STUDI KUALITATIF DETEKSI DINI KASUS GAKI OLEH BIDAN DESA DI KABUPATEN WONOSOBO Cati Martiyana dan Mohamad Samsudin1 ABSTRACT Background: Pregnant women with iodine deficienct have risk of miscarriages, stillbirth to congenital in newborn in the form of neurodevelopmental disorders, mental and physic. One effort that can be done to detect cases of Iodine Deficiency Disorders (IDD) at early stage is to conduct newborn screening for hypothyroidism. In Indonesia, this screening program has not become a national mandatory program. Hypothyroidism screening as one of ways of the IDD control efforts in areas where iodine deficiency happens is an important issue to be studied. This study aims to explore the problems and obstacles encountered in the implementation of early detections on infant hypothyroidism who done by village midwives in the societies after training for hypothyroidism screening conducted. Methods: Focus Group Discussion (FGD) was conducted in Wonosobo Regency health office and attended eight midwives from local government health center of Kepil, Kertek II, Kejajar, and Kalikajar who had received training in screening for hypothyroidism. The results of FGD were analyzed according to the principles of qualitative processing data in the form of descriptive-narrative. Results: Most of FGD participant’s still have problems in ensuring the symptoms or clinical signs of hypothyroidism because it has not been a thorough knowledge of IDD and hypothyroidism screening . The main problem is related to techniques on take of bloodspot sample and handling of blood samples . There are respon of some parents who refused when their infants will taken on blood sample because communities do not understand the importance of screening hypothyroidism. Participants recommended the implementation of the screening were held in a cumulativeperiodic i.e the birth of infants within a certain period is collected in one place and time. Need more in-depth understanding of hypothyroidism by village midwives. IDD education needs to be done to raise awareness of the public health officials and communities about IDD through socio-cultural approach in local communities. Key words: hypothyroidism, iodine deficiency disorder, screening, midwives, infants. ABSTRAK Latar Belakang: Wanita hamil yang kekurangan iodium berisiko mengalami abortus, lahir mati sampai cacat bawaan pada bayi lahir berupa gangguan perkembangan syaraf, mental dan fisik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kasus GAKI secara dini adalah melakukan skrining hipotiroidisme bayi baru lahir. Di Indonesia, program skrining hipotiroidisme belum menjadi program wajib nasional. Skrining hipotiroidisme sebagai salah satu upaya penanggulangan GAKI di daerah defisiensi iodium merupakan permasalahan yang penting untuk dikaji. Penelitian ini bertujuan menggali permasalahan dan hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan deteksi dini bayi hipotiroidisme yang dilakukan bidan desa di masyarakat sesudah dilakukan pelatihan skrining hipotiroidisme. Metode: Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Wonosobo dan diikuti delapan bidan desa dari Puskesmas Kepil, Kertek II, Kejajar dan Kalikajar yang telah mengikuti 1 Balai Litbang GAKI Magelang email :
[email protected]
pelatihan skrining hipotiroidisme. Hasil FGD dianalisis sesuai prinsipprinsip pengolahan data kualitatif dalam bentuk narasi deskriptif. Hasil: Sebagian besar partisipan masih menemui kesulitan dalam memastikan gejala atau tanda klinis hipotiroidisme karena pengetahuan yang belum menyeluruh mengenai GAKI dan skrining hipotiroidisme. Hambatan utama berkaitan dengan teknis pengambilan sampel darah bayi dan penanganan sampel darah. Terdapat respon sebagian orang tua yang menolak ketika bayi hendak diambil sampel darah karena masyarakat belum memahami pentingnya skrining hipotiroidisme. Partisipan merekomendasikan pelaksanaan skrining diselenggarakan secara kumulatif-berkala yaitu kelahiran bayi dalam periode tertentu yang dikumpulkan dalam satu tempat dan waktu. Perlu pemahaman lebih mendalam pada bidan desa mengenai hipotiroidisme. Perlu dilakukan edukasi mengenai GAKI untuk menumbuhkan kesadaran petugas kesehatan dan masyarakat terhadap GAKI melalui pendekatan sosial budaya pada masyarakat setempat. Kata kunci: hipotiroidisme, GAKI, skrining, bidan desa, bayi. PENDAHULUAN Kekurangan iodium merupakan masalah bagi masyarakat yang tinggal di lingkungan fisik defisit kandungan iodium. Di daerah endemik, selain berdampak pada pembesaran kelenjar gondok, kekurangan iodium jika terjadi pada wanita hamil mempunyai risiko terjadinya abortus, lahir mati sampai cacat bawaan pada bayi lahir berupa gangguan perkembangan syaraf, mental dan fisik. Kadar iodium dalam urin merupakan petanda yang baik untuk mengetahui intake iodium terkini, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu pilihan untuk mengevaluasi derajat defisiensi iodium dan hasil koreksinya, namun yang baru dilakukan saat ini adalah untuk pemetaan, sedangkan untuk pemantauan dan menilai keberhasilan program masih belum dilakukan.1 Tiga faktor utama yang dibutuhkan untuk penentuan derajat kekurangan iodium di daerah defisiensi iodium adalah: 1). Menentukan nilai ekskresi iodium dalam urin; 2). menentukan besarnya kelenjar
tiroid dan memperkirakan prevalensi gondok; 3). menentukan kadar TSH serum, hormon tiroid dan tiroglobulin. Rekomendasi ini dianjurkan oleh WHO, UNICEF dan ICCIDD.1 Pemeriksaan TSH untuk bayi baru lahir penting untuk dilakukan dalam mendeteksi dan mengoreksi kekurangan iodium secara dini. Penderita yang diobati dengan hormon tiroid sebelum berumur tiga bulan, dapat mencapai pertumbuhan dan IQ mendekati normal. Diagnosis dini sangat penting, namun sulit ditegakkan secara klinis karena seringkali pada waktu lahir bayi tampak normal, gejalanya dapat terlihat sangat samar dan tidak spesifik. Gejala khas hipotiroid biasanya tampak jelas pada saat bayi berumur beberapa bulan, tetapi pada saat ini diagnosis sudah terlambat2. Di beberapa negara maju seperti Amerika, Jepang, Australia, dan Eropa, sejak tahun 1970, program skrining neonatal untuk hipotiroidisme telah
dilaksanakan sehingga dapat mengurangi terjadinya mental retardasi pada anak. Intelegensi anak dapat normal jika pengobatan dimulai sejak dini sebelum anak berusia tiga bulan. Deteksi dini atau skrining neonatal tersebut belum umum dilakukan di Indonesia.3 Di daerah defisiensi iodium, meskipun hipotiroid kongenital endemis mudah dikenali karena adanya goiter, tes uji saring bisa memberikan informasi tingkat keparahan kegagalan fungsi tiroid, selain itu juga dapat dijadikan salah satu indikator keberhasilan program penanggulangan GAKI.2 Skrining hipotiroid merupakan tindakan yang penting untuk dilakukan guna mendeteksi lahirnya bayi dengan kasus GAKI. Kabupaten Wonosobo menjadi salah satu lokasi penelitian dengan pertimbangan kabupaten ini merupakan daerah endemik GAKI berdasarkan hasil survey GAKI 2004 oleh Dinkes Provinsi Jawa Tengah.4 Dalam penelitian ini, diselenggarakan pelatihan skrining hipotiroidisme terhadap bidan desa dilanjutkan dengan penyelenggaraan Focus Group Discussion (FGD) terhadap peserta pelatihan dengan tujuan untuk menggali permasalahan dan hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan deteksi dini bayi hipotiroidisme yang dilakukan bidan desa di masyarakat sesudah dilakukan pelatihan skrining hipotiroidisme. Kegiatan FGD ini dilakukan dalam rangka mencari model penanggulangan GAKI yang tepat di daerah defisiensi iodium.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dengan Focus Group Discussion (FGD). Pelaksanaan FGD ini diselenggarakan sesudah dilakukan pelatihan skrining hipotiroidisme terhadap bidan desa dari Puskesmas Kepil, Kertek II, Kejajar dan Kalikajar di Kabupaten Wonosobo. FGD ini dilakukan untuk menggali hambatan yang dihadapi oleh bidan desa dalam pelaksanaan skrining hipotiroidisme di masyarakat sesudah dilakukan pelatihan skrining tersebut. Metode ini dipilih untuk memperoleh sumber informasi naratif didukung interaksi dinamis antar partisipan. FGD dilaksanakan kurang lebih satu setengah jam dipimpin oleh seorang moderator dan seorang notulis. Moderator tidak berusaha mengarahkan jawaban, tetapi berupaya memberikan stimulus kepada partisipan untuk mengutarakan pendapat mereka. Partisipan mendapatkan informasi bahwa FGD dilakukan dalam rangka kegiatan penelitian dan akan dipublikasikan untuk kepentingan pengembangan model penanggulangan GAKI di daerah defisiensi iodium tanpa pencantuman nama dan identitas partisipan. Pelaksanaan FGD direkam secara elektronik dengan “voice recorder”. Seluruh proses FGD dituangkan dalam notulen terperinci dan hasil rekaman FGD selanjutnya ditranskrip dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan Bidan Desa tentang GAKI Sebagian besar partisipan FGD telah memiliki cukup pengetahuan tentang GAKI, namun masih perlu ditingkatkan. Mereka menyadari bahwa selama ini belum memiliki pemahaman secara menyeluruh terhadap gejala atau tanda klinis hipotiroidisme. Mereka masih menemui kesulitan untuk menjaring fakta munculnya kasus-kasus hipotiroidisme di wilayah kerja masingmasing berdasarkan pengetahuan teoritis yang mereka miliki. Gejala klinis GAKI berdasarkan pada indek NHI (neonatal hypotiroid index) adalah sulit menelan, konstipasi, lemas atau tidak aktif, hipotonia, hernia umbilikalis, lidah membesar, kulit bintik-bintik, kulit kering dan kasar, UUK terbuka dan tipe wajah khas.5 Partisipan FGD mengatakan bahwa mereka menjadi jauh lebih familiar terhadap kasus GAKI dan hipotiroidisme setelah mengikuti pelatihan skrining hipotiroidisme, antara lain berupa observasi tanda-tanda klinis, pengambilan sampel darah ibu (darah serum), darah bayi (bloodspot) dan sampel urin ibu. Skrining tandatanda klinis hipotiroidisme dirasakan masih belum optimal karena faktor masih terbatasnya pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh bidan desa mengenai gejala atau tanda klinis
hipotiroidisme dan faktor tidak terbiasa melakukan skrining hipotiroidisme. Hal ini seperti diungkapkan oleh partisipan FGD sebagai berikut: “....belum begitu e..paham untuk peneltian GAKI dan lain-lain, gejalanya seperti apa, tanda-tandanya seperti apa itu memang hanya sekilas, sekilas pengetahuan kami tentang kekurangan GAKI kemudian setelah kemarin membaca-baca itu, dapet pelatihan itu, nah o.. mungkin karena kekurangan, kalau kemarin-kemarin belum mengnglegewolah gitu istilahnya” [Bidan “A”, Kalikajar] Tanda klinis kasus hipotiroidisme yang dominan diuraikan oleh partisipan FGD adalah hernia umbilikalis dan lidah yang menjulur keluar. Tanda tersebut seolah telah menjadi determinan utama hipotiroidisme bagi mereka. Salah satu tanda hipotiroidisme yang diungkapkan oleh partisipan adalah hernia umbilikalis, akan tetapi hampir semua partisipan merasa masih kesulitan untuk membedakan antara bodong GAKI dan bukan GAKI pada bayi neonatus. Salah satu alasannya karena tanda yang dimaksud masih tertutup tali pusat dalam jangka waktu tertentu setelah kelahiran bayi tersebut. Berdasarkan pengalaman, terdapat partisipan yang menyebutkan bahwa pengamatan terhadap penentuan umbilikalis dapat dilakukan dengan baik dan pasti pada bayi usia enam bulan atau lebih. Diagnosa hipotiroidisme
pada masa ini sudah terlambat karena GAKI tidak terdeteksi lebih dini untuk meminimalisir dampak buruk yang muncul. “....Cuman untuk yang neonatal, memang terus terang saya sendiri kesulitan, karena itu butuh waktu, harus ada pemantauan, misal seperti jaman dulu kan bodong itu kan tidak hanya pengaruh karena itu saja, kadangkadang sampe besar dia hilang....” [Bidan “C”, Kertek]. ”....Standarnya 0,5 ya. Na itu yang susah apalagi begitu lahir kita belum tahu masih ada tali pusatnya, kita susah itu” [Bidan “B”, Kepil] Kasus GAKI yang banyak dijumpai oleh partisipan FGD di lapangan adalah kejadian struma pada orang dewasa. Masalah yang dihadapi oleh bidan desa adalah mereka yang mengalami struma justru merasa tidak bermasalah dengan hal tersebut. Bidan desa setempat menyatakan telah memberikan pengarahan agar struma yang dimiliki tidak bertambah besar, tetapi penderita struma cenderung merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi tersebut. ”Memang terus terang, itu hubungannya dengan SDM-nya masyarakat, itu kadang-kadang kita berusaha untuk apa supaya tidak tambah besar dan lain sebagainya tapi masyarakat kadang-kadang kalau masyarakat, walaupun ada strumanya
merasa nyaman ya nggak masalah” [Bidan “C”, Kertek] Kasus struma tidak selalu berbahaya bagi orang yang bersangkutan karena harus dipastikan terlebih dahulu dengan hasil pemeriksaan nilai Thyroid Stimulating Hormone (TSH). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan dalam konsep mempersepsikan kondisi sakit antara bidan desa setempat dan anggota masyarakat penderita struma. Menurut Hadisaputra, inovator kesehatan yang berorientasi kepada sistem medis modern, melihat penyakit sebagai disease, yaitu terjadinya kelainan atau tidak berfungsinya salah satu organ tubuh manusia, sedangkan masyarakat tradisional melihat penyakit sebagai ilness, yaitu suatu kondisi dimana individu tidak mampu untuk melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya secara wajar dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya, mereka tidak merasa berada dalam kondisi sakit. Orang yang menderita gondok yang belum sampai ke tingkat yang mengakibatkan mereka tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya belum dirasakan sebagai sakit.5 Kondisi masyarakat ekonomi lemah turut andil mempengaruhi penderita struma enggan memperbaharui status kesehatan mereka melalui pemeriksaan TSH. Hal ini merupakan masalah yang tidak bisa diabaikan kaitannya dalam pemberdayaan masyarakat untuk berperilaku sehat khususnya dalam penanggulangan
GAKI. Napitupulu mengatakan bahwa paradigma kenormalan tidak berlaku pada mereka yang melarat dan miskin secara ekonomi. Analog dengan upayamembangun partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan dengan berbagai bentuk perilaku yang diharapkan dilakukan secara mandiri, akan lebih sulit untuk dilakukan pada masyarakat yang status ekonominya rendah. Masyarakat dengan status semacam ini memandang kesehatan sebagai kebutuhan yang bisa ditunda pemenuhannya daripada kebutuhan lainnya yang lebih fundamental, seperti makan.6 Penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dalam konteks ini menjadi penting keberadaannya. Hambatan sesudah pelatihan skrining dan prospek implementasi ke depan Program penanggulangan GAKI yang telah berjalan di Kabupaten Wonosobo diantaranya adalah pemberian kapsul iodium pada wanita usia subur (WUS) dan anak sekolah. Pemberian kapsul iodium sangat familiar bagi partisipan FGD. Program skrining klinis hipotiroidisme pernah dilakukan pada agenda Kunjungan Neonatus Pertama (KN1) dan Kunjungan Neonatus Kedua (KN2) tetapi pada akhirnya menjadi program macet dan saat ini sudah tidak berjalan lagi. Hal ini terjadi karena faktor pengetahuan yang masih terbatas mengenai hipotiroidisme dan skrining
hipotiroidisme serta koordinasi pihak terkait yang kurang berjalan dengan baik. Hambatan yang dihadapi partisipan FGD dalam pelaksanaan skrining hipotiroidisme adalah masih kesulitan dalam teknis pengambilan sampel darah bloodspot. Bidan merasa masih kesulitan dalam proses pengambilan sampel darah karena mereka tidak atau belum terbiasa melakukan tindakan tersebut. Bidan yang tidak tega mengambil sampel darah neonatus untuk pemeriksaan TSH terjadi pada beberapa bidan dalam praktik skrining hipotiroidisme. ”...Masing-masing bidan ada... yang ambil njenengan saja, bidane sendiri ada yang merasa kasihan nyubles, mungkin biasa nyuntik ya tapi untuk pengambilan darah itu, terutama neonatal..itu bidane masih nggak tegel” [Bidan “C”,Kertek ] Alasan tidak tega secara tidak langsung telah menjadi nilai minus ketrampilan bidan desa dalam pengambilan darah bayi secara maksimal. Hal demikian seharusnya telah menjadi sebuah kemahiran bagi para bidan desa yang telah menjalankan profesinya dan bersinggungan dengan masalah kesehatan masyarakat setiap waktu, terutama dengan ibu dan bayi. Mereka seringkali mengambil tindakan medis atau kebidanan serupa seperti
menyuntik ibu atau bayi ketika imunisasi. Mereka juga mengalami mis-persepsi dalam penanganan sampel bloodspot, yaitu jangka waktu untuk menunggu serum di tempat diduga mutlak berkisar 3-4 jam saja, padahal serum tersebut bisa ditinggal sampai 24 jam di tempat responden terlebih dahulu. Hambatan lain yang dirasakan adalah masih tidak lengkapnya fasilitas di laboratorium puskesmas untuk pemeriksaan TSH. Banyak negara yang terkena defisiensi iodium dengan pendapatan perkapita rendah, sehingga tidak memiliki dana atau sumber daya untuk fasilitas laboratorium yang dibutuhkan untuk memantau kualitas garam dan status iodium.1 Praktik pengambilan darah neonatus yang seharusnya dilakukan oleh bidan ke rumah responden, ternyata dilakukan pada satu tempat, yaitu berpusat di puskesmas atau rumah bidan desa sendiri. Keputusan pengumpulan responden di puskesmas atau rumah bidan dilakukan karena alasan kondisi di lapangan yang susah dicapai. Jalan yang dilalui menuju rumah responden susah, yaitu jalan yang belum diaspal dan kontur jalan yang cenderung naik turun. Keterbatasan sarana transportasi juga menyebabkan tenaga kesehatan kesulitan menjangkau daerah dengan jalan yang relatif susah dan jauh. “Kemarin kita untuk mengumpulkan
kesepakatan pengambilan
di Puskesmas, katanya kita ndak bisa serumnya tidak boleh terkena goncangan atau apa, jadi kita kesepakatan daripada mengulang, lebih baik waktunya karena memang pembawaanya karena kita medane susah kita… susah, belum diaspal, naik turun, kita nggak bisa, lagian juga pengambilan 3-4 jam, jadi kalau kita harus nunggu itu kita kendalanya bidannya nggak mau, karena kita kan di rumah ada pasien. Kalau serentak itu, pasien dikasih tahu memang enak … o..itu memang harus ke puskesmas, men sehat nggih bu? nggih, ini harus ke Puskesmas, jadi kan karena mereka SDM-nya lebih rendah mereka jadi lebih mau, o..iya nggak papa Bu, jadi kalau kita yang ke rumah kan di situ kan juga ada keluarga biasanya ada mertua atau apa malah nanti jadi kurang ini...” [Bidan “F”, Kertek]. Partisipan FGD menyadari bahwa untuk pengambilan darah neonatus, bidan harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu jika ke depan kegiatan skrining akan menjadi sebuah program yang dilaksanakan secara kontinyu oleh pihak kabupaten secara mandiri. Mayoritas partisipan FGD merekomendasikan pelaksanaan pengambilan sampel darah dikumpulkan dengan jadwal reguler tertentu jika skrining hipotiroidisme ini dilakukan, misalnya sebulan sekali untuk kelahiran bayi dalam periode waktu tertentu yang telah disepakati
bersama. Partisipan menyatakan bahwa beban pekerjaan mereka sebagai bidan sudah cukup banyak dan harus stand by 24 jam setiap harinya, sehingga alternatif tersebut yang paling memungkinkan untuk diimplementasikan. Skrining hipotiroidisme sebenarnya dapat diikutsertakan dalam kegiatan ibu dan bayi yang selama ini telah rutin dilakukan, salah satu contohnya dalam kegiatan Antenatal Care (ANC). Pelayanan ANC di wilayah kerja partisipan FGD, bidan desa yang biasanya berkeliling dari rumah ke rumah ibu dan bayi. Menurut partisipan, bayi diimunisasi hepatitis dan BCG ketika ANC, sehingga skrining hipotiroidisme tidak mungkin dilakukan pada waktu yang sama karena dikhawatirkan kasihan si bayi apabila secara berulang dilakukan penyuntikan dalam satu waktu. “Terus diharapkan dari bidan – bidan kalau misalnya itu memang nantinya menjadi program wajib setiap ada partus, maksudnya setiap ada bayi lahir, jangan itu dibebankan ke kita semua ya Bu ya, jadi maksudnya ada petugas tambahan yang dikhususkan untuk itu membantu kita karena e..apa namanya kalau seperti itu kan dari teoripun mengatakan kalau misalnya pengambilan ini harus diletakkan di ini terus sampe berapa jam- berapa jam, kalau misalnya balita-nya banyak terus kita masing-masing tempat terus nunggu kelamaan kan juga nanti pekerjaan yang
kita terabaikan” [Bidan “F”, Kertek]. Terdapat ibu yang menolak ketika bayi diambil darahnya karena kasihan atau memang tidak berkenan untuk diambil darahnya. Pada titik ini masyarakat belum memahami pentingnya skrining hipotiroidisme. Masyarakat antusias untuk berpartisipasi dalam kegiatan imunisasi, meskipun dalam kegiatan imunisasi yang telah berjalan lama pun masih ada anggota masyarakat yang menolak karena alasan tertentu. Sosialisasi secara kontinyu sebagai wujud edukasi dibutuhkan dalam memberikan pemahaman mengenai sebab dan dampak GAKI kepada masyarakat dan pemahaman yang lebih mendalam bagi bidan desa atau petugas kesehatan yang lain mengenai GAKI serta program skrining hipotiroidisme. ”....Karena imunisasi pun yang sudah berjalan sekian tahun ada yang menolak gara-gara setelah itu nanti panas atau setelah itu nanti balitanya bengkak atau merasa apa ya. Padahal itu memang rewel itu karena reaksi vaksin itu, jadi nanti mbokan ada halahal yang tidak diinginkan berbarengan kita pengambilan itu kan masyarakat sekarang pinter-pinter nggak, bodho juga nggak. Mereka beranggapan kalau itu disebabkan karena kita pengambilan itu, terus itu… dulu kok balita yang dulu kok nggak, sekarang kok kaya gitu…itu kan masih butuh waktu....” [Bidan ”F”, Kertek]
“Mungkin perlu sosialisasi, penting itu, kadang itu kalau mengandalkan petugas gizi di Puskesmas itu juga mungkin sama waktu ya, tapi kadang kalau ada sosialisasi mungkin beda, karena mereka akan tahu terus juga merasa penting mungkin mau... kalaupun fasilitas ada, petugasnya ada, tenaganya ada, kalau mereka nggak mudeng-mudeng tetep nggak mau” [Bidan “D”, Kejajar] Masyarakat memahami GAKI
yang belum dan pentingnya
skrining hipotiroidisme, alasan kepraktisan dan keefektifan, medan di wilayah kerja yang susah, beban kerja bidan desa yang sudah cukup banyak dan fasilitas laboratorium yang kurang mendukung menjadi alasan kuat pemikiran partisipan FGD bahwa solusi terbaik untuk pelaksanaan skrining hipotiroidisme adalah dengan cara mengakumulatifkan angka kelahiran dalam periode tertentu dan kemudian mengadakan skrining secara serentak. Program kesehatan baru menjadi sulit untuk berjalan dan berkembang dengan baik dalam masyarakat jika masyarakat sendiri tidak memahami dan memiliki kesadaran akan pentingnya sebuah program kesehatan tersebut, meskipun fasilitas dan petugas kesehatan tersedia secara memadai. Penyuluhan tentang GAKI dalam masyarakat harus diakui relatif masih belum memadai akibat
kurangnya pengetahuan petugas kesehatan tentang permasalahan GAKI itu sendiri. Penanggulangan GAKI membutuhkan kesadaran masyarakat akan masalah tersebut serta arti penting iodium bagi pertumbuhan fisik dan intelektual. Kesadaran masyarakat perlu ditumbuhkan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatannya dengan melihat keterkaitan antara faktor-faktor sosial dan budaya seperti keterbatasan sumber daya dan pengetahuan, sikap apatis, kurangnya partisipasi dan sikap-sikap yang dianggap menghambat program GAKI secara keseluruhan. Bentuk kesadaran dapat diwujudkan dalam partisipasinya untuk turut serta pada program penanggulangan GAKI. Hal yang mungkin terjadi adalah masyarakat belum menerima informasi secara benar, jelas dan lengkap tentang arti pentingnya iodium, dampak GAKI dan keadaan lingkungan yang selalu menjadi faktor pencetus kejadian GAKI. Penyuluhan kesehatan merupakan program yang efisien dilihat dari aspek kebutuhan dana, tetapi boros dari aspek kebutuhan waktu, karena hasilnya baru akan tampak setelah beberapa tahun. Progam penyuluhan akan berdampak pada program penyehatan lingkungan, peningkatan gizi masyarakat, imunisasi, pengobatan. Hampir semua keberhasilan program kesehatan didorong oleh keberhasilan program penyuluhan.10 Penyuluhan atau sosialisasi yang berkualitas menjadi kegiatan yang
mutlak diperlukan dalam pencapaian internalisasi program kesehatan baru dalam masyarakat. Keberadaan ibu orang tua bayi atau mertua ketika menunggui proses pengambilan darah cenderung memberikan larangan atas tindakan tersebut. Dalam konteks ini, masih terdapat masyarakat yang belum memahami pentingnya skrining hipotiroidisme. Sebagian besar responden mewakili wilayah pedesaan. Golongan orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Kesukarannya adalah golongan orang-orang tua mempunyai pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat sehingga sukar untuk mengadakan perubahan yang nyata.8 Penolakan tersebut bukan masalah baru bagi bidan desa. Masyarakat setempat selama ini notabene sudah terlanjur terstigma sebagai masyarakat yang susah terhadap perubahan oleh bidan desa di wilayah kerja masing-masing. Sikap masyarakat yang demikian dianggap ikut berperan dalam menghambat proses skrining hipotiroidisme kaitannya dalam memperoleh responden, karena beberapa calon responden menolak untuk diambil darahnya. ”Hambatannya ya seperti tadi peralatannya, masyarakatnya, tenaganya, saya dadi mumet, stres” [Bidan “B”, Kepil] Terdapat kebiasaan masyarakat
setempat yang masih menerapkan larangan keluar rumah bagi bayi sebelum usia 40 hari. Menurut Mac Iver dan Page, kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Selanjutnya, dikatakan bahwa apabila kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai norma-norma pengatur, maka kebiasaan tadi disebutkan sebagai mores atau tata kelakuan.8 “Kalau tempet kami kemarin itu kan wilayahnya kalau sebelum 40 hari tidak boleh dibawa ke Puskesmas, Makanya kita akhirnya mengambilnya yang di bawa ke Puskesmas, usianya setelah satu bulan, karena sebelum satu bulan, masih punya adat tidak boleh dibawa ke Puskesmas” [Bidan “C”, Kertek] Tiap kelompok masyarakat memiliki adat istiadat dan kebiasaan yang menjadi nilai-nilai yang dianggap baik atau buruk dan berlaku bagi kelompok tersebut. Setiap tenaga medis dituntut untuk menjunjung tinggi nilai dan norma yang bersumber dari adat atau budaya masyarakat.9 Bidan sebagai penolong kesehatan ibu dan anak, berkewajiban mengetahui dan memahami daerah dan adat istiadat mengenai hal-hal yang bersifat adat tentang kesehatan ibu dan anak, sehingga diharapkan agar bidan bisa menyesuaikan dirinya. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh bidan desa merupakan satu praktik sosial yang memposisikan tenaga kesehatan berada di hadapan manusia utuh yang
membutuhkan pendekatan kemanusiaan. Pengetahuan mengenai aspek-aspek sosial budaya dalam peningkatan layanan kesehatan menjadi hal penting yang perlu dipahami oleh bidan desa. Layanan kesehatan bidan desa membutuhkan layanan yang tepat pendekatannya, yaitu pendekatan yang berbasis sosial-budaya masyarakat setempat.
SARAN
KESIMPULAN
1. Perlu dilakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang memadai mengenai GAKI dan skrining hipotirodisme bagi petugas
1.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa bidan desa belum mampu melakukan deteksi dini kasus GAKI (hipotiroidisme) karena : a) Bidan desa belum memiliki pengetahuan yang memadai mengenai GAKI dan skrining hipotiroidisme, b) Bidan desa masih mengalami kesulitan dalam mengenali gejala dan tanda klinis GAKI, c) Bidan desa masih mengalami kesulitan dalam pengambilan sampel darah bloodspot dan penanganan sampel darah.
2. Masih terdapat masyarakat yang kurang memahami pentingnya skrining hipotirodisme. Hal ini ditunjukkan dengan adanya masyarakat yang masih menolak anaknya diambil sampel darah dengan alasan tertentu.
Pelatihan skrining hipotiroidisme telah dilakukan dan partisipan masih mengalami hambatan sesudah pelaksanaan pelatihan tersebut. Skrining hipotiroidisme ini jika ke depan akan diimplementasikan oleh pihak kabupaten secara mandiri, maka hal yang harus diperhatikan adalah:
kesehatan. Hal ini dilakukan karena masih diperlukan pemahaman mengenai GAKI dan skrining hipotirodisme secara mendalam bagi petugas kesehatan, terutama bidan desa yang bersinggungan langsung dengan ibu dan bayi. 2. Melakukan re-training skrining hipotirodisme bagi bidan desa untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan lebih lanjut dalam melakukan skrining hipotirodisme. 3. Perlu dilakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang memadai mengenai GAKI bagi masyarakat dalam rangka menciptakan masyarakat sadar akan bahaya GAKI. Hal ini dilakukan melalui pendekatan secara sosial budaya terhadap masyarakat bersangkutan untuk mempermudah proses internalisasi kegiatan KIE ataupun substansi GAKI yang diinformasikan.
4. Perlu diupayakan ketersediaan alat laboatorium oleh pemerintah kabupaten guna mendukung pelaksanaan skrining hipotiroidisme. DAFTAR PUSTAKA 1. Susanto, R. Permasalahan Gondok Endemik pada Anak, Dahulu, Kini dan Akan Datang.http://pediatricsundip. com/journal/Permasalahan%20 Gondok%20Endemik%20pada%20 anak%20.pdf., diakses 24 Februari 2011. 2. Rustama,D.S. GangguanIodium. http://internisjournal.logspot. com/2009/02/gangguan-iodium. hmtl., diakses 4 Maret 2011 3. Yusuf, E.A. 2006. Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak Penderita Hipotiroid Kongenital. Majalah Kedokteran Nusantara, Volume 39, No. 4, Desember 2006. Hal 380. 4. Widodo, US. 2004. Pengembangan Surveilance Sentinel GAKI dengan Indikator UIE pada Kelompok Rawan. Laporan Penelitian. Badan Litbangkes, Jakarta. 5. Nutrition and Public Health Dept, Diponegoro University Surveillance Gizi GAKI.http://suyatno.blog. undip.ac.id/files/2010/04/SG4surveilleance-gaki.pdf., diakses 16 Nopember 2010. 6. Suraji, C. 2003, Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi garam beriodium di Rumah Tangga di Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Tesis. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro. 7. Yustina, I. Pemberdayaan Masyarakat untuk Mewujudkan Indonesia Sehat. http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ ppgb/2008/ppgb 2008 Ida Yustina. pdf., diakses 4 Maret 2011. 8. Soekanto, S. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta. 9. Sudarma, M. 2009. Sosiologi untuk Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta.
10. Yudiasa, M.M. Peran Masyarakat terhadap Program Kesehatan.http”// www.ctbertokoh.com., diakses 4 Maret 2011.