Published on Fakultas Bahasa dan Seni (https://fbs.uny.ac.id) Home > Suara Alam dalam “Puisi Karawitan” Narto Sabda: Di Manakah Posisi Manusia? Oleh: Suminto A. Sayuti
Suara Alam dalam “Puisi Karawitan” Narto Sabda: Di Manakah Posisi Manusia? Oleh: Suminto A. Sayuti Submitted byadmin on Tue, 2014-12-09 08:42
Keterangan: Suara Alam dalam “Puisi Karawitan” Narto Sabda: Di Manakah Posisi Manusia? Oleh: Suminto A. Sayuti 1/. Negara, kota, desa, kampung, rumah tinggal, kos-kosan, dan seterusnya, adalah sebuah tempat, sebuah lokalitas, yang secara konseptual dapat disederhanakan menjadi dan sebagai lingkungan, yakni apapun yang berada di sekeliling kita, baik dalam sifatnya yang mitis, fisis, maupun psikologis. Tatkala kita menatapnya, menatap “tempat” kita hidup, kita pun sedang membuat jarak ontologis, membuat pembagian antara kita dengannya. Jarak ini penting dalam rangka pemahaman- dan realisasi-diri. Tanpa jarak di antaranya, kita cenderung rumangsa-bisa, sudah merasa memahaminya dengan baik, dan bersamaan dengannya kita pun kehilangan kepekaan yang disebut sadar-tempat. Akibatnya lebih jauh, makna-tempat tercerabut dari bahasa kita karena kita memang telah mengeluarkannya dari pikiran kita. Oleh karena itu, kemampuan mulat-salira dapat diperhitungkan sebagai upaya pemahaman-diri sekaligus sebagai modal untuk manjing-kahanan. Tercapainya pemahaman-diri secara baik membuat kita angrasa-wani merealisasikan diri dengan sikap penuh greget dan ora-mingkuh. Apapun yang berada di sekeliling kita saling mencipta antara satu dan lainnya. Tanah dan air keluar-masuk tubuh kita seperti tubuh kita keluar masuk tanah dan air; kita saling menjadi bagian dengannya. Semua yang hidup menjadi tetangga. Manusia, tumbuhan, dan binatang saling menjadi bagian: suket godhong dadi rowang, tidak dapat hidup sendiri-sendiri. Karena
itu, perilaku budaya kita harus menjadi respons yang bertanggung jawab terhadap tempat kita hidup: perilaku budaya dan tempat kita merupakan loro-loroning atunggal yang tak terpisahkan antara satu dan lainnya, yang satu tidak dapat menjadi lebih baik tanpa kehadiran yang lain. Jika tidak demikian, hidup kita pun gampang kasandhung ing rata, kabentus ing awang-awang. Paparan ringkas di atas merupakan gambaran ideal ketika manusia dan alam lingkungannya hidup secara harmonis: suatu keadaan yang dalam kehidupan yang makin industrial, robotik, dan konsumeristik sulit sekali ditemui kini. Dalam kaitan ini, pemahaman terhadap tempat kita hidup mampu membantu kita dalam pemahaman dan realisasi diri kita masing-masing, seperti dipertanyakan secara retoris oleh Gary Snyder (1995 seperti dikutip Dreese, 2002:1) dalam A Place in Space: bukankah tujuan semua hal dalam hidup adalah mencapai pemahaman-diri, mencapai realisasi-diri? Atau seperti dinyatakan Wendell Berry: “untuk mengetahui siapa dirimu, ketahuilah pertama kali, di manakah kamu berada.” Disadari atau tidak, lingkungan tempat tinggal memang merupakan faktor yang memainkan peranan penting dalam mengkonfigurasi secara fisik, emosional, bahkan spiritual: siapakah kita. Kesadaran kita berkembang dalam, dengan, dan melalui tempat yang menjadi lingkungan kita. Oleh karena itu, seseorang bisa saja sangat mencintai wilayah tertentu, atau sebaliknya, merasakan terasing dalam kebersamaan dengan yang lain. Partikularitas tempat tertentu boleh jadi sangat berpengaruh terhadap situasi jiwani seseorang atau sekelompok orang. Dalam konteks budaya Jawa, semboyan “gemblung-gemblung anggere rubung” dan “mangan ora mangan anggere kumpul” atau bahkan falsafah “sadumuk bathuk sanyari bumi,” sedikit banyak terkait dengan persoalan ini. Mungkin kita semua sering mengalami bagaimana parikularitas tempat tertentu membuat kita selalu krasan, selalu betah, selalu merasa at home. Bisa saja karena tempat itu memang selalu memberikan dan menyediakan ruang tertentu sehingga penghuninya selalu merasa “tercahayai,” sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, tetapi benar-benar teralami. Di antara kita mungkin merasakan hal semacam itu sebagai sesuatu yang misterius karena “perasaan betah di rumah” merupakan sesuatu yang kompleks dan memiliki banyak kaitan dengan fasetfaset kehidupan lainnya. Sebagian dari kita tidak menyadari bahwa kita telah dipengaruhi oleh lingkungan dalam sejumlah cara, sementara sebagian yang lain sungguh-sungguh menyadarinya. Kurangnya sikap “sadar-tempat” bisa saja disebabkan oleh kurangnya pengalaman tualang atau kembara ke luar sebagai tempat pembanding, di samping karena kita lahir dan dibesarkan tidak di tempat kita tinggal. Sebagian dari kita belum memperoleh kesempatan untuk mengalami kehidupan di tempat yang tidak nyaman atau tidak seperti rumah yang membuat kita krasan. Oleh karena itu, pemahaman diri akan tercapai apabila pemahaman terhadap apa yang bukan-diri juga terjadi. Eksplorasi terhadap “wilayah-diri” dan “yang-bukandiri” penting bagi pemahaman-diri secara lebih dalam. Ketika tempat tertentu telah mempengaruhi seseorang, ia pun akan merespons dalam kesesuaiannya dengan pengaruh itu, bahkan ketika hal itu tidak disadari. Ketika makna tempat terasakan dan tersadari sebagai faktor yang mempengaruhi setiap denyut keseharian hidup kita, seluruh indera kita pun terlibat di dalamnya: melihat, mencecap, mendengar, atau merasakan berbagai hal di dalam tempat yang kita sebut “rumah tinggal.” Oleh karena itu, rumah tidak selalu berhenti pada makna fisikal, tetapi mungkin juga menjangkau makna yang bersifat mental, emosional, dan spiritual. Akan tetapi, dalam hubungan ini bisa saja lokalitas tertentu berikut budayanya merupakan sesuatu yang take for granted, sehingga kita pun tidak menjadi at home dan berupaya keluar darinya. Pendek kata, tempat merupakan sesuatu yang inheren dalam konfigurasi diri, komunitas, dan kehidupan secara holistik.
2/. Dalam hubungannya dengan hal yang telah dikemukakan, bagaimanakah tempat dan berbagai variannya telah diperhitungkan sebagai “matriks” penciptaan, sehingga melalui konversi dan ekspansi tertentu terhadapnya ia hadir dalam teks kreatif, yang dalam makalah ini dibatasi pada “puisi karawitan” Narto Sabdo. Jika ya, seberapa jauh lanskap itu berposisi sentral dalam teks demi menegaskan posisi subjek manusia. Selanjutnya, seberapa jauh Narto Sabdo telah mengidentifikasi lanskap atau lingkungan sebagai elemen intrinsik puisi karawitan demi proses konseptualisasi diri sebagai kreator, baik melalui kanal mitis, fisik, maupun geografis. Atau, dalam pertanyaan yang lebih detil: bagaimana Narto Sabdo menyajikan lanskap; sikap seperti apakah yang direpresentasikan terhadap lanskap itu; adakah agenda sosio-politis atau etis di dalamnya; dan di atas itu semua, di manakah posisi manusia dalam relasinya dengan tempat; bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungannya, dan adakah konflik dalam interaksi tersebut. Manusia hendaknya belajar untuk secara tepat memperlakukan alam sebagai tempat tinggalnya secara harmonis di bawah dan di dalam keberlanjutan proses pembudayaan dan peberadaban. Potongan puisi karawitan Subakastawa Winangun Narto Sabdo berikut ini pantas diresapi. “Angripta rengganing gunung imbange, jurange yen kadulu saking tebih warna biru maya-maya watune alase kang jenar sinaput wilis e e gawe lam-laming paningal lho… lho… suwe-suwe tandukira angrespati E endah temen megane Putih memplak mayungi Gunung-gunung lha… lha Pancurane katon banyune bening Mili mintir ing sawah tan ana cicir Pari jagung ketela pohung Kacange canthele grojogane sor sor Suh sah anggetak nggusah manuk Per… per… kleper manuke mabur Kutipan tersebut merepresentasikan alam, dan ia direpresentasikan pada saat subjek manusia terhubung secara mitis dengan “keindahan” alam yang sekaligus mempengaruhinya. Ketidakhadiran subjek/persona manusia secara eksplisit dalam puisi tersebut menandai adanya keterpengaruhan itu, manusia lebur dalam semesta lingkungan, dan pengaruh itu tidak hanya dirasakan dan disadari, tetapi juga dihayati: “gawe lam laming paningal dan suwe-suwe … angrespati.” Persoalannya, benarkah keindahan alam dalam puisi tersebut bersifat nyata, atau ia hanya merupakan sesuatu yang dikehendaki untuk kembali ada, sebuah kerinduan nostalgik manusia ketika sebuah lingkungan yang telah mengkondisikannya selama ini telah musnah (telah menjadi masa lampau sejarah) karena berbagai sebab? Jika keindahan semacam itu memang masih ada, mengapa puisi itu diawali dengan kata “angripta,” yang bisa dimaknai sebagai “mencipta dunia tekstual.” Terlebih lagi, mengapa burung-burung beterbangan pergi: “per kleper manuke mabur”? Dunia faktual semacam dilukiskan dalam puisi tersebut bisa saja memang masih ada, tetapi mungkin di tempat lain, di tempat yang “jauh” dari posisi kreator. Karenanya, baginya hanya “yen kadulu saking tebih.” Apapun kemungkinan itu, lingkungan telah disikapi oleh sang kreator. Narto
Sabdo telah memilih posisinya dalam keterhubungannya dengan alam-lingkungan demi pemahaman dan realisasi dirinya sebagai manusia. Kalaupun benar bahwa keindahan alam seperti itu baginya hanya tinggal kenangan, ia pun telah menghidupkan kembali dalam jagat kreatif. Dengan begitu, ia membangun ingatan kolektif dan berbagi pengalaman kepada khalayak tentang pentingnya kesadaran terhadap lingkungan agar “pancurane” tetap “katon banyune bening,” jauh dari pencemaran akibat krisis. Suara-suara alam telah diabadikannya dalam jagat kreatif yang bernama puisi karawitan. Aspek-aspek lingkungan bisa juga diperhitungkan secara spiritual, sebagai sosok yang memancarkan kebajikan agung, dan mungkin, bersifat ilahiah. Budaya tertentu seringkali mengedepankan tradisi dan kepedulian yang besar terhadap lanskap tertentu yang melaluinya dibangun hubungan dialektis dan resiprokal. Manifestasinya bisa berupa tindakan berdoa, ritual, dan upacara untuk mempertahankan keseimbangan. Merti dusun, ruwat bumi, dan sejenisnya dalam budaya Jawa tradisional adalah contohnya. Itu semua dapat dimaknai bahwa menyalahgunakan dan “menyakiti” bumi (ibu kita, ibu pertiwi) niscaya akan merusak keseimbangan: menyebabkan sakit dan derita baik secara fisik maupun spiritual bentukbentuk kehidupan yang ada di dalamnya. Keseluruhan yang hidup memiliki interdependensi dan keterhubungan. Manusia mencapai kepenuhan eksistensinya ketika mampu memposisikan diri di dalam konteks lingkungan. Manguwuh peksi manyura sawung kluruk amelungi wancine wus gagat enjang ayo rowang amurwani netepi arukun lima manembah hyang maha suci mrih yuwana kang sinandhang ing donya tumekeng akhir (Narto Sabdo, puisi “Singa-singa”) Dalam puisi tersebut “sawung kluruk amelungi” sebagai suara alam tidak hanya berhenti sebagai penanda alamiah bahwa “wancine wus gagat enjang,” tetapi sekaligus juga membangunkan (secara fisik) dan menyadarkan (secara spirit) siapapun yang merasa menjadi muslim untuk bersegera menunaikan ibadah di pagi hari: sholat subuh, yang semuanya itu demi mencapai keselamatan di dunia dan di akhirat: “mrih yuwana…ing donya tumekeng akhir.” Lanskap, makna-tempat, dan identitas merupakan sesuatu yang integral dalam seluruh perkembangan manusia, tetapi bisa juga menjadi partikularitas dalam budaya tertentu. Banyak puisi karawitan Narto Sabdo yang mengangkat dan mengeksplorasi identitas dan tempat sebagai kecenderungan tematik utama. Akar-akar identitas ke-Jawa-an yang mulanya ditentukan oleh tradisi-tutur, diolah kembali dan direpresentasikan sebagai puisi karawitan. Suasana kehidupan yang natural di pedesaan yang agraris, misalnya saja, dapat dibaca dalam trilogi puisi “Lesung Jumengglung,” “Lumbung Desa,” dan “Aja Ewa” berikut ini. Lesung jumengglung sru imbal-imbalan Lesung jumengglung maneker mangungkung Ngumandhang ngebeki sajroning padesan Tok tok tek tok tokgung tok Tok tek tok tek tok gung (“Lesung Jumengglung”) Lumbung desa pra tani padha makarya, ayo ca
Nutu pari nata lesung nyandhak alu, ayo yu Padha maju yen wis rampung nuli adang, ayo kang Dha tumandang nyosoh beras aneng lumpang (“Lumbung Desa”) Esuk-esuk mbakayu yu padha nutu Pari kang wis tuwa Lesung alu wis cumawis Pancen nyata Bathari Sri dadi boga Kok ewa aku kok ewa aku Nginteri kok ngono ngel angel dang berase Mbok ya ngati-ati sinau gemi Padha ngelingana dhek nyeblokke winih Tandang cancut taliwanda Aja keneng ama Ama kabur tandur subur loh jinawi (“Aja Ewa”) Ketiga puisi di atas saling berkaitan, yang dalam keseluruhannya mereprentasikan harmoni suara alam yang khas pedesaan: lingkungan masyarakat petani. Di dalam ketiga puisi tersbut terbayang bagaimana hubungan dialektis resiprokal antara manusia dan alam lingkungan yang telah memberi daya hidup, termasuk ingatan dan pengakuan atas eksistensi “Bathari Sri” sebagai Dewi Padi, yang “dadi boga,” dan karenanya, manusia agraris-pedesaan perlu menghormatinya dengan cara, antara lain, menunjukkan perilaku: “ngati-ati” dan “sinau gemi.” Kisah “Bathari Sri” sebagai Dewi Padi yang muncul di sela trilogi tersebut meniscayakan makna habitasi kebumian. Hadirnya kisah-kisah semacam itu di dalam kostelasi tradisi tutur agraris sebagai lanskap yang spesifik, yang darinya manusia menderivasikan makna tertentu demi keberlangsungan hidupnya. Ia pun menjadi simbol kultural yang terkait erat dengan makna diri dan spiritualitas. Dengan “angripta” (lihat kembali kata yang mengawali puisi “Subakastawa Winangun”) puisi karawitan yang berbasis lanskap tradisi, Narto Sabdo telah melakukan pemberlangsungan identitas kultural. Teks-teks kreatif ciptaannya pun menjadi catatan dan dokumentasi historis, yang jika dielaborasi secara cukup niscaya akan tampak bahwa teks-teks ciptaannya tidak hanya berhenti sebagai kreasi, tetapi lebih menunjukkan kebermaknaan spiritual dan simbolik berikut partikularitasnya. Dengan kata lain, Narto Sabdo ingin berbagai dengan kita, jika benar angripta atau mencipta teks kreatif sejatinya merupakan “tindakan kehendak,” bahwa kehidupan keseharian kita diafeksi oleh kondisi-kondisi lanskap, dan bagaimana seharusnya kita menempatkan (kembali) bumi sebagai sebuah shelter, dan bukan terminal akhir. Di tengah kecenderungan eksploitasi bumi secara membabi buta, teks-teks kreatif nartosabdan akan menemukan signifikansi dan relevansinya. Teks-teks semacam itu memberikan ingatan kepada kita tentang pentingnya proses pemahaman-diri dan realisasi-diri dilakukan secara simultan dengan menganyamkannya ke dalam tempat kita tinggal dan hidup. Maka, sadar-tempat pun menjadi kata kunci dalam upaya apapun yang terkait dengan politik identitas dan representasi diri. Persoalan tersebut menjadi terasa lebih penting manakala kekuatan deteritorialisasi menunjukkan dirinya dalam mendistorsi identitas, persona, dan makna dalam konstelasi kehidupan global: peminggiran dan pembiaran budaya tertentu tercerabut dan kehilangan
kerangkanya sebagai dari warisan kultural. Teks-teks kreatif narto-sabdan sebenarnya dapat diposisikan sebagai benteng bagi datangnya kekuatan yang mendatangkan bencana kehilangan-diri, alienasi kultural, ketercerabutan tradisi-tradisi kultural, sejarah, dan karakter nasional. Teks-teks kreatif narto-sabdan merupakan responsi terhadap upaya pengasingan budaya yang dijajah dengan cara membangkitkan kembali atau memapankan kembali makna identitas kultural dalam dan lewat jagat imajiner. Dengan kata lain, puisi karawitan Narto Sabdo merupakan upaya reteritorialisasi, pembangkitan kembali identitas yang hilang dalam dan melalui refleksi nostalgik dan konstruksi imajinatif. Reteritorialisasi tidak hanya melulu tindakan fisik, tetapi juga bisa bersifat emosional dan intelektual. Reteritorialisasi psikis terjadi manakala lanskap atau tempat digunakan secara metaforis, dan Narto Sabdo telah berupaya menghidupkan sebuah teritori yang terletak dalam ruang liminal antara yang mitis dan yang biasa (keseharian). Ia pun mencoba mengintegrasikan kelampauan dan kekinian dalam teksteks kreatifnya untuk merekonsiliasikan makna-tempat yang bersifat mitis/historis yang dirindukan dengan makna tempat yang kontemporer yang telah terdistorsikan. Semua itu dapat dimuarakan pada keyakinan bahwa “seseorang tidak akan pernah mampu kembali melalui sebuah pintu yang telah dilalui.” Harus diakui, seperti dinyatakan Stuart Hall dalam “Cultural Identity and Diaspora,” identitas selalu berubah, sebuah proses dinamis yang tidak mampu untuk kempali pada kenyataan terdahulu yang sesungguhnya. Tiap upaya memapankan kembali identitas historis yang diyakini merupakan sesuatu yang hakikatnya simbolik dan bukannya nyata. Merevitalisasi identitas melalui penciptaan teks kreatif sebenarnya sama dan sebangun dengan memformat basis identitas kolektif yang baru, dan hal itu sah adanya. Akhirnya, untuk menutup uraian ini ada baiknya dikutipkan puisi karawitan Narto Sabdo yang berbasis “negara” berikut ini. Nuswantara Wus wancine ca pantese padha angrungkebi ca laku darma bekti sungkem mring nusa bangsa nunggal cipta nunggal sedya wong sak Negara” Belah mega mendhung tumiyung mugi-mugi antuka pepadhang ing Nuswantara kalis rubeda hamardikengrat tulus tata raharja Lereng-Merapi: 22 November 2014
Source URL: https://fbs.uny.ac.id/rubrik-tokoh/suara-alam-dalam-%E2%80%9Cpuisikarawitan%E2%80%9D-narto-sabda-di-manakah-posisi-manusia-oleh-suminto