untuk mengurangi asupan glukosa pada penderita DM. Metode penelitian pertama-tama dilakukan dengan menyeduh bubuk teh hitam dengan menggunakan suhu air awal dan lama penyeduhan yang berbeda, yaitu suhu 70oC dan 100oC selama 5, 15, dan 30 menit sehingga dihasilkan enam macam ekstrak yang berbeda. Ekstrak teh hitam yang didapat dari penyeduhan (disebut ekstrak awal) kemudian diukur pH, kadar total fenol, kadar tanin, inhibisi alfa amilase, dan inhibisi alfa glukosidase. Selanjutnya sebagian ekstrak awal diberi perlakuan pengaturan pH simulasi proses pencernaan, yaitu diatur menjadi pH 2, lalu didiamkan selama 30 menit, kemudian dinaikkan menjadi pH 6.8. Ekstrak yang telah diberi perlakuan pH ini kemudian diuji inhibisi alfa amilase dan alfa glukosidase. Pengujian inhibisi enzim dari ekstrak awal berguna untuk memperkirakan kemampuan ekstrak adalam menghambat kerja enzim di mulut, sedangkan pengujian inhibisi dari ekstrak yang telah diberi perlakuan pH berguna untuk memperkirakan kemampuan ekstrak dalam menghambat kerja enzim di usus halus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH ekstrak teh tidak dipengaruhi oleh suhu penyeduhan, waktu penyeduhan, serta interaksi keduanya (p 0.05). Nilai pH ekstrak awal berkisar antara 4.935.06. Nilai inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak awal teh hitam tidak dipengaruhi oleh suhu penyeduhan dan waktu penyeduhan (p 0.05), namun interaksi keduanya memengaruhi besarnya inhibisi (p 0.05). Nilai inhibisi ini diduga dapat menggambarkan besarnya daya hambat pada enzim amilase saliva. Ekstrak teh yang paling baik dalam menghambat enzim alfa amilase (dibandingkan dengan Acarbose sebagai kontrol positif) adalah teh yang diseduh pada suhu 70oC selama 15 menit (95.13%), 70oC selama 30 menit (97.92%), 100oC selama 5 menit (97.54%), dan 100oC selama 15 menit (96.04%). Setelah melewati proses pencernaan secara in vitro, ekstrak yang masih memiliki besar inhibisi yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose (Acarbose juga diuji setelah melewati proses pencernaan secara in vitro) adalah teh hitam yang diseduh pada suhu 70oC 15 menit (87.14%) dan 100oC 5 menit (85.40%). Daya inhibisi alfa amilase ekstrak mengalami penurunan (p 0.05) setelah mengalami proses pencernaan in vitro.
Ekstrak awal terhadap inhibisi enzim alfa glukosidase dipengaruhi oleh faktor waktu penyeduhan, suhu penyeduhan, dan interaksi keduanya (p 0.05). Ekstrak yang memiliki daya hambat yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose adalah teh yang diseduh pada 70oC 30 menit (98.36%) dan 100oC 30 menit (99.42%). Karena di dalam tubuh alfa glukosidase tidak terdapat pada saliva dan hanya terdapat pada usus halus maka penentuan ekstrak yaang terbaik adalah ekstrak yang menunjukkan daya inhibisi tertinggi setelah melalui proses pencernaan in vitro yang adalah ekstrak hasil penyeduhan 70oC 15 menit (97.74%), 100oC 15 menit (98.37%), dan 100oC 30 menit (97.94%). Daya inhibisi alfa amilase ekstrak tidak mengalami perubahan (p 0.05) setelah mengalami proses pencernaan in vitro. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa untuk menurunkan asupan kalori karbohidrat maka disarankan meminum teh hitam yang diseduh pada suhu 70oC selama 15 menit. Kondisi penyeduhan tersebut merupakan kondisi paling baik dalam menghambat aktivitas enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Total fenol ekstrak tidak dipengaruhi oleh suhu (p 0.05) namun dipengaruhi oleh waktu penyeduhan dan interaksi keduanya (p 0.05). Total fenol tertinggi diperoleh dari ekstrak teh yang diseduh pada 100oC 15 menit, yaitu sebesar 22.82 mg GAE/g. Total fenol pada ekstrak yang diseduh 100oC 15 menit berbeda nyata dari ekstrak lainnya. Berdasarkan uji statistik, total fenol memiliki korelasi negatif terhadap nilai inhibisi alfa glukosidase (p 0.05 dengan koefisien korelasi -0.825) dan juga tidak memiliki korelasi terhadap nilai inhibisi alfa amilase (p 0.05). Kadar tanin ekstrak dipengaruhi oleh suhu, waktu penyeduhan, dan interaksi keduanya (p 0.05). Ekstrak hasil penyeduhan 70oC 15 menit dan 70oC 30 menit menghasilkan kadar tanin yang tidak berbeda nyata dan jumlahnya paling tinggi, yaitu masing-masing 4.01% dan 4.20%. Kadar tanin tidak memiliki korelasi terhadap nilai inhibisi alfa glukosidase (p 0.05) tetapi memiliki korelasi yang kuat terhadap nilai inhibisi alfa amilase (p 0.05 dengan koefisien korelasi 0.892).
PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYEDUHAN TEH HITAM (Camellia sinensis) SERTA PROSES PENCERNAAN SECARA IN VITRO TERHADAP PENGHAMBATAN AKTIVITAS ENZIM ALFA AMILASE DAN ALFA GLUKOSIDASE SECARA IN VITRO
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh SURIAH ANGGRAENI F24070073
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
:
Nama NIM
: :
Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro Suriah Anggraeni F24070073
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M. Si) NIP. 19680723 199203.2.001
Mengetahui: Plt. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M. Si) NIP. 19610802 198703.2.002
Tanggal Lulus : 11 November 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 30 Oktober 2011 Yang membuat pernyataan
Suriah Anggraeni F24070073
BIODATA PENULIS
Penulis dilahirkan di Serang tanggal 25 September 1988 sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Masno, SE dan Ibu Aminah. Penulis menempuh pendidikan formal pertamanya di TK Pertiwi SerangBanten selama 1 tahun, dilanjutkan di SDN 8 Serang dari tahun 1995 hingga 2001. Sekolah menengah pertama ditempuh di SLTP Negeri 7 Serang dari tahun 2001 hingga 2004. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Cipocok Jaya pada tahun 2004 hingga 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP). Selama masa perkuliahan, penulis terlibat aktif dalam berbagai organisasi seperti anggota paduan suara Agriaswara, anggota organisasi kesenian sunda Gentra Kaheman, anggota organisasi daerah KMB (Keluarga Mahasiswa Banten), dan anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan (Himitepa). Penulis pernah mendapatkan dana hibah dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) sebanyak empat kali atas ide-ide kreatifnya selama masa kuliah. Pada tahun 2010, penulis terpilih sebagai finalis dalam lomba Internasional yang diadakan UNESCO dan Imagine Africa bertema 10 Ideas for Tomorrow Africa. Selama masa perkuliahan penulis menerima beasiswa dari Program Pengembangan Akademik (PPA) selama 1 tahun dan setelah itu menerima beasiswa dari Goodwill Scholarship Leadership Award dari Yayasan Goodwill Internasional selama 2 tahun. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro” dibawah bimbingan Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul “Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro” dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan sejak bulan Februari sampai Juli 2011. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Hj. Endang Prangdimurti, M.Si, sebagai dosen pembimbing atas segala saran, bimbingan, nasihat, dan bantuan yang telah diberikan. 2. Keluarga terkasih: Bapak Masno, Mamah Aminah, Teh Mira, Kakek-Nenek, Annisa, Teh Asiah, dan keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis. 3. Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si dan Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, M.Sc, selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji pada ujian saya. 4. Teman satu bimbingan: Achmad Riffi Julian dan Elizabeth Setyo. 5. Teman-teman satu lab: Mba Ilul Urifah, Ricky Sinaga, Mba Dian, Mba Rizki, Khafid, Dimas, Ka Manik, Tiara, Mba Muslikatin, Sarah, Nida, Lukman, Ka Ste, Cipi dan lainnya yang silih berganti menggunakan Lab Biokim. 6. Para laboran dan staf : Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Rojak, Mba Vera, Pak Aldi, Pak Sobirin, Pak Sidiq, Bu Antin, dan lainnya. 7. Seluruh staf UPT terkhusus untuk Ibu Novi dan Mba Ani. 8. Teman-teman ITP: Renny, Tia, Lia, Imel, Dhina, Alia, Annisa Sita, Rina Ristyawati (Almh.), Hanna Mery, Sri, Anis, Puji, Tiko, Tami, Desir, Irwan, Lailya, Nurin, Nadiah, Della, Chandra, Kurce, Fitri, Ashari, Malik, Ratih, Amel, Marki, Tece, dan lainnya atas kebersamaan selama masa perkuliahan. 9. Teman-teman Asrama: Nursida, Lilis, Dyah, Devi, Galuh, Anisa, Jenita, dan Enjiem. 10. Teman-teman TPB : Cutrisni, Tania, Sarah, Dhika, Leli, Nunu, dan Astari. 11. Teman satu SMA di IPB : Ade dan Wondo 12. Teman matrikulasi : Alifta 13. Keluarga Bateng 69 : Teh Rena, Teh Meiy, Teh Poppy, Teh Ayu, Cipo, Jamil, Teh Ayun, Teh Asti, Ka Nadia, Teh Asme, Ka Bianca, Teh Abe, dan Teteh. 14. Keluarga Wisma Intan : Sari, Mba Vita, Mba Kut, Mba Evi, Ka Nunuz, Mba Tetri, Mba Annky, dan Ibu kostan serta keluarga. 15. Dikti atas Program Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) 16. Keluarga besar Yayasan Goodwill Internasional Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan. Bogor, 30 Oktober 2011 Suriah Anggraeni
iii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ...........................................................................................................................iii DAFTAR TABEL .................................................................................................................................vi DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................vii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................................viii I.
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1 A.
Latar Belakang........................................................................................................................... 1
B.
Tujuan........................................................................................................................................ 2
II.
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 3 A.
Teh Hitam.................................................................................................................................. 3
B.
Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase ............................................................................... 8
C.
Proses Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat..................................................................... 10
D.
Inhibitor Enzim........................................................................................................................ 13
III.
METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................................. 15
A. B.
Bahan dan Alat ........................................................................................................................ 15 Metode Penelitian .................................................................................................................... 15 Ekstraksi.............................................................................................................................. 16 Perlakuan pH Simulasi Sistem Pencernaan In vitro ............................................................ 16 Pengujian............................................................................................................................. 17 a) Pengujian inhibisi enzim alfa amilase............................................................................. 17 b) Pengujian inhibisi enzim alfa glukosidase ...................................................................... 17 c) Pengujian total fenol ....................................................................................................... 17 d) Pengujian kadar tanin...................................................................................................... 17 4. Prosedur .............................................................................................................................. 18 a) Inhibisi enzim alfa amilase (Thalapaneni et al. 2008) .................................................... 18 b) Inhibisi enzim alfa glukosidase (Mayur et al. 2010) ....................................................... 19 c) Uji total fenol (Strycharz dan Shetty 2002 dengan modifikasi diacu dalam Zega 2010) 20 d) Uji kadar tanin (Nugraha 1999) ...................................................................................... 20 5. Analisis Statistik.................................................................................................................. 21 1. 2. 3.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 22
A.
Ekstraksi Teh Hitam ................................................................................................................ 22
B.
Nilai pH Ekstrak Teh Hitam .................................................................................................... 23
C.
Inhibisi Enzim Alfa Amilase ................................................................................................... 23 a. Inhibisi Enzim Alfa Amilase pada Ekstrak Awal................................................................ 23
iv
b.
Inhibisi Enzim Alfa Amilase setelah Melewati Pencernaan................................................ 25
a. b.
Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase............................................................................................. 26 Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase pada Ekstrak Awal ......................................................... 26 Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase setelah Melewati Pencernaan ......................................... 27
a. b.
Total Fenol .............................................................................................................................. 29 Total Fenol dan Inhibisi Enzim Alfa Amilase..................................................................... 32 Total Fenol dan Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase .............................................................. 32
a. b.
Kadar Tanin ............................................................................................................................. 34 Kadar Tanin dan Inhibisi Enzim Alfa Amilase ................................................................... 37 Kadar Tanin dan Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase............................................................. 38
D.
E.
F.
IV.
SIMPULAN DAN SARAN..................................................................................................... 40
A.
Simpulan.................................................................................................................................. 40
B.
Saran........................................................................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................... 41 LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 47
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Klasifikasi tanaman teh............................................................................................................. 4 Tabel 2. Komposisi kimia teh hitam ....................................................................................................... 6 Tabel 3. Kadar flavonoid pada minuman teh hitam................................................................................ 7 Tabel 4. Prekursor dan kadar theaflavin pada teh hitam......................................................................... 7 Tabel 5. Klasifikasi karbohidrat............................................................................................................ 11 Tabel 6. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa amilase.................................................... 19 Tabel 7. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa glukosidase ............................................. 20
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Pucuk daun teh (Hill 2009) ................................................................................................... 3 Gambar 2. Struktur dasar flavonoid (Lazarus et al. 2000) ...................................................................... 5 Gambar 3. Struktur theaflavin (Whampler 2011) ................................................................................... 8 Gambar 4. Struktur enzim alfa amilase (Bayer et al. 1995).................................................................... 9 Gambar 5. Stuktur enzim alfa glukosidase (Bayer et al. 1995) .............................................................. 9 Gambar 6. Bagan proses pencernaan karbohidrat (Muchtadi et al. 1993) ............................................ 12 Gambar 7. Bagan proses fermentasi karbohidrat di kolon (Cummings dan Mann 2009) ..................... 13 Gambar 8. Diagram alir penelitian ....................................................................................................... 16 Gambar 9. Nilai inhibisi enzim alfa amilase dari ekstrak teh hitam ..................................................... 26 Gambar 10. Nilai inhibisi enzim alfa glukosidase dari ekstrak teh hitam............................................. 28 Gambar 11. Total fenol ekstrak awal teh hitam .................................................................................... 31 Gambar 12. Grafik hubungan total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal............... 32 Gambar 13. Grafik hubungan total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal ........ 33 Gambar 14. Faktor-faktor yang memengaruhi pengikatan tanin dengan protein (Kawamoto et al. 1997) .............................................................................................................................. 36 Gambar 15. Kadar tanin pada ekstrak teh awal .................................................................................... 37 Gambar 16. Grafik hubungan kadar tanin dan nilai inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal ............. 38 Gambar 17. Grafik hubungan kadar tanin dengan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal . 39
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Diagram alir proses ekstraksi teh hitam ........................................................................... 48 Lampiran 2. Data pH ekstrak awal ....................................................................................................... 49 Lampiran 3. Hasil uji statistik pH ekstrak awal teh hitam .................................................................... 50 Lampiran 4. Data inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal.................................................................. 51 Lampiran 5. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal .............................................. 52 Lampiran 6. Hasil uji statistik interaksi suhu dan waktu ekstrak awal terhadap inhibisi amilase......... 53 Lampiran 7. Uji lanjut Duncan faktor interaksi suhu dan waktu inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak awal................................................................................................................. 54 Lampiran 8. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro ...................................................................................................... 55 Lampiran 9. Hasil uji lanjut Duncan statistik inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro........................................................................................... 56 Lampiran 10. Hasil uji t-test inhibisi enzim alfa amilase...................................................................... 57 Lampiran 11. Data inhibisi enzim alfa glukosidase teh hitam .............................................................. 58 Lampiran 12. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal...................................... 59 Lampiran 13. Hasil uji statistik faktor suhu penyeduhan terhadap inhibisi enzim alfa glukosidase..... 60 Lampiran 14. Hasil uji statistik faktor waktu penyeduhan terhadap inhibisi enzim alfa glukosidase 61 Lampiran 15. Hasil uji statistik interaksi suhu dan waktu penyeduhan ekstrak dan Acarbose pada inhibisi enzim alfa glukosidase................................................................................. 62 Lampiran 16. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan ekstrak dan Acarbose pada inhibisi enzim alfa glukosidase ........................................................................ 63 Lampiran 17. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa glukosidase oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro ................................................................................................... 64 Lampiran 18. Hasil uji lanjut Duncan untuk inhibisi enzim alfa glukosidase oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro......................................................................... 65 Lampiran 19. Hasil uji t-test inhibisi enzim alfa glukosidase ............................................................... 66 Lampiran 20. Tabel dan kurva standar asam galat................................................................................ 67 Lampiran 21. Data total fenol ............................................................................................................... 68 Lampiran 22. Hasil uji statistik total fenol............................................................................................ 69 Lampiran 23. Hasil uji lanjut Duncan untuk waktu penyeduhan total fenol......................................... 70 Lampiran 24. Uji statistik interaksi suhu dan waktu penyeduhan total fenol ....................................... 71 Lampiran 25. Uji lanjut Duncan untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan total fenol ................... 72 Lampiran 26. Data kadar tanin ............................................................................................................. 73 Lampiran 27. Hasil uji statistik kadar tanin .......................................................................................... 74 Lampiran 28. Nilai rataan pada suhu yang berbeda nyata pada kadar tanin (Hasil uji lanjut Duncan untuk suhu penyeduhan tidak ditampilkan karena kurang dari tiga jenis)................ 75 Lampiran 29. Hasil uji Duncan untuk waktu penyeduhan kadar tanin ................................................. 76 Lampiran 30. Hasil uji statistik untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin .................. 77 Lampiran 31. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin ................... 78 Lampiran 32. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim alfa amilase ................................................. 79 Lampiran 33. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim glukosidase ................................................. 80 Lampiran 34. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa amilase ............................................... 81 Lampiran 35. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa glukosidase......................................... 82
viii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karbohidrat merupakan sumber energi yang sangat penting bagi makhluk hidup dikarenakan kandungan energi yang disimpannya. Karbohidrat (pati dan gula) menyumbangkan 80% kalori dari total kalori yang dibutuhkan dan memberikan nilai energi fisiologis 4 Kkal/g (Muchtadi et al. 2006). Walaupun karbohidrat bukan satu-satunya sumber energi namun karbohidrat merupakan sumber energi yang paling murah sehingga banyak dikonsumsi. Kelebihan dalam mengonsumsi karbohidrat banyak dihubungkan dengan berbagai macam penyakit seperti carries gigi, penyakit jantung koroner, kanker, diabetes mellitus, dan kegemukan atau obesitas. Jumlah penderita penyakit degeneratif cenderung meningkat secara signifikan. Salah satu penyakit degeneratif yang mengalami peningkatan adalah Diabetes Melitus (DM). WHO (2011) menunjukkan bahwa sekitar 346 juta penduduk dunia menderita DM. The International Diabetes Federation (IDF) (2011) memperkirakan bahwa pada tahun 2030, penderita diabetes akan meningkat menjadi 438 juta jiwa. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melakukan pendataan terakhir pada tahun 2007, yaitu sekitar 12.5 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami diabetes dan diperkirakan jumlahnya meningkat menjadi 21.3 juta jiwa pada tahun 2030 (Riskesdas 2007). DM merupakan salah satu penyakit degeneratif, dimana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria). DM disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya di bawah normal atau di atas normal atau daya kerjanya lemah (Depkes 2003). Hormon insulin diproduksi oleh kelenjar pankreas dan dibutuhkan tubuh untuk mengubah glukosa menjadi energi. DM diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan oleh tubuh yang tidak dapat memproduksi insulin sehingga penderita kekurangan insulin dalam darahnya dan membutuhkan suntikan insulin. DM tipe 2 terjadi bila tubuh tidak cukup memproduksi insulin atau kehilangan sensitifitas dalam membuat insulin. Pencegahan DM pada individu yang beresiko dapat dilakukan melalui modifikasi gaya hidup (pola makan sesuai, cukup aktivitas fisik, penurunan berat badan) dengan dukungan program edukasi berkesinambungan (Depkes 2005). Pencegahan DM juga dapat dilakukan dengan mendorong masyarakat mengonsumsi pangan fungsional yang berfungsi untuk membatasi asupan kalori dengan jalan menghambat kerja enzim pemecah karbohidrat seperti enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Dengan menghambat kedua enzim tersebut, diharapkan sebagian karbohidrat tidak terserap di usus halus dan langsung memasuki usus besar untuk difermentasi. Namun karbohidrat yang berlebihan pada usus juga dilaporkan dapat menimbulkan beberapa gangguan. Cummings dan Mann (2009) menghubungkan kelebihan karbohidrat dengan beberapa gangguan perut, seperti produksi gas berlebih yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada perut atau flatulensi, serta produksi biomassa mikroba usus yang meyebabkan efek laktasif seperti mulas dan diare. Belakangan ini komponen bahan aktif dari beberapa tanaman obat, bahan pangan, dan produk pertanian lainnya telah secara empiris dilaporkan mempunyai aktivitas biologis yang berguna untuk pengobatan penyakit diabetes. Efek hipoglikemik komponen bioaktif pada
1
tanaman dapat mengembalikan fungsi sel pankreas sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin, menghambat absorpsi glukosa di usus dan menghambat kerja enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Kebanyakan tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif seperti glikosida, alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan karotenoid mempunyai aktivitas antidiabetes (Kim et al. 2006 diacu dalam Suarsana et al. 2008). Teh adalah minuman yang berasal dari pucuk tanaman teh (Camellia sinensis) yang sudah banyak diteliti memiliki banyak khasiat. Komponen bioaktif yang terkenal ada pada teh adalah polifenol yang berkontribusi sebesar 25-30% berat kering (Ullah 1991). Teh dan polifenolnya dilaporkan memiliki efek antioksidan (Wan et al. 2009), mencegah kanker dan menekan karsinogenesis prostat (Lin 2009a), mencegah inflamasi (Ramji et al. 2009), menghambat proliferasi sel kanker payudara (Lin et al. 2009b), mengontrol berat badan (Shi et al. 2009), menekan lipogenesis dan obesitas (Lin et al. 2009c), serta menghambat enzim alfa amilase (Hara dan Honda 1990 diacu dalam Thalapaneni 2008). Berdasarkan proses pengolahannya, teh pada umumnya digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh hitam, dan teh oolong. Teh hijau diproses tanpa fermentasi, teh oolong diproses dengan setengah fermentasi, dan teh hitam difermentasi dengan sempurna. Dari ketiga jenis teh tersebut, teh hitam merupakan teh yang paling banyak dikonsumsi. Konsumsi teh hitam didunia mencapai 80% dibandingkan konsumsi jenis teh lainnya (Huang 2006). Di Indonesia, angka konsumsi teh hitam lebih tinggi dari pada angka konsumsi teh hijau. Pada tahun 2005, angka konsumsi teh hitam mencapai 67.9 juta ton sedangkan teh hijau hanya mencapai 31.3 juta ton (Wan et al. 2009). Teh hitam memiliki komponen bioaktif yang diduga mampu menghambat enzim-enzim pencernaan seperti enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Kedua enzim tersebut berperan penting dalam pemecahan karbohidrat kompleks menjadi glukosa yang akan diserap tubuh. Penghambatan kedua enzim oleh teh diharapkan dapat mereduksi jumlah glukosa pada usus sehingga dapat digunakan untuk mencegah atau menjaga kadar gula darah pada penderita DM.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan suhu penyeduhan teh hitam serta proses pencernaan secara in vitro terhadap penghambatan aktivitas enzim alfa amilase dan enzim alfa glukosidase secara in vitro sebagai salah satu upaya untuk mengurangi asupan glukosa pada penderita DM.
2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teh Hitam Teh merupakan jenis minuman penyegar yang digemari oleh masyarakat Indonesia. Minuman teh berasal tanaman teh (Camellia sinensis) yang diambil dua sampai tiga pucuk daunnya yang paling ujung (terminal leaves) beserta batang muda (growing apex) melalui proses pengolahan tertentu. Pucuk daun teh dapat dilihat pada Gambar 1. Kusumaningrum (2008) menyatakan bahwa tanaman teh dapat tumbuh dengan baik di daerah pegunungan beriklim sejuk dengan ketinggian lebih dari 1800 meter di atas permukaan laut dan sampai saat ini sudah ada 3000 jenis teh yang berasal dari satu jenis tanaman dengan hasil perkawinan silangnya. Klasifikasi tanaman teh dapat di lihat pada Tabel 1. Indonesia merupakan salah satu negara produsen teh terbesar di dunia. Pada tahun 2005, FAO mendata negara penghasil teh terbesar di dunia adalah Cina, India, Kenya, Srilangka, Turki, Indonesia, dan Vietnam, dengan persentase output dari total produksi teh secara global sebesar masing-masing 26.68%, 26.49%, 9.38%, 9.05%, 5.87%, 4.73%, dan 2.97% (Wan et al. 2009).
Gambar 1 Pucuk daun teh (Hill 2009)
Komposisi kimia pucuk daun teh sangat bervariasi, tergantung dari musim, faktor iklim seperti temperatur yang sesuai, hujan, dan pemaparan sinar matahari, serta agroteknik seperti pemangkasan, peneduhan (shade), dan fertilizer treatment. Berdasarkan teh yang ditanam dengan perlakuan yang baik dan pada umumnya, pucuk teh mengandung senyawa polifenolik dengan jumlah yang perlu diperhitungkan dan kafein sebanyak 2-5% (Ullah 1991). Nasution dan Tjiptadi (1975) mengemukakan bahwa daun teh mengandung beberapa zat kimia yang digolongkan menjadi tujuh. Ketujuh golongan tersebut antara lain: 1) bahan-bahan anorganik, yaitu Al, Mn, P, Ca, Mg, Fe, Se, Cu, dan K, 2) ikatan-ikatan nitrogen, yaitu protein, asam amino, alkaloid, dan kafein, 3) karbohidrat dan ikatannya yaitu gula, pati, dan pektin, 4) polifenol dan turunannya, yaitu asam galat, katekin, tanin, theaflavin, dan thearubigin, 5) pigmen, yaitu klorofil, anthosianin, dan flavon, 6) enzim, yaitu polifenol oksidase, peroksidase, pektase, dan 6) vitamin, yaitu vitamin C dan vitamin E. Sedangkan Eden (1958) mengatakan bahwa teh juga mengandung vitamin B2.
3
Tabel 1. Klasifikasi tanaman teh Kingdom
Plantae
Divisi
Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub divisi
Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)
Kelas
Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah)
Sub kelas
Dialypetalae
Ordo (bangsa)
Guttiferales (Clusiales)
Familia (suku)
Camelliaceae (Theaceae)
Genus (marga)
Camellia
Spesies (jenis)
Camellia sinensis
Sumber : Tuminah (2004) diacu dalam Kusumaningrum (2008)
Teh hitam merupakan teh yang berasal dari pucuk daun teh segar yang dibiarkan layu sebelum digulung, kemudian daun-daun tersebut dibiarkan selama beberapa jam sebelum dipanaskan dan dikeringkan. Selama itu, enzim yang terdapat pada daun-daun teh akan mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa-senyawa yang ada di dalam teh sehingga menghasilkan warna, rasa, dan aroma (Hartoyo 2003). Komposisi kimia daun teh sangat berpengaruh terhadap bubuk teh yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan dari pengaruh reaksi-reaksinya selama proses pengolahan. Komponen-komponen ini berpengaruh langsung terhadap strength, warna, flavour, dan rangsangan seduhan teh tersebut. Presentase komposisi teh hitam dapat dilihat pada Tabel 2. Teh hitam yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam menggunakan sistem pengolahan CTC (Crushing Tearing Curling) jenis mutu Broken Pekoe 1 (BP 1) yang berasal dari PT. Perkebunan Nusantara Gunung Mas, Bogor. Proses pengolahan teh hitam di perkebunan ini terdiri dari proses pemetikan, pelayuan, penggulungan atau penggilingan, fermentasi, pengeringan, sortasi, dan pengepakan. Pemetikan dilakukan setiap hari menggunakan tangan atau gunting. Keuntungan pemetikan dengan tangan adalah tingkat selektifitasnya yang tinggi karena pekerja dapat benarbenar memilih pucuk-pucuk yang benar-benar layak petik sedangkan pemetikan dengan gunting dilakukan apabila pucuk yang harus dipetik jumlahnya banyak sedangkan jumlah tenaga pemetik tetap. Pelayuan bertujuan untuk mengeluarkan sebagian cairan sel, merubah susunan sel, dan untuk menciptakan kondisi yang baik untuk proses penggulungan atau penggilingan. Pelayuan dilakukan pada suhu 27°C-30°C selama 10 jam (Panuju 2008). Penggulungan atau penggilingan bertujuan untuk memecah sel-sel daun, mengeluarkan cairan sel, dan merusak jaringan daun yang menyebabkan unsur-unsur di dalamnya termasuk polifenol dan beberapa enzim bergabung menjadi satu. Hasil gilingan yang baik adalah daun tidak menjadi bubuk dan tidak ada air yang menetes dari alat (Aji 2011). Bentuk gulungan dipengaruhi oleh kualitas bahan baku serta tingkat kelayuan pucuk. Fermentasi dilakukan secara oksidatif enzimatis selama 40 menit sampai 4 jam pada suhu 25-32°C (Panuju 2008). Waktu yang dibutuhkan untuk seluruh proses fermentasi teh hitam di PT. Perkebunan Nusantara Gunung Mas adalah sekitar 58 menit (Tirtasujana 1997). Pengeringan dilakukan untuk menghentikan aktivitas enzim sehingga proses fermentasi berhenti dan menurunkan kandungan air sampai kira-kira 3% basis basah (Kusumaningrum 2008). Alat yang digunakan untuk proses pengeringan teh hitam terdiri dari Fluid Bed Dryer
4
(FBD) dan Heat Exchanger. Bubuk teh yang masuk ke FBD disemprot dengan udara panas yang berasal dari Heat Exchanger. Suhu pengeringan berkisar 110-120°C pada saat bubuk teh baru memasuki alat dan akan menurun menjadi 90-100°C pada proses pengeringannya. Waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan adalah 15-18 menit (Tirtasujana 1997). Sortasi dilakukan untuk memisahkan teh kering dari serat-serat dan kotoran lain serta untuk mendapatkan ukuran dan warna teh yang sesuai standar. PT. Perkebunan Nusantara Gunung Mas membedakan mutu teh hitam menjadi 3 macam: 1) Mutu 1 terdiri dari Broken Pekoe 1 (BP 1), Pekoe Fanning 1 (PF 1), Pekoe Dust (PD), Dust 1 (D1), Fanning, 2) Mutu 2 terdiri dari Dust 2 (D2), Broken Mix (BM), Dust 3 (D3), Raw Material Instant Tea (RMIT), dan 3) Mutu 3 terdiri dari Broken Mix 2 (BM) dan Pluff (Tirtasujana 1997). Bubuk teh yang lolos pada mesh 12 termasuk BP1, mesh 16 dan 18 termasuk PF, mesh 22 dan 24 termasuk PD, dan bubuk teh yang keluar dari mesh 30 merupakan jenis Dust (Sartika 2011). Komposisi kimia pada berbagai jenis mutu tersebut belum diketahui secara pasti perbedaannya namun untuk kadar katekin, Astill et al. (2001) meneliti senyawa tersebut pada teh hitam berdasarkan mutunya, yaitu Broken Pekoe (BP), Pekoe Fanning (PF), dan Pekoe Dust (PD). BP mengandung katekin lebih tinggi dari jenis mutu lainnya, yaitu 0.71%. PF dan PD mengandung kadar katekin yang tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing 0.43 dan 0.48%. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan kemasan paper sack yang dilapisi alumunium di bagian dalammya sehingga kontak antara teh kering dengan udara luar dapat dicegah. Dengan proses pengemasan tersebut, kadar air teh hitam menjadi relatif tetap. Komponen bioaktif paling banyak terdapat pada teh hitam adalah polifenol. Komponen fenolik yang sebagian besar ada pada teh hitam adalah flavonoid. Flavonoid memiliki struktur utama yaitu cincin C6-C3-C6 yang mana bagian C3 merupakan cincin heterosiklik yang mengandung oksigen. Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2. Balentine dan Robinson (1998) melaporkan flavonoid utama yang ditemukan pada daun teh segar adalah katekin (flavan-3-ols) dan flavonols. Jenis flavonoid tersebut biasanya mencapai 30% berat kering pada daun teh. Epigalokatekin galat (EGCG) merupakan jenis katekin yang paling banyak jumlahnya pada teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Minuman teh hijau dan teh oolong mengandung 30-130 mg EGCG per cup, sedangkan minuman teh hitam mengandung 0-70 mg EGCG per cup. Jenis flavonol yang ada pada daun teh berkisar antara 1-2% yaitu dalam bentuk mono sampai triglikosida dengan kuersetin, kaemferol, myricetin sebagai aglikonnya (Wong et al. 2009) atau sekitar 5-15 mg per cup (Balentine dan Robinson 1998). Flavonol aglikon juga ditemukan pada daun teh namun jumlahnya berkurang pada minuman teh karena kelarutannya yang rendah. Asam-asam fenolik seperti asam galat dan asam kafeat juga terkandung pada teh, yaitu sebanyak 2-3%. Kadar flavonoid pada minuman teh hitam dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 2. Struktur dasar flavonoid (Lazarus et al. 2000)
5
Tabel 2. Komposisi kimia teh hitam Komponen
Kadar (%)
Selulosa dan serat kasar
34
Protein
16
Klorofil dan pigmen
1
Pati
0.25
Tanin teh
18
Tanin teroksidasi
4
Kafein
4
Asam amino
9
Mineral
4
Abu
5.5
Sumber : Nasution dan Tjiptadi (1975)
Teh hitam memiliki pembentuk warna atau pigmen yang khas, yaitu theaflavin, thearubigin, dan theasinensis. Pigmen-pigmen tersebut termasuk ke dalam kelompok polifenol yang telah banyak dilaporkan memiliki efek positif bagi kesehatan sehingga dapat digolongkan menjadi senyawa bioaktif. Pigmen-pigmen tersebut terbentuk pada saat proses fermentasi dalam pembuatan teh hitam. Theaflavin dibentuk melalui reaksi oksidasi berpasangan (oxidative coupling) antara katekin jenis katekol (epikatekin dan epikatekin galat) dan katekin jenis pyrogallol (epigalokatekin dan epigalokatekin galat) (Tanaka et al. 2009). Shahidi dan Naczk (2004) menyatakan bahwa fermentasi daun teh akan menyebabkan epimerisasi epikatekin dan epigalokatekin menjadi katekin dan galokatekin. Kedua hasil epimerasi tersebut akan mengalami oksidasi dengan bantuan katekol oksidase dan menghasilkan o-quinone yang kemudian akan membentuk kompleks yang disebut theaflavin. Theaflavin yang terdapat pada teh hitam ada empat jenis, yaitu theaflavin (TF), theaflavin 3 gallat (TF-3-G), theaflavin 3’ gallat (TF-3’-G), dan theaflavin 3,3’-digallat (TF-3,3’-DG). Prekursor dan kadar masing-masing jenis theaflavin tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 sedangkan struktur theaflavin dapat dilihat pada Gambar 3. Apabila reaksi oksidasi berlangsung terlalu lama, maka theaflavin akan mengalami degradasi oksidatif yang merupakan reaksi utama dalam pembentukan thearubigin. Sebagian theaflavin yang terbentuk akan bereaksi dengan katekin kuinon dan menjadi bagian dari kompleks thearubigin. Total theaflavin dan thearubigin pada teh masing-masing berkisar 3-6% dan 12-18% (Wong et al. 2009). Sedangkan adanya kondensasi berpasangan antara dua jenis galokatekin, yaitu epigalokatekin galat (EGCG) dan epigalokatekin (EGC), akan membentuk dimer kuinon lain, terutama dehidrotheasinensis yang akan dikonversi menjadi theasinensis apabila dipanaskan atau dikeringkan (Wan et al. 2009). Senyawa bioaktif diluar flavonoid adalah alkaloid, saponin (triterpenoid saponin), ligan, dan pigmen. Kafein, theobromin dan theofilin adalah golongan purine alkaloid yang paling banyak ada pada teh (Wong et al. 2009) yaitu berkisar 3-4% (Ullah 1991). Sejumlah ligan telah terdeteksi pada teh sebanyak 6%, serta asam amino non protein yang disebut L-theanin (γethylamino-L-glutamic acid) juga dilaporkan merupakan zat bioaktif pada daun teh dengan jumlah berkisar antara 1.5% - 3% berat kering dan merupakan komponen asam amino utama dalam teh dengan jumlah lebih dari 50% dari total asam amino bebas (Wan et al. 2009).
6
Tabel 3. Kadar flavonoid pada minuman teh hitam Komponen
Kadar (mg/100 g)
Quersetin
2.1
Kaemferol
1.5
Myricetin
0.3
Luteolin
-
Apigenin
-
β-prosianidin
5.4
Epigalokatekin galat
3.9
Katekin
0.8
Epikatekin
3.7
Epigalokatekin galat
6.0
Epikatekin galat
5.9
Galokatekin
1.9
Naringenin
-
Hesperitin
-
Sumber : Kyle dan Duthie diacu dalam Andersen dan Markham (2006)
Tabel 4. Prekursor dan kadar theaflavin pada teh hitam Prekursor
Jenis Theaflavin
Kadar (% bk)
EC + EGC
TF
0.2 – 0.3
EC + EGCG
TF-3-G
1.0 – 1.5
ECG + EGC
TF-3’-G
ECG + EGCG
TF-3,3’-G
0.6 – 1.2
Sumber : Wan et al. (2009) Keterangan: EC ECG` EGC EGCG
= Epikatekin = Epikatekin galat = Epigalokatekin = Epigalokatekin galat
7
Gambar 3. Struktur theaflavin (Whampler 2011)
B. Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase Enzim alfa amilase (α-1,4-D-glukan glukanohidrolase, EC 3.2.1.1, endoamilase) merupakan enzim ekstraseluler yang mampu mengkatalisis hidrolisis ikatan α-1,4 glukosidik pada pati dan glikogen secara acak dari tengah atau bagian dalam molekul, tetapi tidak dapat menghidrolisis ikatan glukosidik α-1,6 pada percabangan amilopektin (Qader et al. 2006). Produk akhir dari enzim ini adalah oligosakarida dengan konfigurasi alfa pada karbon pertama (Shetty 2006). Struktur enzim alfa amilase dapat dilihat pada Gambar 4. Sisi aktif terpenting dari enzim ini adalah Aspartat 197, Glutamat 233, dan Aspartat 300 (McCue et al. 2004). Cara kerja alfa amilase terjadi melalui dua tahap: pertama, degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi secara sangat cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat pula. Tahap kedua terjadi relatif sangat lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak. Kedua tahap tersebut merupakan kerja enzim alfa amilase pada molekul amilosa saja. Kerja alfa amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis αlimit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gula yang semuanya mengandung ikatan glikosidik α-1,6 (Winarno 1995).
8
Alfa amilase bekerja optimum pada pH 7 dan dapat diaktivasi dengan keberadaan ion Cl-, Br-, dan NO3-, akan tetapi dapat dihambat dengan pereaksi urea dan amida (Guilbauilt 1976). Penambahan ion kalsium juga dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas kerja dan menjaga kestabilan enzim ini. Enzim alfa amilase dapat ditemukan pada tanaman, jaringan mamalia, dan mikroba. Alfa amilase murni dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya dari malt (barley), ludah manusia, dan pankreas. Enzim ini juga dapat diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis.
Gambar 4. Struktur enzim alfa amilase (Bayer et al. 1995)
Enzim alfa glukosidase (α-D-glukosid. Glukohidrolase, EC 3.2.1.20) adalah enzim yang mengkatalisis pemecahan ikatan 1,4 α-glikosida pada ujung non pereduksi dari maltooligosakarida dengan melepas β-D-glukosa. Enzim ini juga dapat menghidrolisis secara lambat ikatan 1,6-α-D-glukosidik sehingga dapat melanjutkan kerja alfa amilase, yaitu menghidrolisis lanjut α-limit dekstrin menjadi glukosa (Berdanier et al. 2006). Struktur enzim ini dapat dilihat pada Gambar 5. Enzim alfa glukosidase pada pencernaan mamalia berada pada permukaan membran brush border sel usus halus dan merupakan enzim yang mengkatalisis proses akhir pencernaan karbohidrat pada proses pencernaan (Lebovitz 1997). Enzim ini memecah pati dari luar dengan mengeluarkan unit-unit glukosa dari ujung bukan pereduksi polimer pati sehingga hasil akhirnya hanya glukosa. Enzim ini merupakan enzim kunci dalam metabolisme pati dan glikogen.
Gambar 5. Stuktur enzim alfa glukosidase (Bayer et al. 1995)
9
C. Proses Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat Karbohidrat merupakan polihidroksi aldehida ataupun keton. Nama karbohidrat mempunyai rumus empiris yang menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah karbon ‘hidrat’ serta mempunyai nisbah perbandingan C terhadap H terhadap O sebanyak 1: 2: 1 (Muchtadi et al. 1993). Karbohidrat disintesis oleh tanaman dari air dan karbon dioksida dengan bantuan sinar matahari. Rumus umum dari karbohidrat adalah (CH2O)n. Glukosa merupakan contoh karbohidrat yang paling sederhana, dengan rumus molekul C6H12O6. Glukosa sangat mudah larut dan siap ditransportasikan ke seluruh jaringan tanaman atau hewan yang mana nantinya akan dioksidasi kembali menjadi air dan karbondioksida. Proses oksidasi tersebut akan menghasilkan energi bagi tanaman dan hewan melalui proses metabolik seluler (Mann dan Truswell 2009). Karbohidrat adalah sumber energi yang paling penting bagi hampir seluruh penduduk di dunia. Bahan pangan utama yang mengandung karbohidrat didapat dari jenis serealia, seperti nasi, gandum, jagung, barley, rye, oat, millet, dan sorgum. Pangan berbasis karbohidrat memberikan sekitar 40-80% dari total kalori yang dibutuhkan, tergantung dari budaya dan status ekonomi (Mann dan Truswell 2009). Pangan berbasis karbohidrat juga memberikan kontribusi bagi sejumlah protein, vitamin, mineral, komponen pangan lainnya seperti fitokimia dan antioksidan. Mann dan Truswell (2009) mengklasifikasikan karbohidrat menjadi tiga kelas berdasarkan derajat polimerisasinya, yaitu sugars atau gula-gula sederhana, oligosakarida, dan polisakarida. Klasifikasi karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 5. Senyawa karbohidrat kompleks (bukan monosakarida) harus dipecah terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih pendek dan sederhana agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Muchtadi et al. (1993) mengemukakan bahwa proses pemecahan karbohidrat ini dibantu oleh adanya peranan enzim, seperti enzim pemecah pati (amilase atau ptialin), enzim pemecah disakarida (disakaridase), enzim sukrase intestinal yang menguraikan sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa, enzim maltase intestinal yang menguraikan maltosa menjadi glukosa dan glukosa dan enzim laktase intestinal yang menguraikan laktosa menjadi galaktosa dan glukosa. Muchtadi et al. (1993) juga meringkas suatu proses pencernaan karbohidrat ke dalam bagan sederhana yang dapat dilihat pada Gambar 6. Karbohidrat mulai dicerna pada mulut secara mekanik dengan pengunyahan dan kimiawi oleh enzim amilase saliva yang disekresikan. Enzim amilase saliva hanya memecah pati sebagai karbohidrat kompleks bukan memecah gula-gula sederhana. Namun, aktivitas pencernaan oleh enzim tersebut akan terhenti apabila makanan sudah masuk ke lambung melalui kerongkongan karena adanya asam klorida pada lambung yang memiliki pH 2. Oleh karena itu, hasil pencernaan yang terjadi di mulut relatif tidak begitu signifikan apabila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh melalui proses pencernaan oleh enzim-enzim pankreas di usus halus. Pada lambung karbohidrat dihidrolisis lebih lanjut dengan hadirnya HCl dari mukosa (Astawan M 2009). Setelah itu, hasil hidrolisis dari lambung masuk mukosa usus halus, yaitu berupa campuran disakarida, α-limit dekstrin, dan sebagian kecil monosakarida. Permukaan usus halus diselimuti oleh mikrofili-mikrofili sehingga memperluas permukaan area penyerapan lebih dari 200 m2. Membran mikrofili biasa disebut dengan istilah brush border. Menurut Cummings dan Mann (2009), ada tiga enzim utama yang menyelesaikan proses pencernaan karbohidrat menjadi monosakarida, yaitu 1) glukoamilase (α-glukosidase), 2) sukrose isomaltase (mengurangi produk hasil pencernaan pati dengan mengubahnya menjadi monomer glukosa, serta memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa), dan 3) laktase atau β-galaktosidase (menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa).
10
Kelas (Derajat Polimerisasi)
Tabel 5. Klasifikasi karbohidrat Sub-Kelas
Sugars (1-2)
1. Monosakarida
Komponen Utama Glukosa, Fruktosa, Galaktosa
2. Disakarida
Sukrosa, Laktosa, Maltosa, Trehalosa
3. Polyols (gula alkohol)
Sorbitol, Mannitol, Laktitol, Xylitol, Eritritol
Oligosakarida (3-9) (Karbohidrat rantai pendek)
1. Malto-oligosakarida
Maltodekstrin
(α-glucans) 2. Oligosakarida bukan α-glucan
Rafinosa, Stakiosa, Fruktooligosakarida, Galaktooligosakarida, polidektrosa, inulin
Polisakarida (≥ 10)
1. Pati (α-glucans)
Amilosa, Amilopektin, Pati termodifikasi
2. Polisakarida bukan pati
Selulosa, Hemiselulosa, Pektin, Arabinoxylans, Glucomannans, Plant gums dan getah (mucilages), Hidrokoloid.
Sumber : Mann dan Truswell (2009)
Glukosa, galaktosa, dan fruktosa dibawa dari usus halus ke liver melalui darah. Liver mengonversi seluruh fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa. Glukosa digunakan sebagai sumber energi dan disimpan sebagai glikogen apabila jumlahnya sudah berlebih. Gula alkohol seperti sorbitol dan manitol tidak mempunyai mekanisme yang spesifik sehingga diserap melalui difusi sederhana. Apabila jumlah gula alkohol yang dikonsumsi berlebihan, melebihi kapasitas usus halus, maka sebagian tidak diserap di usus halus dan dibiarkan melewati usus besar. Gula alkohol memiliki bobot molekul yang relatif kecil sehingga dapat menahan sejumlah air pada usus besar yang dapat mengakibatkan diare.
11
Karbohidrat
Gula
Pati Amilase/ Ptialin
Dekstrin
Maltosa Pancreatic amylase
Intestinal maltase
Sukrosa
Intestinal sukrase
Laktosa
Intestinal laktase
Glukosa
Glukosa dan Glukosa
Glukosa dan Fruktosa
Galaktosa dan Glukosa
Gambar 6. Bagan proses pencernaan karbohidrat (Muchtadi et al. 1993)
Pati resisten, oligosakarida bukan α glukan (fruktooligosakarida dsb.), dan polisakarida bukan pati (selulosa dsb.) tidak dapat dicerna oleh tubuh dan akan dilewati di usus halus dan memasuki usus besar atau kolon untuk difermentasi. Hal ini diperkirakan karena ikatan kimia dan bentuk fisik jenis karbohidrat tersebut yang tidak mudah diserap baik oleh brush border maupun enzim-enzim pankreas, contohnya selulosa memiliki ikatan β-1,4 (berkebalikan dengan pati yang memiliki ikatan α-1,4). Perbedaan stereokimia tersebut dapat mencegah proses hidrolisis selulosa oleh enzim amilase di pankreas. Semua karbohidrat yang memasuki kolon akan difermentasi dengan bakteri yang hidup di kolon. Bakteri di kolon jumlahnya sekitar 1012 sel/gram. Proses fermentasi oleh mikroba pada tubuh merupakan proses anaerobik yang unik. Selain menghasilkan zat sisa seperti hidrogen, karbon dioksida, metana, dan biomassa mikroba, proses ini juga menghasilkan produk berupa asam lemak rantai pendek seperti asetat, propionat, dan butirat. Asam lemak rantai pendek lebih mudah larut air sehingga lebih cepat diserap (Cummings dan Mann 2009). Proses fermentasi karbohidrat di kolon dapat dilihat pada Gambar 7.
12
Laktosa/Gula alkohol Non-digestable oligosakarida Pati resisten Polisakarida bukan pati
Metabolisme Mikroba Anaerobik
Hidrogen Karbon dioksida Metana
Uap air dari pernapasan dan buang angin (flatus)
Asam amino Urea
Asetat Propionat Butirat
Biomassa mikroba
Darah (Feses)
Feses
Gambar 7. Bagan proses fermentasi karbohidrat di kolon (Cummings dan Mann 2009)
D. Inhibitor Enzim Zat yang dapat menghambat kerja enzim disebut zat penghambat atau inhibitor enzim. Sebagian besar enzim dapat diracuni atau dihambat oleh senyawa kimiawi tertentu. Penghambat enzim dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu penghambat yang bekerja secara tidak balik (irreversible) dan dapat balik (reversible). Penghambat tidak dapat balik adalah penghambat yang bereaksi dengan atau merusak suatu gugus fungsional pada molekul enzim yang penting bagi aktivitas katalitiknya, contohnya adalah senyawa diisoprofilfluorofosfat (DFP) yang menghambat enzim asetilkolinesterase (enzim yang penting di dalam transmisi impuls syaraf) (Lehninger 1982). Penghambat dapat balik dibagi menjadi dua golongan, yaitu kompetitif dan non kompetitif. Penghambat kompetitif berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, tetapi apabila sekali terikat maka tidak dapat diubah oleh enzim tersebut. Penghambat kompetitif ini dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal pada struktur dimensinya. Penghambat non kompetitif terjadi bila penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah konformasi molekul enzim sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat balik sisi katalitik. Menurut Lehninger (1982) penghambat nonkompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks enzim-substrat (ES), membentuk kompleks enzim-inhibitor (EI) dan kompleks enzim-subtrat-inhibitor (ESI) yang tidak aktif. Pada penderita DM, penghambatan terhadap enzim yang berperan dalam hidrolisis karbohidrat menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Obat yang biasa diberikan pada penderita DM adalah Acarbose. Acarbose merupakan suatu oligosakarida yang diperoleh dari fermentasi mikroorganisme Actiniplanes utahensis, memiliki berat molekul 645.6, larut air, dan mempunyai nilai pKa 5.1
13
(Info Obat Indonesia 2009). Calder dan Geddes (1989) meneliti bahwa Acarbose menghambat enzim alfa glukosidase secara kompetitif. Belakangan ini, berbagai jenis fitokimia telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap enzim. Banyak peneliti yang tertarik menguji berbagai jenis tanaman dan fitokimia yang dikandungnya dan diduga dapat menghambat kerja enzim. Senyawa fitokimia tersebut antara lain dieckol (sejenis florotanin) dari alga coklat Ecklonia cava yang dapat menghambat enzim alfa amilase dan alfa glukosidase (Lee et al 2010), vasicine dan vasicinol pada daun Adhatoda vasica Nees sebagai inhibitor enzim alfa amilase, alfa glukosidase, dan sukrase (Gao et al. 2008). Senyawa rosmarinic acid, quersetin, protocatechuic acid, dan para-Coumaric acid pada tanaman herbal oregano dilaporkan dapat menghambat porcine pankreas amilase in vitro (McCue et al. 2004). Ono et al. (2005) meneliti bahwa ekstrak daun Nelumbo nucifera mampu menghambat enzim pankreas amilase dan lipase, namun setelah komponen fenolik pada ekstrak tersebut dihilangkan, daya hambatnya menghilang. Kayu secang mengandung komponen kuersetin yang dapat berperan dalam inhibisi enzim α-amilase dan α-glukosidase (Cai et al. 2007). Enzim alfa glukosidase dapat dihambat secara efektif oleh naringenin, kaemferol, luteolin, apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan epigalokatekin galat (Tadera et al. 2006). Berbagai kelas senyawa fenolik memang telah banyak diberitahukan sebagai inhibitor enzim alfa glukosidase. McDougall et al. (2009) mengutarakan bahwa elagitanin, proantosianidin, dan polifenol pada buah berry (strawberry, claudberry, dsb) dapat menghambat enzim lipase. Shai et al. (2010) juga meneliti enam jenis tanaman obat yang tumbuh di Phalaborwa-Afrika Selatan, memiliki kemampuan menghambat yeast alpha glucosidase walaupun belum diteliti lebih lanjut senyawa bioaktif apa saja yang berperan dalam penghambatan tersebut. Teh hitam yang memiliki pigmen khas yaitu theaflavin telah banyak diteliti memiliki kemampuan inhibisi pada beberapa enzim. TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat) dan EGCG (epigalokatekin gallat) memiliki aktivitas inhibisi terhadap UVB-induced phophatidylinositol-3kinase (PI3K). Produksi nitrit dan protein inducible nitric oxide synthase (Inos) dapat dihambat oleh asam galat, EGC (epigalokatekin), EGCG (epigalokatekin gallat), TF-1 (theaflavin), TF-2 (theaflavin-3-gallat), dan TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat). Zega (2010) mengatakan bahwa theaflavin dan theaflavin-3-gallat memiliki aktivitas inhibisi yang tinggi dalam melawan human hystolytic lymphoma, tetapi kurang efektif dalam melawan acute T-cell leukimia Jurkat, sedangkan TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat) dan EGCG (epigalokatekin gallat) memiliki aktivitas yang lebih rendah. Lin et al. (2009c) melaporkan bahwa ekstrak teh dan polifenol teh, seperti TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat) dan EGCG (epigalokatekin gallat) menghambat enzim yang berperan dalam lipogenesis fatty acid synthase (FAS).
14
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1). Bahan-bahan yang digunakan untuk menganalisis daya inhibisi enzim alfa amilase antara lain: enzim alfa amilase porcine pancreas (Sigma A3176), pati murni (Merck), pereaksi asam 3,5-dinitrosalisilat (DNS), buffer natrium fosfat pH 6.9. Bahan-bahan yang digunakan untuk menganalisis daya inhibisi enzim alfa glukosidase antara lain: enzim alfa glukosidase dari Saccharomyces cerevisiae tipe I (Sigma G5003), buffer kalium fosfat pH 6.8, larutan p-nitrofenil-α-Dglukofiranosida (Sigma N1377), dan Na2CO3. Bahan-bahan yang digunakan untuk mengukur total fenol antara lain: etanol 95%, folin ciocalteau 50%, Na2CO3 5%, asam galat 250 mg/L, dan akuades. Kadar tanin diuji dengan menggunakan bahan-bahan seperti HCl 32%, formalin (HCHO 37%), dan akuades. HCl 11.96 N dan NaOH 10 N digunakan untuk menetapkan pH proses pencernaan in vitro. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: spektrofotometer, pH meter, sentrifugasi, gelas piala, tabung reaksi, tabung sentrifugasi, kuvet, alat vortex, pipet dan mikropipet, penangas air, gelas ukur, neraca analitik, alumunium foil, penyaring vakum, termometer, waterbath, sudip, gelas pengaduk, gelas arloji, corong dan saringan.
B. Metode Penelitian Penelitian pertama-tama dilakukan dengan menyeduh bubuk teh hitam dengan menggunakan suhu air dan lama penyeduhan yang berbeda. Ekstrak teh hitam yang didapat dari penyeduhan kemudian diberi dua perlakuan yang berbeda, yaitu ada yang diberi perlakuan pengaturan simulasi pH pencernaan dan ada yang tanpa diberi perlakuan (disebut ekstrak awal). Ekstrak yang dibiarkan seperti ekstrak awal langsung dilakukan beberapa uji, yaitu pengukuran pH, inhibisi enzim alfa amilase, inhibisi enzim alfa glukosidase, total fenol, dan kadar tanin. Ekstrak awal yang diberi pengaturan simulasi pH pencernaan pertama-tama diubah pH nya seperti pH lambung (pH 2) dan didiamkan selama 30 menit kemudian dinaikkan menjadi pH 6.8 seperti pH pada usus halus. Ekstrak tersebut diuji daya inhibisinya terhadap enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.
15
Teh Hitam
Ekstraksi (penyeduhan 4 gram teh hitam dalam 100 ml air pada suhu awal 70oC dan 100oC selama 5, 15, dan 30 menit)
Ekstrak Teh Hitam
Pengaturan simulasi pH pencernaan (pH 2 selama 30 menit kemudian pH 6.8)
Pengukuran pH Pengukuran inhibisi alfa amilase Pengukuran inhibisi alfa glukosidase Pengukuran total fenol Pengukuran kadar tanin
Pengukuran inhibisi alfa amilase Pengukuran inhibisi alfa glukosidase Gambar 8. Diagram alir penelitian
1. Ekstraksi Teh hitam diblender kering sampai menghasilkan partikel halus (bubuk) yang homogen. Konsentrasi teh hitam dibuat yang sama, yaitu 0.04 g/ml (4 gram teh ditambah dengan 100 ml air). Teh diseduh dengan perlakuan dua suhu dan tiga waktu penyeduhan yang berbeda. Suhu air yang digunakan untuk menyeduh yaitu suhu 70°C dan suhu 100°C atau mendidih. Sedangkan waktu penyeduhan yaitu 5, 15, dan 30 menit. Larutan teh tersebut disaring dengan kain saring, disentrifuse pada 3500 rpm selama 10 menit, dan disaring kembali dengan penyaring vakum menggunakan kertas saring Whatman No. 41. Volume ekstrak kemudian ditepatkan ke volume awal dengan penambahan akuades. Diagram alir proses ekstraksi teh hitam dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Perlakuan pH Simulasi Sistem Pencernaan In vitro Pada percobaan ini, ekstrak teh akan melalui proses pencernaan secara in vitro dengan mengubah nilai pH sesuai pH saluran pencernaan, yaitu lambung dan usus halus. Ekstrak teh yang didapat pertama-tama diukur pH nya sehingga didapat pH ekstrak awal. Kemudian ekstrak diubah pH nya sesuai pH lambung yaitu pH 2 dengan menggunakan
16
kurang lebih tiga sampai empat tetes HCl 11.96 N dan didiamkan selama 30 menit. Kemudian ekstrak yang pH nya sama dengan pH lambung tersebut diubah kembali mengikuti pH usus halus, yaitu pH 6.8 dengan penambahan NaOH 10 N sebanyak lima sampai tujuh tetes.
3. Pengujian Pengujian daya inhibisi enzim alfa amilase dan alfa glukosidase hanya dilakukan baik pada ekstrak dengan pH awal maupun pada pH pada usus halus (6.8) setelah melalui pH lambung (pH 2) selama 30 menit. Pengukuran pH dengan pH meter, total fenol, dan kadar tanin juga diukur pada ekstrak awal.
a)
Pengujian inhibisi enzim alfa amilase Pada percobaan ini ingin diketahui pengaruh penambahan teh hitam pada masing-masing suhu dan waktu penyeduhan serta proses pencernaan secara in vitro terhadap penurunan aktivitas enzim alfa amilase dalam memecah pati sehingga hasilnya adalah penurunan daya cerna pati. Pati dihidrolisis oleh enzim alfa amilase menjadi gula-gula sederhana. Semakin tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Glukosa dan maltosa dapat bereaksi dengan DNS (asam dinitrosalisilat) sehingga kadar keduanya dapat diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 540 nm.
b)
Pengujian inhibisi enzim alfa glukosidase Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas penghambatan enzim alfa glukosidase yang berasal dari Saccharomyces cerevisiae tipe I secara in vitro. Pemecahan substrat p-nitrofenil-α-D-glukofiranosida menjadi p-nitrofenil berwarna kuning dan glukosa oleh enzim alfa glukosidase. Aktivitas penghambatan enzim diukur berdasarkan jumlah p-nitrofenil yang dihasilkan dengan mengukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm.
c)
Pengujian total fenol Analisis total polifenol menggunakan folin-ciocalteau yaitu dengan melihat kemampuan mereduksi dari komponen fenol. Standar yang digunakan adalah asam galat. Asam galat merupakan salah satu senyawa asam fenolat terbanyak dalam teh. Prinsip dari metode ini adalah reduksi dari reagen fosfomolibdat (MoO42-) dan fosfotungstat (WO42-) sehingga terbentuk kompleks warna biru yang dapat terukur secara spektrofotometri sinar tampak pada panjang gelombang 725 nm.
d)
Pengujian kadar tanin Pengukuran kadar tanin secara kuantitatif dilakukan dengan metode gravimetri. Reaksi yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin terkondensasi terhadap formaldehida. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Ummah 2010). Formaldehida akan menyerang cincin benzena pada katekin (termasuk golongan
17
flavonoid) atau tanin terkondensasi untuk membentuk kompleks pada struktur flavonoid yang dapat diendapkan oleh formaldehida (Garro Galvez et al. 1996 diacu dalam Kassim et al. 2011).
4. Prosedur a)
Inhibisi enzim alfa amilase (Thalapaneni et al. 2008) Larutan enzim alfa amilase yang digunakan adalah enzim porcine pancreatic amylase 1 unit/ml. Campuran reaksi terdiri dari blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Kemudian campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37°C selama 10 menit, larutan pati 1% (b/v) ditambahkan sebanyak 125 µl dan diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 10 menit. Setelah inkubasi kedua, pereaksi DNS 0.096 M ditambahkan sebanyak 500 µl dan diinkubasi kembali selama 5 menit pada air mendidih. Setelah itu, 5 ml air suling ditambahkan dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm. Kontrol positif yang digunakan adalah acarbose 0.5 mg/ml yang diperoleh dari pelarutan 1 tablet Glucobay (50 mg acarbose) dalam 100 ml HCl 2 N. Buffer natrium fosfat dibuat dari larutan natrium fosfat monobasik 0.02 M ditambah dengan larutan natrium klorida 0.0067 M dengan perbandingan 1:1, kemudian campuran larutan tersebut dinaikkan pH nya menjadi pH 6.9 dengan penambahan NaOH 1 M. Pati 1% (b/v) dibuat dari 1 gram pati kentang soluble dilarutkan dengan 100 ml buffer natrium fosfat, kemudian dididihkan selama 15 menit dan setelah dingin ditepatkan ke volume awal dengan penambahan akuades. Pereaksi DNS 0.096 M dibuat dengan melarutkan 1 gram asam 3,5-dinitrosalisilat ke dalam 50 ml akuades yang dididihkan. Larutan DNS tersebut kemudian dicampurkan dengan larutan natrium kalium fosfat, yang dibuat dari 30 gram natrium kalium tartrate dipanaskan bersamasama dengan 20 ml NaOH 2 M. Volume campuran larutan tersebut kemudian ditepatkan sampai 100 ml dengan penambahan akuades. Tabel 6 menunjukkan kombinasi jumlah sampel, buffer natrium fosfat, dan enzim yang diberikan pada blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Acarbose diberi perlakuan yang sama seperti sampel. Blanko digunakan untuk menghitung gula-gula sederhana awal pada pati yang bukan hasil hidrolisis enzim. Kontrol A digunakan untuk menghitung seluruh gula baik gula awal maupun gula sederhana hasil hidrolisis enzim. Kontrol B bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada pati dan teh hitam sedangkan sampel bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada pati dan teh hitam serta gula hasil hidrolisis enzim dengan dengan adanya inhibitor yaitu teh.
18
Tabel 6. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa amilase Larutan
Blanko
Kontrol A
Kontrol B
Sampel (µl)
(µl)
(µl)
(µl)
Sampel
-
-
125
125
Buffer natrium fosfat
250
125
125
-
Enzim
-
125
-
125
Pati
125
125
125
125
Pereaksi DNS
500
500
500
500
Air suling
5000
5000
5000
5000
Aktivitas inhibisi ekstrak dihitung menggunakan rumus (1) sebagai berikut: %
=
100%
(1)
Keterangan : A1 = Absorbansi kontrol A – Absorbansi blanko A2 = Absorbansi sampel – Absorbansi kontrol B
b)
Inhibisi enzim alfa glukosidase (Mayur et al. 2010) Enzim alfa glukosidase yang digunakan berasal dari Saccharomyces cerevisiae tipe I dengan aktivitas 0.2 unit/ml. Campuran reaksi terdiri dari blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Kemudian campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37°C selama 10 menit, larutan p-nitrofenil-α-D-glukofiranosida 0.0005 M ditambahkan sebanyak 350 µl dan diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 30 menit. Setelah inkubasi kedua, tambahkan 1400 µl larutan natrium karbonat 0.2 M dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 410 nm. Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini adalah acarbose 0.5 mg/ml yang diperoleh dari pelarutan 1 tablet Glucobay (50 mg acarbose) dalam 100 ml HCl 2 N. Buffer kalium fosfat dibuat dari larutan kalium fosfat monobasik 0.1 M (13.609 gram dilarutkan dalam 1 liter akuades) dan dinaikkan pH nya menjadi 6.8 dengan penambahan NaOH 1 M. Substrat p-nitrofenil-α-D-glukofiranosida 0.0005 M dibuat dengan menimbang 1.505 mg dan dilarutkan dalam 10 ml akuades dingin. Larutan natrium karbonat 0.2 M dibuat dengan melarutkan 21.198 gram dalam 1 liter akuades. Tabel 7 menunjukkan kombinasi jumlah sampel, buffer kalium fosfat, dan enzim yang diberikan pada blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Acarbose diberi perlakuan yang sama seperti sampel. Blanko digunakan untuk menghitung gula-gula sederhana awal pada substrat yang bukan hasil hidrolisis enzim. Kontrol A digunakan untuk menghitung seluruh gula baik gula awal maupun gula sederhana hasil hidrolisis enzim. Kontrol B bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada substrat dan teh hitam sedangkan sampel bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada substrat dan teh hitam serta gula hasil hidrolisis enzim dengan dengan adanya inhibitor yaitu teh.
19
Tabel 7. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa glukosidase Larutan
Blanko
Kontrol A
Kontrol B
Sampel (µl)
(µl)
(µl)
(µl)
Sampel
-
-
140
140
Buffer kalium fosfat
1190
840
1050
700
Enzim
-
350
-
350
Substrat
350
350
350
350
Na2CO3
1400
1400
1400
1400
Aktivitas inhibisi ekstrak dihitung menggunakan rumus (2) sebagai berikut: %
=
100%
(2)
Keterangan : A1 = Absorbansi kontrol A – Absorbansi blanko A2 = Absorbansi sampel – Absorbansi kontrol B
c)
Uji total fenol (Strycharz dan Shetty 2002 dengan modifikasi diacu dalam Zega 2010) Larutan standar asam galat dibuat pada berbagai konsentrasi, yaitu 50, 100, 150, 200, dan 250 ppm. Pengujian ini menggunakan reagen folin ciocalteau 50% dan pereaksi Na2CO3 5%. Pertama-tama, larutan standar atau ekstrak sebanyak 0.5 ml dilarutkan dalam 0.5 ml etanol 95%, 2.5 ml akuades dan 2.5 ml larutan reagen folin ciocalteau. Setelah itu larutan didiamkan selama 5 menit dalam ruang gelap dan kemudian ditambahkan 0.5 ml larutan Na2CO3 dan diinkubasi kembali dalam ruang gelap selama 1 jam. Setelah inkubasi, larutan divorteks dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm.
d)
Uji kadar tanin (Nugraha 1999) Ekstrak teh sebanyak 25 ml atau disetarakan 1 gram sampel teh ditambahkan HCl 32% sebanyak 5 ml. Kemudian tambahkan 10 ml formalin (HCHO) 37% dan panaskan selama 30 menit. Larutan kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui beratnya dan dicuci dengan akuades sampai bebas asam. Endapan yang terbentuk dikeringkan pada suhu 100°C selama 24 jam kemudian ditimbang. Kandungan tanin dari ekstrak dihitung dengan rumus (3) berikut ini: =
( )
( )
100
(3)
20
5. Analisis Statistik Data-data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan Dua Faktor. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata, maka pengujian dilanjutkan dengan analisis beda Duncan pada taraf 5% untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan. Uji t-test dua berpasangan digunakan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH terhadap nilai inhibisi enzim amilase.
21
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ekstraksi Teh Hitam Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif pada tanaman. Ekstraksi bertujuan untuk menarik komponen kimia yang ada pada suatu tanaman. Proses ektraksi teh dilakukan dengan cara penyeduhan. Isi sel teh hitam akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Pada penelitian ini, sebanyak 4 gram teh hitam diseduh dalam 100 ml air. Konsentrasi ekstrak teh hitam dibuat sama sedangkan suhu air dan waktu penyeduhan bervariasi, yaitu pada suhu 70°C dan 100°C selama 5, 15, dan 30 menit. Menurut Laresolo (2008), komposisi yang benar untuk menghasilkan minuman teh dengan cita rasa yang pas yaitu sebanyak 2 gram bubuk teh diseduh dalam 100 ml air. Walaupun komposisi tersebut tidak bersifat mutlak karena tiap orang memiliki cita rasa yang berbeda. Sebagian orang menyukai teh yang kental dan sebagian lagi lebih menyukai teh yang tidak terlalu kental. Konsentrasi teh hitam yang digunakan pada penelitian ini lebih pekat, yaitu dua kali lipat dari saran penyajian. Hal ini dikarenakan untuk mengantisipasi apabila komposisi yang disarankan tersebut terlalu encer sehingga kemampuan inhibisi terhadap enzim belum bisa dilihat atau dihitung. Perbedaan suhu penyeduhan didasarkan atas kebiasaan masyarakat dalam menyeduh teh. Pada umumnya, masyarakat memasak air sampai mendidih untuk menyeduh teh, suhu air mendidih adalah sekitar 100°C. Suhu penyeduhan 70°C diperoleh dari kebiasaan masyarakat kota yang sering memakai air panas yang berasal dari dispenser untuk menyeduh teh. Oleh karena itu, setelah dilakukan pengecekan dengan termometer, suhu air panas yang dihasilkan mesin dispenser menunjukkan suhu 70°C. Tidak ada ketentuan khusus seberapa lama teh harus diseduh. Namun, apabila teh hitam diseduh terlalu sebentar maka rasa dan flavor teh kurang muncul sedangkan jika sebaliknya maka minuman teh akan terasa lebih pahit. Menurut Laresolo (2008) waktu yang sesuai untuk menyeduh teh adalah 5 menit. Perlakuan penyeduhan teh dibuat selama 5, 15, dan 30 menit untuk mengetahui perbedaan inhibisi yang dihasilkan oleh komponen bioaktif yang ada dalam teh jika diseduh dengan waktu yang bervariasi. Ekstrak teh hitam diberi perlakuan atas perbedaan suhu awal air seduh dan waktu penyeduhannya. Berdasarkan perbedaan tersebut, terdapat enam ekstrak yang berbeda : 1) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 70°C selama 5 menit, 2) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 70°C selama 15 menit, 3) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 70°C selama 30 menit, 4) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 100°C selama 5 menit, 5) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 100°C selama 15 menit, dan 6) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 100°C selama 30 menit. Dikarenakan suhu penyeduhan akan menurun seiring lamanya waktu penyeduhan, maka dilakukan pengecekan suhu akhir. Pada suhu air awal 70°C setelah diseduh selama 5, 15, dan 30 menit, suhu ekstrak teh hitam menurun menjadi masing-masing 55, 45, dan 39°C. Sedangkan suhu air awal 100°C setelah diseduh selama 5, 15, dan 30 menit, suhu akhir ekstrak teh hitam menurun menjadi masing-masing 81, 61, dan 50°C. Selain ingin mengetahui nilai inhibisi pada ekstrak awal, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui apakah ekstrak teh tersebut masih memiliki kemampuan menghambat enzim alfa amilase dan alfa glukosidase setelah melewati saluran pencernaan. Oleh karena itu, proses
22
pencernaan secara in vitro dikenakan pada ekstrak teh hitam dengan cara mengubah nilai pH sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa makanan pertamatama dicerna di mulut kemudian masuk ke lambung melalui kerongkongan. Kondisi di dalam lambung sangat asam, yaitu sekitar pH 1-2. Seberapa lama makanan berada di lambung itu tergantung dari jenis makanan dan berapa banyak jumlah yang dimakan. Rata-rata diperlukan waktu empat sampai lima jam untuk makanan padat keluar dari lambung sedangkan diperlukan waktu sekitar 30 menit untuk makanan cair atau minuman mengalir dari lambung ke usus kecil (Aryani 2011). Miller (1998) juga menambahkan bahwa waktu yang diperlukan lambung untuk mencerna minuman sekitar 30 menit. Makanan semifluid keluar dari lambung menuju usus halus yang memiliki pH sekitar netral dan bercampur dengan enzim pencernaan yang diproduksi oleh pankreas (Siregar 2004), seperti alfa amilase dan alfa glukosidase yang merupakan enzim pencernaan karbohidrat. Berdasarkan hal tersebut, maka ekstrak teh hitam yang merupakan cairan atau minuman tersebut diubah pH nya sesuai dengan pH lambung dan didiamkan 30 menit, setelah itu diubah lagi pH larutannya menjadi sekitar pH 6.8 sesuai dengan kondisi usus halus.
B. Nilai pH Ekstrak Teh Hitam Teh hitam yang diekstrak dengan suhu dan waktu yang berbeda kemudian diukur derajat keasamannya dengan menggunakan pH meter. Hasil pengukuran tersebut dinamakan nilai pH pada ekstrak awal. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa teh hitam yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit masing-masing memiliki nilai pH sebesar 5.00, 5.00, 5.06, 5.02, 5.04, dan 4.93. Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor suhu, faktor waktu penyeduhan, dan kombinasi keduanya tidak memengaruhi nilai pH pada larutan ekstrak teh tersebut (p 0.05). Oleh karena itu dapat diperkirakan bahwa nilai suatu pH larutan tidak dipengaruhi oleh besarnya suhu dan waktu serta interaksi keduanya pada penelitian ini. Data lengkap dan hasil analisis statistik dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
C. Inhibisi Enzim Alfa Amilase a. Inhibisi Enzim Alfa Amilase pada Ekstrak Awal Inhibisi enzim alfa amilase pada ekstrak awal dilakukan untuk melihat kemampuan ekstrak teh hitam pada kondisi awal dalam menghambat aktivitas enzim alfa amilase. Alfa amilase terdapat pada saliva dan cairan pankreas. Ekstrak teh awal belum melalui proses pencernaan in vitro sehingga nilai inhibisi yang dihasilkan dapat menggambarkan dugaan kemampuan ekstrak teh dalam menghambat enzim amilase saliva. Telah diketahui bahwa karbohidrat pertama-tama dicerna oleh enzim amilase saliva yang ada di mulut. Bayer et al. (1995) menambahkan bahwa struktur dan fungsi amilase saliva dan amilase pankreas tidak jauh berbeda. Hasil penelitian pada ekstrak teh hitam yang diberi berbagai perlakuan suhu dan waktu menunjukkan adanya daya hambat terhadap enzim alfa amilase (Gambar 9). Teh hitam yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar 94.60%, 95.13%, 97.92%, 97.54%, 96.04%, dan 89.14% (Lampiran 4). Kontrol positif yang digunakan adalah Acarbose yang memiliki daya hambat sebesar 99.12% (Lampiran 4). Widowati (2007)
23
menerangkan bahwa penghambatan enzim alfa amilase berdampak pada penurunan daya cerna pati yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas hipoglikemik yang berperan positif untuk penderita diabetes. Ankolekar et al.(2011) meneliti bahwa teh yang telah difermentasi menunjukkan daya inhibisi enzim alfa amilase yang lebih tinggi dari teh yang tidak mengalami proses fermentasi, yaitu sekitar 71.60-84.10% dengan waktu ekstraksi teh hitam selama lima menit. Analisis statistik ekstrak teh pada pH awal menunjukkan bahwa faktor suhu dan faktor waktu tidak berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa amilase (p 0.05), sedangkan interaksi suhu dan waktu penyeduhan memiliki pengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa amilase (p 0.05) (Lampiran 5). Interaksi suhu dan waktu diuji kembali dengan melibatkan Acarbose. Hasilnya adalah interaksi tersebut berpengaruh terhadap nilai inhibisi (p 0.05) (Lampiran 6). Oleh karena interaksi suhu dan waktu penyeduhan memengaruhi nilai inhibisi maka data diolah lebih lanjut dengan uji Duncan (Lampiran 7). Uji lanjut Duncan menjelaskan empat ekstrak hasil penyeduhan 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, dan 100°C 15 menit tidak berbeda nyata dengan Acarbose. Keempat ekstrak tersebut diduga memiliki senyawa bioaktif yang dapat menghambat enzim alfa amilase dengan sangat baik. Dengan demikian diperkirakan alfa amilase yang ada pada saliva juga mengalami penghambatan oleh keempat ekstrak tersebut. Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditunjukkan pula bahwa ekstrak hasil penyeduhan 70°C 5 menit dan 100°C 30 menghasilkan nilai inhibisi yang berbeda nyata dengan Acarbose, yang mana lebih rendah dibandingkan dengan nilai inhibisi oleh Acarbose. Hal tersebut diduga dikarenakan pada kondisi penyeduhan 70°C 5 menit diduga senyawa bioaktif yang mampu menghambat enzim amilase belum banyak terekstrak, sedangkan ekstraksi 100°C 30 menit diduga merupakan kondisi penyeduhan yang terlalu lama sehingga diperkirakan komponen bioaktif yang memiliki kemampuan menginhibisi enzim alfa amilase mengalami perubahan struktur yang dapat menurunkan daya inhibisinya. Selain itu, mungkin saja pada kombinasi suhu dan waktu tersebut ada senyawa bioaktif jenis lain yang terekstrak yang memiliki kemampuan inhibisi enzim alfa amilase yang rendah yang memengaruhi nilai inhibisi secara keseluruhan karena senyawa bioaktif terekstrak pada waktu dan kondisi yang berbeda-beda. Tadera et al. (2006) menemukan bahwa senyawa flavonoid yang memiliki potensi dalam menghambat enzim porcine pancreatic amylase adalah senyawa luteolin, myricetin dan quersetin. Minuman teh hitam mengandung myricetin dan quersetin masing-masing sebesar 0.3 dan 2.1 mg/100 g namun belum diketahui mengandung luteolin (Kyle dan Duthie diacu dalam Andersen dan Markham 2006). Tadera et al. (2006) juga mengemukakan bahwa struktur flavonoid yang bertanggung jawab dalam penghambatan enzim alfa amilase adalah ikatan ganda pada cincin B posisi 2’ dan 3’, 5-OH, ikatan pada cincin B di posisi 3’, dan gugus OH pada cincin B. Perubahan pada struktur tersebut diduga dapat menurunkan kemampuan inhibisinya.
24
b. Inhibisi Enzim Alfa Amilase setelah Melewati Pencernaan Keenam ekstrak teh setelah melalui simulasi pH sistem pencernaan mengalami penurunan kemampuan inhibisi enzim alfa amilase. Teh hitam yang diseduh pada kondisi penyeduhan 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar masing-masing sebesar 72.66%, 87.14%, 10.40%, 85.40%, 23.04%, 23.62%, sedangkan Acarbose sebagai kontrol positif juga mengalami penurunan daya inhibisi enzim alfa amilase menjadi sebesar 85.18% (Gambar 9). Data lengkap ekstrak dan Acarbose setelah melalui proses pencernaan in vitro dapat dilihat pada Lampiran 4. Kondisi ini dapat menggambarkan daya inhibisi teh hitam terhadap enzim alfa amilase yang bekerja pada usus halus, yaitu enzim amilase pankreas. Hasil statistik menunjukkan bahwa proses pencernaan in vitro berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa amilase (p 0.05) (Lampiran 8). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teh yang diseduh pada 70°C 15 menit dan 100°C 5 menit memiliki nilai hambat terhadap enzim alfa amilase yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose, yang mana memiliki nilai inhibisi yang relatif masih tinggi pada kondisi pH usus halus. Hal ini diperkirakan kombinasi penyeduhan pada 70°C selama 15 menit dan suhu 100°C selama 5 menit merupakan kombinasi yang dapat mengekstrak senyawa bioaktif yang mampu menghambat aktivitas enzim alfa amilase secara optimal walaupun sudah melewati proses pencernaan secara in vitro (Lampiran 9). Uji t test dua berpasangan dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara nilai inhibisi oleh ekstrak pH awal dan oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro. Hasil analisis menunjukkan bahwa besar inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak awal berbeda nyata dengan besar inhibisinya setelah melalui proses pencernaan in vitro (p 0.05) (Lampiran 10). Dapat dilihat pula pada Gambar 9 bahwa nilai inhibisi enzim alfa amilase mengalami penurunan setelah melewati proses pencernaan in vitro. Hal ini diperkirakan bahwa senyawa bioaktif pada teh hitam yang bertanggung jawab dalam menghambat aktivitas enzim alfa amilase cenderung mengalami perubahan struktur atau tidak stabil setelah melewati pH lambung in vitro (pH 2) selama 30 menit kemudian dikondisikan berada pada pH usus halus in vitro (pH 6.8). Peleq et al. (1998) menyatakan bahwa penambahan asam pada kelompok polifenol seperti katekin, asam galat, dan tanin akan meningkatkan rasa sepat atau astringency yang disebabkan oleh pengikatan senyawa fenolik dengan enzim saliva amilase. Bayer et al. (1995) menambahkan bahwa struktur dan fungsi amilase saliva dan amilase pankreas tidak jauh berbeda. Penelitian yang lain, yaitu Lee et al. (2005) menyatakan bahwa pada kondisi pH asam theaflavin stabil, tetapi akan terdegradasi dengan lambat pada pH sekitar netral (pH 7-7.5) sedangkan pada pH 9 theaflavin terdegradasi dengan cepat. Hal tersebut menerangkan bahwa perubahan pH memengaruhi senyawa bioaktif dan memengaruhi potensi yang dimilikinya. Khasiat hipoglikemik yang diberikan oleh ekstrak teh akan lebih optimal apabila dapat menghambat enzim amilase saliva di mulut dan enzim amilase pankreas di usus halus. Oleh karena itu, ekstrak teh yang dapat menghambat dua jenis enzim amilase tersebut adalah teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C 15 menit dan 100°C 5 menit karena menghasilkan nilai inhibisi yang tinggi, baik pada ekstrak awal maupun setelah melalui pangaturan simulasi proses pencernaan.
25
Inhibisi (%)
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
94.60b
95.13bc
97.92bc
97.54bc
96.04bc
99.12c 89.14a
89.18z
85.40z 72.66y
87.14z
23.04x
23.62x
10.40w 70 C 5 menit
70 C 15 menit
70 C 30 menit
100 C 5 menit
100 C 15 100 C 30 Acarbose menit menit
Perlakuan sampel Ekstrak awal
Ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda untuk kondisi ekstrak yang sama menunjukkan berbeda nyata (p 0.05) dengan uji lanjut Duncan
Gambar 9. Nilai inhibisi enzim alfa amilase dari ekstrak teh hitam
D. Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase a. Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase pada Ekstrak Awal Inhibisi alfa glukosidase pada ekstrak awal dilakukan untuk mendapatkan informasi awal apakah ekstrak teh hitam memiliki kemampuan menghambat enzim glukosidase sebelum diberi perlakuan lain. Hasil penelitian inhibisi enzim alfa glukosidase pada ekstrak pH awal dapat dilihat pada Gambar 10. Ekstrak hasil penyeduhan 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar 95.96%, 95.96%, 98.36%, 91.34%, 82.32%, dan 99.42% sedangkan Acarbose memiliki daya hambat sebesar 99.87% (Lampiran 11). Kwon et al. (2006) meneliti bahwa teh hitam memiliki daya hambat enzim alfa glukosidase yang paling besar diantara jenis teh lainnya, besar inhibisinya mencapai lebih dari 90%. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa penghambatan yang lebih tinggi pada enzim alfa glukosidase disertai penghambatan enzim alfa amilase yang lebih rendah merupakan kombinasi yang paling baik untuk mengontrol diabetes. Perbedaan penelitian yang dilakukan Kwon et al. (2006) dengan penelitian ini adalah konsentrasi teh hitam dan unit enzim yang lebih besar, yaitu masing-masing 0.1 g/ml dan 1 unit/ml, cara analisis dengan menggunakan jumlah enzim yang lebih besar dua kali lipat dari jumlah substrat yang ditambahkan, serta cara ekstraksi yang menggunakan refluks selama 1 jam. Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor suhu, faktor waktu dan interaksi keduanya berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa glukosidase (p 0.05) (Lampiran 12). Interaksi suhu dan waktu penyeduhan teh hitam dan Acarbose berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa glukosidase (p 0.05) (Lampiran 15).
26
Suhu penyeduhan 70°C menghasilkan daya inhibisi yang lebih tinggi (96.76%) dibandingkan dengan daya inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak menggunakan suhu penyeduhan 100°C (91.03%) (Lampiran 13). Besar penghambatan enzim alfa glukosidase dari yang paling tinggi sampai paling rendah dihasilkan oleh ekstrak yang diseduh selama 30 5 15 dengan daya hambat sebesar masing-masing 98.98 93.64 89.14% (Lampiran 14). Lampiran 16 menunjukkan bahwa ekstrak hasil penyeduhan 70°C 30 menit dan 100°C 30 menit menghasilkan daya hambat enzim alfa glukosidase yang besarnya tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (Acarbose) dimana nilai inhibisinya paling tinggi. Hal ini diperkirakan karena senyawa bioaktif yang terdapat pada kedua ekstrak tersebut memiliki kemampuan menginhibisi enzim alfa glukosidase yang besarnya setara dengan Acarbose. Tadera et al. (2006) melaporkan bahwa enzim alfa glukosidase dapat dihambat secara efektif oleh naringenin, kaemferol, luteolin, apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan epigalokatekin galat. Katekin, epikatekin, dan epigalokatekin galat terkandung dalam minuman teh hitam sebesar 0.8, 3.7, 6.0 mg/100 g namun belum diketahui mengandung naringenin dan apigenin (Kyle dan Duthie). (Tadera et al. 2006) juga menambahkan bahwa senyawa flavonoid lain yang berpotensi menghambat enzim alfa glukosidase yang berasal dari khamir adalah antosianidin, isoflavon, dan kelompok flavonol. Valant-Vetschera dan Wollenweber diacu dalam Andersen dan Markham (2006) memaparkan bahwa quersetin, kaemferol, dan myricetin termasuk ke dalam golongan flavonol. Minuman teh hitam mengandung kaemferol, myricetin dan quersetin masing-masing sebesar 1.5, 0.3, dan 2.1 mg/100 g namun belum diketahui mengandung luteolin (Kyle dan Duthie diacu dalam Andersen dan Markham 2006). Tadera et al. (2006) meneliti bahwa struktuf flavonoid yang memiliki andil dalam penghambatan enzim alfa glukosidase adalah cincin C tidak jenuh (unsaturated), 3-OH, 4-OH, ikatan pada cincin B di posisi 3’, dan gugus hidroksil pada cincin B.
b. Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase setelah Melewati Pencernaan Nilai inhibisi enzim alfa glukosidase setelah melalui proses pencernaan in vitro pada teh hitam yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar 90.56%, 97.74%, 96.15%, 87.10%, 98.37%, 97.94%, dan Acarbose memiliki daya hambat sebesar 99.48% (Gambar 10). Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11. Uji statistik menunjukkan bahwa proses pencernaan secara in vitro memengaruhi nilai inhibisi enzim alfa glukosidase (p 0.05) (Lampiran 17). Teh hitam yang diseduh pada 70°C 15 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki daya hambat yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose sebagai kontrol positif (Lampiran 18). Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa kombinasi suhu dan waktu penyeduhan yang paling baik untuk menghambat enzim alfa glukosidase adalah teh hitam yang diseduh pada 70°C 15 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit. Uji t-test dua berpasangan menunjukkan bahwa besar inhibisi alfa glukosidase oleh ekstrak awal tidak berbeda nyata dengan besar inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak setelah melalui proses pencernaan in vitro (p value 0.05) (Lampiran 19). Hal ini diperkirakan bahwa senyawa bioaktif yang dapat menghambat enzim alfa glukosidase memiliki kecenderungan tahan terhadap perubahan pH.
27
Kombinasi penghambatan enzim alfa amilase dan alfa glukosidase sebagai enzim kunci dalam pemecahan karbohidrat diharapkan dapat memberikan efek hipoglikemik dengan cara mengurangi asupan glukosa untuk para penderita diabetes, terutama diabetes tipe 2. Berdasarkan hasil penelitian, ekstrak teh hitam yang baik untuk menekan asupan karbohidrat kompleks (pati) adalah ekstrak yang dapat menekan aktivitas enzim alfa amilase (saliva dan pankreas) secara optimal, yaitu teh yang diseduh pada waktu relatif singkat dengan kombinasi suhu 70°C selama 15 menit dan suhu 100°C selama 5 menit. Ekstrak teh yang dapat menekan asupan gula-gula sederhana melalui penghambatan enzim alfa glukosidase secara optimal (dilihat dari ekstrak yang cenderung tahan terhadap perubahan pH sistem pencernaan) diperoleh dari penyeduhan teh hitam dengan waktu relatif lebih lama, yaitu dengan kombinasi suhu dan waktu 70°C 15 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C selama 15 menit menghasilkan ekstrak teh yang dapat mengurangi jumlah asupan, baik karbohidrat kompleks maupun gula-gula sederhana melalui penghambatan aktivitas enzim alfa amilase dan enzim alfa glukosidase.
Inhibisi (%)
95.96c 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
95.96c
98.36d
97.74yz
91.34b
96.15y
82.32a
99.42d
98.37yz
99.87d 99.48z 97.94yz
87.10w
90.56x
70 C 5 menit
70 C 15 menit
Ekstrak awal
70 C 30 100 C 5 100 C 15 menit menit menit Perlakuan sampel
100 C 30 Acarbose menit
Ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda untuk kondisi ekstrak yang sama menunjukkan berbeda nyata (p 0.05) dengan uji lanjut Duncan
Gambar 10. Nilai inhibisi enzim alfa glukosidase dari ekstrak teh hitam
28
E. Total Fenol Uji total fenol dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa fenolik di dalam teh hitam yang diekstrak dengan kombinasi suhu dan waktu yang berbeda. Fenol merupakan senyawa yang strukturnya mengandung gugus hidroksil yang berikatan dengan gugus fenil sedangkan polifenol adalah senyawa kimia yang ada pada tumbuhan yang memiliki banyak gugus fenol dalam molekulnya. Oleh karena itu, hasil uji total fenol akan mewakili secara kasar jumlah polifenol yang ada pada ekstrak. Polifenol daun teh jumlahnya hampir 35% berat kering (Shahidi dan Naczk 2004). Sudah banyak penelitian yang melaporkan bahwa senyawa polifenol memiliki andil dalam menghambat aktivitas enzim. Gugus OH pada senyawa tersebut diyakini dapat berikatan dengan protein. Haslam et al. (1999) diacu dalam Ali (2002) menyatakan bahwa pembentukan kompleks protein-fenol disebabkan salah satunya oleh adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil fenolik dengan gugus NH- dan CO- pada protein, selain itu dilaporkan juga adanya ikatan kovalen dan hidrofobik pada reaksi tersebut. Kompleks protein-fenol ada yang bersifat dapat balik maupun tidak dapat balik. Polifenol teroksidasi berinteraksi lebih kuat dengan protein (Siebert 1999 diacu dalam Ali 2002) dan dapat berinteraksi dengan asam amino yang dapat menghambat aktivitas enzim (Millic et al. 1968 diacu dalam Ali 2002). Pengujian dilakukan hanya pada ekstrak awal teh hitam. Pertama-tama, kurva standar asam galat dibuat dengan memplotkan absorbansi yang dihasilkan dengan beberapa konsentrasi asam galat yang sudah ditentukan. Persamaan garis nya adalah y = 0.0044x-0.1021 dengan R= 0.9902. Kurva asam galat dan persamaannya dapat dilihat pada Lampiran 20. Kemudian total fenol ekstrak didapat dari persamaan garis kurva standar asam galat tersebut. Perhitungan total fenol ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil penelitian total fenol dinyatakan sebagai Asam Galat Ekuivalen (GAE). Teh yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit masing-masing mengandung total fenol sebesar 19.35, 19.46, 19.52, 18.48, 22.82, dan 18.33 mg GAE/g (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 19.35 mg komponen fenolik dalam 1 gram teh (contohnya pada teh yang diseduh pada 70°C 5 menit), dan seterusnya. Kwon et al. (2007) meneliti bahwa kandungan komponen fenolik pada teh hitam sebesar 4.75 mg/g sedangkan Moraes de Souza et al. (2008) melaporkan bahwa teh hitam mengandung total polifenol dengan rentang 35-40 mg GAE/g. Perbedaan kandungan fenol di dalam teh dipengaruhi oleh varietas, unsur hara dalam tanah, musim, serta proses pengolahannya seperti perbedaan lama fermentasi dan sebagainya. Analisis statistik menerangkan bahwa perbedaan suhu penyeduhan teh hitam tidak memengaruhi kandungan total fenol di dalamnya (p 0.05), sedangkan perbedaan waktu penyeduhan dan interaksi suhu-waktu penyeduhan memberikan pengaruh terhadap besarnya kandungan total fenol ekstrak teh (p 0.05). Hasil uji statistik total fenol dapat dilihat pada Lampiran 22. Ekstraksi polifenol dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya jenis pelarut, pH, suhu, banyaknya tahap ekstraksi, ukuran partikel dan bentuknya. Escribano dan Santos (2002) menyatakan bahwa suhu tinggi pelarut dapat meningkatkan efisiensi dari proses ekstraksi karena panas dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel, meningkatkan kelarutan dan difusi dari senyawa yang diekstrak dan mengurangi viskositas pelarut, namun suhu yang terlalu tinggi dapat mendegradasi senyawa polifenol. Harbourne et al. (2009) menambahkan bahwa penurunan total fenol pada suhu tinggi dikarenakan adanya penguapan komponen volatil fenol, penguraian senyawa fenol dan penggabungan senyawa fenol tertentu dengan komponen lain. Marostica Jr et al. (2010) mengatakan bahwa beberapa komponen fenolik sensitif terhadap panas (thermosensitive). Ross et al. (2011) meneliti tentang stabilitas panas pada senyawa fenolik dan
29
melaporkan bahwa kadar katekin dan epikatekin menurun seiring dengan kenaikan suhu sedangkan asam galat dan galokatekin meningkat jumlahnya seiring bertambahnya suhu, dengan penggunaan suhu berkisar 120-240°C dengan waktu 0-90 menit. Pada percobaan ini, perbedaan suhu awal penyeduhan tidak memengaruhi jumlah fenol karena diperkirakan jarak kedua suhu tersebut tidak besar sehingga jumlah fenolnya belum terlihat perbedaannya. Kondisi pH lingkungan memengaruhi kestabilan polifenol. Friedmen dan Jurgens (2000) meneliti kestabilan senyawa polifenol tanaman pada rentang pH 3-11 dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komponen fenolik jenis kafeat, klorogenat, dan asam galat tidak stabil pada pH tinggi dan ketidakstabilannya bersifat tidak dapat balik, polifenol jenis asam klorogenat stabil pada pH asam, serta polifenol jenis katekin, epigalokatekin, asam ferulat, rutin, dan asam trans sinamat cenderung tahan degradasi akibat perubahan pH. Perbedaan tersebut dipengaruhi kekuatan resonansi dalam menstabilkan ion fenoksida dan quinon pada senyawa polifenol tersebut. Penelitian yang dilakukan Kwon et al. (2006) memberikan informasi bahwa senyawa fenolik memiliki daya inhibisi enzim alfa glukosidase yang berbeda-beda sesuai pH lingkungannya, fenol jenis asam hidroksibenzoat, asam galat, dan asam protokatekuat memiliki daya hambat enzim alfa glukosidase lebih tinggi pada pH 3.5-4.5 dibandingkan pada pH 6.5-7.5, sedangkan katekol, quersetin, katekin, asam rosmarat, asam elagat, dan asam kumarat memperlihatkan hasil yang sebaliknya. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa pH saluran pencernaan juga memengaruhi besarnya suatu inhibisi enzim sesuai jenis dan jumlah komponen fenolik yang ada pada tanaman tersebut. Teh hitam diketahui mengandung senyawa fenol seperti katekin, epigalokatekin, asam galat, dan quersetin, rutin, asam kafeat, asam ferulat, dan asam kumarat yang memiliki kestabilan terhadap pH yang berbeda-beda yang akan memengaruhi nilai inhibisi terhadap suatu enzim. Teh yang diseduh selama 15 menit mengandung total fenol yang berbeda nyata dibandingkan dengan total fenol pada teh yang diseduh selama 5 dan 30 menit. Total fenol yang diperoleh pada ekstrak teh hitam yang diseduh selama 15 menit jumlahnya lebih tinggi dibandingkan pada teh yang diekstrak selama 5 menit dan 30 menit (Lampiran 23). Hal ini diperkirakan bahwa waktu penyeduhan selama 15 menit merupakan waktu yang paling optimal untuk mengekstrak senyawa fenol yang ada pada teh. Waktu penyeduhan teh hitam selama 5 menit diduga belum mampu mengekstrak senyawa polifenol lebih banyak, sedangkan waktu penyeduhan selama 30 menit mungkin merupakan waktu yang terlalu lama untuk mengekstrak polifenol sehingga senyawa tersebut menjadi teroksidasi. Telah diyakini sebelumnya bahwa waktu ekstraksi yang terlalu lama akan memicu pemaparan oksigen lebih banyak yang akan meningkatkan peluang terjadinya oksidasi senyawa fenolik (Shahidi dan Naczk 2004). Polifenol oksidase (PPO) adalah enzim yang berperan dalam oksidasi senyawa polifenol. PPO aktif pada suhu optimum berkisar 50-80°C (Capecka 2005). Keberadaan PPO menyebabkan total fenol berkurang karena telah teroksidasi. Yang Li (2009) menambahkan bahwa pada umumnya, semakin lama waktu ekstraksi maka proses ektraksi semakin efisien, namun ekstraksi yang terlalu lama juga tidak disarankan karena dapat meningkatkan resiko terjadinya oksidasi senyawa fenolik kecuali jika ditambahkan agen pereduksi pada pelarut. Agen pereduksi yang biasa ditambahkan untuk mencegah oksidasi fenolik adalah asam askorbat (FAO 2000). Penambahan asam askorbat pada beberapa produk minuman teh dalam kemasan dilakukan untuk mengurangi terjadinya oksidasi. Oksidasi adalah proses kimia yang melibatkan transfer elektron dari atom atau molekul (sekelompok atom) melalui reaksi dengan atau tanpa adanya penambahan oksigen atau kehilangan hidrogen (Geldenhuys 2009). Fenol sangat mudah teroksidasi. Buah yang
30
mengandung fenol dibiarkan terpapar ke udara dalam beberapa saat sampai menjadi kering dan sangat berwarna karena terbentuknya produk oksidasi (Hart et al. 2003). Volgina et al. (2005) menjelaskan fenol teroksidasi menghasilkan produk hasil oksidasi berupa p-benzokuinon, asam dikarboksilat, dan karbondioksida. Geldenhuys (2009) mengukur dan membandingkan total fenol pada wine belum teroksidasi dan wine yang sudah teroksidasi (telah diberi penambahan oksigen) dengan metode folin-ciocalteau. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa kandungan fenol pada wine yang diberi penambahan oksigen mengalami penurunan walaupun tidak signifikan. Telah diketahui bahwa pada pengukuran total fenol dengan metode folin ciocalteau, fosfotungstat-fosfomolibdat tereduksi oleh gugus OH pada senyawa fenol menghasilkan molibdenum-tungsten. Produk fenol teroksidasi telah kehilangan atom hidrogen sehingga sebagian dari fosfotungtat-fosfomolibdat tidak dapat tereduksi sehingga mengurangi intensitas warna biru yang terukur pada spektrofotometer. Uji statistik menunjukkan bahwa interaksi suhu dan waktu penyeduhan memengaruhi total fenol (p 0.05) (Lampiran 24). Kombinasi suhu ekstraksi 100°C selama 15 menit ternyata mengandung total fenol yang berbeda nyata dengan total fenol yang terkandung pada kelima jenis ekstrak lainnya, dimana kandungan total fenol yang terkandung pada ekstrak tersebut paling tinggi (Lampiran 25). Dengan demikian, suhu penyeduhan 100°C selama 15 menit merupakan kondisi penyeduhan terbaik karena dapat mengekstrak komponen fenol terbanyak pada teh hitam.
Total fenol (mg GAE/g)
25 20
22.82d 19.35bc
19.46c
19.52c
70 C 5 menit
70 C 15 menit
70 C 30 menit
18.48ab
18.33a
15 10 5 0 100 C 5 menit
100 C 15 menit
100 C 30 menit
Perlakuan sampel Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p 0.05) dengan uji lanjut Duncan
Gambar 11. Total fenol ekstrak awal teh hitam
31
a. Total Fenol dan Inhibisi Enzim Alfa Amilase Dua percobaan yang berbeda dikatakan memiliki suatu korelasi dapat diketahui dengan menggunakan analisis korelasi bivariate. Hubungan antara total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa amilase tidak memiliki korelasi (ditandai dengan p 0.05) (Lampiran 32). Gambar 12 memperlihatkan grafik total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa amilase. Ada banyak sekali komponen fenolik dalam ekstrak teh. Perbedaan kondisi ekstraksi menghasilkan perbedaan komposisi senyawa fenolik yang terekstrak. Korelasi yang negatif atau tidak memiliki korelasi menunjukkan bahwa masing-masing senyawa fenolik memiliki kemampuan dalam menghambat enzim yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut senyawa fenolik yang mana yang memiliki kemampuan inhibisi yang kuat. Selain itu, hal ini juga menunjukkan ada komponen non fenolik yang berperan. Senyawa bioaktif yang pernah dilaporkan dapat menghambat enzim alfa amilase selain dari golongan fenol adalah alkaloid (Zajoncova et al. 2005).
100
50
98
Inhibisi (%)
94
30
92 20
90 88
10
86 84
0 70 C 5 menit
70 C 15 menit
70 C 30 menit
100 C 5 menit
Total Fenol (mg GAE/g)
40
96
100 C 15 100 C 30 menit menit
Perlakuan sampel Inhibisi Ekstrak Awal (%)
Total Fenol (mg GAE/g)
Gambar 12. Grafik hubungan total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal
b. Total Fenol dan Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase Hubungan antara total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase memiliki korelasi (p 0.05) dengan koefisien korelasi sebesar -0.825 (Lampiran 33). Nilai tersebut dapat diartikan bahwa kandungan total fenol pada ekstrak awal teh hitam memiliki korelasi yang kuat terhadap nilai inhibisi enzim alfa glukosidase pada taraf 5%. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi total fenol ekstrak maka daya inhibisi enzim alfa glukosidase semakin rendah. Korelasi yang negatif atau tidak memiliki korelasi menunjukkan bahwa masing-masing senyawa fenolik memiliki kemampuan dalam menghambat enzim yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu diteliti lebih lanjut senyawa fenolik yang mana yang memiliki kemampuan inhibisi yang kuat. Gambar 13 memperlihatkan dua grafik, yaitu grafik total fenol dan grafik nilai inhibisi enzim alfa glukosidase pada ekstrak awal teh hitam.
32
Korelasi yang berbanding terbalik ini dapat dilihat pada kondisi ekstraksi 100°C 15 menit yang mana mengandung total fenol yang tinggi namun memiliki daya hambat yang rendah terhadap aktivitas enzim alfa glukosidase. Hal tersebut diperkirakan bahwa tidak semua senyawa fenol memiliki kemampuan dalam mengikat protein yang lebih lanjut dapat memungkinkan terjadinya penghambatan enzim. Senyawa fenol pada teh hitam yang diketahui tidak memiliki kemampuan menginhibisi enzim telah diteliti oleh Kwon et al. (2006), yaitu jenis vanillic acid dan syringic acid yang tidak mampu menghambat enzim alfa glukosidase pada pH sekitar netral sedangkan asam firulat dan asam klorogenat tidak mempunyai kemampuan menginhibisi pada pH asam. Selain itu, ekstrak teh yang diseduh pada 100°C 30 menit menunjukkan bahwa nilai inhibisi enzim alfa glukosidase tetap tinggi walaupun kandungan fenolnya menurun. Kondisi tersebut menimbulkan dugaan bahwa ada senyawa bioaktif lain yang terekstrak pada kondisi penyeduhan tersebut yang memiliki kemampuan menghambat enzim alfa glukosidase. Komponen bioaktif selain polifenol yang telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap enzim alfa glukosidase adalah golongan alkaloid (Molynuex et al. 1986) dan triterpenoid saponin (Luo et al. 2008). Salah satu golongan alkaloid pada teh adalah kafein yang jumlahnya 7.0 mg pada 150 ml teh hitam yang diseduh selama 30 menit pada suhu 100°C (Resource 1996).
50
Inhibisi (%)
100
40
80 30 60 20 40 10
20 0
Total Fenol (mg GAE/mg)
120
0 70 C 5 menit
70 C 15 menit
70 C 30 100 C 5 menit menit Perlakuan sampel
Inhibisi Ekstrak Awal (%)
100 C 15 menit
100 C 30 menit
Total Fenol (mg GAE/g)
Gambar 13. Grafik hubungan total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal
33
F. Kadar Tanin Tanin merupakan metabolit sekunder yang termasuk ke dalam kelompok senyawa fenolik. Tanin dapat membentuk kompleks dengan protein dan mengkelat logam. Rangari (2007) mengemukakan bahwa tanin merupakan kompleks polifenolik berbobot molekul tinggi yang dihasilkan melalui reaksi polimerisasi senyawa polifenol sederhana. Bate-Smith (1962) diacu dalam Hagerman (2002) mendefinisikan tanin sebagai senyawa fenolik larut air yang memiliki bobot molekul berkisar 500-3,000 (disebut ester asam galat), memberikan reaksi fenolik yang sama dengan senyawa fenolik lainnya dan memiliki sifat khas seperti kemampuannya dalam mengendapkan gelatin dan protein lainnya. Bahkan tanin yang memiliki berat molekul sebesar 20,000 (disebut proantosianidin) juga pernah dilaporkan. Selain dengan protein, tanin juga memiliki kemampuan membentuk kompleks dengan polisakarida (Haslam 1989 diacu dalam Hagerman 2002). Tanin dibedakan atas dua jenis, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin terhidrolisis adalah tanin yang dapat dihidrolisis oleh asam-asam mineral atau enzim seperti enzim tannase dan struktur molekulnya merupakan turunan dari asam galat. Tanin terkondensasi atau dikenal dengan proantosianidin adalah tanin yang tidak mudah dihidrolisis oleh asam mineral dan enzim serta merupakan turunan flavonoid. Rangari (2007) menggolongkan daun teh sebagai tanaman yang mengandung tanin terkondensasi. Penelitian yang dilakukan Engelhardt et al. (2003) menunjukkan bahwa teh hitam mengandung tanin terkondensasi (proantosianidin) sebesar 0.5 g/100 g dan memiliki tanin terhidrolisis berkisar 0.02-0.15 g/100 g. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa semakin lama proses fermentasi pada teh maka konsentrasi tanin terhidrolisis semakin rendah. Penentuan kadar tanin dilakukan dengan menggunakan formaldehida. Tanin, khususnya tanin terkondensasi, dapat bereaksi dengan formaldehida pada kondisi asam. Tanin bereaksi dengan monomernya untuk membentuk senyawa berbobot molekul lebih besar. Monomer dari proantosianidin adalah katekin. Penambahan aldehida seperti formaldehida dapat mempercepat terjadinya reaksi tersebut. Formaldehida akan menyerang cincin benzena pada katekin (tanin terkondensasi) (Garro Galvez et al. 1996 diacu dalam Kassim et al. 2011) membentuk endapan tanin-formaldehida. Pengujian kadar tanin dilakukan pada ekstrak awal. Teh yang diseduh pada 70°C 5 menit, 70°C 15 menit, 70°C 30 menit, 100°C 5 menit, 100°C 15 menit, dan 100°C 30 menit memiliki kadar tanin masing-masing sebesar 3.14%, 4.01%, 4.20%, 3.40%, 3.06%, dan 1.18% (Gambar 16). Data perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 26. Atanassova et al. (2009) meneliti kadar tanin pada beberapa tanaman dan buah-buahan, termasuk teh hitam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kadar tanin yang ada pada teh hitam mencapai 10.23%. Perbedaan persentase ini mungkin terjadi karena perbedaan cara ekstraksi dan metode analisisnya. Pada penelitian tersebut, teh hitam diekstrak hanya dengan merendam dengan air selama 4 jam. Metode analisis yang digunakan pada penelitian tersebut juga menggunakan titrimetri, bukan gravimetri yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis statistik menunjukkan bahwa suhu penyeduhan, waktu penyeduhan, dan interaksi keduanya memengaruhi kadar tanin yang ada pada ekstrak (p 0.05) (Lampiran 27). Kadar tanin pada suhu penyeduhan 70°C berbeda nyata dengan kadar tanin pada suhu 100°C. Suhu penyeduhan 70°C menghasilkan rata-rata kadar tanin (3.78%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kadar tanin yang ada pada ekstrak teh yang diseduh pada 100°C (2.54%) (Lampiran 28). Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu awal penyeduhan 70°C lebih optimal dari pada 100°C dalam mengekstrak senyawa tanin. Lokeswari et al. (2011) menguji kadar tanin pada
34
kelopak tumbuhan Caesalpinia coriaria dengan perbedaan suhu air untuk ekstraksi berkisar 75°C sampai 100°C, hasil penelitiannya membuktikan bahwa jumlah tanin yang terekstrak paling tinggi diperoleh dari ekstraksi menggunakan suhu air 90°C, suhu air 75°C, 80°C, 85°C, dan 95°C dapat mengekstrak tanin dengan jumlah lebih rendah, sedangkan suhu air 100°C menghasilkan kadar senyawa tanin yang paling rendah. Tiga waktu penyeduhan yang berbeda ternyata memengaruhi kadar tanin ekstrak teh. Kadar tanin pada teh yang diseduh selama 5 dan 15 menit tidak berbeda nyata. Kadar tanin pada ekstrak teh yang diseduh selama 30 menit lebih rendah dari pada kadar tanin pada ekstrak teh yang diseduh selama 5 dan 15 menit (Lampiran 29). Kemungkinan yang terjadi adalah senyawa tanin sudah mencapai kadar maksimumnya sehingga semakin lama teh diseduh maka akan menyebabkan penurunan kadar tanin. Uji statistik menunjukkan interaksi suhu dan waktu memengaruhi kadar tanin (p 0.05) (Lampiran 30). Dapat dilihat pada Gambar 14 bahwa kadar tanin tertinggi diperoleh pada kondisi penyeduhan 70°C 15 menit dan 70°C 30 menit sehingga kombinasi suhu dan waktu penyeduhan tersebut dapat dikatakan optimal dalam mengekstrak senyawa tanin, sedangkan kadar tanin terendah diperoleh dari kondisi penyeduhan 100°C 30 menit (Lampiran 31). Hasil pengujian kadar tanin ekstrak teh memperlihatkan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan total fenolnya padahal tanin merupakan bagian total fenol yang seharusnya jumlahnya lebih rendah. Hal ini diperkirakan menunjukkan adanya kesalahan positif dalam pengujian kadar tanin ini. Formaldehida diperkirakan dapat mengikat struktur benzen dari senyawa selain tanin. Senyawa bukan tanin yang memiliki struktur benzen adalah salah satunya asam amino aromatik (triptofan, tirosin, dan fenilalanin). Asam amino merupakan penyusun protein. Telah diketahui sebelumnya bahwa kandungan protein pada teh hitam cukup tinggi, yaitu 16 % (Nasution dan Tjiptadi 1975). Adanya kandungan protein yang tinggi diduga dapat mengganggu pengukuran kadar tanin sehingga jumlah kadar tanin lebih tinggi dari seharusnya. Kawamoto et al. (1997) membagi mekanisme pembentukan kompleks tanin-protein pada dua tahap, proses pembentukan kompleks awal (initial complexation) dan kemudian dilanjutkan dengan proses pengendapan (precipitation). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa konsentrasi protein merupakan faktor yang lebih dominan dalam pembentukan tahap pertama yaitu pembentukan kompleks sedangkan suhu, pH, dan kekuatan ionik memengaruhi proses pengendapan. Tanin yang digunakan pada penelitiannya adalah jenis galloylglucose. Gambar 15 menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi pengikatan tanin dengan protein.
35
Gambar 14. Faktor-faktor yang memengaruhi pengikatan tanin dengan protein (Kawamoto et al. 1997)
Kawamoto et al. (1997) melaporkan bahwa pengendapan tanin-protein terlarut terjadi secara maksimal pada pH mendekati titik isoelektrik (pI) protein. Pengendapan maksimum tanintripsin dan tanin-lisosim terjadi pada pH lebih dari 8 (pI pepsin: 10.1, pI lisosim: 11.0), taninovalbumin dan tanin-BSA terjadi pada pH 3-5 (pI ovalbumin: 4.6, pI BSA: 4.9), serta pengendapan tanin-pepsin terjadi pada pH 3 (pI pepsin: 1.0) (Hagerman dan Butler 1978 diacu dalam Kawamoto et al. 1997). Enzim alfa amilase pankreas memiliki titik isoelektrik 6.6 (FereyRoux et al. 1998) dan enzim alfa glukosidase memiliki titik isoelektrik 5.4 (Siro et al. 1978). Berdasarkan hal tersebut, pembentukan kompleks tanin-protein yang memberikan peluang terjadinya penghambatan aktivitas enzim dapat terjadi secara optimal pada sekitar pH lingkungan yang mendekati titik isoelektriknya. Ekstrak awal memiliki pH yang mendekati titik isoelektrik kedua enzim tersebut, yaitu 4.93-5.06.
36
5
Kadar Tanin (%)
4.01c
4.20c
4
3.40b
3.14b
3.06b
3 2
1.18a 1 0 70 C 5 menit
70 C 15 menit
70 C 30 menit
100 C 5 menit
100 C 15 menit
100 C 30 menit
Perlakuan sampel Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p 0.05) dengan uji lanjut Duncan Gambar 15. Kadar tanin pada ekstrak teh awal
a. Kadar Tanin dan Inhibisi Enzim Alfa Amilase Tanin sering dihubungkan dengan daya inhibisi enzim karena memiliki kemampuan dalam membentuk kompleks dengan protein, yang mana enzim merupakan suatu protein. Hubungan kadar tanin dan inhibisi enzim alfa amilase memiliki korelasi (p 0.05) dengan koefisien korelasi sebesar 0.892 (Lampiran 34). Koefisien korelasi sebesar 0.892 menujukkan bahwa kandungan tanin yang ada pada ekstrak teh hitam berkorelasi kuat dengan besarnya daya inhibisi terhadap enzim alfa amilase. Gambar 17 memperlihatkan grafik kadar tanin dan nilai inhibisi enzim alfa amilase. Zhang J dan Kashket (1998) meneliti bahwa tanin yang dihilangkan dari teh dengan cara pengikatan oleh gelatin akan menghilangkan kemampuannya dalam menghambat amilase saliva.
37
100
10
98
9
Inhibisi (%)
7
94
6
92
5
90
4 3
88
Kadar Tanin (%)
8
96
2
86
1
84
0 70 C 5 menit
70 C 15 menit
70 C 30 menit
100 C 5 menit
100 C 15 menit
100 C 30 menit
Perlakuan sampel Inhibisi ekstrak awal (%)
Kadar Tanin (%)
Gambar 16. Grafik hubungan kadar tanin dan nilai inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal
b. Kadar Tanin dan Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase
Hubungan kadar tanin terhadap nilai inhibisi enzim alfa glukosidase memiliki nilai p 0.05 (Lampiran 35). Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi antara besarnya inhibisi enzim alfa glukosidase dan kandungan tanin dalam ekstrak teh. Gambar 18 memperlihatkan grafik kadar tanin dan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase. Ekstrak teh yang diseduh pada 100°C 30 menit menunjukkan bahwa nilai inhibisi enzim alfa glukosidase tetap tinggi walaupun kandungan tanin rendah. Hal tersebut diduga adanya senyawa bioaktif lain yang terekstrak pada kondisi penyeduhan tersebut yang memiliki kemampuan menghambat enzim alfa glukosidase. Komponen bioaktif selain polifenol yang telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap enzim alfa glukosidase adalah golongan alkaloid (Molynuex et al. 1986) dan triterpenoid saponin (Luo et al. 2008). Salah satu golongan alkaloid pada teh adalah kafein yang jumlahnya 7.0 mg pada 150 ml teh hitam yang diseduh selama 30 menit pada suhu 100°C (Resource 1996)
38
10
100
8
80 6 60 4 40
Kadar Tanin (%)
Inhibisi (%)
120
2
20 0
0 70 C 5 menit
70 C 15 menit
70 C 30 menit
100 C 5 menit
100 C 15 menit
100 C 30 menit
Perlakuan sampel Inhibisi Ekstrak Awal(%)
Kadar Tanin (%)
Gambar 17. Grafik hubungan kadar tanin dengan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal
39
IV.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi suhu dan waktu penyeduhan teh hitam memengaruhi besarnya penghambatan enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Daya hambat yang dianggap paling optimal adalah daya hambat yang besarnya tidak berbeda nyata secara statistik dengan daya hambat yang dihasilkan oleh Acarbose sebagai kontrol positif. Daya hambat enzim alfa amilase oleh ekstrak awal dapat menggambarkan dugaan penghambatan terhadap enzim amilase saliva. Ekstrak awal yang menghasilkan nilai inhibisi paling optimal diseduh pada suhu 70°C selama 15 menit (95.13%), 70°C selama 30 menit (97.92%), 100°C selama 5 menit (97.54%), dan 100°C selama 15 menit (96.04%). Daya hambat enzim alfa glukosidase pada ekstrak awal dilakukan untuk memberikan informasi awal sebelum diberi perlakuan simulasi perubahan pH pencernaan pada ekstrak. Nilai inhibisi paling optimal dihasilkan oleh ekstrak awal teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C selama 30 menit (98.36%) dan 100°C selama 30 menit (99.42%). Daya hambat enzim alfa amilase setelah proses pencernaan paling optimal dihasilkan oleh teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C selama 15 menit (87.14%) dan 100°C selama 5 menit (85.40%). Besar inhibisi amilase setelah melalui proses pencernaan berbeda nyata dengan besar inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak awal. Daya hambat enzim alfa glukosidase setelah proses pencernaan paling optimal dihasilkan oleh teh hitam yang diseduh pada suhu 70°C selama 15 menit (97.74%), 100°C selama 15 menit (98.37%), dan 100°C selama 30 menit (97.94%). Inhibisi glukosidase pada kondisi pencernaan inilah yang dapat mewakili daya hambat enzim glukosidase yang hanya terdapat pada usus halus. Besar inhibisi glukosidase setelah melalui proses pencernaan tidak berbeda nyata dengan besar inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak awal. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa untuk menurunkan asupan kalori karbohidrat maka disarankan meminum teh hitam yang diseduh pada suhu 70oC selama 15 menit. Kondisi penyeduhan tersebut merupakan kondisi paling baik dalam menghambat aktivitas enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Pengukuran terhadap total fenol dan kadar tanin pada ekstrak awal menunjukkan bahwa daya hambat enzim alfa amilase berkorelasi positif dengan kadar tanin tetapi tidak berkorelasi dengan total fenol sedangkan daya hambat enzim alfa glukosidase berkorelasi negatif dengan total fenol tetapi tidak berkorelasi dengan kadar tanin yang ada pada ekstrak teh hitam.
B. Saran Saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya uji lanjut untuk mengetahui apakah ada penghambatan aktivitas enzim oleh ekstrak teh hitam jika senyawa tanin telah dihilangkan dari ekstrak, uji penghambatan aktivitas enzim secara in vivo untuk melihat aktivitas ekstrak dalam tubuh, pengukuran kadar total fenol dan tanin pada ekstrak setelah melalui proses pencernaan in vitro, mengidentifikasi komponen fenolik pada berbagai proses penyeduhan baik pada ekstrak awal maupun setelah melalui proses pencernaan in vitro, melakukan pengujian inhibisi enzim alfa amilase dan alfa glukosidase dari konsentrasi ekstrak teh hitam yang divariasikan misalnya lebih rendah dari 4 gram/100 ml, serta perlu dilakukan analisis alkaloid seperti kafein dalam menghambat enzim alfa amilase dan alfa glukosidase.
40
DAFTAR PUSTAKA Aji M. 2011. Pengelolaan pemangkasan tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) di PT. Perkebunan Rumpun Sari Kemuning Karanganyar, Jawa Tengah [skripsi]. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Ali H. 2002. Protein-phenolic interaction in food [thesis]. Departement of Food Science and Agricultural Chemistry, McGill University Quebec. Ankolekar C, Terry T, Johnson K, Johnson D, Barbosa ACL, Shetty K. 2010. Anti-hyperglicemic properties of tea (Camellia sinensis) bioactive using in vitro assay models and influnce of extraction time. Mary Ann Liebert Inc, [Online] 14 (10). Abstract from J Med Food. [14 September 2011]. Aryani. 2011. Penting diketahui! kebiasaan umum yang salah dalam mengonsumsi minuman atau makanan. http://www.kesehatan.kompasiana.com. [20 September 2011] Astawan M. 2009. Hand Out Metode Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Astill C, Birch MR, Decombe C, Humphrey PG, Martin PT. 2001. Factors affecting the caffeine and polyphenol contents of black and green tea infusions. J Agric Food Chem 49: 5340-5347. Atanassova M, Bagdassarian VC. 2009. Determination of tannins content by titrimetric method for comparison of different plant species. Journal of the University of Chemical Technology and Metallurgy 44 (4): 413-415. Balentine DA, Robinson IP. 1998. Tea as a source of dietary antioxidants with a potential role in prevention of chronic diseases. Di dalam: Mazza D, Oomah BD (eds.). Herbs, Botanicals, and Teas. USA: CRC Press, pp 265-281 Bate-Smith EC, Swain T.1962. Flavonoid compounds. Di dalam: Mason, Florkin (eds.). Comparative Biochemistry Volume 3A. Academic Press. Bayer GD, Yaoguang L, Withers SG. 1995. The structure of human pancreatic α-amylase at 1.8 A resolution and comparisons with related enzymes. Protein Sci 4: 1730-1742. Berdanier CD, Dwyer J, Feldman EB. 2006. Handbook of Nutrition and Food Second Edition. USA: CRC Press. Cai YZ, Luo Q, Sun M, Corkea H. 2007. Antioxidant activity and phenolic compound of 112 traditional chinese medicinal plants associated with anticancer. Life Sci 74: 2157-2184. Calder PC, Geddes R. Acarbose is a competitive inhibitor of mammalian lysosomal acid alpha-Dglucosidases. Carbohydr Res, [Online]. Abstract from Department of Biochemistry, University of Auckland, New Zealand. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. [17 November 2011] Capecka E, Marcezeek A, Leja M . 2005. Antioxidant activity of fresh and dry herbs of some Lamiciae sp. J Food Chem 93:223-226. Cummings J, Mann J. 2009. Carbohydrates. Di dalam: Mann J, Truswell AS (eds.). Essentials of Human Nutrition. New York: Oxford University Press, pp 35-71 [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2003. Peran DIIT dalam penanggulangan diabetes. Makalah dalam Seminar Pekan Diabetes, 25-27 Maret 2003, Jakarta. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2005. Jumlah penderita diabetes Indonesia ranking ke-4 di dunia. Berita Dep. Kes. RI. 5 September 2005. Eden T. 1958. Tea. London: Longmans, Green and Co.
41
Engelhardt UH, Lakenbrink C, Pokorny O. 2003. Proanthocyanidins, bisflavanols, and hydrolyzable tannins in green and black teas. ACS Symposium Series, [Online]. Abstract from American Chemistry Society. http://www.pubs.acs.org. American Chemistry Society. [29 Oktober 2011] Escribano MT, Santos C. 2002. Polyphenol extraction from foods. Di dalam: Esribano MT, Santos C (eds.). Methods in Polyphenol Analysis. USA: CRC Press. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. Quantifications on tannins in tree foliage. Vienna: Animal Production and Health Sub-Program. Ferey-Roux G, Perrier J, Forest E, Marchis-Mouren G, Puigserver A, Santimone M. 1998. The hunamn pancreatic α-amylase isoform: isolation, structural studies and kinetics of inhibition by acarbose. Laboratoire de Biochemie Universite d’Aix-Mairselle, [Online]. 1388 (1). Abstract from BBA. http://sciencedirect.com. BBA. [21 Oktober 2011] Friedman M, Jurgens HS. 2000. Effect of pH on the stability of plant phenolic compounds. Western Regional Research Center, [Online]. 48 (6). Abstract from American Chemistry Society. http://www.pubs.acs.org. American Chemistry Society. [12 Oktober 2011] Fogarty, W. M. 1983. Microbial Enzymes and Biotechnology. Appl. Sci. Publ, London. Gao H, Huang YN, Gao B, Li P, Inagaki C, Kawabata J. 2008. Inhibitory effect on α-glucosidase by Adhatoda vasica Nees. Food Chem 108: 965-972. Garro Gavlez JM, Reidl B, Fechtal M. 1996. Gallic acid as a model of tannins in condensation with formaldehyde. Thermochemica Acta 274: 149-163. Geldenhuys L. 2009. Influence of oxygen addition on the phenolic composition of red wine [thesis]. Department of Viticulture and Oenology, Faculty of AgriSciences, Stellenbosch University. Guilbauilt, GG. 1976. Handbook of Enzyme Methods of Analysis. New York: Marcel Dekker Inc. Hagerman AE, Butler LG. 1978. Protein precipitation method for the quantitative determination of tannin. J Agric Food Chem 26: 809-812. Hagerman AE. 2002. Tannin Chemistry. USA: Departement of Chemistry and Biochemistry Miami University, Oxford. Hara Y, Honda M. 1990. The inhibition of alpha amylase by tea polyphenol. Agruic Biol Chem 54: 1939-1945. Harbourne N, Christopher J, O’Riordan D. 2009. Optimisation of extraction and processing conditions of chamomile (Matricaria chamomilla L.) for incorporation into a beverage. Food Chem 115: 1519 Hart H, Craine LE, Hart DJ. 2003. Kimia Organik-Suatu Kuliah Singkat Edisi Kesebelas. (Tejemahan Achmadi SS). Erlangga, Jakarta Hartoyo, A. 2003. Teh dan Khasiatnya bagi Kesehatan. Kanisius, Yogyakarta. Haslam E. 1989. Plant Polyphenols. Vegetable Tannins Revisited. Cambridge University Press. Haslam E, Williamson MP, Baxter NJ, Charlton AJ. 1999. Astringency and polyphenol protein interaction. Recent Advance in Phytochemistry 33: 289. Hill C. 2009. A return to zhuyeqing garden. http://www.chinateatravels.com [14 September 2011]. Huang MT, Liu Y, Ramj’i D. 2006. Inhibitory effects of black tea theaflavin derivatives on 12-Otetradeconoyphorbol-13-acetate-induced-inflammation and arachidonic acid metabolism in mouse ears. J Nutr Food Res 50: 115-122. [IDF] The International Diabetes Federation. 2011. Diabetes data. www.idf.org [25 Juli 2011]. Info Obat Indonesia. 2009. Acarbose. http://infodrugindonesia.blogspot.com [15 November 2011] Kawamoto H, Nakatsubo F. 1997. Effect of environmental factors on two-stage tannin-protein coprecipitation. Phytochem 46: 479-483.
42
Kassim MJ, Hussin MH, Achmad A, Dahon NH, Kim Suan T, Hamdan HS. 2011. Determination of total fenol, condensed tannin, flavonoid contents and antioxidant activity of Uncaria gambir extracts. Majalah Farmasi Indonesia 22 (1): 50-59 Kim JS, Ju JB, Choi CW, Kim SC. 2006. Hypoglicemic and antihyperlipidemic effect of four korean medicinal plants in alloxan induced diabetic rats. Amer J Biochem and Biotech 2:154-160. Kusumanigrum D. 2008. Pemetaan Karakteristik Komponen Polifenol untuk Mencegah Kerusakannya pada Minuman Teh Ready to Drink (RTD) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kwon YI, Apostolidis E, Shetty K. 2006. Inhibitory potential of wine and tea against α-amylase and α-glucosidase for management of hyperglicemia linked to type 2 diabetes. J Food Biochem 32: 1531. Kyle M, Duthie D. 2006. Flavonoid in Foods. Di dalam: Andersen J, Markham A (eds.). Flavonoids. USA: CRC Press, pp 254-285 Laresolo B. 2007. Bagaimana cara nmeyeduh teh yang benar. http://www.kedaitehlaresolo.com [8 Mei 2011] Lazarus SA, Schmitz HH. 2000. Dietary flavonoids may promote health, prevent hearth disease. California Agric 54 (5): 33-39. Lebovitz. 1997. Alpha-glucosidase inhibitor. Endrocrinology and Metabolism Clinics of North America 26: 539-551. Lee MJ, Lambert JD, Prabhu, S, Yang CS. 2005. Delivery of tea polyphenol to the oral cavity by green tea leaves and black tea extract. Cancer epidemiol. Biomarkers Prev. 13: 132-137. Lee SH, Park MH, Heo SJ. Kang SM, Ko SC, Han JH, Jeon YJ. 2010. Dieckol isolated from Ecklonia cava inhibits α-glucosidase and α-amylase in vitr and alleviates postprandial hyperglicemia in streptozotocin –induced diabetic mice. Food Chem Toxicology 48 : 2663-3637. Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia (terjemahan M. Thenawidjaja). Erlangga, Jakarta. Lin JK. 2009a. Mechanism of cancer chemoprevention by tea and te polyphenol. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 161-171 Lin JK, Chen YW, Yn S, Shiau L. 2009b. Inhibition of breast cancer cell proliferation by theaflavins and epigallocathecin 3-gallate through suppressing proteasomal activiteies. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 191-210 Lin JK, Shiau L. 2009c. Fermented tea is more effective than unfermented tea in suppressing lipogenesis and obesity. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 233-244 Lokeswari N, Sujatha P. 2011. Isolation of tannins from Caesalpinia coriaria and effect of physical parameters. Internation Res J Pharm 2 (2): 146-152. Luo JG, Ma L, Kong LY. 2008. New triterpanoid saponins with strong α-glucosidase inhibitory activity from the roots of Gypsophila oldhamiana. Bioorganic & Med Chem 16 (6): 2912-2920. Mann J, Truswell AS. 2009. Essentials of Human Nutrition. New York: Oxford University Press. Marostica Jr MR, Leite AV, Dragano NRV. 2010. Supercritical fluid extraction and stabilitzation of phenolic compounds from natural sources-review (supercritical extraction and stabilization of phenolic compounds). The Open Chem Engineer J 4: 51-60. Mayur B, Sandez S, Shrutí S, Sung-Yum S. 2010. Antioxidant and alpha-Glucosidase inhibitory properties of Carpesium abrotanoides L. J Med Plant Res 4 (15) : 1547-1553.
43
McCue P, Vattem D, Shetty K. 2004. Inhibitory effect of clonal oregano extracts against porcine pancreatic amylase in vitro. Asia Pac J Clin Nutr 13 (4): 401-408 McDougall GJ, Kulkarni NN, Stewart D. 2009. Berry poliphenol inhibit pancreatic lipase activity in vitro. Food Chem 115: 193-199. Miller D, Benito P. 1998. Iron absorption and bioavailability: an update review. Nutrition Research, [Online]. 18 (3). Abstract from Science Direct. http://www.sciencedirect.com, Science Direct. [18 Oktober 2011] Millic B, Stojanovic S, Vucureuic N, Turcic M. 1968. Chlorogenic and quinic acids in sunflower meal. J Sci Food Agric 19: 108. Molyneux RJ, Roitman JN, Dunnheim G, Szumilo T, Elbein AD. 1986. 6-Epicastanospermine, a novel indolizidine alkaloid that inhibits alpha glucosidase. Arch Biochem Biophys 251 (2): 450457. Moraes de Souza RA, Oldoni TLC, Regitano de’Arce MAB, Alencar SM. 2008. Antioxidant activity and phenolic composition of herbal infusions consumed in Brazil. Cienc. Tecnol. Aliment 6(1):4147. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi: Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 2006. Metabolisme Zat Gizi: Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nasution MZ, Tjiptadi W. 1975. Pengolahan teh [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, FATEMETA, IPB, Bogor. Nugraha G. 1999. Pemanfaatan tanin dari kulit kayu akasia (Acacia mangium Willd) sebagai bahan penyamak nabati [skripsi]. Fateta, IPB, Bogor. Ono Y, Hattori E, Fukaya Y, Imai S, Ohizumi Y. 2005. Anti-obesity effect of Nelumbo nucifera leaves extract in mice and rats. J Ethnopharm 106: 236-244. Panuju DT. 2008. Teh dan pengolahannya. http://www.images.dyagi.multiply.multiplycontent.com [11 Maret 201] Pequet V, Croux C, Goma G, Soucaille P. 1991. Purification and characterization of extracellular alpha-amylase from Clostridium acetobutylicum ATCC 824. Appl Environ Microbiol 57 (1): 212218. Qader SAU, Bano S, Aman A, Syed N, Azhar, A. 2006. Enhanced production and extracellular activity of commercially important amylolytic enzyme by a newly isolated strain of Bacillus sp. AS-1. Turkish J Biochem. 31 (3) : 135-140 Ramji D, Huang MT, Shahidi F, Ho CT. 2009. Effect of tea and tea constituents on inflammation. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties. Boca Raton: CRC Press, Taylor and Francis Group USA, pp 177-190 Rangari, V. D. 2007. Pharmacognosy: Tannin Containing Drugs. Nagpur: J. L. Chaturvedi College of Pharmacy. Resource. 1996. An investigation of caffein content in tea-an abstract. http://www.resources.edb.gov.hk. [19 Oktober 2011] [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Laporan hasil riset kesehatan dasar nasional 2007. www.docstoc.com. [ 25 Juli 2011]. Ross CF, Hoye Jr C, Fernandez-Plotka VC. 2011. Influence of Heating on the Polyphenolic Content and Antioxidant Activity of Grape Seed Flour. Wiley, [Online].76 (6). Abstract from Journal of Food Science. http://www.onlinelibrary.wiley.com, J Food Sci. [19 November 2011].
44
Sanusi H. 2011. Peranan obat hipoglikemik oral pada pengobatan diabetes melitus. http://www.dokternetworkangk97.blogspot.com/2011/02/peranan-obat-hipoglikemik-oralpada.html. [ 7Agustus 2011]. Sartika D. 2011. Analisis kebisingan pada proses pengolahan teh hitam di ruang penggilingan, pengeringan, dan sortasi di PTPN VIII Perkebunan Gunung Mas, Cisarua, Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Shahidi F, Naczk MG. 2004. Phenolic in Food and Nutraceuticals. USA: CRC Press Shai LJ, Masako P, Mokgotho MP, Magono SR, Mogale AM, Boadou N, Ellof JN. 2010. Yeast alpha glucosidase inhibitory and antioxidant activities of six medicinal plants collected in Phalaborwo, South Africa. South Afri J of Botany 76: 465-470. Shetty, K. 2006. Food Biotechnology. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group Siebert K.J. 1999. Reviews- Effect of protein-polyphenol interaction on beverage haze, stabilization and Analysis. J Agric Food Chem 47 (2) : 353. Siregar CT. 2004. Kebutuhan dasar manusia eliminasi buang air besar [makalah]. Sumatera Utara: Program Studi Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Siro MR, Lovgren T. 1978. On the properties of alpha-glucosidase on binding of glucose to the enzyme. PubMed, [Online]. 32(6). Abstract from Acta Chem Scand B. http://www.ncbi.nlm.nih.gov, Acta Chem Scand B. [19 Oktober 2011]. Strycharz S, Shetty K. 2002. Effect of Agrobacterium rhizogenes on phenolic content of Mentha pulegium elite clonal line phytoremediation applications. Process Biochemistry (38): 287-293. Suarsana IN, Priosoeryanto P, Bintang M, Wresdiyati T. 2008. Aktivitas daya hambat enzim αglukosidase dan efek hipoglikemik ekstrak tempe pada tikus diabetes. J Vet 9 (3): 122-127. Tadera K, Minami Y, Takamatsu K, Matsuoka T. 2006. Inhibition of α-glucosidase and α-amylase by flavonoids. J Nutrion Sci and Vitamin 52 (2): 149:153. Tanaka T, Matsuo Y, Kouno I. 2009. Production of theaflavins, theasinensins, and related polyphenols during tea fermentation. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 5976 Thalapeneni NR, Chidambaram KA, Ellapan T, Sabapathi ML, Mandal SC. 2008. Inhibition of carbohydrate digestive enzymes by Talinum portulacifolium (Forssk) leaf extract. J Compl Integ Med 5 (1): 1-10. Tirtasujana DR. 1997. Mempelajari aspek pengolahan teh hitam CTC di PT. Perkebunan Gunung Mas, Bogor, Jawa Barat [laporan praktek magang]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Tuminah S. 2004. Teh (Camelia sinesis O.K. Var Assamica (Mast)) sebagai salah satu sumber antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran 44: 52-54. Ullah MR. 1991. Tea. Di dalam Fox PF (ed.). Food Enzymology Volume 2. London and New York: Elvisier Applied Science, pp 163-177 Ummah MK. 2010. Ekstraksi dan pengujian aktivitas antibakteri senyawa tanin pada daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi l.) (kajian variasi pelarut). [skripsi]. Malang: Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Valant-Vetschera KM, Wollenweber E. 2006. Flavons and Flavonols. Di dalam: Andersen J, Markham A (eds.). Flavonoids. USA: CRC Press, pp 254-285 Volgina TN, Kukurina OS, Novikov VT. 2005. Study of phenol destruction by means of oxidation. Chem for Sustain Develop 13: 41-44
45
Wan X, Li D, Zhang Z. 2009. Green and black tea manufacturing and consumption. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 1-8. Waterhouse, A. L. 2002. Determination of Total Phenolic-Current Protocol in Food Analysis Chemistry. John Willey and Sons, Inc. Whampler DJ. 2011.Technical reports on tea. http://www.sensusflavors.com./t-r-tea.html [14 September 2011] [WHO] World Health Organization. 2011. Diabetes. http://www.who.int/en/ [12 Mei 2010] Widowati S. 2007. Pemanfaatan ekstrak teh hijau dalam pengembangan beras fungsional untuk penderita diabetes melitus [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Willet W, Manson J, Liu S. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk of type 2 diabetes. Am J Clin Nutr 76(1):274S-280S. Winarno FG. 1995. Enzim Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Wong C, Cheng K., Chao J, Wang M. 2009. Analytical methods for bioactive compounds in teas. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 77-110 Yang Li. 2009. Optimum extraction process of polyphenol from the bark of Phyllanthus emblica L. Based on the response surface methodology. J Separation Sci 12: 143 Zajoncova L, Kosina P, Vicar J, Ulrichova J, Pec P. 2005. Study of the inhibition of α-amylase by the benzo[c]phenanthridine alkaloids sanguinarine and chelerythrine. J Enzyme Inhibit & Med Chem 20(3): 261-267. Zega. 2010. Pengembangan produk jelly drink berbasis teh (Camelia sinensis) dan secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai pangan fungsional [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Zhang J, Kashket S. 1998. Inhibition of salivary amylase by black tea nad green teas and their effects on the intraoral and hydrolysis of starch. Forsyth Dental Center, [Online]. 32 (3). Abstract from Center for Research on the Oral and Biological Effects of Foods database. http://www.content.karger.com. Center for Research on teh Oral and Biological Effects of Foods. [14 September 2011].
46
LAMPIRAN
47
Lampiran 1. Diagram alir proses ekstraksi teh hitam
4 gram teh hitam diseduh dalam 100 ml air suhu 70oC atau 100oC 20 g Penyeduhan selama 5,15, dan 30 menit
Penyaringan dengan kain saring
Sentrifuse 3500 rpm 10 menit
Penyaringan dengan penyaring vakum
Penepatan volume sampai 100 ml dengan akuades
Ekstrak teh 20 g
48
Lampiran 2. Data pH ekstrak awal
Kondisi ekstraksi 70oC 5 menit 70oC 15 menit 70oC 30 menit 100oC 5 menit 100oC 15 menit 100oC 30 menit
Ulangan
pH
1
5.00
2
5.01
1
4.93
2
5.08
1
5.11
2
5.00
1
5.10
2
4.93
1
5.01
2
5.08
1
4.94
2
4.92
Rata-rata 5.00 5.00 5.06 5.02 5.04 4.93
49
Lampiran 3. Hasil uji statistik pH ekstrak awal teh hitam
Univariete Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.019a
5
.004
.677
.657
301.101
1
301.101
5.244E4
.000
Suhu
.002
1
.002
.327
.588
Waktu
.002
2
.001
.184
.836
Suhu * Waktu
.015
2
.008
1.345
.329
Error
.034
6
.006
Total
301.155
12
.054
11
Corrected Model Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .361 (Adjusted R Squared = -.172)
50
Lampiran 4. Data inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal
Perlakuan Ekstraksi
Ul
1
70oC 5 menit
2 70oC 15 menit 70oC 30 menit 100oC 5 menit 100oC 15 menit 100oC 30 menit Acarbose (Kontrol Positif)
Ekstrak setelah diberi pengaturan simulasi pH pencernaan
Ekstrak awal RataInhibisi Rata (%) (%) 92.07 94.60 97.14
1
94.95
2
95.31
1
98.51
2
97.32
1
96.39
2
98.68
1
96.88
2
95.19
1
89.21
2
89.08
1 2
99.16
Inhibisi (%) 70.07
72.66
75.24 87.98
95.13
87.14
86.30 10.87
97.92
10.40
9.92 85.58
97.54
85.40
85.22 24.16
96.04
23.04
21.91 24.38
89.14
23.62
22.85 84.99
99.12
99.08
Rata-Rata (%)
85.19
85.38
Contoh perhitungan Kondisi ekstaksi 70oC 5 menit (Ulangan 1) Absorbansi Blanko = 0.074 Absorbansi Kontrol A = 0.490 Absorbansi Kontrol B = 0.802 Absorbansi Sampel = 0.835 %
=
(
)−( −
− (
%
= %
− )
)
(0.490 − 0.074) − (0.835 − 0.802) (0.074 − 0.490) =
%
(0.416) − (0.033) 0.416 = 92.07
100
100
100
51
Lampiran 5. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Inhibisi oleh ekstrak awal Type III Sum of Source
Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
100.853a
5
20.171
6.844
.018
108438.744
1
108438.744
3.679E4
.000
8.118
1
8.118
2.754
.148
Waktu
14.536
2
7.268
2.466
.165
Suhu * Waktu
78.199
2
39.099
13.266
.006
Error
17.684
6
2.947
Total
108557.281
12
118.537
11
Corrected Model Intercept Suhu
Corrected Total
a. R Squared = .851 (Adjusted R Squared = .726)
52
Lampiran 6. Hasil uji statistik interaksi suhu dan waktu ekstrak awal terhadap inhibisi amilase
One way ANOVA Inhibisi amilase oleh ekstrak awal Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
129.099
6
21.516
17.687
7
2.527
146.786
13
F 8.516
Sig. .006
53
Lampiran 7. Uji lanjut Duncan faktor interaksi suhu dan waktu inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak awal
Pos Hoc Test Homogeneous Subsets Inhibisi amilase oleh ekstrak awal Duncan Subset for alpha = 0.05 Interaksi 100oC 30’ o
N
1 2
2
3
89.1450
70 C 5’
2
94.6050
70oC 15’
2
95.1300
95.1300
o
100 C 15’
2
96.0350
96.0350
100oC 5’
2
97.5350
97.5350
70 C 30’
2
97.9150
97.9150
Acarbose
2
o
Sig.
99.1200 1.000
.093
.052
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
54
Lampiran 8. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro
One way ANOVA Inhibisi alfa amilase setelah melewati proses pencernaan in vitro Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
14351.096
6
2391.849
19.070
7
2.724
14370.166
13
F 877.980
Sig. .000
55
Lampiran 9. Hasil uji lanjut Duncan statistik inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro
Pos Hoc Test Homogeneous Subsets Inhibisi alfa amilase setelah melewati proses pencernaan in vitro Duncan HSD Subset for alpha = 0.05 Interaksi
N
1
2
70oC 30’
2
o
100 C 15’
2
23.0350
100oC 30’
2
23.6150
o
70 C 5’
2
Acarbose
3
4
10.3950
72.6550
2
85.1855
o
2
85.4000
70 C 15’
2
87.1400
100 C 5’ o
Sig.
1.000
1.000
1.000
.880
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
56
Lampiran 10. Hasil uji t-test inhibisi enzim alfa amilase
Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Awal
95.0608
12
3.28269
.94763
Seteleah melalui pencernaan in vitro
50.3733
12
33.42912
9.65016
Paired Samples Correlations N Pair 1
Awal & Setelah melalui pencernaan in vitro
Correlation 12
Sig. .172
.592
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
Awal-Setelah melalui pencernaan in vitro
57
57
4.46875E1
Std. Deviation 33.02169
Std. Error Mean 9.53254
Lower 23.70652
Upper 65.66848
t
df 4.688
Sig. (2-tailed) 11
.001
Lampiran 11. Data inhibisi enzim alfa glukosidase teh hitam
Perlakuan Ekstraksi
70oC 5 menit
Ul
1 2
70oC 15 menit 70oC 30 menit 100oC 5 menit 100oC 15 menit 100oC 30 menit Acarbose (Kontrol Positif)
Ekstrak awal RataInhibisi Rata (%) (%) 95.80 95.96 96.11
1
95.65
2
96.27
1
97.20
2
99.53
1
92.15
2
90.52
1
81.86
2
82.98
1
98.83
2
100.00
1 2
99.86 99.88
95.96 98.36 91.34 82.32 99.42 99.87
Ekstrak setelah diberi pengaturan simulasi pH pencernaan
Inhibisi (%) 90.91 90.21 95.96 99.53 95.88 96.43 87.72 86.48 98.60 98.14 96.74 99.14 99.46 99.51
Rata-Rata (%) 90.56 97.74 96.15 87.10 98.37 97.94 99.49
58
Lampiran 12. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Inhibisi oleh ekstrak awal Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
398.987a
5
79.797
82.000
.000
105787.741
1
105787.741
1.087E5
.000
98.728
1
98.728
101.454
.000
Waktu
190.490
2
95.245
97.875
.000
Suhu * Waktu
109.768
2
54.884
56.399
.000
Error
5.839
6
.973
Total
106192.566
12
404.825
11
Corrected Model Intercept Suhu
Corrected Total
a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .974)
59
Lampiran 13. Hasil uji statistik faktor suhu penyeduhan terhadap inhibisi enzim alfa glukosidase
Suhu Dependent Variable:Inhibisi glukosidase oleh ekstrak awal 95% Confidence Interval Suhu
Mean
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
70oC
96.760
.403
95.775
97.745
o
91.023
.403
90.038
92.009
100 C
60
Lampiran 14. Hasil uji statistik faktor waktu penyeduhan terhadap inhibisi enzim alfa glukosidase
Duncan Subset Waktu
N
1
15’
4
5’
4
30’
4
2
3
89.1400
Sig.
93.6450 98.8900 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .973.
61
Lampiran 15. Hasil uji statistik interaksi suhu dan waktu penyeduhan ekstrak dan Acarbose pada inhibisi enzim alfa glukosidase
One way ANOVA Inhibisi alfa glukosidase oleh ekstrak awal Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
460.256
6
76.709
5.839
7
.834
466.095
13
F 91.962
Sig. .000
62
Lampiran 16. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan ekstrak dan Acarbose pada inhibisi enzim alfa glukosidase
Post Hoc Tests Homogenous Subsets Inhibisi glukosidase ekstrak awal Duncan Subset for alpha = 0.05 Interaksi 100oC 15’
N
1 2
2
3
4
82.3200
o
100 C 5’
2
70oC 5’
2
95.9550
70 C 15’
2
95.9600
70oC 30’
2
98.3650
o
100 C 30’
2
99.4150
Acarbose
2
99.8700
o
Sig.
91.3350
1.000
1.000
.996
.157
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
63
Lampiran 17. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa glukosidase oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro
One way ANOVA Inhibisi oleh alfa glukosidase setelah melewati proses pencernaan in vitro Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
260.616
6
43.436
10.519
7
1.503
271.135
13
F 28.905
Sig. .000
64
Lampiran 18. Hasil uji lanjut Duncan untuk inhibisi enzim alfa glukosidase oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro
Pos Hoc Test Homogeneous Subsets
Inhibisi glukosidase setelah melalui proses pencernaan in vitro Duncan Subset for alpha = 0.05 Interaksi 100oC 5’ o
N
1 2
2
3
4
87.1000
70 C 5’
2
70oC 30’
2
96.1500
70 C 15’
2
97.7450
97.7450
100oC 30’
2
97.9400
97.9400
100 C 15’
2
98.3700
98.3700
Acarbose
2
o
o
Sig.
90.5600
99.4850 1.000
1.000
.131
.221
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
65
Lampiran 19. Hasil uji t-test inhibisi enzim alfa glukosidase
Paired Samples Statistics Mean Pair 1
N
Std. Deviation
Std. Error Mean
Awal
93.8917
12
6.06649
1.75124
Setelah melalui pencernaan in vitro
94.6442
12
4.58220
1.32277
Paired Samples Correlations N Pair 1
Correlation
Awal & Setelah melalui proses pencernaan in vitro
12
Sig. .006
.984
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Mean Pair 1
Awal & Setelah melalui proses pencernaan in vitro
-.75250
Std. Deviation 7.57933
Std. Error Mean 2.18796
Lower -5.56818
Upper 4.06318
t
df -.344
Sig. (2-tailed) 11
.737
66
Lampiran 20. Tabel dan kurva standar asam galat
Konsentrasi Asam Galat (ppm)
Absorbansi
50
0.144
100
0.335
150
0.496
200
0.768
250
1.018
Kurva Standar Asam Galat 1.2
y = 0.0044x - 0,.021 R² = 0.9902
Absorbansi
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
50
100
150
200
250
300
Konsentrasi (ppm)
67
Lampiran 21. Data total fenol
Kondisi Ekstraksi 70oC 5’
Ulangan
Absorbansi
Konsentrasi (ppm)
1
0.244
78.66
Konsentrasi (mg GAE/g) 19.66
2
0.233
76.16
19.04
1
0.241
77.98
19.49
2
0.240
77.75
19.44
1
0.241
77.98
19.49
2
0.242
78.20
19.55
1
0.228
75.02
18.76
2
0.218
72.75
18.19
1
0.291
89.34
22.34
2
0.308
93.20
23.30
1
0.218
72.75
18.19
2
0.223
73.89
18.47
o
70 C 15’ 70oC 30’ 100oC 5’ 100oC 15’ 100oC 30’
Rata-rata (mg GAE/g) 19.35 19.46 19.52 18.48 22.82 18.33
Cara pengenceran: 100 ml ekstrak teh (mengandung 4 gram bubuk teh) diambil sebanyak 1 ml kemudian diencerkan sampai dengan 10 ml dengan akuades. Dari pengenceran tersebut, diambil 0.5 ml untuk dilakukan pengujian total fenol. Contoh perhitungan:
Kondisi ekstraksi 70oC 5 menit (Ulangan 1) Persamaan garis dari kurva asam galat = 0.0044 – 0.1021 (y= Absorbansi, x =konsentrasi) 0.244 = 0.0044 − 0.1021 = 78.66 atau = 78.66 /
Konversi ke Gallat Acid Equivalent (GAE) =
= 78.66
= 19.66
0.5
10 0.5
100 1
4
1
(
1
1 1000
)
68
Lampiran 22. Hasil uji statistik total fenol
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Total fenol Type III Sum of Source
Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
a
26.625
5
5.325
37.251
.000
4638.187
1
4638.187
3.245E4
.000
.555
1
.555
3.880
.096
Waktu
13.187
2
6.594
46.125
.000
Suhu * Waktu
12.883
2
6.442
45.061
.000
Error
.858
6
.143
Total
4665.670
12
27.483
11
Corrected Model Intercept Suhu
Corrected Total
a. R Squared = .969 (Adjusted R Squared = .943)
69
Lampiran 23. Hasil uji lanjut Duncan untuk waktu penyeduhan total fenol
Pos Hoc Test Homogeneous Subsets Total fenol Duncan Subset Waktu
N
1
2
5’
4
18.9125
30’
4
18.9250
15;
4
Sig.
21.1425 .964
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,143.
70
Lampiran 24. Uji statistik interaksi suhu dan waktu penyeduhan total fenol One way ANOVA Total fenol Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
26.625
5
5.325
.858
6
.143
27.483
11
F 37.251
Sig. .000
71
Lampiran 25. Uji lanjut Duncan untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan total fenol
Pos Hoc Test Homogeneous Subsets
Total fenol ekstrak awal Duncan Subset for alpha = 0.05 Interaksi 100oC 30’
N
1
2
2
18.3300
o
100 C 5’
2
18.4750
70oC 5’
2
o
3
4
18.4750 19.3500
19.3500
70 C 15’
2
19.4650
70oC 30’
2
19.5200
o
2
100 C 15’ Sig.
22.8200 .715
.060
.678
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
72
Lampiran 26. Data kadar tanin
Kondisi ekstraksi
Ulangan
Berat kertas kosong (g)
70oC 5’
1 2
70oC 15’ 70oC 30’ 100oC 5’ 100oC 15’ 100oC 30’
0.5787
Berat endapan + kertas (g) 0.6105
Berat endapan (g) 0.0318
Kadar Tanin (%) 3.18
0.5801
0.6110
0.0309
3.09
1
0.5700
0.6073
0.0373
3.73
2
0.5744
0.6173
0.0429
4.29
1
0.5793
0.6227
0.0434
4.34
2
0.6019
0.6424
0.0405
4.05
1
0.5808
0.6151
0.0343
3.43
2
0.5859
0.6195
0.0336
3.36
1
0.5402
0.5729
0.0327
3.27
2
0.5693
0.5977
0.0284
2.84
1
0.6015
0.6118
0.0103
1.03
2
0.5929
0.6061
0.0132
1.32
Rata-Rata (%) 3.14 4.01 4.20 3.40 3.06 1.18
Contoh perhitungan Kondisi ekstraksi 70oC 5 menit (Ulangan 1)
Berat endapan = (berat endapan + kertas) – berat kertas kosong Volume ekstrak = 100 ml (mengandung 4 gram bubuk teh) Volume ekstrak yang diuji = 25 ml Berat ekstrak yang diuji = 4=1 jadi, dalam 25 ml ekstrak terkandung 1 gram bubuk teh hitam. =
100%
= 3.18%
=
0.0318 1 3.18
⁄100
100%
73
Lampiran 27. Hasil uji statistik kadar tanin
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kadar tanin Type III Sum of Source
Squares
Df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
11.602a
5
2.320
40.965
.000
Intercept
119.890
1
119.890
2.117E3
.000
Suhu
4.600
1
4.600
81.220
.000
Waktu
1.502
2
.751
13.255
.006
Suhu * Waktu
5.500
2
2.750
48.547
.000
Error
.340
6
.057
Total
131.832
12
11.941
11
Corrected Total
a. R Squared = .972 (Adjusted R Squared = .948)
74
Lampiran 28. Nilai rataan pada suhu yang berbeda nyata pada kadar tanin (Hasil uji lanjut Duncan untuk suhu penyeduhan tidak ditampilkan karena kurang dari tiga jenis)
Suhu Dependent Variable:Kadar tanin 95% Confidence Interval Suhu o
Mean
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
70 C
3.780
.097
3.542
4.018
o
2.542
.097
2.304
2.779
100 C
75
Lampiran 29. Hasil uji Duncan untuk waktu penyeduhan kadar tanin
Pos Hoc Test Homogeneous Subsets Kadar tanin Subset Waktu Duncan HSDa 30’
N
1 4
2
2.6850
5’
4
3.2650
15’
4
3.5325
Sig.
1.000
.320
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .057. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
76
Lampiran 30. Hasil uji statistik untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin
One way ANOVA Kadar tanin Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
Df
Mean Square
11.602
5
2.320
.340
6
.057
11.941
11
F 40.965
Sig. .000
77
Lampiran 31. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin
Pos Hoc Test Homogeneous Subsets
Kadar tanin ekstrak awal Duncan Subset for alpha = 0.05 Interaksi o
N
1
2
3
100 C 30’
2
100oC 15’
2
3.0550
70 C 5’
2
3.1350
100oC 5’
2
3.3950
o
o
1.1750
70 C 15’
2
4.0100
70oC 30’
2
4.1950
Sig.
1.000
.216
.466
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
78
Lampiran 32. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim alfa amilase
Correlations Inhibisi Amilase
Pearson Correlation
Fenol 1
Sig. (2-tailed) N Fenol
.298 .566
6
6
Pearson Correlation
.298
1
Sig. (2-tailed)
.566
N
6
6
79
Lampiran 33. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim glukosidase
Correlations InhGlukosidase Glukosidase
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
Fenol
Fenol -.825* .043
N
6
6
Pearson Correlation
*
1
Sig. (2-tailed) N
-.825
.043 6
6
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
80
Lampiran 34. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa amilase
Correlations Inhibisi Amilase
Pearson Correlation
Tanin 1
Sig. (2-tailed)
.017
N Tanin
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.892*
6
6
.892*
1
.017
N
6
6
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
81
Lampiran 35. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa glukosidase
Correlations InhGlukosidase Glukosidase
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N Tanin
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Tanin -.119 .823
6
6
-.119
1
.823 6
6
82