STUDI PERILAKU EMPIRIS MENGENAI NILAI KESADARAN EKOLOGIS DAN INTELIJENSI EMOSI KONSUMEN PADA PERILAKU EKOLOGIS Iin Mayasari & M. Darus Abstract This study aimed to understand the influence of ecological awareness value and emotional intelligence on ecological behavior. Ecological awareness is a part of knowledge and values oriented to the importance of every consumer to understand the consequences of action on the environment. This aspect is considered as a decisive component of the ecological behavior of a person because this aspect is the psychological factors that exist within the individual to direct the ecological behavior. Survey research methods was conducted by distributing 100 questionnaires in University of Paramadina. The results show that the value of ecological awareness influenced ecological behavior namely-environmentally pro behavior and preserving the ecology. The other result showed that emotional intelligence influenced ecological behaviors of saving paper and having organic consumption. Keywords: ecological awareness value, emotional intelligence, ecological behavior
Latar Belakang Peningkatan kepedulian terhadap lingkungan mulai dirasakan akhir-akhir ini. Banyak konsumen yang sudah sadar diri dan memiliki pengetahuan kognitif maupun emosional yang cukup untuk bisa melakukan konsumsi produk yang ramah lingkungan. Konsumen melakukan ini semua juga berdasarkan kemampuan dan memahami segala risikonya. Nilai-nilai sebagai aspek internal konsumen merupakan aspek penting dalam memengaruhi perilaku konsumen khususnya berkaitan dengan perilaku ekologis. Nilai-nilai tersebut merupakan sesuatu yang sudah terinternalisasi dalam benak konsumen. Nilai kesadaran ekologis penting untuk dimiliki konsumen dalam mempertimbangkan pilihan produk. Goleman (2009) menjelaskan mengenai intelijensi ekologi manusia atau nilai kesadaran ekologis untuk digunakan dalam mempertimbangkan dampak setiap barang yang dibeli dan dikonsumsi bagi dirinya sendiri, orang luar lain maupun keluarga. Barang yang dibeli sehari-hari secara tidak sadar akan membawa dampak negatif khususnya pada diri sendiri, lingkungan tempat tinggal, dan keberlangsungan hidup di dunia ini. Kemampuan individu untuk memahami pembelian produk yang dibeli tidak terpaku pada label “hijau” yang ditempelkan pada produk. Produk dijelaskan secara konkrit dan elaboratif mengenai komponen-komponen yang membentuknya. Hanya individu yang memiliki intelijensi ekologi atau berorientasi ekologi yang mampu menelaah sisi negatif produk yang dibeli. Goleman (2009) juga menekankan bahwa individu yang memiliki intelijensi ekologi juga memiliki kombinasi kemampuan sosial dan emosi.
Iin Mayasari & M. Darus Studi Perilaku Empiris Mengenai Nilai Kesadaran Ekologis dan Intelejensi Emosi Konsumen pada Perilaku Ekologis
Konsumen sebagai pengguna barang setiap hari tanpa menyadari akan melakukan pembelian tanpa melakukan pertimbangan seksama mengenai komposisi barang atau produk yang dibeli. Penggunaan bahan kimia yang terkandung di dalamnya misalnya tanpa disadari dapat memengaruhi dampak selanjutnya pada tubuh maupun lingkungan di sekitar. Komposisi produk yang dibeli seringnya tidak dicantumkan secara eksplisit. Apabila konsumen mengetahui dan memiliki nilai-nilai ekologis, maka tentu saja akan berpikir sebelum membeli. Ada aspek rasionalitas mendasari pembuatan keputusan konsumen. Kegiatan dalam perilaku konsumen untuk memutuskan pembelian produk secara rutin setiap harinya, menuntut agar produk dijual dengan harga terjangkau dengan mengabaikan dampak negatif penggunaan produk. Harga murah merupakan faktor pendorong utama. Informasi mengenai tambahan konsekuensi produk menjadi terabaikan karena penyediaan informasi tersebut akan menambah biaya. Meskipun perusahaan sudah menempelkan label ecolabeling pada produk, informasi ini belum menguraikan secara garis besar mengenai dampak tersembunyi terhadap produk yang ramah lingkungan. Sedikit perusahaan berkeinginan untuk melakukan sharing informasi. Sistem informasi yang tidak simetris antara perusahaan dan konsumen menyebabkan terciptanya kesenjangan data. Informasi memiliki suatu nilai yaitu pengetahuan yang dapat ditransfer ke konsumen misalnya No CFCs-(the ozone depleting chlorofluorocarbon). Ketika sebuah produk tertera informasi, konsumen tidak akan melakukan komparasi informasi. Terlebih kalau konsumen memiliki loyalitas merek, maka konsumen akan mempercayai informasi yang diberikan oleh merek tanpa mengolah informasi lebih lanjut karena konsumen sudah memiliki kepercayaan akan kualitas produk. Komponen lain yang memengaruhi perilaku ekologis adalah intelijensi emosi. Intelijensi emosi menurut Applegate, Timur, Locklear (2009) berkaitan dengan kesadaran diri, kontrol diri, kesadaran sosial dan kemampuan sosial. Intelijensi emosi menurut Goleman (2009) memengaruhi kepekaan seseorang untuk memperhatikan konsekuensi konsumsi produk pada orang lain. Intelijensi emosi dibangun untuk memahami perspektif orang lain, ikut merasakan, dan menunjukkan perhatian kepada orang lain. Empati individu terhadap lingkungan membantu pemikiran dan analisis secara rasional terhadap sebab akibat perilaku semua terhadap lingkungan. Otak individu tidak memiliki sistem kemampuan yang didesain untuk memahami sejumlah hal yang tidak bisa terhitung mengenai dampak negatif aktivitas manusia. Komponen amygdala-lah yang menjadi sensor secara emosional untuk mengarahkan konsumen berpikir pilihan produk yang aman. Konsumen sendirilah yang harus memperoleh dan mengembangkan sensitivitas terhadap sesuatu yang menjadi ancaman dan mempelajari setiap tindakan yang dilakukan. Kalau dikaitkan dengan pembelian secara individual dalam konteks keluarga, maka anak menjadi pendorong ibu sebagai konsumen untuk 165
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 164-180
memperhatikan tampilan informasi secara lebih lengkap. Konteks keluarga menjelaskan bahwa intelijensi emosi berperan di sini. Intelijensi emosi menunjukkan kepekaan seseorang untuk menentukan produk yang tidak mengandung sesuatu yang membahayakan bagi kesehatan keluarga. Dengan demikian, seseorang akan merasa khawatir apabila membeli produk yang mengandung zat pewarna, bahan pengawet, pembuatannya tidak memperhatikan standar kesehatan, atau produk tidak memiliki sertifikasi. Konsumen perempuan lebih emosional dalam memilih produk karena memperhatikan segala dampaknya bagi anak dan keluarga mereka. Namun ada kalanya, belanja merupakan kegiatan rutin bagi seseorang, sehingga seringkali tidak memperhatikan dengan detail setiap informasi yang tertera dalam produk. Rutinitas pembelian menyebabkan konsumen tidak bersedia pindah ke merek lain yang mungkin sebenarnya jauh lebih memiliki aspek nutrisi, dampak lingkungan dan sosial yang lebih baik. Mungkin saja, perpindahan ke merek lain susah dilakukan karena harus diawali dengan proses pembelajaran yang lebih lama dan memulai dengan hal baru. Tidak ada salahnya, seorang konsumen mulai memerhatikan aktivitas pembelian meskipun sudah menjadi rutinitas. Perumusan Masalah Studi ini menganalisis nilai-nilai yang berupa nilai kesadaran ekologis dan intelijensi emosi untuk menjelaskan perilaku ekologis. Perumusan masalah dalam studi adalah 1) bagaimana pengaruhi nilai kesadaran ekologis pada perilaku ekologis? 2) bagaimana pengaruh intelijensi emosi pada perilaku ekologis?. Secara lebih luas, penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku ekologis terdiri atas penghematan kertas, dukungan pro lingkungan, konsumsi organik, melestarikan ekologi, daur ulang. Masing-masing perilaku tersebut dijelaskan oleh variabel nilai kesadaran ekologis dan intelijensi emosi. Tujuan Penelitian Studi ini bertujuan untuk memahami kesadaran ekologi dan intelijensi emosi konsumen pada perilaku ekologis. Nilai kesadaran ekologis merupakan bagian pengetahuan dan nilai-nilai yang berorientasi pada pentingnya setiap tindakan konsumen untuk memahami konsekuensinya pada lingkungan. Intelijensi emosi ini berkaitan dengan kontrol diri, kesadaran diri, kesadaran sosial dan kemampuan sosial. Kedua aspek ini dianggap sebagai komponen penentu perilaku ekologis seseorang karena kedua aspek ini merupakan faktor psikologis yang ada dalam diri individu untuk mengarahkan pada perilaku ekologis. Kontribusi Penelitian Secara akademis, penelitian ini memberikan kontribusi pada pemahaman bahwa perilaku ekologis harus didorong dengan kesadaran penuh mengenai nilai-nilai ekologis dan kemampuan emosi konsumen. 166
Iin Mayasari & M. Darus Studi Perilaku Empiris Mengenai Nilai Kesadaran Ekologis dan Intelejensi Emosi Konsumen pada Perilaku Ekologis
Kedua hal ini penting dilihat dari aspek psikologi konsumen sebagai faktor atau motivasi yang memengaruhi konsumen untuk berperilaku. Penelitian ini memiliki sejumlah aspek praktis. Aspek etika bisnis menjadi prioritas utama dalam memahami setiap konsekuensi bisnis yang dijalankan dalam sektor ekonomi. Etika pemasaran juga mempertimbangkan hal ini yaitu berkaitan dengan konsekuensi penggunaan. Hal ini penting karena perusahaan sudah menggunakan bahan dari alam, sudah seharusnya memahami setiap konsekuensi dari penggunaan bahan tersebut. Meskipun belum dilakukan pengungkapan informasi secara menyeluruh mengenai komposisi produk, perusahaan sudah menerapkan Corporate Social Responsibility. Corporate Social Responsibility yang diterapkan adalah orientasi pada eco-green. Perusahaan yang mengutamakan orientasi pada proses dan produk “hijau” bisa menjadikannya sebagai strategi untuk memenangkan hati konsumen, meningkatkan profitabilitas, dan memperpanjang umur perusahaan. Perlu disadari bahwa, konsumen sudah mengalami banyak perubahan. Konsumen mengalami peningkatan pemahaman yang besar untuk sadar akan kesehatan diri, kesejahteraan lingkungan, dan keadaan bumi ini. Konsumen memberikan perhatian besar pada aspek tersebut. Bagi konsumen sendiri, konsumen mulai memperhatikan lingkungan di sekitar dengan hal-hal sederhana antara lain menghemat air, listrik, mengurangi penggunaan kertas, mengurangi konsumsi daging, mengurangi penggunaan plastik, dan pembuatan lubang resapan biori. Untuk tingkat selanjutnya, konsumen bisa melakukan dengan kegiatan konsumsi pada produk-produk yang organik dan membeli produk elektronik yang ramah lingkungan serta mulai berani menuntut perusahaan yang mengabaikan lingkungan. Tinjauan Pustaka Perilaku Ekologis Menurut Nelissen dan Sheepers (1992), aspek perilaku ekologis meliputi empat topik utama yaitu sampah rumah tangga, konsumsi produk ekologis, konsumsi energi dan sarana transportasi. Berkaitan dengan sampah rumah tangga, konsumen menunjukkan perilaku ekologis dengan cara memilah sampah yang bisa didaur ulang dan yang tidak bisa didaur ulang. Dalam pengelolaan sampah, saat ini mulai muncul tren pembuatan lubang resapan biopori. Konsumen bisa membuat lubang resapan biopori, kemudian sampah-sampah sisa makanan bisa dibuang ke dalam lubang tersebut. Perilaku ekologis dengan konsumsi produk ekologis berkaitan dengan membeli produk-produk yang didaur ulang, mengurangi penggunaan tisu, tidak menggunakan klorin, mengkonsumsi produk organik. Konsumsi energi juga merupakan bagian perilaku ekologis dengan, penggunaan sepeda, mengurangi penggunaan air conditioner, menghemat penggunaan air dan listrik, membeli produk yang hemat energi. Pemilihan sarana transportasi juga menunjukkan perilaku ekologis yaitu mengurangi 167
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 164-180
penggunaan bahan bakar dalam sarana transportasi, dan memilih mobil yang menggunakan bahan bakar hibrida. Goleman (2009) berpendapat bahwa konsekuensi perilaku ekologis mempertimbangkan segala bentuk yang berakibat pada: 1. Geosphere yang meliputi tanah, air, udara, iklim. Penggunaan carbon footprint dalam semua produk dari manufacturing, transportasi, penggunaan, sampai pembuangan produk bahkan paling sederhana pada botol shampo akan berdampak pada lingkungan. Konsep eutrophication merupakan konsep untuk mengukur dampak pada air. Ketika nitrogen dan fosfor masuk ke air, penyubur kimia ini menciptakan pertumbuhan ganggang secara eksplosif yang akhirnya dapat mengurangi oksigen dalam air. 2. Biosphere yang meliputi tubuh manusia maupun hewan lain serta kehidupan tanaman. Sistem bumi memiliki keterbatasan dalam menopang kehidupan, begitu pula sistem yang terjadi dalam tubuh manusia. Ekosistem yang ada dalam tubuh berinteraksi dengan indera. Dampak negatif lainnya adalah kanker, DALY-disability adjusted life years, dan kehilangan biodiversitas. 3. Sociosphere yang meliputi perhatian terhadap manusia termasuk kondisi kerja. Hal ini berkaitan dengan produk yang dibuat oleh perusahaan. Pertimbangan yang diajukan adalah produk yang dibuat memperhatikan komunitas lokal, meningkatkan derajat wanita, mempertimbangkan upah minimum, memberi perhatian pada kondisi kerja yang positif, dan tidak menggunakan anak di bawah umum. Perilaku proenvironmental berbeda dari pembelian umum yang berkaitan dengan perilaku konsumen (Kim & Choi, 2005). Perilaku pembelian pada umumnya didorong oleh pertimbangan manfaat dan biaya yang relevan semata-mata untuk individu yang melakukan pembelian. Sebaliknya, perilaku sadar lingkungan tidak akan memberikan keuntungan pribadi atau kepuasan, melainkan berorientasi pada masa depan misalnya lingkungan bersih yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan (McCarty dan Shrum 2001). Riset sebelumnya telah mengidentifikasi beberapa faktor-faktor kunci yang memotivasi perilaku sadar lingkungan termasuk keprihatinan individu tentang lingkungan, kepercayaan konsumen tentang kemampuan meringankan masalah (Elle, Wiener, dan Cobb - Walgren 1991), dan orientasi keseluruhan terhadap kesejahteraan lain (Stern, Dietz, dan Kalof 1993) serta terhadap hubungan dengan orang lain (McCarty dan Shrum 2001). Berdasarkan tinjauan praktis, perilaku ekologis bisa dibagi berdasarkan penghematan kertas, dukungan pro lingkungan, konsumsi produk organik, lestarikan ekologi, daur ulang. Nilai Kesadaran Ekologis Secara teoretis, nilai dapat memotivasi dan memengaruhi perilaku (Carman 1977; Williams 1979). Nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dapat membimbing tindakan dan penilaian orang pada situasi spesifik (Rokeach 168
Iin Mayasari & M. Darus Studi Perilaku Empiris Mengenai Nilai Kesadaran Ekologis dan Intelejensi Emosi Konsumen pada Perilaku Ekologis
1973). Nilai-nilai dapat menjadi dasar bagi pengembangan sikap dan kepercayaan, memengaruhi perilaku serta biasanya secara tidak langsung melalui sikap yang lebih spesifik atau keyakinan berkaitan dengan suatu objek, topik atau gagasan. Nilai-nilai dianggap sebagai kriteria yang individu gunakan untuk memilih dan membenarkan tindakan. Setiap individu memiliki nilai struktur tertentu. Kahle (1996) menyatakan bahwa nilai-nilai dibentuk berdasarkan pengalaman dan proses belajar. Orang-orang yang memiliki nilai berorientasi pada lingkungan, mengungkapkan nilai penghormatan terhadap alam dengan memiliki sikap positif terhadap ekologi melalui pembelian produk, daur ulang dan mengambil bagian dalam kegiatan yang bertujuan untuk perlindungan lingkungan. Beberapa peneliti telah menemukan hubungan positif antara nilainilai, gaya hidup dan perilaku ekologis. De Young (1986) menyimpulkan bahwa gaya hidup bisa memiliki hubungan positif dengan penggunaan kaca dan kertas daur ulang. Lievers, Serra dan Watson (1986) menunjukkan bahwa orang konservatif dan nilai-nilai agama memiliki kontribusi aktif untuk perbaikan masyarakat. Dunlap dan Van Liere (1986) juga menunjukkan bahwa nilai-nilai liberal yang berkaitan dengan lingkungan hidup konsumen memiliki kesadaran akan masalah lingkungan. Individu dengan nilai kesadaran ekologis ditandai dengan memiliki gaya hidup ekologis, yaitu, kesadaran lingkungan, memilih produk daur ulang dan mengambil bagian dalam peristiwa-peristiwa untuk melindungi lingkungan. Dalam hal ini, perusahaan- perusahaan yang membidik segmen ini harus tahu bahwa konsumen ini akan mengamati aktivitas perusahaan dalam menghargai lingkungan. Nilai ekologis juga berkaitan dengan perhatian pada perusahaan yang menyajikan informasi tentang lingkungan dan sosial. Perusahaan juga diharapkan memfokuskan aspekaspek ekologi pada produk yang juga berkaitan pengemasan dan labeling. Segala sesuatu yang bersifat ekologis merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu dengan menekankan pada kenyataan bahwa orang suka menikmati alam, dan memperhatikan keseimbangan serta kesehatan tubuh dan jiwa. Fraj dan Martinez (2006) menunjukkan bahwa individu-individu yang nilai-nilainya berorientasi pada lingkungan menunjukkan menghormati lingkungan dengan bersedia untuk membeli produk ekologi. Individu juga memiliki sikap positif terhadap aktivitas daur ulang, dan sering terinspirasi untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk melestarikan lingkungan. Intelijensi Emosi Kecerdasan emosi mengacu pada seberapa baik seorang individu menangani dirinya sendiri dan orang lain, dan tidak merupakan keterampilan teknis yang dimiliki. Intelijensi emosi meliputi atribut kesadaran diri, pengendalian diri, kesadaran sosial, dan keterampilan sosial (Applegate et al., 2009). Pengetahuan ini memfasilitasi penilaian objektif 169
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 164-180
tentang diri dan tanggapan lain yang sesuai dalam interaksi di semua lingkungan. Individu akan berkembang dalam konteks global dengan mengembangkan intelijensi emosi . Psikolog umumnya sepakat bahwa seseorang hanya memiliki intelligence quotient sekitar 10% -25% dari seluruh faktor-faktor yang diperlukan untuk sukses. Menurut Akers dan Porter (2003), 75% -90% faktor-faktor yang mendukung kesuksesan seseorang dipengaruhi oleh kemampuan untuk memiliki sifat-sifat kesadaran diri, pengendalian diri, kesadaran sosial, dan keterampilan sosial yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan orang lain. Kesadaran emosional, kemampuan untuk mengenali emosi sendiri, dan percaya diri, perasaan kepastian tentang harga diri dan kemampuan, adalah dasar-dasar kesadaran diri atas kemampuan mengendalikan emosi (Akers & Porter, 2003). Emosi memainkan peran yang besar dalam kehidupan manusia. Emosi adalah pusat untuk memfasilitasi fokus, perilaku, minat, motivasi, pengembangan, dan perubahan. Emosi positif memotivasi orang untuk menjadi yang terbaik, sedangkan baik emosi negatif menghalangi atau mempercepat perubahan dan perkembangan. Perilaku positif yang diharapkan dan ditambah dengan kesadaran, adalah langkah pertama untuk berkembang secara profesional (Fox & Zauderer, 1987). Menurut Applegate et al. (2009) intelijensi emosi terdiri atas kesadaran diri, kontrol diri, kesadaran sosial dan kemampuan sosial. Goleman (1996) berpendapat bahwa intelijensi emosi terdiri atas kemampuan mengenali emosi diri, kemampuan mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengenali emosi orang lain dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Berkaitan dengan perilaku ekologis, individu yang memiliki intelijensi emosi, akan mengembangkan kesadaran diri lebih baik. Kesadaran diri ini meliputi kemampuan untuk mengelola diri dengan baik, menciptakan suasana hati yang baik, mencari aktivitas yang tidak menguntungkan diri sendiri. Bila individu memiliki emosi intelijensi dengan baik, maka individu akan mudah melakukan perilaku ekologis dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keadaan diri yang tenang memudahkan seseorang untuk memikirkan konsekuensi dari perbuatan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan. Dengan kesadaran diri yang baik, individu bisa mengelola kognitif dengan baik untuk memutuskan setiap aspek yang dikonsumsi maupun digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memperhatikan dampak negatifnya pada lingkungan di sekitarnya. Intelijensi emosi juga berkaitan dengan kontrol diri. Kontrol diri berkaitan dengan kemampuan untuk menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang hanya menuruti kemauan diri sendiri tanpa memerhatikan akibatnya pada lingkungan sekitar. Kontrol diri pada perilaku ekologi adalah kemampuan untuk berkorban agar tidak menggunakan sumber daya yang ada untuk kepentingan diri sendiri. 170
Iin Mayasari & M. Darus Studi Perilaku Empiris Mengenai Nilai Kesadaran Ekologis dan Intelejensi Emosi Konsumen pada Perilaku Ekologis
Kemampuan sosial juga menjadi elemen dalam intelijensi emosi. Kemampuan sosial adalah kemampuan diri untuk mengembangkan perhatian pada orang lain dan memahami kondisi orang lain dengan baik. Berkaitan dengan perilaku ekologi, setiap aktivitas yang dilakukan akan berdampak pada lingkungan sekitar, dalam hal ini orang lain. Ketika memutuskan suatu konsumsi produk, individu juga memerhatikan sisi negatif penggunaan produk pada orang lain. Metode Penelitian Unit analisis penelitian ini adalah individu yang ada di Jakarta. Metode yang digunakan untuk memilih sampel penelitian dalam studi ini adalah random sampling. Tujuan penggunaan metode ini adalah asumsinya setiap individu memiliki kesempatan untuk dijadikan responden tanpa ada batas atau kriteria tertentu. Perilaku ekologi diukur dengan menggunakan instrumen pengukuran Environmental Attitude and Knowledge Scale dari Maloney, Ward, Braucht (1975) yang telah diadaptasi sesuai dengan konteks penelitian agar mudah dipahami oleh responden. Adaptasi kuesioner dibagi ke dalam perilaku penghematan kertas, dukung pro lingkungan, konsumsi organik, pelestarian ekologi, daur ulang. Masing-masing diukur dengan skala enam poin mulai 1= sangat tidak setuju; sampai dengan 6=sangat setuju. Variabel nilai kesadaran ekologi diukur berdasarkan instrumen Lifestyle (Sanchez, 1998). Masing-masing diukur dengan skala enam poin mulai 1= sangat tidak setuju; sampai dengan 6=sangat setuju. Variabel intelijensi emosi diukur dengan instrumen Development and Validation of Measures of Emotional Intelligence yang dikembangkan oleh Schutte, Malouf, Hall, Haggerty, Cooper, Golden (1998) Beberapa indikator kuesioner yang digunakan untuk mengukur perilaku ekologis yaitu:
Tabel 1. Indikator Perilaku Ekologi Penghematan Kertas PK1
Gunakan kedua sisi kertas untuk mencetak.
PK2
Mengusahakan menyimpan dokumen dalam bentuk digital.
PK3
Meneliti kembali tulisan sebelum mencetak untuk menghindari pemborosan kertas karena pengulangan cetak. Dukungan Pro Lingkungan PL1
Memiliki kebun di rumah.
PL2
Memelihara kesehatan tanaman.
PL3
Menggunakan pupuk yang ramah lingkungan.
Konsumsi Organik KO1
Meningkatkan pengetahuan mengenai makan dan minuman yang dikonsumsi. 171
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 164-180 KO2
Bergabung dengan kelompok pencinta pola hidup organik.
KO3
Meningkatkan konsumsi makanan yang berserat.
Lestarikan Ekologi LE1
Membuat resapan biopori
LE2
Menghindari penggunaan styrofoam.
LE3
Menggunakan air secara hemat.
Daur Ulang DU1
Mendaur ulang barang-barang yang dapat didaur ulang.
DU2
Menyediakan tempat sampah organik dan non-organik.
DU3
Mengganti kantong belanja dengan tas kain.
Penelitian ini menguji hubungan antara variabel nilai kesadaran ekologi dan nilai intelijensi emosi dengan perilaku ekologis yaitu hemat kertas, pro lingkungan, konsumsi organik, lestarikan ekologi, dan daur ulang. Gambar 1 berikut ini menghubungkan hubungan antar variabel tersebut.
Hemat Kertas
Nilai Kesadaran Ekologis
Pro Lingkungan
Konsumsi Organik Intelijensi Emosi Lestarikan Ekologi
Daur Ulang
Gambar 1. Model Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan selama enam minggu, yaitu sejak minggu ketiga bulan Januari 2010 hingga minggu 172
Iin Mayasari & M. Darus Studi Perilaku Empiris Mengenai Nilai Kesadaran Ekologis dan Intelejensi Emosi Konsumen pada Perilaku Ekologis
keempat bulan Pebruari 2010. Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner yang disebarkan kepada ibu rumah tangga, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, profesional, dan mahasiswa/i. Total kuesioner yang dibagikan sebanyak 46 eksemplar. Dari jumlah total kuesioner tersebut, yang kembali adalah 44 eksemplar. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengembalian kuesioner dalam penelitian ini sebesar 95,6 persen. Tingginya tingkat pengembalian disebabkan oleh antusiasme dan penghargaan yang diberikan oleh para responden terhadap kegiatan penelitian. Responden mahasiswa/i banyak yang mengisi kuesioner ketika berada di kampus dan langsung menyerahkannya kepada peneliti; sedangkan responden yang lain lebih suka untuk mengisi kuesioner di rumah. Rincian penyebaran kuesioner dapat dilihat pada Tabel 2. Kuesioner yang telah terkumpul dan layak untuk dianalisis lebih lanjut sebanyak 44 eksemplar. Tabel 2. Tingkat Pengembalian Kuesioner Keterangan Penyebaran kuesioner Pengembalian kuesioner Kuesioner yang bisa dianalisis kembali
Jumlah Kuesioner 46 44 44 Persentase
Tingkat pengembalian kuesioner Tingkat penggunaan kuesioner kembali
95,6% 100%
Sumber: Pengolahan Data dari Hasil Penyebaran & Pengembalian Kuesioner
Sebanyak 15 orang (34,1 persen), responden penelitian berjenis kelamin pria dan 29 orang (65,9 persen) berjenis kelamin wanita. Pada penelitian ini, perbedaan antara pria dan wanita cukup penting. Berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa otak pria dan wanita memiliki perbedaan struktur, kimiawi dan fungsi yang berpengaruh pada perbedaan cara berpikir dan berperilaku keduanya (Taufik, 2009). Oleh karena itu, pria dan wanita memiliki kemungkinan perbedaan nilai ekologi dan intelijensi emosi yang akan berdampak pada perbedaan perilaku ekologis. Tabel 2. menunjukkan karakteristik responden penelitian. Sampel responden menyasar pada rentang umur dan berbagai status sosial di masyarakat. Aspek demografi menunjukkan pengaruh penting dalam menjelaskan kecenderungan seseorang dalam berperilaku ekologis. Seorang remaja memiliki kesadaran ekologi dan intelijensi emosi yang berbeda dengan orang dewasa, namun sejauh mana kedua hal tersebut mendorong seseorang untuk berperilaku ekologis belum bisa dipastikan. Orang dewasa yang berumur antara 41-50 tahun belum tentu lebih tinggi perilaku ekologisnya daripada remaja yang berumur 20-30 tahun. Tingkat pendidikan memiliki korelasi positif dengan intelijensi. Asumsi dasarnya 173
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 164-180
adalah bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin tinggi pula kesadaran ekologi dan intelijensi emosi yang dimiliki. Akan tetapi hal tersebut belum menjamin tingginya perilaku ekologis orang yang bersangkutan. Aspek demografi lain yang menjadi pertimbangan adalah pekerjaan. Rutinitas dan jenis tanggung jawab yang diemban oleh seorang pegawai negeri (PNS) dan seorang profesional berbeda satu sama lain. Di lain sisi, pekerjaan juga menjadi status bagi seseorang dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Informasi mengenai pengeluaran rutin per-bulan dimaksudkan untuk mengukur kemampuan konsumsi responden. 37,2 persen responden memiliki pengeluaran rutin perbulan sebesar Rp 1.100.000 – 2.000.000,-. Besarnya kemampuan responden untuk membeli barang kebutuhan menunjukkan kemampuannya untuk membeli jenis barang atau jasa tertentu yang diinginkan. Pilihan jenis konsumsi barang atau jasa pada akhirnya akan menentukan limbah barang bekas, sampah dan pencemaran lingkungan yang mungkin ditimbulkan. Tabel 4.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan, Pekerjaan, Pengeluaran/ bulan, dan Sumber Informasi Variabel Kategori Jumlah Persen Jenis Kelamin Usia (tahun)
Pendidikan
Pekerjaan
Pengeluaran rutin/ bulan
Pria Wanita 20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun > 51 tahun < SMU SMU Sarjana Pasca Sarjana Pegawai Negeri Pegawai Swasta TNI / ABRI Profesional (Dokter, pengacara, dosen dll) Mahasiswa/i Ibu Rumah tangga < Rp 1000.000 Rp 1100.000 – Rp 2000.000 Rp 2100.000 – Rp 3.000.000 > Rp 3100.000
15 29 31 10 3 0 0 7 34 3 1 26 0 1 14 2 12 16 7 8
34,1 65,9 70,5 22,7 6,8 0 0 15,9 77,3 6,8 2,3 59,1 0 2,3 31,8 4,5 27,9 37,2 16,3 18,6
Penelitian ini melakukan pengujian validitas ini meliputi pengujian validitas konstruk. Pengujian validitas konstruk dilakukan dengan confirmatory factor analysis. Semua indikator pengukuran pada masingmasing variabel baik nilai kesadaran ekologis, intelijensi emosi, perilaku ekologis yang meliputi penghematan kertas, pro lingkungan, konsumsi organik, melestarikan ekologi dan melakukan daur ulang memiliki koefisien indikator sebesar 0,4. Artinya semua indikator memiliki kemampuan untuk 174
Iin Mayasari & M. Darus Studi Perilaku Empiris Mengenai Nilai Kesadaran Ekologis dan Intelejensi Emosi Konsumen pada Perilaku Ekologis
mengukur setiap variabel dengan baik. Namun, ada sejumlah indikator yang tidak valid yaitu indikator value1 dari variabel nilai kesadaran ekologis, dan perilaku hemat kertas2 yang tidak menunjukkan pengukuran valid. Studi ini juga menggunakan pengujian reliabilitas. Pengujian reliabilitas merupakan ukuran mengenai konsistensi internal indikatorindikator. Nilai batas yang digunakan adalah ≥ 0,7 (Hair et al., 1998). Semua variabel penelitian memiliki nilai Cronbach alpha lebih dari 0,7 kecuali variabel melestarikan ekologi sebagai perilaku ekologis. Analisis data menggunakan analisis multiregresi. Analisis multi regresi adalah merupakan suatu teknik statistika yang umum digunakan untuk menganalisis besarnya pengaruh variabel independen dengan menggunakan data variabel dependen yang sudah diketahui. Tabel 3. Hasil Uji Statistik No 1
Hubungan Variabel Nilai Kesadaran Ekologis
2
Intelijensi Emosi
3
Nilai Kesadaran Ekologis
Hemat kertas
Hemat kertas
4
Intelijensi Emosi
5
Nilai Kesadaran Ekologis
6
Intelijensi Emosi
Pro Lingkungan
Pro Lingkungan Kon. Organik
Kon. Organik
7
Nilai Kesadaran Ekologis
8
Intelijensi Emosi
9
Nilai Kesadaran Ekologis
10
Intelijensi Emosi
Lestarikan Ekologi
Lestarikan Ekologi Daur Ulang
Daur Ulang
Beta Standar dized 0,214
t-hitung
Sig
1,420
0,163
0,322
2,136
0,039
0,316
2,044
0,047
0,151
0,974
0,336
0,132
0,916
0,365
0,458
3,184
0,003
0,323
2,011
0,051
-0,055
-0,342
0,734
0,260
1,684
0,100
0,231
1,497
0,142
Analisis data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai kesadaran ekologis memengaruhi dua perilaku ekologis dengan masing-masing koefisien beta yaitu pro lingkungan 0,316 dan melestarikan ekologi 0,323. Nilai kesadaran ekologis berkaitan dengan suatu keyakinan diri yang bisa membentuk pola pikir, sikap dan perilaku. Nilai kesadaran lingkungan ini berkaitan dengan keyakinan bahwa peradaban dunia saat ini sudah mengabaikan dampak setiap aktivitas pada lingkungan. Individu menyakini bahwa kerusakan lingkungan akan semakin parah apabila tidak ada suatu tindakan yang tepat untuk menanganinya segera. Kekhawatiran mengenai konsekuensi aktivitas manusia pada perubahan iklim akhir-akhir ini mulai dirasakan dengan kuat. Oleh karena itu, individu mulai menerapkan perilaku ekologis yang berupa pro lingkungan dan melestarikan ekologi. Perilaku ekologis pro lingkungan bertujuan untuk melestarikan lingkungan yang berkaitan secara langsung misalnya dengan menjaga kelestarian 175
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 164-180
tanah, menyuburkan tanah, melakukan penanaman; sedangkan perilaku berkaitan dengan melestarikan ekologi merupakan perilaku yang sifatnya tidak secara langsung melestarikan lingkungan misalnya menghemat penggunaan air, mengurangi penggunaan sabun deterjen. Perilaku ekologis ini dianggap dapat membantu penanganan kerusakan lingkungan yang parah secara sedikit demi sedikit. Analisis juga menunjukkan nilai kesadaran ekologis tidak memengaruhi tiga perilaku ekologis dengan masing-masing koefisien beta yaitu perilaku hemat kertas sebesar 0,214; konsumsi organik 0,132; mendaur ulang 0,231. Meskipun diketahui bahwa responden dalam penelitian memiliki kesadaran nilai lingkungan, aspek ini tidak memengaruhi perilaku ekologis yang meliputi perilaku hemat kertas, konsumsi organik dan mendaur ulang. Berkaitan dengan penghematan kertas, perilaku ini tidak disebabkan oleh adanya kesadaran nilai lingkungan. Berkaitan dengan konsumsi organik, responden menunjukkan bahwa kecenderungan untuk membeli produk organik tidak berkaitan dengan kesadaran akan lingkungan. Meskipun konsumsi organik berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh dari hitungan statistik adalah 3,9, ini bukan berarti individu memiliki kesadaran lingkungan kemudian melakukan konsumsi organik. Konsumsi organik lebih diutamakan karena individu menginginkan pola hidup sehat. Dengan mengkonsumsi organik paling tidak kecenderungan untuk terkena penyakit rendah. Selain itu, konsumsi organik merupakan tren yang terjadi saat ini. Pilihan menggunakan produk organik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari merupakan dorongan untuk mengikuti gaya hidup yang terjadi saat ini. Analisis data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa intelijensi emosi memengaruhi dua perilaku ekologis dengan masing-masing koefisien beta yaitu hemat kertas 0,322 dan konsumsi organik 0,458. Pembahasan sebelumnya mengenai tidak adanya pengaruh nilai kesadaran lingkungan terhadap konsumsi organik bisa disebabkan oleh faktor lain yaitu adanya kesadaran untuk hidup sehat dan mengikuti tren. Selain itu yang faktor intelijensi emosilah yang memengaruhi perilaku konsumen untuk melakukan konsumsi organik. Menurut Applegate et al. (2009) intelijensi emosi terdiri atas kesadaran diri, kontrol diri, kesadaran sosial dan kemampuan sosial. Berkaitan dengan perilaku ekologis, individu yang memiliki intelijensi emosi, akan mengembangkan kesadaran diri lebih baik. Kesadaran diri ini meliputi kemampuan untuk mengelola diri dengan baik, dan tidak mencari aktivitas yang menguntungkan diri sendiri. Bila individu memiliki kesadaran diri dengan baik, maka individu akan mudah melakukan perilaku ekologis dengan baik. Hal ini disebabkan oleh keadaan diri yang tenang memudahkan seseorang untuk memikirkan konsekuensi dari perbuatan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan. Dengan kesadaran diri yang baik, individu bisa mengelola kognitif dengan baik untuk memutuskan setiap aspek yang dikonsumsi maupun digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memperhatikan dampak 176
Iin Mayasari & M. Darus Studi Perilaku Empiris Mengenai Nilai Kesadaran Ekologis dan Intelejensi Emosi Konsumen pada Perilaku Ekologis
negatifnya pada lingkungan di sekitarnya. Kemampuan sosial juga menjadi elemen dalam intelijensi emosi. Kemampuan sosial adalah kemampuan diri untuk mengembangkan perhatian pada orang lain dan memahami kondisi orang lain dengan baik. Berkaitan dengan perilaku ekologi, setiap aktivitas yang dilakukan akan berdampak pada lingkungan sekitar, dalam hal ini orang lain. Ketika memutuskan suatu konsumsi produk, individu juga memerhatikan sisi negatif penggunaan produk pada orang lain. Penghematan kertas dan konsumsi organik merupakan salah satu perilaku yang disebabkan oleh adanya elemen intelijensi emosi yang dimiliki oleh individu. Penghematan kertas merupakan wujud dari salah satu bentuk kesadaran individu untuk memperhatikan penggunaan kertas berlebihan. Penggunaan kertas berlebihan akan menyebabkan kebutuhan kertas meningkat. Kebutuhan kertas yang meningkat ini akan menyebabkan kebutuhan akan bahan kayu untuk membuatnya. Dengan demikian, kebutuhan ini akan memengaruhi perusahaan untuk melakukan penebangan hutan yang terus-menerus agar bisa memenuhi kebutuhan konsumen akan kertas. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah penebangan hutan yang secara terus menerus mengakibatkan ekosistem dalam hutan terganggu. Kesadaran akan pentingnya dampak dari suatu konsumsi pada lingkungan yang lebih luas menyebabkan individu melakukan perilaku ekologis dalam bentuk penghematan kertas. Konsumsi organik merupakan kesadaran yang lebih memperhatikan pada aspek implikasi konsumsi pada orang lain dan lingkungan sekitar. Intelijensi emosi ini cenderung bersifat permanen ada dalam otak manusia sehingga ini bisa secara terus-menerus memengaruhi individu untuk memutuskan sesuatu tindakan. Analisis data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa baik nilai kesadaran lingkungan dan intelijensi emosi tidak memengaruhi perilaku ekologis yaitu daur ulang 0,231. Aktivitas daur ulang ini mungkin disebabkan oleh dorongan untuk menciptakan suatu peluang bisnis dengan mengolah kembali barang yang tidak terpakai agar bisa mendapatkan nilai ekonomis. Daur ulang ini lebih ditujukan dengan memanfaatkan barangbarang yang tidak terpakai untuk bisa mendapatkan penghasilan tambahan dan membuka lapangan kerja. Nilai ekonomis dimaksudkan untuk mengolah kembali produk yang tidak dipakai agar dibuat menjadi produkproduk yang bisa digunakan kembali misalnya produk tas dari kertas bekas, daur ulang sampah untuk dibuatkan pupuk dan bisa dijual. Simpulan Nilai kesadaran ekologis dan intelijensi emosi memengaruhi perilaku ekologis yang sifatnya bervariasi. Nilai kesadaran ekologis memengaruhi perilaku ekologis yang pro lingkungan dan melestarikan ekologi sedangkan intelijensi emosi memengaruhi perilaku hemat kertas dan konsumsi organik. Nilai kesadaran ekologis lebih berkaitan dengan 177
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 164-180
aspek lingkungan fisik. Hal ini memengaruhi individu untuk melakukan pelestarian lingkungan yang sifatnya langsung pada lingkungan fisik maupun yang tidak langsung yaitu dari tindakan sehari-hari. Intelijensi emosi lebih memengaruhi pada perilaku hemat kertas dan konsumsi organik. Intelijensi emosi merupakan aspek permanen yang ada dalam diri seseorang untuk membentuk sikap dan perilaku yang sifatnya relatif stabil. Perilaku daur ulang tidak disebabkan oleh baik nilai kesadaran ekologis dan intelijensi emosi, namun lebih didorong untuk kepentingan ekonomis. Keterbatasan dan Saran Penelitian yang Akan Datang Penelitian ini hanya membatasi pada dua aspek yaitu nilai kesadaran ekologis dan intelijensi emosi yang ada dalam individu untuk memengaruhi perilaku ekologis. Dua aspek ini sebenarnya memiliki kelemahan karena masing-masing konsep memiliki aspek yang berkaitan. Menurut Goleman (2009), individu yang memiliki intelijensi ekologi yaitu memiliki kemampuan dalam diri seseorang untuk memperhatikan setiap dampak dari aktivitas juga memiliki komponen intelijensi emosi. Oleh karena itu, untuk penelitian di masa yang akan datang, konsep nilai kesadaran lingkungan perlu diperbaiki alat ukurnya dengan sudah memperhatikan aspek intelijensi emosi di dalamnya. Variabel penelitian di masa yang akan datang bisa mempertimbangkan aspek penggunaan media, aspek kepribadian, dan kelompok referensi. Penggunaan media dipertimbangkan karena media dianggap sebagai satu cara untuk memberikan edukasi terhadap konsumen. Aspek kepribadian juga penting karena ini memperhatikan sisi internal konsumen dalam memengaruhi perilaku tertentu. Aspek kelompok referensi penting diperhatikan karena dapat mendorong perilaku ekologis. Kelompok referensi merupakan konsep yang tepat untuk menjelaskan perilaku individu mengingat konteks penelitian dengan setting budaya Indonesia yang cenderung memfokuskan pada aspek komunal. __________ Daftar Pustaka Akers, M., & Porter, G. 2003. Your eq skills: Got what it takes. Journal of Accountancy, 195; 65-68. Applegate, K., Timur, A., Locklear, K. 2009. Linking self-perception and emotional intelligence. Business Review Cambridge, 13: 43-54. Carman, J.M. 1978. Values and consumption patterns: A closed loop in Advances in Consumer Research, 5: 403-407. Cooper, D.R., & Schindler, McGraw-Hill. 178
P.S. 2003. Business Research Methods. New York:
Iin Mayasari & M. Darus Studi Perilaku Empiris Mengenai Nilai Kesadaran Ekologis dan Intelejensi Emosi Konsumen pada Perilaku Ekologis
De Young, R. 1985. Encouraging environmentally appropriate behavior: The role of intrinsic motivation. Journal of Environmental System, 15: 281-292. Dunlap, R.E., VanLiere, K.D. 1986. Commitment to the dominant social paradigm and concern for environment quality. Social Science Quarterly, 65: 1013-1028. Elle, P.S., Wiener, J.L., Cobb-Walgren, C. 1991. The role of perceived consumer effectiveness in motivating environmentally conscious behaviors. Journal of Public Policy of Marketing, 10: 102-117. Fox, J., & Zauderer, R. 1987. Emotional maturity: An important executive quality. Management Solutions, 32: 40. Fraj, E., & Martinez, E. 2006. Environmental values and lifestyles as determining factors of ecological consumer behavior: An empirical analysis. Journal of Consumer Marketing, 23: 133-144. Goleman, D. 2009. Ecological Intelligence: How Knowing the Hidden Impacts of What We Buy can Change Everything. Broadway Books, The Crown Publishing Groups. Goleman, D. 1996. Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Broadway Books, The Crown Publishing Groups. Hair, Jr., Anderson, R.E., Tatham, R.L., & Black, W.C. 1998. Multivariate Data Analysis. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Kahle, L.R. 1996. Social values and consumer behavior: Research from the list of values. The Psychology of Values: The Ontario Symposium, 8, Lawerence Erlbaum Associate Publishers, Hillsdale, 135-150. Kim, Y., & Choi, S.M. 2005. Antecedents of green purchase behavior: An examination of collectivism, environmental concern, perceived customer effectiveness. Advances in Consumer Research, 32: 592-600. Lievers, S., Serra, P., & Watson, J. 1986. Religion and visiting hospitalized old people: Sex differences. Psychological Reports, 58: 705-796. Maloney, M.P. Ward, M.P., & Braucht, G.N. 1975. A revised scale for the measurement of ecological attitudes and knowlege. American Psychologist, 787-792. McCarty, J.A., & Shrum, L.J. 2001. The influence of individualism, collectivisim, and locus of control on environmental beliefs and behavior. Journal of Public Policy and Marketing, 20: 93-104. Nelissen, N., & Scheepers, P. 1992. Ecological consciousness and behavior examined. Sociale Wetenschappen, 35: 64-81. Rokeach, M. 1973. The Nature of Human Values. New York: Free Press. 179
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 3, Agustus 2010: 164-180
Schutte, N., Malouf, J., Hall, L., Haggerty, D., Cooper, J. 1998. Development and validation of measure of emotional intelligence. Personality and Individual Differences, 167-177. Stern, P.C., Dietz, T., & Kalof, L. 1993. Values orientation, gender, and environmental concern. Environment and Behavior, 25: 322-348.
180