STUDI PEMANFAATAN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb) DALAM PROSES PEWARNAAN KAIN MORI
SKRIPSI
Hanna Rina Pransiska F 34070065
2011 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDY OF GAMBIER (Uncaria gambier Roxb) UTILIZATION ON THE COLORATION OF MORI BATIK CLOTHES Gumbira Sa’id, E., Suparno, O., Pransiska, H.R. Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 852 13230687, e-mail :
[email protected] ABSTRACT Gambier is an extract of leaves and branches of gambier plant (Uncaria gambier Roxb). Gambier is one of Indonesia export commodities mostly produced in Sumatera island. Indonesia plays role as the world’s largest gambier exporter. In Indonesia, gambier utilized traditionally as leather tanning material, ingredient of traditional medicine, rust omission, etc. Chemical components of gambier mostly utilized are catechin and tannin. Technology of gambier processing that existed in Indonesia is still low in capacity, so the processing of gambier is mostly done traditionally. This kind of processing resulted on low quality and lack of economical value products of gambier. Therefore, development of processing method and wide utilization of Gambier in industry are needed to increase gambier added value. Tannin and catechin on gambier also can be utilized as colouring agent in textile industry to gain reddish brown colour on batik clothes that will be endure on intense sunlight exposure. Textile industries in Indonesia, especially batik industries, are now developing rapidly where the trend of batik clothes on every occasion is becoming common interest. On technological side, in general the batik industrialists have not done any development on their production sytem and method, so they could be more productive and produce uniformity of product quality. Utilization of natural colouring agent is also not becoming a consideration of most batik industrialists in the environmental issue that is now being widely concerned. This study was aimed at giving added value on crude gambier as a natural colouring agent. In this study, extract of secang (Caesalpinia sappan) and turmeric (Curcuma longa) were also used to get different colour variations from gambier as natural colouring agent, and also to find out the best product formulation for Mori batik clothes colourization. The preliminary study showed that characteristics of gambier were water content of 13,89%, ash content of 3,69%, catechin content of 42,5%, water unsolubles content of 11,46%, and alcohol unsoluble content of 11,63%. The shape of gambier utilized in this study were mostly pieces with brownish black colour. From the result of this study of asalan Gambier, it can be concluded that it was not fulfilled the 1st and 2nd requirement of Indonesia National Standard. The main study aimed to find out the influence of colouring solution’s concentration on colour resulted on clothes and the best colouring agent formulation with the fastness resistance to washery, ironing, and sweat. The main colouring solution used were gambier solution of 10%, secang solution of 10%, and turmeric solution of 10% formulated on 100% : 0%, 75% : 25%, 50% : 50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% ratio to colour Mori Batik clothes. Result of clothes immersion are diverse colour variation showed from the measuring of colour brightness (L), colour sharpness (C) and hue degree. Variance analysis showed that ratio of colouring solution concentration gave significant effects on brightness value (L). Analysis done to determine the best colouring product formulation were fastness resistance test on washering, ironing, and sweat. From the fastness resistance test on washering, colouring solution with gambier 100%, secang 100%, and turmeric 100% concentration have the best resistance on washering. From the variance analysis, it was discovered that solution concentration treatment did not give significant different on fastness resistance of washery on Grey Scale. Fastness resistance test on ironing showed that colouring solution concentration of gambier 100%, secang 100%, gambier 75% : secang 25%, and turmeric 100% has the best resistance on ironing showed by the lowest value of colour alteration. Variance analysis showed that ratio of gambier and secang concentration did not give significant difference of ironing fastness resistance. On the other hand, treatment of gambier and turmeric concentration ratio gives significant different on ironing fastness resistance. From fastness resistance test ofsweat on pH 8,8, it was discovered that colour solution of gambier 100%, gambier 75% : turmeric 25%, and gambier 25% turmeric 75% concentration gave the best fastness resistance of sweat. Variance analysis on gambier : secang colouring agent concentration treatment showed that gambier : secang colouring concentration gave significant
different on sweat fastness resistance, while gambier : kunyit colouring concentration treatment did not give significant effects on sweat fastness resistance. Gambier 100%, secang 100%, and turmeric 100% concentration gave the best fastness resistance of washery, gambier 100%, secang 100%, gambier 75% : secang 25%, and turmeric 100% gave the best fastness resistance of ironing, turmeric 25%, and gambier 25% : turmeric 75% concentration gave the best fastness resistance of sweat. Suggestions that can be given are, for the following study different kinds of natural colouring materials can be applied to get various colours, on the other hand usage of different fixation agent or mordant, and also different kind of clothes may be used in the colouring process. Key words: gambier, secang, turmeric, Mori clothes, colouring, natural dyes
HANNA RINA PRANSISKA. F34070065. Studi Pemanfaatan Gambir (Uncaria gambir Roxb) dalam Proses Pewarnaan Kain Mori. Di bawah bimbingan E. Gumbira Sa’id dan Ono Suparno. 2011.
RINGKASAN Gambir merupakan hasil ekstrak daun dan ranting tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb). Gambir merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang paling banyak dihasilkan dari kepulauan Sumatera. Indonesia masih memegang peranan sebagai eksportir gambir terbesar dunia. Gambir juga telah dimanfaatkan di Indonesia sejak dahulu sebagai campuran makan sirih yang dapat menguatkan gusi. Gambir yang digunakan dalam campuran makan sirih merupakan olahan berbentuk tepung yang pada awalnya terasa pahit di mulut, tetapi kemudian terasa enak dan agak manis. Selain itu, gambir juga dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan penyamak kulit, ramuan obat tradisional, penghilang karat, dan sebagainya. Kandungan kimia gambir yang paling banyak dimanfaatkan ialah katekin dan tanin. Namun teknologi pengolahan gambir yang ada di Indonesia masih rendah kapasitasnya, sehingga pengolahan gambir banyak dilakukan secara tradisional yang menyebabkan mutu dan nilai ekonomi gambir juga menjadi rendah. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan pengolahan dan pemanfaatan gambir secara luas dalam bidang industri untuk meningkatkan nilai tambahnya. Tanin dan katekin dalam gambir juga dapat digunakan sebagai pewarna pada industri tekstil sebagai bahan pembantu untuk mendapatkan warna coklat kemerah-merahan pada kain batik yang tahan terhadap terik matahari. Industri tekstil di Indonesia, khususnya industri batik, sedang berkembang pesat, karena tren pakaian batik sedang diminati oleh semua kalangan. Dari sisi teknologi, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutu yang seragam untuk setiap lembar kain batik yang dihasilkan. Pemakaian zat warna alam juga belum mendapat perhatian dari sebagian besar pengusaha batik ditengah isu lingkungan yang berkembang sekarang. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan nilai tambah gambir asalan sebagai zat pewarna alami. Dalam penelitian juga digunakan ekstrak secang dan kunyit untuk mendapatkan variasi warna yang banyak dari gambir sebagai pewarna alami, serta mendapatkan formulasi produk terbaik sebagai pewarna kain batik mori. Hasil penelitian pendahuluan diperoleh karekteristik gambir dengan kadar air sebesar 13,89%, kadar abu 3,69%, kadar katekin 42,5%, kadar bahan tidak larut air 11,46%, dan kadar bahan tidak larut alkohol sebesar 11,63%. Bentuk gambir yang digunakan sebagian bentuknya tidak utuh dengan warna hitam kecoklatan. Berdasarkan hasil uji tersebut gambir asalan yang digunakan tidak memenuhi syarat mutu Standar Nasional Indonesia. Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi larutan pewarna terhadap warna yang dihasilkan pada kain dan formulasi terbaik pewarna terhadap daya tahan luntur pencucian, gosokan, dan keringat. Larutan pewarna utama yang digunakan adalah larutan gambir 10%, larutan secang 10%, dan larutan kunyit 10% yang diformulasi dengan perbandingan 100% : 0%, 75% : 25%, 50% : 50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% untuk mewarnai kain batik mori. Hasil pencelupan kain memperoleh variasi warna beragam yang ditunjukkan dari hasil pengukuran kecerahan warna (L), ketajaman warna (C), dan derajat hue. Hasil analisis keragaman diperoleh perlakuan perbandingan konsentrasi larutan pewarna memberikan perbedaan nyata pada nilai kecerahan (L). Analisis yang dilakukan untuk menentukan formulasi produk pewarna terbaik adalah pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian, ketahanan luntur warna terhadap gosokan, dan ketahanan luntur warna terhadap keringat. Dari hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian diperoleh larutan warna dengan konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100% memiliki ketahanan luntur terhadap pencucian yang terbaik. Hasil analisis keragaman diperoleh bahwa perlakuan konsentrasi larutan pewarna tidak memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada skala abu-abu (Grey Scale). Pengujian ketahanan luntur warna terhadap gosokan menunjukkan bahwa konsentrasi larutan pewarna gambir 100%, secang 100%, gambir 75% : secang 25%, dan kunyit 100% memiliki nilai ketahanan luntur terhadap gosokan terbaik dengan nilai perubahan warna terkecil. Hasil analisis keragaman menyimpulkan perbandingan konsentrasi gambir
dan secang tidak memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur gosokan, namun perlakuan konsentrasi gambir dan kunyit memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur gosokan. Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap keringat pada pH 8,8 diperoleh larutan warna dengan konsentrasi gambir 100%, gambir 75% : kunyit 25%, dan gambir 25% : kunyit 75% memiliki nilai ketahanan luntur keringat terbaik. Hasil analisis keragaman menunjukkan perlakuan konsentrasi pewarna gambir : secang memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur keringat, sedangkan perlakuan konsentrasi gambir : kunyit tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap ketahanan luntur warna terhadap keringat. Konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100% memiliki ketahanan luntur terhadap pencucian yang terbaik, gambir 100%, secang 100%, gambir 75% : secang 25%, dan kunyit 100% memiliki nilai ketahanan luntur terhadap gosokan terbaik, dan gambir 100%, gambir 75% : kunyit 25%, dan gambir 25% : kunyti 75% memiliki nilai ketahanan luntur keringat terbaik. Saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya adalah diperlukan penggunaan berbagai jenis bahan pewarna alami yang lebih banyak untuk menghasilkan varian warna yang lebih beragam, penggunaan zat fiksasi atau mordan yang beragam, dan juga jenis kain yang digunakan dalam pewarnaan. Kata kunci : gambir, secang, kunyit, pewarnaan, kain mori, pewarna alami
STUDI PEMANFAATAN GAMBIR (Uncaria gambir Roxb) DALAM PROSES PEWARNAAN KAIN MORI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Hanna Rina Pransiska F 34070065
2011 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi Nama NIM
: Studi Pemanfaatan Gambir (Uncaria gambir Roxb) dalam Proses Pewarnaan Kain Mori : Hanna Rina Pransiska : F34070065
Menyetujui, Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. H.E. Gumbira Sa’id, MA.Dev NIP. 19550521197903 1 002
Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T. NIP. 19721203199702 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001
Tanggal lulus :
HALAMAN PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Studi Pemanfaatan Gambir (Uncaria gambir Roxb) dalam Proses Pewarnaan Kain Mori” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Juli 2011 Yang membuat Pernyataan,
Hanna Rina Pransiska NRP. F34070065
© Hak cipta milik Hanna Rina Pransiska, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seleruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto kopi, mikrofilm dan sebagainya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Duri pada tanggal 28 April 1989. Penulis adalah pertama dari empat bersaudara dari ayahanda Wilmard Napitupulu dan ibunda Sinur Nababan. Pada tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Budi Mulia Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SMP Negeri 4 Bogor pada tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 5 Bogor dan lulus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri, Institut Pertanian Bogor tahun 2007 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama kuliah, penulis pernah menjadi asisten pada mata kuliah Bioproses periode 2010/2011 serta pada mata kuliah Teknologi Penyimpanan dan Penggudangan periode 2010/2011. Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan dengan menjadi Pengurus PMK pada periode kepengurusan tahun 2009/2010 sebagai komisi pelayanan anak divisi pengajaran panti asuhan. Penulis melaksanakan praktek lapang pada tahun 2010 dengan topik “Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Bioetanol pada Produk Bioetanol di PT. Madu Baru PS. Madukismo Yogyakarta”. Untuk menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam skripsi berjudul ” Studi Pemanfaatan Gambir dalam Proses Pewarnaan Kain Mori”.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian sampai dengan penyusunan skripsi. Skripsi ini tidak akan berarti tanpa bantuan, arahan, bimbingan, dorongan motivasi dan doa dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. H. E. Gumbira Sa’id, MA.Dev selaku pembimbing akademik I atas segala bantuan, bimbingan, kritik dan sarannya yang sangat berguna sehingga dapat tersusunnya laporan ini. 2. Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T selaku pembimbing akademik II atas segala bantuan, bimbingan, kritik dan sarannya yang sangat berguna sehingga dapat tersusunnya laporan ini. 3. Dr. Ir. Mulyorini Rahayunigsih, M.Si. selaku dosen penguji atas segala kritik dan sarannya yang sangat berguna untuk perbaikan laporan ini, dan kepada panitia seminar yang juga memberikan masukkan untuk penulisan laporan ini. 4. Kedua orang tua penulis yang telah memberikan motivasi, inspirasi dan bantuannya kepada penulis. 5. Ketua Departemen TIN yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mendapatkan bantuan dana penelitian. 6. Ibu Egnawati, Bapak Gunawan, dan para teknisi laboratorium TIN yang telah membantu penulis selama penelitian. 7. Teman-teman TIN angkatan 44 yang senantiasa memberi semangat dan dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini kemungkinan masih memiliki kekurangan sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang-orang yang membutuhkannya dan menambah wawasan bagi yang membacanya.
Bogor, Juli 2011
Penulis
i
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...................................................................................................................
i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL .........................................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................................................
1
B. Tujuan ................................................................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambir ..............................................................................................................................
3
B. Kandungan Kimia Gambir................................................................................................
4
C. Kayu secang.......................................................................................................................
6
D. Kunyit ...............................................................................................................................
8
E. Zat Warna Alam ................................................................................................................
10
F. Serat Kapas ........................................................................................................................
11
G. Pencelupan Kain Kapas ....................................................................................................
12
H. Pengukuran Warna ............................................................................................................
14
III.METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan ..................................................................................................................
16
B. Tata Laksana Penelitian ....................................................................................................
16
C. Rancangan Percobaan .......................................................................................................
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis Bahan Baku.........................................................................................................
26
B. Penelitian Utama 1. Penentuan Konsentrasi Larutan Pewarna untuk Pewarna Kain ..................................
27
2. Ketahanan Lunutr Warna Terhadap Pencucian ...........................................................
34
3. Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan..............................................................
38
4. Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat ..............................................................
39
5. Perhitungan Biaya Pencelupan Kain Mori ..................................................................
41
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ........................................................................................................................
43
B. Saran...................................................................................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................
44
LAMPIRAN ...........................................................................................................................
46
ii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Nilai Ekspor Batik Nasional 2004-2009 ......................................................
3
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik Gambir Tipe Udang, Cibadak, dan Riau .......................................................................................................
4
Tabel 3. Komponen-Komponen yang Terkandung dalam Gambir ...........................
5
Tabel 4. Kadungan Zat Kimia Rimpang Kunyit Pada Daerah yang Berbeda ...............................................................................................
10
Tabel 5. Komposisi Kimia Serat Kapas .....................................................................
12
Tabel 6. Interpretasi Warna Hue Pada Bola Imajiner Munsell ..................................
15
Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Gambir AsalanSebagai Bahan Baku Penelitian ............................................................................................
26
Tabel 8. Derajat Hue dan Interpretasi Warna dalam bola imajiner Munsell pada Kain Hasil Pewarnaan ........................................................................
31
Tabel 9. Derajat Hue dan Interpretasi Warna dalam Bola Imajiner Munsell pada Kain Hasil Pewarnaan .........................................................................
33
Tabel 10. Perhitungan Biaya Pencelupan Kain Mori .................................................
41
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Penampakan Contoh Tanaman Gambir ....................................................
3
Gambar 2. Beragam Jenis Gambir ..............................................................................
4
Gambar 3. Penampakan Tanaman Secang .................................................................
7
Gambar 4. Struktur Kimia Brazilin dan Brazilein ......................................................
8
Gambar 5. Penampakan Tanaman Kunyit ..................................................................
9
Gambar 6. Sturktur Kimia Selulosa ............................................................................
11
Gambar 7. Diagram Alir Tata Laksana Penelitian .....................................................
17
Gambar 8. Penampakan Gambir Asalan yang Digunakan dan Larutan Warna yang Dihasilkan ........................................................................................
20
Gambar 9. Penampakan Secang yang Digunakan dan Larutan Warna yang Dihasilkan ........................................................................................
20
Gambar 10. Penampakan Kunyit yang Digunakan dan Larutan Warna yang Dihasilkan ........................................................................................
21
Gambar 11. Penampakan Alat pH meter Merk Beckman ...........................................
21
Gambar 12. Proses Pengujian Viskositas Larutan Warna dengan Menggunakan Viscometer Brookfield ...........................................................................
22
Gambar 13. Penampakan Kain Mori Putih yang Digunakan dalam Pewarnaan ............................................................................................... Gambar 14. Proses Pewarnaan Kain Mori ..................................................................
22
Gambar 15. Nilai pH Larutan Warna pada Konsentrasi Perbandingan Gambir:Secang dan Gambir:Kunyit yang Bervariasi ............................. Gambar 16. Nilai Viskositas Larutan Warna pada Konsentrasi Perbandingan
28
Gambir:Secang dan Gambir:Kunyit yang Bervariasi .............................
28
Gambar 17. Diagram Nilai L dan Nilai C Kain Hasil Pewarnaan pada Konsentrasi Perbandingan Gambir dengan Secang yang Bervariasi .......................... Gambar 18. Penampakan Kain Mori Hasil Pewarnaan ..............................................
30
Gamabr 19. Diagram Nilai L dan Nilai C Kain Hasil Pewarnaan pada Konsentrasi Perbandingan Gambir dengan Kunyit yang Bervariasi .......................... Gambar 20. Penampakan Kain Mori Hasil Pewarnaan .............................................
32
Gambar 21. Bola Imajiner Munsell ...........................................................................
34
Gamabr 22. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Gambir:Secang dengan Skala Abu-abu ............................................................................ Gambar 23. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Gambir:Kunyit dengan Skala Abu-abu ............................................................................
23
30
34
35 35
iv
Halaman Gambar 24. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna dengan Nilai Skala Penodaan Kain ......................................................... Gambar 25. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna dengan Nilai Skala Penodaan Poliester ................................................... Gambar 26. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna terhadap Ketahanan Luntur Gosokan ...................................................... Gambar 27. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna terhadap Ketahanan Luntur Keringat ...................................................... Gambar 28. Penampakan Kain Hasil Pencelupan dan Setelah Analisa Ketahanan Luntur Warna Pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang yang Bervariasi .............................................................. Gambar 29. Penampakan Kain Hasil Pencelupan dan Setelah Analisa Ketahanan
37 37 38 39
40
Luntur Warna Pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit yang Bervariasi .......................................................................................
41
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 47 Lampiran 1. Nilai Tahan Luntur Warna .................................................................................... Lampiran 2. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap 48 pH Larutan Warna ............................................................................................... Lampiran 3. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Nilai Viskositas Larutan Warna ..........................................................................
50
Lampiran 4. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kain Hasil Pencelupan ......................................................................................... Lampiran 5. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap
52
Kain Hasil Pencelupan ........................................................................................
54
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian Larutan Warna Gambir : Secang ....................................................................... Lampiran 7. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian Larutan Warna Gambir : Kunyit ........................................................................ Lampiran 8. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan ......................... Lampiran 9. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat .........................
56 58 60 62
vi
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gambir merupakan hasil ekstrak daun dan ranting tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb). Gambir merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang paling banyak dihasilkan dari kepulauan Sumatera. Sampai saat ini Indonesia masih memegang peranan sebagai eksportir gambir terbesar dunia. Gambir juga telah dimanfaatkan di Indonesia sejak dahulu sebagai campuran makan sirih yang dapat menguatkan gusi. Menurut Heyne (1987), gambir yang digunakan dalam campuran makan sirih merupakan olahan berbentuk tepung, pada awalnya terasa pahit di mulut tetapi kemudian terasa enak dan agak manis. Selain itu, gambir juga dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan penyamak kulit, ramuan obat tradisional, penghilang karat, dan sebagainya. Kandungan kimia gambir yang paling banyak dimanfaatkan ialah katekin dan tanin. Namun teknologi pengolahan gambir yang ada di Indonesia masih rendah kapasitasnya sehingga pengolahan gambir banyak dilakukan secara tradisional, yang menyebabkan mutu dan nilai ekonomi gambir juga menjadi rendah. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan pengolahan dan pemanfaatan gambir secara luas dalam bidang industri untuk memberikan nilai tambah gambir. Industri tekstil di Indonesia, khususnya industri batik, sedang berkembang pesat karena tren pakaian batik sedang diminati oleh semua kalangan. Batik pada zaman dahulu merupakan pakaian resmi kesultanan yang digunakan pada acara-acara kerajaan saja. Namun sekarang batik telah berkembang dan telah menjadi warisan bangsa nonbenda yang diakui UNESCO. Deklarasi tersebut ternyata mampu membangkitkan semangat mengenakan batik di masyarakat Indonesia. Batik tidak hanya digemari di Indonesia tetapi juga di mancanegara. Meningkatnya peminat batik merupakan tantangan untuk mengangkat batik sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Nilai ekspor batik Indonesia dari tahun 2004 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Ekspor Batik Nasional 2004-2009 Tahun Nilai Ekspor (Juta US $) 2004 34,41 2005 12,46 2006 14,27 2007 20,89 2008 32,28 2009 125,86 Sumber: Departemen Perdagangan (2010) Dari sisi teknologi, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutu yang seragam untuk setiap lembar kain batik yang dihasilkan. Penggunaan zat warna alam juga belum mendapat perhatian dari sebagian besar penguasaha batik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan zat warna alami yang berbahan baku gambir dan diberi zat pigmen tambahan dari kayu secang dan kunyit untuk mendapatkan variasi warna yang banyak dan juga untuk memperoleh ketahanan luntur yang baik. Industri batik umumnya menggunakan pewarna sintetik dalam proses pewarnaan kain batik. Tahun 1856, William Henry Parkin, seperti dikutip Djufri (1976), menemukan zat warna sintetik yang dapat digunakan untuk pewarnaan tekstil, baik yang berupa serat alam maupun serat sintetik. Zat warna sintetik tersebut lebih baik dibanding zat warna alami karena komposisinya tetap, pilihan warna lebih bervariasi, penggunaannya jauh lebih mudah, hasil pewarnaannya lebih cerah, tersedia untuk semua jenis serat dan umumnya mempunyai ketahanan luntur yang baik.
1
Namun demikian, zat warna sintetik tersebut juga mempunyai kekurangan dibalik kelebihankelebihannya, antara lain harganya relatif mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan karena pada proses pewarnaan dan penyempurnaan menggunakan zat kimia yang dapat meracuni lingkungan seperti asam sulfat, asam klorida, krom, tembaga, seng dan kostik soda yang dapat menyebabkan penyakit, seperti kanker kulit dan kerusakan otak manusia (Cahyadi, 2006). Dampak yang ditimbulkan oleh zat warna sintetik membuat pengrajin tekstil mulai kembali menggunakan zat warna alam yang tidak dapat ditiru oleh zat warna sintetik. Proses pewarnaan alam juga menghasilkan limbah cair yang tidak beracun dan limbah padat yang dihasilkan juga dapat digunakan sebagai kompos, sehingga potensinya untuk mencemari lingkungan dan penyebab penyakit pada manusia dapat dihindari. Penggunaan zat warna alam lebih murah daripada zat warna sintetik karena bahan bakunya mudah diperoleh di Indonesia dan proses ekstraksi juga dapat dilakukan dengan mudah, yaitu dengan pelarut air (Downham dan Collins, 2000) . Tanin dan katekin dalam gambir juga dapat digunakan sebagai pewarna pada industri tekstil sebagai bahan pembantu untuk mendapatkan warna coklat kemerah-merahan pada kain batik yang tahan terhadap terik matahari. Kayu secang mengandung pigmen merah alami yang disebut brazilein. Warna merah tajam dari pigmen brazilein hanya didapatkan pada larutan secang dengan pH 5,7 – 7, sehingga untuk mendapatkan spektrum warna merah pada pH dengan rentang yang lebih lebar dapat dilakukan pencampuran atau kopigmentasi (Adawiyah, 2003). Kunyit memiliki komponen utama kurkuminoid yang merupakan komponen zat pigmen yang memberikan warna kuning tua (orange) pada kunyit (Rukmana, 1994).
B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan nilai tambah gambir asalan sebagai zat pewarna alami 2. Mendapatkan variasi warna dari gambir dengan penambahan zat warna dari kayu secang dan kunyit 3. Mendapatkan formulasi produk yang terbaik sebagai bahan pencelup untuk kain mori.
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambir Tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) termasuk suku kopi-kopian (Rubiaceae). Tanaman gambir termasuk jenis tanaman perdu yang memiliki batang berkayu dan apabila dibiarkan akan tumbuh menjalar dan melingkar. Tanaman gambir dapat tumbuh di kawasan hutan dengan ketinggian 100-800 meter di atas permukaan laut. Tanaman gambir tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan rata sepanjang tahun, mendapat cukup matahari, dan juga dapat tumbuh di daerah tebing dengan pengairan yang baik. Tanaman gambir dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah dengan pH 4,8 – 5,5 (Hadad et al., 2007). Pada Gambar 1 diperlihatkan contoh tanaman gambir.
Gambar 1. Penampakan Contoh Tanaman Gambir Menurut Nuryeti et al. (1995), tanaman gambir tumbuh dengan baik pada daerah katulistiwa dengan curah hujan 2500-3000 mm per tahun seperti di Kepulauan Riau, pantai timur Sumatera, Indragiri, Bangka, Sumatra Barat, dan Kalimantan Barat. Tanaman gambir varietas unggul yang terdapat di Sumatera Barat terdiri dari gambir tipe Udang, Cubadak, dan Riau. Ketiga jenis gambir menunjukkan perbedaan karakteristik morfologi pada masing-masing genotipe yang menonjol. Perbedaan yang paling menonjol terdapat pada warna pucuk daun, warna ranting, warna bunga, dan warna buah. Perbedaan karakteristik gambir tipe Udang, Cubadak, dan Riau dapat dilihat pada Tabel 2.
3
Tabel 2. Perbedaan Karakteristik Gambir Tipe Udang, Cubadak, dan Riau Tipe Parameter Udang Cubadak Riau Panjang daun (cm) 11-17 11-14 10-14 Lebar daun (cm) 7-10 6-8 5-8 Jumlah daun per ranting (lembar) 10-18 6-16 10-24 Jumlah ranting per cabang (buah) 5-9 4-8 6-11 Diameter batang (cm) 1,0-1,6 1,0-1,6 1,0-1,6 Diameter ranting (cm) 0,5-0,7 0,5-0,7 0,5-0,7 Bobot getah kering per ha (kg) 750-1200 630 50-950 Warna daun Hijau Hijau Hijau kemerahan Warna pucuk Hijau Hijau Hijau kemerahan kemerahan kemerahan Sumber : Denian et al. (2004) dalam Gumbira Sa’id et al. (2009b) Tanaman gambir dapat diandalkan sebagai investasi jangka panjang karena dianggap tidak mempunyai musuh alam. Tanaman gambir memiliki nilai ekonomi dibagian batang dan daunnya (Amos et al., 2004). Getah atau ekstrak daun dan ranting tanaman gambir yang telah dikeringkan merupakan produk yang dikenal sebagai gambir asalan, nama dagangnya ialah gambier, cutch, catechu atau pale catechu (Gumbira-Sa’id et al., 2009b). Gambir yang diproduksi di Indonesia berdasarkan perbedaan bentuk terdiri dari gambir Bootch, gambir lumpang, gambir coin, gambir stik, gambir medan, dan gambir wafer blok. Pada Gambar 2 dapat dilihat penampakan berbagai macam gambir diatas.
Gambar 2. Beragam Jenis Gambir a. Gambir stick; b. Gambir coin; c. Gambir bootch; d. Gambir dairi; e. Gambir lumpang; f. Gambir wafer block (Gumbira-Sa’id et al., 2009)
B. Kandungan Kimia Gambir Ekstrak gambir memiliki beberapa komponen yaitu katekin, tanin, quersetin, katekin merah, gambir floursein, abu, lemak dan lilin (malam). Kandungan utama gambir berupa katekin 7-13% dan tanin 20-55% (Thorpe & Whiteley (1921) dalam Gumbira-Sa’id et al. (2009b)). Katekin yang berasal dari gambir mempunyai rumus C15H6O6 4 H2O dengan titik cair pada suhu 175-177oC.
4
Rendemen mutu gambir tidak hanya dipengaruhi oleh proses pengempaan tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi bahan baku. Menurut Burkill (1935), daun gambir muda mempunyai kandungan catechin yang lebih tinggi dengan daun tua. Hal ini didukung oleh penelitian Risfaheri dan Yanti (1993) yang menunjukkan bahwa daun muda menghasilkan rendemen katekin yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun tua. Disebutkan pula daun gambir yang ditunda pengolahannya selama dua hari akan menurunkan kadar catechin dan rendemennya. Penguapan pada suhu rendah menghasilkan gambir dengan warna yang lebih baik (Eaton dan Bishop, 1926). Tabel 3 memperlihatkan komponen-komponen yang terkandung dalam gambir. Tabel 3. Komponen-Komponen yang Terkandung dalam Gambir Nama komponen Jumlah (%) Catechin 7-33 Asam cutechu tannat 20-55 Pyrocathecol 20-30 Gambir flouresensi 1-3 Catechu merah 3-5 Quersetin 2-4 Fixed oil 1-2 Lilin 1-2 Sumber : Thorpe & Whiteley (1921) Kandungan katekin yang dilaporkan Thorpe & Whiteley (1921), tidak dapat mewakili atau dijadikan patokan terhadap gambir secara umum, kerena gambir yang dihasilkan di Indonesia sangat bervariasi dari 3,5-9,5% (Amos et al., 2005). Produk gambir yang digunakan untuk analisis oleh Thorpe & Whiteley (1921) adalah produk gambir yang berasal dari daerah Semenanjung Malaya. Sifat-sifat umum komponen yang terkandung dalam gambir menurut Nazir (2000) adalah sebagai berikut: 1. Katekin Katekin larut dalam alkohol dingin, air panas, asam asetat glasial dan aseton. Katekin sukar larut dalam air dingin dan eter, selain itu tidak larut dalam CHCl3, metil eter dan benzene. Katekin membentuk endapan jika bereaksi dengan Pb (CH3COO)2. Katekin menghasilkan larutan yang berwarna biru jika bereaksi dengan FeCl3. Jika katekin bereaksi dengan pine wood dan hydrochloric acid membentuk phloro glucinol. 2. Asam catechu tannat (Tanin) Tanin larut dalam alkohol dan air dingin, tidak larut dalam eter. Tanin membentuk endapan jika bereaksi dengan Pb(CH3COO)2 dan membentuk endapan berwarna hijau jika bereaksi dengan CHCl3. Tanin bereaksi dengan pine wood dan hydrochloric acid membentuk phloroglucinol. Tanin disebut anhyride dan dapat dihasilkan apabila larutan dipanaskan pada suhu 110oC dengan larutan alkali karbonat. 3. Pyrocathenol Pyrocathenol larut dalam air, alkohol, eter, benzene, klorofom, dan larut baik pada piridin dengan larutan bersifat basa, jika dipanaskan akan memberntuk catechol. Pyrocathenol membentuk warna hijau dengan FeCl3 dan membentuk endapan dengan brom. Larutannya dalam air cepat berwarna coklat. Pyrocathenol dapat mereduksi perak amoniakal dan fehling.
5
4. Gambir flouresensi Gambir flouresensi dapat dilihat apabila larutan gambir dikocok dengan petroleum eter dalam suasana sedikit basa. Gambir flouresensi pada lapisan petroleum eter terlihat berpendaran berwarna hijau 5. Katekin merah Katekin merah merupakan komponen yang membuat gambir berwana merah 6. Quersetin Quersetin larut dalam air dan alkohol. Quersetin berubah warna menjadi gelap dengan pemanasan. 7. Fixed oil Fixed oil merupakan kandungan minyak di dalam gambir yang sulit menguap. 8. Lilin Lilin terdapat pada permukaan daun gambir. Lilin merupakan monoester dari suatu asam lemak dan alkohol. 9. Alkolodi Alkoloid yang terdapat pada gambir ada enam jenis, yaitu dihidrogambir tanninna, gambirdina, gambirina, isogambirina, auroparina, oksogambir-tanina. Tannin yang terdapat pada gambir merupakan tannin yang tidak dapat terhidrolisis (tannin kondensasi). Tannin pada gambir merupakan turunan flavanal yang tidak dapat dihidrolisis dengan asam ataupun basa.
C. Kayu Secang (Caesalpinnia sappan L.) Secang termasuk famili Leguminoseae yang termasuk tanaman perdu yang memanjat atau pohon kecil, berduri banyak, dan tingginya mencapai 5-10 m. Caesalpinna sappan disebut juga Bianceae sappan, dinamai sappan wood karena asli dari India Selatan dan Asia, dan dinamai Brazil wood karena ditemukan juga di daerah Brazil. Menurut Heyne (1987), taksonomi secang adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledone Sub class : Aympetale Ordo : Rosales Famili : Leguminosae Genus : Caesalpinia Species : Caesalpinia sappan L. Kayu secang tumbuh pada tempat-tempat yang berbukit dengan tipe tanah seperti liat dan berbatu-batu, pada daerah dengan ketinggian tempat rendah dan sedang. Di Semanjung Malaysia, pohon secang tumbuh dengan sangat baik pada tepi-tepi sungai yang berpasir. Pohon secang tidak toleran pada tanah yang terlalu basah. Pohon kayu secang tumbuh pada lokasi-lokasi yang memiliki kisaran curah hujan tahunan 700-4300 mm, rata-rata suhu udara tahunan adalah 2427,5oC, dan dengan kisaran pH tanah 5-7,5 (Heyne, 1987). Pada Gambar 3 diperlihatkan contoh tanaman secang.
6
Gambar 3. Penampakan Tanaman Secang Sumber : Museum Tekstil Jakarta (2011) Bagian kayu secang yang sering digunakan adalah kayu dalam potongan-potongan atau serutan kayu. Kepingan serutan kayu secang sangat bervariasi warnanya dari kuning hingga merah. Kayu secang jika dilarutkan dalam air akan memberikan warna merah jambu yang menarik, dan diketahui bahwa senyawa brazilein adalah yang menimbulkan warna tersebut. Bagian kayu secang mengandung brazilin, brazilein, sappanchalcone, caesalpin J, caesalpin P, protosalpin A, protosalpin B, homoisoflavonoid β-sitosterol, monohidroksibrazilin, dan benzil dihidrobenzofuran (Pawar et al., 2008). Brazilein merupakan hasil oksidasi dari brazilin yaitu komponen utama yang diisolasi dari tanaman secang. Brazilin tidak hanya dihasilkan dari Caesalpinia sappan namun juga dari beberapa spesies tanaman Caesalpinia, seperti Caesalpinia echinata, Caesalpinia crista, dan Haematoxylum camphecianum (Oliveira et al., 2002). Brazilin merupakan kristal berwarna kuning yang jika mengalami oksidasi akan mengalami perubahan warna menjadi merah kecoklatan dan dapat larut dalam air (Ye Min et al., 2006). Brazilin mempunyai warna kuning sulfur jika dalam bentuk murni, dapat dikristalkan, larut air, jernih mendekati tidak berwarna dan berasa manis. Asam tidak berpengaruh terhadap brazilin, tetapi alkali membuatnya bertambah merah. Brazilein merupakan kristal kecoklatan yang terekstrak dari kayu secang yang berbentuk kristal. Paparan udara dan cahaya pada brazilin dapat menyebabkan teroksidasinya gugus hidroksil dari brazilin menjadi gugus karbonil. Kedua komponen brazilin dan brazilein merupakan tetrasiklik dengan dua cincin aromatik, satu piron, dan satu cincin lima karbon (Oliveira et al., 2002). Struktur brazilin dan brazilein dapat dilihat pada Gambar 4.
7
Brazilin
Brazilein
Gambar 4. Struktur Kimia Brazilin dan Brazilein Sumber : Oliveira et al., (2002). Brazilein termasuk dalam golongan flavonoid sebagai homoisoflavonoid (Wongsookin et al., 2008). Pigmen brazilein dapat berfungsi sebagai analgesik, antiinflamasi, antioksidan, antidiabetes, antimikroba, antiaterogenik, pengatur haid, obat diare dan disentri, serta jamu bersalin (Lim, 1997; Bae et al., 2005). Brazilein telah lama digunakan sebagai pewarna merah untuk keramik, tekstil, dan sangat berpotensi juga digunakan sebagai pewarna makanan. Stabilitas pigmen brazilein dipengaruhi oleh pH, suhu dan pemanasan, sinar ultraviolet, oksidator dan reduktor, serta metal. Brazilein berwarna kuning pada pH 4,5-5,5, merah pada pH 6-7, dan pada pH di atas 8 berwarna merah keunguan (Adawiyah dan Indriati, 2003).
D. Kunyit Tanaman kunyit termasuk ke dalam famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma domestica VALET. Kunyit dikenal dengan nama yang berbeda di tiap daerah, misalnya kunyir, koneng temen (Sunda), kuning (Gayo, Batak), temu koneng (Madura), dan lain-lain. Kunyit termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Susunan tubuh tanaman kunyit terdiri atas akar, rimpang, batang semu, pelepah daun, daun, tangkai bunga, dan kuntum bunga (Sinaga, 2006). Pada Gambar 5 diperlihatkan penampakan tanaman kunyit.
8
Gambar 5. Penampakan Tanaman Kunyit Sumber : Museum Tekstil Jakarta (2011) Tanaman kunyit dapat tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis, baik di dataran rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Kondisi optimum suhu udara untuk pertumbuhan kunyit yang baik berkisar antara 19o- 30oC dan curah hujan antara 1400-1500 mm per tahun. Berdasarkan penelitian Rostiana et al. (1990) dalam Rukmana (1994), ketinggian tempat berpengaruh terhadap jumlah anakan per rumpun, bobot rimpang basah maupun kering, kadar kurkumin, pati, dan minyak atsiri. Tanaman yang tumbuh di dataran tinggi memiliki kadar pati dan minyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan zat yang sama dari tanaman yang tumbuh di dataran rendah. Namun produksi rimpang kunyit lebih banyak dihasilkan dari tanaman di dataran rendah dibandingkan tanaman di dataran tinggi. Kunyit dapat beradaptasi dengan baik di semua jenis tanah, dan tanah yang paling baik adalah tanah liat berpasir yang gembur, subur, dan memiliki pengairan yang baik. Rimpang kunyit secara keseluruhan membentuk rumpun dan bercabang-cabang. Kedalaman rimpang tanah sekitar 16 cm, panjang akar sekitar 22,50 cm, tebal rimpang muda 1,61 cm, dan rimpang tua 4 cm. Bentuk rimpang bervariasi, tetapi umumnya berbentuk bulat panjang. Kulit rimpang muda berwarna kuning-muda dan dagingnya berwarna kuning. Kulit rimpang tua berwarna jingga-kecoklatan dan dagingnya jingga-cerah agak kuning (Sinaga, 2006). Menurut Purseglove et al. (1981), waktu pemanenan rimpang kunyit paling baik adalah saat tanaman berumur sembilan bulan atau ketika batang dan daunnya telah mengering. Umbi batang dan rimpang yang tua serta telah disimpan lebihlama warnanya lebih tua dan lebih baik dibandingkan rimpang muda. Demikian juga daya tahannya lebih lama dan lebih kuat (Darwis et al., 1991). Kandungan zat kimia pada rimpang kunyit tua adalah minyak atsiri, pati, resin, protein, selulosa, dan beberapa mineral lain (Rukmana, 1994). Rimpang kunyit dihasilkan dari dataran rendah kandungan kimianya lebih tinggi dibandingkan dari dataran tinggi. Kandungan zat kimia pada rimpang kunyit pada daerah ketinggian yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.
9
Tabel 4. Kadungan Zat Kimia Pada Rimpang Kunyit Pada Ketinggian Daerah yang Berbeda Kandungan Zat (Bobot Kering)
Dataran Rendah (240 m di Atas Permukaan Laut)
Dataran Tinggi (1200 m di Atas Permukaan Laut) 1,4600 47,8100 2,8700 7,5200 1,5086 0,9465 Kuning
Kadar Minyak Atsiri (%) 1,8100 Kadar Pati (%) 55,0300 Kadar Serat (%) 3,4400 Kadar Abu (%) 6,4700 Indeks Bias 1,5030 Bobot Jenis 0,9300 Warna Minyak Kuning Sumber : Taryono et al. (1988) Komponen utama yang terpenting dari rimpang kunyit adalah kurkuminoid dan minyak atsiri. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) (1994) menyatakan bahwa kandungan kurkumin rimpang kunyit rata-rata 10,92%. Berbeda dengan temulawak, kurkuminoid yang terkandung dalam kunyit terdiri dari kurkumin, desmetoksikurkumin, dan besdesmetoksikurkumin. Kurkuminoid merupakan komponen zat pigmen yang memberikan warna kuning tua (oranye) pada kunyit. Warna ini sangat dipengaruhi oleh pH. Warna kuning cerah diperoleh pada pH asam. Kandungan kurkuminoid yang terdapat dalam kunyit telah diketahui memiliki banyak manfaat dan memiliki aktivitas biologis dengan spektrum luas, diantaranya memiliki aktivitas antibakteri, antioksidan, antihepoksik, dan dapat dimanfaatkan untuk pewarna (Rukmana, 1994).
E. Zat Warna Alam Batik dan kerajinan tekstil menggunakan zat warna alam memiliki nilai jual (ekonomi) yang tinggi, karena memiliki nilai seni, etnik dan warna khas, sehingga berkesan eksklusif. Penggunaan zat warna alam untuk tekstil perlu dikembangkan lebih baik lagi dengan eksplorasi sumbersumber zat warna alam. Eksplorasi tersebut dimaksudkan untuk mengetahui secara kualitatif warna yang dihasilkan oleh berbagai tanaman. Dengan demikian hasilnya dapat semakin memperkaya sumber pewarna alam, sehingga ketersediaan zat warna alam selalu terjaga dan variasi warna yang dihasilkan semakin beragam. Zat warna alam pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan, yaitu akar, kayu, daun, biji, dan bunga. Pengrajin-pengrajin batik telah banyak mengenal tumbuhantumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil. Beberapa diantaranya adalah daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana arn), kayu tegeran (Cudraina javanensis), kunyit (Curcuma), teh, akar mengkudu (Morinda citrifelia), kulit soga jambal (Pelthophorum ferruginum), kesumba (Bixa orelana), dan daun jambu biji (Psidium guajava) (Susanto,1973). Menurut Lemmens dan Soetjipto (1999), sebagian besar warna dapat diperoleh dari produk tumbuhan. Di dalam tumbuhan terdapat pigmen tumbuhan penimbul warna yang berbeda tergantung menurut struktur kimianya. Pada umumnya golongan pigmen tumbuhan adalah klorofil, karotenoid, flovonoid dan kuinon. Klorofil adalah istilah genetik untuk sejumlah pigmen tumbuhan yang berkerabat dekat, yang menghasilkan warna hijau. Pigmen demikian sangat berlimpah dalam tumbuhan. Klorofil kadang-kadang digunakan untuk mewarnai makanan dan minuman. Karotenoid secara kimiawi dicirikan oleh suatu rantai panjang pliena alifatik yang tersusun atas satuan isoprene (isoprene).
10
Struktur pigmen sangat bervariasi dan memiliki sifat warna yang intensif, yaitu kuning, jingga, merah, dan lembayung. Contoh-cotoh pigmen karetonoid adalah bixin yang diperoleh dari Bixa orellana L (kesumba), krosin (crosin) diperoleh dari Crocus satifus L(sapran = sapron). Flavonoid, tersusun dari senyawa yang strukturnya didasarkan pada flavo atau flavana. Sub kelompok flavonoid adalah morin yang dijumpai dalam berbagai jenis suku Moraceae. Kuinon (quinones) mencakup berbagai senyawa yang mengandung struktur kuinon, warnanya biasanya kuning sampai merah. Sub kelompok utamanya adalah benzokuinon, naftokuinon, dan antrakuinon. Contoh pigmen naftokuinon adalah lowson dari Lawsonia inermis L (Henna), contoh antrakuinon adalah alizarin, morindin, purpurin yang diperoleh dari jenis suku Rubiaceace. Pewarna nabati penting lainnya yang tidak tergolong kedalam pigmen adalah indigo biru tua dari jenis tumbuhan indigofera dan dari oksidasi indoksil yang dihasilkannya; pewarna kristalin merah, disebut brazilein, yang diperoleh melalui oksidasi dari senyawa fenol yang keputih-putihan yang ada dalam jenis-jenis Caesalpinia dan kurkumin yaitu kunyit (Curcuma longa L ) (Lemmens, 1998). Pembuatan larutan zat warna alam mengambil atau mengeksplorasi pigmen – pigmen penimbul warna yang berada di dalam tumbuhan baik yang terdapat pada daun, batang, buah, bunga, biji ataupun akar. Proses eksplorasi atau pengambilan pigmen zat warna alam disebut proses ekstraksi. Proses ektraksi tersebut dilakukan dengan merebus bahan dengan pelarut air.
F. Serat Kapas Serat kapas memegang peranan yang penting dalam industri tekstil, karena sifat serat kapas yang sangat baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan pakaian. Serat kapas dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kain blacu, kain mori, kain poplin, drill, dan sebagainya. Serat kapas adalah serat yang dihasilkan dari rambut biji tanaman Gossipium yang komponen penyusun utamanya adalah selulosa. Selulosa merupakan polimer linier yang tersusun dari kondensasi molekul-molekul glukosa yang dihubungkan pada posisi 1 dan 4 dengan rumus empiris ( C6H10O5). Struktur kimia selulosa dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur Kimia Selulosa Sumber : Moerdoko et al. (1975) dalam Riawan et al. (2006) Derajat polimerisasi selulosa pada kapas sekitar 10.000 dengan bobot molekul sekitar 1.5800.000. Selulosa mengandung tiga buah gugusan hidroksil, satu primer dan dua sekunder pada setiap unit glukosa. Gugus hidroksil ini menyebabkan serat kapas memiliki tingkat absorpsi air yang tinggi dan reaktif terhadap zat-zat kimia. Serat kapas tersusun dari sel-sel tumbuhan yang banyak mengandung selulosa. Selain itu, juga terdiri dari minyak, lilin, pektin, dan zat-zat lain (Riawan et al., 2006) Warna kapas tidak benar-benar putih, melainkan putih kecoklatan. Kekuatan serat terutama dipengaruhi oleh kadar selulosa dalam serat, panjang rantai selulosa, dan orientasinya. Kekuatan serat kapas dalam keadaan basah lebih baik dibandingkan pada keadaan kering. Mulur serat kapas paling tinggi dibandingkan serat selulosa alam yakni rata-rata bernilai 7%. Serat kapas memiliki
11
afinitas yang besar terhadap air. Serat kapas yang kering bersifat kasar, rapuh dan kekuatannya rendah. Daya serap kapas berada pada kondisi standar adalah 7% - 8.5%.Bobot jenis kapas adalah 1,50 – 1,56 g/ml. Serat kapas jika dipanaskan pada selama lima jam pada suhu 120oC tidak memperlihatkan perubahan kekuatan, namun pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan penurunan kekuatan. Serat kapas akan kehilangan kekuatan secara keseluruhan jika dipanaskan pada suhu 240oC (Djufri, 1996). Serat kapas umumnya tahan terhadap kondisi penyimpanan, pengolahan, dan pemakaian yang normal. Selulosa dapat dipengaruhi oleh asam kuat, oksidator, alkali kuat, jamur, dan hama. Oksidator akan mengoksidasi selulosa menjadi oksiselulosa. Asam menyebabkan hidrolisis ikatanikatan glukosa membentuk hidroselulosa, sehingga rantai-rantai molekul serat menjadi lebih pendek. Larutan alkali kuat dengan konsentrasi yang tinggi menyebabkan penggelembungan yang besar pada serat. Jamur yang tumbuh pada selulosa dapat menyebabkan pembusukan dan memutuskan rantai-rantai selulosa. Kerusakan-kerusakan yang terjadi mengakibatkan penurunan kekuatan serat (Sunarto, 2008). Komposisi kimia serat kapas dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Kimia Serat Kapas Komposisi Kandungan (% Bobot Kering) Selulosa 94 Protein (% N x 6,25) 1,3 Pektat 1,2 Lilin 0,6 Abu 1,2 Pigmen dan zat-zat lain 1,7 Sumber : American Cotton Handbook (1978)
G. Pencelupan Kain Kapas 1. Pengertian Pencelupan Pencelupan adalah salah satu cara yang meningkatkan nilai indera, dan penyempurnaan juga memberikan peningkatan nilai indera dengan menimbulkan bulu-bulu pada kain (raising), menghaluskan (glazing), dan dalam beberapa hal, dengan membuatnya anti kusut, kedap air dan tolak air (Sugiarto, 1979). Pencelupan ialah pemberian warna pada bahan tekstil secara merata. Tujuannya adalah agar bahan menjadi berwarna. Pemberian warna tersebut dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada jenis serat yang diproses dan jenis zat warna yang digunakan (Kustini, 1978) Pencelupan adalah pemberian warna pada benang atau tenunan supaya warnanya rata dan tahan cuci. Berhasil tidaknya suatu pencelupan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti suhu, pengadukan, bentuk dan ukuran zat warna, kecepatan celup dan kesadahan air. Air pada proses pencelupan mutlak diperlukan sebagai media pembawa molekul-molekul zat warna untuk dapat masuk kedalam serat. Pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat warna dalam air atau media lain, kemudian memasukkan zat warna tekstil dalam serat (Riawan et al., 2006). Penyerapan zat warna tekstil ke dalam serat merupakan suatu reaksi eksotermik dan reaksi keseimbangan. Hasil pencelupan akan maksimal jika bahan yang akan dicelup mudah menyerap air, bebas dari kotoran, bebas dari kanji dan jenis zat warna yang digunakan harus mempunyai sifat mudah larut, mudah meresap dalam bahan dan tidak mudah lepas. Pencelupan dengan zat warna alam sebaiknya menggunakan bahan berserat alam, meskipun tidak menutup kemungkinan dengan serat sintetis, tetapi seratnya harus mendekati sifat-sifat serat alam. Hal
12
ini akan mempermudah proses pewarnaan dan hasilnya juga akan lebih baik. Kain yang akan dicelup harus melalui proses pemasakan terlebih dahulu. Tujuan dari pemasakan adalah untuk menghilangkan pengotor serat pada proses pembuatannya, sehingga daya serap kain meningkat dan zat warna dapat tersebar dengan merata (Djufri, 1996). 2. Syarat-syarat Zat Warna Pemberian warna pada kain dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari jenis zat warna dan serat yang akan dicelup. Syarat-syarat zat warna yang akan digunakan dalam pencelupan antara lain sebagai berikut (Djufri, 1996): a. Zat warna harus mempunyai afinitas terhadap serat tekstil. b. Zat warna harus mempunyai kemampuan untuk berdifusi. c. Zat warna harus mempunyai kemampuan untuk menyerap suatu panjang gelombang tertentu dengan intensif. d. Zat warna harus dapat larut atau terdispersi dalam suatu zat pelarut. e. Zat warna harus stabil setelah masuk dalam serat. Zat warna yang memenuhi syarat-syarat tersebut dapat digunakan untuk mencelup serat tekstil yang umumnya dilakukan dengan menggunakan zat substantif yaitu daya yang dipengaruhi oleh warna yang keluar dari larutan dan masuk ke dalam serat. 3. Proses Masuknya Zat Warna kedalam Serat Menurut Djufri (1996) pada pencelupan terjadi enam peristiwa penting yaitu: a. Peristiwa migrasi, merupakan suatu proses pelarutan zat warna dan mengusahakan agar larutan zat warna tersebut begerak menempel pada bahan. Makin tinggi suhu larutan warna, maka makin cepat gerakan molekul zat warna. b. Peristiwa adsorbsi, merupakan suatu proses menempelnya molekul zat warna pada permukaan serat. c. Peristiwa difusi, merupakan suatu proses masuknya zat warna dari permukaan bahan kedalam bahan secara bertahap. d. Peristiwa dispersi, merupakan suatu proses penguraian zat warna dalam larutan celup e. Peristiwa absorpsi, merupakan suatu proses penyerapan zat warna dari permukaan serat ke dalam serat. f. Peristiwa fiksasi, merupakan suatu proses terikatnya molekul zat warna kedalam serat. Beberapa jenis sifat zat warna memberikan pencelupan dalam waktu yang sangat cepat dan terdapat pula beberapa sifat zat warna yang memberikan pencelupan yang sangat lambat. Pencelupan yang sangat cepat mempunyai kecenderungan sukar rata, sedangkan pencelupan yang sangat lambat akan menambah biaya pengerjaan dan sering mudah merusak serat (Riawan et al., 2006). Gaya-gaya ikat antara zat warna dan serat harus lebih besar dari pada gaya-gaya yang bekerja antara zat warna dengan air, sehingga dapat menghasilkan pencelupan, hasil celup dan tahan cuci yang baik. Hal tersebut dapat tercapai jika molekul zat warna mempunyai atom-atom tertentu, sehingga akan memberikan daya tembus yang baik terhadap serat dan memberikan ikatan yang kuat (Riawan et al., 2006). Menurut Djufri (1996) pada dasarnya dalam pencelupan terdapat empat jenis daya ikat yang menyebabkan adanya daya tembus atau daya cuci suatu zat warna pada serat yaitu sebagai berikut: (1) Ikatan hidrogen, yaitu ikatan sekunder yang terbentuk karena atom hidrogen pada gugus hidroksi atau amina mengadakan ikatan yang lemah dengan atom lainnya
13
(2) Ikatan elektrovalen, yaitu ikatan yang timbul karena gaya tarik menarik antara muatan yang berlawanan (3) Ikatan Van Der Waals, yaitu pada proses pencelupan daya tarik menarik dengan serat akan bekerja lebih sempurna bila molekul-molekul zat warna berbentuk memanjang dan datar dan antara molekul zat warna dengan serat mempunyai gugusan hidrokarbon yang sesuai sehingga waktu pencelupan zat warna ingin lepas dari air dan bergabung dengan serat (4) Ikatan kovalen, merupakan reaksi pertukaran ion yaitu ikatan garam karena menggunakan reaksi yang mirip dengan reaksi penggaraman. Mordan disebut juga sebagai zat khusus yang dapat meningkatkan lekatnya berbagai pewarna pada kain (Hasanudin, 2001). Tujuan dari pemberian mordan adalah untuk memperbesar daya serap kain terhadap zat warna alam. Penggunaan pewarna alam untuk tekstil memerlukan mordan atau perlakuan awal sebelum penggunaan pewarna pada bahan. Sebelumnya mordan yang digunakan adalah mordan yang mengandung bahan kimia, seperti krom, timah, tembaga, seng, dan besi (Dekranas, 1999). Mordan untuk pewarna alam telah dikembangkan yang tidak mengandung zat kimia dan ramah terhadap lingkungan, seperti jeruk, jeruk nipis, cuka, sendawa (salpenter), pijer (borax), tawas (alunin), gula batu, gula jawa (aren), tunjung, pruisi (coper sulfat), tetes tebu (molase), air kapur, tape (tape ketela, tape ketan), pisang klutuk, daun jambu klutuk sebagai alternatif yang digunakan sebagai mordan pada pewarnaan tekstil (Susanto, 1980). Menurut Djufri (1976) dalam Riawan et al. (2006), proses mordanting dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu : a. Cara mordan pendahuluan (pre mordan), pencelupan bahan yang dilakukan dengan mencelupkan bahan dengan senyawa logam terlebih dahulu baru kemudian dicelup dengan zat warna b. Cara mordan simultan (meta-chrom, mono-chrom), pencelupan bahan yang dilakukan dalam larutan celup yang terdiri dari zat warna dan zat mordan c. Cara mordan akhir (after chrom), pencelupan bahan yang dilakukan denganmencelupkan zat warna terlebih dahulu setelah zat warna terserap ke dalam bahan dilanjutkan dengan pencelupan larutan mordan.
H. Pengukuran Warna Warna dapat diukur dengna menggunakan alat kolorimeter, spektrofotometer, atau alat-alat lain yang dirancang khusus untuk mengukur warna. Spektrofotometer biasa digunakan untuk mengukur konsentrasi suatu zat dalam larutan dengan prinsip penyerapan warna pada panjang gelombang tertentu. Hasil dari pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer dinyatakan dalam nilai absorbansi (Hutching, 1999). Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik untuk mendeskripsikan warna secara akurat agar terjadi persamaan persepsi. Sistem notasi warna yang banyak digunakan adalah sistem notasi Hunter (Hutching, 1999) yang mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L*, a*, dan b*. Nilai L* menunjukkan kecerahan atau gelap sampel dan memiliki skala dari nol sampai seratus, dengan nol menyatakan sampel sangat gelap dan seratus menyatakan sampel sangat cerah. Nilai a* menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dengan a* positif menunjukkan warna merah dan a* negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a* memiliki skala -80 sampai 100. Nilai b* menunjukkan derajat kuning atau biru, dengan b* positif menunjukkan warna kuning dan b* negatif menunjukkan warna biru. Nilai b* memiliki skala dari -70 sampai 70 (Soekarto, 1997).
14
Pengukuran warna dengan sistem Munsell dilakukan sengan mengukur komponen warna berdasarkan besaran value, hue, dan chroma. Nilai value menyatakan gelap dan terangnya warna. C atau Chroma purity adalah parameter yang menunjukkan intensitas ketajaman warna dari suatu sampel yang diukur dengan rumus √ ∗ + ∗ . Semakin tinggi nilai C maka warna akan terlihat semakin tua karena intensitasnya meningkat (Hutching, 1999). Hue merupakan besaran yang menunjukkan posisi warna obyek ke dalam diagram warna Lab. Nilai hue diperoleh dengan menghitung invers tangen perbandingan b* dan a* atau hue sama dengan (arctan (b*/a*) ) sehingga didapatkan sudut dari diagram warna. Derajat hue yang dimasukkan ke dalam diagram warna akan dapat menampilkan secara objektif apakah sampel berwarna mera, kuning, dan sebagainya. Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell dipengaruhi nilai a* dan b*. Jika nilai hue diperoleh pada metode Hunter bernilai negatif, maka untuk menginterpretasikan warna pada diagram Munsell, nilai negatifnya dihilangkan terlebih dahulu, kemudian diukur pada kuadran yang paling tepat sesuai dengan nilai a* dan b*-nya. Pada kuadran satu, a* dan b* bernilai positif. Pada kuadran dua, a* bernilai negatif dan b* positif. Pada kuadran tiga, a* dan b* bernilai negatif. Pada kuadran empat, a* bernilai positif dan b* bernilai negatif (Hutching, 1999). Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Interpretasi Warna Hue Pada Bola Imajiner Munsell Hue (o) Warna 21 (Kuadran I) – 52 (Kuadran I) Merah 53 (Kuadran I) – 84 (Kuadran I) Merah-Kuning 85 (Kuadran I) – 21 (Kuadran II) Kuning 22 (Kuadran II) – 61 (Kuadran II) Hijau-Kuning 62 (Kuadran II) – 0 (Kuadran III) Hijau 1 (Kuadran III) – 35 (Kuadran III) Biru-Hijau 36 (Kuadran III) – 81 (Kuadran III) Biru 82 (Kuadran III) – 36 (Kuadran IV) Ungu-Biru 37 (Kuadran IV) – 71 (Kuadran IV) Ungu 72 (Kuadran IV) – 20 (Kuadran I) Merah-Ungu Sumber : Hutching (1999) Nilai ∆E merupakan atribut nilai yang menjadi parameter terjadinya perubahan warna secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai ∆E menunjukkan perubahan warna sampel selama perlakuan semakin besar (Hutching, 1999). Nilai ∆E dihitung dengan rumus √∆L∗ + ∆a∗ + ∆b∗ .
15
III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas piala, neraca analitik, gelas ukur, penangas air, wadah (baskom), dan sudip. Alat-alat yang digunakan untuk karakterisasi bahan baku dan analisis produk adalah labu takar, pipet Mohr, pipet tetes, cawan alumunium, cawan porselen, labu dekstruksi, soxhlet, erlenmeyer, desikator, corong, sudip, oven, colormeter Colortech PCM, spektrofotometer HACH, viscometer Brookfield, lempeng kaca, thermometer, dan labu ukur. Bahanbahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kain mori berwarna putih, etil asetat, aquades, gambir bootch, jeruk nipis, etanol, dan kertas saring, kayu secang, tawas, dan kunyit.
B. TATA LAKSANA PENELITIAN Penelitian pendahuluan dilakukan dengan analisis mutu gambir yang digunakan sebagai bahan utama. Penelitian utama ialah pewarnaan kain mori dengan menggunakan pewarna alami yang berasal dari gambir dengan campuran pigmen warna dari secang dan kunyit. Pewarnaan kain mori diawali dengan pembuatan larutan pewarna alami, proses pewarnaan kain mori, dan terakhir dilakukan uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, gosokan, dan keringat. Penelitian utama diawali dengan membuat larutan baku pewarna yang berasal dari gambir, secang, dan kunyit. Masing-masing bahan dibuat dengan konsentrasi 10% (b/v) sebagai larutan baku untuk proses pewarnaan. Selanjutnya, tiga larutan baku yang ada kemudian dibuat formula larutan warna dengan memvariabelkan konsentrasi perbandingan larutan gambir dengan larutan secang, dan larutan gambir dengan larutan kunyit. Penggunaan campuran larutan pewarnaan ditujukan untuk menghasilkan formula larutan pewarna yang bain untuk mewarnai kain batik mori, baik dari segi ketahanan luntur terhadap pencucian, ketahanan luntur terhadap gosokan, dan ketahan luntur terhadap keringat. Data yang diolah adalah data kecerahan warna (L*) serta ketajaman warna kain (C) yang dihasilkan dari proses pencelupan, dan penurunan nilai L*, C, dan nilai perubahan warna pada kain secara keseluruhan (∆E) setelah pengujian. Diagram alir tata laksana penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
16
Gambir Asalan
Analisis Mutu Gambir
Kain Mori Putih
Tawas dan Soda Abu
Pemasakan
Jeruk Nipis
Pembuatan mordan 1%
Kain Siap Diwarnai Secang dan Kunyit
Pembuatan Larutan Induk Pewarna 10%
Mordan Jeruk Nipis
Pencampuran Konsentrasi Larutan Warna
Pewarnaan Kain
Fiksasi
Kain Hasil Pewarnaan
Analisis Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat, Pencucian, dan Gosokan
Gambar 7. Diagram Alir Tata Laksana Penelitian 1. Analisis Gambir 1.1 Penetapan Kadar Air dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Cawan aluminium kosong dipanaskan dengan oven 105oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dengan desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan diulang sampai didapatkan bobot tetap. Sampel sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama tiga-lima jam. Setelah cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulang sampai didapatkan bobot tetap bahan. Presentase kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : A−B % Kadar Air = × 100% C Keterangan : A : Bobot cawan berisi sampel sebelum dioven (g) B : Bobot cawan berisi sampel setelah dioven (g) C : Bobot sampel basah (g).
17
1.2 Penetapan Kadar Abu dengan Metode Oven (AOAC, 1984) Sampel sebanyak 4-5 gram ditimbang dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai tidak mengeluarkan asap di atas Bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC sampai menjadi abu. Cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengabuan diulangi, dengan cara dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600oC selama satu jam sampai didapat bobot yang tetap. Presentase kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : A−B % Kadar Abu = × 100% C Keterangan : A : Bobot cawan berisi abu sampel (g) B : Bobot cawan (g) C : Bobot sampel basah (g). 1.3
Kadar Katekin (SNI 01-3391-2000) Prinsip : katekin adalah salah satu komponen utama pembentuk gambir yang larut sempurna dalam etil asetat. Penyerapan atau absorpsi larutan di dalam etil asetat pada panjang gelombang maksimum 279 nm sebanding dengan kadar katekin di dalam gambir. a. Persiapan Standar Katekin dan Contoh Gambir (SNI 01-3391-2000) Standar katekin dikeringkan di dalam oven dengan menggunakan kaca arloji selama tiga jam pada suhu 105 °C. Contoh gambir yang dihaluskan dibuat lapisan tipis di atas kaca arloji. Lapisan gambir tersebut dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 °C selama tiga jam sampai kehilangan bobot 15 – 17 %. b. Pembuatan Larutan Standar (SNI 01-3391-2000) Standar katekin yang sudah dikeringkan sebanyak 50 mg (Ws mg) dituangkan ke dalam labu ukur 50 ml secara kuantitatif, dilarutkan dan diencerkan dengan etil asetat sampai tanda tera (larutan A). Larutan A diletakkan dalam penangas air selama lima menit untuk mencapai larutan yang homogen. Kemudian dua ml larutan A dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup 100 ml dan dilarutkan dengan 50 ml etil asetata (larutan B). Larutan B diletakkan dalam penangas air selama lima menit. Larutan B siap untuk pengukuran. c. Pembuatan Larutan Contoh Gambir (SNI 01-3391-2000) Sebanyak 50 mg contoh gambir yang dikeringkan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan dilarutkan dengan etil asetat sampai tanda tera (larutan C). Larutan C diletakkan dalam penangas air selama lima menit, kemudian disaring. Sebanyak 15 ml filtrat pertama dibuang dan dua ml filtrat berikutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup 100 ml dan ditambah 50 ml etil asetat (larutan D). Setelah diletakkan dalam penangas air selama lima menit maka larutan D siap dilakukan pengukuran. d. Pengukuran Larutan (SNI 01-3391-2000) Pengukuran kadar katekin menggunakan spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang 279 nm dan 300 nm. Pengukuran dimulai untuk larutan blanko (etil asetat) dengan absorban sama dengan nol. Pengukuran selanjutnya adalah absorbansi larutan standar kemudian absorbansi larutan contoh.
18
% Kadar Katekin =
Et Ws × × 100% Ec W
Keterangan : Et : absorban / penyerapan larutan contoh pada panjang gelombang 279 nm Ec: absorban / penyerapan larutan standar pada panjang gelombang 279 nm W: bobot contoh gambir (mg) Ws : bobot katekin standar (mg). 1.4 Kadar Bahan Tidak Larut Dalam Air dan Alkohol (SNI 01-3391-2000) Prinsip : persentase bahan yang tidak larut dalam air dan alkohol diperoleh dengan perbandingan antara bebas kotoran pada suhu oven 100 – 105 °C dengan bobot contoh yang diuji. a. Penentuan Bahan Tidak Larut dalam Air Sebanyak satu gram contoh gambir kering (bebas air) yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam gelas piala 200 ml yang telah berisi 100 ml air. Campuran tersebut dipanaskan sampai mendidih kemudian saring dengan menggunakan cawan gooch yang telah diketahui bobotnya. Cawan gooch yang telah berisi residu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ° C selama satu jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobot tetap. b. Penentuan Bahan Tidak Larut dalam Alkohol Sebanyak satu gram contoh kering (bebas air) gambir yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 200 ml yang berisi 100 ml etanol absolut. Erlenmeyer ditutup sumbat gabus yang diberi kapas dan dipanaskan sampai mendidih. Kemudian campuran disaring dengan menggunakan cawan Gooch yang diketahui beratnya. Cawan berisi residu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama satu jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kadar bahan yang tidak larut dalam alkohol atau air =
100 (W2 − W) W1
Keterangan: W : bobot cawan Gooch W1 : bobot contoh atas dasar bahan kering W2: bobot residu yang tidak larut dalam alkohol atau air dan bobot cawan gooch. 1.5 Identifikasi kadar tanin dilakukan dengan pembuatan kurva standar dan analisis sampel dengan menggunakan alat spektrofotometer Hach (AOAC, 1984). a) Pembuatan Kurva Tanin Standar Sebanyak 5 ml pereaksi Folin Denis dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml yang telah diisi dengan 75 ml akuades, kemudian dimasukkan 10 ml larutan asam tanat standar (0,1 mg/1 ml). Selanjutnya sebanyak 10 ml Na2CO3 jenuh ditambahkan ke dalam campuran, dan ditepatkan hingga volume 100 ml dengan akuades. Larutan kemudian dikocok dan dibiarkan selama 30 menit, selanjutnya dibuat kurva standar dengan menggunakan larutan asam tanat standar 1 ml, 2 ml, 4 ml, 6 ml, dan 8 ml. b) Analisis Sampel Sebanyak 1 ml filtrat jernih dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 5 ml pereaksi Folin Denis dan 5 ml Na2CO3 jenuh kemudian
19
ditepatkan volume sampai 100 ml dengan akuades. Larutan dikocok dan dibiarkan selama 30 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 760 nm. 2. Pembuatan Larutan Pewarna dan Lautan Mordan Akhir Pada proses pewarnaan digunakan tiga jenis larutan pewarna induk yang dibuat dengan konsentrasi 10% (b/v). Larutan yang digunakan untuk proses pewarnaan kain adalah sebagai berikut: 2.1 Larutan gambir 10% Larutan gambir 10% (b/v) merupakan larutan induk yang akan digunakan untuk proses pewarnaan kain. Gambir yang digunakan adalah gambir asalan yang dilarutakan di dalam air pada suhu 70oC. Penggunaan suhu 70oC dimaksudkan untuk meningkatkan kelarutan gambir dalam larutan. Kemudian larutan gambir disaring dan diambil filtratnya. Pada Gambar 8 dapat dilihat penampakan gambir asalan yang digunakan dan larutan induk pewarna yang dihasilkan.
(a) (b) Gambar 8. Penampakan Gambir Asalan yang Digunakan dan Larutan Warna yang Dihasilkan (a). Gambir Asalan, (b) Larutan Warna Gambir 2.2 Larutan secang 10% Larutan secang dibuat dengan bahan baku kayu secang yang diekstrak sebanyak 10% (b/v) pada air panas dengan suhu 70oC. Kemudian larutan dipisahkan dari ampasnya dan diambil filtratnya. Pada Gambar 9 dapat dilihat penampakan secang yang digunakan dan larutan induk pewarna yang dihasilkan.
(a) (b) Gambar 9. Penampakan Secang yang Digunakan dan Larutan Warna yang Dihasilkan (a). Secang, (b) Larutan Warna Secang
20
2.3 Larutan kunyit 10% Larutan kunyit 10% (b/v) dibuat dengan rimpang kunyit yang telah diparut terlebih dahulu dan dilarutkan dalam air pada suhu 70oC. Kemudian disaring dan dipisahkan ampas dan filtrat yang dihasilkan. Pada Gambar 10 dapat dilihat penampakan kunyit yang digunakan dan larutan induk pewarna yang dihasilkan.
(a) (b) Gambar 10. Penampakan Kunyit yang Digunakan dan Larutan Warna yang Dihasilkan (a). Kunyit, (b) Larutan Warna Kunyit 2.4 Pembuatan larutan mordan Langkah awal pembuatan mordan adalah jeruk nipis diperas untuk diambil sarinya. Sari jeruk nipis yang didapat kemudian dicampurkan dengan satu liter air panas dengan konsentrasi 1%, sehingga diperoleh larutan mordan akhir sebanyak satu liter. Nilai pH larutan jeruk nipis 1% adalah 3. 2.5 Nilai pH Larutan warna yang digunakan dalam proses pewarnaan diukur nilai pHnya. Pengukuran nilai pH menggunakan alat pH meter yang bermerk Beckman. Alat pH meter dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Penampakan Alat pH meter Merk Beckman 2.6 Pengukuran viskositas larutan warna(AOAC, 1995) Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan alat viskometer Brookfield. Contoh larutan pewarna sebanyak ± 25 ml (jumlah yang diperlukan untuk merendamkan tanda tera pada beban) dimasukan ke dalam gelas piala, dan diatur suhunya agar tetap 25 ± 0.5 °C. Beban dan putaran per menit (rpm) yang akan digunakan (bernomor) diatur terlebih dahulu untuk menentukan angka konversinya yang terdapat pada tabel bagian atas alat. Contoh larutan pewarna dimasukkan ke dalam wadah hingga tanda tera pada beban terendam.
21
Motor penggerak dijalankan setelah jarum menunjukan angka nol. Motor dimatikan setelah satu menit, dan tombol penekan jarum ditekan, kemudian dibaca angka yang ditunjukkan oleh jarum tersebut (A). Pada Gambar 12 dapat dilihat proses pengujian viskositas dengan menggunakan viscometer Brookfield. Rumus viskositas adalah sebagai berikut: Viskositas (cP) = A x angka konversi
Gambar 12. Proses Pengujian Viskositas Larutan Warna dengan Menggunakan Viscometer Brookfield 3. Pemasakan Kain Mori ( Riawan et al., 2006) Kain yang digunakan dalam pewarnaan adalah kain batik jenis mori, yaitu kain yang terbuat dari serat selulosa alami. Kain mori yang digunakan mendapat perlakuan pendahuluan yaitu dengan dipanaskan pada air dengan suhu 70oC untuk melemaskan serat kain dan menghilangkan kotoran yang terdapat pada kain agar tidak mengganggu proses pewarnaan. Kain mori direndam selama 30 menit sambil sesekali diaduk, kemudian kain dibilas dengan air dingin. Kain mori yang telah bersih kemudian diberikan perlakuan pre-mordan atau mordan awal untuk membantu kain dapat menyerap warna lebih baik. Larutan mordan yang dibuat mengandung 8 gram tawas dan 2 gram soda abu (Na2CO3) dalam setiap 1 liter air yang digunakan. Larutan kemudian direbus hingga mendidih kemudian dimasukkan kain mori dan direbus selama 1jam. Kemudian kain kapas dibiarkan terendam dalam larutan selama semalam. Setelah direndam semalaman dalam larutan, kain diangkat dan dibilas kemudian dikeringkan dengan cara dianginanginkan. Pada Gambar 13 dapat dilihat penampakan kain mori putih yang digunakan dalam pewarnaan.
Gambar 13. Penampakan Kain Mori Putih yang Digunakan dalam Pewarnaan
22
4. Penelitian Utama 4.1 Proses Pewarnaan Proses pewarnaan kain dilakukan dengan cara kain dengan vlot 1:30 yang telah diberikan mordan dibasahi dengan air dingin agar warna dapat diserap dengan baik. Vlot merupakan perbandingan antara liter larutan pewarna dengan gram kain. Pada proses pencelupan digunakan vlot 1:30, artinya adalah satu liter larutan warna digunakan unutk mencelupkan 30 gram kain (Djufri et. al., 1996). Pewarnaan kain menggunakan glarutan pewarna dari larutan induk gambir, secang, dan kunyit yang dicampurkan dengan konsentrasi yang berbeda-beda pada suhu 70oC dengan cara kain dicelupkan atau direndam selama 15 menit, kemudian kain ditiriskan dan dikeringanginkan. Pencelupan kain dilakukan berulang kali hingga lima kali dengan cara yang sama agar warna terserap merata pada seluruh bagian kain dan juga agar daya serap kain terhadap larutan pewarna maksimum. Proses selanjutnya ialah proses fiksasi yang dilakukan dengna merendam kain hasil pewarnaan dalam larutan fiksasi. Larutan fiksasi yang digunakan ialah larutan jeruk nipis 1% selama 15 menit. Kemudian kain dicuci dengan air bersih dan dikeringanginkan, sehingga didapatkan kain hasil pewarnaan. Pada Gambar 14 diperlihatkan proses pewarnaan dan proses fiksasi kain mori.
(a)
(b) Gambar 14. Proses Pewarnaan Kain Mori (a). Proses Pewarnaan Kain Mori, (b) Proses Fiksasi Kain Mori
4. 2. Pengujian Hasil Pewarnaan 4.2.1 Nilai L*, a*, dan b* (Hutching, 1999) Nilai L*,a*, dan b* kain berwarna dapat dilihat dengan menggunakan colormeter. Kain hasil pewarnaan dievaluasi nilai L, a, dan b dengan alat colormeter merk Colortech PCM. 4.2.2 Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Pencucian Rumah Tangga (SNI ISO 105-C06:2010) Contoh uji yang sudah diberi kain pelapis dicuci dalam larutan pencuci dengan kondisi tertentu, dibilas dan dikeringkan. Perubahan warna pada contoh uji dinilai dengan menggunakan standar abu-abu (grey scale), sedangkan penodaan warna pada kain pelapis dinilai dengan menggunakan standar skala penodaan (staining scale). Contoh uji disiapkan dengan menjahit dua helai kain (kain katun dan kain wol atau poliester). Kain uji yang telah dilapisi kain pelapis kemudian dicelupkan pada larutan detergen typol 5 ml dalam satu liter air. Kemudian kain dicuci dengan cara memutar
23
kain selama 45 menit. Kain kemudian dibilas dengan air pada suhu 40oC dan dikeringanginkan. Penilaian tahan luntur dilaksanakan terhadap perubahan warna contoh uji dibandingkan dengan standar perubahan warna pada grey scale. 4.2.3 Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Gosokan (SNI 0288-2008) Kain dibasahi dengan air suling pada suhu 27 °C, kemudian diperas di antara kertas saring. Kemudian kain digosokan 10 kali bolak-balik dengan batang besi secara memutar dengan kecepatan satu putaran perdetik Kemudian kain dikeringkan di udara sebelum dilakukan evaluasi. 4.2.4 Pengujian Ketahanan Luntur Warna Kain Terhadap Keringat (SNI ISO 105E04:2010) Pengujian ketahanan luntur warna kain terhadap keringat dilakukan dengan menggunakan larutan alkali dan larutan asam. Larutan alkali dibuat dalam satu liter larutan yagn mengandung 0,5 gram L-histidin, 5 gram natrium klorida (NaCl), 2,5 gram dinatrium hidrogen ortofosfat dihidrat, dan larutan dibuat menjadi pH 8 dengan larutan natrium hidroksida 0,1 mol/L. Larutan asam dibuat dalam satu liter yang mengandung 0,5 gram L-histidin, 5 gram natrium klorida (NaCl), 2,2 gram dinatrium hidrogen ortofosfat dihidrat, dan larutan dibuat pH 5,5 dengan larutan natrium hidroksida 0,1 mol/L. Kain kemudian dicelupkan pada masing-masing larutan alkali dan laurtan asam secara terpisah. Kain uji dibiarkan dalam larutan selama 30 menit di dalam larutan sambil ditekan dan dibalikkan beberapa kali untuk memastikan terjadi penetrasi secara merata. Kemudian kain uji diperas untuk menghilangkan larutan yang berlebih dan dikeringanginkan. Kain hasil uji kemudian dilakukan evaluasi kembali dengan dibandingkan pada skala abu-abu. 5. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian adalah rancangan percobaan acak lengkap faktor tunggal. Rancangan percobaan dilakukan pada dua eksperimen yang terpisah, yaitu perbandingan konsentrasi gambir: secang dan perbandingan konsentrasi gambir:kunyit. Model yang digunakan untuk desain tersebut adalah sebagai berikut (Walpole, 1992) Yij = µ + Ai + ij Yij = nilai pengamatan ke-j (j = 1, 2) untuk taraf ke- i perlakuan A µ = rata-rata umum Ai = efek taraf ke- i untuk perlakuan perbandingan konsentrasi larutan gambir dan larutan secang, juga perbandingan konsentrasi larutan gambir dan larutan kunyit pada eksperimen terpisah A1 = gambir : secang = 100% : 0% A2 = gambir : secang = 75% : 25% A3 = gambir : secang = 50% : 50% A4 = gambir : secang = 25% : 75% A5 = gambir : secang = 0% : 100% Dilain pihak pada eksperimen kedua yaitu gambir dan kunyit berlaku: B1 = gambir : kunyit = 100% : 0%
24
B2 = gambir : kunyit = 75% : 25% B3 = gambir : kunyit= 50% : 50% B4 = gambir : kunyit = 25% : 75% B5 = gambir : kunyit = 0% : 100% = kekeliruan, berupa efek acak dalam pengamatan ke-j untuk taraf ke-i perlakuan B. ij
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS BAHAN BAKU Analisis bahan baku bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang digunakan pada penelitian utama. Parameter yang digunakan untuk analisis mutu gambir adalah kadar air, kadar abu, kadar katekin, kadar tanin, kadar bahan tidak larut alkohol, dan kadar bahan larut alkohol. Hasil analisis kemudian dibandingkan terhadap SNI 01-3391-2000 seperti dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Analisis Mutu Gambir Asalan Sebagai Bahan Baku Penelitian No. Jenis Uji Satuan Contoh Uji Persyaratan Mutu 1 Mutu 2 1 Keadaan -Bentuk Pecah dan Utuh Utuh Utuh -Warna Hitam Kuning sampai Kuning kecoklatan Kecoklatan kuning kecoklatan sampai kuning kehitaman -Bau Khas Khas Khas 2 Kadar Air (b/b) % 13,89 Maks. 14 Maks. 16 3 Kadar Abu (b/b) % 3,69 Maks. 5 Maks. 5 4 Kadar Katekin (b/b) % 42,5 Min. 60 Min. 50 5 Kadar Bahan Tidak % 11,46 Maks. 7 Maks. 10 Larut Air 6 Kadar Bahan Tidak % 11,63 Maks. 12 Maks. 16 Larut Alkohol Kadar air gambir asalan yang digunakan adalah 13,89%, sedangkan kadar abu adalah 3,69%. Kadar air dan kadar abu pada gambir asalan yang digunakan masih memenuhi persyaratan mutu Standar Nasional Indonesia yaitu maksimum 16% untuk kadar air dan 5% untuk kadar abu. Pengujian kadar air pada gambir bertujuan untuk mengetahui umur simpan dan daya tahan gambir terhadap serangan jamur. Semakin tinggi kadar air, maka gambir semakin mudah terserang jamur (Zulnely et al., 1994). Kadar abu menunjukkan kandungan unsur-unsur mineral dalam bahan yang diperoleh sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar hingga bebas karbon. Menurut Soebito (1988), abu adalah komponen yang tidak mudah menguap dan tetap tertinggal setelah proses pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Menurut Gumbira-Sa’id et al. (2009), penggunaan air perebusan berulang dan cairan sisa penirisan untuk perebusan kembali dalam proses produksi gambir diduga berkontribusi terhadap tingginya kadar abu dalam gambir. Semakin tinggi kadar abu gambir menunjukan mutu gambir yang semakin rendah, karena tingkat kemurnian gambir yang semakin rendah pula. Kandungan katekin dalam gambir merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu gambir. Semakin tinggi kadar katekin, mutu gambir semakin baik. Dari hasil pengujian (Tabel 7) diperoleh kadar katekin pada gambir asalan yang digunakan sebesar 42,5%. Kadar katekin gambir asalan belum memenuhi Standar Nasional Indonesia yaitu minimal 50% (mutu2) dan minimal 60% (mutu1). Kandungan katekin dalam gambir dapat digunakan sebagai pewarna tekstil dan menghasilkan warna kecoklatan (Gove dan Webster, 1966).
26
Menurut Burkill (1935), gambir mengandung padatan yang diukur berdasarkan kelarutan pada air dan alkohol. Kadar bahan tidak larut dalam air yang didapatkan pada gambir yang digunakan pada penelitian adalah 11,46%. Nilai tersebut belum memenuhi persyaratan mutu I dan II SNI 01-3391-2000 yakni persyaratan kadar bahan tidak larut dalam air gambir maksimal 7% dan 10%. Hal ini menandakan bahwa tingkat kemurnian gambir rendah, dan dapat disebakan oleh adanya kotoran – kotoran seperti pasir, tanah dan kotoran lain yang tidak terendapkan oleh air saat pengolahan gambir kering. Komponen penyusun dinding sel seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, protein dan lemak merupakan komponen yang tidak larut di dalam air (Winarno dan Wirakartakusumah, 1981). Kadar bahan tidak larut di dalam alkohol yang didapatkan pada gambir yang digunakan pada penelitian adalah 11,63%. %. Nilai tersebut telah memenuhi syarat mutu I dan mutu II SNI 01-3391-2000 dimana persyaratan kadar bahan tidak larut di dalam alkohol gambir minimal 12% dan 16%. Menurut Sudibyo et al. (1988), kadar bahan tidak larut alkohol yang tinggi dapat disebabkan oleh lamanya interaksi air dengan daun pada saat pengolahan gambir. Semakin lama daun kontak dengan air, maka komponen bahan yang tidak larut di dalam alkohol akan semakin mudah dikeluarkan dan terbawa bersama ekstrak gambir. Semakin tinggi kadar bahan tidak larut alkohol menunjukkan tingginya kandungan bahan bukan gambir seperti kotoran, dinding sel daun, dan bahan pemadat seperti tepung yang bukan berasal dari ekstrak gambir (Agriawati, 2003).
B. PENELITIAN UTAMA Penelitian utama ialah pewarnaan kain mori dengan menggunakan pewarna alami yang berasal dari gambir dengan campuran pigmen warna dari secang dan kunyit. Pewarnaan kain mori diawali dengan pembuatan larutan pewarna alami, proses pewarnaan kain mori, dan terakhir dilakukan uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, gosokan, dan keringat. 1. Penentuan Konsentrasi Larutan Pewarna Untuk Pewarnaan Kain Penentuan konsentrasi larutan pewarna bertujuan untuk mengetahui perbandingan konsentrasi larutan pewarna yang terbaik yang dapat mewarnai kain. Perbandingan konsentrasi gambir dengan secang pewarna yang digunakan dalam larutan pewarna adalah 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100%. Perbandingan konsentrasi yang sama juga dilakukan dalam pembuatan larutan pewarna gambir dengan kunyit. Larutan warna yang dihasilkan kemudian akan dilakukan pengukuran terhadap nilai pH dan viskositas larutan. Pengujian nilai pH dan viskositas dimaksudkan untuk mengetahui sifat larutan warna yang digunakan untuk mewarnai kain dan melihat kesesuaian penggunaan jenis serat kain dengan sifat yang dimiliki zat warna yang digunakan (Karyana, 2005). Nilai pH dan viskositas larutan larutan warna yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 15 dan Gambar 16.
27
5,51 5,7
6 5
4,37
4,45 4,4 4,41 4,48 4,37
4,73 4,86
4 nilai pH 3 Gambir:Kunyit 2
Gambir:Secang
1 0 100 :0
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Gambar 15. Nilai pH Larutan Warna pada Konsentrasi Perbandingan Gambir:Secang dan Gambir:Kunyit yang Bervariasi 18
17 17
16
Viskositas (cP)
14
12
12
11
10
8
8
7
7
Gambir:Kunyit
6
Gambir:Secang 3
4 2
2
2
0 100 :0
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Gambar 16. Nilai Viskositas Larutan Warna pada Konsentrasi Perbandingan Gambir:Secang dan Gambir:Kunyit yang Bervariasi a. Nilai pH pada Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna yang Bervariasi Nilai pH larutan warna pada perbandingan konsentrasi gambir dengan secang yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 15. Nilai pH larutan warna pada konsentrasi gambir dengan secang 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 4,37, 4,46, 4,54, 4,98, dan 5,74. Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa larutan warna gambir 100% memiliki pH yang cenderung lebih asam dibandingkan semua larutan dan nilai pH meningkat seiring penurunan konsentrasi gambir yang digunakan dalam larutan warna.
28
Dengan demikian larutan gambir 100% memiliki pH terendah yaitu 4,37 dan larutan secang 100% memiliki pH tertinggi yaitu 5,74. Secang memiliki pH berkisar 6-7 dan memiliki warna merah menyala, sedangkan warna merah muda hingga merah keunguan pada pH 3-5(Oliveira et al., 2002). Nilai pH larutan warna pada perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar15. Nilai pH larutan warna pada konsentrasi gambir dengan kunyit 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 4,39, 4,45, 4,52, 4,89, dan 5,37. Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa larutan warna gambir 100% memiliki pH yang cenderung lebih asam dibandingkan semua larutan dan nilai pH meningkat seiring penurunan konsentrasi gambir yang digunakan dalam larutan warna. Dengan demikian larutan gambir 100% memiliki pH terendah yaitu 4,39 dan larutan kunyit 100% memiliki pH tertinggi yaitu 5,37. Kunyit merupakan indikator asam basa alami yang biasa digunakan untuk menunjukkan sifat asam atau basa suatu larutan, kunyit sendiri memiliki pH asam (Rukmana, 1994). b. Nilai Viskositas pada Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna yang Bervariasi Menurut Yani (2009), viskositas adalah sifat cairan yang berhubungan dengan kemudahannya untuk mengalir. Cairan dengan viskositas tinggi berupa cairan yang kental, apabila cairan dituangkan akan sukar mengalir dengan sendirinya. Viskositas larutan warna yang baik digunakan untuk mewarnai kain tidak terlalu tinggi (kental), karena larutan warna yang kental akan menghambat penyerapan warna oleh serat yang digunakan (Riawan et al., 2006). Nilai viskositas larutan warna yang digunakan dengan perbandingan konsentrasi gambir dengan secang dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai viskositas (cP) larutan warna pada konsentrasi gambir dengan secang 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 17, 11, 8, 7, dan 2. Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa larutan gambir 100% memiliki viskositas paling tinggi dan larutan secang 100% memiliki viskositas paling rendah. Viskositas larutan warna menurun seiring dengan penurunan jumlah konsentrasi gambir yang digunakan. Viskositas larutan warna dengan perbandingan gambir dan kunyit dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai viskositas (cP) larutan warna pada konsentrasi gambir dengan kunyit 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 17, 11, 7,4, dan 2. Gambir memiliki kandungan lilin dan fixed oil (Thorpe & Whiteley, 1921) yang menyebabkan larutan gambir yang dihasilkan memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dan penurunan nilai viskositas larutan warna perbandingan gambir dan secang seiring penurunan jumlah konsentrasi gambir yang digunakan. c. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna yang Bervariasi Dari tabel Anova (Lampiran 2 dan Lampiran 3) diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir dengan secang dengan nilai alfa 5% memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai pH dan viskositas larutan warna yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut yaitu hasil perhitungan nilai tengah pada uji Duncan, perbandingan konsentrasi gambir dengan secang pada semua level memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai pH dan viskositas larutan warna yang dihasilkan. Hasil pengujian ragam sidik diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit pada alfa 5% memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai pH dan viskositas larutan warna yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan, perbandingan konsentrasi gambir dan kunyit pada semua level perlakuan memberikan perbedaan yang nyata. Menurut Djufri et al. (1978) dalam Riawan et al (2006), pH larutan warna yang baik untuk mewarnai
29
serat selulosa tidak terlalu asam, yaitu dengan nilai pH di atas 4. Dengan demikian semua larutan yang dihasilkan baik digunakan sebagai pewarna pada serat selulosa. d. Nilai L dan C pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang Kemampuan larutan dalam mewarnai kain diukur melalui nilai kecerahan warna (L*) dan ketajaman warna (C) yang dihasilkan. Diagram perbandingan nilai L* dan nilai C yang dihasilkan dari larutan pewarna dengan konsentrasi yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 17. 60 Nilai Hasil Pencelupan
50,105 50
49,27
47,23
45,56
42,18
40 30
35,44 24,45
24,52
27,21
29,86 Nilai L
20
Nilai C
10 0 100 :0
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Perbandingan Gambir : Secang Gambar 17. Diagram Nilai L* dan Nilai C Kain Hasil Pewarnaan pada Konsentrasi Perbandingan Gambir dengan Secang yang Bervariasi Nilai L* yang didapat dari hasil pencelupan kain pada perbandingan konsentrasi gambir dengan secang yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai L* hasil pewarnaan kain pada konsentrasi perbandingan gambir dan secang 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 50.105, 49.27, 47.23, 45.56, dan 42.18. Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa semakin kecil jumlah konsentrasi gambir yang digunakan maka semakin kecil nilai L* atau kecerahan yang dihasilkan. Dengan demikian konsentrasi gambir 100% (konsentrasi secang 0%) memberikan warna yang paling cerah pada kain, sedangkan konsentrasi gambir 0% (konsentrasi secang 100%) memberikan nilai L* paling rendah yang artinya warna pada kain yang dihasilkan paling tua atau gelap. Nilai C yang didapat dari hasil pencelupan kain pada perbandingan konsentrasi gambir dengan secang yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai C hasil pewarnaan kain pada konsentrasi perbandingan gambir dan secang 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 24,45, 24,52, 27,21, 29,86, dan 35,44. Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa nilai C atau ketajaman warna yang dihasilkan dari pewarnaan kain meningkat dengan penurunan jumlah konsentrasi gambir yang digunakan, dimana pada konsentrasi gambir 100% (konsentrasi secang 0%) memiliki nilai C yang paling rendah dan pada konsentrasi secang 100% (konsentrasi gambir 0%) memiliki ketajaman warna yang paling tinggi. Pada Gambar 17 juga dapat dilihat bahwa nilai C meningkat seiring penurunan nilai L* yang dihasilkan pada kain hasil pewarnaan. Semakin tinggi nilai L* atau warna kain semakin cerah maka nilai ketajaman warna pada kain semakin rendah.
30
e. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang Dari tabel Anova (Lampiran 4) diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir dengan secang dengan nilai alfa 5% memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai L* dan nilai C pada kain hasil pewarnaan. Dari hasil perhitungan nilai tengah pada uji Duncan, perbandingan konsentrasi gambir dengan secang pada level gambir 75% dan secang 25% memiliki nilai kecerahan (L*) yang paling baik dalam mewarnai kain dibandingkan semua level perbandingan konsentrasi. Pada level konsentrasi gambir 0% dan secang 100% memiliki nilai ketajaman warna terbaik pengaruhnya dibandingkan semua level perbandingan konsentrasi gambir dan secang. Namun, pada level konsentrasi gambir 100% :secang 0% dan gambir 75% : secang 25% tidak dapat dibedakan pengaruh level perbandingan konsentrasi gambir dan secang terhadap nilai kecerahan (L*) dan ketajaman warna (C) yang dihasilkan pada kain hasil pencelupan. Menurut Luftinor (1997), semakin besar jumlah molekul zat warna dalam larutan maka akan semakin tua warna yang dihasilkan pada kain hasil pewarnaan. Secang memiliki warna yang lebih tua dibandingkan gambir sehingga kecerahan warna (nilai L*) pada kain semakin rendah dengan pertambahan konsentrasi secang yang digunakan dalam larutan pewarna. f. Derajat Hue pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang Derajat Hue didapat dari arctan perbandingan nilai b dan a yang dihasilkan pada kain hasil pewarnaan. Suatu warna tidak selalu diperoleh dari satu warna saja seperti merah, kuning, hijau, atau biru saja tetapi dapat diperoleh dari kombinasi warna. Kombinasi warna dapat merupakan kombinasi dari warna-warna utama seperti merah, hijau, kuning, dan biru yang dipadukan sehingga diperoleh variasi warna-warna baru (Adrosko, 2006). Namun terdapat perbedaan warna antara hasil interpretasi bola Munsell dengan warna yang dilihat mata secara visual. Hal ini dikarenakan interpretasi warna pada Munsell hanya warna-warna utama atau warna dasar saja. Selain itu, pencampuran warna pada pewarna alami tidak menghailkan warna yang sama dengan pencampuran warna pada pewarna sintetik karena warna yang dihasilkan pada pewarna alami tidak identik ato sama cerahnya dengan pewarna sintetik. Derajat Hue yang diperoleh dari kain hasil pewarnaan dengan larutan warna gambir:secang menunjukan interpretasi warna dari merah hingga merah-ungu. Semakin tinggi konsentrasi larutan secang yang digunakan, maka interpretasi warna semakin mengarah ke warna merah-ungu. Nilai derajat Hue dan interpretasi warna dalam bola imajiner Munsell yang didapat pada kain hasil pewarnaan dapat dilihat pada Tabel 8. Penampakan kain mori hasil pewarnaan dapat dilihat pada Gambar 18 dan penampakan bola imajiner Munsell dapat dilihat pada Gambar 19. Tabel 8. Derajat Hue dan Interpretasi Warna dalam bola imajiner Munsell pada Kain Hasil Pewarnaan Konsentrasi Nilai Nilai Hue Interpretasi Gambir : Secang a* b* Warna 100% : 0% 21,63 11,398 27,79 (Kuadran I) Merah 75% : 25% 21,78 11,254 27,33 (Kuadran I) Merah 50% : 50% 24,93 10,903 23,62 (Kuadran I) Merah 25% : 75% 27,91 10,611 20,82 (Kuadran I) Merah-Ungu 0% : 100% 33,99 10,031 16,44 (Kuadran I) Merah-Ungu
31
(a)
(b) (c) (d) (e) Gambar 18. Penampakan Kain Mori Hasil Pewarnaan (a). A1(Gambir 100%), (b). A2 (Gambir 75%:Secang25%), (c). A3( Gambir 50%:Secang 50%), (d). A4 ( Gambir 25%: Secang 75%), (e). A5 (Secang 100%) g. Nilai L dan C pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit Nilai L* yang didapat dari hasil pencelupan kain pada perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai L* hasil pewarnaan kain pada konsentrasi perbandingan gambir dan kunyit 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25% : 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 50,11, 53,66, 55,59, 57,88, dan 58,45. Gambar 19 dapat dilihat bahwa semakin kecil jumlah konsentrasi gambir yang digunakan maka semakin besar nilai L* atau kecerahan yang dihasilkan. Maka konsentrasi gambir 100% (konsentrasi kunyit 0%) memberikan warna yang paling gelap pada kain, sedangkan konsentrasi gambir 0% (konsentrasi kunyit 100%) memberikan nilai L* paling tinggi yang artinya warna pada kain yang dihasilkan paling cerah atau terang. 70 Nilai Hasil Pencelupan
60 50,11
58,45
57,88
55,59
53,66
50 40 30
24,45
25,28
25,66
25,97
26,85
Nilai L Nilai C
20 10 0 100 :0
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Perbandingan Gambir : Kunyit Gambar 19. Diagram Nilai L* dan Nilai C Kain Hasil Pewarnaan pada Konsentrasi Perbandingan Gambir dengan Kunyit yang Bervariasi Nilai C yang didapat dari hasil pencelupan kain pada perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit yang bervariasi dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai C hasil pewarnaan kain pada konsentrasi perbandingan gambir dan kunyit 100% : 0%, 75%: 25%, 50%:50%, 25%
32
: 75%, dan 0% : 100% masing-masing adalah 24,45, 25,58, 25,66, 25,97, dan 26,85. Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa nilai C atau ketajaman warna yang dihasilkan dari pewarnaan kain meningkat dengan penurunan jumlah konsentrasi gambir yang digunakan, dimana pada konsentrasi gambir 100% (konsentrasi kunyit 0%) memiliki nilai C yang paling rendah dan pada konsentrasi kunyit 100% (konsentrasi gambir 0%) memiliki ketajaman warna yang paling tinggi. Pada Gambar 19 juga dapat dilihat bahwa nilai C meningkat seiring peningkatan nilai L* yang dihasilkan pada kain hasil pewarnaan. Semakin tinggi nilai L* atau warna kain semakin cerah maka nilai ketajaman warna pada kain semakin tinggi. h. Pengaruh Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit Dari tabel Anova (Lampiran 5) diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir dengan secang dengan nilai alfa 5% memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai L* pada kain hasil pewarnaan. Dari hasil perhitungan nilai tengah pada uji Duncan, perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit pada level gambir 0% dan kunyit 100% memiliki nilai kecerahan (L*) yang paling baik dalam mewarnai kain dibandingkan semua level perbandingan konsentrasi. Pada level konsentrasi gambir 25% dan kunyit 75% memiliki nilai kecerahan warna yang lebih baik pengaruhnya dibandingkan level perbandingan konsentrasi gambir 50% dan kunyit 50%. Pada level konsentrasi gambir 50% dan kunyit 50% memiliki nilai kecerahan warna yang lebih baik pengaruhnya dibandingkan level perbandingan konsentrasi gambir 75% dan kunyit 25%. Pada level konsentrasi gambir 75% dan kunyit 25% memiliki nilai kecerahan warna yang lebih baik pengaruhnya dibandingkan level perbandingan konsentrasi gambir 100% dan kunyit 0%. Namun, diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit dengan nilai alfa 5% tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap ketajaman warna (nilai C) pada kain hasil pewarnaan. i. Derajat Hue pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit Derajat Hue didapat dari arctan perbandingan nilai b dan a yang dihasilkan pada kain hasil pewarnaan. Hue merupakan satuan yang digunakan Munsell untuk menterjemahkan warna yang diperoleh dari pencampuran warna yang dilakukan. Namun terdapat perbedaan antara interpretasi warna pada bola imajiner Munsell dengan warna yang ditangkap mata secara visual (secara langsung). Hal ini dikarenakan pada bola imajiner Munsell warna diinterpretasikan ke arah warna-warna dasar seperti merah, kuning, biru, dan hijau (Adrosko, 2006). Derajat Hue yang diperoleh dari kain hasil pewarnaan dengan larutan warna gambir:kunyit menunjukan interpretasi warna merah. Nilai derajat Hue meningkat seiring peningkatan konsentrasi larutan kunyit yang digunakan. Nilai derajat Hue dan interpretasi warna dalam bola imajiner Munsell yang didapat pada kain hasil pewarnaan dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil pewarnaan kain mori dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 9. Derajat Hue dan Interpretasi Warna dalam Bola Imajiner Munsell pada Kain Hasil Pewarnaan Konsentrasi Nilai Nilai Interpretasi Hue Gambir : Kunyit a* b* Warna 100% : 0% 21,63 11,398 27,79 (Kuadran I) Merah 75% : 25% 22,25 12,011 28,37 (Kuadran I) Merah 50% : 50% 22,48 12,369 28,82 (Kuadran I) Merah 25% : 75% 22,67 12,661 29,18 (Kuadran I) Merah 0% : 100% 23,59 12,829 28,54 (Kuadran I) Merah
33
(a)
(b) (c) (d) (e) Gambar 20. Penampakan Kain Mori Hasil Pewarnaan (a). A1(Gambir 100%), (b). A2 (Gambir 75%:Kunyit 25%), (c). A3( Gambir 50%:Kunyit 50%), (d). A4 ( Gambir 25%: Kunyit 75%), (e). A5 (Kunyit 100%)
B A
Gambar 21. Letak Warna dalam Bola Imajiner Munsell (A). Letak Nilai Hue Pada Gambir : Secang, (B). Letak Nilai Hue Pada Gambir :Kunyit Pada Gambar 21 dapat dilihat letak derajat Hue pada bola imajiner Munsell. Panah A menunjukkan letak nilai Hue dari atas ke bawah ( ditunjukkan dengan garis orange ), yaitu dari konsenrtrasi gambir 100% sampai secang 100%. Letak Hue semakin ke bawah atau ke arah merahungu seiring peningkatan konsentrasi secang yang digunakan pada larutan warna. Panah B menunjukkan letak nilai Hue dari bawah ke atas (ditunjukkan dengan garis kuning), yaitu dari konsentrasi gambir 100% sampai kunyit 100%. Letak Hue semakin ke atas atau ke arah kuning seiring peningkatan konsentrasi kunyit yang digunakan dalam larutan warna. 2. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian a. Evaluasi Perubahan Warna (Skala Abu-abu) Penilaian skala abu-abu dilakukan dengan membandingkan perbedaan pada contoh yang telah diuji dengan contoh asli terhadap perbedaan yang sesuai dengan urutan standar perubahan warna yang digambarkan oleh grey scale (Djufri et al., 1973). Hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian dari kain hasil pencelupan dengan zat warna
34
Skala Perubahan Warna (Gray Scale)
gambir-secang dan gambir-kunyit menunjukkan nilai 4 - 3 pada skala abu-abu. Data hasil penelitian disajikan pada lampiran. Hasil ini menunjukkan bahwa contoh uji memiliki nilai ketahanan luntur yang baik hingga cukup. Hasil konversi nilai skala abu-abu terhadap nilai kromatisitas menunjukkan bahwa pada contoh uji terjadi perubahan warna setelah mengalami pencucian. Perbedaan warna kain sebelum dan sesudah pencucian berkisar pada nilai 1,5 hingga 3. Nilai ketahanan luntur tertinggi adalah 1,5 dengan perbedaan warna sebesar 1,5 diperoleh dari kain yang dicelup pada larutan dengan konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100%. Nilai ketahanan luntur terendah adalah 3 dengan perbedaan warna sebesar 3 diperoleh dari kain yang dicelup pada larutan dengan perbandingan konsentrasi gambir 50% dan secang 50%. Hasil data anova (Lampiran 6) pada nilai alfa 5% menunjukkan bahwa pada level perbandingan konsentrasi gambir:secang dan gambir:kunyit tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan luntur pencucian. Dengan demikian, level perbandingan konsentrasi yang diberikan memberikan nilai ketahanan luntur pencucian yang sama pada setiap kain yang dihasilkan. Penyerapan molekul zat warna ke dalam serat selulosa yang sebagian besar merupakan proses imbibisi (Luftinor, 1997). Grafik hubungan perbandingan konsentrasi larutan pewarna dengan skala abu-abu dapat dilihat pada Gambar 22 dan Gambar 23. 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
4
4
100 :0
3
3
3
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Konsentrasi Gambir:Secang
Skala Perubahan Warna (Gray Scale)
Gambar 22. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Gambir:Secang dengan Skala Abu-abu 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
4
100 :0
4 3
3
3
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Konsentrasi Gambir:Kunyit Gambar 23. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Gambir:Kunyit dengan Skala Abu-abu
35
Proses imbibisi adalah berpindahnya molekul zat warna dari larutan yang konsentrasi tinggi menuju larutan dengan konsentrasi rendah, yaitu dari larutan pewarna menuju serat (Djufri et al.,1996). Semakin besar konsentrasi zat warna, maka konsentrasi zat warna dalam serat semakin tinggi, sampai terjadi kesetimbangan. Kenaikan konsentrasi hanya menyebabkan zat warna menempel pada permukaan, karena konsentrasi zat warna pada sumbu serat sudah jenuh. Dengan demikian, semakin banyak zat warna yang menempel mengakibatkan nilai tahan luntur warna semakin menurun (Sunarto, 2008). Selain proses imbibisi, pada pencelupan selulosa umumnya terbentuk ikatan hidrogen ataupun ikatan van der Waals. Gaya tarik menarik yang terjadi karena adanya gugus hidroksil pada zat warna yang dapat mengadakan ikatan hydrogen dengan serat. Serat selulosa dalam air bermuatan negatif, demikian juga zat warna alam bermuatan negatif, sehingga tidak mungkin terjadi ikatan ion (Djufri et al., 1996). Molekul-molekul zat warna dan serat mempunyai gugusan hidrokarbon yang sesuai, sehingga waktu pencelupan zat warna mampu lepas dari air dan masuk ke dalam serat selulosa. Gaya tersebut adalah gaya van der Waals yang merupakan gaya dispersi atau ikatan hidrofobik. Zat warna alam yang digunakan masuk ke dalam serat dan kemungkinan menempel pada serat tanpa adanya reaksi, sehingga daya ikatnya lemah. Kelemahan ini dapat diatasi dengan proses fiksasi menggunakan jeruk nipis. Pada penelitian konsentrasi jeruk nipis yang digunakan yaitu 1% meskipun konsentrasi zat warna yang digunakan berbeda-beda. Menurut SNI 105-2010, ketahanan luntur, semakin tinggi nilai ketahanan luntur maka kualitas kain hasil pencelupan semakin baik. Oleh sebab itu, berdasarkan nilai hasil ketahanan luntur, secang 100% memiliki nilai ketahanan luntur terbaik. b. Evaluasi Penodaan (Skala Penodaan) Evaluasi ketahanan luntur terhadap pencucian memerlukan evaluasi terhadap kain pelapis putih yang dicuci bersama dengan kain berwarna. Skala penodaan pada poliester menunjukkan nilai 4,5 sampai 5, sedangkan pada kain kapas berkisar 3,5 hingga 4,5. Hasil konversi skala penodaan terhadap nilai kromatisitas menunjukkan bahwa contoh uji terdapat perbedaan warna kain poliester sebelum dan sesudah pencucian berkisar pada nilai 0 – 4, sedangkan pada kain kapas sebesar 2 – 5,6. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa contoh uji memberikan penodaan cukup baik hingga baik pada kain kapas dan baik hingga baik sekali pada kain poliester. Grafik hubungan level perbandingan konsentrasi larutan pewarna dengan evaluasi penodaan dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.
36
Skala Penodaan
5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
Gambir : Secang Gambir : Kunyit
100 :0
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna Gambar 24. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna dengan Nilai Skala Penodaan Kain 6
Skala Penodaan
5 4 3 Gambir : Secang
2
Gambir : Kunyit
1 0 100 :0
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna
Gambar 25. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna dengan Nilai Skala Penodaan Poliester Dari data Anova (Lampiran 6 dan Lampiran 7) menunjukkan bahwa level perlakuan perbandingan konsentrasi gambir:secang dan gambir:kunyit memberikan pengaruh nyata pada penodaaan kain kapas dan berpengaruh nyata juga pada penodaan poliester. Pada proses pengujian ketahanan luntur terhadap pencucian mengakibatkan zat warna terlepas dari kain kemudian terlarut dalam larutan sabun dan lebih mudah menodai kain kapas. Berdasarkan uji lanjut Duncan pada penodaan kain kapas untuk larutan gambir:secang dan gambir:kunyit memiliki kesamaan hasil yaitu pada level perbandingan konsentrasi 100%:0%, 75%:25%, dan 0%:100% berbeda nyata terhadap semua level perlakuan. Namun pada level perbandingan konsentrasi larutan warna tidak memberikan perbedaan nyata terhadap penodaan kain dan terhadap poliester. Menurut Sunarto (2008), zat warna alami mudah menodai kain yang berasal dari serat alam seperti wol, sutera, dan kapas. Dengan demikian, kain hasil pewarnaan memiliki
37
nilai penodaan lebih rendah dibandingkan poliester sebagai pembanding yang berasal dari serat sintetik. Serat poliester adalah serat sintetik yang terbentuk dari molekul polimer poliester linier dengan susunan paling sedikit 85% berat senyawa dari dihidroksil alkohol dan asam tereftalat yang menyebabkan serat poliester sulit untuk dicelup (Riawan et al., 2006), sehingga lebih sulit ternodai oleh kain hasil pencelupan dengan zat warna alam. 3. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan
Skala Penodaan
Pengujian ketahanan luntur warna terhadap gosokan bertujuan untuk menentukan penodaan tekstil berwarna pada kain lain yang disebabkan oleh gosokan. Ketahanan luntur warna terhadap gosokan dilakukan terhadap gosokan basah dan gosokan kering. Skala penodaan yang dihasilkan dari gosokan kering sangat baik pada kain, yakni tidak ada noda yang ditimbulkan akibat gosokan kering. Gosokan basah menghasilkan nilai penodaan yang lebih rendah dibandingkan gosokan kering dengan nilai 3,5 – 4,5 yang berarti ketahanan luntur gosokan kain bernilai baik hingga cukup baik. Jika dikonversi ke dalam standar kromatisitas Adam, maka nilai perbedaan warna sebesar 2 – 5,6. Hal tersebut disebabkan oleh air yang terserap pada kain penggosok. Menurut Suprijono (1974) dalam Sunarto (2008), air menyebabkan penggembungan pada serat dan membuka pori-pori kain, sehingga molekul zat warna lebih mudah keluar pada saat penggosokan dan mudah menempel ketika digosok secara berulang-ulang. Grafik pengaruh konsentrasi larutan pewarna terhadap ketahanan luntur gosokan basah dapat dilihat pada Gambar 26. 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
Gambir : Secang Gambir : Kunyit
100 :0
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna Gambar 26. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna terhadap Ketahanan Luntur Gosokan Dari gambir di atas dapat diketahui bahwa perbandingan konsentrasi gambir 100%, gambir 75%: secang 25%, kunyit 100% dan secang 100% memiliki nilai ketahanan luntur gosokan terbaik. Dari data anova (Lampiran 8), menunjukkan bahwa level perbandingan konsentrasi gambir:secang tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap gosokan basah, sedangkan pada level perbandingan konsentrasi gambir:kunyit memberikat perbedaan yang nyata terhadap ketahanan luntur gosokan. Hasil uji lanjut Duncan konsentrasi kunyit 100% berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Konsentrasi gambir 100% berbeda nyata dengan konsentrasi kunyit 100%, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Konsentrasi gambir 75% : kunyit 25% berbeda nyata dengan konsentrasi gambir 50%: kunyit 50% tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi gambir 25% : secang 75%.
38
4. Uji Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat Pengujian ketahanan luntur warna terhadap keringat bertujuan untuk menentukan penodaan tekstil berwarna pada kain lain yang disebabkan oleh keringat. Ketahanan luntur warna terhadap keringat menggunakan larutan keringat dengan pH 8,8 (basa) karena larutan warna yang digunakan dalam pewarnaan kain bersifat asam. Ketahanan luntur keringat pada kain uji memberikan nilai 2,5 3,5 pada skala penodaan, sedangkan skala penodaan pada poliester semua perlakukan memberikan nilai 5. Hal tersebut disebabkan sifat kain poliester sulit diwarnai oleh pewarna alami. Zat warna yang memiliki pH relatif asam kurang tahan terhadap larutan tandingan basa dan cenderung akan memberikan perubahan warna pada kain, namun penggunaan zat fiksatif yang memiliki pH yang lebih asam dibandingkan pH zat warna akan memperbaiki sifat ketahanan luntur warna pada kain hasil pewarnaan (Riawan et al., 2006). Dengan demikian meskipun zat warna pigmen yang digunakan relatif asam namun warna kain hasil uji ketahanan luntur terhadap keringat basa tidak mengubah warna secara visual karena adanya penggunaan zat fiksatif yaitu larutan jeruk nipis 1%. Grafik pengaruh perbandingan konsentrasi larutan pewarna dapat dilihat pada Gambar 27. 4
Skala Penodaan
3,5 3 2,5 2 Gambir : Secang
1,5
Gambir : Kunyit
1 0,5 0 100 :0
75 : 25
50 :50
25 : 75
0 : 100
Perbandingan Konsentrasi Larutan Warna Gambar 27. Grafik Hubungan Perbandingan Konsentrasi Larutan Pewarna terhadap Ketahanan Luntur Keringat Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa konsentrasi gambir 100%, gambir 75%: kunyit 25%, dan gambir 25% : kunyit 75% memiliki nilai ketahanan luntur warna terhadap keringat yang paling baik dalam skala penodaan. Data anova (Lampiran 9) menunjukkan bahwa level perbandingan konsentrasi larutan warna gambir:secang memberikan perbedaan nyata terhadap ketahanan luntur keringat kain. Berdasarkan perhitungan nilai tengah pada uji lanjut Duncan seluruh level perbandingan konsentrasi gambir:secang memberikan perbedaan nyata pada setiap level perlakuan konsentrasi. Namun pada level perbandingan konsentrasi gambir:kunyit tidak memberikan perbedaan nyata pada ketahanan luntur terhadap keringat. Dengan demikian perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan luntur warna terhadap keringat. Gambar 28 menunjukkan penampakan kain hasil analisis ketahanan luntur warna terhadap keringat, gosokan, dan pencucian.
39
Kode dan konsentra si Larutan
Penampakan Hasil Pewarnaan
Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian
Penampakan Setelah Analisis Ketahanan Ketahanan Luntur Warna Luntur Warna Terhadap Terhadap Gosokan Keringat
A1 (Gambir 100%)
A2 ( Gambir 75%: Secang 25%)
A3 ( Gambir 50% : Secang 50%)
A4 ( Gambir 25% : Secang 75%)
A5 (Secang 100%)
Gambar 28. Penampakan Kain Hasil Pencelupan dan Setelah Analisis Ketahanan Luntur Warna Pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang yang Bervariasi
40
Kode dan konsentra si Larutan
Penampakan Hasil Pewarnaan
Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian
Penampakan Setelah Analisis Ketahanan Ketahanan Luntur Warna Luntur Warna Terhadap Terhadap Gosokan Keringat
A1 (Gambir 100%)
B2 ( Gambir 75%: Kunyit 25%)
B3 ( Gambir 50% : Kunyit 50%)
B4 ( Gambir 25% : Kunyit 75%)
B5 (Kunyit 100%)
Gambar 29. Penampakan Kain Hasil Pencelupan dan Setelah Analisis Ketahan Luntur Warna Pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit yang Bervariasi 5. Perhitungan Biaya Pencelupan Kain Mori Pada Tabel 10 disajikan perhitungan biaya untuk menghasilkan kain mori hasil pencelupan menggunakan gambir, secang, dan kunyit sebagai pewarna alami. Kebutuhan biaya adalah berdasarkan pertimbangan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pewarnaan kain kapas, yaitu jenis kain yang digunakan adalah kain mori yang terbuat dari serat selulosa, air suling dengan pH netral sebagai pelarut pada proses pembuatan larutan pewarna, gambir, secang, kunyit, jeruk nipis sebagai
41
mordan, tawas dan soda abu sebagai mordan awal pemasakan kain, dan perlakuan panas saat proses pencelupan berlangsung. Tabel 10. Perhitungan Biaya Pencelupan Kain Mori Per m2 Bahan Gambir Secang Kunyit Kain Mori Tawas Jeruk Nipis Soda Abu Aquades
Kebutuhan 100 gram 100 gram 100 gram 30 gram (37 x 50 cm) 8 gram 10 gram 2 gram 4 Liter
Satuan Kg Kg Kg
Harga/Satuan (Rp) 30000 8000 8000
Harga/m2 (Rp) 15000 4000 4000
meter
20000
20000
Kg Kg Kg Liter
8000 6000 10000 1500 Total
320 320 100 30000 73740
Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa untuk menghasilkan kain mori yang dicelup dengan menggunakan pewarna alami dari campuran gambir, secang, dan kunyit, biaya per m2 kain mori sebesar Rp 73.740,00.
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Larutan pewarna alami yang menggunakan campuran gambir, secang dan kunyit dapat digunakan sebagai penghasil pigmen alami yang dapat mewarnai kain mori serta memberikan spektrum warna yang beragam pada kain mori hasil pewarnaan. Nilai kecerahan (L*) warna kain paling tinggi adalah pada konsentrasi kunyit 100% yaitu sebesar 58,45 dan nilai L* terendah pada konsentrasi secang 100% yaitu sebesar 42,28. Nilai ketajaman warna (C) terbesar adalah pada konsentrasi larutan secang 100% yaitu sebesar 35,44 dan nilai C terendah adalah pada konsentrasi larutan gambir 100% yaitu sebesar 24,45. Berdasarkan uji kecerahan dan ketajaman warna, perbandingan konsentrasi larutan warna gambir dengan secang dan gambir dengan kunyit memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai L* dan C yang dihasilkan. Dari hasil uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, diketahui bahwa perbandingan konsentrasi larutan gambir dengan secang dan gambir dengan kunyit tidak berpengaruh signifikan terhadap ketahanan luntur warna pencucian pada skala abu-abu, namun memberikan perbedaan nyata pada skala penodaan. Konsentrasi larutan warna yang memiliki nilai ketahanan luntur warna terbaik adalah konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100%. Pada uji ketahanan luntur warna terhadap gosokan pada skala penodaan, diketahui bahwa perbandingan konsentrasi larutan gambir dengan secang tidak berpengaruh nyata pada ketahanan luntur warna terhadap gosokan. Namun, perbandingan konsentrasi gambir dengan kunyit memberikan perbedaan nyata ketahanan luntur warna terhadap gosokan. Konsentrasi larutan warna yang memiliki nilai ketahanan luntur warna terbaik adalah konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100%. Uji ketahanan luntur warna terhadap keringat dilakukan pada pH 8,8. Dari hasil pengujian ketahanan luntur warna terhadap keringat, diketahui bahwa perbandingan konsentrasi larutan gambir dengan secang dan gambir dengan kunyit tidak berpengaruh terhadap ketahanan luntur keringat. Konsentrasi larutan warna yang memiliki nilai ketahanan luntur warna terbaik adalah konsentrasi gambir 100%, secang 100%, dan kunyit 100%.
B. SARAN Saran yang dapat diberikan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Untuk meningkatkan mutu kain mori hasil pewarnaan, diperlukan penggunaan berbagai sumber bahan pewarna alami yang lebih banyak untuk mendapatkan berbagai variasi warna. (2) Untuk meningkatkan mutu kain mori hasil pewarnaan, diperlukan penggunaan berbagai jenis mordan untuk memperbaiki sifat ketahanan luntur warna.
43
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah, D. R., dan Indriati. 2003. Color Stability of Natural Pigmen from Secang Wood ( Caesalpinia sapppan L). Proceeding of The 8th Asean Food Conference; Hanoi. Amos, L., Zainuddin, B, Triputranto, S. Rusmandana, dan Ngudiwaluyo. 2004. Teknologi Pasca Panen Gambir. BTTP Press, Jakarta. AOAC. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemistry. AOAC. Washington. Badan Standar Nasional. 2008. SNI 0288-2008. Uji Gosokan. Badan Standarisai Nasional. Jakarta. Badan Standar Nasional. 2010. SNI ISO 105-C06-2010. Uji Pencucian. Badan Standarisai Nasional. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 2000. SNI 01-3391-2000. Gambir. Badan Standarisai Nasional. Jakarta. Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of The Economic Products of The Malay Peninsula Vol II. Millbank, London. Cahyadi, Wisnu. 2006. Bahan Pengawet Makanan. Bumi Aksara, Jakarta. Darwis SN, Madjo Indo ABD, Hasiyah S. 1991. Tumbuhan Obat Famili zingiberaceae. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. Dewan Kerajinan Nasional.1999. Strategi Penggunaan Kembali Warna-Warna Alam Di Arena Internasional. Yogyakarta Djufri, R, A. Koesnarno, A. Salihima, A. Lunis. 1996. Teknologi Pengelantangan, Pencelupan dan Pengecapan. Institut Teknologi Testil, Bandung. Downham, A. dan Collins, P.2000. Colouring Our Foods in the Last and Next Millenium. International Journal of Food Science and Technology. 35:5-22. Eaton, B. J., and R. O. Bishop. 1926. Pale Catechu, Extraction and Valuation. Malayan Agricultural Journal. 14 (2) : 37-48. Gove, P. B. dan M. Webster. 1966. Webster’s Third Internasional Dictionary The English Language Unbridge. G and C Merriam Company Publishers. Massachussetts. Gumbira-Sa’id, E., K. Syamsu, E. Mardliyati, A. Herryandie, N. A. Evalia, D. L. Rahayu, A. A. A. R. Puspitarini, A. Ahyarudin, A. Hadiwijoyo. 2009b. Agroindustri & Bisnis Gambir Indonesia. IPB Press, Bogor. Hadad, M. A., N. R. Ahmad, M. Herman, H. Supriadi dan A.M. Hasibuan. 2007. Teknologi Budidaya dan Pengolahan Hasil Gambir. http://balitri.litbang.go.id/database/ TEKNOLOGI%BUDIDAYA%20 DAN%20PENGOLAHAN%HASIL%20GAMBIR.pdf] Hasanudin. 2001. Penelitian Penerapan Zat Warna Alam dan Kombinasinya Pada Produk Batik danTekstil Kerajinan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kerajinan dan Batik, Yogyakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Hutching, J. B. 1999. Food Color and Appearance Second Edition. Aspen Publishers, Inc, Maryland. Lemmens, R. H. J. Dan N. W. Soetjipto. 1992. Tanaman Penghasil Bahan Pewarna dan Tanin. Plant Resources of South East Asia. Prosea, Bogor. Nazir, N. 2000. Gambir, Budidaya, Pengolahan Hasil dan Prospek Diversifikasinya. Yayasan Hutanku, Padang. Nuryeti, J. A. K., Aspiani, S. Amin, F. Indriani dan Tawazudin. 1995. Uji Coba Peralatan Ekstraksi Daun Gambir Sebagai Sumber Tanin Hasil Rancang Bangun Balai Industri Banda Aceh. BBIHP, Banda Aceh. Oliveira, L. F. C., H. G. M. Edwars, E. S. Velozo, M. Nesbitt. 2002. Vibrational Spectroscopic Study of Brazilin and Brazilein, The Main Constitunet of Brazilinwood from brazil. Journal of Vibrational Spectroscopy 28 : 243-249.
44
Pawar, C. R., A. D. Landge, and S. J. Surana. 2008. Phytochemical and Pharmacological Aspect of Caesalpinia sappan. Research Article. Purseglove, J. W., Brown E. G., Green C. L, and Robins S. R. J. 1981. Species Vol 2. Longman, London. Riawan , Indra., E. Hartoyo., S. Rukmini. 2006. Panduan Tekstil dan Evaluasi Tekstil. Museum Tekstil DKI Jakarta. Rukmana, R. 1994. Kunyit. Kaisiusmedia, Yogyakarta. Sinaga, E. 2006. Botani Kunyit. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tumbuhan Obat Universitas Nasional, Jakarta. Sudibyo, A., S. Sait dan E. H. Loebis. 1988. Pengaruh Cara dan Lama Penyairan Terhadap Mutu Gambir (Uncaria gambir Roxb.) yang Dihasilkan. Journal of Agro-Based Industry Vol.5, No.1. BBIHP, Bogor. Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sugiarto & Shigeru W. 2003. Teknologi Tekstil. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Susanto, S. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Penelitian Batik dan Kerajinan : Departemen Perindustrian. Taryono. 1988. Budidaya dan Pengolahan Tanaman Kunyit (Curcuma domes-tica Val). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Thorpe, J. F. dan Whiteley, M. A. 1921. Thorpe’s Dictionary of Applied Chemistry. Fourth Edition, Vol. II. Longmans, Green and Co. London. Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika, Edisi Ke-3. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. dan Wirahartakusumah, M.A. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya, Jakarta. Ye Min, W. D. Xie, F. Lei, Z. Meng, Y. Zhao, H. Su, and L.Du. 2006. Brazilin and Important Immunosuppresive component from Caesalpinia sappan L. Internasional Journal of Immunapharmacology 6: 426-432. Zulnely, E., S. Sumadiwangsa, Erik D, dan Umi K. 1994. Komponen Aktif Dua Puluh Jenis Tumbuhan Obat di Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 22. 1 :43-50.
45
LAMPIRAN
46
Lampiran 1. Nilai Tahan Luntur Warna 1. Penilaian Perubahan Warna Pada Skala Abu-abu (Grey Scale) Nilai Tahan Luntur Warna Perbedaan Warna (dalam satuan CD) 5 0 4 1,5 3 3,0 2 6,0 1 12 2. Penilaian Penodaan Warna Pada Skala Penodaan (Staining Scale) Nilai Tahan Luntur Warna Perbedaan Warna (dalam satuan CD) 5 0,0 4-5 2,0 4 4,0 3-4 5,6 3 8,0 2-3 11,3 2 16,0 1-2 22,6 1 32
Evaluasi Tahan Luntur Warna Baik Sekali Baik Cukup Kurang Jelek
Evaluasi Tahan Luntur Warna Baik Sekali Baik Baik Cukup Baik Cukup Kurang Kurang Jelek Jelek
Keterangan : C D : Color Difference berdasarkan standar kromatisitas Adam
47
Lampiran 2. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap pH Larutan Warna a. Data Hasil Pengukuran Nilai pH Larutan Warna pada Perbandingan Konsentrasi Gambir:Secang Perbandingan Konsentrasi Gambir dan Secang
Nilai pH Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75
4,37 4,41 4,48 4,86
4,4 4,52 4,59 5,09
4,39 4,47 4,54 4,98
0 : 100
5,7
5,77
5,74
b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai pH dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 2,51544 0,04145
df
MS 4 5
0,62886 0,00829
F 75,85766
P-value 0,000116
F crit
5%
5,192168
BN
Total 2,55689 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata c. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai pH dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100% Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata
Peringkat A B C D E
d. Data Hasil Pengukuran Nilai pH Larutan Warna pada Perbandingan Konsentrasi Gambir:Kunyit Perbandingan Konsentrasi Gambir dan Kunyit 100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Nilai pH Ulangan 1 4,37 4,4 4,45 4,73 5,51
Ulangan 2 4,4 4,49 4,58 5,05 5,22
Rata-rata 4,39 4,45 4,52 4,89 5,37
48
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai pH dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 1,3496 0,1062
df 4 5
MS 0,3374 0,02124
F 15,88512
P-value 0,004769
F crit 5,192168
5% BN
Total 1,4558 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata f. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai pH dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100% Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata
Peringkat A B C D E
49
Lampiran 3. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Nilai Viskositas Larutan Warna a. Data Hasil Pengukuran Viskositas Larutan Warna pada Perbandingan Gambir dan Secang Perbandingan Konsentrasi Gambir dan Secang
Viskositas (cP) Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
100 :0 75 : 25
17 8
18 9
17,50 8,50
50 :50 25 : 75 0 : 100
11 7 2
10 6 3
10,50 6,50 2,50
b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai Viskositas dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 246,4 2,5
df
MS 4 5
61,6 0,5
F
P-value
123,2
3,51E-05
F crit
5%
5,192168
BN
Total 248,9 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata c. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai pH dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100% Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata
Peringkat A B C D E
d. Data Hasil Pengukuran Viskositas Larutan Warna pada Perbandingan Gambir dan Kunyit Perbandingan Konsentrasi Gambir dan Kunyit
Viskositas (cP) Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
100 :0 75 : 25
17 11
18 12
17,50 11,50
50 :50 25 : 75 0 : 100
7 3 2
8 4 3
7,50 3,50 2,50
50
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai Viskositas dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 304 2,5
df
MS 4 5
76 0,5
F 152
P-value 2,09E-05
F crit 5,192168
5% BN
Total 306,5 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata f. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai Viskositas dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100% Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata
Peringkat A B C D E
51
Lampiran 4. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kain Hasil Pencelupan a. Data Hasil Pengukuran Nilai L pada Kain Hasil Pewarnaan pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang.
Perbandingan Konsentrasi Gambir (%) dan Secang (%)
Nilai L Ulangan 1
100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Ulangan 2
50,3 50,57 48,75 46,43 42,6
Rata-rata
50,96 49,74 48,89 46,57 42,71
50,63 50,16 48,82 46,50 42,66
b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai L pada Kain dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS
df
85,48966 0,5879
MS 4 5
21,372415 0,11758
F
P-value
F crit
5%
181,76914
1,34E-05
5,192168
BN
Total 86,07756 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata c. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai L pada Kain dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100% Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata
Peringkat A A B C D
d. Data Hasil Pengukuran Nilai C pada Kain Hasil Pewarnaan pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Secang Perbandingan Konsentrasi Gambir (%) dan Secang (%)
Ulangan 1
Nilai a Ulangan 2
Ratarata
Ulangan 1
Nilai b Ulangan 2
Ratarata
Ulangan 1
Nilai C Ulangan 2
Ratarata
100 :0
22,21
21,045
21,63
11,337
11,4585
11,40
24,94
23,96
24,45
75 : 25
21,44
22,12
21,78
11,282
11,226
11,25
24,23
24,81
24,52
50 :50
24,105
25,745
24,93
11,069
10,736
10,90
26,52
27,89
27,21
25 : 75
28,56
27,265
27,91
10,5
10,722
10,61
30,43
29,30
29,86
0 : 100
34,085
33,895
33,99
9,9615
10,1
10,03
35,51
35,37
35,44
52
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai C pada Kain dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 167,4941339 2,228840886
df 4 5
MS
F
P-value
41,873533 0,4457682
93,935672
6,85E-05
F crit 5,192168
5% BN
169,7229748 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata d. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Nilai C pada Kain dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Kunyit 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100%
Peringkat A A B C D
53
Lampiran 5. Hasil Analisis Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kain Hasil Pencelupan a. Data Hasil Pengukuran Nilai L pada Kain Hasil Pewarnaan pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit. Perbandingan Konsentrasi Gambir (%) dan Kunyit (%) 100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Ulangan 1
Nilai L Ulangan 2
49,755 53,875 55,79 57,16 58,12
50,455 53,45 55,395 57,705 58,775
Rata-rata 50,11 53,66 55,59 57,43 58,45
b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai L pada Kain dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 87,78356 0,77635
df 4 5
MS
F
P-value
F crit
5%
21,94589 0,15527
141,3402
2,5E-05
5,192168
BN
Total 88,55991 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
c. Hasil Uji lanjut Duncan Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai L pada Kain dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Kunyit Peringkat 100% : 0% A 75% : 25% B 50% : 50% C 25% : 75% D 0% : 100% E Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata
54
d. Data Hasil Pengukuran Nilai C pada Kain Hasil Pewarnaan pada Perbandingan Konsentrasi Gambir dengan Kunyit Nilai a Perbandingan Konsentrasi Gambir (%) dan kunyit (%) 100 :0 75 : 25 50 :50 25 : 75 0 : 100
Nilai b
Ulangan 1
Ulangan 2
Ratarata
22,21 22,405 22,695 22,8 25,445
21,045 22,1 22,255 22,545 21,73
21,63 22,25 22,48 22,67 23,59
Ulangan 1 11,337 12,0475 12,3775 12,614 12,765
Nilai C
Ulangan 2
Ratarata
Ulangan 1
Ulangan 2
11,4585 11,974 12,3595 12,7075 12,893
11,40 12,01 12,37 12,66 12,83
24,94 25,44 25,85 26,06 28,47
23,96 25,14 25,46 25,88 25,27
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Nilai C pada Kain dengan Nilai α = 5% Source of Variation
SS
df
MS
F
P-value
F crit 5%
Between Groups
6,312861
4
1,578215
1,37599
0,361118
5,192168 TBN
Within Groups
5,734833
5
Total
12,04769
9
1,146967
Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
55
Ratarata 24,45 25,29 25,65 25,97 26,87
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian Larutan Warna Gambir : Secang a. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada larutan warna gambir : secang Perbandingan Gambir : Secang 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100%
Perubahan Warna (GS) 1 1,5 3 3 3 1,5
2 3 3 3 3 1,5
Penodaan Kain Kapas (SS)
rata-rata
1
1,5 3 3 3 1,5
2
2 4 5,6 5,6 2
Penodaan Poliester (SS)
rata-rata
4 5,6 5,6 5,6 2
1
4 5,6 5,6 5,6 2
0 2 4 4 0
2
rata-rata
2 2 4 4 0
0 2 4 4 0
b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian pada Kain Skala Abu-abu dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS
df 1,6 0,5
MS 4 5
F
0,4 0,1
4
P-value
F crit
5%
0,08035
5,192168
TBN
Total 2,1 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
c. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 1,65 0,25
df
MS 4 5
0,4125 0,05
F 8,25
P-value
F crit
5%
0,019915
5,192168
BN
Total 1,9 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
56
d. Hasil Uji lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat 100% : 0% A 75% : 25% B 50% : 50% C 25% : 75% C 0% : 100% AB Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian pada Kain Poliester dengan Nilai α = 5% ANOVA Source of Variation
SS
Between Groups Within Groups
0,4 0,125
Total 0,525 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
df
MS 4 5
0,1 0,025
F 4
P-value
F crit
5%
0,08035
5,192168
TBN
9
57
Lampiran 7. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Pencucian Larutan Warna Gambir : Kunyit a. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap pencucian pada larutan warna gambir : kunyit Perbandingan Gambir : Kunyit
perubahan warna (GS) 1 2 rata-rata
penodaan kain kapas (SS)
penodaan poliester (SS)
1
2
rata-rata
1
2
rata-rata
100% : 0% 75% : 25% 50% : 50%
4 3 3
3 3 3
4 3 3
4,5 4 3,5
4 3,5 3,5
4,5 4 3,5
5 4,5 4
4,5 4,5 4
5 4,5 4
25% : 75%
3
3
3
3,5
3,5
3,5
4
4
4
0% : 100%
4
4
4
4,5
4,5
4,5
5
5
5
b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian pada Kain Skala Abu-abu dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS
Df 1,6 0,5
MS 4 5
F
0,4 0,1
4
P-value
F crit
5%
0,08035
5,192168
TBN
Total 2,1 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
c. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 1,65 0,25
Df
MS 4 5
0,4125 0,05
F 8,25
P-value
F crit
5%
0,019915
5,192168
BN
Total 1,9 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata d. Hasil Uji lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Gambir dan KunyitTerhadap Ketahanan Luntur Pencucian pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Kunyit Peringkat 100% : 0% A 75% : 25% B 50% : 50% C 25% : 75% C 0% : 100% D Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata
58
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur Pencucian pada Kain Poliester dengan Nilai α = 5% ANOVA Source of Variation
SS
Between Groups Within Groups
0,4 0,125
Total 0,525 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
df
MS 4 5
0,1 0,025
F 4
P-value
F crit
5%
0,08035
5,192168
TBN
9
59
Lampiran 8. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Gosokan a. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap gosokan pada larutan warna gambir : secang Penodaan kain kapas (SS)
Perbandingan Gambir : Secang 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100%
1
2
4 4,5 4 3,5 4,5
4,5 3,5 4 3,5 4,5
rata-rata 4,5 4,5 4 3,5 4,5
b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur gosokan pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS
df
1,1 0,625
MS 4 5
F
0,275 0,125
2,2
P-value
F crit
5%
0,204989
5,192168
TBN
Total 1,725 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
c. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap gosokan pada larutan warna gambir : kunyit Perbandingan Gambir : Kunyit
penodaan kain kapas (SS) 1
2
rata-rata
100% : 0% 75% : 25%
4 3,5
4,5 3,5
4,5 3,5
50% : 50% 25% : 75%
4 3,5
4 3,5
4 3,5
0% : 100%
4
4,5
4,5
d. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur gosokan pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 0,9 0,125
df
MS 4 5
0,225 0,025
F 9
P-value
F crit
5%
0,016594
5,192168
BN
Total 1,025 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
60
e. Hasil Uji lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Gambir dan Kunyit Terhadap Ketahanan Luntur Gosokan dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Kunyit Peringkat 100% : 0% A 75% : 25% A 50% : 50% B 25% : 75% B 0% : 100% C Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata
61
Lampiran 9. Rekapitulasi Data Ketahanan Luntur Warna Terhadap Keringat a. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap keringat pada larutan warna gambir : secang Perbandingan Gambir : Secang
Penodaan Kain Kapas (SS)
100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100%
1
2
3,5 3 2,5 2,5 2
3,5 3 2,5 2,5 2
rata-rata 3,5 3 2,5 2,5 2
b. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur keringat pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS
df
2,581 0,00125
MS 4 5
0,64525 0,00025
F
P-value
2581
1,8E-08
F crit
5%
5,192168
BN
Total 2,58225 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
c. Hasil Uji lanjut Duncan Pengaruh Perbandingan Gambir dan Secang Terhadap Ketahanan Luntur Keringat dengan Nilai α = 5% Perlakuan Konsentrasi Gambir : Secang Peringkat 100% : 0% A 75% : 25% B 50% : 50% C 25% : 75% AB 0% : 100% CB Keterangan : Huruf yang sama tidak beda nyata d. Tabel rekapitulasi ketahanan luntur warna terhadap keringat pada larutan warna gambir : kunyit Perbandingan Gambir : Kunyit 100% : 0% 75% : 25% 50% : 50% 25% : 75% 0% : 100%
penodaan kain kapas (SS) 1
2
3,5 3,5 3 2,5 2,5
3,5 3 3 3,5 2,5
rata-rata 3,5 3,5 3 3,5 2,5
62
e. Sidik Ragam Pengaruh Perbandingan Gambir dan kunyit Terhadap Ketahanan Luntur keringat pada Kain Skala Penodaan dengan Nilai α = 5% Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 1,1 0,625
df
MS 4 5
0,275 0,125
F 2,2
P-value
F crit
5%
0,204989
5,192168
TBN
Total 1,725 9 Keterangan : BN = Beda Nyata TBN = Tidak Beda Nyata
63
No. 1 2 3 4 5
Analisis Kadar Air Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Abu Kadar Protein
Kandungan ( % bb) 9,41 10,12 9,18 1,20 70,09
64