0059: Heny Suseno dkk.
EN-127
STUDI RADIOEKOLOGI KELAUTAN UNTUK MENDUKUNG RENCANA PEMBANGUNAN PLTN DI PROVINSI BANGKA BELITUNG Heny Suseno∗ , Wahyu Retno Prihatingsih, dan Chevy Cahyana Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN Kawasan Puspiptek Serpong ∗
e-Mail:
[email protected]
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Baseline data radionuklida antropogenik (terutama 137 Cs dan 239/240 Pu) dibutuhkan untuk studi calon tapak PLTN di Bangka Belitung dan untuk mengetahui dampak kecelakaan nuklir di Fukushima terhadap perairan laut Indonesia. Studi bioakumulasi radionuklida antropogenik oleh kerang darah (Anadara granosa) bertujuan untuk memperoleh bioindikator lepasan radionuklida jika PLTN beroperasi. Pada penelitian ini pemantauan radionuklida dilakukan di sekitar calon tapak PLTN di Bangka Belitung dan zone regional (> 50 km dari calon tapak) antara lain Padang, Semarang, Madura, Balikpapan, Parepare dan Manado. Pemilihan bioindikator dilakukan melalui eksperimen bioakumulasi model kompartemen tunggal. Baseline data 1 37Cs di dua lokasi calon PLTN untuk kopartemen air, sedimen dan bioata masing-masing berkisar dibawah limit deteksi -1,01 mBq.l−1 ; dibawah limit deteksi - 2,33 Bq.Kg−1 dan 1,02 - 109,75 mBq.Kg−1 . Baseline data rerata 239/240 Pu pada kedua lokasi tersebut untuk kompartemen air dan sedimen masing-masing 3,28 - 4,19 µBq.l−1 dan 1,45 - 1,54 Bq.Kg−1 . Baseline data 137 Cs di zone sub regional dan regional dalam air dan sedimen masing-masing dibawah limit deteksi - 0,16 mBq.l−1 dan dibawah limit deteksi - 1,75 Bq.Kg−1 . Baseline data radionuklida tersebut masih merupakan karakter global fall out. Seluruh data pemantauan lingkungan laut ini dibandingkan dengan data ASPAMARD dan beberapa negara di Asia Tenggara. Hasil perbandingan menunjukkan tidak ada kenaikan tingkatan 137 Cs di wilayah pesisir Indonesia. Hal ini dibuktikan pula oleh hasil analisis 134 Cs tidak terdeteksi dalam sample air dan sedimen. Kerang darah (Anadara granosa) dapat digunakan sebagai bioindikator 60 Co dan 137 Cs karena kemampuan mengakumulasi (BCF) radionuklida tersebut berturut-turut 22,31 - 24,88 l.kg−1 dan 2,43 - 3,24 l.kg−1 . Kata Kunci: baseline data, 137 Cs, 239/240 Pu, calon tapak PLTN, Fukushima, bioindikator
I.
PENDAHULUAN
Berkaitan dengan rencana pembangunan PLTN tersebut harus dipersiapkan hal-hal teknis berupa Studi Kelayakan, khususnya yang terkait dengan kelayakan tapak PLTN dan dokumen SER (Site Evaluation Report) untuk Ijin Tapak, penyusunan dokumen URD (User Requirement Document), dokumen PSAR (Preliminary Safety Analysis Report) untuk ijin Konstruksi, dokumen BIS (Bid Invitation Spesification), dokumen rencana komisioning atau DRK dan dokumen rencana operasi atau DRO. Salah satu komponen dalam studi tapak pada kandidat lokasi pembangunan PLTN di Provinsi Bangka Belitung adalah penelitian radioekologi kelautan. Penelitian radioekologi kelautan meliputi kegiatan pemantauan lingkungan di lapangan dan eksperimen pemodelan jalur paparan yang dilakukan laboratorium. Pemantauan lingkungan direncanakan untuk memperoleh data dasar (baseline) radioaktivitas pada berbagai kompartemen lingkungan kelautan pra kontruksi dan pra operasional PLTN. Data tersebut akan men-
jadi pembanding perubahan radioaktivitas lingkungan kelautan jika suatu saat PLTN dibangun dan dioperasikan. Data dasar radioaktivitas lingkungan sangat diperlukan bagi perencanaan PLTN dan fasilitas nuklir lainnya. Internaional Atomic Energy Agency (IAEA) mensyaratkan sebelum operasional seluruh jenis fasilitas nuklir termasuk reaktor riset dan PLTN harus dilakukan studi level backgraund radioaktifitas lingkungan.[6, 7] Hal ini karena material radioaktif yang terlepas dari PLTN dapat sampai pada masyarakat dan mengkontaminasi lingkungan secara langsung maupun tak langsung. Salah satu sifat dan parameter yang harus diperkirakan untuk pelepasan zat radioaktif adalah kecepatan pelepasan setiap radionuklida dan estimasi total aktivitas yang dilepas pada periode tertentu dan kapasitas fiksasi pada tanah.[4] Pemantauan lingkungan harus dilakukan dua tahun sebelum kontruksi PLTN dan jenis badan air yang diamati adalah sungai, muara, danau besar, laut dan samudra. Kompartemen yang diamati adalah air, sedimen dan makanan Prosiding InSINas 2012
0059: Heny Suseno dkk.
EN-128 laut baik radionuklida buatan maupun alam. Cakupan wilayah pemantauan lingkungan harus dilakukan pada zone tapak regional (>150 Km dari titik calon tapak PLTN), zone sub regional (25-50 Km dari titik calon tapak PLTN), zone tapak sekitar/visinity ( 5-10 Km dari titik calon tapak PLTN) dan zone tapak (0- 5 Km dari titik calon tapak PLTN). Radioanuklida yang dipantau terutama yang berhubungan dengan PLTN antara lain produk fisi (134 Cs, 137 Cs dan 90 Sr), produk korosi sepeti 60 Co dan kelompok aktinida (239 Pu, 240 Pu dan 241 Am) serta radionuklida alam. Sampai saat ini penelitian studi radioekologi kelautan di Provinsi Bangka Belitung sangat terbatas sehingga akselerasi penelitian tersebut melalui program insentif riset sangat dibutuhkan. Disisi lain kecelakaan nuklir di Fukushima dan rencana pembangunan PLTN di Malaysia dan Vietnam juga harus diantisipasi dampaknya melalui monitoring lingkungan kelautan. Terkait dengan rencana penelitian tersebut, Bidang Radioekologi Kelautan Pusat Teknologi Limbah Radioakif telah memiliki pengalaman melakukan penelitian radioekologi kelautan di Semenanjung Muria sejak tahun 2001. Pengalaman penelitian yang cukup panjang yang juga ditunjang dengan sistem instrumentasi yang memadai dapat digunakan untuk studi radioekologi di Provinsi Bangka Belitung sebagai calon tapak PLTN. Melalui program insentif riset ini akan disinergikan dengan kegiatan IAEA RAS Project INS 7021 tentang Marine Benchmark Study on the Possible Impact of the Fukushima Radioactive Releases in the Asia-Pacific Region. Studi radioekologi berbasis eksperimen yang dilakukan adalah penentuan nilai konstanta distribusi (KD ) dan Faktor Bioakumulasi (BAF) serta Trophic Transfer Faktor (TTF) yang mengeksperesikan jalur paparan radionuklida terhadap lingkungan dan manusia. Pada saat sedimen berinteraksi dengan radiouklida yang terlarut dalam air, maka konsentrasi radionuklida dalam air akan terabsorpsi dalam sedimen. Nilai konstanta distribusi (KD ) untuk mengekspresikan perubahan radionuklida antara fase terlarut dan sedimen. Selanjutnya radionuklida yang terlepas dapat diasimilasi oleh organisme hidup dan masuk kedalam jejaring makanan. Untuk memperoleh transport pada rantai makanan ditetapkan sebagai faktor bioakumulasi yang dapat diperoleh berdasarkan survey, data generik maupun eksperimen pada sistem aquaria. Tujuan umum riset ini adalah untuk memperoleh data dasar tingkatan radiasi dan konsentrasi radionuklida serta perilakunya (distribusi, bioakumulasi dan perpindahan dalam rantai makanan) pada kompartemen lingkungan laut di Provinsi Bangka Belitung pra operasional PLTN. Tujuan khusus riset ini adalah untuk menunjang studi kelayakan tapak PLTN di provinsi tersebut dan antisipasi dampak rencana pembangu-
G AMBAR 1: Profil konsentrasi 137 Cs di dalam sedimen (Bq/Kg)
nan PLTN oleh beberapa negara ASEAN (Vietnam dan Malaysia) serta kajian dampak kecelakaan Fukushima terhadap lingkungan kelautan di Indonesia.
II.
METODOLOGI
Metode penelitian ini meliputi pemantauan lingkungan, pemilihan bioindikator dan pemodelan dispersi radionuklida di lingkungan laut.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Konsentrasi Radionuklida di Sekitar Tapak PLTN Pemantauan di sekitar Tapak PLTN dilakukan pada 68 stasion yang terdiri dari sampel air dan sedimen. Hasil pemantauan lingkungan mendeteksi radionuklida alam dan radionuklida antropogenik(137 Cs, 239/240 Pu dan 3 H). Radionuklida antropogenik lainnya antara lain seperti 90 Sr dan 141 Am berada di bawah limit deteksi. Hasil pemantauan lingkungan di sekitar Tapak PLTN tersaji pada G AMBAR 2 ∼ G AMBAR 4, dan G AMBAR 8∼G AMBAR 9. Berdasarkan G AMBAR 1 ∼ G AMBAR 4, konsentrasi radionuklida antropogenik di dalam sedimen yang diwakili oleh 137 Cs berkisar
200 liter). Sampel air laut dan sedimen dari berbagai lokasi di Bangka Barat dan Selatan dihomogenasi dan dianalisis. Hasil analisis ditunjukkan pada TABEL 1. Data dasar (base line data) radionuklida di dalam biota juga dibutuhkan dalam studi tapak PLTN. Biota Prosiding InSINas 2012
0059: Heny Suseno dkk.
EN-129
G AMBAR 2: Profil konsentrasi 228 Ac di dalam sedimen (Bq/Kg)
G AMBAR 4: Profil konsentrasi 226 Ra di dalam sedimen (Bq/Kg)
G AMBAR 3: Profil konsentrasi 40 K di dalam sedimen (Bq/Kg)
G AMBAR 5: Profil konsentrasi 137 Cs di dalam air (Bq/l)
TABEL 1: sedimen
Rerata Konsentrasi
Lokasi Bangka Barat Bangka Selatan
239/241
Pu di dalam air laut dan
Konsentrasi Air (µBq.l−1 ) Sedimen(Bq.Kg−1 ) 4.19±0,32 1,45±0,09 3.28±0.29
1,54±0,12
yang dipilih terdiri dari ikan dan kekerangan yang banyak dikonsumsi oleh penduduk di sekitar tapak PLTN. Hasil analisis kandungan radionuklida 137 Cs dalam biota laut ditunjukkan pada TABEL 2. B.
Pemantauan Zona Regional (0>25 Km) Pemantauan radionuklida di zona regional dilakukan di beberapa tempat antara lain: padang, Semarang,
Madura, Balikpapan, Makasar, pare-pare dan Manado. Hasil pemantauan lingkungan tersebut ditunjukkan pada TABEL 3. Mengacu pada pada TABEL 3, maka konsentrasi 137 Cs dalam air dan sedimen untuk zone regional berkisar masing-masing antara
Prosiding InSINas 2012
0059: Heny Suseno dkk.
EN-130 TABEL 2: Konsentrasi 137 Cs dalam biota laut
Biota Marine cat fish (Arius thalassinus) Baramundi (Lates calcarifer) Mackerel (Scomberomorus commerson) Coastal crab (Scylla sp) Striped eel catfish (Plotosus lineatus) White shrimp (Penaeus merguiensis) Yellowtail fusilier (Caesio erythrogaster) marine bivalve mollusk (A.granosa) eel tailed fish (Euristhmus microceps)
137
Cs (mBq.Kg−1 ) 14.15± 1.51
TABEL 3: Konsentrasi radionuklida antropogenik (diwakili oleh Cs) pada zona >50 Km dari lokasi tapak PLTN
137
No
Lokasi
Koordinat
1
Padang
100◦ 25.590’ BT 01◦ 14.529’ LS 100◦ 26.333’ BT 01◦ 15.424’ LS 100◦ 45.214’ BT 01◦ 46.666’ LS 110◦ 23.4 BT ◦ 06 56.46 LS 110◦ 23.56 BT ◦ 06 56.65 LS 113◦ 39.75 BT ◦ 06 53 LS 113◦ 39.9 BT 06◦ 53 LS 113◦ 40.16 BT 06◦ 52.96 LS 116◦ 49.38’ BT ◦ 01 16.77’ LS 116◦ 58.88’ BT ◦ 01 12.74’ LS 119◦ 37.552’ BT 04◦ 11.740’ LS 119◦ 38.320’ BT 04◦ 13.310’ LS 124◦ 48.186 BT ◦ 01 27.618 LS 124◦ 50.09 BT ◦ 01 29.28 LS 124◦ 50.371 BT ◦ 01 29.986 LS
62.09±7.44 109.75±15.32 2
Padang
4.02±0.37 36.53±4.05
3
Padang
6.16±0.59
4
Semarang
8.95±9.30
5
Semarang
10.65±1.12
6
Madura
4.68±0.60
7
Madura
8
Madura
9
Balikpapan
10
Balikpapan
11
Parepare
12
Parepare
13
Manado
14
Manado
15
Manado
men tunggal secara luas paling banyak digunakan untuk beragam spesies perairan. Model kompartemen tunggal memberikan penjelasan matematis kuantitas senyawaan kimia termasuk (60 Co dan 137 Cs) yang ditentukan oleh laju pengambilan dan pelepasannya.[50] Jalur utama bioakumulasi kedua radionuklida tersebut oleh P. viridis melalui jalur air dan pakan. Namun demikian bioakumulasi melalui jalur air memberikan kontribusi yang signifikan terhadap keseluruhan proses bioakumulasi.[51] Radionuklida 60 Co dan 137 Cs dalam medium air langsung diakumulasi melalui insang. Bioakumulasi melalui jalur air merupakan keseimbangan antara 2 mekanisme yaitu: pengambilan dan pelepasan 60 Co dan 137 Cs dari medium air. Radionukida 60 Co mempunyai sifat kimia yang sama dengan mikroelemen Co non radioaktif sehingga prilakunya di dalam lingkungan laut identik. Kobalt merupakan komponen dari vitamin B12 yang sangat dibutuhkan oleh hampir seluruh organisma hidup sehingga dapat dengan mudah dieksternalisasi ke dalam tubuh.[13] Di sisi lain 137 Cs mempunyai sifat kimiawi yang sama dengan K+ sehingga dapat diakumulasi oleh biota laut.[52, 53] Kemampuan akumulasi dan eliminasi kedua radionuklida tersebut ditunjukkan pada G AMBAR 6 dan G AMBAR 7. G AMBAR 6 menunjukkan kemampuan P. viridis mengakumulasi 60 Co selama periode eksperimen cenderungan meningkat. Nilai CF kerang hijau berukuran 3 dan 5,4 cm berturut-turut 6,76 dan 4,75 ml/g. Pada periode eksperimen ini kondisi tunak (steady state) belum tercapai, tetapi dari hasil eksperimen ini diperoleh nilai laju pengambilan radionuklida oleh biota tersebut dari dalam air (ku). Laju pengambilan meru-
Konsentrasi 137 Cs (mBq.l−1 ) 0,098
pakan slope dari plot Faktor Konsentrasi (CF) terhadap lama paparan. Laju pengambilan 60 Co oleh kerang berukuran 3 dan 5,4 cm berturut-turut adalah 1,01 dan 0,98 ml/g/hari. Nilai CF 137 Cs pada kedua jenis ukuran tersebut P. viridis berturut-turut 1,40 dan 1,49 ml/g dan kondisi steady state telah tercapai. Laju pengambilan 137 Cs oleh kedua jenis kerang tersebut sebesar 0,096 ml/g/hari. Hasil eksperimen menunjukkan ukuran tubuh P. viridis hanya berpengaruh terhadap proses bioakumulasi 60 Co. Di sisi lain ukuran tubuh biota tersebut tidak berpengaruh terhadap proses bioakumulasi 137 Cs. Kebanyakan jenis biota laut mempunyai kecenderungan ukuran tubuhnya mengendalikan dan mempunyai korelasi terhadap akumulasi logam.[54] Ukuran tubuh merupakan faktor yang mempengaruhi konsentrasi logam di dalam tubuh biota. Konstanta pengambilan berhubungan deProsiding InSINas 2012
0059: Heny Suseno dkk.
(A)
EN-131
(B)
G AMBAR 6: Kemampuan akumulasi 60 Co dan 137 Cs oleh kerang hijau dari jalur air: (A) Ukuran perna viridis ±3,2 cm (B) Ukuran perna viridis ±5,6 cm
ngan sistem regulasi tersebut sehingga laju bioakumulasi juga akan lebih tinggi pada organisme yang berusia muda (berukuran lebih kecil).[55] Secara umum bioakumulasi terjadi karena interaksi antara biomasa dan beberapa senyawaan atau ion dilingkungan. Bioakonsentrasi senyawaan kimia dikontrol oleh proses kesetimbangan kimia dan distribusi (misalnya log Kow), pembentukan senyawaan koordinasi. Bioligan memiliki ligan-ligan potensial antara lain gugus amino, carboxylate-, phenolate-, imidazole dan sebagainya yang mampu berinteraksi dengan ion logam atau spesies organologam dan membentuk senyawaan kompleks.[57] Radionuklida 60 Co merupakan golongan logam transisi yang mempunyai kemampuan membentuk senyawaan koordinat. Di sisi lain 137 Cs adalah unsur golongan alkali dan kemampuan membentuk senyawaan kompleks dengan bioligan lebih rendah dibandingkan dengan logam golongan transisi. G AMBAR 7 menunjukkan eliminasi (pelepasan) kedua radionuklida tersebut oleh P. viridis setelah paparan dihentikan. Laju pelepasan merupakan slope (ke) fraksi yang tertahan dalam tubuh hewan terhadap waktu. Laju pelepasan 60 Co oleh kedua jenis ukuran P. viridis berturut-turut 0,03 dan 0,045 per hari. Disisi lain laju pelepasann 137 Cs berturut-turut 0,037 dan 0,04 per hari. Waktu tinggal biologis kedua kontaminan tersebut dihitung, hingga diketahui estimasi waktu tinggal biologis 60 Co dan 137 Cs berturut-turut 15,34 sampai dengan 23,39 hari dan 17,53 sampai dengan 19,06 hari. Estimasi kemampuan bioakumulasi 60 Co dan 137 Cs dari jalur air dihitung berdasarkan rasio ku terhadap ke. Hasil perhitungan BCF 60 Co dan 137 Cs pada kedua ukuran P. viridis tersebut di atas berturut-turut 22,31 sampai dengan 24,88 l/kg dan 2,43 sampai dengan 3,24 l/kg. Berdasarkan data tersebut, P. viridis
(A)
(B)
G AMBAR 7: Kemampuan eliminasi 60 Co dan 137 Cs oleh dari dalam tubuh kerang hijau: (A) Ukuran perna viridis ±3,2 cm (B) Ukuran perna viridis ±5,6 cm
mengakumulasi 60 Co 6,9 sampai dengan 10,3 kali dibandingkan 137 Cs. Sebagai perbandingan, kemampuan akumulasi Cs yang direpresentasikan oleh nilai BCF oleh moluska secara umum berkisar antara 9∼50.[19] Hasil penelitian menunjukkan nilai CF 137 Cs tidak berada pada kisaran tersebut. Namun demikian sebagai perbandingan BCF 134 Cs oleh sejenis kerang laut dari jenis P. maximus adalah 1,0. Waktu tinggal biologis 22 hari.[53] Pentingnya studi bioakumulasi dijelaskan dalam Safety Report Series IAEA.[59] Taiwan melakukan studi biokinetika 137 Cs sebagai antisipasi dampak rencana pembangunan PLTN di Guangdong Cina. Mengacu pada Safety Report Series IAEA, perpindahan radionuklida dari air melalui tingkatan jejaring makanan yang berakhir pada manusia selaku pengkonsumsi organisma laut. Nilai Faktor Bioakumulasi 60 Co dan 137 Cs direkomendasikan berturut-turut 5000 dan 30 l/kg. Nilai Faktor Bioakumulasi tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil eksperimen. Perbedaan ini karena nilai Faktor Bioakumulasi menurut dokumen tersebut merupakan penyederhanaan dari berbagai parameter yang mempengaruhi akumulasi 60 Co dan 137 Cs. Konsentrasi kedua radionuklida tersebut di dalam air dianggap merupakan gabungan dari fraksi partikel tersuspensi. Mikro algae yang merupakan pakan P. viridis merupakan fraksi tersuspensi. Disisi lain kontribusi bioakumulasi melalui jalur pakan jauh lebih besar dibandingkan dari jalur air. Informasi kontribusi proses bioakumulasi melalui jalur pakan dan partikulat harus ditetapkan untuk membandingkan seluruh hasil eksperimen dengan rekomendasi IAEA. D. Pemodelan sebaran radionuklida Pengoperasian PLTN dapat menyebabkan terlepasnya efluen radioaktif ke laut, baik secara langsung Prosiding InSINas 2012
0059: Heny Suseno dkk.
EN-132
G AMBAR 8: Model sebaran efluen radioaktif di Bangka Selatan
G AMBAR 9: Model sebaran efluen radioaktif di Bangka Barat
berupa efluen cair maupun secara tidak langsung melalui deposisi efluen radioaktif yang terlepas ke udara. Penggunaan air laut sebagai pendingin (cooling water) dapat menyebabkan terlepasnya efluen sekunder berupa panas. Pola sebaran efluen radioaktif maupun efluen panas sangat dipengaruhi oleh pola gerak air laut. Pola gerak air laut dapat dikaji dengan model hidrodinamika laut.[61–64] Pola sebaran konsentrasi radionuklida hasil pemodelan dengan metode numerik menggunakan perangkat lunak SMS. Pemodelan sebaran konsentrasi radionuklida dengan menggunakan metode numerik tidak memerlukan penyederhanaan yang terlalu banyak, sehingga dapat digunakan untuk skenario yang lebih kompleks. Oleh karena itu pemodelan dengan metode numerik dapat dilakukan secara site specific. Simulasi model sebaran efluen radioaktif di semenanjung Muria, Jepara dan perairan selat Bangka sebagai calon tapak PLTN ditunjukkan pada G AMBAR 8 dan G AMBAR 9. Hasil simulasi menunjukkan bahwa arah dan kecepatan arus berpengaruh besar terhadap sebaran efluen di laut. Secara fisika dapat dijelaskan bahwa arus menyebabkan perpindahan efluen secara adveksi yang memiliki pengaruh yang lebih besar daripada perpindahan secara difusi. Ditinjau dari sudut pandang matematika, pada pemodelan sebaran efluen radioaktif ini dilakukan penyelesaian persamaan adveksi dan difusi yang menunjukkan peran arus laut dalam proses penyebaran efluen.
yang banyak dikonsumsi menunjukan masih jauh berada di bawah baku mutu. Data hasil analisis tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi radioekologi kelautan di calon tapak PLTN. Perna viridis dapat digunakan sebagai bioindikator 60 Co dan 137 Cs karena kemampuannya mengakumulasi radio nuklida tersebut 5,9∼6,1 kali terhadap konsentrasinya di dalam air. Pemodelan sebaran efluen radioaktif dapat digunakan dalam pengkajian keselamatan PLTN untuk memprediksi besarnya dosis yang dapat diterima manusia baik dalam keadaan normal maupun kedaruratan. Pemodelan sebaran efluen radioaktif di laut dengan metode numerik menggunakan model hidrodinamika laut dapat diaplikasikan secara site specific dengan memasukkan data dan parameter yang diambil dari lokasi calon tapak PLTN.
IV.
KESIMPULAN
Kandungan radionuklida di dalam air dan sedimen didominasi oleh radionuklida alam. Radionuklida buatan yang terdeteksi di dalam kedua jenis sampel tersebut hanya 137 Cs, 239/240 Pu. Hasil analisis radionuklida antropogenik pada beberapa biota laut
DAFTAR PUSTAKA [1] International Atomic Energy Agency. Fundamental safety principles : safety fundamentals. IAEA safety standards series, No. SF-1, IAEA. Vienna , 2006. [2] International Atomic Energy Agency,Site evaluation for nuclear installations : safety Requirements. Safety standards series no. NS-R-3. IAEA. Vienna 2003. [3] International Atomic Energy Agency. ,External human induced events in site evaluation for nuclear power plants :safety guide. Safety standards series no. NS-G-3, IAEA, Vienna, 2002: [4] International Atomic Energy Agency. Dispersion of radioactive material in air and water and consideration of population distribution in site evaluation for nuclear power plants: Safety guide. Safety Standards Series No. NS-G-3.2. International Atomic Energy Agency, 2002. Vienna Prosiding InSINas 2012
0059: Heny Suseno dkk. [5] International Atomic Energy Agency. Environmental and source monitoring for purposes of radiation protection : safety guide. Safety standards series, no. RS-G-1.8 IAEA Vienna, 2005 [6] IAEA Safety Standards series No. WS-G-5.1. Release of sites from regulatory control on termination of practices :Safety guide, International Atomic Energy Agency, Vienna 2006. [7] Annonim, DRAFT Regulatory Document RDE46 Site Evaluation for New Nuclear Power Plants, Issued for External Stakeholder Consultation October 2007 Canadian Nuclear Safety Commission [8] Z. Frani, B. Petrinec. Marine Radioecology And Waste Management In The Adriatic, Arh Hig Rada Toksikol 57:347-352, 2006 [9] N. Buske. Radioactive Bioaccumulation in Clams along the Hanford Reach, The RadioActivist Campaign USA, 2005 [10] A. Jerpetjon, D. Oughton, and L. Skipperud. Seaweed, fish and Crustaceans as bioindicators for 99 Tc released to marine environment.Norwegian University of Life Sciences,Department of Plant and Environmental Sciences, 2003 [11] N. FISHER, Executive Summary Ciesm Workshop Monographs 19, Metal and Radionuclide Bioaccumulation in Marine Organism, 7-25, Monaco, 2002 [12] D.W. Connel , Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, UI Press, 2002 [13] H. Vanderploeg, D.C. Parzyck, W.H.Wilcox, J.R. Kercher, S.V. Kaye. Bioaccumulation Faktor for Radionuclides in Fresh Water Biota, US Energy Research and Development Administration, 1975 [14] F.W. Whicker, V, Schultz. Radioecology: Nuclear Energy and the Environment Volume II. CRC Press, Boca Raton, FL, 117 pp, 1982 [15] S. Luoma, P. Rainbow, Why Is Metal Bioaccumulation So Variable? Biodynamics as a Unifying Concept Critical Review. Environmental Science & Technology 39(7):1921-1931, 2005 [16] W-X Wang, N. Fisher,. Delineating metal accumulation pathways for marine invertebrates, The Science of total environment 237: 459-472, 1999 [17] B.R. Friedlander, M. Gochfeld, J. Burger,C.W. Powers. Radionuclides In The Marine Environment, A Cresp Science Review, Consortium for Risk Evaluation with Stakeholder Participation, 2005 [18] IAEA Safety Standards series No. WS-G-5.1. Release of sites from regulatory control on termination of practices: Safety guide, International Atomic Energy Agency, Vienna 2006. [19] Badan Tenaga Nuklir Nasional. Penyiapan Tapak Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Pulau Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, PPEN BATAN, 2010 [20] International Atomic Energy Agency. Collection
EN-133
[21]
[22]
[23]
[24]
[25]
[26]
[27]
[28]
[29]
[30]
[31]
and preparation of bottom sediment samples for analysis of radionuclides and trace elements, IAEA-TECDOC-1360, IAEA, Vienna, 2003 M.M. Rutgers van der Loeff and W.S. Moore The analysis of natural radionuclides in seawater , Chapter 13 in ”Methods of seawater analysis”, 3rd edition, by Grasshoff DKP, Indonesia Fisheries Book 2009, Ministry of Marine Affairs and Fisheries EJapan International Corporation Agency E. Ilus, J. Mattila, S. P. Nielsen, E. Jakobson, J. Herrmann, V. Graveris, B. Vilimaite-Silobritiene, M. Suplinska, A.. Stepanov8, M. LEing, Long-lived radionuclides in the seabed of the Baltic Sea Report of the Sediment Baseline Study of HELCOM MORS-PRO in 2000E005 Balt. Sea Environ. Proc. No. 110 J.B.M. Gochfeld C, D.S.. Kosson, C.W. Powers, S. Jewett, B. Friedlander, H. Chenelot, C.D V,C.Jeitner Radionuclides in marine macroalgae from Amchitka and Kiska Islands in the Aleutians: establishing a baseline for future biomonitoring J. Environ. Radioactivity 91 (2006) 27-40 B. Jadranka; B. Nada; K. B. Ines; O. Bogomil, Comparison of two techniques for low-level tritium measurement Egas proportional and liquid scintillation counting Proceedings of Third European IRPA Congress 2010 June 14-18, Helsinki, Finland A. Sawodni, A. Pazdur, J. Pawlyta, Measurements of Tritium Radioactivity in Surface Water on The Upper Silesia Region, Geochronometria 18:23-28 (2000) M. Saito, K. Fujita, M. Fukui. Determination of Tritium Concentration in aquatic environment using solid polymer electrode, Radioprotection 37:C1963. 2002 S. Fukutani, M. Fukui, A. Koyama, K. Nishimaki, A Method of Calibration for Measurement of Low Level Tritium in Environmental Water using a Liquid Scintillation Counter, Journal of Nuc.Sc.Tech, Supplement 6, p. 89E2 (September 2008) E. Ilus, J. Mattila, S. P. Nielsen, E. Jakobson, J. Herrmann, V. Graveris, B. Vilimaite-Silobritiene, M. Suplinska, A.. Stepanov8, M. LEing, Long-lived radionuclides in the seabed of the Baltic Sea Report of the Sediment Baseline Study of HELCOM MORS-PRO in 2000-2005 Balt. Sea Environ. Proc. No. 110 J.B.M. Gochfeld C, D.S.. Kosson, C.W. Powers, S. Jewett, B. Friedlander, H. Chenelot, C.D V,C.Jeitner Radionuclides in marine macroalgae from Amchitka and Kiska Islands in the Aleutians: establishing a baseline for future biomonitoring J. Environ. Radioactivity 91 (2006) 27-40 C. Varlam, I. Stefanescu, M. Varlam, C. Bucur, I. Prosiding InSINas 2012
EN-134
[32]
[33]
[34]
[35]
[36]
[37]
[38]
[39]
[40]
[41]
[42]
Popescu, I. Faurescu. Optimization of 14C Concentration Measurement In Aqueous Samples Using The Direct Absorption Method and LSC, Advances in Liquid Scintillation Spectrometry Edi by S. Chupnik, F.Schnhofer, J.Noakes. Arizona Board of Regents on behalf of the University of Arizona p 423-428 Edited by S. Chupnik, F.Schnhofer, J.Noakes F.Caron, M.K.. Haas, E.L. Cooper and D.E. Robertson. Determination of liquid-solid partition coefficients (Kd) of radionuclide anionic species from a contaminated aquifer Mat. Res. Soc. Symp. Proc. c Vol. 713 2002 Materials Research Society Vanderploeg, D.C. Parzyck, W.H.Wilcox, J.R. Kercher, S.V. Kaye. Bioaccumulation Faktor for Radionuclides in Fresh Water Biota, US Energy Research and Development Administration, 1975 F.W. Whicker, V, Schultz. Radioecology: Nuclear Energy and the Environment Volume II. CRC Press, Boca Raton, FL, 117 pp, 1982 W-X Wang, N. Fisher,. Delineating metal accumulation pathways for marine invertebrates, The Science of total environment 237: 459-472, 1999 Borretzen, P., Salbu, B., 2002. Fixation of Cs to marine sediments estimated by a stochastic modelling approach. J. Environ. Rad. 61, 1E0. Duran, E.B., Povinec, P.P., Fowler, S.W., Airey, P.L., Hong, G.H., 2004. 137 Cs and 239/240 Pu Levels in the Asia-Pacific Regional Seas. J. Environ. Rad. 76, 139160. Figueira, C.L., Tessler, M.G., Mahiques, M.M., Cunha, I.I., 2006. Distribution of 137 Cs, 238 Pu and 239/240 Pu in Sediments of the Southeastern Brazilian ShelfSW Atlantic Margin, J. Sci. Total Environ. 357, 146-159. Gasco, C., Anton, M.P., Delfanti, R., Gonzalez, A.M., Meral, J., Papucci, C., 2002. Variation of the activity concentrations and fluxes of natural (210 Po, 210 Pb) and anthropogenic (239 ,240 Pu, 137 Cs) radionuclides in the Strait of Gibraltar (Spain). J. Environ. Rad. 62, 241-262. Godoy, J.M., Carvalho, Z.L., Fernandes, F.C., Danelon, O.M., Ferreira, A.C.M., Luiz Alfredo, R., 2003. 137Cs in Marine samples from the Brazilian Southeastern coastal region. J. Environ. Rad. 70, 193-198. Huh, C-A., Su, C-C., Tu, Y-Y., Shao, K-T., Chen, CY., Cheng, I-J., 2004. Marine nvironmental radioactivity near nuclear power plants in Northern Taiwan. J. Mar. Sci. and Tech. 12, 418-423. Hong, G.H., Kim, Y.I., Lee, S.H., Cooper, L.W., Choe, S.M., Tkalin, A.V., Lee, T., Kim, S.H., Chung, C.S., Hirose, K., 2002. 239/240 Pu and 137 Cs concentrations for Zooplankton and Nekton in the Northwest Pacific and Antarctic Oceans (1993E996). Mar.
0059: Heny Suseno dkk. Pollut. Bull. 44, 660-665. [43] Antovic, I., Antovic, N.M. 2012. Determination of concentration factors for Cs-137 and Ra-226 in the mullet species Chelon labrosus (Mugilidae) from the South Adriatic Sea. J. Environmental Rad 102 (2011) 713-717 [44] Inoue, M., Kofuji, H., Hamajima, Y., Nagao, S., Yoshida, K., Yamamoto, M., 2012. 134 Cs and 137 Cs Activities in coastal seawater along Northern Sanriku and Tsugaru Strait, Northeastern Japan, after Fukushima Dai-ichi Nuclear Power Plant accident. J. Environ. Rad. 111, 116-119. [45] Kim Chang-Kyu., Jong-In Byun., Jeong-Suk Chae., Hee-Yeoul Choi., Seok-Won Choi., Dae-Ji Kim., Yong-Jae Kim., Dong-Myung Lee., Won-Jong Park., Seong A. Yim., Ju-Yong Yun., 2012. Radiological impact in Korea following the Fukushima nuclear accident. J. Environ. Rad. 111, 70-82 [46] Kim Yeongkyoo., Sujin Cho., Hee-Dong Kang., Wan Kim., Heung-Rak Lee., Si-Hong Doh., Kangjoo Kim., Sung-Gyu Yun., Do-Sung Kim., Gi Young Jeong., 2006. Radiocesium reaction with illite and organic matter in marine sediment. Mar. Pollut. Bull. 52, 659-665. [47] PittauerovE D., Hettwig, B., Fischer, H.W., 2011. Fukushima fallout in Northwest German environmental media. J. Environ. Rad. 102, 877-880. [48] Yii, M.Y., Zaharudin, A., Norfaizal, M., 2007. Concentration of radiocaesium 137 Cs and 134 Cs in sediments of the Malaysian marine environment. J. Applied Rad. and Isotopes. 65, 1389-1395. [49] Newman, M.C., Jagoe, R.H. Bioaccumulation Models With Time Lags: Dynamics And Stability Criteria. Ecological Modelling 84 ,281-286 (1996) [50] Bank, M.S., Loftin, C.S., Jung, R.E. Mercury Bioaccumulation in Northern Two-lined Salamanders from Streams in the Northeastern United States. Ecotoxicology, 14: 181-191 (2005) [51] Adam, C., Garnier-Laplace, J. Bioaccumulation of silver-110m, cobalt-60, cesium-137, and manganese-54 by the freshwater algae Scenedesmus obliquus and Cyclotella meneghiana and by suspended matter collected during a summer bloom event . Limnol. Oceanogr., 48(6): 2303E313 (2003) [52] Metian, M., Warnau., M.; TeyssiE J-L.; Bustamante, P (2009) Characterization of 241 Am and 134 Cs bioaccumulation in the king scallop Pecten 2 maximus: investigation via three exposure pathways. Journal of Environmental Radioactivity 102(6):543550 (2011) [53] Wang,W-X , Ke, C., Yu, K.N., Lam, P.K.S. Modeling radiocesium bioaccumulation in a marine food chain Mar Ecol Prog Ser 208: 41E0.( 2000) [54] Ke, C., Yu, K.N., Lam, P.K.S. Uptake and DepuraProsiding InSINas 2012
0059: Heny Suseno dkk.
[55]
[56]
[57]
[58]
[59]
[60]
[61]
[62]
[63]
[64]
[65]
[66]
EN-135
tion Cesium in Green Mussel Pernaviridis. Marine Biologi 137:567-575 (2000) Kojadinovic, J et al. Mercury content in commercial pelagic fish and its risk assessment in the Western Indian. Ocean Science of the Total Environment 366, 688E00 (2006) Frnzle, S., Markert, B. What Does Bioaccumulation Really Tell Us? Analytical Data in Their Natural Environment. Ecological Chemistry and Engineering Vol. 14(1) : 8-23 (2007) IAEA. Generic models for use in assessing the impact of discharges of radioactive substances to the environment. Safety report series, no. 19. International Atomic Energy Agency, Vienna (2001) Rainbow, P.S.Biomonitoring of Trace Metals in Estuarine and Marine Environments Australasian Journal of Ecotoxicology. 12: 107-122 (2006) GLAMORE, W. C. Hydrodynamics, Water Research Laboratory, School of Civil and Environmental Engineering, University of South Wales. (2007). GLAMORE, W. C. Numerical Modeling, Water Research Laboratory, School of Civil and Environmental Engineering, University of South Wales. (2007). IAEA-TECDOC-1429. Worldwide Marine Radioactivity Studies (WOMARS): Radionuclide Levels in Oceans and Seas. International Atomic Energy Agency. Vienna. (2005). Safety Report Series No. 19. Generic Models for Use In Assessing the Impact of Discharges of Radioactive Substances to the Environment. International Atomic Energy Agency. Vienna. (2001). YULIANTO, P. Justifikasi Pemakaian Model Numerik Dua Dimensi (2D) Transport Sedimen di Muara, Tesis Program Studi Ilmu Teknik Sipil, Kekhususan Manajemen Sumber Daya Air, Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu Teknik, Universitas Indonesia. Depok. (2005). ISMANTO, A., WIDADA, S., SUSIATI, H. Kajian Dispersi Termal dalam Rencana Pembangunan PLTN Muria: Sebuah Analisis, Jurnal Geoaplika, Vol. 3, No. 3 (2008). PETRESCU, V., SUMBASACU, O. Comparison Between Numerical Simulation and Measurements of the Pollutant Dispersion in a River Case Study, U.P.B. Sci. Bull., Series D, Vol. 72, Iss. 3 (2010). KING, I. Users Guide to RMA2 WES Version 4.3. Edited by Donnel, B. P. 1997. New York: US Army Corps of Engineer EWaterways Experiment Station, Hydraulics Laboratory, Wex Tech System. (1996).
Prosiding InSINas 2012