SURAT BATAK SEJARAH PERKEMBANGAN TULISAN BATAK Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII
Uli Kozok
Ecole française d'Extrême-Orient KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 2009
Daftar Isi SURAT BATAK .....................................................8 1
PENDAHULUAN ....................................................9
2
BAHASA DAN KESUSASTRAAN .......................13
2.1 2.2 2.3 2.4
BAHASA.....................................................................14 SASTRA .....................................................................16 HATA PODA ...............................................................17 PUNAHNYA SEBUAH TRADISI .................................19
3
BAHAN-BAHAN REFERENSI..............................21
3.1 3.2 3.3
PERKAMUSAN ..........................................................21 INVENTARISASI NASKAH .........................................22 NASKAH BATAK DI DUNIA MAYA ............................27
4
PENGADAAN NASKAH ........................................28
4.1 4.2 4.3
JENIS BAHAN NASKAH ............................................28 PROSES PEMBUATAN PUSTAHA ............................30 PROSES PEMBUATAN NASKAH BAMBU ................37
5
PUSTAHA DAN ISINYA ........................................39
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
CERITA ......................................................................42 ILMU HITAM ..............................................................42 ILMU PUTIH ...............................................................44 ILMU-ILMU LAINNYA ................................................46 OBAT (TAOAR, TAMBAR, DAON)..............................48 ILMU NUJUM ............................................................48
6
AKSARA BATAK DAN SEJARAHNYA ..............67 ASAL USUL AKSARA BATAK ....................................67 AKSARA BATAK MASUK PERCETAKAN ..................86 URUTAN AKSARA BATAK ........................................94 INA NI SURAT ............................................................96 ANAK NI SURAT ........................................................106 PENYIMPANGAN DARI AKSARA BATAK .................111
6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6
Daftar Isi 7
PEDOMAN MENULIS AKSARA BATAK ...........116
7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 7.9
ANAK NI SURAT ........................................................116 AKSARA A DAN HA ...................................................117 AKSARA I DAN U .......................................................118 VOKAL GANDA & DERETAN VOKAL ........................118 NASALISASI ..............................................................119 KENDALA MORFEMIK ..............................................120 KONSONAN GANDA .................................................121 AWALAN -ER .............................................................122 LATIHAN ....................................................................122
8
TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN .............125
8.1 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6
TRANSLITERASI I / PENYALINAN.............................126 RALAT ........................................................................129 TRANSLITERASI II / PENYUNTINGAN ......................129 TERJEMAHAN ...........................................................131 PENDOKUMENTASIAN .............................................132 CONTOH TRANSLITERASI........................................133
9
AKSARA KOMPUTER ..........................................137
9.1 9.2 9.3 9.4 9.5
KARO .........................................................................138 PAKPAK .....................................................................140 SIMALUNGUN ...........................................................141 TOBA .........................................................................143 MANDAILING .............................................................144
10
VARIAN-VARIAN AKSARA BATAK ...................147
11
JAWABAN ...............................................................151
CAP SINGAMANGARAJA XII ..........................163 KEPUSTAKAAN ...................................................201
5
6
Surat Batak
Prakata Buku saya “Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak” yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2009 sudah lama habis terjual. Hal itu menunjukkan adanya minat untuk mempelajari dan lebih mengetahui aksara Batak. Buku terbitan tahun 1999 itu sekarang diterbitkan ulang dengan berbagai tambahan dan perbaikan. Bagian yang mengalami revisi mendasar adalah bagian yang membahas porhalaan (kalender Batak). Untuk itu, saya sangat berhutang budi pada Bapak H.J.A. Promes, seorang ahli Batak asal Belanda, atas masukannya yang sangat berharga. Selain itu pemulis juga menambahkan satu BAB tentang cap Singamangaraja yang didasari atas artikel berbahsa Inggris yang pernah diterbitkan di majalah Indonesia and the Malay World (Kozok 2000c). Artikel itu disajikan kembali dalam bahasa Indonesia setelah direvisi secara menyeluruh. Seyogyannya dalam buku ini terdapat juga bagian buku mengenai program komputerasi aksara Batak yang belakangan ini dikembangkan oleh pengarang bekerjasama dengan Leander Seige. Akan tetapi karena program tersebut bagaimanapun berada di Internet maka kami persilakan para pembaca untuk singgah di laman untuk mengikuti perkembangan aksara Batak yang terkini:
http://transtoba2.seige.net serta
http://ulikozok.com
Daftar Isi
7
I
Surat Batak
1
PENDAHULUAN
Buku ini menguraikan tradisi dan sejarah tulisan Batak, terutama aksara Batak, dan naskah Batak yang ditulis dengan surat (aksara) Batak. Dengan demikian buku ini bukan pengantar teori filologi yang umum, melainkan pengantar filologi Batak yang isinya terutama mencakup dasar-dasar filologi Batak serta penerapannya. Dengan demikian ruang lingkup karangan ini lebih bersifat praktek daripada teori dan dimaksudkan agar para mahasiswa Batakologi dapat secara ringkas dan praktis memperoleh pengetahuan yang mempersiapkannya untuk membaca dan mentransliterasi (mengalihaksarakan) naskah-naskah Batak. Pembaca yang ingin mengetahui secara lebih mendalam studi filologi Indonesia serta teorinya dipersilakan untuk membaca buku-buku yang telah ada, khususnya Pengantar Teori Filologi (Baried et al. 1994) dan Principles of Indonesian Philology (Robson 1988). Para filolog yang meneliti naskah Batak telah banyak menyumbangkan pengetahuan tentang kesusastraan Batak sebagaimana tertulis di kulit kayu, bambu, dan tulang kerbau. Hampir semua karangan para ahli tersebut tertulis dalam bahasa asing – bahasa Jerman, Inggris, dan Belanda, dan malahan seorang filolog Batak asli, Dr. Liberty Manik, memilih menulis dalam bahasa Jerman. Tulisan mengenai naskah Batak dalam bahasa Indonesia masih sangat langka sehingga banyak orang kurang mengetahui tentang isi buku-buku kulit kayu yang sangat dibanggakan orang Batak itu. Oleh sebab itu dimasukkan beberapa BAB yang menguraikan baik isi pustaha dan naskah-naskah lainnya maupun proses pengadaan naskah tersebut. Para penulis buku bertopik kebudayaan Batak pada umumnya tidak luput memasukkan satu BAB, atau paling tidak sebuah tabel yang me-
10
Surat Batak
muat surat Batak1. Hal ini menunjukkan bahwa orang Batak bangga atas prestasi nenek moyangnya yang telah mampu menciptakan sebuah tulisan sendiri dan mengarang ribuan naskah yang kini tersimpan di museummuseum mancanegara. Sayangnya, tidak satu pun dari susunan aksara Batak tersebut memberikan gambaran yang jelas dan lengkap. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor, pertama karena aksara Batak sudah lama tidak digunakan lagi, dan kedua karena bentuk-bentuk aksara Batak dipengaruhi oleh varian-varian aksara yang mulai akhir abad ke-19 sudah diangkat untuk mencetak buku-buku yang bersifat keagamaan dan pendidikan untuk keperluan zending dan pengajaran. Sebagai hasil dari faktorfaktor tersebut, maka apa yang dianggap sebagai aksara baku sering merupakan hasil penyimpangan. Kendatipun akasara Batak kini dijadikan pelajaran wajib bagi murid SD dan SMP, mutu buku pelajaran masih sangat kurang. Buku pelajaran bahasa daerah (Toba) misalnya yang disarankan oleh Kantor Wilayah Provinsi Sumatra Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai buku bacaan di sekolah lanjutan tingkat pertama penuh dengan kesalahan dan kejanggalan. Keadaan di perguruan tinggi juga memprihatinkan. Sebagaimana telah dialami pengarang saat menjadi dosen luar biasa di jurusan sastra daerah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatra Utara mahasiswa pada umumnya tidak dapat membaca sebuah naskah Batak karena surat Batak yang telah mereka pelajari ternyata kurang lengkap dan kerap kali malahan salah. Salah satu penyebab adalah bahwa sampai sekarang belum ada buku yang secara lengkap membahas seluk-beluk kelima surat Batak dengan segala variasinya. Diharapkan bahwa buku ini dapat mengisi kekosongan tersebut. Buku ini terutama bermaksud untuk mempersiapkan mahasiswa dan khalayak yang menaruh minat pada budaya Batak agar mereka dapat membaca dan mengalihaksarakan naskah-naskah Batak. Karangan ini juja merangkap sebagai pedoman untuk menulis surat Batak – baik pakai
1. Lihat misalnya (Marbun dan Hutapea 1987; Sarumpaet 1994; Sihombing 1986; Situmorang 1983; Tampubolon 2002a; Tampubolon 2002b).
Pendahuluan
11
tangan maupun dengan komputer dengan menggunakan aksara Batak yang dikomputerkan. Bahan-bahan untuk penulisan buku ini berasal dari berbagai sumber melalui penelitian kepustakaan, penelitian lapangan, dan terutama dari pengalaman penulis yang telah lima belas tahun berkecimpung di bidang sastra Batak dan telah membaca dan mentransliterasikan ratusan naskah Batak. Penelitian khusus untuk penulisan buku ini dilakukan selama tiga minggu di Museum für Völkerkunde Berlin, dan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Jumlah naskah yang dievaluasi dan dipetakan dalam upaya perbandingan aksara mencapai kira-kira 200 naskah, kira-kira separuh di antaranya adalah buku kulit kayu (pustaha) dan sisanya merupakan naskah yang ditulis di atas bambu, tulang, dan kertas. Kedua ratus naskah tersebut berasal terutama dari daerah Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing. Evaluasi naskah Karo berdasarkan kirakira 200 naskah Karo telah dilakukan penulis waktu menulis disertasinya (Kozok 2000a), sedangkan naskah Pakpak-Dairi memang sangat langka, dan penulis hanya menemukan sekitar lima naskah saja yang jumlahnya tentu belum cukup untuk sebuah evaluasi yang mendalam. Oleh karena itu, hasilnya yang menyangkut surat Batak Pakpak-Dairi bersifat sementara saja. Definisi istilah ‘Batak’ Kita tidak mungkin menulis mengenai ‘Batak’ tanpa memberikan definisi dulu dengan apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Dewasa ini, istilah Batak sebenarnya sudah jarang dipakai bila merujuk kepada kelompok etnis Batak selain Toba, yaitu Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun serta Angkola-Mandailing. Keempat etnis tersebut sekarang jarang menyandang predikat Batak, namun di zaman prakolonial, dan juga masih di awal penjajahan Belanda, mereka lazim menyebut diri sebagai Batak (Mandailing sudah mulai dijajah pada tahun 1835, tetapi kebanyakan daerah Batak baru menjadi teritorial pemerintahan kolonial pada tahun 1904 atau 1907). Salah satu alasan maka predikat Batak kini jarang dipakai oleh keempat etnik tersebut berkaitan dengan kenyataan bahwa orang Toba cenderung menyebut diri sebagai Batak dan bukan
12
Surat Batak
sebagai Toba. Dengan demikian maka Batak sering dianggap sinonim dengan Toba. Jadi mengapa orang Batak Toba lebih suka menggunakan predikat Batak ketimbang Toba? Sebabnya ialah karena "Toba" sebenarnya nama daerah dan bukan nama suku bangsa. Pada intinya Toba merujuk pada dua daerah saja, yaitu Toba Humbang dan Toba Holbung, sementara Habinsaran, Samosir, Silalahi, Silindung, Uluan, dan beberapa daerah kecil lainnya sebenarnya tidak termasuk daerah Toba. Akan tetapi karena kesamaan dari segi bahasa dan budaya penduduk daerah-daerah itu lazim disebut etnis Toba, terutama oleh orang luar (orang Karo misalnya menyebutnya kalak Teba ‘orang Toba’), dan kemudian juga oleh para ahli bahasa dan antropologi. Karena sampai sekarang, banyak orang Samosir masih tetap merasa janggal bila mereka disebut Toba, dan lebih suka menggunakan istilah Batak saja. Buku ini mengenai aksara Batak, yang dalam bahasa-bahasa Batak disebut Surat Batak. Sekarang sistem tulisan yang ada di Sumatra Utara suka dibedakan antara aksara Toba, Karo, dsb, tetapi dulu semua orang Batak, termasuk Karo, Simalungun, dan Mandailing, menggunakan hanya satu istilah: surat Batak. Oleh karena itu, dan demi menjaga kesederhanaan tulisan ini, istilah ‘Batak’ digunakan bila merujuk kepada semua sub-etnis ‘Batak’, sedangkan istilah Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, Toba dan AngkolaMandailing digunakan bila merujuk pada suatu kelompok sebagaimana telah ditunjukkan pada gambar di halaman berikut.
|
2
BAHASA DAN KESUSASTRAAN
Gambar 1: Peta Linguistik Sumatra Utara
14
Surat Batak
2.1
Bahasa Proto-Batak
PSB
PNB
PT PAM Alas
Karo Dairi
Si
To
An
Ma
Kelima suku Batak memiliki bahasa yang satu sama lain mempunyai banyak persamaan. Namun demikian, para ahli bahasa membedakan sedikitnya dua cabang bahasa-bahasa Batak yang perbedaannya begitu besar sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok tersebut.
Gambar 2: Rumpun Bahasa Batak Bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan, sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Bahasa Simalungun sering digolongkan sebagai kelompok ketiga yang berdiri di antara rumpun utara dan rumpun selatan, namun menurut ahli bahasa Adelaar (1981) secara historis bahasa Simalungun merupakan cabang dari rumpun selatan yang berpisah dari cabang Batak Selatan sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk. Semua dialek bahasa Batak berasal dari satu bahasa purba (protolanguage) yang sebagian kosa katanya dapat direkonstruksikan.2 Linguistik historis komparatif adalah bidang linguistik yang menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa serta menyelidiki perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain. Dengan metode tersebut dapat diketahui bahwa misalnya kata untuk bilangan 3 (tiga) dalam bahasa Batak Purba adalah tělu. Bentuk ini sampai sekarang diwariskan oleh rumpun Batak Utara, sedangkan rumpun Batak Selatan mengalami pergeseran dari [ə] menjadi [o] sehingga tělu berubah menjadi tolu.3 Dengan cara perban-
2. Bahasa purba adalah sebuah bahasa yang menjadi perintis dari bahasa yang saling berhubungan yang membuat sebuah rumpun bahasa. Bahasa purba tersebut dapat direkonstruksikan dengan metode komparatif yang dapat menentukan kekerabatan bahasa-bahasa dengan membandingkan bentuk dari kata-kata seasal. 3. Dalam hal ini rumpun utara yang melestarikan bentuk aslinya, namun banyak contoh lainnya di mana bentuk aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan (PBS).
Bahasa dan Kesusastraan
15
dingan yang demikian, linguistik historis komparatif dapat menentukan hubungan kekerabatan antara bahasa-bahasa yang seasal. Adapun bahasa Alas secara linguistik dapat digolongkan dalam rumpun bahasa Batak Utara, namun dari segi budaya suku Alas tidak termasuk kebudayaan Batak. Ada kemungkinan bahwa di masa dahulu orang Alas juga pernah menggunakan sebuah varian surat Batak mengingat bahwa dari segi budaya, sistem kekerabatan, dan terutama dari segi bahasa, Alas masih cukup banyak memiliki persamaan dengan Batak, khususnya Batak Karo (Iwabuchi 1994). Karena orang Alas sudah lama memeluk agama Islam, maka huruf Jawi dipakai untuk surat-menyurat sebelum abjad Latin diperkenalkan. Walaupun bahasa Karo dan bahasa Simalungun merupakan dua bahasa yang begitu berbeda sehingga sulit berkomunikasi satu sama lain, di daerah-daerah perbatasan Karo-Simalungun tidak ada masalah komunikasi karena di situ masing-masing bahasa memiliki banyak kata yang dipinjam dari seberang perbatasan. Dan bukan saja dari segi bahasa, dari segi budaya pula tidak ada perbedaan yang mencolok di antara kampungkampung Simalungun dan Karo di daerah perbatasan. Demikian juga halnya di daerah perbatasan antara bahasa/budaya Karo dan Pakpak atau Pakpak dan Toba. Bahasa Toba, Angkola, dan Mandailing tidak banyak berbeda. Malahan Angkola dan Mandailing merupakan dua bahasa yang mempunyai sedemikian banyak persamaan sehingga pada umumnya disebut bahasa Angkola-Mandailing saja. Dengan adanya kesinambungan linguistik antara suku-suku Batak, tidak mengherankan bahwa tiada juga perbedaan-perbedaan yang jelas antara varian-varian surat Batak. Secara umum dapat dikatakan bahwa ada lima varian surat Batak, ialah Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Angkola-Mandailing. Namun, kita harus mengingat bahwa baik dari segi bahasa, budaya maupun tulisan tidak selalu ada garis pemisah yang jelas antara kelima suku Batak tersebut karena kelima suku Batak itu mempunyai induk yang sama.
16 2.2
Surat Batak Sastra
Sebagian besar sastra Batak tidak pernah ditulis. Cerita-cerita rakyat dalam bentuk fabel, mitos dan legenda, umpama dan umpasa, torhantorhanan, turi-turian, huling-hulingan – semua itu tidak pernah ditulis, tetapi diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Walaupun orang Batak sudah berabad-abad memiliki tulisan tersendiri, mereka tidak pernah menggunakan sistem tulisannya untuk tujuan sehari-hari. Membuat catatan, mengeluarkan dokumen-dokumen, mencatat utang-piutang atau pengeluaran rumah-tangga, mencatat silsilah marganya – semuanya ini tidak pernah dilakukan dengan menggunakan pena melainkan secara lisan saja. Orang Batak menggunakan tulisannya hanya untuk tiga tujuan: 1. Ilmu kedukunan (hadatuon) 2. Surat-menyurat (termasuk surat ancaman) 3. Ratapan (hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola-Mandailing). Tiga perempat naskah membahas hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kedukunan atau hadatuon. Yang berhak untuk menulis perihal hadatuon adalah para dukun (datu). Pengetahuannya terutama ditulis pada buku kulit kayu, tetapi kadang-kadang mereka juga menggunakan bambu atau tulang kerbau. Diperkirakan terdapat sekitar 1.000 hingga 2.000 pustaha yang kini disimpan dalam koleksi-koleksi museum atau perpustakaan di mancanegara, terutama di Belanda dan Jerman. Sebuah koleksi yang besar juga terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Pustaha dan isinya akan diteliti dengan lebih mendalam pada BAB berikut. Tidak semua naskah Batak ditulis oleh para datu. Dalam hampir setiap koleksi terdapat surat yang ditulis oleh orang biasa, atau seorang raja. Juga surat ancaman (T,S pulas, K musuh běrngi) sering ditemukan. Surat seperti itu mengandung ancaman terhadap pihak yang memperlakukan si penulis secara tidak wajar, misalnya karena kecurian kerbau atau upah yang tidak dibayar. Di banyak daerah, terutama Karo, Simalungun, Angkola dan Mandailing banyak terdapat ratapan (K bilangbilang, S suman-suman, M andung) yang membahas penderitaan si pe-
Bahasa dan Kesusastraan
17
nulis yang terbuang oleh sanak saudara, kematian orang tua atau kerabat lainnya serta juga percintaan yang gagal. Bahan yang dipakai untuk surat, surat ancaman, serta ratapan biasanya bambu. Di Karo ratapan tersebut ditulis pada sebuah ruas bambu yang diberi tutup dan dipakai sebagai tempat kapur sirih (tagan pěrkapurěn) atau tempat tembakau (tagan pěrtimbakon). Di Simalungun, di samping tempat kapur sirih juga parlilian (tempat untuk menyimpan lidi yang dipakai untuk bertenun) sering ditulisi ratap-tangis, sedangkan di Angkola dan Mandailing bambu yang panjangnya bisa mencapai empat atau lima ruas biasanya dipakai untuk menulis sebuah andung. Ratap-tangis andung juga dikenal di Toba dan Pakpak, tetapi hanya sebagai tradisi lisan saja. Kebiasaan menulis surat, surat ancaman dan ratap-tangis ini menunjukkan bahwa di zaman dulu bukan saja sang datu bisa menulis dan membaca. Kemungkinan besar bahwa angka keberaksaraan di zaman prakolonial telah mencapai 30–50 persen dari kaum laki-laki. Kendati demikian, hanya sang datu-lah yang pandai menulis pustaha. Mereka adalah penulis profesional dan mereka juga merupakan lapisan penduduk dengan mobilitas yang paling tinggi. Seorang murid (sisean) sering merantau jauh agar dapat berguru kepada seorang datu yang terkenal. Dalam pustaha Perpustakaan Nasional, No. D 2 misalnya, disebut bahwa penulis pustaha tersebut yang berasal dari Pangaribuan di daerah Habinsaran, merantau sampai ke dataran tinggi Karo untuk berguru pada seorang datu terkenal yang juga menjadi raja (sibayak) di kampung Kuta Bangun. Mobilitas yang sangat tinggi ini mungkin juga merupakan salah satu sebab mengapa kita sering dapat menjumpai kata-kata dan aksara-aksara dari daerah lain di dalam sebuah pustaha.
2.3
Hata Poda
Dalam menulis sebuah pustaha, para datu menggunakan sebuah ragam bahasa yang lazim disebut hata poda. Kata poda (pědah di dialek utara) dalam bahasa sehari-hari diartikan ‘nasehat’, tetapi dalam pustaha artinya lebih mendekati ‘instruksi’ atau ‘petunjuk’. Ragam hata poda yang hanya dipakai di pustaha ini, merupakan sejenis dialek kuno
18
Surat Batak
rumpun bahasa Batak Selatan dan banyak bercampur dengan kata-kata yang dipinjam dari bahasa Melayu. Karena kekunoannya, dialek tersebut juga menjamin bahwa hanya seorang datu yang telah mempelajari ragam bahasa ini dapat mengerti isi pustaha. Kerahasiaan ini merupakan salah satu sebab mengapa isi pustaha sangat sukar dimengerti – petunjuk-petunjuk yang diberikan pada umumnya hanya dapat dipahami oleh seseorang yang sudah memiliki pengetahuan mendalam mengenai masalah yang dibicarakan. Walaupun seorang datu harus menguasai bahasa poda sebelum ia mulai menyusun sebuah pustaha, hal itu tidak berarti bahwa bahasa yang dipakai di pustaha-pustaha adalah murni hata poda. Tentu banyak kata dari masing-masing bahasa daerah ikut memperkaya bahasa yang dipakai dalam pustaha. Tetapi ada pula banyak naskah yang kalau dilihat dari segi bahasa, tempat asalnya tidak dapat diketahui karena ditulis dalam ragam hata poda tersebut. Standardisasi yang dilakukan dalam penulisan pustaha seperti halnya menggunakan bahasa poda sebagai ragam bahasa penulisan pustaha, juga terdapat pada tulisannya. Jika seorang datu Karo misalnya menulis sebuah pustaha, ia cenderung untuk mengubah aksara Karo sedemikian rupa hingga tampak lebih selatan. Untuk mencapai itu, ia akan menghindarkan penggunaan diakritik e-pepet (kěběrětěn) dan menggantinya dengan diakritik /o/ (kětolongěn). Karena keseragaman baik bahasa maupun tulisan, bentuk-bentuk aksara sebagaimana terdapat dalam sebuah pustaha tidak selalu mewakili bentuk-bentuk aksara yang biasanya dipakai di daerah asal datu yang mengarang pustaha tersebut. Hal itu dapat terjadi bukan saja karena kecenderungan untuk menyesuaikan tulisan dengan bentuk selatan, tetapi juga karena para datu sering memperoleh pengetahuannya, termasuk kepandaian membaca dan menulis, dari seorang datu dari lain daerahnya. Oleh sebab itu, sebuah perbandingan aksara seperti dilakukan di BAB 6 sebaiknya dilakukan berdasarkan naskah-naskah bambu dan bukan pustaha agar mendapatkan sebuah gambaran yang lebih akurat. Sebagai contoh ragam hata poda, saya berikan di sini beberapa kata yang lazim dipakai dalam penulisan sebuah pustaha:
Bahasa dan Kesusastraan
19
Tabel 1: Ragam Hata Poda Hata Poda
Batak Toba
Batak Karo
Melayu
jaha
molo
adi
jika
purba
habinsaran
kěbincarěn
timur
dongan
dohot
ras
dengan
turun
tuat, susur
susur
turun
inon
on
enda
ini
lobe
jolo
lěbe
dulu
bajik
uli
uli
bajik
dumatang
ro
rěh
datang
da- (pasif)
di-
i-
di-
Daftar ini masih dapat diperpanjang dengan puluhan atau bahkan lebih dari seratus kata lainnya. Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai hata poda dianjurkan untuk membaca karya Sarumpaet (1982), Hariara (1987), atau merujuk pada kamus-kamus bahasa Batak, terutama kamus Van der Tuuk (1861) dan Warneck (1977). Dari beberapa contoh tersebut menjadi jelas bahwa idiolek poda terutama berdasarkan rumpun bahasa Batak Selatan dengan pengecualian kata lobe yang diambil dari rumpun bahasa Batak Utara. Selain itu juga tampak banyaknya kata pinjaman dari bahasa Melayu seperti jaha, dongan, turun, bajik, d=um=atang, dan juga dari bahasa Sanskerta (purba).
2.4
Punahnya sebuah tradisi
Waktu ahli bahasa Belanda Herman Neubronner van der Tuuk mengadakan perjalanannya ke Sipirok pada tahun 1852, beliau telah mencatat bahwa daerah tersebut “sangat kekurangan atas pustaha, datu, dan babi” sebagai akibat masuknya agama Islam ke daerah tersebut.4 Enam tahun
4. “Een algemeene schaarschte in poestahas, datoes en varkens, welke laatste bestand-
20
Surat Batak
sebelumnya, Willer, seorang civiel gezaghebber (pegawai pamongpraja) di Mandailing, juga sudah menulis bahwa di daerah Pertibi (Angkola) tidak lagi terdapat pustaha, sedangkan di Mandailing sudah menjadi sangat jarang. Dijelaskannya bahwa kaum Padri berusaha sedapat-dapatnya untuk memusnahkannya.5 Ternyata bukan kaum Padri saja yang benci pada produk-produk para datu. Penginjil-penginjil Jerman bersama dengan pendeta-pendeta pribumi memilih jalan yang sama pula dan secara besar-besaran mereka membakar pustaha serta obyek-obyek "kekafiran" lainnya.6 Pada tahun 1920an agama Kristen sudah memasuki daerah-daerah pedalaman termasuk Samosir, Dairi serta dataran tinggi Karo dan Simalungun. Walaupun kebanyakan penduduk di daerah tersebut saat itu masih bertahan pada agama nenek moyangnya, boleh dipastikan bahwa pada waktu itu sudah hampir tidak ada lagi datu yang menulis pustaha. Pada saat itu juga, tidak ada lagi buku, baik terbitan zending maupun pemerintah, yang dicetak dengan menggunakan aksara Batak. Setahu saya buku terakhir yang dicetak dalam aksara Batak adalah Porgolatanta: Buku sidjahaon ni anak sikola karangan Arsenius Lumbantobing (1916) yang terbit di Balige pada tahun 1916, dan naskah-naskah asli yang masih ditulis setelah tahun itu jumlahnya sangat sedikit sekali.
deelen van de Battaksche gemeente voor den invloed van het Islamisme de vlugt hebben moeten nemen.” Dikutip dari Voorhoeve (1927:314). 5. “Wat Pertibie en Mandheling betreft, kan ik verzekeren, dat in eerstgenoemd landschap geen poestaha's hoegenaamd zijn te verkrijgen, en zij in het laatstgenoemde hoogst zeldzaam zijn te vinden. De Padries hebben deze boeken overal met veel godsdienstijver opgespoord en verbrand, de bezitters daarvoor hooge boeten afgeperst; zij gebruiken hier hetzelfde argument als Omar bij de Alexandrijnsche boekerij.” (Willer 1846:391) 6. Penginjil Meerwaldt (1922:295) misalnya menulis: “De boeken door de datoe's met zooveel opoffering van tijd en moeite geschreven, zij dienden hen, die, gelijk wij in Hand. 19 : 19 lezen, ijdele kunsten pleegden, en waren dus rijp, om, evenals daar, ten vure gedoemt te worden.”
3
BAHAN-BAHAN REFERENSI
3.1
Perkamusan
Kebanyakan kamus bahasa-bahasa Batak masih berbahasa asing – Belanda atau Jerman. Berkat upaya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) sudah ada beberapa kamus bahasa-bahasa Batak – Indonesia, tetapi kebanyakan masih belum memenuhi standar. Dibandingkan dengan kamus asing, kamus-kamus keluaran Pusat Bahasa pada umumnya kurang lengkap, dan juga sangat kekurangan dari segi metodologi penyajian data. Hal itu menjadi jelas bila kita menyimak kamus Karo (Siregar et al. 1985), Simalungun (Zubeirsyah 1985), Toba (Tambunan 1977) dan Angkola-Mandailing (Siregar 1977). Keakuratan data keempat kamus tersebut tidak terlalu dapat diandalkan dan kurang bermanfaat sebagai referensi sehingga kita masih tetap harus menggunakan kamus-kamus asing. Kamus bahasa-bahasa Batak – Indonesia yang lebih baik justru dibuat oleh orang yang bukan akademik. Kamus Pakpak-Dairi – Indonesia yang disusun oleh T. R. Manik (1977) cukup bermutu. Sayang sekali kamus tersebut diterbitkan oleh Pusat Bahasa tanpa memberi kesempatan kepada penyusun untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi selama proses penyuntingan. Japorman E. Saragih (1989) telah menyusun kamus Simalungun–Indonesia yang sederhana tetapi sangat berguna untuk melengkapi kamus Simalungun–Simalungun yang dikarang oleh Wismar Saragih (1936). Salah satu contoh kamus Batak – Indonesia yang bermutu adalah Kamus Toba – Indonesia yang disusun oleh J.P. Sarumpaet (1994). Kamus ini sangat berguna terutama karena kosakatanya yang kontemporer, tetapi kurang bermanfaat bagi seorang filolog yang meneliti naskah-naskah lama sehingga kita masih tetap tergantung pada kamus Van der Tuuk dan Warneck.
22
Surat Batak
Setelah lebih dari seratus tiga puluh tahun, kamus Van der Tuuk masih merupakan referensi yang sangat penting bagi bahasa Toba, Dairi, dan Angkola-Mandailing (Tuuk 1861). Tidak kalah penting adalah kamus Toba – Jerman yang disusun oleh Warneck dan, dalam edisi keduanya, dilengkapi oleh Winkler dengan sejumlah kata khas hadatuon yang kerap terdapat dalam pustaha (Warneck 1906; 1977). Untuk bahasa Angkola-Mandailing, selain kamus Van der Tuuk masih ada kamus Angkola-Mandailing – Belanda yang disusun oleh Eggink (1936). Untuk bahasa Pakpak-Dairi, selain kamus Van der Tuuk yang kurang lengkap memuat kata-kata Pakpak-Dairi, hanya ada kamus PakpakDairi – Indonesia yang disusun oleh Tindi Raja Manik (1977). Karena pendudukan Jepang maka upaya P. Voorhoeve untuk menyusun kamus Simalungun – Belanda tidak pernah rampung. Kamus-kamus Simalungun yang ada semua berbahasa Indonesia. Kamus Karo-Belanda pertama disusun oleh misionaris M. Joustra (1907). Kamus tersebut disusun dalam aksara Batak. Kemudian J.H. Neumann (1951) yang juga menjadi misionaris zending Belanda di Tanah Karo, menyusun sebuah kamus Karo-Belanda beraksara Latin. Dalam kamus tersebut, semua lema kamus Joustra dimasukkan sehingga yang pertama tidak dibutuhkan lagi sebagai referensi.
3.2
Inventarisasi Naskah
Tugas seorang filolog adalah untuk menguraikan sebuah naskah sedemikian rupa sehingga naskah tersebut tersedia dalam bentuk yang dapat dibaca dan dipahami oleh kalangan yang lebih luas. Karena naskah-naskah Batak sering sulit dimengerti dan juga karena faktor lainnya (kerusakan atau hilangnya bagian sebuah naskah misalnya) biasanya kita mesti membaca beberapa naskah dari jenis yang serupa untuk dapat memahami isi naskah yang sedang dipelajari. Katakanlah seseorang ingin meneliti surat-menyurat antara penginjil Nommensen dan raja-raja Toba. Sudah barang tentu peneliti tersebut akan merasa kurang kalau hanya membahas satu atau dua naskah karena informasi yang diperolehnya tidak cukup. Maka ia akan berusaha untuk mencari sebanyak-banyaknya
Bahan-Bahan Referensi
23
naskah yang dapat dipelajarinya. Untuk itu ia perlu mengetahui di mana saja tersimpan surat-surat seperti ini. Untuk itu, tersedia sejumlah buku referensi. 1. Manik, Liberty. Batak-Handschriften. Vol. XXVIII, Verzeichnis der orientalischen Handschriften in Deutschland. Penyunting: W. Voigt. Wiesbaden: Franz Steiner Verlag 1973. Katalog ini adalah salah satu referensi yang terpenting yang memuat semua naskah Batak yang ada di Jerman, berjumlah sekitar 500 naskah; dilengkapi dengan suplemen oleh Theodore G.Th. Pigeaud dan P. Voorhoeve berjudul Handschriften aus Indonesien: Bali, Java und Sumatra. Vol. XXVIII, 2, Verzeichnis der orientalischen Handschriften in Deutschland; disunting oleh D. George. Stuttgart: Franz Steiner Verlag Wiesbaden 1985. Kedua katalog ini berbahasa Jerman. 2. Voorhoeve, Petrus. Codices Batacici. Codices Manuscripti XIX. Leiden: Universitaire Pers 1977. Deskripsi dari sekitar dua ratus naskah yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, termasuk koleksi-koleksi Van der Tuuk dan Ophuijsen. Karangan yang berbahasa Belanda ini merupakan salah satu sumber yang sangat penting. Di Universiteitsbibliotheek Leiden terdapat juga ribuan lembar berisi transliterasi dan deskripsi ratusan naskah Batak dari puluhan koleksi mancanegara. Bahan yang sangat berharga ini dikumpulkan oleh Voorhoeve selama puluhan tahun. Koleksi tersebut telah diinventariskan oleh P. Voorhoeve dan Uli Kozok (1993). 3. Voorhoeve, Petrus. A catalogue of the Batak manuscripts in the Chester Beatty Library. Dublin: Hodges Figgis & Co.Ltd. 1961. Penguraian yang sangat teliti dan luas atas 51 naskah koleksi Perpustakaan Chester Beatty di Dublin, Irlandia. Naskah yang dibahas secara amat teliti adalah naskah 1101 karena pustaha Karo ini merupakan salah satu dari hanya beberapa pustaha yang menjelaskan cara pembuatan dan penggunaan tunggal panaluan. Seluruh teks pustaha tersebut ditransliterasikan dan bagian-bagian yang kurang lengkap dapat dilengkapi dengan mengambil teks dari dua naskah Karo lainnya yang juga bertopik tunggal panaluan. Katalog ini dilengkapi dengan suplemen oleh
24
Surat Batak
P. Voorhoeve berjudul “Supplement to the Batak Catalogue. The Chester Beatty Library” yang dimuat di majalah Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 124 (3) 1968. 4. Ricklefs, M.C., dan P. Voorhoeve. Indonesian Manuscripts in Great Britain. A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections. Vol. 5, London Oriental Bibliographies. Oxford: Oxford University Press 1977. Karangan ini berupa katalog naskah-naskah Indonesia, termasuk puluhan naskah dari daerah Batak yang ada di berbagai museum dan perpustakaan di Britania Raya. Katalog tersebut dilengkapi dengan Addenda et Corrigenda yang dimuat di Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. XLV, Part 2, 1982. 5. Voorhoeve, Petrus. Catalogue of Indonesian Manuscripts. Part 1, Batak Manuscripts. Copenhagen: The Royal Library 1975. Katalog berbahasa Inggris ini menguraikan dengan sangat teliti dan luas isi 86 naskah Batak koleksi Perpustakaan Kerajaan Denmark. Bagian pertama buku ini yang berjudul Comparative observations on some typical designs in Batak manuscripts ditulis oleh Carl Schuster dan membandingkan ornamen-ornamen yang lazim terdapat di dalam naskah-naskah Batak (seperti bindu matoga dan bindu matogu, tapak raja Suleman dsb.) dengan ornamen-ornamen di India dan juga luar India. Bagian kedua katalog ini yang ditulis oleh Voorhoeve dibagi atas enam bagian. BAB pertama yang berjudul “Mythology” berkaitan dengan makhluk halus sangat berbahaya yang bernama Sirudang Gara yang diuraikan di naskah BAT.1. BAB kedua berjudul “Aggressive Magic” dan menguraikan teks-teks yang mengandungi ajaran ilmu gaib yang bertujuan untuk memusnahkan musuh (songon, pangulubalang dsb.). BAB ketiga berjudul “Protective Magic” terutama berisikan pagar dan azimat serta ajaran untuk memperoleh kekebalan. BAB keempat berjudul “Divination” (ramalan), BAB kelima berkaitan dengan tambar dan tawar (obat-obatan), dan BAB keenam membahas beberapa naskah bambu dan tulang seperti bilang-bilang (ratap-tangis), surat, dan pulas (surat ancaman).
Bahan-Bahan Referensi
25
Katalog ini dilengkapi dengan sebuah BAB tambahan yang mengandung transliterasi teks-teks yang diambil dari 22 pustaha dan yang berkaitan dengan pengayauan (pemenggalan kepala orang). Perlu ditambah di sini bahwa selama ini orang Batak hanya dikenal karena antropofaginya (makan daging manusia), dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pengayauan sebagaimana dikenal dari suku Dayak misalnya pernah ada di tanah Batak. Teks-teks yang disajikan Voorhoeve membuktikan bahwa pengayauan ternyata pernah juga dilakukan orang Batak. 6. Petrus Voorhoeve. Elio Modigliani’s Batak Books, Archivio per l’Antropologia e la Etnologia Vol. CIX-CX, 1979–1980, Hal. 61–96 Kisah Elio Modigliani yang pernah dianggap oleh orang Batak sebagai utusan Raja Rum telah diceritakan oleh Sitor Situmorang dalam buku “Guru Somalaing dan Modigliani ‘Utusan Raja Rom’. Sekelumit sejarah lahirnya gerakan Ratu Adil di Toba” (Situmorang 1993a). Tokoh Itali yang telah banyak mempengaruhi sejarah orang Batak membawa pulang 20 pustaha dan empat naskah bambu dari perjalanannya ke tanah Batak pada tahun 1890 yang kini tersimpan di kota kelahirannya Firenze. 7. Poerbatjaraka, R. Ng., P. Voorhoeve, dan C. Hooykaas, Indonesische Handschriften. Bandung 1950. Katalog berbahasa Belanda ini antara lain juga memuat daftar dari beberapa naskah Batak yang ada di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 8. Saragih, Japorman Edison, Pustaha-pustaha laklak dan surat-surat buluh yang berasal dari daerah Batak, Sumatera Utara Perpustakaan Nasional (stensilan) (Saragih 1973). Daftar naskah Batak di Perpustakaan Nasional yang lebih lengkap (namun banyak mengandung kesalahan) telah disusun oleh J. E. Saragih yang dapat dibaca di ruangan naskah Perpustakaan Nasional. Daftar ini juga sangat penting karena menunjuk kepada map berkode Vt. yang berisi transliterasi-transliterasi sebagian besar naskah Batak yang ada di Perpustakaan Nasional. Transliterasi itu sangat berguna karena dibuat oleh orang yang memiliki pengetahuan yang sangat mendalam mengenai isiisi pustaha. Perlu diingat bahwa transliterasi yang dibuat pada awal abad
26
Surat Batak
ini tidak merupakan transliterasi yang ilmiah, melainkan transliterasi praktis yang tanpa memberi indikasi apa pun memperbaiki kesalahan atau kekurangan yang ada pada naskah asli. 9. Haruki Yamamoto dan Andreas S. Lingga, “Catalogue of the Batak Manuscripts in the Simalungun Museum.” Nampo-Bunka 17, November 1990:1–18 Artikel ini merupakan sebuah daftar inventaris yang memuat deskripsi oleh sembilan belas pustaha yang dimiliki Museum Simalungun di Pematang Siantar. Demikianlah daftar bahan-bahan referensi berupa daftar inventaris beberapa koleksi. Daftar ini masih dapat dilengkapi dengan katalog inventaris beberapa koleksi yang lebih kecil, antara lain Tenri Central Library, Tenri, Jepang (Yamamoto 1992), Royal Art and History Museums di Brussels, Belgia (Persoons 1986), Perpustakaan John Rylands di Manchester, Inggris (Voorhoeve 1951), Museum Antropologi (Museum voor Volkenkunde) Leiden, Belanda (Fischer 1914; 1920), LindenMuseum Stuttgart, Jerman (Kozok 2003) serta koleksi H.H. Bartlett, pengarang The Labors of the Datu (Bartlett 1973), yang diinventariskan oleh Voorhoeve (1980). Sekilas pandang daftar ini bisa kelihatan mengagumkan. Hal ini terutama berkat kegiatan Petrus Voorhoeve yang, mulai tahun 1927 sewaktu ia menerbitkan disertasinya berjudul Overzicht van de volksverhalen der Bataks (Peninjauan terhadap cerita-cerita rakyat Batak) hingga pada tahun 1996 ketika beliau menemui ajalnya, menekuni sastra lisan dan filologi Batak. Sumbangan Voorhoeve pada filologi Batak memang luar biasa. Dilahirkan di tahun 1899 di Vlissingen, provinsi Zeeland, negeri Belanda, beliau mempelajari bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Leiden. Setelah tamat ia ditugaskan di Pematang Siantar sebagai taalambtenaar (pegawai bahasa) dengan tugas untuk menyusun kamus Simalungun yang tak pernah terbit karena sebagian besar bahan yang telah dikumpulkannya hancur terbakar di zaman Jepang. Beliau sendiri dikirim ke Burma untuk bekerja paksa untuk mesin perang Nippon, sedangkan isteri dan anak-anaknya diinternir di Jaranguda, Berastagi. Kembali ke negeri Belanda ia menjadi kepala bagian pernaskahan di Perpustakaan
Bahan-Bahan Referensi
27
Universitas Leiden sampai mencapai usia pensiun. Masa jabatannya di perpustakaan tersebut dan juga setelah pensiun merupakan masanya yang paling produktif sehingga ia menerbitkan puluhan buku dan artikel seputar bahasa dan sastra, dan terutama filologi Aceh, Batak, Jawa, dan Sumatra bagian selatan. Alangkah miskinnya filologi Batak kalau tidak ada orang ini yang menyumbangkan seluruh jiwa dan raga pada dunia pernaskahan Nusantara. Tetapi apakah dayanya seorang diri menghadapi ratusan bahkan ribuan naskah yang terpencar di mancanegara. Hingga kini, belum ada orang yang menghitung jumlah naskah Batak yang ada di Belanda yang barangkali mencapai beberapa ratus atau bahkan seribu lebih. Naskahnaskah yang ada di museum-museum terbesar seperti di Tropenmuseum Amsterdam atau di Museum Geraldus van der Leeuwen, Groningen, misalnya, tidak pernah diinventariskan sehingga pengetahuan kita tentang koleksi-koleksi ini sangat minim. Demikian juga dengan naskahnaskah yang ada di Austria (misalnya di Museum für Völkerkunde Wien, Vienna) atau di berbagai koleksi lainnya di Eropa dan luar Eropa.
3.3
Naskah Batak di Dunia Maya
Salah satu masalah bagi mahasiswa Indonesia adalah bahwa lebih dari 90% naskah-naskah Batak berada di luar negeri. Upaya "pengembalian" naskah Batak ke tanah air telah dirintis oleh penulis melalui dunia maya. Pranala (link) untuk mengakses situs internet adalah: http://ulikozok.com Dalam bilik tersebut terpajang sejumlah naskah Batak dari berbagai koleksi luar negeri. Naskahnya dapat langsung dibaca di situ, didownload atau dicetak serta dibawa pulang untuk menghemat biaya.
|
4
PENGADAAN NASKAH
4.1
Jenis Bahan Naskah
Naskah-naskah Batak pada umumnya ditulis pada tiga jenis bahan: kulit kayu (laklak), bambu, dan tulang kerbau. Di antara 500 naskah Batak yang ada di berbagai koleksi di Jerman, naskah kulit kayu dan bambu yang paling banyak, yakni masing-masing sekitar 43%, sedangkan naskah tulang 12% dan naskah kertas hanya 2%. Kertas sudah ada di Tanah Batak pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tetapi jarang digunakan kecuali di sekolah-sekolah dan untuk menulis dengan huruf Latin. Tabel 2: Jenis-jenis naskah (di Jerman)
Ratapan
Surat
Surat Ancaman
Hadatuon
250
200
150
100
50
0 Pustaha
Bambu
Tulang
Kertas
Kulit kayu dapat diolah menjadi sebuah buku yang disebut pustaha yang bentuk dan ukurannya bisa berbeda-beda. Pustaha yang sederhana hanya terdiri dari laklak yang dilipat-lipat, dan tidak memiliki sampul
Pengadaan Naskah
29
kayu untuk menjilidnya, sedangkan pustaha yang mewah, sampulnya (lampak) dapat memiliki ukiran yang indah sekali. Ukurannya pun dapat berbeda sekali – dari pustaha yang kecil berukuran sekitar 3 x 5 cm hingga pustaha besar yang ukurannya bisa mencapai 40 x 25 cm. Proses pembuatan pustaha diuraikan di BAB berikut. Tulang kerbau yang dipakai sebagai bahan tulis pada umumnya tulang rusuk dan tulang bahu. Proses penulisan sama dengan di bambu yakni dengan ujung pisau, dan bekas goresan pisau itu kemudian dihitamkan. Bambu adalah bahan yang sangat praktis karena dapat diperoleh kapan dan di mana saja. Hampir semua jenis bambu dapat dipakai dan jenis mana yang dipilih tergantung pada jenis naskah yang mau dihasilkan. Naskah-naskah bambu yang paling panjang biasanya ditemukan di Angkola dan Mandailing. Naskah bambu seperti itu yang panjangnya dapat mencapai 5 ruas berukuran sekitar 1,5–2 meter dengan diameternya sekitar 5–8 cm biasanya dipakai untuk menulis sebuah ratapan (andung). Naskah yang begini sangat berbeda dengan ratapan di Karo dan Simalungun yang hampir selalu ditulis pada tabung-tabung bambu yang dipakai sebagai tagan pěrkapurěn (tempat kapur sirih), tagan pěrtimbakon (tempat tembakau), dan di Simalungun juga sebagai parlilian (tempat menyimpan lidi yang dipakai dalam bertenun). Bambu yang dipakai untuk tagan pěrkapurěn biasanya jenis bambu yang kulitnya tipis dan selalu dipakai satu ruas saja yang bukunya menjadi dasar tabung, sedangkan tutupnya terbuat dari kayu atau dipakai sumbat bambu. Tinggi tabung tersebut antara 10 sampai 20 cm dan diameternya 2,5 hingga 4 cm. Tempat tembakau juga beruas satu dan diberi tutup dari kayu. Tingginya sekitar 10–15 cm dengan diameter antara 7 dan 9 cm. Parlilian hanya digunakan di Simalungun sebagai tempat untuk menulis sebuah ratapan. Bambunya biasanya agak tinggi dengan ukuran sekitar 30 x 4 cm. Ketiga jenis tagan ini biasanya dihiasi dengan bermacam-macam ornamen. Tempat-tempat lain yang terbuat dari bambu dan ditulisi ratap tangis adalah tuldak (torak) dan běluat (suling). Sekedar untuk melengkapi daftar ini masih dapat disebut naskah yang ditulis di tali pinggang yang dipakai sebagai azimat terutama dalam masa perang untuk menangkal peluru musuh. Sebuah tali pinggang bia-
30
Surat Batak
sanya terdiri atas sejumlah kepingan-kepingan tulang bersegi empat yang dipotong dari tulang bahu kerbau. Masing-masing kepingan tulang diberi dua lubang untuk memasang tali katun yang dipakai untuk mengikat kepingan-kepingan tulang tadi. Bahan tulis yang paling banyak digunakan di Jawa, Bali, dan Sulawesi yakni lontar tidak dipakai di Sumatra, dan demikian juga naskah yang terbuat dari logam serta prasasti di batu-batu besar. Tradisi seperti itu tidak pernah ada di tanah Batak, dan itu juga salah satu sebab mengapa kita tidak memiliki pengetahuan apa pun mengenai sastra Batak di zaman pra-Eropa – maksudnya zaman sebelum naskah Batak yang pertama dibawa dari Sumatra ke Eropa yang terjadi pada akhir abad ke-18. Semua naskah Batak terbuat dari bahan yang pada suhu yang panas dan kelembaban udara yang tinggi di daerah yang beriklim tropis dan subtropis tidak dapat bertahan lama.
4.2
Proses Pembuatan Pustaha
Kini, tradisi pembuatan pustaha sudah lama usai. Dan bukan pustaha saja, demikian juga dengan naskah-naskah lainnya yang ditulis pada ruas-ruas bambu atau di tulang-tulang rusuk kerbau. Sudah punah memang, tetapi masih ada sisa-sisa yang bertahan walaupun dalam keadaan yang menyedihkan dan memprihatinkan. Yang dimaksud adalah industri cenderamata yang di samping berbagai jenis kitsch dan barang rongsokan juga menghasilkan obyek kesenian seperti debata hidup, tunggal panaluan, dan juga naskah-naskah Batak untuk dijual pada wisatawan lokal maupun mancanegara di pusat-pusat parawisata seperti Parapat dan Kecamatan Simanindo, pulau Samosir. Terutama naskah-naskah baru yang diciptakan cukup memprihatinkan. Para pembeli tidak bisa membaca surat Batak dan para penghasil mengetahui hal itu. Konsekuensi yang logis adalah bahwa surat Batak dipakai sebagai hiasan saja. Kebanyakan naskah (bambu maupun pustaha) yang terjual di Medan, Parapat, Berastagi dan Samosir adalah naskah tiruan yang "teksnya" hanya terdiri atas rantaian huruf-huruf yang tidak berarti. Setelah dicek ke kampung pembuatannya seperti Sosor
Pengadaan Naskah
31
Tolong, sekitar lima kilometer dari Tomok, ternyata bahwa para pengrajin hanya bisa menulis beberapa huruf saja, tetapi tidak mengerti artinya. Hasilnya adalah sebuah ‘naskah’ yang ‘teksnya’ dikarang oleh orang yang buta huruf, yang kemudian dijual kepada masyarakat sebagai hasil ciptaan budaya Batak. Walaupun kebanyakan naskah yang dihasilkan sebagai cenderamata sangat rendah nilainya, ternyata masih ada juga pengrajin naskah yang memiliki ketrampilan dan dapat menghasilkan naskah yang lebih lumayan bobotnya. Sebagai contoh kami perkenalkan dua pengrajin yang termasuk pada kategori tersebut. Informan pertama berasal dari Lumban Dolok, Tomok. Teks-teks pustaha yang dibuatnya diambil dari pustaha-pustaha asli yang pernah dibacanya. Namun huruf yang digunakan merupakan huruf "baru" dan bukan huruf asli seperti yang dipakai di pustaha-pustaha zaman dulu. Pustaha-pustaha yang diciptakannya terkesan agak terburu-buru dan kurang rapi. Informan kedua, Nanti Sidabutar dari Siharbangan, Tomok, belajar surat Batak dari ayahnya yang juga pernah menjadi pengrajin pustaha.7 Mendiang ayahnya juga menjadi datu yang masih menguasai sebagian dari pokok-pokok yang dibahas di pustaha. Dia juga sering membaca pustaha-pustaha asli. Teksnya kemudian disalin sehingga pustaha yang dibuatnya mirip dengan pustaha yang asli. Hurufnya juga sangat menyerupai huruf yang lazim dipakai dalam pustaha asli. Informan kedua ini kemudian kami mintai untuk memperagakan langkah demi langkah proses pembuatan naskah. Perlu diingat bahwa cara pembuatannya tidak sama dengan cara yang dipakai oleh para datu seratus tahun yang lalu. Tentu sudah banyak yang berubah, tetapi dalam banyak hal, proses pembuatannya masih hampir persis sama dengan dahulu kala. Jika perlu, keterangan narasumber dilengkapi dengan keterangan yang didapat dari studi kepustakaan.
7. Ternyata Nanti Sidabutar dan ayahnya yang sekarang sudah almarhum pernah juga menjadi narasumber René Teygeler yang menulis bahwa tahun 1990 ia mengunjungi sebuah keluarga di desa Siharbangan, Samosir (Teygeler 1993:595). Hal itu baru saya ketahui beberapa bulan setelah pertemuan saya dengan Nanti Sidabutar.
32
Surat Batak
Pada hakikatnya, sebuah pustaha terdiri dari laklak dan lampak. Laklak adalah "kertasnya", sedangkan lampak adalah sampul bukunya. Laklak adalah kulit kayu alim, sebuah pohon yang tumbuh di kawasan hutan dataran tinggi. Pohon alim (Latin: Aquilaria) banyak dijumpai di daerah Barus hulu, di sekitar Pardomuan, Kab. Dairi, dan juga di daerah Pulau Raja, Kab. Asahan, terutama di Kecamatan Bandar Pulau, tetapi tidak terdapat di daerah yang padat penduduk seperti di Karo, Toba, Silindung atau di Samosir. Kulit kayu dikupas dari pokoknya dalam kupasan yang panjangnya menurut narasumber kami dapat mencapai sampai tujuh meter, dan lebarnya hingga 60 cm tergantung pada besarnya pohon.8 Namun hasil studi kepustakaan menunjuk bahwa ternyata ada pustaha yang laklaknya mencapai 15 meter lebih. Pustaha yang sangat panjang tersebut kini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden (Or. 3428) (Teygeler 1993:605). Kulit kayu pustaha tersebut masih utuh dan tidak disambung-sambung seperti sering terdapat pada pustaha lain. Kalau tidak terdapat potongan laklak yang cukup panjang, dua potong dapat dijadikan satu dengan cara menjahit atau merekatnya. Kulit kayu yang dipakai sebagai bahan dasar pustaha bukanlah kulit luar (yang sudah kering dan mati) melainkan lapisan dalam yang tidak keras melainkan liat. Sebagai langkah pertama kulitnya dipotong sesuai dengan lebar dan panjangnya pustaha yang diinginkan. Kemudian kulit luarnya yang sudah kering dipisah dari kulit dalamnya (Lihat Gambar 3).
8. Harganya pada tanggal wawancara (31/10/1998) mencapai sekitar Rp. 2.000 per meter (€0,30) untuk kupasan yang lebarnya sekitar 40 cm.
Pengadaan Naskah
Gambar 3: Kulit dalam dipisahkan dari kulit luar.
Gambar 4: Laklak dilipat dan lipatannya ditokoh.
33
34
Surat Batak
Gambar 5: Kedua sisi laklak diratakan.
Gambar 6: Laklak ditulisi dari bawah ke atas. Kalam (tarugi) dimasukkan ke bolpoin kosong agar lebih enak dipegang.
Pengadaan Naskah
35
Proses tersebut sangat mudah bila kulitnya masih berair (baru diambil dari pohonnya), tetapi kalau sempat menjadi kering proses pengupasan makan waktu lebih lama. Setelah proses pemisahan kulit dalam dan kulit luar selesai, bagianbagian yang masih kasar dilicinkan dengan pisau. Kulit dalam yang sudah bersih kemudian diketam dengan memakai parang dan untuk membuatnya lebih licin, kulitnya digosok pakai kertas pasir. Informan kami tidak dapat menjelaskan apa yang dipakai oleh para datu dahulu kala waktu kertas pasir belum ada, tetapi menurut dia, kalau bahannya masih segar dan berair, proses pelicinan itu sebenarnya tidak perlu karena kulitnya dapat dipisahkan dari kulit dalam secara mudah dan tanpa meninggalkan bekas-bekas. Menurut Heyne, daun-daun yang kasar dipakai sebagai pengganti kertas pasir untuk melicinkan permukaan kulit kayu (Heyne 1927:567). Laklak yang sudah bersih itu kemudian dilipat seperti akordeon. Lipatannya lalu ditokok-tokok dengan martil kayu agar terlihat rapi lipatannya dan kedua belah sisi laklak dipotong dengan pisau sehingga lurus (hal itu tidak selalu dilakukan dan banyak dapat dijumpai pustaha yang sisi kanan kirinya tidak rata). Setelah itu, laklaknya sudah siap untuk digunakan sebagai bahan tulisan. Namun, agar pustahanya lebih mudah terjual, diusahakan agar barang itu kelihatan seperti sudah antik. Untuk itu, seluruhnya laklak dioleskan zat pewarna yang disebut permagan (kaliumpermanganat). Langkah ini tentu tidak ada di zaman dahulu, dan menurut sumber kepustakaan ada dua langkah lainnya (yang tidak diketahui oleh narasumber kami) yang harus diambil sebelum laklaknya siap untuk ditulisi. Langkah pertama adalah mengoleskan larutan tepung beras dan air pada kulit kayu supaya menjadi licin dan agar tintanya mudah lengket. Setelah kering, pustaha digarisi sesuai dengan banyaknya baris yang mau ditulis pada setiap halaman. Garis halus tersebut yang hampir tidak kelihatan membantu penulis agar setiap baris menjadi lurus dan rapi. Sebagai penggaris (balobas) dipakai sebatang bambu, dan garis halus tersebut dibuat dengan pisau bambu (panggorit).
36
Surat Batak
Setelah zat pewarna sudah kering, pustaha ditulisi dengan menggunakan kalam dari lidi enau (tarugi), dan tinta merek Parker.9 Pengrajin mengakui tidak mengetahui resep untuk pembuatan mangsi yang dulu dipakai sebagai tinta. Menurut Warneck (1906) bahan utama mangsi adalah getah baja dan jeruk nipis (unte). Baja adalah sejenis pohon kecil yang kalau kayunya dibakar mengeluarkan getah hitam yang juga dipakai untuk menghitamkan gigi (manghihir). Getah tersebut dicampur dengan air jeruk dan kadang-kadang juga bahan-bahan lainnya seperti dapat dibaca di resep pustaha laklak Museum Simalungun No. 252 (Saragih dan Dalimunte 1979). Teygeler (1993:606) menyebut 15 resep mangsi yang sebagian besar berdasarkan getah baja atau getah damar. Pada proses penulisan, laklaknya terletak melintang di hadapan penulis yang kemudian mulai mengisi halaman pertama dengan menulis huruf-hurufnya dari bawah ke atas.10 Perlu dicatat bahwa hurufnya tidak dibaca dari bawah ke atas melainkan dari kiri ke kanan (posisi laklak pada saat penulisan melintang sedangkan bila dibaca posisinya membujur). Proses penulisan berjalan lancar dan cukup cepat. Seperti dalam pustaha yang asli, setiap bagian baru diawali bindu godang, sebuah ornamen yang agak besar, sedangkan tiap akhir alinea ditandai dengan bindu na metmet. Selain itu tidak terdapat tanda-tanda baca apa pun dan spasi antarkata pun tidak ada. Setelah diisi dengan teks dan gambar, dibuat pula lampak, sebuah sampul yang biasa terbuat dari kayu. Menurut narasumber kami, jenis kayu yang dipakai pada umumnya kayu ingul. Sekali-sekali dapat ditemukan pustaha yang lampaknya terbuat dari tulang kerbau atau kulit rusa. Sampul atas biasanya dihiasi dengan ukiran cecak atau ornamen lainnya, sedangkan sampul bawah biasanya polos saja. Kedua sampul dilem pada kedua ujung lembaran laklak. Kadang-kadang sampul dilubangi dan diikat dengan rompu, pilinan tiga, tujuh atau sembilan tali rotan.
9. Menurut Teygeler, istilah tarugi hanya menunjuk pada bahan yang dipakai, ialah lidi pohon enau, sedangkan istilah untuk kalam adalah suligi (Teygeler 1993:605). 10. Karena kurang lengkapnya informasi mengenai cara penulisan pustaha belum dapat dikonfirmasikan dengan pasti apakah pustaha selalu ditulis dari bawah ke atas. Bisa saja hal tersebut merupakan sebuah kebiasaan karena naskah bambu memang harus ditulisi dari bahwah ke atas (lihat BAB berikut).
Pengadaan Naskah 4.3
37
Proses Pembuatan Naskah Bambu
Jenis bambu yang dipakai tergantung pada obyek atau bentuk naskah yang mau dihasilkan. Yang terbaik adalah jenis-jenis bambu berkulit halus yang disebut bulu suraton. Diambil bambu yang sudah tua karena bambu yang muda terlalu rawan terhadap serangan serangga. Alat untuk menulis adalah pisau (raut) yang runcing. Untuk membuat garis-garis panjang yang melingkari bambu dipakai pisau bambu karena raut itu runcing, tetapi tidak tajam. Pisau raut dipakai baik untuk mengukir ornamen maupun aksara. Bambu biasanya ditulisi sedemikian rupa sehingga tulisannya sejajar dengan panjangnya bambu. Teksnya biasanya mengisi seluruh panjangnya ruas tetapi bagian buku tidak ditulisi karena permukaannya kurang rata. Gelombang-gelombang yang ada di sekitar buku sering ditutup dengan membuat ukiran-ukiran atau dengan meratakannya. Karena bambu itu bulat, sangatlah penting untuk memegangnya erat-erat sehingga tidak ada goresan yang meleset.
Gambar 7: Pembuatan naskah bambu oleh Nanti Sidabutar.
38
Surat Batak
Bekas goresan pisau kemudian dihitamkan dengan menggunakan kemiri yang dibakar hingga minyaknya ke luar. Campuran abu dan minyak itu hitam pekat dan lengket untuk selama-lamanya pada bekas goresan pisau sehingga tulisan dan ornamen-ornamen sangat mencolok di atas permukaan bambu yang kuning. Karena bentuk bambu yang bulat serta panjang memang tidak mudah untuk menulisinya. Untuk menghindari agar bambu itu tidak bergeser saat ia ditulisi maka ujungnya yang satu bersandar di bagian perut penulis dan ujungnya yang satu lagi dipegang dengan tangan kiri. Dalam keadaan seperti itu, terpaksa penulis menulis aksara-aksara mulai dari bawah ke atas dan bukan dari kiri ke kanan! Hal itu juga dilakukan supaya penulis tidak melukai diri kena ujung pisau yang runcing pada saat menulis. Cara penulisan dari bawah ke atas telah juga dilaporkan oleh Van der Tuuk (1971), dan hal yang sama juga dilakukan orang-orang Filipina bila menulis di bambu dengan aksaranya yang masih serumpun dengan aksara Batak (Francisco 1973:19; Postma 1971:6).
|
5
PUSTAHA DAN ISINYA
Untuk mengetahui isi pustaha, sebuah referensi yang amat berguna adalah buku Winkler (1925) yang berjudul Die Toba-Batak auf Sumatra in gesunden und kranken Tagen. Johannes Winkler (1874–1958), seorang dokter zending yang mulai tahun 1901 ditugaskan di daerah Toba, berguru pada seorang datu yang bernama Ama Batuholing Lumbangaol. Dengan bantuannya Winkler mengetahui dan mencatat isi pustaha serta perihal ilmu kedukunan (hadatuon) pada umumnya. Beliau membedakan tiga jenis ilmu yang paling banyak terdapat dalam pustahapustaha Batak: 1. Die Kunst, das Leben zu erhalten (Ilmu yang menyambung hidup) 2. Die Kunst, das Leben zu vernichten (Ilmu yang menghancurkan hidup) 3. Ilmu Nujum Pengelompokan yang dilakukan Liberty Manik (1973) dan Petrus Voorhoeve (1977:519) masih berpedoman pada sistem Winkler, tetapi lebih terinci. Pengelompokan mereka disajikan di bawah ini dengan rincian berapa jumlahnya pustaha yang memuat topik tersebut. Rincian di bawah ini berdasarkan evaluasi 461 pustaha, 214 di antaranya diinventariskan oleh Manik, dan 247 lagi oleh Voorhoeve. Naskah bambu, tulang, dan kertas tidak disertakan dalam tabel berikut ini. Terutama ramalan yang berkaitan dengan ilmu perbintangan, dan khususnya porhalaan sering ditulis pada ruas-ruas bambu, sedangkan teks-teks azimat seperti sarang timah, sering terdapat pada naskah tulang.
40
Surat Batak
Tabel 3: Statistik Isi Pustaha (berdasarkan 461 pustaha) L.M.
P.V.
6
11
1. Pangulubalang
39
51
2. Tunggal Panaluan
2
4
3. Pamunu Tanduk
13
30
4. Pamodilan/Tembak
7
16
5. Gadam
2
0
6. Lain-lain
15
28
1. Pagar
59
68
2. Sarang Timah
3
1
3. Porsimboraon
6
5
4. Songon
2
1
5. Piluk-piluk
4
1
6. Lain-lain
3
24
1. Tamba Tua
3
5
2. Dorma
4
15
3. Porpangiron/Paranggiron
6
6
4. Porsili
12
11
5. Ambangan
4
1
6. Pamapai Ulu-ulu
4
7
Obat
32
39
I.
Cerita (turi-turian)
II.
Ilmu Hitam
III.
IV.
V.
Ilmu Putih
Ilmu-ilmu lainnya
Total
Pustaha dan Isinya VI.
41
Nujum a. Nujum Perbintangan 1. Pormesa na Sampulu Duwa
22
26
2. Panggorda na Uwalu
23
21
3. Pehu na Pitu
1
4
4. Pormamis na Lima
28
22
5. Tajom Burik
3
1
6. Pane na Bolon
24
25
7. Porhalaan
8
9
8. Ari Rojang
13
6
9. Ari na Pitu
13
9
10. Sitiga Bulan
4
0
11. Ketika Johor
5
0
12. Pangarambui
36
31
13. Lain-lain
16
20
1. Aji Nangkapiring
23
31
2. Manuk Gantung
12
38
3. Aji Payung
10
14
4. Porbuhitan
8
12
5. Gorak-gorahan Sibarobat
3
2
6. Lain-lainnya
14
6
1. Rambu Siporhas
11
25
2. Panampuhi
8
23
3. Pormunian
3
4
4. Parombunan/Partimusan
5
12
5. Hariara Masundung di Langit
4
2
b. Nujum dengan memakai binatang
c. Nujum-nujum Lainnya
42
5.1
Surat Batak 6. Parsopoan
1
1
7. Tondung
4
1
8. Simonang-monang/Rasiyan dsb.
11
8
9. Lain-lain
17
21
Cerita
Bidang folklor jarang sekali disentuh dalam pustaha. Folklor termasuk legenda dan cerita lainnya (turi-turian), pantun (umpama dan umpasa), teka-teki (torhan-torhanan), nyanyian (ende), dan lain-lain pada umumnya diturunkan secara lisan, demikian juga dengan silsilah marga yang juga tidak pernah dibahas dalam pustaha. Satu-satunya turi-turian yang sekali-sekali dimuat di pustaha adalah cerita Si Aji Donda Hatahutan yang membahas asal-usul tunggal panaluan. Cerita tersebut ditemukan dalam empat pustaha (Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 8929; Perpustakaan Nasional Perancis, Paris, Mal. Pol. 260; Perpustakaan Chester Beatty, Dublin, 1101; dan Linden-Museum Stuttgart 27210). Sebab kenapa pada daftar di atas tercantum jumlah yang lumayan besar, yakni 17 cerita rakyat yang terdapat di beberapa pustaha, ialah karena banyak di antara naskah tersebut berasal dari koleksi Van der Tuuk atau koleksi Ophuisen dan dibuat atas permintaan kedua orang Belanda tersebut!
5.2
Ilmu Hitam
Dalam katalog-katalog naskah Batak terdapat puluhan cara untuk menyerang dan membunuh musuh. Hal itu dapat dilakukan dengan racun atau dengan ilmu sihir yang bertujuan untuk menghancurkan musuh. Berikut ini beberapa contoh: Pangulubalang Dalam katalog Manik dan Voorhoeve terdapat 90 pustaha yang berkaitan dengan pangulubalang, semacam roh yang dijadikan hulubalang sang datu untuk memusnahkan musuh dan roh-roh jahat.
Pustaha dan Isinya
43
Cara pembuatan pangulubalang telah dijelaskan oleh Winkler (1925) dan Warneck (1909:64-66). Versi yang hampir sama juga terdapat di dalam Kamus Budaya Batak Toba (Marbun dan Hutapea 1987:124). Pada hakikatnya, pangulubalang adalah roh anak laki-laki atau perempuan yang mati dibunuh. Seorang anak kecil diculik dari kampung orang yang diasuh oleh seorang datu. Segala keinginan anak itu dipenuhi, tetapi ia diwajibkan untuk selalu harus patuh dan setia kepada tuannya. Akhirnya sang korban dengan ikhlas bersedia mau dijadikan pangulubalang. Si anak kemudian dibunuh dengan cairan timah yang mendidih yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Kemudian mayatnya dipotong-potong dan dicampur dengan berbagai binatang dan bahan lainnya dan dibiarkan membusuk. Air yang keluar kemudian ditampung dan dimasukkan ke dalam guri-guri (cawan), sedangkan sisanya dibakar sampai menjadi abu (pupuk) dan juga disimpan. Kemudian diadakan pesta besar (pangulubalang adalah milik marga, bukan milik seorang datu) untuk memanggil begu (roh) anak yang dibunuh tadi. Pupuk yang dihasilkan dapat dipakai untuk menjiwai bermacam-macam patung yang terbuat dari batu, tanah, atau kayu. Oleh karena itu patung-patung tersebut juga sering disebut pangulubalang walaupun fungsi patung tersebut adalah sebagai pagar atau pohung. Patung pangulubalang tersebut merupakan patung penolak bala yang diletakkan di kampung sendiri, sedangkan pangulubalang yang menjadi hulubalang sang datu dalam perang melawan kampung orang dikirim ke daerah musuh. Tunggal Panaluan Cukup jarang dapat kita temukan teks-teks yang memberi petunjuk tentang pembuatan dan penggunaan tongkat sakti orang Batak. Tunggal panaluan itu sendiri telah banyak dibahas (lihat misalnya daftar pustaka di Tobing 1956:156) antara lain oleh Tobing sendiri, dan juga oleh Voorhoeve (1961:15). Dalam buku Voorhoeve tersebut terdapat transliterasi dari sebagian besar pustaha Chester Beatty Library, Dublin, MS. 1001. Waktu saya bertemu dengan Liberty Manik di tahun 1986, beliau sedang merencanakan untuk menerbitkan naskah Linden-Museum Stuttgart 27210 yang telah ditransliterasikannya. Pustaha Karo tersebut yang masuk ke Linden-Museum pada tahun 1883 secara mendalam menjelas-
44
Surat Batak
kan pemakaian tunggal panaluan dan juga turi-turian Si Aji Donda Hatahutan, yakni cerita tentang asal-usul tunggal panaluan. Sayang sekali, setelah Liberty Manik meninggal beberapa tahun yang silam, pihak-pihak yang berkepentingan tidak dapat mencapai kesepakatan tentang apa yang mau diperbuat dengan harta warisan beliau yang antara lain termasuk transliterasi ratusan naskah Batak. Dikhawatirkan warisan mendiang Liberty Manik harus dianggap telah hilang. Pamunu tanduk (pembunuh tanduk) yang juga disebut pamuhu tanduk (penangkal tanduk) adalah ilmu yang dapat menetralkan ilmu hitam yang dikirim oleh musuh dalam sebuah tanduk. Pamunu tanduk memang sering diasosiasikan dengan pagar (penolak bala), tetapi di beberapa pustaha pamunu tanduk juga dikaitkan dengan panggulubalang dan dipakai untuk menyerang musuh. Cara tembak-menembak (pamodilon/tembak) juga dipelajari di pustaha, baik dari segi tehnik penembakan (termasuk cara menuangkan berbagai jenis peluru) maupun dari segi ilmu gaib (sesajen yang harus diberikan, mantra-mantra yang perlu diucapkan dsb.). Gadam adalah semacam racun yang dikenakan pada musuh sehingga kulitnya menjadi bersisik seperti pada penderita kusta.
5.3
Ilmu Putih
Penolak Bala (Pagar) Manik mencatat 59 naskah yang mengandung instruksi untuk membuat bermacam-macam penolak bala yang disebut pagar. Pembuatan pagar adalah suatu proses yang sangat rumit, dan hanya boleh dilakukan pada hari yang baik dengan memperhatikan bermacam-macam tandatanda. Sebuah pagar bisa terbuat dari bermacam-macam bahan, terutama tumbuhan, tetapi dapat juga mengandung kepala, usus atau bulu ayam misalnya. Ramuan tersebut harus dikumpulkan pada tempat-tempat tertentu seperti di tempat keramat yang disebut sombaon. Proses pembuatan bisa makan berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Semua bahan itu kemudian dimasak dan ditumbuk halus menjadi semacam pasta atau bubuk yang disimpan di tanduk kerbau yang berukiran (naga morsa-
Pustaha dan Isinya
45
rang). Pagar itu kemudian dapat diberi kepada seseorang untuk dimakan (pagar panganon), dijunjung (pagar sihuntion ini hanya dipakai oleh seorang perempuan yang hamil) atau digantung, misalnya dekat tempat tidur seseorang yang sakit (pagar di halang ulu modom). Sebuah pagar dapat juga diberikan kepada sebuah keluarga (pagar sabagas) atau bahkan kepada seluruh isi kampung (pagar sahuta) untuk menolak segala macam bala yang disebabkan oleh roh-roh yang jahat dan guna-guna orang. Oleh karena itu pembuatan pagar selalu diiringi mantra-mantra yang berbunyi: “pagari hami, so hona begu, so hona aji ni halak” (lindungilah kami agar tidak kena roh jahat dan guna-guna orang). Cara pembuatan pagar sahuta dapat dibaca dalam naskah Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 3405 yang telah dicetak dalam bahasa Batak berikut dengan terjemahan ke dalam bahasa Belanda (Boer 1946). Azimat Di zaman dahulu hampir setiap orang Batak memakai azimat untuk melindungi diri. Sebagian azimat didatangkan dari luar, misalnya dari Aceh, Melayu atau Minangkabau karena azimat tersebut dianggap sangat ampuh. Azimat tradisional Batak terdiri dari sebiji timah hitam (simbora) berbentuk bulat-torak yang berongga untuk menampung tali pengikat yang digantungkan di leher. Karena terbuat dari timah hitam (timbel), azimat pada umumnya disebut porsimboraon yang termasuk juga azimat gigi beruang atau harimau misalnya. Instruksi pembuatan azimat beserta mantra-mantranya juga sering dapat ditemukan dalam pustaha. Sarang bodil atau sarang tima(h) adalah semacam azimat yang dapat menangkal peluru musuh dan bisa dibuat dari tulang kerbau yang ditulisi dengan beberapa mantra. Azimat dan sarang tima sering ‘dipagari’ (diberi pagar) agar lebih ampuh. Instruksi mengenai pembuatan azimat tersebut beserta mantra-mantranya terdapat di beberapa pustaha. Pencegah Pencurian Sungguhlah bukan hal yang sederhana untuk menentukan ilmu sihir yang mana termasuk ilmu yang menyambung dan yang menghancurkan hidup karena ilmu yang melindungi dapat juga digunakan untuk menghancurkan musuh. Hal itu menjadi jelas bila kita perhatikan ilmu songon dan pohung yang oleh Manik dimasukkan dalam ilmu putih
46
Surat Batak
karena merupakan sejenis ilmu yang preventif ialah agar barang kita jangan dicuri orang. Di lain pihak, ilmu tersebut juga dapat dikatakan sebagai ilmu hitam karena maksudnya bukan saja untuk menghindarkan pencurian, tetapi malahan untuk membunuh si pencuri! Bukan saja sekarang, juga di zaman dahulu pencurian sudah menjadi persoalan yang serius. Kebanyakan pencurian tidak terjadi di kampung yang senantiasa ramai dan dijaga, melainkan di ladang yang sering sepi – apalagi di malam hari. Hasil kebun biasa dilindungi dengan cara gaib. Ilmu pencegah pencurian disebut pohung atau songon. Pohung dan songon adalah semacam patung (gana-gana) yang didirikan di ladang untuk melindungi hasil kebun. Ilmu tersebut dapat dikatakan bersifat menangkal karena mencegah terjadinya pencurian. Bahwa ilmu ini dapat juga dikelompokkan pada ilmu yang “menghancurkan kehidupan” menjadi jelas bila kita membaca mantra (tabas) yang berkaitan dengan ilmu ini: “Surung ma ho batara pangulubalang ni pohungku, ama ni pungpung jari-jari, ina pungpung jari-jari, batara si pungpung jari, surung pamungpung ma jari-jari ni sitangko sinuanku onon, surung bunu” yang berarti: “Marilah Batara Hulubalang pohung-ku, ayah jari-jari yang cacat, ibu jari-jari yang cacat, Batara jari-jari yang cacat, kudungkan jari-jari yang mencuri tanamanku ini, bunuh!” (Voorhoeve 1975:96). Satu lagi ilmu sihir yang bertujuan untuk menangkal pencurian hasil ladang disebut piluk-piluk.
5.4
Ilmu-Ilmu lainnya
Tamba tua (tambah tuah) adalah semacam ilmu yang dapat mendatangkan kekayaan dan terutama juga keturunan, dan sering diterapkan pada laki-laki atau perempuan yang menderita kemandulan dan untuk mengobati laki-laki yang lemah syahwat. Salah satu naskah yang panjang-lebar menguraikan tamba tua adalah pustaha IC 12636 Museum Antropologi Berlin. Dorma, dari bahasa Sanskerta dherma, (Melayu derma), adalah ilmu untuk memikat hati seorang perempuan. Winkler memberikan sebuah contoh dari ilmu pelet tersebut: bahannya adalah dua biji jeruk purut (unte mungkur) dan benang tiga warna, masing-masing berwarna hitam,
Pustaha dan Isinya
47
merah, dan putih yang dipilin menjadi satu (bonang manalu). Benang triwarna tersebut kemudian dimasukkan ke jarum dan ditusukkan pada jeruk sampai tembus. Jeruk yang satu ditanam persis di bawah tempat tidur perempuan yang hendak dipikat, dan yang satu lagi digantungkan dengan benang triwarnanya di dekat tempat tidur orang yang hendak memelet perempuan tersebut. Lalu jeruk yang digantung itu digoyang-goyangnya sepanjang malam – hal mana akan mengakibatkan bahwa perempuan yang dimaksud akan jatuh hati padanya atau menjadi gila (Winkler 1925:182). Porpangiron mengandung petunjuk-petunjuk untuk melaksanakan acara berlangir – mencuci kepala dengan air yang diberi air jeruk dan ramuan lainnya untuk mencapai kesucian spiritual. Porsili adalah sebuah patung berupa manusia yang biasanya diukir dari pokok pisang dan digunakan sebagai tumbal. Patung ini sering digunakan dalam upacara penyembuhan dan dibawa ke rumah pasien untuk diolesi dengan daki si penderita. Kemudian patung tersebut diusung ke luar rumah dan dibuang di perempatan jalan atau dilemparkan ke jurang. Dengan demikian patung ini dijadikan tumbal (kata dasar porsili adalah sili (silih, ganti, tukar) agar roh-roh jahat yang menyebabkan sakit mengira bahwa orang itu sudah mati. Cara pembuatan porsili diterangkan dalam naskah Perpustakaan Universitas Leiden, Cod. Or. 3405 (Boer 1946). Satu lagi ilmu yang dapat dipakai sang datu untuk menyembuhkan adalah ambangan yang bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat dari tubuh penderita. Jenis ilmu yang disebut pamapai ulu-ulu atau dalam bahasa Pakpak panungkuni takal-takal menunjukkan bahwa orang Batak pernah melakukan pengayauan. Pengayauan adalah pembunuhan yang dilakukan untuk memenggal kepala orang, suatu adat kebiasaan beberapa suku bangsa di Indonesia seperti misalnya suku Dayak. Adat tersebut dahulu kala dilakukan oleh banyak suku bangsa, termasuk Jawa, Bali, dan juga suku Batak seperti dibuktikan oleh 20 teks yang terdapat dalam pustaha (Voorhoeve 1975:106).
48 5.5
Surat Batak Obat (Taoar, Tambar, Daon)
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain, perihal perobatan tidak terlalu sering disinggung dalam pustaha. Dari 501 naskah Batak di Jerman yang diinventariskan oleh Manik, resep obat-obatan hanya terdapat pada 33 naskah. Menarik untuk dicatat bahwa ke-33 naskah tersebut semuanya pustaha. Berarti tidak ada satu pun naskah bambu atau naskah tulang yang mengandung resep obat-obatan. Jumlah pustaha dalam katalog Manik sebanyak 214, berarti bahwa hanya sekitar 15% pustaha mengandung obat-obatan. Banyak obat-obatan yang disebut dalam pustaha berguna untuk menetralkan racun (bisa, rasun) dan sebagai obat anti guna-guna (aji). Sering juga terdapat obat penyakit dan infeksi kulit seperti kusta (gadam), dan borok (baro gaja). Selain itu ada obat yang dapat mengobati sakit perut, sakit gigi (tungkolon), penyakit anak-anak, penyakit setelah bersalin (rianon), malaria (arun), disentri (rojan) dan sebagainya. Banyak di antara obat-obatan adalah ramuan yang dipijat pada bagian tubuh yang sakit (pandampol). Bagi yang ingin lebih mengetahui obat-obatan tradisional Batak dianjurkan untuk membaca karya Winkler dan Römer yang semuanya berbahasa Jerman (Römer 1907; Winkler 1907; 1925).
5.6
Ilmu Nujum
Boleh dikatakan bahwa tidak ada pustaha yang tidak mengandung ramalan. Ilmu nujum mungkin ilmu yang paling penting bagi orang Batak dahulu kala, dan sebagian besar isi pustaha berkaitan dengan topik tersebut. Cara untuk meramal ada seribu satu macam dan yang disebut di sini hanyalah yang paling sering disebut dalam pustaha. 5.6.1 ILMU PERBINTANGAN Banyak ramalan bertolak pada ilmu perbintangan. Di sini bukan tempatnya untuk menjelaskan astrologi orang Batak yang sangat kom-
Pustaha dan Isinya
49
pleks ini. Cukup bila disebut beberapa nujum perbintangan yang lazim terdapat di pustaha-pustaha. Pormesa na Sampuludua Pormesa na Sampuludua adalah gugusan bintang dalam lengkung langit yang dua belas (sampuludua) jumlahnya. Kata pormesa terdiri dari awalan por-, yaitu awalan kuno yang sekarang bisanya menjadi par-, dan mesa yang berasal dari bahasa Sanskerta meṣa. Meṣa (domba jantan) adalah rasi pertama dalam astrologi Hindu yang dalam astrologi Barat dikenal sebagai Aries. Dengan demikian arti pormesa na sampuludua berarti kedua belas rasi yang dalam bahasa Indonesia dinamakan mintakulburuj atau zodiak. Pada daftar berikut terdapat kedua belas rasi dalam lima bahasa – Sanskerta, Batak Karo dan Toba, Indonesia dan Latin. Saya ikutsertakan bahasa Latin, karena nama rasi dalam bahasa Latin lebih populer daripada yang dipinjam dari bahasa Sanskerta dan Arab. Kebanyakan nama rasi berasal dari bahasa Sanskerta, tetapi beberapa rasi juga mempunyai nama kedua yang dipinjam dari bahasa Arab. Rasi nesa misalnya juga disebut burjamhal, dan rasi kanya juga disebut sunbulat atau burjusumbulat. Karena bangsa Indonesia tidak lagi menimba ilmu dari India atau Arab melainkan dari Eropa dan Amerika, maka nama rasi yang dipinjam dari bahasa Arab dan Sanskerta sudah kurang populer dan mulai diganti oleh nama rasi yang diambil dari bahasa Latin (dengan penyesuaian ejaan, mis. pisces yang dalam bahasa Latin berarti ‘ikan’ menjadi pises, dan cancer ‘kepiting’ menjadi kanser). Karena rata-rata orang tidak memahami bahasa Latin atau Sanskerta maka arti dari rasi tersebut umumnya tidak diketahui. Oleh sebab itu daftar di bawah ini dilengkapi dengan kolom yang memuat terjemahan setiap rasi. Perlu diketahui bahwa arti kebanyakan rasi dalam bahasa Latin dan Sanskerta persis sama, misalnya arti gemini dan mithuna adalah anak kembar, virgo dan kanya dalam kedua bahasa juga mempunyai satu arti, yaitu gadis. Yang berbeda hanya rasi makara (kaprikornus): Capricornus adalah semacam kambing liar sementara makara adalah semacam mahluk penghuni lautan.
50
Surat Batak
Tabel 4: Dua Belas Rasi Bintang
♈ ♉ ♊ ♋ ♌ ♍ ♎ ♏ ♐ ♑ ♒ ♓
Bahasa Latin Bah. Sanskerta Aries Meṣa
B. Indonesia
Terjemahan
Aries Nesa
domba jantan
Taurus Vriṣabha Gemini Mithuna Cancer Karkaṭa Leo Singha
Taurus Wrisaba Gemini Mintuna Kanser Karkata Leo Singa
lembu jantan
Virgo Kanyě Libra Tulě Scorpio Vrṣṭika Sagittarius Dhanu Capricornus Makara Aquarius Kumbha Pisces Mina
Virgo Kanya Libra Tula Skorpio, Kala Kricika Sagitarius Danuh Kaprikornus Makara Akuarius Kumba Pises Mina
gadis
anak kembar kepiting singa
neraca kala pemanah panah kambing liar mahluk laut penuang air kendi ikan
Bahasa Toba Bahasa Karo Mesa Mesa Morsoba Měrsěeba Nituna Mětuna Harahata Měrkata Singa Singa Hania Kania Tula Tula Mortiha Měrtika Dano Dahanu Mahara Makara Morhumba Kumba Mena Mena
Menarik untuk dicatat bahwa orang Batak memberi arti yang pada umumnya berbeda. Hanya satu rasi diberi arti yang sesuai dengan arti aslinya, yaitu mena yang diartikan denghe (ikan). Semua rasi lainnya diberi arti baru. Binatang yang asing bagi orang Batak seperti domba dan singa diganti dengan binatang yang lebih dikenal, yaitu hambing (kambing) dan babiat (harimau). Penyimpangan yang lebih jauh terdapat pada harahata – seharusnya kepiting – yang diartikan tohuk atau rikrik (kodok). Kadang-kadang arti yang baru disebabkan oleh bunyi kata yang
Pustaha dan Isinya
51
asli. Misalnya vriṣabha yang menjadi morsoba dan diartikan sobasoba (kumbang) atau sabasaba (kupu-kupu). Hal yang sama terjadi pada rasi nituna yang diartikan tuna (cacing), dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Karo sebagai gayo (cacing). Hal itu juga terjadi pada rasi dano yang diartikan aek (air, sungai) atau dano (danau). Nujum pormesa na sampuludua dibuka kalau mendirikan rumah baru, membuka lahan pertanian, mengadakan pesta perkawinan, mencari benda yang hilang, dan banyak lagi hal. Bila nujum yang berkaitan dengan kedua belas pormesa kurang menguntungkan, maka dibuka nujum panggorda na ualu. Panggorda na ualu Panggorda (Karo: panggurdaha) adalah delapan dewa yang masingmasing menguasai satu mata angin. Urutan dan nama kedelapan panggorda tidak selalu sama: 1. Garoda/gorda, 2. Dieak gora/deak gora, 3. sua, 4. sangmusiha/sangbunia, 5. sorpa/singa, 6. sangbinae/hania, 7. hania umbunu/sorpa, 8. tola umbunu dano/morsaboa. Arti kedelapan panggorda juga tidak selalu sama. Garoda (Gorda) diartikan halili (elang) atau onggang (enggang) – pokoknya sejenis burung (gorda/garoda = Garuda). Seperti dikatakan tadi, pormesa na sampuludua dan panggorda na ualu dapat ditandingkan. Pada hari pertama dalam sebulan, mesa (kambing) yang menentukan, tetapi kalau hasilnya kurang cocok, dapat pula diperhatikan panggorda na ualu. Panggorda pertama adalah gorda, dan kalau kambing dan enggang berkelahi, menanglah enggang. Karena panggorda hanya ada delapan, maka pormesa kesembilan bertanding dengan panggorda pertama dst. Kalau kedua belas pormesa dan kedelapan gorda sudah dikonsultasikan, tetapi hasilnya belum juga memuaskan, masih ada jalan keluar dengan membuka nujum ketiga yang disebut pehu na pitu. Pehu na pitu Pehu adalah tujuh dewa yang masing-masing menguasai satu hari pada satu minggu yang terdiri atas tujuh hari. Nujum ini membentuk suatu kesatuan dengan kedua nujum yang disebut di atas. Nujum ini
52
Surat Batak
biasanya dibuka kalau hasil kedua nujum di atas tidak menunjukkan hasil yang memuaskan karena ketujuh pehu tersebut dapat membunuh kedua belas pormesa dan kedelapan gorda. Nujum ini dapat juga dibuka sendirian (tanpa sebelum mengkonsultasikan pormesa dan gorda), misalnya pada acara kelahiran anak, persiapan perang dsb. Nama dari ketujuh pehu adalah 1. artia sanggasti, 2. suma simonang barita, 3. anggara patimosna, 4. muda sampe tua, 5. boraspati pidoras, 6. singkora sunggu sori, 7. samisara sunggu raja. Pormamis na lima Kelima pormamis adalah dewa yang masing-masing menguasai satu ketika (dalam bahasa Melayu nujum ini disebut Ketika Lima): Mamis di na sogot (pagi-pagi), bisnu di na pangului (pagi), sori di na hos (siang), hala di na guling (sore), dan borma di na bot (malam). Nujum ini dibuka sebelum mengadakan acara perkawinan atau acara lain yang berkaitan dengan uang. Maksudnya ialah untuk mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan acara termaksud. Nujum pormamis sering dibuka bersamaan dengan dua nujum lainnya yang disebut lamadu na onom dan rambu matoga na opat dengan maksud untuk mengetahui baik hari maupun waktu yang cocok untuk melakukan suatu upacara. Kelima pormamis adalah 1. mamis, 2. bisnu, 3. sori, 4. hala, 5. borma. Empat dari kelima pormamis ini adalah dewa Hindu: Vishnu, Sri, Kala, dan Brahma. Nujum ini banyak persamaan dengan ketika lima di mana ketika pertama dinamakan maheswara – salah satu nama dewa Shiwa. Karena itu dapat disimpulkan bahwa mamis adalah Shiwa. Tetapi hal itu tidak penting bagi orang Batak yang menggunakan nujum ini untuk mengetahui apa suatu ketika adalah baik atau buruk. Pane na Bolon Nujum ini pada hakikatnya sama dengan nujum naga besar yang dikenal oleh masyarakat Melayu. Nujum pane na bolon (pane besar) biasanya dibuka pada saat mau mengadakan perang atau kalau mau mendirikan kampung baru. Pane besar adalah dewa yang mengelilingi bumi (banua tonga) dan dalam perjalanannya menempati keempat mata angin selama masing-masing tiga bulan. Pada setiap kali berpindah ia
Pustaha dan Isinya
53
mendirikan sebuah kampung baru, dan sesuai dengan adat Batak mengadakan sebuah pesta besar. Untuk menjamu tamunya ia membutuhkan jiwa manusia yang biasa diambilnya pada saat perang atau wabah penyakit. Hal tersebut membuat pane na bolon menjadi dewa yang sangat ditakuti, dan hanya sang datu-lah yang dapat mengetahui keberadaannya dan bagaimana menghindarinya. Sang datu perlu mempertimbangkan letaknya pane, bagian-bagian tubuh, dan organ-organnya. Kutipan berikut ini diambil dari sebuah pustaha: Ianggo di bulan si pahasada ro di bulan si pahadua di purba ma ulu ni ompunta Pane na Bolon, di pastima ma ia ihurna. Jaha hita laho porang masibodilan, tumundalhon agoni ma hita dohot nariti ia porang masibodilan. Ia porhehe ni ompunta Pane na Bolon di boras si pati ni tangkup; ia ari portolo: di muda ni poltak, di boras si pati ni poltak, di suma ni mangadop, di mula ni holom, di anggara na begu, di samisara bulan mate, di hurung. I ma na jadi porporangon; dapot ma anak ni raja dohot anggi ni suhut dohot boru sihabolonan dohot anak silitonga jala tumading na [d]i bortian. Ia hamateanna di pea-pea ia so di punsu ni tor jala singgalak do halak mate, ale amang suhutnami, oi. (Tobing 1956:125-126) Mulai bulan pertama hingga bulan ketiga kepala sang Pane na Bolon berada di timur, dan ekornya di barat. Kalau kita mengadakan perang bedil, pastikan agar selalu membelakangi tenggara dan barat daya. Adapun hari bangkitnya Pane na Bolon hari ke-12. Harihari berikut ini cocok untuk memerangi musuh kita: hari keempat, kelima, ke-18, ke-24, ke-28 dan ke-29. Dalam peperangan tersebut jatuhlah korban sebagai berikut: anak raja, adik raja, menantu raja, dan anak tengah; yang terakhir meninggalkan anak dalam kandungan. Orang yang mati itu ditemukan terlentang di puncak gunung atau di rawa-rawa, wahai raja kami. Kemudian teksnya diteruskan tentang apa yang terjadi pada triwulan kedua bila kepala Pane na Bolon berada di selatan dan ekornya di utara. Letaknya Pane bukan saja perlu diperhatikan bila mau mengadakan
54
Surat Batak
perang, tetapi juga pada acara-acara penting lainnya, seperti misalnya membangun rumah. Kalau sang Pane diketahui berada di selatan, sebaiknya pembangunan dimulai dengan dinding barat dan timur, dan pendirian dinding lainnya perlu ditunda dulu agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Pane na Bolon sering dikaitkan dengan halilintar. Di salah satu pustaha dapat kita baca tentang poda ni panjujur ni pane na bolon… (petunjuk tentang nujum Pane na Bolon yang berbunyi: Poda ni panjujur ni pane na bolon na umboto porhas manoro dohot hilap sumormin dohot gontam, daboto ma manghuling, na paboa ari tula dohot suma ni holom. Di panjujur ni pane na bolon do dajujur porpanean. Ia manoro do pane na bolon, dadabu ma ajinta inon. Ianggo gontam dope manghuling dohot sormin humilap, inda poro manoro ajinta inon. Ia manghuling do giring-giring ni pane na bolon inon torang arina inon, manoro ma pane na bolon. Ia torruhut hita do inon dohot rambu siporhas, i pe hita asa na tongon datu ninni halak na torop, ale Datu Pangarambu ni Aji. Ulang so ingot di ari, ulang dipaboa ho inon di halak legan, ale amang! (Winkler 1956:31) Petunjuk perihal nujum Pane na Bolon yang mengetahui kilat yang menyambar, serta kilap yang berkilau, yang bergemuruh, yang mengumumkan hari tula, dan suma ni holom. Dalam memperhitungkan Pane na Bolon dimintalah nasehat nujum Pane. Kalau menyambar Pane na Bolon maka diterapkanlah sihir ini. Kalau masih bergemuruh dan mengilap, sihir ini belum menyambar. Kalau berbunyi giring-giring Pane na Bolon, maka menyambarlah Pane na Bolon di pagi buta. Kalau kita mengetahui aturan ini serta nujum rambu ni porhas, barulah kita betul-betul datu yang diakui oleh rakyat banyak, wahai Datu Pangarambu ni Aji! Jangan lupa pada hari-harinya, jangan beritahu kepada yang tidak berkepentingan, Bapak! Dari kutipan tersebut menjadi jelas bahwa ilmu kedukunan dianggap sebagai suatu ilmu yang sifatnya rahasia dan hanya boleh diketahui oleh para datu dan sisean (muridnya).
Pustaha dan Isinya
55
Porhalaan Porhalaan ialah kalender Batak yang terdiri atas dua belas bulan dengan masing-masing 30 hari. Kalender tersebut tidak pernah dipakai untuk penanggalan melainkan untuk tujuan meramal hari yang baik yang disebut panjujuron ari. Orang Batak dahulu kala tidak pernah mengetahui angka tahun karena memang tidak pernah dihitung. Bulan dihitung dengan mengurutkannya sebagai bulan pertama (bulan si pahasada), kedua (si pahadua), dan seterusnya hingga bulan kesepuluh.11 Bulan kesebelas dinamakan bulan li, dan bulan kedua belas dinamakan bulan hurung. Hari pertama setiap bulan (bona ni bulan) biasanya jatuh pada hari yang menyusul bulan mati, dan bulan purnama jatuh pada hari keempat belas. Permulaan tahun, yang dalam bahasa Toba disebut bona ni taon, dapat ditentukan ketika rasi Skorpio (siala poriama) terbit di ufuk timur dan rasi Orion (siala sungsang) terbenam di ufuk barat yaitu di bulan Mei. Bila bulan sabit yang masih sangat tipis kelihatan menjelang maghrib di sebelah utara Orion sebelum terbenam di ufuk barat, ialah awal tahun baru kalender Batak (yang pada tahun 2001 jatuh pada tanggal 23 Mei). Empat belas hari kemudian bulan purnama terbit di ufuk timur dan mengambil posisi sebelah utara rasi Skorpio. Dari rasi Skorpio (kala) kalender Batak dapat namanya, yakni porhalaan. Diagram kalender dengan 12 bulan dan 30 hari sering diukir pada ruasruas bambu. Pada setiap bulan terdapat gambar kala yang menempati tiga hingga empat hari. Pada bulan pertama letaknya bulan purnama (hari ke-14) masih dekat dengan Skorpio, sedangkan pada bulan-bulan berikut bulan purnama makin menjauh dari rasi bintang tersebut. Dalam bahasa Batak tidak ada istilah ‘minggu’, tetapi setiap bulan dapat dibagi atas empat minggu yang masing-masing tujuh hari. Nama ketujuh harinya dipinjam dari bahasa Sanskerta. Dalam dalam Sanskerta hari pertama adalah Aditya (matahari) dan yang kedua Soma (bulan). Kelima hari berikut dinamakan menurut salah satu bintang siarah, yakni 11. Walaupun ‘paha-’ dalam si pahasada dst. hanya merupakan awalan untuk membentuk bilangan urutan, awalan tersebut sering dianggap sebagai kata sendiri sehingga sering dapat dijumpai cara penulisan si paha sada atau dalam bahasa Karo si paka sada; bandingkan Van der Tuuk (1971:187).
56
Surat Batak
Anggara (Marikh, Mars), Budha (bintang Utarid, Mercurius), Brihaspati (Musytari, Yupiter), Syukra (bintang Johar, bintang timur, Zuhara, Zohrah, Zuhrat, Venus), dan Syanaiscara (Zohal, Saturnus). Sistem tujuh hari tersebut dipinjam dari India, tetapi dari nama-nama hari dalam kalender Batak Karo tampak bahwa ada sistem asli Batak, ialah dengan menghitung ketiga puluh hari tersebut. Perhatikan misalnya hari ketiga (Nggara telu uari), keenam (Cukera enem berngi), kesembilan (Suma na siwah), kesepuluh (Nggara sepuluh), kesembilan belas (Beraspati sepuluh siwah), dan hari kedua puluh (Cukera dua puluh). Hari ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 dalam kalender Karo juga masih menunjukkan nama yang asli, yakni bělah, bělah purnama, bělah turun, dan mate bulan. Pada hari kedua dan kelima terdapat tambahan pultak (bertambah besar), sedangkan setelah bulan purnama pada hari ke-14 terdapat tambahan cěpik (berkurang), měděm (tidur), mate (mati), holom (kelam), buni (sembunyi), gok (penuh), duduk (akhir), yang semuanya menandakan bulan yang makin mengecil. Ada pula beberapa nama hari atau tambahan yang kurang jelas maksudnya. Hari kedelapan kalender Toba (antian ni aek) misalnya jelas merupakan penyimpangan dari bentuk aditia naik. Kurang jelas adalah tambahan mangadop (menghadap) dan tangkěp (tangkap). Tabel 5: Nama Hari menurut Kalendar Batak Toba
Karo
1
Artia
Aditia
2
Suma
Suma pultak
3
Anggara
Nggara telu uari
4
Muda
Budaha
5
Boraspati
Beraspati pultak
6
Singkora
Cukera enem berngi
7
Samisara
Belah naik
8
Antian ni aek
Aditia naik
9
Suma ni mangadop
Suma na siwah
10
Anggara sampulu
Nggara sepuluh
Pustaha dan Isinya 11
Muda ni mangadop
Budaha ngadep
12
Boraspati ni tangkop Boraspati tinangkop
Beraspati tangkep
13
Singkora purnama
Cukera lau Cukera dudu
14
Samisara purnama
Belah purnama
15
Tula
Tula Belah purnama raya
16
Suma ni holom
Suma cepik
17
Anggara ni holom
Nggara enggo tula Nggara petula
18
Muda ni holom
Budaha gok Budaha ha
19
Boraspati ni holom
Beraspati sepuluh siwah
20
Singkora mora turun Singkora dua pulu
Cukera dua puluh
21
Samisara mora turun
Belah turun
22
Antian ni angga Antian ni anggara
Aditia turun
23
Suma ni mate
Suma na mate
24
Anggara na begu Anggara ni begu
Nggara si mbelin
25
Muda ni mate
Budaha medem
26
Boraspati ni gok
Beraspati medem
27
Singkora duduk
Cukera mate
28
Samisara bulan mate
Mate bulan
29
Hurung
Dalin bulan
30
Ringkar
Samisara
57
58
Surat Batak Sebagaimana juga halnya di kawasan Nusantara lainnya, hari baru bermula pada ketika matahari terbenam. Penentuan awal bulan dapat dilakukan dengan perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan (hisab) atau dengan mengamati penampakan bulan sabit (rukyat).
Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang setelah matahari terbenam karena intensitas cahaya bulan sabit yang masih amat tipis sangat redup dibanding dengan cahaya matahari. Karena, menurut pengetahuan kita, orang Batak di zaman dahulu belum dapat menentukan posisi bulan secara matematis maka awal bulan ditentukan dengan cara rukyat. Apabila bulan sabit terlihat (hilal), maka pada petang waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru dengan hari Artia/Aditia. Bulan sabit akan kelihatan di ufuk barat dekat dengan tempatnya matahari terbenam. Beberapa saat kemudian bulan sabit pun terbenam di ufuk barat atau menghilang di balik gunung (bagi mereka yang tinggal di pedalaman). Secara astronomis, bulan baru bisa terjadi pada pagi, siang, sore, atau malam. Apabila bulan baru terjadi sesudah jam 12 siang maka pada petang hari bulan sabit masih terlalu dekat pada matahari sehingga tidak terlihat (pada saat bulan baru waktu bulan terbenam hampir sama dengan waktu matahari tenggelam). Karena hilal tidak terlihat, maka awal bulan ditetapkan mulai petang keesokan harinya walaupun secara astronomis sudah bermula sehari lebih awal! Oleh sebab itu maka bona ni bulan biasanya jatuh pada hari pertama atau malahan hari kedua sesudah peristiwa bulan baru astronomis. Setelah tujuh hari bulan terbit pada jam 12 siang dan terbenam sekitar jam 12 malam. Pada saat itu nampak bulan separuh dari bumi. Ketika ini bisa jatuh pada hari Samisara/Belah Naik atau pada hari Antian ni Aek/Aditia Naik tergantung apakah bona ni bulan dirukyat pada satu atau dua hari setelah hilal. Oleh sebab itu maka nama kedua hari itu diberi tambahan naik. Tujuh hari kemudian adalah
Pustaha dan Isinya
59
bulan purnama yang jatuh pada hari Singkora Purnama/Cukera Lau atau Samisara Purnama/Belah Purnama. Oleh karena itu kedua hari diberi tambahan purnama. Sama dengan matahari perjalanan bulan pun dari timur ke barat, akan tetapi perjalanan bulan lebih lambat sehingga sesudah hari Aditia bulan makin ketinggalan. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada minggu pertama setelah bulan baru. Posisi bulan pada jam 18:00 kian hari kian tinggi yang dalam bahasa Melayu/Indonesia disebut sebagai ‘timbul’ akan tetapi dalam bahasa Batak istilahnya naik. Semakin timbulnya bulan terjadi seiring dengan semakin bertambah besar (poltak/pultak) bulan sabit. Oleh sebab itu maka keenam hari menyusul Artia/Aditia kerap diberi tambahan poltak atau pultak yaitu Suma ni poltak, Anggara ni poltak, Muda ni poltak, Boraspati ni poltak, Singkora ni poltak, dan Samisara ni poltak sementara hanya sebagian dari keenam hari itu dalam bahasa Karo diberi tambahan pultak: Suma pultak, Anggara telu hari, Budaha, Beraspati pultak, Cukera Enem Berngi, Belah naik. Oleh sebab itu juga maka mata angin barat dalam pustaha sering disebut sebagai hasundutan ni mataniari, hapoltahan ni bulan. Di daerah Karo sampai sekarang masih sering dipakai sebuah kalender yang menggunakan tarikh Masehi maupun Batak. Di bawah tiap hari Masehi dicetak hari menurut kalender Batak Karo berikut dengan keterangan tentang baik-buruknya hari tersebut. Pada kalender tersebut (yang dicetak oleh Toko Barus di Kabanjahe) hari ke-14 disebut belah purnama raya sedangkan hari ke-15 adalah hari tula. Kebetulan saya memiliki dua edisi dari kalender tersebut, yakni tahun 1983 dan 1991. Setelah dicek, terdapat beberapa hal yang membuat saya ragu apakah kalender tersebut sesuai dengan penanggalan Batak yang tradisional. Pada kalender ini tanggal 29 Maret 1983 adalah hari belah purnama raya bulan si paka-IX. Bulan purnama memang jatuh pada hari tersebut (terbit jam 19:13). Di bulan berikut bulan purnama jatuh pada tanggal 27 April (terbit jam 18:42). Perlu diketahui bahwa kurun waktu antara bulan purnama ke bulan purnama rata-rata 29,53 hari (12 jam, 44 menit, dan 2.8 detik) sehingga dua belas bulan membentuk satu tahun kamariah yang panjangnya 354.36 hari, sedangkan tiap bulan Batak memiliki 30 hari. Tidak diketahui bagaimana orang Batak dahulu
60
Surat Batak
kala mengimbangi kekurangan tersebut. Pada kalender yang disebut di atas hal ini memang diperhitungkan dengan cara bahwa setiap bulan secara berganti-ganti mempunyai 29 atau 30 hari. Dengan demikian satu tahun tidak mempunyai 360 hari melainkan hanya 354 hari. Saya hampir yakin bahwa kalender ‘tradisional’ tersebut tidak berpangkal dalam tradisi tetapi disesuaikan dengan tarikh Hijrah karena ternyata tahun baru Hijrah yang jatuh pada tanggal 13 Juli 1991 (1 Muharam 1412H) identik dengan pergantian tahun Batak (hari Aditia, bulan si paka sada), kemudian hari pertama bulan kedua identik dengan tanggal 1 Safar 1412H, bulan si paka telu mulai pada tanggal 1 Rabiulawal dan seterusnya. Kelompok Batak yang hingga kini masih menggunakan penanggalan Batak adalah Parmalim. Parmalim adalah aliran kepercayaan yang berdasar pada agama leluhur Batak. Penulis sudah tiga kali menyaksikan acara si pahasada, ialah pada tanggal 2-4-1985, 8-4-1989, dan 30-3-1991. Menurut kalender Batak yang tradisional, tiap bulan berakhir dengan mati bulan. Acara pertama dan ketiga dirayakan oleh Parmalim yang berpusat di Huta Tinggi. Baik tanggal 2-4-1985 maupun 30-3-1991 tidak mungkin merupakan awal tahun (atau awal bulan). Acara 1985 diadakan tiga hari sebelum bulan purnama (hari ke-11 atau Muda ni mangadop) dan acara 1991 diadakan pada bulan purnama atau hari ke-14. Tidak diketahui bagaimana Parmalim Hutatinggi menentukan si pahasada-nya, tetapi jelas tidak menurut cara tradisional Batak. Acara si pahasada yang saya saksikan tahun kemudian (1989) dilaksanakan oleh kelompok Parmalim yang berpusat di Silaen. Kelompok Parmalim ini tidak mempunyai hubungan dengan Parmalim Hutatinggi dan merupakan sebuah aliran kepercayaan yang tersendiri. Acara tersebut juga tidak bertepatan dengan hari Aditia, tetapi dekat sekali: 8.4.1989 adalah hari kedua (Suma). Akan tetapi konstelasi bintang yang terdapat pada hari itu tidak sesuai dengan awal tahun Batak yang seharusnya jatuh pada 5 Juni 1989! Sebuah porhalaan sering diukir di sebuah ruas bambu. Ada yang berbulan dua belas dan ada pula yang berbulan tiga belas. Bulan ke-13 dipakai untuk menyesuaikan tahun kamariah dengan tahun matahari. Karena kalender Batak berdasarkan pengitaran bulan mengelilingi bumi maka satu tahun terdiri atas 12 bulan dengan masing-masing 30 hari sehingga
Pustaha dan Isinya
61
berjumlah 360 hari. Karena tahun kamariah tidak dapat digunakan untuk tujuan yang berkaitan dengan bercocok tanam (menentukan bulan semaian dsb.) maka perlu ditambah satu bulan sehingga sesuai dengan lamanya perjalanan bumi mengitari matahari (365 hari). Hal tersebut dicapai dengan menambah bulan ke-13 yang dinamakan bulan lobi-lobi atau lamadu. Namun demikian, menurut Winkler (1913:443) bulan ke-13 ini tidak berfungsi sebagai bulan kabisat. Sang datu selalu ikut memperhitungkan bulan yang berikut (misalnya bulan lima dan enam, atau bulan 12 dan 13 - dan kalau tidak ada bulan 13 maka diambil bulan satu) untuk mendapat kepastian dalam menentukan hari yang baik. Pada diagram porhalaan yang sering diukir di suatu ruas bambu, tampak 12 atau 13 bulan dengan masing-masing 30 harinya yang dibuat dengan garis yang membujur dan melintang. Selain itu tampak pula beberapa garis sudut-menyudut yang masing-masing berpangkal pada hari ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 di bulan pertama. Pada bulan kedua, hari yang kena garis diagonal tersebut adalah hari ke-6, ke-13 dan seterusnya. Hari-hari ini dikenal sebagai ari na pitu – hari-hari yang ketujuh yang harus dihindarkan bila hendak memulai suatu pekerjaan yang baru. Selain ari na pitu tersebut ada pula gambar kala jengking (hala) yang sudah disebut di atas. Pada hari yang ditempati kepala, badan atau ekornya, tidak boleh dilakukan upacara apa pun. Hari-hari yang lain ditandai dengan bermacam-macam lambang yang tidak selalu seragam. Hari yang baik biasanya ditandai dengan sebuah titik yang melambangkan butir padi, sedangkan hari yang tak menentu ditandai dengan tanda silang. Hari-hari yang lain biasanya kurang menguntungkan. Beberapa hari juga ditandai dengan huruf. Hari yang ditandai Ha, Na, Ta dan O adalah hari yang baik, huruf Ra menandai hari yang dapat diragukan, sedangkan huruf Pa, Sa, La, Nga, Ngu, Hu, dan Ba menandai hari yang buruk. Hampir tidak ada kegiatan yang penting yang dilakukan tanpa menggunakan porhalaan – menentukan saat persemaian, waktu panen, hari perkawinan, mulai membangun atau memasuki rumah baru, mengadakan perjalanan, berperang, dsb.
62
Surat Batak
Ari Rojang Nujum yang masih erat berkaitan dengan porhalaan adalah ari rojang yang jumlahnya 30 dan setiap hari diberi nama binatang. Di alam Melayu nujum ini dikenal sebagai rejang, dan hari-harinya adalah 1. kuda, 2. kijang, 3. harimau, 4. Kucing, dsb., tetapi di Batak tidak ada keseragaman sehingga tidak mungkin memberikan daftar yang akurat. Menurut sebuah pustaha dari koleksi Van der Tuuk (Leiden Cod. Or. 3402, hal. 142), nujum ari rojang dibuka pada kesempatan sebagai berikut: Ia ulaon ni ari rojang, molo halak laho mordalan barang laho mangoli barang laho mortunggu barang laho mortiga-tiga ditilik ma i; di si ma diboto na denggan barang na dae. Molo tole ma ibana borhat dibahen ma pangalomuk dohot panahut. I ma ulaonni. (Voorhoeve 1975:183) Nujum rejang ini dibuka bila mau mengadakan perjalanan, pesta perkawinan, menagih utang, atau berjualan agar diketahui baik buruknya hari. Kalau mau mulai mengadakan suatu kegiatan agar dipersembahkan sajian yang membuat [dewa yang menguasai hari tersebut] menjadi jinak dan takut. Demikianlah manfaat nujum ini. 5.6.2 NUJUM DENGAN MEMAKAI BINATANG Banyak ramalan berkaitan dengan binatang kurban, biasanya ayam atau kerbau. Ada pula ramalan yang menggunakan leher babi atau anjing yang dipotong yang disebut Aji Payung. Pormanuhon (Aji Nangkapiring, Manuk Gantung) Ramalan yang memakai ayam sebagai binatang kurban disebut pormanuhon (manuk = ‘ayam’) yang dapat dibagi atas dua ramalan yang agak berbeda: Aji Nangkapiring dan Manuk Gantung. Ramalan Aji Nangkapiring dibuka sebelum melakukan sesuatu yang penting, seperti mendirikan kampung atau rumah baru, mempersiapkan perang, mengadakan perkawinan, dan juga untuk mengetahui sebab sebuah penyakit. Ramalan ini cukup rumit dan biayanya besar sehingga
Pustaha dan Isinya
63
hanya orang kaya, atau seisi kampung yang sanggup melaksanakannya. Secara ringkas, apa yang dilakukan pada ramalan tersebut adalah memotong seekor ayam yang kemudian ditutup dengan sebuah keranjang. Oleh karena itu ramalan tersebut juga dinamakan manuk di ampang (ayam di keranjang). Bila ayam sudah mati, keranjangnya dibuka dan diperhatikan letaknya ayam itu terhadap keempat sudut keranjang, terhadap desa na ualu (kedelapan mata angin), terhadap hasea na pitu, yaitu tujuh jenis ramuan yang bersamaan dengan ayam ditaruh di bawah keranjang tersebut12, dan terhadap datu yang duduk menghadap keranjang tersebut. Ramalan ini disebut Aji Nangkapiring menurut nama yang diberikan kepada ayam jago yang dipotong (Winkler 1907:207; Tobing 1956:143). Nujum manuk gantung juga termasuk pormanuhon, tetapi cara ramalannya berbeda sedikit. Ramalan ini biasanya dibuka pada saat sebuah kampung diancam perang, atau pada saat sebuah kampung mengadakan pagar. Setelah ayam itu dipotong, diperhatikan tanda-tanda pada paruh, mata, bulu, dsb. Kemudian ayam itu dibelah dan diperhatikan tandatanda di bagian dalamnya (Winkler 1925). Porbuhitan Persembahan seekor kerbau yang ditambat di borotan (tiang persembahan) merupakan salah satu upacara yang paling penting bagi orang Batak yang menganut agama leluhur. Upacara ini dihadiri oleh seluruh bius13 dan dirayakan pada pergantian tahun (mangase taon atau mamele taon) dengan maksud untuk memulihkan keselarasan dengan alam semesta14. Upacara bius juga sering diadakan kalau suatu bius diguncang oleh
12. Ketujuh bahan (hasea) adalah gelang kuningan, daun sirih, baja (semacam getah kayu yang keluar kalau kayunya dibakar), minyak kelapa, bunga-bungaan, dan sebuah anting-anting emas. 13. Bius (di Samosir disebut buyus, dan di tempat lain bus) adalah gabungan beberapa horja (federasi kampung) yang semarga atau yang terdiri dari beberapa marga yang masih berada dalam satu ikatan genealogis. Biasanya mempunyai pusat tertentu yang merupakan onan (pekan). Horja bius telah dibahas dalam beberapa karangan (Korn 1953; Situmorang 1993b; Tobing 1956:152; Vergouwen 1933:86; Winkler 1925:138; Ypes 1932:160), sedangkan porbuhitan dibahas secara mendalam oleh Voorhoeve (1958:132-133). 14. Upacara mangase taon diuraikan panjang lebar dalam buku The Toba-Batak High God, transcendence and immanence oleh Anicetus B. Sinaga (1981).
64
Surat Batak
bencana, misalnya wabah penyakit atau musim kemarau yang berkepanjangan. Juga pada acara penting lainnya seperti mendirikan kampung baru, atau wafatnya seorang raja tua dapat diadakan persembahan kerbau dengan nujum porbuhitan. Saat kerbau yang dikurbankan ditikam dengan tombak dan jatuh mati merupakan ketika yang sangat penting bagi sang datu. Dari cara jatuh dan letaknya kerbau yang dipotong itu dapat ia ramalkan berbagai hal sebagaimana telah ditetapkan di pustaha yang dimilikinya. Nujum porbuhitan kadang-kadang dibahas panjang lebar dalam sebuah pustaha dan bisa mengisi puluhan halaman. Sebagai contoh disajikan di sini kutipan ringkas saja dari sebuah pustaha Karo (Perpustakaan Kerajaan, Copenhagen, BAT. 32) yang ditulis dalam ragam bahasa hata poda (lihat BAB 2.3). Jaha horbo marobo mangadoppon otara buhit mangameru nama tuwanni pusuk ni tali morsihotingan. (Voorhoeve 1975:134-135) Kutipan tersebut secara harafiah dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Jika kerbau rebah menghadap utara [maka] nama [daripada] tuah ini [adalah] bukit Mahameru; ujung tali saling terkait.” Kemudian dijelaskan bagian daging yang mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dimakan oleh pihak yang berperan dalam pesta tersebut, sajian apa yang perlu dipersembahkan, dan sebagainya. Kalau kerbau jatuh menghadap barat daya misalnya, hal ini bukan pertanda yang baik melainkan pertanda yang buruk: “Jaha horbo marobo mangadoppon nariti, buhit bayo tora tilahan ni horbo inon” (Jika kerbau rebah menghadap barat daya [maka nama daripada] celaka kerbau ini ini [adalah] bukit Bayo Tora). Kedua kutipan di atas tidak mudah dimengerti, tetapi sangat menarik bila disimak secara lebih mendalam. Dalam hampir semua nujum porbuhitan, tetap terdapat beberapa kata kunci yakni nama, buhit, mangameru, tuwanni atau tuwannya, dan tilahan atau tilahannya. Menarik untuk dicatat bahwa tuwannya dan tilahannya ditulis dengan aksara Nya karena bunyi tersebut tidak ada dalam bahasa Toba. Selain pada kedua kata tersebut huruf Nya hanya terdapat pada kata irisannya (timur laut). Kata ini memang berasal dari bahasa asing (Sanskerta aiśěnī). Pada umumnya
Pustaha dan Isinya
65
hanya kata asing yang ditulis dengan aksara Nya. Tilaha dalam bahasa Batak berarti ‘kematian anak’, tetapi secara etimologi padanan tilaha adalah ‘celaka’ sehingga tilahannya dengan huruf Nya dapat dianggap berasal dari bahasa Melayu ‘celakanya’, dan dalam kaitan dengan nujum dapat diartikan ‘[pertanda yang] kurang baik’. Sedangkan kata tuwannya dipakai sebagai lawannya tilaha sehingga dapat disimpulkan bahwa tuwannya berasal dari Melayu ‘tuah=nya’ (untung, bertuah). Jelas juga bahwa nama di sini bukan dipakai dalam arti Batak (nama = hanya), melainkan dalam arti Melayu.15 Arti buhit yang terdapat dalam kata Pusuk Buhit (nama sebuah gunung) serta dalam beberapa nama kampung kurang jelas, namun kemungkinan berarti ‘tinggi’. Dalam nujum ini dikatakan bahwa nama tuwanni atau nama tilahan adalah buhit yang dalam nujum ini disebut Mangameru, Bayo Tora, dan masih banyak nama lain. Nama yang paling sering terdapat adalah “Mangameru” yang berasal dari Mahěmeru – gunung suci dalam mitologi India. Jelas bahwa nujum porbuhitan ini banyak menunjuk pengaruh asing, terutama India dan Melayu, dan hal itu memang benar bagi sebagian besar nujum Batak. Pada umumnya pengaruh India itu tidak langsung masuk ke tanah Batak melainkan melalui budaya Melayu sebagai perantara. 5.6.3 NUJUM-NUJUM LAINNYA Rambu siporhas adalah sebuah tali ijuk yang panjangnya sekitar satu meter. Pada tujuh bagian tali tersebut diikat dengan bonang manalu, (benang triwarna). Nujum ini dibuka pada saat perang. Semua laki-laki yang ikut perang duduk di atas tikar yang dibentangkan di halaman kampung. Sang datu duduk terpisah dengan kain ulos ragidup di depannya. Kemudian datu mulai mengucapkan mantra dan melemparkan rambu siporhas di atas ulos yang terbentang di depannya. Dari letaknya tali yang dilempar tadi sang datu dapat meramal apakah mereka menang atau kalah (Voorhoeve 1975:145). Nujum panampuhi dibuka untuk menentukan cocok tidaknya jodoh, dan juga untuk meramal hasil perang. Untuk tujuan yang pertama diambil sebiji jeruk yang kedua ujungnya dipotong. Kedua potongan lalu di15. Kata ‘nama’ sendiri berasal dari bahasa Sanskerta.
66
Surat Batak
jatuhkan di tempat berisi air yang telah disediakan. Dari cara jatuhnya dapat dilihat apa kedua jodoh cocok atau tidak (Winkler 1925:189). Masih banyak ramalan-ramalan lain yang dapat disebut di sini seperti pangharhari (meramal dengan memperhatikan tanda-tanda pada telur yang direbus dan kemudian dibelah dua), parmunian (membaca tandatanda alam dan mimpi), parombunan (membaca tanda pada awan), atau ruji-rujian ialah potongan-potongan bambu yang diikat seperti ikat kunci. Masing-masing potongan bambu mengandung beberapa kata atau kalimat. Ikatan tersebut ditaruh di atas kepala orang yang disuruh memilih salah satu potongan bambu. Dari kata-kata yang tertulis di atasnya ketahuan bagaimana nasibnya atau apa harinya cocok untuk melakukan suatu pekerjaan.
|
6
AKSARA BATAK DAN SEJARAHNYA
Surat Batak sering diklasifikasikan sebagai sebuah silabogram, namum ini jelas keliru karena aksara Batak – sebagaimana juga aksaraaksara lainnya di Nusantara – merupakan bagian dari rumpun tulisan Brahmi (India) yang lebih tepat dapat diklasifikasikan sebagai abugida (paduan antara silabogram dan abjad). Sebuah abugida terdiri dari aksara yang melambangkan sebuah konsonan sementara vokal dipasang pada aksara sebagai diakritik. Abugida adalah jenis tulisan yang bersifat fonetis dalam arti bahwa setiap bunyi bahasanya dapat dilambangkan secara akurat.
6.1
Asal Usul Aksara Batak
Paleografi adalah ilmu tentang tulisan-tulisan kuno. Di banyak masyarakat yang mengenal tulisan terdapat naskah-naskah kuno yang umurnya dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan tahun. Aksara yang terdapat pada naskah-naskah kuno pada umumnya berbeda dengan aksara yang terdapat dalam naskah yang lebih baru. Dengan cara memperbandingkan aksara-akasara yang terdapat dalam naskah-naskah lama, kita dapat menyusun semacam silsilah aksara. Sebagian besar sistem tulisan yang ada di Afrika, Eropa, dan Asia berasal dari satu sumber, yakni aksara Semit Kuno yang menjadi nenek moyang tulisan-tulisan Asia (Arab, Ibrani dan India) maupun Eropa (Latin, Yunani dsb.) Aksara Batak termasuk keluarga tulisan India. Aksara India yang tertua adalah aksara Brahmi yang menurunkan dua kelompok tulisan yakni India Utara dan India Selatan. Aksara Nagari dan Palawa masing-masing berasal dari kelompok utara dan selatan dan kedua-duanya pernah dipakai di berbagai tempat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Casparis
68
Surat Batak
1975). Yang paling berpengaruh adalah aksara Palawa. Semua tulisan asli Indonesia berinduk pada aksara tersebut. Pada Gambar 8 dapat dilihat di mana secara garis besar tempatnya aksara Batak dalam silsilah tulisan sedunia.
Gambar 8: Silsilah Aksara Surat Batak terdiri atas dua perangkat huruf yang masing-masing disebut ina ni surat dan anak ni surat. Sistem tulisan yang demikian juga dipakai oleh semua abjad India dan abjad-abjad turunannya. Dan memang aksara Batak dan demikian juga semua aksara Nusantara lainnya yang berinduk pada aksara India).16 Namun demikian, kerabat surat Batak yang paling dekat adalah aksara-aksara Nusantara, dan khususnya yang di Sumatra. Tulisan Nusantara asli dapat dibagi atas lima kelompok: 1. Aksara Hanacaraka (Jawa, Sunda, Bali)
16. Yang dimaksud dengan “aksara Nusantara” adalah aksara-aksara turunan India yang terdapat di kepulauan Asia Tenggara.
Aksara Batak dan Sejarahnya
69
Ketiga aksara ini sangat mirip sekali dan disebut Hanacaraka menurut lima aksara yang pertama. Menurut De Casparis, ketiga tulisan tersebut berasal dari aksara Jawa Kuno (Kawi), sementara aksara Kawi secara langsung berasal dari aksara Palawa (Casparis 1975). 2. Surat Ulu (Kerinci, Rejang, Lampung, Lembak, Pasemah, dan Serawai) Surat Ulu, yang kadang-kadang juga dinamakan aksara Ka-Ga-Nga menurut bunyi ketiga aksara pertama, sangat mirip satu sama lain dan dipakai di dalam daerah yang sangat luas yang mencakup empat propinsi yakni Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Aksara Kerinci (surat incung) digunakan di Kabupaten Kerinci, propinsi Jambi, di sekitar kota Sungaipenuh. Dataran tinggi di pegunungan Bukit Barisan ini berbatasan dengan propinsi Sumatra Barat dan propinsi Bengkulu. Aksara yang ada di kabupaten Rejang-Lebong, Propinsi Bengkulu, juga dikenal sebagai aksara Rencong. Masih di kabupaten Bengkulu dan di perbatasan Bengkulu-Sumatra Selatan terdapat beberapa suku bangsa yang memiliki aksara yang hampir sama dengan aksara Rejang-Lebong, yakni aksara Lembak, Pasemah, dan Serawai. Aksara Lampung berbeda sedikit dari Surat Ulu, tetapi masih banyak memiliki persamaan. 3. Surat Batak (Angkola-Mandailing, Toba, Simalungun, PakpakDairi, Karo) 4. Aksara Sulawesi (Bugis, Makasar, dan Bima) Di Sulawesi terdapat dua aksara yang berbeda. Yang pertama adalah aksara Makasar Kuno. Naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara tersebut sangat sedikit jumlahnya karena sejak abad ke-19 tidak dipakai lagi. Aksara kedua adalah aksara Bugis yang kemudian juga digunakan oleh orang Makasar menggantikan aksara Makasar Kuno. Pada hakikatnya aksara Bugis-Makasar tersebut persis sama, perbedaannya hanya ada pada jumlah huruf karena Bugis mempunyai empat aksara tambahan. Aksara Bugis-Makasar pernah juga digunakan di Bima dan Ende (bekas daerah taklukan Makasar), namun naskah dari kedua daerah tersebut sangat langka sekali. Sama dengan di Sumatra, orang Bugis pun menamakan aksaranya surat: Surat Bugis.
70
Surat Batak
5. Aksara Filipina (Bisaya, Tagalog, Tagbanwa, Mangyan) Seperti juga halnya dengan ketiga kelompok di atas, aksara Filipina juga merupakan suatu kelompok yang mempunyai beberapa sistem tulisan yang satu sama lainnya banyak menunjukkan persamaan. Keempat aksara adalah Sulat Bisaya, Sulat Tagalog, Surat Tagbanwa, dan Surat Mangyan. Naskah yang paling lama pada umumnya ditulis pada bahan yang dapat bertahan lama seperti di batu atau di lempengan logam. Batu bertulis yang paling tua di Indonesia adalah prasasti Raja Mulavarman yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Barat yang ditulis pada tahun 322 Saka (tahun 400 Masehi). Hampir sama tua (450 M) adalah prasasti Raja Purnavarman yang ditemukan di Ci Aruten, Jawa Barat. Kedua prasasti tersebut beraksara Palawa, dan berbahasa Sanskerta. Prasasti-prasasti Sriwijaya dari abad ke-7 juga masih menggunakan aksara Palawa, tetapi bahasanya lain, yakni bahasa Melayu Kuno. Lambat-laun aksara Palawa tersebut berubah bentuknya sehingga pada abad kedelapan menurunkan aksara Kawi (baik di Sumatra maupun di Jawa). Aksara Kawi tersebut masih relatif mirip dengan aksara induknya, tetapi di sepanjang abad aksara itu berkembang lagi dan bentuk hurufnya berubah. Sebagai akibat perkembangan tersebut, pada abad ke-14 terbentuk beberapa aksara serumpun, termasuk Sumatra (prasasti Adityawarman) dan Jawa (prasasti Majapahit) yang sudah sangat berbeda dari aksara Palawa. Sedangkan aksara Jawa hanacaraka (abad kedelapan belas hingga kini) juga jauh berbeda dengan aksara Kawi di zaman Majapahit. Bila kita perhatikan perubahanperubahan yang terjadi di sepanjang abad menjadi jelas bahwa perubahan itu tidak terjadi secara mendadak melainkan secara berkesinambungan. Sebagai contoh, mari kita simak sejarah perkembangan huruf Na. Pada naskah Batak ditemukan empat bentuk Na. Yang berbentuk boleh dianggap yang paling tua karena masih mirip dengan bentuk aksara Palawa dan Kawi (kolom 2–4). Na-kuno ini memiliki varian yang memperlihatkan perkembangan ke arah bentuk baru n dan n.
Aksara Batak dan Sejarahnya
71
Tabel 6: Perkembangan Bentuk Aksara Na Palawa Majapahit
Amogha Tj. pasa Tanah
Bali Baru
Jawa Baru
Batak
nn Pada kolum pertama tabel di atas terlihat huruf Na sebagaimana ditulis di India pada awal dan pertengahan milenium pertama. Kolom kedua memperlihtakan aksara yang sama sekitar seribu tahun kemudian (abad ke-14). Ternayata dalam kurun waktu seribu tahun bentuk Na Majapahit itu tidak berubah jauh dengan bentuk Palawa; bagian bawah masih hampir sama, namun bagian atas disederhanakan. Kolom ke-3 dan ke-4 memperlihatkan dua bentuk aksara yang juga dari abad ke-14, tetapi digunakan di Sumatra, persisnya di Dharmasraya, di perbatasan Sumatra Barat dan Jambi. Walaupun bentuknya berbeda, kedua aksara berasal dari masa dan tempat yang sama. Keduanya digunakan pada abad ke-14 di dalam kerajaan Malayu. Yang pertama ditulis pada naskah Tanjung Tanah yang berasal dari Dharmasraya, dan yang kedua ditemukan pada bagian belakang patung Amoghapasa yang ditulis oleh Adityawarman dan ditemukan di Dharmasraya juga. Bentuk Na naskah Tanjung Tanah tidak berbeda jauh dengan bentuk aksara Bali Baru namun Jawa Baru sudah makin menjauh dari aksara asalnya. Jelas kelihatan di sini bahwa aksara Palawa dan Kawi masih sangat mirip, dan juga Batak q, yakni Na-kuno, masih cukup dekat dengan aksara Palawa dan Kawi, sementara Batak n (Na-Baru) merupakan penyederhanaan bentuk q. Dengan adanya sejumlah naskah kuno, terutama prasasti dan naskah yang ditulis di lempengan-lempengan tembaga atau emas, maka sejarah aksara Jawa dapat ditelusuri kembali sampai pada awal perkembangan aksara Kawi. Orang Batak, Rejang, Kerinci, Lampung, Bugis, Makasar
72
Surat Batak
dan juga orang Filipina pada umumnya tidak mengenal prasasti atau naskah logam, dan hanya menggunakan bahan yang mudah lapuk seperti bambu, kulit kayu (Sumatra), dan lontar (Sulawesi). Naskah yang masih ada pada umumnya tidak lebih tua daripada 200 tahun sehingga kita tidak tahu banyak tentang sejarah perkembangan aksara-aksara Nusantara tersebut. Diduga bahwa semua tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari sumber yang sama yang dianggap berada di Sumatra bagian selatan pada masa kejayaan Sriwijaya. Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara Batak adalah aksara Kerinci (surat incung), aksara Lebong, Lembak, Lintang, Pasemah, Rejang, Serawai (surat ulu), serta aksara Lampung. Sama dengan daerah Batak, daerah-daerah tersebut juga agak terpencil di daerah pegunungan sehingga kurang terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh asing yang dibawa dari seberang lautan dan secara lambat merembet dari pesisir ke pedalaman. Salah satu pengaruh budaya asing adalah masuknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam bersebar pula tulisan Arab yang di Melayu terkenal sebagai tulisan Jawi. Aksara "Arab gundul" tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatra asli yang kemudian hilang sama sekali. Karena daerah-daerah yang disebut di atas berada di pedalaman dan agak terpencil, maka pengaruh Islam baru dirasakan pada abad ke-19 sehingga aksara asli masih dapat bertahan sampai pada abad ke-20. Besar kemungkinan bahwa aksara Minangkabau dan Melayu juga pernah ada, tetapi kemudian digantikan oleh tulisan Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas. Aksara-aksara surat ulu di Sumatra bagian selatan banyak memiliki persamaan dengan huruf Batak. Huruf Ka, Ga, dan Ha hampir sama bentuknya, dan juga huruf Da masih banyak menunjukkan persamaan. Tabel 7: Persamaan Surat Batak, Surat Ulu, dan Surat Incung Surat Batak Ka Ga Da
k g d
Surat Ulu
k g d
Surat Incung
k g d
Aksara Batak dan Sejarahnya Ha
a
h
73
h
Sebagian nama anak huruf (lihat BAB 6.1.2) juga sangat mirip. Selain itu semua aksara Sumatra dan termasuk juga sebagian aksara Sulawesi dan Filipina memiliki persamaan yang struktural yang membedakannya dengan aksara India, Asia Tenggara, Jawa, dan Bali. Ciri-ciri khas aksara-aksara Sumatra, Sulawesi, dan Filipina adalah kesederhanaannya. Dibandingkan dengan aksara-aksara India yang memiliki empat puluhan aksara ditambah belasan tanda diakritik, tulisan-tulisan Nusantara jauh lebih sederhana. Tulisan Jawa dan Bali memiliki 20 aksara dan 10 diakritik, tulisan Lampung memiliki 20 aksara dan 12 diakritik, tulisan Makasar 19 aksara dan 5 diakritik, dan tulisan Tagalog hanya 15 aksara dan dua diakritik. Tulisan-tulisan India dan juga tulisan Sunda, Jawa, dan Bali mempunyai tanda “pasangan”, ialah tanda diakritik penanda konsonan yang ditulis untuk menutup konsonan lain di depannya. Tulisan-tulisan Nusantara di luar Jawa dan Bali tidak menggunakan pasangan sehingga jumlah huruf yang harus dihafal jauh berkurang. Kesederhanaan dalam bentuk aksaranya juga adalah ciri-ciri khas bagi aksara-aksara tersebut. Bila dibandingkan dengan aksara Jawa atau Bali, tampak bahwa aksara Sumatra, Sulawesi dan Filipina mempunyai bentuk yang lebih sederhana. Bentuk yang berlengkung-lengkung telah diganti oleh bentuk yang lebih bersegi yang lebih sesuai untuk menulis di permukaan yang keras seperti di kulit bambu. Aksara-aksara tersebut juga memperkenalkan sebuah hal yang baru yakni aksara-aksara yang didahului bunyi sengau. Batak (Karo) memiliki dua huruf tambahan yakni Mba dan Nda, aksara Kerinci dan Rencong menambahkan dua lagi yakni Ngga dan Nja. Aksara Bugis juga mempunyai empat aksara yang bersengau ialah Ngka, Mpa, Nra, dan Nca. Perlu dicatat bahwa gejala tersebut tidak ada pada aksara Batak selain Karo, dan juga tidak ada di Lampung, Makasar, dan Filipina. Karena persamaan-persamaan yang tadi disebut, dapat diduga bahwa semua aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari satu aksara purba. Aksara purba tersebut kemungkinan besar tercipta di daerah Su-
74
Surat Batak
matra selatan pada masa kejayaan dan di sekitar wilayah Sriwijaya. Aksara purba tersebut dapat dipastikan tercipta di bawah pengaruh aksaraaksara Palawa yang telah berkembang di wilayah tersebut, namun diolah sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi lebih sederhana supaya lebih mudah dipelajari, lebih sesuai untuk bahasa-bahasa setempat (yang dari segi bunyi jauh lebih sederhana daripada bahasa-bahasa India), dan juga lebih sesuai untuk menulis di atas bambu. Bagaimana persisnya perkembangan aksara Sumatra selanjutnya, bagaimana hubungannya dengan kerabat-kerabat lainnya di Filipina dan di Sulawesi, dan bagaimana persisnya peranan aksara Jawa dalam pembentukan aksara Sumatra tidak diketahui dan mungkin juga kelak tidak akan diketahui. Walaupun pengetahuan kita tentang masa lampau aksara Batak sangat terbatas, kita dapat mengetahui sedikit tentang sejarah perkembangan aksara Batak dengan cara memperbandingkan aksara Batak satu sama lain, dan juga dengan aksara Nusantara lainnya. Ternyata penelitian yang demikian yang sampai sekarang belum pernah dilakukan, sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita tentang perkembangan dan arah penyebaran aksara Batak. Analisa ini dimulai pada ina ni surat. 6.1.1 AKSARA (INA NI SURAT) Van der Tuuk berpendapat bahwa perkembangan aksara Batak terjadi dari selatan ke utara, dan bahwa daerah asalnya di Mandailing (Tuuk 1971:77). Parkin (1978:100) juga berpendapat demikian karena alasanalasan berikut: Aksara Nya, Wa dan Ya melambangkan tiga bunyi yang terdapat dalam bahasa Mandailing sementara dalam bahasa Toba tidak ada bunyi [ny], [w], atau [y]. Dengan demikian ketiga huruf tersebut sebenarnya mubazir karena tidak terdapat bunyinya dalam bahasa Toba. Sebagai contoh, Mandailing sayur menjadi saur di Toba, manyurat menjadi manurat. Pada bahasa Pakpak dan Karo tidak ada bunyi [ny] dan juga tidak ada aksara Nya. Keberadaan Nya di aksara Toba membuktikan bahwa aksara Toba berasal dari Mandailing. Argumentasi Parkin sangat masuk akal. Sekiranya aksara Batak mula-mula tercipta di Toba, tak mungkin ada huruf Nya, karena tidak ada bunyi itu dalam bahasa Toba. Di Tanah Karo – daerah yang paling
Aksara Batak dan Sejarahnya
75
utara letaknya, huruf [ (yang di selatan berbunyi Nya) berubah maknanya menjadi Ca. Ternyata urutan dalam abjadnya tetap sama dengan posisi Nya ialah antara La dan I. Dengan demikian, huruf [ menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara. Teori tersebut juga didukung oleh faktor-faktor lainnya: Keragaman dalam varian-varian aksara paling besar di Mandailing, disusul oleh Toba dan Karo. Namun di Karo, keragaman tersebut disebabkan oleh adanya perkembangan-perkembangan yang relatif baru seperti variasi yang ada pada huruf Sa, Da, dan Ca, dan terutama karena adanya sejumlah aksara baru seperti ketiga varian Mba B, v dan f serta kedua varian Nda ({ dan }). Semua varian tersebut merupakan perkembangan baru dan tidak ada di daerah Batak lainnya. Huruf Ma memiliki berbagai varian di Toba dan Angkola-Mandailing: 7, 8, dan m, sementara di Pakpak, Karo dan Simalungun masing-masing hanya ada satu bentuk saja. Di antara ketiga varian tadi, bentuk m biasa digunakan di Angkola dan Mandailing, tetapi agak jarang digunakan di Toba yang lebih cenderung memakai 7 dan 8. Keragaman dalam varian-varian aksara di Toba, dan khususnya di Mandailing menunjuk pada usia tinggi tulisan di daerah itu. Sebagai contoh akan saya mengemukakan dua aksara, yakni Na dan Ja. Sebagaimana telah ditunjuk di atas, bentuk Na dalam aksara Kawi sangat mirip dengan varian q yang terdapat di Mandailing dan di Toba. Hal ini tidak berarti bahwa aksara Batak berasal dari aksara Kawi, melainkan menunjukkan bahwa kedua aksara tersebut masih mempunyai nenek moyang yang sama atau bahwa terdapat pengaruh Jawa pada sejarah perkembangan aksara Batak purba. Keberadaan varian q yang oleh Voorhoeve disebut "Na kuno" di Mandailing dan Toba juga menunjukkan bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara. Bentuk aksara Ja (j) sama dengan aksara Da (d) yang ditambah sebuah garis horisontal. Hal yang sama juga berlaku untuk da dan ja pada aksara Kawi, tetapi bukan pada aksara Palawa sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tahap awal perkembangan aksara Batak mesti ada pengaruh Kawi. Aksara j kemudian disederhanakan sehingga di daerah utara dari Toba hanya bentuk j yang ada.
76
Surat Batak
Gambar 9: Contoh aksara Karo
Gambar 10: Contoh aksara Simalungun
Aksara Batak dan Sejarahnya
77
Gambar 11: Contoh aksara Karo di bambu Naskah ini merupakan ratap tangis atau bilang-bilang. Catatan untuk Gambar 12 dan Gambar 13 di halaman berikut Perhatikan bentuk huruf Ja j (huruf pertama di baris kedua). Pada naskah ini Ta-utara t (baris 9 huruf ketiga) digunakan, namun sekali muncul Ta-Selatan t yaitu dalam kata sita-sita (kata terakhir pada baris 12) yang ditulis sitsit. Perhatikan bentuk huruf Ma yang berbentuk 0 maupun 4. Naskah ini mudah teridentifikasi karena bentuk L (lu) dan huruf Sa s yang khas Mandailing.
Gambar 12: Contoh aksara Toba.
Gambar 13: Contoh aksara Mandailing.
Bila kita perbandingkan kedua aksara selatan (Angkola-Mandailing dan Toba), ternyata hanya terdapat sedikit perbedaan saja. Aksara Toba kehilangan beberapa varian dari aksara Sa dan Ha, tetapi di daerah Toba juga terjadi perkembangan baru dengan memperkenalkan varian Ta (f) dan varian Wa (v). Namun tidak tertutup pula kemungkinan bahwa f dan v adalah bentuk yang lebih lama yang di Mandailing dan di sebagian Toba kemudian berubah menjadi varian Ta (t) dan varian Wa (w)! Bertolak pada anggapan bahwa t dan w adalah bentuk yang lebih lama, dan f dan v perkembangan baru, maka kedua varian f dan v kemudian bersebar ke arah utara ke PakpakDairi (v) dan Karo (f). Mesti diakui bahwa secara teoretis terdapat kemungkinan bahwa varian v merupakan perkembangan baru di Pakpak-Dairi yang kemudian bersebar ke selatan lalu dipakai di sebagian daerah Toba. Akan tetapi kemungkinan tersebut hanya kecil saja. Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, terlalu banyak indikasi bahwa perkembangan aksara Batak adalah dari selatan ke utara dan bukan sebaliknya.
Kiri: Surat Ompu ni Marlopuk kepada L.I. Nommensen. (Teks yang lengkap ada di hal. 136, dan transliterasi serta terjemahan di hal. 156.
Gambar 14: Contoh aksara Toba.
80
Surat Batak
Suatu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa aksara Simalungun memiliki beberapa persamaan dengan Mandailing. Misalnya varian Sa, s dan 0, dan juga varian Ha k (yang sangat mirip dengan varianvarian Angkola-Mandailing h dan w) terdapat di Mandailing dan di Simalungun, tetapi tidak di Toba. Hal itu menunjukkan bahwa ada kemungkinan besar bahwa sudah sangat dini aksara Batak dari Mandailing masuk ke Simalungun. Bentuk huruf Ya dengan garis horisontal yang melengkung juga menunjukkan pengaruh Mandailing. Menurut Van der Tuuk, kedua varian Toba untuk huruf Ta t dan Wa w dipakai di "Toba Timur", sedangkan varian f dan v dipakai di daerah "Toba Barat". Sayang Van der Tuuk tidak menjelaskan daerah mana yang dimaksud dengan Toba Barat dan Toba Timur, tetapi kalau Van der Tuuk benar, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut: Aksara Batak mula-mula berkembang di daerah Angkola-Mandailing, barangkali tidak jauh dari perbatasan Sumatra Barat. Dari sana aksara Batak tersebar arah ke utara sehingga terbentuk sebuah aksara purba Toba-Timur–Simalungun (kemudian disebut Toba-Simalungun) di dareah antara Parapat dan Balige yang subur dan padat penduduk. Aksara Simalungun kemudian tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, tetapi berubah sedikit bentuknya sehingga semua aksara kelihatan seperti terdiri dari garis-garis yang terpisah-pisah sebagaimana kelihatan sekali pada huruf Ma dan Ra. Aksara purba Toba-Simalungun menurunkan dua jenis huruf: Toba Timur yang menggunakan Ta dan Wa selatan: t, dan w, dan Toba Barat yang menggunakan Ta dan Wa utara: f dan v. Bentuk utara ini dapat dianggap sebagai perkembangan kemudian yang masuk dari Toba Barat ke Pakpak-Dairi (f dan v) dan Karo (hanya f). Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada garis pasti antara ‘Toba Timur’ dan ‘Toba Barat’. Naskah yang dapat dipastikan daerah asalnya terlalu sedikit. Lagi pula, bentuk huruf mana yang dipakai oleh salah seorang juga sangat tergantung pada gurunya. Sifat datu yang suka mengembara turut mengaburkan batas-batas antara daerah. Daerah Karo dapat dipastikan sebagai daerah yang paling belakangan menerima aksara Batak. Tetapi justru di daerah ini, tulisannya berkembang sangat subur. Ratusan naskah Karo yang tersimpan di berbagai
Surat Batak
81
koleksi di mancanegara membuktikan bahwa bukan saja para datu (di Karo disebut guru) bisa membaca dan menulis. Di situ juga banyak terdapat pulas – semacam surat kaleng yang di daerah Karo juga terkenal sebagai musuh běrngi (musuh di malam hari). Tetapi bukti yang paling kuat bahwa aksara Batak cukup umum diketahui oleh para pria Karo adalah kebiasaan menulis ratapan percintaan (bilang-bilang) di ruas-ruas bambu. Barangkali justru karena surat Batak di Karo menjadi demikian populer, maka terjadi perkembangan-perkembangan yang baru seperti dibuktikan oleh huruf Mba dan Nda yang khas Karo. 6.1.2 TANDA DIAKRITIK (ANAK NI SURAT) Setiap anak ni surat memiliki nama tersendiri yang berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Studi perbandingan nama diakritik tersebut ternyata sangat bermanfaat dalam menentukan arah penyebaran aksara Batak dan juga menunjukkan beberapa persamaan dengan nama diakritik di Sumatra Selatan dan di Jawa.
e
BE (Jawa taling, Lampung keteliling, Rejang katiling) Di Mandailing, diakritik ini dinamakan talinga – hampir sama dengan istilah yang dipakai di Jawa, Rejang, dan Lampung. Di Simalungun, nama diakritik tersebut ditambah dengan awalan hadan akhiran -an sehingga menjadi hatalingan. Karo kětělengěn barangkali berasal dari Simalungun hatalingan. Di Toba dan Pakpak hatalingan menjadi hatadingan. Sebabnya adalah barangkali bahwa taling tidak berarti apa-apa dalam bahasa Batak, sedangkan tading berarti ‘tinggal’. Dengan demikian hatadingan dapat diartikan ‘ketinggalan’, dan pemberian nama tersebut masuk akal mengingat diakritik tersebut berada sebelah kiri huruf induk, jadi dia seolaholah ‘ketinggalan’ di belakang. Kemungkinan besar bahwa istilah hatadingan bukan langsung berasal dari Mandailing, melainkan melalui Simalungun hatalingan. Mengingat bahwa daerah Simalungun tidak berbatasan langsung dengan daerah Angkola-Mandailing, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah ha-
82
Surat Batak
talingan “lahir” di daerah perbatasan Toba-Simalungun. Hal ini sesuai sekali dengan hipotesa bahwa aksara Toba dan Simalungun berasal dari aksara purba Toba-Simalungun kira-kira di daerah antara kota Parapat dan Balige. Secara sederhana, penyebaran nama diakritik tersebut adalah sebagai berikut17: M Talinga | S Hatalingan | K Kětelengan
T Hatadingan | P Ketadingin
o, u
Bo Diakritik yang berbentuk x memiliki makna [o] kecuali di Karo di mana bunyinya adalah [u]. Di Mandailing diakritik ini bernama siala ulu. Siala tidak ada artinya, tetapi ulu berarti ‘kepala’, barangkali karena letaknya yang ‘mengepalai’ huruf induknya. Selain diakritik ini ada lagi diakritik /i/ yang sama posisinya, dan juga namanya agak mirip yakni ulua. Di Toba siala ulu dipersingkat menjadi siala saja, dan terdapat pula nama kedua untuk diakritik tersebut yakni sihora. Di Pakpak-Dairi namanya persis sama (kalau ditulis), tetapi diucapkan sikora karena makna huruf h di Toba adalah [ha] sedangkan di Pakpak-Dairi selalu [ka]. Simalungun sihorlu, dan Karo sikurun masih mirip bunyinya dengan sihora, namun kurang jelas bagaimana kepastiannya: M Siala Ulu | T Siala
T Sihora | P Sikora
(S Sihorlu, K Sikurun)
17. K = Karo, P = Pakpak-Dairi, S = Simalungun, T = Toba, M = Angkola dan Mandailing.
Surat Batak
83
u, ě
Bu (M, T, S, P) Be (K, P) Diakritik ini terdapat dua kali di Pakpak, sekali sebagai tanda yang mewakilkan bunyi [u] dan sekali lagi sebagai tanda yang mewakilkan bunyi [ə], yaitu ě-pepet. Yang pertama disebut kaběrětěn, yang kedua kaběrětěn podi. Silsilah aksara ini jelas sekali. Kata kaběrětěn berasal dari Mandailing boruta (juga disebut buruta) yang menurunkan bentuk Toba haboruan dan haborotan. Kedua nama ini merupakan hasil interpretasi dari kata boruta dan buruta. Boruta jelas dianggap sebagai gabungan kata boru ‘anak perempuan’ dan akhiran -ta ‘kita’. Sebagaimana dapat dilihat pada Mandailing talinga yang menjadi Simalungun hatalingan, dan Mandailing amisara yang menjadi Toba hamisaran, terdapat kecenderungan untuk menambah imbuhan ha-...-an. Dengan demikian boru=ta menjadi ha=boru=an. Sebagaimana juga terjadi dalam hal hatalingan yang menjadi hatadingan (ialah interpretasi makna berdasarkan letaknya), diakritik ini pula mendapatkan nama keduanya haborotan (ha=borot=an) karena ia bersatu atau ‘tertambat’ (artinya borot adalah ‘tambat’) pada huruf induknya. M Boruta (Buruta) | T Haboruan
T Haborotan | P Kaběrětěn [u], P Kaběrětěn Podi [ə] | K Kěběrětěn [ə]
| S Haboritan [u]
ng
B^ (India Anusvara) Nama diakritik ini adalah amisara di Mandailing yang bunyinya mirip sekali dengan nama diakritik ini di India yakni anusvara. Di Toba dan Simalungun ditambah dengan bunyi sengau [n] dan imbuhan ha-...-
84
Surat Batak
an menjadi haminsaran. Karena bunyi minsar mirip dengan binsar (yang diucapkan ‘bitsar’ atau ‘bincar’) maka di Pakpak-Dairi diakritik ini menjadi kěbincarěn (T binsar dan P bincar berarti ‘terbit’). Di Toba juga terdapat nama kedua – paminggil yang berarti ‘bunyi bernada tinggi’. M Amisara | T Hamisaran
T S Haminsaran | P Kebincaren | K Kěbincarěn
T Paminggil
i Bi (J Ulu, L Olan, R Kaluan) Di hampir seluruh Indonesia, arti ulu adalah ‘kepala’ (hanya bahasa Melayu/Indonesia yang memakai ‘kepala’ yang berasal dari bahasa Sanskerta). Barangkali diakritik ini dinamakan ulu karena ia “mengepalai” huruf induknya. Namanya di Mandailing dan Toba ulua, dan di Toba ada nama kedua yang masih mirip yakni hauluan dan haluain. Kata dasar ha=ulu=an adalah ulu ditambah dengan imbuhan ha-...-an, sedangkan haluain agak menyimpang. Pakpak-Dairi kaloan dan Karo kělawan diturunkan dari Toba haluain atau Simalungun haluan. M Uluwa | T Uluwa
T Haluain (Hauluan), S Haluan | P Kaloan K Kělawan
o (ou)
BO L Kětulung (au), R Katulung (au)
Surat Batak
85
Di Lampung dan di Rejang terdapat tanda diakritik untuk diftong /au/ yang dinamakan kětulung dan katulung yang jelas sekali sama dengan Simalungun hatulungan. Simalungun adalah satu-satunya daerah yang memiliki diakritik tersendiri untuk diftong [ou]. Diftong [ou] juga terdapat di Karo, tetapi tidak di daerah-daerah lainnya. Namun di Karo, tidak terdapat diakritik khusus untuk bunyi [ou]. Kendati demikian, Karo memiliki dua varian yang menandai bunyi [o] yakni BO dan Bo. Duaduanya bernama kětolongěn. Kemungkinan besar bahwa dahulu kala Karo pernah membedakan penulisan [o] dan [ou] sebagaimana sekarang masih halnya di Simalungun. Karena namanya yang mirip dengan Lampung kětulung dan Rejang katulung dapat dipastikan bahwa diakritik tersebut bukan perkembangan baru, dan juga mendukung hipotesa saya bahwa aksara Simalungun (atau lebih tepat aksara Purba Toba-Simalungun) adalah lebih tua daripada Toba Barat, Pakpak atau Karo. M T (?) | S Hatulungan [ou] | K Kětolongen [o] Kalau digambarkan, arah penyebaran aksara Batak adalah sebagai berikut:
86
Surat Batak
Gambar 15: Arah penyebaran aksara Batak
6.2
Aksara Batak masuk Percetakan
Tidak banyak orang yang tahu bahwa aksara Batak sudah dituangkan ke timah hitam jauh sebelum kedatangan Nommensen dan zending Jerman. Pada tahun 1855 telah terbit Over Schrift en Uitspraak der Tobasche Taal (Perihal Tulisan dan Pengucapan Bahasa Toba) karangan Herman Neubronner van der Tuuk. Buku tersebut dicetak di Amsterdam di percetakan C.A. Spin & Zoon dan lalu diedit kembali dan dicetak ulang dengan diberi judul baru Tobasche Spraakkunst, eerste stuk (Tata Bahasa Toba, Bagian Pertama) (Tuuk 1864). Tata bahasa tersebut dipuji-
Surat Batak
87
puji sebagai tata bahasa pertama di Hindia Belanda yang disusun secara ilmiah, dan karya ini dianggap sedemikian penting sehingga diterbitkan kembali dalam terjemahan bahasa Inggris lebih dari 100 tahun kemudian (Tuuk 1971). Dengan begitu kita memiliki tiga versi dari buku yang (hampir) sama yang masing-masing mempunyai bagian mengenai aksara Batak yang menguraikan secara terperinci dan sangat akurat tiap-tiap aksara Batak (Pakpak, Toba dan Angkola-Mandailing). Penjelasannya sedemikian lengkap sehingga tidak banyak yang masih dapat ditambah. Ini sungguhlah merupakan prestasi yang luar biasa apalagi mengingat bahwa pada zaman Van der Tuuk menyusun tata bahasanya, Tanah Batak masih merupakan terra incognita di peta ilmiah. Pantai Danau Toba belum pernah dijejaki oleh kaki Eropa (Van der Tuuk sendiri menjadi orang Eropa pertama yang melihat danau Toba) – apalagi Tanah Karo atau Simalungun yang namanya saja belum pernah didengar orang Eropa. Melihat betapa lengkap dan akurat data yang disajikan oleh Van der Tuuk mengenai bahasa dan aksara Angkola-Mandailing, Toba dan Pakpak, seharusnya pengetahuan kita saat ini lebih luas lagi, mengingat kemajuan di segala bidang selama seratus tahun terakhir ini. Sedihnya, pengetahuan kita mengenai aksara Batak tidak bertambah, dan malahan terjadi kemerosotan yang sangat memprihatinkan. Kini, yang masih diketahui orang, termasuk yang menganggap dirinya sebagai ahli, sangat sedikit, tak sampai sebatas pengetahuan yang dimiliki Van der Tuuk dan yang sudah diwariskan beliau dalam tiga edisi bukunya dan dalam dua bahasa. Dalam edisi pertama, di halaman 2, sudah disebut bahwa aksara Toba memiliki dua jenis aksara untuk Ta dan Wa, yaitu t dan f untuk Ta serta w dan w untuk Wa. Diberi lagi keterangan bahwa t dan w dipakai di Toba bagian timur, sedangkan f dan w dipakai di Toba bagian barat. Sayangnya, kepastian mengenai daerah mana yang ‘barat’ dan mana yang ‘timur’ tidak diberikan. Karena surat Batak sudah tidak dipakai lagi sejak minimum 70 tahun lalu, maka sekarang sulit sekali atau bahkan mustahil untuk mengetahui varian surat mana yang pernah dipakai di daerah mana. Yang dapat kita lakukan hanya statistik saja. Penulis sendiri telah meneliti ratusan naskah Batak Toba dari berbagai
88
Surat Batak
museum dan perpustakaan di dalam maupun di luar negeri, dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sekitar 60% naskah Batak Toba menggunakan huruf f, sedangkan varian t hanya dipakai oleh 40% naskah Toba. Namun demikian, yang sekarang dikenal sebagai huruf yang dianggap "asli" Toba adalah t, sedangkan f dianggap Karo atau Pakpak, pokoknya bukan Toba. Mengapa dapat terjadi persepsi yang sedemikian keliru? Jawabannya: Karena tidak ada lagi orang yang masih memperoleh pengetahuan mengenai aksara Batak melalui jalur tradisional. Semua orang yang kenal aksara Batak mengetahuinya dari sekolah, atau melalui buku, atau melalui orang yang pengetahuannya berasal dari sekolah atau buku. Kalau demikian, mengapa sekarang t dianggap asli Toba, dan bentuk f tidak dikenali lagi atau malahan dianggap asing (non-Toba)? Hal itu dapat terjadi karena setelah Van der Tuuk, para penginjil dari Jerman dan juga percetakan negara di Batavia masing-masing mengembangkan aksara Batak untuk mencetak buku keagamaan dan yang bersifat pendidikan dalam surat Batak. Dalam banyak hal, mereka mengikuti saja Van der Tuuk sehingga t telah dinobatkan untuk menjadi bentuk Toba yang ‘baku’. Demikian juga dengan Wa sehingga kini tiada lagi yang mengetahui bahwa baik w maupun w merupakan varian Toba. Demi kesempurnaan ceritanya mari kita bahas langkah demi langkah sejarahnya aksara Batak masuk percetakan. 6.2.1 AKSARA BATAK VERSI VAN DER TUUK Huruf cetakan (font) Batak yang pertama dirancang oleh Van der Tuuk. Huruf cetakan tersebut terdiri atas tiga set: Angkola-Mandailing, Toba, dan Pakpak, dan dipakai dalam Bataksch Leesboek (Buku Bacaan Batak) yang seluruhnya ditulis dalam surat Batak. Karena itu, jika dalam salah satu surat Batak terdapat lebih dari satu varian aksara, demi kesederhanaan dan untuk menjaga konsistensi, Van der Tuuk tentu harus memilih salah satu bentuk huruf yang dapat mewakili aksara tersebut. Kebetulan pilihannya jatuh pada aksara t, sedangkan bentuk f dipakainya untuk abjad Pakpak-Dairi. Untuk huruf A dipilihnya bentuk A,
Surat Batak
89
dan bentuk M dipilih untuk mewakili huruf Ma. Huruf-huruf lainnya yang ‘bermasalah’ karena terdapat sejumlah variannya termasuk bentuk w yang dipilih Van der Tuuk untuk mewakili Wa, dan bentuk 4 yang menjadi Na. Untuk huruf Pa, Van der Tuuk memilih bentuk yang lurus: p, dan tidak melengkung. Agar sesuai dengan bentuk aksara di Mandailing yang cenderung lebih melengkung, van der Tuuk memilih bentuk Ga dan La yang lengkung (g dan l), akan tetapi bentuk Pa tetap lurus. Variasi lainnya terdapat pada aksara Ha, Na, Sa dan Wa (h, n, s dan w).
Gambar 16: Contoh Aksara Van der Tuuk Hampir semua publikasi Van der Tuuk diterbitkan oleh Nederlandsch Bijbelgenootschap, atau oleh penerbit Frederik Muller, dan dicetak oleh percetakan C.A. Spin & Zoon di Amsterdam (Tuuk 1855; 1859a; 1859b; 1859c; 1859d; 1860; 1861; 1864; 1867a; 1867b; 1867c). 6.2.2 AKSARA BATAK VERSI ZENDING Kebanyakan publikasi zending diterbitkan oleh percetakan zending Jerman (Rheinische Missionsgesellschaft) R.L. Friderichs & Comp. di Elberfeld (bagian kota Wuppertal). Hanya dua publikasi yang berbahasa Angkola dan Mandailing dicetak oleh Spin & Zoon di Amsterdam (Betz 1873; Schreiber 1874). Pada kedua buku tersebut kelihatan usaha zending untuk merancang sebuah huruf Batak yang lebih sesuai dengan varian-varian huruf sebagaimana lazim terdapat di Angkola dan Mandailing. Aksara Angkola-Mandailing tersebut masih berdasarkan aksara Mandailing Van der Tuuk, tetapi semua huruf dirancang kembali sehingga kelihatan lebih melengkung. Kurang jelas apa sebabnya mengapa dipilih beberapa bentuk aksara yang kelihatan agak aneh, yakni aksara Ma yang terdiri dari tiga garis yang tidak bersambung. Huruf ini kelihatan mirip dengan huruf Ma di Simalungun (m); yang berbeda hanya
90
Surat Batak
garis kiri atas yang di kedua buku tersebut berrbentuk lurus dan sejajar dengan garis tengah. Huruf lain yang menurut hemat saya juga kurang mengena adalah A yang berbentuk x (Betz 1873; Schreiber 1874). Ternyata para penyiar agama masih kurang puas sehingga percetakan R.L. Friderichs & Comp. di Elberfeld merancang sebuah huruf Toba yang masih berdasarkan aksara Spin & Zoon, tetapi menunjukkan beberapa perubahan. Bentuk huruf tersebut dipakai untuk mencetak karangankarangan para penginjil seperti L.I. Nommensen (1877; 1878; 1885b; 1902) dan Taute (1889). Bentuk huruf cetakan ini kemudian juga dipakai oleh Pangarongkoman Mission – percetakan zending di Laguboti (Lumbantobing 1916). Dibandingkan dengan huruf cetakan yang terdahulu, perbedaan yang paling mencolok adalah pada bentuk Na yang diberi garis lurus yang memanjang jauh ke kiri sehingga berbentuk 6. Yang dipertahankan adalah bentuk yang melengkung yang kelihatan pada aksara Pa, Ga, La dan Wa. Dan sebagaimana juga dilakukan oleh Van der Tuuk, juga pada aksara ini varian Toba untuk huruf Ta dan Wa yakni t dan w, tidak dipakai. R.L. Friderichs & Comp. juga merancang sebuah jenis huruf untuk Angkola-Mandailing. Huruf-huruf yang berbeda dengan aksara Toba adalah A x, Ha h, Ma 0, Sa s, dan Na n (Asselt 1876; Leipold 1880; Schreiber dan Leipold 1879; Schreiber 1875; Zahn 1875). Di kemudian hari diputuskan untuk tidak mempertahankan bentuk huruf A yang menjadi A (Schütz 1902). 6.2.3 AKSARA BATAK VERSI LANDSDRUKKERIJ Percetakan negara Landsdrukkerij di Batavia juga merancang sebuah huruf untuk Mandailing dan Toba untuk buku-buku pendidikan yang dicetak dalam surat Batak. Aksara yang dipakai untuk buku yang dicetak dalam bahasa Toba (Nommensen 1885a) dan dalam bahasa Mandailing (Doli 1901; 1872; Schreiber 1876) persis sama. Sebenarnya varian huruf yang dipilih adalah yang lazim digunakan di Mandailing, termasuk aksara A a, Ka h, Ma 0, Na 6, dan Sa s.
Surat Batak
91
Gambar 17: Contoh aksara Zending (atas) dan Landsdrukkerij (bawah) Berikut ini secara ringkas bentuk-bentuk huruf sebagaimana dirancang oleh Van der Tuuk (VdT), Percetakan Zending (Z), dan oleh Percetakan Landsdrukkerij (LD). Aksara yang tidak menunjukkan varian yang berarti tidak dimuat dalam tabel berikut ini. Tabel 8: Perbandingan bentuk huruf cetakan Toba
a ha pa na wa ga ma sa ya la i u
Mandailing
VdT
Z
LD
VdT
Z
LD
A h p 4 w G M s y L I U
A h p 6 w g M s y l I U
a h p 6 w g 0 s y l [ ]
A h p N w g M s y l I U
x h p N w g 0 s y l I U
a h p N w g 0 s y l [ ]
6.2.4 AKSARA BATAK VERSI "SURAT PUSTAHA"
92
Surat Batak
Bentuk-bentuk huruf yang disebut di atas adalah huruf yang dibuat dengan cara tradisional yakni dengan menuangkannya ke timah hitam. Pada saat itu belum ada tehnologi penggandaan seperti fotokopi, lichtdruk atau typesetting melalui peralatan komputer. Pada akhir tahun 1980an mantan presiden Republik Indonesia Soeharto berjanji untuk mengadakan alat typesetting yang lebih modern bagi semua aksara daerah di Indonesia. Oleh sebab itu ada pula upaya untuk mempersatukan varianvarian surat Batak menjadi satu aksara yang ditambahi beberapa huruf yang dahulu tidak ada – seperti huruf F atau V misalnya. Ditambahnya pula angka-angka, walaupun orang Batak dahulu tidak mengenal angka. Setelah dibahas dan diseminarkan oleh sebuah panitia yang terdiri atas orang-orang yang bukan ahli sastra Batak apalagi filologi, terciptalah sebuah aksara persatuan yang disebut "Surat Pustaha". Alhasilnya sangat menyedihkan dan – ironisnya – aksara yang diberi gelar tambahan pustaha itu menyimpang jauh dari bentuk-bentuk aksara yang lazim dapat dijumpai di pustaha-pustaha Batak. Surat Pustaha telah ditetapkan secara resmi dengan keputusan presiden (orde baru) Nomor: 116/B/1987 tanggal 16 Desember 1987. Kabarnya mesin typesetting yang dijanjikan Bapak Presiden untuk mencetak Surat Pustaha itu telah diserahkan kepada panitia Surat Pustaha lebih dari lima belas tahun yang silam, namun hingga kini mesin yang canggih ini belum beroperasi juga. Malahan buku panduan resmi untuk mengajar Surat Pustaha di sekolah lanjutan tingkat pertama masih menulis Surat Pustaha dengan tangan (Sidabutar) dan (Sukapiring et al. 1997)! Oleh sebab itu seharusnya Surat Pustaha tidak perlu dibahas dalam BAB ini yang berjudul “Aksara Batak masuk Percetakan” karena pelaksanaan Surat Pustaha dapat dianggap gagal. Gagalnya Surat Pustaha perlu disambut dengan baik karena huruf yang dipilih menyimpan dari bentuk yang lazim terdapat dalam pustaha dan naskah Batak lainnya. Untuk huruf Ma misalnya varian yang dipilih bukan varian yang paling umum ialah m, melainkan varian m yang jarang sekali dipergunakan. Aksara Ja yang seharusnya j dibuat sedemikian rupa sehingga garis atas dan garis bawah bukan lurus melainkan agak melengkung. Bentuk itu sama sekali tidak pernah ada dalam sejarah aksara Batak. Demikian juga dengan aksara Ya yang se-
Surat Batak
93
harusnya ditulis y dibuat tak berserif (tanpa garis horisontal) sehingga rupanya terasa amat janggal sekali. Dan huruf itu bukan sekadar ciptaan baru, melainkan panitia surat Surat Pustaha beranggapan bahwa bentuk yang mereka sepakati adalah huruf Ya yang asli! Masih banyak kesalahan dan kejanggalan lainnya yang tidak perlu disebut satu per satu di sini yang membuktikan bahwa para pencipta Surat Pustaha tidak terlalu memahami materinya. Dalam pelaksanaan praktis Surat Pustaha itu juga banyak kekurangan. Hal itu dapat dilihat di Kabupaten Karo yang dahulu pernah mulai mencantumkan nama-nama jalan dalam huruf Latin maupun Batak. Pada prinsipnya hal itu dapat dipuji karena merupakan ekspresi cinta budaya. Sedihnya, pelaksanaanya kurang mantap sehingga Jalan Kapten Ketaren di Kabanjahe misalnya dituliskan bukan Kětarěn (dengan e-pepet) melainkan Kétarén dengan e-taling, dan demikian juga nasibnya Jl. Veteran di Berastagi. 6.2.5 AKSARA BATAK VERSI PENGARANG Dari uraian-uraian yang di atas menjadi jelas bahwa ada beberapa huruf yang bermasalah, yang bentuknya berbeda-beda tergantung pada percetakannya. Pertama, kita dihadapkan dengan Wa versi Van der Tuuk melawan Wa dalam semua publikasi selanjutnya. Menurut hemat saya, bentuk w jauh lebih umum dibanding w -nya Van der Tuuk. Dalam hal Ma masalahnya sebetulnya sederhana. m, M dan m pada hakikatnya merupakan manifestasi dari bentuk dasar yang serupa. Ada kecenderungan bahwa ketiga garis yang membentuk huruf ini makin ke selatan makin bersatu. Di Karo, bentuknya sering 7 atau m, dan menjadi m, 8 atau M di Toba, sedangkan di Mandailing bentuknya bisa 8, M dan m. Bentuk m yang kini sering dianggap asli Toba, jarang sekali dapat ditemukan di dalam naskah-naskah Toba, dan sebetulnya adalah sebuah varian yang lebih umum terdapat di Angkola dan Mandailing. Saya memutuskan untuk memilih satu huruf yang dapat mewakili semua kelompok (kecuali Simalungun, yang mempunyai bentuk tersendiri) dan yang terdiri atas unsur-unsur dasar yang terpenting: m. Bentuk ini juga bentuk yang paling umum terdapat di dalam pustaha, baik dari mandailing, Toba, Pakpak, atau Karo.
94
Surat Batak
Huruf A adalah satu lagi huruf yang bentuknya dapat berbeda-beda. Sekali lagi, saya memilih bentuk yang paling sering dijumpai dan yang memiliki semua unsur dasar: a. Di beberapa daerah di Toba dan di Mandailing ada kecenderungan ke arah bentuk yang lebih bersegi seperti a, sedangkan bentuk A dan 0 yang kini sering dianggap "asli" Toba terlalu bersegi dan jarang dijumpai di dalam naskah-naskah Batak. Aksara Na juga bisa bermacam-macam bentuknya dan dapat bervariasi antara 3, 4, n, 5, 6 dan n. Bentuk 6 kini menjadi populer, tetapi jarang sekali terdapat pada naskah-naskah Batak. Bentuk n dapat sekali-sekali ditemukan, terutama dalam naskah-naskah Mandailing. Namun bentuk yang paling umum di semua daerah adalah n.
6.3
Urutan aksara Batak
Dalam bahasa Batak, aksara Batak lazim disebut si sia-sia atau surat na sampulu sia karena jumlah aksara (ina ni surat) adalah sembilan belas. Tergantung pada daerahnya terdapat beberapa urutan surat Batak yang berbeda-beda: 1. Di Karo, Simalungun serta di berbagai daerah Toba urutannya: a/ha, ha/ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, (nya) la, (ca), i, u. Huruf [ adalah Nya di Simalungun, Toba, dan Mandailing, tetapi Ca di Karo (dengan demikian, jumlah aksara di semua daerah tetap sembilan belas). Huruf Nya hanya digunakan di Mandailing karena di luar daerah tersebut tidak terdapat fonem [ñ] (ny). Namun demikian, bila mengeja atau menulis abjad Batak, huruf Nya selalu disebut juga kecuali di Karo yang menggantikannya dengan Ca. Di Toba kedua huruf abjad pertama dibaca [a] dan [ha]. Menurut Voorhoeve, makna asli huruf a adalah [ha] dan makna asli huruf k adalah [ka] sebagaimana halnya pada dialek-dialek utara (KP), namun pada dialek-dialek selatan (STM) a berbunyi [a] dan k mempunyai nilai fonetis [ha] dan [ka] (Voorhoeve 1961:10). Pada naskah Simalungun Berlin IC 17057, urutan abjad agak berbeda sedikit. Huruf-huruf Ga Ja Da Ra disisipkan antara Ya dan Nga, dan
Surat Batak
95
urutan Nga dan La terbalik pula. Pola yang hampir sama juga terdapat di dua pustaha yang berasal dari Toba ialah pustaha D 49 dan D 50 Perpustakaan Nasional. Di D 50 urutan huruf Ga Ja Da Ra juga disisipkan antara Ya dan Nga, sedangkan posisi Nya adalah sesudah dan bukan sebelum La. Urutan ha, ka, ba, pa, na, wa, ma, ta, sa, ya, ga, ja, da, ra, nga… terdapat pula di D 49, dan huruf Nya di sini diurutkan pada posisi akhir mengikuti huruf U. Urutan yang persis sama terdapat pula di pustaha Or. 3479/Or.3488, Perpustakaan Universitas Leiden, yang ditulis oleh Guru Saitan ni Aji bermarga Pohan Simanjuntak dari kampung Pagaran Baringin (Voorhoeve 1977:51). Naskah-naskah tersebut menunjukkan bahwa ada kelonggaran dalam urutan abjad yang mungkin disebabkan oleh karena urutan abjad tergantung pada kebiasaan di masing-masing daerah yang mengikuti pola yang sedikit berbeda. Pada abjad Karo huruf [ tidak menjadi Nya melainkan Ca. Menarik untuk dicatat bahwa dalam urutan abjad Karo posisinya adalah sesudah La atau sesudah U. Hal itu memperkuat hipotesis saya bahwa Ca-nya Karo yang juga sering ditulis c atau c berasal dari Nya Toba/ Mandailing mengingat pola yang terlihat pada pustaha Jakarta D 49 dan D 50 yang huruf [ juga berada sesudah U atau sesudah La. Dalam abjad Karo terdapat dua huruf yang tidak dapat ditemukan dalam surat Batak lainnya, yakni Mba dan Nda. Kedua huruf tersebut merupakan ciptaan kemudian dan jarang dipakai. Huruf-huruf tersebut juga tidak biasa dimasukkan dalam abjad Karo. Kalaupun dimasukkan, posisinya biasanya sesudah Ca. 2. Surat Batak versi Toba mempunyai urutan kedua yang sangat berbeda; urutan ini juga dipakai di Angkola: a ha ma na ra ta sa pa la ga ja da nga ba wa ya nya i u18 3. Menurut Van der Tuuk urutan di Mandailing lain lagi: a ha na ma ta ra ja ga la pa sa da nya ba wa nga ya i u ka ca 4. Menurut Van der Tuuk pula, urutan Dairi (Pakpak) berbunyi:
18. Dalam naskah kertas Van der Tuuk (Perpustakaan Univ. Leiden, Cod. Or. 3421, hal. 83 letaknya aksara Nya adalah sesudah U.
96
Surat Batak
pa na ka ma ra ba ja sa la ga nga ha da wa ta ya i u 5. Dalam tiga buku sekolah zaman dulu, dua di antaranya dari Angkola dan satu lagi dari Mandailing, terdapat urutan yang berbeda lagi (Asselt 1876; Schütz 1902; 1872). Penulis-penulis ketiga buku tersebut memasukkan huruf yang ber-tompi (Ka dan Ca) dalam urutan aksara, padahal tompi adalah tanda diakritik dan bukan aksara.19 Adapun urutan aksara Angkola-Mandailing menurut ketiga buku ini: a ha ka ga nga sa ca ja ta da na pa ba ma ya ra la wa nya i u. Urutan abjad ini mengikuti urutan abjad India yang juga dipakai oleh Van der Tuuk dalam menyusun kamus bahasa Batak (Tuuk 1861). Kemungkinan besar urutan abjad ini tidak pernah dipakai oleh orang Batak. 6. Berikut ini satu ‘varian’ yang sering dipakai di sekolah-sekolah dalam pelajaran aksara Batak. Urutannya adalah: a ha na ra ta ba wa i ma nga la pa sa da ga ja ya u nya Dapat diduga bahwa urutan ini adalah ciptaan baru, khusus untuk tujuan mempelajari surat Batak di sekolah-sekolah, dan tidak memiliki dasar tradisional. Urutan ini mudah diingat oleh anak-anak sekolah karena membentuk kalimat: aha na rata baoa i mangalapa sada gaja berarti kira-kira: “apa yang hijau orang itu memotong seekor gajah”.
6.4
Ina ni surat
Daftar di bawah ini memperlihatkan varian-varian yang paling umum dijumpai dalam naskah. Sebuah daftar yang lebih lengkap terdapat di BAB 10. Tabel 9: Berbagai varian surat Batak
a
Karo
Pakpak
Simalung.
Toba
Mandail.
a
a
A
a
a
19. Tompi adalah diakritik yang dapat ditempatkan di atas huruf Ha dan Sa untuk mengubahnya menjadi Ka dan Ca. Diakritik tersebut hanya dipakai di Mandailing.
Surat Batak ha ka ba pa na wa ga ja da ra ma ta sa ya nga la
a k b p n w g j d r m t s y < l
a k b p n w g j d r m t s y < l
c C q B I U
c
nya ca nda mba i u
I U
97
K K B P N W G J d r m t s y < l [
h k b p n wv g j d r m ft s y < l [
h k b p n w g j d r m t s y < l [ c
I U
I U
I U
A / Ha
a
(KPTM) Mungkin inilah bentuk huruf A yang paling umum yang saya gunakan untuk mewakili keseluruhan aksara Batak kecuali Simalungun. Bentuknya mirip dengan huruf a yang digunakan oleh penerbit kolonial Landsdrukkerij Batavia (1872; Doli 1901; Nommensen
98
Surat Batak
1885a). Bentuk huruf A yang sering ditemukan dalam kebanyakan naskah-naskah Batak berada antara bentuk a dan a. Penerbit Landsdrukkerij tidak melanjutkan penggunaan bentuk huruf A yang sebelumnya sudah dipakai untuk mencetak kamus dan buku bacaan Van der Tuuk (1860; 1861). Kendati demikian, penerbit zending R.L. Friderichs & Comp. masih tetap melanjutkan penggunaan bentuk huruf A dalam semua terbitannya, termasuk edisi baru Tobasch Spelboekje (Buku belajar menulis bahasa Toba) yang dikarang oleh Nommensen (1885b). Mungkin itulah sebabnya maka bentuk huruf ini sekarang sering dianggap sebagai bentuk huruf yang ‘asli’ Toba. Lihat misalnya daftardaftar surat Batak yang terdapat di karangan-karangan Marbun dan Hutapea, Sihombing dll. (Marbun dan Hutapea 1987; Sihombing 1986). Dalam karangan-karangan ini huruf A biasanya berbentuk 0. Baik varian A maupun varian 0 cenderung secara berlebihan menekankan bentuk-bentuk siku yang memang sering ditemukan dalam naskah Toba dan Mandailing, tetapi sebenarnya kurang mewakili bentuk-bentuk huruf A sebagaimana mestinya. Varian A, yang lebih menekankan bentuk lengkung, kadang-kadang dapat ditemukan di dalam naskah-naskah Karo. Joustra menggunakan huruf lengkung seperti itu (2) dalam kamus bahasa Karo (Joustra 1907). Huruf itu memiliki bentuk dasar yang sama seperti Ta-nya Joustra. Meskipun varian-varian itu memang ada, dan sebenarnya kadang-kadang terdapat perbedaan kecil antara A versi Karo dan versi Toba atau Mandailing, saya memilih bentuk huruf a karena bentuk inilah yang paling umum dan dapat mewakili keseluruhan aksara Batak kecuali Simalungun.
a
(S) Dalam surat Batak versi Simalungun semua aksara cenderung terdiri atas garis-garis yang terputus. Demikian juga dengan huruf A yang serifnya (garis horisontal) terputus.20
20. Untuk keterangan definisi ‘serif’ dan istilah-istilah lainnya silakan merujuk pada daftar istilah.
Surat Batak
99
Sebagaimana diuraikan di bawah, huruf A di Pakpak dan Karo bermakna [a] atau [ha], sedangkan di daerah lain hanya bermakna [a] saja.
Ha / Ka
k (KPT) h f (M) Van der Tuuk menggunakan bentuk
huruf k untuk Ha di Toba dan Pakpak-Dairi, dan bentuk h di Mandailing, sedangkan penerbit Landsdrukkerij menggunakan h untuk Toba dan Mandailing. Kadang-kadang mustahil untuk menentukan apakah bentuk huruf yang terdapat dalam salah satu naskah lebih mirip k atau h, tetapi ada kecenderung ke arah bentuk h dalam naskah-naskah Mandailing. Pada beberapa naskah Mandailing juga ditemukan varian f. Huruf ini melambangkan [ha] atau [ka] di Simalungun, Toba, dan Mandailing, tetapi selalu bermakna [ka] di Pakpak dan Karo. Di Mandailing, aksara Ha (h) yang ditambahi dua garis pendek di atasnya (k) yang disebut tompi, kadang-kadang digunakan untuk membedakan Ka dan Ha. Perlu dicatat bahwa tompi itu adalah penemuan kemudian dan tidak selalu digunakan. Tompi itu tidak pernah digunakan dalam naskah-naskah Toba atau Simalungun.
k (S) Dalam surat Batak versi Simalungun huruf Ha dimodifi-
kasikan sedemikian rupa sehingga kedua garis miring menjadi dua garis horisontal pendek yang terpisah dari garis lengkung di atasnya. Bentuk huruf Ka di Karo sering berserif : K.
Ba
b
(PSTM) Bentuk huruf Ba seperti ini ditemukan di dalam hampir semua naskah-naskah Simalungun, Pakpak, Toba, dan Mandailing. Bentuk siku di bawahnya lebih nyata pada naskah-naskah bambu sedangkan pada naskah pustaha yang hurufnya ditulis dengan kalam yang agak lebar bentuk sikunya tidak begitu tampak dan kadang-kadang huruf Ba kelihatan berbentuk oval saja seperti halnya di Karo. (K) Di Karo, huruf Ba selalu berbentuk oval. Sebagaimana disebutkan di atas, bentuk ini juga kadang-kadang digunakan di dalam
b
100
Surat Batak
naskah Toba dan Mandailing, khususnya di pustaha, karena ditulis dengan kalam lebar. Lihat misalnya Foto 12. Di Karo selalu digunakan b untuk Ba dan B untuk Mba (lihat juga uraian Mba di bawah).
Pa
p
(KPTM) Pada hampir semua naskah-naskah Karo, Pakpak dan Toba huruf Pa berbentuk garis lurus horisontal. Varian melengkung p juga sering dipakai, terutama di Mandailing. Penerbit Landsdrukkerij menggunakan huruf Pa yang melengkung untuk huruf Toba meskipun varian yang lurus lebih umum.
p (S) Di Simalungun, huruf Pa kadang-kadang berbentuk garis
horisontal lurus atau melengkung seperti disebut di atas, tetapi varian p berbentuk tilde adalah bentuk yang paling umum dalam naskah-naskah Simalungun.
Na
n
Van der Tuuk menggunakan varian 4, dengan garis yang memanjang ke kiri di atas bentuk oval untuk huruf Na di Toba dan Pakpak, sedangkan bentuk n digunakannya untuk huruf Na di Mandailing. Akan tetapi penerbit Landsdrukkerij menggunakan bentuk n untuk Na di Toba dan Mandailing dan Joustra juga menggunakan n untuk Na di Karo. Pada semua surat Batak bentuk huruf Na dapat bervariasi. Kadangkadang, garis lurus berada tepat di atas oval (3), tetapi biasanya garis itu agak memanjang ke kiri. Garis itu dapat juga berbentuk miring (5), atau melengkung dan bersatu dengan oval di bawahnya sehingga menjadi n. Bentuk n ini sering terdapat dalam naskah Mandailing. Di daerah lain bentuk yang garis lurus memanjang ke kiri n lebih umum. Selain bentuk-bentuk yang disebut di atas, terdapat juga varian q dan v yang agak bebeda. Varian ini dikenal sebagai "Na kuno" karena bentuknya yang memang sangat mirip dengan huruf yang sama pada aksara Kawi (Jawa/Sumatra kuno). Varian ini saya temukan dalam enam naskah Mandailing (Leiden Or. 3567, Berlin IC 12636, 36841, 37389,
Surat Batak
101
37390, 37396), dan dua naskah Toba (Jakarta D82, Berlin IC 389878c). Saya belum pernah melihat bentuk ini dalam naskah-naskah Karo dan Simalungun sehingga dapat disimpulkan bahwa varian ini hanya dikenal dalam naskah-naskah selatan. Varian pertama huruf ini berbentuk simpul dengan garis lurus horisontal di atasnya (q). Dalam naskah Berlin IC 37389 tidak terdapat garis lurus horisontal, dan dalam naskah Berlin IC 39878c bentuk simpul diputar 90°, dan ujung kanan dari garis horisontal bersambung ke ujung atas simpul sehingga berbentuk v.
Wa
w (KTM) Huruf Wa Van der Tuuk dan Joustra berbentuk w.
Menurut hasil evaluasi naskah yang saya lakukan bentuk Wa yang paling umum adalah w meskipun terdapat juga varian-varian yang cenderung mengarah ke bentuk seperti disajikan oleh Van der Tuuk. Bentuk huruf yang dipakai oleh penerbit Landsdrukkerij berada di antara bentuk w dan w.
w (S) Seperti biasa dalam aksara Simalungun serif-serifnya selalu terputus. w (PT) Varian aksara Wa ini sangat umum di Pakpak dan sering
ditemukan di Toba. Di Mandailing dan dalam naskah-naskah kulit kayu Karo varian ini sangat jarang ditemukan, dan tidak pernah dipakai dalam naskah bambu Karo. Di 31 naskah Toba yang saya amati, bentuk w terdapat dalam 11 naskah sedangkan bentuk w digunakan dalam 20 naskah. Jadi sekitar sepertiga naskah Toba menggunakan bentuk aksara Wa ini.
Ga
g (KPTM) Huruf ini berbentuk garis lengkung horisontal yang
memiliki garis miring bersambung di ujung kanan. Kadang-kadang garis horisontal itu dapat juga lurus.
g (S) Sebagaimana biasanya di aksara Simalungun, garis di
ujung kanan itu terputus dan letaknya sejajar dengan garis di atasnya.
102
Surat Batak
Ja
j (TM) Bentuk huruf Ja persis sama dengan bentuk huruf Da dengan penambahan sebuah garis lurus di sebelah kanannya. j (KPS) Penyederhanaan huruf ini terjadi di bagian utara tanah Batak, khususnya di daerah Simalungun, Karo, dan Pakpak.
Da
d (KPSTM) Bentuk huruf Da ini paling umum ditemukan dalam semua naskah Batak kecuali naskah bambu Karo. D (K) Varian inilah yang ditemukan dalam naskah-naskah bambu Karo, sedangkan dalam naskah kulit kayu Karo bentuk huruf biasa d yang digunakan. Dewasa ini, huruf Da cenderung ditulis dengan garis miring yang terlalu vertikal. Bentuk tersebut sebenarnya tidak pernah ada dalam naskahnaskah Batak.
Ra
r (KPTM) Pada huruf ini, kedua garis horisontal yang sejajar
biasanya melengkung dengan garis miring di ujung kanan garis bawah, tetapi garis-garis horisontal itu kadang-kadang lurus baik dengan garis miring yang bersambung di ujung sebelah kanan maupun dengan garis putus. Kalau garis ketiga ini terputus maka letaknya biasanya sejajar dengan garis yang di atasnya, tetapi lebih pendek seperti berikut ini: R.
r
(S) Dalam aksara Simalungun, ketiga garis biasanya lurus dan terputus. Garis yang paling atas selalu memanjang ke kiri melewati garis di bawahnya. Pada umumnya, garis atas juga lebih pendek dari garis tengah, tetapi lebih panjang dari garis bawah.
Ma
m (S) Bentuk huruf Ma memiliki beberapa varian. Di Simalungun
bentuknya terdiri atas tiga unsur dasar yakni: 1. Garis atas-kiri yang horisontal dan agak melengkung. 2. Garis tengah yang miring dan agak panjang. 3. Garis bawah-kanan berupa garis miring terbalik.
Surat Batak
103
m
(KPTM) Pada huruf ini garis atas-kiri yang horisontal tidak melengkung, dan juga lebih pendek sehingga ujung kanannya tidak menyentuh garis tengah. Garis tengah tidak hanya berupa garis miring (yang ujung kanan agak melengkung), tetapi ujung kirinya juga bersambung ke atas sehingga menyentuh garis atas-kiri. Garis bawah-kanan tetap berbentuk garis miring terbalik yang menyentuh garis tengah. Garis atas-kiri yang horisontal juga dapat melengkung menjadi 8. Bentuk huruf Ma yang digunakan Van der Tuuk untuk Pakpak, Toba dan Mandailing sedikit berbeda: M. Garis atas-kiri bahkan lebih melengkung sehingga menyentuh garis tengah tepat pada tempat persentuhan garis bawah-kanan sehingga berkesan seolah garis atas-kiri dan bawah-kanan berupa satu garis. Padahal bukan begitu. Bentuk huruf Van der Tuuk tampaknya berupa bentuk kompromi antara varian-varian yang lebih umum dipakai yakni m, 8 dan 0. Bentuk huruf versi penerbit Landsdrukkerij untuk Toba dan Mandailing menggabungkan ketiga unsur dasar (garis atas-kiri, tengah dan bawah-kanan) menjadi satu garis berbentuk simpul: 0. Dalam hal ini, garis atas-kiri menyentuh garis tengah dan terus memanjang ke garis bawah-kanan; ujung kiri garis kiri-atas menyentuh ujung kiri garis tengah. Hasilnya, huruf itu dibentuk sebagai satu garis yang dimulai dari atas-kanan, kemudian membentuk simpul dan berakhir di bawah-kanan. Varian 0 sering ditemukan dalam naskah-naskah Mandailing, jarang digunakan di dalam naskah Toba, dan tidak pernah dipakai dalam naskah Simalungun atau Karo. Bentuk Ma yang digunakan oleh Joustra untuk Karo (7) hanya sedikit berbeda dari bentuk ini: m.
Ta Dalam hal bentuk huruf Ma, dapat ditunjukkan bahwa varian-varian huruf m, m, dan 0 yang tampaknya tak berhubungan sebenarnya masing-masing memiliki unsur-unsur dasar yang sama. Dalam hal bentuk huruf Ta ada dua varian, yaitu f dan t. Ternyata, kedua varian tidak memiliki unsur-unsur dasar yang sama, melainkan merupakan dua varian yang sama sekali tidak berhubungan.
104 1.
Surat Batak
t Ta Utara (KPT)
Bentuk Ta ini merupakan satu-satunya bentuk yang ada di Karo. Di Toba terdapat bentuk utara maupun selatan. Bentuk selatan kini sering dianggap sebagai bentuk "asli" Toba, padahal hanya 40% naskah Toba yang menggunakan bentuk selatan (t), sedangkan 60% naskah Toba menggunakan bentuk utara (f). Pada penulisan huruf Ta utara ini terdapat sedikit variasi: 1. Serif atas bisa berbentuk seperti serif bawah pada contoh ini (melengkung ke dalam). 2. Kedua serif memanjang ke kiri dan ke kanan seperti misalnya dalam bentuk huruf Ta yang digunakan oleh Joustra: t. Setelah dilakukan pengamatan pada sekitar 50 naskah bambu, ternyata bentuk f yang paling umum digunakan.
2.
t Ta Selatan (STM)
Bentuk huruf Ta selatan adalah satu-satunya varian yang digunakan di Simalungun dan Mandailing. Meskipun Ta utara lebih umum dipakai dalam naskah-naskah Toba, baik Van der Tuuk maupun Nommensen menggunakan bentuk Ta selatan. Mungkin itu sebabnya maka sekarang ini hanya varian selatan yang masih dikenal. Tidak terdapat varian-varian yang berarti mengenai Ta selatan ini. Sa
s (KPST) Bentuk huruf Sa ini paling umum terdapat dalam nas-
kah-naskah meskipun terdapat sejumlah varian. Di Karo kadang-kadang digunakan varian z dan bentuk simetris x. Di Toba bentuk s ini satu-satunya yang digunakan, tetapi jarang digunakan di Mandailing. Di Simalungun terdapat varian z dengan serif bawah yang terputus, dan sebuah varian lagi yang bentuknya sangat berbeda, yakni:
s
(S) Varian Sa ini adalah bentuk yang paling umum di Simalungun. Varian Sa Simalungun lainnya adalah 0 dan 1, tetapi bentuk-bentuk ini agak jarang ditemukan dalam naskah. Varian x juga kadang-kadang digunakan di Mandailing.
Surat Batak
s
(M) Dalam naskah-naskah Mandailing bentuk Sa lebih sering digunakan daripada varian x.
Ya
105
s ini jauh
y (KPSTM) Serif huruf ini biasanya berupa garis lurus horisontal
pendek, tetapi khususnya di Simalungun dan Mandailing, serif tersebut sering melengkung dan terputus seperti berikut ini: y.
NGa
<
(KPSTM) Bentuk inilah satu-satunya yang digunakan dalam semua aksara Batak.
La
l l (S) Lihat Ga
(KPTM) Aksara La berbentuk seperti Ga yang terbalik. Keterangan yang diberikan untuk huruf Ga berlaku juga untuk huruf La
Ca Bunyi [c] hanya terdapat di Karo, Pakpak, dan Mandailing. Di Pakpak tidak ada aksara yang khusus digunakan untuk Ca, dan aksara Sa dipakai untuk menulis [c]. Mandailing juga menggunakan huruf Sa dengan penambahan tompi sehingga menjadi Ca: c dan x= – band. Ha h yang, bila dibubuhi tompi, menjadi Ka (h=). Tompi boleh digunakan, boleh tidak.
c C
dan (K) Karo memiliki dua varian Ca, ialah c dan C. Tingkat penggunaan kedua bentuk ini hampir sama. Karena Ca dan Nya memiliki bentuk yang serupa (C) sedangkan huruf Nya tidak terdapat di Karo, maka dapat disimpulkan bahwa Ca berasal dari huruf Nya dan bentuk C lebih tua daripada c. Bentuk yang diberi oleh Joustra agak berbeda sedikit (c) karena garis panjang tidak melengkung dan memanjang ke kiri. Tingkat penggunaan kedua subvarian Cdan c hampir sama.
106
Surat Batak
NYa
[ (STM) Hanya bahasa Mandailing mengenal fonem [ñ]. Kendati
demikian, huruf [ juga digunakan dalam urutan aksara Toba dan Simalungun, tetapi jarang sekali digunakan.
NDa
{ (K) Bentuk huruf ini sama dengan kebalikan huruf Da. Varian-
varian lainnya adalah q, [, { dan }. Varian yang terakhir diangkat Joustra di dalam kamusnya. Varian { lebih sering digunakan daripada varian yang disajikan Joustra. Lihat keterangan selanjutnya di BAB 7.5.
Mba
B Huruf Mba ini juga hanya ada di Karo. Terdapat tiga varian,
yakni B, f, dan v. Perlu dicatat bahwa huruf B tidak pernah digunakan untuk Ba di Karo. Lihat keterangan selanjutnya di BAB 7.5.
I
I
Bentuk ini hanya memiliki sedikit variasi. Biasanya ketiga garis lurus, tetapi kadang-kadang bisa agak melengkung sedikit. Kedua garis bawah bisa sama panjangnya. Aturan tersebut berlaku untuk semua surat Batak. U
U Bentuk huruf U adalah sama dengan kebalikan huruf I. Ke-
terangan varian I berlaku juga untuk U.
6.5
Anak ni surat
Bunyi [a] yang terdapat pada semua ina ni surat kecuali I dan U dapat diubah menjadi vokal lain dengan menambahkan sebuah diakritik. Anak ni surat itu juga dipakai untuk menambah bunyi sengau [ng] atau bunyi [h] di akhir suku kata (seperti dalam kata ‘rumah’ atau ‘bahwa’) pada ina ni surat. Penggunaan anak ni surat dijelaskan pada tabel berikut:
Surat Batak
107
Tabel 10: Posisi anak ni surat terhadap ina ni surat
-ě -e -i -o
Karo
Pakpak
Be BE Bi B= Bo BO
Be BE Bi Bo
Bu B^ Bh B-
Bu B^ Bh B\
-ou -u -ng -h -
Simal.
Toba
Mand.
BE Bi Bo BO Bu B^ Bh B-
BE Bi Bo
BE Bi Bo
Bu B^
Bu B^
B\
B\
Masing-masing anak ni surat mempunyai nama sendiri. Dikarenakan suatu sebab terdapat sejumlah nama-nama yang berbeda-beda untuk anak ni surat i, o, u, dan ng dalam surat Batak versi Toba. Semua varian yang dapat saya peroleh dalam sumber-sumber kepustakaan tercantum pada Tabel 10. Kalau kita membandingkan Tabel 10 dengan Tabel 11 kelihatan bahwa tanda diakritik yang sama bisa mempunyai nilai atau makna fonetik yang berbeda tergantung pada daerahnya. Anak ni surat e misalnya berbunyi [ə] (e-pepet) di Pakpak dan Karo, tetapi berbunyi [u] pada dialek-dialek selatan. Meskipun diakritik tersebut dapat dipakai untuk bunyi-bunyi yang berlainan, namanya tetap sama, ialah kěběrětěn atau kaběrětěn pada dialek utara, dan haboritan atau haborotan pada dialekdialek selatan. Tabel 11: Nama anak ni surat ě
Karo kěběrětěn
e
kětelengěn
Pakpak kaběrětěn podi kětadingin
Simalungun —
Toba —
Mandailing —
hatalingan
hatadingan
talinga
108
Surat Batak
i
kělawan
kaloan
haluan
haluain hauluan haulian siulu, uluwa
uluwa
o ou u
kětolongěn — sikurun
sikora — kaběrětěn
sihorlu hatulungan haboritan
ng
kěbincarěn
kěbincarěn
haminsaran
siala ulu — boruta buruta amisara
h kějěringěn Tanda pěněngěn bunuh
sikorjan pangolat ?
hajoringan panongonan
siala, sihora — haborotan haboruan haminsaran hamisaran paminggil — pangolat
— pangolat
Be (ě) (KP) Anak ni surat ini disebut kěběrětěn di Karo, dan kaběrětěn podi (kaběrětěn akhir) di Pakpak (band. diakritik u). Di Karo, letaknya huruf ini selalu di belakang ina ni surat, di Pakpak dapat juga diletakkan di belakang huruf (Tuuk 1971:31) walaupun letak yang biasa adalah di atas ina ni surat (Voorhoeve 1975:42). Voorhoeve tidak menjelaskan secara pasti di bagian atas mana huruf ini diletakkan, terutama jika digabungkan dengan penggunaan anak ni surat lain seperti Ng yang juga diletakkan di atas ina ni surat. Fonem [ə] hanya terdapat di Karo dan Pakpak. Bila kata kěběrětěn disesuaikan dengan penghafalan Batak Selatan, hasilnya adalah haborotan, karena awalan ke- di Karo menjadi ha- di selatan, akhiran -en menjadi -an, dan fonem [ə] di Batak Utara menjadi [o] di Batak Selatan. Dari uraian ini menjadi jelas bahwa kedua anak ni surat kěběrětěn dan haborotan pada hakikatnya tidak berbeda.
BE (e) Anak ni surat ini disebut kětelengěn di Karo, kětadingin di Pakpak, hatalingan di Simalungun, hatadingan di Toba, dan talinga di Mandailing. Bentuknya berupa tanda hubung yang diletakkan di atas sebelah kiri ina ni surat.
Surat Batak
109
Bi (i) (KPTM) Anak ni surat ini disebut kělawan di Karo, kaloan di Pakpak, dan uluwa di Mandailing dan Toba. Di Toba dikenal empat istilah lagi, yakni haluain, hauluan, haulian dan siulu. Anak ni surat ini berbentuk lingkaran kecil yang diletakkan di belakang ina ni surat. Dengan demikian, huruf Ba b menjadi Bi bi.
Bi (i) (KS) Di Simalungun anak ni surat ini disebut haluan, di Karo namanya sama dengan varian i yang di atas, yakni kělawan. Di Simalungun inilah anak ni surat satu-satunya untuk i, sedangkan di Karo dipakai sebagai salah satu varian di samping i yang berupa lingkaran kecil dengan tingkat penggunaan yang hampir sama. Letaknya juga di belakang ina ni surat (bi).
Bo (o, u) (PSTM) Anak ni surat ini disebut sikora di Pakpak, sihora dan siala di Toba, dan siala ulu di Mandailing. Di semua surat Batak kecuali Karo tanda kali kecil ini diletakkan di belakang ina ni surat untuk menandai bunyi [o]. (K) Di Karo, anak ni surat ini dinamakan sikurun, dan berbunyi [u].
Bo (o) (K) Anak ni surat ini disebut kětolongěn. Di Karo, anak ni surat untuk bunyi [o] diletakkan di atas sebelah kanan ina ni surat. Terdapat dua varian, yakni bo dan bO yang dua-duanya berbunyi [o].
BO (o) (S) Anak ni surat ini disebut hatulungan. Hanya di surat Batak Simalungun terdapat anak ni surat /ou/ yang bentuknya sama dengan varian kedua kětolongěn Karo. Dengan demikian, huruf b menjadi [bou] (bO). (K) Varian o ini juga bernama kětolongěn.
110
Surat Batak
Bu (u) (PSTM) Anak ni surat ini sama bentuknya dengan diakritik [ě] di atas, tetapi letaknya agak ke bawah sedikit. Di Toba anak ni surat ini disebut haborotan atau haboruan, di Simalungun haboritan, dan di Mandailing boruta atau buruta. Istilah haborotan berasal dari kata borot (tambat). Borotan adalah tambatan kerbau atau kuda. Istilah haborotan mengacu pada kenyataan bahwa anak ni surat ini ‘tertambat’ pada ina ni surat sehingga ina ni surat dan anak ni surat bersatu. Letak anak ni surat /u/ di aksara Toba adalah:
AKBPNWGJDRMTSY>L] Varian /tu/ dan /nu/ adalah F dan Q. Di Mandailing /pu/ dan /lu/ sedikit berbeda, menjadi P dan L. Untuk varian-varian Ha, Ma, dan Sa di Mandailing, anak ni surat U diletakkan dengan cara berikut ini: H dan F (hu), 1 (mu), dan S (juga ditulis v) serta X(su). Di Simalungun, letak U adalah seperti berikut:
AHBPNWGJDRMTSY>L] Masih perlu dicatat suatu hal yang agak aneh di sini. Di Simalungun dan di Mandailing terdapat varian Sa yang berbentuk x. Bila digabung dengan anak ni surat u maka di Simalungun diakritik itu diletakkan di atas huruf Sa menjadi S (su), sedangkan di Mandailing letaknya anak ni surat adalah pada tempat yang biasa, yakni X.
B^ (ng) (KPSTM) Anak ni surat ini disebut kěbincarěn di Karo dan Pakpak, haminsaran di Simalungun dan Toba, dan amisara in Mandailing. Di Toba juga dikenal dengan istilah paminggil. Bentuknya berupa tanda hubung yang diletakkan di atas sebelah kanan ina ni surat mengubah aksara b Ba berubah berbunyi [bang] b^.
Bh (h) (KPS) Anak ni surat ini disebut kějěringěn di Karo, hajoringan di Simalungun, dan sikorjan di Pakpak. Bentuknya berupa tanda = yang
Surat Batak
111
letaknya di atas sebelah kanan ina ni surat. Dengan demikian huruf Ba (b) berubah berbunyi [bah] bh.
B\ (Tanda Bunuh) (PTM) Anak ni surat ini disebut pangolat. Bentuknya berupa garis miring ke bawah yang diletakkan di belakang ina ni surat. Anak ni surat ini berfungsi menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat sebagaimana terlihat pada contoh berikut ini: tm\bk\ tambak (PTM)
B- (Tanda Bunuh) (KS) Anak ni surat ini disebut pěněngěn di Karo dan panongonan di Simalungun. Letaknya, dan juga fungsinya persis sama dengan pangolat ialah untuk menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat.
6.6
Penyimpangan dari aksara Batak
Dalam aksara Batak sebagaimana sering digunakan sekarang misalnya yang dipakai di kantor-kantor polisi, di tugu-tugu, di puskesmas, dan gedung-gedung umum lainnya, ada kecenderungan untuk menulis huruf Batak yang sangat menyimpang dari bentuk yang sebenarnya. Bentukbentuk yang agak aneh juga terdapat di karangan-karangan yang berkaitan dengan budaya Batak, misalnya di Sarumpaet (1994) atau Situmorang (1983). Huruf-huruf yang paling sering menyimpang adalah huruf A, Da, Ma, Na, dan Sa. Keterangan-keterangan mengenai penyimpanganpenyimpangan tersebut dapat dilihat pada uraian-uraian di BAB 6. Kejanggalan-kejanggalan tersebut sulit diketahui asalnya. Kemungkinan berasal dari ketidaktahuan saja. Terlampir ada beberapa contoh yang difoto oleh pengarang pada akhir tahun 1998 di Medan, dan di Tapanuli Utara. Gambar 18 diambil di kantor polisi Jl. Tembung, dan papan yang mirip itu ada di hampir semua kantor polisi di Medan. Perancang papan tersebut rupanya tidak mengetahui perbedaan antara aksara dan diakritik sehingga huruf I dalam ‘polisi’ yang seharusnya ditulis dengan diakritik: polisi malahan ditulis dengan aksara! Alhasilnya bukan lagi ‘polisi’ melainkan polIsI – po-la-i-sa-i, jadinya polaisai! Perhatikan juga bentuk La dan Sa. Bentuknya persis sama, pada aksara
112
Surat Batak
Sa hanya ditambah saja sebuah garis kecil. Bentuk ini sudah jauh menyimpang dari aksara s yang lazim terdapat dalam pustaha-pustaha.
Gambar 18: Papan di muka kantor polisi di Jalan Serdang, arah Tembung. Foto 19 diambil di kecamatan Laguboti, Tapanuli Utara. Yang terlihat di foto bagian atas sebuah tugu marga Pangaribuan.
Gambar 19: Tugu marga Pangaribuan, Kec. Laguboti, Kab. Tapanuli
Surat Batak
113
Utara. Tulisan Pangaribuan p
Gambar 20: Papan di muka Puskesmas Silaen, Kab. Tapanuli Utara. Pada papan Puskesmas Silaen (Kab. Tapanuli Utara) terdapat pula bentuk huruf Sa yang bergabung dengan diakritik /u/ (huruf kedua di papan tersebut). Hal ini pada umumnya tidak terjadi pada Sa Toba. Memang benar bahwa diakritik /u/ sering bersatu dengan aksara induk (misalnya h + e = H atau j + e = J), tetapi s + e = S. Bentuk seperti terdapat pada papan Puskesmas Silaen juga harus dianggap sebagai penyimpangan. Selain itu pada keempat foto tersebut terdapat bentuk yang sama pada huruf Pa ialah bentuk yang melengkung. Bentuk ini tidak salah, tetapi di pustaha lebih sering terdapat bentuk huruf Pa
114
Surat Batak
yang garisnya lurus saja. Satu lagi huruf yang perlu disinggung di sini, yakni aksara Ma dalam kata ‘puskesmas’ yang berbentuk m. Bentuk ini jarang sekali dapat ditemukan di pustaha Toba yang selalu menggunakan bentuk m. Aksara Ma seperti terdapat pada papan tersebut lebih umum terdapat di Angkola dan Mandailing. Satu lagi contoh aksara yang menyimpang secara ekstrem dari aksara asli terlihat pada gambar berikut. Teks, yang merupakan doa “Bapak kami yang ada di surga”, bermaksud untuk berbunyi: Ale Amanami na di banua / ginjang. Sai Pinarbadia ma / Goar-Mu. Sai ro ma Harajaon- / Mu. Sai saut ma lomo ni / roham di banua tonga on.
Gambar 21: Ale Ama nami Akan tetapi teks begitu padat dengan kesalahan sehingga sangat sukar untuk dibaca. Sebagai contoh, perkataan tonga on dimuat tiga kali dalam tabel berikut. Pada kolom pertama dengan ejaan yang salah dan bentuk huruf yang aneh. Pada kolom kedua teks disalin dengan bentuk huruf yang benar tetapi ejaan dibiarkan sama dengan di kolum 1. Kolum 3 baru memperlihatkan kata tonga on dalam bentuk dan ejaan yang benar: Ejaan di teks
Ejaan yg benar
Surat Batak
to^aaon\
|
115
to
7
PEDOMAN MENULIS AKSARA BATAK
Pedoman menulis aksara Batak Pakpak, Toba, dan Mandailing terdapat dalam tata bahasa Van der Tuuk Tobasche Spraakkunst (Tuuk 1864) yang telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul A Grammar of Toba Batak (Tuuk 1971:10). Penggunaan surat Batak versi Karo telah dijelaskan oleh Neumann (1922) dan Smit (1916). Setahu saya, pemakaian tulisan Simalungun belum pernah dijelaskan. Secara umum surat Batak telah dibahas dalam sejumlah karangan (Haberlandt 1886; Kozok 1991; Marschall 1967; Voorhoeve 1927), namun perlu diingat bahwa keterangan yang diberikan dalam publikasi tersebut tidak selalu dapat diandalkan. Haberlandt dan Marschall kurang mengetahui aksara Batak, dalam publikasi Kozok tabel yang memuat tanda diakritik salah disusun oleh penerbit, dan tidak ada satu pun di antara publikasi yang tersebut tadi yang memberikan pedoman praktis untuk mempelajari kelima varian aksara Batak. Contoh-contoh yang diberikan di bawah ini berdasarkan aksara Karo [K] atau Toba [T] yang masing-masing mewakili kelompok utara dan selatan. Hanya bila perlu, disajikan pula contoh dengan menggunakan aksara Simalungun [S] atau Angkola-Mandailing [M].
7.1
Anak ni surat
Semua ina ni surat yang berupa konsonan berakhir dengan bunyi [a] (bp bapa). Bunyi [a] ini dapat dihapus dengan menggunakan tanda bunuh yang disebut pěněngěn [K] atau pangolat [T]. Fungsi diakritik tersebut persis sama dengan diakritik yang disebut virama dalam bahasabahasa India, atau paten dalam bahasa Jawa. Pada contoh berikut aksara Ka kehilangan bunyi [a]: lk\lk\ laklak.
Pedoman Menulis Aksara Batak
117
Bunyi [a] yang melekat pada ina ni surat dapat diubah menjadi vokal lain dengan menambahkan anak ni surat. Huruf Ga (g) misalnya dapat diubah menjadi gE Ge seperti dalam kata bligE Balige. Selain itu, ada dua diakritik yang menambahkan bunyi [ng] atau [h] pada ina ni surat, contohnya adalah b^kr Bangkara, atau rumh rumah [K]. Dua jenis diakritik dapat dikombinasikan: pti^ pating [K], reh rěh [K].21 Bila terdapat kombinasi dari anak ni surat yang letaknya di belakang ina ni surat (yakni i, u, atau e) dan anak ni surat /h/ atau /ng/ (yang terletak di atas-kanan ina ni surat) maka anak ni surat /h/ atau /ng/ agak bergeser ke kanan sehingga posisinya tepat di atas anak ni surat i, u, atau e. Perlu dicatat bahwa aturan ini tidak selalu dipatuhi. Pada suku kata tertutup yang terdiri dari urutan Konsonan - Vokal Konsonan, anak ni surat yang menandai vokal selalu diletakkan di antara ina ni surat yang kedua dan tanda bunuh seperti terlihat pada contoh ini: gko\ gok; borti- borit [S]; sni-tk- sintak [K].
7.2
Aksara A dan Ha
Menurut Voorhoeve (1975:41), makna asli huruf a adalah [ha] dan huruf k bermakna [ka], tetapi dalam dialek-dialek selatan a selalu berbunyi [a] dan k bermakna [ha] atau [ka]. Pada kelompok Batak Utara, a selalu bermakna [a] atau [ha] dan k menjadi [ka] seperti dapat dilihat pada tabel berikut: Karo Pakpak
aku aku aK aku
Simalungun Toba Mandailing
aK ahu aK ahu aH ahu
Huruf a juga digunakan sebagai penopang vokal. Karena surat Batak hanya mengenal dua ina ni surat yang bermakna vokal, ialah I dan
21. Perhatikan bahwa ejaan bahasa-bahasa Batak yang dipakai sekarang tidak membedakan e-taling [e] seperti dalam kata sedan (mobil) dan e-pepet yang diucapkan [ə] seperti dalam kata sedan (sedu-sedan).
118
Surat Batak
U, maka huruf a dipakai bila vokal-vokal [e], [ǝ], dan [o] berada pada awal suku kata. Dengan demikian aE dibaca [e], ao dibaca [o] dan sebagainya: aEtkE\ etek, aakE\ aek, amo\P ompu, ani\d inda, aN\d^ undang (perihal kedua contoh terakhir lihat juga BAB berikut).
7.3
Aksara I dan U
Aksara ina ni surat I dan U (I dan U) hanya digunakan di awal suku kata terbuka (UL ulu, pI
7.4
Vokal Ganda & Deretan Vokal
Karena fonem [w] dan [y] tidak terdapat pada bahasa Batak Toba, maka aksara Wa dan Ya tidak perlu bila menulis surat Batak versi Toba. Namun demikian, huruf Wa (w) dan Ya (w) sering dipakai, juga dalam naskah-naskah Batak Toba, untuk menyambungkan dua vokal. Kata reak, misalnya, dapat ditulis reak\ atau reyk\ dan demikian juga terdapat varian Da (dua) dan Dw (duwa). Tidak jarang kita menjumpai kedua varian pada satu naskah. Di Karo dan Simalungun deretan dua vokal selalu harus disambungkan dengan menggunakan w dan y. Dalam surat Batak versi Karo, kata sea selalu ditulis sEy (seya) dan tidak pernah sEa (sea); demikian juga dengan kata dua yang harus ditulis duw.
Pedoman Menulis Aksara Batak
119
Di semua surat Batak, w dipakai untuk menyambung dua vokal bila vokal pertama adalah [u] atau [o] (yakni ua, oa, oe, dan ue), sedangkan y menyambung dua vokal bila yang pertama menjadi [e] atau [i] (yakni ia, io, ea, dan eo). *K Di Karo, vokal ganda (diftong) [ai] biasanya ditulis /e/: kata nai biasanya ditulis nE (ne), tetapi kadang-kadang varian nyi (nayi) digunakan juga. Setahu saya, kebiasaan ini hanya ada di Karo, sedangkan dalam naskah-naskah Toba dan Mandailing deretan vokal [ai] seperti dalam contoh kata sai selalu ditulis sai (sai), dan dalam hal ini s mewakili /sa/ dan ai /i/.22 Vokal ganda [au] tidak lazim digunakan di Karo. Di antara beberapa kata yang menggunakan [au] terdapat kata lau (air, sungai) dan laut (laut). Dalam naskah-naskah Karo, lau selalu ditulis layo, dan laut selalu ditulis lawit. Dalam naskah Toba dan Mandailing, [au] selalu ditulis seperti dalam kata saT\, yaitu s /sa/ – aT\ /ut/. Namun perlu diingat bahwa kombinasi bunyi [a] dan [u] dalam kata saut sebetulnya bukan diftong karena [a] dan [u] diucapkan secara terpisa menjadi sa-ut. *S Pada naskah Simalungun huruf w dan y sering digunakan untuk menulis kata yang berawal vokal. Dengan demikian, ulang sering ditulis wulang, dan on ditulis won. Kata yang berawal bunyi [i] dan [e] juga sering ditulis dengan y. Diftong [ei] sering terdapat dalam bahasa Simalungun, misalnya dalam kata atei atau tarsulei. Kedua kata ini biasa ditulis atE ate dan tr-SlE tarsule. Kadang-kadang huruf Ya dipakai untuk menambah vokal /i/: atEyi atei, tr-SlEyi, tarsulei.
7.5
Nasalisasi dan aksara Mba dan Nda (K)
Salah satu ciri khas surat Batak versi Karo adalah bahwa bunyi sengau [m], [n], dan [ŋ] yang terdapat sebelum konsonan [b], [c], [d], [g], [j], [k], dan [p] tidak ditulis. Dengan demikian, kata panta selalu ditulis
22. Saya belum mengevaluasikan naskah-naskah Pakpak dan Simalungun atas cara penulisan diftong.
120
Surat Batak
pt.
Demikian juga dengan kata tonggal yang selalu ditulis togal, banci menjadi baci, nangkih menjadi nakih, sampur menjadi sapur dan sebagainya:
banci =baci nande =nade sampur =sapur
bci ndE spru-
tonggal =togal lanja =laja tangkal =takal
togllj tkl-
Demikian juga dengan kata nande yang sering ditulis nade, dan kata mambur yang sering ditulis mabur walaupun terdapat aksara Nda dan Mba. Tingkat penggunaan kedua aksara tersebut tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar 40% naskah Karo yang menggunakan aksara itu. Kemungkinan besar kedua aksara tersebut masih relatif baru, meskipun telah digunakan pada naskah Karo yang paling lama. Perlu dicatat bahwa umur naskah-naskah Karo yang berada di museum-museum di dalam dan di luar negeri jarang melebihi 120 tahun.
7.6
Kendala Morfemik
Seperti sudah disebut di atas, surat Batak sebenarnya bukan abjad karena tidak benar-benar fonetis. Hal itu juga tampak dari kenyataan bahwa hanya seorang yang mengetahui bahasanya dapat menulis surat Batak. Jika kita disuruh menulis kata marina dengan menggunakan huruf Latin, kita dapat melaksanakan hal itu dan bisa menulis kata yang diucapkan tadi tanpa kesalahan walaupun kita tidak mengerti katanya. Ialah karena abjad Latin pada hakikatnya fonetis.23 Lain halnya jika kita disu-
23. Perlu ditegaskan di sini bahwa yang dimaksud sebagai fonetis adalah abjad Latin dan bukan ejaan bahasa-bahasa yang ditulis dengan abjad Latin. Bahasa Indonesia misalnya memiliki ejaan yang fonetis, berarti bahwa tiap bunyi bahasa (fonem) dapat ditulis dengan salah satu huruf (grafem) dengan hanya beberapa pengecualian (misalnya fonem [e] dan [ə] yang diwakili satu grafem /e/ saja), sementara ejaan bahasa Inggris yang juga menggunakan abjad Latin sama sekali tidak fonetis.
Pedoman Menulis Aksara Batak
121
ruh menulis kata yang sama dengan surat Batak. Jika kita tidak menguasai bahasa Batak Toba, tentu kita akan menulis mrin karena kita tidak tahu bahwa kata marina terdiri atas dua morfem yakni awalan {mar-} dan kata dasar {ina}. Struktur morfemik inilah yang turut mempengaruhi cara menulis surat Batak, dan ada kecenderungan untuk menandai batas-batas morfemis dengan menulis mr\In Demikian juga dengan kata taringot tr\I
7.7
Konsonan ganda
*KP Dalam bahasa Karo dan Pakpak terdapat banyak kata yang mempunyai struktur KVKVK dengan e-pepet [ə] sebagai vokal pertama . Dalam hal ini, konsonan yang mengikuti pepet itu dapat dieja ganda: misalnya kata bělin ‘besar’ bila diucapkan pelan-pelan ejaan menjadi bel-lin. Dengan demikian, struktur kata sebenarnya bukan KVKVK, melainkan terdiri dari dua suku kata yang masing-masing berbunyi KVK. Penulisannya bisa belni- bělin atau ble-lni- běllin. Contoh lain adalah: bě-ne dan běn-ne ‘hilang’, tě-mbe dan těm-mbe ‘jadi’ dan sebagainya. Penggandaan konsonan seperti itu adalah gejala yang umum sekali dalam naskah Pakpak dan Karo. Menarik untuk dicatat bahwa penggandaan konsonan setelah e-pepet memili sejarah yang panjang. Dalam tulisan Jawi kata seperti senyum lazim ditulis dengn dua N: sennyum. Pada prasasti-prasasti Sriwijaya tidak ada tanda untuk e-pepet karena aksara induknya, aksara Palawa dari India, memang tidak memiliki tanda dikritis untuk e-pepet. Karena e-pepet begitu sering digunakan dalam bahasa Melayu maka para ahli kalam di zaman Sriwijaya menandai adanya e-pepet dengan menggandakan konsonan.
122 7.8
Surat Batak Awalan -er
*K Pada naskah Karo awalan ěr- selalu menjadi rě-, misalnya ěrkěrikěn ditulis rěkěrikěn. Hanya pada beberapa naskah saja terdapat bentuk are-kerikne- (hěrkěrikěn).
7.9
Latihan
Latihan 1 Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Jawaban soal ini terdapat di halaman 151. Karo
Pakpak
Simal.
Toba
Mand.
ama bapa sada tanya kaca rata naga langa
Latihan 2 Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhatikanlah bahwa anak ni surat harus dipakai untuk menulis /h/ dan /ng/ sebagai penutup suku kata. Jangan lupa membedakan /ě/ yang diucapkan seperti dalam kata ‘beri’, yakni e-pepet, dan e-taling yang diucapkan seperti dalam kata ‘beda’. Karo běru sudu lige molo mangmang rumah
Pakpak
Simal.
Toba
Mand.
Pedoman Menulis Aksara Batak
123
sungsang ngarang
Latihan 3 Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Karo
Pakpak
Simal.
Toba
Mand.
pakpak lamlam lit tutup pir dolok serser picět
Latihan 4 Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhatikanlah penggunaan ina dan anak ni surat untuk menulis /i/ dan /u/. Lihat BAB 7.2. Toba
Karo
uli ido guru begu
Latihan 5 Isilah kolom-kolom berikut dengan menggunakan surat Batak. Perhatikanlah penggunaan Wa dan Ya. Lihat BAB 7.4. Toba dua biar sea
Karo
124
Surat Batak
|
8
TRANSLITERASI DAN TERJEMAHAN
Transliterasi artinya alih-aksara, yaitu penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf, dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam hal ini tulisan Batak dialih-aksarakan menjadi tulisan Latin. Huruf s misalnya transliterasinya adalah sa dan s^s^ ditransliterasikan menjadi sangsang biarpun ucapannya adalah saksang. Salah satu masalah yang kita hadapi adalah bahwa sampai sekarang belum ada keseragaman dalam menulis bahasa Batak. Dengan demikian, dapat ditemukan ejaan tapian nauli (salah) dan bukan tapian na uli (benar karena na adalah pronomina) Kalau sekarang pun belum ada ejaan yang diterima umum, apalagi di zaman dulu. Van der Tuuk memberikan beberapa contoh untuk ejaan kata hushus, ‘wangi’ (ialah ejaan yang berlaku sekarang). Di antaranya adalah hN\sS\, hT\sS\, hS\hS\, dan hK\kS\. Secara teoretis, semua varian tersebut dapat ditemukan dalam naskah-naskah Batak, dan transliterasinya harus mengikuti ejaan yang dipakai oleh penulis naskah (yakni hunsus, hutsus, hushus, hukkus), dan tidak boleh mengikuti ejaan yang berlaku sekarang! Sekali lagi, pengertian transliterasi adalah penggantian jenis tulisan huruf demi huruf. Karena itu kata aN\sko\ harus ditransliterasikan unsok biarpun kata tersebut sekarang lebih sering ditulis ucok. Kata Twn\ harus ditransliterasikan tuwan biarpun ejaan yang berlaku sekarang menuntut penulisan tuan. Proses transliterasi memaksa kita bukan saja untuk bersikap “setia pada kata” melainkan untuk “setia pada huruf”. Maksudnya ialah bahwa meskipun kita tahu betul bahwa penulis naskah jelas keliru membuat kesalahan, kita tetap harus mentransliterasikan kesalahannya dan kita tidak berhak untuk memperbaikinya. Hal itu semata-mata untuk menyalin teks aslinya sesuai dengan keasliannya. Karena teks asli sering penuh dengan kesalahan, dan pungtuasi – tanda baca seperti koma dan titik – juga tidak ada, maka tentu timbul niat untuk
126
Surat Batak
memperbaiki kesalahan, menyesuaikan ejaan, dan menambah tandatanda baca pada teks asli. Perbaikan dan penyesuaian tersebut memang perlu dilakukan, tetapi itu merupakan langkah kedua. Maka proses untuk menyajikan sebuah naskah agar bisa dibaca dan dinikmati oleh kalangan yang tidak mengetahui aksara dan bahasa teks asli harus dilakukan dalam berbagai tahap: Transliterasi I / Penyalinan Penyalinan naskah huruf demi huruf dari aksara Batak menjadi aksara Latin. Proses tersebut mesti dilakukan sedemikian rupa sehingga teks asli dapat direkonstruksikan. Transliterasi seperti ini disebut dalam bahasa Inggris diplomatic transliteration. Ralat Transliterasi II / Penyuntingan Teks naskah yang telah diralat disalin kembali sesuai dengan ejaan yang disempurnakan dengan menambah pungtuasi seperlunya. Transliterasi ini disebut dalam bahasa Inggris critical transliteration. Terjemahan & Catatan Teks naskah diterjemahkan ke dalam bahasa tujuan dan diberi penjelasan tentang latar belakang budaya, tempat, waktu, dan sebagainya sehingga terjemahan dapat dipahami oleh orang yang tidak mengenal latar belakang budayanya. Pendokumentasian Pengumpulan segala informasi tentang naskah dan penulisnya yang berguna.
8.1
Transliterasi I / Penyalinan
Penyalinan yang pertama mesti dilakukan dengan sangat seksama sehingga dari transliterasi orang dapat persis mengetahui bagaimana teks aslinya. Dengan kata lain, kita hanya boleh menyalin aksara tanpa meng-
Pedoman Menulis Aksara Batak
127
ubah atau memperbaiki teks aslinya. Sebagai contoh saya ambil keempat baris pertama naskah D 98 dari koleksi Perpustakaan Nasional.24
mn-dpto-hno-amo-PnminshMTransliterasi I 1. mandapothon ompu nami 2. na saṅap jala na mormuliya na maŋgom 3. --gami residen tapian na Uli 4. dohot tuwan nami tuan paṅuhum Aksara Batak mengenal dua cara untuk menulis /ng/ dan /i/ yaitu dengan menggunakan ina ni surat dan anak ni surat. Karena demikian maka kita menggunakan tanda ṅ untuk mentransliterasi <, sedangkan tanda ŋ dipakai untuk mentransliterasi anak ni surat B^. Demikian juga perlu dibedakan antara ina ni surat I dan U yang ditransliterasikan dengan menggunakan huruf besar sedangkan anak ni surat untuk /i/ dan /u/ ditransliterasikan dengan huruf kecil: ani\ddo^ indadoŋ Id Ida UhmM\ Uhum p>hM\ paṅuhum Pada teks naskah sering terdapat kesalahan yang dibuat penulis. Kesalahan-kesalahan tersebut tidak boleh diperbaiki, tetapi harus ikut ditransliterasikan juga. Hal itu kita hadapi pada baris kedua dan ketiga di mana manggomgomi ditulis manggomgami. Pada tahap transliterasi ini kita harus membiarkan teksnya dalam bentuk asli. Karena itu, kita juga harus tetap mentransliterasikan Tan- sebagai tuan dan Twnsebagai tuwan walaupun artinya sama saja. Perhatikanlah bahwa di zaman pernaskahan tanda penghubung belum dikenal. Penulis naskah ini misalnya memisahkan kata manggomgomi
24. Teks naskah ini telah saya ubah sedikit supaya dapat digunakan sebagai contoh.
128
Surat Batak
setelah huruf Ma sehingga sihoru (o) dan pangolat (\) jatuh pada baris berikut. Hal ini tidak dapat disalin secara akurat dengan huruf Latin. Oleh karena itu kita memisahkannya maŋgom / --gami dengan menggunakan dua tanda penghubung sebagai tanda bahwa kedua unsur terakhir dari gmo- telah jatuh pada baris berikut. Sering terjadi bahwa kita tidak bisa memastikan huruf mana yang tertulis karena ada huruf yang sangat mirip, misalnya huruf Karo é /e/ dan k Ka yang bentuknya bisa hampir serupa. Kalau tidak dapat dipastikan huruf mana yang tertulis, hal itu perlu dicatat, misalnya dengan menggarisbawahi huruf tersebut pada transliterasi sehingga pembaca tahu bahwa aksara tersebut kurang jelas terbaca. Atau kita sajikan dua alternatif kalau kita tidak tahu dengan pasti huruf mana yang dimaksud. Dalam hal ini /e/ /ka/ dalam transkripsi dapat dipakai sebagai kode yang mensinyalir adanya dua kemungkinan membaca huruf tersebut. Acap kali juga terjadi bahwa penulis menghapus beberapa huruf, sebuah kata, atau bahkan satu baris. Bila huruf yang terhapus tak terbaca lagi, cukup bila ditandai dengan kode ØØØ misalnya, untuk menandai ada beberapa huruf yang terhapus, sedangkan /ØpaØ/ bisa dipakai sebagai kode untuk menandai bahwa huruf Pa telah dihapus. Sistem transliterasi serta kodekode yang digunakan tentu boleh berbeda dengan sistem yang dianjurkan di sini. Pokoknya ada konsistensi pada penerapan sistem tersebut, dan sistem itu harus juga memenuhi syarat dasar, ialah kesanggupan mencatat teks asli dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga teks asli dapat direkonstruksikan. Agar sistem transliterasi yang dipakai dapat diandalkan dari segi metodologinya, sebaiknya disisipkan sebuah BAB yang menjelaskan sistem transliterasi yang digunakan. Sebuah pustaha terdiri dari halaman-halaman yang terdiri dari lipatan-lipatan kulit kayu alim. Pada umumnya halaman-halaman tersebut ditulisi pada kedua sisi. Agar lebih mudah mencari kembali bagian yang pernah ditransliterasikan dalam naskah asli, setiap halaman perlu diberi nomor. Dalam hal itu, kita perlu mencari sisi kulit kayu pustaha itu dimulai. Biasanya tempat itu ditandai oleh bindu na godang. Sisi laklak yang terdapat awal teks dinamakan sisi A, sedangkan sisi yang satu lagi menjadi sisi B. Kemudian halaman pertama dari sisi A diberi nomor A1. Perhatikan bahwa halaman A1 sering tidak terlihat karena pada pustaha
Pedoman Menulis Aksara Batak
129
yang diberi sampul kayu (lampak), halaman A1 (dan demikian juga halaman B yang terakhir) dilem pada lampak-nya, dan teksnya baru mulai pada halaman A2 atau A3.
8.2
Ralat
Yang kita lakukan pada tahap kedua ini adalah mengubah teks asli sedemikian rupa sehingga segala kesalahan yang dibuat oleh penulis diperbaiki. Hal ini sangat sensitif mengingat bahwa kita melakukan koreksi, penambahan atau pengurangan pada sebuah teks yang berasal dari zaman dulu. Belum tentu penulis naskah akan setuju dengan intervensi yang kita lakukan, dan kita harus menjaga agar jangan kita membuat interpretasi yang tidak sesuai dengan teks dan zamannya. Pada teks yang di atas, terdapat satu kesalahan yang memang perlu diralat: Ralat B 2–3
maŋgomgami maŋgomgomi
Selain itu terdapat beberapa kata atau istilah yang menurut hemat saya tidak patut diralat karena bukan merupakan kesalahan, tetapi memang sengaja ditulis sedemikian rupa: yang dimaksud penulis naskah itu dengan Tapian na Uli tentu adalah Keresidenan Tapanuli. Hal itu dapat dijelaskan dalam catatan (lihat di bawah). Istilah kedua yang tidak sepenuhnya betul adalah ‘residen’ yang berasal dari bahasa Belanda Resident, ialah kepala pemerintahan dalam sebuah keresidenan (setingkat provinsi). Yang dimaksud penulis naskah ini dengan residen tentu adalah wilayah keresidenan. Hal tersebut juga cukup bila disebut di dalam catatan.
8.3
Transliterasi II / Penyuntingan
Transliterasi I yang sudah diralat menjadi dasar bagi Transliterasi II. Pada Transliterasi II kita menyunting teks asli sedemikian rupa sehingga ia sesuai dengan ejaan yang berlaku (disesuaikan dengan Ejaaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan) dan lengkap dibubuhi tanda-tanda baca. Sebagai langkah pertama kita menghapus semua huruf yang hanya ber-
130
Surat Batak
fungsi untuk menyambung dua vokal – kata tuwan dan mormuliya diubah menjadi tuan dan mormulia (penyuntingan kecil seperti itu tidak perlu disebut satu-satu dalam ralat). Langkah kedua adalah memperbaiki semua kesalahan yang telah disebut dalam ralat. Tentu masih perlu dibubuhkan titik, koma, dan tanda-tanda baca lainnya agar teks kita mendapatkan sebuah struktur dan dapat lebih mudah dipahami. Setelah diralat dan diedit akhirnya teks contoh muncul dalam bentuk seperti ini: Transliterasi II Mandapothon ompu nami na sangap jala na mormulia na mangomgomi residen Tapian na Uli dohot tuan nami tuan panguhum. Dalam naskah-naskah kuno sering terdapat kata-kata atau imbuhan yang sekarang sudah jarang dipakai lagi. Dalam teks contoh kita awalan mor- dalam kata mormulia sekarang kedengaran agak kuno dan biasanya ditulis marmulia. Apakah perlu mormulia diganti dengan marmulia saja? Saya kira sebaiknya tidak, karena awalan mor- menambah kesan kekunoan naskah tersebut dan merupakan ciri-ciri khas pada hampir setiap naskah. Demikian juga dengan awalan /tor-/ dan /por-/ atau dengan awalan da- yang umum dipakai dalam pustaha menggantikan pasif di- seperti dalam contoh asa dabuat… (agar diambil …). Dalam naskah-naskah Karo juga terdapat sejumlah kata-kata dan imbuhan kuno. Beberapa contoh adalah awalan pasif ni- (misalnya nitadingkěn) atau akhiran -an yang kerap kali menggantikan akhiran -ěn (misalnya ukurěn menjadi ukuran), kemudian kata bantu ni yang menunjukkan kepunyaan sering ditulis nu (misalnya kata nu surat). Selain itu ada beberapa kata, terutama yang memiliki diftong [au] seperti dalam kata lau dan laut, yang selalu ditulis layo dan lawit. Kata-kata seperti itu yang lazim dan berulang-ulang dipakai dalam naskah-naskah sebaiknya dibiarkan dalam bentuk asli untuk melestarikan khazanah pernaskahan yang khas.
Pedoman Menulis Aksara Batak 8.4
131
Terjemahan
Menerjemahkan adalah sebuah seni tersendiri dan sangat sulit untuk memberi petunjuk-petunjuk tentang cara-cara penerjemahan yang baik karena cara penerjemahan tergantung juga pada jenis naskah. Untuk menerjemahkan sepucuk surat tidak perlu keahlian seperti pada penerjemahan sebuah karya sastra misalnya. Sebagai pedoman yang kasar, perhatikanlah agar terjemahan tidak terlalu harafiah sekaligus tidak terlalu bebas pula. Kalau kita menganggap terjemahan terlalu harafiah atau telah menjadi terlalu bebas, hal itu masih bisa diluruskan dengan menambahkan catatan-catatan yang dapat menerangkan terjemahannya. Pada penerjemahan karya sastra, apalagi puisi, lebih baik bila dipilih terjemahan yang lebih bebas. Contoh ini dikutip dari naskah Tropenmuseum Amsterdam No. 137-647. Transliterasi Ape dah kam la bage ningku ajangku enda la ne kal min těrturi-turikěn dah kam la bage ningku padan jandiku ma mehuli ndube kap jadikěn aku sirang ras těman sada gantang perpangirěn, sada cuan perbajan e nge kěpekěn ngobah turang běru Simbiring ndube e nge maka kěri suina kuakap O nande bibiku karinana kataku Terjemahan Sudah demikianlah adanya nasibku sudah sangat berantakan lihatlah sendiri, kataku: nasibku sudah buruk karena telah saya dipisahkan dengan teman hidup saya beru Sembiring yang telah meninggal tiada penderitaan yang lebih besar O semua ibu dan bibiku kataku Buku, skripsi, atau makalah ilmiah akan dibaca oleh orang yang belum tentu memiliki pengetahuan mengenai sejarah, sistem kekerabatan, dan budaya setempat. Oleh karena itu pembaca perlu dituntun agar teks yang disajikan dapat dipahami tanpa mendapat kesulitan. Kalau sebuah
132
Surat Batak
teks mengandung nama-nama orang atau nama-nama tempat, harus dijelaskan siapa orang-orang itu dan di mana tempat yang disebut. Demikian juga dengan idiom, metafora, perumpamaan, pantun, dan kiasan-kiasan lainnya serta konsep-konsep budaya yang perlu diterangkan. Sebagai contoh kita simak terjemahan yang di atas. Baris pertama bila diterjemahkan secara harafiah akan berbunyi “Lihatlah kamu maka bukan demikian kataku”. Terjemahan seperti itu kurang mampu menyalurkan makna yang terkandung dalam ekspresi itu. Oleh sebab itu dipilih terjemahan yang lebih bebas. Kiasan těman sada gantang pěrpangirěn, sada cuan pěrbajan (teman segayung air langir, sesendok minyak baja) bila diterjemahkan secara harafiah tentu tidak akan dimengerti oleh pembaca yang tidak mengetahui adat Karo. Maka lebih baik dipilih terjemahan bebas dan dibuat catatan yang menjelaskan bahwa ritual ěrpangir (berlangir) merupakan bagian dalam upacara perkawinan, sedangkan pengikiran gigi adalah ritus peralihan menjelang usia dewasa yang harus dilakukan sebelum perkawinan dapat dilangsungkan. Setelah dikikir, gigi dihitamkan dengan minyak baja yang diperoleh dari kayu baja yang dibakar sehingga keluar minyaknya yang kemudian ditampung dengan sebuah sudu ata sendok yang disebut cuan. Dengan keterangan ini menjadi jelas bahwa těman sada gantang pěrpangirěn dan těman sada cuan pěrbajan adalah kiasan bagi seorang isteri.
8.5
Pendokumentasian
Segala informasi mengenai naskah yang ditransliterasikan perlu dikumpulkan. Misalnya bahan yang dipakai, bentuknya, ukurannya, ornamen-ornamen yang terdapat pada naskah, dan apa terdapat kerusakan yang dapat menghambat proses transliterasi. Bila di perpustakaan atau museum terdapat katalog atau daftar inventaris perlu dicari informasi mengenai tahunnya naskah itu diperoleh, dari mana dan dari siapa. Seorang penulis pada umumnya menulis lebih dari satu naskah, dan kemungkinan dapat ditemukan naskah-naskah yang penulisnya sama. Hal itu juga patut dicatat.
Pedoman Menulis Aksara Batak 8.6
133
Contoh Transliterasi
Teks asli naskah No. IC 39908a dari koleksi Museum Antropologi (Museum für Völkerkunde) Berlin, adalah seperti berikut:
mkaiyoarikutEnubil^bil^kni-bu luhtgn-éqmn-ai
134
Surat Batak
Demikian juga perlu dibedakan antara Ha sebagai ina ni surat, dan H sebagai anak ni surat. Transliterasi yang lazim dipakai adalah /ha/ dan /ḥ/ (lihat kata ‘buluḥ’ di garis 1–2). Hasil transliterasi di atas bersifat ilmiah tetapi masih kurang memuaskan karena tidak gampang dibaca. Oleh sebab itu, sebaiknya dibuat transliterasi kedua yang telah diralat dan disesuaikan dengan ejaan yang berlaku serta telah dilengkapi dengan pungtuasi. Selain itu, karena teks ini kebetulan merupakan sejenis puisi, maka dibuat baris di mana setiap baris merupakan sebuah kalimat atau anak kalimat tersendiri. Transliterasi 2 1. Maka io ari kute nu bilang-bilang kin buluh tagan enda 2. man ingan nuri-nurikěn ate měsui la ěrngadi-ngadi 3. si man turinkěn mama si Karo-Karo měrgana, běre Simbiring 4. si lampas mělumang 5. si těrbaba ate měsui la ěrngadi-ngadi 6. pengindoku la měhuli 7. nande bibiku karina kataku 8. enda, turang, kuturikěn. Terjemahan 1. Inilah ratap-tangis di bambu yang menjadi tabung 2. sebagai tempat untuk menceriterakan tentang penderitaanku yang tiada habisnya 3. menceriterakan tentang aku yang bermarga Karo-Karo, běre Sembiring 4. yang cepat menjadi yatim piatu 5. yang penderitaannya tiada habisnya 6. nasibku yang malang ini 7. O semua nande dan bibiku, kataku 8. inilah, sayang, ceriteraku. Catatan 1 Yang dimaksud dengan tagan ‘tabung’ ialah tempat kapur sirih yang terbuat dari bambu 3 Běre, marga ibunya 7 Nande bibiku, sapaan untuk para perempuan pada umumnya 8 Turang ‘saudara perempuan’, yang dimaksud adalah kekasihnya.
Pedoman Menulis Aksara Batak
135
Latihan 6 Naskah berikut berasal dari Museum voor Volkenkunde Leiden No. 326-1, dan dihadiahkan kepada museum tersebut pada tahun 1882. Naskah ini adalah sebuah surat ancaman (musuh běrngi) yang dilengkapi dengan tombak dan senapan yang diukir dari bambu untuk memperkuat ancamannya. Bahannya adalah sepotong bambu yang dibelah dua yang panjangnya 23 cm, dan lebarnya 4,5 cm. Buat transliterasi (I dan II) dan terjemahkanlah surat ini. Perhatikanlah bahwa teks ini mengandung beberapa kesalahan yang mesti diralat.
édmekucgnu-surt-kre-naidomntuwn-myru-limrtsu-sre-pidEl niglrituwn-myru-duwbre-
podnipnLnLdiMsN\ fasdbofomhifmon^di bisrngod^alEdFaolo mSw^nsddohfo\ nDwfLmnsddibhnE\nDw nsddohfo\nfoLfL mnfoLdibhnE\nsdalEdF
136
Surat Batak
nsddohfo\naopf\f LmnsddibhnE\naopf\ asUl^mhoLpdi podnisimon^mon^alEGR pinn\fN\niajiaolom SSw^Grmmno\f^laF\ niajiaoIasI
IyhoalErjHl3-daHSrf-3iaoP3i ml-lopK-FhoFw3-3mE3-sEf-a Hafo^sodoMhifIdao^diMSIhlkaHD^doMhifN^
9
AKSARA KOMPUTER
Pada tahun 1990 penulis telah menciptakan sebuah perangkat lunak komputer yang memungkinkan para pemilik komputer untuk mencetak aksara Batak dengan menggunakan alat pencetak (printer). Dalam delapan tahun belakangan ini kemajuan teknologi komputer amat pesat dan program yang dahulu diciptakan kini sudah kedaluwarsa. Oleh karena itu, penulis menciptakan lagi sebuah jenis huruf true type yang kemampuannya jauh lebih besar. Font yang mengandung aksara dari kelima surat Batak (Karo, Pakpak, Simalungun, Toba dan AngkolaMandailing) dapat digunakan dengan hampir semua komputer dan printer. Font-font tersebut tidak terlalu sulit untuk dipakai asal pengguna akrab dengan tulisan Batak. Untuk menulis kata ‘Batak’ dalam aksara Batak misalnya, perlu diketahui bahwa kata tersebut terdiri dari empat huruf yaitu Ba, Ta, Ka dan pangolat – yang perlu diketik hanya keempat huruf itu: btk\. Kalau urutan huruf tersebut diformat dengan font "Toba" hasilnya adalah btk\. Demikian juga dengan kata pir perlu diketahui bahwa urutannya adalah /pa/ra/i/\/ dan urutan huruf yang diketik mesti pri\ untuk menghasilkan pri\. Perlu diperhatikan bahwa aksara-aksara Batak kecuali Karo bersatu dengan diakritik U. Dengan demikian, posisi diakritik tersebut berubah sesuai dengan bentuk aksara yang memakainya (bandingkan misalnya S, P, dan B). Selain itu, bentuk diakritik itu juga bisa berbeda-beda seperti tampak pada contoh /lu/ yang berbentuk L di Mandailing, tetapi L di Toba. Oleh karena letak anak ni huruf itu berbeda-beda, maka terpaksa dibentuk huruf terpisah untuk /ku/, /bu/, /pu/ dan sebagainya. Huruf tersebut dapat diketik dengan tombol [SHIFT] (shift-k akan menghasilkan K /ku/).
138
Surat Batak
Daftar-daftar berikut ini menunjukkan tombol mana yang harus diketik untuk menghasilkan huruf yang diinginkan. Kolom kiri menunjukkan tombol, dan kolom kedua aksara Batak yang dihasilkan bila tuts tersebut diketik dengan format huruf Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, atau Mandailing. Pada kolom ketiga dicantumkan makna huruf Batak di kolom dua. V.1, V.2. dsb. merujuk pada varian-varian suatu huruf.
9.1
Karo
Tombol
Huruf
!
!
bindu (menandai alinea baru)
-
-
tanda bunuh, paten
<
< B= A B C D BE I K N BOO R U X [
= A B C D E I K N O R U X [
Makna
Catatan
nga i
diakritik /i/ V. 2
a, ha
V. 2
mba
V. 1
ca
V. 2
da
V. 2
e
diakritik /é/
I ka
V. 2
na
V. 2
o
diakritik /o/ V. 2
ra
V. 2
U ca
V. 3
nda
V. 2
Aksara Komputer ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w
B^ a b c d Be f g Bh
ng
diakritik /ng/
a, ha
V. 1
Bi j k l m n Bo p q r s t Bu v w
i
139
ba ca
V. 1
da
V. 1
e
diakritik /ě/ (pepet)
mba
V.2
ga h
diakritik /h/, hanya digunakan pada akhir suku kata seperti kata ‘rumah’ diakritik /i/ V. 1
ja ka
V.1
la ma na
V. 1
o
diakritik /o/ V. 1
pa nda
V. 1
ra
V. 1
sa
V. 1
ta u
diakritik U
mba
V. 3
wa
140 x y z { { é
9.2
Surat Batak
x y z { } é
sa
V. 2
ya sa
V. 3
nda
V. 3
nda
V. 4
é
(aksara A + diakritik E
Pakpak
Tmbl
Huruf
Makna
!
! B0 < a b c d Be
bindu (menandai alinea baru)
0 < a b c d e
Tmbl
h i
g Bh Bi
diakritik /ě/ V. 2
nga
>
a
A
ba
B
ca
C
da
D
k
j k
> A B C D
ngu u bu cu
ga
lihat Sa
du
e
diakritik /ě/ V. 1
G
BE G
é
diakritik /é/
gu
ha
diakritik /h/
i
diakritik /i/ I
j
Makna Catatan
e
E g
Huruf
ja
J
ka
K
I J K
i ju ku
Aksara Komputer l m n o p r s t
l m n Bo p r s t
la
L
ma
M
na
N
y \ ^
9.3
w y B\ B^
lu mu nu
o
diakritik /o/
pa
P
ra
R
sa
S
ta
T U
w
L M N
141
wa
W
ya
Y
P R S T U W Y
pu ru su tu u wu yu tanda bunuh diakritik /ng/
Simalungun
Tmbl
Huruf
!
!
bindu (menandai alinea baru)
-
B0 1 < a b d
tanda bunuh
0 1 < a b d
Makna
Tmbl
Huruf
Makna Catatan
sa
varian Sa (tidak terlalu sering dipakai)
sa
varian Sa (tidak terlalu sering dipakai)
nga
>
a
A
ba
B
da
D
> A B D
ngu u bu du
142 e g h
Surat Batak
BE g Bh
é
E
ga
G
h
Bi
k l m n o
j k l m n Bo
ja
J
ka
K
la
L
ma
M
na
N
P
ra
R
s
sa
S
t
t
ta
T U
wa
W
ya
Y
z
w y z
sa
Z
^
B^
ng
y
= ku
I J K L M N
i ju ku
= hu
lu mu nu diakritik /o/
pa
w
hu
o
p r s
r
H
diakritik /i/
O p
diakritik /é/
gu
i I
j
é
diakritik /h/ H
i
BE G
BO P R S
ou
T U W Y Z
tu
diakritik /ou/
pu ru su
varian Sa yang paling umum
u wu yu sa
varian Sa (tidak terlalu sering dipakai) diakritik /ng/
Aksara Komputer 9.4
143
Toba
Tmbl.
Huruf
Makna
Tmbl.
Huruf
Makna Catatan
<
<
nga
>
>
ngu
a
a
a
A
A
u
b
b
ba
B
B
bu
d
d BE f
da
D
du
é
E
ta
F
D BE F
g
g
ga
G
G
gu
h
h
ha
H
H
hu
i
Bi
i
e f
é
diakritik /é/
tu
V. 2
diakritik /i/ I
I
i
j
j
ja
J
J
ju
k
k
ka
K
K
ku
l
l
la
L
L
lu
m
m
ma
M
M
mu
n
n
na
N
N
nu
o
Bo
o
p
p
pa
P
P
pu
q
q
na
Q
Q
nu
r
r
ra
R
R
ru
s
s
sa
S
S
su
t
t
ta
T
T
tu
U
U
u
diakritik /o/
V.2 (Na kuno)
V. 1
144
Surat Batak
v
v
wa
V
V
wu
V. 2
w
w
wa
W
W
wu
V. 1
y
y
ya
Y
Y
yu
[
[
nya
]
]
nyu
\
B\
^
B^
9.5
tanda bunuh diakritik /ng/
Mandailing
Tmbl.
Huruf
Makna
!
! 0 2 4 6 < B==
bindu (menandai alinea baru)
0 2 4 6 < = a b c d e f g
a b c d BE f g
Tmbl.
ma
1
ha
3
ma
5
na
7
nga
>
Huruf
1 3 5 7 >
Makna Catatan
mu
V. 2
hu
V. 3
mu
V. 3
nu
V. 2
ngu
Tompi (tanda diakritik yang mengubah Ha menjadi Ka, dan Sa menjadi Ca) a A A u ba
B
ca
C
da
D
é
E
ha
F
ga
G
B C D BE F G
bu cu du é
diakritik /é/
hu
V. 2
gu
Aksara Komputer h i
h Bi
ha
H
k l m n o p q r s t
j k l m n Bo p q r s t
ja
J
ka
K
la
L
ma
M
na
N
w x y Z [ \ ^
I J K L M N
i ju ku
mu nu diakritik /o/
P Q
ra
R
sa
S
ta
T
v w x
su
V. 1
lu
o pa
V. 1 diakritik /i/
U v
hu
i I
j
H
145
P Q R S T U
pu Na kuno ru su
/su/ V.1 (Lihat ‘v’)
tu U /su/ V.2
W X
wu
yu
Z
Y Z
]
]
nyu
wa
W
sa
X
y z
ya
Y
sa
[ B\ B^
nya
su
su
V. 3 (tidak terlalu sering dipakai) V. 4 (tidak terlalu sering dipakai)
tanda bunuh diakritik /ng/
146
Surat Batak
}
10
VARIAN-VARIAN AKSARA BATAK
Tabel di halaman berikut menunjukkan varian-varian surat Batak yang umum terdapat dalam naskah-naskah Batak. Daftar aksara tersebut tentu hanya bisa menunjukkan beberapa varian yang paling umum dan yang bentuknya agak berbeda dari bentuk yang ‘baku’, sebagaimana halnya pada Sa Simalungun atau Mandailing misalnya. Varian-varian yang tidak begitu penting tidak dimasukkan dalam daftar ini. Garis horisontal pada huruf Ga dan Pa kadang-kadang tidak melengkung, tetapi lurus. Kedua garis kecil pada huruf U dan I sering sama panjang. Bentuk huruf Sa juga bisa menunjukkan beberapa variasi kecil, misalnya garis horisontal bawah bisa lebih panjang. Variasi-variasi seperti ini saya anggap tidak begitu penting, dan oleh sebab itu tidak dimasukkan dalam daftar ini. Selain itu perlu diperhatikan bahwa jumlah naskah yang dievaluasi untuk setiap versi surat Batak sangat bervariasi. Jumlah naskah Karo yang dievaluasi hampir dua ratus naskah, termasuk pustaha serta naskah bambu dan tulang. Jumlah naskah Toba dan Mandailing yang diteliti mencapai beberapa puluh naskah baik pustaha maupun naskah bambu. Jumlah naskah Simalungun yang diteliti hanya sekitar tiga puluhan naskah. Jumlah ini mungkin sudah cukup representatif, tetapi tentu belum cukup untuk memetakan semua varian-varian yang terdapat pada jenis surat Batak ini. Surat Batak Pakpak sengaja tidak dimasukkan dalam daftar ini karena jumlah naskah yang diteliti terlalu sedikit. Perlu juga disebut di sini bahwa tidak selalu bisa dipastikan apakah salah satu varian ada atau tidak ada dalam salah satu versi surat Batak. Varian Wa v telah sering saya temukan dalam naskah Pakpak dan Toba. Pada sekitar dua ratus naskah Karo yang telah saya baca, huruf tersebut hanya terdapat pada satu naskah saja. Jumlah ini begitu kecil sehingga varian ini dianggap tidak ada di Karo. Varian v juga belum per-
148
Surat Batak
nah saya temukan di Simalungun, atau Mandailing, tetapi hal itu tidak berarti bahwa varian itu tidak pernah dipakai di sana. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa daftar berikut hanya bisa memberikan gambaran umum yang disarikan dari kenyataan yang ada. Di samping itu, kita tidak boleh lupa bahwa pengelompokan etnis adalah sesuatu yang artifisial. Di zaman dulu, perasaan etnis tidak begitu berkembang seperti sekarang ini, dan semua etnis Batak biasanya menyebutkan diri sebagai Batak saja. Pengelompokan orang Batak menjadi suku Mandailing, Angkola, Toba, Pakpak, Simalungun, atau Karo adalah sesuatu yang masih relatif baru. Karena itu, dalam tradisi surat Batak tidak dikenal konsep surat Batak Toba, surat Batak Karo, dsb. Yang ada hanya surat Batak saja, dan variasi-variasi tidak hanya terdapat antara etnis. Di beberapa daerah Toba misalnya, huruf Ta dan Wa ditulis f dan w, di lain tempat dipakai t dan v. Hal itu menunjukkan bahwa variasivariasi yang ada bukan saja terbatas pada golongan-golongan etnis, tetapi di dalam suatu suku Batak pun sistem tulisan sudah bisa menunjukkan variasi-variasi yang cukup berarti.
Varian-Varian Aksara Batak
Karo
Simalungun
a
aA
ha
=a
a k
ka
kK b pp nN3 w g j dD rR m8 tt sx z y < l
ba pa na wa ga ja da ra ma ta sa ya nga la nya ca nda mba i u
cCX q[{} Bvf I U
=ha
b p n3N w g j d r m t s01z y < l [
I U
149
150
Surat Batak
Toba
Mandailing
ha
aa h
ka
=ha
ba
bb pp n3Nqv ww g jj d r m8Mm ft s y < l [
aa hf2 kf= 2= bb pp n3Nqv w g jj d r m8Mm t sxz yy < l [ c x= z=
a
pa na wa ga ja da ra ma ta sa ya nga la nya ca nda mba i u
I U
I U
Varian-Varian Aksara Batak
11
151
JAWABAN
Latihan 1 Karo
Pakpak
am bp sd
am bp sd
kc|kC rt n< l<
kc rt n< l<
Karo
Pakpak
am bp sd
am bp sd
kc|kC rt n<
kc rt n<
Simalung.
Toba
Mandailing
am bp sd t[
am bp sd t[
am bp sd t[
rt n< l<
rt n< l<
rt n< l<
Simalung.
Toba
Mandailing
am bp sd t[
am bp sd t[
am bp sd t[
rt n<
rt n<
rt n<
152
Surat Batak
l<
l<
l<
l<
l<
Catatan: atau t Latihan 2 Karo
Pakpak
beru sudu ligE molo m^m^ rumh su^s^
beR SD ligE molo m^m^ Rmh S^s^
Karo
SD ligE molo m^m^ Rmh S^s^
Pakpak
beru sudu ligE molo m^m^ rumh su^s^
beR SD ligE molo m^m^ Rmh S^s^
Simalungun
Simalungun
SD ligE molo m^m^ Rmh S^s^
Toba
Mandailing
SD ligE molo m^m^
SD ligE molo m^m^
S^s^
S^s^
Toba
Mandailing
SD ligE molo m^m^
SD ligE molo m^m^
S^s^
S^s^
Catatan: atau l=gE atau vD ZD XD Latihan 3 Karo
pk-pklm-lm-
Pakpak
pk\pk\ lm\lm\
Simalungun
pk-pklm-lm-
Varian-Varian Aksara Batak
ltitutpupridolkosrE-srEpicte-
lti\ TtP\ pri\ dolko\ srE\srE\ picte\
Toba
pk\pk\ lm\lm\ lti\ | lti\ TtP\ | FfP\ pri\ dolko\ srE\srE\
ltiTtPpridolkosrE-srE-
Mandailing
pk\pk\ lm\lm\ lti\ TtP\ pri\ dolko\ srE\srE\
153
154
Surat Batak
Latihan 4 Toba
Karo
Uli Ido GR bEG
Uli | auli Ido | aido guru bEgu
Latihan 5 Toba
Karo
Da | Dw biar\|biyr\ sEa | sEy
duw biyrsEy
Latihan 6 Transliterasi 1 1. heda mě kucagun surat kěrna hido man 2. tuwan mayur lima ratus sěrpi de la niga 3. lari tuwan mayur duwa běrṅi heda kusu 4. luḥ baŋsal kusuluḥhi mě godaŋ ras karinana ni 5. na si nuwan hiṅanku ni laṅit měgaṅaŋ he di mě kata 6. ku nina si wan kata tuU. Ralat: 1.
cagun
Menurut kamus Neumann (1951:321) semestinya canggung. Namun demikian, bentuk ca(ng)gun lazim dipakai di musuh běrngi.
4.
godaŋ
S gudaŋ (bahasa Melayu)
5.
měgaṅaŋ
S měgajaŋ
6.
wan
S nuwan (band. baris 5)
Varian-Varian Aksara Batak
155
Transliterasi 2 Enda mě kucanggun surat kěrna ido man Tuan Mayur lima ratus Sěrpi. De la nigalari Tuan Mayur dua běrngi enda, kusuluh bangsal, kusuluhi mě gudang ras karinana nina Si Nuan. Inganku ni langit měganjang. E di mě kataku nina Si [Nu]an kata tu[h]u. Terjemahan Surat ini saya gantung karena piutang saya kepada Tuan Mayur sebanyak 500 Serpi. Kalau tidak dibayar dalam tenggang waktu dua hari, kubakar bangsal, kusuluhi gudang bersama segala [isinya] kata Si Nuan. Tempatku di langit nan tinggi. Demikianlah kataku, kata Si Nuan, kata ini benar. Catatan Canggung: Surat musuh běrngi digantung pada pintu rumah. Ada kemungkinan yang dimaksud dengan Tuan Mayur adalah pangkat militer, namun kurang jelas mengapa orang militer yang disebut pada hal yang berutang adalah perusahaan swasta. Menurut hemat saya Mayur adalah tiruan ucapan nama Jerman Maier atau nama yang mirip. Sěrpi adalah bahasa Karo untuk dolar Spanyol yang merupakan mata uang yang paling populer di Tanah Karo sebelum mata uang Belanda diperkenalkan pada tahun 1907. Di kemudian hari, orang Karo masih sering menggunakan istilah sěrpi untuk Gulden Belanda. Bangsal dan gudang: Yang dimaksud adalah bangsal dan gudang tembakau. Puluhan bangsal tembakau dibakari orang Karo karena sengketa tanah atau masalah lainnya. Inganku ni langit měganjang adalah kiasan biasa pada seorang musuh běrngi karena ia, selama melakukan tindakan ancaman, harus menyembunyikan diri di alam bebas, biasanya di hutan rimba. Untuk informasi selengkapnya mengenai adat musuh běrngi lihat C.J. Westenberg (1914). Latihan 7 Transliterasi I poda ni panalu nalu di musunta asa daboto ma hita mo
156
Surat Batak
naŋ di bisara na godaŋ ale datu olo ma suaŋ na sada dohot --na duwa talu ma na sada dibahen na duwa na sada dohot na tolu talu ma na tolu dibahen na sada ale datu na sada do -hot na opat talu ma na sada dibahen na opat asa ulaŋ ma ho lupa di poda ni si monaŋ monaŋ ale guru pi -nantun ni aji olo ma suwaŋ guru mamontaŋ laut --ni aji oi asa iṅot ma damaŋ Transliterasi II Poda ni panalu-nalu di musunta. Asa daboto ma hita monang di bisara na godang ale datu olo ma suang! Na sada dohot na dua, talu ma na sada dibahen na dua. Na sada dohot na tolu, talu ma na tolu dibahen na sada ale datu! Na sada dohot na opat, talu ma na sada dibahen na opat. Asa ulang ma ho lupa di poda ni si monang-monang ale guru Pinantun ni aji. Olo ma suang guru Mamontang laut ni aji oi, asa ingot ma damang! Catatan: Kedua baris terakhir merupakan dialog antara sang datu dan muridnya (sisean): Datu: “Asa ulang ma ho lupa di poda ni si monang-monang ale guru Pinantun ni aji.” Sisean: Olo ma suang guru Mamontang laut ni aji oi, asa ingot ma damang! Latihan 8 Terjemahan yang ada di bawah tidak dilengkapi dengan keterangan karena keterbatasan waktu untuk menyelesaikan naskah buku ini. Transliterasi I iya ho ale raja hulanda ahu surat ni opu ni mallopuk tu ho ale tuwan namenset a hu atoŋ so domu hita Idaoŋ dimusuI halak ahu duŋ domu hita nuŋṅa dimusuI halak ahu pa danta tumoṅos surat ahu asa tuat to nannom pe tuwat to Iya na marniṅot to tuwat ma ho toŋgihon doṅanmu padanta I non asa paborhat ma doṅanminon ahupni aman saniang naga bolo adoŋ lolamu bolo so pa
Varian-Varian Aksara Batak
157
tuat tommu hutanda ma roha ni tuwan didok ---ho pe ahu taŋkok ho ma tuwan nuŋṅa dimusuI de ba ahu idaoŋ boI ahu taŋkok martagan musu hu ahu di hutakku Iya na maol do roham pabor --hat ma dua lusim aŋkupuni aman saniaŋ naga Transliterasi II Iya ho ale raja Hulanda. Ahu surat ni Ompu ni Marlopuk tu ho, ale tuan Nomensen. Ahu, atong so domu hita, indaong dimusui halak ahu. Dung domu hita nungnga dimusui halak ahu. Padanta tumongos surat ahu. Asa tuat ho. Nannon pe tuat ho. Iya na marningot ho, tuat ma ho, tonggihon donganmu padanta inon. Asa paborhat ma donganminon, ahupni Ama ni Saniang Naga, bolo adong lolomu. Bolo so patuatonmu hutanda ma roha ni tuan. Didok ho pe ahu tangkok; ho ma tuan. Nungnga dimusui deba ahu. Indadong boi ahu tangkok. Martagan musungku ahu di hutangku. Iya na maol do roham paborhat ma dua lusim, angkupuni Ama ni Saniang Naga. Terjemahan Kepada Anda, raja dari Belanda. Ini surat Ompu ni Marlopuk kepada Anda, tuan Nommensen. Kalau saya, ketika kita masih belum bekerja sama, saya tidak dimusuhi orang. Sejak kita bekerjasama, saya dimusuhi orang. Kita ada janji, saya akan menyurati Anda. Datanglah kemari. Sebagaimana lazim Anda datang. Kalau Anda ingat, datanglah kemari, ajak kawan Anda sesuai dengan janji kita. Agar kawan Anda berangkat, bersama dengan Ama ni Saniang Naga, jika sudah bertemu. Kalau tidak Anda suruh ia datang, maka saya tahu hati Tuan yang sebenarnya. Kata Anda agar saya datang ke tempat Anda; Andalah tuan. Sudah ada yang memusuhi saya. Saya tidak lagi bisa datang ke tempat Anda. Musuhku akan menyerang saya di kampungku. Kalau Anda baik hati kepada saya, kirimlah dua lusin orang kemari, termasuk Ama ni Saniang Naga.
}
Daftar Istilah Definisi sebagian istilah berikut dikutip dari Kamus Linguistik yang disusun oleh Harimurti Kridalaksana (1983). Tanda panah di depan satu kata berarti bahwa kata tersebut terdapat juga dalam daftar ini. Abjad
Kumpulan tanda tulisan yang disebut huruf atau aksara, yang masing-masing menggambarkan satu bunyi atau lebih, dan biasanya mempunyai urutan tetap.
Aksara
Sistem tanda-tanda grafis yang dipakai manusia untuk berkomunikasi. Medan makna istilah aksara mencakup baik jenis-jenis sistem aksara, misalnya aksara Latin dan aksara Yunani (script), maupun huruf-hurufnya (letter). Dalam bahasa Batak, aksara Batak disebut surat na sampulu sia (ke-19 aksara). Oleh sebab itu, dalam buku ini istilah aksara dipakai untuk ➻ ina ni surat, dan tidak mencakup tandatanda diakritik yang disebut anak ni surat. Kata aksara berasal dari bahasa Sanskerta.
Anak ni surat
Tanda-tanda ➻ diakritik yang mengubah nilai ina ni surat (➻ aksara, huruf). Anak ni surat o misalnya dapat mengubah bunyi huruf b [ba] menjadi bo [bo].
Bindu
Sebuah ornamen yang menandai awal sebuah alinea atau BAB. Bindu na metmet (bindu kecil) dipakai untuk menandai awal sebuah alinea, sedangkan bindu godang (bindu besar) terdapat pada awal sebuah atau BAB baru.
Diakritik
➻ Anak ni surat. Tanda tambahan yang mengubah nilai fonetis suatu ➻ aksara. Pada abjad Latin terdapat sejumlah diakritik yang dipakai untuk menulis beberapa bahasa Eropa. Bahasa Jerman misalnya memakai Umlaut (ü, ö), bahasa Denmark menggunakan ø dan å, bahasa Perancis menggunakan aksen é, dsb.
Diftong
Bunyi bahasa yang pada waktu pengucapannya ditandai oleh perubahan gerak lidah dan perubahan ciri vokal satu kali, dan yang berfungsi sebagai inti suku kata, seperti [ai] atau [au].
Daftar Istilah
159
Filologi
Kata ini berasal dari bahasa Yunani philos ‘teman’ dan logos ‘kata’, jadi arti filolog adalah orang yang senang pada bahan-bahan tulisan. Filologi adalah ilmu pengkajian naskah-naskah masa lampau.
Fonem
Satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna, mis. dalam bahasa Indonesia, h adalah fonem karena membedakan makna kata harus dan arus.
Font
Salah satu set huruf yang memiliki bentuk yang sama. Font yang lazim dipakai termasuk: Bookman Old Style (ialah font yang dipakai untuk mencetak buku ini), Times Roman, Courier, dan Helvetica.
Grafem
Satuan terkecil yang distingtif dalam suatu sistem aksara. Bila fonem adalah satuan bunyi bahasa, maka grafem adalah lambang yang dipakai untuk menuliskan bunyi tersebut. Pada umumnya grafem sama artinya dengan huruf.
Huruf
Sebagaimana halnya dengan istilah ➻ aksara, istilah huruf pun bermakna luas dan mencakup baik aksara (letter), maupun suatu sistem huruf seperti huruf Arab (script). Dalam karangan ini istilah huruf dipakai untuk mencakup semua aksara-aksara Batak, baik ➻ ina ni surat (aksara) maupun ➻ anak ni surat (diakritik).
Ina ni surat
Kesembilan belas huruf surat Batak yang terdiri atas tujuh belas konsonan serta dua vokal, yakni huruf I (I), dan U (U).
Laklak
Kulit kayu dari pohon alim yang dipakai untuk membuat sebuah ➻ pustaha.
Lampak
Lempengan kayu yang dipakai sebagai sampul sebuah ➻ pustaha. Kedua ujung kulit kayu direkatkan pada lampak.
Morfem
Satuan bahasa terkecil yang bermakna, mis. {ter-}. {di-}, {-kan}, {telur}.
160
Surat Batak
Naskah
Objek penelitian filologi adalah naskah, yakni dokumen tulisan tangan (Inggris manuscript, Belanda dan Jerman handschrift) dengan singkatan ms./hs. untuk tunggal, dan mss./hss. untuk jamak.
Paleografi
Deskripsi, analisis, dan penafsiran tulisan kuno.
Pangolat
➻ Tanda bunuh; Jawa: paten, Sanskerta: virama.
Pepet
Istilah ini berasal dari bahasa Jawa. Sebetulnya pepet bukanlah sebuah fonem, melainkan sebuah grafem ialah tanda diakritik untuk bunyi [ə] yang dalam bahasa linguistik biasa disebut schwa, ialah bunyi yang terdapat dalam kata ‘memberi’. Dalam linguistik Indonesia istilah schwa lazim diterjemahkan menjadi pepet.
Pustaha
Buku kulit kayu (➻ laklak). Kata pustaha berasal dari bahasa Sanskerta pustaka.
Serif
Bila kedua huruf berikut ini dibandingkan (H dan H) tampak bahwa H pertama mempunyai garis-garis horisontal pendek pada ujung-ujung garis panjang vertikal. Garis-garis pendek itu yang dinamakan serif. Contoh bentuk huruf (font) yang berserif adalah Times: "TIMES serif" sedangkan contoh font yang tidak berserif (sans serif) adalah Helvetica: "HELVETICA sans serif". Istilah serif dan sans serif berasal dari bahasa Perancis.
Silabogram
Sistem tulisan dengan satuan dasar berupa konsonan yang diikuti oleh sebuah vokal. Tulisan asal India dan semua tulisan yang diturunkannya (termasuk tulisan-tulisan Jawa, Sumatra dan Sulawesi) kadangkadang disebut sebagai silabogram.
Tanda bunuh
➻ Anak ni surat yang dipakai untuk menandai hilangnya bunyi [a] yang selalu terdapat pada aksaraaksara Batak. Dalam bahasa Jawa tanda diakritik tersebut dikenal dengan istilah paten. Istilah untuk tanda bunuh dalam ilmu linguistik adalah virama (dari bahasa Sanskerta).
Daftar Istilah
161
Tompi
Sebuah diakritik yang mengubah makna huruf Ha menjadi Ka, dan huruf Sa mencadi Ca. Hanya dipakai di daerah Angkola dan Mandailing.
Transliterasi
Penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain (sering lepas dari lafal yang sebenarnya); mis. penulisan hansit adalah transliterasi dari hn\sti\ yang berbeda dari hatsit yang berupa transkripsi dan sesuai dengan lafalnya.
Vokal ganda
➻ diftong.
Vokal deretan
Rangkaian dua vokal, mis. [i] dan [a] dalam kata sian atau [a] dan [u] dalam saut yang diucap secara terpisah. Berbeda dengan ➻ diftong.
162
Surat Batak
II
Cap Singamangaraja XII
164
Surat Batak
Ompu Pulo Batu (*1848 †1907) alias Si Singamangaraja XII, “musuh abadi pemerintah Belanda dan zending Kristen”,1 kini menjadi pahlawan nasional karena perlawanan yang gigih terhadap pemerintah kolonial Belanda. Setelah mengalami kekalahan dalam kedua perang Toba pada tahun 1878 dan 1883 ia bersembunyi di hutan belantara Dairi dan meneruskan perlawanan hingga akhirnya tewas ditembak patroli Belanda pada tahun 1907. Selama perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Ompu Pulo Batu menjadi Singamangaraja pertama yang berhasil menyatukan sebagian orang Batak untuk melawan hegemoni Barat dan ia bahkan mencoba merangkul serdadu pribumi KNIL agar mereka mengarahkan senjata pada tuannya yang bermata biru. Kekalahan militer yang dialaminya ternyata tidak mengurangi popularitas dan malahan membuatnya menjadi lambang perlawanan terhadap kekuasaan asing. Secara tradisional pengaruh seorang raja di darerah Batak umumnya terbatas pada suatu daerah yang relatif kecil, dan lembaga Singamangaraja pun sebelumnya tidak pernah berpengaruh di luar wilayah Sumba yang terdiri atas Samosir Utara, lembah-lembah di pantai barat Danau Toba, Toba Holbung, Habinsaran, Humbang, dan Silindung. Berkat kharismanya dan terangkat oleh gelombang perasaan anti-Belanda Singamangaraja XII bukan saja diakui di kampungnya sendiri, yaitu di Tano ni Sumba, melainkan juga di Tano ni Lontung, dan bahkan di daerah luar Toba seperti Dairi, Simalungun, dan Karo.
1. “Todfeind der holländischen Regierung und der Mission” Jahresbericht der Rheinischen Missionsgesellschaft (Laporan tahunan zending RMG) 1907:46.
Cap Singamangaraja
Gambar 22: Cap A pada surat kepada I.L. Nommensen tertanggal 6 Maret 1899 (Foto: VEM No. SW 5694-13)
165
166
Surat Batak
Gambar 23: Cap A bila dilihat di kaca cermin
Cap Singamangaraja
Gambar 24: Cap B pada surat kepada Nommensen tertanggal 20 Oktober 1903. Foto: VEM SW 5694-16
167
168
Surat Batak
Gambar 25: Reproduksi Cap C oleh Lumbantobing (1967:87)
Cap Singamangaraja
169
i. Müller (1892:518)
ii. Warneck (1909:128)
iii. Gobée (1917:369) (1892:518)
Gambar 26: Tiga reproduksi cap B
170
Surat Batak
Sebagai tokoh pertama dalam sejarah Batak yang memiliki pengaruh yang begitu luas, Ompu Pulo Batu menjadi raja pertama di tanah Batak yang memliki cap untuk memperlihatkan kepada dunia luar bahwa statusnya setara dengan raja-raja lain di Sumatra. Beliau juga menjadi raja Batak pertama yang memilih kertas sebagai media tulis.2 Di antara tiga cap Singamangaraja XII hanya dua yang selama ini dikenal dan berulang-ulang dibahas dalam berbagai buku dan makalah (cap B dan C). Selain kedua cap tersebut penulis menemukan cap satu lagi (cap A) di arsip Vereinigte Evangelische Mission (VEM) di Wuppertal, Jerman yang selama ini belum dikenal. 3 Namun ternyata Singamangaraja XII bukan satu-satunya raja Batak yang memiliki cap – penulis juga menemukan cap milik salah seorang raja di Simalungun (cap D). Dengan ditemukannya kedua cap tersebut bertambahlah pengetahuan kita tentang sejarah keberaksaraan di Sumatra Utara dan perubahan yang terjadi setelah kawasan itu terjamah oleh dua kekuasaan asing: zending Kristen asal Jerman, dan pemerintahan kolonial Belanda. Ketiga cap Si Singamangaraja XII memiliki dua teks: teks beraksara dan berbahasa Batak di pusat cap, dan teks beraksara Jawi (Arab Melayu) dan berbahasa Melayu di pinggiran cap yang berbentuk bundar. Teks Batak CAP A Cap A tertera pada sepucuk surat yang ditujukan kepada penyiar agama Ingwer Ludwig Nommensen tertanggal 6 March 1899. Bentuknya bundar dengan diameter 60mm dan terdapat sepuluh geriginya (Gambar 23). Surat tersebut ditulis oleh Heman Silaban (Raja Pangantul), dan kini berada di arsip VEM. Ketika pertama kali melihat cap tersebut penulis tidak dapat membaca satu huruf pun. Sesudah cap itu dilihat dari berbagai perspektif akhirnya penulis coba membacanya dengan menggunakan kaca cermin. Ternyata cermin itu sangat membantu dan hurufnya dapat
2. Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 penggunaan kertas terbatas pada wilayah yang berada di bawah kekuasaan Belanda, dan para raja bisanya menulis suratnya di atas seruas bambu. 3. VEM adalah hasil persatuan Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) dengan BethelMission di tahun 1971.
Cap Singamangaraja
171
dibaca dengan jelas. Uraian berikut berdasarkan bacaan cap di kaca cermin. Sayang, cap yang ada di surat Heman kurang jelas sehingga transliterasi tidak dapat dilakukan. Sebagian huruf baik pada teks Jawi maupun Batak sudah pudar, dan bentuk hurufnya kadangkala begitu aneh sehingga sukar menentukan huruf apa yang dimaksud. Kekurangan ini bukan hanya karena cetakannya kurang jelas, tetapi juga karena cap itu sendiri kurang sempurna. Pandai besi yang mencetak cap ini ternyata tidak punya pengalaman dalam pembuatan cap sehingga bukan saja hurufnya tampak kurang terang, tetapi malahan dalam bentuk cerminan).4 Tukang besi itu ternyata juga kurang mengetahui tulisan Batak maupun Jawi. Cap A menunjukkan beberapa persamaan atau kemiripan dengan cap B sehingga penulis menganggap cap A sebagai pendahulu cap B. Berikut ini kami uraikan setiap garis pada cap sebagaimana dapat dibaca sesudah gambarnya dikonversikan menjadi gambar positif (tidak tercermin): Baris pertama cap A hampir sama dengan baris 2/3 dari cap B: Twnsi tuwana si. Aksara yang dipilih untuk Ta dan Wa adalah Ta-utara dan Wa-utara (t dan w) karena kedua varian tersebut lazim digunakan di wilayah sekitar Bangkara.5 Yang dimaksud dengan tuwana tentu saja tuwan, – ternyata tanda bunuh pangolat6 luput dicantumkan – dan kesalahan yang sama terdapat pula di cap B. Di cap B kelanjutan baris 1 singamangaraja ada di baris berikut (2) sehingga kita baca Tuan Si Singamangaraja.7 Di cap A, anehnya, baris 1 berlanjut di baris ketiga dan bukan di baris kedua! Kesalahan ini mungkin terjadi karena pandai besi kurang berpengalaman dalam pembuatan cap atau karena ia tidak pandai membaca.
4. Ternyata kesalahan yang sama pernah juga terjadi pada sebuah cap dari Minangkabau dan satu lagi dari Perak (Annabel Gallop, email 09-03-2000). 5. Selain di Toba, kedua aksara ini juga digunakan di Pakpak dan Karo sehingga disebut Ta- dan Wa-utara untuk membedakannya dengan Ta-dan Wa-selatan (t dan w) yang dipakai di Angkola dan Mandailing, dan juga di sebagian Toba. 6. Pangolat adalah tanda baca yang mematikan bunyi [a] yang terbawa oleh setiap aksara sehingga [pa], misalnya, menjadi [p]. Dalam aksara Jawa tanda bunuh ini dikenal sebagai paten dan dalam bahasa Sanskerta bernama virama. 7. Gelar Singamangaraja sering diawali dengan kata si yang dipakai di depan nama diri.
172
Surat Batak
Baris kedua kurang jelas. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, baris ini bukan kelanjutan baris pertama! Aksara pertama mirip dengan huruf Ra r yang terbalik disusul oleh sebuah titik. Aksara berikut sepintas kelihatan seperti Ba b namun bisa juga menjadi aksara Ta t. Saya menduga bahwa Ta ini adalah huruf awal kata tian- tian (dari). Anak ni surat I serta huruf A cukup jelas, namun huruf berikut, yang menurut dugaan kita Na tidak begitu jelas. Huruf Na itu diikuti oleh sebuah garis kecil yang, menurut interpretasi kami, adalah pangolat. Kata tian seharusnya diikuti oleh kata Bangkara sebagaimana halnya dengan cap B baris 5–6 karena Singamangaraja berasal dari kampung Bangkara (dibaca ʻBakkaraʻ). Akan tetapi kata terakhir jelas terbaca sebagai si si dan kelanjutannya singamangaraja ada di baris berikut! Baris berikut dapat dibaca si<m
Cap Singamangaraja
173
Inilah cap yang paling terkenal. Bentuknya bundar bergerigi dua belas dengan diameter 74 mm (Gambar 24). Cap yang kini berada di Museum Nasional Jakarta tercantum pada lima surat: 1. VEM, Wuppertal, Barmen. Surat Singamangaraja XII kepada penyiar agama I. L. Nommensen tertanggal 3 Juli 1897. Dalam surat ini Singamangaraja menyebut dirinya sebagai “raja di tanah Batak berkedudukan di Pearaja, Dairi” (…na mangarajahon tano Batak na maringanan di Pearaja Dairi). 2. VEM, Wuppertal, Barmen. No. SW 5694-16 Surat Singamangaraja kepada Nommensen yang dikirim dari Pearaja (Dairi) tertanggal 20 Oktober 1903. Surat ini dimuat dalam buku Sidjabat (1983:Gambar 17). 3. VEM, Wuppertal, Barmen. Surat Singamangaraja yang tidak bertanggal. Dalam surat ini pun beliau menyebut dirinya sebagai raja “yang menguasai marga Batak yang bermata hitam” (…na gumongomi marga Batak si birong mata). Surat ini dimuat dalam buku Sidjabat (1983:Gambar 18). 4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. No. Vt. 158b. Surat yang dialamatkan kepada Raja Hatorusan, Tuanku Ilir dari Barus. Dalam surat ini Singamangaraja mengajukan keberatan karena Raja Hatorusan sejak kedatangan gomponi (pemerintah Belanda) 8 tidak lagi menghormati “raja kita Si Singamangaraja yang merajai pulau Sumatra”9. Walau surat ini tidak bertanggal kemungkinan besar ditulis pada tahun 1887. Surat ini pernah disalin pada 6 September 1900 dan salinannya ada di Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Leiden (Situmorang 1993b:220). Terjemahan bahasa Melayu ada di Perpustakaan Nasional, dan terjemahan kedua, yang agak lebih benar, dimuat oleh Sitor 8. Bandingkan bahasa Aceh gompeuni dari bahasa Belanda compagnie. Walaupun Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) telah dibubarkan pada tahun 1798 sebutan kompeni tetap digunakan untuk merujuk pada pemerintah kolonial. 9. “…na mangarajai pulo Sumatara”.
174
Surat Batak
Situmorang (1993b:220) beserta foto surat tersebut. 5. Surat yang tidak bertanggal kepada residen Van Dijk di Padang Panjang (Sumatra Barat). Dalam surat ini Singamangaraja memberitahu bahwa dia telah menyuruh seorang utusan untuk bertemu dengan Gubernur Jenderal di Batavia. Terjemahan dan foto surat ini dimuat oleh Lumbantobing (Lumbantobing 1967:103). Cap B paling jelas terbaca pada surat No. 2 sementara cap di surat No. 3 hampir sama sekali tidak terbaca. Telah tiga kali dilakukan upaya untuk merekonstruksi cap B yang kini berada di Museum Nasional (Gambar 26). Ketiga reproduksi (oleh Müller, Warneck, dan Gobée) cukup akurat dan hanya ada perbedaan-perbedaan kecil yang akan diuraikan di bawah ini. Dalam berbagai publikasi terdapat berbagai transliterasi (alih aksara) dan terjemahan (alih bahasa) cap ini.10 1. Yang paling tua transliterasi dan terjemahan Müller (1892:518). Transliterasi Müller kemudian dicontoh oleh Baharadja (1939), sementara transliterasi Baharadja dicontoh Tampubolon (1964:84; 2002a:145), dan transliterasi Tampubolon dicontoh lagi oleh Batara Sangti (1978:23)! Ahussap tuwana sisangamangaraja tiyan bagara. Inilah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bagara.11 (Müller 1892:518) 2 Transliterasi kedua bermasalah karena ada dua aksara yang tidak dikenal Warneck sehingga tuan dibaca tangan dan tian dibaca mian. Selain itu, ma sap dibacanya sasap: Ahu sasap tangan Singamangaraja mian Bakara. Aku cap dari tangan Singamangaraja yang berdiam di Bakara.12 (Warneck 1909:128) 3. Tampoebolon memadukan transliterasi Müller dengan Warneck akan tetapi hasilnya kurang memuaskan:
10. Ejaan lama diubah hingga sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. 11. Dies ist der Siegel des Herrn, des Si Singamangaraja aus Bagara. Terjemahan yang sama ada di Gobée (No. 4) dan Sidjabat (No.6). 12. Ich bin das Siegel der Hand des Singamangaraja, der wohnt in Bakara.
Cap Singamangaraja
175
Ahu sasap tuwana Singamangaraja mian Bakkara. Saya meterai dari Tuan Singamangaraja bertahta di Bakkara. (Tampoebolon 1914:461) 4. Pada tahun 1917 Gobée menghasilkan transliterasi yang cukup sempurna: Ahu ma sap tuana Singamangaraja sian Bagara. Inilah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bagara .13 (Gobée 1917:369) Akan tetapi penulis sesudahnya ternyata tidak membaca karya Gobée, dan "perbaikan" dibuat tanpa merujuk pada teks. Terjemahan juga kadang-kadang menyesatkan, misalnya dengan menerjemahkan mian (bertempat tinggal) dengan ‘bertahta’. Ironisnya kata yang ada di cap malahan tidak berbunyi mian melainkan tian ‘dari’! 5. Ahu sahap ni Tuwan Singamangaraja mian Bakkara – Saya meterai dari Tuan Singamangaraja bertahta di Bakkara. (Lumbantobing 1967:87; Sangti 1978:23; Sibarani 1980:27)14 6. Ahu sahap tuan Singamangaraja tian Bakara – Aku cap tuan Singamangaraja bertempat tinggal di Bakkara. (Sidjabat 1983:370). 7. Ahu sahap ni Tuwan Singamangaraja sian Bakkara – Saya meterai dari Tuan Singamangaraja bertahta di Bakkara. (Marbun dan Hutapea 1987:162) Penulis-penulis di atas ternyata juga tidak mengenal reproduksi cap yang dibuat oleh Müller dan Gobée sehingga mereka hanya dapat mengandalkan reproduksi Warneck yang mula-mula dikopi oleh Tampoebolon (1914:461) lalu dikopi lagi oleh Lumbantobing (1967:87), Sangti (1978:23), Napitupulu (1972), Malau (1997:261), Sibarani (1980) dan ternyata juga oleh Sidjabat (1983:Gambar 6)15.
13. Ik ben de stempel van den heer Singamangaraja van Bagara. 14. Hasil penelitian Lumbantobing digunakan juga oleh Sangti (1978:23). Sibarani menerjemahkan ‘cap’ daripada ‘materai’. 15. Dalam hal. 106 Sidjabat memberi kesan seolah-olah cap yang tergambar di situ merupakan foto yang diperolehnya dari RMG: “Foto: RMG” (Sidjabat 1983, Gambar 6). Padahal gambar cap yang ada di situ jelas bukan foto melainkan reproduksi (dan di samping itu pada tahun 1983 RMG telah berubah menjadi VEM).
176
Surat Batak
Setelah kami bahas berbagai interpretasi arti teks cap B maka untuk menyempurnakan bahasan kami, perlu kiranya kami menyebut karya "Tuanku Rao" oleh Mangaradja Onggang Parlindungan. Penulis buku tersebut memang terkenal mencampurkan fakta dengan fiksi sehingga buku itu perlu dianggap lebih sebagai buku cerita daripada buku sejarah. Menurut Parlindungan cap itu dihadiahkan oleh Sultan Aceh Alaudin Johar Syah kepada Singamangaraja X. Masalahnya, tidak ada Sultan Aceh yang bernama demikian, dan kita mesti menduga bahwa sultan yang dimaksud adalah Alauddin Johan Syah (1735–1760). Hal ini tidak masuk akal karena Singamangaraja X wafat pada sekitar tahun 1830 (dan bukan 1819 sebagaimana diklaim Parlindungan). Kemudian Parlindungan melanjutkan kisahnya bahwa cap Singamangaraja terdiri dari sembilan lingkaran yang “masing-masing berisi tulisan” (Parlindungan 1964:240). Katanya pula bahwa cap Singamangaraja tidak mengandung tulisan Arab, dan bahwa pada teks yang “melingkar di pinggir” tertulis “Ahu ma raja sihahaan”. Sudah jelas bahwa sejarah khayalan sebagaimana dipaparkan Parlindungan bukan karya ilmiah melainkan cenderung menyesatkan orang. Dalam pembahasan cap B digunakan singkatan berikut: Mü=Müller, Wa=Warneck, Ta=Tampubolon, Go=Gobée, Lu=Lumbantobing, Si=Sijabat, Mh=Marbun dan Hutapea, Ma=Malau. Ahussap Mü Ahu sasap Wa, Ta, Ma Ahu sahap Lu, Si, Mh Ahu ma sap Go Semua penulis setuju bahwa kedua aksara pertama harus dibaca
aH ahu ʻakuʻ namun Müller beranggapan bahwa unsur berikut yang ia baca sebagai aksara Sa dan tanda bunuh: s\ (s) berfungsi untuk menggabungkan ahu dengan sp\ ʻsap’ sehingga yang terakhir dibaca cap dan bukan sap! Müller menguraikannya seperti berikut:
“Ahu tsap2) tuwan3) sisangamangaradja [sic] tiyan bagara”16. 2)
“Ini menurut ucapannya. Ejaannya ahussap.”
16. Keterangan “[sic!]” dibubuhkan Müller.
Cap Singamangaraja 3)
177
“Kata ini, yang dalam aslinya berbunyi Tuwana telah dikoreksi.”
Menurut Müller ucapan yang benar adalah ahu tsap (= ahu cap) sementara ejaannya ahussap. Dalam bahasa Toba memang terdapat perbedaan antara ejaan dan ucapan. Kata pintu misalnya diucapkan pittu, Bangkara diucapkan Bakkara, dan unsok diucap [utsok]. Dalam bahasa Batak Toba tidak terdapat aksara Ca, namun ada gugusan konsonan [ts] seperti di dalam kata unsok yang agak mirip dengan [c], misalnya pohon lansat diucap ʻlatsatʻ (yang di Mandailing dieja dan diucap lancat). Dengan demikian ejaan ahussap (yang seharusnya ditulis ahunsap) bisa diucap ahutsap atau ahucap sehingga terdapat dua kata yaitu ahu dan cap. Interpretasi Müller sangat menarik namun mungkin agak terlalu berani karena kata untuk ‘cap’ dalam bahasa Batak adalah sahap, dan, kalau memang si penulis ingin menulis ahussap, maka anak ni surat /u/ tidak boleh dipasang pada aksara Ha melainkan harus dipasang pada aksara Sa sehingga seharusnya ditulis ahS\sp\ dan bukan aHs\sp\! Interpretasi Warneck (ahu sasap) menyiratkan bahwa garis yang ada sesudah aksara Sa hanya sesuatu goresan yang timbul pada cap itu, dan bukan tanda bunuh. Masalah pada interpretasi ini adalah bahwa kata sasap ‘tulang belikat’ tidak masuk dalam konteks kalimat ini. Interpretasi ketiga (ahu sahap) sama sekali tidak didukung oleh teks karena huruf pertama di baris kedua jelas bukan Ha (h) melainkan Sa. Si penulis ternyata hendak memaksakan arti sahap (cap) yang sesuai dengan konteks tetapi tidak sesuai tengan teks. Interpretasi keempat, yaitu oleh Gobée, juga menampikkan adanya tanda bunuh sesudah aksara terakhir di baris pertama. Kami tidak tahu darimana Gobée memperoleh gambar cap yang ia gunakan (Gambar 26 ii) namun bukan dari Müller atau Warneck karena pada rekonstruksi Müller dan Warneck ada garis kecil setelah huruf Nga sementara di reproduksi Gobée tidak terdapat titik kecil itu! Beda dengan penulis lainnya Gobée membaca aksara ini Ma dan bukan Sa. Bentuk aksara ini memang berbeda sedikit dengan tiga Sa lainnya yang ada di baris kedua dan baris keempat yang sangat mirip dengan bentuk Sa biasa s. Walaupun aksara ketiga dalam baris pertama ini tidak sangat mirip
178
Surat Batak
dengan kedua varian Ma yaitu m, dan M, dan juga cukup berbeda dengan Ma yang terdapat di baris empat (aksara pertama), masih tetap terbuka kemungkinan bahwa aksara ini adalah Ma sehingga ada tiga kata, yaitu: ahu ma sap ‘aku-lah cap’. Menarik untuk dicatat bahwa dalam kamus Warneck (Warneck 1906) memang ada lema sap, namun artinya bukan ‘cap’ melainkan “beschmiert” (berlumuran). Lema sap dalam arti ‘cap’ baru ada dalam kamus Sarumpaet (1994). Menurut kamus Warneck (1906), kata untuk ‘cap’ adalah sahap, dan bukan sap, sementara di kamus Van der Tuuk (1861) sama sekali belum ada istilah Batak untuk ‘cap’! Hal ini mengisyaratkan bahwa kata sahap dan sap, keduanya kata pinjam dari bahasa Melayu, pada pertengahan abad ke-19 belum termasuk dalam perbendaharaan bahasa Toba. Tuwana Tuana Tuwan Tuan Tangan
Mü, Ta Go, Ma Lu Si Wa, Ni, Mh
Ketiga huruf ini sebenarnya cukup jelas tuwana Twn. Hanya ada dua transliterasi yang jauh menyimpang, yaitu Marbun dan Hutapea yang secara bebas membuat interpretasi yang tidak didukung oleh teks, dan Warneck yang ternyata tidak mengenal varian Wa w yang di samping w lazim digunakan di Toba. Sebab maka Warneck tidak mengetahui varian itu barangkali karena bentuk Wa w diangkat oleh zending sebagai bentuk yang "baku" yang dipakai oleh percetakan di Laguboti. Karena tidak mengenal aksara w maka Winkler membacanya Nga <. Di samping itu, yang dilakukan Warneck adalah "menambah" tanda bunuh sesudah aksara Na agar dibaca N. Hal ini juga dilakukan oleh hampir semua penulis lain. Seharusnya memang ada tanda bunuh sesudah aksara Na karena yang dimaksud tentu tuan.
Cap Singamangaraja
179
Sisangamangaraja Mü Singamangaraja Go, Si, Wa, Ni, Mh
Kedua huruf pertama adalah Sa diikuti oleh diakritik /i/ hingga membentuk kata si yang digunakan di depan nama diri. Sisanya membentuk kata Sangamangaraja yang seharusnya berbunyi Singamangaraja. Huruf terakhir baris 3 adalah huruf Nga (<) yang bentuknya agak aneh, dan hampir menyerupai aksara Wa (w). Huruf Nga yang aneh ini terdapat juga di baris 4. Baris 4 sangat mudah dibaca dan terdiri dari Ma M, Nga <, Ra r, dan Ja j. Pada rekonstruksi Müller (1892) dan Gobée (1917) (Gambar 26 i dan iii), baris ketiga tampak seperti dalam gambar di atas, akan tetapi pada rekonstruksi Warneck terdapat garis kecil sesudah huruf Nga yang kelihatan seperti pangolat, namun ternyata hanya merupakan sebuah titik yang kebetulan muncul ketika cap itu dibubuhkan pada kertas. Sebagaimana sudah diuraikan di atas, pada reproduksi Gobée garis pada akhir baris 1 (yang kelihatan di reproduksi Müller dan Warneck) juga tidak tampak. Dari situ bisa kita simpulkan bahwa kedua garis kecil pada ujung baris 1 dan 3 bukan bagian dari teks sehingga tidak boleh diinterpretasikan sebagai tanda bunuh (pangolat). Dengan demikian interpretasi Müller yang membaca huruf-huruf pertama sebagai ahussap tidak dapat dipertahankan. Munculnya garis-garis kecil itu pada rekonstrusksi Warneck dan Müller dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk ketelitiaan dalam mencetak stempel pada kertas, jumlah jelaga yang dioleskan pada stempel, jenis kertas yang dipakai dan sebagainya. tiyan tian mian sian
Mü Ma Wa, Ta, Sa Go, Mh
Aksara pertama (Ta) sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dibaca,
180
Surat Batak
namun ada yang menginterpretasikannya sebagai Sa atau Ma sehingga kata itu dibaca mian (bertempat tinggal) atau sian (dari) sementara aksara yang bersangkutan jelas bukan Sa atau Ma melainkan Ta-utara t. Huruf Ta ini terdapat juga di baris 4, huruf ke-4 – hanya di situ huruf Ta bergabung dengan diakritik u: T.. Ternyata interpretasi mian itu berasal dari Warneck. Sebagaimana sudah disebut di atas, Warneck ternyata lebih mengetahui aksara Batak versi zending, dan bukan aksara Batak asli sehingga ia hanya mengenal Taselatan (t) – bentuk mana diangkat oleh zending sebagai bentuk yang baku untuk huruf cetakan zending. Aksara Ta disusul oleh diakritik i menghasilkan [ti] yang diikuti aksara Ya (y) yang bentuknya agak aneh. Huruf pertama baris 6 adalah Na yang diikuti pangolat. Hasilnya jelas tiyan, yang kini lebih lazim dieja tian. Bagara Bakara Bakkara
Mü Ma Wa, Ta, Sa
Ketiga aksara Ba, Ga, dan Ra ini membentuk kata Bagara. Yang dimaksud ialah kampung Bangkara (b^hr), tempat asalanya Singamangaraja. Kata Bangkara diucap dan sering juga ditulis (dalam huruf Latin) Bakkara. Akan tetapi dalam teks beraksara Batak jarang sekali ada yang menulis kata menurut lafalannya. Selain itu lafalannya Bakkara dan bukan Bagara! Hal ini menjadi petunjuk bahwa pendesain cap ini kurang mengetahui kaedah-kaedah aksara Batak. Di samping itu, bentuk ketiga huruf ini juga agak aneh. Bentuk yang lebih lazim adalah bgr. Berdasarkan uraian di atas kita tiba pada interpretasi cap B:
aHm / sp\Fv / nsis< / m
aH m sp\ Fvn\ si si< m
Cap Singamangaraja
181
tiyn\ b^hr ahu ma sap tuwan si singamangaraja tiyan Bangkara atau dalam ejaan bahasa Batak yang menurut EYD: Ahu ma sap Tuan Si Singamangaraja tian Bangkara Sayalah cap Tuan Si Singamangaraja dari Bangkara. CAP C Cap C yang digambarkan oleh Lumbantobing (1967:87) konon dipakai oleh putra sulung Singamangaraja Sutan Nagari. Bentuknya bundar dengan sebelas gerigi (Gambar 25). Cap ini lebih baru dibandingkan cap A dan B. Hal ini tampak karena 1. semua kesalahan diperbaiki, dan 2. aksara Batak yang digunakan bukan bentuk aksara Batak asli melainkan meniru bentuk aksara cetakan yang digunakan oleh zending.
aH sp\6isisi<m
182
Surat Batak
sementara tulisan Jawi mungkin hanya dianggap sekadar perhiasan saja sehingga dibuat dengan kurang teliti. Namun kita harus sangat berhatihati dalam menarik kesimpulan seperti ini mengingat bahwa hanya ada satu surat yang mengandung cap ini. Teraan pada surat ini tampaknya cukup jelas sehingga penulis cenderung untuk menganggap bahwa cap ini kurang sempurna dalam hal tulisan Jawi. CAP D Di dalam arsip Nommensen di VEM terdapat sepucuk surat bercap yang tertanggal 29 Mei 1904. Cap itu bergerigi delapan. Sayang tulisannya terlalu kabur sehingga tidak terbaca dengan jelas, namun tampaknya cap itu dicetak sedemikian rupa sehingga huruf pada stempelnya tampil secara positif. Artinya, sama dengan cap A, tulisannya sesudah tertera pada kertas akan tampil dalam bentuk cerminan sehingga hanya dapat dibaca dengan menggunakan kaca cermin. Cap ini dimiliki oleh Raja Pane. Pane adalah salah satu kerajaan kecil di daerah Simalungun, dan aksara cap itu juga jelas aksara Simalungun. Teks Bahasa Melayu Teks beraksara Jawi (Arab-Melayu) dan berbahasa Melayu yang melingkari teks Batak pada hampir semua cap sangat sukar dibaca. Teks Melayu pada cap A terlalu kabur sementara yang di cap C cukup terang namun huruf-hurufnya hampir tidak dapat dikenali sehingga menurut dugaan kami pendesain cap itu kurang mengetahui huruf Jawi. Hanya pada cap B sebagian teks berhuruf Jawi dapat dibaca, namun Müller mengakui bahwa bacaan dia mungkin tidak akurat mengingatkan huruf-hurufnya tidak senantiasa jelas:17 Inilah cap maharaja di negeri teba kampung bakara nama kotanya hijrat nabi 1304 [?].18 Selain tanggal, yang kemungkinan besar salah, transliterasi Müller benar namun kata ketiga juga dapat dibaca “si maharaja” (A. Gallop, email 9-3-2000).
17. “Die am Rande stehende malaiische Inschrift ist wohl zu lesen…” 18. Bagian terakhir, terutama “kampung Bakara nama kotanya, Hijrat Nabi” terbaca dengan jelas, tetapi sisanya sangat sukar untuk dibaca.
Cap Singamangaraja
183
Bangkara, tempat asal dan pusat kerajaan Singamangaraja dikatakan berada di negeri Teba. Teba adalah istilah yang digunakan oleh orang Karo dan juga orang Melayu untuk merujuk pada Toba. Bagi mereka yang berada di luar, Teba tidak hanya termasuk daerah Toba dalam arti sempit (Toba Humbang dan Toba Holbung), melainkan daerah yang lebih luas, termasuk Uluan, Samosir, Habinsaran, Silindung, dsb. Singamangaraja tentu menggunakan istilah Teba dalam arti yang lebih luas karena dalam surat-suratnya ia suka menyebut diri sebagai penguasa – dalam capnya ia malahan menggunakan istilah maharaja– di Tanah Batak atau malahan untuk seluruh pulau Sumatra. Para pendesain cap tentu mencontoh pada cap-cap Melayu, baik dalam soal bentuk fisik yang bulat bergerigi maupun pada pilihan konvensi teks “Inilah cap…”. Sedangkan teks Batak mengikuti konvensi Batak yang lazim dipakai pada penulisan surat yang selalu dibuka dengan perkataan Ahu surat ni.... Penanggalan Dalam bukunya tentang kesultanan Aceh di zaman Iskandar Muda Denys Lombard menulis: “Kedaulatan Sultan dilambangkan oleh keris dan cap”19 (Lombard 1967:78). Lambang kerajaan Singamangaraja yang paling utama adalah keris yang bernama gaja dompak. Carle masih menyebut tiga lambang kerajaan lainnya, yaitu lembing hujur siringis, batu asah pungga haomasan, dan labu (tempat air) tabu-tabu sitarapullang Carle (1990:322). Ada pula yang menambahkan tikar lage hamoasan, dan pedang podang halasan, sementara menurut Situmorang (1993a:55) lambang kerajaannya malahan enam belas – tetapi cap tidak pernah disebut sebagai lambang kerajaan Singamangaraja. Hal ini menjadi petunjuk bahwa dinasti Singamangaraja belum lama memiliki cap sehingga belum sempat diangkat menjadi lambang kerajaannya.
19. “L’autorité suprême du Sultan était symbolisée de deux façons, par le kris et le sceau.”
184
Surat Batak
Müller (1892)
Warneck (1909)
Müller yang sebagai peneliti pertama menyelidiki cap B mengakui bahwa tanggal yang ia sebut, yaitu H 1304 (۱۳۰٤) atau 1886/87 M belum tentu benar.20 Sulit dipahami bagaimana Müller bisa membaca tanggal tersebut karena angka yang ada di cap jelas sama sekali tidak mendukung bacaan tersebut. Kendatipun salah, hasil Müller dikopi oleh sekian banyak penulis lainnya termasuk Sidjabat (1983) yang di halaman 368 berusaha meyakinkan pembacanya bahwa “penanggalan di stempel Si Singamangaraja itu menunjukkan, dinasti Si Singamangaraja telah berkuasa sejak sekitar pertengahan abad XVI Masehi”. Anehnya, hanya dua halaman lag, dan tanpa mengutip Müller, ia mengatakan bahwa cap itu dibuat pada tahun H 1304 – yaitu abad ke-19 Masehi! Tampubolon (1914:84) berusaha untuk meyakinkan pembacanya bahwa cap Singamangaraja berasal dari zaman Singamangaraja ke-V, Raja Manubung Langit (Ompu Sotaronggal). Sayang tak ada bukti yang memperkuat dugaan Tampubolon.21 Menurut Gobée, angka yang ada di cap bukan angka Arab Timur (۰۱۲۳٤٥٦۷۸۹) melainkan angka Arab Barat (012345789) yang ia baca 1852. Walaupun cap-cap Melayu pada umumnya menggunakan tarikh hijrah yang ditulis dengan angka Arab Timur, cap di Sumatra Selatan rata-rata menggunakan angka Arab Barat (A. Gallop, email 9-3-2000). Hal itu antara lain disebabkan karena aksara surat ulu (tulisan Rejang, Bengkulu dsb.) sama dengan surat Batak tidak mengenal angka. Namun penulis kurang yakin bahwa tahun yang disebut oleh Gobée memang 1852 Masehi karena tiga alasan: 1. Di cap itu sendiri tertulis bahwa penanggalan yang digunakan adalah tarikh Hijrah dan bukan Masehi, 2. Pada tahun 1852 dan sebelumnya jarang sekali orang Batak
20. “Natürlich vorausgesetzt, dass die muhammedanische Datirung richtig gelesen ist.” 21. Bandingkan catatan kaki 32.
Cap Singamangaraja
185
sempat berhubungan dengan orang Eropa22, 3. Angka yang ada di cap itu sendiri kurang mendukung interpretasinya: Hanya angka pertama dan angka terakhir memang mirip dengan angka 1 dan 2, namun di gambar Warneck seolah-olah angka 1 itu bersatu dengan teks yang ada di sebelah kirinya. Angka kedua lebih mirip dengan 6. Karena mustahil cap itu dari abad ke-17 (pada zaman itu sama sekali belum ada orang Eropa yang pernah singgah di daerah Batak) maka Gobée menginterpretasikannya sebagai 8 yang, menurut hemat kami, merupakan bacaan yang terlalu dipaksa-paksa. Angka berikut pun tidak terlalu mirip dengan angka 5 – sulit dibayangkan alasan maka garis horisontal yang seharusnya berada di atas menjadi lepas sehingga posisinya bukan di atas melainkan di samping. Karena tahun yang ada di cap itu tidak dapat diinterpretasikan secara meyakinkan maka kita tidak dapat mengetahui dengan pasti pada tahun berapa ketiga cap itu dibuat sehingga kita harus mencari petunjukpetunjuk lainnya yang dapat membantu kita untuk memecahkan masalah penanggalan. Klaim bahwa cap sudah ada di abad ke-18 atau malahan di abad ke-16 (Sidjabat 1983) harus ditolak karena cap hanya dapat digunakan di kertas sementara pada abad ke-18 orang Batak belum mengenal kertas dan masih menulis di bambu dan kulit kayu. Untuk sementara kita hanya bisa bertolak pada surat yang dibubuhi cap sebagai terminus ante quem. Surat bercap (dengan cap B) yang paling tua ditulis pada tahun 1897.23 Satu-satunya surat yang dibubuhi cap A bertanggal 1897. Di sini timbul pertanyaan: Kalau cap A adalah pendahulu cap B, kenapa cap A masih dipakai pada saat sudah ada cap B? Ternyata masing-masing cap hanya boleh digunakan oleh orangorang tertentu. Pada kebanyakan surat bercap B disebut bahwa surat itu ditulis oleh (atau atas nama) Singamangaraja XII dengan menggunakan
22. Van der Tuuk, yang datang ke Sibolga pada tahun 1850, menjadi orang Eropa pertama yang melihat Danau Toba pada kunjungannya ke Bangkara untuk bertemu dengan Singamangaraja XI. Zending Jerman dimulai di Mandailing dan baru pada tahun 1864 mereka mulai masuk ke daerah Silindung. 23. Mengingat artikel Müller diterbitkan pada tahun 1892 maka harus ada surat yang lebih lama namun penulis kurang mengetahui keberadaannya.
186
Surat Batak
pembukaan Ahu (atau kami) surat ni Si Singamangaraja – Akulah surat Si Singamangaraja.24 Tampaknya hanya Singamangaraja sendiri yang boleh menggunakan cap B. Menurut Lumbantobing (1967:87) cap C digunakan oleh anak Singamangaraja Sutan Nagari. Cap A tertera pada surat yang ditulis oleh Heman Silaban alias Raja Pangantul, salah satu penasehat Singamangaraja. Tampaknya cap A harus digunakan untuk surat yang tidak langsung atas nama beliau. Kendatipun mustahil untuk menentukan kapan cap pertama dibuat, penulis cenderung bahwa ketiga cap itu dibuat di masa bertahtanya Singamangaraja XII, yaitu antara tahun 1875 dan 1907. Tradisi Surat-Menyurat Masyarakat tradisional Batak sering dianggap sebagai masyarakat yang masih berada di ambang keberaksaraan dan yang menggunakan tulisannya “terutama untuk tujuan yang berkaitan dengan ilmu gaib” (Drakard 1999:172). Pustaha-pustaha Batak ditulis oleh para datu (dukun) yang menjadi ahli kalam dalam masyarakat Batak. Orang hanya wajib belajar tulisan Batak kalau mau menjadi datu. Namun kebanyakan raja pandai menulis, hal itu bukan wajib, dan cukup banyak raja, yang buta huruf. Menurut Sitor Situmorang (komunikasi lisan) Singamangaraja XII tidak pandai membaca, dan memang tidak ada satu surat pun yang berasal dari tangannya sendiri. Kendatipun demikian, diperkirakan sekitar 30–50% pria Batak pandai menulis sebelum kedatangan zending dan pemerintah kolonial dengan pendidikan formalnya (Kozok 2000b). Hal itu antara lain tampak dari naskah-naskah yang jelas tidak ditulis oleh para datu. Dalam koleksi-koleksi naskah Batak terdapat cukup banyak surat dari para raja kepada pemerintah kolonial atau kepada pihak zending. Di Karo dan Simalungun ada pula semacam adat yang disebut pulas atau musuh berngi (musuh pada malam hari). Orang yang merasa diperlakukan dengan tidak adil dan gagal mencari keadilan bersembunyi di hutan dan keluar pada malam hari untuk memberitahu tuntutannya yang disertai ancaman melalui surat yang digores pada tabung bambu 24. Satu-satunya surat yang tidak menggunakan formula pembukaan itu adalah surat Singamangaraja kepada kontelir Van Dijk yang fotonya ada di buku Lumbantobing (1967:103). Surat itu bermula dengan: Alana mambahen surat ahu tu hamu alealengku on do ‘Alasan maka saya menulis surat kepada sahabatku...’.
Cap Singamangaraja
187
(Voorhoeve 1952; Westenberg 1914). Di Karo, Simalungun, dan Mandailing ada pula adat berpacaran melalui puisi cinta yang disebut bilang-bilang, suman-suman, atau andung yang ditulis pada sebuah ruas bambu. Semua jenis tulisan termasuk surat, musuh berngi, serta puisi cinta menggunakan formula-formula tertentu. Surat (yang pada umumnya ditulis di sebuah ruas bambu dengan panjangnya 15–30 cm dan diameter 2–4 cm) biasanya dimulai dengan formula pembuka ahu ma surat ni … “Saya surat [ditulis] oleh...”. Lalu si penulis mengutarakan maksud maka ia menulis surat itu yang bisanya sangat pendek dan menutup surat dengan formula penutup seperti boti ma ‘sekian’ serta ucapan salam. Surat Singamangaraja mengikuti konvensi penulisan surat itu : Ahu surat ni rajanta Si Singamangaraja mandapothon Tuan Nomensen di Sigumpar Habinsaran. Nuaeng hipas be ma Tuan. Tabi ma. Saya surat raja kita Si Singamangaraja kepada Tuan Nommensen di Sigumpar, Habinsaran. Semoga Tuan sehat walafiat. Tabik. Surat itu lalu dilanjutkan dengan permintaan Singamangaraja agar Nommensen mengkonfirmasikan rencananya agar berhubungan dengan Singamangaraja melalui penasehatya Guru Heman. Suratnya ditutup dengan perkataan Boti ma. Hipas be hita. ‘Sekian, semoga kita tetap sehat walafiat’, diikuti oleh nama, tempat, dan tanggal: Singamangaraja Diiri [sic]. Pearaja Dairi ari 20 Oktober 1903. Gaya surat Singamangaraja mengikuti konvensi yang berlaku, namun tampak pula sejumlah unsur baru yang membedakannya dari surat-surat tradisional. Surat Singamangaraja ditulis dengan pena di atas kertas dan tidak digores pada permukaan bambu, dan unsur baru kedua adalah penggunaan cap. Surat-suratnya juga menggunakan tanda baca seperti titik, koma, dan tanda seru. Bahasanya pun sudah dipengaruhi bahasa Melayu tidak hanya pada gelar seperti tuan besar tetapi juga pada perkataan hupingkiri ma jolo (kupikirkan dulu) di surat Singamangaraja dari tahun 1897. Kata pingkiri (diucap: ‘pikkiri’) berasal dari bahasa Melayu pikiri, dan belum ada dalam kamus van der Tuuk. Selain itu, surat Singamangaraja dibubuhi tanggal, suatu hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Orang Batak memiliki kalendernya sendiri
188
Surat Batak
namun kalender itu tidak digunakan untuk tujuan menentukan tanggal melainkan untuk menentukan ketika yang baik, terutama untuk tujuan nujum. Dalam aksara Batak juga tidak terdapat angka sehingga angka yang digunakan dalam surat Singamangaraja adalah angka Arab Barat: “ari 20 ako\tobre\ 1903” (Ari 20 Oktober 1903 - Day 20 October 1903). Pengaruh Eropa juga kelihatan pada aksara yang digunakan yang dengan jelas menunjukkan pengaruh sekolah zending. Dari awal kedatangannya pihak Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) menerapkan kebijakan bahwa aksara Batak harus diajarkan di sekolah sebagai bagian dari warisan budaya Batak (Kozok 1997:132). Sementara dalam masyarakat tradisional aksara itu diwariskan secara turun-temurun, dan di hampir setiap daerah aksara itu berbeda sedikit dengan daerah lainnya, proses pembelajaran aksara Batak di sekolah zending sangat berbeda. Pengetahuan tradisional diganti dengan buku. Bagi orang Batak buku, entah namanya buku, kitab, atau pustaha, adalah sumber pengetahuan dan oleh sebab itu harus dijunjung tinggi. Buku adalah kebenaran. Apalagi buku-buku keluaran Jerman yang tidak lagi ditulis di atas kulit kayu dan dengan kalam yang diambil dari pohon enau yang bernama tarugi, melainkan dicetak dengan huruf yang hitam bersih di atas kertas yang putih mengkilat. Para zendeling sudah menciptakan aksara ketika mereka masih di Mandailing. Setelah pusat zending dipindahkan ke Silindung maka timbullah keperluan untuk mendesain huruf cetakan untuk bahasa Toba. Karena aksara di Toba tidak seragam, melainkan terdapat banyak varianvarian kecil tergantung pada daerahnya maka untuk tujuan percetakan perlu adanya standardisasi. Huruf cetakan yang lalu dipilih oleh para zendeling sebenarnya bukan ragam yang lazim dipakai di dareah yang berbahasa Toba melainkan masih menunjukkan pengaruh AngkolaMandailing (Kozok 1999:82-83). Di samping itu, ada pula varian huruf yang jarang digunakan dalam naskah-naskah asli yang diangkat menjadi aksara yang baku. Aksara yang sudah distandardisasi itulah yang digunakan dalam semua surat Si Singamangaraja XII dan aksara itulah pula yang digunakan pada cap C.
Cap Singamangaraja
189
Kebanyakan publikasi dalam aksara Batak pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dicetak oleh percetakan R.L. Friderichs & Comp di Elberfeld (Wuppertal, Jerman)25, namun ada juga buku yang dicetak oleh Landsdrukkerij (percetakan negeri) di Batavia.26 Pada dasawarsa kedua abad ke-20 dibuka pula percetakan zending (pangarongkoman mission) di Laguboti.27 Namun pada saat itu pihak zending sudah memutuskan agar selanjutnya semua buku sebaiknya dicetak dengan menggunakan huruf Latin dengan alasan biaya yang lebih rendah, dan juga karena orang Batak pada saat itu lebih suka menggunakan huruf Latin daripada aksara Batak. Di kolom 2 saya cantumkan aksara yang digunakan oleh R.L. Friderichs di Elberfeld, di kolom 3 aksara yang digunakan oleh Landsdrukkerij di Batavia, di kolum 4 aksara percetakan zending di Laguboti, dan di kolum 5 saya cantumkan varian-varian aksara yang lazim dipakai dalam naskah-naskah asli Batak.
a na wa ma ta sa ha i
Elberfeld
Batavia
Laguboti
Pustaha
A 4 w M t s h I
a 4 w 0 t s h [
A 6 w M t s h I
aa n3Nqv ww m8M ft s hh I[
Bentuk aksara yang digunakan dalam surat Si Singamangaraja lebih mirip dengan aksara yang distandardisasi oleh zending daripada aksara yang lazim terdapat di pustaha dan naskah Batak lainnya. Dalam naskah asli Batak (Toba) bentuk f, misalnya lebih umum daripada bentuk t.
25. Misalnya Nommensen (1877; 1878; 1902). 26. Misalnya Nommensen (1885a) serta sejumlah buku berhuruf Latin. 27. Misalnya Hariara (1928), dan Lumbantobing (1916). Pada dasawarsa pertama abad ke-20 ada pula percetakan zending di Narumonda, namun sepertinya tidak ada buku beraksara Batak yang dicetak di situ.
190
Surat Batak
Ada beberapa daerah di Toba yang cenderung menggunakan f, sementara di daerah lain bentuk t lebih umum. Di daerah Bangkara dan sekitarnya bentuk f lebih lazim dipakai dan oleh sebab itu bentuk itu pula yang ada di cap Sisingamangaraja (A dan B). Demikian juga dengan aksara Wa yang ada bentuk selatan w dan bentuk utara w. Sekali lagi bentuk utara digunakan dalam cap Singamangaraja (A dan B), namun tidak dalam surat Si Singamangaraja. Dalam hampir semua naskah yang berasal dari Toba, aksara Ma memiliki bentuk m atau 8. Sesekali kita temukan bentuk M. Di Mandailing, bentuk Ma pada hakekatnya sama dengan Toba, namum sekali-sekali bentuk M (yang terdiri dari tiga coretan pena!) ditulis sedemikian rupa sehingga menyerupai 0. Bentuk 0 yang digunakan dalam surat Si Singamangaraja sama sekali tidak lazim dipakai, apalagi oleh orang Toba (sebelum kedatangan misi Jerman)! Kalau kita perhatikan perkembangan aksara cetakan maka kita lihat bahwa aksara Landsdrukkerij Batavia yang digunakan dalam Tobasch Spelboekje (buku untuk mempelajari aksara Batak) masih menunjukkan aksara yang lebih condong ke Angkola-Mandailing (Ha, Sa, dan Ma). Ha dan Sa kemudian diubah untuk percetakan zending di Elberfeld sehingga lebih sesuai dengan bentuk yang lazim dipakai di Toba. Untuk Ma mereka menggunakan bentuk M yang tidak terlalu umum dipakai di Toba, namun masih dapat diterima sebagai salah satu varian Toba, dan untuk A mereka memilih bentuk A yang sebetulnya sangat jarang dapat ditemukan di dalam naskah asli Batak. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bentuk Ma 0 hanya digunakan oleh percetakan Landsdrukkerij, dan satu-satunya buku beraksara Batak yang dapat kami temukan yang dicetak di Landsdrukkerij adalah Tobasch Spelboekje (Nommensen 1885a)28. Semua buku lainnya menggunakan bentuk Ma yang terdiri dari tiga coretan pena, yaitu M. Jadi mengapa bentuk di dalam surat Singamangaraja menjadi 0? Huruf yang digunakan untuk mencetak aksara Batak adalah huruf yang sangat kecil sehingga, bila dilihat sekilas, huruf Ma hampir kelihatan seolah28. Anehnya, dari buku tersebut ada dua edisi yang kedua-duanya diterbitkan pada tahun yang sama. Edisi pertama dicetak di Elberfeld dan cetakan kembali (herdruk) dicetak di Batavia sehingga ada dua buku pelajaran aksara Toba yang masing-masing menggunakan aksara yang berbeda!
Cap Singamangaraja
191
olah terdiri dari satu coretan saja. Hal ini barangkali sudah menjadi kebiasaan anak-anak sekolah yang, demi mempercepat penulisannya, menulis Ma dengan hanya menggunakan satu coretan saja. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa surat-surat Si Singamangaraja ditulis oleh orang yang pernah dididik di sekolah zending. Sayang tidak terlalu banyak diketahui tentang kedua penasehat Singamangaraja Guru Heman Silaban dan Manase Simorangkir. Lumbantobing (1967:85) menyebut Manase sebagai salah satu dari 26 panglima Singamangaraja. Menurut Sidjabat anak perempuan tertua Singamangaraja bernama Rinsan kawin dengan Ompu Onggung yang berjanji akan menyediakan pasukan Singamangaraja dengan bedil setan (bedil canggih yang dipakai oleh tentara Belanda). Setelah setahun tinggal di kediaman Si Singamangaraja di Pearaja, Dairi, Ompu Onggung pergi. Karena tak kunjung pulang maka Rinsan kawin dengan Manase, perkawinan mana menghasilkan tiga anak. Manase gugur dalam pertempuran pada ekspedisi Colijn bulan November 1904. Ompu Onggung lalu meminta kembali Rinsan untuk kemudian mengkhianati mertuanya dengan bersekongkolan dengan Belanda (Sidjabat 1983:241). Menurut Beck “Ompu Onggung menjadi raja Batak pertama yang membantu pemerintah melawan Singa Mangaraja sehingga atas jasanya ia dianugerahi dengan bintang perak dan sebuah pedang kebesaran”29 (Beck 1917:457). Heman Silaban, guru injil di Siborong-borong, ternyata berperan besar dalam menghubungkan Ompu Onggung dengan Si Singamangaraja XII “karena ia mengetahui bahwa Asisten Residen Welsink sangat suka pada Ompu Onggung.” (Sidjabat 1983:311). Baik Sitor Situmorang (korespondensi email 3-2-00) maupun Jan S. Aritonang (email 6-3-00) yang melakukan penelitian di arsip RMG untuk publikasinya mengenai sejarah Batak (Aritonang 1988; Situmorang 1993b; Situmorang 1993a; ) memastikan bahwa Heman Silaban dan Manase Simorangkir pernah menjadi siswa di institut keguruan zending
29. “De eerste Bataksche radja, die het Gouvernement steunde en hielp tegen Singa Mangaradja was Ompoe ni Onggoeng, deze kreeg daarvoor o.a. de silveren ster van verdienste en de prachtsabel.” Kematian Manase dan pengkhianatan Ompu Onggung juga disebut oleh Sinambela (1992:55).
192
Surat Batak
di Pansur Na Pitu. Mengapa kedua pemuda yang berpendidikan itu meninggalkan zending dan pindah ke kubu musuh? Kecewakah mereka dengan pihak zending? Ataukah mereka berusaha untuk menjembatani kedua pihak yang bermusuhan? Sangat menarik untuk mengetahui alasan mereka namun hal ini diluar jangkauan makalah ini. Keempat cap itu jelas merupakan tahap baru dalam perkembangan budaya tulis di daerah Batak. Cap hanya dapat digunakan pada kertas, media tulis yang baru mereka kenal, dan tidak bisa digunakan pada media tulis tradisional seperti bambu, tanduk, dan kulit kayu. Selain surat-surat Singamangaraja tidak banyak naskah Batak yang ditulis di kertas. Dari sekitar 500 naskah Batak yang didata di Jerman hanya delapan ditulis pada kertas! Pada awal abad ke-20 kertas hanya digunakan pada wilayah yang telah tunduk pada pemerintah Belanda. Surat para raja kepada Nommensen hampir semua ditulis di atas bambu, sehingga Singamangaraja XII merupaakan salah satu raja pertama yang menggunakan kertas. Tidak diketahui darimana ia mendapatkan ide untuk menciptakan capnya sendiri, namun ketiga capnya memperlihatkan pengaruh kuat dari tradisi cap Melayu sehingga dapat dipastikan bahwa ia menerima stimulus untuk menciptakan capnya dari kawasan pesisir Barat, atau dari Aceh. Asal usul cap Singamangaraja Menurut Sinaga, cap Singamangaraja berasal dari Aceh: “Raja Si Singamangaraja VII dari dinasti suci Batak menandatangani perjanjian persahabatan dengan raja Aceh dan minta agar diberi cap untuk kerajaannya.” (Sinaga 1981:27)30 Sinaga mengutip Tampubolon (1964) dan Meuraxa (1973) sebagai sumbernya. Pada halaman yang dikutip Sinaga dalam buku Meuraxa malahan tidak ada apa-apa tentang Singamangaraja atau capnya. Selain daripada itu, seorang ilmuwan seperti Anicetus Sinaga seharusnya tidak boleh mengutip begitu saja dari seorang pengarang seperti Dada Meuraxa yang terkenal dengan tulisan yang tidak dapat diandalkan. Karya Tampubolon Pustaha Tumbaga Holing sangat mena-
30. “King Si Singamangaraja VII of the holy dynasty of the Batak sealed a treaty of friendship with the Acehnese king and asked him to make a royal seal for his kingdom.”
Cap Singamangaraja
193
rik dan mengandung informasi yang berguna, namun karena penulisnya bukan sejarahwan maka fakta dan fiksi kerap bercampur baur dalam bukunya. Klaim Tampubolon bahwa “asa di tingki haradjaon ni O. Sotaronggal ma ditumpanton (dibaen) sap ni R. Singa Mangaradja tu Atjeh i ma sap pardjolo sahali” (cap Singamangaraja pertama dibuat di Aceh dalam masa kerajaan O[mpu] Sotaronggal) tidak dapat dibenarkan. Perlu disesalkan bahwa klaim-klaim seperti yang di atas dimuat begitu saja oleh Sinaga dalam bukunya yang diterbitkan oleh Institut Anthropos di Jerman.31 Namun ada juga pengarang yang lebih dapat diandalkan seperti Gobée dan Sidjabat yang percaya bahwa capnya berasal dari Aceh atau dibuat oleh orang Aceh: “Karena aksara Batak yang semraut maka boleh jadi cap itu dibuat oleh salah seorang pengikut Singamangaraja yang berasal dari Aceh.”(Gobée 1917:369)32 Sidjabat (1983:370) pula berpendapat demikian.33 Kalau cap itu dibuat oleh seorang Aceh (atau orang Melayu) boleh saja aksara Batak menjadi kurang sempurna, namun huruf Jawi yang juga ada di cap itu seharusnya menjadi sempurna. Baik Gobée maupun Sidjabat ternyata tiba pada kesimpulannya dengan hanya memperhatikan aksara Bataknya. Akan tetapi tulisan Jawi di cap itu sama saja semrautnya! Hal itulah menjadi petunjuk kuat bahwa cap itu dibuat oleh orang Batak, dan di Tanah Batak. Dari ketiga cap itu jelas tampaknya adanya usaha untuk menciptakan cap yang lebih baik. Cap A yang kita
31. Menurut Tampubolon (1964:85) Ompu Sotaronggal (Raja Manubung Langit) adalah Singamangaraja kelima, sementara menurut Lumbantobing Ompu Sotaronggal menjadi Singamangaraja kedelapan, sementara menurut Situmorang (1993b:213) ia malahan Singamangaraja kesembilan! Dalam buku kecil tentang dinasti Singamangaraja oleh Simanjuntak (1986). Ompu Sotaronggal menjadi raja dari tahun 1741 (ketika ia berumur 19 tahun) hingga 1788. Tanggal tersebut bertentangan dengan tanggal yang dianjurkan oleh seorang “sejarahwan” Batak lainnya, Manurut Batara Sangti (1978) beliau dilahirkan pada tahun 1725. Pengarang yang lebih dapat diandalkan seperti Sidjabat (1983) dan Situmorang (1993b) menolak usaha-uasaha untuk menentukan masa kerajaan ke-12 Singamangaraja karena memang tidak ada dasar historisnya. 32. “De gebrekkige Bataksche letters doen vermoeden dat de stempel door een Atjehschen volgeling van den Singa Mangaradja is vervaardigd.” 33. “Mungkin pula yang membuat stempel itu ialah orang dari suku Aceh, suatu dugaan kalau diperhatikan tulisan aksara Batak yang kurang sempurna.”
194
Surat Batak
anggap cap yang pertama masih penuh kekurangan, cap B sudah lebih baik, dan akhirnya pada cap C aksara Batak bentuknya tidak lagi aneh seperti sebelumnya dan malahan yang diangkat adalah aksara Batak versi zending. Kenyataan bahwa pada cap C tulisan Jawi kurang sempurna dibandingkan cap B mungkin karena tulisan Jawi dianggap hanya sekadar hiasan untuk menunjukkan bahwa wawasan Singamangaraja tidak terbatas pada Tanah Batak saja, dan bahwa beliau menganggap dirinya setara dengan raja-raja lain di Sumatra, atau malahan lebih tinggi mengingat dalam salah satu surat ia menyebut diri sebagai penguasa pulau Sumatra! Kendatipun ketiga cap Si Singamangaraja XII dibuat oleh seorang tukang suku Batak di tanah Batak, stimulus untuk membuat cap itu sendiri tentu berasal dari luar. Sudah pada tahun 1783 dilaporkan bahwa orang Batak “menyembah sultan Minangkabau”34 (Marsden 1975:376) – dalam kosmologi Batak Minangkabau, di samping Aceh, dan Barus, memang dianggap sebagai salah satu sumber ilmu terutama. Namun sesudah perang Padri maka pengaruh Minangkabau di daerah Batak makin menyusut sehingga lebih besar kemungkinan bahwa stimulus untuk membuat cap berasal dari pesisir barat atau dari Aceh. Namun penulis tidak setuju bahwa cap Singamangaraja itu pemberian Sultan Aceh. Alasan pertama sudah dikemukakan di atas, yaitu huruf Jawi tentu lebih sempurna bila cap itu memang buatan Aceh. Alasan kedua, cap-cap dari daerah Singkil dan Rantau Panjang, yang memang pemberian Sultan Aceh, menyebut pemegangnya sebagai ‘khadam Sultan Aceh’ atau ‘wakil Raja Aceh’ (Annabel Gallop, email 09-03-2000). Karena Si Singamangaraja tidak melihat dirinya sebagai wakil, apalagi khadam (budak) Aceh maka Sultan Aceh pun tidak punya alasan untuk memberinya sebuah cap. Namun demikian, tentu ada kemungkinan bahwa stimulus untuk membuat cap berasal dari Aceh mengingat bahwa Si Singamangaraja punya hubungan yang erat dengan berbagai daerah di Aceh. Selain Aceh, Barus juga perlu dipertimbangkan sebagai sumber inspirasi. Orang Batak cenderung untuk menyebut pesisir barat dari Singkil hingga teluk Tapian
34. “superstitious veneration for the sultan of Menangkabau.”
Cap Singamangaraja
195
na Uli dan sungai Batang Toru sebagai daerah Barus (Situmorang 1993b:179). Bagi orang Batak, Barus penting sebagai pelabuhan ekspor untuk hasil hutan, terutama kapur Barus dan kemenyan, tetapi lebih penting lagi sebagai tempat spiritual asal kharisma dinasti Singamangaraja sebagai raja imam (Carle 1990:164; Drakard 1990:173; HeineGeldern 1959; Situmorang 1993b:179-184). Kesimpulan Sudah lebih dari seratus tahun berlalu sejak Müller untuk pertama kali membahas cap Singamangaraja. Sejak itu, cap Si Singamangaraja dibahas dalam puluhan buku dan makalah, namun tanpa menghasilkan sesuatu yang dapat menerangkan asal usul cap Si Singamangaraja. Para penulis yang membahas cap Singamangaraja pada umumnya hanya menulis ulang apa yang sudah ditulis sebelumnya. Karena berulang-ulang dikumandangkan maka seolah-olah sudah menjadi kenyataan bahwa cap Singamangaraja adalah pemberian Sultan Aceh yang secara turun-temurun berada di tangan dinasti Singamangaraja. Setelah diteliti secara lebih mendalam ternyata kedua klaim tersebut tidak dapat dibenarkan. Ketiga cap Singamangaraja ternyata bukan pemberian Sultan Aceh melainkan hasil kerajinan orang Batak sendiri. Sejak ratusan tahun para pandai besi di tanah Batak terbiasa menghasilkan berbagai produk kerajinan, namun tehnik pembuatan cap masih belum diketahui sehingga harus melalui berbagai percobaan untuk menghasilkan cap yang dianggap lebih memuaskan. Kekurangan yang ada tidak hanya pada aksara Batak namun juga pada tulisan Jawi (Arab Melayu) sehingga dapat dismpulkan bahwa tukang besi yang ditugaskan menempah cap itu kurang mengetahui baik tulisan Batak maupun huruf Jawi. Mengingat bahwa ketiga cap menunjukkan tahap perkembangan dari hasil yang serba kurang (cap A) hingga hasil yang lebih sempurna (cap C), dan mengingat bahwa cap C ditempah dengan bantuan seorang lulusan sekolah zending maka dapat disimpulkan bahwa ketiga cap dibuat di masa kerajaan Si Singamangaraja XII (1875–1907). Aksara "modern" yang ditemukan di cap C juga digunakan pada surat yang ditulis oleh penasehat Si Singamangaraja XII Manase Simorang-
196
Surat Batak
kir dan Heman Silaban sehingga terdapat kemungkinan bahwa mereka terlibat dalam pembuatan cap C yang dibuat di sekitar tahun 1890-an. Dengan memiliki sebuah cap yang merupakan lambang kerajaan utama di alam Melayu, dan melalui gelar berian sendiri sebagai “raja marga-marga Batak” dan bahkan “penguasa pulau Sumatra” maka Si Singamangaraja XII tidak lagi melihat dirinya sebagai raja imam negeri Sumba melainkan sebagai pembela kebudayaan dan identitas Batak melawan imperialisme Belanda dan hegemoni budaya Barat.
}
Cap Singamangaraja
Gambar 27: Surat Singamangaraja dari tahun 1897
197
198
Surat Batak
Gambar 28: Surat Singamangaraja XII dari tahun 1899
Cap Singamangaraja
Gambar 29: Surat Singamangaraja XII dari tahun 1903
199
200
Surat Batak
Gambar 30: Surat serta cap Raja Pane (Simalungun, tahun 1904)
Kepustakaan Adelaar, K. Alexander. Reconstruction of Proto-Batak phonology. Nusa 10. 1981, hal. 1–20. Aritonang, Jan S. Sejarah pendidikan Kristen di Tanah Batak. Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1988. Asselt, Gerrit van. Buku parsiadjaran di angka anak sikola di hata Angkola. Elberfeld, R.L. Friederichs & Comp, 1876. Baharadja. Tjap ni Radja Singamangaradja. Partoengkoan 1 Jan 1939. 1939, hal. 10. Bartlett, Harley Harris. The Labors of the Datoe, and other essays on the Bataks of Asahan (North Sumatra). Ann Arbor, Center for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan, 1973. Beck, W.J. Si Singa Managaradja. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 53. 1917, hal. 450–457. Betz, W. F. Het Evangelie van Johannes in het Angkolasch. Amsterdam, Spin & Zoon, 1873. Boer, D.W.N. de. Zeden, gewoonten en wetten van Nai Pospos. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 103. 1946, hal. 339–457. Carle, Rainer. Opera Batak. Das Wandertheater der Toba-Batak in Nord-Sumatra. Schauspiele zur Wahrung kultureller Identität im nationalen indonesischen Kontext. Bd. I Entwicklungsgeschichte und Textkommentare. Bd.II Dramentexte und Dokumentation. Berlin, Hamburg, Reimer, 1990. Casparis, J. G. de. Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to c. A.D. 1500. Leiden, E.J. Brill, 1975. Doli, Dja Lembang Gunung. Surat Parsipodaan. Batavia, Landsdrukkerij, 1901. Drakard, Jane. A Malay frontier. Unity and duality in a Sumatran kingdom. Ithaca (New York), Cornell Southeast Asia
202
Surat Batak
Program, 1990. Drakard, Jane. A Kingdom of words. Language and power in Sumatra. New York, Oxford University Press, 1999. Eggink, H.J. Angkola- en Mandailing-Bataksch - Nederlandsch Woordenboek. Bandoeng, A.C. Nix & Co, 1936. Fischer, H.W. Katalog des Ethnographischen Reichsmuseums. Band VIII. Batakländer. Mit Anhang: Malaiische Länder an der Nordost-Küste Sumatras. [Sumatra II]. Leiden, E.J. Brill, 1914. Fischer, H.W. Katalog des Ethnographischen Reichsmuseums. Band XIV. Sumatra Supplement. Leiden, E.J. Brill, 1920. Francisco, Juan R. Philippine Palaeography. Quezon City, Linguistic Society of the Philippines, 1973. Gobée, E. Dr. Neubronner van der Tuuk's bezoek aan Si Singa Mangaradja in 1853 van Bataksche zijde toegelicht. Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkkundig Genootschap 34. 1917, hal. 366–369. Haberlandt, M. Ueber die Batta-Schrift. Mittheilungen der Anthropologischen Gesellschaft in Wien 16. 1886, hal. 7–10. Hariara, J.M. Poestaha parsiajaran manjaha Soerat Batak. Lagoeboti, Zendelingsdrukkerij, 1928. Hariara, J.M. Hata Batak maninggoring. Bagian rangsa ni andung dohot hadatuon. Jakarta, Balai Pustaka, 1987. Heine-Geldern, Robert. Le Pays deP'i-k'ien, Le Roi au Grand Cou et Le Singa Mangaradja. Bulletin de l'Ecole Française d'Extrême-Orient 49. 1959, hal. 361–404. Heyne, K. De nuttige planten van Nederlandsch-Indië. Buitenzorg, Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel in Nederlandsch Indië, 1927. Iwabuchi, Akifumi. The people of the Alas Valley: a study of an ethnic group of Northern Sumatra. Oxford, England ; New York, Clarendon Press, 1994. Joustra, Meint. Karo-Bataksch Woordenboek. Leiden, E.J. Brill, 1907. Junghuhn, Franz. Die Battaländer auf Sumatra. 2.Teil. Berlin, G. Reimer, 1847. Korn, V.E. Batakse Offerande. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 109. 1953, hal. 32–51; 97-127. Kozok, Uli., Batak Script and Literature. Sibeth, Achim, ed., The Batak: Peoples of the Island of Sumatra. New York, Thames and Hudson, 1991, hal. 100–114.
203
Kozok, Uli., De taal- en onderwijspolitiek van de Rijnse Zending in de Bataklanden. Groeneboer, Kees, ed., Koloniale Taalpolitiek in Oost en West: Nederlands-Indië, Suriname, Nederlandse Antillen en Aruba. Amsterdam, Amsterdam University Press, 1997, hal. 127–157. Kozok, Uli. Warisan leluhur. Sastra lama dan aksara Batak. Jakarta, École française d'Extrême-Orient, Kepustakaan Populer Gramedia, 1999. Kozok, Uli. Die Bataksche Klage: Toten-, Hochzeits- und Liebesklagen in oraler und schriftlicher Tradition. 1. 2000a, Kozok, Uli. On writing the not-to-be-read: literature and literacy in a pre-colonial 'tribal' society. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 156. 2000b, hal. 33–55. Kozok, Uli. The Seals of the Last Singamangaraja. Indonesia and the Malay World 28. 2000c, hal. 254–279. Kozok, Uli. Batak Handschriften im Linden-Museum. Tribus – Jahrbuch des Linden-Museums Stuttgart 52. 2003, hal. 166– 205. Leipold, Chr. Some first Christian teaching to the heathen in the Batta (Angkola) language. Elberfeld, R.L. Friderichs & Comp, 1880. Lombard, Denys. Le Sultanat d'Atjéh au temps d'Iskandar Muda, 1607-1636. Paris, École française d'Extrême-Orient, 1967. Lumbantobing, Adniel. Si Singamangaradja I-XII. Medan, W. Marpaung, 1967. Lumbantobing, Arsenius. Porgolatanta: Buku sidjahaon ni anaksikola. Laguboti, Pangarongkoman Mission, 1916. Malau, Gens G. Dolok Pusuk Buhit 7. Sabagian sian turi-turian ni halak Batak. Jakarta, Yayasan "Tao Toba Nusabudaya" & BPH Partukkoan Dalihan Na Tolu, 1997. Mandahelingsch Spel-Boekje. Batavia, Landsdrukkerij, 1872. Manik, Liberty. Batak-Handschriften. Wiesbaden, Franz Steiner Verlag, 1973. Manik, Tindi Raja. Kamus bahasa Dairi Pakpak–Indonesia. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977. Marbun, M.A., dan Hutapea, I.M.T. Kamus budaya Batak Toba. Jakarta, Balai Pustaka, 1987. Marschall, Wolfgang. Die indonesischen Handschriften von Sumatra. Studium Generale 20. 1967, hal. 559–564. Marsden, W. The history of Sumatra. Kuala Lumpur, Oxford University Press, 1975.
204
Surat Batak
Meerwaldt, J.H. De nieuwe Bataksche Letterkunde. Mededelingen van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap 66. 1922, hal. 295–311. Meuraxa, Dada. Sejarah kebudayaan suku-suku di Sumatra Utara. Medan, Napitupulu, 1973. Müller, F.W.K. Batak-Siegel. Zeitschrift für Ethnologie, Verhandlungen 24. 1892, hal. 517f. Napitupulu, O. L. Perang Batak perang Sisingamangaradja [ke XII]. Djakarta, Jajasan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja, 1972. Neumann, J.H. Schets der Karo Batakschen Spraakkunst. Weltevreeden, A. Emmink, 1922. Neumann, J.H. Karo-Bataks – Nederlands Woordenboek. Medan, Varekamp & Co, 1951. Nommensen, Ingwer Ludwig. The Gospel according to S. John: Translated out of the original Greek into Batta (Toba), the language of the Batta in the island of Sumatra. Elberfeld, R.L. Friderichs & Comp, 1877. Nommensen, Ingwer Ludwig. The New Testament of our Lord and Saviour Jesus Christ: Translated out of the original Greek into Batta (Toba), the language of the Batta in the island of Sumatra. Elberfeld, R.L. Friderichs & Comp, 1878. Nommensen, Ingwer Ludwig. Tobasch spelboekje. Batavia, Landsdrukkerij, 1885a. Nommensen, Ingwer Ludwig. Tobasch spelboekje. Elberfeld, R. L. Friderichs & Comp, 1885b. Nommensen, Ingwer Ludwig. Jamita sian hata ni Debata na di padan na robi. Elberfeld, R.L. Friderichs & Comp, 1902. Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras, Christian Literature Society, 1978. Parlindungan, Mangaradja Onggang. Tuanku Rao. Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao; terror agama Islam mazhab Hambali di tanah Batak, 1816-1833. Jakarta, Tandjung Pengharapan, 1964. Persoons, Marie-Anne. Batak Manuscripts in the Royal Art and History Museums in Brussels. Orientalia lovaniensa Periodica, Universitaire Stichting van België, Department Oriëntalistiek 17. 1986, hal. 233–251. Postma, Antoon. Contemporary Mangyan Scripts. Philippine Linguistics 2. 1971, hal. 1–12. Robson, Steward O. Principles of Indonesian Philology. Dordrecht,
205
Holland ; Providence, R.I, Foris Publications, 1988. Römer, R. Beiträge zur Kenntniss der Medizin der Batak. Janus June-August. 1907, hal. 7–11. Sangti, Batara. Sejarah Batak. Balige, Karl Sianipar, 1978. Saragih, Japorman Edison. Pustaha-pustaha laklak dan surat-surat buluh yang berasal dari daerah Batak, Sumatera Utara. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 1973. Saragih, Japorman Edison. Kamus Simalungun–Indonesia. Pematang Siantar, Kolportase GKPS, 1989. Saragih, Japorman Edison, dan Dalimunte, A.A. Pustaha Laklak No.252 Museum Simalungun & Pustaha Laklak Mandailing. Jakarta, Departemen P&K, 1979. Saragih, Wismar. Partingkian ni Hata Simaloengoen (Simaloengoen Bataks verklarend woordenboek). Pematangraja, 1936. Sarumpaet, Jan Pieter., Linguistic Varieties in Toba-Batak. Halim, Amran, Carrington, Lois, dan Wurm, S.A., ed., Papers from the Third International Conference on Austronesian Linguistics(3: Accent on variety). Canberra, Australian National University, 1982, hal. 27–28. Sarumpaet, Jan Pieter. Kamus Batak–Indonesia. Jakarta, Erlangga, 1994. Schreiber, August. Bijbelsch geschiedenis des ouden verbonds (naar Zahn) in het Mandailingsch (Surat paboa angka na dumpang di halak na porsaya di Debata taran so ro dope Tuhan Jesus). Amsterdam, C.A. Spin & Zoon, 1874. Schreiber, August. Christ und Mohammedaner. Elberfeld, 1875. Schreiber, August. Beknopt onderrigt omtrent het menschelijke ligchaam in de Mandhelingsche taal (Taringot tu pamatang ni jolma). Batavia, Landsdrukkerij, 1876. Schreiber, August, dan Leipold, Chr. The New Testament of our Lord and Saviour Jesus Christ. Translated out of the Original Greek into Batta (Angkola-Mandailing), the Language of the Southern Batta in the Island of Sumatra. Elberfeld, R.L. Friderichs & Comp, 1879. Schütz, Ph. Chr. Buku Parsiadjaran manise dohot manjurat di hata Angkola. Elberfeld, R.L. Friderichs & Co, 1902. Sibarani, A[ugustin]. Perjuangan pahlawan nasional Sisingamangaraja XII. Jakarta, Bona Tora Jaya-Yayasan Sisingamangaraja Perwakilan Jakarta, 1980. Sidabutar, S. S. Batu na Impol: Buku Parsiajaran Manala, Manami
206
Surat Batak
dohot Marhamaolhon Hata Surat Batak nang Pustaha. Medan, Mitra, Sidjabat, W. Bonar. Ahu Si Singamangaraja: Arti historis, politis, ekonomis dan religius Si Singamangaraja XII. Jakarta, Sinar Harapan, 1983. Sihombing, T.M. Filsafat Batak. Tentang kebiasaan-kebiasaan adat istiadat. Jakarta, Balai Pustaka, 1986. Simanjuntak, Humala. Singa Mangaraja. Selama dalam 5 abad turun temurun menurut ceritera orang tua-tua dan kisahnya gugurnya Singa Mangaraja XII 17 Juni 1907. Medan, YPN Yotsu Sere Murni, 1986. Sinaga, Anicetus B. The Toba Batak High God. Transcendence and immanence. St. Augustin, 1981. Sinambela, Poernama Rea. Ayahku Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional. Jakarta, Aksara Persada Indonesia, 1992. Siregar, Ahmad Samin. Kamus Bahasa Angkola/Mandailing– Indonesia. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. Siregar, Ahmad Samin, Sukapiring, Peraturen, Tarigan, Sentosa, Sembiring, Matius C., dan Zulkifly. Kamus Karo–Indonesia. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985. Baried, Siti Baroroh, Sutrisno, Sulastin, Soeratno, Siti Chamamah, Sawu, dan Istanti., Kun Zachrun. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta, Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi, Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1994. Situmorang, Helman Billy. Ruhut-ruhut ni adat Batak. Medan, Gunung Mulia, 1983. Situmorang, Sitor. Guru Somalaing dan Modigliani "Utusan Raja Rom". Sekelumit sejarah lahirnya gerakan Ratu Adil di Toba. Jakarta, Grafindo Mukti, 1993a. Situmorang, Sitor. Toba Na Sae (Sejarah ringkas lahirnya institusiinstitusi organisasi parbaringin dan dinasti Singamangaraja dalam sejarah suku bangsa Batak-Toba). Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993b. Smit, G. Soerat Ogén man goena Oerang Karo ipakaé Surat jiné. Leiden, Bataksch Instituut, 1916. Sukapiring, Peraturen, Sitepu, A.G., Meliala, P.S., dan Tanjung, Zuraida. Pelajaran Bahasa Karo dan Aksara Surat Pustaha. Medan, Percetakan RG, 1997.
207
Tambunan, Anggur. Kamus Bahasa Batak Toba–Indonesia. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1977. Tampoebolon, Radja H. A. m. Het sneuvelen van Si Singa Mangaradja. Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkkundig Genootschap 61. 1914, hal. 459–482. Tampubolon, Raja Patik. Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak Patik / Uhum. Pematang Siantar, 1964. Tampubolon, Raja Patik. Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak Patik Uhum. Buku I dan II. Jakarta, Dian Utama, 2002a. Tampubolon, Raja Patik. Pustaha Tumbaga Holing: Adat Batak Patik Uhum. Buku III, IV dan V. Jakarta, Dian Utama, 2002b. Taute, [Tuan Sitaut]. Pangajaran taringot tu Pulo Sumatara [Pulo Morsa] dohot pangisina. Elberfeld, R.L. Friderichs & Co, 1889. Teygeler, René. Pustaha. A study into the production process of the Batak bark book. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 149. 1993, hal. 593–611. Tobing, Philip Oder Lumban. The structure of the Toba-Batak belief in the High God. Amsterdam, Jacob van Campen, 1956. Tuuk, Herman Neubronner van der. Over Schrift en Uitspraak der Tobasche Taal als eerste Hoofdstuk eener Spraakkunst. Amsterdam, C. A. Spin & Zoon, 1855. Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Boek Exodus. Amsterdam, Frederik Muller, 1859a. Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Boek Genesis. Amsterdam, Frederik Muller, 1859b. Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Evangelie van Johannes. Amsterdam, Frederik Muller, 1859c. Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Evangelie van Lukas. Amsterdam, Frederik Muller, 1859d. Tuuk, Herman Neubronner van der. (1) Stukken in het Tobasch, 1860; (2) Stukken in het Mandailingsch, 1861; (3) Stukken in het Dairisch, 1861; (4) Taalkundige aantekeningen en bladwijzer, vertaalde stukken en inhoudsopgave tot de drie stukken van het Bataksche Leesboek, 1862. Amsterdam, Frederik Muller, 1860. Tuuk, Herman Neubronner van der. Bataksch-Nederduitsch Woordenboek. Amsterdam, F.Muller, 1861. Tuuk, Herman Neubronner van der. Tobasche Spraakkunst. Eerste
208
Surat Batak
Stuk (Klankstelsel). Amsterdam, Frederik Muller, 1864. Tuuk, Herman Neubronner van der. De Handelingen der Apostelen. Amsterdam, Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1867a. Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Evangelie van Markus. Amsterdam, Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1867b. Tuuk, Herman Neubronner van der. Het Evangelie van Mattheus. Amsterdam, Nederlandsch Bijbelgenootschap, 1867c. Tuuk, Herman Neubronner van der. A Grammar of Toba Batak. The Hague, Martinus Nijhoff, 1971. Vergouwen, Jacob Cornelis. Het rechtsleven der Toba-Bataks. 'sGravenhage, M. Nijhoff, 1933. Voorhoeve, Petrus. Overzicht van de volksverhalen der Bataks. 1927, Voorhoeve, Petrus. Batak bark books. With facsimile. Overdruk uit: Bulletin of the John Rylands Library 33/2. Manchester, 1951. Voorhoeve, Petrus. Een Timur-Batakse brandbrief. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 108. 1952, hal. 395–396. Voorhoeve, Petrus. Batakse buffelwichelarij. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 114. 1958, hal. 238–248. Voorhoeve, Petrus. A catalogue of the Batak manuscripts in the Chester Beatty Library. Dublin, Hodges Figgis & Co.Ltd, 1961. Voorhoeve, Petrus. Catalogue of Indonesian Manuscripts. Part 1, Batak Manuscripts. Copenhagen, The Royal Library, 1975. Voorhoeve, Petrus. Codices Batacici. Codices Manuscriptie XIX. Leiden, Universitaire Pers, 1977. Voorhoeve, Petrus. H.H. Bartlett's Batak Manuscripts Collection. Indonesian Circle 22. 1980, hal. 70–72. Voorhoeve, Petrus, dan Uli Kozok. Universiteitsbibliotheek Leiden. Collectie P.Voorhoeve. 1993, Warneck, Johannes. Toba-Batak - Deutsches Wörterbuch. Batavia, Landsdrukkerij, 1906. Warneck, Johannes. Die Religion der Batak. Ein Paradigma für die animistischen Religionen des indischen Archipels. Göttingen, Leipzig, Vandenhoek & Ruprecht/J.C.Hinrichs'sche, 1909. Warneck, Johannes. Toba-Batak - Deutsches Wörterbuch. Den Haag, Martinus Nijhof, 1977. Westenberg, C.J. Adatrechtspraak en adatrechtpleging der Karo Batak's. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 69.
209
1914, hal. 453–600. Willer, T.J. Verzameling der Battahschen Wetten en Instellingen in Mandheling en Pertibie. Gevolgd door Een Overzigt van Land en Volk in die Streken. Tijdschrift voor Nederlandsch Indië 8. 1846, hal. 145–424. Winkler, Johannes. Bataksche Zauberdoktoren. Allgemeine Missionszeitung 2. 1907, hal. 49–60; 66-77. Winkler, Johannes. Der Kalender der Toba-Bataks auf Sumatra. Zeitschrift für Ethnologie 45. 1913, hal. 436–447. Winkler, Johannes. Die Toba-Batak auf Sumatra in gesunden und kranken Tagen. Ein Beitrag zur Kenntnis des animistischen Heidentums. Stuttgart, Chr.Belser, 1925. Winkler, Johannes. Pane na Bolon. Ein Kriegsorakel der TobaBatak auf Sumatra. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 112. 1956, Yamamoto, Haruki. Batak Manuscripts in Tenri Central Library. Nampo-Bunka 19. 1992, hal. 1–24. Ypes, W. K. H. Bijdrage tot de kennis van de stamverwantschap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondenrecht der Toba- en Dairibataks. 's Gravenhage, M. Nijhoff, 1932. Zahn, F.L. Biblische Geschichte des Neuen Testaments im Mandhelingschen Dialect. Elberfeld, R.L. Friderichs & Comp, 1875. Zubeirsyah, M. Hasyim. Kamus Simalungun–Indonesia. Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.