STUDI TOKSISITAS DEKONTAMINAN PRUSSIAN BLUE PADA KERA EKOR PANJANG Macaca fascicularis Tur Rahardjo dan Siti Nurhayati Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN ABSTRAK STUDI TOKSISITAS DEKONTAMINAN PRUSSIAN BLUE PADA KERA EKOR PANJANG Macaca fascicularis. Dekontaminan pada kadar tertentu dalam tubuh korban kontaminasi dapat menimbulkan efek keracunan. Oleh karena itu telah dilakukan pengukuran biokimia darah kera ekor panjang sebagai uji toksisitas akibat diberi dekontaminan Prussian Blue (PB) dengan dosis 600, 900, 1050 mg/berat badan (BB). Pengamatan biokimia darah meliputi ureum, kreatinin, gula darah, protein total, SGOT (serum glutamic oxalic transaminase) dan SGPT (serum glutamic piruvic transaminase) yang dilakukan pada hari-hari ke 0, 1, 2, 3, 7, 14, 21, 28, dan 35 setelah pemberian PB. Hasil pengamatan menunjukan bahwa pemberian dekontaminan PB tidak mempengaruhi kadar ureum, kreatinin, gula dalam darah, protein total, SGOT dan SGPT sebagai fungsi ginjal dan hati sampai hari ke 35 pasca pemberian dekontaminan, tetapi kadar gula, protein total, dan enzim-enzim dalam darah sedikit lebih tinggi daripada kontrol dan masih dalam batas-batas normal. Perubahan konsentrasi terjadi pada hari pertama dan kembali normal dalam waktu 7 hari pasca pemberian. Dosis PB hingga dosis 1050 mg/BB belum bersifat toksik pada hewan. ABSTRACT STUDY ON THE TOXICITY OF PRUSSIAN BLUE DECONTAMINANT IN LONG TAIL MONKEY Macaca fascicularis. A decontaminant with certain dose may result in the toxicity in contaminated victims. Therefore, measurements of the blood biochemical parameters as toxicity assessment were done using long tail monkey treated with Prussian Blue ( PB) decontaminant with the doses of 600, 900, 1050 mg/body weight (BW). The biochemical components in blood consists of ureum, creatinine, glucose, total protein, SGOT (serum glutamic oxalic transaminase) and SGPT (serum glutamic piruvic transaminase) which was observed on the days 0, 1, 2, 3, 7, 14, 21, 28, and 35 post PB treatment. The results showed that the treatment of PB was not affecting the ureum, creatinine, glucose contents in blood, total protein, and SGOT and SGPT as indicator of kidney and liver functions up to 35 days post treatment, but the contents of glucose, total protein, and enzyme in blood was slight higher than control and still in the normal range. The alteration of concentration was seen in the first day and returned to normal in 7 days post treatment. Up to the dose of PB 1050 mg/BW was not toxic to animal.
I.
LATAR BELAKANG Aplikasi teknologi nuklir untuk tujuan damai secara intensif terus dikembangkan
dengan tujuan memberikan kontribusi yang nyata dalam menyejahterakan masyarakat. Pengembangan tersebut meliputi spektrum yang sangat luas yaitu dari aplikasi teknologi nuklir di bidang pertanian, pertambangan, kesehatan dan pembangkitan energi. Meskipun secara filosofi aplikasi suatu teknologi menempatkan budaya keselamatan sebagai dasar penyelengaraan teknologi nuklir namun kelalaian dan kekurang ahlian seseorang dapat mengakibatkan mala operasi dari tingkat yang paling rendah sampai kondisi kedaruratan nuklir. Oleh karena itu penguasaan dan peningkatan keahlian dalam menghadapi kondisi tersebut merupakan suatu keharusan bagi penyelenggara teknologi nuklir. Mala operasi yang dapat menimbulkan kerugian pada kesehatan dan mengancam keselamatan manusia adalah kontaminasi zat radioaktif di luar dan di dalam tubuh manusia. Untuk kontaminasi pada tubuh manusia, sel dan jaringan tubuh merupakan obyek pajanan langsung radiasi pengion yang dipancarkan oleh kontaminan tersebut. Pada kejadian kebocoran reaktor nuklir, kontaminan adalah zat radioaktif hasil fisi seperti Cs-137, I-131 dan Sr-90. Sedangkan kontaminan yang berasal dari instalasi industri yang menggunakan zat radioaktif sebagai alat proses adalah Co-60, Ir -92, dll. Sehingga perlu antisipasi penanganan korban pada keadaan kecelakaan nuklir seperti dekontaminasi. Prinsip dekontaminasi zat radioaktif di bagian luar tubuh manusia adalah mencuci dan menyingkirkan kontaminan dari permukaan tubuh tanpa menimbulkan efek sebaliknya. Sedangkan prinsip dekontaminasi zat radioaktif dari dalam tubuh adalah mengeblok zat radioaktif sebelum terserap dalam organ yang selanjutnya dieliminasi dari dalam tubuh. Dekontaminan yang digunakan adalah zat kimia seperti misalnya EDTA, DTPA, Prussian Blue, KI, LI-HOPO, NH4Fe[Fe(CN)6] dan KFe[Fe(CN)6], dll. Namun demikian, dalam berbagai kondisi spesifik manusia, zat kimia asing pada kadar tertentu dalam tubuh manusia dapat menimbulkan efek keracunan. Oleh karena itu rekomendasi penggunaan zat kimia tertentu sebagai dekontaminan perlu diuji tingkat toksisitas zat tersebut pada berbagai variasi kadar. Tingkat toksisitas dipantau dengan uji klinis seperti pemeriksaan biokimia darah, hematologi, urin, feses dan fisik. Agar hasil galian data dari kegaitan litbang dekontaminasi ini bermanfaat pada manusia, maka idealnya dilakukan dengan obyek pengamatan pada manusia, namun demikian hal ini tak mungkin dilakukan. Oleh karena itu harus dilakukan dengan obyek hewan yang sangat
dekat dengan karakter manusia seperti Macaca fascicularis yang diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat diekstrapolasikan kepada manusia. Data yang diperoleh akan dikembangkan sebagai prosedur baku dekontaminasi zat radioaktif .
II. 1.
TATA KERJA Obyek penelitian. Sebanyak 10 kera ekor panjang Macaca fasicularis berumur 3 tahun dengan berat tubuh 3,5 kg yang diperoleh dari Bagian Primata IPB – Bogor, dipelihara/karantina dikandang hewan Laboratorium Bidang Biomedika selama 7 hari, dan dipantau makanan dan kesehatannya oleh dokter hewan.
2.
Perlakuan. Macaca fasicularis dibius menggunakan obat bius katalar sebanyak 0,1cc/kg berat badan disuntikkan secara intramaskuler. Setelah pingsan, darah kera diambil melalui vena paha sebanyak 5 ml untuk dilakukan pemeriksaan ureum, kreatinin, gula darah, protein total, SGOT, dan SGPT (sebagai kontrol). Dekontaminan PB dengan dosis 600, 900, 1050 mg/BB di berikan secara oral selama 3 hari berturutturut sehingga dosis totalnya 1.800, 2.700 dan 3.150 mg/BB. Penentuan konsentrasi tak toksik dekontaminan dilakukan dengan pengamatan uji klinik pemeriksaan urium, kreatinin, gula dalam darah, total protein, SGOT, SGPT, hematologi, urin, feses dan fisik hewan percobaan pada hari-hari ke 0, 1, 2, 3, 7, 14, 21, 28, 35 pasca pemberian PB
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hati merupakan organ tubuh yang mempunyai fungsi cukup kompleks. Salah satu fungsi hati adalah sebagai tempat pembentukan dan ekskresi empedu, tempat menyimpan zat hidrat arang berupa glikogen, mengatur dan mempertahankan kadar glukosa dalam darah, mengatur daya pembekuan darah, metabolisme dan sintetis protein dan lemak. Hasil pengamatan kandungan glukosa darah kera yang diberi PB dosis 600, 900, 1050 mg/BB selama 3 hari disajikan dalam Gambar 1. Terlihat bahwa untuk kera kontrol kandungan glukosa relatif konstan (tetap dalam batas normal), tetapi untuk kera yang diberi dekontaminan 600, 900, 1050 mg/BB kandungan glukosanya menurun pada hari pertama pasca pemberian PB terutama untuk kera diberi dosis 900 dan 1050 mg/BB. Kadar glukosa darahnya kemudian meningkat kembali ke tingkat normal pada hari ke 14 – 35 pasca
pemberian PB. Penurunan glukosa pada hari pertama pasca pemberian PB diduga disebabkan karena adanya efek toksik dari PB. Selain itu penurunan glukosa juga dapat disebabkan oleh perubahan glukosa oleh eritrosit menjadi laktat melalui proses glikolisis, jaringan adipose dan kelenjar susu yang memprosesnya menjadi lemak dan laktosa, serta hati dan jaringan ekstrahepatik seperti otot [16].
Kadar gula
100.0 80.0 Dosis PB 600
60.0
Dosis PB 900
40.0
Dosis PB 1050
20.0
Kontrol
har i 0
har i 1
har i 2
har i 3
har i 7 har i 14 har i 21 har i 28 har i 35
Hari ke
Gambar 1. Kadar gula dalam darah Macaca fascicularis yang diberi PB dosis 600-1050 mg/BB selama 3 hari berturut-turut. Fungsi hati dalam metabolisme protein salah satunya ditentukan dengan pemeriksaan total protein dalam darah. Protein dalam serum sebagian besar terdiri dari albumin dan globulin, sedangkan dalam plasma terdiri dari albumin, globulin dan fibrinogen. Sel-sel parenchym hati membuat sebagian besar dari albumin, alfa-globulin, beta-globulin dan fibrinogen, sedangkan gamma-globulin disintesa dalam RES, dan nilai total protein berkurang atau menurun pada gangguan fungsi hati.[5]. Tugas utama plasma protein adalah pengikat air dan fungsi transformasi disamping itu juga sebagai buffer dan kolloid lindung, yang mengandung antibody dan faktor-faktor untuk pembekuan darah. Kadar protein dalam darah tergantung dari banyaknya protein dan banyaknya air dalam darah. Hasil pengamatan kandungan protein dalam darah kera pasca pemberian dekontaminan PB dengan dosis 600, 900, 1050 mg/BB disajikan dalam Gambar 2. Pada Gambar 2, tampak nilai protein total dalam darah kera yang diberi PB dosis 600, 900, 1050 bila dibandingkan dengan kontrol pada hari pertama mengalami penurunan terutama pada dosis 900 dan 1050 mg/BB dan meningkat kembali pada hari ke 28 sampai hari ke 35. Kemungkinan penurunan kadar protein disebabkan karena kera mengalami kehilangan cairan tubuh dan nafsu makan berkurang yang menyebabkan gangguan sesaat terhadap metabolisme protein sehingga fraksi protein dalam darah mengalami perubahan.
12
10
8
Dosis P B 600 6
Dosis P B 900 Dosis P B 1050
4
Kontrol 2 H ar i ke 0 har i 0
har i 1
har i 2
har i 3
har i 7
har i 14 har i 21 har i 28 har i 35
Gambar 2. Kadar proteion total dalam darah Macaca fascicularis yang diberi PB dosis 600-1050 mg/BB selama 3 hari berturut-turut. SGOT adalah enzim yang mengkatalisir pemindahan reversible gugus alfa amino, alanine menjadi asam glutamat dan asam piruvat, enzim ini didapatkan dalam sel hati dalam kadar yang jauh lebih tinggi dari pada dalam sel-sel jantung dan otot, oleh karena itu untuk data klinik test SGOT lebih peka bagi pemeriksaan dengan dugaan suatu acute hepato cellular. Hasil pengamatan kadar SGOT dan SGPT dalam darah kera yang diberi dekontamainan PB dosis 600, 900, 1050 disajikan dalam Gambar 3 dan 4. Tampak dalam Gambar 3, dibandingkan dengan kontrol kadar SGOT dalam darah kera diberi PB mengalami kenaikan sesaat pada hari ke 1 pasca pemberian dekontaminan dan menurun kembali pada hari ke 14. Untuk pemberian dekontaminan dengan dosis 1050 mg/BB, kera mengalami kenaikan cukup tinggi bila dibandingkan dengan kontrol pada hari ke 7 dan kembali menurun, tetapi masih di atas nilai kadar SGOT kontrol. Kenaikan kadar SGOT dalam darah dikarenakan rusaknya fungsi hati pada sesaat, perubahan temporer ini dapat disebabkan oleh dosis dekontaminan PB. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Dosis PB 600 Dosis PB 900 Dosos PB 1050 Kontrol
hari 0 hari 1 hari 2 hari 3 hari 7 hari
Hari
14
hari
hari
hari
21
28
35
Gambar 3. Kadar SGOT dalam darah Macaca fascicularis yang diberi PB dosis 600-1050 mg/BB selama 3 hari berturut-turut. Hasil pengamatan kandungan SGPT disajikan dalam Gambar 4, dan terlihat bahwa untuk kera yang diberi dekontaminan 1050 mg/BB mengalami kenaikan SGPT pada hari
ke 3 pasca pemberian PB bila dibandingkan dengan kontrol, untuk dosis 600 dan900 menurun tetapi kenaikan kadar SGPT masih dalam batas-batas normal. 70 60 50 40 Dosis P B 600
30
Dosis P B 900 20
Dosis P B 1050 Kontrol
10 0 hari 0 hari 1 hari 2 hari 3 hari 7 hari 14 hari 21hari 28 hari 35
Hari ke
Gambar 4. Kadar SGPT dalam darah Macaca fascicularis yang diberi PB dosis 600-1050 mg/BB selama 3 hari berturut-turut. Hasil pengamatan fungsi ginjal kera ekor panjang ditentukan dengan pengamatan kandungan ureum dan kreatinin dalam darah. Hasil pengamatan kandungan ureum darah kera baik yang diberi dekontaminan 600, 900, 1050 mg/BB maupun kontrol disajikan dalam Gambar 5 yang menunjukkan bahwa antar kera yang diberi PB 600 mg/BB dengan kontrol tidak berbeda kandungan ureumnya yang relatif konstan dalam batas-batas normal (17 – 83 mg/dl). Tetapi bila dibandingkan kera kontrol dengan kera yang diberi PB 900 dan 1050 terdapat perbedaan pada hari pertama mengalami sedikit kenaikan, terutama untuk kera yang diberi dosis 1050 mg/BB, pada hari ke 1 pasca pemberian PB sampai hari ke 21 dan kadar ureum darah kembali konstan dalam nilai batas normal pada pengamatan hari ke 35.
70.00 60.00 50.00 40.00
Dosis P B 600
30.00
Dosis P B 900 Dosis P B 1050
20.00
Kontrol
10.00 -
Har i ke Hari 0
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 7
Hari 14 Hari 21 hari 28
hari 35
Gambar 5. Kadar ureum dalam darah Macaca fascicularis yang diberi PB dosis 600-1050 mg/BB selama 3 hari berturut-turut.
Seperti diduga sebelumnya bahwa kerusakan fungsi ginjal dapat dideteksi dengan melihat kandungan kreatinin dan ureum dalam darah, suatu kenaikan kecil kadar kreatinin dan ureum sudah merupakan tanda kerusakan fungsi ginjal. Pada Gambar 6 tampak pada hari pertama pasca pemberian dekontaminan kadar kreatinine darah mengalami kenaikan sedikit bila dibandingkan dengan kontrol, terutama untuk kera yang diberi dosis dekontaminan 1050mg/BB, tetapi masih dalam kisaran normal (0,64 – 1,66 mg/dl), pada hari ke 28 pasca pemberian PB, nilai kreatinin menurun kembali
1.6 1.4 1.2 1 0.8
Dosis P B 600
0.6
Dosis P B 900
0.4
Dosis P B 1050 Kontrol
0.2 0 hari 0
hari 1 hari 2 hari 3
hari 7 hari 14 hari 21 hari 28 hari 35
Hari ke
Gambar 6. Kadar kreatinin dalam darah Macaca fascicularis yang diberi PB dosis 600-1050 mg/BB selama 3 hari berturut-turut.
IV. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian dekontaminan PB tidak mempengaruhi kadar ureum, kreatinin, gula, protein total, SGOT dan SGPT (fungsi ginjal dan hati) dalam darah sampai hari ke 35 pasca pemberian PB, tetapi kadar gula, protein total, dan enzim-enzim dalam darah sedikit lebih tinggi daripada kontrol dan masih dalam batas-batas normal. Perubahan terjadi pada hari pertama dan kembali normal dalam waktu 7 hari pasca pemberian. Dosis PB hingga dosis 1050 mg/BB belum bersifat toksik pada hewan percobaan .
V. DAFTAR PUSTAKA 1. ANONIMUS, Influence of Prussian Blue on Metabolism of Cs-137 and Rb-86 9n Rats, Health Physics, Pergamon Prees, Oxford Vol. 22 : 1-18, 1972. 2. ALATAS, Z., Efektifitas Prussian Blue untuk dekontaminasi Cs-137 pada tikus putih (1996) 3. ALATAS, Z., Pengaruh konsentrasi Prussian Blue dan DTPA terhadap efektifitas eliminasi Cs-137 dan Am-241, Prosiding
4. SITI NURHAYATI, Biokenetika Radionuklida di dalam tubuh, efek paparan interna, dan metoda dekontaminasi, 1995. Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan 5. ZUBAEDAH ALATAS, Distribusi dan Dekontaminasi Thorium-232 Pada Tikus Putih Pasca Pemberian Thorium Nitrat Melalui Mulut, 1994. Presentasi Ilmiah dan Keselamatan Radiasi dan Lingkungan 6. DURBIN,P.W., KULLGREN, B., XU,J. and RAYMOND, K.N.Multidentate Hydroxypyridinonate Ligands For Pu (IV) Chelation in vivo : Comparative Efficacy and Toxicity in Mouse of Ligands Containing 1,2-HOPO 0r Me-3,2HOPO. Int.J. Radiat. Biol. 76. 199-214. 2000 7. AMUNDSON, S.A. and FORNACE, AJ Jr. Gene Expression Profiles for Monitoring Radiation Exposure. Radiation Protection Dosimetry.97(1), 11-16.2001 8. NCRP Report No 65. Management of Persons Accidentally Contaminated with Radionucides National Council on Radiation Protection and Messurements,Bethesda, Maryland, 1979. 9. UNITED NATIONS SCIENTIFIC COMMITTEE ON THE EFFECTS OF ATOMIC RADIATION, Ionizing radiation: sources and biological effects, 1982 Report to the General Assembly, United Nations, New York, 1982. 10. WALDEN, T.L. Jr., Long term/low level effects of ionizing radiation, In: Walker RI, Cervaney TJ (editors) Textbook of military medicine, Vol. 2: medical consequences of nuclear warfare, TMM Publication, Falls Church VA, 1989. 11. Brenot,A,Rinaldi,R” Toxicite et efficacite compares de quatre ferrocyanures dans Ia decontamination du cesium radioactive 134; ( Comparative toxictay and effectiveness of 4 ferrocyanides in decontamination from radioactive cesium-134 .; Pathol. Biol (Paris) 55-59. 1967. 12. LINIECKI, J., BAJERSKA, A., and WYSZYNSKA, K., Dose-response relationship for chromosome aberrations in peripheral blood lymphocyte after whole- and partial-body irradiation, Mutation Research 110, 103-110, 1983. 13. GUSKOVA, A.K., Radiation sickness classification, dalam : Gusev IA, Guskova AK, Mettler FA eds, Medical management of radiation accidents, CRC Press, Washington DC, 2001. 14. FLIEDNER, T.M., DORR, H.D., and MEINEKE, V., Multi-organ involvement as a pathogenic principle of the radiation symdromes: a study involving 110 case histories documented in SEARCH and classified as the bases of haematopoietic indicators of effect, British Journal of Radiology 27 (supplement), 1-8, 2005. 15. BUSER.H.J., SCHWARZENBACH, D., PETTER,W., LUDI.A ; The crystal structure of Prussian blue Fe[Fe(CN)6-]3 x h2o, Inorg. Chem 16(11) 2704 – 2709, 1977. 16. SYAIFUDIN, M., LUSIYANTI, Y. dan RAHARDJO, T., Perubahan glukosa darah tikus putih yang diberi DMSO dan cystein akibat paparan sinar gamma, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah, PPNY-BATAN, Yogyakarta, 1992, 888-893.