i
STUDI TENTANG KEKERASAN DAN FUNGSI KONFLIK (Kasus Konflik antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan)
Oleh: FAIRUZA I34054251
SKRIPSI Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA YANG BERJUDUL “STUDI TENTANG KEKERASAN DAN FUNGSI KONFLIK (KASUS
KONFLIK
ANTAR
KELOMPOK
MASYARAKAT
DI
KABUPATEN PEKALONGAN)” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN
TINGGI
MANAPUN.
SEMUA
DATA
DAN
INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, September 2009
Fairuza I34054251
ABSTRAK FAIRUZA. Studi Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik (Kasus Konflik antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan). Di bawah bimbingan NURAINI W. PRASODJO. Penelitian ini mengangkat masalah konflik sosial yang terjadi diantara dua kelompok sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji aspek kekerasan dan fungsi konflik berdasarkan teori Lewis Coser. Penelitian ini dilakukan di tiga kecamatan di Kabupaten Pekalongan yang merupakan lokasi konflik. Tiga kecamatan tersebut adalah Kecamatan Siwalan, Kecamatan Tirto, dan Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan. Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus. Kasus konflik yang diangkat adalah dua konflik non-realistik yang mencapai kekerasan/kebrutalan dan satu konflik realistik yang tidak mencapai kekerasan/kebrutalan. Pada dasarnya, tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan kebenaran teori fungsi konflik sosial yang dianggap “bekerja” pada kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik eksternal. Melalui hasil penelitian, ditemukan fakta bahwa kekerasan konflik dapat mempengaruhi kohesivitas internal kelompok. Pada konflik realistik, kohesivitas kelompok terbentuk bukan karena kerasnya konflik, melainkan lebih dibentuk oleh nilainilai yang telah ada sebelumnya di dalam kelompok.
RINGKASAN FAIRUZA. Studi Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik (Kasus Konflik antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan). Di bawah bimbingan NURAINI W. PRASODJO. Penelitian ini mengangkat masalah konflik sosial yang terjadi antar kelompok masyarakat dengan meninjau pada aspek kekerasan dan fungsi konflik. Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi konflik di Kabupaten Pekalongan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap isu-isu yang melatarbelakangi konflik antar kelompok masyarakat dan kekerasan konflik. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami fungsi konflik terhadap kohesivitas internal kelompok. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan studi kasus. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari hasil wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen mengenai kasus konflik yang terdapat di Polres Kabupaten Pekalongan dan Pengadilan Negeri Pekalongan. Hasil penelitian mengungkapkan tiga kasus konflik yang terjadi di Kabupaten Pekalongan. Tiga kasus tersebut terdiri dari satu kasus konflik yang masih berjalan, bersifat manifest, dan keras/brutal, satu kasus konflik yang saat ini berwujud laten, dan satu kasus konflik yang tidak brutal. Hasil penelitian mengungkapkan fakta bahwa ternyata kekerasan konflik berfungsi pada hubungan internal kelompok yang ditunjukkan oleh keeratan/kohesivitas hubungan anggota-anggota di dalam kelompok. Namun demikian, terdapat satu kasus konflik dimana konflik tidak mencapai kebrutalan/kekerasan tetapi kelompok yang berkonflik secara internal menunjukkan kohesivitas. Hasil penelitian yang lain adalah terdapat fakta bahwa ternyata isu yang melatarbelakangi konflik mendorong terjadinya kekerasan konflik. Isu-isu yang terungkap dari tiga kasus konflik yang diteliti menggambarkan bahwa isu realistik mendorong terjadinya kekerasan konflik karena sulitnya mencapai konsensus/kesepakatan dalam meraih sasaran yang “abstrak”. Sedangkan konflik yang berangkat dari isu realistik kurang berpotensi dalam menciptakan kekerasan konflik. Isu-isu yang diungkapkan aktor-aktor konflik selalu berbeda. Pandangan yang berbeda mengenai isu-isu konflik pada umumnya disebabkan oleh perbedaan posisi dan peran dalam hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat. Kasus pertama, konflik yang diteliti adalah konflik yang berangkat dari isu prinsip agama dan perebutan “klaim bisnis”. Dua isu ini dikemukakan oleh dua aktor utama konflik. Isu yang berbeda ini mengakibatkan terjadinya “kesalahpahaman” mengenai penyebab konflik yang kemudian mengakibatkan terjadinya kekerasan konflik. Dua aktor utama yang terlibat dalam konflik adalah kelompok Pemuda Islam dan kelompok pengelola Cafe X. Kedua kelompok ini jelas berbeda dalam cara pandang, pergaulan, serta sasaran. Akibat sasaran yang tidak dapat dicapai, akhirnya salah satu pihak yaitu kelompok Pemuda Islam melakukan aksi kekerasan/kebrutalan terhadap pihak pengelola Cafe X yang mengakibatkan kerusakan secara fisik dan mental.
Konflik yang berujung pada kekerasan konflik ini mengakibatkan “efek” positif bagi kedua kelompok, yaitu semakin eratnya hubungan antara anggota-anggota kelompok (kohesiv) yang ditunjukkan oleh sentralisasi struktur pengambilan keputusan, solidaritas/kekompakan anggota-anggota kelompok serta meningkatnya kontrol sosial di dalam masing-masing kelompok. Kasus yang kedua adalah kasus konflik yang juga berangkat dari isu non realistik, yaitu isu “harga diri”. Aktor-aktor utama yang terlibat adalah kelompok pemuda dari Desa Blacanan dan Desa Depok, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan. Meskipun dua kelompok pemuda tersebut adalah aktor utama dalam konflik manifest yang keras/brutal, namun ketegangan hubungan antar desa ini juga diwarnai oleh konflik laten yang terjadi diantara generasi-generasi tua yang ada di dua desa tersebut. Konflik laten yang terakumulasi dalam waktu yang lama di dalam hubungan antar kedua desa ini kemudian mendorong “pecahnya” kekerasan/kebrutalan konflik yang mengakibatkan korban jiwa. Akibat konflik yang berujung pada aksi brutal tersebut, hubungan antar kedua desa semakin renggang. Melalui proses inilah kemudian terbentuk kohesivitas internal kelompok-kelompok yang berkonflik. Indikator kohesivitas internal yang paling terlihat salah satunya adalah jelasnya batas kelompok diantara kedua kelompok yang berkonflik. Kasus ketiga yang terdapat dalam tulisan ini adalah kasus konflik tanah yang terjadi antara kelompok petani penggarap dengan kelompok pemilik sertifikat tanah di Desa Lemah Abang, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan. Berbeda dengan kedua kasus sebelumnya, konflik ini berangkat dari isu realistik. Sasaran yang diperebutkan kedua aktor konflik dapat diungkapkan secara jelas, yaitu kepemilikan hak atas tanah. Hasil penelitian terhadap kasus ini adalah fakta yang jelas bahwa konflik tidak menciptakan kekerasan konflik. Upaya-upaya dalam meraih sasaran ditempuh dengan jalan musyawarah untuk mencapai konsensus. Namun demikian, terbentuk kohesivitas di dalam kelompok petani penggarap. Kesimpulan dari penelitian ini adalah fakta mengenai “bekerjanya” teori fungsi konflik dalam meningkatkan kohesivitas kelompok serta kaitan antara isuisu konflik terhadap kekerasan konflik. Namun ternyata, ditemukan pula fakta bahwa kohesivitas internal kelompok dapat pula terbentuk walaupun konflik tidak mencapai kekerasan. Hal ini dikarenakan adanya nilai-nilai kebersamaan yang telah mengakar pada kelompok, sehingga kohesivitas semakin erat walaupun konflik terjadi dalam intensitas yang “kecil”.
ii
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama
:
Fairuza
NRP
:
I34054251
Departemen
:
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
:
Studi Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik (Kasus Konflik antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS NIP. 19630531 199103 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
Tanggal Lulus Ujian : ___________________
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1987 dari ayah bernama Akhmad Zahid, SH dan ibu bernama Lies Andriani, SH, Sp.N. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara. Penulis melalui pendidikan SMU di SMU Negeri 1 Pekalongan, Jawa Tengah dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mengambil mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia pada tahun 2006. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis aktif di beberapa kelembagaan, diantaranya sebagai staf Departemen Sosial dan Lingkungan Hidup Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), staf divisi broadcast Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) serta Forum Rohis Fema (FORSIA). Penulis juga pernah menjadi penyiar di Radio Komunitas IPB (Agri FM).
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat-Nya yang berlimpah dalam proses penyelesaian skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Skripsi berjudul “Studi
Tentang Kekerasan dan Fungsi Konflik (Kasus Konflik antar Kelompok Masyarakat di Kabupaten Pekalongan)” ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan
terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada : 1. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku dosen pembimbing skripsi dan Studi Pustaka yang selama ini telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. 2. Dr.Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama pada ujian skripsi. 3. Ir. Anna Fatchiya, Msi selaku dosen penguji wakil departemen pada ujian skripsi. 4. Mama, papa dan adik-adik tercinta yang selalu mendukung dan mendoakan agar penulis selalu bersemangat dalam berbagai kondisi. 5. Kapolresta Pekalongan, Bapak Aris Budiman, SH yang telah memberi kemudahan kepada penulis dalam proses penelitian. 6. Sahabat-sahabat di Departemen KPM (Alwin, Indah, Ian, Lusi, Nunik, Janu, Sihol dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu). 7. Sahabat-sahabat di Pekalongan (Asri, Izud, Dewi, Listi) yang telah banyak memberikan dukungan, nasehat, dan bantuan kepada penulis. 8. Sahabat-sahabat di Diastin tercinta (fani, nisa, nopi, novi, echi, tanjung, popi, puput, chizt, nila, tata) yang selalu mewarnai hari-hari penulis dengan canda dan tawanya. 9. Egi Massardy, S.KPm yang selalu memberikan dorongan dan semangat, serta menjadikan penulis sebagai orang yang lebih baik.
v
10. Semua pihak yang telah memberi bantuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
Semoga apa yang penulis kemukakan pada skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi upaya pengembangan masyarakat dalam rangka menciptakan kondisi yang harmonis dalam masyarakat.
Bogor, September 2009
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul…………………………………………………………………...i Lembar Pengesahan……………………………………………………………..ii Riwayat Hidup………………………………………………………………….iii Kata Pengantar………………………………………………………………….iv Daftar Isi………………………………………………………………………..vi Daftar Tabel ……………………………………………………………………ix Daftar Gambar…………………………………………………………………. x Daftar Lampiran…………………………………………………………..……xii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 2 1.3 Kegunaan Penelitian ................................................................................... 3 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 4 2.1.1. Pengertian Konflik.. ......................................................................... 4 2.1.2. Teori Konflik.................................................................................... 4 2.1.3 Alat Bantu dalam Analisis Konflik ................................................ 17 2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................ 19 2.3 Hipotesis Pengarah .................................................................................. 21 2.4 Definisi Operasional Konsep ................................................................... 22 BAB III PENDEKATAN LAPANGAN 3.1. Metode Penelitian .................................................................................... 24 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 24 3.3. Penentuan Objek Kajian,Informan dan Responden ................................. 25 3.4. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 25 3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................ 25 BAB IV KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM DENGAN PENGELOLA CAFE X DI KECAMATAN TIRTO, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 1) 4.1. Gambaran Umum Konflik ...................................................................... 27 4.2 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik ............................................................... 27 4.2.1 Aktor Utama yang Berkonflik........................................................ 30 4.2.1.1 Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa .................................. 31 4.2.1.2 Kelompok Pengelola Cafe X.............................................. 32 4.2.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Dua Aktor Konflik ................................................................................. 33
vii
Halaman 4.2.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa .................................................................. 33 4.2.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Pengelola Cafe X ............... 39 4.2.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik ....................... 43 4.3 Kaitan antara Isu Prinsip Agama dan Persaingan “Klaim Bisnis” dengan Kebrutalan Konflik ...................................................................... 46 4.4 Kaitan antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok .......... 48 4.5 Ikhtisar ..................................................................................................... 53 BAB V KASUS KONFLIK ANTARA DESA DEPOK DAN DESA BLACANAN, KECAMATAN SIWALAN, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 2) 5.1. Gambaran Umum Konflik ....................................................................... 54 5.2 Gambaran Lokasi Konflik ........................................................................ 54 5.3 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik ................................................................ 56 5.3.1 Aktor Utama yang Berkonflik......................................................... 58 5.3.1.1 Kelompok Pemuda Desa Depok ......................................... 58 5.3.1.2 Kelompok Pemuda Desa Blacanan..................................... 59 5.3.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Aktor-Aktor Konflik ...................................................................... 60 5.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Desa Depok ......................................................... 60 5.3.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Desa Blacanan ...................................................... 65 5.3.2.3 Pemahaman Konflik Menurut Tokoh Masyarakat Desa Depok ........................................................................ 67 5.3.2.4 Pemahaman Konflik Menurut Tokoh Masyarakat Desa Blacanan .................................................................... 72 5.3.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik....................... 76 5.4 Kaitan antara Isu “Harga Diri”dengan Kebrutalan Konflik ..................... 78 5.5 Kaitan Antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok ......... 79 5.6 Ikhtisar ..................................................................................................... 83 BAB VI KASUS KONFLIK TANAH DI DESA LEMAH ABANG, KECAMATAN DORO, KABUPATEN PEKALONGAN 6.1 Gambaran Umum Konflik ....................................................................... 84 6.2 Gambaran Umum Desa Lemah Abang .................................................... 85 6.2.1 Kondisi Fisik Desa Lemah Abang .................................................. 85 6.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat .............................................. 86 6.3 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik ................................................................ 89 6.3.1 Aktor yang Terlibat dalam Konflik ................................................ 90 6.3.1.1 Pemilik Sertifikat Tanah Sengketa .................................... 91 6.3.1.2 Kelompok Petani Penggarap Baru .................................... 91
viii
Halaman 6.3.1.3 Kelompok Petani Penggarap Lama ................................... 92 6.3.1.4 Aparat Desa Lemah Abang ............................................... 92 6.3.1.5 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pekalongan ..................................................... 92 6.3.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Aktor-Aktor konflik ......................................................... 93 6.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Petani Penggarap Di Desa Lemah Abang ...................................................... 93 6.3.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pekalongan ........................... 98 6.3.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik..................... 104 6.4 Kaitan antara Isu Perebutan Tanah dengan Kebrutalan Konflik ............ 106 6.5 Kaitan antara Konflik dengan Kohesivitas Kelompok........................... 107 6.6 Ikhtisar ................................................................................................... 108 BAB VII KAITAN ANTARA ISU KONFLIK DENGAN KEBRUTALAN KONFLIK........................................................ 110 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ............................................................................................. 112 8.2 Saran........................................................................................................ 113 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 115 LAMPIRAN ................................................................................................... 117
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sebaran Insiden Menurut Tingkat Kerusakan dan Kematian serta Jumlah Kematian dan Persentase Kematian Berdasarkan Kategori Kekerasan Tahun 1999-2001........................................................... 1 2. Sebaran Potensi Tanah di Desa Lemah Abang ............................................ 85 3. Jumlah Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Tanah Pertanian yang Dimiliki .............................................................................................. .86 4. Karakteristik Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok ............... 87 5. Aktivitas Masyarakat Desa Lemah Abang Berdasarkan Keanggotaan dalam Lembaga Sosial ................................................................................. 88 6. Karakteristik Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan ................... 88
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Bagan Kerangka Pemikiran .................................................................. 21
2.
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik (Kasus 1) ............................................ 28
3.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa .................................. 36
4.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa ..................................................... 39
5.
Skema Kronologi Konflik Berdsarkan Pandangan Pihak Pengelola Cafe X ........................................................................ 41
6.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pengelola Cafe X ................................................................................... 43
7
Denah Lokasi Kecamatan Siwalan ........................................................ 55
8.
Denah Lokasi Kekerasan Konflik Desa Depok-Desa Blacanan ........... 56
9.
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik di Desa Depok Dan Desa Blacanan (Kasus 2) ............................................................... 57
10.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Kelompok Pemuda Desa Depok ............................................................................. 63
11.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pemuda Desa Depok ............................................................................. 64
12.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Pemuda Desa Blacanan....................................................... 66
13.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pemuda Desa Blacanan ......................................................................... 67
14.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh Masyarakat Desa Depok ............................................................ 69
xi
Halaman 15.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Tokoh Masyarakat Desa Depok ............................................................ 72
16.
Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh Masyarakat Desa Blacanan ..................................... 74
17.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Tokoh Masyarakat Desa Blacanan ........................................................ 76
18.
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik Tanah di Desa Lemah Abang (Kasus 3)........................................................... 90
19.
Skema Kronologi konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh Masyarakat dan Petani Penggarap di Desa Lemah Abang ............................................................................... 96
20.
Pohon Konflik (Isu Konflik)Berdasarkan Pemahaman Masyarakat Desa Lemah Abang ........................................................... 98
21.
Skema Kronologis Konflik Berdasarkan Pandangan Pihak BPN Kabupaten Pekalongan ..................................................... 101
22.
Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman BPN Kabupaten Pekalongan ............................................................... 103
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Denah Lokasi Penelitian ........................................................................ 117
2.
Tabel Kebutuhan Data ........................................................................... 118
3.
Panduan Pertanyaan Penelitian .............................................................. 119
4.
Perda Minuman Keras Kabupaten Pekalongan ..................................... 122
5.
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pekalongan .......................................................................... 128
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah konflik di Indonesia merupakan fenomena yang tidak asing lagi
dan menyita perhatian publik karena wujudnya yang sebagian besar telah mengarah pada suatu kekerasan sosial dan telah meluas pada berbagai lapisan masyarakat. Hasil penelitian Tadjoeddin (2002), dengan kajian analisis liputan media “Antara” dan “Kompas” mengenai kekerasan sosial di Indonesia menunjukkan gambaran yang sangat memprihatinkan (Tabel 1).
Tabel 1.
Sebaran Insiden Menurut Tingkat Kerusakan dan Kematian serta Jumlah Kematian dan Persentase Kematian Berdasarkan Kategori Kekerasan Tahun 1999-2001
Kategori
Jumlah insiden dengan jumlah minimum satu kerusakan
Jumlah Insiden dengan jumlah minimum satu kematian
Jumlah kematian
Kekerasan komunal Kekerasan separatis Kekerasan negaramasyarakat Kekerasan hubungan industrial Total
465
262
4771
% kematian terhadap total kematian 76,9
502
369
1370
22,1
88
19
59
1,0
38
4
8
0,1
1093
654
6208
100
Sumber : Tadjoeddin, 2002
Tabel 1 tersebut memperlihatkan bahwa semua insiden kekerasan yang terjadi menyebabkan kerusakan dan kematian. Jumlah kematian tertinggi disebabkan oleh kekerasan komunal. Sedangkan jumlah kerusakan tertinggi disebabkan oleh kekerasan separatis. Masalah yang terkait dengan identitas (suku bangsa, nasionalitas, ras, agama) sering tampil sebagai penyebab dari banyak bentrokan. Kepentingan strategis dan faktor ekonomi juga kerap memilliki andil yang besar, dan beberapa diantaranya telah terjadi dalam kurun waktu yang lama namun belum
2
terselesaikan, atau masih terdapat konflik dalam wujud konflik laten. Konflik agama dan etnik merupakan konflik yang paling cepat berkembang, karena menyangkut isu nonrealistik yang sangat mudah
“dibumbui” oleh aksi-aksi
provokasi, sehingga aksi- aksi kekerasan, kerusuhan dan amukan massa dengan mudah merambat ke tempat-tempat lain, sedangkan konflik sumberdaya pada umumnya disebabkan oleh masalah-masalah pada hubungan sosio-agraria. Konflik ini seringkali terjadi akibat adanya aktivitas salah satu pihak/ aktor yang menyebabkan akses pihak lain terbatas dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Konflik sumberdaya merupakan konflik real, sehingga lebih memungkinkan berhasilnya upaya resolusi konflik sebelum mencapai tahap kekerasan, namun tidak jarang konflik sumberdaya juga berujung pada kekerasan dan kebrutalan yang sulit diredam. Berdasarkan fenomena konflik yang marak terjadi, dapat disimpulkan bahwa selama ini konflik diposisikan sebagai suatu proses sosial yang disfungsional (negatif). Namun, berdasarkan kajian terhadap fungsi konflik oleh Coser (1957) yang melandasi berbagai aspek konflik, dikemukakan bahwa pada dasarnya konflik juga bersifat fungsional (positif), diantaranya meningkatkan kohesivitas kelompok.
Hingga saat ini, belum banyak dikaji secara dalam
mengenai seberapa besar konflik atau kekerasan konflik berfungsi positif terhadap kohesivitas internal kelompok- kelompok yang berkonflik. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk membuktikan ada atau tidaknya sisi fungsional dari konflik yang selama ini marak terjadi. Secara lebih spesifik, penelitian ini hendak menjawab beberapa pertanyaan penelitian mengenai; (1) isu-isu apa yang melatarbelakangi kekerasan konflik antar kelompok masyarakat, (2) dengan cara bagaimana konflik berpengaruh positif terhadap kohesivitas internal kelompok-kelompok yang berkonflik.
1.2
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan menggambarkan
fungsi konflik di dalam kelompok masyarakat yang berkonflik. Penelitian mengenai fungsi konflik ini akan dibatasi pada fungsi positif konflik terhadap
3
kohesivitas internal kelompok. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkap isu-isu yang melatarbelakangi konflik antar kelompok masyarakat dan kekerasan konflik.
1.3
Kegunaan Penelitian Penelitian diharapkan dapat memberikan kerangka konseptual bagi
akademisi dan masyarakat dalam memahami konflik, sehingga dalam proses selanjutnya, konflik dapat dimaknai secara lebih luas dan ditangani dengan tindakan sebagaimana mestinya.
4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian Konflik Menurut Fisher, et.al. (2000), konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Menurut Pruit dan Rubin dalam Susan (2009), konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak tertentu tidak dicapai secara simultan. Menurut Widjarjo, et.al. (2002), konflik merupakan situasi yang apabila seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih) menunjukkan praktek-praktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan. Maka secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan. Dari pengertian-pengertian konflik yang begitu panjang, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan jika akan melakukan kajian mengenai konflik. Pertama, adanya keterlibatan dua pihak atau lebih atas suatu hal, baik bersifat abstrak atau konkrit. Berangkat dari suatu hal yang menjadi sumber konflik ini, terjadilah perbedaan antar pihak-pihak yang terlibat.
Perbedaaan yang ada
merupakan potensi untuk terjadinya konflik. Kedua, secara general dapat dikatakan bahwa konflik merupakan suatu proses yang eksis dan innate atau melekat dalam kehidupan manusia. Ketiga, konflik mengacu pada suatu proses sosial yang disosiatif (saling menjauhkan). Namun demikian, konflik juga merupakan unsur terpenting daam kehidupan manusia karena konflik memiliki fungsi positif (Coser, 1957). Konflik tidak hanya berwajah negatif, tetapi juga berfungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan- perubahan sosial yang diakibatkannya.
2.1.2 Teori Konflik Teori konflik pada dasarnya berusaha menjelaskan dan menganalisis secara komprehensif konflik dalam kehidupan sosial yang meliputi ; 1) sebab/
5
isu konflik, 2) fungsi konflik, 3) bentuk/ ekspresi (intensitas) konflik, dan 4) aktor/ pelaku konflik. Teori konflik merupakan teori penting masa kini yang menekankan kenyataan sosial di tingkat struktur sosial daripada tingkat individual, antarpribadi, atau antarbudaya. Berdasarkan titik berat teori konflik, yaitu pada sebab, fungsi, ekspresi dan pelaku konflik, maka secara berurutan teori-teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Konflik Berdasarkan Sebab/ isu konflik Coser (1957) membuat suatu pembedaan yang penting mengenai konflik yang disebabkan isu-isu realistik, yang selanjutnya disebut konflik realistik dengan konflik yang disebabkan isu-isu non realistik yang selanjutnya disebut konflik non realistik.
Konflik realistik
memiliki sumber yang konkret atau
bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi
atau wilayah. Konflik
realistik merupakan suatu alat untuk suatu tujuan tertentu yang jika tujuan itu tercapai mungkin akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu. Artinya, jika masing-masing aktor konflik telah memperoleh sumber konflik yang berupa materi, maka konflik akan berhenti dengan sendirinya. Bila sumber itu dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka sangat memungkinkan konflik dapat diatasi dengan mudah. Secara sederhana, konflik yang realistik diarahkan ke objek/sumber dari konflik itu. Konflik ini merupakan rangsangan utama untuk perubahan sosial. Hal ini dikemukakan Coser (1957) dalam The Function of Social Conflict sebagai berikut :
“in realistic conflict, there exist functional alternatives with regard to the means of carrying out the conflict, as well as with regard to accomplishing desired results short of conflict” (Coser, 1957 : 156)
Berbeda dengan konflik realistik, konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis misalnya konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik non realistik merupakan tujuan dari konflik itu sendiri. Konflik ini merupakan suatu cara untuk menurunkan ketegangan di dalam kelompok atau mempertegas identitas suatu kelompok. Cara ini mewujudkan bentuk-bentuk kekerasan yang
6
sesungguhnya berasal dari sumber-sumber lain. Statement Coser mengenai konflik non-realistik dalam The function of Social Conflict adalah sebagai berikut :
“in realistic conflict, there exist functional alternatives with regard to the means of carrying out the conflict, as well as with regard to accomplishing desired results short of conflict” (Coser, 1957 : 156)
Selain konflik realistik dan non realistik menurut Coser, konflik berdasarkan sebab/ isu yang melatarbelakanginya juga dijelaskan oleh Fisher, et.al (2000). Sebab/ isu yang melatarbelakangi konflik dapat dijelaskan menurut teori sumber konflik diantaranya adalah : (1) Teori Hubungan Masyarakat. Konflik ini disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. (2) Teori Negosiasi Prinsip. Konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. (3) Teori Kebutuhan Manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental dan sosial) yang tidak dipenuhi atau dihalangi.
Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi sering merupakan inti pembicaraan. (4) Teori Identitas. Dalam teori ini dijelaskan bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa lalu yang tidak diselesaikan. Identitas sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan orang lain dan oleh budaya yang dominan. (5) Teori Kesalahpahaman antar Budaya. Konflik disebabkan oleh ketidakcocokkan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. (6) Transformasi Konflik. Konflik dianggap disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah- masalah sosial, budaya dan ekonomi. Teori-teori mengenai penyebab konflik menurut Fisher, et.al. (2000) sangat membantu dalam mengelola konflik. Sebagai contoh, dalam menganalisis konflik non realistik yang terjadi dalam masyarakat, teori negosiasi prinsip sangat berperan dalam memahami fenomena konflik yang terjadi. Teori negosiasi prinsip berupaya
untuk
memahami
dan
menganalisis
konflik
dari
perbedaan
sudut pandang/penafsiran kedua aktor yang berkonflik. Perbedaan sudut
7
pandang/penafsiran tersebut biasanya menyangkut isu penyebab konflik. Seringkali kedua aktor konflik mengungkapkan isu yang berbeda mengenai penyebab konflik. Perbedaan sudut pandang ini dikarenakan posisi kedua aktor yang berbeda sehingga menyebabkan kepentingan yang berbeda. Teori identitas juga dapat digunakan dalam menganalisis konflik non realistik dan realistik yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Dalam teori ini, dapat dilihat bagaimana kedua aktor konflik memandang diri mereka sendiri, sedangkan cara pandang pihak lain terhadap mereka berbeda. Salah satu aktor beranggapan bahwa dirinya yang paling kuat dan paling berkuasa, namun aktor lain menganggap sebaliknya dan menilai kekuatan dan kekuasaan tersebut untuk dirinya sendiri. Selain itu, teori identitas berusaha “menguak” akar permasalahan yang terpendam di masa lalu yang mengakibatkan konflik “diperpanjang” bahkan isu konflik berubah menjadi isu lain. Sebagai contoh adalah konflik tanah di suatu daerah yang terjadi selama puluhan tahun dapat berubah menjadi konflik yang tidak jelas lagi isunya atau menjadi non realistik pada generasi aktor konflik berikutnya. 2) Fungsi Konflik dan Kekerasan Konflik Fungsi konflik merupakan salah satu bagian dalam teori konflik. Teori fungsi konflik menjelaskan kaitan antara kekerasan konflik dan fungsi konflik. Acuan teori ini adalah pandangan Coser (1957) mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan, serta pandangan bahwa konflik berdampak pada stabilitas dan perubahan sosial. Pada dimensi ini, Coser memperlihatkan bagaimana konflik memiliki fungsi terhadap sistem sosial. Ia menolak bahwa hanya konsensus dan kerjasama yang memiliki fungsi terhadap integrasi sosial. Menurut Coser, konflik tidak hanya berwajah negatif. Konflik memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Coser menekankan bahwa konflik sosial berfungsi dalam sistem sosial,
khususnya
dalam
hubungannya
pada
kelembagaan
yang
kaku,
perkembangan teknis, produktivitas, dan kemudian memperhatikan hubungan antara konflik dan perubahan sosial. Konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi fungsi positif dalam masyarakat.
8
Dalam bukunya The Function of Social Conflict, Coser memberi perhatian pada fungsi konflik terhadap kohesi kelompok (group cohesion). Dalam hal ini Coser mengaitkan antara konflik eksternal dan internal kelompok terhadap keeratan hubungan di antara anggota kelompok. Istilah kohesi kelompok sebagaimana yang disebutkan Coser dapat dilihat pada solidaritas kelompok, atau dalam istilah sehari-hari disebut kekompakan atau kesetiakawanan kelompok. Secara rinci, Coser menjelaskan dua jenis konflik yang dapat mempengaruhi sistem dalam kelompok sebagai berikut : 1)
Konflik Eksternal. Konflik eksternal (external conflict) dianggap dapat mampu menciptakan
dan memperkuat identitas kelompok. Coser menyatakan bahwa konflik dapat memperjelas batasan di antara kedua kelompok dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran anggota-anggota dalam suatu kelompok bahwa mereka merupakan bagian dari kelompoknya sehingga tercipta kesadaran identitas kelompok dalam sistem. Konflik eksternal dengan kelompok lain dapat mengalihkan “ketegangan” dan permusuhan dalam kelompok kepada musuh di luar kelompok (common enemies), sehingga masing-masing anggota kelompok berusaha untuk mempererat kembali hubungannya dengan anggota kelompok yang lain. Penjelasan ini secara rinci dikemukakan oleh pernyataan Coser sebagai berikut: "… conflict sets boundaries between groups by strengthening group consciousness and awareness of separateness from other groups” ( Coser, 1957:37). “… external conflict will be change to be a process of referancy identity groups identity referancy about outgroup so that it improves participation of each members to group organization. Identity group out of them is a negative reference group” ( Coser, 1957: 90).
2)
Konflik Internal Selain konflik eksternal, konflik internal (internal conflict) memberi fungsi
positif terhadap kelompok identitas mengenai kesalahan perilaku. Ada perilaku anggota yang dianggap menyimpang dari teks norma kelompok sehingga perlu dikoreksi oleh kelompok tersebut. Konflik yang terjadi dalam kelompok dapat menjadi faktor yang dapat “mencairkan” ketegangan-ketegangan dalam hubungan di antara anggota kelompok, sehingga tidak ada efek dipendamnya suatu
9
kebencian dalam kelompok. Coser menyatakan bahwa konflik di dalam kelompok berfungsi sebagai penyeimbangan (balancing system). Dengan demikian, konflik internal dan eksternal dinilai dapat berfungsi positif terhadap sistem dalam kelompok, namun fungsi konflik lebih tampak pada konflik eksternal karena lebih memperkuat keeratan dalam kelompok akibat ancaman-ancaman dari pihak luar. Kekuatan solidaritas internal dapat meningkat ketika terjadi konflik dengan out group. Namun demikian, konflik yang terjadi dengan kelompok luar (out group) dapat berfungsi maksimal jika telah sampai pada tahap manifest (terbuka) yang keras. Berkaitan dengan kekerasan konflik, yang disebut Coser sebagai kebrutalan konflik, fungsi konflik terhadap kohesi kelompok dalam akan menguat jika kekerasan konflik juga semakin kuat. Kekerasan pada dasarnya berbeda dengan konflik. Menurut Fisher, et. al. (2000),
kekerasan adalah bentuk tindakan,
perkataan, sikap berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Kekerasan dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lain dan menyebabkan luka-luka. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan kelompok lainnya juga merupakan bentuk kekerasan. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan atau trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan. Tidak semua konflik berujung pada kekerasan. Beberapa konflik dapat mencapai konsensus dan perdamaian sebelum mencapai tahap kekerasan. Namun, dalam kaitannya dengan fungsi konflik, konflik yang telah mencapai tahap kekerasan yang melibatkan dua kelompok lebih berfungsi secara nyata terhadap kohesivitas kelompok dalam (in group cohesion). Secara rinci, Coser membuat preposisi mengenai fungsi konflik berkaitan dengan kekerasan/kebrutalan yaitu: (1) semakin brutal atau intens konflik, semakin
menyebabkan
jelasnya
batasan
kelompok,
sentralisasi
struktur
pengambilan keputusan, solidaritas anggota, penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap norma. (2) semakin suatu konflik menyebabkan pusat kekuasaan menekan konformitas dalam
10
kelompok, semkin besar akumulasi permusuhan, dan semakin besar kemungkinan konflik internal muncul dalam jangka panjang. Dalam preposisi tersebut, Coser menekankan bahwa fungsi konflik bagi kohesivitas kelompok akan lebih terlihat nyata pada saat konflik semakin keras/brutal dengan kelompok luar. Preposisi Coser yang lain mengenai kebrutalan konflik dan isu konflik adalah sebagai berikut: (1) jika konflik menyangkut isu yang realistik, kemungkinan terjadi kompromi untuk mencari jalan bagi pencapaian tujuan, dan karena itu kurang brutal. (2) Jika konflik menyangkut isu yang tidak realistik, maka akan semakin besar tingkat keterlibatan dan emosi dalam konflik, sehingga semakin
brutal konflik yang terjadi,
khususnya jika: a) menyangkut nilai pokok/ dasar, b) konflik yang berlarut- larut. Dari preposisi Coser mengenai kebrutalan konflik, dapat disimpulkan bahwa terdapat alur untuk mencapai fungsi konflik bagi kohesi kelompok yang titik awalnya adalah isu konflik. Isu non realistik lebih berpotensi untuk mewujudkan konflik yang keras atau brutal. Maka pada saat aktor-aktor konflik menghadapi situasi konflik yang berakar pada isu realistik, potensi terjadi kekerasan/ kebrutalan di antara keduanya sangat besar. Jika telah mencapai tahap ini, fungsi konflik pada kohesi kelompok dalam akan semakin terlihat. 3) Konflik Berdasarkan Sasaran dan Perilaku Konflik dibedakan di antara dua sumbu, yaitu sasaran dan perilaku. Hal ini sesuai dengan definisi konflik menurut Fisher, et.al. (2000) bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu dan kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sasaran adalah objek/ apa yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. Sedangkan perilaku yang dimaksud adalah bagaimana cara mereka bertindak untuk memperoleh sasaransasaran tersebut. Perilaku dapat selaras satu sama lain dan bertentangan satu sama lain. Jika perilaku selaras, potensi terjadinya konflik kecil dan memungkinkan kondisi tanpa konflik. Sedangkan perilaku bertentangan satu sama lain akan menimbulkan konflik. Bentuk konflik tergantung dari bentuk perilaku masingmasing pihak yang berkonflik. Berdasarkan sasaran dan perilaku, konflik dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) tipe, yaitu ; (1) tanpa konflik. Setiap kelompok atau masyarakat ingin
11
hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. (2) konflik laten. Konflik laten adalah konflik yang sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif. (3) konflik terbuka, adalah konflik yang berakar “dalam” dan “sangat nyata”, sehingga memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. (4) konflik di permukaan, yaitu konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. 4) Konflik Berdasarkan Tahapan/Intensitas Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktifitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahap- tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik. Konflik dapat terjadi dalam beberapa tahap, yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik (Fisher, et.al., 2000). Tahapan-tahapan tersebut dapat dideskripsikan sebagai yaitu: (1) Prakonflik. Tahapan Ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. (2) Konfrontasi. Pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua belah pihak. Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di antara para pendukung di masing-masing pihak.
(3) Krisis.
Tahap ini
merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar ini ini merupakan periode perang, ketika orangorang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua belah pihak kemungkinan terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lain.
(4)
Akibat.
Pada tahapan ini, tingkat ketegangan,
12
konfrontasi, dan kekerasan agak menurun dengan memungkinkan adanya penyelesaian. Sebagai contoh adalah perubahan pola hubungan masyarakat, kerekatan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah, munculnya tata aturan baru dan lain-lain.
(5)
Pascakonflik.
Situasi diselesaikan dengan cara
mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah- masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak dapat disesesaikan dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra konflik. Menurut Nader dan Todd dalam Lintong (2005), berdasarkan tahapan evolusi atau prosesnya, konflik mengalami suatu siklus sebagai berikut : 1) Grievance (keluhan) atau tahap pra-konflik. Tahapan ini disebut sebagai tahapan yang bersifat monadic karena hanya melibatkan satu pihak saja. Pada tahapan ini, seseorang atau satu kelompok orang melihat suatu kondisi dimana mereka merasa tidak mendapatkan keadilan atau apa yang seharusnya didapatkan. Keadaan ini merupakan suatu kebenaran subjektif yang mungkin secara objektif benar tapi mungkin saja tidak benar. Namun, dari sinilah kemarahan dan keluha muncul. Situasi ini merupakan kondisi potensial untuk terjadinya eskalasi konflik. Pada saat satu pihak merasa dirugikan, ia dihadapkan pada pilihan-pilihan tindakan yang pengaruhnya besar pada kondisi selanjutnya. 2) Conflict Tahapan kedua adalah tahapan yang disebut sebagai tahapan conflict, dimana pihak
yang
merasa
dirugikan
tadi
memilih
untuk
menyampaikan
ketidakadilan yang dialami atau dirasakannya pada pihak lain yang memberikan ketidakadilan itu dengan berbagai macam cara, baik verbal maupun non verbal. Dengan diungkapkannya rasa ketidakadilan ini, maka ada dua pihak yang kini memiliki dan mengetahui kebenaran subjektif masingmasing yang saling berlawanan. Karena ada dua pihak yang menyadari dan terlibat dalam tahapan ini, maka tahapan ini disebut sebagai tahapan dyadic. Apa yang terjadi kemudian, kini bergantung pula pada kedua pihak ini,
13
apakah mereka akan menyelesaikan sendiri atau menaikkan suhu konflik memasuki tahapan lebih lanjut. 3) Dispute (sengketa) Jika tahapan conflict tidak juga mereda, dan bahkan persoalan mereka ini diketahui oleh khalayak ramai baik atas inisiatif salah satu pihak, kedua belah pihak ataupun pihak ketiga , maka masuklah tahapan berikutnya, yaitu tahap dispute atau sengketa. Tingkatan ini secara berurutan menunjukkan semakin parahnya keadaan. Tingkatan yang pertama adalah ketegangan (hardening), dimana masing-masing pihak menunjukkan sikap keras dan muncul suatu ketegangan karena masing-masing bertahan pada kebenaran subjektifnya. Tingkatan yang kedua yaitu perdebatan atau polemik mungkin dilakukan. Tahap ini ditandai dengan ketidakmauan masing-masing pihak untuk mendengarkan pihak lain. Kedua teori tersebut, baik yang dikemukakan oleh Fisher, maupun Nader dan Todd sama-sama menunjukkan tingkat “keparahan” dari suatu konflik, dimana konflik dimulai dari suatu fenomena yang biasa menjadi tidak bisa dengan “dibumbui” ketegangan-ketegangan yang semakin meningkat. Namun, jika diperhatikan, terdapat
perbedaan point of view dalam memetakan tahapan-
tahapan konflik tersebut. Fisher memetakan tahapan konflik berdasarkan urutanurutan kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu. Urutan kejadian merupakan daftar waktu yang menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis. Sedangkan menurut Nader dan Todd, penahapan konflik lebih berdasarkan pada keterlibatan aktor-aktor konflik, dimana pada tahap grievance, hanya satu pihak yang terlibat, yaitu pihak yang merasa dirugikan. Kemudian pada tahap conflict, ada dua pihak yang terlibat, karena pihak pertama, atau pihak yang merasa dirugikan telah menyampaikan keluhannya kepada pihak kedua. Tahap ini menentukan apakah akan ada pihak lain yang terlibat dalam konflik. Jika konflik semakin memanas dan mendorong pihak ketiga untuk resolusi konflik, maka tahap konflik telas sampai pada tahap dispute. Kriesberg (1998), berpendapat bahwa tahapan- tahapan yang luas melalui perjuangan cenderung bergerak, dan bervariasi dalam hal berapa lama suatu tahap
14
berakhir, transisi dari satu tahap ke tahap berikutnya secara berurutan. Pada tahapan awal konflik, upaya perjuangan menjadi nyata dan manifest. Empat hal yang terjadi pada tahapan ini adalah: (1) paling tidak satu pihak memiliki identitas diri, uang membedakan dari pihak lainnya, (2) salah satu pihak memiliki kondisi- kondisi yang dirasakan tidak adil atau tidak memuaskan, (3) salah satu anggota meyakini bahwa kondisi yangtidak memuaskan tersebut dapat diatasi melalui perubahan pada pihak lainnya, (4) memiliki keyakinan bahwa mereka dapat bertindak untuk mencapai tujuan tersebut. Konflik menjadi manifest apabila salah satu pihak mengekspresikan keyakinannya tersebut dengan memobilisasi pendukung-pendukung atau dengan mencoba secara tidak langsung mempengaruhi pihak lawannya untuk mencapai tujuan mereka. Kriesberg (1998) membuat penahapan mengenai konflik yang disebut sebagai siklus konflik. Tahapan-tahapan tersebut adalah : 1)
Eskalasi Konflik Tahap eskalasi merupakan tahapan yang relatif lama. Pada tahapan ini,
perlawanan menjadi nyata dan masing-masing berusaha untuk mencapai tujuannya, meningkatkan usaha-usaha mereka dengan memperkuat sarana- sarana yang mereka gunakan dan megumpulkan dukungan-dukungan. Pada awalnya, cara-cara yang digunakan bersifat persuasif dan bisa jadi menjanjikan hasil yang menguntungkan, namun demikian dapat saja terjadi bentuk kekerasan atau paksaan yang digunakan. Ada banyak faktor, proses, kondisi-kondisi, dan kebijakan yang berperan dalam peningkatan perlawanan dan lama perlawanan tersebut, seringkali ada kecenderungan konflik menjadi destruktif karea interaksi masing- masing pihak semakin kuat dan mereka cenderung melihat dalam posisi “zero- sum conflict”. Banyak proses dikombinasikan untuk menghitung keparahan (deterioration) perang digambarkan oleh pertikaian yang mengerikan di Yugoslavia. Beberapa proses internal pada masing- masing pihak yang bertikai mendorong terjadinya eskalasi konflik yang berkepanjangan yang
seringkali berbentuk destruktif
(merusak). Proses internal tersebut termasuk proses sosial psikologi berhubungan perselisihan kognitif, penjebakan (entrapment), dan reaksi emosional dari tekanan konflik. Satu implikasi dari perselisihan kognitif adalah bahwa jika orang dapat
15
dibujuk untuk beraksi pada cara yang brutal, mereka kemudian menyalahkan orang lain atas kebrutalan mereka, dan hal itu adalah sesuatu yang benar bagi mereka. Akhirnya, perlawanan ditingkatkan menuju kekerasan ekstrem yang mengakibatkan banyaknya orang yang melarikan diri. Interaksi diantara komunitas diperburuk oleh aksi pembalasan, sebagai kebijakan di dalam masingmasing aturan internal oleh komunitas dominan yang hanya menyisakan sedikit jaminan keamanan pada komunitas minoritas. Selain itu, yang memperburuk keadaan adalah tidak ada pengakuan hak- hak manusia, pengakuan sosial, kondisi hidup, penolakan salah satu pihak terhadap legitimasi pihak lainnya termasuk di dalamnya dalam wujud penolakan untuk berkomunikasi. Unsur-unsur yang dapat menunjukkan sejauh mana konflik telah menjadi destruktif adalah perilaku-perilaku yang tidak manusiawi, dan keinginan untuk melanjutkan perjuangan, membalas dendam, intimidasi, dan penekananpenekanan terhadap musuh/ lawan. 2)
De-eskalasi Konflik De-eskalasi konflik terjadi setelah jangka waktu yang bervariasi dari
tahap eskalasi dan biasanya terjadi pada setiap pertikaian. Faktor yang mempengaruhinya beragam, baik internal pada pihak- pihak yang berkonflik ataupun kondisi eksternal. Kondisi-kondisi yang mengarah pada de-eskalasi konflik adalah : (1) melemahnya upaya meneruskan perlawanan, (2) cara-cara yang tidak memaksa : berubah pengertian,
timbulnya
saling
cara pandang mengenai hubungan, saling ketergantungan,
membangun
kepercayaan,
perubahan salah satu pihak yang berkonflik (perubahan kepemimpinan, peraturan dan lain- lain) juga peran perantara. (3) kerangka waktu dalam menyelesaikan konflik (jangka pendek atau jangka panjang). (4) kondisi sosial, ekonomi, ideologi, dan demografi. Perantara atau pihak ketiga (dari luar) dapat memberikan sumbangan berarti dalam mencapai tahap de- eskalasi konflik, yakni dalam (1) mengatur halhal yang berkenaan untuk mengakhiri konflik, (2) membagi sumberdaya yang ada, (3)
memberikan
legitimasi
pada
opsi-opsi
baru,
(4)
membantu
mengimplementasikan dan menjaga kesepakatan yang telah dicapai.
16
3)
Terminasi Peralihan dari tahap de-eskalasi menuju terminasi jarang terjadi secara
mulus. Adakalanya terdapat pihak-pihak yang mensabotase, yakni orang yang tidak terlibat penuh dalam proses pengelolaan konflik atau orang-orang yang tidak mendukung. Namun, dalam model siklus konflik, cepat atau lambat, konflik akan sampai pada tahap terminasi. Terminasi konflik terjadi karena pihak yang menantang merubah bentuk hubungannya dengan pihak lawan. Adakalanya salah satu pihak menekan pihak lainnya atau di antara mereka terjadi bentuk hubungan kompromi sehingga mencapai hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun demikian, jarang hasilnya benar-benar seimbang dan tetap ada ketidaksepakatan dalam menilai hasilnya. Proses terminasi bisa terjadi melalui proses negosiasi atau mediasi. 4)
Hasil dan Spiral Tahap terminasi memberikan hasil dalam berbagai bentuk seperti
perubahan-perubahan internal pihak-pihak yang berkonflik. Perubahan hubungan yang lebih memuaskan, rekonsiliasi dan restrukturasi konteks sosial. Perubahan internal yang terjadi bisa dalam bentuk penghancuran atau kematian dari salah satu pihak yang berkonflik, misalnya kematian anggota, bubarnya kelompok atau organisasi. Apabila pihak yang berkonflik dalam kelompok, bisa terjadi perubahan kepemimoinan atau perubahan ideologi kelompok, perubahan aliansi, dan lainlain. Selain itu, dari pihak partisan menjadi yakin bahwa pandangan dari pihak lawan bisa jadi benar. Hasil konflik bisa jadi juga mengakibatkan perubahan dalam hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik, sehingga jauh lebih memuaskan karena bisa jadi akibat dari kesetaraan. Perubahan hubungan tersebut bisa dalam bentuk rekonsilisasi, yakni mengacu pada proses pengembangan akomodasi antara kelompok- kelompok atau pihak- pihak yang bertetangan.
5) Konflik Berdasarkan Aras Pihak yang Berkonflik Menurut Suadi, et.al., dalam Susan (2009), konflik dapat ditipologikan berdasarkan level permasalahannya, yaitu ; (1) konflik vertikal. Konflik vertikal atau “konflik atas” terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya pada pada level yang berbeda, misalnya antara elite dengan massa (masyarakat). Elite
17
dalam hal ini bisa merupakan para pengambil kebijakan di tingkat pusat, kelompok bisnis, atau aparat militer. Hal yang ditonjolkan dalam konflik ini adalah digunakannya instrumen kekerasan negara, sehingga menimbulkan korban di kalangan massa (masyarakat). Dalam konflik vertikal, kaitan makro- mikronya lebih cepat diketahui. (2) konflik horizontal. Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi di kalangan massa (masyarakat) sendiri. Sejak pertengahan 90- an, dirasakan setidaknya ada dua jenis konflik horizontal yang tergolong besar pengaruhnya, yaitu konflik agama dan konflik antar suku. Konflik agama terjadi khususnya antar kelompok agama Islam dan kelompok agama Nasrani. Konflik jenis ini mengemuka di berbagai daerah, seperti Ambon, Jakarta, dan beberapa daerah lainnya. Sedangkan konflik antar suku terjadi khususnya antara suku Jawa dan suku- suku lain di luar pulau Jawa. Selain itu, muncul pula kasus seperti konflik antara suku Madura dengan suku Melayu di Kalimantan Barat.
2.1.3 Alat Bantu dalam Analisis Konflik Analisis konflik adalah suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami konflik dari berbagai sudut pandang. Pemahaman ini kemudian akan membentuk dasar-dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan (Fisher, et.al., 2000). Dalam menganalisis konflik, terdapat banyak permasalahan yang perlu dikaji, diantaranya adalah latar belakang dan sejarah munculnya suatu konflik, pandangan semua aktor dan hubungannya satu sama lain, serta kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik. Untuk itu, diperlukan alat bantu dalam menganalisis konflik. Beberapa alat bantu yang dapat dugunakan untuk menganalisis konflik diantaranya adalah : 1)
Penahapan Konflik Pada dasarnya, konflik memiliki kedinamisan yang tinggi, terutama
konflik manifest (terbuka). Meskipun pada saat-saat tertentu kondisi dalam keadaan kondusif, namun jika ditelusuri secara mendalam terdapat keteganganketegangan yang tersembunyi serta kewaspadaan yang tinggi antara satu pihak dengan pihak lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap saat konflik dapat berubah melalui berbagai tahapan aktivitas, ketegangan, serta kekerasan yang berbeda. Menyikapi hal ini, Fisher, et.al (2000) menguraikan pentingnya membuat
18
penahapan konflik untuk menganalisis berbagai dinamika yang terjadi pada masing-masing tahapan konflik. Analisis tersebut meliputi lima tahap. Pertama, adalah tahap prakonflik. Tahapan ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian sasaran diantara pihak-pihak yang berkonflik. Kondisi ini diawali oleh adanya ketegangan hubungan sehingga masing-masing pihak berusaha menghindari menghindari kontak antara satu dengan yang lain. Kedua, konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka. Masing-masing pihak menyusun kekuatan, melakukan perilaku konfrontatif dan kekerasan pada tingkat yang rendah. Ketiga, yaitu tahap krisis. Ini merupakan puncak konflik, yaitu ketegangan atau kekerasan yang terjadi paling hebat. Keempat, tahap akibat. Pada tahap ini, terdapat salah satu pihak yang menyerah karena keinginannya sendiri atau karena desakan pihak lain, atau kedua pihak setuju untuk bernegosiasi. Tingkat ketegangan dan kekerasan mulai menurun. Kelima, tahap pascakonflik. Situasi konflik diselesaikan dengan mengakhiri berbagai ketegangan dan kekerasan sehingga kembali ke kondisi normal. Namun, jika penyebab konflik tidak diatasi dengan baik, tahap ini akan kembali lagi menjadi situasi prakonflik. 2)
Urutan Kejadian/Kronologi Konflik Urutan kejadian adalah suatu alat bantu yang menunjukkan kejadian-
kejadian yang telah ditempatkan menurut waktu terjadinya peristiwa sesuai urutan urutan kronologis dalam bentuk grafik sederhana. Dalam menganalisis konflik, cenderung terdapat perbedaan “versi” mengenai terjadinya konflik berdasarkan pemahaman aktor-aktor konflik. Oleh karena itu, dalam menggambarkan urutan kejadian/kronologi konflik, perlu dipaparkan secara jelas berbagai versi yang berbeda mengenai peristiwa konflik yang terjadi. Urutan kejadian juga merupakan suatu cara bagi masyarakat untuk saling mempelajari sejarah dan pandangan pihak lain mengenai suatu situasi. Dalam konflik pasti akan terjadi ketidaksepakatan mengenai kejadian-kejadian mana yang paling penting dan bagaimana menjelaskannya. Secara rinci, tujuan utama kronologi konflik adalah untuk menunjukkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah suatu konflik, menjelaskan dan memahami pandangan masing-masing pihak tentang kejadian-
19
kejadian, serta untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian mana yang paling penting bagi masing-masing pihak. 3)
Pemetaan Konflik Pemetaan konflik dapat membantu menggambarkan konflik secara grafis
yang berguna untuk melihat secara keseluruhan aktor-aktor konflik dan hubunganhubungannya. Pada dasarnya, dalam konflik skala besar, aktor yang terlibat jika dipetakan akan sangat banyak dan masing-masing memiliki peran terhadap konflik. Aktor-aktor ini termasuk aktor di belakang layar. Namun, dalam suatu konflik yang menjadi “sorotan utama” adalah dua pihak yang bertindak sebagai aktor utama yang saling berlawanan. Secara singkat, tujuan-tujuan pokok melakukan pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi dengan lebih baik, untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak dengan jelas, untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan, dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang telah dilakukan masing-masing aktor konflik. 4)
Pohon Konflik Pohon konflik merupakan suatu alat bantu untuk mengungkap isu-isu
pokok konflik. Alat bantu ini pada umumnya digunakan dalam diskusi kelompok mengenai konflik. Tujuan menggambarkan pohon konflik adalah untuk menghubungkan berbagai sebab dan efek satu sama lain. Jika digunakan dalam diskusi kelompok, alat ini bertujuan untuk merangsang diskusi tentang berbagai sebab dan efek dalam situasi konflik, membantu kelompok menyepakati masalah inti, serta membantu suatu kelompok dalam mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik.
2.2
Kerangka Pemikiran Berdasarkan isu yang melatarbelakanginya, konflik dibedakan berdasarkan
dua tipe konflik menurut Coser (1957), yaitu konflik realistik dan konflik nonrealistik. Konflik realistik adalah konflik yang dilatarbelakangi oleh isu- isu yang konkret, atau bersifat material, seperti perebutan sumber-sumber ekonomi atau wilayah. Konflik non realistik adalah konflik yang dilatarbelakangi oleh sumbersumber yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis seperti masalah prinsip, aqidah, dan harga diri, dan identitas. Konflik yang realistik cenderung
20
lebih mudah diatasi karena menyangkut sasaran/objek yang jelas yang menjadi tujuan pihak-pihak yang berkonflik. Sedangkan konflik yang non-realistik lebih sulit untuk diatasi dan mencapai penyelesaian karena konflik non-realistik merupakan tujuan dari konflik itu sendiri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa isu konflik (realistik dan non realistik) mempengaruhi tingkat kekerasan yang diakibatkannya (level of violence). Kekerasan konflik dicirikan oleh adanya tindakan, sikap, perkataan,serta berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara
mental, sosial, atau lingkungan, dan/atau menghalangi
seseorang untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher, et.al., 2000). Merujuk pada teori Coser (1957), tentang fungsi konflik sosial, pada dasarnya konflik antar kelompok sosial mampu menciptakan dan memperkuat identitas kelompok. Konflik mempengaruhi kohesivitas kelompok dengan menciptakan batasan-batasan di antara dua kelompok dalam sistem sosial. Batasan diantara kedua kelompok tercipta dengan memperkuat kesadaran identitas kelompok. Semakin keras konflik yang terjadi diantara dua aktor konflik, maka kedua pihak akan semakin menghindari komunikasi terjadi antara mereka, dan masing-masing anggota dari kedua kelompok tersebut cenderung semakin merapat pada kelompok masing-masing untuk mendapatkan kondisi yang aman. Dalam proses ini, batasan dua kelompok akan semakin jelas. Solidaritas di dalam masing-masing kelompok akan muncul jika sudah terjadi kekerasan fisik pada salah satu atau lebih anggota kelompok yang dilakukan oleh musuh bersama (common enemies). Semakin memanas/keras suatu konflik, orang yang mendominasi
dalam
memperlihatkan
kelompok/pemimpin
kekuasaannya
dengan
kelompok
cenderung
mensentralisasikan
semakin
pengambilan
keputusan, karena dalam situasi konflik yang keras, dibutuhkan keputusan yang cepat untuk menghindari serangan musuh. Kondisi sebaliknya, jika konflik tidak keras, maka konflik tidak terlalu berpengaruh terhadap kondisi dalam kelompok. Selama konflik tidak sampai tahap membahayakan bagi kedua kelompok, maka kelompok-kelompok tersebut masih dapat menunjukkan gejala “ketidakeratan” karena belum merasa terancam oleh kelompok lain, sehingga tanpa disadari, mereka merasa tidak perlu “merapat”
21
pada kelompoknya. Secara rinci, kerangka pemikiran dapat dituangkan dalam Gambar 1. Isu Konflik • Isu- Isu Realistik - Sumberdaya - Ekonomi • Isu-Isu non Realistik ‐ Nilai-nilai ‐ Identitas ‐ Prinsip
Kekerasan Konflik ‐ Tindakan ‐ Perkataan ‐ Sikap
Kohesivitas internal kelompok ‐ Jelasnya batas kelompok ‐ Sentralisasi struktur pengambilan keputusan ‐ Solidaritas AnggotaPengaruh Hubungan ‐ Penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran.
2.3
Hipotesis Pengarah Berdasarkan perumusan masalah penelitian, maka hipotesis pengarah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Kekerasan konflik mempengaruhi kohesivitas internal kelompok. • Semakin keras atau intens suatu konflik, diduga kohesivitas internal kelompok semakin kuat. • Semakin tidak intens/keras suatu konflik, diduga kohesivitas internal kelompok semakin renggang/tidak erat.
22
2) Isu konflik mempengaruhi kekerasan konflik • Jika konflik semakin mengarah pada isu yang tidak realistik, diduga tingkat keterlibatan dan emosi dalam konflik semakin besar, sehingga konflik semakin mencapai kekerasan. • Jika konflik semakin mengarah pada isu yang realistik, diduga tingkat keterlibatan dan emosi dalam konflik semakin kecil, sehingga konflik semakin menjauhi kekerasan.
2.4
Definisi Operasional Konsep
1) Konflik adalah benturan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang menyebabkan terjadinya proses saling menjauhkan diantara kedua belah pihak. 2) Isu realistik adalah isu-isu yang melatarbelakangi terjadinya konflik yang berupa materi seperti tanah dan sumberdaya alam. 3) Isu non-realistik adalah isu-isu
yang melatarbelakangi terjadinya konflik
yang berupa non materi seperti ideologi, nilai- nilai, identitas, dan prinsipprinsip. 4) Kekerasan konflik adalah proses dimana konflik telah menyebabkan kerusakan, baik secara mental, sosial dan fisik, baik itu melalui tindakan, perkataan, dan sikap. • Kerusakan secara mental adalah munculnya rasa takut dan tertekan akibat konflik. • Kerusakan secara sosial adalah buruknya hubungan sosial antar kelompok masyarakat yang ditandai dengan saling menjauh dan saling menyakiti. • Kerusakan fisik adalah keadaan lingkungan yang kacau yang ditandai dengan hancurnya fasilitas umum dan sumberdaya. • Tindakan kekerasan adalah perilaku dan perbuatan yang mengarah pada aksi- aksi yang melukai ataupun menyakiti pihak lain. • Perkataan kekerasan adalah ucapan-ucapan yang kasar yang dapat memancing emosi pihak lain. 5) Kohesivitas internal kelompok adalah eratnya hubungan antar anggota dalam kelompok.
23
• Kohesivitas tinggi ditandai dengan : a)
Jelasnya batas kelompok, yaitu tidak adanya komunikasi dan interaksi di antara kedua belah pihak, karena anggota setiap kelompok semakin merapat pada kelompoknya masing-masing.
b)
Sentralisasi struktur pengambilan keputusan, keputusan dalam kelompok ditentukan oleh orang yang berpengaruh dalam kelompok karena kelompok membutuhkan keputusan yang cepat dalam kondisi konflik yang keras.
c)
Solidaritas anggota, yaitu kekompakan angota kelompok dalam menyelesaikan masalah, interaksi yang intens, dan kesamaan pendapat dalam menghadapi konflik.
d)
Penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, yaitu adanya penguatan aturan-aturan, norma-norma dan nilai-nilai dalam kelompok yang harus dipatuhi anggota kelompok dan adanya penguatan sanksi bagi anggota kelompok yang menyimpang dari aturan,norma dan nilai-nilai yang telah disepakati.
e)
Menguatkan
konformitas
terhadap
nilai
dan
norma,
yaitu
meningkatnya kepatuhan anggota kelompok terhadap nilai dan norma di dalam kelompoknya. • Kohesivitas rendah ditandai dengan kurangnya solidaritas, interaksi yang tidak atau kurang intens, perbedaan pendapat dalam menghadapi konflik, kurang jelasnya batas antar dua kelompok/masih adanya komunikasi dan interaksi di antara kedua kelompok.
24
BAB III PENDEKATAN LAPANGAN
3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana penelitian ini
mengambil fakta berdasarkan pemahaman subjek penelitian (verstehen), mengetengahkan hasil pengamatan dengan rinci, serta peneliti berusaha untuk membangun teori konsep, hipotesis, serta sintesis tentang masyarakat yang diteliti (Creswel,
1994).
Melalui
pendekatan
ini,
peneliti
berusaha
untuk:
(1) menggambarkan konflik yang terjadi di antara aktor-aktor konflik, (2) menggambarkan
ekspresi-ekspresi dan kekerasan kekerasan konflik, (3)
menganalisis pengaruh kekerasan konflik terhadap kohesivitas kelompok yang terlibat konflik. Ketiga hal tersebut dijelaskan dalam kajian ini dengan strategi studi kasus.
Melalui strategi ini, peneliti berusaha menemukan fakta sosial
berdasarkan masalah yang dikaji mengenai konflik antar kelompok masyarakat. Penelitian ini menuntut adanya interaksi langsung antara peneliti dan subjek penelitian dalam suatu komunitas. Strategi ini diharapkan dapat menggali informasi mendalam mengenai fakta- fakta tentang konflik yang terjadi.
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Lokasi
ini dipilih secara purposive (sengaja) karena di daerah ini banyak terjadi kekerasan konflik yang dilatarbelakangi oleh isu realistik, dalam penelitian ini adalah konflik tanah dan non realistik, dalam penelitian ini adalah isu agama dan identitas kelompok. Selain itu, secara geografis daerah ini mudah dijangkau oleh peneliti sehingga peneliti memiliki peluang yang besar untuk menemukan permasalahan yangdikaji. Penelitian (dari proses penjajagan lapangan, penentuan informan, pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan laporan penelitian) akan dilaksanakan mulai bulan Juni-Agustus 2009.
25
3.3
Penentuan Objek Kajian, Informan, dan Responden Unit analisis yang dipilih sebagai objek kajian adalah kelompok
masyarakat yang terlibat dalam konflik yang bersifat manifest (terbuka) dan brutal (keras) yang berakar dari isu realistik dan isu non realistik. Informan (meliputi tokoh masyarakat, aparat desa, dan aparat keamanan terkait) merupakan pihak yang
memberikan
lingkungannya.
keterangan
Informan
tentang
diharapkan
diri,
keluarga,
dapat
membantu
pihak
lain,
peneliti
dan dalam
mendapatkan informasi yang sahih atau memberikan keterangan tambahan tentang topik kajian. Informan dipilih dengan teknik snowball secara purposive (bertujuan) sampai data yang dikumpulkan bersifat jenuh. Responden merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (aktor konflik). Responden dipilih dengan menggunakan teknik snowball hingga informasi dan data yang dibutuhkan dianggap jenuh.
3.4
Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dan diskusi kelompok dengan warga yang terlibat konflik (warga tersebut tergabung dalam suatu kelompok). Selain melakukan wawancara mendalam, peneliti juga melakukan pengamatan (observasi). Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini diantaranya berupa data dan dokumen yang menggambarkan konflik- konflik yang telah terjadi di wilayah penelitian. serta literatur-literatur terkait. Sumber dokumen ini diantaranya adalah data internal Polres Pekalongan, data internal Pengadilan Negeri Pekalongan, data monografi wilayah terkait, laporan penelitian, makalah, buku, dan internet.
3.5
Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan semenjak pengumpulan data sekunder sampai data
primer di lapangan. Kemudian data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, analisis dokumen/ literatur direduksi melalui proses pemilihan, pengkategorian data- data berdasarkan kepentingan sub-sub bab yang dibahas, disesuaikan dan dijabarkan secara subjektif dengan sudut pandang informan dan responden.
26
Data yang akan dianalisis meliputi: (1) Arti kekerasan menurut subjek penelitian, (2) arti solidaritas menurut subjek penelitian, (3) kaitan antara kekerasan konflik dengan isu konflik yang melatarbelakanginya (isu realistik dan non realistik), dan (4) kaitan tingkat kekerasan konflik terhadap kohesivitas kelompok, kemudian data disajikan dalam bentuk kutipan-kutipan (langsung maupun tidak langsung) dari hasil wawancara mendalam yang dilakukan. Selain itu, data yang ada disajikan dalam bentuk teks naratif-deskriptif maupun tabel. Hal ini dilakukan agar informasi yang diperoleh dapat memudahkan melihat konflik yang terjadi serta upaya penyelesaian yang pernah dilakukan, serta memudahkan untuk melakukan proses penarikan kesimpulan melalui verifikasi setelah penyajian data tersebut dilakukan.
27
BAB IV KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM DENGAN PENGELOLA CAFE X DI KECAMATAN TIRTO, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 1)
4.1
Gambaran Umum Konflik Kasus konflik ini merupakan konflik yang terjadi di antara dua kelompok
masyarakat yang “berbeda”, yaitu antara kelompok identitas dengan kelompok non identitas (kelompok pekerja). Kelompok identitas yang menjadi aktor utama konflik adalah kelompok pemuda Islam, sedangkan kelompok non identitas yang menjadi “lawan” kelompok identitas adalah kelompok pekerja yang tergabung dalam pengelolaan Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Isu utama yang menjadi “sorotan” dalam konflik ini adalah masalah penjualan minuman keras dan keberadaan tempat hiburan malam yang sangat ditentang oleh kelompok identitas. Kebrutalan/kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pemuda Islam terhadap kelompok pengelola Cafe X merupakan “puncak” dari kemarahan kelompok pemuda Islam terhadap ketidaksesuaian Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan yang mengesahkan penjualan dan konsumsi minuman keras dengan kadar alkohol tertentu dengan kondisi masyarakat Pekalongan serta tindakan aparat keamanan yang dinilai kurang tegas terhadap pihak-pihak yang mengkonsumsi/mengedarkan minuman keras di wilayah Pekalongan. Sebelum mencapai kekerasan, konflik antara kelompok identitas dan kelompok non identitas ini diawali oleh konflik laten antara kelompok identitas dan aparat keamanan. Tahap krisis dalam konflik terjadi pada saat kelompok identitas melakukan tindakan kekerasan berupa penyerangan, pemukulan, dan perusakan terhadap kelompok non identitas dan fasilitasnya.
4.2
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik Kasus konflik antar Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola
Cafe X melibatkan aktor-aktor lain yang berperan dan terlibat dalam konflik. kasus konflik yang terjadi tampak dalam Gambar 2.
28
Masyarakat yang pro terhadap keberadaan Cafe X (MP)
Aparat kepolisian
Masyarakat yang kontra terhadap Gambar 2. Pemetaan Konflik keberadaan Cafe X (MK)
Pihak pengelola Cafe X
Pemuda Islam At-Taqwa
Keterangan: konflik atau perselisihan hubungan yang dekat tidak ada hubungan
konflik laten mempengaruhi
Gambar 2. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik (Kasus 1).
Selain dua aktor utama, ada tiga aktor lain yang berhubungan dengan aktor utama konflik atau menjadi penyebab konflik. Dalam kasus konflik ini, pihak aparat kepolisian dengan Pemuda Islam At-Taqwa memperlihatkan hubungan yang kurang baik atau konflik dalam wujud laten. Hubungan tersebut dianalisis dalam urutan kejadian/kronologi konflik, dimana sebelum terjadi konflik dengan Cafe X, Kelompok Pemuda At-Taqwa berkonflik laten dengan aparat kepolisian karena perbedaan cara dan sasaran dalam bertindak. Aparat kepolisian selaku penegak hukum beranggapan bahwa mereka bertindak sesuai tugas dan kewenangan yang mereka miliki.
Acuan dalam bertindak adalah Undang-
Undang, sedangkan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa beranggapan bahwa aparat kepolisian bersikap tidak netral karena cenderung melindungi Cafe X yang mereka anggap dapat merusak masyarakat. Akibat perbedaan cara pandang ini, terjadi konflik laten yang terlihat dari sikap masing-masing pihak yang
29
menunjukkan “ketidaksukaan”. Hal ini dikemukakan oleh salah satu orang yang berperan penting dalam Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa:
“Polisi itu tidak netral, mereka tidak tahu keadaan sebenarnya di masyarakat, sedangkan kami yang sehari-hari hidup di sekitar masyarakat lebih tahu, tapi namanya juga aparat, benar atau salahnya tindakan mereka ya selalu dianggap benar, masalah kalau mereka ikut-ikutan berlaku salah seperti ikut masuk di klab-klab malam dianggap wajar-wajar saja” (TOK, 37 tahun).
Meskipun kelompok pemuda Islam At-Taqwa memiliki pandangan yang kurang baik terhadap aparat kepolisian, namun aparat kepolisian tetap sebagai pihak yang berpengaruh terhadap pengendalian kegiatan di masyarakat, termasuk menindak aksi kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menghentikan kekerasan. Hubungan antara masyarakat yang kontra terhadap keberadaan Cafe X (MK) dengan Kelompok pemuda At-Taqwa ditandai dengan hubungan yang dekat serta hubungan pengaruh. Secara langsung, keputusan Kelompok Pemuda AtTaqwa dipengaruhi oleh pengaduan dan laporan MK mengenai keberadaan Cafe X. Hal ini menguatkan analisis bahwa terdapat hubungan yang dekat diantara mereka karena kepercayaan MK kepada kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menangani Cafe X. Menurut masyarakat sekitar, pada awal berdirinya Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, sebagian masyarakat mengaku terganggu dengan keberadaan
Cafe
X
tersebut
karena
keadaannya
yang
tertutup
dan
“mencurigakan”, karena seluruh karyawannya adalah wanita muda, dan sebagian besar pengunjungnya adalah pria yang berusia setengah baya. Menurut mereka, jarang sekali ada remaja-remaja yang berkunjung ke Cafe X tersebut. Oleh karena itu, Cafe X tersebut dianggap tidak baik berada di lingkungan mereka, terlebih lagi masyarakat sering melihat pengunjung-pengunjung yang mabuk setelah keluar dari Cafe X tersebut.
Maka, masyarakat mensinyalir bahwa Cafe X
tersebut menjual minuman keras. Karena keberadaan Cafe X tersebut dianggap meresahkan, maka masyarakat yang cukup mengenal kelompok pemuda Islam At-Taqwa melakukan pengaduan mengenai keberadaan Cafe X tersebut.
30
Masyarakat menganggap bahwa kelompok pemuda Islam tersebut dapat mengatasi masalah Cafe X dan mengambil tindakan yang semestinya. Namun ternyata, keberadaan Cafe X ini tidak sepenuhnya ditanggapi buruk oleh masyarakat. Masyarakat yang cukup beranggapan positif (bersikap pro) terhadap Cafe tersebut menilai bahwa Cafe X cukup “sopan” dalam menjalankan bisnisnya dibandingkan dengan cafe-cafe lain di Pekalongan. Mereka juga cukup mengenal pemilik cafe dan sejumlah karyawan cafe yang mereka nilai cukup ramah. Beberapa warga yang bersikap pro terhadap keberadaan Cafe X mengaku bahwa mereka justru merasa “diuntungkan” dengan keberadaan Cafe
X tersebut.
Salah satu responden yang pro terhadap
dikemukakan dalam kutipan pernyataannya; “…yo saya sih ngerasa diuntungkan, PL-PL di cafe itu kan jadi langganan warung saya, jadi warung saya laris” (UMI, 48 tahun). Masyarakat yang memiliki hubungan baik dengan pihak cafe cenderung beranggapan positif terhadap bisnis Cafe X dan orang-orang yang mengelolanya karena secara langsung mereka merasakan “manfaat” keberadaan Cafe X tersebut di sekitar lingkungan mereka. Tanggapan responden yang lain terhadap Cafe X dapat dilihat dalam kutipan pernyataan SHR sebagai berikut :
“…ndak merugikan masyarakat kok, malahan saya sering dapat penghasilan tambahan dengan iseng-iseng “markiri” mobil-mobil pengunjung, anak-anak muda di sini juga seneng kok duduk-duduk di depan cafe” (SHR, 50 tahun, buruh).
4.2.1
Aktor Utama yang Berkonflik Gambar 2 menggambarkan secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik serta hubungan-hubungannya. Dalam pemetaan konflik, aktor-aktor yang terlibat telah terlebih dulu diidentifikasi dan dari hasil identifikasi para aktor, terdapat dua aktor utama yang berkonflik yaitu Kelompok Pemuda Islam AtTaqwa dan pihak pengelola Cafe X. Garis bergelombang yang menghubungkan kedua aktor utama tersebut menandakan bahwa terjadi konflik atau perselisian yang nyata/terbuka di antara keduanya. Secara umum, gambaran dua aktor utama konflik adalah sebagai berikut:
31
4.2.1.1 Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa Kelompok pemuda Islam At-Taqwa merupakan kelompok pemuda masjid dari Kramatsari, yang dinamakan remaja At Taqwa yang bermisi memberantas kejahatan dan kemaksiatan yang ada di wilayah Pekalongan. Kelompok pemuda Islam ini awalnya hanya beranggotakan para pemuda Desa Kramatsari yang tergabung dalam remaja Masjid At-Taqwa, namun akhirnya keanggotaan kelompok ini meluas dan bersifat fleksibel, sehingga memberi ruang kepada siapa pun yang ingin bergabung dalam memberantas kemunkaran. Dalam melakukan aksi-aksinya, baik dalam wujud halus ataupun keras, mereka sering beraksi bersama FPI dan terkadang orang-orang di luar keanggotaan mereka juga sering ikut dalam aksi- aksi mereka. Kelompok pemuda ini sangat berpengaruh di lingkungan mereka, termasuk dalam membentuk karakter masyarakat. Bahkan kelompok pemuda Islam ini lebih berpengaruh daripada aparat desa yang sering mendapat perlawanan dari masyarakat. Karena keanggotaan yang bersifat fleksibel dan tidak terorganisir, maka anggota sulit dikenali dan dikoordinasi.
Akibatnya dalam aksi-aksi mereka
cenderung ada pihak luar yang “membonceng” dengan motif hanya untuk kesenangan sehingga aksi-aksi mereka cenderung menyimpang dari yang telah dimusyawarahkan kelompok. Hal ini sering menjadi pemicu buruknya citra mereka di kalangan masyarakat dan aparat kepolisian. Para anggota kelompok sering bertemu dalam Majelis Ta’lim yang diadakan paling tidak setiap minggu. Majelis Ta’lim membahas tajwid (kaidah AlQur’an), aqidah (keyakinan), dan tauhid (meng”esa”kan Tuhan). Dalam Majelis Ta’lim ini juga sering dibahas masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat dan upaya untuk memberantas kejahatan dan penyimpangan nilai-nilai agama. Dalam melakukan aksi-aksinya, kelompok pemuda Islam At-Taqwa terlebih dahulu mengadakan musyawarah anggota untuk menyusun strategi. Sebelum aksi mereka mencapai kekerasan, biasanya didahului oleh proses somasi yang “damai”. Dalam keseharian kelompok pemuda Islam At-Taqwa, nilai-nilai kebersamaan dan musyawarah merupakan dasar hubungan sosial antar anggotaanggotanya. Salah satunya tampak pada kebiasaan berkumpul dalam suatu majelis
32
ta’lim yang diadakan setiap minggu, yang bertujuan untuk membahas masalahmasalah umat Islam, serta menambah pengetahuan mengenai Islam yang mencakup tajwid, aqidah, dan tauhid. Selain itu, kepekaan sosial kelompok pemuda Islam At-Taqwa terhadap lingkungan sekitar juga sangat tinggi, tidak jarang mereka “turun tangan”dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan kenakalan remaja, perjudian, dan tindakan penyimpangan sosial lainnya. Tidak jarang masyarakat yang “menyimpang” pada akhirnya bergabung dengan kelompok pemuda Islam AtTaqwa untuk mendalami agama Islam. Tindakan kolektif tampak pula ketika kelompok mereka harus berhadapan dengan sekelompok orang yang secara terang-terangan menentang keberadaan mereka dalam menegakkan aturan-aturan Islam di masyarakat. Ekspresi-ekspresi kolektif akan muncul secara spontan untuk tetap menjaga nilai-nilai agama Islam di Pekalongan, terutama di sekitar desa mereka. Ekspresi-ekspresi kolektif tersebut meliputi pemberian somasi kepada pihak terkait, protes secara lisan, dan permohonan dukungan kepada pihak kepolisian untuk menangani masalahmasalah tersebut. Tidak jarang upaya-upaya tersebut mendapat dukungan dari FPI di wilayah Pekalongan.
4.2.1.2 Kelompok Pengelola Cafe X Cafe X berlokasi di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Cafe ini didirikan pada awal tahun 2008 dengan jumlah karyawan kurang lebih 20 orang. Karyawan-karyawan tersebut bertempat tinggal menyebar di wilayah Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Seperti cafe pada umumnya, Cafe X memiliki fasilitas hiburan dan restoran yang cukup banyak dikunjungi tamu dari berbagai usia. Cafe ini dimiliki oleh seorang pengusaha bernama DSR. Sebagian besar karyawan cafe ini adalah wanita. Dalam mempertahankan eksistensi cafenya, pemilik cafe juga mempekerjakan pemuda-pemuda yang bertempat tinggal di sekitar cafe sebagai petugas keamanan. Menurut hasil penelitian dan keterangan informan, cafe ini juga menjual beberapa jenis minuman beralkohol, namun penjualannya tersembunyi. Menurut keterangan masyarakat sekitar, cafe ini cukup meresahkan
karena
keberadaannya
sangat
tertutup.
Namun
sebenarnya,
33
keberadaan Cafe X ini legal dan telah sesuai dengan Perda Kabupaten Pekalongan.
4.2.2
Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Dua Aktor Utama Konflik Dalam analisis konflik, ingin dipahami apakah ada perbedaan “versi”
mengenai berbagai unsur dalam konflik yang meliputi isu dan kronologi konflik diantara dua pihak yang berkonflik. Perbedaan pemahaman mengenai konflik dapat dianalisis dari tanggapan-tanggapan dan penjabaran kedua aktor utama mengenai konflik. 4.2.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa Konflik antar Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X sudah terjadi sejak awal pendirian Cafe X tersebut di wilayah Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, namun diawali dalam wujud konflik laten. Pada dasarnya, aksi brutal yang terjadi pada tanggal 25 April 2009 yang dilakukan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa terhadap pengelola Cafe X merupakan akumulasi dari konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan Pemerintah Daerah serta aparat kepolisian yang dianggap membiarkan masuknya minuman keras dan tempat-tempat hiburan malam ke wilayah Pekalongan. Keinginan kelompok ini adalah membebaskan seluruh wilayah Pekalongan termasuk wilayah Kabupaten Pekalongan dari minuman keras. Namun, Perda Kabupaten Pekalongan mengesahkan penjualan minuman dengan kadar alkohol tertentu untuk diperjual belikan di wilayah Kabupaten Pekalongan (Lampiran 4). Perda ini ternyata tidak sejalan dengan visi dan misi kelompok ini untuk memberantas “kemunkaran” dan “kemaksiatan” dalam tujuannya mewujudkan Pekalongan sebagai kota santri termasuk dalam hal ini mencegah peredaran minuman keras dan keberadaan tempat-tempat hiburan malam. Sebelum terjadi konflik dengan pengelola Cafe X, kelompok Pemuda Islam ini sudah memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dengan aparat kepolisian. Mereka menilai bahwa gerak aparat kepolisian cenderung tidak tegas dan kurang netral dalam menyikapi masalah minuman keras dan “tempat-tempat asusila” di wilayah Pekalongan.
34
Sebelum konflik berujung pada tindakan penyerangan dan kekerasan yang ditujukan pada Cafe X, konflik telah ada dalam wujud konflik laten yang dimulai sejak masyarakat di sekitar Cafe X ini merasa resah dengan keberadaan Cafe X dan melaporkannya pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, karena mereka adalah kelompok Islam yang cukup dikenal masyarakat di Kecamatan Tirto. Akhirnya, kelompok pemuda Islam At-Taqwa berusaha memberikan somasi dan peneguran-peneguran secara “halus” serta permohonan untuk bertemu dengan pemilik Cafe X untuk mendiskusikan perihal keberadaan Cafe X di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Tirto. Namun, upaya-upaya ini tidak berhasil karena mereka mendapat perlawanan/intimidasi dari pihak-pihak yang melindungi Cafe X, yang diduga adalah sekelompok preman yang berasal dari Kota Pekalongan, dan menurut keterangan salah satu informan, cafe ini juga mendapat perlindungan dari aparat kepolisian di tingkat Polwil. Hal ini diungkapkan Bapak TOK (37,wiraswasta) sebagai berikut : “Kami tidak “ujuk-ujuk” (tiba-tiba) menyerang, sebelumnya sudah berupaya menegur dan mengajukan permohonan untuk bertemu pemilik dan berdiskusi, tetapi kelompok kami malah diintimidasi oleh preman-preman landungsari yang membacking Cafe X tersebut dan menurut isu yang luas, Cafe X itu juga dilindungi aparat kepolisian dari tingkat Polwil”(TOK, 37 tahun).
Akhirnya, sebagai bentuk “hilang kesabaran” karena merasa ditantang dan diremehkan, mereka melakukan peyerangan secara keras terhadap Cafe X pada malam hari dengan melibatkan 20 orang. Mereka memakai pakaian serba hitam dan cadar. Aksi penyerangan yang mereka sebut “sweeping” ini disertai aksi pemukulan terhadap sejumlah pengelola cafe dan pengunjung karena merasa geram. Mereka juga merusak properti milik cafe, sehingga pada saat itu keadaan cafe benar-benar hancur. Beberapa menit setelah aksi penyerangan, aparat kepolisian langsung datang ke TKP dan meringkus pelaku penyerangan. Dari 20 orang pelaku, hanya 3 orang yang berhasil diringkus dan sisanya masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mereka dijerat pasal 170 KUHP. Pelaku juga mendapat tuduhan pencurian karena dari pihak pengelola cafe melaporkan bahwa setelah penyerangan banyak barang milik karyawan dan pengunjung yang hilang. Namun,
35
menurut informan dari pihak kelompok ini, keterangan tersebut hanya bentuk “akal-akalan” dari pihak Cafe agar pelaku dikenai sangsi yang lebih berat. Hal ini dikemukakan oleh Bapak TOK sebagai berikut : “Mereka mengaku banyak barang yang hilang, tapi kami tahu itu hanya akalakalan saja, sudah biasa setelah aksi sweeping pasti dari pihak yang bersangkutan membuat laporan palsu ada barang yang hilang, dan sebagainya. Mereka juga bilangnya dipukuli pakai kayu, tapi padahal kayu-kayu itu sudah ada di cafenya, tinggal ambil saja”. (TOK,37)
Menurut informan dari pihak kepolisian, aksi mereka tidak perlu dilakukan karena Perda miras di Kabupaten Pekalongan mengesahkan penjualan miras dengan kadar alkohol tertentu. Di sisi lain, kelompok pemuda Islam At-Taqwa menganggap bahwa minuman keras dengan kadar berapapun tetap tidak diperbolehkan beredar di Kabupaten Pekalongan. Kasus ini hanya salah satu gambaran konflik kepentingan antara sekelompok orang yang bermisi mewujudkan masyarakat yang taat pada agama Islam dengan aparat kepolisian yang bermisi melindungi kebebasan dan ketenangan di masyarakat. Namun, cara mereka tidak sejalan sehingga seringkali terjadi perbedaan pandangan yang akhirnya mengakibatkan rasa saling tidak percaya. Hal ini merupakan salah satu wujud konflik laten antara Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan aparat kepolisian. Hal ini diungkapkan salah seorang informan dalam Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa sebagai berikut : “saya sudah pernah beberapa kali masuk penjara karena aksi-aksi semacam ini, pada waktu di penjara,polisi itu bertindak berlebihan terhadap saya,karena saya dianggap berbahaya, ketakutan mereka itu terlalu berlebihan terhadap orang-orang seperti kami. Masa saya mau solat aja harus dikawal 4 orang polisi, itu juga katanya masih terlalu longgar pengamanannya, sepertinya saya ini penjahat saja” (DW,30 tahun).
Kelompok pemuda Islam At-Taqwa menganggap bahwa aparat kepolisian hanya sebatas menegakkan hukum dengan “buta”, yang artinya mereka tidak mengetahui secara persis keadaan yang sebenarnya di masyarakat. Kelompok pemuda Islam At-Taqwa merasa lebih berhak dan tepat melakukan aksi mereka daripada upaya penegakkan aparat kepolisian yang tidak netral. Kasus penyerangan yang dilakukan pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X
36
yang terjadi pada 25 April 2009 sampai saat ini masih diperkarakan di Pengadilan Negeri Pekalongan, sedangkan Cafe X yang diduga menjual minuman keras, hingga kini masih dibebaskan melanjutkan usahanya.
Tuntutan untuk segera
menutup Cafe X tersebut tetap diajukan oleh anggota kelompok pemuda AtTaqwa yang lain. Dari hasil wawancara mendalam peneliti dengan beberapa informan dan responden dari pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa, maka secara analitis, pemahaman konflik berdasarkan urutan kejadiannya menurut Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dapat digambarkan dalam kronologi konflik pada Gambar 3.
Januari 2008
Pertengahan 2008
September 2008
OktoberNovember 2008
Awal berdirinya Cafe X yang belum cukup mendapat perhatian masyarakat.
Cafe X mulai memancing perhatian masyarakat sekitar karena kondisinya yang cukup “tertutup”. Masyarakat sekitar mulai meminta tolong pada para remaja untuk melakukan penggeledahan terhadap Cafe X.
Informasi mengenai keberadaan Cafe X mulai sampai ke telinga Kelompok Pemuda Islam AtTaqwa, dan kelompok ini mulai berupaya untuk melayangkan somasi dan permohonan untuk bertemu dengan pemilik Cafe X Kelompok Pemuda At-Taqwa mendapat intimidasi dari sekelompok preman yang membacking Cafe X.
37
Januari 2009
April 2009
Perwakilan kelompok Pemuda At-Taqwa mengajukan permohonan pada aparat kepolisian setempat untuk mendampingi penggeledahan Cafe X tetapi tidak mendapat respon
Kelompok Pemuda At-Taqwa melakukan penyerangan secara keras terhadap Cafe X dengan membawa anggota sebanyak 20 orang.
Gambar 3. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa. Menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa, sejak awal dibukanya Cafe X, yaitu pada Januari 2008,
telah muncul berbagai polemik dalam
masyarakat. Sebagian masyarakat menaruh curiga terhadap Cafe X.
Pada
pertengahan 2008, beberapa pemuda di sekitar Cafe X melaporkan perihal keberadaan Cafe X tersebut kepada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang berlokasi di Desa Kramatsari, kecamatan Tirto. Pada bulan September 2008, pihak Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa mulai berupaya untuk mengatasi kecurigaan masyarakat dengan cara mengajukan permohonan untuk bertemu dengan pihak pengelola dan pemilik Cafe X untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam Cafe X tersebut, namun somasi mereka tidak ditanggapi oleh pihak yang bersangkutan. Pada sekitar bulan Oktober dan November, pihak pemuda Islam At-Taqwa mengaku mendapat intimidasi dari sekelompok preman yang melindungi Cafe X. namun bentuk intimidasi yang telah dilakukan tidak diungkapkan oleh informan. Pada Januari 2009, Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa telah mengajukan permohonan kepada aparat kepolisian untuk mendampingi mereka dlam melakukan penggeledahan terhadap Cafe X untuk membuktikan kecurigaan masyarakat, namun permohonan mereka tidak dihiraukan. Akhirnya, sebagai bentuk “kegeraman” mereka karena terus-menerus tidak ditanggapi oleh pihak Cafe X dan aparat kepolisian, pada bulan April 2009 lalu mereka melakukan aksi “sweeping” terhadap Cafe X. Sejak terjadinya “aksi brutal” yang dilakukan oleh pemuda Islam AtTaqwa terhadap Cafe X, masalah miras dan tempat-tempat hiburan di Pekalongan
38
masih sering dipermasalahkan karena dianggap merusak umat. Hal ini berarti harus ada peninjauan ulang terhadap Perda Kabupaten Pekalongan yang dianggap tidak wajar dan tidak berusaha membentuk masyarakat yang baik. Namun, kelompok pemuda Islam At-Taqwa tidak dapat dengan mudah merealisasikan visi dan misi mereka. Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok dengan kedua belah pihak yang berkonflik, yaitu Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dan Pengelola Cafe X, mengungkapkan bahwa terdapat masalah inti yang berbeda yang menimbulkan konflik diantara keduanya yang berujung pada tindak kekerasan. Masalah inti dari konflik yang terjadi menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah penyimpangan nilai-nilai agama Islam yang diperlihatkan oleh aktivitas Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Akar dari masalah tersebut adalah Peraturan Daerah yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakat di Kabupaten Pekalongan yang dikenal sebagai masyarakat Kota Santri. Akar masalah yang lain adalah tindakan aparat keamanan yang dinilai tidak amanat, yaitu cenderung mendukung keberadaan tempat-tempat hiburan yang menyalahi aturan-aturan Islam, bahkan cenderung melindunginya. Hal ini menunjukkan indikasi adanya konflik laten antara kelompok pemuda Islam AtTaqwa dengan aparat keamanan. Dari konflik yang terjadi, muncul efek positif dan negatif yang dirasakan oleh pihak Kelompok pemuda Islam At-Taqwa. Efek positif yang muncul diantaranya adalah keeratan kelompok dan kewaspadaan kelompok. Efek negatif yang dirasakan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah kebencian terhadap aparat keamanan, dendam dan kecurigaan, serta ketidakadilan hukum yang diperoleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa akibat konflik.
Berbagai aspek yang berhubungan dengan terjadinya konflik yang
meliputi masalah inti, sebab-sebab awal, dan efek-efek yang muncul akibat konflik menurut pandangan kelompok pemuda Islam At-Taqwa dapat digambarkan dalam bentuk pohon konflik sebagai berikut (Gambar 4).
39
Kewaspadaan kelompok (+) Dendam dan kecurigaan (-) EFEK Kebencian (-)
MASALAH INTI
AKAR
Ketidakadilan hukum (-) Keeratan kelompok (+)
Penyimpangan nilai-nilai agama Islam
Peraturan Daerah yang tidak sesuai
Aparat keamanan yang tidak amanat
Gambar 4. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa. 4.2.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Pengelola Cafe X Menurut pihak pengelola Cafe X, pada Sabtu malam, tepatnya tanggal 25 April 2009 pukul 21.30 malam, terjadi aksi penyerangan brutal terhadap Cafe X yang dilakukan oleh puluhan orang dengan pakaian “ninja”. Aksi mereka dikatakan brutal karena mereka tidak hanya melukai beberapa pengelola cafe dan pengunjung, tetapi juga merusak properti cafe. Sekelompok penyerang tersebut datang secara bergerombol dengan mobil dan beberapa diantaranya menggunakan motor. Setelah tiba di pintu gerbang Cafe X, sebagian dari mereka menjaga di luar dan sebagian yang lain masuk ke dalam cafe. Setelah menemukan salah seorang karyawan di pintu masuk, satu orang dari gerombolan penyerang tersebut langsung memukul karyawan itu tepat di bagian kepala, kemudian disusul oleh aksi pemukulan yang dilakukan anggota gerombolan yang lain terhadap pengunjung dan karyawan lain. Sejumlah pengunjung dan karyawan tidak luput dari amukan, dan sebagian besar korban mengalami luka memar di bagian tubuh.
40
Gerombolan penyerang tersebut memukul korban-korbannya dengan kayu yang mereka bawa, dan merusak properti cafe dengan alat yang sama. Beberapa menit setelah aksi brutal tersebut, seluruh karyawan dan pengunjung cafe digiring ke halaman parkir dan dipaksa untuk berjongkok. Beberapa orang dari gerombolan tersebut masih ada yang memukul karyawan dan pengunjung. Gerombolan penyerang tersebut menyerukan kalimat “apakah kalian mengerti tentang Islam?” dengan lantang. Para karyawan dan pengunjung yang tidak mengetahui akar masalah yang menyebabkan cafe itu diserang hanya terdiam. Beberapa menit setelah itu, aparat keamanan yang meliputi Polwil Pekalongan dan Polresta Pekalongan tiba di Cafe X yang menjadi TKP kasus penyerangan tersebut. Pasca kejadian malam itu, suasana tampak mencekam, mobil patroli dan sejumlah polisi tampak melakukan penyelidikan karena gerombolan orang bertopeng ala ninja tersebut setelah melakukan aksinya, berhasil kabur dengan kendaraan mereka masing-masing. Aksi brutal ini sangat mendadak dan tidak diduga karena sebelumnya pihak pengelola cafe tidak mendapat teguran/kecaman/ancaman apapun dari pihak luar. Namun, pihak pengelola Cafe X menduga bahwa aksi ini adalah “aksi politik bisnis” dari pihak-pihak yang merasa tersaing karena keberadaan Cafe X. Menurut mereka, aksi segerombolan penyerang tersebut sudah terorganisir karena terlihat pembagian tugas pada aksi penyerangan tersebut. Pada saat memasuki cafe, ada yang berjaga di pintu gerbang dan ada yang menyerang ke dalam room cafe, sehingga para pengunjung dan karyawan cafe terjebak dalam kepungan mereka. Kecurigaan pihak pengelola cafe mengenai motif penyerangan ini diungkapkan oleh salah seorang pengelola cafe berinisial DSR (55) :
“janggal saja kelihatannya kan, masak kebetulan sekali diserang pas penjaga cafe ini sedang tidak ada, mereka bisa tahu dari mana coba, pasti sudah dimata-matai. Pasti orang-orang itu suruhan dari orang yang ngerasa tersaingi sama bisnis cafe ini. Namanya politik kan bisa macem-macem triknya”(DSR,55 tahun).
Pihak pengelola cafe mengaku bahwa Cafe X menjual beberapa jenis minuman beralkohol dengan kadar di bawah 10 persen, dan kadar tersebut telah sesuai dengan Perda Kabupaten Pekalongan tentang minuman keras sehingga
41
penjualan minuman tersebut telah memperoleh perijinan yang lengkap dan bisnis Cafe X tersebut telah legal. Oleh karena itu, aksi brutal sekelompok orang yang tidak mereka kenal diduga sangat tidak wajar dan merupakan bentuk tindakan kriminal dari pihak-pihak yang merasa “tersaing”. Secara analitis, pemahaman konflik dalam hal kronologi konflik dari sudut pandang pengelola Cafe X digambarkan pada Gambar 5 dalam bentuk skema kronologi konflik sebagai berikut: Cafe X didatangi oleh segerombolan orang berpakaian “ala ninja” berjumlah sekitar 20 orang. mereka mengendarai mobil dan motor.
Sabtu, 25 April 2009 pukul 21.30 – 10.15 (Periode Kekerasan Konflik)
Setibanya di Cafe X, gerombolan orang tersebut menyerbu ke dalam Cafe X sekitar 10 orang sedangkan 10 orang lainnya berjaga di luar. Pemukulan terhadap pengunjung dan karyawan cafe dan perusakan sejumlah properti cafe Semua karyawan dan pengunjung digiring ke halaman parkir Polisi datang ke Cafe X, dan pada saat itu juga gerombolan penyerang melarikan diri
April 2009- Juli 2009
Perasaan curiga mengenai motif kekerasan bahwa kekerasan dilakukan atas dasar motif persaingan bisnis Konflik laten antara pengelola cafe dengan kelompok pemuda Islam AtTaqwa,ditunjukkan pada setiap pertemuan di persidangan kasus.
Gambar 5. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Pihak Cafe X.
42
Berdasarkan pandangan pengelola Cafe X, tahap kekerasan terjadi tanpa diawali dengan konflik laten yang mereka rasakan. Namun setelah terjadi kekerasan, konflik laten muncul sebagai akibat dari kecurigaan terhadap isu/motif kekerasan. Menurut pengelola Cafe X, masalah inti dari konflik yang berujung pada tindak kekerasan adalah persaingan “klaim bisnis”. Menurut mereka, pihakpihak yang menekan, merusak dan melukai kelompok mereka adalah pihak-pihak yang merasa tidak suka dengan bisnis Cafe X karena merasa tersaing, sehingga mereka berupaya merusak dan menghancurkan Cafe X. Bisnis Cafe X yang cukup maju dan banyaknya pesaing bisnis diduga sebagai akar permasalahan yang mendorong terjadinya konflik antara kedua aktor. Menurut pengelola Cafe X, efek positif yang muncul akibat adanya konflik adalah kewaspadaan di dalam kelompok pengelola Cafe X serta keeratan dalam hubungan antar anggota. Efek negatif yang dirasakan mereka diantaranya adalah ketakutan, kekerasan, serta dendam dan kecurigaan. Penggambaran mengenai isu konflik menurut pihak pengelola Cafe X dapat dilihat dalam bentuk pohon konflik sebagai berikut (Gambar 6).
43
Keeratan kelompok (+) EFEK
Kekerasan (-) Ketakutan (-)
MASALAH INTI
Kewaspadaan (+)
Persaingan Bisnis
AKAR
Dendam dan kecurigaan (-)
Banyaknya pesaing bisnis
Berdirinya Cafe X Bisnis Cafe X yang maju
Gambar 6. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pengelola Cafe X. 4.2.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik Sejak awal berdirinya Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, kontroversi keberadaan Cafe X tersebut sudah menunjukkan gejala polemik kepentingan antar berbagai pihak. Gejala yang terjadi cukup kompleks dan melibatkan beberapa aktor, diantaranya masyarakat yang mendukung keberadaan Cafe X karena mendapat penghasilan atau dipekerjakan oleh pengelola Cafe X dan masyarakat yang tidak menghendaki keberadaan Cafe X dan berupaya untuk menutup Cafe X. Namun, polemik antar masyarakat ini tidak memicu konflik antar keduanya. Yang menjadi aktor utama yang menentang keberadaan Cafe X ini adalah Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang akhirnya mengetahui isu yang terjadi mengenai keberadaan Cafe X dari kelompok masyarakat yang menentang keberadaan Cafe X. Kondisi ini menggambarkan tahap prakonflik yakni tahap awal terjadinya konflik yang ditandai oleh ketidaksesuaian sasaran di
44
antara dua pihak atau lebih. Gejala ketegangan mampu diendapkan sehingga masing-masing pihak berusaha untuk menghindari kontak antara satu sama lain. Namun, kondisi ini tidak bertahan lama karena beberapa bulan kemudian mulai ada upaya-upaya pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menguak prakonflik ini menjadi konfrontasi dengan aksi-aksi yang lebih “tegas”. Pada tahap konfrontasi, konflik semakin terbuka dengan munculnya ketegangan-ketegangan yang menyebabkan terjadinya upaya-upaya salah satu pihak untuk menekan pihak lainnya. Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa memberikan somasi kepada pengelola dan pemilik Cafe X dan memanggil pemilik Cafe X dengan maksud melakukan negosiasi secara damai. Upaya ini dilakukan dengan damai tetapi menekan dengan tegas. Namun, upaya somasi dengan jalan damai ini dianggap tidak direspon dengan baik oleh pihak pengelola dan pemilik cafe. Upaya ini justru mendapat perlawanan berupa intimidasi dan penghalangan oleh sejumlah orang yang diduga sebagai preman yang bertugas melindungi Cafe X. Selain upaya tersebut, kelompok Pemuda Islam At-Taqwa juga berusaha mengajukan permohonan kepada aparat keamanan untuk bersamasama melakukan penggeledahan terhadap Cafe X, namun menurut pihak Kelompok At-Taqwa, upaya ini tidak mendapat tanggapan dari aparat kepolisian. Akhirnya, kondisi ini memicu emosi salah satu pihak untuk bertindak lebih dari upaya-upaya yang telah dilakukan sebelumnya, dengan tujuan untuk dapat melanjutkan aksinya menuju tahap yang lebih keras. Tahap konfrontasi kemudian meninggikan ketegangan dan emosi salah satu pihak yang akhirnya mendorong terjadinya tahap krisis yang merupakan puncak konflik, yaitu pada saat kekerasan dari salah satu pihak kepada pihak lawan terjadi paling hebat. Pada tahap ini, pihak yang lebih kuat, dalam kasus ini adalah kelompok pemuda Islam At-Taqwa melakukan kekerasan terhadap pihak lawan, yaitu pihak pengelola Cafe X yang berada di lokasi sasaran, yaitu Cafe X. Dalam kasus penyerangan ini, beberapa pihak pengelola Cafe X dan pengunjung terluka parah dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Hal ini dikemukakan oleh SNT (25), salah satu pengelola Cafe X yang ikut menjadi korban penyerangan. “Mereka tidak lihat-lihat itu laki-laki atau perempuan,main pukulin saja. Padahal waktu itu saya sempat berhadap-hadapan sama salah satu pelaku, dia tahu kan saya perempuan, tapi tidak peduli, main pukul aja, sampai
45 kepala saya berdarah,dan setelah polisi datang saya langsung masuk rumah sakit” (SNT,25 tahun).
Pada periode krisis ini, pihak yang “menang” adalah Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, karena dari pihak Cafe X tidak ada perlawanan. Pihak pengelola Cafe X mengaku pada saat itu sedang dalam keadaan tidak siaga, dan pihak-pihak yang melindungi cafe sedang dalam keadaan lengah. Kasus penyerangan ini menimbulkan ketakutan terhadap pihak Cafe X dan memancing aparat keamanan untuk turun tangan. Tahap krisis dalam suatu konflik selalu menimbulkan akibat-akibat tertentu. Dalam kasus ini, salah satu pihak telah menaklukan pihak lain. Namun, tidak semua pihak yang berhasil menaklukkan lawannya benar-benar “menang”. Pihak Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang merupakan pihak yang menang dan berhasil menaklukan pihak lawannya, yaitu pihak pengelola Cafe X, justru dianggap sebagai pihak yang bersalah karena tindakannya yang melanggar ketertiban umum dan telah melakukan perusakan. Akibatnya, meskipun tingkat ketegangan menurun atau bahkan hilang, namun Kelompok Pemuda Islam AtTaqwa harus menanggung sanksi moral dan hukum. Kedua pihak yang berkonflik tidak melakukan negosiasi atau mediasi karena salah satu pihak telah ditangani dengan jalur hukum, sehingga berhentinya konflik bukan karena kesepakatan kedua belah pihak, melainkan karena campur tangan aparat kepolisian secara hukum untuk menangani pihak yang dianggap bersalah. Akhirnya, situasi konflik diselesaikan dengan cara mengakhiri konfrontasi dan kekerasan, namun cara ini bukan keinginan kedua belah pihak, melainkan upaya aparat kepolisian untuk meredam emosi yang lebih tinggi dari kedua belah pihak dengan tindakan hukum. Meskipun ketegangan dan kekerasan tidak terjadi lagi, namun bukan tidak mungkin bahwa situasi prakonflik hingga krisis dapat terulang lagi karena penyelesaian kasus ini belum sampai pada penanganan akar konflik, yaitu masalah perbedaan pandangan mengenai aturan-aturan dalam masyarakat, khususnya masalah aturan dan nilai-nilai agama. Kondisi ini merupakan situasi pascakonflik yang dapat menjadi potensi konflik berikutnya. Hasil penggambaran mengenai perbedaan pemahaman terhadap konflik dari kedua aktor yang berkonflik menunujukkan perbedaan mengenai isu dan
46
kronologis konflik menurut sudut pandang kedua pihak. Pihak pengelola Cafe X beranggapan bahwa aksi kekerasan yang dilakukan segerombolan penyerang yang tidak dikenal adalah bermotif persaingan bisnis. Pihak pengelola Cafe X mengaku bahwa bisnis cafe tersebut cukup maju dan diduga akan memancing sejumlah aksi tekanan-tekanan dari pihak-pihak yang merasa tersaing. Kronologi konflik yang berhasil diungkap dari sudut pandang pengelola Cafe X menggambarkan kekerasan konflik, tanpa terlebih dahulu teridentifikasi proses yang mengawali aksi
kekerasan
tersebut.
Dengan
demikian,
pihak
pengelola
Cafe
X
menggambarkan skala kronologi yang sempit. Penggambaran kronologi konflik dalam skala yang lebih luas diungkapkan oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, dimana tahap kekerasan konflik dicapai setelah melalui tahap konflik laten. Tahap aksi kekerasan dilakukan sebagai wujud semakin meningkatnya ketegangan dan emosi akibat konflik laten yang terakumulasi. Berbeda dengan sudut pandang pengelola Cafe X, kelompok Pemuda Islam At-Taqwa mengungkapkan isu agama sebagai faktor pendorong terjadinya konflik terbuka antara mereka dan pihak pengelola Cafe X serta konflik laten antara mereka dengan aparat kepolisian.
4.3
Kaitan antara Isu Prinsip Agama dan Persaingan “Klaim Bisnis”dengan Kebrutalan Konflik Dari hasil analisis isu-isu konflik dengan menggunakan pohon konflik,
terdapat “perbedaan versi” mengenai isu konflik menurut dua aktor utama konflik. Isu konflik menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah prinsip agama. Isu ini adalah isu non realistik, karena tujuan yang ingin dicapai tidak berbentuk secara fisik/materi. Sedangkan berdasarkan sudut pandang pihak pengelola Cafe X, konflik yang kemudian berujung pada kekerasan yang mereka rasakan memiliki isu persaingan “klaim bisnis”, yang
merupakan isu realistik. Jika
dianalisis dengan menggunakan teori penyebab konflik menurut Fisher, et.al. (2000), teori negosiasi prinsip sangat berperan dalam menggambarkan isu-isu yang melatarbelakangi terjadinya konflik berdasarkan sudut pandang kedua belah pihak. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik disebabkan oleh posisiposisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak
47
pihak yang mengalami konflik. Perbedaan sudut pandang mengenai isu konflik dikarenakan posisi dan peran mereka yang berbeda dalam masyarakat. Kedua aktor konflik merasa memiliki hak untuk melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan tujuan mereka. Hal ini kemudian menjadi pendorong terjadinya kesalahpahaman tentang konflik di antara mereka. Pihak pengelola Cafe X yang merupakan kelompok “pekerja”, berupaya untuk meningkatkan eksistensinya dalam bisnis cafe yang mereka miliki sehingga menimbulkan anggapan-anggapan bahwa ada potensi ancaman dari pesaing-pesaing bisnis yang berusaha menurunkan eksistensi mereka. Di sisi lain, kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang merupakan kelompok identitas memiliki tujuan, visi dan misi yang berbeda dari pihak pengelola Cafe X berupaya mewujudkan tujuan mereka untuk menegakkan aturan-aturan Islam dalam masyarakat, salah satunya adalah dengan menutup Cafe X yang dianggap menyalahi aturan-aturan Islam. Sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan aturan-aturan Islam. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan aksi kekerasan agar nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan aturan Islam dapat terwujud di dalam masyarakat. Kelompok pemuda Islam Attaqwa beranggapan bahwa kekerasan adalah bentuk ketegasan yang wajib dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang patuh terhadap agama Islam. Sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa ditanggapi berbeda oleh pihak pengelola Cafe X yang beranggapan bahwa aksi kekerasan tersebut adalah upaya menurunkan eksistensi bisnis mereka karena merasa tersaingi. Secara rinci, dapat disimpulkan bahwa isu yang melatarbelakangi konflik yang terjadi antara pihak pengelola Cafe X dengan kelompok pemuda Islam AtTaqwa lebih dominan mengarah konflik non realisik yang memiliki sasaran bersifat non materi berupa nilai-nilai pokok, karena perilaku konflik lebih ditunjukkan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa. Oleh karena itu, sifat konflik ini tidak mudah mencapai kompromi untuk meraih sasaran-sasaran yang diinginkan sehingga konflik berujung pada kekerasan. Kekerasan menurut pihak pengelola Cafe X adalah tindakan yang telah menyebabkan kerusakan dan “luka
48
fisik” pada diri seseorang sebagaimana tindakan sekelompok orang (kelompok pemuda Islam At-taqwa) yang ditujukan terhadap mereka, sedangkan kekerasan menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan dan ketakutan sehingga objek yang dituju merasa jera.
4.4
Kaitan antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok Dalam kasus ini, teori dan preposisi Coser mengenai konflik dapat dilihat
secara jelas. Coser berpendapat bahwa konflik eksternal berfungsi untuk memperkuat kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok meliputi : (1) jelasnya batas kelompok, (2) sentralisasi struktur pengambilan keputusan, (3) solidaritas anggota, (4) penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma.
Kohesivitas kelompok
semakin kuat karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar semakin besar. Kekerasan konflik dan kohesivitas kelompok yang terjadi dalam kasus konflik antara Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X dapat dijelaskan berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok : 1.
Jelasnya Batas Kelompok Dalam hal batas kelompok, kekerasan konflik tidak banyak memberi
pengaruh dalam membentuk batasan-batasan kelompok, karena sejak semula pihak yang berkonflik adalah kelompok identitas dengan non identitas, sehingga sebelum terjadi konflik sudah terlihat batasan yang jelas antara kedua kelompok. Kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas, karena menonjolkan ciri khas serta visi dan misi tertentu. Sebelum terjadinya konflik, batasan yang jelas telah terlihat dari perbedaan cara, gaya hidup, lingkungan, dan pergaulan dari masing-masing kelompok. 2.
Sentralisasi Stuktur Pengambilan Keputusan Ancaman dari luar kelompok dapat merangsang sentralisasi kekuasaan
dalam suatu kelompok, namun hal ini juga tergantung pada sifat dari ancaman tersebut dan struktur di dalam kelompok itu sendiri. Dalam kasus ini, konflik telah mencapai tahap serangan/ ancaman, sehingga masing-masing kelompok memerlukan tindakan yang benar-benar terkoordinasi dan menentukan dalam kelompok. Pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, konflik telah menaikkan
49
tingkat emosi dan ketegangan dalam kelompok mereka pada saat mereka merasa diacuhkan dan diremehkan. Pada tahap ini, konflik semakin berpotensi mendekati kekerasan, karena dianggap telah ada upaya-upaya untuk menentang kelompok mereka. Pada saat ketegangan semakin tinggi, upaya untuk menekan secara keras pihak kedua yang dianggap sebagai pihak yang menentang mereka juga semakin tinggi. Pada tahap ini, mereka semakin memerlukan tindakan dan keputusan yang cepat serta terkoordinasi. Akibatnya, keputusan dalam kelompok semakin ditentukan oleh pihak yang dominan dalam kelompok mereka, yaitu pimpinan kelompok atau orang lain yang dianggap mampu mengendalikan kelompok. Proses menuju tindakan penyerangan terhadap pihak Cafe X dikendalikan oleh satu orang yang berpengaruh dalam kelompok, yaitu pimpinan kelompok. Akhirnya, pengambilan keputusan oleh orang berpengaruh dalam kelompok menghasilkan aksi yang terkoordinasi. Sistem pengambilan keputusan kelompok pada saat konflik menuju kekerasan dikemukakan oleh salah satu informan dari Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, yaitu bapak DNW (30) sebagai berikut:
“kami melakukan tindakan semacam ini hanya manut saja, sesuai kata teman yang memang sudah biasa bicara di dalam kelompok dan sering memimpin Majelis Ta’lim. Jadi saya tinggal membonceng saja, karena semuanya sudah siap”. (DNW,30 tahun).
Pada saat kondisi stabil atau belum mendekati kekerasan, musyawarah kelompok lebih diutamakan sehingga keputusan anggota-anggota kelompok lebih dipentingkan daripada sentralisasi pengambilan keputusan oleh salah satu orang. Sedangkan pada kondisi yang tidak stabil atau mencapai ketegangan, keputusan dari pimpinan kelompok atau orang yang berpengaruh dalam kelompok lebih diutamakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Dalam kasus ini, tindakan untuk memerangi kemunkaran (penyimpangan) di dalam masyarakat harus dilakukan oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, maka keputusan dari pimpinan kelompok/ orang yang berpengaruh dalam kelompok tidak dapat ditolak oleh para anggotanya. Sanksi bagi anggota kelompok yang bersikap netral atau menolak keputusan kelompok adalah sanksi moral. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bapak TOK (37) :
50 “Siapa yang menentang atau menolak untuk memerangi kemaksiatan, maka mereka adalah orang yang bermaksiyat juga, jadi tidak ada yang berani menolak untuk memerangi kemunkaran, mereka wajib taat sama keputusan yang tujuannya untuk mewujudkan kebaikan umat.” (TOK,37 tahun).
Pada pihak pengelola Cafe X, kekerasan konfllik tidak berkaitan terhadap struktur pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan mereka adalah kelompok kerja yang didalamnya telah terdapat susunan kerja secara hierarki, sehingga dalam kondisi apapun, pimpinan/pemilik cafe selalu menjadi orang yang bertindak untuk mengandalikan anggota dan menegakkan aturan-aturan dalam hierarki kerjanya. Sebelum dan setelah terjadi kekerasan konflik, struktur pengambilan keputusan kelompok menunjukkan kondisi yang sama, yaitu pemegang keputusan dan kekuasaan tertinggi adalah pimpinan/pemilik. 3.
Solidaritas Anggota Kelompok Berdasarkan preposisi Coser tentang fungsi konflik bagi kohesivitas
kelompok, ancaman dari luar dapat merangsang kekompakan dan solidaritas dalam kelompok. Artinya, kekuatan solidaritas dan integrasi di dalam suatu kelompok
semakin tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan
kelompok luar semakin besar. Dalam kasus konflik antara kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pihak pengelola Cafe X, kekerasan konflik menunjukkan fungsi yang sama terhadap solidaritas anggota masing-masing kelompok. Efek kekerasan konflik sama-sama dirasakan oleh kedua pihak. Setelah terjadi kekerasan yang dilakukan kelompok Pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X, tindakan hukum segera berlaku bagi kelompok yang melakukan kekerasan. Tindakan hukum ini mengarah pada ancaman hukuman pidana bagi anggota-anggota kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan tersebut. Akibat aksi brutal yang mereka lakukan pada 25 April 2009
lalu, tiga anggota kelompok Pemuda Islam At-Taqwa
ditangkap aparat kepolisian dan terancam dijatuhi hukuman penjara karena pelanggaran pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan terhadap barang/orang secara bersama-sama dan terang-terangan. Sedangkan anggota kelompok lain yang terlibat masih dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) di kepolisian. Hal ini mendorong solidaritas anggota-anggota kelompok. Upaya pembelaan dan pembebasan tiga anggota kelompok yang telah menjadi “tersangka” tindak
51
kriminal terus dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Kepedulian anggota kelompok sangat diperlihatkan, salah satunya dari upaya untuk membebaskan “rekan” mereka dari hukuman. Selama dalam masa tahanan, intensitas kunjungan anggota kelompok Pemuda Islam At-Taqwa terhadap tiga anggota kelompok mereka yang “ditahan” cukup sering dan intens. Selain itu, perlindungan terhadap anggota-anggota kelompok lain yang masih dalam DPO kepolisian juga ditunjukkan oleh kelompok. Dalam hal ini, solidaritas diartikan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa sebagai kesetiakawanan kelompok. Salah satu responden dari kelompok pemuda Islam At-Taqwa menyatakan arti solidaritas sebagai berikut :
“kalo anggota-anggota kelompok saling membantu, melindungi, pokoknya setia kawan satu sama lain ya berarti kelompok itu sudah punya solidaritas yang tinggi” ( DNW, 30 tahun).
Bagi pihak pengelola Cafe X, kekerasan konflik yang terjadi juga menunjukkan dampak yang positif bagi kelompok. Upaya-upaya untuk melindungi karyawan-karyawan wanita lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum terjadinya kekerasan konflik. Apapun persepsi mereka terhadap ancaman dan tekanan dari “kelompok penyerang”, ancaman dan tekanan dari luar itu meningkatkan dan mempertahankan solidaritas internal mereka. Hal ini juga ditunjukkan oleh “perlakuan” pimpinan/pemilik Cafe X terhadap karyawankaryawannya. Pimpinan/pemilik Cafe X dinilai lebih meningkatkan kontrol dan perlindungannya terhadap para karyawan. Hal ini dikemukakan oleh SNT (25) sebagai berikut:
“ Mami jadi lebih sering datang ke cafe, padahal tadinya jarang karena beliau sibuk sekali, sejak kejadian itu jadi sering datang. Keamanan juga ditambah buat ngelindungi cafe dan karyawannya juga, terutama yang perempuan”(SNT, 25 tahun).
Masyarakat sekitar, terutama yang bertempat tinggal berdekatan dengan Cafe X juga melihat peningkatan solidaritas dan kewaspadaan di dalam kelompok pengelola Cafe X. Solidaritas diartikan oleh kelompok pengelola Cafe X sebagai tindakan yang saling melindungi di dalam kelompok, serta kepatuhan bersama
52
terhadap peraturan kelompok. Hal ini dikemukakan oleh Ibu UMI, (48) sebagai berikut:
“ gara-gara cafenya diserang mungkin Ibu DS jadi lebih hati-hati betul, sekarang kayawan-karyawan perempuannya ndak boleh keluar selama masih dalam jam kerja, mereka harus di dalam cafe saja, kalau mau makan biasanya dipesanin, lalu makanannya diantar ke dalem,pokoknya dijaga sekali” (UMI,48 tahun).
4.
Penekanan Terhadap Pembangkang dan yang Menyimpang, serta Menguatkan Konformitas Terhadap Nilai dan Norma Kohesivitas
kelompok
diantaranya
adalah
penekanan
terhadap
pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma kelompok. Pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas yang memiliki tujuan serta visi dan misi khusus yang selalu berusaha mereka wujudkan di dalam kelompoknya serta di dalam masyarakat, sebagai contoh adalah visi mereka dalam memberantas kemunkaran dan kemaksiatan di dalam masyarakat. Pada saat konflik menuju ketegangan yang tinggi bagi kelompok, yaitu pada saat mereka merasa diremehkan atau ditentang, keputusan untuk melakukan tindakan yang lebih “anarkis” sebagai wujud peringatan keras datang dari seseorang yang berpengaruh di dalam kelompok atau pimpinan kelompok. Pada tahap itu, para anggota kelompok semakin “menurut” atau patuh pada perintah pimpinannya dan untuk melakukan tindakan yang diperintahkan. Sebagai wujud kepatuhan terhadap aturan, norma dan nilai-nilai kelompok, tidak ada anggota yang bersikap netral terhadap pihak lawan, atau tidak berpartisipasi dalam “memerangi” pihak lawan. Hukuman terhadap penyimpangan nilai-nilai kelompok tidak diberikan secara keras, melainkan dengan ucapan-ucapan lisan dan hukuman moral yang akan menyadarkan mereka pada kewajiban mereka sebagai anggota kelompok. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden dari pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa sebagai berikut : “pokoknya kalau kita sudah menghadapi masalah-masalah pelanggaran nilai-nilai Islam,kita langsung bertindak,kalo perlu aksi kekerasan ya kita lakukan, ndak ada yang menolak atau cuek-cuek saja, soalnya masalah nilai moral itu bukan main-main, kalau ada yang ndak mau bertindak ya berarti ndak merasa bagian dari kelompok ini, berarti ndak mau membela Islam” (DNW,30 tahun).
53
4.5
Ikhtisar Konflik yang terjadi antara kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan
pengelola Cafe X merupakan konflik non realistik yang dilatarbelakangi oleh isu yang berbeda menurut pandangan kedua belah pihak yang berkonflik. Dua aktor utama yang berkonflik adalah dua kelompok yang berbeda “tipe”. Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas yang memiliki visi dan misi serta tujuan tertentu yang pada intinya untuk mewujudkan masyarakat yang “agamis”, sedangkan kelompok pengelola Cafe X adalah kelompok yang merupakan “bagian” dari masyarakat.
Karena perbedaan latar belakang
kelompok, maka di antara keduanya terdapat perbedaan penafsiran mengenai konflik yang terjadi. Isu mengenai penyebab konflik yang dikemukakan oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa adalah pelanggaran nilai-nilai agama Islam, sedangkan isu penyebab konflik yang dikemukakan kelompok pengelola Cafe X adalah isu persaingan “klaim bisnis”. Konflik mencapai tahap kekerasan pada waktu salah satu pihak, yaitu kelompok Pemuda Islam At-Taqwa merasa bahwa kelompoknya diacuhkan. Maka sebagai wujud “protes” terhadap ketidakpedulian tersebut, kelompok ini kemudian menunjukkan “identitas”nya dengan melakukan aksi kekerasan. Pada dasarnya, konflik antar dua kelompok yang berbeda ini juga diwarnai oleh konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan pihak kepolisian yang menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa tidak berusaha menertibkan masyarakat secara benar, bahkan diduga mereka cenderung memihak pada pengelola Cafe X.
Pada kasus ini, terbukti bahwa kekerasan konflik
berfungsi positif pada keeratan hubungan (kohesivitas kelompok) pada masingmasing kelompok. Kohesivitas kelompok ditunjukkan dengan kepatuhankepatuhan para anggota kelompok terhadap aturan-aturan/ nilai-nilai pada kelompoknya masing-masing, kekompakan dalam berperilaku yang merupakan bentuk kewaspadaan kelompok, serta adanya dominasi/sentralisasi struktur pengambilan keputusan pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa. Sentralisasi struktur pengambilan keputusan ini memperlihatkan kepatuhan anggota kelompok pada keputusan pimpinan/orang yang berpengaruh di dalam kelompok.
54
BAB V KASUS KONFLIK ANTARA DESA DEPOK DAN DESA BLACANAN, KECAMATAN SIWALAN, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 2) 5.1
Gambaran Umum Konflik Konflik yang melibatkan dua kelompok pemuda dari dua desa ini pecah
menjadi aksi kekerasan/kebrutalan konflik pada bulan Oktober 2007. Sebelum mencapai kekerasan, konflik ini terlebih dahulu “mengendap” dalam bentuk konflik laten dalam jangka waktu yang tidak dapat diperkirakan. Konflik ini mengarah pada isu non realistik berupa “harga diri”, meskipun semua aktor konflik memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai isu konflik. Konflik yang telah mencapai aksi kekerasan/kebrutalan ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari salah satu pihak serta kerusakan fasilitas. Kekerasan yang terjadi juga menyebabkan semakin renggangnya hubungan sosial antar masyarakat kedua desa. Dua aktor utama konflik, yaitu kelompok pemuda Desa Blacanan dan kelompok pemuda Desa Depok memiliki karakteristik yang “mirip” satu sama lain. Kemiripan karakteristik tersebut dapat dilihat pada mata pencaharian mereka yang sebagian besar adalah perantau di kota besar. Konflik berupa pertikaianpertikaian kecil antar individu sering terjadi diantara mereka pada saat mereka kembali dari kota. Konflik ini akhirnya pecah menjadi konflik antar kelompok yang melibatkan puluhan pemuda Desa Blacanan dan pemuda Desa Depok. Dalam peristiwa ini, pemuda Desa Blacanan berstatus sebagai pelaku kekerasan (tersangka), sedangkan warga Desa Depok berstatus sebagai korban.
5.2
Gambaran Lokasi Konflik Konflik yang terjadi di antara kelompok pemuda Desa Depok dengan
kelompok pemuda Desa Blacanan mencuat pada tahun 2007, kemudian terjadi tahap kekerasan konflik pada tanggal 20 Oktober 2007 di Desa Depok, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan. Secara Geografis, Desa Blacanan dan Desa Depok berbatasan satu sama lain. Untuk menuju ke arah Kota
55
Pekalongan, kedua desa melewati rute yang sama, oleh karena itu interaksi sangat sering terjadi di antara kedua desa. Desa Depok merupakan desa bertipe desa pesisir yang memiliki wisata laut bahari bernama Pantai Wisata Depok. Objek wisata ini banyak dikunjungi oleh warga di Kecamatan Siwalan, termasuk warga Desa Blacanan. Pantai Wisata Depok sering menjadi tempat berkumpul pemuda-pemuda di Kecamatan siwalan untuk mengadakan pesta dan pentas seni yang sering dilakukan setiap tahun menjelang perayaan hari kemerdekaan dan menjelang bulan Ramadhan. Setiap tahun, tercatat peristiwa pertikaian antar pemuda di Pantai Wisata Depok akibat ketidaktertiban dari perayaan-perayaan yang sering mereka adakan. Secara geografis, posisi Desa Blacanan dan Desa Depok di Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan dapat dilihat denah lokasi Kecamatan Siwalan sebagai berikut (Gambar 7).
Gambar 7. Denah Lokasi Kecamatan Siwalan.
Dalam denah di atas, dapat dilihat bahwa posisi Desa Depok dan Desa Blacanan yang ditandai dengan anak panah yang berwarna merah berdekatan dan
56
berbatasan langsung. Lokasi aksi kekerasan konflik yang terjadi pada tanggal 20 Oktober di Desa Depok dapat dilihat pada Gambar 8.
Pantai Wisata Depok
R
R
A
Desa Depok
R
Desa Blacanan
A
R
B
Y
C
X
W Pantura
W
Sumber : Data Internal Pengadilan Negeri Pekalongan No.19/Pen.Pid/2008/PN PKL Keterangan : A : Musholla B : Tempat Billyard C : Rumah warga saksi R : Rumah-rumah warga Desa Depok
W: Deretan warung X : Rumah korban Y : Kelompok pemuda Desa Blacanan : Lokasi terjadinya bentrokan
Gambar 8. Denah Lokasi Kekerasan Konflik Desa Depok-Desa Blacanan.
5.3
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik Dalam kasus konflik antar Desa Depok dan Desa Blacanan, yang menjadi
“aktor utama” konflik adalah kelompok pemuda dari kedua desa. Namun aktoraktor lain juga berperan dalam proses terjadinya konflik serta proses meredam
57
konflik. Secara umum, aktor-aktor konflik di Desa Blacanan dan Desa Depok dapat dipetakan dalam peta konflik berikut ini (Gambar 9).
Pemuda Desa Depok
Pemuda Desa Blacanan
Aparat Desa Depok
Aparat Desa Blacanan
Tokoh masyarakat Desa Blacanan
Aparat Keamanan
Tokoh masyarakat Desa Depok
Keterangan : Mempengaruhi Konflik laten Konflik terbuka
Gambar 9. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik di Desa Depok-Blacanan (Kasus 2). Konflik terbuka yang menyebabkan korban jiwa ini melibatkan dua aktor utama konflik yang karakteristik sosial yang homogen dalam hal usia, pendidikan dan mata pencaharian. Mereka adalah kelompok pemuda dari Desa Blacanan dan Desa Depok. Dalam kasus ini, pihak Desa Depok dianggap sebagai “korban”, sedangkan pihak Desa Blacanan dianggap sebagai “tersangka”. Tokoh-tokoh dan aparat desa dari kedua belah pihak sangat berperan dalam upaya perdamaian kedua desa. Namun demikian, terkuak adanya konflik laten antara aparat Desa Depok dan aparat Desa Blacanan serta konflik laten antara generasi-generasi tua
58
di kedua desa. Meskipun diidentifikasi terdapat konflik laten antara generasi tua di kedua desa, namun tokoh masyarakat dan aparat-aparat desa dari kedua pihak tetap menunjukkan perannya sebagai “mediator” dalam penyelesaian konflik antar kelompok pemuda dari kedua desa yang bersangkutan. Dalam peta konflik, terlihat garis bergelombang yang menghubungkan kelompok pemuda dari Desa Depok dengan kelompok pemuda dari Desa Blacanan yang menunjukkan konflik terbuka. Konflik terbuka ini telah teridentifikasi karena telah sampai pada tahap aksi kekerasan yang melibatkan kedua kelompok pemuda tersebut. Tanda panah dalam peta konflik yang menghubungkan beberapa pihak menunjukkan hubungan pengaruh. Aktor yang memiliki pengaruh ke berbagai pihak adalah aparat keamanan/aparat kepolisian yang berkuasa dalam segala upaya menangani konflik dan menunjukkan pengaruhnya pada setiap aktor-aktor konflik. Hubungan antara tokoh-tokoh masyarakat dengan aparat desa adalah hubungan saling mempengaruhi dalam upaya penanganan konflik. Keduanya merupakan pengambil keputusan/kebijakan di tingkat desa dalam upaya peredaman konflik. Garis putus-putus yang menghubungkan aparat Desa Depok dan aparat Desa Blacanan menunjukkan konflik laten di antara keduanya. Konflik laten ini berlangsung sejak lama, dan semakin terlihat sejak terjadinya aksi brutal yang dilakukan kelompok pemuda Desa Blacanan terhadap warga Desa Depok. Penyebab konflik laten ini diindikasi adalah rasa saling tidak percaya bahwa masing-masing dari mereka dapat mengendalikan warganya.
5.3.1
Aktor Utama yang Berkonflik Dari berbagai aktor konflik yang terdapat dalam peta konflik,
diidentifikasi aktor-aktor utama konflik yang telah menunjukkan aksi-aksi konflik yang nyata dalam wujud kekerasan konflik. 5.3.1.1 Kelompok Pemuda Desa Depok Gambaran kehidupan pemuda Desa Depok menunjukkan nilai-nilai sosial yang lekat sudah mulai meluntur karena perubahan gaya hidup pemuda yang sudah cenderung menerupai masyarakat kota. Hal ini dikarenakan sebagian besar
59
pemuda desa adalah perantau di kota-kota besar sehingga pada saat mereka kembali ke desa, budaya mereka berubah, bahkan cenderung menyimpang seperti minum-minum,
ucapan
yang
kasar,
penampilan
yang
menunjukkan
“premanisme”, suka membuat keributan, serta kasar dan agresif. Hal ini dinilai oleh generasi tua Desa Depok sebagai dampak negatif perkotaan yang mempengaruhi pemuda desa dengan pendidikan rendah. Setiap tahun menjelang lebaran, para pemuda desa kembali ke Desa Depok. Setiap momen kepulangan ini mereka pergunakan untuk berkumpul bersama teman-teman mereka yang juga perantau dengan cara mengadakan acaraacara hiburan seperti pentas musik, wayang dan sebagainya. Sedangkan para tokoh masyarakat dan generasi tua sering melarang mereka mengadakan acaraacara tersebut karena akan cenderung menimbulkan konflik dan pemicu mereka untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Pada dasarnya, kehidupan masyarakat di Kecamatan Siwalan, termasuk Desa Depok sangat kental dengan nuansa religius, terbukti dengan partisipasi aktif mereka yang selalu menghadiri pengajian “Jumat Kliwon” di Kota Pekalongan secara bersama-sama. Namun sayangnya hal-hal ini tidak berlaku bagi para pemuda. Mereka lebih suka berkumpul untuk bersenang-senang, minum-minum dan berkelahi dengan desa lain. Hal ini diungkapkan oleh DDK (45) berikut ini :
“Pemuda-pemuda di sini mana mau ikut kegiatan-kegiatan yang positif, apalagi pengajian, mereka itu kalau pulang sukanya kumpul-kumpul saja, dan kalau nggak berantem mungkin mereka merasa tidak enak. Kita yang tua-tua sudah sering memperingatkan,tapi tidak pernah didengarkan”(DDK,45 tahun).
5.3.1.2 Kelompok Pemuda Desa Blacanan Masyarakat di Desa Blacanan memiliki karakteristik yang sama dengan masyarakat Desa Depok. Hal ini karena Desa Depok dan Desa Blacanan berdekatan dan dalam kesehariannya masyarakatnya sering bergaul dan bertemu. Dalam hal kekerabatan, generasi tua Desa Depok banyak yang memliliki hubungan keluarga dengan generasi tua di Desa Blacanan.
Seperti di Desa
Depok, mayoritas pemuda di Desa Blacanan adalah perantau di kota besar. Mereka hanya kembali ke Desa setiap hari raya lebaran. Karakteristik pemuda
60
Desa Blacanan juga hampir sama dengan pemuda Desa Depok, yaitu “potret” anak-anak muda yang agresif, kasar, dan suka berkelahi. Hal yang membedakan di Desa Depok dan Desa Blacanan adalah sudah tidak berfungsinya lembaga Karang Taruna dan organisasi pemuda lainnya di Desa Blacanan. Tindakan kolektif yang khas ditunjukkan oleh pemuda-pemuda desa yang memiliki solidaritas yang tinggi satu sama lainnya. Jika bertemu pada momen-momen tertentu mereka cenderung “bersatu” untuk melakukan apapun, termasuk aktivitas-aktivitas yang dinilai negatif oleh masyarakat. Jika salah satu dari mereka berhadapan dengan masalah yang berhubungan dengan “harga diri”, pemuda yang lain secara serentak akan membela anggotanya. Secara umum, hubungan mereka diwarnai dengan nilai-nilai solidaritas yang tinggi, meskipun dinilai banyak penyimpangan dan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai kesopanan dalam gaya hidup mereka. Setiap kepulangan mereka dari merantau, mereka mengadakan perkumpulan dengan pemuda-pemuda lainnya untuk mengakrabkan diri satu sama lain.
5.3.2
Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Aktor-Aktor Konflik Berkaitan dengan isu dan kronologi konflik, pemahaman mengenai konflik
dari aktor-aktor yang terlibat menunjukkan suatu perbedaan, meskipun jika dilihat secara keseluruhan, aktor-aktor konflik menggambarkan konflik yang sama. Perbedaan mengenai isu-isu konflik secara jelas dapat ditelaah dari gambaran konflik menurut masing-masing aktor konflik. 5.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Desa Depok Konflik yang terjadi antara pemuda Desa Depok dengan pemuda Desa Blacanan pada tahun 2007 awalnya disebabkan oleh pemukulan yang dilakukan salah satu pemuda Desa Depok terhadap salah satu pemuda Desa Blacanan yang sedang melewati Desa Depok pada saat itu. Alasannya adalah pemuda Blacanan tersebut dianggap sombong.
Karena merasa terhina, pemuda Desa Blacanan
tersebut melapor pada pemuda-pemuda lain di desanya. Satu hari setelah kejadian pemukulan itu, kemudian terjadi aksi balas dendam yang sangat brutal. Aksi ini dilakukan sekelompok pemuda Desa Blacanan yang tidak diketahui pasti
61
jumlahnya karena sangat banyak yang mencari pelaku pemukulan.
Namun,
karena yang bersangkutan tidak ditemukan, maka pemuda yang kebetulan sedang lewat di salah satu jalan di Desa Depok langsung dianiaya hingga tewas, padahal dia tidak mengetahui masalah sebelumnya. Selain itu, beberapa rumah warga juga menjadi sasaran amukan mereka. Masalah pemukulan tersebut adalah akumulasi dari konflik laten yang telah terjadi dalam waktu lama antara Desa Depok dan Desa Blacanan. Konflik laten tersebut memiliki akar permasalahan yang non realistik, sehingga sulit untuk dipecahkan. Hal ini dikemukakan oleh salah satu pemuda Desa Depok sebagai berikut :
“dek mbiyen emang cah Blacanan ki senenge nggolek masalah karo cah Depok, mereka iri ngerti cah Depok akeh sing wis sukses ning kota,nek bali neng desa mesti penampilane nguto, tapi cah Depok rak pernah ngolek masalah moso dione’ke sombong” (SGD,26 tahun). (Sejak dulu anak Blacanan suka mencari masalah dengan anak Depok, mereka iri melihat anak Depok banyak yang sudah sukses di kota, jika pulang ke desa penampilannya seperti orang kota, tetapi anak Depok tidak pernah mencari masalah, tetapi diejek sombong).
Konflik yang terjadi berakar dari isu non realistik mengenai identitas dan harga diri yang sangat dipentingkan oleh kedua aktor konflik. Akibat konflik laten yang telah terjadi dalam waktu yang tidak teridentifikasi, konflik manifest yang brutal muncul sebagai suatu akumulasi dari kebencian di antara kedua belah pihak. Aksi brutal yang dilakukan sekelompok pemuda Desa Blacanan terhadap warga Desa Depok terjadi pada tanggal 20 Oktober 2007 sekitar pukul 23.30 di Desa Depok, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan. Pada saat itu, terjadi penyerangan yang brutal yang dilakukan oleh sekitar 30 orang dari Desa Blacanan. Kekerasan konflik berwujud pada aksi perusakan rumah warga Desa Depok secara bersama-sama oleh sekelompok pemuda Desa Blacanan tersebut dan penganiayaan salah satu warga Desa Depok hingga korban meninggal dunia. Aksi penganiayaan dan perusakan rumah tersebut diduga karena kemarahan pemuda Desa Blacanan karena tidak dapat menemukan “musuhnya” pada saat melakukan aksi penyerbuan, akibatnya kemarahan dan dendam mereka tujukan pada warga Desa Depok yang tidak mereka kenal.
62
Menurut informasi dari responden di Desa Depok, aksi balasan sudah mereka persiapkan untuk membalas perlakuan pemuda Desa Blacanan, tetapi sebelum aksi balas dendam tersebut terlaksana, aparat kepolisian telah bertindak dan berupaya mencagah terjadinya serangan balasan. Hal ini diungkapkan responden dari Desa Depok sebagai berikut:
“nek misale polisi rung teko, mesti wis babak belur cah Blacanan, wong pas kuwi cah Depok wis nyiapke pentungan nggo tawuran karo cah Blacanan, bejone ora kelakon, lha nek kelakon opo rak tambah rusuh” (SGD,26 tahun). (Seandainya saja polisi belum datang, pasti anak Blacanan sudak terluka parah karena pada waktu itu anak Depok sudah menyiapkan pemukul untuk tawuran dengan anak Blacanan, untung saja tidak terjadi, kalau saja sampai terjadi pasti lah akan bertambah kacau).
Konflik antara pemuda Desa Blacanan dan pemuda Desa Depok menyebabkan retaknya hubungan antar kedua desa karena perasaan takut dan enggan untuk berkomunikasi. Konflik yang terjadi pada bulan Oktober 2007 ini merupakan konflik terparah dalam konflik Depok-Blacanan. Konflik yang sering terjadi sebelumnya tidak sampai melibatkan puluhan orang dan tidak menyebabkan korban tewas. “Keparahan” konflik yang terjadi antara pemuda Desa Depok dan pemuda Desa Blacanan diungkapkan oleh responden sebagai berikut :
“…. pas kuwi polisine sing teko yo akeh, dek polwil mbarang teko sa’ kompi, sampe nggawe tendo-tendo neng perbatasan Depok-Blacanan, sa’minggunan polisi jogo neng kono” (SGD,26 tahun). (Pada saat itu polisi yang datang banyak, dari Polwil juga datang satu kompi, sampai membuat tenda-tenda di perbatasan Depok-Blacanan, selama satu minggu polisi berjaga di sana).
Ungkapan SGD tersebut menandakan bahwa konflik yang terjadi sangat keras hingga melibatkan banyak aparat kepolisian turun tangan karena konflik ini tidak dapat diselesaikan secara “damai” melalui mediasi dengan tokoh masyarakat dan aparat desa terkait. Secara analitis, pemahaman mengenai kronologis konflik menurut pemuda Desa Depok dapat digambarkan dalam bentuk skema kronologis konflik (Gambar 10).
63
Sabtu, 20 Oktober 2007 Siang Hari
Pemukulan yang dilakukan salah seorang pemuda Depok terhadap Pemuda Blacanan
Sabtu, 20 Oktober 2007 pukul 23.30
Segerombolan pemuda Desa Blacanan menyerang Desa Depok, melakukan perusakan rumah, dan menganiaya salah satu warga Desa Depok hingga tewas.
Minggu, 21 Oktober 2007
Pemuda Desa Depok mempersiapkan aksi balasan kepada pemuda Desa Blacanan
Minggu, 20 oktober 2007- 28 Oktober 2007
Masih terdapat upaya-upaya untuk aksi pembalasan ke Desa Blacanan namun telah ada penjagaan ketat oleh aparat kepolisian terhadap kedua desa
Gambar 10. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok Pemuda Desa Depok. Kronologi konflik di atas menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang diungkapkan oleh responden dari Desa Depok. Konflik terbuka masih dapat dilihat dalam kurun waktu satu minggu setelah terjadi kekerasan konflik karena masih terdapat upaya-upaya untuk melakukan aksi pembalasan. Konflik yang terjadi hingga memicu aksi kekerasan bermula pada isu-isu pokok yang tidak dapat mencapai kompromi. Menurut pemuda Desa Depok, masalah inti yang mendorong terjadinya konflik adalah pelecehan dan kekerasan yang “diterima” oleh pemuda Desa Blacanan yang selanjutnya mendorong terjadinya aksi pembalasan yang brutal. Akar dari konflik adalah isu non realistik yang diduga berupa kecemburuan sosial, perubahan gaya hidup, dan kesalahpahaman. Perubahan gaya hidup dan kecemburuan sosial yang diperlihatkan oleh pemuda-pemuda dari kedua desa memunculkan sikap yang “menantang” dari kedua belah pihak, sehingga keterlibatan emosi dan ketegangan antar kedua pihak semakin meningkat dengan
64
menunjukkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan yang berujung pada aksi kekerasan. Efek konflik yang telah mencapai tahap kekerasan hingga menelan korban diidentifikasi bersifat positif dan negatif. Kekerasan/kebrutalan diartikan oleh kelompok pemuda Desa Depok sebagai tindakan yang menghancurkan, merusak, menghilangkan nyawa seseorang dan menyebabkan ketakutan. Salah seorang responden mengungkapkan sebagai berikut :
“sing jenenge kekerasan yo mesti wis ono ngerusak, ngancuri, menganiaya sampai meninggal, yo semuane yang bikin takut orang” (MHA, 28 tahun).
Efek negatif yang dirasakan kelompok pemuda Desa Depok diantaranya adalah dendam, ketakutan, dan kebencian yang berwujud laten. Sedangkan efek konflik yang bersifat positif diperlihatkan pada keeratan kelompok pemuda Desa Depok.
Isu-isu konflik menurut pemahaman pemuda Desa Depok dapat
digambarkan secara grafis dalam bentuk pohon konflik (Gambar 11).
Ketakutan (-)
Dendam (-)
Kebencian(-)
Keeratan kelompok (+) EFEK
MASALAH INTI
Pelecehan dan kekerasan
kecemburuan sosial AKAR
perubahan gaya hidup
kesalahpahaman
Gambar 11. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pemuda Desa Depok.
65
5.3.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Desa Blacanan Berdasarkan sudut pandang pemuda dari Desa Blacanan, konflik awalnya dipicu oleh perusakan rumah dan pemukulan salah satu warga Desa Blacanan yang dilakukan oleh warga Desa Depok. Hal ini menyebabkan rasa benci dan dendam warga Desa Blacanan, terutama kelompok pemuda. Penyebab dari perusakan rumah dan pemukulan yang dilakukan salah satu warga Desa Depok tidak diketahui secara pasti, namun telah dinilai oleh pemuda Desa Blacanan sebagai aksi “cari perkara”. Konflik berawal dari perusakan rumah yang dilakukan warga Desa Depok (tidak diketahui jumlahnya) terhadap rumah salah satu warga desa Blacanan pada hari Sabtu, tanggal 20 Oktober 2007 pukul 04.00 pagi. Perlakuan yang tidak menyenangkan ini mendorong pemuda Desa Blacanan untuk melakukan pembalasan. Aksi pembalasan yang dilakukan kelompok pemuda Desa Blacanan direncanakan oleh satu orang yang kemudian mempengaruhi pemuda-pemuda lainnya untuk menyerang pemuda Desa Depok. Salah satu pemuda Desa Blacanan yang terlibat dalam aksi penyerangan mengungkapkan sebagai berikut:
“…. dong kae sing ngajak ke ANT, aku karo sing liyane sek ngumpul ning pinggir ndalan, lha terus dijak karo ANT, nyerang ning Depok, aku karo sing liyane yo manut bae, wong kuwi ke kan pak mbeloni koncone dhewe” (SRT,29 tahun). (pada waktu itu yang mengajak adalah ANT, saya dan yang lainnya sedang berkumpul di jalan, kemudian diajak ANT menyerang ke Depok, aku dan yang lainnya menurut saja, karena itu untuk membela kawan sendiri).
Aksi pembalasan pada saat itu sebenarnya ditujukan kepada warga Desa Depok yang telah terlebih dahulu melakukan pemukulan terhadap warga Desa Blacanan, namun pada saat kelompok pemuda Desa Blacanan menyerbu Desa Depok, orang yang bersangkutan tidak dapat ditemukan,sehingga kemarahan mereka kemudian teralih pada siapa saja yang ada di Desa Depok. Akhirnya, para pemuda Desa Blacanan secara tidak sengaja bertemu dengan TRD yang sedang melewati jembatan dengan mengendarai motor. Pada saat ketegangan dan emosi yang tinggi, para pemuda Desa Blacanan kemudian menghentikan TRD dan memukulinya hingga tidak sadarkan diri, kemudian motor yang dikendarai TRD
66
dirusak. Beberapa jam kemudian TRD dinyatakan tewas, sedangkan pemudapemuda lainnya menuju beberapa rumah warga Desa Depok dan melakukan pelemparan dengan batu hingga menyebabkan kerusakan pada beberapa rumah warga tersebut. Beberapa jam kemudian polisi tiba di lokasi kejadian dan meringkus sekitar enam orang yang diduga sebagai tersangka penganiayaan dan perusakan rumah, sedangkan puluhan pemuda lainnya yang terlibat dalam aksi penyerbuan berhasil melarikan diri. Kronologi konflik berdasarkan pandangan kelompok pemuda Desa Blacanan dapat digambarkan dalam skema kronologi konflik (Gambar 12).
Sabtu, 20 Oktober 2007 siang hari
Warga Desa Depok datang ke Desa Blacanan untuk merusak salah satu rumah warga Desa Blacanan
Sabtu, 20 Oktober 2007 malam hari
Warga Desa Blacanan melakukan aksi pembalasaan dengan menyerbu Desa Depok. Bentuk aksi pembalasan ini adalah penganiayaan terhadap warga Desa Depok hingga korban tewas dan perusakan rumah.
Oktober 20072009
Konflik laten warga Desa Depok-Blacanan
Gambar 12. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Pemuda Desa Blacanan. Pengungkapan
Kronologi
konflik
oleh
warga
Desa
Blacanan
menggambarkan skala konflik yang sempit. Pemaparan konflik hanya terfokus pada saat konflik mencapai kekerasan yang terjadi dalam satu konteks waktu. Namun kronologi tersebut mengungkap dampak yang terjadi hingga saat ini (tahun 2009) akibat kerasnya konflik, yaitu konflik laten yang berlanjut. Berdasarkan sudut pandang pemuda Desa Blacanan, masalah inti konflik sama dengan yang diungkapkan pemuda Desa Depok, yaitu masalah pelecehan
67
dan kekerasan yang kemudian berdampak negatif dan positif. Dampak positif yang dapat diidentifikasi adalah solidaritas kelompok yang ditunjukkan dari aksi “balas dendam” pemuda Desa Blacanan terhadap Desa Depok sebagai upaya pembelaan bagi salah satu anggotanya yang telah “dilecehkan”. Dampak negatif yang dirasakan oleh pemuda Desa Blacanan, diidentifikasi sama dengan dampak negatif yang dirasakan oleh pemuda Desa Depok, yaitu berupa ketakutan, dendam dan kebencian. Namun jika ditelaah dengan pohon konflik, konflik yang digambarkan oleh pemuda Desa Blacanan adalah konflik di permukaan yang tidak memiliki akar permasalahan. Konflik yang terjadi hanya dikarenakan tindakan yang meremehkan dan menyakiti salah satu anggota kelompok pemuda Desa Blacanan (Gambar 13).
Ketakutan (-)
Dendam (-)
Kebencian(-)
Solidaritas kelompok (+) EFEK
MASALAH INTI
Pelecehan dan kekerasan
Gambar 13. Pohon Konflik (Isu Konflik) Isu Konflik Berdasarkan Pemaparan Pemuda Desa Blacanan. 5.3.2.3 Pemahaman Konflik Menurut Tokoh Masyarakat Desa Depok Konflik yang terjadi disebabkan oleh cekcok/adu mulut yang sepele antara pemuda Desa Depok dengan pemuda Desa Blacanan yang terjadi pada hari Sabtu, 20 Oktober 2007. Karena emosi yang tidak terkendali akhirnya terjadi pemukulan yang dilakukan pemuda Desa Depok terhadap pemuda Desa Blacanan. Cekcok/adu mulut ini tidak diketahui penyebabnya. Akibat pemukulan yang dilakukan oleh pemuda Desa Depok terhadap pemuda Desa Blacanan, maka pemuda Desa Blacanan yang menjadi korban pemukulan merasa “terhina” dan
68
diremehkan, sehingga pemuda tersebut menceritakan perkara pemukulan tersebut kepada pemuda-pemuda lain di Desa Blacanan. Pemuda-pemuda Desa Blacanan yang lain merasa bahwa mereka perlu membalas perlakuan pemuda Desa Depok tersebut kepada temannya. Maka pada malam harinya terjadi aksi penyerbuan yang dilakukan kelompok pemuda Desa Blacanan ke Desa Depok. Kelompok pemuda tersebut yang berjumlah puluhan orang kemudian merusak beberapa rumah warga Desa Depok dan menganiaya salah satu warga Desa Depok yang secara tidak sengaja melewati jembatan tempat mereka berkumpul. Kemudian karena merasa geram, warga yang tidak tahu mengenai apa yang sedang terjadi dianiaya secara beramai-ramai hingga tewas. Pada dasarnya, konflik yang terjadi antara pemuda Desa Depok dengan pemuda Desa Blacanan yang berujung pada tindakan perusakan dan pembunuhan berakar dari rasa tidak suka yang terpendam di antara warga Desa Depok dengan warga Desa Blacanan. Ketidaksukaan ini lebih ditonjolkan oleh pemuda Desa Depok yang memiliki agresivitas yang tinggi, diduga karena perubahan perilaku dan gaya hidup mereka yang telah mengarah pada gaya hidup masyarakat perkotaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan salah satu informan dari Desa Depok sebagai berikut :
“ Pemuda Desa Depok itu memang agresif-agresif, suka bikin jengkel, jangankan pemuda Desa Blacanan, orang-orang tua di Depok juga dibikin jengkel sama sikap mereka. Mungkin kehidupan di kota bikin mereka jadi seperti itu” ( HDS, 35 tahun, tokoh masyarakat).
Konflik antara Desa Depok dengan Desa Blacanan mungkin tidak akan terjadi
jika
pemuda-pemuda
masing-masing
desa
tidak
menonjolkan
“identitasnya” masing-masing. Pembinaan terhadap pemuda-pemuda hampir tidak pernah dilakukan karena pemuda dan tokoh-tokoh masyarakat desa serta generasi tua tidak memiliki hubungan yang kuat. Akibat konflik yang terjadi, hubungan antar kedua desa masih renggang, bentuk-bentuk kewaspadaan, kecurigaan dan ketakutan antar kedua desa masih terlihat sampai saat ini. Terlebih lagi pada saat pemuda-pemuda desa pulang dari perantauan. Ketidakharmonisan semakin terlihat mewarnai kedua desa tersebut. Menurut informan dari Desa Depok, sebelum memulai konflik dengan Desa Blacanan, pemuda dari Desa Depok
69
sebelumnya telah bermusuhan dengan Desa Yosorejo,tetapi diduga pemuda dari Desa Yosorejo “kalah kuat” dengan pemuda Desa Depok, sehingga konflik berhenti. Namun dalam kasus konflik dengan pemuda Desa Blacanan, sangat sulit untuk mencapai perdamaian karena hubungan kedua desa pada dasarnya telah renggang dan menunjukkan gejala-gejala konflik laten, bahkan melibatkan generasi-generasi tua dari kedua desa yang hubungannya kurang baik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Depok sebagai berikut :
“Depok- Blacanan memang sejak dulu hubungannya kurang baik, generasigenerasi tuanya juga saling menunjukkan gengsi dan ego yang berlebihan”(HDS, 35 tahun, tokoh masyarakat).
Setelah aksi brutal yang dilakukan pemuda Desa Blacanan terhadap warga Desa Depok, masih terjadi aksi balas dendam secara individu oleh remaja Desa Depok terhadap remaja Desa Blacanan. Hal ini dikarenakan dendam yang masih dirasakan warga Desa Depok karena salah satu warganya tewas. Bahkan aksi balas dendam ini dilakukan oleh remaja SLTP Desa Depok terhadap remaja SLTP Desa Blacanan. Secara analitis, pemahaman konflik menurut tokoh masyarakat Desa Depok dapat digambarkan dalam kronologi konflik (Gambar 14).
Tahun 90-an
Desa Depok dan Desa Blacanan telah memiliki hubungan yang kurang baik, termasuk hubungan antar generasi tua di kedua Desa
Tahun 2002
Pemuda Desa Depok berkonflik dengan Desa Yosorejo. Konflik sampai dalam tahap tawuran antar pemuda dengan jumlah yang sedikit.
70
Tahun 2001
Tahun 20002004
Oktober 2007
November 2007
Awal 2008
2007-2009
Pemuda Desa Blacanan berkonflik dengan pemuda Desa dari salah satu Kecamatan di Ulujami, namun tidak berlangsung lama karena pemuda Desa Blacanan dianggap lebih kuat.
Konflik antar pemuda Depok-Blacanan dalam tahap tawuran kecil hampir terjadi setiap tahun, terakhir adalah tawuran yang terjadi sekitar tahun 2004.
Dalam hubungan yang sedang renggang, pemuda Desa Depok melakukan penghinan/pelecehan terhadap salah satu pemuda Desa Blacanan. Tindakan ini memicu aksi balas dendam dan aksi penyerangan besar-besaran ke Desa Depok
Upaya pendamaian yang dilakukan Aparat keamanan di tingkat Polwil, Polres, dan Polsek serta tokoh masyarakat terkemuka di Pekalongan untuk mendamaikan kedua Desa. Pada saat ini terjadi upaya penyerangan pemuda Desa Yosorejo terhadap Desa Depok, namun berhasil dicegah.
Beberapa bulan setelah konflik meledak, terjadi pemukulan kembali yang dilakukan Siswa SLTP dari Desa Depok kepada Siswa SLTP dari Desa Blacanan.
Hubungan antara Desa Depok dan Blacanan merenggang dan situasi selalu dalam siaga satu.
Gambar 14. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh Masyarakat Desa Depok.
71
Berdasarkan pemahaman konflik yang dianalisis menurut pemahaman tokoh masyarakat Desa Depok, konflik manifest yang brutal yang terjadi pada Oktober 2007 merupakan akumulasi dari konflik laten yang terjadi dalam jangka waktu lama antara masyarakat Desa Depok dengan masyarakat Desa Blacanan. Kronologi konflik menghasilkan gambaran konflik berakar dalam dan terjadi dalam bentang waktu yang cukup luas. Isu-isu yang dikemukakan tokoh masyarakat Desa Depok lebih mengarah pada satu isu pokok yang menjadi akar permasalahan konflik antara pemuda Desa Depok dengan pemuda Desa Blacanan. Masalah inti yang menjadi pendorong terjadinya konflik terbuka antara warga Desa Depok dengan Desa Blacanan adalah tingginya agresivitas pemuda desa. Akar/isu yang menyebabkan masalah ini adalah gaya hidup perkotaan yang sebagian besar dijalani pemuda dari kedua desa. Tingginya agresivitas pemuda desa manimbulkan bentuk-bentuk penyimpangan di masyarakat, diantaranya adalah kekerasan yang cenderung dilakukan pemuda salah satu desa terhadap pemuda desa lain. Egoisme sebagai efek dari tingginya agresivitas pemuda desa mengacu pada ketidaktoleransian terhadap orang-orang di luar kelompok mereka. Salah satu efek yang dapat bersifat positif sekaligus bersifat negatif adalah terjadinya batasan kelompok antar kedua desa berupa berkurangnya komunikasi dengan orang-orang di luar kelompok mereka. Hal ini merupakan indikator dari kohesi kelompok, namun dapat bersifat negatif dalam suatu sistem masyarakat yang utuh (Gambar 15).
72
Kerenggangan hubungan antar masyarakat dua desa (-) Batasan Kelompok (-) Kekerasan (-)
MASALAH INTI
Keegoisan (-)
Tingginya agresivitas pemuda desa
AKAR MASALAH
Gaya hidup perkotaan
Gambar 15. Pohon Konflik (Isu Konflik) Konflik Berdasarkan Pemaparan Tokoh Masyarakat Desa Depok. 5.3.2.4 Pemahaman Konflik Menurut Tokoh Masyarakat Desa Blacanan Menurut tokoh masyarakat Desa Blacanan, masalah yang selama ini menjadi persoalan terutama bagi aparat desa dan tokoh masyarakat adalah konflik antar aparat desa dengan beberapa warga Desa Blacanan yang merupakan pecandu dan pengedar minuman keras. Masalah minuman keras menyebabkan kenakalan pemuda dan remaja yang tidak terkendali. Pemuda dari kedua desa memiliki karakteristik yang homogen, yaitu sebagai perantau di kota besar yang hanya kembali ke desa setiap hari raya Lebaran. Hal ini diduga menyebabkan perilaku mereka menjadi lebih liar dan agresif, serta mengabaikan nilai-nilai kesopanan. Perilaku premanisme kini menjadi ciri khas mereka, terlebih lagi jika mereka sudah bertemu dengan pemuda yang lain dan berkumpul. Konflik karena masalah-masalah kecil yang berbuntut panjang seringkali tidak dapat dihindari. Sebelum berkonflik dengan pemuda Desa Depok, pemuda Desa Blacanan sering berkonflik dengan pemuda dari salah satu desa di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pekalongan tetapi konflik berakhir karena tidak ada lagi upaya perlawanan terhadap pemuda Desa Depok. Akar yang memicu konflik-konflik pemuda yang
73
sering terjadi di Desa Blacanan diungkapkan oleh salah satu tokoh masyarakat Desa Blacanan sebagai berikut :
“ …saya yakin, jika masalah minuman keras di Blacanan dituntaskan, tidak aka nada lagi konflik di Blacanan dan desa-desa lain di kecamatan Siwalan, karena di Blacanan ini adalah sumber utamanya, semuanya berakar dari sini, tapi masalah ini sangat sulit, aparat desa dan tokoh masyarakat sudah tidak berdaya” (TKT, 45 tahun). …”walaupun desa Blacanan jadi tersangka dalam kasus itu, tapi kami juga merasa kalau pemuda-pemuda kami adalah korban, korban dari minuman keras.”
Konflik Desa Depok dan Desa Blacanan hampir terjadi setiap tahun, namun yang konflik yang terjadi pada Oktober 2007 merupakan konflik paling keras yang menyebabkan retaknya hubungan kedua desa. Konflik didahului oleh perusakan rumah yang terlebih dahulu dilakukan oleh warga Desa Depok terhadap salah satu rumah warga Desa Blacanan. Akibat perusakan rumah tersebut, terjadi aksi balas dendam warga Desa Blacanan terhadap Desa Depok. Namun aksi balas dendam yang dilakukan skalanya besar hingga menyebabkan korban tewas. Aksi balas dendam pemuda Desa Blacanan terhadap didahului oleh pencarian salah satu warga Desa Depok yang melakukan perusakan rumah di Desa Blacanan oleh sekawanan pemuda Desa Blacanan. Namun, warga yang dicari tidak ditemukan, sehingga kemarahan sekawanan pemuda tersebut teralih pada salah satu warga Desa Depok yang secara tidak sengaja melawati jembatan di mana sekawanan pemuda Desa Blacanan tersebut berkumpul. Karena emosi yang tidak terkendali, maka salah satu warga Desa Depok yang tidak mereka kenal tersebut dianiaya hingga tewas. Setelah itu mereka beralih pada rumah warga Desa Depok. Beberapa rumah di Desa Depok menjadi sasaran amukan mereka. Dengan menggunakan alat berupa batu, mereka melakukan pelemparan terhadap rumah warga Desa Depok hingga menyebabkan kerusakan pada beberapa rumah. Beberapa saat setelah aksi penyerangan tersebut, aparat keamanan yang meliputi aparat Polwil dan Polres kabupaten Pekalongan datang ke lokasi konflik untuk melakukan pengamanan dan penangkapan terhadap tersangka penyerangan. Bahkan hingga satu minggu setelah kejadian tersebut, aparat keamanan masih
74
berjaga-jaga dengan mendirikan tenda penjagaan di perbatasan Desa BlacananDepok untuk menghindari terjadinya bentrokan susulan. Gambaran mengenai konflik yang terjadi dikemukakan oleh salah satu informan yang merupakan tokoh masyarakat Desa Blacanan sebagai berikut :
“Konflik tersebut adalah yang terparah yang pernah terjadi di Kecamatan Siwalan, yang sebelumnya disebabkan oleh persaingan-persaingan antar pemuda dua desa. Sampai sekarang, hubungan Depok-Blacanan masih agak renggang, bahkan aparat desa dan kepolisian masih siaga satu, karena masih khawatir bentrokan itu akan meledak lagi, apalagi menjelang lebaran karena semua pemuda desa akan pulang”(SDM,25 tahun).
Gambaran mengenai “keparahan” konflik yang meledak pada bulan Oktober tahun 2007 diungkapkan oleh salah satu informan yang pada saat kejadian ikut menjadi korban berinisial DD (48) sebagai berikut :
“Untuk mendamaikan kedua desa, Bupati sampai mengadakan acara perdamaian dengan mengumpulkan seluruh tokoh masyarakat,pemuda dari Desa Depok- Blacanan, serta menghadirkan Habib Lutfi dan pengikraran perdamaian, eh, ndilalah kok para pemudanya malahan ndak ada, padahal mereka sumber masalahnya kok”(DD, 48 tahun).
Salah satu akibat yang lebih dirasakan Desa Blacanan adalah kerugian ekonomi karena Desa Blacanan harus membayar ganti rugi sebesar 25 juta rupiah kepada keluarga korban, dan sebagian tanah desa harus disewakan selama 5 tahun untuk mendapatkan biaya ganti rugi tersebut.
Pemahaman mengenai konflik
berdasarkan sudut pandang tokoh masyarakat Desa Blacanan dapat digambarkan dalam bentuk kronologi konflik (Gambar 16).
Periode sebelum tahun 2000
Membudayanya konsumsi minuman keras di kalangan pemuda-pemuda desa Hubungan aparat desa dan tokoh masyarakat dengan warga yang mengedarkan dan mengkonsumsi minuman keras memburuk
75 Tahun 2001
Pemuda Desa Blacanan berkonflik dengan pemuda Desa dari salah satu Kecamatan di Ulujami, namun tidak berlangsung lama karena pemuda Desa Blacanan dianggap lebih kuat.
Tahun 20002004
Konflik antar pemuda Depok-Blacanan dalam tahap tawuran kecil hampir terjadi setiap tahun, terakhir adalah tawuran yang terjadi sekitar tahun 2004.
Oktober 2007
Dalam hubungan yang sedang renggang, pemuda Desa Depok melakukan penghinan/pelecehan terhadap salah satu pemuda Desa Blacanan. Tindakan ini memicu aksi balas dendam dan aksi penyerangan besar-besaran ke Desa Depok.
November 2007
Upaya pendamaian yang dilakukan Aparat keamanan di tingkat Polwil, Polres, dan Polsek serta tokoh masyarakat terkemuka di Pekalongan untuk mendamaikan kedua Desa.
Oktober 20072009
Konflik laten antara warga Desa Blacanan dengan warga Desa Depok dan situasi keamanan masih dalam siaga satu.
Gambar 16. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh Masyarakat Desa Blacanan. Kronologi konflik di atas menggambarkan urutan kejadian konflik yang pernah melibatkan Desa Blacanan, termasuk konflik selain dengan pemuda Desa Depok. Dalam kronologi konflik yang diidentifikasi berdasarkan sudut pandang tokoh masyarakat Desa Blacanan, diungkapkan awal konflik laten yang terjadi di dalam hubungan internal masyarakat Desa Blacanan yang disebabkan oleh akar yang telah lama “mengendap” yang tidak dapat diprediksi lagi waktu peristiwanya. Akar konflik yang menyebabkan konflik laten di dalam masyarakat
76
Desa Blacanan juga menyebabkan konflik manifest antar pemuda Desa Blacanan dengan Desa Depok yang kemudian “pecah” menjadi kekerasan konflik. Isu yang menjadi akar permasalahan konflik menurut tokoh masyarakat Desa Blacanan adalah peredaran minuman keras di lingkungan Desa Blacanan yang memancing para pemuda untuk menjadi “pecandu minuman”. Hal ini memunculkan perubahan perilaku pemuda, baik pemuda Desa Blacanan maupun pemuda Desa Depok. Bentuk-bentuk premanisme kemudian “memancing” timbulnya konflik yang pada akhirnya mencapai kekerasan. Efek konflik yang dikemukakan tokoh masyarakat Desa Blacanan lebih beragam, namun pada intinya tetap mengarah pada “efek negatif” (Gambar 17).
Ketakutan
kekerasan
Kerugian ekonomi
Persaingan (-) Kecurigaan (-)
Batasan kelompok
MASALAH INTI
Perubahan perilaku dan premanisme pemuda
EFEK
AKAR
Peredaran minuman keras di lingkungan Desa Blacanan
Gambar 17. Pohon Konflik Berdasarkan Pemaparan Isu Menurut Tokoh Masyarakat Desa Blacanan. 5.3.3
Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik Menurut informasi dari informan dan responden pada empat aktor, yaitu
dari pemuda Desa Blacanan, pemuda Desa Depok, Tokoh masyarakat Desa Depok, dan tokoh masyarakat Desa Blacanan, konflik yang terjadi adalah konflik musiman, yang potensinya selalu tinggi pada waktu menjelang Hari Raya
77
Lebaran. Pada saat itu, pemuda dari kedua desa akan kembali ke desanya masingmasing. Kondisi ini dapat diidentifikasi sebagai tahap prakonflik, terutama ketika kedua kelompok pemuda dari kedua desa mulai berinteraksi satu sama lain. Jika interaksi yang terjadi tidak harmonis, dapat menimbulkan aktivitas-aktivitas yang mengarah pada konfrontasi. Tahap konfrontasi yang dicapai dalam kasus ini adalah tindakan-tindakan yang mulai”mengganggu” aktivitas pihak lain yang ditunjukkan dengan “serangan-serangan” kecil yang terlebih dahulu dilakukan oleh pemuda Desa Depok kepada pemuda Desa Blacanan, baik dalam bentuk ucapan atau kontak fisik dalam skala kecil, yaitu perusakan rumah yang dilakukan oleh satu orang ataupunn pelecehan/penghinaan terhadap pihak lain. Hal tersebut ternyata tidak dapat diterima oleh pemuda Desa Blacanan,maka tahap konfrontasi berubah menjadi tahap krisis, dimana terjadi aksi pembalasan secara besarbesaran yang melibatkan puluhan orang dan mengakibatkan tewasnya salah seorang dari pihak lain, yaitu dari pihak Desa Depok. Pada tahap ini tingkat ketegangan konflik pada kondisi yang paling tinggi sehingga memungkinkan aksiaksi yang terus berlanjut jika tidak ada upaya-upaya meredam konflik, baik dari kedua belah pihak ataupun dari pihak ketiga. Upaya meredam konflik dilakukan dengan proses kendali hukum bagi kedua belah pihak sehingga tingkat ketegangan konflik menurun. Meskipun tahap krisis telah diredam, namun tetap menciptakan tahap selanjutnya yang tidak dapat dicegah dari suatu konflik terbuka, yaitu tahap akibat. Pasca krisis, akibat yang dirasakan kedua belah pihak adalah “krisis” kepercayaan satu sama lain yang terwujud pada kerenggangan hubungan antara kedua belah pihak yang berkonflik. “Krisis” kepercayaan yang terjadi sebagai akibat konflik merupakan wujud dari konflik laten yang berpotensi kembali menjadi konflik terbuka yang dapat mencapai krisis selama konflik tidak diatasi dengan tepat. Salah satu akibat yang lebih dirasakan Desa Blacanan adalah kerugian ekonomi karena Desa Blacanan harus membayar ganti rugi sebesar dua puluh lima juta rupiah kepada keluarga korban, dan sebagian tanah desa harus disewakan selama lima tahun untuk membayar ganti rugi. Dari keempat aktor yang terlibat dalam konflik, isu-isu konflik serta kronologi konflik yang dikemukakan berbeda-beda. Namun, isu-isu konflik yang
78
diungkapkan aktor-aktor tersebut dapat disimpulkan sebagai isu non realistik. Dari keempat pohon konflik yang telah digambarkan, dapat dilihat bahwa “benang merah” dari konflik yang terjadi adalah gambaran bahwa konflik telah mencapai kekerasan/ kebrutalan karena konflik menyangkut isu yang non realistik. Sasaran yang ingin dicapai bukanlah materi, melainkan harga diri, pengakuan identitas, dan “kemenangan”. “Benang merah” lain yang dapat dilihat dari perbedaan pemahaman mengenai konflik, pada dasarnya konflik telah membuat suatu batasan kelompok pada aktor-aktor yang berkonflik dan sampai saat ini konflik laten antara kedua desa yang berkonflik masih menjadi potensi konflik terbuka. Hal ini dikemukakan oleh Bapak DD sebagai berikut:
“Kalo hari-hari gini orang-orang desa Depok sama Blacanan yo keliatannya baik-baik saja, orang-orang Blacanan ngelewati Depok yo biasa-biasa saja, sebaliknya juga, tapi coba liat nanti menjelang lebaran, pas pemuda-pemuda desa lagi pada pulang dan ngumpul-ngumpul, mana berani orang Depok ngelewati Blacanan, orang Blacanan juga mana berani ngelewati Depok, cari mati wae jarene” (DD,48 tahun).
5.4
Kaitan antara Isu “Harga Diri” dengan Kebrutalan Konflik Isu yang melatarbelakangi konflik antar pemuda Desa Depok dengan
pemuda Desa Blacanan adalah isu non realistik, dimana konsep-konsep dan nilainilai mengenai harga diri menjadi sesuatu yang penting di antara kedua aktor utama konflik. Dalam kasus konflik ini, teori identitas yang dikemukakan oleh Fisher, et.al. (2000) sangat berperan penting dalam menganalisis konflik yang terjadi. Teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan.
Kedua aktor konflik yang memiliki kemiripan
karakteristik telah menunjukkan identitasnya sebagai “pemuda Desa Depok dari kota” dan “pemuda Desa Blacanan dari kota”, sehingga tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan sekecil apapun yang dirasakan oleh salah satu aktor memunculkan rasa bahwa harga dirinya terancam, sehingga mengakibatkan upaya-upaya untuk meraih kembali “harga diri” tersebut dengan melakukan pembalasan atas tindakan-tindakan yang dilakukan aktor lawan. Sasaran yang ingin dicapai oleh kedua aktor konflik pada dasarnya bukanlah sesuatu yang riil, melainkan sesuatu yang bersifat non riil, yaitu “kemenangan”, penghargaan, serta
79
rasa diakui dan dihormati. Untuk mencapainya, kedua aktor yang bersangkutan berupaya untuk menunjukkan “kehebatannya” masing-masing dengan cara-cara yang keras, yang dapat mengalahkan aktor lawan. Dengan demikian, pada kasus ini dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu isu konflik yang non realistik yang berupa “harga diri” mendorong terjadinya kekerasan/kebrutalan.
5.5
Kaitan antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok Sebagaimana kasus dalam BAB IV, dalam kasus ini, teori dan preposisi
Coser mengenai konflik terlihat dengan jelas. Coser berpendapat bahwa konflik eksternal berfungsi untuk memperkuat kohesivitas kelompok Kohesivitas kelompok semakin kuat karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar semakin besar. Kekerasan konflik dan kohesivitas kelompok yang terjadi dalam kasus konflik antara kelompok pemuda Desa Blacanan dengan kelompok pemuda Desa Depok dapat dijelaskan berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok : 1.
Jelasnya Batas kelompok Konflik yang melibatkan dua kelompok pemuda desa merupakan konflik
terbuka yang telah mencapai aksi kebrutalan. Pada tahap ini, sangat jelas terlihat bagaimana kebrutalan konflik berpengaruh terhadap batasan kelompok-kelompok yang berkonflik. Kelompok pemuda Desa Depok dengan kelompok kelompok pemuda Desa Blacanan merupakan dua kelompok yang memiliki kemiripan karakteristik, yaitu dari segi latar belakang pendidikan dan mata pencaharian. Telah dikemukakan bahwa konflik yang terjadi adalah konflik musiman yang memiliki kedinamisan yang tinggi. Pada keadaan stabil atau konflik dalam skala kecil, intensitas pergaulan dan komunikasi cukup baik di antara kedua kelompok tersebut. Namun pada saat terjadi konflik yang telah mencapai kekerasan, kedua kelompok semakin memeprlihatkan sikap “anti” satu sama lain. Kelompok pemuda Desa Depok secara spontan mengindari interaksi dengan pemuda Desa Blacanan, demikian juga sebaliknya. Mereka kemudian hanya bergaul di dalam kelompoknya masing-masing. Hal ini menunjukkan batasan kelompok yang jeas di antara dua aktor konflik. Batasan kelompok yang
80
terjadi di antara dua kelompok pemuda tersebut diungkapkan oleh Bapak HS (55) sebagai berikut :
“…. Wong sebenernya pemuda-pemuda Depok sama Blacanan itu saling kenal, wong sering dolan bareng juga, generasi-generasi tua Depok-Blacanan juga banyak yang masih kerabatan kok, tapi gara-gara kejadian itu yo hubunganne jadi renggang, dadine anak Depok yo ngumpul sama anak Depok tok, sing anak Blacanan juga ngumpule sama anak Blacanan tok, podho sungkan dolan bareng maneh” (HS, 55 tahun, warga Desa Depok).
Batasan yang terjadi bukan hanya terlihat dalam hubungan antar kelompok pemuda Desa Depok dengan kelompok pemuda Desa Blacanan. Batasan-batasan hubungan sosial juga terlihat secara nyata pada hubungan masyarakat Desa Blacanan dengan masyarakat Desa Depok. Konflik yang pernah pecah yang melibatkan pemuda-pemuda dari kedua desa masih “menghadirkan” keengganan untuk berinteraksi dan bersosialisasi di antara masyarakat kedua desa tersebut. Salah satu tokoh masyarakat Desa Blacanan mengungkapkan : “….. hingga sekarang hubungan desa Depok dengan desa Blacanan masih renggang, mungkin karena masih merasa kesal karena dua-duanya jadi mengalami kerugian, akhirnya lebih baik menghindari berhubungan daripada terjadi masalah lagi”(SDM, 25 tahun, aparat desa).
2.
Sentralisasi Struktur Pengambilan Keputusan Sentralisasi struktur pengambilan keputusan merupakan suatu bentuk
pengambilan keputusan secara “non musyawarah”, dimana pihak yang berpengaruh dalam kelompok secara spontan menentukan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh kelompok. Hal ini dilakukan karena pada saat konflik memanas/ mencapai kekerasan, kelompok membutuhkan keputusan yang cepat yang memungkinkan mereka untuk langsung “bergerak” menghadapi situasi konflik. Pada kelompok pemuda Desa Depok, sentralisasi struktur pengambilan keputusan
terjadi
pada
saat
kelompok
pemuda
Desa
Blacanan
telah
“melayangkan” aksi penyerangan ke Desa Depok. Pada saat aksi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok pemuda Desa Blacanan telah diatasi, segera setelah itu kelompok pemuda Desa Depok telah bersiap-siap untuk membalas
81
kembali tindakan pemuda Desa Blacanan.
Upaya penyerangan kembali ini
“diprakarsai” oleh salah satu pemuda yang disegani di Desa Depok. Hal ini diungkapkan oleh SGD (26) sebagai berikut: “…nek ora dialangi kalo mbea’ yo mesti cah Blacanan wis ono sing mati juga, lha wong sakbare cah Blacanan do ditangkepi mbea’ cah Depok langsung pak nyerbu maneh nganggo pentungan karo golok, mbuh kae sopo sing ngangkon, mesti kan ono sing ngatur, moso persiapane cepet men” (SGD, 26 tahun). (…jika tidak dihalangi oleh polisi pasti anak Blacanan sudah ada yang meninggal juga, karena setelah anak Blacanan ditangkap polisi, anak Depok langsung ingin menyerbu dengan pemukul dan golok, tidak tahu siapa yang menyuruh, pasti sudah ada yang mengatur, karena persiapannya cepat sekali).
Pada kelompok pemuda Desa Blacanan, sentralisasi struktur pengambilan keputusan diperlihatkan pada saat adanya laporan mengenai salah satu anggotanya yang mendapat pukulan dari pemuda Desa Depok. Aksi penyerangan secara besar-besaran ke Desa Depok yang mengakibatkan tewasnya salah satu warga Desa Depok sesungguhnya dipengaruhi oleh keputusan satu orang dalam kelompok pemuda Desa Blacanan. Secara cepat dan tegas, orang tersebut meyakinkan kelompoknya untuk melakukan penyerangan ke Desa Depok. Perintah untuk melakukan penyerangan ke Desa Depok hanya berupa seruan kepada kelompoknya untuk menyerang Desa Depok. Dalam waktu yang singkat, keputusan satu orang telah menjadi keputusan kelompok. Salah satu responden dari kelompok Pemuda Desa Blacanan mengemukakan sebagai berikut : “ANT ngajak saya sama anak-anak lainnya buat nyerang Desa Depok. Deknene cuma ngomong “yuk serang desa Depok”, saya sama anak-anak yang lagi nongkrong di jalan yo nganut wae (SRT,29).
3.
Solidaritas Anggota Solidaritas anggota ditunjukkan dari kekompakan dan toleransi antar
anggota kelompok dalam. Pemuda Desa Depok mengartikan bahwa solidaritas adalah tindakan yang saling melindungi diantara anggota kelompok dan tindakan yang menunjukkan kekompakkan. Pemuda Desa Blacanan mengartikan bahwa solidaritas adalah sikap yang peduli satu sama lain di dalam kelompok. Pada situasi konflik yang keras/brutal, kekompakan dan toleransi anggota dinilai lebih kuat daripada dalam konflik laten/kondisi stabil. Kekerasan konflik yang terjadi
82
antar kelompok pemuda Desa Depok dengan kelompok pemuda Desa Blacanan mendorong terbentuknya solidaritas anggota dari masing-masing kelompok. Aksi kekerasan berupa penyerangan secara massal dan brutal yang dilakukan oleh kelompok pemuda Deca Blacanan ke Desa Depok sesungguhnya merupakan suatu bentuk kesetiakawanan dan solidaritas terhadap anggota kelompoknya yang telah disakiti oleh kelompok pemuda Desa Depok. Pada saat konflik mencapai tahap konfrontasi yang ditandai oleh tindakan pemukulan yang dilakukan pemuda Desa Depok terhadap pemuda Desa Blacanan, maka kelompok pemuda Desa Blacanan segera berupaya “menyatukan kekuatan” untuk melakukan aksi pembalasan. Solidaritas dan kekompakan ini ditunjukkan dari tidak adanya anggota kelompok yang menolak untuk melakukan aksi balas dendam. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh kelompok pemuda Desa Depok yang berupaya menyerang kembali pemuda Desa Blacanan sebagai wujud pembalasan dendam atas anggota kelompok yang tersakiti.
4.
Penekanan terhadap Pembangkang dan yang Menyimpang, serta Menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma Secara tersirat, dapat diidentifikasi pada masing-masing kelompok bahwa
terdapat penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang dalam kelompok pada saat konflik memanas dan telah mencapai kekerasan. Penekanan terhadap orang-orang yang netral dalam kelompok terwujud dari tindakan yang menekan berupa hukuman-hukuman fisik yang berlaku bagi anggota kelompok yang netral dan tidak mau bertindak sesuai dengan yang diinstruksikan oleh pimpinan kelompok. Hal ini sebagaimana informasi dari salah satu tokoh masyarakat Desa Blacanan sebagai berikut :
“pemuda-pemuda di sini ndak main geng-gengan kok, tapi kalau ada konflik sama pemuda desa lain seperti yang terjadi dengan Depok itu mereka langsung bersatu, kalo ada yang ndak mau malah dimusuhi, ndak jarang dipukuli teman-temannya, jadi ya mau ndak mau mereka ikut berantem” (MSH, 49 tahun, tokoh masyarakat).
Seperti yang ditunjukkan kelompok pemuda Desa Blacanan, kelompok Desa Depok juga “memberlakukan” sanksi pada anggota kelompoknya yang tidak
83
patuh pada aturan kelompok, seperti larangan bergaul dengan pihak musuh. Namun sanksi ini tidak sampai melukai secara fisik, hanya berupa sanksi moral. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang remaja di Desa Depok sebagai berikut:
“…. aku yo maine sama cah depok tok, ora wani juga aku nek ngumpul karo cah blacanan, wedi rak dikancani, wong jare kan blacanan musuhe depok”(PR, 17 tahun). (saya bergaulnya dengan anak depok, saya tidak mau bergaul dengan anak blacanan, takut tidak ditemani, katanya blacanan musuhnya depok).
Konflik yang pernah meledak di Desa Depok menyebabkan orang-orang yang berpengaruh dalam kelompok cenderung meningkatkan kewaspadaan dalam kelompok, sehingga keberaadaan orang-orang yang netral yang memungkinkan menjadi “penghianat” kelompok sangat diwaspadai karena dianggap mengganggu stabilitas di dalam kelompok.
5.5
Ikhtisar Konflik yang terjadi di Desa Depok Kecamatan Siwalan, Kabupaten
Pekalongan memiliki aktor utama yaitu kelompok pemuda dari Desa Depok dan kelompok pemuda dari Desa Blacanan. Konflik ini dilatarbelakangi oleh isu non realistik yang memiliki sasaran pada pengakuan akan “harga diri” pada kedua kelompok yang berkonflik. Konflik ini mencapai tahap kekerasan konflik yang mengakibatkan kematian dan kerusakan. Pengungkapan sudut pandang konflik dari berbagai pihak yang terlibat menggambarkan isu-isu yang beragam serta kronologi konflik dalam rentang waktu yang berbeda. Tokoh-tokoh masyarakat mengungkapkan isu konflik secara lebih dalam dan kompleks, sedangkan dua kelompok pemuda yang menjadi aktor utama konflik hanya tertuju pada peristiwa-peristiwa dimana konflik mulai mencapai kekerasan. Kohesivitas kelompok tergambar secara nyata pada saat konflik mencapai kekerasan. Kohesivitas dua kelompok yang berkonflik menunjukkan efek positif kekerasan konflik pada hubungan internal masing-masing kelompok yang berkonflik.
84
BAB VI KASUS KONFLIK TANAH DI DESA LEMAH ABANG, KECAMATAN DORO, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 3) 6.1
Gambaran Umum Konflik Konflik yang terjadi di Desa lemah Abang, Kecamatan Doro, Kabupaten
Pekalongan adalah konflik tanah/lahan antar petani penggarap di Desa Lemah Abang dengan kelompok pemilik tanah GG (tanah desa) di Desa Lemah Abang. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan persepsi mengenai status tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah Abang yang sebelumnya telah digarap/dimanfaatkan oleh para petani penggarap di Desa Lemah Abang untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Para petani penggarap dan masyarakat Desa Lemah Abang menganggap bahwa tanah itu milik Desa Lemah Abang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, sedangkan secara yuridis kepemilikan tanah tersebut telah jatuh pada sekelompok orang (H.SHJ,Cs) yang merupakan “orang luar”. Para petani penggarap beranggapan bahwa bukti-bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh H.SHJ, Cs adalah palsu dan mereka harus mengambalikan tanah tersebut kepada masyarakat Desa Lemah Abang.
Konflik juga terjadi antara para petani
penggarap dengan aparat Desa Lemah Abang pada saat itu ( tahun 2006). Aparat desa, terutama kepala desa dianggap sebagai pihak yang menjual tanah GG tersebut kepada pihak luar secara sepihak, sehingga merugikan masyarakat Desa Lemah Abang. Kepala desa juga dianggap memanfaatkan uang hasil penjualan tanah GG tersebut untuk kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan kemarahan petani penggarap kepada kepala desa dan “kaki tangannya”. Konflik ini tidak berujung pada kekerasan/kebrutalan, namun keteganganketegangan dan kecurigaan tetap mewarnai kehidupan sosial di Desa Lemah Abang sejak “terkuaknya” kasus perebutan tanah tersebut. Hingga periode 2009, kasus ini masih belum tuntas. Masyarakat Desa Lemah Abang masih menuntut hak atas tanah tersebut, namun di sisi lain pihak BPN telah membuat pernyataan bahwa tanah tersebut telah resmi dimiliki oleh H.SHJ, Cs.
85
6.2
Gambaran Umum Desa Lemah Abang
6.2.1
Kondisi Fisik Desa Lemah Abang Desa Lemah Abang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Doro, Kabupaten Pekalongan. Jumlah total penduduk di Desa Lemah Abang adalah
3.389 jiwa dengan luas wilayah 1.150,50 Ha. Desa Lemah Abang
merupakan desa yang bertipologi desa sekitar hutan/ pegunungan. Sebaran potensi tanah yang ada di Desa Lemah Abang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran Potensi Tanah di Desa Lemah Abang Jenis Tanah Tanah Sawah Sawah Irigasi Teknis Sawah Irigasi ½ Teknis Sawah Tadah Hujan Tanah Kering Tegal Ladang Pemukiman Tanah Perkebunan Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Tanah Fasum Kas Desa Lapangan Sarana Pemerintahan Lain-lain Tanah Hutan Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Konversi
Luas (Ha) 340 12,50 120,25 207,25 395,75 200,25 195,50 42,25 42,25 14,05 9,5 1,0 0,05 3,5 358,25 255,75 77,25 25,25
Sumber : Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
Tabel 2 memperlihatkan sebaran potensi tanah yang terdapat di Desa Lemah Abang, dimana luas tanah terbesar berupa tanah kering (tanah ladang dan pemukiman). Seluruh tanah perkebunan di Desa Lemah Abang (seluas 42,25 Ha) dimiliki oleh negara. Kepemilikan tanah hutan terbagi menjadi hutan milik negara dan hutan milik PT Perhutani. Luas tanah hutan milik negara adalah 102,5 Ha, sedangkan luas tanah hutan milik PT Perhutani adalah 255,75 Ha (seluruh bagian hutan lindung). Dengan demikian, pemanfaatan potensi tanah oleh masyarakat
86
hanya terkonsentrasi pada pertanian karena masyarakat tidak dapat memanfaatkan hutan dan perkebunan yang bukan milik desa. Tanah kas desa seluas 9,5 Ha merupakan fasilitas umum yang dapat dimanfaatkan bersama oleh masyarakat Desa Lemah Abang.
6.2.2
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sebagian besar masyarakat di Desa Lemah Abang adalah masyarakat
petani, sehingga kehidupan mereka sangat tergantung pada sektor pertanian dan potensi tanah lain yang berada di Desa Lemah Abang. Secara rinci, kepemilikan tanah pertanian di Desa lemah Abang ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Tanah Pertanian yang Dimiliki Luas tanah Pertanian Jumlah Rumah Tangga yang Dimiliki Petani (RTP) Tidak memiliki tanah 50 pertanian Memiliki tanah pertanian 267 kurang dari 0,5 Ha Memiliki tanah pertanian 340 lebih dari 0,5 ha-1,0 ha Total Rumah Tangga 607 Petani (RTP)
Persentase (%) 8.24 43,98 56.01 100
Sumber: Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
Sebagian besar petani di Desa Lemah Abang memiliki tanah pertanian lebih dari 0,5 Ha. Menurut Sajogjo (1985), petani yang memiliki tanah pertanian di atas 0,5 Ha adalah petani atas. Sedangkan petani menengah (gurem) memiliki tanah pertanian kurang dari 0,5 Ha. Petani lapisan bawah/ buruh adalah petani yang tidak memiliki tanah pertanian pribadi. Dengan demikian, Rumah Tangga Petani (RTP) di Desa lemah Abang sebagian besar adalah petani atas. Rumah tangga petani yang tidak memiliki tanah pertanian, biasanya kepala rumah tangga bekerja sebagai penggarap tanah milik tetangga atau tanah kosong milik bersama dan bekerja sampingan sebagai buruh bangunan. Secara umum, karakteristik
87
masyarakat Desa Lemah Abang berdasarkan mata pencaharian pokok dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok Mata Pencaharian Petani Buruh tani Wiraswasta Pegawai Negeri Pedagang Peternak Montir Tukang kayu Tukang batu Penjahit
Jumlah (orang) 526 340 67 25 67 1 2 35 46 134
Sumber : Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
Sebagian besar masyarakat Desa Lemah Abang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Buruh tani adalah petani yang tidak memiliki lahan pribadi. Mereka bekerja sebagai penggarap lahan milik orang lain. “Profesi” petani yang menjadi mata pencaharian dominan di Desa Lemah Abang menunjukkan bahwa kehidupan sebagian besar masyarakat terkonsentrasi pada lahan/tanah. Oleh karena itu, tanah/lahan di Desa lemah Abang sangat penting untuk masyarakat, terutama para petani. Dalam kehidupan bermasyarakat, beberapa warga Desa Lemah Abang tergabung dalam lembaga-lembaga sosial seperti Organisasi perempuan, Organisasi Pemuda, Organisasi Profesi, Organisasi Bapak, dan Kelompok Gotong Royong. Secara umum, aktivitas masyarakat Desa Lemah Abang berdasarkan keanggotaannya dalam lembaga sosial ditunjukkan oleh Tabel 5.
88
Tabel 5. Aktivitas Masyarakat Desa Lemah Abang Berdasarkan Keanggotaan dalam Lembaga Sosial Lembaga Sosial Organisasi Perempuan (Muslimat) Organisasi Pemuda (Karang Taruna) Organisasi Profesi (Gapoktan) Organisasi Bapak (Reongan) Kelompok Gotong Royong (Sambatan)
Jumlah Anggota (orang) 588 87 277 330 293
Sumber : Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
Kehidupan sosial masyarakat Desa lemah Abang masih diwarnai nilainilai solidaritas dan gotong royong yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya lembaga gotong-royong yang masih aktif. Nilai-nilai kebersamaan juga ditunjukkan oleh adanya kegiatan “rewang” yaitu peran aktif warga (biasanya kaum wanita) untuk membantu secara suka rela jika ada salah satu keluarga yang mengadakan hajatan. Nilai-nilai kebersamaan ini juga ditunjukkan oleh aktivitas petani penggarap yang selalu bersama-sama memanen dan membawa hasil garapannya untuk dijual ke pasar. Selain kelembagaan sosial, Desa Lemah Abang memiliki beberapa kelembagaan ekonomi, diantaranya adalah koperasi, industri pakaian, industri makanan, dan kelompok simpan pinjam. Berdasarkan tingkat ksejahteraan, keluarga di Desa Lemah abang diklasifikasikan menjadi keluarga prasejahtera, keluarga sejahtera 1, keluarga sejahtera 2, keluarga sejahtera 3, dan keluarga sejahtera 3 plus. Karakteristik masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik Masyarakat Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Karakteristik Keluagra prasejahtera Keluarga sejahtera 1 Keluarga sejahtera 2 Keluarga sejahtera 3 Keluarga sejahtera 3 plus Jumlah Kepala Keluarga
Jumlah Keluarga 283 214 187 165 44 893
Sumber : Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan, 2008
89
Tabel 6 menunjukkan gambaran masyarakat di Desa Lemah Abang yang sebagian besar adalah keluarga prasejahtera (keluarga miskin). Terkait dengan mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar adalah petani, termasuk di dalamnya buruh tani (petani bawah), maka kondisi kesejahteraan masyarakat menunjukkan kecenderungan kemiskinan karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat terkonsentrasi pada pertanian, sedangkan tidak semua petani memiliki lahan/tanah pertanian pribadi. Petani atas (petani yang memiliki lahan pertanian di atas 0,5 Ha) juga tidak selalu dalam kondisi sejahtera, karena pendapatan dalam sektor pertanian sangat tergantung pada hasil panen dan musim.
6.3
Pemetaan Aktor-Aktor Konflik Kasus konflik yang terjadi di Desa Lemah Abang, Kecamatan Doro
merupakan konflik realistik dengan isu perebutan tanah. Pada dasarnya, konflik yang terjadi secara langsung adalah konflik antara kelompok petani penggarap dengan kelompok pemilik sertifikat tanah sengketa. Namun, konflik ini juga melibatkan aktor lain, yaitu aparat Desa Lemah Abang yang akhirnya juga berkonflik terbuka dengan kelompok petani penggarap. Hubungan-hubungan diantara aktor-aktor konflik dapat digambarkan dalam peta konflik (Gambar 18).
90
Pemilik sertifikat tanah
Kelompok Petani Penggarap baru
Aparat Desa
LKMD
Forum Pejuang Petani Pekalongan
Kelompok Petani Penggarap Lama
BPD
Keterangan : Konflik terbuka Konflik laten
BPN kabupaten pekalongan
Hubungan kerja sama
Gambar 18. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik Tanah di Desa Lemah Abang (Kasus 3).
6.3.1
Aktor yang Terlibat dalam Konflik Dari identifikasi aktor-aktor konflik dengan melihat pada peta konflik,
terdapat tiga aktor utama yang terlibat dalam konflik. Aktor-aktor tersebut adalah pemilik sertifikat tanah sengketa, kelompok petani penggarap, dan aparat Desa Lemah Abang. Garis melengkung yang mengubungkan kelompok petani penggarap dengan pemilik sertifikat tanah dan aparat desa menunjukkan konflik yang nyata/terbuka. Garis lurus yang menghubungkan kelompok petani penggarap baru dengan Forum Pejuang Petani Pekalongan (FPPP) dan BPD serta yang menghubungkan BPD dengan FPPP menunjukkan hubungan kerja sama. Dalam kasus ini, FPPP bertindak sebagai mediator yang berupaya menengahi konflik tanah yang terjadi di antara kelompok petani penggarap baru, aparat desa, dan pemilik sertifikat tanah. Dalam konflik yang terjadi di Desa lemah Abang, aktor yang bertindak sebagai aktor utama adalah petani penggarap baru dengan pemilik
91
sertitfikat tanah. Namun keberadaan petani penggarap lama ini tidak diketahui oleh petani penggarap yang baru, dan hubungan kerja sama yang pernah dilakukan oleh petani penggarap lama dengan pemilik sertifikat tanah tidak pernah diketahui oleh petani penggarap baru. Kerancuan ini kemudian akan dijelaskan pada penggambaran konflik. Konflik laten terjadi antara kelompok petani penggarap dengan BPN Kabupaten Pekalongan dan LKMD serta antara Forum Pejuang Petani Peklaongan dengan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pekalongan. Dari sejumlah aktor yang terlihat dalam peta konflik, dapat digambarkan secara rinci empat profil aktor yang berperan terlibat langsung dalam konflik.
6.3.1.1 Pemilik Sertifikat Tanah Sengketa Pemilik tanah sengketa adalah H.SHJ dengan 9 orang temannya yang merupakan tuan tanah di Kabupaten Pekalongan. Pada tahun 2005, beliau menunjukkan bukti kepemilikan tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah Abang yang sebelumnya tidak jelas statusnya. Beliau mengaku telah memiliki tanah tersebut secara resmi dengan memperlihatkan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN pada tahun 2005. Beliau adalah warga luar Desa Lemah Abang yang telah banyak memiliki tanah pertanian dengan di wilayah Kabupaten Pekalongan. Kemunculan beliau dan teman-temannya yang tiba-tiba mengklaim tanah pertanian di Desa Lemah Abang sangat mengejutkan bagi para petani penggarap yang sebelumnya menganggap tanah tersebut adalah tanah adat.
6.3.1.2 Kelompok Petani Penggarap Baru Kelompok petani penggarap yang tengah berkonflik dengan H.SHJ, Cs pada awalnya sejumlah 64 orang, namun saat ini jumlah mereka bertambah karena tanah itu biasanya diwariskan secara turun-temurun dari petani yang telah menggarap tanah tersebut sebelumnya. Ke-64 orang petani penggarap tersebut mengaku bahwa mereka telah menggarap tanah tersebut sejak tahun 1960- an dan mereka mendapat penghasilan dari garapan tersebut. Di tanah seluas 5 Ha tersebut, mereka dapat menanam apapun untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti kangkung, pisang dan sebagainya yang hasilnya memungkinkan
92
untuk dijual sehingga menambah penghasilan mereka. Selain bekerja sebagai petani penggarap, pada umumnya mereka juga bekerja sebagai buruh lepas.
6.3.1.3 Kelompok Petani Penggarap Lama Petani penggarap lama adalah petani penggarap yang telah terlebih dahulu menggarap tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah Abang. Petani penggarap lama ini sesungguhnya adalah pihak yang bekerja sama dengan H.SHJ, Cs dalam pengalihan kepemilikan tanah yang tengah dipermasalahkan. Namun hal ini tidak pernah diketahui oleh petani penggarap yang baru. Petani penggarap lama telah menggarap tanah seluas 5 Ha yang terdapat di Desa lemah Abang dalam kurun waktu 20 tahun. Berdasarkan PP.24/1997 pasal 32 ayat 2 tentang kepemilikan tanah, tanah yang “menganggur” yang terdapat dalam suatu wilayah kemudian tanah tersebut telah dimanfaatkan oleh satu atau beberapa orang dalam jangka waktu minimal 20 tahun, maka tanah itu telah menjadi hak orang-orang tersebut dengan mengajukan permohonan hak kepemilikan tanah kepada negara. Petani penggarap lama yang telah menggarap tanahnya selama 20 tahun hingga tahun 1996 telah menjadi pemilik tanah pada saat itu.
6.3.1.4 Aparat Desa Lemah Abang Aparat Desa Lemah Abang yang pada saat itu tengah berkonflik dengan para petani penggarap diantaranya adalah Lurah Desa Lemah Abang yang masih menjabat pada tahun 2005, yaitu Bapak KNT, Sekertaris Desa, wakil lurah, serta beberapa ketua RT dan ketua RW. Namun pada saat ini Lurah Desa Lemah Abang telah digantikan oleh dua orang lurah yang baru. Awalnya, aparat Desa Lemah Abang tidak berkonflik dengan masyarakat petani penggarap, namun karena muncul dugaan adanya kerjasama pemalsuan sertifikat jual beli tanah dengan H.SHJ, maka kemarahan petani penggarap juga terjadi pada aparat desa pada saat itu.
6.3.1.5 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Pekalongan Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu pihak yang berperan dalam penanganan perkara sengketa tanah di Desa Lemah
93
Abang, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan. BPN Kabupaten Pekalongan juga bertindak sebagai peneliti terhadap data-data yang ada di kantor BPN berkaitan dengan status tanah yang tengah menjadi sengketa di Desa lemah Abang. Hasil penelitian dan penyelidikan perkara yang telah dikaji oleh BPN berkaitan dengan data-data mengenai status tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah abang mengungkapkan fakta yang berlawanan dengan argumen para petani penggarap yang menuntut pengembalian hak atas tanah tersebut. Selain itu, BPN telah mengeluarkan sertifikat tanah atas nama H.SHJ,Cs sebagai pemilik tanah yang sah. Maka dalam proses terjadinya konflik, pihak BPN merupakan salah satu aktor yang terlibat dalam konflik laten dengan para petani penggarap di Desa Lemah Abang.
6.3.2
Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Aktor-Aktor Konflik
6.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Petani Penggarap di Desa Lemah Abang Pada kasus di Desa Lemah Abang, sejumlah masyarakat petani penggarap “berstatus” sebagai pemilik tanah desa seluas 5 Ha yang mereka sebut sebagai tanah GG. Yang dimaksud dengan tanah desa/tanah GG adalah tanah dimana masyarakat desa berhak memanfaatkan hasil yang mereka tanam/garap di atas tanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Berdasarkan informasi yang didapatkan di lapang, tanah GG/tanah desa yang konon tengah menjadi sengketa telah menghasilkan pendapatan yang cukup menguntungkan bagi masyarakat petani. Di atas tanah seluas 5 hektar tersebut masing-masing petani penggarap berhak menanam apapun yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka/ dapat menghasilkan uang, misalnya tanaman pisang, kangkung, dan sebagainya, yang hasilnya dapat mereka manfaatkan untuk dimakan ataupun dijual. Jika mereka sudah berhenti menjadi petani penggarap, mereka kemudian mewariskan petak-petak tanah yang tadinya mereka garap kepada anak-cucu mereka. Tanah tersebut telah menjadi asset yang cukup berharga bagi masyarakat petani di Desa lemah Abang sejak tahun 1960 an.
94
Konflik kepemilikan tanah seluas 5 ha yang terjadi sejak tahun 2005 di desa lemah abang ini meresahkan warga serta aparat Desa Lemah Abang. Konflik ini muncul karena adanya indikasi pemalsuan sertifikat tanah yang dilakukan oleh H.SNJ yang mengatasnamakan dirinya sebagai pemilik tanah tersebut. Konflik ini kemudian melebar menjadi konflik antar petani penggarap dengan aparat desa, karena aparat desa, terutama kepala desa (lurah) pada saat itu dinilai bertindak semena-mena menjual tanah desa yang sejak tahun 60 telah digarap oleh masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kepala desa pada saat itu adalah Bapak KNT, beliau pada saat itu dinilai melakukan kecurangan untuk kepentingan pribadi karena secara sepihak menjual tanah milik desa. Hal yang lebih membuat warga kesal, H.SNJ adalah warga luar desa lemah abang sehingga tanah tersebut jatuh ke tangan orang luar, padahal banyak warga yang membutuhkan tanah tersebut. Yang lebih mengecewakan, uang hasil penjualan tanah tersebut sedikitpun tidak dinikmati masyarakat, khususnya para petani penggarap. Uang hasil penjualan ini diduga untuk kepentingan pribadi. Kasus ini kemudian semakin mencuat ke permukaan pada tahun 2006 dengan diwarnai berbagai aksi protes dan demonstrasi ke berbagai pihak, diantaranya ke kantor Kecamatan Doro, Pemda Kabupaten Pekalongan, dan secara terus menerus ke Kantor Desa Lemah Abang. Berbagai pihak telah berupaya melakukan mediasi untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi pihak-pihak yang berkonflik diantaranya adalah proses konsultasi hukum dan hearing yang dilakukan oleh Forum Pejuang Petani Pekalongan (FPPP) dengan Setda Kabupaten Pekalongan , namun proses mediasi menghasilkan jalan buntu. Warga desa Lemah Abang tetap tidak bisa me-reklaim tanah itu kembali. Warga Desa Lemah Abang mengaku sudah tidak berdaya untuk “merebut” tanah/ tanah GG itu. Karena tidak juga ada jalan penyelesaian, isu konflik menjadi semakin berkembang hingga ada pihak luar yang dianggap sebagai “oknum-oknum” yang terlibat dalam proses penjualan tanah/tanah GG yang dianggap tidak sah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bapak WRS (45) sebagai berikut :
“waktu itu orang tua saya diampiri sama orang dari LKMD, disuruh menandatangani surat, orang tua saya yang merupakan tokoh masyarakat di
95 desa ini jelas curiga, mesti ada kaitannya dengan tanah GG, ya orang tua saya ndak mau, karena curiga sama orang-orang itu, siapa tau kaki tangannya H.SHJ” (WRS,45 tahun).
Sejak kepengurusan Lurah KNT berakhir pada akhir tahun 2006, hingga saat ini, beliau tidak pernah lagi datang ke Lemah Abang untuk menyelesaikan kasus ini. Saat ini tanah tersebut telah benar-benar “terbebas” dari sentuhan masyarakat petani penggarap di Desa Lemah Abang dan telah digarap oleh kaki tangan H.SHJ, Cs. Kesedihan dan kekecewaan masyarakat masih nampak pada saat peneliti mendatangi informan-informan terkait untuk melakukan wawancara mendalam. Salah satu informan yang merupakan tokoh masyarakat di Desa Lemah Abang mengemukakan kekecewaannya sebagai berikut:
“ Sekarang H.SHJ nanam sengon di tanah itu, satu periode panen sengon hasilnya itu bisa ratusan juta rupiah, coba kalo tanah itu bisa diambil kembali, pasti masyarakat desa lemah abang sudah lebih sejahtera. (WRS,45 tahun).”
Sejak kepemilikan tanah GG itu jatuh ke tangan H.SHJ, masyarakat masih sering memantau kondisi tanah yang sebelumya pernah mereka garap. Kasus konflik tanah di Desa Lemah Abang hingga saat ini belum terselesaikan karena masih belum ada pembuktian mengenai kesahihan sertifikat tanah yang dimiliki oleh H.SHJ. Masyarakat Desa dan aparat desa Lemah Abang yang menjabat saat ini sedang berupaya menempuh jalur hukum untuk mendapatkan kepastian hak atas tanah sengketa tersebut. Salah satu petani penggarap mengungkapkan keinginan untuk menempuh jalur hukum sebagai berikut:
“secepatnya masyarakat ingin menempuh jalur hukum dengan ngajukan gugatan perdata dan pidana karena H.SHJ itu telah malsukan sertifikat, data sama identitasnya, yo nek nanti keputusannya di pengadilan toh dia menang, yo wis ben, warga ndak akan ribut lagi, lha nek pihak petani yang menang yo berarti tanah itu kudune balik ke desa, sing penting yo biar jelas” (RKB,50 tahun).
Secara kronologis, konflik yang terjadi menurut pandangan masyarakat Desa
Lemah Abang khususnya para petani penggarap dan tokoh masyarakat diawali dengan kedatangan “orang-orang” asing ke Desa lemah Abang yang tiba-tiba mengklaim kepemilikan tanah desa/tanah GG. Pada tahap ini, ketegangan
96
langsung muncul di antara kedua belah pihak karena sama-sama berupaya mempertahankan haknya. Namun pada tahun 2005 konflik belum muncul ke permukaan meskipun sudah terlihat. Konflik baru muncul ke permukaan pada tahun 2006. Dalam prosesnya, kronologi konflik menurut masyarakat Desa Lemah Abang menunjukkan “aktivitas konflik” yang dinamis, dimana konflik kembali tenggelam dan naik yang dipengaruhi oleh adanya pihak lain yang ingin berperan dalam upaya penyelesaian konflik (Gambar 19).
Tahun 2005
Tahun 2006
Kedatangan H.SHJ yang mengklaim tanah desa/tanah GG.
Kasus mencuat ke permukaan dengan diwarnai demo/protes-protes yang ditujukan pada lurah, kantor kecamatan, dan Pemkab Pekalongan.
Akhir tahun 2006
Lurah KNT pensiun dan digantikan oleh lurah baru, semenjak saat ini konflik kembali tenggelam
Tahun 2007
Keterlibatan FPPP dalam upaya penyelesaian konflik, pada saat ini isu kembali hangat dan masyarakat kembali bersemangat untuk menuntut hak atas tanah, akhirnya pada bulan Desember 2007 dilakukan upaya konsultasi hukum.
Tahun 2007- 2009
Upaya penyelesaian kasus kembali “mandeg” dan hingga kini hanya diwarnai tuntutan-tuntutan terhadap aparat desa yang baru untuk menyelesaikan kasus ini.
Gambar 19. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Tokoh Masyarakat dan Petani Penggarap di Desa Lemah Abang.
97
Menurut masyarakat Desa Lemah Abang, yang menjadi inti permasalahan yang mendorong konflik antara para petani penggarap dengan H.SHJ, Cs dan aparat desa adalah perebutan hak atas tanah. Masalah ini terjadi karena ketidakjelasan status tanah di desa. Masyarakat tidak memiliki bukti-bukti otentik bahwa mereka memiliki hak atas sebidang tanah tersebut. Pada dasarnya, kepala desa (lurah) merupakan pihak yang paling berkuasa mengenai segala perlakuan terhadap tanah di desa yang tidak jelas kememilikannya. Namun, isu yang berkembang, kepala desa /lurah Desa Lemah abang telah melakukann tindakan semena-mena karena mengalihkan hak masyarakat atas tanah desa/tanah GG kepada pihak luar yang diduga memiliki setifikat tanah yang tidak sah. Konflik ini kemudian berdampak pada hubungan yang diwarnai kebencian dan kecurigaan antara masyarakat Desa lemah Abang dengan “aktor” yang saat ini berstatus sebagai pemilik tanah GG. Dampak lain berupa tuntutan-tuntutan yang tidak pernah berhenti dirasakan oleh aparat desa yang menjabat saat ini. Dampak berupa kerugian ekonomi dirasakan oleh petani penggarap yang kini telah kehilangan sebagian pendapatannya karena tanah yang dulu mereka garap telah berpindah tangan ke pihak lain. Konflik ini kemudian menjadi pendorong bagi kekompakan di dalam komunitas yang memiliki kepentingan yang sama, yaitu kelompok petani penggarap. Segala upaya untuk mereklaim tanah GG yang telah “terampas” dilakukan seluruh anggota kelompok petani penggarap karena kesadaran akan kebutuhan bersama (Gambar 20).
98
Kerugian ekonomi (-)
EFEK Tuntutan-tuntutan yang selalu muncul (-)
Kebencian dan kecurigaan (-)
MASALAH INTI
Kekompakan dalam komunitas (+)
Perebutan hak atas tanah
AKAR
Aparat desa yang tidak adil
Gambar 20. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemaparan Masyarakat Desa Lemah Abang. 6.3.2.2 Pemahaman Konflik Kabupaten Pekalongan
Menurut
Badan
Pertanahan
Nasional
Pihak BPN Kabupaten Pekalongan bertindak sebagai badan hukum yang menangani masalah konflik tanah yang terjadi antara sejumlah petani penggarap di Desa Lemah Abang dengan H. SHJ, Cs yang berbuntut panjang. Pihak BPN mengemukakan bahwa yang bersalah dalam konflik ini adalah para petani penggarap di Desa Lemah Abang. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap berkas-berkas terkait, sertifikat tanah yang dimiliki oleh H. SHJ cs adalah legal. H.SHJ cs berhak menggunakan secara penuh tanah seluas 5 Ha di Desa Lemah Abang karena beliau merupakan pemilik tanah yang sah. Pihak BPN mengungkapkan bahwa para petani penggarap sebenarnya tahu bahwa tanah itu adalah tanah negara, namun mereka mengklaim bahwa tanah itu adalah milik Desa lemah Abang agar mereka tetap mendapat penghasilan dari tanah tersebut. Awal terjadinya konflik tanah ini adalah pada waktu H.SHJ cs menunjukkan sertifikat tanah atas nama dirinya dan 9 orang temannya pada tahun 2005. Hal ini memancing emosi masyarakat karena mereka telah menganggap tanah tersebut adalah milik desa yang diwariskan secara turun-temurun. Namun faktanya, proses yang telah dilakukan H.SHJ, Cs telah sah menurut UndangUndang pertanahan untuk menjadikannya sebagai pemilik tanah.
99
Pada tahun 1977, H SHJ, Cs (10 orang) mengajukan pengukuran terhadap tanah GG (tanah negara) yang kini menjadi sengketa dan disebut masyarakat Desa lemah Abang sebagai tanah desa. Proses ini dibuktikan dengan adanya data resmi pada DI.302 (permohonan ukur) data BPN tanggal 10 Desember tahun 1997. Pada tanggal 3 Januari 1998 dilakukan pengukuran oleh petugas dari Kantor Pertanahan Kabupaten Pekalongan, selanjutnya diterbitkan GS (Gambar situasi) pada tanggal 8 Mei 1998, No. 00001 s/d 0010/1998. Pada tanggal 13 Januari 1998 datang pihak dari LMD dan LKMD yang mengirim surat kepada Bupati Pekalongan yang berisi pernyataan keberatan apabila tanah GG tersebut dimohon oleh H.SHJ, Cs. Namun alasan keberatan ini tidak dikemukakan oleh pihak BPN kepada peneliti. Perkembangan lebih lanjut, dengan suratnya pada tanggal 10 April 1999, pihak LKMD dan LMD yang mengajukan keberatan terhadap permohonan kepemilikan tanah oleh H.SHJ, Cs mencabut suratnya pada tanggal 13 Januari 1998. Akhirnya,setelah melalui proses yang sesuai dengan prosedur, pada tanggal 22 Juni 1999 berdasarkan surat keputusan Kantor Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pekalongan, H.SHJ, Cs telah resmi menjadi pemilik sah dari tanah GG di Desa lemah Abang dengan Hak Milik No. 159 s/d 168. Setelah terbit sertifikat tanah atas nama H. SHJ, Cs, pada tahun 2006, ketua BPD Lemah Abang pada saat itu membuat surat pengaduan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pekalongan yang isinya berupa permintaan penjelasan mengenai alasan mengapa tanah GG Desa Lemah Abang tersebut telah dimiliki oleh H. SHJ, Cs dan tuntutan agar tanah GG tersebut dikembalikan kepada penggarap. Pengaduan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan memberi penjelasan mengena proses pemberian hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Pekalongan. Namun, upaya menuntut kembali tanah GG yang telah dimiliki secara sah oleh H.SHj, Cs tetap berlanjut, bahkan sampai pada tingkat komisi A. DPRD Kabupaten Pekalongan yang juga telah meminta keterangan kepada BPN yang selanjutnya dilakukan pertemuan pertemuan dengan masyarakat penggarap, pemegang hak, Kepala Desa, Kepala pemerintahan, kecamatan dan tokoh masyarakat untuk menyelesaikan konflik melalui musyawarah. Keputusan akhir dari musyawarah tersebut adalah “bekas” petani penggarap tetap menuntut agar tanah GG tersebut dikembalikan.
100
Pihak BPN menyatakan bahwa upaya hukum melalui jalur pengadilan sebaiknya ditempuh oleh kedua belah pihak untuk menuntaskan masalah dan tidak memungkinkan konflik kembali terangkat. Sesungguhnya masalah konflik tanah ini tidak perlu diperpanjang lagi karena sudah ada kejelasan bahwa H.SHJ, Cs, telah melalui proses hukum yang legal untuk mendapatkan kepemilikan tanah GG tersebut. Pada dasarnya, hal yang tidak diketahui oleh masyarakat petani penggarap adalah sejarah lahan tersebut yang sebelumnya telah dikelola oleh petani-petani penggarap sebelum mereka selama 20 tahun. Menurut hukum land reform, petani-petani penggarap yang lama tersebut telah dapat memiliki tanah GG secara hukum dengan mengajukan permohonan pengalihan hak atas tanah negara kepada pemerintah dan membayar “uang ganti” kepada negara yang selanjutnya uang itu akan menjadi pemasukan negara. Namun, petani-petani penggarap lama tersebut memilih untuk mengalihkan tanah GG kepada H. SHJ, Cs yang berniat untuk membeli tanah tersebut agar mereka mendapat uang ganti atas semua yang telah mereka tanam di tanah tersebut. Kemudian H.SHJ, Cs secara prosedural telah mengajukan permohonan hak milik atas tanah dan telah membayar uang ganti kepada negara dan petani-petani penggarap lama. Hal ini ternyata tidak diketahui oleh petani penggarap baru yang baru menggarap tanah GG tersebut selama beberapa tahun karena petani penggarap yang lama telah meninggal dunia. Kemudian tanpa dasar yang jelas, petani penggarap baru mengaku bahwa tanah tersebut telah menjadi hak mereka untuk digarap. Konflik yang terjadi didasari ketidaktahuan masyarakat mengenai status tanah GG di desanya. Selain itu, diduga adanya provokasi dari FPPP untuk mempermasalahkan tanah GG karena sebelum FPPP hadir, masyarakat dan BPD Lemah Abang tidak mempermasalahkan tanah tersebut. Perwakilan bagian sengketa tanah BPN Pekalongan mengungkapkan pandangannya faktor konflik di di Desa Lemah Abang sebagai berikut : “Justru petani itu mulai ribut pada waktu FPPP datang, namanya juga LSM, mereka itu cenderung memanas-manasi masyarakat untuk mengangkat kasus yang sudah jelas tidak harus dipermasalahkan”(JKM, 48 tahun, staf BPN)
Jika
konflik
ini
memang
dipicu
oleh
provokasi,
bukan
suatu
ketidakmungkinan bahwa pada suatu saat akan ada pihak lain yang melakukan
101
provokasi serupa untuk mengangkat kasus ini ke permukaan untuk kepentingankepentingan pribadi. Pihak-pihak yang di luar badan hukum yang “berminat” untuk memfasilitasi masyarakat desa dalam menyelesaikan konflik lahan diduga memiliki kepentingan pribadi yang dapat diperoleh dari proses resolusi konflik. Hal ini diungkapkan oleh informan sebagai berikut: “…namanya aja LSM toh, mereka motifnya apa kalau bukan mencari uang, waktu itu kan gencar sekali LSM mau memfasilitasi petani ke jalur hukum, tapi buktinya apa, sekarang malah mandeg, pasti karena petani ndak bisa mbayar, ya otomatis LSM ninggalin begitu saja” (JKM, 48 tahun, staf BPN).
Tanah di suatu wilayah yang tidak dimiliki secara sah oleh seseorang/ pihak tertentu adalah tanah negara. Namun tanah ini bisa menjadi hak milik orang yang menghendakinya dengan mengajukan permohonan hak milik kepada negara dan membayar uang ganti kepada negara seperti yang telah dilakukan oleh H.SHJ, Cs. Pihak BPN menyatakan bahwa konflik tanah yang terjadi di Desa Lemah Abang dikarenakan oleh ketidakpahaman masyarakat desa mengenai status tanah yang ada di desanya. Secara runtut, kronologi konflik tanah di Desa Lemah Abang menurut pandangan Badan Pertanahan Nasional dapat dipaparkan dalam skema kronologi (Gambar 21).
Sebelum tahun 1998
3 Januari 1998
13 Januari 1998
H.SHJ, Cs telah membeli tahan GG dari petani penggarap lama. Pengukuran Tanah GG oleh Petugas Kantor Pertanahan Kabupaten Pekalongan. Pengajuan surat keberatan dari pihak LKMD dan LMD mengenai permohonan atas tanah GG oleh H. SHJ, Cs.
102
18 Mei 1998
H.SHJ,Cs mengajukan permohonan atas tanah GG.
1 April 1999
Pihak LKMD dan LMD mencabut surat keberatan ats permohonan tanah GG oleh H.SHJ, Cs.
22 Juni 1999
Pemberian Hak milik kepada H.SHJ, Cs atas tanah GG berdasarkan keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pekalongan.
7 Februari 2006
Sertifikat tanah atas nama H.SHJ, Cs terbit dan diketahui oleh Ketua BPD. Ketua BPD kemudian melayangkan surat pengaduan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten pekalongan.
2006
2006- 2009
Musyawarah yang melibatkan petani penggarap, Konflik belum selesai, namun upaya menuju proses pengadilan masih tersendat.
Gambar 21. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Pihak BPN Kabupaten Pekalongan
Kronologi konflik yang diungkapkan oleh BPN Kabupaten pekalongan menggambarkan bahwa proses terjadi dalam skala waktu yang cukup lama, dimana awal konflik didahului oleh proses yang melibatkan “aktor fiktif” yang saat ini sudah tidak ada. Proses ini mengawali “kebingungan” dan kecurigaan masyarakat Desa lemah Abang yang akhirnya melahirkan konflik kepentingan yang belum belum tuntas hingga saat ini. Isu konflik yang dikemukakan pihak
103
BPN memperlihatkan kecenderungan yang berbeda dengan penafsiran isu oleh petani penggarap baru. Menurut pandangan pihak BPN, konflik tanah yang terjadi di Desa Lemah Abang memiliki akar masalah ketidaktahuan masyarakat mengenai status lahan. Masyarakat desa cenderung merasa memiliki lahan tersebut karena kebutuhan mereka atas tanah tersebut. Pihak BPN beranggapan bahwa konflik kepentingan tersebut tidak akan terjadi jika tidak ada pihak luar yang mengangkat isu ke permukaan. Konflik yang melibatkan cukup banyak pihak ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Pihak BPN telah memberi penjelasan kepada Badan Perwakilan Desa (BPD) Lemah Abang bahwa status tanah GG di Desa Lemah abang tersebut sebelumnya adalah tanah negara, bukan tanah desa atau tanah adat. Tanah negara dapat dijadikan hak milik jika pihak yang telah memanfaatkan tanah tersebut selama 20 tahun mengajukan permohonan hak milik atas tanah. Namun, masyarakat tidak dengan mudah percaya mengenai status tanah yang ada di Desa Lemah Abang. Masyarakat selalu menganggap bahwa lembaga hukum berlaku tidak adil. Akibat konflik yang muncul ke permukaan yang diduga dipengaruhi oleh aksi provokasi pihak-pihak yang berkepentingan, bukan tidak mungkin pada waktu-waktu tertentu isu kembali diangkat untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak “asing” (Gambar 22).
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum
Kecurigaan yang berlanjut Pemanfaatan isu oleh pihak lain EFEK
MASALAH INTI
Perebutan hak atas lahan
AKAR Ketidaktahuan masyarakat mengenai status lahan
Provokasi
Gambar 22. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemaparan Pihak BPN Kabupaten Pekalongan.
104
6.3.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik Dari pemaparan konflik berdasarkan sudut pandang BPN dan masyarakat Desa lemah abang, terdapat perbedaan yang mendasar terhadap pemahaman mengenai konflik yang terjadi.
Hal yang paling mendasar yang menjadi
perbedaan sudut pandang keduanya adalah mengenai isu konflik. Dapat disimpulkan bahwa para petani penggarap yang berkonflik dengan pemilik sah tanah GG (H.SHJ,Cs) memiliki kepentingan yang mendasar bagi kehidupan mereka, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pokok. Tanah yang telah mereka garap selama beberapa tahun mengandung nilai-nilai pokok bagi masyarakat desa dan keberadaannya sangat bermanfaat jika dikelola sepenuhnya oleh masyarakat Desa Lemah Abang. Masyarakat Desa Lemah Abang beranggapan bahwa konflik terjadi akibat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh aparat desa pada saat itu dan pihak “asing” untuk menguasai tanah GG di Desa Lemah Abang. Sedangkan BPN yang merupakan lembaga hukum yang berwenang untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa tanah memiliki argumen yang kuat bahwa dalam kasus ini yang bersalah adalah para petani penggarap yang telah “dibujuk” oleh pihak FPPP untuk mempermasalahkan peralihan hak tanah tersebut. Perbedaan sudut pandang ini dikarenakan posisi dan kepentingan yang berbeda di antara kedua belah pihak. Di satu sisi, petani penggarap tidak ingin kehilangan “properti” yang berharga bagi mereka dan seluruh masyarakat Desa Lemah Abang. Pada sisi lain, BPN sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam menangani “ketidakseimbangan” dalam masyarakat akibat masalah agraria telah melakukan “kajian” yang dianggap sahih bahwa tidak ada kecurangan dan keilegalan dalam pemberian hak atas tanah GG terhadap H.SHJ, Cs yang dianggap masyarakat abang sebagai “pemicu konflik”. Masyarakat dianggap tidak mengerti mengenai status hukum tanah yang tengah menjadi sengketa. Perbedaan pemahaman mengenai konflik juga terlihat pada penilaian dan tanggapan kedua pihak (dalam hal ini BPN dan petani penggarap) terhadap “aktor-aktor” lain yang terlibat dalam konflik. Masyarakat desa dengan mudah menaruh curiga kepada pihak-pihak yang ingin “campur tangan” pada masalah konflik tanah GG. Hal ini dikarenakan ketakutan dan kekhawatiran mereka bahwa
105
pihak-pihak yang “campur tangan” tersebut adalah oknum-oknum dari pihak H.SHJ, Cs yang berupaya untuk mempermudah perkara dengan cara melakukan pendekatan kepada masyarakat. Hal ini dinyatakan oleh salah satu informan sebagai berikut : “waktu itu orang tua saya diampiri sama orang dari LKMD, disuruh menandatangani surat, orang tua saya yang merupakan tokoh masyarakat di desa ini jelas curiga, mesti ada kaitannya dengan tanah GG, ya orang tua saya ndak mau, karena curiga sama orang-orang itu, siapa tau kaki tangannya H.SHJ” (WRS,45 tahun, aparat desa).
Masyarakat beranggapan bahwa LKMD berada di pihak H.SHJ karena berupaya melakukan pendekatan ke masyarakat, dan pada suatu kesempatan mereka meminta tanda-tangan dari beberapa tokoh masyarakat di atas selembar surat yang tidak diketahui isinya. Namun ternyata, jika ditinjau dari kronologi konflik menurut pemahaman BPN, pada tanggal 13 Januari 1998 LKMD menyatakan keberatan kepada Bupati Pekalongan atas permohonan yang hak tanah GG yang diajukan oleh H.SHJ, Cs. Perbedaan penilaian dari kedua belah pihak ini dikarenakan perbedaan situasi yang dirasakan antara pihak BPN dengan masyarakat desa. Masyarakat desa dalam kasus ini berada pada situasi yang dirugikan, sehingga kecurigaan selalu ada dalam menilai keterlibatan pihak lain. Pengungkapan kronologi konflik yang berbeda juga diperlihatkan dengan jelas dari sudut pandang kedua belah pihak. BPN telah mengidentifikasi konflik laten yang terjadi sejak tahun 1998, yaitu sejak H.SHJ, Cs mengajukan permohonan kepemilikan tanah GG di Desa Lemah Abang. Sedangkan masyarakat hanya “mengakui” bahwa konflik berawal dari klaim yang dilakukan H.SHJ terhadap tanah GG pada tahun 2005. Pemaparan kronologi konflik yang diungkapkan kedua belah pihak ini menggambarkan rentang waktu konflik yang berbeda serta gambaran aksi yang berbeda pula. Konflik tanah yang terjadi antara sejumlah petani penggarap di Desa Lemah Abang dengan H.SHJ, Cs dapat dianalisis dengan “teori kebutuhan manusia” menurut Fisher, et.al., (2000) yang menilai bahwa konflik disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Kebutuhan yang terhalangi adalah tanah.
Para petani penggarap di Desa Lemah Abang
merasa terhalangi dalam melakukan akses dan kontrol terhadap kebutuhannya,
106
yaitu tanah yang telah diklaim oleh pihak lain secara tidak sah. Di satu sisi, pihak H.SHJ, Cs telah membayar ganti rugi kepada petani penggarap lama dan melakukan proses yang sah. Kebutuhan akan sasaran yang sama menjadi “tumbukan” kepentingan di antara dua aktor yang berkonflik.
6.4
Kaitan antara Isu Perebutan Tanah dengan Kebrutalan Konflik Konflik yang
terjadi di Desa Lemah Abang berakar pada isu yang
realistik, yaitu mengenai sumber ekonomi berupa tanah. Konflik tidak sampai pada kebrutalan konflik. Hal ini sejalan dengan teori Coser (1957) bahwa konflik yang disebabkan oleh isu realistik cenderung tidak brutal.
Aktor-aktor yang
berkonflik hanya berupaya mencapai konsensus dengan konsultasi hukum dan upaya untuk beranjak pada meja hijau untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Sasaran yang ingin dicapai oleh petani penggarap adalah kembalinya “aset” mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup, sedangkan sasaran yang ingin dicapai oleh H.SHJ, Cs adalah pengakuan
masyarakat Desa Lemah Abang
mengenai status tanah yang telah dimilikinya. Dalam kasus konflik perebutan tanah ini, kekerasan/kebrutalan tidak terjadi dikarenakan tanah yang menjadi sumber konflik bukan menyangkut “hidup mati” para petani penggarap dan masyarakat setempat karena mereka memiliki mata pencaharian lain sebagai sumber pendapatan. Pada kasus lain di Indonesia, konflik realistik yang berupa perebutan tanah semacam ini tidak jarang yang mencapai kekerasan dan kebrutalan yang menyebabkan kematian dan kerusakan fisik serta sosial. Hal ini dikarenakan tanah yang menjadi sumber konflik adalah satu-satunya pemenuh kebutuhan hidup masyarakat yang sangat krusial yang tidak boleh dikuasai oleh pihak lain. Meskipun tidak mencapai tahap kekerasan konflik, namun konflik tanah ini sudah sampai tahap manifest (terbuka) yang berdampak terhadap sistem sosial yang ada di Desa Lemah Abang. Bukan tidak memungkinkan jika suatu saat konflik dapat mencapai kebrutalan/kekerasan, namun hal ini tergantung pada kondisi kelompok dan “musuh” yang dihadapinya pada saat kebutuhan akan tanah tersebut semakin mendesak.
107
6.5
Kaitan antara Konflik dengan Kohesivitas Kelompok Teori Coser (1957) mengenai kebrutalan konflik dan kohesi kelompok
menyatakan bahwa kebrutalan atau kekerasan konflik secara nyata berfungsi positif terhadap keeratan/kohesi kelompok. Namun, pada kasus ini tidak terjadi kekerasan konflik. Meskipun tidak terjadi kekerasan/kebrutalan, kohesi/keeratan kelompok ditunjukkan oleh aktor konflik, yaitu kelompok petani penggarap. Aspek dari kohesi/keeratan kelompok paling ditunjukkan oleh kekompakan di antara para petani penggarap. Pada saat konflik naik ke permukaan, kelompok petani penggarap cenderung lebih menunjukkan “kebersamaan” dalam melakukan upaya-upaya untuk mencapai sasaran yang sejalan. Pada saat kebutuhan mereka atas tanah terancam, mereka secara bersama-sama melakukan aksi-aksi tuntutan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap “pengambilan” hak mereka. Hal ini dikemukakan oleh salah satu responden “bekas” petani penggarap sebagai berikut : “waktu demo ya saya yang ngatur, habisnya kalo ndak gitu ya ndak ada yang berani maju, sampe kapan mau terkatung-katung terus, pas saya maju yo pada manut” (SYT,45 tahun).
Kepentingan kelompok menjadi sesuatu yang lebih diperhatikan pada saat terjadi konflik dengan pihak luar, sehingga keputusan satu orang yang dianggap dapat menguntungkan kelompok dengan mudah menjadi keputusan bersama, karena pada saat kebutuhan tengah “dikendalikan” oleh pihak lain, dibutuhkan tindakan yang cepat untuk merebut kebutuhan itu kembali. Interaksi antar angota kelompok semakin intens ketika ketegangan yang dirasakan kepada pihak lain yang merampas hak-hak mereka semakin “dibangkitkan” oleh sikap-sikap yang tidak mengacuhkan kebutuhan mereka. Pada saat seperti ini, komunikasi di antara para anggota kelompok semakin intens untuk menemukan solusi bagaimana cara mereka untuk mendapatkan kembali “hak yang hilang”. Para petani penggarap lebih sering mengadakan rapat dan musyawarah
untuk membahas masalah
konflik tanah yang ada di Desa Lemah Abang. Terkait dengan kekompakan dan solidaritas yang merupakan ciri dari kohesi kelompok, responden mengakui bahwa selama terjadi konflik dengan H.SHJ, Cs, tidak ada petani penggarap yang menolak untuk “beraksi” bersama karena sasaran yang diperjuangkan adalah
108
kebutuhan bersama yang sedang terancam. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu responden sebagai berikut :
“yo mana ada yang ndak mau ikut demo, lha semua berkepentingan kok, kan petani yang pingin tanah itu kembali bukan Cuma saya, jadi yo yang bertindak semuanya, biar semua bisa dapat haknya lagi” (RKB, 50 tahun, petani penggarap).
Kesadaran bersama atas kebutuhan bersama ditunjukkan para anggota kelompok dalam meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi untuk mewujudkan keputusan-keputusan dalam mencapai sasaran bersama. Solidaritas yang diartikan petani penggarap sebagai kekompakan bertindak dalam upaya mencapai tujuan bersama terbukti semakin meningkat karena terjadi konflik dengan pihak luar. Preposisi Coser mengemukakan bahwa semakin keras/ brutal konflik yang terjadi dengan kelompok/pihak luar, maka kohesivitas kelompok semakin erat. Namun dalam kasus ini, kohesivitas kelompok bukan dibentuk oleh kerasnya konflik. Hal ini dapat dijelaskan oleh kondisi kelompok sebelum terjadi konflik. Sebelum terjadi konflik dengan H.SHJ,Cs, para petani penggarap di Desa Lemah Abang selalu berinteraksi dan beraktivitas bersama karena mereka memiliki “lahan bersama”. Oleh karena itu, ada nilai-nilai lokal yang tumbuh pada keseharian mereka yang “mengikat” mereka menjadi suatu “bagian” dari masyarakat yang memiliki “aset” yang sama. Kelompok petani penggarap memiliki homogenitas yang cukup tinggi, dan di dalamnya tidak terdapat konflik internal, sehingga walaupun sifat konflik belum mengarah pada kekerasan, namun keeratan/kohesivitas kelompok tetap terbentuk.
6.6
Ikhtisar Konflik tanah
yang terjadi di Desa lemah Abang, Kecamatan Doro,
Kabupaten Pekalongan merupakan konflik realistik dengan isu utama perebutan hak atas tanah. Konflik ini melibatkan banyak aktor konflik yang terdiri dari masyarakat, lembaga hukum, dan lembaga pemerintahan. Aktor utama dalam konflik ini adalah kelompok petani penggarap di Desa Lemah Abang dengan pihak pemilik tanah yang sah, yang terdiri dari sepuluh orang yang merupakan
109
warga luar Desa Lemah Abang. Konflik ini berawal ketika tanah GG, yaitu tanah bebas negara yang diartikan sebagai tanah milik Desa Lemah Abang oleh masyarakat sekitar berpindah tangan kepada H.SHJ, Cs yang merupakan pihak yang telah memiliki hak atas tanah tersebut secara sah. Perbedaan persepsi antara masyarakat dengan lembaga hukum menyebabkan konflik ini belum berakhir hingga saat ini meskipun dalam bentuk laten. Petani penggarap dari Desa Lemah Abang masih bersikeras bahwa tanah GG tersebut adalah milik desa yang telah mereka garap secara turun-temurun. Konflik ini tidak sampai pada tahap kekerasan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai sasaran yang diinginkan adalah melalui mediasi untuk mencapai konsensus.
110
BAB VII KAITAN ANTARA ISU KONFLIK DENGAN KEBRUTALAN KONFLIK
Kasus-kasus yang dipaparkan dan dianalisis dalam tulisan ini pada dasarnya menggambarkan isu-isu konflik, kekerasan konflik dan fungsi konflik. Kasus yang “diangkat” adalah dua kasus non realistik (kasus 1 dan kasus 2) dan satu kasus realistik (kasus 3). Kasus non realistik yang telah dibahas memiliki isu-isu yang bersifat “non material” yang tidak dapat dijelaskan secara sederhana untuk mengungkapnya. Kasus konflik non realistik yang telah ditelaah membuktikan bahwa konflik mencapai tahap kebrutalan/kekerasan. Sedangkan kasus realistik yang memiliki isu realistik berupa “perebutan hak atas tanah” tidak mencapai kekerasan. Berdasarkan teori Coser mengenai keterkaitan antara isu konflik dengan kekerasan konflik, dua kasus non realistik yang telah dikaji menggambarkan kesesuaian dengan teori Coser bahwa konflik non realistik cenderung lebih keras/brutal. Kasus non realistik yang berakar pada isu agama (kasus 1) dan “harga diri” (kasus 2) yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat berujung pada perilaku/aksi kekerasan yang menyebabkan kerusakan secara fisik dan mental. Sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok-kelompok yang berkonflik tidak dapat digambarkan secara “material” sehingga penafsiran terhadap sasaran-sasaran pokok yang ingin dicapai oleh aktor-aktor konflik seringkali menjadi rancu. Konflik non realistik cenderung membelok dari tujuan konflik yang sebenarnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa “konflik” merupakan tujuan dari konflik non realistik. Konflik non realistik cenderung tidak memungkinkan tercapainya konsensus karena sasaran yang ingin dicapai oleh aktor-aktor konflik sangat “abstrak”. Semakin konflik membelok dari tujuan yang sebenarnya, maka kecenderungan konflik untuk mencapai kekerasan/kebrutalan semakin tinggi. Isuisu non realistik yang cenderung berupa “nilai-nilai” dan kesalahpahaman yang sepele dapat membawa konflik pada tingkat “kerumitan” yang tinggi untuk dipecahkan. Konflik non realistik berfungsi untuk mempertegas identitas kelompok melalui proses-proses yang mengungkapkan “permusuhan” yang
111
ditunjukkan pihak tertentu kepada pihak lain yang menjadi saingan atau musuhnya. Berbeda dengan konflik non realistik, konflik realistik memiliki sumber yang jelas yang “wujud”nya dapat dilihat dan dapat dipahami bahwa sumber konflik merupakan sasaran/objek yang mengarah pada kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Konflik realistik diduga lebih mudah mengarah pada perdamaian daripada konflik non realistik karena dapat dianalisis dengan jelas permasalahan mendasar yang menjadi tujuan yang ingin dicapai/dimiliki oleh aktor-aktor konflik. Namun demikian, kasus-kasus konflik realistik juga banyak yang mencapai kekerasan/kebrutalan bahkan menyebabkan korban jiwa, terutama jika isu konflik adalah kebutuhan manusia yang sangat krusial. Hal ini dapat digambarkan oleh sebagian kasus konflik tanah di beberapa daerah di Indonesia, dimana konflik telah menyebabkan banyak kerusakan fisik dan sosial serta korban jiwa. Konflik realistik yang terdapat di dalam analisis kasus 3 (tiga) menggambarkan bahwa konflik tanah tidak berujung pada kekerasan. Jika konflik dapat mencapai konsensus, maka dimungkinkan sumber konflik yang berupa tanah dimanfaatkan secara bersama oleh kedua aktor konflik sehingga konflik dapat diredam dan efeknya adalah hubungan sosial yang baru. Oleh sebab itu, Pada kasus 3 (tiga) tersebut, konflik realistik memiliki sumber konflik yang bukan menyangkut
kebutuhan
yang
sangat
mendasar
dan
krusial,
sehingga
kekerasan/kebrutalan dapat dihindari, karena masyarakat yang bersangkutan masih memiliki “sumber penghidupan” lain.
112
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1
Kesimpulan
1.
Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa semakin keras suatu konflik maka kohesivitas kelompok semakin erat, terlihat jelas dalam kasus 1(satu) dan 2 (dua), dimana ditemukan fakta bahwa semakin konflik menuju kekerasan, hubungan di antara anggota kelompok semakin dekat, batasan kelompok semakin tegas dan penekanan terhadap pembangkang serta yang menyimpang semakin tampak. Namun pada kasus 3 (tiga), ditemukan fakta bahwa
kohesivitas kelompok ternyata lebih dibentuk oleh nilai-nilai
kelompok berupa nilai “kepemilikan tanah bersama”. 2.
Hipotesis kedua yang menyatakan bahwa kekerasan konflik dipengaruhi oleh isu konflik terbukti oleh fakta-fakta yang ditemukan berdasarkan hasil analisis terhadap tiga kasus konflik. Dua kasus konfik non realistik yang berangkat dari isu agama (kasus 1) dan “harga diri” (kasus 2) mendorong kekerasan konflik yang mengakibatkan kerusakan secara fisik, mental dan sosial. Sedangkan konflik realistik yang berangkat dari isu perebutan hak atas tanah (kasus 3) tidak mendorong terjadinya kekerasan konflik karena tanah yang menjadi sumber konflik bukan merupakan satu-satunya sumber penghasilan masyarakat, atau bukan merupakan kebutuhan yang krusial sehingga masyarakat masih memiliki cara lain untuk mendapat penghasilan.
3.
Pada konflik non realistik, konflik mempengaruhi kohesivitas kelompok dengan cara menciptakan batasan di antara dua kelompok, mendorong sentralisasi struktur pengambilan keputusan di dalam masing-masing kelompok yang berkonflik, menciptakan solidaritas/kekompakan kelompok dalam hal melawan musuh bersama (common enemies), menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma serta mendorong kelompok untuk memberikan sanksi terhadap “penghianat” kelompok.
4.
Pada isu realistik, konflik mempengaruhi kohesivitas kelompok dengan cara mendorong peningkatan interaksi dan komunikasi diantara anggota
113
kelompok serta solidaritas/kekompakan kelompok dalam aksi-aksi untuk mendapatkan sasaran bersama untuk kebutuhan bersama.
8.2
Saran Saran yang diberikan oleh peneliti terkait dengan penelitian mengenai
studi terhadap kekerasan dan fungsi konflik adalah : 1. Dalam melakukan suatu kajian mengenai konflik, perlu dikaji sudut pandang mengenai konflik dari berbagai aktor (bukan hanya aktor utama) yang terlibat sehingga isu-isu mengenai konflik dapat “diangkat” secara jelas. 2. Untuk kasus konflik berupa isu prinsip agama yang melibatkan kelompok identitas dan non identitas seperti pada kasus 1, upaya resolusi konflik yang dapat ditempuh diantaranya dengan pendekatan-pendekatan yang tidak
eksklusif
oleh
kelompok
agama
tertentu
untuk
memberi
pengertian/penjelasan mengenai konsep-konsep tertentu kepada pihak lain sesuai dengan visi dan misi mereka agar dapat dicapai kesepakatan dan hubungan yang tidak “kaku” diantara kedua belah pihak/kelompok yang berbeda.
Sebagai
contoh
dengan
dialog-dialog
keagamaan
yang
melibatkan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memberikan perspektif-perspektif yang beragam, sehingga visi dan misi yang berkaitan dengan prinsip agama tidak diartikan secara negatif oleh pihak/kelompok lain. Selain itu, aparat kepolisian sebagai pihak yang berwenang dalam menciptakan kondisi yang kondusif di dalam masyarakat juga perlu memahami secara mendalam tentang manajemen konflik, sehingga perlu ada suatu pelatihan mediasi konflik untuk aparat kepolisian. 3. Untuk kasus konflik berupa isu non realistik yang melibatkan dua kelompok pemuda seperti kasus 2, resolusi konflik dapat dibangun melalui pembentukan komunitas tertentu sebagai wadah untuk saling berinteraksi dengan menerapkan pembinaan-pembinaan kepada pemuda. Hal ini dapat menjadi “pengalihan energi” bagi para pemuda agar tingkat “agresivitas” mereka teralih kepada aktivitas-aktivitas yang bersifat positif.
114
4. Untuk kasus konflik berupa isu realistik yang bersumber pada kebutuhan hidup seperti pada kasus 3 (konflik tanah), resolusi konflik dapat dibangun oleh pihak-pihak tertentu seperti LSM dan Pemerintah Daerah setempat dengan menciptakan peluang kerja lain bagi masyarakat agar hidup mereka tidak terkonsentrasi pada tanah. 5. Bagi kelompok, dalam kondisi stabil, kohesivitas kelompok dapat dibangun secara internal dengan memperkuat nilai-nilai kelompok.
115
DAFTAR PUSTAKA
Aliyah, Miftahul. 2009. Konflik Sosial Antara Pribumi dengan Non Pribumi di Pekalongan,JawaTengah.http://digilib.uinsuka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=re ad&id=digilib-uinsuka--miftahulal-1299&q=Sosial ( 26 April 2009) Pemerintah Kabupaten Pekalongan Sekretariat Daerah Bagian Hukum. 2007. Berita Acara Nomor 050/11/Tim/BA/XI/2007 Coser, Lewis. 1957. The Function Of Social Conflicts. New York : The Free Press Creswel. 1994. Research Design Qualitative and Quantitative Approaches. California: SAGE Publication Data Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pekalongan Nomor 570/166/I/2006 Dinas Sosial, PM dan KB Kabupaten Pekalongan. 2008. Data Potensi Desa Lemah Abang. Fisher,et.al.2000. Mengelola Konflik. Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta : The British Council Francis, Diana. 2006. Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta : Quills Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta : PT Gramedia Kriesberg, Louis. 1998. Constructive Conflicts From Escalation to Resolution. Lanham, MD : Rowman and Little Lintong, Eister Eirene. 2005. Resolusi Konflik Pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara. Disertasi Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan. 1953. Data Pemerintahan Kabupaten Pekalongan Sekretariat Daerah. Surat Kejaksaan Negeri Pekalongan no. B-552/0.3.12/E11.2/06/09 tanggal 5 Juni 2009. Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana
116
Tadjoeddin, Zulfan Mohammad. 2002. Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi : Kasus Indonesia, 1990-2001. Jakarta: UNSFIR Policy Support for Sustainable Social Economic Recovery Usman dan Husaini Usman. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta : Bumi Aksara Wijardjo, Boedhi, et.al. 2001. Konflik, Bahaya atau Peluang? : Panduan Latihan Menghadapi dan Menangani Konflik Sumber Daya Alam. Bandung : KPA
117
Lampiran 1. Denah Lokasi Penelitian
118
Tabel 2. Tabel Kebutuhan Data
No
Kebutuhan Data/ Informasi
Sumber Data/Informasi
1.
Profil dan Sejarah lokasi a) Administrasi Geografis dan Topografi b) Karakteristik Masyarakat • Kondisi sosial masyarakat • Kondisi ekonomi masyarakat
Data sekunder: Daftar isian potensi desa atau data monografi desa Data primer: Aparat desa, tokoh, dan anggota masyarakat
o Studi literatur o Wawancara mendalam o Observasi
2.
Gambaran Konflik a) Akar konflik b) Pihak pihak yang terlibat konflik c) Bentuk Konflik d) Tahapan Konflik e) Kekerasan Konflik f) Dampak konflik
Data primer : Informan (Tokoh masyarakat, Kades, aparat keamanan), responden (aktor konflik). Data sekunder: Data Pengadilan Negeri dan Polres setempat
o Studi literatur o Wawancara mendalam o Diskusi kelompok o Observasi
3.
Fungsi Konflik a) Struktur kelompok b) Solidaritas kelompok c) Interaksi kelompok
Data pimer: Informan (tokoh masyarakat, Kades, aparat keamanan), responden (aktor konflik) Data sekunder : Data Pengadilan Pegeri dan Polres setempat
o Studi literatur o Wawancara mendalam o Diskusi kelompok o Observasi
Teknik Pengumpulan Data
119
Lampiran 3. Panduan Pertanyaan Penelitian A. Petunjuk Wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan oleh peneliti untuk menggali secara langsung gambaran secara komprehensif berkaitan dengan aspek- aspek kajian. Catatan singkat ditulis dalam ruangan yang kosong di bawah kotak aspek- aspek yang ditanyakan dalam wawancara mencalam untuk dikembangkan menjadi laporan. B. Wawancara Mendalam Hari, tanggal
:
Lokasi wawancara
:
Nama dan Umur Informan
:
B.1 Profil dan Sejarah lokasi a) Administrasi geografis dan topografi b) Karakteristik masyarakat 1. Bagaimana kondisi masyarakat berdasarkan agama, suku,pendidikan, kekayaan, dan sosia kemasyarakatan. 2. Apakah pekerjaan utama masyarakat? 3. Apakah masyarakat masih memegang teguh tradisi atau aturan- aturan informal? B.2 Isu- Isu penyebab konflik dan kronologis konflik a) Pertanyaan Umum Mengenai Konflik 1. Apakah Anda tahu mengenai konflik yang terjadi di Desa Anda? 2. Siapakah pihak- pihak yang berkonflik tersebut? 3. Sejak kapan konflik tersebut mulai terjadi? 4. Kapan konflik tersebut memanas? 5. Dapatkan anda ceritakan secara keseluruhan mengenai kronologis terjadinya konflik? 6. Bagaimana dampak konflik tersebut menurut Anda? Adakah dampak positifnya? b) Isu- Isu (penyebab konflik) 1. Apa yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik tersebut menurut Anda?
120
2. Selain isu tersebut, isu- isu apalagi yang merupakan akar penyebab terjadinya konflik? 3. Seberapa jauh pengaruh isu- isu tersebut terhadap konflik yang terjadi? B.3 Kekerasan konflik dan hubungan internal kelompok a) Kekerasan Konflik 1. Menurut Anda, bagaimanakah konflik yang dikatakan keras/ brutal? 2. Apakah menurut anda konflik yang terjadi disertai kekerasan fisik? 3. Apakah menurut Anda konflik diwarnai dengan penyerangan- penyerangan? 4. Apakah Anda mengetahui pihak- pihak/kelompok/organisasi yang melakukan penyerangan? siapa saja? 5. Seberapa sering pihak yang berkonflik berhadap- hadapan secara fisik? 6. Apakah sering jatuh korban setelah pihak- pihak yang berkonflik saling melakukan penyerangan? siapa saja yang terluka/ tewas?
b) Kondisi Kelompok (ditujukan Untuk responden) 1. Apakah ketika dan setelah terjadinya konflik, bagaimana intensitas komunikasi mengenai konflik tersebut dengan pihak- pihak internal? 2. Menurut Anda, bagaimanakah kelompok yang solid/ apakah arti dari solidaritas kelompok? 3. Apakah selama terjadinya penyerangan, orang- orang dalam komunitas lebih sering bertemu dalam pertemuan formal? 4. Berapa kali dalam 1 minggu selama dan setelah penyerangan, aparat desa mengadakan pertemuan formal (Rapat) berkaitan dengan konflik yang terjadi dengan pihak/kelompok/komunitas luar? 5. Secara keseluruhan, bagaimana suasana beraktifitas
(seperti kepercayaan,
pengambilan keputusan, kejujuran, keterbukaan dalam berkomunikasi) di dalam komunitas/kelompok/organisasi penyerangan? a. Menurun b. Meningkat
seiring
dengan
adanya
konflik
berupa
121
6. Selama konflik dengan pihak luar memanas, bagaimana cara pengambilan keputusan dalam kelompok? Mengapa pengambilan keputusan kelompok dengan cara demikian? 7. Apakah selama terjadi konflik ada orang yang netral dalam kelompok? Siapa saja orang- orang tersebut? Mengapa mereka bersikap netral? Bagaimana perlakuan anggota kelompok terhadap orang yang netral tersebut? B.4 Pertanyaan Tambahan 1. Adakah upaya- upaya dalam menangani konflik- konflik tersebut? 2. Seperti apa bentuk upaya penanganan konflik tersebut? 3. Siapa yang ikut terlibat dalam penanganan konflik tersebut? 4. Mengapa pihak tersebut mau berupaya menangani konflik? 5. Apakah ada kepentingan dari berbagai pihak yang berupaya menangani konflik? 6. Apakah upaya- upaya tersebut sudah cukup memuaskan berbagai pihak? 7. Upaya apalagi yang menurut anda dapat meminimalisir terjadinya konflik yang berkepanjangan? 8. Siapa saja yang dilibatkan dalam pengelolaan konflik? 9. Kesepakatan- kesepakatan apa saja yang dihasilkan dari upaya-upaya penyelesaian /meredam konflik? 10. Apakah konflik masih sering terjadi setelah dilakukan upaya- upaya penanganan konflik tersebut? 11. Apakah kedua pihak yang berkonflik masih bersitegang? 12. Seberapa sering penyerangan terjadi setelah dilakukan upaya meredam konflik tersebut?