1
STUDY ON A SOIL HOPANOID AS A FERTILITY INDICATOR R. Y. Perry Burhan*, Yulfi Zetra* dan Melissa Christian Dinata* ABSTRAK
Tanah yang subur ditandai dengan adanya kandungan senyawa nitrogen hasil fiksasi N 2 oleh bakteri penyubur tanah. Membran sel bakteri penyubur tanah sebagian besar merupakan senyawa hopanoid. Saat bakteri itu mati, senyawa hopanoid dari membran sel akan tetap tinggal dalam tanah, sehingga dalam tanah yang subur dimungkinkan ditemukan senyawa hopanoid. Kandungan hopanoid tanah subur dan tidak subur dipelajari untuk menentukan keberadaannya sebagai indikator kesuburan. Setelah tanah diekstrak dengan pelarut kloroform/metanol (2:1), hopanoid mengalami tahapan degradasi kimiawi meliputi pemutusan ikatan ester dan eter serta pemutusan ikatan karbon alifatik-aromatik antara hopanoid dengan matriks makromolekul organik. Identifikasi senyawa hopanoid dilakukan dengan KG-SM. Hasil analisis KG-SM menunjukkan bahwa hopanoid dibebaskan dari dalam tanah subur berupa Hop-17(21)en-35-OAc (4) (1490 μg/g) dan tidak ditemukan hopanoid dalam tanah tidak subur. Kontradiksi ini menunjukkan bahwa pada tanah subur dapat ditandai dengan adanya hopanoid sedangkan pada tanah tidak subur tidak ditemukan hopanoid. Kata kunci: bakteri fiksasi N2, hopanoid, tanah subur dan tidak subur
ABSTRACT
Fertility of soil is indicated by the presence of nitrogen compound resulted from N 2 fixation process by bacteria. Membrane cells of the bacteria are dominated by hopanoid compounds which remain in the soil as the bacteria died and, as a result, it is very likely to find hopanoid compounds in a fertile soil. The hopanoid contents of fertile and infertile soils have been studied in order to determine their contribution as fertility indicator of soil. After the isolation of the solvent-extractable hopanoids (chloroform/methanol, 2:1), the resulted hopanoids have been subjected to sequential chemical degradation comprising the cleavage of ester and ether bonds and oxidative cleavage of aliphatic-aromatic carbon linkages between hopanoids and the macromolecular organic matrix. Identification of the substances has been carried out using GC-MS. The chromatogram showed that the hopanoid released from the fertile soil are of hop-17(21)en-35-OAc (4) (1490 μg/g) and no hopanoids are found in the infertile soil. This contradiction indicates that the fertile soil may be labelled by the presence of hopanoid or the absence of hopanoid in the infertile soil. Keywords: nitrogen fixation bacteria, hopanoid, fertile and infertile soil
1. PENDAHULUAN Hopanoid adalah senyawa hasil metabolisme sekunder yang termasuk ke dalam golongan triterpen pentasiklik, yang lazim dipergunakan sebagai biomarka pada sedimen tua dan minyak, dan potensial memberikan informasi yang berharga tentang lingkungan-purba suatu sedimen baru dan sedimen tua. Senyawa ini dari prekursor biologinya, disintesis oleh berbagai bakteri sebagai komponen penstabil membran, dan banyak ditemukan dalam tanah dan sedimen. Pernah dinyatakan senyawa hopanoid sebagai “senyawa bahan alam paling melimpah di alam” (Ourisson dkk., 1984; Ourisson dan Albrecht, 1992). Berdasarkan keberadaannya, hopanoid dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu jenis biohopanoid dan geohopanoid. Biohopanoid adalah senyawa hopanoid yang dihasilkan langsung oleh bakteri dan merupakan senyawa prekursor dari geohopanoid, sedangkan
geohopanoid adalah hopanoid yang tidak dihasilkan langsung oleh bakteri melainkan hasil degradasi dari senyawa prekursornya yaitu biohopanoid (Ourisson dkk., 1984). Geohopanoid memiliki 3 bentuk isomer di alam. Isomer tersebut adalah hopanoid (1), hopanoid (2) dan hopanoid (3). Hopanoid merupakan senyawa yang kurang stabil di alam dan banyak ditemukan dalam sedimen muda, sedangkan hopanoid dan hopanoid merupakan senyawa yang lebih stabil dan banyak ditemukan dalam sedimen tua. Geohopanoid sebagai indikator kematangan sedimen berguna untuk eksplorasi minyak bumi (Ourisson dan Albrecht,1992). Keberadaan dan komposisi biohopanoid (4) pada bakteri yang dibiakkan sudah banyak diketahui (Rohmer dkk., 1984), sedangkan keberadaan hopanoid utuh dalam geosfer dan
Jurusan Kimia, FMIPA ITS, Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail:
[email protected]
*
Vol. 16, No. 1, Februari 2005 - Majalah IPTEK
2
2. PROSEDUR PERCOBAAN H 21 17
H
R
21
R
17
H
H
(1)
(2) H
R
21 17
H
(3) Z
OH OH
Y
OH
X
(4)
prekursor hopanoid dalam lingkungan modern belum pernah diterangkan secara tuntas. Adanya jurang pemisah pengertian tentang keberadaan hopanoid bakteria, menyebabkan hopanoid tidak bisa sepenuhnya digunakan sebagai “fosil kimia” yang berasal dari bakteri (Farrimond dkk., 2000). Tanah subur adalah tanah yang mengandung banyak nutrisi berupa senyawa-senyawa nitrogen. Nutrisi ini dihasilkan oleh aktivitas bakteri penyubur tanah yang mampu menangkap N2 dari atmosfer dan melakukan fiksasi untuk menghasilkan senyawa-senyawa nitrogen dalam tanah (Giller, 2001). Tiga golongan besar bakteri penyubur tanah yang memiliki kontribusi besar terhadap kesuburan tanah antara lain Rhizobia, Cyannobacter dan Frankia (Benson dan Silvester, 1993; Berry, dkk., 1993). Konstituen terbesar penyusun membran bakteri–bakteri tersebut pada umumnya adalah senyawa hopanoid. Misalnya, bakteri Frankia sp. adalah bakteri penyubur tanah yang konstituen penyusun membrannya terdiri lebih dari 80% hopanoid. Apabila bakteri-bakteri tersebut mati, maka senyawa-senyawa hopanoid tersebut akan tetap tertinggal di dalam tanah, sehingga suatu tanah yang disuburkan oleh bakteri-bakteri penyubur tanah ini akan mengandung senyawa-senyawa hopanoid (Putra, dkk., 2001). Pengkajian terhadap kelimpahan dan komposisi hopanoid dalam sedimen di lingkungan sedimentasi modern sudah dilaporkan (Innes, dkk., 1997; 1998) Dalam tulisan ini akan diuraikan pendekatan analitis untuk pembuktian kemungkinan adanya kaitan antara keberadaan hopanoid dalam tanah yang dihasilkan bakteri dengan kesuburan tanah.
Majalah IPTEK - Vol. 16, No. 1, Februari 2005
Sampel Tanah Penelitian ini menggunakan dua jenis tanah yang sangat bertolak belakang yaitu tanah subur dan tanah tidak subur. Pemilihan sampel tanah didasarkan atas saran dan informasi dari BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Malang. Tanah subur diambil dari lapisan permukaan lahan persawahan percobaan BPTP Malang sedangkan tanah tidak subur diambil dari lapisan permukaan lahan kering di desa Dumajah 14 km Bangkalan, Madura. Ekstraksi Protokol ekstraksi bahan organik dilakukan berdasarkan prosedur yang telah dilakukan Innes, dkk. (1997 dan 1998). Sebanyak masingmasing 20 gram sampel tanah disokslet selama 10 jam dengan kloroform/metanol (150 ml, 2:1). Ekstrak organik yang didapatkan diuapkan pelarutnya dengan rotavapor dan dikeringkan dengan gas N2. Oksidasi ekstrak total dengan H5IO6 dan NaBH4 Ekstrak organik total ditambahkan dengan 300 mg H5IO6 dalam THF/air (3 ml; 8:1), diaduk selama 1 jam pada suhu kamar. Setelah 1 jam, reaksi dihentikan dengan menambahkan air. Hasil reaksi diekstrak dengan kloroform (15 ml ; x3). Ekstrak yang didapatkan ditambah dengan 100 mg NaBH4 dalam etanol (3 ml), diaduk 1 jam pada suhu kamar. Reaksi ini dihentikan dengan menambahkan 15 ml KH2PO4 (15 ml) kemudian diekstrak dengan kloroform (15 ml ; x3). Ekstrak yang dihasilkan dipekatkan dengan rotavapor. Ekstrak kering diasetilasi dengan penambahan anhidrida asam asetat/piridin 1:1. Proses asetilasi berjalan dengan pemanasan awal pada 50 C selama 1 jam dan diaduk semalam tanpa pemanasan lebih lanjut. Sisa pereaksi diuapkan dengan rotavapor. Analisis dengan KG-SM Untuk keperluan identifikasi hasil akhir ekstrak dianalisis menggunakan metoda kromatografi gas yang tergabung dengan detektor spektrometer massa (KG-SM). Sebanyak 1 mg ekstrak terasetilasi dilarutkan ke dalam 1 ml diklorometana untuk selanjutnya dianalisis dengan KG-SM. Kondisi KG-SM yang digunakan sebagai berikut, jenis kolom HP-5MS (HP), ukuran kolom 50 m x 200 m x 0,33 m, program temperatur kolom 70 oC (1 menit), 70 – 100 C (10 C/menit), 100 – 300 C (4 C/menit), isoterm pada 300 C, volume injeksi 0,5 L, helium digunakan sebagai gas pembawa dengan
3
laju alir gas 2 ml/menit dan energi ionisasi pada SM sebesar 70 eV. 3. HASIL DAN DISKUSI Isolasi komponen organik tanah subur yang diperkirakan sebagai senyawa hopanoid padatan sebesar 1470 g per gram tanah subur kering. Keberadaan senyawa hopanoid diidentifikasi berdasarkan spektrum massa senyawa hasil isolasi. Keberadaan senyawa ini dapat dilihat dengan jelas pada fragmentogram spesifik hopanoid m/z 191, 367 dan 316 (Gambar 1). Penetapan struktur hopanoid dilakukan atas dasar keberadaan ion fragmen utama m/z 367, 191 dan 316 pada spektrum massanya. Ion-ion fragmen ini dihasilkan dari reaksi penataan ulang retro Diels-Alder. Selain melalui penataan ulang, pembentukan ion fragmen juga dapat diakibatkan oleh pemutusan ikatan antara karbon dan biasanya terjadi pada titik percabangan. Berdasarkan puncak spektrum massa m/z 367, 191, 147, 479, 423, 316, dan 175 maka senyawa tersebut diidentifikasi sebagai hop-17(21)en-35-OAc (5) (Gambar 2). Pada fragmentogram m/z 191 diidentifikasi adanya dua puncak spesifik hopanoid, yang mengartikan pula ada dua macam senyawa hopanoid yang terdapat dalam tanah subur. Selama ini memang sangat sedikit laporan ditemukannya hopanoid dalam lingkungan tanah
permukaan, seperti dalam lumpur (Ries-Kautt, 1986; Ries-Kautt dan Albrecht, 1989) pada sisa kotoran sianobakteri (Boon, dkk., 1983), pada sedimen ponds kecil (Rohmer, Pierrette dan Ourisson, 1984) dan juga pada sedimen danau kecil (Innes, dkk., 1997 ;1998). Bertolak belakang dengan tanah subur, identifikasi keberadaan hopanoid pada tanah tidak subur lahan kering desa Dumajah (14 km dari Bangkalan), Madura, menunjukkan absennya senyawa hopanoid. Hal ini tergambar dengan tidak adanya puncak pada fragmentogram m/z 191, 367 dan 316 dari ekstrak tanah tidak subur (Gambar 3). Bahan organik dalam tanah tersusun sebagai campuran kompleks yang dihasilkan oleh organisme di dalamnya, baik hidup atau sudah mati (Lichtfouse, dkk., 1998; Augris, dkk., 1998). Bahan organik tersebut terdapat di dalam lapisan-lapisan tanah yang memiliki kandungan oksigen berbeda berdasarkan kedalamannya (Giller, 2001). Sampel tanah yang dianalisis adalah lapisan tanah permukaan yang kandungan oksigennya tinggi. Hopanoid banyak ditemukan dalam bakteri aerobik dan belum pernah ditemukan berada dalam bakteri anaerob (Ourisson, Albrecht dan Rohmer, 1984), sehingga tulisan ini didasarkan pada asumsi bahwa hopanoid dihasilkan oleh bakteri aerob. Hopanoid diidentifikasi melalui pembebasan hopanoid dari matriks geomakromolekul dan pemutusan gugus samping dengan menggunakan
Gambar 1. Fragmentogram pada ion fragmen m/z 191, 367 dan 316 ekstrak tanah subur lahan pertanian BPTP Malang. Kondisi operasi: HP-5MS (HP), 70 C (1 menit), 70 – 100 C (10 C per menit), 100 – 300 C (4 C per menit), isoterm pada 300 C.
Vol. 16, No. 1, Februari 2005 - Majalah IPTEK
4
Gambar 2. Spektra massa dan pola fragmentasi senyawa hop-17(21)en-35-OAc dengan ion fragmen utama m/z 367, 191 dan 316. Fragmen ion pendukung yaitu m/z 479, 423, 175 dan 147.
Gambar 3. Fragmentogram pada ion fragmen m/z 191, 367 dan 316 ekstrak tanah tidak subur lahan kering desa Dumajah 14 km Bangkalan, Madura. Kondisi operasi: HP-5MS (HP), 70 C (1 menit), 70 – 100 C (10oC per menit), 100 C – 300 C (4 C per menit), isoterm pada 300 C. asam periodat/natrium borohidrat untuk menghasilkan hopanoid bebas. Reaksi yang berlangsung adalah reaksi karakteristik untuk merubah bentuk hopanpoliol dan komposit lainnya menjadi hopanoid dengan gugus alkohol terminal (Innes, dkk., 1997; 1998; Winkler, Haumaier dan Zech, 2001). Geohopanoid adalah hopanoid yang tidak secara langsung disintesis oleh bakteri melainkan dibentuk dari prekursornya yaitu biohopanoid selama proses diagenesis (Ourisson dan Rohmer, 1992; Rodier dkk., 1999). Senyawa (4) Majalah IPTEK - Vol. 16, No. 1, Februari 2005
merupakan geohopanoid dengan jumlah atom karbon sebanyak 35. Senyawa ini diduga berasal dari prekursornya yaitu bakteriohopan C32, C33, C34, C35-tetrol atau bakteriohopantetrol (4) yang disintesis oleh bakteri (pada umumnya, hopanoid yang disintesis adalah C30 dan C35). Bakteriohopantetrol mengalami degradasi selama tahap diagenesis yang dapat berlangsung melalui proses oksidasi-reduksi dalam tanah kehilangan beberapa gugus-gugus hidroksinya dan tergabung ke dalam matriks geomakromolekul. Berdasarkan proses diagenesis di alam tersebut, maka
5
pemutusan ikatan yang menghubungkan hopanoid dengan matriks geomakromolekul dan pemutusan dari gugus samping hopanoid dilakukan dengan mekanisme oksidasi-reduksi oleh asam periodat dan natrium borohidrat (Zundel dan Rohmer, 1985). Struktur hopanoid yang didapatkan mampu mengungkapkan jenis bakteri yang mensintesisnya karena pada umumnya bakteri mempunyai kerangka hopanoid yang spesifik akibat perbedaan tempat tinggal dan pengaruh lingkungannya (Tritz dkk., 1999; Watson dan Farrimond, 2000). Penemuan hopanoid dengan substituen metil di C-2 atau C-3 pada cincin A mampu memberikan informasi tentang jenis bakteri yang menghasilkannya. Substituen ini akan tetap tinggal dalam hopanoid dan tidak terpengaruh oleh oksidasi-reduksi akibat penambahan asam periodat dan natrium borohidrat (Farrimond dkk., 2000). Metilasi pada C-2 dalam kerangka hopanoid pada umumnya menggambarkan senyawa hopanoid yang dihasilkan oleh cyanobacteria dan senyawa-senyawa ini dapat digunakan untuk menentukan kontribusi cyanobacteria dalam suatu sedimen (Farrimond, Head dan Innes, 2000). Ketidakadaan kerangka hopanoid termetilasi pada C-2 dalam penelitian ini memberikan informasi bahwa dalam tanah subur yang dianalisis, kesuburan tanah diakibatkan oleh kontribusi bakteri selain cyanobacteria. Bakteri yang diduga memberikan kontribusi juga bukan Rhizobia karena bakteri ini bersimbiosis dengan tanaman kacang-kacangan dan tidak terdapat dalam lahan persawahan, dan yang mungkin adalah kontribusi Frankia, tetapi tentu memerlukan pengujian lebih lanjut. Tidak terdeteksinya adanya geohopanoid dalam ekstrak tanah tidak subur menunjukkan bahwa kesuburan di dalam tanah tersebut disebabkan tidak adanya kontribusi bakteri penyubur tanah. Ketidakadaan bakteri penyubur tanah yang mampu menangkap N2 bebas akan membuat tanah kekurangan nutrisi (Giller, 2001). Pembandingan fragmentogram m/z 191, 367 dan 316 dari ekstrak kedua jenis tanah menunjukan hasil yang kontras. Ekstrak tanah subur memperlihatkan adanya dua puncak pad fragmentogram m/z 191, 367 dan 316, sedangkan pada ekstrak tanah tidak subur tidak terlihat adanya puncak. Fakta ini menunjukkan bahwa ada dua jenis senyawa hopanoid yang terdapat dalam tanah subur dan absen dalam tanah tidak subur.
4. SIMPULAN Struktur senyawa geohopanoid yang ditemukan di dalam ekstrak tanah subur lahan pertanian BPTP Malang adalah berupa hop17(21)en-35-OAc (sebanyak 1490 g per g tanah) sedangkan dalam ekstrak tanah tidak subur lahan kering desa Dumajah 14 km Bangkalan, Madura tidak teridentifikasi adanya senyawa geohopanoid. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tanah tersebut tidak ada bakteri tanah yang dapat menangkap N2 bebas sehingga tanah tidak subur. Penemuan senyawa (4) di dalam tanah subur dan tidak ditemukannya dalam tanah tidak subur memberikan indikasi bahwa senyawa hopanoid dapat ditemukan hanya di dalam tanah subur dan tidak terkandung di dalam tanah tidak subur, karena ketiadaan bakteri penangkap nitrogen yang mempunyai kulit sel hopanoid, sehingga keberadaan hopanoid dalam tanah memungkinkan dapat dijadikan indikator kesuburan tanah untuk pertanian. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Suryamto (BPTP Malang) atas bantuan sampel tanah subur dan informasi keberadaan tanah tidak subur. Juga kepada Dr. Surya Rosa Putra, atas diskusinya yang konstruktif. DAFTAR ACUAN Augris, N., Balesdent, J., Mariotti, A., Derenne, S., dan Largeau, C. (1998). Structure and Origin of Insolube and Non-hydrolyzable, Aliphatic Organic Matter in a Forest Soil, Organic Geochemistry 28, pp 119-124. Benson, D. R., dan Silvester, W. B. (1993). Biology of Frankia Strains, Actinomycete Symbionts of Actinorhizal Plants, Microbiological Reviews 57, pp 293-319. Berry, A. M., Harriott, O. T., Moreau, R. A., Osman, S., Benson, D. R., dan Jones, A. D. (1993). Hopanoid Lipids Comprise The Frankia Vesicle Envelope, Presumptive Barrier of Oxygen Diffusion to Nitrogenase, Proc. Nat. Acad. Sci (U.S.) 90, pp 6091-6094. Boon, J. J., Burlingame, A. L., Klok, J., Rijpstra, W. I. C., de Leeuw, J. W., Edmunds, K. E. and Eglinton, G. (1983). Organic geochemical studies of Solar lake laminated cyanobacterial mats. In Advances in Organic Geochemistry 1981 (ed. M. Bjoroy at al.), pp. 207-237.
Vol. 16, No. 1, Februari 2005 - Majalah IPTEK
6
Farrimond, P., Head, I. M., and Innes, H. E. (2000). Environmental Influence On The Biohopanoid Composities of Recent Sediments, Geochimica et Cosmochimica Acta 64, pp 2985-2992. Giller, K. (2001). Nitrogen Fixation in Tropical Cropping System, 2nd edition, Departement of Soil Science and Agricultural Engineering, University of Zimbabwe. Innes, H. E., Bishop, A. N., Head, I. M., dan Farrimond, P. (1997). Preservation and Diagenesis of Hopanoids in Recent Lacustrine Sediments of Priest Pot, England, Organic Geochemistry 26, pp 565-576. Innes, H. E., Bishop, A. N., Fox, P. A., Head, I. M., dan Farrimond, P. (1998). Early Diagenesis of Bacteriohopanoids in Recent Sediments of Lake Pollen, Norway. Organic Geochemistry 29, pp 1285-1295. Lichtfouse, E., Chenu, C., Baudin, F., Leblond, C., Da Silva, M., Behar, F., Derenne, S., Largeau, C., Wehrung, P., dan Albrecht, P. (1998). A Novel Pathway of Soil Organic Matter Formation by Selective Preservation of Resistant Straight-chain Biopolymer: Chemical and Isotope Evidence, Organic Geochemistry 28, pp 411-415. Ourisson, G., Albrecht, P. dan Rohmer, M. (1984). The Hopanoids. Palaeochemistry and Biochemistry of A Group of Natural Products, Pure and Applied Chemistry 51, pp 709-729. Ourisson, G. and Albrecht, P. (1992). Hopanoids 1. Geohopanoids: The Most Abundant Natural Products on Earth ?, Acc. Chem. Res. 25, pp 398-402. Ourisson, G. dan Rohmer, M. (1992). Hopanoids 2. Biohopanoids: A Novel Class of Bacterial Lipids, Acc. Chem. Res. 25, pp 402-408. Putra, S. R., Nalin, R., Domenach, A. M., dan Rohmer, M. (2001). Novel Hopanoids from Frankia spp. And Related Soil Bacteria: Squalene Cyclication And Significance of
Majalah IPTEK - Vol. 16, No. 1, Februari 2005
Geological Biomarkers Revisited, European Journal Biochemistry 268, pp 4300-4306. Ries-Kautt, M. (1986). Etude des lipides dans divers types de sols aspects molecularies, Thèse de Doctorat ès-Sciences, Université Louis Pasteur, Strasbourg, pp 1-152. Ries-Kautt, M., dan Albrecht, P. (1989). HopaneDerived Triterpenoids in Soils, Chemical Geology 76, pp 143-151. Rodier, C., Llopiz, P., dan Neunlist, S. (1999). C32 and C34 Hopanoids in Recent Sediments of European Lakes: Novel Intermediates in The Early Diagenesis of Biohopanoids, Organic Geochemistry 30, pp 713-716. Rohmer, M., Pierrette, B. N., and Ourisson, G. (1984). Distribution of Hopanoid Triterpenes in Prokaryotes, Journal of General Microbiology 130, pp 1137-1150. Tritz, J.-P., Herrmann, D., Bisseret, P., Connan, J., dan Rohmer, M. (1999). Abiotic and Biological Hopanoid Transformation: Towards The Formation of Molecular Foccils of The Hopane Series, Organic Geochemistry 30, pp 499-514. Watson, D. F., dan Farrimond, P. (2000). Novel Polyfunctionalised Geohopanoids in a Recent Lacustrine Sediment (Pries Pot, UK), Organic Geochemistry 31, pp 1247-1252. Winkler, A., Haumaier, L., dan Zech, W. (2001). Variations in Hopanoid Composition and Abundance in Forest Soil During Litter Decomposition and Humification, Organic Geochemistry 32, pp 1375-1385. Zundel, M. and Rohmer, M. (1985). Hopanoids of The Methylotrophic Bacteria Methylococcus capsulatus and Methylomonas sp. As Possible Precursors of C29 and C30 Hopanoid Chemical Fossils, FEMS Microbiological Letters 28, pp 61-64. Diterima: 07 Oktober 2004 Disetujui untuk diterbitkan: 06 Januari 2005