STUDY ABOUT CHARACTERISTICS PEOPLE LIVING WITH HIV (PLHIV) AND STIGMA BY HEALTH WORKERS OF PLHIV IN YOGYAKARTA * Indriani ** Annisa Fitriana Damalita ***
[email protected] ABSTRACT Background: Stigma and discrimination are recognized as the barrier in the prevention and treatment programs with HIV and AIDS (Cao et al., 2010). One in four people are still afraid to have direct contact with people who are HIVpositive and reported that they would actively avoid interacting with someone they know to be HIV-positive (Herek, Capitanio, & Widaman, 2002). Stigma does not just come from the family, the community, but also from health personnel. Objective and Methods: To identify the characteristics of people living with HIV (PLHIV) and health workers stigma against people living with HIV in the city of Yogyakarta. Research using analytic survey with cross sectional approach. A total of 82 samples were obtained from 487 PLHIV and 53 health personnel from the region Pukesmas City. Samples were taken by using the purposive random sampling. Results: There was a significant relationship between gender (p = 0.026), education (p = 0.015), religion (p = 0.005) against the perceived stigma of people with HIV. A total of 56.9% said getting the stigma of personnel health personnel. Suggestions Conclusion: There is still a stigma of health workers and in this case the policy support from the government in addressingsocio-cultural and psychological related to HIV and AIDS is very necessary. Communication and campaigns on HIV / AIDS in order to optimize the knowledge of health workers and the public in the hope of discriminatory behavior and stigma reduction. It is hoped that this campaign will promote the use of standard precautions and practice of health professionals. Keywords: Characteristics, People living with HIV (PLHIV), Stigma, Health Officer
Pendahuluan Di Indonesia, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Ditjen PP dan PL Kemenkes RI tentang perkembangan HIV/AIDS yang dilaporkan pada 1 Januari hingga 31 Desember 2013, pengidap HIV sebesar 29, 073 jiwa dan AIDS sebesar 5, 608 jiwa. Secara perhitungan angka kejadian HIV dan AIDS mengalami peningkatan sejumlah 8, 624 jiwa untuk HIV dan 2,845 jiwa untuk AIDS. Penyebab masih tingginya angka kejadian penyakit HIV dan AIDS di dunia seperti di Afrika dan Eropa adalah karena masih tingginya perilaku sexual yang beresiko (berganta-ganti pasangan), penggunaan jarum suntik secara bergantian, homoseksual - heteroseksual, transfusi darah, kurangnya informasi tentang HIV dan AIDS, tingginya angka kemiskinan dan masih tingginya stigma tentang HIV dan AIDS di masyarakat maupun dari petugas kesehatan (Nasronudin, 2007). Salah satu kendala dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS adalah timbulnya stigma dan diskriminasiterhadap penderita HIV/AIDS (ODHA). timbulnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA disebabkan oleh faktor risiko penyakit iniyang terkait dengan perilaku seksual yang menyimpang dan penyalahgunaan narkotika dan obatberbahaya atau narkoba (Herek & Capitiano (1999). Stigma dari lingkungan sosial dapat menghambat proses pencegahan dan pengobatan. Penderita akan cemas terhadap diskriminasi dan mengakibat keengganan untuk melakukan tes. ODHIV menerima perlakuan yang tidak semestinya, sehingga menolak untuk membuka status mereka terhadap pasangan, atau merubah perilaku mereka untuk menghindari reaksi negatif. Hal lainya juga menyebabkan ODHIV tidak berpatisipasi untuk mengurangi penyebaran. Reaksi ini dapat menghambat usaha untuk mengintervensi HIV dan AIDS (Kemenkes, 2013).
Menurut Goffman (1963) stigma didefinisikan sebagai pelabelan terhadap seseorang, sehingga akan mengurangi status individu di mata masyarakat. Stigma dapat diberikan karena karakteristik tertentu seperti cacat fisik atau sikap negatif terhadap suatu kelompok seperti berkaitan dengan perilaku homoseksual, bergantaganti pasangan, dan pemakai narkoba suntik, sehingga pasien HIV dan AIDS dianggap tidak bermoral (Cao et al, 2010). Stigma dan diskriminasi tidak saja dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit HIV/AIDS, tetapi dapat juga dilakukan oleh petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrewin et al (2008) di Belize, diketahui bahwa petugas kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai stigma dan melakukan diskriminasi pada ODHIV. Literatur menunjukkan stigma dandiskriminasi dalam sektor kesehatan mungkinberdampak besar pada penerimaan perawatan dan dapat bertindak sebagaihalangan untuk pengungkapan, pengujian, dan pengobatan. Penelitian ini juga mengatakan bahwa lebih dari 50% perawat mengaku menghindari untuk kontak atau berhubungan dengan pasien-pasien ini, dan secara umum petugas kesehatan kurang mendukung terhadap ODHIV dan kelompok terstigma. Dampak label negatif yang diterima pederita mempengaruhi penentuan konsep diri yang meliputi perilaku, pemikiran, perasaan, dan kebiasaan. ODHIV cenderung menjadi seorang yang pendiam, tidak mau bersosialisasi atau menarik diri dari lingkungan, selalu berpikiran negatif, merasa bahwa dirinya paling buruk, mudah putus asa, dan selalu muncul keinginan untuk mati. Hal ini semakin kuat jika tidak adanya dukungan dari berbagai pihak terutama keluarga sehingga partisipan harus menanggung
beban seorang diri dan mengarah pada penilaian diri yang negatif (Herani I., Sarikusuma H., & Hasanah N., 2012). Standar intervensi HIV dan AIDS di dunia dilakukan dengan upaya pencegahan (preventif), upaya perawatan jasa, dan dukungan. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan konseling dan tes Voluntary Counseling Testing (VCT), melalui media massa, pendidikan AIDS berbasis sekolah, pengobatan infeksi menular, kewaspadaan universal, kebijakan, advokasi, administrasi dan penelitian. Upaya selanjutnya yang dilakukan adalah perawatan jasa seperti diagnosis infeksi HIV (tes HIV), pengobatan untuk infeksi opportunistik, terapi Antiretroviral (ARV), dan layanan laboraturium.Upaya mengurangi HIV dan AIDS yang terakhir adalah pemberian dukungan kepada anak yatim, panti asuhan, dan dukungan biaya untuk anak yatim (Coovadia M.H dan Hadingham L, 2004). Di Indonesia upaya-upaya juga telah dilakukan untuk memerangi HIV dan AIDS serta penyakit menular lainnya antara lain dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dengan mengintegrasikan lintas sektor dan lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli AIDS, mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV dan AIDS (ODHA), mempercepat pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS pada kelompok resiko tertular, ibu dan anak, memudahkan ODHA untuk memperoleh Anti Retroviral (ARV) melalui pelayanan di Klinik Voluntary Counseling Testing (VCT) (Kemenkes, 2013). Berdasarkan data kasus asal penderita, wilayah Kota Yogyakarta menempati urutan pertama dari lima kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah penderita 458, diikuti oleh Kabupaten Sleman sebanyak 300 penderita, Kabupaten 275 penderita, luar DIY 228 penderita, kabupaten Kulonprogo 66
penderita, disusul oleh Kabupaten Gunung Kidul sebanyak 40 penderita. Dalam Perda DIY Nomor 12 tahun 2010 tentang penanggulangan HIV dan AIDS yang didalamnya mengatur tentang upaya penanggulangan HIV dan AIDS (Perda DIY, 2010).Upaya penghapusan stigma dan diskriminasi di Yogyakarta yang telah dilakukan adalah dengan melakukan pendampingan tentang kesehatan seksual dan reproduksi (HIV dan AIDS), gender dan Hak Asasi Manusia (HAM), melakukan community walk (mengidentifikasi titik stigma di masyarakat), dan melakukan pertunjukan drama berdasarkan kisah nyata (PKBI, 2009). . Metodologi Untuk mengidentifikasi karakteristik ODHIV dan stigma tenaga kesehatan terhadappengidap HIV (ODHIV) di Kota Yogyakarta.Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Yogyakarta. Dalam penelitian ini terdapat dua jenis sampel yaitu pengidap HIV dan petugas kesehatan yang ada di Puskesmas dengan layanan VCT, pemeriksaan HIV.Subjek penelitian adalah populasi ODHIV di Kota Yogyakarta dan petugas kesehatan yang ada di Puskesmas di Kota Yogyakarta.81 ODHIV dan 53 partisipan dari tenaga kesehatan. Latar Belakang Teori 1. HIV(Human Immunodeficiency Virus) a. Pengertian AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah suatu penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIVdan ditandai dengan immunosupresi berat yang menimbulkan infeksi opportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis.Sedangkan, HIV (Human Immunodeficiency Virus) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan terhadap penyakit (Vinay Kumar, 2007).
b. Cara Penularan Menurut Davidson (2004), virus HIV terdapat dalam darah, sperma, dan cairan vagina. Penularan terjadi jika cairan yang terinfeksi tersebut masuk ke dalam aliran darah.AIDS tidak dapat ditularkan melalui hubungan sosial atau bahkan dengan tinggal bersama dengan penderita AIDS atau positif HIV, dengan catatan mencegah terjadinya kontak darah yang terinfeksi. Menurut Nasronudin (2007), transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara yaitu: 1) Secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak (selama mengandung, persalinan, menyusui). Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10-20% . Namun diperkirakan penularan ibu ke janin pada masa perinatal. Hal ini didasarkan pada identifikasi infeksi oleh teknik kultur atau Polymerase Chain Reaction (PCR) pada bayi setelah lahir (negatif saat lahir dan positif beberapa bulan kemudian). Virus dapat ditemukan di dalam ASI sehingga ASI merupakan perantara penularan HIV dari ibu ke bayi pascanatal. 2) Secara Transeksual (homoseksual atau heteroseksual). Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan di dalam cairan semen, cairan vagina, dan cairan serviks. Virus akan terkonsentrasi dalam cairan semen, terutama bila terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam cairan, seperti pada keadaan peradangan genetalia, misalnya urethritism, epididimistis, dan kelainan lain karena penyakit menular seksual. Virus juga dapat
ditemukan pada usapan serviks dan cairan vagina. Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membrane mukosa rectum yang tipis dan mudah robek, anus sering terjadi lesi.Pada kontak seks pervaginal, kemungkinan transmisi HIV dari laki-laki ke perempuan diperkirakan sekitar 20 kali lebih besar dari pada perempuan ke laki-laki.Hal ini karena paparan HIV secara berkepanjangan pada mukosa vagina, serviks, serta endometrium dengan semen yang terinfeksi. 3) Secara horizontal yaitu kontak antardarah dan produk darah yang terinfeksi (asas sterilisasi kurang diperhatikan terutama pada pemakaian jarum suntik bersama-sama secara bergantian, tattoo, tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan hemodialysis, dan perawatan gigi). HIV dapat ditransmisikan melalui darah dan produk darah, terutama pada individu pengguna narkotika intravena dengan pemakaian jarum suntik bersaman secara berkelompok tanpa mengindahkan asas sterilisasi. Penularan dapat juga terjadi pada individu yang menerima transfusi darah atau produk darah yang mengabaikan tes penapisan HIV, namun pada saat ini hal tersebut jarang terjadi karena semakin meningkatnya perhatian dan semakin baiknya tes penapisan terhadap darah yang akan ditransfusikan. c. Pencegahan Dalam upaya menurunkan risiko terinfeksi HIV, berbagai organsasi kesehatan dunia termasuk Indonesia, menganjurkan pencegahan melalui pendekatan ABCD, yaitu: 1) A atau Abstinence, yaitu menunda kegiatan seksual, tidak melakukan kegiatan seksual sebelum menikah.
2) B atau Be faithful, yaitu saling setia pada pasangannya setelah menikah. 3) C atau Condom, yaitu menggunakan kondom bagi orang yang melakukan perilaku seks beresiko 4) D atau Drugs, yaitu tidak menggunakan napza terutama napza suntik agar tidak menggunakan jarum suntik baergantian dan secara bersama-sama. Menurut Davidson (2004) pencegahan bisa dilakukan melalui perubahan perilaku.Para ilmuwan sepakat bahwa program-program penggantian jarum suntik atau pembagian jarum suntik secara gratis dan alat suntik mengurangi penggunaan jarum secara bergantian dan mengurangi penyebaran infeksi melalui penggunaan narkoba intravena. Fokus utama dalam mencegah penularan HIV melalui hubungan seks adalah mengubah cara berhubungan seks, seseorang yang dapat menghilangkan kemungkinan tertular (dengan melakukan hubungan monogami dengan hanya satu orang) hasil tes HIV nya negatif. Menurut Perda DIY no 12 tahun 2010, pencegahan yang dilakukan untuk menanggulangi HIV dan AIDS adalah: 1) Promosi a) Setiap satuan kerja perangkat daerah dapat mengadakan promosi di dalam lingkungan kerjanya sendiri atau kepada masyarakat sesuai dengan kewenangannya. Materi Promosi meliputi : pengatahuan tentang HIV dan AIDS, pengetahuan tentang perilaku hidup sehat berdasarkan nilai agama, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan gender, penghargaan terhadap hak asasi manusia dalam ruang lingkup HIV dan AIDS, dan pengurangan dampak buruk penyalahgunaan napza suntik. Materi promosi kesehatan yang disampaikan harus
terbebas dari diskriminasi dan stigma (Pasal 10 ayat 1,2,3 dan 4). b) Dinas di bidang pendidikan bertanggung jawab atas pelaksanaan Promosi di satuan pendidikan sesuai dengan kewenangannya Hal tersebut dapat diberikan melaui kegiatan intrakulikuler dan ekstrakulikuler. (Pasal 11 ayat 1 dan 2) c) Dinas ketenagakerjaan bertugas dan bertanggung jawab mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS pada setiap perusahaan (Pasal 12). 2) Pencegahan Potensi Penularan di Tempat Sarana Kesehatan dan Non kesehatan a) Sarana pelayanan dan kesehatan yang melakukan kegiatan dengan risiko terjadi kontaminasi darah, cairan tubuh, dan produk donor wajib menjalankan kewaspadaan universal. (Pasal 13 ayat 1) b) Tempat usaha yang kegiatannya berisiko menyebarkan HIV wajib menjalankan pencegahan dan penularan meliputi sterilisasi alatalat yang digunakan pada pengguna usaha/jasa dan menggunakan alat sekali pakai kepada pengguna/jasa (Pasal 14 ayat 1 dan 2). 3) Pencegahan Potensi Penularan HIV melalui Hubungan Seks dan Penggunaan Narkoba Suntik a) Untuk mencegah potensi penularan HIV melalui hubungan seks, setiap orang yang berhubungan seks dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya terinfeksi HIV wajib melindungi dirinya dan pasangannya dengan menggunakan alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV (Pasal 15 ayat 1).
b) Untuk mencegah potensi penularan HIV melaui penggunaan narkotika suntik, setiap orang yang menggunakan alat suntik pada kegiatan penggunaan narkotika suntik wajib menggunakan alat suntik steril dan/atau mengganti narkotika suntik dengan bahan subtitusi (Pasal 15 ayat 2). 4) Tes HIV dan Konseling a) Setiap orang dapat meminta tes HIV di sarana pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas pelayanan tes HIV. (Pasal 16 ayat 1) b) Tes HIV harus didahului dan diakhiri dengan konseling (Pasal 16 ayat 2). c) Tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan dapat menganjurkan tes HIV kepada pasien yang dirawatnya (Pasal 17 ayat 1). d) Setiap sarana pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tes HIV wajib memiliki konselor (Pasal 18 ayat 1). e) Setiap sarana pelayanan kesehatan wajib melakukan penapisan HIV dan penyakit lain yang dapat menular melalui produk donor (Pasal 19). f) Tes HIV tidak boleh digunakan sebagai prasyarat untuk suatu proses rekruitmen, kelanjutan status pekerja atau buruh atau sebagai tes kesehatan rutin atau prasyarat untuk melanjutkan pendidikan (Pasal 20). Dukungan ini mempunyai arti strategis dan penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan memperpanjang umur harapan hidup penderita HIV dan AIDS. Fakta yang ditemukan di UPIPI, ternyata keterlibatan ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS), keluarga, dan masyarakat peduli AIDS, maka ketahanan hidup penderita lebih baik.
Kualitas dan umur harapan hidup penderita HIV dan AIDS dipengaruhi berbagai faktor : 1) Faktor Internal yang berpengaruh adalah kepadatan HIV dalam tubuh penderita, respon imun, serta penerimaan terhadap penyakitnya, 2) Faktor Eksternal adalah dukungan psikologis dan psikososial dari tenaga medis, paramedis, pasangan hidup, sesama ODHA, dukungan keluarga, masyarakat umum, masyarakat peduli AIDS, para tokoh masyarakat akan berpengaruh positif terhadap kualitas maupun umur harapan hidup penderita HIV dan AIDS (Nasronudin, 2007). Dukungan Keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit.Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.(Siahaan, 2011). Bentuk dukungan keluarga adalah dukungan emosi (bentuk kehangatan, kepedulian, dan empati), dukungan penghargaan (dukungan positif yang menyadarkan ODHIV dan ODHA bahwa dirinya masih bermanfaat), dukungan instrumental (sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan, minum dan istirahat), dukungan informasi (pemberian informasi yang diberikan oleh keluarga) (Nugrahawati dan Nugraha, 2011). Dukungan tenaga medis terdiri dari ketakutan tenaga kesehatan terinfeksi HIV, sikap tenaga kesehatan terhadap ODHIV dan ODHA, adanya stigma yang berlaku dan dapat diamati di petugas kesehatan, adanya tidaknya diskriminasi yang diantisipasi, dan ada tidaknya kebijakan di tingkat kelembagaan serta lingkungan (Nyblade, et al, 2013).
Pendekatan penatalaksanaan penyakit ini tidak cukup bila hanya berlandaskan Antiretroviral (ARV) semata, tetapi diperlukan pendekatan secara paripurna termasuk dukungan psikologis dan psikososial karena dukungan tersebut akan mempengaruhi perilaku dan penampilan fisik, termasuk perilaku sel, serta ketahanan tubuh individu. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagaian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial (hidup dalam stress, depresi, merasa kurangnya dukungan sosial, perubahan perilaku). Pernyataan adanya infeksi HIV pada individu tersebut mendorong terjadinya reaksi penolakan hingga syok yang berlangsung berbulanbulan hingga tahun dan potensial mendorong progresifitas infeksi HIV ke AIDS. Jadi karakter psikososial erat kaitannya dengan progresifitas infeksi HIV. Laju progresifitas infeksi HIV dipengaruhi faktor strain virus, genetik, umur, jenis kelamin, malnutrisi, dan koinfeksi terutama virus DNA, serta psikososial. Individu berisiko tinggi akan mengalami dampak psikologis pribadi maupun sosial akibat pandemi AIDS. Sebagai pribadi akan mengalami masalah berkaitan dengan status HIV positif dan mengalami berbagai tekanan emosional serta mental. Individu tersebut harus berhadapan dengan stigma tau cap buruk dari masyarakat terhadap dirinya. Individu yang di stigma biasanya dianggap memalukan untuk alasan tertentu dan sebagai akibatnya dipermalukan, dihindari, didiskreditkan, ditolak. Hal tersebut menyulitkan untuk mempertahankan pekerjaannya, merawat, dan membesarkan anak-anaknya, sementara fisiknya secara progresif akan memburuk. Pernyataan terinfeksi HIV sendiri dapat merupakan stressor psikologis.Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara respon psikologis terhadap infeki HIV dengan indikator klinis serta imunologis
yang menunjukkan progresifitas penyakit.HIV menyerang sistem kekebalan tubuh terutama limfosit T-CD4 dan berbagai sel termasuk sel-sel saraf. Menurunnya kekebalan tubuh membuka peluang bagi mikroorganisme lain untuk tumbuh kembang sehingga muncul manifestasi infeksi opportunistik, serta mendorong perkembangan ke arah malignansi sebagai realisasi AIDS. Prinsip dasar dukungan psikososial adalah sebagai berikut : 1) Membentuk kelompok dukungan masyarakat terhadap ODHA dan para pendampingnya. 2) Mengurangi dan mengeliminasi stigma, membangun sikap positif dari masyarakat terhadap ODHA dan keluarganya, termasuk para petugas kesehatan. 3) Program penanggulangan HIV dan AIDS harus dilakukan secara holistik, melalui pendekatan multidisiplin dengan menciptakan keseimbangan dukungan materiil dan psikososial. 4) Psikososial meliputi area yang begitu luas dan banyak isu, maka unsur-usur dalam memberikan pelayanan yang paripurna. 5) Memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berbuat sesuatu sehingga pelaksanaan program dukungan psikososial menjadi lebih tangghuh dan berkesinambungan. ODHA memerlukan dukungan untuk menghambat berbagai pengaruh negatif maupun berbagai perubahan kronis akibat infeksinya yang diperberat oleh tekanan psikososial. Dukungan anggota keluarga, pemuka agama, konselor, petugas kesehatan, kesemuanya merupakan bagian penting dari dukungan psikologis maupun spiritual dalam membangun mekanismecoping bagi ODHA maupun keluarganya. Dukungan psikososial sangat membantu menurunkan stigma, diskriminasi, dan
berbagai konsekuensi negatif dari HIV positif. Adanya perhatian, upaya meminimalkan stress, dukungan individu-keluargamsyarakat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan mental ODHA.Mengenai reaksi individu yang dinyatakan terinfeksi HIV tidak hanya dipengaruhi oleh dukungan sosial individu, tetapi juga tergantung pada patern mekanisme coping dengan berbagai sterssor sebelumnya.Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan pekerjaan, perawatan dan pengobatan, anak, dan lain-lain.Dukungan sosial sangat menentukan perkembangan penyakit. Berikut beberapa upaya dukungan psikososial yang dapat diberikan yaitu : 1) Membantu dan mendampingi individu maupun keluarga ODHA. 2) Membantu individu untuk memahami infeksi HIV dan kematian akibat AIDS. 3) Konseling pada berbagai situasi (konseling pribadi, konseling keluarga melalui perawatan di rumah, konseling melalui kelompok ODHA). 4) Materi dukungan perilaku sosial meliputi : perilaku hidup sehat, perubahan perilaku dari resiko tinggi ke arah perilaku hidup sehat, peran di lingkungan, membangun komunikasi dengan sesama ODHA, menjelaskan sekitar mati dan kematian, konseling individu, keluarga, dan kelompok ODHA. 5) Mendukung pengembangan strategi pencegahan HIV dan AIDS yang mampu menjangkau kelopok resiko tinggi. 6) Mendukung program yang memberikan fokus keseimbangan kepada pria dan wanita dengan pesan yang mampu mengurangi kemungkinan penularan termasuk tanggung jawab bersama untuk menjaga diri bagi yang terinfeksi HIV agar tidak terkena penyakit opportunistik.
7) Mendukung lembaga-lembaga yang berupaya mengurangi tradisi kultural penyebab kerentanan infeksi HIV. 8) Memberikan dukungan hukum dan peraturan yang mampu menghormati dan melidungi pengidap HIV dari diskriminasi. 9) Meningkatkan akses ODHA terhadap pendidikan, pelatihan, dan lain-lainya, khususnya yang berkaitan dengan penyakit infeksi HIV dan AIDS. 10) Bila anggota keluarganya terkena infeksi HIV, maka perlu ditekankan kesadaran untuk ikut merawat sehingga berdampak pada kehidupan pribadinya, meskipun menuntut tenaga fisik dan psikoogis yang luar bisa, terutama bila yang sakit adalah pasangannya atau anaknya. d. Pengobatan Infeksi HIV dan AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang.Sistem imunitas menurun secara progresif sehingga muncul infeksi opportunistik yang dapat muncul secara bersamaan pula dan berakhir pada kematian.Sementara itu hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. Pengobatan HIV dan AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: 1) Pengobatan Suportif Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita.Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik, vitamin, dan dukungan psikososial agar penderita dapat melaukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. 2) Pengobatan Infeksi Opportunistik Pengobatan Infeksi Opportunistik yaitu pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara nyata. Infeksi opportunistik adalah infeksi yang muncul akibat lemahnya system
pertahanan tubuh yang telah terinfeksi HIV atau oleh sebab lain. 3) Pengobatan Antiretroviral (ARV) Saat ini telah ditemukan beberapa obat Antiretroviral (ARV) seperti Stavudin (D4T), Lamivudin (3TC), Nevirapin (NVP), Zidovudin (AZT), dan Efavirenz (EFV). ARV dapat menghambat perkembangan HIV, ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau penghambat kerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi oportunistik menjadi lebih jarang ditemukan dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbidias dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan atau membunuh virus. Kendala dalam pemberian ARV antara lain kesukaran ODHA untuk minum obat secara teratur, adanya efek samping obat, harga yang relatif mahal dan timbulnya resistensi HIV terhadap obat ARV. Karena belum ditemukan obat yang efektif maka pencegahan penularan menjadi sangat penting dalam upaya mengurangi angka kejadian HIV dan angka kematian akibat AIDS. d. Layanan Tes HIV Dalam strategi nasional penanggulangan HIV dan AIDS, salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah menyediakan dan menngkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan dukungan kepada orang terinfeksi HIV yang terintegrasi dengan upaya pencegahan. Pelayanan terhadap HIV dan AIDS terdiri dari tes dan konsultasi HIV dan perawatan terhadap kasus HIV dan AIDS. Rencana strategi nasional AIDS menetapkan tes dan konseling HIV dengan tujuan:
1) Menyiapkan fasilitas dan pelayanan tes yang bisa mendeteksi infeksi HIV dan AIDS, khususnya diantara populasi beresiko tinggi. 2) Menyediakan praktek, pemberian nasehat, dan informasi HIV dan AIDS beserta dampaknya. 3) Menetapkan biaya yang efeektif atau terjangkau untuk melakukan tes. 4) Mendorong lembaga swadaya masyarakat dan sektor swasta untuk membangun klinik tes dan konseling. Dalam SK Menkes no 241 tahun 2006 tentang standar pelayanan laboraturium kesehatan pemeriksa HIV dan infeksi opportunistik, Voluntary Counseling Testing (VCT) service adalah tempat pelayanan konseling pra test, tes HIV, dan konseling pasca tes secara sukarela dan rehasia bagi mereka ynag berperilaku beresiko atau diduga terinfeksi HIV dan AIDS. Respon Psikologis dan Sel Saraf terhadap Infeki HIV Respon psikologis hingga adaptasi psikologis tergantung pada tiga faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi : 1) Faktor Medis (gejala-gejala, perjalanan penyakit, komplikasi terutama pada sistem saraf pusat) 2) Faktor psikologis (Kepribadian dan kemampuan mengatasi masalah, dukungan interpersonal) 3) Faktor Sosiokultural (Stigma sosial yang melekat pada infeksi HIV maupun kelompok orang yang menderita HIV) Beberapa individu yang dinyatakan positif terinfeksi HIV mengalami distress psikologis. Respon stress yang normal terlihat saat diagnosis terinfeksi HIV disampaikan ke pasien. Respon yang timbul adalah merasa tidak yakin, merasa kaku, penyangkalan disertai kemarahan, kekacauan akut dengan kecemasan yang tinggi serta depresi. Kecemasan dan ketidakyakinan akan
proses penyakit, perjalanan penyakit, kemungkinan pengobatan. Pasien merasa sangat takut ketika timbul gejala fisik yang baru kerana hal tersebut bisa saja merupakan tanda semakin progresifnya penyakit. Beban secara sosiokultural akibat didiagnosis terinfeksi HIV dapat berasal dari berbagai sumber. Stigma sosial yang berhubungan dengan aspek penularan dapat menyebabkan gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak fisik, dan sosial. Akibatnya dirasakan sangat menyakitkan hati bagi orang dewasa, apalagi anak-anak yang terinfeksi HIV juga dikucilkan dari sekolah dan dari teman sebayanya karena ketakutan yang dialami orang tua. Penatalaksanaan medis, dukungan dan ajakan untuk berperilaku hidup sehat merupakan pilihan terbaik. Respon yang positif, dukungan psikososial positif sedini mungkin berdampak mengurangi keluhan penyakit, merasa sudah sembuh dan mengurangi beban penyakit yang dideritanya, terjadi perubahan gaya hidup yang positif baik terhadap pasangan maupun keluarga. e. Dinamika Psikologis Penderita HIV dan AIDS Tekanan psikososial yang utama pada pasien HIV menurut Nasronudin (2007) adalah: 1) Kecemasan Pengidap HIV merasa cemas terhadap rasa tidak pasti penyakit yang diderita, perkembangan dan pengobatannya, merasa cemas dengan berbagai gejala-gejala baru, merasa cemas dengan prognosis dan ancaman kematian. 2) Depresi Pengidap HIV merasa sedih, tak berdaya, merasa rendah diri, merasa bersalah, merasa tak berharga, putus asa, berkeinginan untuk bunuh diri,
3)
4)
5)
6)
2.
menarik diri, sulit tidur, hilang nafsu makan. Merasa terisolasi dan berkurangnya dukungan Pengidap HIV merasa ditolak oleh keluarga ataupun masyarakat. Merasa marah kepada diri sendiri dan orang lain Pengidap HIV menunjukkan sikap bermusuhan terhadap pemberi perawatan, menolak untuk bekerja sama dengan pemberi perawatan. Merasa takut Pengidap HIV akan merasa takut jika ada yang mengetahui penyakit yang diderita. Merasa malu Pengidap HIV merasa malu dengan adanya stigma sebagai penderita terinfeksi HIV, penyangkalan terhadap kebiasaan seksual dan penggunaan obat-obat terlarang. Stigma a. Pengertian Stigma Konsep stigma berasal dari bahasa Yunani yang mengacu pada tanda/tatoo yang diberikan pada budak sehingga menjadi pembeda dengan orang merdeka (Mbonu, 2008; Arboeda-Florez, 2002; Hastuti, 2011). Goffman (1963) stigma didefinisikan sebagai pelabelan terhadap seseorang, sehingga akan mengurangi status individu di mata masyarakat. Stigma dapat diberikan karena karakteristik tertentu seperti cacat fisik atau sikap negative terhadap suatu kelompok seperti berkaitan dengan perilaku homoseksual, bergonta-ganti pasangan, dan pemakai narkoba suntik, sehinga pasien HIV dan AIDS dianggap tidak bermoral (Monjok et al, 2010).
Stigma adalah tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk memisahkan atau mendeskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk. b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stigma 1) Faktor-Faktor yang mempengaruhi stigma (ODHIV) a). Umur Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik dan perilaku seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi proses terbentuknya motivasi sehingga faktor umur diperkirakan berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku seseorang (Paryati, dkk, 2010). b). Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu variabel individu yang dapat mempengaruhi perilaku.Perempuan lebih menggunakan emosinya dalam menyikapi persoalan. Sedangkan laki-laki lebih menggunakan rasionalnya. c). Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma dan diskriminasi diri ODHA sendiri. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.Mahendra pada tahun 2006, menyatakan bahwa jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan diskriminasi terhadap ODHA (Mahendra, et al, 2006).
a) Pengetahuan Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS berhubungan dengan stigma di tingkat masyarakat.Pada tingkat Individu, adanya gangguan kesehatan mental dan rendahnya harga diri pada ODHA berhubungan dengan stigmatisasi diri (Holzemer et al, 2007). Pengetahuan tentang HIV dan AIDS sangat mempengaruhi bagaimana individu tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV dan AIDS (Bradley, 2009 dan Paryati, dkk, 2010). b) Persepsi tentang ODHA Persepsi pengidap HIV dan AIDS terhadap stigma yang diberikan kepada penderita HIV dan AIDS bermacam-macam yaitu menjauhi penderita HIV dan AIDS karena pandangan dan pengetahuan masyarakat sempit tentang penderita HIV dan AIDS, penyakit yang tidak bisa disembuhkan, sangat menular, penyakit yang paling buruk dan penyakit sebagai hukuman dari Tuhan (Waluyo, dkk, 2007). Persepsi terhadap pengidap HIV atau penderita AIDS akan sangat mempengaruhi bagaimana orang tersebut akan bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. Persepsi terhadap ODHA berkaitan dengan nilai-nilai seperti rasa malu, sikap menyalahkan dan menghakimi yang berhubungan dengan AIDS tersebut (Paryati, dkk, 2010). c) Media Informasi Menurut (Notoatmodjo, 2003) menyatakan bahwa sumber informasi adalah segala sesuatu yang menjadi perantara dalam memyampaikan informasi, merangsang pikiran dan kemampuan, menambah pengetahuan. Sumber informasi dapat diperoleh melalui media cetak (Suratkabar,
Majalah, Buku), media elektronik (Tv, Radio, Internet) dan melalui tenaga kesehatan seperti pelatihan dan penyuluhan yang diadakan (Dokter, Perawat, Bidan) Penelitian Babalola et al (2009) menemukan bahwa paparan seseorang terhadap media informasi meningkatkan pengetahuan tentang HIV dan pengetahuan HIV berhubungan positif dengan sikap menerima ODHA.Penelitian ini juga menunjukkan bahwa peran penting dari faktor masyarakat dalam menentukan penerimaan sosial dari ODHA. d) Konstruksi budaya pada HIV, steryotipe, dan kepercayaankepercayaan tertentu. Hubungan antara perilaku seksual yang tidak dapat diterima oleh masyarakat berkontribusi pada stigma terkait HIV.HIV AIDS di stigmatisasi karena membawa banyak simbol berbahaya seperti penularan penyakit, tidak dpat disembuhkan, tidak bermoral, serta ganjaran terhadap perilaku yang berdosa adalah hal yang umum dijumpai pada masyarakat (Mbonu et al, 2009). e) Akses terhadap Antiretroviral (ARV) dan peran Antiretroviral (ARV) Akses terhadap Antiretroviral (ARV) meningkat namun jangkauan terhadap sasaran masih sulit akibat tidak teridentifikasinya ODHIV/ODHA pada petugas kesehtan.Meskipun ODHIV/ODHA sudah mengetahui statusnya, tetapi mereka tidak ingin mengungkapkan status tersebut di masyarakat.Ketakutan terhadap stigma, menjadi korban, menjadi bahan pembicaraan, beragam tuduhan yang ditujukan padanya, dianggap tidak setia ialah beberapa hal yang menghalangi ODHIV/ODHA untuk mengungkapkan statusnya.Meskipun
ODHA telah mendapat Antiretroviral (ARV) dan menunjukkan hasil perbaikan, nemun mereka tetap dikucilkan karena masyarakat telah mengetahui status mereka. Masalah lain adalah menggabungkan dengn pengobatan tradisional sehingga efektifitas Antiretroviral (ARV) tidak diketahui. Beberapa juga yang banyak menghentikan terapi Antiretroviral (ARV) dan hanya mengonsumsi obat tradisional.Ironisnya karena akses Antiretroviral (ARV) lebih luas dan relatif lebih mudah maka perhatian pada upaya pencegahan penularan menjadi berkurang dan meningkatkan perilaku berisiko (Mbonu et al, 2009). f) Agama Agama memainkan peran yang mendukung maupun merugikan terhadap ODHIV/ODHA.Beberapa pemuka agama menghubungkan HIV dengan dosa dan isu tidak bermoral sehingga terstigma bahwa ODHIV/ODHA adalah orang yang berdosa. Namun di lain sisi, agama memberikan kesempatan bahwa meskipun mereka berdosa tetapi mereka masih diampuni dan akan mendapat tempat yang lebih baik setelah kematian (Mbonu et al, 2009). g) Lamanya terkena HIV Lamanya terkena HIV akan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku (Holzemer, 2007). h) Isu Gender Stigmatisasi terkait dengan keberdayaan. Ketidaksetaraan gender merupakan satu dari faktor utama dari ketidakmampuan perempuuan dalam menjaga diri mereka sendiri (Mbonu et al, 2009). c. Tipe Stigma Stigma dapat terjadi secara eksternal maupun internal.Stigma eksternal mengacu pada pengalaman nyata yang dialami ODHA berupa diskriminasi,
sedangkan stigma internal adalah persepsi diri negatif dan ketakutan terhadap kemungkinan diskriminasi.Stigma internal mengakibatkan ODHA membentuk pertahanan diri untuk menghindarkannya dari stigma eksternal, berupa menutupi status HIV dan tidak berkeinginan untuk mencari pertolongan yang tepat (Mbonu, et al., 2009). Tipe stigma menurut model modifikasi dari Mitchell Weiss membagi stigma ke dalam dua tipe yaitu : 1) Orang yang Terstigma (People who are stigmatised) Orang yang terstigma terdiri dari: a) Anticipated stigma (Stigma yang dirasakan) b) Internalised stigma (Stigma diri) c) Experienced Stigma (Diskriminasi yang dialami) 2) Orang yang Menstigma (Stigmatisers) a) Enacted Stigma (Diskriminasi yang dilakukan) b) Ketakutan c) Symbolic Stigma (Stigma dalam perkumpulan) d) Perceived stigma (Sikap) Berdasarkan jurnal penelitian stigma Holzemer et al (2007) membagi stigma pada ODHIV dan ODHA dalam beberapa komponen yaitu: 1) Kekerasan verbal (Verbal abuse) Kekerasan verbal yaitu perilaku verbal yang merugikan ODHA.Bentuk dari kekerasan verbal adalah memberikan ejekan, hinaan, menyalahkan ODHIV dan ODHA. 2) Persepsi diri yang negatif (negative self perception) Persepsi diri yang negatif yaitu evaluasi diri yang negatif berdasarkan status HIV nya.Bentuk dari persepsi diri yang negatif adalah ODHIV dan ODHA merasa malu terhadap penyakitnya, merasa tidak berharga, merasa sebagai
3)
4)
5)
6)
pembawa masalah dan perasaan tidak pantas sebagai manusia. Pengabaian dalam pelayanan kesehatan (Healthcare neglect) Pengabaian dalam pelayanan kesehatan (Healthcare neglect) yaitu pengabaian baik di rumah sakit maupun klinik. Bentuk dari pengabaian ini adalah dengan tidak memberikan perawatan yang sama seperti pasien lainnya atau tidak diperbolehkan mengakses pelayanan kesehatan berdasarkan status HIV nya. Pengucilan/isolasi sosial (Social isolation) Pengucilan/isolasi sosial adalah membatasi hubungan sosial atau memutuskan hubungan dengan ODHA.Bentuk dari pengucilan ini adalah tidak memiliki teman akibat mengetahui status HIV nya, orang-orang mengakhiri hubungan dengan pengidap HIV, dan menyalahkan pengidap HIV akibat statusnya. Ketakutan terhadap penularan (Fear of contagion) Ketakutan terhadap penularan adalah segala perilaku menunjukkan ketakutan untuk berdekatan atau melakukan kontak langsung dengan ODHA atau benda yang digunakan ODHA karena khawatir tertular.Bentuk dari perilaku ini adalah pemisahan peralatan makan, tidak boleh maka bersama, saat batuk atau bersin, dan ketakutan untuk mengobrol. Stigma di tempat kerja (Workplace Stigma). Stigma di tempat kerja adalah pemutusan akses kerja atau peluang kerja berdasarkan status HIV seseorang. Bentuk stigma di tempat kerja adalah dipecat dari tempat kerja karena staus HIV, tidak diberikannya peluang untuk mengembangkan karier.
d. Dampak Stigma Menurut Phulf (dalam Hermawati, 2012) hasil penelitian menemukan ada beberapa akibat dari stigma yaitu: 1) Stigma sulit mencari bantuan 2) Stigma membuat semakin sulit memulihkan kehidupan karena stigma dapat menyebabkan erosinya self-confidence sehingga menarik diri dari masyarakat 3) Stigma menyebabkan diskriminasi sehingga sulit mendapatkan akses pekerjaan 4) Masyarakat bisa lebih kasar dan kurang manusiawi 5) Keluarganya menjadi lebih terhina dan terganggu. Selain itu beberapa jurnal yang membahas mengena stigma dan diskriminasi menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi mengakibatkan kecemasan dan ketakutan ODHA untuk membuka statusnya. Hal ini dikemukakan oleh Busca dalam literatur review yang berjudul Chalenging Stigma and Discrimination in Southeast Asia, Duffy dalam jurnal berjudul Suffering, Shame, and Silence: The Stigma of HIV/AIDS, Holzemer dalam jurnal berjudul Managing AIDS Stigma serta review paper yang dikeluarkan oleh UNDP yang berjudul HIV Related Stigma and Discrimination in Asia. Populasi rawan pun merasa takut untuk menjalani tes diagnostik disebabkan oleh ancaman stigma dan diskriminasi.Hal ini menjadikan penghalang bagi ODHA dan populasi rawan untuk menjangkau ketersediaan pelayanan kesehatan. e. Stigma Masyarakat Terhadap Pengidap HIV Menurut Merati (dalam Cholil 1997 dan Hermawati, 2012) Stigma utama masyarakat terhadap HIV dan AIDS adalah karena infeksi HIV dan AIDS berkonotasi segala macam bentuk yang “negatif” karena fakta menyebutkan
80% ditularkan melalui hubungan “seksual”, sisanya adalah pecandu narkoba dan jarum suntik, PSK (Pekerja Seks Komersial), istri yang tertular dari suami dan seorang stri yang melahirkan anak positif HIV. Penyakit HIV dan AIDS merupakan topik yang paling banyak mendapatkan stigma negatif (60%) dibandingkan penyakit yang lain seperti sakit jiwa, homo, dan biseksualitas, TBC, epilepsi, dan sebagainya. (Manzo, 2004).Stigma bahkan menjadi tantangan serius dalam upaya memperluas akses pencegahan HIV yang efektif pada wanita AfroAmerika (El-Bassel, et al, 2009). f. Pengaruh Stigma dan Upaya Pencegahan Stigma HIV dan AIDS Stigma mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan ODHA.Mereka bisa kehilangan dukungan sosial, kehilanga pekerjaan, pengucilan, penganiayaan, bahkan kesulitan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.Karena itu, stigma merupakan hambatan utama dalam pencegahan primer dan sekunder HIV dan AIDS dan berakibat meningkatkan kesakitan dan kematian(Holzemer et al, 2007). Upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk penghapusan stigma adalah: (Kemenkes, 2013) 1) Memberikan dukungan psikososial 2) Testimoni ODHA maupun keluarganya mengenai pengalaman mereka hidup dengan HIV atau hidup dengan orang yang positif HIV 3) Pengawasan bahasa (language watch) dengan melakukan “survei mendengarkan” untuk mengidentifikasi kata-kata yang menstigma yang sering digunakan dalam masyarakat (di media maupun lagu-lagu populer) 4) Community walk untuk mengidentifikasi titik stigma di masyarakat
5) Pertunjukan drama berdasarkan kisah nyata 6) Pameran gambar sebagai titik fokus untuk memulai diskusi mengenai stigma. g. Mengukur Stigma Ada beberapa alat pengukuran stigma, tergantung pada tingkatan mana stigma dinilai.Instrumen stigma HIV dan AIDS pada ODHA atau HIV dan AIDS Stigma instrument –PLWA (HASI-P) merupakan instrumen yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya bertujuan mengukur secara kuantitatif stigma HIV dan AIDS yang dialami oleh ODHA.Instrumen ini reliabel dan memenuhi validitas isi (Holzemer et al, 2007). Instrumen ini dibuat dan divalidasi dalam 3 fase selama tehun 2003-2006 dan pada 1.477 ODHA dari 5 negara di Afrika (Lesotho, Malawi, Afrika Selatan, Swaziland dan Tanzania). Partisipan berusia rata-rata 36, 1 tahun, 74, 1% perempuan, rata-rata telah mengetahui status HIV 3,4 tahun dan 46 % telah mendapatkan ARV. Ada 6 faktor yang dinilai pada instrumen ini, yaitu : 1) Kekerasan verbal (8item) yaitu perilaku verbal yang merugikan ODHA 2) Persepsi diri yang negatif (5 item) yaitu evaluasi diri yang negatif berdsarkan status HIV nya 3) Pengabaian dalam pelayanan kesehatan (7 item) baik di rumah sakit maupun klinik, tidak memberikan perawatan yang sama seperti pasien lainnya atau tidak diperbolehkan mengakses pelayanan kesehatan berdasarkan status HIV 4) Pengucilan/isolasi sosial (5 item), membatasi hubungan sosial atau memutuskan hubungan dengan ODHA.
5) Ketakutan terhadap penularan (6 item) adalah segala perilaku menunjukkan ketakutan untuk berdekatan atau melakukan kontak langsung dengan ODHA atau benda yang digunakan ODHA karena khawatir tertular 6) Stigma di tempat kerja adalah pemutusan akses kerja atau peluang kerja berdasarkan status HIV seseorang. Alat ukur lain yang juga telah divalidasi adalah internalized stigma scale(Sayles et al, 2009) yang mengukur stigma berdasarkan stereotype, pengungkapan status HIV, hubungan sosial, dan penerimaan diri. Total item dalam alat ukur tersebut adalah 28 butir. Instrumen ini dikembangkan dengan meninjau dan memprioritaskan item oleh para ahli melalui lokakarya untuk mengembangkan isi kuesioner dan menguji kuesioner di enam negara (China, Dominica, Egypt, Kenya, Puerto Rico, dan St. Christopher & Nevis) pada 1.893 tenaga kesehatan di enam negara tersebut. Terdapat faktor yang dinilai pada instrumen ini: 1) Tenaga kesehatan takut terinfeksi HIV (Termasuk di dalamnya pengetahuan tentang cara penularan) 2) Sikap terhadap ODHA (Stereotip dan Prasangka) 3) Enacted Stigma (Stigma yng belaku dan dapat diamati) 4) Diskriminasi yang diantisipasi (Meliputi stigma sekunder yang dialami oleh staf fasilitas kesehatan) 5) Kebijakan di tingkat kelembagaan dan lingkungan HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan dibeberapa tempat di wilayah Kota Yogyakarta yaitu, wilayah Puskesmas Gedong Tengen, dan Puskesmas Umbulharjo I dan LSM Victory Plus.LSM Victory Plus adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bergerak dalam penanganan dini HIV dan AIDS. Tempat penelitian yang kedua adalah di lingkup tenaga kesehatan yaitu Puskesmas Kota Yogyakarta yang memiliki fasilitas pelayanan terhadap HIV dan AIDS yaitu Puskesmas Gedong Tengen dan Puskesmas Umbulharjo I. Kedua puskesmas tersebut merupakan puskesmas di Kota Yogyakarta yang memberikan layanan HIV dan AIDS. Tabel 3. PrevalensiKarakteristik Responden yang Hidup dengan HIV (ODHIV) No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Karakteristik Responden Umur a. < 19 tahun b. 20-35 tahun c. ≥ 35 tahun
Hasil Penelitian Frekuensi %
Jenis Kelamin a. Laki-Laki b. Perempuan Pendidikan a. Rendah (SD/MISMP/MTS) b. Sedang (SMA/SMK/MA) c. Tinggi (D3/S1/S2) Status Pekerjaan a. Bekerja b. Tidak Bekerja Status Ekonomi a. Rendah (< 1.000.000) b. Sedang (1.000.0001.500.000) c. Tinggi (≥ 1.500.000) Agama a. Islam b. Kristen Katolik c. Kristen Protestan d. Hindu e. Budha
0 51 31
0 62,2 37,8
54 28
65,9 34,1
21 48 13
25,6 58,5 15,9
74 8
90,2 9,8
34 21 27
41,5 25,6 32,9
63 16 3 0 0
76,8 19,5 3,7 0 0
Status Pernikahan a. Menikah b. Tidak Menikah
33 49
40,2 59,8
Total
82
100
Sumber : Data Primer 2014
Mayoritas responden berumur 20-35 tahun sebanyak 62 orang (62,2 %). Menunjukkan bahwa remaja Indonesia saat ini sedang mengalami kerentanan terhadap berbagai ancaman terutama yang berkaitan dengan kesehatan seksual dan reproduksi termasuk peningkatan ancaman dari HIV dan AIDS. Pada fase rentang umur 20-35 tahun remaja telah memasuki fase dewasa yaitu fase dewasa awal, pada fase ini seseorang dapat dikatakan telah mencapai masa kedewasaan. Pada usia ini seseorang telah mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara sehingga ia dapat melakukan kewajiban tertentu tidaklah tergantung pada orang tuanya (Monks, F.J, 2006). Pada usia ini seseorang memasuki usia produktif yaitu usia ketika seseorang masih mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu. Jika dikaitkan dengan kasus HIV dan AIDS pada usiatersebut adalah usia produktif bagi seseorang namun jika seseorang tersebut terdiagnosa HIV maka akan mempengaruhi produktivitasnya. Hilangnya masa produktif remaja tersebut akan berdampak pada hilangnya usia produktif di Indonesia. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa seseorang telah terpapar dengan faktor resiko yang menyebabkan HIV dan AIDS di rentang waktu usia< 19 tahun. Untuk itu diketahui bahwa rata-rata pengidap HIV dan AIDS adalah pada usia 20-35 tahun yaitu waktu dimana mereka mengetahui status HIV nya. Hal ini menjadi fenomena gunung es yang tidak tampak namun sangatlah membahayakan bagi generasi muda kedepan, karena untuk mengetahui status HIV seseorang haruslah didasari pada pengetahuannya terlebih dahulu tentang penyakit HIV dan AIDS serta penularannya, khususnya pada remaja. Pada usia tersebut remaja memiliki keingintahuan yang tinggi dan cenderung berusaha untuk melepaskan dirinya dari orang tua dengan maksud menemukan
dirinya yang dipengaruhi oleh lingkungannya (Monks F.J, 2006). Responden berjenis kelamin lakilaki lebih banyak yaitu 54 responden (65,9%) dari ODHIV perempuan. Laki-laki lebih beresiko terkena HIV dan AIDS karena faktor resiko HIV dan AIDS dominan pada laki-laki.Hasil penelitian ini sejalan dengan bahwa laki-laki homosekual memiliki risiko tertular HIV dan AIDS lebih besar daripada laki-laki heteroseksual, khususnya melalui perilaku seksual beresiko, yaitu hubungan seks lebih dari satu partner dan seks anal (Laksana, D & Woro, D, 2010). Hasil penelitian lain menyatakan bahwa perilaku beresiko yang menyebabkan perempuan rentan terhadap IMS dan HIV adalah dari perilaku laki-laki yaitu hubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan seksual, biseksual, dan tidak konsisten menggunakan kondom, sedangkan perilaku beresiko perempuan adalah memiliki lebih dari satu pasangan seksual, posisi tawar rendah dalam negosiasi kondom, melacur, dan hubungan seks dalam keadaan terpaksa. (Dewi, S.K, dkk, 2013) Pendidikan formal yang ditempuh seseorang pada dasarnya merupakan suatu proses menuju kematangan intelektual untuk itu pendidikan tidak dapat terlepas dar proses belajar. (Notoadmojo, 2003).Semakin tinggi pendidikan formal seseorang maka akan semakin baik pengetahuannya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan, termasuk di dalamnya pengetahuan dan keterampilan tentang kesehatan yang dibutuhkan manusia dalam hidup bermasyarakat, berwawasan, cara berpikir seseorang, pengambilan keputusan hingga pembuatan kebijakan. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan jumlah responden dengan tingkat pendidikan sedang (SMA/SMK/MA) adalah yang paling tinggi dibandingkan tingkat pendidikan rendah
dan tinggi yaitu sebanyak 48 responden (58,5%). 74 responden (90,2%) memiliki pekerjaan atau bekerja. Seseorang yang telah memiliki penghasilan sendiri/bekerja, dan dia belum menikah maka ada kecenderungan untuk bebas melakukan perilaku beresiko yang mengakibatkan HIV dan AIDS, terlebih mereka berada pada masa reproduksi pada fase tingginya gejolak seksual,jika tidak diimbangi dengan keimanan dan pengetahuan yang cukup maka akan berpotensi untuk melakukan perilaku beresiko seperti perilaku seks bebas, menggunakan narkoba suntik, seks bebas tanpa kondom. Responden yang bekerja sebagai swasta yaitu 39 responden (47,6%) lebih tinggi dibandingkan jenis pekerjaan lainnya. Hal ini didasari asumsi bahwa pekerja swasta lebih memiliki waktu bekerja yang flexible sehingga memungkinkan adanya perilaku beresiko yang dilakukan.Akan tetapi ddari sebuah literatur didapatkan ada kecenderungan bahwa pengidap HIV lebih nyaman apabila bekerja tidak terikat dengan suatu instansi yang mungkin berpotensi dilakukan diskriminasi karena status HIV-nya, sehingga mereka menghindari pekerjaan yang lainnya. HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (Human Capital). Mereka tidak hanya tidak dapat bekarja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadahi. Dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status ekonomi ratarata adalah rendah sebesar 34 responden (41,5%) dibandingkan status ekonomi sedang dan tinggi. Status ekonomi dalam kriteia rendah dalam penelitian ini adalahresponden berpenghasilan kurang dari 1.000.000 rupiah tiap bulan. Berdasarkan variabel agama, responden yang beragama islam lebih
banyak dibandingkan agama yang lainnya yaitu sebesar 63 responden (76,8%). Hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama islam. Dalam hal ini pentingnya variableagama diketahui, karena agama menjadi benteng dari seorang individu. Agama yang mampu menjadi penguat individu dalam berbagai keadaan yang dialami, namun sekaligus dapat menjadi refleksi kehidupan yang melanggar norma. Variabel status pernikahan, responden yang tidak menikah lebih banyak daripada yang memiliki pasangan atau yang menikah yaitu sebanyak 33 responden (40,2%). Jika dikaitkan dengan umur tertinggi responden adalah 20-35 tahun, dan status perkawinan tertinggi adalah tidak menikah maka dapat diketahui adanya suatu pola migrasi di kalangan remaja, mereka kebanyakan tinggal di kontrakan maupun kost dengan keterbatasan pengawasan dari orang tua mereka karena usia tersebut adalah masa produktif remaja untuk melanjutkan sekolah ataupun mencari pekerjaan. Tabel 9.Prevalensi Stigma yang Dirasakan oleh Pengidap HIV (ODHIV) Stigma F Persentase (%) Merasakan Stigma
77
93,9
Tidak Merasakan Stigma
5
6,1
82
100
Total
Sumber
: Data Primer 2014
Dari tabel 9.diketahui bahwa pengidap HIV (ODHIV) di Kota Yogyakarta masih mengalami stigma dengan dominasi stigma sebesar 77 responden (93,9%).
Tabel 10.Indikator Stigma yang dirasakan Pengidap HIV(ODHIV) No Kategori Indikator Merasakan Tidak Stigma Merasakan Stigma 1. Kekerasan 0 0 verbal (100%) (0%) 2. 3. 4.
Persepsi diri rendah Pengabaia n Pengucilan
57 (69,5%) 77 (93,9%) 82 (100%)
25 (29,3%) 5 (6,1%) 0 (0%)
Total
77 (93,9%)
5 (6,1%)
Sumber : Data Primer 2014
Berdasarkan paparan indikator tersebut diketahui bahwa masih ada stigma yang dirasakan pengidap HIV (ODHIV) yaitu pada persepsi diri. Persepsi tersebut meliputi beberapa responden merasa sudah tidak pantas untuk hidup, merasa malu akan status HIV nya, merasa tidak berharga, merasa sebagai pembawa masalah dalam keluarga, dan merasa sudah tidak pantas lagi dianggap sebagai manusia. Secara teori, tekanan psikososial yang dialami oleh pengidap HIV adalah cemas, depresi, merasa terisolasi dan berkurangnya dukungan, merasa marah kepada diri sendiri, merasa takut, dan merasa malu akan status HIV nya. Apabila hal ini tetap terjadi maka akan berdampak pada ketahanan tubuh individu yang terinfeksi serta mempengaruhi laju perogresivitas HIV ke AIDS. Respon biologis terhadap tekanan psiksosial akan secara langsung berdampak pada sistem saraf pusat sehingga muncul sindrom neuropsikiatrik. Cara terbaik untuk mengurangi persepsi sehingga menyebabkan stigma tersebut adalah dengan membantu dan mendampingi individu maupun keluarga ODHA, membantu individu untuk memahami
infeksi HIV dan kematian akibat AIDS, juga dikucilkan dari sekolah dan dari teman memberikan konseling, mengubah perilaku sebayanya karena ketakutan yang dialami menjadi perilaku hidup sehat, orang tua. meningkatkan akses ODHA terhadap pendidikan, pelatihan dan yang berkaitan dengan HIV dan AIDS. Stigma sosial yang berhubungan dengan aspek penularan dapat menyebabkan gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak fisik, dan sosial. Akibatnya dirasakan sangat menyakitkan hati bagi orang dewasa, apalagi anak-anak yang terinfeksi HIV yang Tabel 8. Distribusi Frekuensi Indikator PertanyaanStigma Tenaga Kesehatan terhadap Penderita HIV (ODHIV) di Yogyakarta No.
Stigma Tenaga Kesehatan
3.
Tenaga Kesehatan Takut Terinfeksi Ada keraguan dari saya untuk hidup bersama-sama rekan HIV terlepas dari pekerjaan saya sebagai petugs kesehatan Saya khawatir tertular HIV saat merawat atau memberikan jasa kepada orang yang terkena HIV Saya tidak khawatir memeriksa suhu tubuh pasien dengan HIV
4.
Saya khawatir menyentuh pakaian pasien dengan HIV
5.
Saya tidak khawatir membersihkan luka pasien yang hidup dengan HIV
6.
Sikap terhadap Pengidap HIV (ODHIV) Kebanyakan orang yang hidup dengan HIV telah memiliki banyak pasangan seksual
1. 2.
7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14. 15.
16. 17.
Orang yang hidup dengan HIV harus diizinkan untuk memiliki bayi jika mereka menginginkan Jika saya punya pilihan, saya akan memilih untuk tidak memberikan layanan kepada orang yang menggunakan narkoba suntik secara illegal Jika saya punya pilihan, saya akan memilih untuk tidak memberikan layanan kepada lakilaki yang berhubungan seks dengan laki-laki Jika saya punya pilihan, saya akan memilih untuk tidak memberikan layanan kepada pekerja seks Stigma yang Berlaku dan Dapat Diantisipasi Dalam <12 bulan seberapa sering mengamati hal berikut di fasilitas kesehatan Petugas kesehatan tidak bersedia untuk merawat pasien yang hidup dengan HIV Petugas kesehatan memberikan kualitas kesehatan yang kurang perawatan pada pasien yang hidup dengan HIV daripada pasien yang lain Petugas kesehatan berbicara yang buruk tentang orang yang hidup dengan atau diperkirakan hidup dengan HIV Saat kontak dengan pasien HIV, saya tidak menghindari kontak fisik Saat kontak dengan pasien HIV, saya menggunakan langkah-langkah khusus yang tidak digunakan kepada pasien lain yang tidak HIV Diskriminasi yang Diantisipasi Dalam 12 bulan terakhir, seberapa sering hal tersebut dialami. Orang lain membicarakan hal buruk tentang saya, karena saya berinteraksi dengan pasien yang hidup dengan HIV Saya dihindari oleh teman-teman dan keluarga karena saya berinteraksi dengan pasien yang hidup dengan HIV
Jawaban Ya
Tidak
43 (84%) 20 (39%) 46 (90%) 46 (90%) 29 (56%)
6 (16%) 31 (61%) 5 (10%) 5 (10%) 22 (44%)
33 (65%) 43 (84%) 36 (70%) 37 (72,5%) 40 (78,4%)
18 (35%) 8 (16%) 15 (30%) 14 (27,5%) 11 (21,6%)
46 (90%) 48 (94%) 47 (92%) 41 (80,3%) 29 (56,8)
5 (10%) 3 (6%) 4 (8%) 10 (19,7%) 22 (43,2%)
44 (86%) 45 (88%)
7 (14%) 6 (12%)
18.
Saya dihindari oleh rekan-rekan karena kepedulian saya bekerja untuk orang-orang yang hidup dengan HIV
Sumber : Data Primer 2014
Data menunjukka adanya ketakutan terinfeksi dan masih tingginya indikator diskriminasi yang diantisipasi pada petugas kesehatan yaitu sebesar 51%. Penelitian yang dilakukan oleh Paryati, dkk (2012) bahwa stigma dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang HIV dan AIDS tetapi juga dapat dilakukan oleh petugas kesehatan yang dianggap mengerti tentang penularan HIV dan AIDS. Hasil dari jawaban responden tentang dukungan tenaga kesehatan menunjukkan bahwa sebanyak 43 responden (84%) tenaga kesehatan mengatakan masih memiliki keraguan dari dalam diri petugas untuk hidup bersama dengan rekan-rekan HIV, selain itu sebanyak 20 responden (39%) dari 51 responden penelitian, tenaga kesehatan masih mengatakan adanya kekhawatiran dalam diri petugas kesehatan tertular HIV saat merawat dan memberikan jasa kepada orang yang terkena HIV. Terkait dengan butir pertanyaan sikap terhadap pengidap HIV, masih ditemukan adanya anggapan dalam diri petugas kesehatan yaitu pengidap HIV adalah orang yang terlibat dalam perilaku yang tidak bertanggung jawab yaitu sebesar 25 responden (49%).Hal ini menunjukkanbahwa masih terdapat kurangnya pemahaman petugas kesehatan terkait hal tersebut.Selain itu masih tingginya stigma di petugas kesehatan yang tidak bersedia merawat responden yang hidup dengan HIV sebesar 46 responden (90%).Ditemukannya petugas kesehatan yang masih memberikan kualitas kesehatan yang kurang perawatan sebanyak 48 responden (94%).
50 (98%)
1 (2%)
Stigma terbagi menjadi eksternal maupun internal.Stigma eksternal mengacu pada pengalaman nyata yang dialami ODHA berupa diskriminasi, sedangkan stigma internal adalah persepsi diri negatif dan ketakutan terhadap kemungkinan diskriminasi.Stigma internal mengakibatkan ODHA membentuk pertahanan diri untuk menghindarkannya dari stigma eksternal, berupa menutupi status HIV dan tidak berkeinginan untuk mencari pertolongan yang tepat. (Mbonu, et al., 2009) Selain itu tipe stigma menurut Holzemer, et al (2007) membagi stigma dalam 3 tipe yaitu received stigma yaitu segala perilaku yang diterima ODHA baik yang dialami sendiri maupun yang digambarkan orang lain, internal stigma yaitu semua pikiran dan perilaku ODHA yang dibentuk dari persepsi negatif tentang dirinya, dan associated stigma yaitu kejadian yang menggambarkan stigma yang diterima oleh orang yang berhubungan dengan ODHA. Dalam penelitian ini stigma yang dialami oleh pengidap HIV (ODHIV) didefinisikan sebagai bentuk perlakuan yang diterima oleh pengidap HIV sehingga terbentuk perilaku yang menolak untuk menjalani pengobatan, bersosialisasi, merasa tidak berharga, dan merasa tidak dihargai. Selain itu hal tersebut tentu membutuhkan dukungan dari tenaga kesehatan, dengan megetahui kedua hal tersebut maka stigma dalam diri pengidap HIV (ODHIV) akan berkurang sehingga kualitas hidup pengidap HIV (ODHIV) akan menjadi lebih baik.
Tabel 11. Karakteristik ODHIV dan Hubungan nya denganStigma yang dirasakan Pengidap HIV (ODHIV) di Kota Yogyakarta Stigma Pengidap HIV (ODHIV) No.
Merasakan Stigma F (%)
Karakteristik
1. Umur a. < 19 tahun b. 20-35 tahun c. ≥ 35 tahun 2.
3.
4.
5.
6.
7.
Jenis Kelamin a. Laki-Laki b. Perempuan
0 47 30
0 57,3 36,6
0 4 1
0 4,9 1,2
53 24
64,6 29,3
1 4
1,2 4,9
Pendidikan a. Rendah (SD/MISMP/MTS) b. Sedang (SMA/SMK/MA) c. Tinggi (D3/S1/S2) Pekerjaan a. Bekerja b. Tidak Bekerja
Status Ekonomi a. Rendah (< 1.000.000) b. Sedang (1.000.0001.500.000) c. Tinggi (≥ 1.500.000) Agama a. Islam b.Kristen Katolik c. Kristen Protestan d. Hindu e. Budha Pernikahan a. Menikah b.Tidak menikah Total Sumber
Tidak Merasakan F (%)
17
20,7
4
4,9
47
57,3
1
1,2
13
15,9
0
0
69 8
84,1 9,8
5 0
33 20
40,2 24,4
1 1
1,2 1,2
24
29,3
3
3,7
6,1 0
62
75,6
1
1,2
13 2
15,9 2,4
3 1
3,7 1,2
0 0
0 0
0 0
0 0
31 46
37,8 56,1
77 93,9 : Data Primer 2014
2 3
2,4 3,7 5
6,1
Umur adalah jumlah tahun hidup yang dijalani responden mulai sejak dilahirkan sampai pada saat penelitian.Dari tabel 11.menunjukkan bahwa pada kelompok
umur20 – 35 tahun paling banyak merasakan stigma yaitu sebanyak 47 responden (57,3%) Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa responden dalam rentang waktu 20-35 tahun masih berada dalam fase penerimaan dimana tidak menutup kemungkinan bahwa ia belum mengungkapkan status HIV nya kepada lingkungannya sehingga ia cenderung mengalami stigma,sedangkan asumsi lain adalah dalam rentang tersebut mereka telah bersosialisasi dengan lingkungann sesamanya sehingga mendapatkan dukungan yang positif dari lingkungan sosialnya karena diketahui bahwa pada saat masa dewasa awal (antara masa pubertas fisik dan kedewasaan yuridis-sosial) ia meyakini bahwa ia dapat mewujudkan dirinya sendiri, pada waktu ini anak muda membebaskan dirinya dari lindungan orang tua. Dari tabel 13.berdasarkan hasil uji chi square diketahui bahwa umur tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stigma yang dirasakan pengidap HIV (ODHIV) Holzemer, et al (2010) yang menyimpulkan bahwa umur tidak berpengaruh terhadap stigma yang dirasakan ODHIV. Menurut pendapat Paryati, dkk (2010) umur akan berpengaruh terhadap kinerja fisik dan perilaku seseorang. Menurut Cao H, et al (2011) mengatakan bahwa umur berhubungan dengan sikap terhadap stigma, namun dalam penelitian ini variabel umur tidak mempengaruhi stigma pengidap HIV (ODHIV). Data diatasmenunjukkan bahwa responden laki-laki cenderungmerasakan stigma yaitu sebesar 53 responden (64,6%) dibandingkan perempuan 24 responden (29,3%). Dilihat dari data pada variabel jenis kelamin, hasil uji chi square diperoleh data bahwa adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan stigma yang dirasakan ODHIV yaitu dengan nilai X2
hitung > X2 tabel (4,979 > 4,918) dan nilai p <0,05 (p = 0,026). Dalimoenthe, (2011) yang menyatakan bahwa perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS cenderung memikul beban ganda terkait dengan stigma dan diskriminasi yang dialami, sehingga perempuan akan mengalami stigma ganda dan hal tersebut akan semakin memperburuk kondisi perempuan. Hal tersebut akan menyebabkan perempuan segan untuk memeriksakan diri dan mengetahui status HIVnya. Namun hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sosodono, dkk (2009) yang mengatakan bahwa laki-laki mempunyai risiko terstigma jika dibandingkan dengan perempuan. Dalam tabel 11.menyatakan bahwa pada kelompok pendidikan sedang, responden yang mengalami stigma sebesar 47 responden (58,5%) dan responden yang tidak mengalami stigma sebesar 1 responden (1,2%). Pada kelompok pendidikan rendah, responden yang mengalami stigma sebesar 17 responden (20,7%) dan responden yang tidak mengalami stigma sebesar 4 responden (4,9%). Pada kelompok pendidikan tinggi, responden yang mengalami stigma sebesar 13 responden (15,9%) dan responden yang tidak mengalami stigma sedang sebesar 0 responden (0%). Dilihat dari data pada variabel pendidikan, hasil uji chi square diperoleh data bahwa adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan stigma yang dirasakan ODHIV yaitu dengan nilai X2 hitung > X2 tabel (8,346 > 6,406) dan nilai p <0,05 (p = 0,015). Dari tabel 11.diketahui pada kelompok bekerja responden yang merasakan stigma sebesar 69 responden (84,1%), sedangkan yang tidak mengalami stigma sedang sebesar 5 responden (6,1%). Pada kelompok tidak bekerja responden yang mengalami stigma sebesar 8 responden (9,8%), sedangkan yang
mengalami stigma sedang sebesar 0 responden (0%). Dilihat dari data pada variabel pekerjaan hasil uji chi square diperoleh data bahwa variabel pekerjaan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stigma pengidap HIV (ODHIV) karena nilai X2 hitung < X2 tabel dan nilai p > 0,05 yaitu 0,448. Tabel 11.menyatakan bahwa pada kelompok status ekonomi rendah, responden yang mengalami stigma sebesar 33 responden (40,2%) dan responden yang tidak mengalami stigma sedang sebesar 1 responden (1,2%). Pada kelompok status ekonomi tinggi, responden yang mengalami stigma sebesar 24 responden (29,3%) dan responden yang tidak mengalami stigma sebesar 3 responden (3,7%). Pada kelompok status ekonomi sedang, responden yang mengalami stigma sebesar 20 responden (24,4%) dan responden yang tidak mengalami stigma sedang sebesar 1 responden (1,2%). Dilihat dari data pada variabel status ekonomi, hasil uji chi square diperoleh data bahwa variabel status ekonomi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan stigma pengidap HIV (ODHIV) karena nilai X2 hitung < X2 tabel dan nilai p > 0,05 yaitu 0,398. Dari tabel 11.didapatkan bahwa pada kelompok agama islam, responden yang merasakan stigma sebesar 62 responden (75,6%) dan responden yang tidak mengalami stigma sebesar 1 responden (1,2%). Pada kelompok agama kristen katolik, responden yang mengalami stigma sebesar 13 responden (15,9%) dan responden yang tidak mengalami stigma sedang sebesar 3 responden (3,7%). Pada kelompok agama kristen protestan, responden yang mengalami stigma sebesar 2 responden (2,4%) dan responden yang tidak mengalami stigma sebesar 1 responden (1,2%).
Dilihat dari data pada variabel agama, hasil uji chi square diperoleh data bahwa adanya hubungan yang signifikan antara agama dengan stigma yang dirasaka rang dengan HIV (ODHIV) yaitu dengan nilai X2 hitung > X2 tabel (10,596 > 10,450) dan nilai p <0,05 (p = 0,005). Sesuai dengan penelitian Mbonu, et al (2009) bahwa agama memainkan peran yang mendukung maupun merugikan terhadap ODHIV/ODHA. Beberapa pemuka agama menghubungkan HIV dengan dosa dan isu tidak bermoral sehingga terstigma bahwa ODHIV/ODHA adalah orang yang berdosa. Namun di lain sisi, agama memberikan kesempatan bahwa meskipun mereka berdosa tetapi mereka masih diampuni dan akan mendapat tempat yang lebih baik setelah kematian. Dari tabel 11.diketahui bahwa pada kelompok menikah, responden yang mengalami stigmasebesar 31 responden (37,8%) dan responden yang tidak mengalami stigma sedang sebesar 2 responden (2,4%). Pada kelompok tidak menikah, responden yang mengalami stigma sebesar 46 responden (56,1%) dan responden yang tidak mengalami stigma sedang sebanyak 3 responden (3,7%). Dilihat dari data pada variabel status pernikahan, hasil uji chisquare diperoleh data bahwa variabel status pernikahan tidak berhubungan dengan stigma yang dirasakan oleh ODHIV karena nilai X2 hitung < X2 tabel dan nilai p > 0,05 yaitu 0,991. Tabel 14.
Hasil Analisis Multivariate Antara Variabel Dependen dan Independen Variabel Score Df Sig Jenis 4,979 1 0,026 Kelamin Pendidikan 6,485 1 0,011 Agama 10,579 1 0,001 Sumber : Data Primer 2014
Tabel diatas menunjukkan bahwa nilai signifikan dari variabel jenis kelamin, pendidikan, agama, lamanya HIV, media informasi, dan dukungan keluarga <0,05, hal ini berarti keempat variabel tersebut yang berhubungan dengan stigma pengidap HIV (ODHIV). Akan tetapi, variabel yang paling berpengaruh adalah variabel agama dengan score 10,579 dan signifikan 0,001.Bahwa dalam penelitian ini diketahui bahwa agama mempunyai pengaruh yang kuat terhadap stigma. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama islam, maka rata-rata responden adalah beragama islam. Agama akan memberikan benteng yang baik kepada seseorang yang akan menjadikannya memiliki pedoman dalam berperilaku. Kurangnya pendidikan agama akan menyebabkan individu mengalami stigma tinggi baik terhadap dirinya ataupun penyakit yang dideritanya. KESIMPULAN 1. Berdasarkan karakteristik umur,ODHIV dengan umur tertinggi adalahpada usia 20-35 tahun dengan 51 reponden (62,2%) yang rata-rata berjenis kelamin laki-laki sebagai responden teringgi yaitu 54 responden (65, 9%). Berdasarkan karakteristik pendidikan, responden tertiggi adalah pendidikan sedang sebesar 48 responden (58,5%) dengan dominasi 74 responden (90,2%) adalah bekerja. Responden ODHIV ratarata memiliki penghasilan rendah sebanyak 34 responden (41,5%) yaitu < 1.000.000 dan rata-rata responden adalah beragama islam yaitu sebesar 63 responden (76,8%) dan berdasarkan status pernikahan responden tertinggi adalah tidak menikah sebanyak 59 responden (59,8%). 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin (p value = 0,026), pendidikan (p value = 0,015), agama (p value =0,005)terhadap stigma yang dirasakan oleh pengidap HIV (ODHIV).
3. Masih terdapat stigma tenaga kesehata terhadap pengidap HIV (ODHIV) sebanyak 56,9 %. karena petugas kesehatan masih memiliki keraguan untuk tertular HIV dan AIDS. 4. Berdasarkan hasil analisis multivariate dari variabel jenis kelamin (Sig = 0,026), pendidikan (Sig = 0,011), agama (Sig = 0,001)adalah faktor yang paling berpengaruh dengan memiiki keeratan hubungan tertinggi (Sig = 0,001).
meningkatkanpengetahuan seputar HIV/AIDS dengan harapanpenurunan perilaku diskriminatif dan stigma. Diharapkan bahwa kampanye ini akan mempromosikanpenggunaan kewaspadaan standar dan praktek tenaga kesehatan. 5. Dilakukannya penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasifactor resiko pada orang yang hidup dengan HIV / HCV.
A. SARAN 1. Dukungan kebijakan dari pemerintah untuk pengembanganstrategi dalam mengatasi masalah-masalah sosialbudaya dan psikologis terkait HIV dan AIDSterutama tentang stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV dan AIDS. 2. Meningkatkan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi angka kejadian HIV dan AIDS seperti meningkatkan pencegahan melalui pendekatan A (Abstinence), B (Be faithful), C (Condom), dan D (Drugs), mengembangkan pemberdayaan masyarakat dengan peningkatan pengetahuan tentang upaya pencegahan HIV dan AIDS pada kelompok masyarakat, kader kesehatan reproduksi baik melalui ibu-ibu PKK, karang taruna, tokoh masyarakat, tokoh agama. 3. Meningkatkan upaya-upaya pendampingan ODHIV dan ODHA melalui program-program yang ada seperti komunikasi intensif dengan ODHIV dan ODHA, pemberdayaan kelompok sebaya, pendampingan ODHA dan OHIDHA di rumah dan rumah sakit, memberikan pelatihan untuk meningkatkan penerimaan diri ODHIV dan ODHA, dan melakukan sosialisasi tentang HIV dan AIDS, khususnya terkait stigma dan diskriminsi. 4. Pelaksanaan komunikasi dan penargetan kampanye pada petugas kesehatan untuk
DAFTAR PUSTAKA Aggleton, P.; Parker, R. (2002).HIV/AIDS: Stigma, Discrimination And Human Rights Abuses. Washington, DC: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. Andrewin, A. (2008). Stigmatization of Patients with HIV/AIDS among Doctors and Nurses in Belize. AIDS Patient Care and STDs Journal. Volume 22, (11). Babalola, S., Fatusi, A., and Anyanti, J. (2009).Media Saturation, Communication Exposure and HIV Stigma in Nigeria. Soc Sci Med. Volume 68 (8), pp 1513-1520. Butt, L., Morin, J., Numbery, G., Peyon I., & Goo, A. (2010).Stigma dan HIV/AIDS di Wilayah Pegunungan Papua.Pusat Studi Kependudukan-UNCEN, Abepura, Papua dan University of Victoria., Canada. Penelitian Universitas Cenderawasih. Cao Haijun, et al., (2010). “ Stigma Against HIV- Inffected Persons Among Migrant Women Living in Shanghai, China”. AIDS Educ Prev. Volume 22 (5) pp 445454. NIH Public Access.
Depkes.RI (2013).Statistik Kasus HIV dan AIDS di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Depkes RI.
Related Stigma Among Market Workers in China. Health Psychology. Volume 24 pp 435–438. [PubMed: 16045380]
Dinkes DIY.(2013). Profil Kesehatan Provinsi DIY Tahun 2013. Yogyakarta: Dinkes DIY.
Li, L., Liang, L. J., Lin, C., Wu, Z., & Rotheram-Borus, M.J. (2010).Hiv Prevention Intervention To Reduce Hiv Related Stigma Evidence From China. AIDS., Volume 24 (1) pp 115-122.
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI.(2014). Statistik Kasus HIV dan AIDS di Indonesia [Internet], Statistik Kasus HIV.Dapat diaksesdi akses pada tanggal 20 Maret 2014. Holzemer, et al. (2007).A Conceptual Model of HIV/AIDS Stigma from Five African Countries.In Press. Holzemer, et al. (2009).The Development and Validation of The HIV/AIDS Stigma Instrument : Nurse (HASI-N). AIDS Care Journal. Volume 21 (2) February pp 150-159. Holzemer, W. L., Uys, L., Makoae, L., Stewart, A., Phetlhu, R., Dlamini, P. S., et al. (2007).A Conceptual Model Of HIV and AIDS Stigma From Five African Countries. J Adv Nurs, Volume 58 (6) pp 541-551. Kementrian Kesehatan RI (KEMENKES RI). (2013). Buku Pedoman Penghapusan Stigma dan Diskriminasi Bagi Pengelola Program, Petugas Layanan Kesehatan dan Kader [Internet]. Jakarta. : DPPML. Laksana, A & Lestari, D. (2010).FaktorFaktor Risiko Penularan HIV/AIDS Pada Laki-Laki Dengan Orientasi Seks Heteroseksual dan Homoseksual di Purwokerto. Mandala Of Health. Volume 4 (2) Mei. Lee MB, Wu ZY, Rotheram-Borus MJ, Detels R, Guan JH, Li L. (2005). HIV-
Liu H, Yongfang Xu, Yahuan Sun, Levent Dumenci. (2014). Measuring HIV Stigma at the Family Level: Psycometris Assesment of The Chinese Courtesy Stigma Scales (CCSSs). Jurnal PLOS ONE.Volume 9 (3). Open access. Mbonu, N. C., Van Den Borne, B., and De vries, N. K. (2009).Stigma of people with HIV and AIDS in subsaharan Africa: A Literature Review. Trop Med Journal. Volume 14 (2) pp 110-114. Monks, F.J, AMP, Knoers, &Haditono, Siti. (2006). Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nyblade L, et al., (2013). A Brief, Standarized Tool For Measuring HIV Related Stigma Among Healthy Facility Staff: Result Of Field In China, Dominica, Egypt, Kenya, Puerto Rico, And St. Christopher & Nevis.Journal of the International AIDS Society. Volume 16 (2): 18718. Peraturan Daerah DIY. (2010). Penanggulangan HIV dan AIDS. Yogyakarta. Pratiwi, N & Basuki, H. (2011).Analisis Hubungan Pengetahuan Pencegahan HIV/AIDS dan Perilaku Seks Tidak Aman Pada Remaja Usia 15-24 Tahun di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan. Volume 14 (2) April hal 192202. Simbayi, L. C., Kalichman, S., Strebela, A., Cloetea, A., Hendaa, N., And Mqeketo, A (2007). Internalized Stigma, Discrimination, and Depression Among Men And Women Living With HIV/AIDS In Cape Town, South Africa. J. Social Sciences and Medicine. Volume 64 pp 1823-1831. Suryoputro, A.,Ford, Nicholas, Shaluhiyah, Z. (2006). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya Terhadap Kebijakan dan Layanan Kesehatan Seksual dan Reproduksii. Makara, Kesehatan. Volume 10 (1) Juni, hal 2940. Valdiserri RO. (2002). HIV/AIDS Stigma: an Impediment To Public Health. American Journal of Public Health. Volume 92 pp 341–342. [PubMed: 11867303] Vinay Kumar.(2007). Buku Ajar Patologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC