Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya Dewi Kharisma Michellia
Rekaman Suara dalam Keping CD 24 Juli 2008
SEEKOR anjing melolong di jalanan luar kamarku. Di benakku selalu ada pesta-pesta yang tak selesai. Orang-orang bernyanyi di tengah cahaya lilin. Di sekelilingnya kupu-kupu mengepakkan sayapnya yang rapuh. Foto-foto dan kartu-kartu tarot bertebaran di atas meja. Ketika aku mendekat, ia beserta meja itu lenyap seketika. Wajah-wajah bahagia menyeringai dan tertawa. Aku menutup telinga dan mereka lantas menangis, menusuk mata, menyobeki hidung, dan membakar seluruh wajah. Sepasang tubuh berguling menikmati senggama, bergelinjang di ranjang seberang ruangan. Darah meluber pada kemaluan mereka. Aku membuka pintu dan melangkah ke luar rumah. Badai datang. Kututup lagi pintu. Jarum jam di dinding terpaku pada angka dua belas. Tumpukan makanan basi di atas meja dapur tak diambil seorang pun, kecuali seorang mantri yang membedah perut jenazah dan memasukkannya ke dalam rahim jasad mati itu. Di setiap sudut ruangan, perasaan hampa seolah-olah diizinkan bermukim selamanya. Terlihat dari jendela, langit yang muram menumpahkan tangis sewarna darah. Langit itu kemudian berwarna jingga, lalu hijau toska. Dari kejauhan matahari yang laksana bola api bulat sempurna lantas melesat, mengerut, dan meluap bak karamel. Permukiman, makam-makam, gedung-gedung, lahan peternakan, dan persawahan tertelan ke angkasa. Samudra tumpah ke tepian pantai. Hujan, kemarau, dan keempat musim berganti dalam hitungan menit. Kejadian-kejadian di muka bumi terus mengulang dirinya sendiri. Pada akhirnya, kau kemudian muncul dari mana pun itu, bangkit dari kubur, jatuh dari langit, terempas ke tepian pantai, atau tiba-tiba muncul di depan pintu kamarku. Semua mimpi burukku selalu memusar pada satu ingatan itu. Malam ini, aku kembali memimpikannya. Namun, ketika aku terbangun dan meneriakkan namamu, hanya seekor anjing yang menyahut dengan lolongan panjang dari luar apartemenku. Bahkan dalam mimpi, kita tak pernah punya kesempatan bicara.
Surat Ke-1 23 Juli 2008
SEJAK kecil kita berdua selalu merasa diri kita adalah alien-alien yang tersesat ke Bumi. Kau dan aku bukan manusia, ujarmu suatu waktu. Pernah selama bertahun-tahun, kita tak terlepaskan. Kau bilang kau selalu dapat mendengar apa yang tak kuucapkan, dan kau seperti dapat mengetahui segalanya tanpa aku banyak bicara. Kau bilang kita dapat mengirimkan sinyal-sinyal yang hanya kita saja yang tahu. Kau bilang kita barangkali adalah pasangan alien sejati. Di bawah pohon beringin besar di pekarangan rumahmu, kita sempat mengaitkan kelingking dan berjanji untuk saling setia, dan kau kelepasan bicara. Kau mengikrarkan, kelak kita juga akan menikah seperti manusia kebanyakan. Aku tak mengoreksinya. Aku sepakat. Kurasa kita memanglah manusia biasa—yang hanya tidak pernah sesuai dengan lingkungan tempat kita tinggal. Aku tak pernah bisa berkawan dengan orang lain lagi. Di sekolah, aku selalu menempel denganmu. Sekian tahun kau menempati bangku di sisiku. Sewaktu kita sangat memuja nilai dan prestasi, tiap tahun kita bertukar posisi menjadi peringkat satu dan peringkat dua di kelas. Apa pun yang kausuka, yang kaukagumi, selera bacaan, makanan, dan tempat persinggahan, kita selalu mengetahuinya tanpa berahasia. Pun ketika kau memulai kebenciankebencianmu pada dunia—dan mendeklarasikan diri sebagai seorang misantrop—dengan berusaha demikian keras menghancurkan hidupmu, aku masih selalu bersedia kauajak untuk bersama-sama menggagalkan hidup. Aku terlambat menyadari, aku tak akan selamanya bisa bergantung kepadamu. Kita berakhir dengan ketertarikan berbeda. Nilai-nilai kita bersilangan pada banyak mata pelajaran. Kemudian kita tak mengambil jurusan kuliah yang sama. Meskipun memutuskan untuk berkuliah di kota yang sama, kita makin jarang bertemu karena kau sibuk dengan duniamu. Buku-buku picisan yang dulu pernah kita baca ternyata tak menipu melalui frase “sibuk dengan dunia sendiri”; keadaan semacam itu benar-benar eksis.
Padahal, kalau saja kau meminta kehadiranku, aku selalu bisa meluangkan waktu. Sewaktu kuliah, agendaku hanya kuisi dengan berpindah dari gunung ke laut, ke danau, ke candi, ke gua, sambil membuat catatan-catatan kecil. Kau bisa menemuiku di mana pun itu. Aku akan tinggalkan segalanya untukmu. Bila kau memang alien, seharusnya kau bisa menemaniku berkelana mengelilingi dunia. Kita dapat menemukan takdir-takdir yang orang lain enggan jelajahi. Kau bilang aku kameradmu. Namun, nyatanya kau kemudian berakhir di kursi kamarmu, tak pernah bersedia kutemui. Kalaupun tidak berada di rumah, kau bekerja dari pukul delapan pagi hingga lima sore. Bahkan setelah rekan-rekanmu pulang dari tempat kerja, kau betah melembur di gedung dua belas lantai itu. Dan kau tiba-tiba menjadi lebih manusia daripada manusia-manusia yang selama ini kita anggap satire. Setiap kali kemudian kita terpaksa bertemu, kau selalu mengingatkanku untuk beroleh kabar terbaru tentang dunia. Agar sedikitnya aku menyerupaimu. Kau bilang, bacalah surat kabar, dengarkan perkataan orang-orang penting di televisi, percayai pemerintahmu, dan taatlah membayar pajak. Sebagai manusia yang pernah menipu diri dan menganggap dirinya alien, hingga kini aku masih tak pernah peduli apa kata orang tentang dunia. Karena bagiku—entah bagimu— masa ini pun akan tersilap dan mengabur bersama waktu. Dan, Tuan Alien, aku yakin kau pun lebih tahu ketimbang aku tentang pajak-pajak yang larinya bukan ke pemerintah yang dapat kita percaya. Kenyataannya, aku tak tahu mengapa aku menuruti perkataanmu, hari ini aku berlangganan lima surat kabar lokal dan nasional. Setiap sekian tahun aku memperbaharui kartu identitas dan tak pernah lupa membayar tagihan yang menggunung banyaknya. Aku baca pembaruan kabar rekan-rekanku dan berinteraksi dengan mereka bahkan lebih intens, meskipun aku tak sepenuhnya menikmati kehidupan manusia kebanyakan. Sebagaimana manusia biasa, aku kerap tak punya waktu menghiraukan apa pun lagi. Pergi ke mal, menonton film ke bioskop, menghabiskan jam malam dengan berdansa di diskotek-diskotek, tanpa tahu apa yang sebenarnya kuinginkan. Namun sekarang, sewaktu menerima suratmu lagi, entah kenapa diriku yang hilang itu kutemukan kembali. Aku merasa ada yang perlu aku pedulikan, dan aku ingat apa yang
aku inginkan. Mungkin aku selama ini ingin kau kembali, tetapi enggan menemuimu dan mengatakannya secara langsung. Meskipun sepertinya aku sudah terlambat. Mungkin kini aku hanya bisa mengucapkan selamat. Secara garis besar, balasan suratku ini mengantarkan ucapan selamat tinggal dan selamat menempuh hidup baru. Dan mungkin karena ini adalah surat pertama sekaligus surat terakhirku untukmu, aku akan menuliskannya agak panjang. Seperti sekian tahun lalu pada masa kecil kita, aku selalu menceritakan kepadamu apa pun yang terjadi di kehidupanku. Sebelum kau melupakan kawan masa kecilmu ini untuk selamanya, aku ingin membagi kisah hidupku beberapa tahun belakangan. Saat menerima suratmu pekan lalu, aku sedang membaca tulisanmu di surat kabar. Satpam apartemen tiba-tiba mengabariku bahwa tukang pos datang mengantar suratmu, dan ia menungguku di bawah. Teh tawarku seketika itu juga terasa pahit. Hampir saja aku memuntahkan teh di atas kolommu. Aku buru-buru mengganti piyama, berkaus, dan tanpa bra aku berlari ke gerbang apartemen. Tukang pos itu lantas berdiri lama di sana, menantiku menandatangani tanda terima, sementara aku masih membaca suratmu sampai habis. Kau keterlaluan. Kau selipkan kartu undangan pernikahan dalam surat pertamamu selama puluhan tahun ini. Beserta sebuah bingkisan besar. Untukku, yang isinya hanya kebaya murah yang harus kukenakan menghadiri resepsimu, dengan selipan kartu yang berisi tulisan “datanglah sebagai sahabat kecilku yang manis dengan kebaya ini”. Kau benar-benar seolah-olah meledekku yang masih melajang hingga usia 41. Aku bisa membeli kebaya yang lebih mahal, kalau kau mau tahu. Aku tak perlu melanjutkan apa yang kurasakan ketika menerima kirimanmu. Bila aku benar-benar meluapkan perasaanku, tukang pos itu mungkin telah kucincang menjadi seribu potong dan kubekukan di lemari es, kumasak, lalu kuantarkan ke pestamu. Untung saja ia bernyawa panjang. Pada akhirnya aku justru menyelipkan selembar lima puluh ribu rupiah ke sakunya. Ia hanya nyengir, tak sadar ia hampir hilang usia. Selamat karena kau mendapatkan gadis yang cantik. Lulusan magister luar negeri. Sastrawan nasional. Disukai banyak orang. Dia sangat tepat menjadi pendampingmu. Kau yang juga lulusan luar negeri. Tulisan-tulisan intelektualmu selalu dinanti-nanti. Mana pantas aku mengisi hidupmu lagi? Sewaktu melihat nama calon istrimu, aku buru-buru mencari tahu
segala hal tentangnya melalui internet. Mengejutkan, tidak sepertimu yang serbarahasia, gadismu bahkan menjelmakan romantika kalian menjadi buku cerita. Aku tak pernah bisa melakukan hal semacam itu. Kau tahu aku tak pernah mampu menunjukkan perasaanku. Selama bertahun-tahun kau pergi, yang kulakukan hanyalah terusmenerus menolak para pria—terkadang juga perempuan—yang datang. Banyak di antara teman lesbianku menyangka aku menunggu seorang perempuan yang dapat kucintai. Sementara para pria yang kutolak selalu mengarang cerita bohong tentang alasan penolakanku. Namun aku selalu membiarkannya. Aku masih menganggap yang patut kuperjuangkan hanyalah hubungan yang pernah terjalin di antara kita. Meski mungkin bahkan pada masa kecil kita, kau muak dengan hubungan kita yang tak pernah ternamai. Sejatinya, nama bukanlah esensi dalam suatu hubungan. Toh, tiga perempat manusia di dunia ini menikahi orang-orang yang salah dan karenanya kehidupan rumah tangga mereka tak pernah memberi kebahagiaan. Entah mereka pernah mengharapkan hubungan yang bermakna, ataukah hanya menuruti pola umum dari tuntutan para orangtua: “Kapan lulus? Bekerja di mana? Kapan menikah?.” Mereka yang menikah barangkali hanya membayangkan sekadar kesenangan seperti di taman hiburan. Mereka bisa jadi selalu membenci satu sama lain dan acap mengatakan hal buruk tentang pasangan masing-masing, lantas menjadikan diri lebih superior. Salah satu dari mereka kemudian menjadi pusat perhatian. Seperti kedua kakakku yang akan selalu menempel dengan Ibu, dan aku yang hanya dapat dekat dengan Ayah. Dalam hidup aku dan kakak-kakakku, orangtua kami merupa dua kutub bumi, yang justru saling mengisi. Aku pernah diberitahu teman kerjaku, hubungan romantis antara dua orang bisa diibaratkan rangkaian permainan puzzle. Banyak orang tak pernah menyadari kepingankepingan berbeda yang membentuk puzzle yang utuh dan membantu mereka menyelesaikan permainan. Apa mungkin kau menikahi gadis itu karena kau menemukan perbedaan yang menyerasi semacam itu di antara kalian; dan kau tak menemukannya dalam diriku? Mungkin saja pemikiran-pemikiran kita memang tak pernah saling menyimpang. Kita selalu ada untuk satu sama lain. Tinggi kita sepantaran, bentuk fisik kita tak jauh berbeda, warna kulit kita sama-sama bak sawo matang, retinamu cokelat dan aku juga, bentuk wajah
kita pun mirip. Kita saling menyukai musik, tontonan, dan bacaan yang sama. Dengan segala persamaan kita, aku dan kau justru selalu menganggap kehidupan sebagai semacam labirin dan terlalu suka berkeliling menyesatkan diri. Namun, mungkin ada kesalahan-kesalahan lain yang membentengi kita. Mungkin karena kita selalu menganggap persahabatan adalah label yang paling tepat. Karena kita memiliki hubungan darah. Karena pernikahan untuk kita adalah sebuah pantangan. Dan karena kita melupakan janji kita di bawah pohon beringin itu. Dulu aku pikir kita berdua tak akan pernah menikah bila tidak menikahi satu sama lain. Maka begitulah, seusai pesta topeng pada hari puncak penerimaan mahasiswa baru itu, kita memutuskan untuk pergi dari kehidupan masing-masing. Aku sudah menduga bahwa seumur hidup aku akan melajang dan tinggal di apartemen ini, seumur hidupmu pun kau akan melajang dan tinggal di mana pun itu. Dulu kupikir, bila itu memang benar terjadi, aku mungkin akan mengadopsi lima anak dan memberi mereka nama depan yang kuambil dari lima suku kata namamu. Sekalipun aku pernah bilang kepadamu bahwa aku hanya hendak melahirkan seorang anak. Aku tak tahu bagaimana harus marah dan menunjukkan rasa cemburu. Kau tahu aku tak pernah dapat melakukannya. Di bangku sekolah menengah, aku hanya dapat menatapmu dari kejauhan, membiarkanmu pergi menggandeng tangan gadis lain, sementara aku duduk di perpustakaan, menekuri bukuku. Setelah dengan satu gadis pertamamu itu, kau berkencan dengan sejuta gadis lain. Kau pikat mereka dengan ketampanan dan kejeniusanmu. Dan dengan begitu, aku perlahan berusaha menjauhimu. Selama ini sebenarnya aku hanya menunggumu datang meminta maaf dan mendengar darimu bahwa kau tak akan mengulanginya lagi, dan kau tak akan meninggalkanku lagi, kemudian kau akan ada di sisiku untuk selamanya. Bahkan sampai hari ini pun, kau tak pernah melakukannya. Bertahun-tahun kemudian, kau menyelingkuhi bidang-bidang yang kaucintai sambil tetap bercinta dengan gadis-gadismu. Kau berkuliah, kau habiskan waktumu untuk bekerja, dan kau pergi selamanya dari hidupku. Kau bisa menunjukkan bukti bahwa sudah kodrat manusialah untuk bertemu banyak orang yang mereka pikir akan tepat menjadi jodoh mereka, mencintai banyak di antaranya, meniduri beberapa, dan menikahi salah satunya, ataupun berpoligami dengan cinta-cintamu
yang banyak itu. Kau bahkan dapat mencontohkan hubungan antarhewan yang tak jauh berbeda dari pola itu. Semuanya tak akan membuatku tertarik. Kalau kau perlu tahu—aku hanya punya satu macam mimpi. Aku ingin tinggal di rumah sederhana dengan satu orang yang benar-benar tepat. Bila memang aku harus mencurahkan seluruh perhatianku, kepada satu orang itulah hal itu akan kulakukan. Dan ketika aku harus membagi darahku dan menyatukan dagingku dengannya, aku akan melakukannya dengan satu orang terpilih itu. Aku akan membesarkan anak-anak kami. Hanya kepadanya aku dapat membagi seluruh cerita dan duniaku, memperkenalkan semua orang di hidupku, membiarkan semua hal dalam hidupku menjadi miliknya juga. Termasuk kebahagiaan dan kesedihanku. Kau tahu, kehidupan seperti itu akan menjadi seklise apa yang dibacakan pastor di altar pernikahan dalam film-film. Mencintai gadismu itu sehidup-semati, mencintainya dalam suka maupun duka, mencintainya selamanya. Berpuluh-puluh tahun lamanya, bahkan sejak kali pertama bertemu, aku telah memilihmu dalam setiap doaku. Sesuatu yang tak pernah kauketahui bahkan hingga hari ini. Dan bila kau suruh aku pergi begitu saja, di usiaku yang lebih dari empat puluh ini, aku mungkin telah terlambat untuk mencari penggantimu.
Surat Ke-33 4 April 2011
JEDA memberi kesempatan tumbuh dan berkembangnya suatu hubungan, lebih-lebih hubungan asmara. Namun, jarak yang begitu jauh terkadang justru memutus keterhubungan. Bagiku kini, jarak kita telah mencapai jarak yang harus ditempuh selama jutaan tahun cahaya. Jarak yang tak akan dapat ditempuh dalam usia kita sebagai manusia. Waktu terus bergerak, tetapi ujung usia kebanyakan manusia tak pernah melebihi dua ratus tahun—tak sampai menyentuh hitungan satu tahun cahaya. Tak peduli alat tercanggih dari negeri mana pun yang kita gunakan untuk menempuh jarak itu, kau dan aku—dalam jarak sejauh itu—sudah barang tentu tak akan mungkin lagi bertemu secara fisik. Maka bila surat-suratku ini kelak diberikan judul, aku mungkin akan dengan jail menamainya “Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya”. Udara di sini memang jauh lebih segar daripada di Jakarta. Aku kabur dari rumah sakit setelah sehari dirawat. Malam ini terasa amat dingin. Di bawah keremangan cahaya lampu jalan di taman ini, aku justru mulai menuliskan surat ini. Apa kau dapat membayangkan bila jarak kita hingga berjuta tahun cahaya? Mungkin itulah alasannya mengapa dulu kau datang begitu cepat kemudian tiba-tiba pergi selayaknya komet. Begitu cepatnya, barangkali hanya mereka yang benar-benar alienlah yang dapat melihat kehadiranmu di langit. Aku hanya tak tahu sealien apa istrimu sehingga dia dapat begitu beruntung memiliki Tuan Alien dalam kehidupannya. Jarak di antara kita mungkin akan benar-benar menjadi jutaan tahun cahaya setelah aku mati. Dan itu berarti perlu bertriliun-triliun tahun pula bagiku untuk kembali bertemu denganmu. Apakah kita akan memiliki kesempatan itu lagi dalam takdir pertemuan kita berikutnya?
Kau mungkin bertanya-tanya hal apa yang kelak akan kita lakukan bila kita dapat bertemu kembali dengan jarak sejauh itu. Aku tak tahu pasti jawabannya. Barangkali itu akan sepenuhnya tergantung pada kendaraan yang kita gunakan. Internet tidak menemukan kendaraan macam apa yang dapat menempuh jarak jutaan tahun cahaya. Namun kemudian, kupikir jarak itu mungkin sama jauhnya dengan jarak antara kita dengan Tuhan. Aku lantas mencari nama-nama Tuhan. Aku pun mencari nama kita di sana. Dan kini aku menyadari aku bahkan tidak bisa menemukan diriku sendiri dalam entri di internet. Meski mungkin aku bisa menemukan ratusan entri namaku pada banyak jaringan kehidupan maya, tetapi yang kutemui malam itu, aku sangat yakin—semuanya bukan diriku. Orang-orang mungkin akan berpikir aku sedang menghabiskan waktu. Mencari-cari Tuhan. Membicarakan yang tidak-tidak. Seolah-olah aku tidak percaya bahwa keyakinan memang seharusnya untuk diyakini. Mereka akan bilang; meskipun aku tak percaya bahwa asap timbul karena api, asap tetaplah memang muncul karena api. Aku tahu. Namun ada sesuatu dalam diriku yang bertentangan dalam segala hal denganku. Sesuatu dalam diriku yang bukan aku. Semua orang pada masa ini mengagung-agungkan tentang meditasi, beryoga, dan segala seni melenturkan tubuh; menenangkan diri dengan bertapa. Namun itu semua bukanlah sesuatu yang membuatku tenang. Menulis atau menyanyi yang awalnya adalah terapi pun sudah semakin menyiksa. Aku tak mengerti ke mana lenyapnya semua ketertarikanku terhadap kesukaan-kesukaanku. Aku tak lagi menikmati apa yang dulu pernah kusukai. Hal-hal yang pernah menjadi teman baikku berada semakin jauh dariku. Buku, yang dulu adalah benda yang mampu membuatku mengabaikan gangguan dari sekitar, kini hanyalah benda yang tak mampu menggugah apa pun lagi dalam diriku untuk bahagia. Minimal seperti dulu. Dan lagu-lagu— semakin lama kudengarkan, justru membuat kepalaku sakit. Keindahan—kini bagiku hanya ilusi. Apa yang telah menjadi salah dari diriku? Atau memang mungkin aku harus sekali lagi meminta maaf pada sesuatu di dalam diriku yang menolak segala kebahagiaan yang datang kepadaku. Tak ada siapa pun lagi di sisiku. Aku menjauh dari semua yang datang dan menghindar dari setiap yang ingin tinggal. Yang mampu mengobati diriku sekarang hanyalah
diriku sendiri. Namun, semakin aku mendekati diriku, semakin aku tidak tahu apa sebenarnya yang aku kehendaki dari diriku. Aku meminta maaf setulus-tulusnya, diriku tetap tidak mampu memaafkanku. Aku menemani diriku bermalas-malasan, kutemani diriku berjalan sendirian, kunyanyikan lagulagu masa kecilku untuk diriku, tetapi diriku tetap membenci aku. Kalau kutemani diriku untuk berlari semakin kencang—aku tahu aku tidak akan mampu. Kalau kutemani diriku untuk membuat pesawat yang mampu menerbangkan mereka ke luar semesta dan mencari surga—aku tahu ilmuku tak sampai. Berkali-kali aku bilang kepada diriku untuk berhenti, tetapi diriku itu justru menjadi semakin jauh dariku. Kalau sebagian dari diriku sudah menjauhi teman-temanku dulu karena tidak ada satu pun dari mereka yang sepaham denganku, aku masih coba untuk menemani diriku sendiri. Aku meminta diriku untuk memercayai sesuatu. Diriku bilang segalanya palsu—bahkan sahabat, bahkan kekasih, bahkan keluarga. Lantas, apa aku masih bisa memercayai sesuatu? Apa diriku bisa memercayainya—atau aku hanya akan terus gagal meyakinkan diriku sendiri bahwa ada aku yang bisa dipercayai sepenuhnya oleh diriku? Aku bisa berbicara dengan orang lain. Namun aku bahkan tidak mampu berbicara dengan diriku sendiri. Diriku yang begitu kaku, bersembunyi di pojok, dan tidak pernah mau mendengarkan kata-kataku. Aku tidak tahu sejak kapan diriku terbagi menjadi dua bagian. Atau mungkin lebih. Namun, aku sungguh membenci bagian dari diriku yang tidak pernah mau bersahabat denganku. Sebagian dari diriku tidak memiliki seorang pun sahabat, menolak setiap yang datang dan mengusir setiap yang singgah. Meski aku pikir aku mampu bersahabat dengan diriku yang pemilih itu, tetapi tidak pernah bisa bagian dari diriku itu menyambut tali persahabatan yang kuulurkan. Padahal kami tinggal dalam satu tubuh, berbagi napas yang sama, tetapi separuh bagian diriku tidak pernah mampu menerima kehadiranku. Bahkan ketika aku menangis, sesuatu dalam diriku bekerja semakin keras untuk membuat tangisku tersampaikan semakin laung.
Aku mungkin adalah bagian negatif. Yang menangis, yang ingin berhenti, yang realistis. Dan bagian diriku yang lain, yang angkuh, yang berdiri di pojokan, yang enggan bersahabat denganku itu mungkin adalah bagian positifku. Yang terus berupaya, yang tidak pernah menangis, yang keras hati, yang merdeka, yang idealis. Yang tidak pernah mau kalah. Diriku mungkin adalah bagian yang lemah. Yang seharusnya dimusnahkan. Namun, bukankah ketakutan dan tangis adalah bagian paling dasar dari setiap mereka yang lahir? Ketika terlahir pertama kali, aku menangis, bukan justru tertawa terbahak-bahak. Ketika mencoba mengenali dunia asing di sekitarku, aku mengawalinya dengan perasaan takut. Dan kini setelah sekian lama, telah ada dua bagian dalam diriku. Dan mungkin lebih— karena aku tidak tahu, karena aku tidak kenal, karena aku dijauhi begitu saja. Yang aku ajak berbagi tubuh, tetapi terus-menerus menyakiti. Yang aku ajak berbagi napas, tetapi tak hentinya berlari seolah-olah berniat menghabisiku juga. Sebagian diriku seolah-olah ingin mengajakku mati, meskipun tidak pernah berniat menjadi sahabatku. Mungkin saat ini sebenarnya aku tidak sedang mencari-cari Tuhan—atau mencaricarimu yang ada pada jarak jutaan tahun cahaya. Mungkin tidak mempertanyakan kepercayaanku. Aku hanya mempertanyakan separuh bagian dari diriku. Bahkan aku tak pernah mampu menemukan jalan untuk bernegosiasi dengan diriku yang angkuh itu. Tak pernah ada konsesi. Tak pernah ada kesepakatan. Atau mungkin akulah yang angkuh. Atau mungkin kami hanya berbeda bahasa.