SUPER RESOLUSI PERDASAR PADA FAST REGISTRASI DAN REKONSTRUKSI MAXIMUM A POSTERIORI Ari Sandi Robert 1 - Rully Soelaiman, S.Kom, M.Kom2 Fakultas Teknologi Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus Keputih, Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Email :
[email protected],
[email protected] tinggi ini menghasilkan gambar yang lebih jelas dan detail, sehingga sangat membantu dalam beberapa bidang tersebut. Sebagai contoh, citra medis yang detail dan jelas sangat membantu dokter dalam mengambil keputusan diagnosis, atau dalam bidang satelit sangat membantu dalam membedakan objek satu dengan lainnya dalam pencitraan yang jauh. Baru- baru ini, teknologi CCD (Charge–CoupleDevices) digunakan untuk mendapatkan citra yang beresolusi tinggi, walaupun ini sangat membantu dalam beberapa aplikasi namun teknologi ini tidak lama dipakai, hal ini disebabkan karena teknologi dari CCD dan high precission optic tidak dapat memenuhi permintaan peningkatan resolusi yang terus menerus, hal ini juga disebabkan karena keterbatasan optik dari teknologi tersebut. Selain keterbatasan optik, masalah biaya juga merupakan kendala dalam penerapan teknologi ini. Misal memasang camera yang beresolusi tinggi ke angkasa membutuhkan biaya yang cukup mahal dan beresiko. Dan ini akan lebih efisien jika memasang camera yang murah dengan resolusi yang rendah ke angkasa dan mendapatkan citra beresolusi tinggi dibawah dengan image processing. Hambatan lain ketika menggunakan kamera beresolusi tinggi adalah dibutuhkannya situasi yang ideal. Misal, dalam pengintaian militer, sebagai contoh, pengambilan gambar dari pergerakan musuh itu susah dilakukan karena pergerakan itu biasanya terjadi pada malam hari, atau dalam keadaaan kabut, untuk menghambat pengintaian. Atau cuaca juga menjadi penyebab yang lain untuk remote sensing, dimana mendung dapat menutupi daerah yang akan diproses. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik lain untuk mendapatkan citra yang beresolusi tinggi. Termasuk juga mendapatkan citra yang beresolusi tinggi dari kamera yang beresolusi tinggi. Untuk mendapatkan citra yang beresolusi tinggi, dapat dilakukan dengan teknik Super Resolusi, yaitu suatu teknik untuk mendapatkan citra resolusi tinggi dari sekumpulan citra beresolusi rendah
Abstrak Dalam Tugas Akhir ini, framework Maksimum a Posteriory digunakan untuk menyelesaikan masalah Super Resolusi. Yaitu masalah untuk mendapatkan citra resolusi tinggi dari sekempulan citra yang beresolusi rendah yang telah digeser dari image samplenya. Ada beberapa tahapan dalam Tugas Akhir ini yaitu yang pertama adalah membuat observasi model, yaitu membuat citra resolusi rendah sebagai pembentuk resolusi tinggi pada tahap berikutnya. Tahap yang kedua adalah menghitung image prior model. Hal ini dibutuhkan pada saat digunakanya Maximum a Posteriori pada pembentukan citra resolusi tinggi. Tahap yang ketiga ada tahap preprocessing, ada tahap ini dilakukan proses registrasi (proses estimasi pergeseran). Tahap yang terahir adalah pembentukan citra resolusi tinggi dari sekumpulan citra yang telah dibentuk dengan menggunakan algoritmat MAP (maximum a posteriori) framework. Dalam beberapa tahap ini sudah termasuk proses registrasi (proses estimasi pergeseran), interpolasi dan restorasi yang dilakukan secara bersamaan dalam domain Descret fourier transform. Maximum a posteriori yang didapat dari persamaan Bayesian adalah dengan memaksimalkan variabel-variabel registrasi, termasuk nilai pergeseran image, dan citra resolusi tinggi yang diperkirakan secara bersamaan pada saat observasi citra. Kata Kunci : Maximum a Posteriori (MAP), Super Resolusi, registrasi, interpolasi. 1.
PENDAHULUAN
Hampir semua aplikasi yang berbasis gambar atau citra baik dalam bidang remote sensing, militer dan medical image pada umumnya membutuhkan citra yang beresolusi tinggi, bahkan untuk dibeberapa aplikasi merupakan syarat utama yang harus dipenuhi. Citra resolusi tinggi berarti kepadatan pixel dalam citra itu tinggi. Citra yang beresolusi
1
sample yang diambil dari scene yang sama, atau pengambilan beberapa gambar dalam satuan urutan waktu. Apabila gambar resolusi tinggi yang dihasilkan berupa gambar resolusi tunggal maka disebut teknik Super Resolusi statis dan apabila gambar resolusi tinggi yang dihasilkan merupakan gambar rangkaian maka disebut teknik Super Resolusi Dinamis. Beberapa metodologi rekonstruksi telah diajukan baik dalam domain frekuensi atau domain spasial. Kedua domain tersebut menunjukkan hasil yang signifikan terhadap hasil rekonstruksi Super Resolusi. Hal ini memungkinkan untuk melakukan rekonstruksi citra dengan model yang berbeda-beda dengan penyelesaian algoritma yang berbeda pula. Dalam Tugas Ahir ini penulis mencoba menerapkan Fast Registrasi dan Maximum a Posteriori untuk menyelesaikan masalah Super Resolusi yang dilakukan dalam domain fourier dan spasial, sedangkan jenis Super Resolusi adalah Super Resolusi Statis. Maximum a Posteriori merupakan salah satu estimasi probabilistik yang diambil dari persaman bayessian [8] dan [9]. 2.
informasi yang dapat digunakan untuk merekontruksi citra resolusi tinggi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.6 Super resolusi juga dapat dikatakan sebagai teknik image restorasi namun image restorasi generasi kedua, hal ini disebabkan karena sebenarnya dasar dari kedua teknik tersebut sama, namun yang membedakan adalah jumlah dari inputan citra dan hasil dari citra setelah proses. 2.1 Model Observasi Pada tahap model Observasi [5] ini berhubungan dengan permodelan citra dari resolusi tinggi ke citra resolusi rendah. Atau dapat dikatakan sebagai model urutan proses dari citra resolusi tinggi ke citra resolusi rendah. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1
SUPER RESOLUSI
Resolusi citra adalah suatu ukuran kualitas dari output sebuah citra yang biasa dikaitkan dengan pixel. Resolusi citra menggambarkan detail dari sebuah citra, semakin tinggi resolusi citra maka semakin tinggi detail atau ketajamannya. Dalam istilah citra digital resolusi citra sering dinyatakan dengan banyaknya pixel dari suatu citra, misalkan: citra dengan ukuran 680 X 480 mempresentasikan 680 pixel pada kolomnya dan 480 pixel pada barisnya. Dengan pengertian diatas, maka yang disebut dengan citra resolusi rendah (LR) adalah citra dengan kerapatan piksel rendah. Sedangkan citra resolusi tinggi (HR) adalah citra dengan kerapatan piksel tinggi, yang memiliki informasi lebih detil dan dapat digunakan dalam berbagai bidang ilmu. Sebagai contoh dalam dunia kedokteran, gambar yang beresolusi tinggi sangat membantu dokter dalam mengambil keputusan diagnosa, dalam bidang foto citra satelit akan dapat secara mudah membedakan sebuah objek satu dengan yang lain ketika citra yang diambil adalah citra yang beresolusi tinggi. Teknik citra Super Resolusi adalah suatu teknik untuk mendapatkan citra yang beresolusi tinggi dari sekumpulan citra yang beresolusi rendah (LR). Resolusi tinggi yang dihasilkan dapat berupa citra tunggal atau lebih. Citra resolusi tinggi didapat dari sekumpulan resolusi rendah yang diambil dari adegan (scene) yang sama. Karena dari adegan(scene) yang sama itu menyediakan
Pada proses gambar 1 yang ouputnya berupa citra resolusi rendah itu diperoleh dari citra resolusi tinggi yang kemudian citra tersebut ditranslasi sejauh delta x dan delta y, kemudian dirotasi sejauh sudut theta. Setelah proses translasi dan rotasi kemudian citra diblur. Setelah sebuah citra resolusi tinggi mengalami translasi, rotasi, dan blur, kemudian citra tersebut masuk dalam proses downsampling. Dalam proses ini citra resolusi tinggi mengalami penurunan resolusi. Setelah proses tersebut citra baru ditambah dengan noise. Dan setelah proses inilah citra resolusi rendah terbentuk. 2.2 Registrasi Beberapa metode Super Resolusi yang terdapat pada literature menggunakan motion[1] pada citra yang diamati (citra resolusi rendah) sebagai syarat untuk membentuk citra resolusi tinggi. Hal ini menjadi pendekatan yang paling sesuai untuk Super Resolusi yang secara umum terdiri dari tiga tahap algoritma, registrasi, interpolasi dan rekonstrusi. Tahap registrasi itu digunakan untuk mendapatkan relatif motion (pergeseran) diantara citra resolusi rendah dengan akurasi pixel.Ouputan dari proses ini berupa delta x dan delta y dari masing-masing citra resolusi rendah.
2
ini juga mengasumsikan bahwa pengamatan dari P citra resolusi rendah yang berukuran N x 1 dengan menerapkan PN x N H degradasi operator B kepada citra resolusi tinggi, yang kemudian ditambahkan dengan noise pada setiap P citra resolusi rendah atau biasa disebut citra yang diamati. Misal kumpulan matriks resolusi rendah y yang berukuran PN x 1 vektor yang berisi P citra yang diamati
Asumsi yang diambil pada Super Resolusi adalah semua pixel dari frame yang diamati itu nantinya dapat dipetakan kembali ke kerangka acuan berdasarkan informasi gerakan vektor (pergeseran). Interpolasi grid yang seragam dilakukan untuk memberikan jarak yang seragam pada citra upsample. Ketika jarak yang seragam pada grid upsample image itu didapatkan, restorasi diterapkan untuk menghilangkan efek dari bluring dan noise. Berdasarkan output yang dihasilkan (HR), super resolusi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu statis dan dinamis. Super Resolusi statis menghasilkan output citra resolusi tinggi tunggal dan Super Resolusi dinamis menghasilkan citra resolusi tinggi yang lebih dari satu. Metode yang digunakan untuk merekontruksi citra high resolusi ini dapat dilakukan pada spatial domain atau pada frequency domain. Pada Tugas Ahir ini metode yang digunakan dilakukan pada frequency domain dan spatial domain. Keuntungan dari penggunaan frequency domain adalah dapat menghasilkan perhitungan yang lebih cepat. Permasalahan yang terkait dengan Super Resolusi sebenarnya adalah masalah restorasi. Perbedaan mendasar antara super resolusi dan restorasi adalah bahwa dalam super resolusi input yang masuk berupa rangkaian citra, sedangkan pada restorasi input yang masuk pada proses restorasi berupa citra tunggal. 3.
[
T
mempresentasikan citra resolusi rendah. Menggunakan notasi diatas, maka model citra dari resolusi tinggi ke resolusi rendah adalah (1) y = Bx + n dimana x adalah citra resolusi tinggi yang akan diperkirakan yang berukuran N H x 1 , B adalah
PN x N H matrix degradasi dan
[
]
T
n = n1T , n2T ,...., n Tp yang berukuran PN x 1 vektor noise dengan noise yang dipakai adalah berdasarkan sebaran Gaussian
(
−1
)
ni ~ N 0, β i I , I = 1,…,P dimana 0 adalah mean, , i = 1..P adalah variance noise dan I adalah matrix identitas. Matrik degradasi B dimana = DH i S (δ i )R (θ i ) untuk i = 1…P.
MAXIMUM A POSTERIORI
N x N H matrik decimasi. , i = 1..P adalah N H × N H bluring operator dan S (δ i ) , untuk i = 1..P adalah N H × N H operator geser. Dimana tiap δ i menunjukkan nilai pergeseran D adalah
Banyak pendekatan untuk mendapatkan citra resolusi tinggi, salah satunya adalah dengan pendekatan stokastik. Rekonstruksi citra stokastik Super Resolusi, khususnya pendekatan bayesian menyediakan jalan yang fleksibel dan mudah untuk memperoleh model priori untuk memecahkan masalah super resolusi. Bayesian estimasi super resolusi bisa dilakukan ketika probabilty density function [2] dari original image dapat dibentuk. Inti dari Maximum a Posteriori adalah memaksimal variabel posteriori pada persamaan Bayesian yang nantinya sama dengan meminimalkan beberapa variabel pada persamaan Bayesian yang berhubungan dengan citra pembentukan resolusi tinggi. 4.
]
y = y T1 , y 2T ,......, y nT dimana y i adalah N x 1 vektor yang
dari image referensi. Nilai dari operator geser dalam frequency domain adalah
F2 (u ) =
∫∫ f
( x )e − j 2πu x dx T
2
x
= ∫ ∫ f 2 ( x + Δx)e − j 2πu x dx T
x
= e
− j 2 πu T Δx
∫∫ f ( x' )e 1
− j 2πu T Δx '
dx
x
' = e − j 2πu
PERMODELAN CITRA
T
Δx
F1 (u )
(2)
nilai dari δ i pada persamaan diatas nilainya sama
Dalam Tugas Akhir ini permodelan citra yang digunakan adalah permodelan linear. Asumsi ukuran untuk citra resolusi tinggi adalah x 1, dimana = dN . Model
dengan Δx . Operator geser ini diasumsikan circulant. Oleh karena maka sangat membantu dalam efisiensi perhitungan matrik, karena matrik
3
(
ini dapat dengan mudah didiagonalisasi dalam domain DFT.
dimana Dari semua definisi diatas maka dapat ditulis persamaan yang mewakili semuanya.
y i = B i x + n = DH i S (δ i ) R (θ i ) x + n i
)
untuk i = 1…
.
dapat juga diambli
(
(3)
dan k = 1,2
merupakan invers variance dari
Ak = diag a1 k , a 2 k ,....., a NH k
) yang berukuran
N H × N H . Pada dasarnya variabel
itu
diambil untuk mengetahaui varians dari struktur sebuah image. Lebih jelasnya, varians yang besar mengindikasikan variasi yang besar ( pada selisih sesuai dengan arahnya. Joint Density untuk eror Gaussian nilainya diberikan
5. IMAGE PRIOR MODEL Karena menggunakan Maximum a Posteriori maka prior untuk citra resolusi tinggi harus didapatkan. Asumsi dari image Prior model adalah selisih image dalam empat arah 0 derajat dan 90 derajat yang nilainya seperti pada persamaan (4)
∏∏ (a ) 2
p(ε~; a~ )α
NH
k i
1
((
exp − 0.5 ε k
2
k =1 i =1
1
ε (i , j ) = x (i , j ) − x (i + 1, j )
−1
Untuk inverse varians ( variable
untuk i = 1,..,P
ε (i , j ) = x (i , j ) − x (i , j + 1)
( )
ε i k ~ N 0, a i k
(4)
∏∏ (a ) 2
2
NH
k i
1
)
T
Ak ε k
)=
~ exp − 0.5ε~ T A k ε~ k
2
k =1 i =1
Dimana (i,j)k=1,2 adalah citra selisih dari lokasi (i,j). Dari persamaan diatas dapat juga ditulis dalam bentuk matrik vektor untuk keseluruhan citra, yaitu sebagai
Q k x = ε k , k = 1, 2
Untuk menghubungkan nilai dengan x telah diketahaui relasi Q k x = ε k . Karena relasi persamaan tersebut dan
~ ) maka dapat didefinisikan Joint Density p (ε~; a improper prior untuk citra x. Sedangkan untuk prior nilainya adalah
(5)
Dimana adalah x matrik selisih dari citra x 1. Matrix Q merupakan matrik circulant. Matrik circulant [3] merupakan matrik Toeplizt dimana tiap baris matrik tersebut digeser satu kolom ke kanan. Dalam perhitugnan numeric matrik circulant ini memegang peranan penting karena matrik circulant diagonal di DFT (Diskrit Fourier Transform.). Contoh matrik circulant dapat dilihat pada gambar 3.2
p(ε~; a~ )α
∏∏ (a ) NH
2
k i
1
4
(
)
T ~~ exp − 0.5 (Qx) AQx =
k =1 i =1
∏∏ (a ) 2
NH
k i
1
(
)
T
exp − 0.5 Q k x A k Q k x .
4
k =1 i =1
(6) Sedangkan untuk parameter Gamma hyper prior nilainya seperti dibawah ini.
(
lk −2 2
)( )
p aik ; mk , l k α aik
{
exp − mk (l k − 2)aik
}
(7)
dari persamaan 7 untuk mean dan varians dari Gamma pdf nilainya adalah
Gambar 1.1 Matrik Circulant Untuk
[
]
T
ε k = ε 1 k ε 2 k ......ε NH k . Dengan nilai
[ ] = l (2m (l
E ai
awal berdasar Gaussian statistik
k
k
k
[ ] = (2m
− 2)) dan var ai −1
k
(8)
4
2
k
k
(l k
− 2)
)
2 −1
Rotasi antara citra y i dan y1 dapat dihitung dari
Nilai itu merupakan representasi dari derajat kebenaran dari prior oleh Gamma hyperprior. Lebih khususnya variabel
sudut
θ dari fourier transform dari citra y1 dan
Lk → ∞, E[aik ] → (2mk ) −1 dan Var[aik ] → 0.
rotasi citra y i yang dirubah ke fourier transform.
Dengan kata lain image prior menjadi sangat
Estimasi Pergeseran
aik = (2mk ) −1 ∀i lk → 2 ,
informatif dan hasil Sebaliknya ketika k
E [ ai
. Fase pergeseran citra dari citra referensi yang dinyatakan dalam domain fourier dapat dinyatakan dengan persamaan 3.9
] → ∞ dan Var[aik ] → ∞ pada kasus ini
prior menjadi uninformatif dan ahirnya nilai k i
a
F2 (u ) = ∫ ∫ f 2 ( x ) e − j 2πu x dx = ∫ ∫ f 2 ( x + Δx )e − j 2πu x dx T
tidak berubah.
x
6. REGISTRASI SUPER RESOLUSI Pada tahap permodelan citra dapat dilakukan dalam domain DFT sehingga perhitungan lebih efisien. Karena variabel H dan S adalah circulant, maka dan diagonal di DFT domain. Untuk matrik adalah matrik circulant dan diagonal.
x
(9) =
e
− j 2 πu T Δ x
∫∫ f ( x' )e
− j 2 πu T Δ x '
1
dx ' = e − j 2πu
T
Δx
F1 (u )
x
Pada tahap ini akan dilakukan registrasi ( perkiraan pergeseran dari citra) dari citra resolusi rendah. Pada point ini penting untuk diketahui bahwa pergeseran dari citra resolusi rendah harus dikalikan dengan desimasi faktor. Parameter pergeseran untuk citra resolusi rendah dinotasikan ,i = 2,…P. dengan notasi ini dapat diasumsikan bahwa citra merupakan hasil dari translasi dari citra resolusi atau dapat dinotasikan y i = S ′(δ i′ ) y1 atau y i = S ′(− δ i′) y1
Fase pergeseran Δx dapat dihitung dari lereng pada selisih ∠( F2 (u ) / F1 (u ) . Pada akhir dari tahap sebelum Super Resolusi, citra observasi diganti dengan citra yang hampir teregistrasi yang nilanya = S’[int[ +0.5]]
(10)
Dimana int[.] number integer. Hal ini dilakukan karena adanya pergeseran sekumpulan pixel pada saat rekonstruksi super resolusi [2]. 7. MAXIMUM A POSTERIORI REKONSTRUKSI Super Resolusi citra x dibentuk dari citra pengamatan z(setelah tahap registrasi super resolusi). Permodelan dari citra yang dipakai untuk memecahkan masalah Super Resolusi adalah
Dimana dan S’ adalah N x N matrik pergeseran, yang tentunya lebih kecil dari N H × N H dari matrik S. Jadi dapat dikatakan bahwa citra referensi.
T
adalah
Vektor yang menyatakan selisih dari citra register i dan citra referensi adalah Li = S ′(δ i′ ) y i − y1 untuk i = 2,..P Pada tahap sebelum Super Resolusi ini tujuannya adalah untuk memperkirakan parameter registrasi dengan meminimalkan kuantitas dari persamaan dibawah ini.
z i = DH i S (ζ i )x + w i untuk i =1,…P Dimana merupakan presisi eror yang diasumsikan WGN dengan notasi .
2 [ δˆ′ ] = arg min Li 2 untuk I = 2,…P
Perkiraan MAP itu berdasarkan pada memaksimalkan probabilitas dari posterior pada persamaan Bayes, dimana teoremanya adalah
Untuk meminimalkan persamaan diatas membutuhkan waktu yang cukup lama, oleh karena itu penulis mencoba menggunakan metode [6] untuk estimasi pergeseran dan rotasi. Estimasi Rotasi
P ( x, a~ | z; b, m, l , ζ ) α p ( z , x, a~; b, m, l , ζ )
5
=
Untuk x
p ( x | x, a~; b, ζ ) p ( x | a~; b) p ( a~; m, l ) Dimana
m = [m1m2 m3 m4 ] dan mi merupakan
1/ α STAT [9] dan
x =
-
k =1
2
+
∑ k =1
i
i
i
( )
ζ
lk − 2 log aik ∑ 2 i =1 N
k
yang
i
n +1 i
( )
∂J ζn = ζ − MAP i ∂J MAP n i
∂ 2 J MAPζ in ∂ζ i2
−1
(14)
N
mk (lk − 2 )∑ a i =1
k
i
Pada kasus menghitung parameter resgistrasi, untuk mendapatkan nilai dari adalah
T
1 1 log aik + ∑∑ Q k x Ak Q k x ∑∑ 4 k =1 i=1 2 k =1 i=1
∑
i
k
dan disebabkan oleh noncirculant dari matrik . Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan pilihan perhitungan dalam domain spasial dan DFT sebagai solusi waktu perkalian dengan matrik circulant dan noncirculant. Lebih tepatnya perkalian dengan circulant matrik dilakukan di domain DFT dan perkalian dengan diagonal dilakukan didomain spasial.
− log p ( x | a~ ) − log p (a~; m, l ) N P 1 P =log b + bi || Bi (ζ i )x − z ||22 . ∑ ∑ i 2 i =1 2 i =1
2
T
2
T
i =1
~ ; b, ζ ) = - log p ( z | x, a
-
A Q
i =1
∑ b B (ζ )B (ζ ) + ∑ (Q ) A Q P
~ ; b, m , l , ζ ) = - log p ( z , x, a
N
i
k
( 13) Persamaan (3.13) tidak dapat diselesaikan karena inversi analitis dari
J MAP ( x , a~ , ζ )
2
i
k
i =1
Memaksimalkan probabilitas posterior yang didalamnya terdapat variabel x, , dan itu sama artinya dengan meminimalkan logiartimik dari masing – masing variabel tersebut. Untuk lebih jelas dapat diliat pada persamaan (11)
N
i
k T
p
]
2
i
T i
x ∑ bi BiT (ζ i )z i
Untuk l = [l1 l 2 l 3 l 4 ] merupakan degree of confidence dari image prior. Untuk nilai b = b1...,...,b p merupakan nilai noise.
[
2
i =1
α adalah covarians parameter.
−1
∑ b B (ζ )B (ζ ) + ∑ (Q ) p
*
T
(x, , ) = 0 maka
k i
Inisialisasi dari paremeter geser
ζ init = δˆ ′.d .
Dimana Untuk meminimalkan fungsi diatas yang berhubungan dengan variabel x, , dan dapat dilakukan dengan langkah mengeset gradient x, dan mendekati nol secara iteratif. Untuk mengeset a (x, , ) = 0 maka
(a )
k * i
=
δˆ′ = [δˆ2′ ...,δˆ′p ] merupakan parameter geser yang diperoleh dari hasil pada tahap registrasi super resolusi pada tahap 3.3. dan d merupakan desimasi faktor.
,
Proses pembentukan citra resolusi tinggi dari persamaan 3.13 akan terus dilakukan selama citra belum convergen. Adapaun syarat convergen dapat dilihat pada persamaan 3.15
1 1 + (lk − 2) 4 2
( )
1 k εi 2
2
( x − x )/ ( x ) < (10 )/ (b )
+ mk (lk − 2)
t
2
(15)
ε ik
Dimana b merupakan rata dari invers noise variance .
datanya diperoleh
dari persamaan gaussian dengan mean 0 dan varians dari
−3
t
2
(12) Saat inisialisasi nilai dari
t +1
aik . 8.
6
UJI COBA DAN ANALISIS
Dalam uji coba untuk Tugags Akhir ini akan dibedakan menjadi dua, Uji coba untuk tiap fungsi dan uji coba untuk tiap tahap dalam super resolusi. 8.1 Uji Tiap Fungsi Citra pertama yang dipakai adalah citra cameraman.tif dan yang kedua adalah citra lena_std.jpg. Citra Untuk masing – masing citra tersebut adalah seperti dibawah ini.
Gambar 1.4 Rotasi Citra Hasil dari citra asli yang dirotasi sejauh 1 dengan menggunakan perintah imrotate(x,rotasi,’bicubic’,’crop’).
c)
Blur citra
Gambar 1.2 Citra original Citra asli yang akan dipakai dalam ujicoba, gambar ini sudah tersedia dalam matlab. a) Pergeseran citra
Gambar 1.5 Blur citra Hasil dari citra asli yang diberi blur dengan perintah imfilter(x,h). Dimana h merupakan kernel/filter mask yang nilainya adalah h = fspecial(‘gaussian’,5,0.5); d) Noise citra Gambar 1.3 Citra yang digeser Hasil dari citra asli yang digeser sejauh 0.9 dan 0.8 dengan menggunakan program Fouriershift2D.m b)
Rotasi citra
Gambar 1.6 Noise Citra
7
Hasil dari citra yang diberi noise dengan snr = 20. Program dapat dilihat pada gambar 4.10 8.2 Uji Tiap Tahap Super Resolusi a) Tahap Permodelan citra Pada tahap ini akan dibuat beberapa citra sample resolusi rendah yang nantinya akan dipakai dalam pembentukan citra resolusi tinggi dalam tahap super resolusi. Dalam proses permodelan citra ini, citra referensi akan dimodifikasi dengan cara menggeser, merotasi, blur dan diberi noise. Dari masing-masing citra resolusi rendah yang membedakan satu dengan yang lain adalah nilai pergeseran dan nilai rotasi, untuk blur dan noise diasumsikan sama nilainya untuk tiap citra resolusi rendah yang dihasilkan. Untuk semua citra resolusi rendah sample, nilai blur yang diberikan adalah adalah blur dengan mengguakan PSF, dengan filter gaussian dengan kernel atau filter mask 5x5. Untuk noisenya adalah sebesar 20 snr.
Gambar 1.10 LR(128x128) bagian 3
Gambar 1.11 LR(128x128) bagian 4 Untuk gambar 1.7 merupakan citra asli yang dipakai sample untuk menghasilkan citra resolusi rendah. Sedangkan untuk gambar 1.8 – 1.10 merupakan citra resolusi rendah hasil dari proses permodelan citra . Untuk nilai pergeseran dan rotasi dari masing-masing citra dapat dilihat pada tabel 1,1 kolom tetha(2) dan kolom deltax,deltay(4). b) Tahap Super Resolusi Pada tahap ini citra resolusi tinggi yang dapat dihasilkan yang berukuran 32x32. Hal ini disebabkan keterbatasan penggunaan matrik pada saat proses. Untuk tabel estimasi dari proses registrasi dapat dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1 Estimasi Parameter registrasi x y ( θ ( ∂ ,∂ )
Gambar 1.7 Original citra 256x256
LR 1 LR 2 LR 3 LR 4
0 1 2 3
0 -1 -1 -1
0,0 0.9,0.2 0.5,0.3 0.5,0.1
)
0,0 0.9,0.2 0.5,0.3 0.5,0.1
Gambar 1.8 LR(128x128) bagian 1
Gambar 1.12 citra LR 1 (16x16)
Gambar 1.13 citra LR 2 (16x16)
Gambar 1.14 Citra LR 2(16x16)
Gambar 1.15 Citra LR 4 (16x16)
Gambar 1.9 LR(128x128) bagian 2
8
Gambar 1.12-1.15 merupakan citra cameraman resolusi rendah yang beresolusi 16x16 hasil dari permodelan citra(ouput dari createlow.m) yang telah digeser dan dirotasi yang sesuai dengan tabel 1.1. Dari masing –masing citra ini akan dibentuk citra resolusi tinggi. Gambar 1.16 merupakan citra cameraman resolusi tinggi yang berukuran 32x32 hasil dari program createhigh.m dengan parameter input berupa citra yang terdapat pada gambar 1.12-1.15. Untuk estimasi pergeseran dari masing –masing citra pada gambar 1.12-1.15 dapat dilihat pada tabel 1.1. Hasil PSNR untuk citra hasil dari super-resolusi dan citra asli adalah 14.77 db.
Gambar 1.21 Lena HR (32x32) 9.
KESIMPULAN
Setelah dilakukan uji coba dan analisis hasil terhadap aplikasi yang telah dibuat maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a.
Gambar 1.16 Citra cameraman resolusi tinggi 32x32 Uji coba untuk citra lena_std.jpg dapat dilihat pada beberapa gambar dibawah ini.
Gambar 1.17 Lena 1 (16x16)
Gambar 1.18 Lena 2(16x16)
Gambar 1.19 Lena 3 (16x16)
Gambar 1.20 Lena 4 (16x16)
b.
Algoritma Maximum a Posteriori terbukti dapat melakukan rekontruksi citra Super-Resolusi. Hal ini ditunjukkan pada hasil rekonstruksi citra, dimana terjadi peningkatan resolusi citra. Implementasi Maximum a Posteriori pada rekonstruksi super resolusi hanya dapat dilakukan untuk citra yang relatif kecil
10. DAFTAR PUSTAKA [1] Li, J., Tang, X., Liu, J,. Huang, J., dan Wang, Y. Juni, 2008. A Novel Approach to Feature Extraction from Classification Model Based on Information Gene Pairs. Pattern Recognition 41 : 6. [2] Li, J., Tang, X. 2007. A New Classification Model with Simple Decision Rule for Discovering Optimal Feature Gene Pairs. Computers in Biology and Medicine 37. [3] Theodoridis, S., Koutroumbas, K. 2003. Pattern Recognition Third Edition. China: Machine Press. Pp 495. [4] Walpole, R.E., Myers, R.H., Myers, S.L., Ye, K. 2002. Probability & Statistics for Engineers & Scientist Seventh Edition. Prentice Hall. Pp 356. [5] Xiong, M., Fang, X., Zhao, J. 2001. Biomarker Identification by Feature Wrapper. Genome Res 11. [6] Syamsuddin, A. 2004. Pengenalan Algoritma Genetika. Ilmu Komputer. [7] Gen, M., Cheng, R. 1997. Genetic Algoritm and Enginering design. Japan: A wileyInterscience Publication, John Wiley & Sons, Inc.
Gambar 1.17-1.20 merupakan citra lena resolusi rendah yang beresolusi 16x16 hasil dari permodelan citra(ouput dari createlow.m) yang telah digeser dan dirotasi yang sesuai dengan tabel 1.1. Dari masing –masing citra ini akan dibentuk citra resolusi tinggi. Dan hasilnya terdapat pada gambar 1.21 yang berukuran 32x32 dan estimasi pergeseran terdapat dalam tabel 1.1. untuk nilai PSNR dari citra hasil Super resolusi dan citra asli yang dipakai dalam permodelan citra adalah 15.04 db
9
[8] Goldberg, D.E. 1989. Genetic Algoritm in Search, Optimization, and Machine Learning. USA: Addition Wesley Publishing Company, Inc. [9] Srinivas, M., Patnaik, L.M. 1994. Genetic Algorithm: A Survey. IEEE Comput. 27. [10] Alon, U. Barkai, N., Notterman, Gish, K., Ybarra, S., Mack, D., and Leviner, J. 1999. Data pertaining to the article ‘Broad patterns of gene expression revealed by clustering of tumor and normal colon tissues probed by oligonucleotide arrays’,
. [11] Alizadeh, A.A., Eisen, M.B., Davis, R.E., Ma, C., Lossos, I.S., Rosenwald, A., et al. 2000. The Web Supplement to Distinct Types of Diffuse Large B-Cell Lymphoma Identified By Gene Expression Profiling, . [12] Wikipedia. Juli, 2008. DNA Microarray,
10