Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI PASR GLOBAL
Wahid Hasyim University Prees
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI PASAR GLOBAL
Direkomendasikan untuk para pelaku ekonomi maupun pembuat kebijakan; para akademisi, dosen dan mahasiswa.
Wahid Hasyim University Press
i
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI PASAR GLOBAL Penulis : SUGIARTO PRAMONO, SIP., MA. Panata Aksara: MUHAMMAD DHANI Desain Cover: M. ARIF MAULANA Ukuran Buku: 15 cm X 23 cm Cetakan Pertama: 3 JANUARI 2013
ISBN: 978-602-8273-42-8
1.
2.
3. 4. 5. 6.
7.
ii
Penerbit: WAHID HASYIM UNIVERSITY PRESS. JL. MENOREH TENGAH X/ 22 SAMPANGAN SEMARANG TLP. 0248505680/ FAX: 0248505681 Sumber gambar pada sampul: Pengrajin lokal http://lifeskillkerajinantradisional.blogspot.com/2012/11/kerajinantradisional-moronene-sulawesi.html Mbatik cating http://lifeskillkerajinantradisional.blogspot.com/2012/11/kerajinantradisional-moronene-sulawesi.html Pengrajin batik, http://aeonwebtechnology.com/conneccion/siteadmin/pengrajin-batik Batik pekalongan: http://aeonwebtechnology.com/conneccion/siteadmin/pengrajin-batik Kaos Batik http://www.kriyalea.com/motif-bola-pada-batik-anak-muda/ Mainan burung-burungan: http://catatancita.blogspot.com/2011/10/mainan-tradisional-terkikisjaman.html Pengrajin Apikri: http://wakalanusantara.com/detilurl/Koperasi..Pengrajin.Bergabung.deng an.Jawara/432
MOTTO
HIDUP UNTUK IBADAH
iii
PERSEMBAHAN
Darno dan Daimah, kedua orang tuaku yang selalu menyebut-nyebut nama ku dalam setiap doa mereka; Rosyidah, istriku yang sangat mengenal diriku; Buah hati kami yang hingga selesai penulisan buku ini belum dikehendaki Nya lahir ke dunia.
iv
KATA PENGANTAR Memahami potensi lokal, bersaing di pasar global, merupakan kumpulan artikel ilmiah penulis yang tersebar di beberapa Jurnal Ilmiah. Semua artikel tersebut mengarah pada satu benang merah, bahwa keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam pembangunan merupakan syarat bagi pembangunan yang tidak hanya progresif namun juga merata dan berkeadilan. Tanpa bantuan dari banyak pihak mustahil rasanya serpihanserpihan tulisan yang berserakan ini dapat dikumpulkan dan pada akhirnya diterbitkan menjadi sebuah buku seperti yang ada di tangan pembaca ini. Pertama, saya ucapkan pada Ibunda dan Ayahhanda tercinta, Daimah dan Sudarno, yang tidak pernah berhenti menyebut-nyebut nama penulis dalam setiap lantunan doanya. Penulis sangat berharap, semuga penulis menjadi amal jariah untuk mereka berdua. Amien. Selanjutnya untuk istriku, wanita terindahku, Rosyidah. Trimakasih untuk keridlaan dan keikhlasanmu dalam menemaniku di hari-hariku. Untuk anakku tercinta yang hingga tulisan ini dibuat belum dikehendakiNya lahir ke dunia ini. Orang tuamu berharap engkau akan lahir sehat wal ‘afiat menjadi anak yang bahagia tumbuh dewasa dalam taqwa hingga khusnul khotimah. Tak lupa, penulis ucapkan termakasih yang sebesar-besarnya pada rektor Universitas Wahid Hasyim, (UNWAHAS), Dr. H. Noor Achmad, MA yang selalu memberikan motivasi pada penulis untuk selalu berkarya, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), UNWAHAS H. Andi Purwono, SIP., MA yang senantiasa menyemangati dan membimbing penulis. Para seniorku di FISIP UNWAHAS, para guru dan sahabat di FISIP UNWAHAS yang tidak henti-hentinya memberikan motivas: Bu Ismi, Bu Ana, Pak Agus, Mas Harun Ni’am, Pak Martin, Pak Adib dan Pak Joko; Mas Aji, Mas Adi, Gus Azmi dan Mas Zudi Setiawan. Semuga seberapapun jasa baik kalian pada penulis dibalas Allah swt dengan balasan berlipat-lipat. Amien. Demak, 2 Januari 2013 Penulis v
vi
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR~v DAFTAR ISI~ vii BAB 1 PENDAHULUAN ~1 BAB 2 PERAN MASYARAKAT LOKAL DAN PEMERINTAH KOTA DALAM UP GRADING KOTA TUA: studi perbandingan ciutat vella (Barcelona) dan batavia lama (Jakarta)~6 BAB 3 PERJUANGAN MENUJU FAIR TRADE: Pengalaman APIKRI dalam memediatori pengrajin lokal dan D’ BEST FURNITURE dalam mensiasati eco-labeling ~27 BAB 4 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERBASIS ETNISITAS: Alternatif untuk pembangunan yang timpang ~54 BAB 5 KEBUTUHAN EKONOMI LOKAL DAN KERJASAMA LUAR NEGERI PEMERINTAH LOKAL: Kasus Kerjasama Sister Province Pemda Jateng dengan Negara Bagian Queensland, Australia ~72 BAB 6 PERGESERAN POLITIK LUAR NEGERI INDIA TERHADAP MYANMAR: “Simbiosis mutualisme” pebisnis dan penguasa dalam membangun ekonomi dan demokrasi di negeri militer ~103
vii
BAB 7 MENDORONG PARTISIPASI LOKAL DALAM KERJASAMA ASEAN~135 BAB 8 EPILOG: membentangkan dan melipat perspektif pembangunan TENTANG PENULIS~150
viii
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Sugiarto Pramono
BAB 1 PENDAHULUAN Globalisasi ekonomi yang mengusung liberalisasi ekonomi
nampaknya
tidak
serta
merta
memproduksi
pertumbuhan seperti yang diyakini para pembuat kebijakan pendukungnya. Alih-alih menciptakan progresifitas ekonomi yang dinamis globalisasi ekonomi justru sering kali menjebak banyak negara dalam kemiskinan akut, sehinga malah memperlebar kesenjangan ekonomi. Globalisasi yang seharusnya mempertegas keragaman metode
pembangunan
malah
lebih
sering
menyeragamkannya. Dominasi sistem ekonomi kapitalis berbasis industri besar
seringkali abai terhadap hak-hak
buruh, keberlangsungan lingkungan hidup hingga kearifan lokal.
Dengan
pola
pembangunan
seperti
itu
maka
pembangunan memiliki makna sempit, yakni hanya melayani kepentingan elit bisnis dan penguasa, sementara kepentingan buruh dan masyarakat lokal disubordinatkan. Bahkan entitas lokal semakin terabaikan dan terus tergerus dalam derap laju pembangunan. Penulis meyakini bahwa kebangkitan ekonomi lokal justru terletak pada kemauan keras entitas lokal untuk mempertajam keunikan kelokalannya. Buku ini berisi tulisan-tulisan penulis yang berasal dari berbagai Jurnal ilmiah. Tulisan pertama bertajuk: Peran Masyarakat Lokal dan Pemerintah Kota dalam up grading Kota Tua: Studi perbandingan Ciutat Vella (Barcelona) dan Batavia Lama (Jakarta). Dalam
1
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
tulisan ini, penulis membandingkan peran aktor dalam penambahan nilai kota tua, sehingga menjadi komuditi yang dapat dijual dan bermanfaat untuk masyarakat lokal. Secara lebih sepesifik dua kota tua: Ciutat Vella (Barcelona) dan Batavia Lama (Jakarta) menjadi sorotan. Dalam analisis perbandingan tersebut penulis sampai pada kesimpulan bahwa peran masyarakat sipil dalam added value kota tua di Batavia Lama lebih kecil ketimbang peran masyarakat sipil di Ciutat Vella, sementara peran Pemerintah Kota lebih dominan di Batavia Lama ketimbang di Ciutat Vella. Sementara pada tulisan kedua mengangkat isu fair trade yang berada di bawah judul besar: Perjuangan Menuju Fair Trade: Pengalaman Apikri dalam memediatori Pengrajin Lokal dan
D’
Best
Argumentasi
Furniture yang
dalam
dibangun
mensiasati penulis
Eco-Labeling.
adalah,
logika
perdagangan konvensional yang berbasis paradigma liberal tidak hanya menciptakan ketimpangan ekonomi namun juga degradasi lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Fair
trade
muncul
sebagai
paradigma
alternatif
perdagangan global. Namun demikian fair trade harus menempuh jalan terjal berliku untuk
menjadi model
perdagangan utama pengganti free trade. Secara lebih sepesifik kasus
perjuangan
APIKRI
Yogyakarta
dan
D’
BEST
FURNITURE Bantul diangkat dalam tulisan tersebut. Penulis sampai pada kesimpulan bahwa modalitas utama bagi kedua pelaku fair trade itu adalah kreatifitas. Tulisan ketiga mengetengahkan tentang pengaruh etnisitas terhadap pembangunan. Di bawah tajuk Kebijakan 2
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Pembangunan Berbasis Etnisitas: Alternatif untuk pembangunan yang timpang, penulis menguraikan bagaimana karakter etnis yang
berbeda-beda
ternyata
mempengaruhi
tingkat
perekonomian yang berbeda-beda pula. Setelah
mengeksplorasi
kaitan
antara
etnis
dan
pembangunan pada bab selanjutnya penulis mengangkat isu kerjasama luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Mengambil kasus kerjasama sister province Pemda Jateng dengan mitranya Queensland, Australia penulis sampai pada kesimpulan bahwa sebab-sebab ekonomi menjadi salah satu pendorong penting bagi terwujudnya kerjasama tersebut. Uraian tentang kerjasama sister province tersebut berada di bawah tajuk: Kebutuhan Ekonomi Lokal dan Kerjasama Luar Negeri Pemerintah Lokal: Kasus kerjasama Sister Province Pemda Jateng dengan Negara Bagian Queensland, Australia. Hirauan selanjutnya ialah progresifitas India dalam mendekap Myanmar. Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi
yang
fantastis
prilaku
India
dalam
arena
internasional menarik untuk dikaji. Terlebih lagi sikap negara demokrasi terbesar di dunia ini terhadap negara otoriter militeristik. Pergumulan banyak aktor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan perspektif bangsa India terhadap Myanmar, yang semula menganggap Myanmar sebagai musuh, kini menganggap negeri militer yang sekarang dipimpin pemerintahan sipil itu sebagai mitra paling menggairahkan. Penulis menguraikan argumentasinya dengan jelas di bawah tajuk: Pergeseran Politik Luar Negeri India terhadap Myanmar: “Simbiosis mutualisme” Pengusaha dan
3
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Penguasa dalam pembangunan ekonomi dan demokrasi
di
Myanmar. Akhirnya pada bagian terakhir penulis mengangkat tema
tentang
partisipasi
penduduk
lokal
dalam
pembangunan kawasan. Penulis yakin bahwa kepentingan penduduk lokal yang nyaris terabaikan karena kuatnya dominasi isu-isu hight politics di level ASEAN, sejatinya memegang peran kunci bagi pertumbuhan region tersebut, sehingga
menstimulasi
partisipasi
mereka
dalam
pembangunan nampaknya menjadi pekerjaan yang harus dilakukan ASEAN bila menginginkan kawasan yang dinamis secara ekonomi, bagian ini berada di bawah judul: Mendorong Partisipasi Lokal dalam Kerjasama Asean. Penulis Demak, 27 Maret 2013
4
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BAB 2 PERAN MASYARAKAT LOKAL DAN PEMERINTAH KOTA DALAM ADDED VALUE KOTA TUA: Studi perbandingan Ciutat Vella (Barcelona) dan Batavia Lama (Jakarta)1 A. PENDAHULUAN Kota tua atau kota lama sejatinya merupakan gugusan bangunan-bangunan tua peninggalan budaya kolonial di negara-negara koloninya. Dalam pemahaman seperti ini maka kota tua terdapat di banyak negara bekas jajahan Eropa, seperti di Asia dan Afrika. Kendati tentunya di Eropa sendiri juga terdapat banyak bangunan tua yang merupakan tinggalan
pendahulu
mereka,
salah
satunya
misalnya
gugusan bangunan di Barcelona, Ciutat Vella. Sebagai tinggalan sejarah, kota tua diperlakukan sedikitnya dalam tiga cara berbeda, pertama kota tua atau tepatnya gugusan bangunan tua dibiarkan saja terbengkelai sebagai sisa masa lalu, kemudian rusak dimakan usia dan akhirnya hilang; kedua ia difungsikan kembali namun hanya sebatas bangunannya saja, misalnya sebagai perkantoran, tempat pembuangan sampah, gudang, rumah ataupun yang lainnya; dan ketiga
didesain sebagai daerah industri
pariwisata, yakni tidak hanya dimanfaatkan bangunannya secara fisik namun juga desaian kreatifnya dijadikan bagian Bab ini merupakan hasil revisi dari tulisan penulis berjudul: Peran Pemerintah Kota dan Masyarakat Sipil dalam Up Grading Kota Tua: studi perbandingan ciutat vella (Barcelona) dan batavia lama (Jakarta), yang pernah dimuat dalam website: http://iis.fisipol.ugm.ac.id. 1
5
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dari pertunjukan karya seni dan budaya. Dari ketiga cara perlakuan tersebut, cara kedua dan ketiga merupakan upaya up grading yakni penambahan nilai (added value) kota tua, namun tentu metode terakhir dianggap paling bermanfaat. Di Indonesia terdapat banyak sekali kota tua lihat saja misalnya di Palembang, Barus, Pidie, Jambi, Banten, Lasem, Tuban,
Gersik,
Surabaya,
Makasar,
Ternate,
Tidore,
Semarang, Jakarta dan masih banyak lagi lainnya. Upaya up grading kota tua di nusantara jika ditekuni tentu membawa banyak berkah tidak hanya bagi sektor pariwisata namun secara luas akan mengangkat sektor-sektor ekonomi lainnya. Sayangnya kendati gagasan ini sudah dipahami secara luas terutama oleh para pembuat kebijakan namun upaya up grading acapkali kurang (bila enggan untuk mengatakan: tidak) mendatangkan hasil bagi terutama masyarakat lokal yang bermukim di dalam dan sekitar kota lama. Tulisan ini bertujuan membandingkan dua kasus up grading kota tua di dua kawasan yang berbeda, yakni Ciutat Vella di Barcelona (Spanyol) dan Batavia Lama di Jakarta. Kendati usaha up grading telah dilakukan di dua kota tua tersebut namun sulit dipungkiri bahwa efek bombastis dari usaha penambahan nilai tersebut tidaklah sama. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi, namun penulis percaya ada faktor kunci yang paling berperan. Secara lebih sepesifik penulis hendak membandingkan peran masyarakat lokal dan pemerintah kota dalam upaya added value kota tua di Ciutat Vella dan Batavia Lama.
6
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
B. UP GRADING KOTA LAMA Usaha untuk menambah nilai kota tua telah dilakukan sejak lama, baik oleh pemerintah, pelaku ekonomi swasta maupun masyarakat sipil. Kendati tentunya aneka upaya tersebut tidak selamanya berangkat dari kesadaran untuk meng up grad kota tua. Pada umumnya upaya up grading dilakukan untuk motif ”bertahan” secara individu atau setidaknya kelompok-kelompok kecil dan sangat jarang dilakukan secara terencana dan terkoordinasi. Para pemulung misalnya memanfaatkan bangunan untuk mengumpulkan sampah, gelandangan menggunakannya untuk tempat tinggal dan seterusnya. Namun sebenarnya tidak sedikit upaya yang dilakukan secara terkoordinasi dengan rapi. Kota lama di Barcelona dan di Jakarta menjadi dua dari banyak contoh yang dapat ditunjuk sebagai upaya up grading secara terencana dan terkoordinasi. Di tingkat ASEAN, gagasan untuk meningkatkan nilai sisa bangunan kota tua menjadi kawasan pariwisata sudah pernah dilakukan. Sejauh yang penulis ketahui, bila diruntut, upaya up grading kota lama di tingkat Asia Tenggara dilontarkan oleh Thailand. Melalui forum di ASEAN, delegasi dari mereka mengusulkan agar terdapat forum yang secara khusus memikirkan tentang nasib kota tua yang berada di Asia Tenggara. Up grading terhadap tinggalan koloni tidak hanya akan memperkaya khasanah sejarah dan budaya semata namun juga akan memberikan kontribusi finansial bagi daerah.
7
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Setelah melalui banyak diskusi-diskusi kecil akhirnya untuk kali pertama pada tangal 30 Januari-7 Pebruari 2004 di Vientiane (Laos) telah diselengarakan ASEAN Tourism Forum (ATF) yang mengusung tema ASEAN: the new tourism landscape. Salah satu materi menarik yang dibahas dalam forum tersebut yaitu ASEAN heritage cities2 yang telah menelorkan rencana untuk menciptakan hubungan kota-kota bersejarah di wilayah Asia Tenggara. Sementara
itu
di
tingkat
domestik
Indonesia,
pemerintah mengeluarkan serangkaian regulasi, di antaranya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
yang
antara
lain
mengatur
pelestarian
dan
perlindungan benda-benda cagar budaya; Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang antara lain mengatur lebih lanjut pelestarian dan perlindungan benda cagar budaya yang berwujud bangunan gedung dan lingkungannya; UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang antara lain mengatur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kemudian untuk mengimplementasikan 2 Secara lebih sepesifik tujuan forum tersebut diantaranya: menggalakan kerjasama wisata sejarah antar negara anggota; mendorong untuk pengelolaan tinggalan sejarah dan budaya masa lampau yang lebih baik di masing-masing negara anggota; mempromosikan wisata sejarah ASEAN dan mendorong arus wisatawan berkunjung ke kawasan ASEAN; serta menggalakan hubungan dan pemahaman antar warga negara ASEAN dan memberikan gambaran kepada warga negara dunia di luar ASEAN tentang integrasi dan keanekaragaman budaya ASEAN. Bila aneka kesepakatan tersebut terealisasi secara apik tentu apa yang diimpikan oleh para elit perumusnya akan dapat dirasakan di tingkat masyarakat bawah Asia Tenggara, namun sejauh yang penulis ketahui belum ada langkah nyata yang nampak dan dapat di nikmati hasilnya dari apa yang dibicarakan di tingkat regional itu. (Utomo B. B: tt, 1).
8
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
RTRW dilakukan pengendalian melalui pemberian perijinan dan penerapan mekanisme insentif dan dis-insentif agar pelestarian alam dan budaya yang diinginkan dapat sesuai dengan
yang
diwujudkan
dalam
(www.penataanruang.net:“penguatan
pelestarian
RTRW alam
dan
budaya indonesia”). Sejumlah pemerintah daerah beserta berbagai stake holder lainnya juga nampak telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan nilai jual kota tua yang sebelumnya hanya
merupakan
gugusan
bangunan-bangunan
rusak
tinggalan kolonial menjadi kawasan wisata yang menonjolkan sisi sejarah, arsitektur, seni dan budaya. C. CIUTAT VELLA DAN BATAVIALAMA: PERBANDINGAN UP GRADING Kenapa kedua kota tua tersebut penting dan menarik untuk dibandingkan?. Hemat penulis pertama, keduanya merupakan kota tua yang berada di suatu tempat yang memiliki otoritas yakni Ciutat Vella di bawah pemerintah kota Barcelona dan Batavia Lama di bawah pemerintah DKI Jakarta. Keduanya layak dibandingkan karena kedua otoritas resmi mereka berpotensi melakukan up grading; kedua, melibatkan banyak aktor kendati dengan porsi keterlibatan yang berbeda-beda yang juga berpotensi untuk menambah nilai (added value); dan ketiga, dua kota tua tersebut didesain menjadi kawasan industri wisata.
9
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Salah satu bangunan tua di Ciutat Vella, sumber gambar: http://www.rotaryeuropa.es/amistad/una-vuelta-a-la-ciutat-vella/, diakses 16 April 2013
1. Rantai nilai Ciutat Vella Barcelona memiliki banyak tempat penting dan menarik bagi wisatawan, diantaranya: Ciutat Vella (kota tua Barcelona,
termasuk
Barri
Gotic
abad
pertengahan);
Eixample (kuartal modernis, terkenal karena bangunan Art Nouveau-nya); Gracia (lingkungan sejarah pemukiman kelas pekerja, sekarang agak dimodernisasikan); dan Barceloneta (terkenal dengan pantai berpasir dan banyak restoran dan kafe di sepanjang kawasan pejalan kaki), (flygresor24.nu/id: Tiket Penerbangan ke semua tujuan Barcelona). Ciutat Vella yang menjadi fokus tulisan ini merupakan kota tua yang terletak di Barcelona ibu kota Catalonia Spanyol. Kekhasan Spanyol salah satunya dikontruksi oleh keunikan kota tinggalan budaya kuno daratan Eropa. Gugusan bangunan kota tua Ciutat Vella merupakan bagian 10
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dari kehidupan masyarakat lokal di Barcelona. Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kota bersejarah tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan sejarah kota tua Ciutat. “Simbiosis mutualisme” antara masyarakat lokal dan Ciutat telah berlangsung lama, jauh sebelum rangkaian kebijakan up grading pemerintah kota Barcelona terhadap kawasan tersebut dilakukan. Kekayaan budaya masyarakat lokal yang tumbuh beriringan dengan dinamika perjalanan sejarah Ciutat menjadi keunikan tersendiri bagi kawasan tersebut dan yang menarik perhatian banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Menyadari potensi besar industri wisata Ciutat, pemkot Barcelona pada dekade 80 an telah berupaya bersinergi dengan para stake holder di Ciutat untuk meng up grade gugusan bangunan tua tersebut. Pemerintah Barcelona sangat paham betul nilai ekonomi yang terpendam di seluruh pelosok salah satu kota tercantik di dunia ini. Maka dibuatlah rencana revitalisasi 10 tahun, 1988-1998 dengan tajuk ”Area de rehabilitación integrada para Ciutat Vella: revitalización del Centro Histórico,
Barcelona”–sebuah
upaya
revitalisasi
yang
terintegrasi untuk benar-benar menghidupkan kawasan kota tua (Ciutat Vella/ Ciudad Vieja), (Mijarto, P., 2008). Menariknya kebijakan pemerintah kota disambut sangat antusias tidak hanya oleh masyarakat lokal namun juga oleh para pelaku bisnis swasta yang sebagian diperankan oleh penduduk di dalam maupun sekitar Ciutat. Sejak itulah aliran modal masuk ke Barcelona. Tak ayal kunjungan
11
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
wisatawan dari dalam dan luar negeri membanjiri kota sejarah berkarakter Eropa kuno itu. Kekayaan budaya lokal yang
sebelumnya
hanya
menjadi
hiburan
masyarakat
setempat kini menjadi konsumsi turis dari berbagai pelosok dunia, yang maknanya berkah ekonomi bagi penduduk Barcelona. Beragam pertunjukan maupun festival tradisional seperti Festa de la Merce3, Festa de Gracia4, Festa De sant5, Sant Jordi6, Fira de Santa Llucia7 hingga Revetlla de Sant Joan8 dipamerkan oleh penduduk lokal dan menjadi sajian yang sangat
menggairahkan
bagi
para
pengunjung
Ciutat.
Maraknya seni dan budaya lokal Ciutat sebagai bagian pertunjukan yang turut menambah nilai kota tua itu menjadi indikator betapa peran up grading masyarakat lokal sangat tingi (bataviase.co.id: Merevitalisasi Masyarakat Kota Tua.). Festa de la Merce merupakan festival tahunan terbesar Barcelona mencakup banyak peristiwa seperti kelompok "castellers" dapat membentuk menara manusia tertinggi, acara musik live, menampilkan kembang api dan prosesi yang melibatkan raksasa kayu. Semua ini diikuti oleh sajian hidangan berat Cava serta minuman nasional ala Catalonia. 4 Sementara The Festa de Gracia yang diselenggarakan setiap tahun pada 15 Agustus merupakan perayaan paling penting di Barcelona yang menandai salah satu fiestas Barcelona. Acara tersebut berlangsung selama sepekan dengan pesta kembang api yang sangat meriah. 5 Festa Desant mirip dengan festa de Gracia hanya saja tingkat ke meriahannya masih kalah, acara ini juga dilakukan di bulan Agustus setiap tahun, sebagai alternatif bagi turis yang tidak dapat mengikuti festa de gracia. 6 San Jordi menjadi acara unik lain dari kebudayaan komunitas kota tua, laki-laki memberi mawar pada perempuan, sebaliknya perempuan memberi buku kepada laki-laki. Acara yang mirip dengan Valenten ini berlangsung tanggal 23 April di setiap tahunnya. 7 Fira de Santa Llúcia (2-23 Desember) untuk memperingati Llúcia Sta. 13 Desember merupakan hari raya Santa Llucia, pendeta, perancang busana dan orang-orang buta bertemu di kapel Llucia Santa di katedral untuk memberikan penghormatan. 8 Revetlla de Sant Joan adalah perayaan solstice tengah musim panas. Dirayakan 23 Juni setiap tahun dengan pesta kembang api yang meriah. 3
12
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Menara manusia dalam vestifal Festa de la Merce, sumber gambar: http://blog.best-bookings.com/it/files/2012/02/BARCELLONA-FESTIVALLA-MERCE1.jpg diakses 16 April 2013
Selain masyarakat lokal yang aktif, para pelaku bisnis swasta juga tidak kalah girangnya dalam menyambut kehadiran wisatawan. Dimulai dari agen transportasi besar menuju Barcelona dengan biaya ekonomis seperti Monarch Airlines, Jet2.com, Clickair, Vueling, easyJet, Ryanair, Blue Air, Sterling Airlines hingga Flyglobespan (flygresor24.nu/id: Tiket Penerbangan ke semua tujuan Barcelona). Fasilitas
tersebut
dilengkapi
dengan
keberadaan
Bandara Udara Internasional Barcelona yang juga dikenal El Prat yakni
melayani penerbangan dari seluruh negara di
Eropa ke Barcelona. Transportasi di tingkat nasional maupun lokal pun tersedia dan sangat memudahkan turis. Bahkan yang menarik lagi di kawasan kota tua juga menyediakan tempat persewaan sepeda yang dikenal Barceloneta Bikes (flygresor24.nu/id:
Tiket
Penerbangan
ke
semua
tujuan
Barcelona).
13
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Dengan bersepeda para turis bisa lebih detail menyisir dan menelusuri keindahan kota. Fasilitas Terminal juga tidak kalah komperhensifnya. Ada tiga terminal, yakni: A, B dan C, ketiganya memiliki jarak yang relatif dekat satu sama lain dan mudah dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Terminal B digunakan oleh maskapai penerbangan Spanyol dan mitra mereka. Terminal C digunakan untuk semua penerbangan domestik, termasuk Aereo Puente ke Madrid. Sementara terminal A untuk semua penerbangan lain (flygresor24.nu/id: Tiket Penerbangan ke semua tujuan Barcelona). Aneka fasilitas lain yang berbasis padat karya sehingga memberdayakan masyarakat lokal juga tersedia dengan jumlah yang sangat banyak seperti kafe, restoran, hotel, tempat ibadah, sovenir dan lain sebagainya. Survai singkat ini menunjukan kepada kita, betapa upaya up grading kota tua Ciutat Vella melibatkan masyarakat lokal dan para pemain bisnis swasta dengan derajat yang sangat
besar,
kendati
tentu
tidak
menihilkan
peran
pemerintah kota. Namun yang menarik adalah kemampuan pemerintah kota Barcelona dalam bersinergi dengan stake holders. Kebijakan pemerintah kota tidak hanya sangat fleksibel namun juga sangat berbasis kepentingan dan potensi lokal. 2. Added Vallue Batavia Lama Semangat
untuk
meng
up
grade
Batavia
Lama
mendorong Pemerintah DKI Jakarta mengucurkan dana sebesar 20 Milyar untuk peremajaan kota tua (Indo Pos: 14
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Mencari lebih banyak investor Kawasan Kota Tua). Bahkan dalam RAPBD 2008 telah dialokasikan juga anggaran sebesar 4,1 M untuk perbaikan kota (Indo Pos: Mencari lebih banyak investor Kawasan Kota Tua). Berbeda dengan proses up grading Ciutat Vella, Batavia lama melalui berbagai stake holdernya memiliki caranya sendiri. Program Revitalisasi Kawasan Kota Tua Jakarta menyangkut elemen-elemen tata ruang kota mulai dari (1) Peruntukan dan aktivitas penunjang kawasan; (2) Tata Bangunan; (3) Ruang Terbuka; dan (4) Sirkulasi dan Parkir (ocw.gunadarma.ac.id: Pemkot DKI: Revialisasi Kota tua Jakarta). Aktivitas yang relatif anyar dilakukan Pemda Jakarta Utara
untuk
added
vallue
Batavia
lama
diantaranya
pengembangan jalur transportasi menuju dan di dalam kawasan kota tua. Ini dilakukan untuk mempermudah akses transportasi para wisatawan. Yang paling nampak dilakukan dalam
konteks
pengembangan
transportasi
adalah
pengembangan kawasan pantura Jakarta yang dikenal dengan Jakarta Waterfront City (ocw.gunadarma.ac.id: Pemkot DKI: Revialisasi Kota tua Jakarta). Masih terkait dengan jalur transportasi, Pemkot juga telah menyulap jalan arteri Museum Sejarah Jakarta menjadi pedestrian khusus pejalan kaki. Salah satu penghambat upaya up grading Batavia Lama di antaranya adalah ketidaksamaan visi diantara para pemilik gedung-gedung tua di kawasan tersebut. Sehingga dalam rangka menyamakan visi, pemerintah daerah melakukan koordinasi dengan para pemilik bangunan-bangunan tua itu.
15
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Diantaranya, Pemkot berkoordinasi dengan BUMN, karena memang lembaga negara ini memiliki sedikitnya 12 gedung di kota tua sebagai asetnya. Koordinasi tersebut dalam perjalanannya mempermudah aktivitas renovasi banguanbangunan kota tua. Karena kurang mendapat perawatan dalam waktu yang lama, tidak heran bila kota tua terutama di malam hari nampak menyeramkan, dalam rangka menambah nilai Pemerintah juga telah meresmikan pencahayaan di 2.041 titik kawasan Batavia Lama. Peresmian yang berlangsung pada tanggal 20 Pembruari 2008 tersebut di antaranya dilakukan di Museum Wayang, Museum Keramik dan halaman Stasiun Beos. Di tahun yang sama Pemerintah juga telah meresmikan Jembatan
Kota
Intan
dan
pengoperasian
Terowongan
Penyebaran Orang (TPO) Boes yang pada tahun 2008 sedang tahap pengerjaan akhir. Sejak itu Kota Tua dikelola oleh sebuah
lembaga
di
Bawah
Dinas
Kebudayaan
dan
Permuseuman bernama Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua (Indo Pos: Mencari lebih banyak investor Kawasan Kota Tua). Satu hal yang perlu di garis bawahi dalam proses added vallue Batavia Lama adalah kecilnya peran masyarakat sipil. Pedagang kaki lima yang sebelumnya menjadi bagian dari kawasan itu harus hengkang dari sana karena alasan kebersihan dan ketertiban kota. Budaya dan seni betawi yang demikian kaya absen dalam upaya up grading kota. Kendati memang harus diakui pada saat acara peresmian di tahun 2008 pesta pora dengan Barongsai juga sempat ada, namun keramaian itu hanya mengiringi peresmian dan tidak meng 16
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
integral ke dalam ruh Batavia Lama. Padahal Batavia Lama, dulu dihuni oleh masyarakat multi etnis yang memiliki kekhasannya budaya dan seni sendiri. Dalam waktu yang sangat lama etnis-etnis seperti Madura, Bugis, Makassar, Jawa-Banten, Jawa-Tegal, JawaCirebon,
Arab,
Cina,
dan
Melayu
(bataviase.co.id:
Merevitalisasi Masyarakat Kota Tua.) hidup berdampingan dan membentuk kulturnya sendiri yang sangat beragam dan kaya akan seni dan budaya. Namun demikian intervensi yang terlalu agresif dengan mengabaikan kearifan lokal dari pemerintah menjadikan mereka merasa terasing oleh gaya baru kota lama kini. Mereka adalah penonton setia setiap pergelaran kesenian dan acara-acara yang digelar Pemerintah DKI Jakarta di halaman Museum Fatahillah. Tidak banyak dari mereka yang terlibat dalam kegiatan ekonomi sebagai penjual cindera mata atau makanan kecil (bataviase.co.id: Merevitalisasi Masyarakat Kota Tua.). Satu dari sedikit indikasi keterlibatan warga sipil dalam menambah nilai kota lama adalah aktivitas yang dilakukan oleh Himpunan Masyarakat Pelestari (HMP) Kota Tua yang memberanikan diri untuk membuat aneka pertunjukan dengan modal sendiri. Daeng Mansur Amin, Deden Sinaga, dan Henri adalah tiga dari sedikit penggagas pelestari
budaya
rakyat
di
kota
tua
Jakarta
itu
(bataviase.co.id: Merevitalisasi Masyarakat Kota Tua.). Sayangnya Kerja keras Daeng dan teman-teman tidak serta merta mendapat dukungan dari pemerintah, bahkan Menurut Daeng, sudah lama HMP meminta uluran tangan
17
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
pemerintah agar masyarakat bisa berpartisipasi menjadi bagian
Kota
Tua,
tapi selalu
ditolak
(bataviase.co.id:
Merevitalisasi Masyarakat Kota Tua.), kendati—masih menurut Daeng—penolakan tersebut diyakini karena menurutnnya HMP masih harus menunjukan pada pemerintah bahwa HMP mampu melakukannya.
Suasana di kota tua Batavia Lama, sumber gambar http://jakarta.panduanwisata.com/files/2013/02/Museum-Wayang-KotaTua-Old-Town-Jakarta2.jpg, diakses 16 April 2013
Up grading Batavia Lama, entah disadari atau tidak, memiliki makna yang sangat sempit yakni renovasi bangunan scara fisik dan melupakan sisi besar lainnya yaitu kontruksi sosial yang tumbuh berkembang seiring dengan Batavia Lama. Hasilnya setelah renovasi selesai masyarakat sipil lokal merasa asing dan tercerabut dari akar budayanya. Pemerintah misalnya harus membayar ratusan juta rupiah kepada Event Organizer untuk melakukan berbagai aktrasi pertunjukan. Sementara masyarakat lokal tak berbeda dengan turis luar kendati tertarik namun tidak merasa memiliki. Satu catatan 18
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
lain adalah up grading kota, senyap dari investor swasta. Mereka sangat paham tidak akan mendapat keuntungan dengan berinvestasi di kota itu, sehingga Pemerintah harus menyiapkan anggaran tersendiri dan menjadi pemain utama bila bukan satu-satunya. Yang menyerah
menarik sampai
Daeng disitu,
dan
teman-temanya
mereka
berupaya
tak keras
mengorganisir masyarakat lokal agar dapat berkolaborasi dengan kota tua secara apik sehingga dapat meng up gradenya. Bahkan
Daeng
berupaya
melakukan
aneka
kerjasama
misalnya dengan Sekolah-sekolah untuk memberdayakan berbagai potensinya terkait dengan pengembangan kota lama. Daeng mengatakan "Kami juga akan bekerja sama dengan sekolah-sekolah, yang memiliki kegiatan ekstrakurikuler melatih murid-muridnya menari Betawi, atau lainnya," (bataviase.co.id: Perjuangan
Merevitalisasi
Daeng
memang
Masyarakat patut
Kota
diapresiasi,
Tua.). namun
perjuangannya masih sangat jauh. Up grading kota lama membutuhkan partisipasi dari banyak “Daeng-Daeng” lain agar mampu membuat Batavia Lama sehidup Ciutat Vella. D. PENUTUP Sejumlah catatan yang dapat diberikan dari upaya perbandingan ini diantaranya: pertama, up grading kota tua di Barcelona melibatkan masyarakat sipil dan para investor dengan porsi keterlibatan yang besar. Pemerintah hanya menjadi salah satu bagian kecil dari upaya added vallue itu. Sementara kasus Batavia Lama berpola terbalik, pemerintah
19
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
DKI justru sangat agresif namun sayangnya ambisi tersebut kurang dibarengi dengan upaya pelibatan secara langsung masyarakat sipil lokal, implikasinya masyarakat lokal merasa terasingkan dan tidak bisa secara otomatis mengaitkan diri ke dalam rantai nilai Batavia Lama “baru” itu. Kedua, keterlibatan masyarakat lokal dan para investor di Barcelona menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah yang mengesankan, sementara absennya masyarakat sipil lokal di Batavia Lama membuat upaya up grading yang dilakukan Pemerintah DKI tidak kunjung menuai hasil. Ketiga, kekayaan aneka seni budaya masyarakat lokal di Batavia Lama dan sekitarnya belum (jika enggan untuk mengatakan: tidak) menjadi bagian up grading kota tua. Ini sangat kontras dengan gencarnya partisipasi budaya dan seni lokal di Ciutat Vella. BIBLIOGRAPHY Utomo
B.
B.
(tt).
“Pengembangan
Wisata
Kota
Tua
Bersejarah”. Puslitbang Arkeologi Nasional. Diakses dari: diahttp://rumahstil.blogspot.com/2010/03/pengembangan-wisata-kotatua-bersejarah.htmlkses Sabtu, 16 April 2011. pukul 15:48 wib.). Mijarto, P. (2008). Revitalisasi Tanpa Roh di Kota Tua. Diakses dari: http://nasional.kompas.com/read/2008/12/16/15302889/re vitalisasi.tanpa.roh.di.kota.tua, 31 Mei 2011.
20
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
bataviase.co.id. (tt). Merevitalisasi Masyarakat Kota Tua. Diakses dari http://bataviase.co.id/node/594915, Sabtu, 4 Juni 2011. Indo Pos (18 Februari 2008). Mencari lebih banyak investor Kawasan Kota Tua. ocw.gunadarma.ac.id. (tt). Pemkot DKI: Revialisasi Kota tua Jakarta.
Diakses
dari:
http://ocw.gunadarma.ac.id/course/civil-and-planningengineering/study-program-of-architectural-engineerings1/konservasi-arsitektur/studi-kasus-revitalisasi-kotatua-jakarta, Senin 30 Mei 2011. penataanruang.net.
(22
september
2005).
“penguatan
pelestarian alam dan budaya indonesia” Sambutan Menteri Pekerjaan Umum pada Acara Pembukaan Seminar di Ruang Sapta Pesona, Jakarta, Kamis tanggal 22
september
2005,
diakses
dari:
http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/050922.pdf , Senin 30 Mei 2011. flygresor24.nu/id. (tt). Tiket Penerbangan ke semua tujuan Barcelona,
Diakses
dari
http://flygresor24.nu/id/barcelona/, Ahad 5 Juni 2011.
21
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
APENDIKS 1 Tabel Perbandingan Peran Aktor dalam up grading kota tua Ciutat Vella dan Batavia Lama Peran Aktor Masyarakat Sipil
Pemerintah
Investor
22
Ciutat Vella
Batavia Lama
Besar Kearifan lokal, bermacam pertunjukan seni dan budaya dengan porsi keterlibatan yang sangat besar. Kecil (aneka kebijakan: regulasi, Keamanan, renovasi menjaga dan merawat Infrastruktur) Besar Investasi Besar
Kecil Kearifan lokal, bermacam pertunjukan seni dan budaya dengan porsi keterlibatan yang sangat kecil Besar (aneka kebijakan: regulasi, Keamanan, renovasi, menjaga dan merawat Infrastruktur) Kecil Investasi Kecil
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BAB 3 PERJUANGAN MENUJU FAIR TRADE: Pengalaman APIKRI dalam memediatori pengrajin lokal dan D’ Best Furniture dalam mensiasati eco-labeling9 A. PENDAHULUAN Liberalisasi ekonomi tidak sedang menepati janjinya ketika berbagai data statistik menunjukan laju pertumbuhan kemiskinan di dunia (lihat misalnya data yang dipublikasikan www.thp.org: The hunger project. Know Your World: Facts About Hunger and Poverty). Berbagai argumentasi dibangun guna membungkam fakta empirik kemiskinan yang terbukti telak merupakan produk dari pasar bebas. Tidak hanya kemiskinan yang semakin menggila, wajah ekonomi liberal semakin bopeng dengan aneka temuan kerusakan lingkungan. Efek rumah kaca, banjir, kekeringan, terancamnya eksistensi satwa langka hingga gempa dan tsunami yang muncul akibat hilangnya keseimbangan alam karena eksploitasi besarbesaran
perusahaan-perusahaan
raksasa
multinasional
menjadi bukti tak terbantah betapa di dalam sistem ekonomi kapitalis terkandung nilai-nilai ketidakadilan (unfairness). Konteks ketimpangan ekonomi global tersebut juga berpengaruh terhadap aneka dimensi kehidupan umat manusia lainnya inilah yang menjadi pemicu munculnya gagasan dan gerakan fair trade (perdagangan yang adil) pada tahun 1943 oleh para aktivisnya di Amerika Serikat dan Guatemala (Panzuri, A. 2011). Bab ini merupakan hasil revisi dari artikel penulis dengan judul yang sama yang telah dimuat di dalam Jurnal SPEKTRUM, Vol. 12, No. 2, Juli 2012, hal: 28-38. 9
23
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Women traficking telah menyulut gerakan berbasis keadilan di Guatemala dan menjadi salah satu tonggak penting sejarah bagi perkembangan fair trade selanjutnya. Sementara di Belanda gerakan serupa dipicu oleh nasib buruh yang selalu diperlakukan tidak adil, sehingga memuncak pada munculnya gerakan partai buruh di sana. Di negara-negara seperti India, Srilangka, Banglades, Pilipina hingga Indonesia pada dekade 70 an telah muncul gerakan serupa. Gerakan-gerakan tersebut tidaklah lahir secara parsial di masing-masing negara melainkan saling terhubung satu sama lain dan menjelma menjadi gerakan masyarakat sipil global. Di tingkat global gerakan masyarakat sipil global yang mengusung nilai-nilai fair trade ditandai dengan munculnya World Fair Trade Organizations (WFTO) dengan jumlah anggota 320 organisasi bisnis berbasis fair trade (setidaknya hingga tahun 2011) yang tersebar di 70 negara di dunia. Di kawasan Asia ada Asia Fair Trade Forum (AFTF) yang merupakan forum dari organisasi-organisasi berbasif fair trade di tingkat regional. Sementara di tingkat domestik, di Indonesia gerakan ini diusung oleh Forum Fair Trade Indonesia (FFTI) yang hingga 2011 memiliki sedikitnya 20 anggota. Salah satu dari 20 organisasi itu adalah Asosiasi Pemasaran Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI). Tulisan ini bermaksud mengeksplorasi fenomena fair trade di Indonesia. Secara lebih khusus adalah APIKRI dan perusahaan yang sedang tertatih-tatih berjuang menegakkan nilai-nilai fairness, D’Best Furniture. Kendati, tentu, kedua nya tidak 24
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dapat merepresentasikan gerakan fair trade di Indonesia secara umum namun setidaknya mempelajari APIKRI dan D’Best Furniture dapat memberikan gambaran bagaimana gerakan fair trade beroperasi di negeri ini. Setelah melacak jejak perjuangan APIKRI dan D’ Best Furniture dan mengetahui aneka tantangannya bagian penutup tulisan ini berfokus pada pengembangan strategi bagi gerakan fair trade terutama di Indonesia B. FAIR
TRADE:
MAKNA,
LATAR
BELAKANG,
TANTANGANNYA DAN STRATEGI Organisasi fair trade yang berbasis di Inggris, Oxfam, mendefinisikan fair trade sebagai suatu gerakan internasional yang mencoba memberikan jaminan bahwa produsen di negara-negara miskin mendapat kontrak-kontrak yang adil (fair deal) yang mencakup harga yang pantas bagi produkproduk mereka, kontrak-kontrak pembelian jangka panjang, dukungan
untuk
mengembangkan
pengetahuan
dan
keterampilan, serta peningkatan produktifitas (Hadiwinata, B. S. 2004: 6). Sementara itu organisasi fair trade di seluruh dunia menyepakati difinisi fair trade: ”... sebuah kemitraan dagang berdasarkan dialog, transparansi dan saling menghormati untuk mencari keadilan yang lebih luas dalam perdagangan internasional. Membantu pengembangan berkelanjutan dengan menawarkan persyaratan perdagangan yang lebih baik, menyelamatkan hak-hak produsen dan pekerja yang terpinggirkan (tidak diuntungkan) khususnya di negara selatan”. (APIKRI. No 1/ tahun. I, hal 2).
25
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Sedikitnya terdapat 10 konsensus standar fair trade yang diterapkan oleh para pelaku ekonomi berbasis keadilan ini, yaitu: (1) membuka kesempatan kerja; (2) transparasi dan pertangungjawaban;
(3)
peningkatan
kapasitas
(pembelajaran); (4) promosi fair trade, (5) upah layak; (6) keadilan gender; (7) kondisi kerja yang aman dan sehat bagi pekerja; (8) tidak mempekerjakan anak (atau membolehkan namun menjaga hak-haknya, seperti kesehatan, keamanan, pendidikan dan bermain); (9) ramah lingkungan; dan (10) peduli terhadap relasi dagang (terutama produsen kecil, dengan misalnya untuk menjamin kelangsungan usaha, produsen patut menerima uang muka setidaknya 50%), (APIKRI. No 1/ tahun. I, hal 2). Konsep fair trade pada perkembangannya lebih mengacu pada
upaya-upaya
untuk
mengkaitkan
aturan-aturan
perdagangan dengan klausul-klausul sosial seperti Universal Declaration
of
Human
Rights,
serta
berbagai
konvensi
internasional seperti the Internasional Covenant on Civil and Political Rights, The Convention on The Elimination of all forms of Discrimination Agains Woment, the International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (Hadiwinata, B. S 2004: 5). Secara lebih spesifik setidaknya terdapat empat konteks yang mendorong munculnya gerakan fair trade (Hadiwinata, B. S. 2004: 4-5). Pertama, penyeragaman aturan perdagangan dengan menihilkan aneka hambatan perdagangan yang telah mereduksi
kemungkinan
pelaku
ekonomi
melakukan
perdagangan dalam konteks bilateral yang berbasis tawar menawar 26
secara
setara.
Penyeragaman
aturan
yang
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dipromosikan para pendukung pasar bebas (WTO, IMF dan World Bank) alih-alih menciptakan invisible hand yang akan memproduksi
kesejahteraan
global
sebagaimana
yang
dijanjikan Adam smith justru sebaliknya menghasilkan ketimpangan ekstrem. Negara-negara di belahan bumi utara nampak lebih menikmati sistem ekonomi berbasis free trade ketimbang mereka yang berada di sebelah selatan. Kedua, perdagangan bebas menciptakan kompetisi yang berimplikasi pada anarkisme ekonomi. Si kuat akan semakin kuat dan si lemah akan terus tertindas. Bingkai free trade dalam tingkat tertentu memproduksi sedikit pemain dengan konsentrasi modal yang besar di satu sisi dan banyak pelaku ekonomi lain yang tergerus karena kehabisan modal di sisi lainnya. Ketiga, pembagian kerja internasional mebuat negaranegara maju berkonsenterasi pada barang-barang padat modal dan teknologi yang memiliki added value tinggi sementara negara-negara late comers10 berkutat pada barangbarang primer dan industri berteknologi rendah yang memiliki derajat up grading kecil. Keempat, free trade tidak menjadikan fairnes (keadilan) sebagai hirauan utama sehingga aneka isu seperti Hak Asasi 10 Istilah late comers (para pendatang baru) dipilih untuk menghindari pemakaian istilah developing countries (negara sedang berkembang) atau negara dunia ketiga, yang memiliki kesan tidak bisa beralih ke dunia pertama dan artinya selalu terbelakang atau setidaknya selalu berada dibelakang dunia pertama. Ini berbeda dengan late comers yang berarti para pendatang baru, yakni negara-negara yang muncul pasca perang dunia 2, karena boleh jadi, memang benar mereka lahir belakangan namun belum tentu nasib mereka tidak lebih baik dari first comers para pendatang awal yakni negara-negara Eropa.
27
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Manusia, gender dan lingkungan tidak pernah menjadi agenda. Isu-isu tersebut pada perkembangannya mendorong para aktivis yang peduli dengan keadilan untuk melakukan perubahan pada praktik perdagangan yang unfair itu. Keempat karakteristik tersebut menjadi starting point yang mendorong gerakan fair trade di banyak negara, kendati dalam porsi yang masih sangat kecil. Transaksi fair trade di Eropa dan Amerika Serikat, misalnya, diestimasi hanya sekitar 400 juta USD atau 0,1% saja dari total transaksi perdagangan dunia (Zainal, N. 2007: 195). Prinsip yang diusung fair trade bukanlah tanpa resiko. Banyak sekali konsekuensi-konsekuensi yang dihadapi para pelaku ekonomi yang menempuh jalur ini. Beberapa di antaranya misalnya dalam hal bahan dasar produk yang mau dibuat harus didapatkan dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
Bila
seorang
pengrajin,
misalnya,
hendak
menebang kayu sebagai bahan produknya, maka ia harus menanam pohon serupa dengan jumlah tertentu atau bila dimungkinkan pengrajin menggunakan limbah atau barangbarang yang tidak terpakai lagi. Sementara pengusaha
yang
dalam
memperlakukan
menempuh
jalan
fair
kariawan
trade
sangat
memperhatikan keamanan dan hak-hak para pekerja. Mereka tidak mempekerjakan anak-anak, memberi cuti bagi wanita yang mengalami kesulitan kerja karena haid atau melahirkan. Para pengusaha fair trade juga memperhatikan keamanan konsumen yakni kandungan bahan-bahan yang hendak
28
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
digunakan untuk membuat produk harus aman bagi konsumen (Panzuri, A. 2011). Dengan mekanisme seperti itu maka biaya yang harus dipikul pengusaha fair trade sangat tinggi, yang artinya margin keuntungan mereka semakin tipis. Padahal pada waktu yang bersamaan mereka dihadapkan dengan para pesaing yang kebanyaan
mengabaikan
nilai-nilai
tersebut.
Untuk
mensiasati hal ini, secara umum para pelaku fair trade melakukan dua strategi. Pertama,
memperpendek
jalur
distribusi.
Para
pengrajin, misalnya, menjual produk-produknya langsung kepada
konsumen
tanpa
melalui
distributor.
Dengan
demikian harga barang bagi konsumen tidak akan terlalu mahal; dan kedua, para pelaku fair trade mengkampanyekan nilai-nilai fair trade kepada calon konsumen. Konsumen yang sadar akan pentingnya fair trade tidak akan ragu membeli barang yang sedikit mahal demi sustainable lingkungan. C. PERJUANGAN
MENUJU
FAIR
TRADE:
PENGALAMAN APIKRI YOGYAKARTA Cerita tentang APIKRI sejatinya dimulai sejak tahun 1987. Didampingi para aktivis Oxfam Great Britain (Oxfam GB), 25 orang pengrajin dengan ide revolusionernya berniat melakukan serangkaian perubahan yang sangat mendasar pada sistem ekonomi arus utama yang mengandung unsurunsur ketidak adilan (unfairness). Hingga akhirnya di tahun 1990 lahirlah Asosiasi Pemasaran Industri Kerajinan Rakyat Indonesia (APIKRI).
29
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Pada perkembangannya, kepanjangan APIKRI berubah menjadi: Asosiasi Pengembangan Industri Kerajinan Rakyat Indonesia.
Kata
”pemasaran”
diganti
dengan
”pengembangan” karena permasalahan usaha mikro tidak hanya pemasaran saja, namun lebih luas dan kompleks dari itu. Masih di tahun yang sama nama APIKRI berubah lagi menjadi Yayasan Pengembangan Kerajinan Rakyat Indonesia yang disebut disebut Yayasan APIKRI. Nama tersebut tidak berubah lagi hingga manuskrip ini dibuat. Bertempat di jalan Imogiri Barat KM 4,5 nomor 163 Yogyakarta, Yayasan APIKRI telah menerapkan prinsipprinsip fair trade. Berangkat dari keperihatinan sekelompok aktivisnya terhadap praktik ekonomi pasar bebas yang tidak berpihak pada sebagian besar para pelaku ekonomi kecil, sarat dengan ketimpangan gender, perlakuan yang tidak ramah terhadap tenaga kerja dan lingkungan, Yayasan APIKRI bertekat untuk menjadi mediator dan fasilitator bagi mereka yang terpinggirkan agar tetap dapat eksis.
Aktivitas pengrajin APIKRI, sumber gambar: http://wakalanusantara.com/detilurl/Koperasi..Pengrajin.Bergabung.denga n.Jawara/432, diakses 16 April 2013.
30
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Visi APIKRI adalah menjadi lembaga yang menyuarakan gerakan fair trade untuk menguatkan masyarakat pengrajin mikro
kecil
di
Indonesia.
Visi
tersebut
selanjutnya
diterjemahkan secara lebih spesifik ke dalam sedikitnya 4 point misi, yaitu: (1) meningkatkan kemampuan bisnis bagi para pengrajin kecil; (2) memfasilitasi akses pemasaran bagi para pengrajin kecil; (3) memperkuat para pengrajin kecil sebagai pelaku usaha dalam dinamika ekonomi nasional; dan (4) mendorong terwujudnya perdagangan yang adil sebagai instrument untuk mencapai demokrasi dalam kehidupan ekonomi. Visi dan misi tersebut mendorong APIKRI untuk memainkan sejumlah peran, yaitu: pembina, fasilitator, promotor, distributor, mediator dan kreator. Pembina Untuk meningkatkan kemampuan bisnis bagi para pengrajin kecil, maka APIKRI tidak bisa tidak harus membina mereka. Permasalahan yang dialami pengrajin kecil secara umum selain modal adalah lemahnya skill entrepreunership. Di sinilah letak relevansi peran APIKRI dalam pembinaan. APIKRI sering melakukan aneka pelatihan wirausaha. Tujuannya agar pengusaha kecil memiliki kemandirian dalam menjalankan usahanya. APIKRI dengan berbagai programnya tentu tidak bermaksud membuat ketergantungan para pengrajin kecil tapi bermaksud menolong mereka agar menjadi pengrajin yang independent dan memiliki paradigma fair trade yang kuat.
31
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Fasilitator Masalah lain yang diderita para pengrajin kecil adalah masalah teknis bagaimana mereka menjual barangnya kepada buyers. Pengusaha-pengusaha besar akan dengan mudah menjual aneka produk mereka karena selain jaringan yang sudah mapan, modal mereka yang besar juga dapat membuat barang-barang dijual dengan harga bersaing. Di sisi yang berlawanan mereka yang bermodal cekak terpaksa harus menjual barang dengan harga relatif mahal. Dengan pola seperti ini maka tidak heran para pengrajin kecil banyak yang gulung tikar. Dalam konteks ini maka APIKRI memfasilitasi pengrajin kecil dengan membuatkan atau mengikutkan mereka ke dalam showroom di luar negeri. APIKRI misal nya memiliki TPB (Tempat Pemasaran Bersama), namun sekarang nama tersebut telah berubah menjadi Yayasan kegiatan fasilitasi marketing untuk usaha mikro. Bila dalam pameran ada produk tetentu yang dipesan oleh buyers maka dengan segera Yayasan APIKRI akan menginformasikannya kepada pengrajin pemilik
sample
tersebut dan si pemilik sample lah yang berhak atas order atau pesanan itu. Bila ordernya banyak sehingga pengrajin tidak mampu menggarapnya sendiri, maka pengrajin bisa membagi order dengan pengrajin lainnya. Untuk biaya operasional, APIKRI mendapatkan bagian dari order pengrajin, tentu dengan jumlah yang tidak memberatkan mereka dan melalui proses persetujuan pengrajin.
32
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Promotor Tidak hanya mempromosikan karya-karya pengrajin, namun juga (dan justru ini yang terpenting) APIKRI secara konsisten mempromosikan nilai-nilai fair trade baik kepada calon buyers maupun produsen besar maupun kecil. Promosi fair trade membuka peluang terbukanya pasar bagi para pengrajin kecil berbasis fair trade. Kendati bukan pekerjaan mudah namun buyers yang sudah tercerahkan kebanyakan akan
konsisten,
sehingga
walaupun
pasarnya
sulit
berkembang namun pasar yang sudah terbuka memiliki jangka waktu yang panjang. Distributor APIKRI juga secara terus-menerus berupaya membantu mendistribusikan produk-produk pengrajin kecil. Dengan jaringan
yang
mengalami
lemah
kesulitan
para untuk
pengrajin
kecil
kerapkali
mendistribusikan
produk-
produknya. Dalam konteks inilah peran distribusi APIKRI sangat penting. Peran distributor APIKRI sangat terbantu oleh mitra-mitra Apikri di luar negeri, sebut saja misalnya: Oxfam GB, Uxfam USA, MCC Canada, MCC USA, CAA Australia, FTO Belanda, SERRV USA, Alternative Handle di Swedia, Shared Earth, GEPA Germany, Zenobla-Jepang dan Pekerti di Jakarta (Hadiwinata, B. S. 2004: 165). Mediator Ini dilakukan APIKRI untuk memediasi para pengrajin kecil
dengan
buyers
terutama
di luar
negeri.
Tanpa
33
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
keterlibatan APIKRI para pengrajin kecil tidak dapat menemukan buyers asing. Peran mediator APIKRI memiliki fungsi
yang
sangat
strategis
untuk
menggerakan
perekonomian sekala mikro di daerah-daerah di Indonesia. Kreator Jurus paling ampuh yang menjadi andalan APIKRI yaitu kreativitas dalam segala hal baik desain, metode produksi maupun pemasaran. Bahkan APIKRI memiliki tim desainer yang siap membantu para pengrajin dalam aneka permasalahan terkait desain. Pengrajin yang datang kepada APIKRI dengan desainnya sendiri, kali pertama akan diteliti desainnya untuk memastikan desain itu unik belum ada sebelumnya dan asli karya pengrajin sendiri. Setelah melewati tahap tersebut desain akan dibuatkan sempel produk, dan barulah sampel dipromosikan untuk mendapatkan pesanan (Panzuri, A. 2011). Dengan
serangkaian
peran
tersebut
APIKRI
mengorganisir diri dan berelasi dengan berbagai mitra. Trend pertumbuhan modal, produksi, jaringan dan pasar menjadi indikator paling kasat mata betapa APIKRI memainkan aneka peran tersebut secara efektif dan efesien. Salah satu hal menarik yang perlu dicatat dalam perjalanan Yayasan APIKRI yaitu, di awal berdirinya ia hanya memiliki modal sebesar Rp 180.000 yang mereka dapat dari hasil patungan angota, namun yang mengejutkan modal tersebut pada tahun 2011 sudah berkembang menjadi Rp. 2.400.000.000 (Panzuri, A. 2011). 34
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
1. Jalan terjal berliku Dalam perjalanannya menjadi organisasi pengusung gagasan fair trade, Yayasan APIKRI menghadapi banyak tantangan. Berbagai tantangan muncul baik di tingkat pengrajin, operasionalisasi hingga pasar. a. Di tingkat pengrajin Tantangan pelik, bagi Yayasan APIKRI datang dari pengrajin. Pengrajin, sebagaimana para pebisnis, tak bisa dipungkiri juga mengejar keuntungan. Kesulitan akses pasar yang dihadapi pengrajin umumnya mendorong mereka untuk merapatkan diri pada APIKRI. Bagi APIKRI itu adalah peluang untuk mensosialisasikan nilai-nilai fair trade dan APIKRI juga, harus diakui, akan mendapatkan kontribusi dari keuntungan pengrajin untuk keperluan operasional. Sayangnya, ketika pengrajin sedang mendapat banyak order mereka cenderung keluar dari jalur APIKRI, sebaliknya ketika mereka tidak mendapat order mereka akan segera kembali ke APIKRI (Panzuri, A. 2011). Menjual produk melalui APIKRI, menurut para pengrajin, hanya akan mempersulit diri, karena harus mengikuti serangkaian aturan yang kerapkali menylitkan. Pewarna yang dipakai untuk aneka produk misalnya harus aman untuk konsumen. Bahan yang dipakai untuk karyanya harus ramah lingkungan dengan serangkaian aturan yang cukup njlimet. Belum lagi perlakuan terhadap para pekerja juga menjadi tolak ukur apakah layak atau tidak untuk mendapat predikat fair trade. Termasuk
larangan
untuk
mempekerjakan
anak-anak.
35
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Aturan-aturan tersebut seringkali menjadikan para pengrajin memilih untuk menjual barangnya sendiri dari pada melalui jaur APIKRI. Pola tingkah laku para pengrajin kecil yang semacam ini kerap kali menyulitkan APIKRI. Order yang tiba-tiba datang, terkadang malah ditolak pengrajin karena alasan mereka
sedang
menguntungkan
punya (Panzuri,
order A.
sendiri
2011).
yang
Kendati
lebih APIKRI
kemudian mengalihkan pesanan tersebut ke pengrajin lain, namun pekerjaan itu bukanlah tanpa kesulitan, karena APIKRI harus memastikan, pengrajin yang dipilih memiliki kemampuan untuk membuat produk yang dipesan, bila tidak bisa berakibat fatal, karena mengecewakan konsumen. b. Level operasional Misi besar APIKRI bersama organisasi lain sejenis adalah membangun rezim fair trade, salah satu hambatan paling yang cukup berat ketika mengamati peran APIKRI dalam menyediakan jalur perdagangan alternatif yaitu kuantitas yang terbatas yang berimplikasi pada keterbatasan kemampuan untuk memfasilitasi para pengrajin kecil di seluruh nusantara. Sebuah rezim perdagangan yang menjadi mainstreme mensyaratkan tidak hanya konsep yang bersifat problem solving namun juga agent yang banyak dan kuat secara finansial dan jaringan. Dalam konteks ini maka APIKRI masih menjadi agent yang belum dikenal banyak masyarakat secara umum di Indonesia. Artinya dari segi jumlah APIKRI dan organisasi berbasis fair trade lainnya belum bisa menjadi jalur 36
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
alternatif bagi sebagian besar pengrajin kecil di seluruh Indonesia. Singkatnya, keterbatasan kemampuan APIKRI dalam memfasilitasi para pengrajin di Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya mempersulit APIKRI untuk secara operasional menjalankan visinya. c. Di tingkat pasar Sebagai lembaga yang bergerak dalam fair trade aneka produk yang difasilitasinya tentu memiliki harga yang relatif lebih mahal. Hal ini wajar karena mekanisme yang harus dilalui produk fair trade, sehingga tidak heran bila produkproduk fair trade mengalami kesulitan dalam mendapatkan konsumen. Bahkan APIKRI nyaris tidak memiliki pasar dalam negeri, karena tergerus oleh persaingannya dengan misalnya produk-produk Cina. Tidak berhenti samapai di sini, tantangan terhadap APIKRI juga muncul dari moral hazard para pebisnis konvensional. Dalam hal ini, produk APIKRI yang berupa peti mayat yang terbuat dari anyaman pelapah pisang yang telah dikeringkan misalnya pernah dibajak oleh pelaku bisnis dalam negeri sendiri. Untungnya buyers yang berada di luar negeri telah melaporkan kepada APIKRI, sehingga APIKRI menegurnya dan mereka mau meminta maaf kepada APIKRI serta berjanji tidak akan mengulanginya lagi (Panzuri, A. 2011).
37
Sugiarto Pramono
D. MENSIASATI
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
REZIM
ECO-LABELING:
PENGALAMAN D’ BEST FURNITURE Bila APIKRI menjadi contoh uasaha fair trade yang sukses, maka D’Best Furniture merupakan permisalan pelaku ekonomi yang masih dalam tahap ”belajar” fair trade. Terkadang—kendati tidak sepenuhnya—prinsip fair trade telah dilakukan oleh suatu perusahaan. D’Best Furniture barangkali salah satu perusahaan yang dapat ditunjuk dalam hal ini atau setidaknya ia berupaya keras untuk berprilaku ramah terhadap lingkungan dengan menggunakan kayukayu daur ulang (recycled wood furniture) untuk membuat aneka produk-produk kreatifnya. Berikut akan diketengahkan sedikitnya 2 hal yang penulis anggap relevan untuk membahas kisah perjuangan D’Best Furniture. Pertama, perjalanan direktur
D’Best
Furniture, Wiratno, sebagai pengusaha furniture; dan kedua, cara kreatif Wiratno menghadapi rezim ecolabeling. 1. Perjalanan Wiratno sebagai pengusaha furniture Perjalanan panjang Ir. Wiratno, MBA (Direktur D’Best Furniture) dimulai dari Jepara, ketika pada tahun 1993 beliau menekuni karirnya dalam dunia furniture pada salah satu perusahaan di kota ukir itu. Dekade 90 an masih merasakan sisa-sisa masa emas booming kayu ukir Indonesia yang laku keras di pasar internasional pada tahun-tahun 70 dan 80 an. Jepara kala itu menikmati comparative advantage nya sebagai produsen kayu ukir. Tak ayal, perusahaan tempat Wiratno bekerja pun mendapat berkah dari situasi tersebut. 38
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Bagai mendapat durian jatuh Wiratno dijanjikan oleh atasannya, pemilik perusahaan akan mendapat ¾ dari total hasil penjualan produk atau sama dengan Rp 250 juta dalam waktu hanya satu tahun, angka yang begitu fantastis apalagi di tahun-tahun itu. Singkat cerita, Wiratno seperti disuntik energi semangat luar biasa dalam bekerja di perusahaan sang bos. Sayang seribu sayang janji tinggalah janji, bos yang ia eluelukan tidak kunjung memberikan honor yang ditunggutunggu, kendati target kerja Wiratno sudah tercapai. Sebagaimana cerita para pengusaha sukses lainnya, Wiratno memutuskan untuk keluar dari perusahaan dan memilih membuat perusahaan serupa. Bersama dengan kakanda, Wiratno membangun bisnis furniture. Peristiwa itu terjadi pada tahun 2003 dan kali ini bertempat di Bantul, Yogyakarta. Hanya berlangsung dua tahun sang kakak membuat perusahaan sendiri di tempat yang berbeda dan kini jadilah Wiratno seorang manajer tunggal yang menahkodai perusahaan. Perusahaan itu diberinya nama D’Best Furniture. Karena jenis usahanya yang tergolong unik, yakni dengan membuat aneka produk kreatif furniture dengan berbahan dasar limbah kayu maka Wiratno oleh media disebut-sebut sebagai pengusaha pengubah sampah menjadi dollar. D’Best Furniture beralamat di Jalan Imogiri Barat Kilo Meter 9 Nomor 100 X. Tempat produksi barang-barang perabot rumah tangga ini didirikan di atas lahan dengan ukuran 30 kali 70 an meter persegi. Memiliki karyawan sebanyak 35 orang, namun bila ditambah dengan karyawan di 4 tempat kerajinan lain yang masih di bawah manajemen
39
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
D’Best Furniture bisa mencapai 60 an orang karyawan (Wiratno, 2011). Dengan berbagai sumber daya serta kreativitas
yang
mengeksport
dimilikinya
D’Best
barang-barangnya
Furniture
hingga
ke
mampu
Eropa
dan
Amerika. 2. Menghadapi rezim eco-labeling Pasca perang dingin aneka isu baru bermunculan, apa yang dulu disebut sebagai low politics kini tidak kalah santernya dengan isu perang dan keamanan. Isu-isu seperti Hak Asasi Manusia, energi, ekonomi hingga lingkungan menjadi hirauan masyarakat internasional bersama isu keamanan. Starting point dimulai dari bergulirnya isu lingkungan. Para aktivis lingkungan menyium bau tidak sedap dalam bisnis ukir Jepara. Para pelaku bisnis furniture di Jepara disebut-sebut sebagai melakukan praktik illegal loging. Peristiwa tersebut menjadi momentum penting bagi persebaran sentra-sentra furniture
ke
luar
Jepara.
Para
pengusaha
furniture
memindahkan aktivitas produksinya ke terutama Solo, Sragen, Klaten dan Yogyakarta. Yogyakarta menjadi salah satu sentra baru yang cukup menjanjikan. Wiratno pun mendapat angin segar dari perubahan peta bisnis furniture ini. Salah satu tantangan sulit bagi D’Best Furniture yang masih seumur jagung kala itu adalah kampanye anti illegal loging yang menuntut para pengusaha furniture untuk menggunakan kayu legal dalam membuat aneka produk mereka. Label Forest Stewardship 40
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Council (FSC) dan Smart Wood menjadi sangat elegan untuk produk furniture bagi konsumen terutama di Eropa dan Amerika. Padahal untuk mengurus eco-labeling sedikitnya membutuhkan biaya 75 juta dan 25 juta untuk setiap perpanjangannya (Wiratno, 2011). Bagi perusahaan yang masih muda seperti D’Best Furniture, eco-labeling menjadi tantangan tersendiri yang sangat menyulitkan. Namun rupanya Wiratno tak kehabisan akal, untuk tetap eksis dalam bersaing melawan perusahaanperusahaan yang sudah ber label ramah lingkungan seperti Karisma dan Capung Emas, D’Best Furniture menggunakan kayu bekas atau kayu daur ulang (recycled wood furniture). Kayu bekas tidak hanya murah harganya, namun juga tidak dapat dikategorikan sebagai illegal loging. Cara nyentrik ala Wiratno ini membuat D’Best Furniture tidak dapat dianggap enteng oleh para pesaingnya. Dengan
kreativitas, D’Best Furniture telah mampu
bertahan dalam derasnya persaingan di pasar furniture. Satu hal menarik yang patut dicatat yaitu penggunaan kayu-kayu bekas yang didapat dengan membelinya dari para pemilik rumah-rumah yang sudah rusak. Bahkan yang tidak kalah menarik penambahan nilainya sangat tinggi satu truk kayu daur ulang yang dibeli hanya dengan harga Rp 500 ribu an, setelah diubah menjadi produk jadi per unitnya bisa mencapai Rp 2 juta.
41
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
E. PENUTUP, MERANCANG STRATEGI Baik APIKRI maupun D’Best Furniture merupakan dua pelaku fair trade yang menggunakan kreativitas sebagai basis usahanya. Sumber daya kreativitas masih tergolong langka bagi para pelaku ekonomi di tanah air, padahal bisnis kreativitas menjadi sumber yang tak pernah habis bagi up grading aneka produk usaha. Baik APIKRI maupun D’Best Furniture memiliki masalah yang secara umum boleh dikatakan sama, yakni pemasaran produk. Produk kedua pelaku fair trade ini nyaris tidak punya pasar di dalam negeri. Hal ini hemat penulis disebabkan karena konsumen di nusantara belum (bila enggan untuk mengatakan: tidak) memiliki paradigma fair trade yang kuat. Aneka tantangan yang dihadapi para pegiat fair trade secara umum, khususnya APIKRI dan D’Best Furniture di Indonesia, hemat penulis, terletak pada belum membuminya gagasan perdagangan adil dalam masyarakat kita. Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh para pelaku fair trade termasuk APIKRI. Dalam laporan riset berjudul Perdagangan Adil Produk Pertanian Organik di Mitra Bumi Indonesia Malang sebagaimana dikutip oleh Hadiwinata disebutkan bahwa sejumlah upaya yang dilakukan para pegiat fair trade untuk menanamkan nilai-nilai fairnes dalam masyarakat yaitu: penyebaran brosur, presentasi, pembuatan label, pencetakan buletin dan pameran produk (Hadiwinata: 2004,147-49). Hemat penulis, berbagai metode tersebut masih harus dikuatkan oleh upaya-upaya lain. Penulis menawarkan 4 metode tambahan. Pertama, sosialisasi fair trade dari level 42
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
keluarga. Upaya ini bisa dimulai dari misalnya keluarga karyawan di sebuah perusahaan berbasis fair trade. Para karyawan hendaknya selalu diberi motivasi dan diminta kesediaannya untuk menanamkan nilai-nilai fair trade dalam keluarga
mereka.
Sebagai
basis
masyarakat,
keluarga
merupakan tempat terpenting untuk membentuk pandangan fair trade yang mapan dalam masyarakat. Kedua, memasukan nilai-nilai fair trade ke dalam kurikulum sekolah. Merubah paradigma suatu bangsa juga bisa dimulai dari pendidikan. Bila sejak dini anak-anak kita diperkenalkan dengan kreativitas, nilai-nilai keadilan serta ramah terhadap sesama dan lingkungan tentu mereka kelak akan menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Pendidikan fair trade di sekolah idealnya tidak dibatasi pada transfer pengetahuan (transfer of knowladge) semata, di mana siswa hanya berkewajiban menghafal materi fair trade sebagai bekal ujuan semata, namun juga harus dengan keteladanan sang guru melalui aneka kegiatan yang bersifat aksi. Dan ketiga, gerakan fair trade juga harus menyentuh birokrasi pemerintah. Upaya ini tentu bukan perkara mudah, namun kesadaran pemerintah terhadap fair trade menjadi jalan kunci kesuksesan gerakan fair trade. Presentasi dan brosur sebagai metode promosi harus ditingkatkan dengan aneka program yang sifatnya melibatkan semua jajaran birokrasi di pemerintahan. Kebijakan yang berbasis keadilan harus dimulai dari kesadaran tiap individu di birokrasi akan pentingnya nilai-nilai tersebut.
43
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Ketiga strategi ini hemat penulis dapat menguatkan gerakan fair trade di Indonesia. Bila keluarga, sekolah dan pemerintah telah memiliki kesadaran terhadap fair trade maka akan tercipta masyarakat yang memiliki paradigma fair trade yang kokoh. Stagnasi gerakan fair trade terutama di Indonesia hemat penulis terletak pada lemahnya sosialisasi konsep fair trade. Penulis yakin fair trade berpotensi menjadi arus utama11 kendati
harus
melalui
jalan
panjang
berliku
dalam
perekonomian Indonesia.
11 Untuk menjadi paradigma utama sedikitnya terdapat 4 syarat yang harus dipenuhi: (Permadi, D., 2010: 87-105), yaitu (1) adanya momentum, dalam konteks ini maka kegagalan pasar bebas yang ditunjukan dengan berbagai krisis yang terjadi menjadi momentum yang tepat; (2) ada agent intlektual yang mempromosikan, para akademisi di perguruan tinggi bisa memerankan peran ini; (3) adanya dukungan politik yang menopang, poin ini mungkin yang belum dimiliki fair trade di Indonesia dan (4) penerimaan oleh publik. Pada tahap ini masyarakat yang menjadi korban free trade berpotensi menerima konsep fair trade. Dari keempat hal tersebut yang belum dimiliki fair trade adalah basis kekuasaan. Promosi yang gencar di tingkat pemerintah dan dunia pendidikan hemat penulis menjadi strategi jitu untuk memenuhi syarat kekuasaan (power).
44
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BIBLIOGRAPHY APIKRI, “Perniagaan Berkeadikan, sebuah gerakan global” The Voice of Fair Trade. No: 1/ tahun. I Bill and Melinda Gates Foundations. Savings Statistics. Diakses dari: http://www.gatesfoundation.org/financialservicesforthep oor/Pages/savingsstatistics.aspx, Rabu 13 Juli 2011. Hadiwinata, B. S., Fair Trade: Gerakan Perdagangan Alternatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Oxfam dan Universitas Katlik Pahrayangan, 2004. Permadi,
D.,
“Pergeseran
Neo
Liberalism
eke
Neo
Keynesianisme: mungkinkah?” Multiversa, Vol: 01, No: 01, Mei 2010, 87-105. Zainal, N., ”FAIR TRADE INDONESIA (Sustainability Equality And Humanity in Trade) Optimism Within Powerless?”. Jurnal Sosial Politik. Vol: 14, No: 2, Desember 2007.
45
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
WAWANCARA DENGAN: Ir. Wiratno, MBA (Direktur D’Best Furniture), Selasa 14 Juni 2011, pukul: 12.00—14.00, di D’Best Furniture, Jl. Imogiri Barat Km.9, No.100X. Amir Panzuri (Direktur APIKRI), Selasa, 14 Juni 2011, pukul 09.00-11.00 wib di kantor APIKRI, Jl. Imogiri Barat Km.4,5 No.163A.
46
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BAB 4 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN BERBASIS ETNISITAS: Alternatif untuk pembangunan yang timpang12 A. PENDAHULUAN Pembangunan kerapkali dikait-kaitkan dengan faktorfaktor ekonomi, sehingga memasukan faktor non ekonomi seperti etnisitas menjadi janggal bila bukan tabu. Realitas menyuguhkan kepada kita, negara dengan etnis homogen memiliki prestasi pembangunan lebih baik ketimbang negara dengan etnis hiterogen. Negara-negara Eropa misalnya yang didominasi oleh ras kulit putih menjadi pusat peradaban dunia untuk waktu yang relatif lama. Sementara di Asia negara-negara dengan etnis tunggal seperti Korea Selatan, Hongkong, Taiwan dan Jepang atau setidaknya terdapat etnis mayoritas tertentu seperti Singapur menjadi yang terdepan dalam pembangunan. Di sisi yang berlawanan, sulit disangkal eksistensi hiterogenitas etnis di Afrika dan sebagian besar di Asia telah dan sedang dibarengi dengan prestasi pembangunan yang buruk. Padahal 40% negara di dunia memiliki lebih dari 5 etnis dalam struktur masyarakatnya (Todaro: 1997, 159 dalam Yustika, A. E.: 2009, 324). Tulisan ini merupakan revisi dari tulisan penulis yang berjudul: Kebijakan Pembangunan berbasis Etnisitas yang pernah dikirim untuk call for papper Dies Natalis ke-30 Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada (SPS UGM) dengan tema “Reformulasi identitas kebangsaan, tinjauan multidisipliner” yang diselenggarakan oleh SPS UGM. 12
47
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Melalui artikel ini penulis berupaya mencari hubungan antara etnisitas dengan pembangunan. Kendati bukan yang pertama, namun usaha mencari hubungan dua konsep itu tergolong jarang dilakukan. Ndanga Noyoo (2000), Todaro (1997) Andy Storey (1999) dan Ahmad Erani Yustika (2009) barangkali merupakan beberapa dari sedikit orang yang telah mengkaitkan dua konsep tersebut, kendati tidak secara spesifik. Selanjutnya tulisan ini dituntun oleh dua pertanyaan: bagaimana
konfigurasi
pembangunan? Dan
hubungan
etnisitas
dengan
formulasi kebijakan pembangunan
seperti apa yang seharusnya diterapkan terkait dengan etnisitas?. Para ekonom terutama yang berhaluan klasik/ neo klasik berkeyakinan bahwa prilaku individu dalam mengejar kepentingan ekonomi berbasis rasionalitas. Argumen ini sebangun dengan pikiran Robert Bates ketika menjelaskan prilaku ekonomi (Bates, R., 1981 dalam Mas’od, M, 2008). Padahal sulit dipungkiri rasionalitas hanya menyumbangkan porsi kecil dari prilaku manusia. Sementara di sisi lain keyakinan, kesetiaan terhadap kelompok, struktur sosial budaya
hingga
etnisitas
memiliki
andil
dalam
turut
membentuk pola relasi antar individu di dalam dan antar kelompok. Etnisitas merupakan salah satu faktor yang sedikit mendapat perhatian, jika bukan terabaikan, dalam kaitanya dengan kebijakan pembangunan. Padahal bisa dibayangkan kebijakan pembangunan yang mengabaikan keragaman presepsi dan kepentingan yang berbasis etnisitas kerapkali 48
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
justru kontra produktif dengan pembangunan itu sendiri. Riset “mini” ini berangkat dari asumsi bahwa etnisitas sebagai entitas harus menjadi bagian tersendiri yang patut diperhitungkan dalam formulasi kebijakan pembangunan. Abai terhadap keragaman etnisitas dalam reformulasi kebijakan pembangunan berarti menekan tombol ”bom waktu”. B. ETNIS DAN ETNISITAS Istilah ’etnis’ merujuk pada geografis, batas-batas wilayah serta dalam otoritas kekuasaan sistem politik tertentu (Rudolf: 1986, 2 dalam Abdilllah, S: 2002, 75 dalam Yustika, A: H., 319), namun konsep ini juga bermakna kesamaan ciri fisik seperti rambut, warna kulit maupun postur tubuh. Dalam makna terakhir etnis sinonom dengan ras. Karena berdimensi fisik maka etnis bersifat given. Sementara etnisitas berdimensi abstrak, ia merupakan kontruksi sosial yang sering dikait-kaitkan dengan ciri fisik. Karena kontruksi sosial maka etnisitas sarat dengan rekayasa, kepentingan dan sangat politis. Baik realitas etnis maupun etnisitas menjadi instrumen kepentingan bagi para pelaku (baik individu maupun kolektif) untuk mentransformasikan kepentingan. Politisasi
terhadap
etnis
yang
kemudian
mengkontruksi etnisitas memproduksi kelompok-kelompok sosial yang sangat majemuk dilihat dari segi kepentingan, ekonomi, maupun ideologi sehingga munculah konsep in group (kita) dan out group (dia atau mereka). Bila in group
49
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
menunjuk pada relasi di antara individu di dalam kelompok dengan aneka kesamaannya maka
out group menjadi
barometer perbedaan di antara kelompok. Ralasi di antara kelompk-kelompok ditentukan oleh power. Biasanya power dipahami sebagai kuantitas, ekonomi atau akses terhadap kekuasaan, kendati tidak selalu demikian tentunya. Prilaku
indvidu
di
dalam
kelompok
berbasis
serangkaian nilai yang diyakini oleh kelompok tersebut, kendati kerap bersifat eksploitatif namun karena terdapat mekanisme reward and panishment (walaupun bersifat abstrak karena berdimensi keyakinan) maka ekuilibrium relasi di antara individu dalam kelompok relatif terjaga, atau setidaknya, eksis untuk jangka waktu yang cukup lama. Sementara hubungan antar kelompok dituntun oleh struktur kepentingan, biasanya perebutan akses kekuasaan atau ekonomi. Keniscayaan bahwa etnis dan etnisitas bersifat sangat majemuk, maka pola relasi horisontal di antara mereka ataupun vertikal dengan pemerintah sangatlah rumit terebih lagi basis kepentingan ekonomi politik seringkali menjadi warna dominan struktur relasi-relasi tersebut.
50
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Etnis bangga dengan budaya mereka, sumber gambar: http://melayuonline.com/ind/news/read/11685/pussis-unimed-bedahbuku-kolonialisme-dan-etnisitas-batak-dan-melayu
C. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAN ETNISITAS Kebijakan
pemerintah,
termasuk
pembangunan,
sejatinya merupakan refleksi dari beragam kepentingan aktorkator
seperti
individu,
perusahaan,
buruh,
kelompok
kepentingan dan pemerintah sendiri (Oatley, T., 2005, 12). Seberapa besar power yang dimiliki aktor akan menentukan perolehan porsi untuk ikut turut mengontrol arah kebijakan. Karena itulah, konsep pembangunan, sebagaimana konsep yang lain, memiliki presepsi majemuk dan tidak netral (Fakih, M. 2009, 10). Kebijakan pembangunan bukan tidak berpihak, ia sarat dengan muatan nilai dan kepentingan, sehingga acap kali kebijakan pembangunan justru hanya merepresentasikan kepentingan golongan tertentu yang memiliki akses kuat terhadap proses pembuatan kebijakan (untuk menjelaskan secara panjang lebar konsep pembangunan bukan di sini tempatnya). Struktur yang menentukan proses reproduksi kebijakan semacam inilah yang pada tataran implementasi memiliki implikasi yang sangat kompleks terutama dalam konteks kaintannya dengan keragaman etnis dan etnisitas. 51
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Kemajemukan etnis dan etnisitas yang tidak terditeksi oleh
pembuat
kebijakan
berimplikasi
fatal
terhadap
hubungan-hubungan mereka baik secara vertikal maupun horizontal. Fragmentasi kepentingan antara etnis akan menjadi potensi konflik yang sangat mudah terpantik oleh kebijakan ”kaca mata kuda” yang malas melihat (apa lagi mempertimbangkan) detail kepentingan aneka stake holder. Kebijakan gegabah akan dengan mudah dimaknai oleh kelompok
etnis
tertentu
sebagai
pemihakan
terhadap
kelompok etnis lain yang bermusuhan dengannya, demikian sebaliknya. Terlebih lagi bila kebijakan tersebut sejak awal memang dibuat untuk menguntungkan etnis tertentu dan merugikan yang lain, tentu ini akan membawa implikasi yang lebih mengerikan. Contoh apik untuk kasus ini adalah relasi antara Hutu dan Tutsi di Rwanda. Problematika relasi antara etnis mayoritas Hutu (85%) dengan minoritas tutsi (15%) sejatinya terkontruksi sejak zaman kolonial. Kala itu pemerintahan kolonial Jerman dan Belgia menempatkan minoritas Tutsi sebagai bagian dari pemerintahan kolonial di Rwanda. Orangorang Tutsi menduduki jabatan administrasi, sementara Hutu menjadi mayoritas yang terabaikan bila bukan menjadi objek kebijakan. Paska kolonial, pola yang ditanamkan Jerman dan Belgia menjadi basis konflik berkepanjangan sesudahnya. Hutu yang dulu hanya diperintah kini memilih menduduki kursi-kursi penting di pemerintahan atau setidaknya pejabat publik dan birokrasi. Sementara Tutsi memilih aktif di sektor swasta. Kendati demikian minoritas Tutsi memiliki porsi 52
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
besar dalam perekonomian di Rwanda ketimbang etnis saingannya. 70% modal di Rwanda dikuasai Tutsi, sedangkan sisahnya berada di tangan Hutu. Dengan struktur kekuasaan seperti itu pemerintah di Rwanda memproduksi aneka kebijakan yang menguntungkan posisi Hutu dan bersamaan dengan itu mensubordinatkan Tutsi. Implikasi dari kebijakan yang tidak sensitif terhadap etnisitas tersebut dapat dengan mudah diterka, konflik berkepanjangan di Rwanda yang tentunya kontra produktif dengan pembangunan itu sendiri. Permisalan lain adalah sikap rezim Orde Baru terhadap minoritas Cina di Indonesia. Latar belakang kepentingan ekonomi politik
menjadi basis
kebijakan
diskriminatif
terhadap minoritas di negeri ini. Etnis Cina oleh Orde Baru dikontruksikan identik dengan komunisme yang mengancam NKRI dan ideologi bangsa, Pancasila.
Pola
kebijakan
pembangunan yang kontra produktif karena mengabaikan keragaman etnis terjadi di banyak negara lainnya seperti Malaysia, Myanmar, Filipina, India serta berbagai negara lainnya di sebagian besar Asia dan Afrika. Pola ini terulang berkali-kali padahal dengan sedikit ketelatenan pemerintah, konflik berbasis etnis tidak perlu mengganggu pembangunan. Bahkan sebaliknya kelihaian para pembuat kebijakan dalam mensinergikan sifat positif di antara etnis berpotensi menggerakan lebih cepat pembangunan.
53
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Pembangunan selalu membawa korban, sumber gambar: http://satunegeri.com/pembangunan-dan-trilogi-ketimpangan.html, diakses 16 April 2013.
D. PEMBANGUNAN BERBASIS ETNISITAS Proyek pembangunan terutama di banyak negara dunia ketiga acapkali “menggilas” detail kecil keberagaman etnisitas di negara-negara tersebut. Pembuatan jalan tol misalnya,
belum
tentu
sejalan
dengan
kepentingan
komunitas-komunitas lokal yang lahannya digunakan untuk proyek tersebut. Kendati pada perkembangannya mereka juga menggunakan, itu soal lain yang sejatinya terjadi karena keterpaksaan. Cerita jalan tol adalah kasus kecil dari sekian banyak kasus pembangunan yang sangat tidak mempertimbangkan kepentingan etnis maupun etnisitas. Kebijakan perburuhan, pertanahan, organisasi masyarakat, pendidikan, transmigrasi, kesehatan, hingga pembuatan gedung-gedung pencakar langit yang dilakukan atas dalih pembangunan sering menyembunyikan banyak cerita penindasan, eksploitasi, pelecehan dan penghancuran etnis-etnis lokal. Belum lagi persoalan tentang ”pembagian kue” pembangunan yang 54
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
sering kali menempatkan masyarakat lokal pada posisi dirugikan padahal aneka potensi yang diberdayakan adalah milik mereka secara turun temurun. Sementara
dalam
dimensi
horizontal
kebijakan
pembangunan yang mengabaikan keragaman etnisitas sangat berpotensi
memicu
konflik
antar
kelompok
etnis.
Penyeragaman kebijakan, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sering dimaknai sebagai pemihakan terhadap kelompok lain. Berangakat dari aneka pengalaman kegagalan kebijakan pembangunan yang mengabaikan etnisitas maka artikel ini merekomendasikan terhadap para ilmuan maupun pembuat kebijakan agar lebih sensitif terhadap aneka persoalan etnisitas dan menjadikannya sebagai basis untuk menentukan arah dan proses pembangunan. E. FORMAT PEMBANGUNAN BERBASIS ETNISITAS Setelah
diuraikan,
betapa
pengabaian
terhadap
etnisitas dalam kebijakan pembangunan berimplikasi tidak hanya pada gagalnya pembangunan namun juga berpotensi memicu konflik berkepanjangan baik vertikal maupun horizontal
maka
pembangunan
sudah
selayaknya
diformulasikan
secara
kini
paradigma
cerdas
sembari
melibatkan berbagai stake holder terkait. Dalam artikel ini penulis menawarkan sedikitnya lima langkah teknis untuk mengoperasonalisasikan pembangunan berbasis etnisitas. Pertama, pembangunan seharusnya memprioritaskan kepentingan masyarakat lokal sehingga mereka sustainable secara ekonomi, lingkungan dan sosial budaya. Identifikasi
55
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
kebutuhan lokal melalui jajak pendapat, musyawarah hingga survai seharusnya menjadi pekerjaan pemerintah lokal. Biarkan masyarakat menjadi agent pembangunan untuk lingkungannya sendiri. Mereka menjadi konseptor, pelaku bahkan bila memungkinkan investornya. Sementara peran pemerintah lokal adalah mendampingi, mencarikan jaringan dan memberikan usulan-uslan yang bersifat problem solving bila masyarakat lokal menjumpai kesulitan-kesulitan. Untuk melalui tahap ini tentu profesionalitas birokrasi terutama di level terdekat dengan masyarakat seperti RT/ RW, Kelurahan dan Kecamatan sangat dibutuhkan. Sebagai tahap awal kebijakan ini, tidak salah bila dilakukan pelatihan-pelatihan yang bersifat teknis. Tahap ini hanya dapat dilakukan bila pemerintah percaya bahwa masyarakat mampu melakukan itu. Bagi sebagian orang gagasan ini sulit diterima karena selama
ini
pembangunan
masyarakat sehingga
lokal
selalu
kreativitas
dijadikan dan
objek
kesadaran
eksistensinya terkikis. Kedua, pelibatan masyarakat lokal secara aktif. Potensi dan sumberdaya masyarakat lokal acap kali tidak menjadi perhitungan bagi para perumus kebijakan. Padahal secara alamiah potensi dan sumberdaya masyarakat lokal justru memiliki
keunggulan
komparatif
yang
tidak
dimiliki
masyarakat lain di daerah lain. Masyarakat yang terlibat secara langsung dalam pembangunan akan menemukan jati dirinya kembali dan melakukan aktivitas pembangunan yang membumi berbasis kepentingan lokal.
56
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Ketiga, pelibatan investor asing secara selektif dengan basis penyaringan ala fair trade13. Langkah ini tentu sangat sulit namun dapat dilakukan secara bertahap, berdasar asas perioritas. Pemerintah lokal bisa bersinergi dengan NGONGO yang bergerak dalam fair trade seperti World Fair Trade Organization (WFTO), Forum Fair Trade Indonesia, Assosiation of Indonesia Bussines Development Services hingga The Movement of Ethically and sustainability Business Yogyakarta. Keempat, sinergitas menjadi kata kunci yang tidak boleh diabaikan dalam mekanisme pembangunan berbasis etnisitas. Pemerintah,
masyarakat
dengan
keragamannya,
media
massa, NGOs, investor serta berbagai stake holders lainnya bersinergi untuk pembangunan. Sekali lagi ini bukan pekerjaan
mudah
pembangunan
namun
berbasis
promosi
etnisitas
akan
secara
pentingnya
terus
menerus
diyakini akan mampu mengeroposkan paradigma konservatif pembangunan klasik. Kelima,
pendidikan.
Salah
satu
kegagalan
telak
pendidikan, terutama di Indonesia, adalah menanamkan paradigma ’pendidikan’
yang
salah
tereduksi
pada
warga
habis-habisan
negara. sehingga
Makna berubah
menjadi ’sekolah’, yang membawa sedikitnya dua implikasi (1) tidak ada pendidikan di luar sekolah dan (2) tidak ada Oxfam sebagaimana dikutip oleh Bob Sugeng Hadiwinata, mendefinisikan ’’fair trade’’ sebagai ”suatu gerakan internasional yang mencoba memberikan jaminan bahwa produsen di negara-negara miskin mendapat kontrak-kontrak yang adil (fair deal) yang mencakup harga yang pantas bagi produk-produk mereka, kontrak-kontrak pembelian jangka panjang, dukungan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, serta peningkatan prokdutifitas” (Hadiwinata, Bob S: 2004, 6). 13
57
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
pendidikan setelah tamat sekolah. Sebagai salah satu instrumen pembangunan, pendidikan harus berbasis lokal. Bila berjalan sesuai rencana, maka pemerintah tidak perlu mendatangkan orang asing untuk mengeksploitasi minyak, karena Kalimantan sebagai penghasil minyak bumi, misalnya, memiliki ahlinya sendiri yang berasal dari anak bangsa produk pendidikan berbasis kebutuhan lokal. Serangkain langkah teknis tersebut bersifat tekstual dan sangat berpotensi untuk dimodivikasi, namun pada prinsipnya ujung tombak pembangunan seharusnya berada dalam genggaman masyarakt lokal dan berbasis etnisitas. Pembangunan berbasis etnisitas tidak berarti kemudian bersikap antipati terhadap segala sesuatu yang ber bau asing, namun lebih tepatnya porsi keterlibatan dan perolehan masyarakat lokal harus lebih besar. Ketimpangan ”potongan kue” pembangunan yang selama ini terjadi di banyak late comers14 di mana masyarakat lokal selalu menjadi bulanbulanan para pelaku ekonomi besar menjadi potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat muncul. Contoh kasat
mata paling
mudah ditunjuk
yaitu
pembangunan di Papua. Pengabaian terhadap masyarakat lokal menciptakan kecemburuan sosial yang sangat akut. Sampai kapan pun selama masyarakat lokal masih hidup, Istilah late comers atau pendatang baru dipakai untuk menghindari penggunaan istilah third world atau negara dunia ketiga. Istilah yang terakhir muncul dari perspektif Amerika yang liberal. Dengan memposisikan diri sebagai the first world [dunia pertama], Uni Soviet sebagai [the secend world] dan area di luar kedua Adi Daya sebagai the third world. Dalama perspektif tersebut, the third world tidak akan pernah beranjak menjadi the second world apa lagi the first world. 14
58
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
maka perlakuan tidak adil terhadap mereka berpotensi menumbuhkan benih-benih konflik. F. PENUTUP Cara pengelolaan pembangunan yang cenderung menyeragamkan dan menutup mata dari perspektif dan kepentingan penduduk lokal yang sangat beragam menjadi penyebab utama pelanggaran HAM di banyak negara. Sudah saatnya perspektif pembangunan konvensional ditanggalkan, upaya itu membutuhkan sinergitas dari banyak aktor. Ego sentris masing-masing kelompok hanya akan menambah daftar panjang pelanggaran HAM, konflik dan akhirnya kontra identitas
produktif etnis
terhadap lokal
pembangunan.
seharusnya
menjadi
Keragaman panglima
pembangunan sembari mengedepankan kreatifitas, dialog dan keterbukaan dalam pembangunan di masa depan.
59
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BIBLIOGRAPHY Fakih, M. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press. Hadiwinata, Bob S. 2004. Fair Trade: Gerakan Perdagangan Alternatif.
Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar.
Oxfam
dan
Universitas Katlik Pahrayangan. Mas’od,
M.
2008.
Politik,
Birokrasi
dan
Pembangunan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Noyoo, N. 2000. ”Ethnicity and development in sub-Saharan Africa” Journal of Social Development in Africa, Vol. 15, No.2. Oatley, T. 2005. International Political Economy: Interest and Institutions in the Global Economy. New York: Pearson Longman. Yustika, A. E. 2009. Ekonomi Politik: Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
60
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
APENDIKS 1 Table Perbandingan pembangunan konvensional dengan pembangunan berbasis etnisitas No
Pembanding
Pembangunan Konvensional
1
Konseptor
Investor dan pemerintah Investor, pemerintah
2
Pelaksana
2
Sasaran
Meningkatkan perekonomian
3
Metode
Top down, perumusan kebijakan tertutup
4
Sumber modal
Investor, pemerintah
5
Yang diuntungkan
6
Yang dirugikan
Investor, elit birokrasi pemerintah Masyarakat sipil, korban kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM dll
Berbasis etnisitas Masyarakat, pemerintah Investor, pemerintah, masyarakat Kesejahteraan dan keadilan masyarakat Button up, perumusan kebijakan terbuka Masyarakat, pemerintah, investor Masyarakat, Investor
61
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
APENDIKS 2 Skema penalaran pembangunan berbasis etnisitas TAHAP I Identivikasi kebutuhan masyarakat lokal oleh masyarakat sendiri dan Pemerintah
TAHAP II
TAHAP III
Formulasi kebijakan berbasis kebutuhan masyarakat lokal oleh masyarakat dan pemerintah
Implementasi kebijakan oleh masyarakat lokal, pemerintah dan investor
Evalusi dan feed back
62
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BAB 5 KEBUTUHAN EKONOMI LOKAL DAN KERJASAMA LUAR NEGERI PEMERINTAH LOKAL: Kasus kerjasama Sister Province Pemda Jateng dengan Negara Bagian Queensland, Australia 15 A. PENDAHULUAN Hingga tahun 2004 terdapat sedikitnya 11. 000 kerjasama dalam bentuk sister city/ province dari 1200 pemerintah
lokal
dari
125
(www.internationalrelation.com:
negara
di
dunia
Sister cities and inter-city
organization,). Sementara pada level nasional di Indonesia Deplu mencatat hingga tahun 2003 terdapat 75 kerjasama sister city/ province (Haryono, E. 2003. 10). Kemudian pada tahun 2004 Usmar salam, peneliti sister province dari UGM mencatat sedikitnya terdapat 100 kejasama dalam bentuk yang sama (Salam, U. 2004. 4). Secara lebih sepesifik riset ini menyorot kasus Pemda Jateng dengan mitra kerjasamanya, Queensland, Australi. Setidaknya hingga 2005, pemda Jateng telah melakukan kerjasama sister province dengan beberapa mitra di luar negeri, diantraranya
dengan
Propinsi
Fujian
(Cina),
Propinsi
Chungchoeng buk-do (Korea) dan Pemerintah Negara Bagian Queensland (Australia).
Tulisan ini merupakan hasil revisi dari artikel penulis yang berjudul: Faktor Pendorong Melakukan Kerjasama Sister Province Jawa Tengah Queensland(Australia) 1991-2009, yang telah dimuat dalam Jurnal Eksplanasi Volume 4 Nomor 8 Edisi Oktober 2009, hal: 107-119. 15
63
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
MoU siste province Pemda Jateng dengan mitranya, Queensland, untuk kali pertama ditandatangani di Brisbane (ibu kota Quensland) pada 23 September 1991 oleh Gubernur Ismail dan Wayne Goss, Premeir Queensland kala itu. Dirasa cukup memuaskan, setelah lima tahun berjalan, kerjasama yang memang direncanakan akan diperpanjang setiap lima tahun sekali itu diperpanjang untuk pertama kali, setelah setahun masa kerjasama itu habis, yaitu 14 Juni 1997. Periode kedua kerjasama berakhir pada 14 Juli 2002. Melalui sedikitnya dua kali rapat dengan Komisi A DPRD Provinsi, yakni 12 April dan 12 Juli, akhirnya masa kerjasama periode kedua yang telah habis disepakati kembali untuk diperpanjang. Selanjutnya dalam kunjungan selama sepekan (7-13 September) delegasi Jateng ke Queensland16, MoU perpanjangan
kerjasama
untuk
yang
kedua
kalinya
ditandatangani, kali ini oleh Gubernur Mardiyanto dan Premeir Petter Beatti di Gedung Parlemen pada tanggal 10 September 2002. Penelitian ini menarik: pertama, walaupun kerjasama sister province telah berlangsung lebih dari 14 tahun (hingga manuskrip ini ditulis), namun sulit dipungkiri bahwa kerjasama ini tidak diketahui secara umum oleh masyarakat Jateng, sehingga karena kerjasama ini tidak populer di mata publik maka, kedua, evaliasi dan kontrol dari masyarakat juga
Dalam lawatannya ke Australi, selain Gubernur dan instansi terkait, turut pula lima orang anggota dewan dari Komisi A, beserta Ketua DPRD, Mardijo yaitu: A. H. Daromi Irdjas, SH (FPP); KH. Sobri Hadi Wijaya (FPDI-P); Drs. Abdul Manaf (FKB); Drs. Soetikno (FPG); serta Drs. Agus Sentot (FPDI-P), (Suara Merdeka, Rabu 11 September 2002). 16
64
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
sangat lemah, kalo enggan untuk dikatakan tidak ada sama sekali. Lemahnya sosialisai terhadap masyarakat juga menjadi faktor pendorong mengapa partisipasi masyarakat dalam kerjasama sangat kurang, padahal kerjasama dalam bentuk sister province sejatinya hanya merupakan payung hukum bagi aneka kerjasama yang bersifat lebih teknis, baik dalam bidang ekonomi, investasi, pariwisata, pertanian, pendidikan, sosial, budaya dan lain sebagainya yang dapat merangsang masyarakat untuk berpartisipasi. Atau dengan kata lain, kendati tidak sejalan dengan mekanisme pembuatan kebijakan secara demokrasi, namun kebijakan sister province tetap dilakukan, sehingga hemat penulis, pertanyaan menariknya adalah: mengapa Pemda Jateng mengambil kebijakan kerjasama sister province dengan Queensland, Australia? B. KERANGKA BERFIKIR 1. Commercial Reason dan Citizen diplomacy Seperti negara yang memiliki kebijakan luar negeri, pemerintah lokal (provinsi atau negara bagian) juga memiliki kebijakan luar negeri, Henderson menyebutnya Citizen Diplomacy, yakni serangkaian keputusan yang di tujukan untuk mengamankan kepentingan pemerintah lokal di luar negeri. Biasanya Citizen Diplomacy bersifat lebih teknis bila dibandingkan dengan kebijakan luar negeri pemerintah pusat. Lebih jauh citizen diplomacy berimplikasi pada munculnya hak dan kewajiban pada para pelakunya (citizen
65
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
diplomats) yang diperankan oleh pelajar, guru, atlet, pebisnis, turis, humanitarians, dan sebagainya. Berbeda dengan Politik Luar Negeri suatu Negara yang
biasanya
didorong
oleh
kepentingan
nasional17,
kebijakan luar negeri Pemerintah Daerah didorong oleh kebutuhan daerah. Potensi daerah yang tidak selalu selaras dengan kebutuhan daerah memunculkan inisiatif bagi Pemerintah Daerah untuk memberdayakan potensi yang terdapat di tingkat global dengan melakukan citizen diplomacy. Masih menurut, Henderson, citizen diplomacy lazimnya didorong oleh commercial reason (sebab ekonomi) atau kebutuhan
ekonomi.
kemudian
mendorong
Kebutuhan
ekonomi
Pemerintah
Daerah
inilah
yang
melakukan
aktivitas citizen diplomacy. Kebutuhan ekonomi bisa nampak dari misalnya lambatnya pertumbuhan Gros Domestic Product (GDP). Latar belakang kelesuan ekonomi inilah yang acapkali direspon Pemerinrah Daerah untuk melakukan aktivitas internasional (citizen diplomacy). Kendati bukan satu-satunya, commercial reason diyakini Henderson sebagai faktor dominan yang mendorong kebijakan luar negeri daerah, tak terkecuali sister province. Secara lebih operasional hubungan konsepkonsep tersebut dapat dipetakan sebagai berikut:
Dua pakar hubungan internasional, Jack C. Plano dan Roy Olton, setelah mengamati fenomena politik luar negeri negara-negara di dunia, membuat generalisasi, sedikitnya ada lima faktor yang mendorong politik luar negeri suatu negara yang lazim disebut kepentingan nasional, yaitu: (1) kelangsungan hidup bangsa dan negara; (2) kemerdekaan; (3) keutuhan wilayah; (4) keamanan hingga (5) kesejahteraan ekonomi (Plano, Jack C & Roy Olton: 1999, hal. 127 ). 17
66
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Tabel.1 Konsep dan operasionalisasi variabel
konsep operasionalisasi
independent variable
dependent variabel
commercial reason lesunya perekonomian Jateng
citizen diplomacy sister province Jateng-QLD
C. METODE STUDI Tulisan ini hakikatnya merupakan upaya untuk mengetahui motif yang mendorong Pemda Jateng mengambil kebijakan
kerjasama
sister
province
dengan
mitranya,
Quensland. Argumentasi dalam penelitian ini dikontruksi secara kualitatif dengan merujuk pada berbagai sumber relevan. Secara lebih teknis logika ini, dikuatkan dan diperkaya dengan studi dokumenter melalui penelaahan draft MoU kerjasama serta surat-surat resmi terkait. Analisis dipertajam lagi melalui library research dengan melakukan penelaahan terhadap buku-buku dan berita terkait di media masa seperti koran, majalah dan website. D. HIPOTESA Dalam riset ini keniscayaan bahwa Pemda Jateng mengambil kebijakakan sister province dideduksikan dengan teori Henderson yang meyakini bahwa: sebab ekonomi (commercial
reasson)
berkorelasi
positif
dengan
citizen
diplomacy. Melalui alur pikir ini, maka dapat ditarik hipotesa bahwa: kebutuhan ekonomi Jateng menjadi faktor pendorong 67
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
utama, bila bukan satu-satunya, bagi Pemda Jateng sehingga mengambil kebijakan kerjasama sister province dengan Quensland. E. COMMERCIAL REASON JATENG Mengikuti alur berfikir Henderson, bahwa citizen diplomacy muncul sebagai konsekuensi dari commercial reason, sehingga sister province yang merupakan bagian dari citizen diplomacy juga disebabkan oleh commercial reason. Untuk membuktikan validitas hipotesa tersebut secara empiris, maka sedikitnya ada tiga pertanyaan yang harus dijawab: Pertama, apakah perekonomian Queensland, cukup menjanjikan bagi Jateng, sehinga Jateng memilihnya sebagai mitra kerjasama?; kedua, apakah perekonomian Jateng mengalami kelesuan sehingga merasa terdorong untuk menjalin kerjasama dengan mitra berprestasi secara ekonomi itu?; dan ketiga, apakah hasil yang selama ini diperoleh Jateng dari kerjasama sister province nya dengan Queensland merupakan perolehan yang bersifat commercial atau bukan?. Jawaban
positif
dari
tiga
pertanyaan
tersebut,
akan
menambah daftar fakta empiris yang semakin melegitimasi teori commercial reassonnya Henderson. Uraian dalam pembahasan berikut akan diurutkan sesuai tiga pertanyaan diatas. Kendati baiknya—sebelum
uraian
demikian
pembahasan—terlebih
ada
dahulu
diketengahkan sejumlah konteks yang memungkinkan suatu kerjasama internasional dilakukan: (1) konteks regional dan/ atau global (2) konteks domestik; dan (3) konteks lokal.
68
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Pada tingkat regional krisis ekonomi Asia (1997) tak pelak memiliki dampak destruktif yang luar biasa terhadap perekonomian di negara-negara Asia tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia (tingkat domestik) krisis ekonomi memiliki efek politik
yang
ditandai
dengan
munculnya
gelombang
reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru. Di era reformasi banyak sekali terjadi perubahan di negeri
ini,
salah
satunya—dan
yang
terkait
dengan
pembahasan dalam penelitian ini—adalah munculnya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan UU No 25 tahun 2000 tentang Perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, keduanya kini telah diamandemen dengan munculnya UU No 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun 2004. Dengan munculnya UU tersebut ditambah UU No 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional maka di tingkat lokal (daerah) telah terjadi arah perubahan kebijakan yang cukup mendasar pada Pemerintah Daerah. Kebijakan
luar
negeri
yang
sebelumnya
sangat
sentralistis dan dimonopoli oleh Pemerintah Pusat, kini di era otonomi, daerah diberi kepercayaan untuk turut serta dalam menentukan nasib daerahnya sendiri melalui kebijakan luar negeri, kendati sebenarnya kerjasama ini sudah berlangsung sejak era 80 an namun gairah dalam kerjasama ini muncul terutama setelah otonomi daerah diberlakukan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya untuk membuktikan betapa kepentingan ekonomi menjadi faktor pendorong utama dalam kerjasama sister province yang
69
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dilakukan Pemda Jateng dengan mitra kerjasamanya, maka sedikitnya harus dibuktikan tiga hal: (1) perkembangan perekonomian Queensland; (2) laju ekonomi Jateng; serta (3) hasil yang diperoleh Jateng dalam kerjasama yang dijalinnya dengan Queensland. 1. Gairah Perekonomian Queensland Queensland merupakan salah satu negara bagian Australia yang sangat diminati. Selain potensi alamnya yang menggairahkan Queensland juga unggul dalam teknologi dan menjunjung tinggi profesionalisme, maka tak heran bila dalam bidang perekonomian, Queensland menjadi Negara Bagian yang tidak bisa dianggap enteng. Lihat saja misalnya pada tahun 1990—setahun sebelum MoU
sister
ditandatangani
province oleh
kedua
pertama belah
Jateng-Queensland pihak—pertumbuhan
ekonomi Queensland sudah mencapai 7,4%, angka tersebut melebihi pertumbuhan nasional ekonomi Australia di kala itu. Di tahun yang sama seperempat total pertanian Australia berasal dari Queensland, dengan komoditas padi-padian, wool, daging, gula yang telah memberikan sekitar 70% keuntungan pertanian Queensland. Gula, yang menjadi hasil utama Queensland dihasilkan dari daerah lembah subur, Mockay. Eksport gula Australia yang menduduki peringkat ke dua di dunia ternyata berasal dari Queensland. Prestasi Queensland dalam perekonomian tidak berhenti sampai di situ, Queensland juga menyumbang 40% hasil ternak sapi dan anak lembu pada tingkat nasional 70
Sugiarto Pramono
pada
tiap
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
tahunnya,
sehingga
di
bidang
pertanian
Queensland dijuluki The Cettle Country dan Agricultural Country. Sapi sebagai ternak unggulan Queensland inilah yang selanjutnya dalam progam sister province dengan Jateng menjadi salah satu progam andalan di bidang peternakan. Julukan The Mining Country juga ditujukan pada negara bagian ini, karena kandungan bauksit terbesar di dunia, dan umumnya lagi hasil tambang lainnya seperti batu bara, emas, dan seng. Gas alam dan minyak bumi juga telah digali sedangkan yang lain seperti uranium, tin dan sumber mineral lainnya belum banyak digali dan dimanfaatkan. Bahkan jauh sebelum itu yakni pada tahun 1970-1980 an, pertambangan, menempatkan
manufaktur Queensland
dan di
atas
pariwisata angka
telah rata-rata
pertumbuhan nasional Australia. Dan yang lebih menarik lagi adalah apa yang diramalkan oleh analis Bis Shapnel (Agustus 1997) bahwa Queensland akan menjadi pelaku ekonomi utama bangsa tersebut untuk lima tahun berikut, dan Negara Bagian dengan pertumbuhan yang pesat di Australia sampai 2012. Prospek untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang di Queensland adalah jauh lebih tinggi dari pada Negara Bagian lainnya, kata Bis Shapnel (Cown, Alson: 1998 ,hal. 247). Selanjutnya, sebuah laporan oleh perusahaan pialang saham Morgans, yang dikeluarkan pada tahun yang sama, meramalkan, pertumbuhan pekerjaan di Queensland akan berlanjut. Kejutan besar dalam laporan Morgans adalah kinerja yang kuat dari sektor manufaktur Negara Bagian
71
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
tersebut. Sektor manufaktur telah menambah—disamping sumber-sumber alam—pendapatan yang datang dari produkproduk barang, minuman dan tembakau, diikuti oleh produkproduk logam, minyak, batu bara, bahan-bahan kimia dan produk-produk yang terkait, permesinan dan perlengkapan, produk-produk mineral bukan-logam dan produk-produk kayu dan kertas (Cown, Alson: 1998). Melimpahnya hasil pertanian tidak mungkin hanya dikonsumsi warga negaranya sendiri sebagaimana pula mustahil semua kebutuhan warga negaranya dapat dipenuhi oleh hasil-hasil pertanian domestiknya saja, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali saling bermitra dengan berbagai daerah yang memiliki aneka keunggulannya masing-masing.
Salah satu jembatan di Brisbane, ibu kota Queensland, Australia , sumber gambar: http://www.australia.com/id/explore/cities/brisbane.aspx, diakses 16 April 2013
Ringkasnya,
perkembangan
perekonomian
Queensland sangat menggairahkan. Inilah yang mendorong
72
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Pemda Jateng menjalin dan memperpanjang terus kerjasama dengan salah satu Negara Bagian Australia ini. 2. Perekonomian Jateng yang lesu Krisis ekonomi yang melanda Asia (1997) tak pelak berpengaruh terhadap perekonomian nasional, Jateng pun harus menanggung akibatnya. Kendati dalam 10 tahun terakhir pasca krisis, Bangsa Indonesia telah melaksanakan prosesi pergantian pemimpin nasional berulang kali namun kesulitan ekonomi masih menjadi masalah berarti bagi Bangsa besar ini. Dua grafik berikut (1 & 2) menunujukkan: pertama, angka pertumbuhan yang tidak bergairah dari tahun ke tahun, sejak krisis 1997; dan kedua, betapa jika dibandingkan dengan kelima propensi lain di pulau Jawa, Jateng tidaklah begitu berprestasi. Grafik 1 Pertumbuhan ekonomi Jateng 1998-2002
pertumbuhan %
5 0 1998
1999
2000
2001
2002
-5 -10 -15 Sumber: Bappeda Provinsi Jateng dan BPS Jateng 2002, 12.
73
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Grafik 2 Perbandingan Pertumbuhan
Pertumbuhan %
10
Jateng
5
Jabar
0 -5
1998
1999
2000
2001
2002
Jatim
-10
DIY
-15
DKI Jkt
-20
Nasional
Tahun
Sumber: Bappeda Provinsi Jateng dan BPS Jateng 2002, 14.
Kemudian
jika
dilihat
dari
sisi
kemampuan
pemenuhan kebutuhan daerah, khususnya keuangan daerah, dapat dilihat betapa sangat memprihatinkan. Hasil jajak pendapat dan diskusi panel kompas (30 November 2000) mengenai otonomi daerah memberikan gambaran yang cukup jelas betapa rendah kontribusi PAD terhadap APBD di sejumlah kabupaten dan kota di Jateng Pada
tahun
anggaran
1997/1998,
51,4%
daerah
kabupaten dan kota di Jateng memberikan sumbangan PAD di bawah 15% dari total APBD. Tahun anggaran berikutnya 1998/1999, jumlah daerah yang menyumbang di bawah 15% total APBD meningkat menjadi 65,7%. Bahkan, dalam anggaran 1999/2000, sebanyak 40% daerah kabupaten atau kota hanya menyumbang PAD di bawah 10% total APBD. Hal ini merupakan suatu gambaran yang suram untuk daerah sebesar Jateng. Tak mengherankan jika muncul pandangan pesimis terhadap desentralisasi fisikal yang dinilai masih jauh dari impian. Padahal dari 4 jenis 74
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
penerimaan
Jateng
yang
berasal dari
(1) Sisa Lebih
Penghitungan Tahun Lalu (2) Pendapatan Asli Daerah (PAD) (3)
Bagian
Pendapatan
yang
berasal
dari
Pemberian
Pemerintah dan/atau Instansi yang lebih Tinggi dan (4) Pinjaman Pemerintah Daerah, maka secara teknis Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah yang paling mudah dikelola dan dikembangkan dari pada yang lain. Buruknya kemampuan pemenuhan kebutuhan daerah juga dapat diketahui dengan melihat Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Jawa Tengah tahun 1998/1999
hingga
1999/2000.
Nampak
betapa
ternyata
Realisasi Penerimaan Pemerintah Daerah Jateng pada tahun anggaran tersebut lebih kecil daripada pengeluarannya, sehingga
walaupun
penerimaan pengeluaran,
nampak yakni
pada
tahun
sedikit Rp.
lebih
anggaran besar
636.869.028.000
1998/1999 dari
pada
sedangkan
pengeluaran Rp. 635.567.448.000 namun pada tahun anggaran berikutnya 1999/2000, berbalik lebih besar pengeluaran dengan angka Rp. 1.853.524.259. 000 daripada penerimaan yang hanya Rp. 886.311.317. 000 (Statistik Keuangan Jateng: 2001 dalam Prihatmoko, J. dkk: 2001)
75
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Gedung Pemprov Jateng, sumber gambar: http://www.jatengtime.com/2012/semarangtoday/satu-hari-duapelantikan/#.UWz5NlLCs1g, diakses 16 April 2013.
Ini artinya Jateng mengalami devisit pada tahun anggaran tersebut. Data tersebut menggambarkan, betapa perekonomian Jateng setidaknya hingga 3 tahun pasca krisis sangat lesu. Bila mengikuti alur logika Henderson maka, buruknya laju perekonomian Jateng mendorong Pemda Jateng untuk menjalin kerjasama sister province JatengQueensland. Bagi Pemda Jateng dengan latar belakang kondisi perekonomiannya, Queensland nampak memberi harapan yang sangat berarti. 3. Perolehan Jateng dari kerjasama Secara ringkas dalam Proposal perpanjangan ke-2 MoU sister province Jateng-Queensland yang diajukan oleh Sub Bagian Kerjasama Luar Negeri Pemda Jateng kepada DPRD Provinsi Jateng, tertulis, hasil kerjasama yang diperoleh Jateng dalam kerjasama itu antara lain adalah:
76
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
1. Masuknya 16 investor Australia18 ke Provinsi Jateng, yang
memiliki
multiplier
effect
terutama
dalam
penyerapan tenaga kerja; 2. Bantuan beberapa perlatan kesehatan untuk beberapa rumah sakit di Jateng; 3. Adanya pertukaran pelajar dan guru yang berlangsung setiap tahun. Pada poin (1) terlihat jelas basil yang berupa kepentingan komersial sedangkan pada poin (2) dan (3) kendati yang nampak adalah kepentingan bidang kesehatan dan
pendidikan
namun
pada
hakikatnya
merupakan
kepentingan komersial juga. Menurut Indah Tri Rohmani (2004) hasil yang diperoleh Jateng dari kerjasama sister province Jateng-Queensland adalah sebagai berikut:
a.
Perdagangan, Industri dan Investasi Ketiga sektor tersebut (perdagangan, industri dan
investasi) dalam MoU sister province berada dalam klasifikasi yang berbeda, namun dalam pembahasan ini ketiganya
18 16 investor Australia yang berinvestasi di Jateng tidak bisa menjadi indikator keberhasilan kerjasama sister province Jateng-Queensland, bahkan pada perkembangan selanjutnya, nampak betapa bidang investasi kurang begitu memperlihatkan prestasi yang menggembirakan. Badan Penanaman Modal (BPM) Provinsi Jateng mencatat setidaknya hingga 9 Juni 2008 terdapat 31 perusahaan Australia yang berada di Jateng. Kendati demikian, ternyata hanya ada 3 perusahaan yang berasal dari Queensland. Kecilnya angka ini menunjukan betapa kerjasama kurang—kalau enggan untuk dkatakan: tidak—berpengaruh terhadap masuknya investor Queensland ke Jateng.
77
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dibaut dalam satu klasifikasi, karena memiliki kaitan yang sangat erat. Pertama, dalam sektor perdagangan, technical agreement kali pertama ditandatangani keduabelah pihak pada tahun 1991. Kemudian secara teknis direalisasikan pada tahun 1992 oleh
Perwakilan
Kantor
Wilayah
Perdagangan
dan
Perindustrian Jateng dari pihak Jateng dengan Dinas Perdagangan Queensland dari pihak Queensland. Dalam perkembangannya, tepatnya pada tahun 2000 kedua belah pihak mulai mengikutsertakan Kamar Dagang (KADIN)
masing-masing.
Hal
ini
ditandai
dengan
penandatanganan kesepakatan antara KADIN Jateng dengan Queensland Industry and Chamber of Commerce (QCCI). Terkait dengan kesepakatan tersebut ada beberapa program yang hendak dilakukan: 1. pelatihan dan pendidikan di bidang perdagangan; 2. promosi kedua instansi; 3. penyelidikan
dan
upaya
pengembangan
pasar
bersama; dan 4. misi perdagangan dan investasi diantara keduabelah pihak. Namun sayangnya, entah kenapa, setidaknya hingga 2004 rencana tersebut belum bisa direalisasikan. Yang menarik dari rangkaian misi dagang dan seminar potensi unggulan yang beberapa kali telah dilaksanakan baik di Jateng maupun di Queensland adalah ketertarikan provinsi lain untuk ikut serta dalam arus perdagangan mereka.
78
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Bahkan konferensi gabungan Indonesia-Australia cabang Jateng dapat terlaksana berkat kerjasama sister province ini. Arus
perdagangan
Jateng-Queensland
mengalami
pertumbuhan dari tahun ke tahun dengan surplus pada Jateng. Trend positif perdagangan tersebut merupakan indikator bahwa kerjasama memiliki prospek yang baik di masa depan. Pola naik perdagangan juga merupakan salah satu alasan yang menjadikan kerjasama dalam bentuk sister province
ini
kemudian
diperpanjang
di
masa-masa
mendatang. Grafik 3 Perdagangan Jateng-Queensland (1990-1996) 30000 Juta dolar
25000 20000
Eksport
15000
Import
10000 5000 0 1990
1992
1994
1996
1998
Sumber: Kantor Wilayah Perdagangan Jateng, dalam Rohmani, IT (2004)
Sementara sektor kedua, industri dan investasi kurang begitu memperlihatkan prestasi yang menggembirakan. Badan Penanaman Modal (BPM) Provinsi Jateng mencatat setidaknya hingga 9 Juni 2008 terdapat 31 perusahaan Australi yang berada di Jateng. Kendati demikian, ternyata hanya ada 3 perusahaan yang berasal dari Queensland 79
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
(Sururi, Achmad: 2008,
hal. 60). Kecilnya
angka ini
menunjukan betapa kerjasama kurang—kalau enggan untuk mengatakan: tidak—berpengaruh pada sektor industri dan investasi, karena bukan mustahil 3
perusahaan yang
berinvestasi di Jateng itu tidak berkaitan sama sekali dengan program-program sister province. Adapun ketiga perusahan tersebut adalah PT. Keramco Jawa Tengah. Perusahaan ini merupakan perusahaan yang berasal dari Queensland, beralamat di 119 Wynnum Wybnum 4178 Queensland. Perusahaan tersebut sudah beroperasi di Jateng sejak 14 September 1999. Berdasarkan data dari kantor BPM Jateng hingga 9 Juni 2008, investasi yang mereka lakukan adalah sebesar Rp. 1.620.000.000.00. Kemudian PT Remco Furniture yang mulai beroperasi di Jateng sejak 13 Juni 2000. Alamat perusahaan di 74 Regatta Parade Soutport Queensland 4251. Masih dari sumber yang sama, total investasi yang mereka tanamkan di Jateng sebesar US$ 200.000 atau sama dengan Rp. 1.880.000.000,00; dan perusahaan PT Anggun Sasmita. Perusahaan ini memiliki investasi paling besar bila dibandingkan dengan 2 perusahaan sebelumnya, yakni Rp. 2.063.250.000.00. b. Pertanian Penandatangan MoU sister province untuk pertama kalinya (1991) yang dilakukan Gubernur Ismail dengan Premier Wayne Goss pada kunjungan ke Brisbane (Ibu Kota Queensland)
80
bersama
anggota
DPRD
Provinsi
Jateng,
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
merupakan perjanjian payung bagi berbagai kerjasama berikutnya antara kedua belah pihak. Dua tahun kemudian, 1993, berdasarkan MoU tersebut, penandatanganan technical agreement dalam bidang pertanian dilakukan oleh Wakil Gubernur Soesmono bersama Mr. David Hamill, Mentri perdagangan Queensland. Dalam technical agreement tersebut telah disepakati sedikitnya empat sektor yang termasuk dalam bidang pertanian, yaitu: (1) sektor pertanian pangan; (2) peternakan; (3) perikanan; dan (4) perkebunan. Salah satu tindak lanjut dari technical agreement itu adalah didirikannya komisi peternakan pada tahun 1994 dengan melakukan beberapa program yang sebelumnya memang telah direncanakan, seperti perkembangan karantina ternak di Cilacap; pendirian rumah potong hewan di Cilacap untuk sasaran eksport ke Timur Tengah dan Asia Tenggara; mengupayakan import bibit sapi dari Queensland untuk penggemukan dengan pola PIR di Cilacap; pertukaran dan pelatihan
staf
dengan
Queensland
untuk
alih
ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang peternakan. Program yang terakhir pertukaran dan pelatihan staf diawali dengan pengiriman staf dari Queensland untuk alih ilmu pengetahuan dan teknologi, lalu disusul dari Jateng mengirim dua staf peternakan ke Queensland untuk mengetahui lebih lanjut teknik inseminasi buatan dalam pengembangbiakan sapi potong. Bahkan guna kepentingan pengembangan pertanian pernah dilakukan penelitian lapangan dan penyususnan
81
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
bussines plan di Jateng. Masih dalam paket kerjasama bidang pertanian, pada tahun 1995 Jateng melalui pemerintah pusat telah mendapat bantuan finansial dari Pemerintah Negara Bagian Queensland untuk sektor peternakan.
No 1 2 3 4 5 6
Tabei 2 Import Sapi dari Queensland Tahun Jumlah sapi 1991 2243 1992 1181 1993 936 1994 5501 1995 9120 1996 35624 (Sumber: Dinas Peternakan Jawa Tengah dalam Rohmani, IT: 2004)
c. Perhubungan dan Pariwisata Dalam
bidang
perhubungan
dan
pariwisata
penendatanganan technical agreement belum pernah mereka lakukan, namun demikian berbagai program yang berkaitan dengan kedua bidang ini sudah terealisasi, karena terbawa oleh berbagai program di bidang lain. Beberapa hasil kerjasama yang dapat dikategorikan dalam bidang ini adalah sebagai berikut: 1. Didirikannya komisi perhubungan dan pariwisata yang bertujuan untuk mengembangkan kedua bidang ini, khususnya di Cilacap; 2. Pemda Jateng mendapat bantuan dari pemerintahan Queensland
guna
Free
Feasibility
Study
untuk
pengembangan daerah Cilacap, semua biaya di tanggung oleh pihak Queensland.; 82
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
3. Pertukaran antar staf dari kedua belah pihak juga telah dilakukan. Dalam hal ini khususnya dilakukan untuk kepentingan konservasi dan pengembangan Agro Wisata Sadong. d. Pembangunan Desa dan Kota Kerjasama sister province antara Jateng dan Queensland dalam bidang pembangunan desa dan kota telah dilimpahkan kepada Ibu Kota masing-masing, yakni Semarang dan Brisbane. Pelimpahan inilah yang kemudian berkembang ke arah
kerjasama
sister
city
di
antara
keduanya.
Penandatanganan sister city untuk yang pertama kali telah dilakuakn oleh kedua perwakilan Ibu Kota tersebut pada tahun 1993 dan seperti halnya sister province keduanya pun telah melakukan evaluasi serta pembaharuan setiap 5 tahunnya. Sister city bermanfaat bagi Pemerintahan Kota Semarang—yang kala itu masih disebut Kodya Dati II. Dalam kerangka kerjasama sister city telah direalisasikan kursus singkat bahasa Inggris di lingkungan karyawan Pemda; kunjungan studi banding dalam bidag tax property dari pejabat DIPENDA dan KPP PBB kodya Dati II Semarang ke Revenue Branch of Brisbane. Selain itu banyak pula berbagai program di bidang kesenian dan kebudayaan telah terlaksana berkat sister city, seperti: partisipasi dalam Warana Festival; kursus seni dan budaya bagi anak-anak cacat Kodya Semarang dari para seniman Queensland; serta penyelenggaraan festival bagi anak-anak tersebut.
83
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
e. Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Pendidikan merupakan salah satu bidang kerjasama yang juga menonjol, terutama program pertukaran Pelajar dan Guru yang berlangsung hampir tiap tahun; pameran
pendidikan
baik
di
tingkat
SLTA
maupun
Perguruan Tinggi; pertukaran staf Dinas; Sister school seperti yang telah dilakukan SD Marsudirini dengan West and Primariwe School Brisbane, sementara untuk tingkat Perguruan Tinggi telah dilakukan studi banding, saling kunjung antar sekolah dan Kuliah Kerja Praktek antara perguruan tinggi seperti yang telah dilakukan UNDIP dengan Grifft University maupun Queensland University of Technology. Kemudian pelatihan Manajemen dan Narkoba untuk Kepala Sekolah se Jateng di tingkat SLTA. Kegiatan pelatihan Kepala Sekolah tersebut berlangsung berkat pengiriman bantuan staf dari Queensland. Dalam kegiatan ini semua biaya
ditanggung
pihak
Queensland
kecuali
biaya
penyelenggaraan kegiatan pelatihan itu. Yang juga menarik ialah dijadikannya bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran bahasa favorit di samping tiga mata pelajaran bahasa lainnya, yaitu Jerman, Cina dan Jepang. Program ini semakin lebih berkembang dengan dibukanya kelas inverse, yakni kelas khusus yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di Park Ridge High School Queensland dan program ini merupakan satu-satunya di Australia yang juga mendapat tempat khusus dari siswa dan orang tua murid di sana.
84
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
f. Kesehatan Hingga 2004, program yang telah terrealisasi di bidang ini, setidaknya yaitu: telah dilaksanakannya pengiriman tenaga medis Jateng ke Queensland guna belajar tentang gizi, penanganan loundry, penyakit tropis, serta yang paling menarik dari pengiriman tenaga medis tersebut adalah semua pembiayaan
ditanggung
pihak
Queensland.
Demikian
sebaliknya, dari pihak Queensland pun mengirim 3 ahli gizi dan perawatnya ke Jateng. Hanya saja bedanya kedatangan 3 staf tersebut tidak untuk belajar namun dimaksudkan guna membantu staf kesehatan Jateng. Seperti halnya sebelumnya pembiayaanpun tetap ditanggung pihak Queensland. Bukan hanya melibatkan 2 pihak, pihak ketiga juga mulai dikaitkan, yakni dengan World Bank. Bahkan dengan lembaga keuangan dunia ini, Jateng dan Queensland memperoleh
bantuan
yang
berkesinambungan
guna
penanganan kontrak lembaga tersebut untuk pelatihan ulang 100 perawat Jateng senilai 7,5 juta dollar Australia. Nampaknya, jawaban dari ketiga pertanyan di muka, menggiring kita pada kesimpulan bahwa commercial reason menjadi faktor dominan, jika bukan satu-satunya, yang mendorong Jateng melakukan kerjasama sister province. F. KESIMPULAN Ada tiga fakta penting, yang menunjukkan betapa faktor ekonomi menjadi faktor pendorong dominan yang bisa ditangkap hingga uraian ini; (1) bahwa perkembangan perekonomian Queensland memiliki trend membaik; (2) ada
85
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
kelesuan pertumbuhan perekonomian Jateng; dan (3) hasil yang diperoleh Jateng dalam kerjasama tersebut, merupakan hasil yang bersifat komersial, lihat misalnya daftar proyek PMA dari Queensland (table 2 dan 3). Ini artinya bahwa apa yang digeneralisasikan Henderson, commercial reason menjadi faktor pendorong citizen diplomacy yang dalam kasus ini berbentuk kerjasama sister province, sekali lagi memperoleh pembenaran secara empiris. 1. Rekomondasi Penelitian Lanjutan Sebagaimana diungkapkan di awal tulisan, hingga tahun 2004 terdapat sedikitnya 11. 000 kerjasama dalam bentuk sister city/ province dari 1200 pemerintah lokal dari 125 negara di dunia (www.internationalrelation.com: Sister cities and inter-city organization,). Sedangkan pada pada level nasional, di Indonesia Deplu mencatat hingga tahun 2003 terdapat 75 kerjasama sister city/ province (Haryono, Endi: 2003, hal. 10). Kemudian pada tahun 2004 Usmar salam, peneliti sister province dari UGM mencatat sedikitnya terdapat 100 kejasama dalam bentuk yang sama (Salam, Usmar: 2004, hal. 4). Kendati di Indonesia kerjasama ini memperoleh respon positif terutama dari kalangan para pejabat di pemerintah daerah, namun sayangnya hal itu belum berpengaruh nyata terhadap pembangunan di daerah. Lihat saja misalnya, masih menurut Usmar Salam, hingga setidaknya tahun 2004, tidak lebih dari 15% kerjasama dalam bentuk ini yang berjalan dengan baik, kurang dari 20% berjalan dengan apa adanya, 86
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
sedangkan sisahnya 65% hanya menjadi perjanjian tidur, sehingga tak ayal, bahwa peran aktif masyarakat daerah dalam mengawasi serta turut terlibat aktivitas kerjasama ini mutlak diperlukan, namun impian ini tinggalah impian jika kerjasama ini tidak pernah diketahui oleh masyarakat umum, maka tidak dapat ditawar, sosialisasi kerjasama kepada masyarakat juga mutlak diperlukan, semutlak dibutuhkannya kontrol serta partisipasi mereka terhadap kerjasama ini. Beberapa pertanyaan yang patut direnungkan para akademisi yang berminat untuk melakukan riset lanjutan adalah: apakah kerjasama sister province Jateng-Queenslend sudah efektif? Jika tidak, mengapa terus diperpanjang? siapa yang diuntungkan dalam kerjasama ini, masyarakatkah, para pengusahakah atau para pejabat? Rekomondasi apa yang dapat diberikan kepada pemerintah daerah?
BIBLIOGRAPHY BAPPEDA Provinsi Jateng dan BPS Jateng. (2002). Pendapatan Regional Jawa Tengah 2002. Cown, Alson (Ed). (1998). Australia lan of Achievement: Negeri Yang Penuh Prestasi. t.t. Jaqui lane. Haryono, E. (2003). Pengajaran Studi HI di Era Otda. (Makalah Seminar dipresentasikan pada Pertemuan Pertama
87
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Forum Komunikasi Jurusan Hubungan Internasional Indonesia (FKJHII) di Yogyakarta 13-15 Oktober). Henderson, C. W. (1998). International Relation: Conflict and Cooperation at the Turn of the 21st Century. Carolina: Mc. Graw Hill. Rohmani, IT. (2004) Program Sister Province Antara Jateng dengan Queensland (Skripsi tidak
dipublikasikan).
Jurusan Hubungan Internasiona, Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu
Politik,
Universitas
Muhammadiyyah
Yogyakarta Prihatmoko, J. dkk. (2001). Identifikasi Konflik dan Potensi Konflik Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah. (laporan Penelitian tidak dipublikasikan). Biro otonomi Daerah Setda Provinsi Jawa Tengah dan Lambaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Wahid Hasyim Semarang. Plano, J. C. dan Roy Olton. (1999). Kamus Hubungan Internasional. t.t. Putra A. bardin. Salam, Usmar. 2004. Dinamika Kerjasam Internasional Propensi di
Indonesia
dengan
di
Luar
Negeri.
(Makalah
dipresentasikan pada Lokakarya Cara Penanganan Kerjasama Internasional, Hotel Inna Garuda, 26-27 Juli) Suara Merdeka, Rabu 11 September 2002 Sister
cities
and
inter-city
organization,
http//www.internationalrelation.com/wbadvir/cities.ht m.
88
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BAB 6 PERGESERAN POLITIK LUAR NEGERI INDIA TERHADAP MYANMAR: “Simbiosis Mutualisme” Pengusaha dan Penguasa Dalam Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi di Myanmar19 A. LATAR BELAKANG MASALAH Prilaku India—sebagai negara demokrasi terbesar di dunia yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat cepat hingga rata-rata 8%, setidaknya dari tahun 2003—sangat menarik untuk diperhatikan. Terlebih lagi sikap India terhadap Junta militer di Myanmar/ Burma20. Sikap India begitu keras terhadap Junta karena telah membantai dengan brutal para demonstran dalam aksi mereka di tahun 1988. Kebencian India terhadap negeri para Jenderal itu nampak dari: (1) dijadikannya kantor perwakilan India di Myanmar
sebagai
rumah
sakit
sementara
bagi
para
demonstran; dan (2) kebijakan buka pintu (open door policy) untuk para pelarian politik dari Myanmar (Renaud, 2003, 3). Hubungan India-Myanmar saat itu benar-benar telah beku, namun satu hal menarik telah terjadi, lima tahun paska tragedi pembantaian atau tepatnya pada tahun 1993 sikap India melunak, ini nampak dari: (1) pernyataan J.N. Dixit (Indian Foreign Secretary) bahwa India sepakat untuk tidak Versi lengkap tulisan ini lihat buku penulis yang berjudul: Pergesaran Politik Luar Negeri India terhadap Myanmar: kepentingan negara demokrasi terbesar di negara otoriter militeristik, yang diterbitkan oleh Wahid Hasyim Prees. 20 Dalam tulisan ini istilah Myanmar dan Burma tidak dibedakan dan digunakan untuk merujuk negara yang sama. 19
89
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
turut campur ke dalam urusan internal Myanmar (Maret 1993); (2) disepakatinya berbagai kerjasama baik ekonomi seperti Border Trade Agreement (Januari 1994) maupun militer seperti Golden Bird (1995) (Renaud, 2003, 5); (3), meningkatnya intensitas saling kunjung pejabat di antara kedua negara, dan ke (4) yang paling tegas yaitu dibukanya kembali kantor perwakilan resmi India di Yangon setelah sebelumnya telah dibekukan (2002). Merapatnya India ke Myanmar yang nampak dari serangkaian indikator tersebut hemat penulis, penting dan menarik
untuk
diamati:
(1)
India
merupakan
negara
demokrasi terbesar di dunia, sementara Myanmar merupakan negara otoriter militeristik di bawah rezim Junta dengan kejahatan pelanggaran HAM berat, namun demikian hal itu tidak
menjadi
halangan
bagi India
untuk
mendekati
Myanmar; (2) Sikap kritis India terhadap Myanmar terjadi ketika masyarakat internasional belum begitu hirau terhadap isu HAM, namun anehnya pasca berakhirnya perang dingin (tahun 1989) ketika isu HAM muncul menjadi hirauan masyarakat internasional, sikap India yang kritis justru berbalik melunak sembari mengabaikan berbagai kritik baik dari dalam negeri maupun luar negeri. B. RUMUSAN MASALAH Masalah yang hendak diteliti dalam riset ini adalah: mengapa terjadi pergeseran sikap India terhadap Myanmar dari konfrontatif menjadi kooperatif?
90
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
C. KERANGKA TEORITIK Milner membangun perspektifnya di atas dasar kritiknya terhadap paradigma dominan dalam Studi Politik Internasional, Realis dan Neo Liberal Institutionalism (Milner, 1998, 759). Negara menurut para penganut paradigma dominan diyakini sebagai aktor utama untuk memahami Politik Luar Negeri, sementara aktor-aktor lain di balik negara seperti individu, kelompok kepentingan maupun perusahaan multi dan trans nasional dianggap tidak signifikan dalam memahami dinamika Politik Luar Negeri. Sementara itu politik internasional—yang disusun oleh interaksi dari Politik Luar Negeri sedikitnya dua negara—bersifat anarki, yakni tidak punya otoritas di atas negara. Ini berlawanan dengan politik nasional yang bersifat hierarki. Padahal faktanya sistem anarki internasional memiliki relasi-relasi dengan sistem hierarki di tingkat nasional. Milner berusaha keluar dari cara berfikir fragmentatif “domestik-internasional”.
Sebab
utama
munculnya
pemisahan kedua ranah tersebut adalah klaim bahwa politik dalam sistem internasional berbeda secara radikal dengan politik domestik (Milner 1998, 759). Kedua ranah itu menurutnya memiliki kaitan yang sangat erat satu sama lain sehingga memisahkannya justru akan mereduksi pemahaman kita terhadap politik internasional atau lebih sepesifik lagi Politik Luar Negeri. Menganalisa Politik Luar Negeri hanya dengan berpijak pada variabel-variabel di salah satu tingkat tersebut diyakini akan menghasilkan pemahaman yang kurang menyeluruh, bila tidak sangat sempit, sehingga
91
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
rekomendasinya adalah mengkombinasikan berbagai variabel di kedua tingkat tersebut (Milner, 1998, 760). Sejalan dengan perspektif Milner adalah perspektif Thomas Oatley. Untuk memahami mengapa pemerintah India memilih kebijakan tertentu ditujukan kepada Myanmar, mengikuti alur berfikir Oatley, maka sedikitnya ada dua aspek yang perlu dimengerti: (1) kita perlu memahami dari mana
kepentingan
(interest)
atau
preferensi
kebijakan
ekonomi/ politik dari kelompok atau aktor tertentu di dalam masyarakat berasal; dan (2) kita perlu menguji bagaimana institusi
politik
mengagregasikan,
mendamaikan,
dan
akhirnya mengubah bentuk kepentingan ke dalam Politik Luar Negeri tertentu dan sebuah sitem ekonomi/ politik internasional yang lebih sepesifik (Oatley, 2006, 11). Interest atau kepentingan, lebih lanjut dijelaskan oleh Oatley, merupakan tujuan atau sasaran kebijakan yang mana aktor-aktor sentral dalam sistem politik-ekonomi (individuindividu,
perusahaan-perusahaan,
organisasi-organisasi
buruh, serta kelompok kepentingan lain dan pemerintah) ingin menggunakan kebijakan ekonomi luar negeri (Politik Luar Negeri) untuk mencapainya (Oatley, 2006, 12). Terkait dengan definisi tersebut maka penting untuk fokus pada dua mekanisme: (1) masyarakat (dengan beragam aktor baik individu maupun kelompok yang ada di dalamnya) memiliki kepentingan material (material interests) yang muncul dari posisi mereka dalam (sistem) ekonomi global. Esensi dari pendekatan ini, menurut Oatley,
dapat diringkas dalam
statmen sederhana: tell me where you work and what you do, and 92
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
I’ll tell you what your foreign economic policy preferences are (Oatley, 2006, 12); (2) gagasan atau ide tentang preferensi kebijakan ekonomi yang berada dalam pikiran aktor-aktor tersebut. Atau lebih sepesifik seperangkat keyakinan dari para pelaku ekonomi terkait kebijakan pemerintah dengan hasil
ekonomi.
Gagasan
sangat
penting
pengaruhnya
terhadap prilaku aktor. Dalam hal ini teori menjadi sumber penting yang akan menginspirasi aktor untuk bertingkah laku. Teori keuntungan komparatif (comparative adventage) misalnya, yang meyakini dengan mereduksi tarif maka masayarakat dalam suatu negara akan makmur menuntun para elit pemerintah yang meyakininya untuk mengurangi tarif, namun bagi mereka yang meyakini sebaliknya maka justru akan berbuat sebaliknya. Demikianlah ide memiliki pengaruh terhadap tingkah laku aktor. Selanjutnya, bagaimana interaksi kepentingan dari banyak aktor itu terjadi untuk kemudian dikonversikan menjadi kebijakan ekonomi luar negeri tertentu maka memahami institusi-institusi politik (poilitical institutions) menjadi sangat penting. Institusi politik seperti lembaga eksekutif maupun legislatif bukanlah berada di dalam ruang fakum kepentingan, mereka dikontruksi sedemikian rupa dalam konteks tarik ulur kepentingan. Tak ayal, aneka pola bagaimana institusi politik mengubah raw material input menjadi produk berupa Politik Luar Negeri tidak dapat dilepaskan dari peta kekuatan baik yang berada di dalam maupun di luar institusi-intitusi politik itu dan bagaimana kepentingan-kepentingan di dalam masyarakat berinteraksi dengannya. 93
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
D. HIPOTESA Pergeseran sikap India terhadap Myanmar pada dasarnya merupakan refleksi dari
kepentingan beragam
aktor dan konteks (ekonomi, sosial maupun politik ) baik di tingkat domestik maupun internasional. Peran para pelaku bisnis, kelompok kepentingan dan penekan tidak kalah pentingnya dengan peran partai penguasa di Parlemen, Perdana Menteri dan pejabat kunci terkait. Di samping dinamika ekonomi politik di tingkat internasional seperti runtuhnya Uni Soviet maupun merapatnya rival India, Cina, ke Myanmar. E. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode riset perpustakaan (library research) dan bersifat kualitatif. Data yang dipakai di sini merupakan data sekunder dari berbagai hasil penelitian sebelumnya, aneka buku dan jurnal terkait, serta media massa dan sumber-sumber dari internet yang dianggap layak. Penelitian
kualitatif
membatasi
diri
hanya
pada
mengeksplorasi apa yang menjadi sasaran penelitian dengan berbasis cara berfikir ilmiah atau lebih tepatnya rasional dan berbasis data. F. INTERAKSI KEPENTINGAN PARA AKTOR Sistem
pemerintahan
parlementer
di
India
memungkinkan perdebatan terkait kebijakan dilokalisir di tingkat Parlemen. Sementara Pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri hanya mengimplementasikan apa yang telah 94
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
diputuskan di dalam Parlemen. Karena Perdana Menteri berasal dari Partai atau koalisi mayoritas di Parlemen maka kemungkinan perbedaan pandangan yang muncul diantara Parlemen dan Pemerintah sangat kecil. Pada saat pergeseran sikap India terhadap Myanmar terjadi, yakni ketika pada tahun 1993 J.N. Dixit (India Foreign Secretary) atas nama pemerintahan India menyatakan tidak akan campur tangan terhadap urusan dalam negeri Myanmar, Parlemen di India di kuasai oleh INC (India National Congres)21. Tentu Perdana Menteri juga berasal dari Partai tersebut, yaitu Narashima Rao. INC sejatinya merupakan Partai dengan basis ideologi nasionalisme yang sangat kuat dengan preferensi kebijakan proteksionis, namun dalam perkembangannya krisis ekonomi22 yang melanda India pada tahun 1990 membuat strategi proteksionis INC yang selama ini dijadikan jurus ampuh tidak dapat diandalkan lagi. Dalam konteks ini INC tidak dapat terus mengandalkan strategi proteksionis.
Di
bawah
manajer
Menteri
Keuangan
Pada periode 1991-1996 INC menguasai 43% dari total kursi di Parlemen India. INC merupakan partai tertua dan terbesar di India, ia berdiri tahun 1885. Di masa kolonial INC memposisikan diri sebagai gerakan perjuangan melawan kolonialisasi Inggris yang mengusung ideologi nasionalisme. Kendati beberapa kali pernah tidak berkuasa namun kemampuannya dalam mempertahankan kesinambungan dukungan pemilih di India relatif stabil. Ini nampak misalnya dari banyaknya kader partai INC yang menjabat sebagai Perdana Menteri. 21
Krisis ekonomi India terutama disebabkan oleh: Pertama, runtuhnya mitra dagang utama India, Uni Soviet pada tahun 1989; dan kedua, krisis teluk yang berakibat pada melambungnya harga minyak dunia, padahal India merupakan salah satu konsumen penting minyak dunia. 22
95
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Manmohan Singh23 India akhirnya harus menerima dana bantuan dari IMF dengan serangkaian syarat liberalisasi ekonominya. Gagasan Manmohan Singh sebenarnya bukanlah gagasan populer di India, terutama di dalam Partai INC, namun
keberhasilan
transformasi
ekonomi
membuat
kekuasaan INC mendapat legitimasi politik yang semakin kuat. Dalam tubuh INC sendiri yang memiliki basis ideologi nasionalisme
dan
preferensi
keberhasilan
liberalisasi
kebijakan
ekonomi
India
proteksionis, mendorong
transformasi ideologi dan preferensi kebijakan partai ini menjadi condong ke liberal. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi di India pasca liberalisasi dibarengi dengan terbukanya 3 ranah peluang bisnis bagi para pelaku ekonomi di India yang membuat
23 Dua hal penting yang perlu di garis bawahi dari Manmohan yaitu: Pertama, Manmohan Singh adalah ekonom produk pendidikan barat. Ia meraih gelar sarjana (1957) dari Universitas Cambridge (St. John's College) dan gelar D.Phil (1962) dari Universitas Oxford (Nuffield College); dan kedua Manmohan meniti karirnya di jalur ekonomi selain sebagai tenaga pengajar di banyak perguruan tinggi di India. Adapun karir ekonom Singh di antaranya yaitu: Chief Financing for Trade Section UNCTAD PBB, bersekretariat di New York; Economic Advisor, Ministry of Foreign Trade, India (1971-1972); Chief Economic Advisor Menteri Keuangan India (1972-1976); Direktur Riset Bank India (1976-1980); Direktur Pembangunan Industri Bank India (1976-1980); Sekretaris Menteri Keuangan (Departement of Economic Affairs) Pemerintahan India (1977-1980); Gubernur Riset Bank India (1982-1985); Wakil Ketua, Komisi Perencanaan India, (1985-1987); Advisor Perdana Menteri India bidang Economic Affairs (1990-1991); Menteri Keuangan India, (21 Juni 1991-15 Mei 1996); Ketua Oposisi di Rajya Sabha; dan Ia menjadi Perdana Menteri India untuk dua periode (22 Mei 2004 - Sekarang), sehingga tidak mengherankan bila Singh memiliki pandangan liberal.
96
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
negeri ini pada perkembangannya harus merapatkan diri ke Myanmar, yaitu: perluasan ekspansi pasar ke Myanmar dan Indocina24; meningkatnya kebutuhan energi25; dan import aneka akar-akaran dari Myanmar sebagai bahan baku produk obat-obatan. Sejumlah perusahaan India yang bergerak dalam bidang elektronik, otomotif, farmasi hingga energi merasa berkepentingan
untuk
mendorong
pemerintah
agar
merapatkan diri ke Myanmar. Sampai tahap ini dapat dibaca bahwa sedikitnya terdapat dua kelompok aktor yang ber simbiosis mutualisme dalam konteks mendekatnya India ke Myanmar, yaitu pertama, para penguasa yang diperankan partai INC termasuk Perdana Menteri Narashima Rao dan Menteri Keuangan Manmohan Singh yang diuntungkan dengan menguatnya legitimasi politik terutama dari para pelaku bisnis; dan kedua, kelompok bisnis yang diuntungkan dengan serangkaian Perluasan pasar ke Myanmar menjadi konsekuensi logis dari meningkatnya kontribusi sektor industri terhadap GDP India. Pada tahun 1987/8 atau ketika kebijakan liberalisasi di India belum direalisasikan sumbangan sektor Industri terhadap total GDP di India hanya 22 % sementara sektor pertanian jauh lebih tinggi yakni mencapai 28 %. Kemudian pada tahun 2004/5 atau 13 tahun paska kebijakan liberalisasi ekonomi diimplementasikan pertanian turun menjadi 18 % sementara Industri naik menjadi 23 %. Meningkatnya kontribusi sektor industri tersebut dibarengi dengan meningkatnya perdagangan India Myanmar. Bila pada tahun 1999 perdagangan kedua negara hanya mencapai angka 205, 69 juta dolar maka pola perdagangan terus meningkat hingga mencapai angka 1.352, 09 juta dolar pada tahun 2011. Sementara itu aneka produk India yang dieksport ke Myanmar dipimpin oleh barang-barang hasil produksi, terutama produksi baja, besi, obat-obatan dan berbagai produk alat-alat elektronik rumah tangga. 24
pertumbuhan ekonomi India yang melaju pesat diiringi dengan semakin meningkatnya import energi dari Myanmar. 25
97
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
infrastruktur
baik
menghubungkan
berupa
jalur-jalur transportasi yang
India-Myanmar-Indocina
seperti
India-
Myanmar Friendship Road; Trans Asia Highway; dan Trans Asia Railway maupun berupa regulasi bisnis di Myanmar seperti yang nampak dari Bilateral Investmen Promotion Agreement (BIPA) untuk memberikan kemudahan-kemudahan yang lebih besar bagi para investor India di Myanmar maupun Indocina. Di sisi lain, masyarakat India diuntungkan oleh perluasan
ekonomi
ke
arah
timur
India
tersebut.
Perekonomian India memiliki trend pertumbuhan posistif, setidaknya sejak tahun 2003 rata-rata pertumbuhan ekonomi negeri ini mencapai angka 8% pertahun. Kendati demikian di dalam masyarakat India ada juga kelompok-kelompok yang anti Myanmar. Idealisme ajaran Gandhi dan Nehru yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan membuat mereka sangat membenci pemerintahan militer di Myanmar. Hampir semua radio di India menyiarkan kebrutalan Militer Myanmar dan mengutuk aksi tersebut (Renaud, 2003, 3). Sayangnya gerakan masyarakat anti Junta di India tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap sikap Pemerintah India terhadap Myanmar terutama pasca 1993 ketika India mulai merapatkan diri ke Myanmar. Hemat penulis karena kelompok ini tidak memiliki jalur aspirasi yang kuat di Parlemen. Pada saat yang bersamaan gerakan separatisme di perbatasan India-Myanmar, menurut penulis, menjadi alasan cukup meyakinkan bagi Pemerintah untuk mendekatkan diri ke Myanmar. Bersikap kritis kepada Myanmar hanya akan 98
Sugiarto Pramono
membuat
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Myanmar
berkolaborasi
dengan
gerakan
separatisme di perbatasan yang pada akhirnya hanya akan semakin mengacam kedaulatan India. Kebijakan open door India bagi para pelarian politik dari Myanmar pada tahun 1988 berpotensi mendorong Myanmar untuk membantu kelompok separatisme di daerah-daerah seperti Arunachal Prades, Manipur, Mizoram, dan Nagaland. Dalam seting interaksi aktor semacam ini maka kepentingan para pebinis dan penguasa di India menempati porsi yang cukup besar di balik pergeseran sikap India terhadap Myanmar. G. RESPON
INDIA
TERHADAP
DINAMIKA
INTERNASIONAL 1. Runtuhnya Uni Soviet Apa akibat dari runtuhnya Uni Soviet bagi bagi India? Runtuhnya Uni Soviet yang menandai matinya komunisme dan berakhirnya Perang Dingin26—menurut Fisty Ichti Cahya Berakhirnya perang dunia II pada tahun 1945 membawa akibat munculnya dua kekuatan utama di dunia. Amerika sebagai promotor ideologoi liberalisme dan Uni Soviet sebagai sebagai promotor komunisme. Pada perkembangannya masing-masing pihak menjadi kutub kekuatan yang ditandai dengan terfragmentasinya negara-negara di dunia ke dalam dua pengaruh negara yang kemudian di sebut super power tersebut. Inilah era yang disebut perang dingin. Secara lebih operasional perang dingin dapat dipahami sebagai perang urat syaraf antara Amerika dan Uni Soviet. Kendati tidak terjadi konfrontasi senjata secara langsung antara kedua super power, namun perang-perang kecil yang merepresentasikan kedua kekuatan tersebut terjadi di banyak negara. Tunjuk saja misalnya perang Korea dan Vietnam. Pada perkembangannya Uni Soviet runtuh. Mengapa Uni Soviet runtuh? Bagaimana Uni Soviet runtuh? Berikut akan dipaparkan ringkasan hasil peneitian Fisty Ichti Cahya (2007). Fisty menunjukkan bahwa sedikitnya 26
99
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
(2007)—membawa konsekuensi yang sangat nyata bagi perpolitikan dunia.
Komunisme sudah tidak memiliki
kekuatan sosial seperti sebelum runtuhnya negara ini. Namun yang terpenting dari momentum runtuhnya Uni Soviet dalam konteks memahami prilaku India adalah perubahan konstalasi politik internasional yang terjadi akibat runtuhnya negara komunis itu. Bagi India runtuhnya Uni Soviet merupakan pukulan telak perekonomiannya karena negeri komunis itu merupakan mitra dagang utama India. Pihak yang paling dirugikan adalah para pelaku bisnis. India bahkan harus mengorbankan hubungannya dengan negaranegara di Asia Tenggara terutama Indonesia dan Malaysia ada 3 pendorong runtuhnya negeri komunis ini: (1) krisis (politik, ekonomi, sosial); (2) Glasnost dan Perestroika; dan (3) konflik etnis. Krisis politik di Uni Soviet disebabkan oleh Leninisme. Krisis ekonomi di Uni Soviet terjadi karena inefisiensi yang kronis dari sistem yang dikolektivasi, keborosan ekonomi, keterbelakangan teknologi dan sistem hegemoni. Sementara krisis sosial budaya di Uni Soviet terjadi karena adanya pembagian kelas dalam kehidupan masyarakat Uni Soviet, rendahnya kualitas kehidupan masyarakat Uni Soviet, serta tidak diperbolehkan berkembangnya kreativitas masyarakat oleh pemerintah Uni Soviet. Sementara Glasnost dan Perestroika yang dicanangkan oleh Gorbachev merupakan pemicu bagi meledaknya revolusi sosial di negaranegara Eropa Timur. Glasnost dan Perestroika membuat dunia komunis meragukan sistem sosial-komunis mereka untuk dapat tetap menjawab tantangan zaman. Di sisi lain konflik etnis di Uni Soviet tumbuh dari kesadaran akan eksistensi kelompok. Gorbachev terlambat dalam menyadari pentingnya permasalahan etnis, sehingga sudah telanjur banyak terjadi kerusuhan, demonstrasi dan protes dari etnis-etnis di beberapa tempat di Uni Soviet yang terjadi secara berturut-turut, namun sporadis. Bagaimana uni Soviet Runtuh? Runtuhnya Uni Soviet terjadi setelah satu persatu republik-republik di Uni Soviet melepaskan diri dari USSR. Banyak cara telah dilakukan Gorbachev untuk mencegah disintegrasi Uni Soviet, namun gagal. Pemerintah Uni Soviet berakhir ditandai dengan pengunduran diri Presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev pada tanggal 25 Desember 1991 dan pembentukan CIS oleh pemimpin Rusia, Boris Yeltsin.
100
Sugiarto Pramono
ketika
berhubungan
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dengan
negeri
komunis
itu.
Pemberontakan komunis di dua negara yang disebut terakhir itu yang mempengaruhi presepsi buruk dua pendiri ASEAN tersebut terhadap Uni Soviet. Seting baru struktur internasional pasca perang dingin pada akhirnya mendorong India untuk mereposisi Politik Luar Negerinya kepada negara-negara di sisi timurnya, terutama Myanmar dan lebih umumnya lagi ASEAN. Sehingga pada tahun 1992 India merilis kebijakan melihat ke timur (look east policy)27. 27 Look east policy atau kebijakan melihat ke Timur dirilis India kali pertama pada tahun 1992 atau tiga tahun setelah mitra dagang utama India, Uni Soviet hancur. Berikut akan diuaraikan Penjelasan tentang kebijakan melihat ke Timur yang disarikan dari tulisan Mansur (2008, 79-100). Secara operasional look east policy diimplementasikan India dengan melakukan kerjasama baik di tingkat regional maupun negara. Di tingkat regional sejumlah kerjasama India dengan ASEAN yang dapat ditunjuk sebagai perwujudan kebijakan melihat ke Timur dapat ditelusuri sebagai berikut. Pada tahun 1992 kebijakan melihat ke timur untuk kali pertama di rilis India dengan mendaftarkan diri sebagai mitra dialog ASEAN. Pada perkembangannya India menjadi mitra dialog penuh ASEAN di tahun 1995. Lebih jauh India pada tahun 1996 menjadi anggota ASEAN Regional Forum (ARF). Tidak puas dengan hanya menjadi anggota ARF, India melangkah pada tahap yang lebih maju yakni dengan meng-institusionalisasi hubungannya dengan ASEAN. Kali ini bersama ASEAN, India mengadakan India-ASEAN summit pada tanggal 5 November 2002 di Phnom Penh di Kamboja. Hingga setidaknya tahun 2007 India-ASEAN summit sudah dilakukan untuk kali ke lima. Rangkaian kesepakatan tersebut berada dalam sebuah kerangka kerjasama komperhensif (Framework Agreement on comprehensive economic cooperation between ASEAN and India) yang ditandatangani oleh Atal Bihari Vajpayee (Perdana Menteri India) dengan para pemimipin ASEAN pada tahun 2003. Bahkan India dan ASEAN juga telah menyepakati India-ASEAN Business Summit untuk meningkatkan dialog diantara para pembuat kebijakan dengan para pelaku ekonomi swasta. Kegiatan ini telah dilaksanakan untuk kali pertama di New Delhi pada tahun 2002. Dua penyangga lain kebijakan melihat ke Timur India yaitu MekongGangga Cooperation Initiative (MGCI) dan Bay of Bengal Initiative for
101
Sugiarto Pramono
2. Perdagangan dengan Indocina
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
(Kamboja, Laos,
Vietnam, Thailand) Secara geografis Myanmar terletak di sebelah timur laut India dan menghubungkan India dengan Laos, Kamboja, Vietnam dan Thailand. Myanmar dengan luas daratan 261, Multisectoral Technical and Economic ooperation (BIMSTEC). Pertama MGCI, kerjasama ini sejatinya merupakan upaya untuk memperdalam kerjasama India dengan negara-negara ASEAN, terutama negara-negara CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam) ditambah Thailand. MGCI dibentuk pada tanggal 10 November 2000 di Vientiane, Laos. Ada 4 sektor yang menjadi cakupan dalam kerjasama tersebut, yaitu: turisme; kebudayaan; pendidikan dan transportasi; dan komunikasi untuk menunjang perdagangan dan investasi di negara MGCI. Kedua, BIMSTEC. Untuk kali pertama nama kerjasama regional ini yaitu Bangladesh, India, Sri Langka, Thailand Economic Cooperation atau yang disingkat BIST-EC yang didirikan pada 6 Juni 1997. Menariknya Myanmar yang secara geografis justru berbatasan secara darat dengan India baru bergabung setengah tahun kemudian yakni pada Desember 1997. Dengan masuknya Myanmar, nama kerjasama regional tersebut diubah menjadi Bangladesh, India, Sri Langka, Myanmar, Thailand Economic Cooperation (BIMST-EC). Di tahun 2003 Bhutan dan Nepal ikut bergabung kemudian nama kerjasama itu diubah lagi menjadi BIMSTEC. Sedikitnya terdapat 13 sektor yang tercakup dalam kerjasama ini, yaitu: (1) Trade and Investment yang dipimpin oleh Bangladesh; (2) Technology oleh Sri Langka; (3) Energy; (4) Agricultural yang dipimpin Myanmar; (5) Transportation and Communication; (6) Tourism; (7) Environment and Disaster Management; (8) Counter Terrorism yang dipimpin oleh India; (9) Fisheries; (10) Public Health; (11) People to People Contact yang dipimpin oleh Thailand; (12) Cultural Cooperation oleh Bhutan; dan (13) Poverty Alleviation yang dipimpin oleh Nepal. Sementara di tingkat bilateral India menjalin kerjasama dengan masing-masing negara anggota ASEAN. Yang terpenting dari kebijakan melihat ke Timur dalam konteks pergeseran sikap India kepada Myanmar adalah bahwa kebijakan tersebut dirilis India sejak tahun 1992 atau setahun sebelum India melalui J.N. Dixit (Indian Foreign Secretary) sepakat untuk tidak turut campur ke dalam urusan internal Myanmar pada bulan Maret 1993. Hemat penulis penggalan informasi tersebut dapat dipahami bahwa mendekatnya India ke Myanmar didorong oleh kebijakan melihat ke Timur India. Secara operasional India akan kesulitan mengimplementasikan kebijakan tersebut tanpa memiliki hubungan erat dengan Myanmar.
102
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
970 mil atau 678.500 km2, berbatasan secara langsung dengan Thailand dan Laos. Bersama Thailand, Myanmar berbagi batas sepanjang 1.314 mil, sementara dengan Laos memiliki perbatasan darat sepanjang 125 mil (Steinberg, D. I., 2010, xxvi). Dan yang menarik lagi, Laos berbatasan secara darat dengan Vietnam sedangkan Thailand dengan Kamboja. Apa maknanya bagi India? Myanmar menjadi jembatan darat (atau Bridge Land, meminjam istilah Raja Mohan, 2010, 1) bagi perdagangan India dengan Indocina. Berbagai produk para pengusaha India dapat mencapai pasar di Indocina tanpa melalui Selat Malaka. Jalur darat Myanmar lebih efesien dan efektif untuk rute perdagangan para pebisnis India dengan pasar mereka di daratan tersebut. Asumsi ini menjadi meyakinkan, mengingat sejumlah fakta berikut: (1) Indocina menjadi sasaran paling favorit bagi para investor dari India di ASEAN, terutama setelah tahun 2007. Para investor menggarap sektor publik maupun privat di daratan ini. di Vietnam misalnya, melalui Oil and Natural Gas Corporation (Videsh) Ltd (OVL); Essar; dan Tata Steel total investasi India di negeri komunis itu menempati peringkat terbesar ke 6 di tahun 2007 (naik 22 peringkat dari tahun sebelumnya) dengan nilai total investasi sebesar US$ 6 juta milyar, atau terbesar di ASEAN (Shekar, 2008); (2) baik India maupun maupun Indocina mengalami pertumbuhan ekonomi
yang cukup cepat (lihat grafik 10
pertumbuhan ekonomi Indocina). Indocina yang terdiri dari negara late comers tak ayal menjadi sasaran FDI global. Seting
103
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
pertumbuhan ekonomi di Indocina tak pelak menarik perhatian para investor India sehingga sejumlah proyek jalur transportasi pun digarap. Grafik 10 Pertumbuhan ekonomi Indocina (Thailand, Vietnam, Laos dan Kamboja) 13,4
8,5 7,3
7,8
7,7 6,8
5,5 4,2
4
6
4,5
4
2000
2005
Thailand
Vietnam
2010 Laos
Cambodia
Data dimodivikasi oleh penulis dari: http://www.indexmundi.com/g/g.aspx?c=th&v=66
Dalam hal ini sedikitnya terdapat 4 proyek penting jalur
transportasi:
(1)
proyek
pembangunan
jalan
persahabatan India-Myanmar (India-Myanmar Friendship Road) sepanjang 160 km antara Tamu dengan Kalemyo yang diresmikan pada Februari 2001; (2) proyek pembuatan Trans Asia Highway untuk meningkatkan hubungan ekonomi IndiaMyanmar yang diresmikan pada April 2002; (3), Trans Asia Railway yang direncanakan akan menghubungkan 28 negara (the Hindu, 1 Juli 2007 dalam Yhome, 2009, 14) termasuk India, Myanmar dan Indocina. Rencana, rute akan masuk India 104
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
melalui Tamu, perbatasan Myanmar. Proyek tersebut akan menguatkan mobilitas ekonomi India dengan negara-negara di Indocina; dan (4) proyek jalan raya (trial highway project) sepanjang 1.360 km dalam kerangka kerjasama multilateral BIMSTEC dan Mekong Gangga Cooperation (MGC) yang menghubungkan India, Myanmar dan Thailand. Pada tahun 2007, tahap pertama proyek ini telah selesai 18 km, menghubungkan
Myawaddy,
jajaran
pegunungan
Taninthrayi. Rencana jalur jalan raya besar itu akan melalui Moreh (India), Tamu, Bagan Myawaddy (Myanmar), Mae Sot (Thailand) (Yhome, 2009, 13). Terbukanya jalur-jalur darat tersebut membuat para pebisnis India memiliki akses menuju ratusan juta masyarakat di keempat negara itu yang berarti membawa sedkitnya dua implikasi: konsumen bagi aneka produk India dan buruh murah. Jalur darat Myanmar akan memangkas harga produkproduk India sehingga relatif lebih bisa bersaing dengan aneka produk dari Cina. Argumentasi ini paralel dengan kerjasama Mekong Gangga Cooperation yang mengikat kelima negara tersebut dalam radius pengaruh ekonomi India.
105
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Grafik 11 Perbandingan trend perdagangan India-Indocina dengan IndiaMyanmar 1997-2011(dalam juta dolar) 10875,55
3139,5
765,99 222,3 1997
1126,75 234,4 2001 Indocina
1352,09 636,66 2006
2011 Myanmar
Sumber: Export Import Data Bank, Department of Commerce , Ministry of Commerce and Industry, Government of India official website commerce.nic.in/eidb/default.asp, (data diolah penulis sesuai kebutuhan)
Trend
perdagangan
India-Indocina,
sebagaimana
terlihat dalam grafik di atas, mulai meroket sekitar tahun 2002 atau bertepatan dengan dibukanya kembali kantor perwakilan India di Myanmar (2002). Ini maknanya ada korelasi positif antara mencairnya hubungan India-Myanmar dengan pertumbuhan perdagangan India-Indocina. Peluang yang terbuka bagi para pengusaha India yang disebabkan oleh mencairnya hubungan kedua negara, telah dirasakan manfaatnya oleh para pelaku bisnis tersebut. Tunjuk saja misalnya, dari target perdagangan kedua pemerintah senilai US$ 1 milyar pada tahun 2006/7, The Indian Commerce Ministry sebagaimana dikutip Yhome (2009, 5) melaporkan capaian perdagangan di tahun tersebut hingga 106
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
US$ 921,87 juta, atau kurang sedikit menyentuh target. Optimisme para pelaku bisnis India untuk berekspansi ke Indocina nampak dari trend positif perdagangan India dengan daratan tersebut terutama setelah tahun 2002. 3. Upaya
India
mengurangi
pengaruh
Cina
dan
Pakistan di Myanmar Baik Cina maupun Pakistan keduanya memiliki relasi harmonis dengan Myanmar. Bagi Cina, Myanmar merupakan rute terpendek yang menghubungkannya dengan Samudera India bagian utara. Dari pada melalui Selat Malaka dengan aneka konsekuensi biaya ekonominya yang tinggi maka hubungan baik dengan Myanmar bagi Cina akan memangkas biaya tinggi jalur perdagangannya dengan Timur Tengah. Cina bahkan telah menandatangani kesepakatan jangka panjang dengan Myanmar untuk eksploitasi cadangan hidrokarbon dan transportasi minyak melalui jalur darat dengan menggunakan pipa sepanjang
1.100 km dari
pelabuhan Kyaukryu di sebelah selatan Myanmar hingga perbatasan kota Ruili di Yunan, Cina selatan. Jaringan pipa minyak dan gas tersebut membuat Cina menjadi tidak lagi bergantung pada Selat Malaka (Kanwal, Gurmeet, 2010). Sementara bagi Pakistan, Myanmar adalah mitra yang sangat baik. Pada tahun 1989 ketika kebijakan India pada Myanmar masih berada dalam masa konfrontatif, Pakistan, sebagaimana
dilaporkan
William
Ashton
(2009),
telah
mendekati Myanmar. Seorang pejabat senior dari perusahaan senjata pemerintah Pakistan telah berkunjung ke Yangon dan
107
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
menawarkan kepada SLORC peralatan perang. Peristiwa tersebut diikuti dengan kunjungan sekelompok perwira Tadmadaw senior di bawah pimpinan Jenderal Tin Tun ke Pakistan dua bulan kemudian. Masih menurut William Ashton: Bertil Lintner melaporkan kesepakatan segera dicapai dengan Pakistan untuk menjual 150 senapan mesin; 50.000 butir amunisi; dan 5.000 bom mortir 120mm kepada SLORC. Hubungan
saling
menguntungkan
antara
kedua
negara tak ayal berpengaruh pada kesinambungan hubungan kedua negara. Di satu sisi Myanmar telah memberikan informasi
intelejen
kepada
Pakistan
terkait
dengan
perkembangan di Bangladesh, sementara di sisi lain, sebagai balasan, Pakistan membatu menangkis kritik yang ditujukan kepada Myanmar di forum multilateral seperti PBB. Contoh bentuk balas budi Pakistan kepada Myanmar yang dapat ditunjuk adalah selama akhir tahun 1980 an bersama Cina, Pakistan menentang resolusi yang ditujukan kepada Myanmar di Komisi HAM PBB. Di tingkat yang lebih rendah,
Pakistan
juga
dapat
membantu
melindungi
kepentingan Myanmar dengan negara-negara Islam, yang telah mengungkapkan keprihatinan tentang pengobatan Muslim di Myanmar, termasuk nasib Rohingya di negara bagian Arakan. Manfaat praktis terpenting yang timbul dari hubungan Myanmar-Pakistan bagi rezim militer di Myanmar adalah mereka memiliki pemasok amunisi dan suku cadang untuk persediaan persenjataan mereka. Kedua negara sangat bergantung pada senjata dan peralatan teknologi militer Cina 108
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
bahkan ada juga senapan otomatis yang berasal dari Jerman, sementara senapan mesin ringan dan amunisi diproduksi di tingkat lokal (Ashton, William: 2009). Sementara di sisi lain dengan India, Cina dan Pakistan memiliki hubungan sejarah yang kurang harmonis. Bersama Cina, India di Asia merupakan dua kekuatan besar yang sedang bersaing dan diyakini di masa-masa yang akan datang persaingan di antara keduanya akan semakin tajam. Pertama, faktor sejarah. India memiliki masalah perbatasan dengan Cina di daerah Arunachal Prades disebabkan perbedaan perspektif terhadap tapal batas Mc Mahon yang dibuat Inggris pada tahun 1913. Konflik perbatasan tersebut memang telah diupayakan jalan damai melalui jalur diplomasi, namun masalah itu masih sangat berpotensi muncul kembali di masa depan. Kedua, baik India maupun Cina diprediksi menjadi kekuatan
ekonomi
O'Neill (Chairman,
raksasa Goldman
di
masa Sachs
depan.
Jim Asset
Management) meramalkan India dan Cina—disamping Brasil dan Rusia yang kemudian dikenal dengan singkatan BRIC— akan menjadi kekuatan vital ekonomi dunia. Secara lebih sepesifik Jim O'Neill menulis: The economic might of many of the Growth Market countries— certainly the four BRICs (Brazil, Russia, India and China)—is so vital to the world economy that people have to start thinking about just how much the world is changing, and what a better place it is as a result of it. (Goldman Sachs: Introducing "The Growth Map")
109
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat yang terjadi di kedua negara tersebut sedikitnya membawa tiga implikasi: 1. ekspansi pasar; 2. meningkatnya sumber konsumsi energi; dan 3. meningkatnya kebutuhan bahan baku. Seting itulah yang menciptakan relasi persaingan kedua negara terutama di Myanmar dan umumnya Indocina. Ketiga, secara geografis kedua negara itu berbatasan. Rivalitas berpotensi menjadi isu utama dalam hubungan kedua negara terlebih lagi keduanya berbatasan dengan Myanmar dan secara umum Indocina atau lebih luas lagi Asia Tenggara daratan yang di mata kedua raksasa ekonomi tersebut berarti pasar untuk ekspansi ekonomi, sumber bahan mentah dan sumber energi baru. Secara lebih rinci rivalitas India-Cina di Myanmar nampak dari: pertama perdagangan. Kendati perdagangan India dengan Myanmar tidak seagresif perdagangan Cina dengan negeri Junta itu, namun trend perdagangan IndiaMyanmar
melaju
cukup
tajam.
Persaingan
sengit
perdagangan kedua negara nampak dari pola perdagangan kedua negara dengan Myanmar, sebagaimana nampak dalam grafik berikut.
110
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Grafik 12 Trend perdagangan India dan Cina dengan Myanmar 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 tahun India
Cina
Catatan: data India diperoleh dari Export Import Data Bank, Department of Commerce, Ministry of Commerce and Industry, Government of India official website commerce.nic.in/eidb/default.asp (data telah diolah penulis sesuai dengan kebutuhan); data Cina diperoleh dari China Statistical Year Book dalam Myoe (2007), hal: 6.
Kedua, rivalitas kedua negara juga nampak dari keberadaan perusahaan-perusahaan energi India dan Cina di Myanmar.
Sebagai
negara
yang
memiliki
tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, India dan Cina memiliki produktivitas
ekonomi
yang
tinggi
pula,
sehingga
konsekuensinya adalah kedua negara tersebut tidak bisa lebas dari upayanya untuk selalu mencari sumber energi baru.
No 1
2 3
Tabel 10 Investasi India dalam sektor energi di Myanmar Company Blocks (offshore) ONGC Videsh Ltd AD-2, AD-3, AD-9 (100% stake); A-1 dan A-3 (20%) GAIL A-1 dan A-3 (10%) Essar Oil Ltd A-2 and block L Sumber: Yhome, 2009, 9
Total 5
2 2
111
Sugiarto Pramono
No 1 2 3
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Tabel 11 Investasi Cina dalam sector energi di Myanmar Company Blocks (offshore) CNOOC A-4, M-2, M-10, PSC-M, PSCC1, PSC-C2 SINOPEC PSC-D CNPC IOR-3, RSF-2, RSF-3, IOR-4, AD-1, AD-6, AD-8 Sumber: Myoe, 2007, 16
Total 6 1 7
Sementara dengan Pakistan India memiliki kenangan sejarah yang sangat buruk. Selama berpuluh tahun India telah berkonflik dengan Pakistan terutama terkait dengan masalah Kasmir. Bukan di sini temptnya menguraikan konflik IndiaPakistan. Ringkasnya, bila Cina dan Pakistan berhubungan harmonis dengan Myanmar, sementara di sisi lain kedua negara berkonflik dengan India, maka mendekatnya kedua negara itu ke Myanmar sangat wajar bila menarik perhatian India dan mendorong negeri ini untuk merapatkan diri ke Myanmar dalam rangka untuk mengurangi pengaruh Cina dan Pakistan di negeri Junta itu.
112
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BIBLIOGRAPHY Ashraf,
F
(n.d.).
India-Myanmar
Relations.
http://www.issi.org.pk/publicationfiles/1303370395_33739096.pdf,
accessed
October
18,
2011, p 3. Bhattacharya, Rakhee (2010). “Does Economic Cooperation Improve Security Situation: The Case of India-Myanmar Relations”. Asia-Pacific Journal of Social Sciences. Special Issue No.1. Bose, Srinjoy (2007). ”Energy Politics India-BangladeshMyanmar Relations”. IPCS. Special Report. No 45. Comparative Politics”. International Organization. 52, 4, Autumn 1998, p. 759. Ganesan, N. “Myanmar’s Foregn Relations: reaching out to the world” dalam Hlaing, Kwaw Yin, et all. (ed). (2005). Myanmar: beyond politics to societal imperatives. Singapure: ISEAS, p 39; International
IDEA. (2001). Challenges to Democratizaton in
Burma, Perspectives on multilateral and bilateral responses. http://www.idea.int/asia_pacific/burma/upload/challeng es_to_democratization_in_burma.pdf.
Accessed
April
10, 2012. Jemadu, Aleksius (2008). Politik Global: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, p. 31. Kumar, R. (2008). “India as a Foreign Policy Actor–Normative Redux”. CEPS. Working Document No. 285/ February 2008.
113
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Milner, Helen V. (n.d.). “Rationalizing Politics: The Emerging Synthesis of International, American, and Mohan, R. (2010). “Embracing Myanmar: India’s Foreign Policy
Realism”.
RSIS
COMMENTARIES.
www.rsis,edu.sg. Accessed October 20, 2011. Oatley, Thomas. (2006). International Political Economy: Interests and Intitutions in Global Economy. New York: Pearson, p 11. The Burma Campaign UK. (2007).“Burma-India Relation: a Betrayal of Democracy and Human Rights (a Summary of the Key
Issues
Relating
to
Burma-India)”.
http://www.burmacampaign.org.uk/reports/India_Briefi ng.pdf. Accessed October 20, 2011. Renaud, Egreteaud. (2003). “India and Burma/ Myanmar Relations From Idealism to Realism (paper draft)”. Conference on India and Burma/ Myanmar Relations: From Idealism to Realism. Thursday 11th September 2003, Conference Room I, India International Center, New Delhi, India, p 3. Yhome, K. (2009). India-Myanmar Relations (1998-2008): A Dacade of Redefining Bilateral Ties. New Delhi: Observer Research Foundation.
114
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
APENDIKS 1 Peta pengaruh aktor/ peristiwa/ konteks di berbagai tingkat terhadap pergeseran sikap India terhadap Myanmar
115
Sugiarto Pramono
116
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BAB 7 MENDORONG PARTISIPASI LOKAL DALAM KERJASAMA ASEAN
Bila mengevaluasi secara kasar isu dan kebijakan di tingkat ASEAN maka akan dengan mudah seseorang menemukan betapa ruang yang tersedia bagi partisipasi aktif masyarakat lokal nampak sangat sempit, bila enggan untuk mengatakan tertutup. Alih-alih berfokus pada isu-isu lokal seperti konflik horizontal antar etnis, perseteruan investor vis a vis penduduk lokal, degradasi lingkungan, budaya lokal yang
mulai
tersingkirkan
hingga
masalah
kesehatan
penduduk lokal, ASEAN jauh lebih tertarik dengan isu keamanan—terutama
dalam
perspektif
penguasa—dan
liberalisasi ekonomi. Bila tujuan normatif negara adalah untuk melayani kepentingan
penduduk
negara
tersebut,
maka
sudah
selayaknya pula bila kerjasama yang dilakukan negara juga diabdikan kepada kepentingan warga negaranya. Sehingga salah satu barometer yang paling mudah dilihat untuk mengetahui tingkat keefektifan suatu kerjasama internasional yaitu seberapa besar masyarakat diuntungkan oleh kerjasama tersebut. Dengan cara berfikir tersebut, tulisan ini akan mendudukan ASEAN sebagai salah satu bentuk kerjasama regional dalam konteks kepentingan masyarakat lokal.
117
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
A. PROBLEMATIKA DI TINGKAT LOKAL ASEAN terdiri dari 10 negara dengan karakter geografis dan demografis yang majemuk. Kecuali Thailand semua negara ASEAN pernah dijajah dan merdeka paska perang dunia II. Faktor penjajah membawa pengaruh yang beragam terhadap masyarakat di ASEAN. Bila aneka isu di tingkat lokal nyaris tidak terditeksi karena tertindih oleh isu keamanan terutama di era perang dingin, maka berakhirnya perang dingin [1990] telah menciptakan iklim global yang cukup akomodatif terhadap pluralisme isu-isu baru, namun demikian hadirnya keragaman isu tersebut tidak serta merta menyingkirkan dominasi isu keamanan terutama dalam pemahaman kepentingan elit penguasa dan bisnis. Di sisi yang berseberangan isu-isu arus pinggir [di luar isu utama keamanan dan ekonomi dalam pemahaman elit] tetap eksis dengan porsi perhatian yang sangat kecil. Konflik etnis, pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, penyakit, ilegal loging, Human trafficking, penyelundupan obat-obat terlarang, prostitusi serta masih banyak yang lain menjadi isu yang tidak mendapat perhatian berarti baik oleh para pemangku kebijakan, para akademisi maupun media massa kecuali dalam porsi yang relatif kecil. Di tingkat lokal di seantero Asia Tenggara terdapat isu yang sangat beragam, sebut saja: konflik antar etnis, seperti di Maluku, Aceh, Papua, Rohingya, Moro dan lain sebagainya; liberalisasi ekonomi yang berimplikasi pada terintegrasinya ekonomi global baik secara finansial maupun perdagangan yang tak dapat dihindari memposisikan area-area lokal hanya 118
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
sebagai sub ordinat dari pusat-pusat ekonomi dunia. Tergerusnya budaya lokal oleh budaya luar yang dengan cepat mendominasi terutama remaja di Asia Tenggara. Penduduk lokal diposisikan sebagai sasaran kebijakan. Kolaborasi kepentingan elit ekonomi dan penguasa seringkali menciderai
kepentingan
masyarakat
di
tingkat
lokal.
Murahnya upah buruh sering dijadikan sebagai modalitas bagi pemerintah lokal untuk menarik para investor. Belum lagi buruknya regulasi lingkungan terutama di tingkat lokal serta birokrasi pemerintah yang mudah disuap sering kali menjadi penarik lain bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Isu HAM yang merata hampir di seluruh negara anggota ASEAN, tak terkecuali di Indonesia dan Piliphina yang dianggap paling demokrasi. Isu lingkungan yang nampak dari misalnya tsunami yang mengancam penduduk pesisir di Asi Tenggara, ilegal loging yang berdampak pada bencana banjir dan tanah longsor, serta masih banyak isu lainnya yang sejatinya sangat dekat dengan masyarakat di tingkat lokal, namun kurang mendapat perhatian dari ASEAN. B. AKTOR-AKTOR BERKEPENTINGAN DI ASEAN Masyarakat raya Asia Tenggara yang terdiri dari banyak unsur dan tersebar secara tidak merata, memiliki kepentingannya
sendiri-sendiri
dan
berprilaku
dengan
dorongan kepentingan dan kapasitas kekuasaannya masingmasing. Tidak terdistribusinya kekuasaan secara merata
119
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dalam masyarakat raya Asia Tenggara memproduksi situasi di mana hanya aktor-aktor tertentu yang jumlahnya sangat sedikit namun berkuasa secara ekonomi maupun politik memiliki akses untuk mempengaruhi kebijakan baik di tingkat Negara maupun regional. Elit penguasa dan bisnis memiliki akses yang relatif lebih besar ketimbang aktor lain seperti pebisnis menengah kecil, buruh, masyarakat lokal dan adat sehinga implikasi yang paling dekat adalah diwarnainya aneka kebijakan dan kesepakatan di ASEAN oleh kepentingan-kepentingan aktoraktor utama tersebut. Tak ayal berbagai isu yang kerapkali dilontarkan ASEAN juga tak luput dari isu-isu yang hanya urgen dalam kaca mata para elit penguasa dan bisnis. Sementara aktor lain di luar aktor utama seringkali diposisikan sebagai objek kebijakan. Masyarakat akar rumput di tingkat lokal misalnya hanya menjadi buruh dan konsumen. Aneka permasalahan di tingkat lokal seperti konflik etnis dan kerusakan lingkungan hanya memperoleh perhatian yang sangat kecil bila bukan tidak diperhatikan sama sekali. Sementara di sisi lain aneka kesepakatan di tingakat ASEAN yang berbasis kepentingan elit penguasa dan bisnis dengan sangat mudah diproduksi. Berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi seperti ACFTA misalnya sulit dipungkiri memukul telak para pelaku ekonomi lokal. Serbuan barangbarang
Cina
ke
Indonesia
yang
diikuti
menurunya
pendapatan para pelaku ekonomi di tingkat lokal, terutama para pedagang tingkat menengah ke bawah, menjadi 120
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
indikator bahwa pilihan liberalisasi di tingkat regional lebih mencerminkan kepentingan para pelaku ekonomi besar. Mungkin orang akan berdalih, bukankah para eksportir Indonesia juga dapat mengeksport aneka produk ke Cina, jadi bila demikian maka setidaknya posisinya adil. Maka saya akan menjawab, ya bila demikian, namun ingat banyak produk bajakan di Cina, bukan mustahil para eksportir kita hanya dapat mengeksport sekali saja ke Cina, namun tidak untuk yang kedua dan seterusnya karena aneka produk yang dieksport ke Cina, sudah ditiru oleh Cina. C. KEPENTINGAN PENDUDUK LOKAL Asia Tenggara merupakan kawasan regional yang terdiri dari daratan luas di sebelah utaranya yang kemudian disebut Asia Tenggara daratan dan kepulauan di sisi selatan atau yang disebut Asia Tenggara kepulauan dengan. Memiliki Pegunungan yang sangat berfariatif dengan kawasan hutan yang masih cukup luas, terutama di Kalimantan, sebagai akibat dari curah hujan yang cukup tinggi. Konsekuensi paling dekat dari seting geografis tersebut adalah beragamnya etnis, budaya dan agama penduduk yang mendiami kawasan ini. Sebagian besar penduduk di kawasan tersebut tinggal di pedesaan. Seiring dengan bergulirnya modernisasi terutama pasca kemerdekaan penduduk desa berpindah secara bertahap ke kota. Kebanyakan didorong oleh urusan ekonomi. Pada saat itulah terjadi transformasi besar-besaran mata pencaharian penduduk lokal, dari yang semula bergantung pada alam seperti hutan, laut, ladang dan
121
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
sawah menjadi bergantung pada perusahaan-perusahaan asing sebagai buruh dan konsumen. Bersamaan dengan itu kebudayaan penduduk lokal juga mengalami transformasi. Budaya-budaya yang datang dari Amerika, Jepang dan Korea melalui aneka acara televisi maupun media komunikasi lainnya menjadi mode dan trend di kalangan remaja di regional ini. Ekonomi lokal dipaksa menyesuaikan diri terhadap kebutuhan para investor asing. Upah buruh yang murah, buruknya regulasi lingkungan dan birokrasi yang mudah disuap menciptakan kondisi produksi berbiaya rendah. Seting inilah yang kemudian menarik perhatian para investor asing. Kedatangan mereka kontan mendekontruksi ekonomi lokal yang telah mapan untuk waktu yang lama. Penduduk lokal misalnya yang sebelumnya menggantungkan mata pencahariannya kepada alam kini berpindah haluan. Mereka lebih tertarik menjadi karyawan pabrik. Sementara di sisi lain aneka potensi alam mulai dieksploitasi secara masif oleh perusahaan-perusahaan asing. Parahnya lagi dalam banyak kasus
kepentingan
korporasi
berkolaborasi
dengan
kepentingan elit penguasa baik di tingkat nasional maupun lokal. Dalam konteks ini maka penduduk lokal berada dalam posisi sangat lemah. Regulasi pemerintah yang seyogyanya diabdikan kepada masyarakat luas justru kerap kali menjadi instrument korporasi besar untuk mengeksploitasi aneka potensi lokal. Sementara di sisi lain respon paling umum penduduk lokal terhadap seting kebijakan tersebut adalah pasif. 122
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Masyarakat
di
tingkat
lokal
kehilangan
kemandiriannya dan menjadi sangat tergantung pada arus utama ekonomi, sosial dan budaya asing. Tahap terparah dari situasi tersebut adalah masyarakat lokal tidak menyadari kepentingannya sendiri di tengah kompetisi di tingkat regional maupun global. D. MENYADARI POTENSI LOKAL, DAN BERSAING DI TINGKAT GLOBAL Dalam
sistem
ekonomi
global
yang
semakin
terintegrasi, ekonomi lokal terhubung begitu saja dengan ekonomi global tanpa kesadaran penuh dari komunitas lokal secara kolektif [oleh pemerintah lokal, pelaku ekonomi lokal maupun masyarakat lokal secara umum]. Implikasi paling sering terjadi adalah para pelaku di tingkat lokal hadir sebagai pemain yang kalah [sumber daya alamnya dirampas, tenaga kerjanya digaji murah dan diposisikan sebagai konsumen utama]. Dalam seting lokal seperti ini, maka aktor paling mungkin menjadi leader yang akan membimbing, mengubah dan akhirnya memenangkan para pelaku ekonomi lokal adalah pemerintah lokal. Partisipasi pemerintahan lokal dalam hubungan internasional kontemporer memiliki ruang yang lebih lebar ketimbang di masa-masa sebelumnya. Tidak hanya karena semakin meningkatnya intensitas transportasi dan komunikasi lintas batas negara, namun juga karena aturan perundangan nasional pasca perang dingin memiliki kecenderungan
semakin
meningkatkan
keikutsertaan
123
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
pemerintah lokal dalam praktik hubungan internasional tentu dalam batas-batas kewenangannya. Dalam
menuntun
arah
perekonomian
lokal,
pemerintah lokal memiliki keunggulan dibanding pemerintah nasional: pertama, pemerintah lokal memiliki birokrasi yang lebih sederhana ketimbang pemerintah pusat, sehingga memungkinkannya untuk lebih efektif dan efesien dalam memproduksi kebijakan. Prinsip efektif dan efesien sejalan dengan tuntutan ekonomi modern; kedua, pemerintah lokal lebih dekat dengan masyarakat akar rumput ketimbang pemerintah nasional sehingga memungkinkannya untuk lebih cermat dalam merespon tuntutan masyarakat akar rumput. Berangkat
dari
dua
keunggulan
ini
maka
keaktifan
pemerintah lokal dalam ranah hubungan internasional menjadi sangat berarti bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal.
Serangkaian kebijakan di tingkat lokal
sudah seharusnya didesain secara terintegratif dengan berbasis kepentingan lokal. 1. Menguatkan solidaritas lokal. Investasi langsung asing [Foreign Direct Investment] memiliki efek yang luar biasa radikal terhadap perekonomian lokal. Perusahaan-perusahaan besar memilih tempat produksi yang paling efesien dan meluaskan pasar untuk aneka hasil produksinya ke negara-negara dengan taraf ekonomi tinggi, sehingga margin keuntungannya semakin besar. Dengan logika seperti ini, para investor melihat kawasan Asia Tenggara sebagai gudang produsi yang 124
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
menggiurkan, karena selain upah buruh yang murah, regulasi lingkungan yang buruk, para pejabatnya juga mudah disuap. Dalam konteks ini, maka penduduk lokal di Asia Tenggara jelas menjadi korban prilaku investor yang tidak bertanggung jawab, parahnya seringkali para pelaku ekonomi besar itu berkolaborasi dengan para elit penguasa baik di tingkat lokal maupun nasional. Bila
di
hadapkan
dengan
kontruksi
kekuasaan
ekonomi-politik seperti ini, maka langkah paling rasional yang
dapat
dilakukan
masyarakat
lokal
adalah
menumbuhkan solidaritas lokal untuk meningkatkan nilai tawar. Langkah ini saya kira akan memposisikan masyarakat lokal menjadi aktor yang diperhitungkan. Solidaritas ini tidak selalu dimaknai sebagai perlawanan fisik, namun lebih ditekankan pada hal-hal yang bersifat negosiasi, kerjasama dan
saling
melengkapi
dengan
memperioritaskan
kepentingan masyarakat lokal. 2. Menyadari Potensi Lokal Beragam potensi yang tersebar di tingkat lokal, baik potensi alam, manusia, budaya hingga nilai-nilai sosial lainnya seringkali diabaikan oleh masyarakat lokal dalam bernegosiasi dan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan asing. Padahal aneka potensi tersebut dapat diberdayakan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan lokal.
125
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Topeng Batik, sumber gambar: http://www.nuansahandicraft.com/2009/12/topeng-batik.html, diakses 16 April 2013
Hal pertama yang perlu disadari adalah pentingnya kualitas Sumber Daya Manusia—SDM. Kreativitas, jiwa entrepreneurship, penguasaan teknologi menjadi langkahlangkah kunci bagi perbaikan lokal. Up grading SDM pada akhirnya akan membawa efek bombastis terhadap aneka potensi lainnya. Penambahan nilai lebih—Added Value terhadap aneka potensi lokal akan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat lokal. SDM lokal yang baik juga akan peka terhadap kebutuhan investor asing sehingga mereka akan berupaya memenuhi kebutuhan para investor asing tersebut yang artinya berarti para investor tidak perlu lagi mengimport aneka kebutuhan bahan baku dari luar negeri karena sudah dicukupi oleh penduduk lokal. Sampai tahap ini sejatinya dengan kreativitas penduduk lokal memberikan nilai tambah pada daerahnya sehingga hal ini akan memancing investor lain untuk datang.
126
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Contoh mudah, bila ada importir lap top, maka penduduk lokal bisa misalnya menyediakan berbagai produk ikutan lap top seperti scren monitor, asesoris lap top tunjuk saja stiker untuk lap top, pengaman key board dan lain sebagainya, sehingga kehadiran lap top memiliki efek bom bastis untuk meningkatkan ekonomi lokal. 3. Mempertegas Keunikan Lokal Keunikan lokal sejatinya merupakan modalitas yang luar biasa bagi up grading di tingkat lokal. Dengan memiliki keunikan yang tegas, maka hal ini akan menarik perhatian para pelaku ekonomi besar di luar negeri yang membutuhkan sepesialisasi keunikan lokal tersebut. Tunjuk saja misalnya Jogja yang telah berhasil mempertegas keunikannya sebagai kota seni dan budaya terbukti mampu menarik wisatawana asing dengan tren pertumbuhan yang semakin meningkat. 4. Menciptakan
komunitas
pemikir
kreatif
untuk
pembangunan lokal Pembangunan lokal yang dinamis membutuhkan grand desain dan upaya aplikasi grand desain yang kreatif. Pemikir kreatif bekerja di kedua level ini. Pemerintah lokal dapat memfasilitasi
terbentuknya
komunitas-komunitas
kreatif
yang memiliki sepesialisasi pembangunan lokal. Pemerintah lokal misalnya secara teknis bisa membuat sesering mungkin sayembara-sayembara terkait dengan ekonomi kreatif, desain tata kota, seni, budaya atau yang lainnya. Membuat kelompok-kelompok
pemikir
kreatif
yang
terdiri
dari
127
Sugiarto Pramono
akademisi, Diharpakan
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
peneliti,
pelaku
upaya-upaya
bisnis,
tersebut
hingga dapat
seniman.
memberikan
paradigma alternatif bagi pembangunan kota.
Pengrajin batik, sumber gambar http://aeonwebtechnology.com/conneccion/siteadmin/pengrajin-batik, diakses 16 April 2013
E. PENUTUP Ada tiga point yang akan disampaikan dalam penutup tulisan ini: pertama, sudah saatnya pemerintah membuka ruang yang lebar bagi partisipasi seluas mungkin penduduk lokal dalam pembangunan. Lemahnya partisipasi penduduk lokal merupakan produk dari perjalanan panjang kebijakan otoriter yang menggejala di Asia Tenggara. Kedua, tentu membutuhkan kinerja dan kreativitas ekstra keras dari pemerintah maupun agent non pemerintah untuk menumbuhkan dan memperluas partisipasi dari masyarakat dalam pembangunan lokal, bila upaya tersebut dilakukan dengan telaten maka ketika partisipasi publik 128
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
dalam pembangunan sudah terbentuk pertumbuhan dinamis akan segera menyusul, dimulai pembangunan-pembangunan di level lokal menuju pembangunan di tingkat global. Ketiga, Peningkatan SDM menjadi kebutuhan penting dan
mendesak
dalam
pembangunan,
konsekuensinya
pendidikan harus menjadi hak yang nyata bagi masyarakat luas. Bila pendidikan menjadi hak bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali maka menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk
memfasilitasi
segala
proses
pendidikan
bagi
masyarakat.
129
Sugiarto Pramono
130
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
BAB 8 EPILOG: MEMBENTANGKAN DAN MELIPAT PERSPEKTIF PEMBANGUNAN
Pembagunan bukanlah istilah moderat dalam arti bisa merangkum semua kepentingan stakeholder; atau dengan kata lain selalu ada pihak yang diuntungkan maupun dirugikan dalam pembangunan, tak terkecuali dalam pembagunan lokal. Namun demikian upaya untuk meminimalisir baik secara kuantitas maupun kualitas pihak-pihak yang dirugikan bukan tanpa titik terang. Tulisan-tulisan yang telah lewat membawa pesan moral betapa penguatan para pelaku ekonomi lokal melalui aneka kebijakan berbasis pelibatan berbagai stakeholder dalam bingkai perencanaan yang didasari pada riset menjadi upaya untuk mempertipis jarak antara para pelaku yang diuntugkan dan dirugikan dalam sebuah kerangka besar pembangunan. Kerangka berfikir ini, menuntut para perencana pembangunan agar melepaskan “kaca mata kuda” yang mengakibatkan sesat pikir dan bias. Cara berfikir holistik, menyeluruh dan total dengan mempertimbangkan kepentingan beragam aktor pembangunan dengan berbagai ukuran akan menuntun kendati mungkin pelan dan bertahap namun produktif. Paradigma top-down effect harus dirubah menjadi bottom up efect. Dalam kasus pembangunan di Indonesia pembagunan tidak harus dipimpin oleh Jakarta dan baru diikuti daerah-daerah lain yang mengikuti di belakangnya layaknya rombongan angsa yang terbang membentuk huruf “V” terbalik, di mana Jakarta menjadi ujung tertingginya diikuti daerah-daerah lain hingga yang paling bawah ditempati oleh daerah-daerah yang berada jauh 131
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
di luar Jawa. Logika bottom-up effect membaliknya. Daerahdaerah di seantero nusantara didisain sedemikian rupa melalui aneka rekayasa kebijakan sehingga memiliki ruang yang luas dalam arti akses pendidikan, SDM, tekhnologi, infrastruktur, modal dan pengetahuan sehingga mampu menguatkan perekonomian lokalnya masing-masing. Perspektif yang dibangun dalam buku ini adalah perspektif kompilasi, yakni membedah kasus dengan perspektif kritis, namun memberikan jalan keluar dengan perspektif liberal dan state centric. Perspektif kritis dipilih sebagai alat analisa pertama, karena perspektif ini memiliki cara pandang yang mampu melihat sisi-sisi yang diabaikan oleh perspektif yang lain. Sementara perspektif liberal dan state centric memang berorientasi pada problem solving, setidaknya tawaran-tawaran solusi dari dua perspektif terakhir ini lebih realistis bila dibadingkan dengan perspektif kritis.
132
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Tabel 11 Kompilasi Perspektif Arus Utama Secara Pragmatis Merkantilisme Negara
Liberalisme Individu
Strukturalisme Kelas
Pola hubungan aktor
Konfliktual
Kooperatif
Eksploitasi
Cita-cita/ Tujuan pembagunan
Mencapai kepentingan ekonomi nasional
Kesejahteraan individu
Strategi
Proteksionisme
Pasar bebas
Masyarakat ekonomi egaliter, pemerataan ekonomi Revolusi struktur
Aktor
Kompilasi Individu, masyarakat dan negara penting Konfliktual, eksploitatif namun bisa diarahkan untuk kooperatif Ekonomi nasional kuat, kesejahteraan dan pemerataan Moderat: proteksi dan pasar bebas sejauh dibutuhkan; Analisa akademis; Melibatkan semua stakeholde.
Sejumlah catatan perlu digaris bawahi: pertama, pertanyaan yang segera muncul ketika kita berbicara tentang paradigma alternatif pembanguna adalah siapa aktor kunci yang bertanggung jawab dalam pembagunan. Semua aktor tentu bisa memainkan peran ini, namun demikian tidak semua aktor memiliki peluang yang sama untuk melakukan hal tersebut. Pertanyaan susulannya: siapa yang paling mungkin memainkan peran leader atau pemimpin dalam pembangunan. Jawabnnya hemat penulis adalah pemerintah. Perlu digaris bawahi bahwa memimpin tidak berarti mendominasi. Memimpin dalam hal ini adalah memposisikan diri sebagai regulator dan desainer. Sebagai regulator berarti pemerintah melalui sumberdaya yang dimilikinya membuat 133
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
regulasi yang sebisa mungkin memberikan ruang yang mampu menampung beragam kepentingan stakeholder. Peran ini tentu tidak mudah dilakukan pemerintah bila ia hanya bermain secara single fighter, namun tidak demikian bila pemerintah memiliki intensitas interaksi dan upaya saling memahami yang kuat dengan stakeholder lain. Pemerintah hanyalah salah satu aktor di antara banyak sekali aktor pembangunan yang semuanya berpotensi mendorong laju pembagunan sehingga kegagalan dalam berkomunikasi dan membagun rasa saling percaya bukan tidak mungkin mematikan ragam potensi pembagunan yang dimiliki para stakeholder. Sementara sebagai desainer pemerintah dituntut untuk membagun konsep yang memiliki spektrum yang luas dalam arti jauh menjangkau ke depan sekaligus melebar dengan melibatkan sebayak dan seberagam mungkin aktor pembagunan. Beragam pelaku usaha dari berbagai ukuran, para investor baik dalam maupun luat negeri hingga masyarakat sipil seluas mungkin. Pelibatan para pelaku tersebut memungkinkan distribusi ekonomi akan terjadi kendati barangkali kesenjangan akan tetap ada namun kemampuan belajar pemerintah dan beragam aktor pembagunan lainnya akan semakin mempersempit jurang kesenjangan. Kedua, rekontruksi paradigma pembangunan. Pembangunan bagaimanapun formatnya memiliki basis pengetahuan. Sementara pengetahuan sendiri tidaklah berwajah tunggal namun sebaliknya sangat majemuk. Struktur yang menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain salah satunya adalah kekuasaan. Konsekuensinya pengetahuan dengan basis kekuasaan terkuatlah yang akan menempati puncak hierarki dalam 134
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
pengetahuan. Dan pengetahuan dengan basis kekuasaan terkuat sekaligus akan menopang kontruksi pembangunan. Pengetahuan yang sedianya bersifat dinamis menjadi beku karena kekuasaan penopangnya, sehingga pada akhirnya pengetahuan bukan lagi menjadi ujung tombak perubahan namun sebaliknya menjadi instrumen penguasa. Seting pembangunan yang menempatkan pengetahuan sebagai instrumen bukan sebagai pemimpin inilah yang perlu direkontruksi. Salah satu caranya adalah pemerintah harus rela duduk semeja dengan para akademisi, ragam kelompok epistemik, para pelaku bisnis dan investasi dari beragam ukuran hingga masyarakat lokal dan etnis dengan beragam karakteristik unik dan kepentingannya. Kepentingannya adalah untuk membangun paradigma alternatif yang mampu memproduksi tidak hanya pertumbuhan namun juga distribusi perolehan yang merata kendati pasti masih menyisahkan kesenjangan namun masih bisa ditolelir karena berbagai konpensasi dan dialog produktif. Ketiga, entitas lokal sebagai basis. Absennya entitas lokal dalam upaya penambahan nilai akan menciptakan pola ketergantungan dalam pembangunan. Para pelaku ekonomi lokal menjadi kehilangan kesempatan untuk menarik penambahan nilai ke dalam lingkaran lokanya sebaliknya proses penting tersebut justru dimainkan denga sangat aktif oleh para pelaku ekonomi dari luar area lokal. Seting ini bukan tanpa sebab, abainya pemerintah dalam menetapkan regulasi yang berpihak pada entitas lokal menjadi faktor kunci. Hal ini harus disadari entitas lokal perlu “diproteksi” karena bagaimanapun mereka memainkan peran penting dalam penguatan ekonomi nasional. Keempat, Global Value Chance [GVC] sebagai startegi. Analisa GVC sangat membatu dalam memetakan potensi 135
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
ekonomi dan mengatur strategi pembangunan. Komoditas sebagai produk akan melewati tahap-tahap penambahan nilai dari bahan mentah hingga produk siap konsumsi. Misalnya baju sebagai produk, berasal dari bahan mentah berupa kapas, yang kemudian dipintal menjadi benang, lalu dianyam menjadi kain, kemudian menjadi baju dan siap dipasarkan. Setiap tahap dari kapas, benang, kain dan baju merupakan tahap-tahap penambahan nilai. Dan setiap tahap selalu dimainkan oleh aktor-aktor ekonomi. Petani kapas, buruh pemintal benang, penjahit baju, para marketing merupakan para pelaku ekonomi yang memberi nilai tambah pada produk berupa baju, sekaligus mendapat manfaat dari penambahan nilai tersebut. Semain panjang rantai penambahan nilai maka semakin banyak pihak yang terlibat, dan semakin bayak pihak yang terlibat maka semakin luas distribusi nilai. Sayangnya proses penambahan nilai sering sekali dilaukan oleh para pelaku ekonomi yang berasal dari luar entitas lokal, bahkan sering pula berasal dari para pelaku asing. Inilah yang membuat masyarakat lokal tidak mendapat keuntungan. Seting ini seharusnya menginspirasi pemerintah untuk menarik penambahan nilai ke dalam lingkaran lokal. Sehingga kesejahteraan lokal akan meningkat. Secara operasional pemerintah misalnya dapat membuat regulasi dimana produk mentah tidak boleh dijual ke luar dari wilayah lokanya. Untuk bisa ke luar suatu bahan mentah harus diolah di dalam daerah sendiri. Kebijakan ini tentu akan membawa banyak konsekuensi seperti peningkatan sumber daya manusia, infrastruktur, penguasaan teknologi dan lain sebagainnya. Namun bila strategi ini dapat diterapkan secara konsisten maka pertumbuhan lokal akan semakin cepat. TENTANG PENULIS
136
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL
Sugiarto Pramono lahir di Tegal 2 Pebruari 1983, setelah menamatkan Madrasah Aliah Futuhiyyah 1 Mranggen Demak pada tahun 2001, Penulis melanjutkan studinya di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS) dan selesai pada 2005. Kemudian melanjutkan studi S2 di FISIP UGM pada Jurusan yang sama di tahun 2010, selesai pada tahun 2012. Sekarang penulis aktif mengajar di FISIP UNWAHAS.
137
Sugiarto Pramono
MEMAHAMI POTENSI LOKAL, MEMAHAMI POTENSI LOKAL, BERSAING DI TINGKAT GLOBAL BERSAING DI PASAR GLOBAL
Globalisasi ekonomi yang mengusung liberalisasi ekonomi nampaknya tidak serta merta memproduksi pertumbuhan seperti yang diyakini para pembuat kebijakan pendukungnya. Alih-alih menciptakan progresifitas ekonomi yang dinamis globalisasi ekonomi justru sering kali menjebak banyak negara dalam kemiskinan akut, sehinga malah memperlebar kesenjangan ekonomi. Globalisasi yang seharusnya mempertegas keragaman metode pembangunan malah lebih sering menyeragamkannya. Dominasi sistem ekonomi kapitalis berbasis industri besar seringkali abai terhadap hakhak buruh, keberlangsungan lingkungan hidup hingga kearifan lokal. Dengan pola pembangunan seperti itu maka pembangunan memiliki makna sempit, yakni hanya melayani kepentingan elit bisnis dan penguasa, sementara kepentingan buruh dan masyarakat lokal disubordinatkan. Penulis meyakini bahwa kebangkitan ekonomi lokal di tengah derap laju ekonomi global yang semakin terintegrasi justru terletak pada kemauan keras entitas lokal untuk mempertajam kelokalannya dan menjadikannya sebagai modalitas untuk berkompetisi di pasar global. Buku ini berisi tulisan-tulisan penulis dengan tema terkait yang berasal dari berbagai Jurnal ilmiah. Penulis aktif sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Wahid Hasyim (UNWAHAS). Menyelesaikan pendidikan Sarjana pada Jurusan Hubungan Internasional di tempat kini ia mengajar pada tahun 2005 dan menamatkan studi S2 nya di jurusan yang sama pada FISIP UGM pada tahun 2012.
ISBN: 978-602-8273-42-8 Wahid Hasyim University Press
138