Prosiding Skripsi Semester Genap 2010/2011 SK
SK-091304
STUDI PERBANDINGAN SINTESIS GEOPOLIMER SECARA NORMAL DAN TERPISAH DARI ABU LAYANG PLTU SURALAYA Diana Ekawati*, Lukman Atmaja1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Abstrak Studi perbandingan sintesis geopolimer secara normal (N) dan terpisah (S) dari abu layang PLTU Suralaya dipelajari pada penelitian ini. Penelitian ini diawali dengan leaching Si dan Al dari abu layang. Abu layang dicampur dengan NaOH(aq) pada variasi konsentrasi NaOH(aq) 5, 10, dan 15M; dan variasi waktu leaching 5, 10, 20, dan 30 menit. Penggunaan NaOH(aq) 15M dan waktu 30 menit, leaching Si dan Al yang optimum untuk sintesis geopolimer berdasarkan uji leaching Si dan Al. Geopolimer disintesis secara normal dan terpisah dengan memvariasi rasio berat Na-silikat/15M NaOH. Perbandingan berat padat/cair yang digunakan 1,5. Pada sintesis secara normal, abu layang dicampur NaOH (p), Na-silikat(p), dan aqua DM pada waktu yang sama. Pada sintesis secara terpisah, abu layang dicampur dengan NaOH (aq)15M selama 30 menit, lalu ditambah Na-silikat(aq) selama 3 menit. Kuat tekan optimum didapatkan pada geopolimer N-1,5 yaitu 31,688x103 kN/m2 dan geopolimer S-2,0 yaitu 43,949x103 kN/m2. Analisis XRD menunjukkan geopolimer N-1,5 dan S-2,0 memiliki fasa amorf dengan mullite dan quartz sebagai mineral utamanya. Analisis FTIR terlihat vibrasi ulur asimetri Si-O-Al atau SiO-Si pada bilangan gelombang 1200-950 cm-1 yang merupakan puncak-puncak karakteristik geopolimer. Mikrograf SEM menunjukkan geopolimer S-2,0 memiliki struktur lebih kompak dan homogen dibandingkan dengan geopolimer N-1,5 Kata Kunci : Abu layang, leaching, geopolimer
Abstract Comparative study of geopolymer normal (N) and separate (S) synthesis of Suralaya steam power plant fly ash was studied in this research. This research was conducted leaching of Si and Al from fly ash first. Fly ash mixed with NaOH(aq) on NaOH(aq) concentrations 5, 10, and 15M; and time intervals 5, 10, 20, and 30 min. Using of 15M NaOH (aq) and 30 min leaching period, leaching of Si and Al optimum for geopolymer synthesis according Si and Al leaching test before. Geopolymer was synthesized normal and separate by using various weight ratio of waterglass/15M NaOH. Solid/liquid weight ratio was used 1.5. For normal synthesis, fly ash, NaOH (s), sodium silicate(s), aqua DM were mixed at the same time. For separate synthesis, fly ash was mixed with 15M NaOH(aq) for 30 min first, and then sodium silicate(aq) was added into the mixture for 3 min. Optimum compressive strength on N-1.5 geopolymer 31.688x103 kN/m2 and S-2.0 geopolymer 43.949x103 kN/m2. XRD analysis showed N-1.5 and S-2.0 geopolymer were amorphous which quartz and mullite as main element. FTIR analysis showed geopolymers have asymmetric stretching vibration Si-O-Al or Si-O-Si on spectra peaks 1200-950 cm-1 that characteristic for geopolymer. SEM micrograph picture showed S-2.0 geopolymer has more compact and homogeny structure than N-1.5 geopolymer. Keyword: Fly ash, leaching, geopolymer
1. Pendahuluan Batubara merupakan sumber energi yang sangat potensial. Umumnya, batubara digunakan sebagai bahan bakar pada perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industri. Di dunia, konsumsi terbesar batubara adalah sebagai bahan bakar PLTU. Menurut Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), produksi batubara nasional mencapai 300 juta ton pada tahun 2009 dan diperkirakan akan mencapai lebih dari 320 ton pada tahun 2010. Peningkatan produksi batubara tahun ini dibandingkan tahun 2009 dapat dilihat dari rencana peningkatan produksi PT. Adaro Tbk sebesar 4 juta ton, PT. Kaltim Prima Coal Tbk sebesar 4 juta ton, PT. Arutmin sebesar 2 juta ton, PT. Kideco sebesar 2 juta ton, dan PT. Berau Coal sebesar 3 juta ton (www.bataviase.co.id/node/223974). * Corresponding author Phone : +628563467673, e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Prosiding Kimia FMIPA
Peningkatan produksi batubara tersebut seiring dengan peningkatan penggunaan batubara di PLTU setiap tahunnya. Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU sebagai dampak dari permintaan listrik yang terus meningkat. Pembakaran batubara akan menghasilkan abu layang dan abu dasar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sebagai contoh, PLTU Asam-asam menghasilkan limbah abu batubara sekitar 97.680 ton dari tahun 2000 hingga tahun 2004. PLTU tersebut menghasilkan abu batubara sekitar 24.420 ton per tahun. Akumulasi abu batubara PLTU Asam-asam pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 244.200 ton. Penggunaan batubara yang terus meningkat dapat menyebabkan akumulasi yang luar biasa dari limbah abu layang. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang serius bagi lingkungan seperti polusi udara, kontaminasi perairan, dan lain-lain. Produksi limbah abu ini diperkirakan hanya sebagian kecil (sekitar 20-30%) saja yang dimanfaatkan (Fernandez-Jimenez dan Palomo, 2005). Pada umumnya, abu layang tersebut dimanfaatkan
sebagai bahan campuran untuk membuat beton, agregat, geopolimer, dan lain-lain. Geopolimer adalah polimer anorganik berbahan dasar alumino-silikat (SiO2 dan Al2O3) yang diaktifasi oleh larutan basa kuat (Nicholson dan Fletcher, 2005). Geopolimer dapat dibuat dari kaolin, metakaolin, abu layang batubara, dan material lain yang mengandung silika dan alumina. Pembuatan geopolimer berbahan dasar kaolin adalah cikal bakal dari pengembangan geopolimer (Komnitsas dan Zaharaki, 2007). Geopolimer memiliki kuat tekan yang lebih baik daripada beton, tahan terhadap pemanasan tinggi (Davidovits, 1994), dan tahan terhadap asam (Schmu¨cker dan MacKenzie, 2005). Hal ini menjadikan geopolimer berpotensi untuk bahan bangunan, immobilisator bahan-bahan beracun, peralatan keramik tahan panas, dan lain-lain (Komnitsas dan Zaharaki, 2007). Beberapa penelitian yang telah dikembangkan adalah penggunaan abu layang sebagai bahan dasar sintesis geopolimer. Abu layang mengandung silika dan alumina amorf sebagai sumber monomer untuk membuat geopolimer. Abu layang batubara memiliki komposisi yang lebih heterogen daripada kaolin dan metakaolin. Oleh karena itu, parameter-parameter yang umum dugunakan untuk sintesis geopolimer seperti angka banding Si/Al, SiO2/Na2O, dan H2O/Na2O dapat digunakan untuk memprediksi geopolimerisasi dan sifat geopolimer yang dihasilkan. Selain itu, penggunaan abu layang sebagai bahan baku geopolimer dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat penumpukkan limbah abu layang. Geopolimer berbahan dasar abu layang umumnya diaktifasi dengan larutan alkalin. Larutan alkalin dibuat dengan cara mencampurkan NaOH, natrium silikat, dan akuades. Berdasarkan penelitianpenelitian yang telah dilakukan, metode sintesis secara normal tersebut menghasilkan kuat tekan dan mikrostruktur geopolimer yang kurang baik. Hal ini dikarenakan pelepasan Si dan Al dari partikel abu layang yang kurang optimum akibat pelarutan yang kurang homogen, sehingga mikrostruktur geopolimer yang dihasilkan kurang kompak dan masih tampak banyaknya butiran partikel abu layang yang tidak bereaksi. Kondisi tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap kuat tekannya. Berdasarkan kelemahan tersebut, metode sintesis secara terpisah perlu dilakukan. Metode ini dilakukan dengan cara leaching Si dan Al dari partikel abu layang dengan larutan NaOH terlebih dahulu sebelum ditambahkan natrium silikat. Metode ini diharapkan Si dan Al yang terlepas dari partikel abu layang lebih optimum. Semakin banyak Si dan Al yang terlepas dari partikel abu layang, semakin banyak pula monomer yang terbentuk, sehingga kuat tekannya juga semakin baik. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan Chindaprasirt (2009). Chindaprasirt melakukan sintesis secara terpisah menghasilkan kuat tekan yang lebih baik dan mikrostruktur yang lebih homogen dibandingkan sintesis secara normal. Leaching Si dan Al dari partikel abu layang dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor seperti konsentrasi larutan NaOH dan waktu leaching. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan.
Prosiding Kimia FMIPA
2. Metode Penelitian 2.1 Alat dan Bahan 2.1.1 Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: neraca analitik, botol timbang, peralatan plastik (botol, beaker, wadah, dan pengaduk), stirrer dan pengaduk magnetik, kertas saring whatman 40, cetakan plastik berbentuk silinder dengan diameter 2,8 cm dan tinggi 4,2 cm, pengaduk (mixer), oven, set alat fluoresensi sinar-X (XRF), set alat spektrofotometer serapan atom (AAS), mesin uji kuat tekan (Universal Testing Machine), set alat difraktogram sinar-X (XRD), set alat spektroskopi inframerah Fourier Transform (FTIR), Scanning Electron Microscope (SEM), dan peralatan lain yang mendukung. 2.1.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: abu layang dari PLTU Suralaya CilegonBanten Jawa Barat, natrium hidroksida (NaOH 99% Merck), natrium silikat (Na2SiO3) teknis, dan aqua DM. 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Pengambilan dan Persiapan Sampel Abu layang batubara yang digunakan sebagai bahan baku berasal dari PLTU Suralaya Cilegon-Banten Jawa Barat yang berasal dari tambang batubara heterogen. Sampel yang diambil dari tempatnya dalam keadaan basah, sehingga sebelum dianalisis dan digunakan perlu dikeringkan pada suhu 105 oC selama 24 jam untuk menghilangkan kandungan air. 2.2.2 Karakterisasi Bahan Awal Sampel abu layang dianalisis komposisi kimianya dengan alat fluoresensi sinar-X (XRF). Hasil analisis yang diperoleh berupa senyawa oksida yang dinyatakan dalam satuan persentase berat (%). Fasa dan kandungan mineral abu layang dianalisis dengan difraktogram sinar-X (XRD) merk Phillip tipe X’Pert MPD di Laboratorium XRD Research Center LPPM ITS Surabaya. Analisis ini menggunakan sudut difraksi (2θ) 5-60o. Hasil analisis berupa intensitas dan sudut difraksi (2θ), lalu dikarakterisasi jenis mineralnya dengan cara mencocokkan sudut difraksi dengan pola difraktogram standar pada database Software Expert Graphic and Identify dengan metode Search and Match. Komposisi kimia natrium silikat (Na2SiO3) dianalisis dengan alat spektrofotometer serapan atom (AAS) yang terdapat di Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Surabaya. Hasil analisis yang diperoleh dalam satuan persentase berat (%). 2.2.3 Leaching Si dan Al dari Abu Layang PLTU Suralaya dengan Larutan NaOH Sampel abu layang dicampur dengan larutan NaOH dalam beaker plastik dengan rasio berat abu layang/NaOH(p) adalah 3 : 1, lalu campuran distirrer pada 120 rpm. Filtrat dan residu dipisahkan dengan menggunakan kertas saring whatman 40. Filtrat yang mengandung Si dan Al terlarut disimpan dalam botol plastik. Konsentrasi larutan NaOH yang digunakan untuk melarutkan Si dan Al pada penelitian ini adalah 5, 10, dan 15M. Waktu leaching yang digunakan adalah 5, 10, 20, dan 30 menit untuk masing–masing konsentrasi larutan NaOH (Chindaprasirt, 2009). Konsentrasi Si dan Al yang terlarut dalam filtrat dianalisis dengan spektrofotometer serapan atom (AAS) yang terdapat di
Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Surabaya. Hasil analisis yang diperoleh dalam satuan persentase berat (%). 2.2.4 Sintesis Geopolimer 2.2.4.1 Sintesis Secara Normal (N) Geopolimer disintesis dengan cara mencampur sampel abu layang dengan larutan alkalin. Larutan alkalin dibuat dengan cara mencampur larutan NaOH 15M dengan larutan natrium silikat. Rasio berat padat/cair yang digunakan untuk sintesis adalah 1,5 (60%:40%), dan rasio berat natrium silikat/15M NaOH adalah 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0 (Chindaprasirt, 2009). Komposisi campuran ditunjukkan pada Tabel 3.1. Campuran abu layang dan larutan alkalin diaduk dengan pengaduk plastik hingga rata. Setelah itu, campuran dimixer selama 3 menit hingga homogen. Campuran yang telah homogen dan berbentuk pasta dituang dalam cetakan silinder berdiameter 2,8 cm dan tinggi 4,2cm yang sebelumnya telah diolesi vaselin. Penuangan dilakukan secara perlahan–lahan dan hati–hati. Pasta geopolimer dalam cetakan divibrasi hingga menempati seluruh cetakan untuk meminimalkan retakan yang mungkin terjadi, lalu didiamkan sampai mengering dan terbentuk geopolimer (selama 2 sampai 5 hari). Geopolimer yang terbentuk disebut pellet. Pellet dilepaskan dari cetakan dan didiamkan selama 24 jam pada suhu ruang, lalu dioven pada suhu 60 oC selama 24 jam (curing time). Setelah 24 jam, pellet dikeluarkan dari oven lalu disimpan selama 28 hari pada suhu ruang. Uji kuat tekan dan karakterisasi dilakukan setelah masa simpan 28 hari. 2.2.4.2 Sintesis Secara Terpisah (S) Geopolimer disintesis dengan rasio berat padat/cair 1,5 (60%:40%), dan rasio berat natrium silikat/15M NaOH adalah 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0. Sampel abu layang dicampur dengan larutan NaOH 15M terlebih dahulu, diaduk dengan pengaduk plastik hingga rata, lalu dimixer selama 30 menit. Setelah itu, larutan natrium silikat ditambahkan dalam campuran dan dimixer selama 3 menit (Chindaprasirt, 2009). Konsentrasi larutan NaOH dan waktu pencampuran sesuai dengan hasil uji leaching Si dan Al yang telah dilakukan sebelumnya. Komposisi campuran ditunjukkan dalam Tabel 3.1. Campuran yang telah homogen dan berbentuk pasta dituang dalam cetakan silinder berdiameter 2,8cm dan tinggi 4,2 cm yang sebelumnya telah diolesi vaselin. Penuangan dilakukan secara perlahan–lahan dan hati–hati. Pasta geopolimer dalam cetakan divibrasi hingga menempati seluruh cetakan, lalu didiamkan sampai mengering dan terbentuk geopolimer (selama 2 sampai 5 hari). Geopolimer yang terbentuk disebut pellet. Pellet dilepaskan dari cetakan dan didiamkan selama 24 jam pada suhu ruang, lalu dioven pada suhu 60 oC selama 24 jam (curing time). Setelah 24 jam, pellet dikeluarkan dari oven lalu disimpan selama 28 hari pada suhu ruang. Uji kuat tekan dan karakterisasi dilakukan setelah masa simpan 28 hari.
Tabel 2.1 Komposisi Campuran Pasta Geopolimer
N-0,5 N-1,0 N-1,5 N-2,0
112,5 112,5 112,5 112,5
7,5 15 22,5 30
4 8 12 16
15 15 15 15
8 8 8 8
Rasio Berat NaSilikat/15 M NaOH 0,5 1,0 1,5 2,0
S-0,5 S-1,0 S-1,5 S-2,0
112,5 112,5 112,5 112,5
7,5 15 22,5 30
4 8 12 16
15 15 15 15
8 8 8 8
0,5 1,0 1,5 2,0
Campuran
Abu Layang (gr)
Natrium Silikat gr %
NaOH gr
%
Jumlah air mengikuti untuk mendapatkan komposisi 100% 2.2.5 Karakteisasi Geopolimer 2.2.5.1 Analisis Sifat Mekanik (Kuat Tekan) Sifat mekanik dipelajari dengan pengukuran kuat tekan yang menggunakan alat uji kuat tekan (Universal Testing Machine) yang ada di Laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP ITS Surabaya. Pellet yang diuji berbentuk silinder dengan diameter 2,8 cm dan tinggi 4,2 cm. Setiap variasi rasio berat Natrium Silikat/15M NaOH diuji masing-masing sebanyak 3 pellet (triplo). Hasil uji dinyatakan dalam massa beban yang mampu ditanggung oleh pellet geopolimer dalam kilogram (kg). Massa beban dimasukkan dalam persamaan 2.2 untuk mendapatkan kuat tekannya dalam satuan N/m2. 2.2.5.2 Analisis Fasa dan Kandungan Mineral dengan XRD Analisis fasa dan kandungan mineral dilakukan pada pellet geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum untuk masing-masing metode sintesis. Analisis ini menggunakan alat difraktogram sinar-X (XRD) merk Phillip tipe X’Pert MPD di Laboratorium XRD Research Center LPPM ITS Surabaya. Analisis ini menggunakan sudut difraksi (2θ) 5-60o. Hasil analisis berupa intensitas dan sudut difraksi (2θ), lalu dikarakterisasi jenis mineralnya dengan cara mencocokkan sudut difraksi dengan pola difraktogram standar pada database Software Expert Graphic and Identify dengan metode Search and Match. 2.2.5.3 Analisis Ikatan Kimia dengan FTIR Analisis perubahan ikatan kimia dilakukan pada pellet geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum untuk masing-masing metode sintesis. Analisis ini menggunakan alat Precise Fourier Transform Infrared (FTIR) merk Shimadzu tipe 8400 S di Laboratorium Instrumen Jurusan Kimia FMIPA ITS Surabaya. Preparasi sampel dilakukan dengan cara melarutkan 1 mg sampel dengan 99 mg KBr dan dibentuk pellet, lalu dianalisis dengan alat FTIR. Hasil analisis FTIR berupa intensitas serapan (%T) dan bilangan gelombang (cm-1). 2.2.5.4 Analisis Morfologi dengan SEM Analisis morfologi geopolimer dilakukan pada pellet geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum untuk masing-masing metode sintesis. Analisis ini menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM) merk Zeiss EVO tipe MA 10 di Laboratorium Studi Energi dan Rekayasa LPPM ITS Surabaya. Preparasi dilakukan dengan cara mengambil 0.1 mg sampel dan
Prosiding Kimia FMIPA
diletakkan pada cawan holder yang dilapisi carbon tape, lalu dimasukkan dalam sputter coater untuk dilakukan coating atau pelapisan dengan emas 5% dan paladium 95%. Selanjutnya, struktur mikronya dianalisis dengan alat SEM. Hasil analisis berupa foto struktur mikro geopolimer. 3.Hasil dan Diskusi Pada penelitian ini disintesis geopolimer dari abu layang PLTU Suralaya secara normal (N) dan secara terpisah (S). Penelitian ini diawali dengan leaching Si dan Al dari partikel abu layang. Bahan yang akan digunakan (abu layang dan natrium silikat) dikarakterisasi terlebih dahulu. Pellet geopolimer hasil síntesis dianalisis sifat mekaniknya dengan uji kuat tekan. Geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum dikarakterisasi menggunakan difraktogram sinar-X (XRD), spektroskopi inframerah Fourier Transform (FTIR), dan Scanning Electron Microscope (SEM). 3.1 Karakterisasi Bahan Karakterisasi bahan dilakukan pada abu layang dan natrium silikat. Setiap abu layang memiliki komposisi kimia yang tidak selalu sama, bergantung pada sumber batubara dan proses pembakarannya. Sedangkan, natrium silikat yang digunakan adalah natrium silikat teknis yang kemungkinan masih mengandung unsur-unsur lain maupun pengotor. Komposisi kimia abu layang ditentukan dengan fluoresensi sinar-X (XRF), sedangkan fasa dan kandungan mineralnya ditentukan dengan difraktogram sinar-X (XRD). Komposisi kimia natrium silikat dianalisis dengan spektrofotometer serapan atom (AAS). Pellet NaOH dan aqua DM tidak dikarakterisasi, karena pellet NaOH memiliki kemurnian 99% (merck) dan aqua DM diketahui sudah tidak mengandung mineral-mineral lain, sehingga sudah jelas komposisi kimianya. Karakterisasi ini sangat penting dilakukan dan diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh komposisi kimia dengan sifat geopolimer yang disintesis. 4.1.1 Karakterisasi Abu Layang Penelitian ini menggunakan abu layang PLTU Suralaya Cilegon-Banten Jawa Barat yang berasal dari tambang batubara heterogen. Mulanya, Abu layang dioven pada suhu 105 oC selama 24 jam untuk menghilangkan kandungan air yang dapat mengganggu proses sintesis geopolimer. Komposisi kimia abu layang bergantung pada komposisi kimia batubara. Abu layang yang dihasilkan dari sumber yang sama, memiliki komposisi kimia yang tidak selalu sama. Oleh karena itu, abu layang perlu dianalisis komposisi kimianya dengan fluoresensi sinar-X (XRF). Hasil analisis XRF tersebut berupa senyawa oksida seperti SiO2, Al2O3, CaO, Fe2O3, dan lain-lain. Komposisi kimia abu layang tersebut ditunjukkan pada Tabel 3.1. Berdasarkan ASTM C 618, abu layang digolongkan menjadi dua kelas yaitu abu layang kelas C dan abu layang kelas F. Berdasarkan Tabel 4.1, abu layang PLTU Suralaya tergolong kelas F karena memiliki kandungan total SiO2, Al2O3, dan Fe2O3 sebesar 87,1% (lebih dari 70%), sedangkan kandungan CaO sebesar 7,63% (kurang dari 10%).
Prosiding Kimia FMIPA
Tabel 3.1 Komposisi Kimia Abu Layang PLTU Suralaya dengan Alat X-Ray Fluorescence (XRF) Senyawa % massa Senyawa % massa Oksida Oksida SiO2 48,3 SrO 0,45 Al2O3 23,4 Cr2O3 0,061 CaO 7,63 NiO 0,02 Fe2O3 15,4 CuO 0,045 K2O 1,16 ZnO 0,02 V2O5 0,083 ZrO2 0,2 SO3 0,2 MoO3 0,8 TiO2 1,63 Eu2O3 0,1 MnO 0,18 Yb2O3 0,01 BaO 0,1 Re2O7 0,11 Sumber : Data analisis XRF Setiap senyawa oksida dalam abu layang mempengaruhi sifat geopolimer yang terbentuk. Kandungan CaO akan berpengaruh cukup baik pada pengerasan awal karena CaO dapat membantu reaksi hidrasi pada geopolimer (Van Deventer dkk., 2006). Oleh karena itu, geopolimer dari abu layang tipe C PT. Semen Gresik kemungkinan mengeras lebih cepat dibandingkan dengan abu layang tipe F PLTU Suralaya. Penambahan larutan basa terhadap abu layang yang mengandung CaO menyebabkan pelarutan yang cepat terhadap kalsium dari abu layang dan mengendap sebagai Ca(OH)2. Hal ini akan mempengaruhi pelarutan silika dan alumina. Menurut Muslihah (2008), Oksida Besi (Fe2O3) akan bereaksi dengan OH- membentuk Fe(OH)3 yang dapat mengurangi kandungan OH- yang diperlukan untuk pelarutan silika dan alumina, sehingga silika dan alumina terlarut yang diperlukan dalam geopolimerisasi menjadi lebih sedikit. Kandungan senyawa oksida yang paling penting dalam geopolimerisasi yaitu SiO2 dan Al2O3. Menurut Panias dkk., (2006), Silika Oksida (SiO2) diperlukan untuk inisiasi pembentukan oligomer dan polikondensasi dari silikat yang dapat meningkatkan efisiensi geopolimerisasi. Rees dkk., (2007) menyebutkan bahwa awal dari pembentukan inti geopolimer terdapat pada bagian yang kaya Al. Hal ini dikarenakan Al berperan sebagai penghubung antar oligomer silikat yang kemudian membentuk struktur tiga dimensi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kereaktifan abu layang sebagai sumber Si dan Al. Silika dan Alumina dari abu layang tidak semua dapat larut sempurna dalam larutan alkalin, hanya Si dan Al berfasa amorf yang lebih mudah melarut dalam larutan alkalin (Xu dan Van Deventer, 2002). Oleh karena itu, fasa dan kandungan mineral abu layang perlu dianalisis dengan difraktogram sinar-X (XRD). Difraktogram sinar-X ditunjukkan pada Gambar 3.1. Berdasarkan Gambar 3.1, terlihat bahwa abu layang PLTU Suralaya memiliki fasa amorf dengan quartz dan mullite sebagai mineral utamanya. Menurut Querol dkk., (2002) mulit dan kuarsa dalam abu layang merupakan sumber utama silika dan alumina. Mullit tersusun dari 27,8% SiO2 dan 71,5% Al2O3, sedangkan kuarsa mengandung SiO2 lebih dari 99%. Oleh karena itu, berdasarkan data analisis XRF pada Tabel 4.1 terlihat kandungan terbesar dalam abu layang PLTU Suralaya adalah oksida silika. Fasa amorf pada abu layang ditunjukkan dengan adanya gundukan (hump) pada 2θ antara 13 sampai 35o. Abu layang amorf lebih reaktif, sehingga lebih mudah mengalami pelarutan Si dan Al
300 250
Intensitas cps
Q 200 150 100 Q 50
M
M
MM M Q Q SO G
Q
M MQ
0 10
20
30
40
50
60
o
2 Theta 2θ ( )(derajat) Gambar 3.1 Difraktogram Abu Layang PLTU Suralaya oleh larutan alkalin. Pada Gambar 3.1 terlihat adanya puncak-puncak dengan intensitas tinggi yang berarti masih adanya mineral pada fasa kristalin. Mineral quartz (Q) dengan intensitas tertinggi ditunjukkan pada 2θ=26,66o, puncak dengan 2θ=20,89o; 36,56o; 42,47o; 50,13o; 54,79o; dan puncak-puncak kecil lainnya (PDF 46-1045 dan 05-0490). Sedangkan mineral mullite (M) pada 2θ=16,47o; 30,97o; 33,25o; 35,24o; 40,89o; 53,83o; 57,44o; dan puncak-puncak kecil lainnya (PDF 02-1160). Mineral Silicon Oxide (SO) pada 2θ=39,36o. Mineral Gibbsite (G) pada 2θ=43,29o. Abu layang berfasa kristalin lebih sulit mengalami pelarutan, karena abu layang kristalin merupakan bentuk yang kompak dan mempunyai ikatan yang lebih sulit ditembus oleh nukleofil (OH-), sehingga molekul Si dan Al dari abu layang akan sulit melarut dan monomer sulit terbentuk yang menyebabkan geopolimerisasi tidak efektif (Xu dan Van Deventer, 2002). 3.1.2 Karakterisasi Natrium Silikat (Na2SiO3) Na-silikat adalah aditif utama yang digunakan dalam proses geopolimerisasi. Natrium silikat dapat meningkatkan kuat tekan geopolimer, dimana kuat tekan geopolimer mengalami peningkatan secara linier seiring dengan peningkatan kandungan silikat dalam natrium silikat (Panias dkk., 2006). Menurut Muslihah (2008), Na2SiO3 akan menyediakan oligomer silikat yang siap untuk berpolimerisasi dengan monomer-monomer lain sehingga akan mempercepat geopolimerisasi. Pada penelitian ini, natrium silikat yang digunakan adalah natrium silikat teknis sehingga komposisi penyusunnya perlu dianalisis. Natrium silikat dianalisis dengan spektrofotometer serapan atom (AAS). Analisis AAS digunakan untuk mengetahui kandungan SiO2 dan Na2O dalam Na-silikat. Hasil analisis AAS ditunjukkan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2 Komposisi Kimia Na-Silikat Teknis dengan Alat AAS Senyawa Oksida % massa SiO2 14,68 Na2O 19,62 Sumber : Data analisis AAS
3.2 Leaching Silika dan Alumina dari Abu Layang PLTU Suralaya dengan larutan NaOH Leaching Si dan Al bertujuan untuk mencari konsentrasi larutan NaOH dan waktu leaching yang dapat melarutkan Si dan Al yang optimum untuk sintesis geopolimer. Mulanya, abu layang dicampur dengan larutan basa kuat NaOH. Larutan NaOH yang digunakan karena leaching Si dan Al lebih tinggi menggunakan larutan NaOH dibandingkan dengan larutan KOH (Van Jaarsveld dan Van Deventer, 1999; Xu dan Van Deventer, 1999), dan geopolimerisasi dilakukan dengan larutan basa NaOH. Variasi konsentrasi larutan NaOH yang digunakan adalah 5, 10, dan 15M. Tiga konsentrasi larutan NaOH tersebut dibuat dengan rasio berat abu layang/NaOH 3:1 (Chindaprasirt, 2009). Konsentrasi tersebut yang digunakan karena penggunaan alkali berkonsentrasi tinggi merupakan kondisi dilakukannya sintesis geopolimer (Xu dan Van Deventer, 2002). Pelarut yang digunakan untuk melarutkan NaOH adalah aqua DM karena tidak mengandung mineral-mineral lain sehingga tujuan dapat tercapai. Selanjutnya, campuran distirrer 120 rpm selama 5, 10, 20, dan 30 menit. Waktu yang lebih lama (lebih dari 30 menit) tidak dilakukan karena campuran akan terbentuk gel Si(OH) 4 dan Al(OH)3 yang mengakibatkan mobilitas larutan yang lebih rendah dan memperlambat leaching ion pada permukaan abu layang (Chindaprasirt, 2009). Setelah proses pelarutan selesai, padatan dipisahkan dari larutan dengan kertas saring whatman 40. Kertas saring ini dianggap dapat memisahkan sisa abu layang yang tidak melarut tetapi masih dapat melewatkan silika dan alumina terlarut baik monomer, oligomer dan partikel koloid polisilikat (Rizain, 2008). Hal ini berarti larutan yang dianalisis dalam penelitian ini mengandung semua silika dan alumina yang dapat larut dari oligomer silika-aluminat dan monomer silika alumina dan dapat juga mengandung partikel koloid polisilikat. Filtrat yang diperoleh dianalisis dengan alat spektrofotometer serapan atom (AAS). Hasil analisis AAS ditunjukkan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3 Hasil Leaching Si dan Al (%) dari Abu Layang PLTU Suralaya dalam Larutan NaOH dengan Perbandingan Berat Abu Layang/NaOH 3:1 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Konsentrasi Larutan NaOH
Waktu Leaching (menit)
5M 5M 5M 5M 10 M 10 M 10 M 10 M 15 M 15 M 15 M 15 M
5 10 20 30 5 10 20 30 5 10 20 30
Konsentrasi Si Terlarut (%) 3,60 5,22 8,01 9,06 7,62 9,43 16,23 17,05 9,45 15,28 19,51 19,50
Al Terlarut (%) 0,90 1,86 2,24 2,38 1,52 2,44 3,25 3,28 1,82 2,60 3,42 3,50
Sumber : Data analisis AAS Berdasarkan Tabel 3.3, terlihat bahwa konsentrasi larutan basa mempengaruhi konsentrasi Si dan Al terlarut. Semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH, semakin tinggi pula konsentrasi Si dan Al
Prosiding Kimia FMIPA
terlarut. Grafik kelarutan Si dan Al (%) dalam larutan NaOH ditunjukkan pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3. Pada Gambar 3.2 terlihat bahwa konsentrasi Si terlarut paling banyak terjadi pada konsentrasi NaOH 15M sebesar 19,51% pada waktu leaching 20 menit. Penambahan konsentrasi NaOH menambah laju pelarutan Si dari abu layang sehingga meningkatkan geopolimerisasi. Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa konsentrasi Al terlarut paling banyak terjadi pada konsentrasi NaOH 15M sebesar 3,50% pada waktu leaching 30 menit. Penambahan konsentrasi NaOH tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kelarutan Al.
5M NaOH 10M NaOH 15M NaOH
Konsentrasi Si Terlarut (%)
20 18 16
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Konsentrasi Larutan NaOH
Waktu Leaching (menit)
5M 5M 5M 5M 10 M 10 M 10 M 10 M 15 M 15 M 15 M 15 M
5 10 20 30 5 10 20 30 5 10 20 30
Konsentrasi Si Terlarut (ppm) 4876,7 7071,2 10850,6 12727,9 20644,5 25548,3 43971,2 46192,8 38403,7 62096,1 79.286,3 79.245,7
Al Terlarut (ppm) 668,76 1382,1 1664,5 1768,5 2258,9 3626,2 4829,9 4874,5 4057,1 5795,9 7623,9 7802,2
14 12 10 8 6 4 2 0 5
10
15
20
25
30
Waktu Leaching (menit)
Gambar 3.2 Grafik Hubungan Waktu Leaching dan Konsentrasi Si Terlarut (%) dalam Larutan NaOH dengan Perbandingan Berat Abu Layang/NaOH 3:1 5M NaOH 10M NaOH 15M NaOH
5
Konsentrasi Al Terlarut (%)
Tabel 3.4 Hasil Leaching Si dan Al Terlarut (ppm) dari Abu Layang PLTU Suralaya dalam Larutan NaOH dengan Perbandingan Berat Abu Layang/NaOH 3:1
4
3
2
1
0 5
10
15
20
25
30
Waktu Leaching (menit)
Gambar 3.3 Grafik Hubungan Waktu Leaching dan Konsentrasi Al Terlarut (%) dalam Larutan NaOH dengan Perbandingan Berat Abu Layang/NaOH 3:1 Browers dan van Eijk (2003) menyatakan bahwa kelarutan dari abu layang bergantung pada konsentrasi NaOH dan komposisi oksidanya. Pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3 di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi Si dan Al terlarut paling banyak terjadi pada konsentrasi NaOH 15M. Sehingga semakin tinggi konsentrasi NaOH, semakin tinggi juga konsentrasi Si dan Al yang terlarut. Berdasarkan Tabel 4.1, komposisi oksida silikat sebesar 48,3% lebih banyak dibandingkan dengan oksida alumina sebesar 23,4%. Oleh karena itu, konsentrasi Si terlarut juga lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi Al terlarut. Konsentrasi Si dan Al terlarut (ppm) ditunjukkan pada Tabel 3.4.
Prosiding Kimia FMIPA
Berdasarkan Tabel 3.4, rata-rata konsentrasi Si terlarut ~64.800 ppm diperoleh pada 15M NaOH. Untuk konsentrasi 5M dan 10M NaOH ~8.770 ppm dan ~34.100 ppm. Pada 5M NaOH, pelarutan relatif rendah karena kondisi basa yang relatif rendah (Chindaprasirt, 2009). Konsentrasi Si optimum terjadi pada waktu leaching 30 menit dengan larutan NaOH 5M dan 10M berturut–turut sebesar 12.272,9 ppm (9,06%) dan 46.192,8 ppm (17,05%). Namun, penggunaan NaOH 15M menghasilkan konsentrasi Si terlarut optimum dengan waktu leaching 20 menit sebesar 79.245,7 ppm (19,51%). Sedangkan, pada waktu leaching 30 menit menurun menjadi 19,50% tetapi penurunan ini tidak terlalu signifikan. Hal ini berarti optimasi pelarutan Si dalam larutan NaOH terjadi pada waktu leaching 20 menit dengan larutan NaOH 15M. Rata-rata konsentrasi Al terlarut ~6.320 ppm diperoleh pada 15M NaOH. Untuk konsentrasi 5M dan10M NaOH sebesar ~1.370 ppm dan ~3.900 ppm. Konsentrasi Al optimum terjadi pada waktu leaching 30 menit dengan larutan NaOH 5M, 10M, dan 15M berturut–turut sebesar 2.258,9 ppm (2,38%), 4.874,5 ppm (3,28%), dan 7.802,2 ppm (3,50%). Hal ini berarti optimasi pelarutan Al dalam larutan NaOH terjadi pada waktu leaching 30 menit dengan larutan NaOH 15M. Oleh karena itu, proses leaching bergantung pada konsentrasi larutan NaOH dan waktu leaching. Penggunaan larutan NaOH 15M dan waktu leaching 30 menit yang optimum melepas Si dan Al untuk sintesis geopolimer. 3.3 Sintesis Geopolimer Pada penelitian ini, geopolimer disintesis dari abu layang PLTU Suralaya dengan menggunakan dua metode yaitu sintesis secara normal (N) dan sintesis secara terpisah (S). Sintesis secara normal dilakukan dengan cara mencampur abu layang dengan larutan alkalin seperti yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Larutan alkalin dibuat dengan cara mencampur larutan NaOH 15M dan larutan natrium silikat. Sedangkan, sintesis secara terpisah dilakukan dengan cara mencampur abu layang dengan larutan NaOH 15M terlebih dahulu, kemudian ditambah dengan larutan natrium silikat. Komposisi campuran pasta geopolimer ditunjukkan pada Tabel 3.1 sesuai dengan penelitian yang dilakukan Chindaprasirt, (2009). Rasio berat padat/cair yang digunakan pada sintesis geopolimer adalah 1,5 (60% : 40%) dan rasio berat natrium
silikat/15M NaOH adalah 0,5; 1,0; 1,5; dan 2,0. Skema kerja sintesis geopolimer dapat dilihat pada lampiran 1. Larutan NaOH yang digunakan adalah konsentrasi 15M sesuai dengan hasil uji leaching Si dan Al sebelumnya. Larutan NaOH dibuat dengan cara melarutkan pellet NaOH dengan aqua DM. Proses pembuatan larutan NaOH dapat dikatakan sebagai reaksi eksoterm karena timbul panas, sehingga harus didiamkan selama 24 jam agar reaksi eksotermis selesai (Hardjito, 2004). Larutan NaOH dapat terkontaminasi oleh CO2 dari udara yang bersifat asam, sehingga dapat menurunkan pH larutan NaOH. Oleh karena itu, larutan NaOH yang telah dibuat harus disimpan dalam wadah tertutup (Windholtz, 1976). Larutan NaOH konsentrasi tinggi juga dapat melarutkan gelas sehingga digunakan wadah penyimpanan yang terbuat dari plastik. Larutan NaOH diperlukan dalam reaksi geopolimerisasi, yaitu untuk pelepasan (leaching) Si dan Al pada permukaan partikel abu layang. Ion OHdalam NaOH mengaktifkan Si dan Al dari permukaan abu layang sehingga terbentuk monomer-monomer. Natrium silikat sebagai penambah silikat yang bereaksi. Penambahan Na-silikat bertujuan untuk mempercepat proses geopolimerisasi, Na-silikat mengandung oligomer yang siap berpolimerisasi dengan monomer-monomer lain sehingga meningkatkan efektivitas dari geopolimerisasi. Sedangkan aqua DM dapat meningkatkan workability yaitu kemudahan suatu campuran untuk dikerjakan, dibentuk, dan dicetak pada geopolimer (Alfiah, 2008). Mulanya, abu layang dioven pada suhu 105 oC selama 24 jam untuk menghilangkan kadar air. Hal ini bertujuan agar air yang ada dalam pasta hanya berasal dari larutan alkalin saja sehingga jumlah air yang ditambahkan dapat dihitung secara konsisten. 3.3.1 Sintesis Secara Normal (N) Geopolimer disintesis dari abu layang PLTU Suralaya dan larutan alkalin. Larutan alkalin merupakan campuran larutan NaOH, natrium silikat, dan aqua DM sebagai fasa liquid. Komposisi campuran dapat dilihat pada Tabel 3.1. Larutan alkalin ditambahkan dalam wadah plastik berisi abu layang, lalu diaduk dengan pengaduk plastik. Setelah itu, campuran dimixer selama 3 menit hingga campuran homogen dan terbentuk pasta. Pasta yang terbentuk dimasukkan dalam cetakan silinder berdiameter 2,8 cm dan tinggi 4,2 cm yang sebelumnya sudah diolesi vaselin. Hal ini bertujuan agar geopolimer mudah dilepaskan dari cetakan dan meminimalisir retakan. Cetakan yang berisi pasta geopolimer divibrasi sampai pasta menempati seluruh cetakan. Vibrasi dilakukan selama 15 menit untuk mengurangi terbentuknya gelembung udara yang terjebak sehingga pori-pori yang mungkin terbentuk juga dapat berkurang (Duxson dkk., 2007). Proses pengerasan geopolimer membutuhkan waktu 2 sampai 5 hari. Proses pengerasan ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan Alfiah (2008) yang hanya membutuhkan waktu kira-kira 30 menit. Perbedaan ini dikarenakan abu layang yang digunakan mempunyai perbedaan kelas. Abu layang Alfiah (2008) merupakan abu layang kelas C, sedangkan abu layang yang digunakan pada penelitian ini adalah abu layang kelas F. Abu layang kelas C memiliki kandungan CaO lebih banyak daripada abu layang kelas F. Kandungan CaO yang cukup tinggi baik pengaruhnya terhadap pengerasan awal karena CaO membantu reaksi hidrasi abu layang (Van Deventer dkk, 2006). Geopolimer hasil cetakan tersebut selanjutnya disebut pellet. Prosiding Kimia FMIPA
Pellet yang sudah dikeluarkan dari cetakan disimpan selama 24 jam (waktu tunggu sebelum dioven) pada temperatur ruang. Waktu tunggu geopolimer berbahan dasar abu layang kelas F dapat meningkatkan kuat tekan (Bakharev, 2005). Setelah waktu tunggu, pellet diletakkan dalam Loyang dan dipanaskan (curing) dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Menurut Chindaprasirt dkk., (2006) kenaikan temperatur curing dari 30-75oC dapat meningkatkan kuat tekan geopolimer. Tetapi saat mencapai temperatur 90oC kuat tekan akan menurun. Pellet dibungkus plastik agar molekul air stabil dan tidak hilang secara tiba-tiba selama pemanasan. Molekul air yang hilang selama pemanasan, memungkinkan akan terbentuk pori pada pellet geopolimer dan menimbulkan retakan. Hal ini dikarenakan molekul air yang hilang cenderung untuk meninggalkan ruang kosong pada pellet. Setelah pellet dikeluarkan dari oven, pellet disimpan selama 28 hari pada suhu ruang. Pengukuran kuat tekan dilakukan hingga umur geopolimer 28 hari, karena pada masa simpan ini geopolimerisasi dianggap telah mendekati kestabilan dengan kekuatan geopolimer mencapai 95% (Swanepoel dan Strydom, 2002) sehingga tidak ada peningkatan yang berarti setelah masa simpan tersebut. Setelah uji kuat tekan, pellet geopolimer dianalisis fasa dan kandungan mineralnya dengan difraktogram sinar-X (XRD), ikatan kimianya dengan spektroskopi inframerah Fourier Transform (FTIR), dan struktur mikronya dengan Scanning Electron Microscope (SEM). Setiap analisis dilakukan pada pellet geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum. 3.3.2 Sintesis Secara Terpisah (S) Sampel abu layang dicampur dengan larutan NaOH 15M dengan mixer selama 30 menit. Hal ini bertujuan untuk leaching Si dan Al yang penting untuk membentuk monomer alumino-silikat. Konsentrai larutan NaOH dan waktu pencampuran merupakan konsentrasi dan waktu leaching yang paling banyak melarutkan Si dan Al sesuai uji leaching Si dan Al sbelumnya. Penambahan NaOH dalam reaksi geopolimerisasi bertujuan untuk melarutkan silika dan alumina pada permukaan abu layang. Ketika sumber material aluminosilikat kontak dengan larutan alkali, leaching keduanya Si4+ dan Al3+ dan ion lain dimulai (Van Jaarsveld dan Van Deventer,1999). Menurut Xu dan van Deventer (1999), ion hidroksida mengaktifkan silika dan alumina dari partikel permukaan abu layang sehingga terbentuk monomer-monomer. Setelah itu, larutan natrium silikat ditambahkan dalam campuran dan dimixer selama 3 menit. Pasta yang terbentuk lebih encer dibandingkan dengan sintesis secara normal pada komposisi yang sama. Hal ini dikarenakan spesi Si4+ dan Al3+ terdifusi ke dalam larutan untuk mengurangi konsentrasi Al 3+ dan Si4+ pada permukaan partikel abu layang dan pengentalan larutan (Van Jaarsveld dan Van Deventer, 1999). Reaksi pelarutan Si dan Al yang terjadi adalah sebagai berikut : 1. Pelarutan Si
(reaksi 3.1) 2.
Pelarutan Al
(reaksi 3.2)
Selanjutnya, satu atau lebih monomer dan oligomer dapat melakukan kondensasi (disebut polikondensasi) membentuk rantai polimer berikatan SiO-Al yang lebih panjang dan lebih komplek strukturnya yakni matriks aluminosilikat berstruktur tiga dimensi dengan melepaskan sejumlah air. Rantai polimer berikatan Si-O-Al tersebut akan mengalami pemadatan (compaction atau solidification) yang bertanggung jawab pada pembentukan gel aluminosilikat dan sekaligus menentukan pembentukan karakter atau sifat geopolimer yang dihasilkan (Kusumastuti, 2009). Pasta yang terbentuk dimasukkan dalam cetakan silinder berdiameter 2,8 cm dan tinggi 4,3 cm yang sebelumnya sudah diolesi vaselin. Cetakan yang berisi pasta geopolimer divibrasi selama 15 menit sampai pasta menempati seluruh cetakan. Proses pengerasan geopolimer membutuhkan waktu 2 sampai 5 hari. Pellet yang telah terbentuk ditunjukkan pada Gambar 4.4. Pellet yang sudah dikeluarkan dari cetakan disimpan selama 24 jam (waktu tunggu sebelum dioven) pada temperatur ruang. Setelah waktu tunggu, pellet diletakkan dalam loyang yang dibungkus plastik dan dipanaskan (curing) dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam. Setelah pellet dikeluarkan dari oven, pellet disimpan selama 28 hari pada suhu ruang.
geopolimer yang telah disintesis. Sifat mekanik dapat dilakukan dengan pengujian kuat tekan. Sedangkan sifat kimia dapat dianalisis dengan difraktogram sinar-X (XRD), spektroskopi inframerah Fourier Transform (FTIR), dan Scanning Electron Microscope (SEM). 3.4.1 Analisis Sifat Mekanik (Kuat Tekan) Geopolimer merupakan salah satu polimer anorganik yang mempunyai sifat-sifat mekanik yang bagus yaitu tahan terhadap panas dan asam serta memiliki kuat tekan yang tinggi (mencapai 100 MPa) (Van Jaarsveld dkk., 2002). Kelebihan ini membuat geopolimer menjadi material alternatif masa depan. Oleh karena itu harus diketahui sifat-sifat mekanik yang dimilikinya, salah satunya dengan uji kuat tekan. Pengujian kuat tekan menggunakan alat penguji kuat tekan (Universal Testing Machine) yang berada di Laboratorium Struktur Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS Surabaya. Pengujian ini dilakukan pada pellet geopolimer yang telah disimpan selama 28 hari. Semua pellet yang diuji berbentuk silinder dengan diameter 2,8 cm dan tinggi 4,2 cm. Setiap variasi rasio berat Nasilikat/15M NaOH untuk sintesis secara normal dan terpisah diuji masing-masing 3 pellet (triplo). Hasil pengukuran kuat tekan berupa massa beban yang dapat ditanggung oleh sebuah geopolimer dengan satuan kilogram (kg). Data ini dimasukkan dalam persamaan 2.2 untuk mendapatkan kuat tekan dalam satuan N/m2. Hasil pengukuran kuat tekan ditunjukkan pada Tabel 3.5 dan Gambar 3.6. Tabel 3.5 Hasil Pengukuran Kuat Tekan Geopolimer dari Abu Layang PLTU Suralaya dengan Perbandingan Berat Padat/Cair 1,5
Gambar 3.4 Pellet Geopolimer Hasil Sintesis Secara Terpisah (S) dengan Perbandingan Berat Padat/cair 1,5 Pada permukaan geopolimer terdapat warna hitam yang merupakan Fe(OH) 3. Besi yang terkandung dalam abu layang dapat bereaksi dengan ion hidroksida (OH-) yang terdapat dalam larutan alkalin membentuk Fe3+. Akan tetapi, besi mengendap kembali sebagai Fe(OH)3 dan keberadaannya tidak mengganggu kestabilan geopolimer. Fe2O3 dapat bereaksi dengan NaOH membentuk Fe(OH)2, seperti reaksi berikut ini: Fe2+ + 2OH- Fe(OH)2
NaOH 15M (%)
Kuat Tekan (MPa)
4 8 12 16
8 8 8 8
8,15 21,47 31,69 26,01
S-0,5 S-1,0 S-1,5 S-2,0
4 8 12 16
8 8 8 8
10,03 22,08 36,18 43,95
Sumber: Data analisis kuat tekan
(reaksi 3.4)
Selanjutnya, pengukuran kuat tekan dilakukan hingga umur geopolimer 28 hari. Setelah uji kuat tekan, pellet geopolimer dianalisis kandungan fasa mineralnya dengan difraktogram sinar-X (XRD), ikatan kimianya dengan spektroskopi inframerah Fourier Transform (FTIR), dan struktur mikronya dengan Scanning Electron Microscope (SEM). Setiap analisis dilakukan pada pellet geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum. 3.4 Karakterisasi Geopolimer Karakterisasi geopolimer bertujuan untuk mengetahui sifat mekanik dan sifat kimia dari Prosiding Kimia FMIPA
Na-silikat (%)
(reaksi 3.3)
Akan tetapi adanya udara, besi (II) hidroksida akan cepat teroksidasi membentuk besi (III) hidroksida, seperti reaksi berikut ini: 4Fe(OH)2 + 2H2O + O2 4Fe(OH)3
Rasio Nasilikat/15M NaOH N-0,5 N-1,0 N-1,5 N-2,0
Berdasarkan Tabel 3.5 dapat dilihat bahwa sintesis secara normal menghasilkan kuat tekan optimum pada geopolimer N-1,5 yaitu 31,688x103 kN/m2. Sedangkan, untuk sintesis secara terpisah menghasilkan kuat tekan optimum pada geopolimer S-2,0 yaitu 43.949x103 kN/m2. Hal ini menunjukkan bahwa (Vogel, 1985)tersebut adalah optimum pada sintesis komposisi geopolimer dari abu layang PLTU Suralaya. Pada sintesis secara terpisah (S), kuat tekan terus meningkat seiring peningkatan rasio berat Nasilikat/15M NaOH. Semakin tinggi rasio berat Nasilikat/15M NaOH, semakin banyak pula kandungan Nasilikat sehingga kuat tekannya juga semakin tinggi. Menurut Panias dkk., (2006), kehadiran natrium silikat dapat meningkatkan kuat tekan geopolimer, dimana kuat tekan geopolimer mengalami peningkatan secara linier seiring dengan peningkatan kandungan silikat yang terkandung dalam natrium silikat. Silika (SiO2) merupakan salah satu reaktan penting dalam geopolimerisasi, karena dapat berfungsi sebagai inisiator
45
Sintesis Normal (N) Sintesis Terpisah (S)
Kuat Tekan (MPa)
40 35 30 25 20 15 10 5 0 0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Rasio Na-silikat/15M NaOH
Gambar 3.5 Grafik Kuat Tekan Geopolimer dari Abu Layang PLTU Suralaya dengan Perbandingan Berat Padat/cair 1,5 yang diperlukan untuk pembentukan oligomer (monomer, dimer, trimer, dan tetramer) dan polikondensasi dari silikat atau oligomer aluminosilikat yang dapat meningkatkan efisiensi geopolimerisasi (Panias dkk., 2006). Sumber silika dalam geopolimerisasi dapat berasal dari abu layang dannatrium silikat. Semakin banyak SiO2 pada fasa gel, maka dapat meningkatkan kuat tekan geopolimer karena SiO2 menyumbangkan monomer yang diperlukan dalam geopolimerisasi. Selain silika dari natrium silikat, silika yang dikandung oleh abu layang juga berperan penting, karena larutan alkalin mudah mengaktifkan silika dalam abu layang sehingga proses pelarutan Si dan Al dari abu layang semakin efektif dan geopolimerisasi yang terjadi juga menjadi lebih efektif, akibatnya kuat tekan juga meningkat. Pada sintesis secara normal (N), terjadi fluktuasi nilai kuat tekan. Hal ini merupakan hal yang wajar mengingat abu layang merupakan bahan yang tidak hanya mengandung alumino-silikat, tetapi juga mengandung senyawa oksida yang lain sehingga homogenitas sulit dicapai. Selain itu, homogenitas cuplikan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ukuran partikel dan luas permukaan partikel yang pada penelitian ini tidak ditentukan. Walaupun demikian, faktor tersebut pengaruhnya tidak berarti (Alfiah, 2008). Fluktuasi ini juga dapat disebabkan oleh vibrasi yang kurang kuat dan kurang lama, sehingga gelembung udara yang terbentuk menyebabkan terbentuknya pori. Permukaan geopolimer yang kurang rata juga memperkecil kuat tekan, karena geopolimer tersebut akan lebih mudah retak pada saat diuji kuat tekan. Secara umum, sintesis secara terpisah (S) memiliki kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sintesis secara normal (N). Hal ini dikarenakan pada sintesis secara terpisah, ion hidroksida dari larutan NaOH mengaktifkan abu layang terlebih dahulu untuk leaching Si dan Al pada permukaan partikel abu layang, sehingga terbentuk monomer-monomer alumino-silikat (Chindaprasirt, 2009). Waktu pencampuran abu layang dan larutan NaOH yang dilakukan selama 30 menit juga dapat melepas Si dan Al yang optimum dan menghasilkan pasta yang lebih homogen. Waktu leaching 30 menit dengan menggunakan larutan NaOH 15M dapat meningkatkan kuat tekan. Semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH, semakin banyak pula ion OHyang terkandung dalam larutan NaOH sehingga semakin Prosiding Kimia FMIPA
banyak pula ion OH- yang bereaksi dengan Si dan Al dari partikel abu layang. Banyaknya ion OH- yang bereaksi dengan Si dan Al menghasilkan monomer-monomer alumino-silikat yang semakin banyak pula, sehingga derajat polimerisasi juga semakin tinggi. Derajat polimerisasi yang tinggi dalam struktur geopolimer akan mempunyai kuat tekan yang lebih tinggi (Xu dan Van Deventer., 2002). Setelah itu, ditambahkan Na-silikat sebagai penambah silikat yang bereaksi. Penambahan Na-silikat bertujuan untuk mempercepat proses geopolimerisasi, di dalam Na-silikat terkandung oligomer silikat yang siap berpolimerisasi sehingga meningkatkan efektivitas dari geopolimer (Panias dkk., 2006). Sedangkan pada sintesis secara normal (N), abu layang diaktifkan oleh larutan alkalin yang merupakan campuran larutan NaOH dan Na-silikat. Sumber alumino-silikat yang bereaksi dengan larutan alkalin kurang efektif melepas Si dan Al dari permukaan partikel abu layang karena ion hidroksida dari larutan NaOH akan bereaksi dengan SiO2 dari Na-silikat membentuk monomer. Hal ini menyebabkan ion hidroksida yang bereaksi dengan Si dan Al dari partikel abu layang menjadi berkurang. Ikatan Al-O-Si dalam abu layang relatif lebih lemah dibanding dengan ikatan Si-O-Si, sehingga aluminium khususnya pada tahap-tahap awal pelarutan lebih mudah dilarutkan dibandingkan dengan Si (Lee dan van Deventer, 2002). Ion hidroksida dari larutan alkalin cenderung melarutkan aluminium, sehingga banyak Si dari abu layang yang tidak bereaksi membentuk cacat (defect) yang dapat menurunkan kuat tekan (Duxson dkk., 2007). 3.4.2 Analisis Fasa dan Kandungan Mineral dengan XRD Analisis fasa dan kandungan mineral dari geopolimer menggunakan alat XRD merk Philips tipe X’Pert MPD di Laboratorium XRD Research Center LPPM ITS. Sampel yang diuji adalah geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum untuk masing-masing metode sintesis yaitu geopolimer N-1,5 dan S-2,0. Analisis ini menggunakan sudut difraksi (2θ) antara 560o. Data yang dihasilkan adalah intensitas dan sudut difraksi (2θ), lalu dianalisis jenis mineralnya dengan cara mencocokkan sudut difraksi dengan pola difraktogram standar pada database Software Expert Graphic and Identify dengan metode search and match. Gambar 3.6 menunjukkan pola difraktogram hasil analisis XRD. Berdasarkan Gambar 4.6, terlihat bahwa pelarutan fasa amorf abu layang dalam larutan alkalin membentuk matriks geopolimer berupa fasa amorf yang baru yaitu gel alumino-silikat dengan adanya pergeseran gundukan (hump) abu layang 2θ=13-35° menjadi sekitar 2θ=11-39° pada geopolimer N-1,5 dan 2θ=11-40o pada geopolimer S-2,0. Abu layang amorf akan menghasilkan geopolimer amorf, sebagai akibat pelarutan mineral amorf dari abu layang (Kakali dkk., 2001). Adanya fasa kristalin (kuarsa dan mulit) dalam geopolimer yang terbentuk, menunjukkan adanya partikel abu layang yang tidak bereaksi (Panias dkk., 2006). Geopolimer N-1,5 merupakan geopolimer hasil sintesis secara normal yang memiliki kuat tekan optimum sebesar 31,688x103 kN/m2. Geopolimer ini memiliki fasa amorf dengan mineral utama berupa mullite dan quartz. Mullite (M) yaitu Al6Si2O13 yang memiliki puncak 2θ=16,47°; 26,29°; 31,19°; 33,24°; 35,44°; 40,89o; 42,62°; dan puncak-puncak kecil lainnya (PDF 02-1160). Quartz (Q) yaitu SiO2 yang memiliki
puncak tertinggi pada 2θ=26,72°; puncak-puncak relatif kecil pada 2θ=39,49° dan 50,16°; dan puncak-puncak kecil lain (PDF 46-1045 dan PDF 05-0490). Mineral Gibbsite (G) yang berupa Al(OH)3 pada 2θ=53,97° dan 57,82°. Mineral Silicon Oxide (SO) pada 2θ=36,6°.
M
M MG Q M
MM
SO M
Q M
Q M M M MMSOQ M
Q M M GM
Q
G G
Q M
10
Q
20
M M M MQ Q SO G
30
40
Q QM M
50
Geopolimer (c) S-2.0
Geopolimer N-1,5 Geopolimer S-2,0
(b) Geopolimer N-1.5 (a) Abu Layang
%T
Intensitas cps
Q
cm-1 dan 3429,55 cm-1, puncak-puncak kecil di sebelahnya pada bilangan gelombang 2924,18 cm-1 dan 2854,74 cm-1. Pita vibrasi ini juga merupakan vibrasi ulur -OH, H-O-H. Penyempitan dan pergeseran puncak terjadi pada daerah vibrasi ulur H-O-H ke bilangan gelombang yang lebih rendah pada geopolimer S-2,0. Hal ini menandakan energi vibrasi ulur pada ikatan -OH dan H-O-H yang semakin rendah atau dapat dikatakan bahwa ikatan –OH dan H-O-H dari molekul air semakin lemah dan berpengaruh positif terhadap kekuatan mekaniknya.
60
o 2θ (o) 2Theta 4000 3500
Gambar 3.6 Difraktogram (a) Abu Layang PLTU Suralaya, (b) Geopolimer N-1,5, dan (c) Geopolimer S2,0 Geopolimer S-2,0 merupakan geopolimer hasil sintesis secara terpisah yang memiliki kuat tekan optimum sebesar 43,949x103 kN/m2. Geopolimer ini memiliki fasa amorf dengan mineral utama berupa mullite dan quartz. Mullite (M) yaitu Al6Si2O13 yang memiliki puncak 2θ=16,48°; 23,47°; 31,15°; 33,2°; 35,29°; 40,89°; 42,55°; 49,52°; 53,66°; 57,56°. Quartz (Q) yaitu SiO2 yang memiliki puncak tertinggi pada 2θ=26,72°; dan puncak relatif kecil pada 2θ=39,43° dan 50,16°; dan puncak-puncak kecil lainnya (PDF 46-1045 dan PDF 05-0490). Mineral Gibbsite (G) yang berupa Al(OH)3 pada 2θ=36,73° dan 52,19o. Mineral Silicon Oxide (SO) pada 2θ=20,92°. Geopolimer S-2,0 memiliki kristal yang lebih banyak dibandingkan dengan geopolimer N-1,5. Meningkatnya produksi Kristal, meningkat pula kekuatan geopolimer (Alvarez-Ayuzo dkk, 2008). 3.4.3 Analisis Ikatan Kimia dengan FTIR Analisis dengan spektroskopi inframerah Fourier Transform (FTIR) dilakukan untuk mengetahui ikatan kimia yang terjadi pada geopolimer. Analisis ini menggunakan alat Precise Fourier Transform Infrared merk Shimadzu tipe 8400 S di Laboratorium Instrumen Jurusan Kimia FMIPA ITS Surabaya. Sampel yang diuji adalah geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum untuk masing-masing metode sintesis yaitu geopolimer N-1,5 dan S-2,0. Data yang dihasilkan berupa intensitas serapan (%T) dan bilangan gelombang (cm-1). Vibrasi ulur –OH, H-O-H terletak pada pita vibrasi 3700-2300 cm-1 (Panias dkk., 2006). Berdasarkan Gambar 3.7, geopolimer N-1,5 memiliki puncak lebar pada bilangan gelombang 3448,84 cm-1, puncak-puncak kecil di sebelahnya pada bilangan gelombang 2924,18 cm-1 dan 2854,74 cm-1. Pita vibrasi ini menunjukkan adanya vibrasi ulur –OH, H-O-H. Sedangkan geopolimer S-2,0 puncak lebarnya pada bilangan gelombang 3448,84 Prosiding Kimia FMIPA
3000 2500
2000 1500 1000
500
0
-1 Bilangan Gelombang (cm )
Gambar 3.7 Spektra IR Geopolimer dari Abu Layang PLTU Suralaya Vibrasi tekuk (bending) H-O-H terletak pada bilangan gelombang 1650-1630 cm-1 (Panias dkk., 2006). Pada geopolimer N-1,5 dan geopolimer S-2,0 vibrasi tekuk H-O-H terletak pada bilangan gelombang yang sama yaitu 1639,55 cm-1. Dengan adanya vibrasi tekuk H-O-H dan vibrasi ulur –OH, H-O-H menunjukkan bahwa pada semua geopolimer masih mengandung H2O (Panias dkk., 2006). Hal ini menyebabkan pengaruh negatif terhadap kuat tekan geopolimer. Pita vibrasi pada bilangan gelombang sekitar 1420 cm-1 merupakan vibrasi ulur O-C-O (Panias dkk., 2006). Geopolimer N-1,5 memiliki vibrasi ulur/stretching O-C-O pada bilangan gelombang 1442,80 cm-1 dan 1400,37 cm-1. Geopolimer S-2,0 memiliki vibrasi ulur O-C-O pada bilangan gelombang 1442,80 cm-1. Ikatan O-C-O berasal dari Na2CO3 sebagai akibat reaksi karbonasi larutan NaOH dengan karbondioksida (CO2). Na2O reaktif terhadap air dan karbondioksida di udara, reaksi dengan molekul CO2 terjadi pada pori-pori geopolimer dan merubah Na2O menjadi Na2CO3 (Windholtz, 1976). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: Na2O + CO2 Na2CO3
(Reaksi 3.5)
Adanya CO2 tersebut menyebabkan solidifikasi dan restrukturisasi ikatan jaringan geopolimer selama masa simpan menjadi terganggu (Alfiah, 2008). Semakin banyaknya Na2CO3 dalam geopolimer, semakin banyak juga pori yang terbentuk. Hal ini menyebabkan rendahnya kuat tekan. Pita vibrasi ulur asimetri (Si-O-Si, Si-O-Al) yang karakteristik untuk geopolimer terletak pada bilangan gelombang 1200-950 cm-1 (Bakharev, 2005). Adanya pita vibrasi ulur asimetri Si-O-Si dan/atau Si-O-Al berarti telah terbentuk matriks geopolimer. Geopolimer N-1,5 memiliki vibrasi ulur Si-O-Si dan/atau
Si-O-Al pada bilangan gelombang 999,16 cm-1. Sedangkan geopolimer S-2,0 memiliki vibrasi ulur Si-OSi dan/atau Si-O-Al pada bilangan gelombang 1014,59 cm-1. Bilangan gelombang pada geopolimer N-1,5 lebih besar dibandingkan pada geopolimer S-2,0, hal ini menunjukkan semakin tinggi energi vibrasinya, maka ikatan Si-O-Si dan/atau Si-O-Al pada geopolimer tersebut semakin kuat, oleh karena itu memiliki kuat tekan yang tertinggi. Pita vibrasi ulur simetris Al-O-Si terletak pada bilangan gelombang 750-490 cm-1 (Panias dkk., 2006). Geopolimer N-1,5 memiliki vibrasi ulur simetris Al-O-Si pada bilangan gelombang 740,69 cm-1; 690,54 cm-1; dan 551,66 cm-1. Sedangkan geopolimer S-2,0 memiliki vibrasi ulur simetris Al-O-Si pada bilangan gelombang 744,55 cm-1 dan 690,54 cm-1. Pita vibrasi tekuk (Si-O-Si dan O-Si-O) terletak pada bilangan gelombang 470-460 cm-1. Geopolimer N-1,5 memiliki vibrasi tekuk Si-O-Si dan O-Si-O pada bilangan gelombang 462,93 cm-1. Sedangkan geopolimer S-2,0 memiliki vibrasi tekuk SiO-Si dan O-Si-O pada bilangan gelombang 459,07 cm-1. 3.4.4 Analisis Morfologi dengan SEM Analisis morfologi dilakukan untuk mengetahui struktur mikro geopolimer menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM) yang ada di Laboratorium Studi Energi dan Rekayasa ITS Surabaya. Sampel yang diuji adalah geopolimer yang memiliki kuat tekan optimum untuk masing-masing metode sintesis yaitu geopolimer N-1,5 dan S-2,0. Gambar 3.8 dan 3.9 menunjukkan struktur mikro geopolimer dari abu layang PLTU Suralaya.
Gambar 3.9 Mikrograf SEM Geopolimer S-2,0 dari Abu Layang PLTU Suralaya Keterangan: a. pori b. retakan (microcrack) c. matriks geopolimer d. partikel abu layang yang tidak bereaksi
Gambar 3.8 Mikrograf SEM Geopolimer N-1,5 dari Abu Layang PLTU Suralaya
Prosiding Kimia FMIPA
Geopolimer N-1,5 merupakan hasil dari sintesis secara normal (N) yang memiliki kuat tekan optimum. Mikrograf SEM geopolimer N-1,5 menunjukkan struktur yang cukup tersementasi (terikat) satu sama lain. Tersementasi merupakan keadaan yang mengeras seperti halnya semen saat bereaksi dengan air. Pada geopolimer tersebut masih tampak adanya partikel abu layang yang tidak bereaksi, pori, dan retakan-retakan kecil. Partikel abu layang yang tidak bereaksi karena pelarutan abu layang yang belum sempurna, sehingga struktur geopolimer kurang kompak. Pori terjadi karena reaksi karbonasi larutan NaOH dengan karbondioksida (CO2) terjadi pada pori-pori geopolimer dan merubah Na2O dari NaOH menjadi Na2CO3 (Windholtz, 1976). Semakin banyaknya Na2CO3 dalam geopolimer, semakin banyak juga pori yang terbentuk. Saat curing sangat mungkin terjadi pelepasan molekul H2O yang menyebabkan pori dan retakan. Banyaknya pori dan retakan kecil sangat berpengaruh terhadap sifat mekanik geopolimer terutama kuat tekan. Semakin banyak pori dan retakan cenderung memperlemah kuat tekan geopolimer. Geopolimer S-2.0 merupakan hasil dari sintesis secara terpisah (S). Mikrograf SEM geopolimer S-2.0 menunjukkan struktur yang tersementasi, kompak dan rapat. Bagian yang rapat tersebut merupakan bagian yang telah mengalami geopolimerisasi secara sempurna. Hampir semua partikel abu layang terlarut sempurna, sehingga tidak tampak butiran-butiran partikel abu layang yang tidak bereaksi. Struktur matriks geopolimer
S-2,0 lebih kompak dibandingkan dengan matriks geopolimer N-1,5. Hal ini dikarenakan leaching Si dan Al yang dilakukan pada sintesis geopolimer S-2,0. Leaching Si dan Al pada konsentraasi larutan NaOH 15M menghasilkan Si dan Al terlarut paling banyak, sehingga banyak pula monomer-monomer aluminosilikat yang terbentuk. Monomer-monomer tersebut sangat diperlukan dalam pembentukan matriks geopolimer. Banyaknya monomer-monomer penyusun matriks geopolimer menyebabkan struktur matriks geopolimer menjadi rapat dan kompak. Leaching Si dan Al yang dilakukan pada waktu yang optimum yaitu 30 menit menyebabkan pencampuran menjadi homogen. Kehomogenan dan kerapatan geopolimer akan meningkatkan kuat tekan. Meskipun pada geopolimer S2,0 masih tampak retakan yang idealnya menurunkan kuat tekan, tetapi pengaruh keduanya lebih kecil dibandingkan kehomogenan dan kerapatan geopolimer yang dihasilkan. Oleh karena itu, walaupun geopolimer S-2,0 memiliki kuat tekan tertinggi dibandingkan rasio berat Na-silikat/15M NaOH yang lain dan geopolimer yang disintesis secara normal, kuat tekan yang dihasilkan kurang optimum. 4. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah leaching Si dan Al bergantung pada konsentrasi larutan basa NaOH dan waktu leaching. Semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH dan semakin lama waktu leaching, semakin tinggi pula konsentrasi Si dan Al terlarut. Penggunaan larutan NaOH 15M dengan waktu 30 menit, leaching Si dan Al yang paling optimum untuk sintesis geopolimer. Geopolimer dapat disintesis dari abu layang PLTU Suralaya dengan dua metode yaitu sintesis secara normal (N) dan secara terpisah (S). Sintesis secara terpisah menghasilkan kuat tekan lebih tinggi dibandingkan dengan sintesis secara normal. Sintesis secara normal menghasilkan kuat tekan optimum pada geopolimer N-1,5 sebesar 31,688x103 kN/m2. Sintesis secara terpisah menghasilkan kuat tekan optimum pada geopolimer S-2,0 sebesar 43,949x103 kN/m2. Hal ini berarti sintesis secara terpisah memperbaiki homogenitas pasta geopolimer sehingga kuat tekan yang diperoleh lebih tinggi dan konsisten. Analisis XRD menunjukkan bahwa geopolimer N-1,5 dan geopolimer S-2,0 memiliki fasa amorf dengan mullite dan quartz sebagai mineral utamanya. Analisis FTIR menunjukkan adanya vibrasi ulur asimetri Si-O-Al dan/atau Si-O-Si pada bilangan gelombang 1200-950 cm1 yang merupakan puncak-puncak karakteristik pada geopolimer. Hal ini menandakan gel alumino-silikat telah terbentuk pada geopolimer. Mikrograf SEM menunjukkan bahwa geopolimer S-2,0 memiliki struktur yang lebih kompak dan homogen dibandingkan geopolimer N-1,5 yang masih terdapat partikel abu layang yang tidak bereaksi Ucapan Terimakasih 1. Lukman Atmaja, Ph.D selaku dosen pembimbing atas dukungan, bimbingan dan motivasi yang diberikan 2. Drs. Eko Santoso, M.Si selaku dosen pembahas 3. Hamzah Fansuri, Ph.D selaku dosen pembahas 4. Teman-teman semua
Prosiding Kimia FMIPA
Daftar Pustaka 1. Alfiah, Arik, (2008), “Sintesis dan Karakterisasi Geopolimer dari Abu Layang PT. Semen Gresik”, Skripsi, Program Sarjana, Jurusan Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 2. ASTM C 618, (1994), “Standard Specification for Fly Ash and Raw or Calcined Natural Pozzolan For Use as Mineral Admixture in Portland Cement Concrete”, American Society for Testing and Materials, Annual Book of ASTM Standards, Vol. 04.02. West Conshohocken, Pennsylvania 3. Baker, Wood, Mallow, (1987), “Improved Backfill Stabilization Materials”, Southwest Research Institute for Gas Research Institute, NTIS PB, Vol. 83, hal. 23270-2 4. Bakharev, T., (2005), “Geopolimeric Materials Prepared Using Class F Fly Ash and Elevated Temperature Curing”, Cement and Concrete Research, Vol. 35, hal. 1224-1232 5. Bankowski, P., Zou, L., Hodges, R., (2004), “Using Inorganic Polymer to Reduce Leach Rates of Metals From Brown Coal Fly-Ash”, Mineral Engineering, Vol. 17, hal. 159-166 6. Browers, H.J.H., dan R.J. van Eijk, (2003), “Chemical Reaction of Fly Ash”, International Congress on the Chemistry of Cement (ICCC), Duban, South Africa 7. Chindaprasit, P., Chareerat, T., Sirivivatnanon, V., (2006). “Workability and Strength of Coarse High Calcium Fly-Ash Geopolymer”, Cement and Concrete, Vol. 29, hal. 224-229 8. Chindaprasirt, P., (2009), “Influence of NaOH Solution on The Synthesis of Fly Ash Geopolymer”, Mineral Engineering, Vol. 22, hal. 1073-1078 9. Comrie, D.C., and Kriven, W.M., (2003), “Composite Cold Ceramic Geopolymer in a Refractory Application”. Ceramic Transactions 153, hal. 211–225 10. Davidovits, J., (1979), “SPE PATEC’79”, Society of Plastic Engineering, Brookfield Center, USA 11. Davidovits, J., (1994), “Geopolymers: Man-made Rock Geosynthesis and The Resulting Development of Very Early High Strength Cement”, Journals of Materials an Cement, Vol. 16, hal. 91-139 12. Davidovits, J., (1999), “Geopolymeric Reactions in the Economic Future of Cement: World-wide Mitigation of Carbon Dioxide Emission”, Proceedings of the 2nd Intrnational Conferenceon Geopolymer ’99, Saint Qunentin, France, June 30July 2, hal. 111-121 13. Duxson, P., Mallicoat, S.W., Lukey, G.C., Kriven, W.M., Van Deventer, J.S.J., (2007), “The Effect of Alkali and Si/Al Ratio on the Development of Mechanical Properties of Metakaolin-Based Geopolymers”, Colloids and Surfaces A: Physicochemistry Engineering Aspects, Vol. 292, hal. 8-20 14. Fernández-Jiménez, A.M. dan Palomo, A., (2005), “Composition and Microstructure of Alkali Activated Fly Ash Binder: Effect of The Activator”, Cement and Concrete Research, Vol. 35, hal. 19841992 15. Hanif, F., (2008), “Pembakaran Batubara”, http://firdaushanif. multiply.com/journal, 21 Desember 2009 16. Hardjito, D., Wallah, S.E., Sumajouw, M.J., Rangan, B.V., (2004), “Factors Infuencing The
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
Compressive Strength of Fly Ash-Based Geopolymer Concrete”, Dimensi Teknik Sipil, Vol. 6, No. 2, hal. 88-93 Kakali, G., Perraki, T., Tsivilis, S., and Badogiannis, E., (2001), “Thermal Treatment of Kaolin: The Effect of Mineralogy on the Pozzolanic Activity”, Applied Clay Science, Vol. 20, hal. 73-80 Kusumastuti, Ella, (2009), “Geopolimer Abu Layang Batubara: Studi Rasio Mol SiO2/Al2O3 dan Sifat-sifat Geopolimer yang Dihasilkan”, Tesis, Program Magister, Jurusan Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Lee, W.K.W., dan Van Deventer, J.S.J., (2002), “Structural Reorganisation of Class F Fly Ash in Alkaline Silicate Solution”, Colloid and Surfaces A: Physicochemistry Engineering Aspect, 211: 4966,115-126 Molina, A., and Poole, C., (2004), “A Comparative Study Using Two Methods to Produce Zeolites from Fly Ash”, Mineral Engineering, Vol. 17, hal. 167173 Muslihah, (2008), “Sintesis dan Karakterisasi Geopolimer dari Campuran Abu Layang PT. Semen Gresik Jawa Timur dan PLTU Asam-Asam Kalimantan Selatan, Program Magister Kimia Jurusan Kimia FMIPA ITS, Surabaya Nicholson, A., Fletcher, Ross., (2005), ”Building Innovation Trough Geopolymer technology”, Industrial Research, Vol. 29, hal. 10-12 Panias, D., Giannopoulou, I.P., Perraki., (2006), “Effect of Synthesis Parameters on Mecanical Properties of Fly Ash-Based Geopolymers”, Colloids and Surfaces A: Physicochemistry Engineering Aspects, Accepted Manuscript Perera, S., dan Trautman, L.Rachel., (2006), “Geopolymers with The Potential for Use as Refractory Castables”, AZojomo, Vol. 2, hal. 111117 Querol, X., Moreno, N., Umana, J.C., Alastuey, A., Hernández, E., López-Soler, A., Plana, F., (2002), “Synthesis of Zeolites from Coal Fly ash: An Overview”, Int’l. J. of Coal Geology, Vol. 50, hal. 413-423 Rees, C.A., Provis, J.L., Van Deventer, J.S.J., dan Luckey, G.C., (2007), “The Mechanism of Geopolymer Gel formation Investigated Through Seeded Nucleation”, Colloids and Surfaces A: Physicochemistry Engineering Aspects 318, 97-105 Rizain, (2008), “Pelarutan Aluminium dan Silikon Berbagai Abu Layang Batubara dari Empat PLTU Menggunakan Variasi Konsentrasi NaOH dan Temperatur”, Tesis, Program Magister, Jurursan Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Schmu¨cker, M., MacKenzie, K.J.D., (2005), “Microstructure of Sodium Polysialate Siloxo Geopolymer”, Ceramic International, Vol. 31, hal. 433-437 Swanepoel, J.C., dan Strydom, C.A., (2002), “Utillisation of Fly Ash in a Geopolymeric Material”, Applied Geochemistry, Vol. 17, hal. 1143-1148 Van Deventer, J.S.J., Provis., Duxon, P., Luckey, G.C., (2006), “Reaction Mechanism in Geopolymeric Conversion of Inorganic Waste to Useful Products”, Journal of Hazardous Materials, Article in Press Prosiding Kimia FMIPA
31. Van Jaarsveld, J.G.S., Van Deventer, J.S.J., (1999), “Effect of The Alkali Metal Activator on The Properties of Fly Ash-Based Geopolymer”. Industrial and Engineering Chemistry Research, Vol. 88, hal. 3932-39413-63 32. Van Jaarsveld, J.G., dan Van Deventer, J.S.J., (1999), “The Effect of Metal Contaminants on Formation and Properties of Waste-Based Geopolymers”, Cement and Concrete 72 Research, Vol. 29, hal. 1189-1200 33. Van Jaarsveld, J.G.S., Van Deventer, J.S.J., Lukey, G.C., (2002), “The Effect of Composition and Temperature on The Properties of Fly Ash and Kaolinite-Based Geopolymers”, Chemical Engineering Journal, Vol. 89, hal. 63-73 34. Van Jaarsveld, J.G.S., Van Deventer, J.S.J., Lukey, G.C., (2003), “The Characterization of-Source Materials in Fly Ash- Based Geopolymers”, Materials Letters, Vol. 57, hal. 63-73 35. Vogel, (1985), “Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro”, Edisi Kelima, bagian Pertama, diterjemahkan oleh L. Setiono dan Hadyana Pudjaatmaka, PT. Kalman Media Pustaka, Jakarta, hal. 257-258 36. Windholtz, M., (1976), “The Merck Index An Encyclopedia of Chemicals and Drugs”, Merck & Co, Inc: USA 37. Xu, H., Van Deventer, J.S.J., (1999), “Geopolymerisation of Natural Alumino-silicates”, Proceedings of The 2nd International Conference on Geopolymer, France, hal 43-63 38. Xu, H., and Van Deventer, J.S.J, (2002), “Geopolymerisation of Multiple Minerals”, Mineral Engineering, Vol. 15, hal. 1131-1139