27 Agust 2016
STUDI KUALITATIF DAN PENDOKUMENTASIAN; KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DENGAN HIV&AIDS DI 8 PROVINSI DKI JAKARTA, BANTEN, JAWA BARAT, SUMATERA UTARA, DIY, JAWA TIMUR, BALI DAN NTB
Latar Belakang • Temuan dalam Training SRHR : ‐ banyak sekali kasus kekerasan yang dialami oleh anggota IPPI ‐ peserta pelatihan mengakui bahwa IPPI berkepentingan untuk melakukan pendokumentasian kasus‐kasus kekerasan yang telah dialami oleh para anggotanya ‐ adanya kepentingan untuk mengembangkan analisis yang memadai guna mendukung pilihan advokasi bagi para anggota
1
27 Agust 2016
Tujuan Studi dan Pendokumentasian • Mencatat secara sistematis kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV termasuk menggali alternatif baik litigasi maupun nonlitigasi. • Mengidentifikasi sejauh mana perempuan dengan HIV memahami dan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia • Menggali faktor‐faktor penyebab terjadinya kekerasan, termasuk pelaku kekerasan dan tanggapan orang terdekat terkait kekerasan yang dialami perempuan dengan HIV • Mengetahui sejauh mana perempuan dengan HIV mengalami kekerasan berdasarkan status HIV, termasuk kerugian, karakteristik sosial dan upaya pemecahan masalah yang dilakukan
2
27 Agust 2016
Hasil dan Temuan
Data Demografi Total Responden 77 orang
3
27 Agust 2016
Sumber: hasil pengolahan data
Diskusi
4
27 Agust 2016
Apa yang bisa kita lakukan bersama menghadapi FAKTA bahwa, Perempuan Positif:
• Mendapatkan Kekerasan secara Fisik, Psikis, Sexual, dan Ekonomi?? “...dijidat, ditendangin ke jidatku, maksude ya diadu gitu kalo gak gitu dijambak, dan dia tu mengancam, ngancemnya tu pakai pisau, pakai pistol, pakai samurai dan seperti itu terus...” (Wawancara DIY)
• Pelaku kekerasan adalah pasangan/ pengguna napza?? “Saya gak habis pikir apa orang‐orang narkoba itu seperti itu ya?....setiap dia mabok saya pasti dikerjain sampai pagi, disodomilah… saya cape…saya ingin derita saya hilang semuanya…( terisak‐isak ) setiap saya disodomi saya menangis…batin saya sakit…apakah harus begini melayani suami…sudah mencari uang sendiri...” (Wawancara NTB)
Apa yang bisa kita lakukan bersama menghadapi FAKTA bahwa, Perempuan Positif:
• Status HIV menjadi alasan tidak melapor?? “dah tau penyakitan gitu kamu harusnya insyaf, kadang di depan orang ngomongnya, padahal saya kan tertular dari dia juga..” (Wawancara Jabar)
• Anak menjadi bahan pertimbangan?? “...pada waktu dia umur 3 tahun, pelampiasannya keanakku, anakku tuh dipukul, dimasukin kekamar mandi, tangannya diiket lakban, dicelupin ke bak, lampunya dimatikan, dikunciin,aku itu gatau.....” (Wawancara Jawa Timur) “karena status dia orang terdekat kita sebagai suami. Gw kasihan ama dia, kalau dia masuk penjara yah kasihan sama anak gw juga” (Wawancara Jakarta)
• Anggapan bahwa ini urusan domestik?? “saya diikat mau diarak‐arakan ke masyarakat, diikat ketiang listrik, “ tolong” minta tolong, pas say sudah minta tolong sama warga, warga jg ga bisa ngomong apa‐apa, karena maslah rumah tangga orang mungkin ya...” (Wawancara Sumatera Utara)
5
27 Agust 2016
Integrasi Layanan HIV/AIDS dan Kekerasan terhadap Perempuan yang hidup dengan HIV di DKI Jakarta dan Sumatera Utara Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Result in Health (RiH) Pusat Penelitian HIV dan AIDS – Unika Atma Jaya (PPH) Didukung pendanaanya oleh UN Trust Fund
Masalah yang belum banyak digali dalam keterkaitan kekerasan dan HIV • Kekerasan yang disebabkan karena status HIV: – Prevalensi kekerasan yang dialami oleh perempuan dengan HIV (PDHA) lebih tinggi dari pada perempuan pada umumnya (Bogart et al, 2005; )* – Saat didiagnosis HIV perempuan lebih banyak mengalami kekerasan dari pasangan atau dari pihak lain (Gielen et al, 2000) – Jenis kekerasan yang dialami oleh PDHA sangat beragam (fisik, seksual, psikis, ekonomi, diskriminasi status HIV, sterelisasi yang dipaksakan) (IPPI, 2012)
• Kebutuhan layanan bagi PDHA yang mengalami kekerasan sesuai dengan tahapan hidupnya (Williams, 2003)
6
27 Agust 2016
Karakteristik Informan Penyedia Layanan
PHDA • Usia: 19 – 41 tahun • Pendidikan: – – – –
SD: 3 orang SMP: 5 orang SMA: 10 orang PT: 2 orang
• Status pernikahan saat ini:
•
Pekerjaan: – – – – –
•
•
Karyawan: 6 Dagang: 3 Pekerja Seks: 3 Ibu Rumah tangga: 7 Tidak bekerja: 1
Jumlah Anak:
•
– Menikah: 0‐5 anak – Janda: 0‐2 anak
– Menikah: 12 orang – Janda: 5 orang – Lajang: 3 orang •
Lembaga: – RS: 2 – Polisi: 2 – PKM: 4 – SKPD: 3 – LSM 6 – Stakeholder: 3 Jabatan: – Direktur: 3 – Konselor: 3 – Manajer Kasus: 3 – PP HIV: 5 – Kasi: 2 – Admin 1 – Koordinator: 1 – Kabid Monev: 2 Fokus Layanan/Bidang Kerja: – Kekerasan: 10 – HIV: 7 – Stakeholder HIV: 3
Penyebab terjadinya kekerasan Masa Kecil
Dalam Rumah Tangga
Status HIV
• • • •
Ketidakpatuhan terhadap orang tua Situasi ekonomi keluarga memburuk Keluarga pecah Penggunaan alkohol
• Tidak mau bertanggungjawab terhadap keluarga (pasangan tidak memiliki pekerjaan) • Minta uang • Ingin pisah • Hubungan dengan orang ketiga • Penggunaan alkohol atau napza • Penerimaan keluarga • Mengakses layanan
7
27 Agust 2016
Justifikasi atas kekerasan yang dialami Masa Kecil
• Bandel jadi wajar jika dipukul
Rumah Tangga
• Pasangan sedang capek • Spontan • Pasangan sudah memberikan nafkah • Dosa kalau tidak melayani suami • Melayani seks adalah kewajiban istri • Kalau pakai kondom yang jangan dipaksa kan namanya dibayar
Publik Status HIV (Layanan)
• Kesalahan diri karena tidak membuka status
Respon terhadap kekerasan (dalam rumah tangga) • ‘Menerima’ ketika terjadi kekerasan • Tidak berani mengeluh karena lebih baik memikirkan keluarga (anak) • Santai saja, tidak daianggap serius • Menghindar agar tidak menjadi lebih buruk • Melawan ketika terjadi kekerasan • Melakukan kekerasan terlebih dahulu sebelum pasangan melakukannya • Melarikan diri untuk menghindari kejadian berulang
Ada variasi respon terhadap kekerasan ini berdasarkan karakteristik PDHA: ‐ Ibu Rumah Tangga ‐ Pekerja Seks ‐ Pecandu/Pecandu yang sudah pulih
8
27 Agust 2016
Tindakan setelah kekerasan terjadi • Lapor polisi – Dicabut laporannya karena anak‐anak masih kecil – Tidak diteruskan karena dianggap masalah keluarga – Tidak diteruskan karena perlu biaya untuk visum
• Tidak melakukan apa‐apa – Karena masih masih cinta dengan pasangan – Tidak melaporkan karena takut statusnya diketahui
• Tidak mencari bantuan medis atau psikologis – Tidak tahu informasi – Bisa diobati sendiri
Hambatan untuk Memanfaatkan Layanan • Tidak tahu kebutuhan layanan: tidak merasa bahwa yang dialami adalah salah satu bentuk kekerasan (hal yang dianggap biasa) sehingga mencoba untuk mencari layanan • Tidak memperoleh informasi tentang layanan yang ada (layanan kekerasan) • Tidak diijinkan pasangan untuk mengakses layanan • Khawatir tidak memperoleh perawatan yang semestinya karena statusnya (berdasarkan pengalaman sendiri atau mendengar cerita dari teman) • Status HIV membuat enggan mengakses layanan kekerasan karena takut ketahuan statusnya.
9
27 Agust 2016
Penyediaan Layanan Layanan HIV
Layanan Kekerasan
• Fokus hanya pada layanan HIV (pencegahan atau perawatan dan pengobatan) • Tidak tersedia layanan kekerasan sebagai layanan lterkait dengan layanan HIV • Belum pernah memberikan layanan terkait kekerasan yang dialami oleh PDHA • Melakukan rujukan informal (personal) ke layanan kekerasan (P2TP2A)
• • • • • •
Fokus pada layanan hukum dan psikologis dari kasus kekerasan pada perempuan dan anak Kasus terbanyak yang ditangani adalah KDRT Belum pernah menangani kasus kekerasan pada PDHA Tidak fokus pada HIV karena ada dinas kesehatan atau belum jadi fokus lembaga Belum memasukkan kekerasan pada PDHA dalam materi sosialisasi anti kekerasan Pernah melakukan rujukan informal (personal)
Penyediaan Layanan Terintegrasi Belum tampak ada layanan yang terintegrasi bagi PDHA yang mengalami kekerasan • Kekerasan atau HIV belum menjadi agenda dalam kebijakan AIDS atau anti kekerasan di daerah (belum mengidentifikasikan secara rinci keterkaitan kekerasan dengan penularan HIV atau sebaliknya) • Fokus pada masing‐masing mandat lembaga sesuai dengan ketersediaan dana untuk kegiatan pendukungnya • Belum ada prosedur di tingkat layanan untuk menilai pengalaman kekerasan dalam layanan HIV demikian pula sebaliknya • Keterbukaan klien dinilai sebagai dasar untuk memberikan pelayanan • Meski secara pemahaman merupakan hal yang penting untuk memberikan layanan kekerasan dan HIV secara terintegrasi tetapi keterbatasan kapasitas dan staf tidak memungkinkan itu dilakukan • Ada layanan yang ada ditutup karena tidak ada yang ditugaskan lagi
10
27 Agust 2016
Kesimpulan • Kekerasan (seksual, fisik, psikis dan ekonomi) pada PHDA terjadi dari waktu ke waktu mulai dari masa kecil, masa pacaran, menikah, memiliki anak, menjanda dengan pelaku utamanya adalah pasangan dekatnya • Perubahan situasi kekerasan pada PHDA ketika mereka mengalami kejadian penting (pisah, menikah, memiliki pekerjaan, pindah) • Kekerasan yang dialami oleh PHDA belum menjadi perhatian penting bagi mereka karena kutuhan keluarga, hubungan emosional, kepentingan anak dan kepentingan ekonomi masih menjadi perhatian yang lebih penting bagi PHDA • Layanan anti kekerasan terhadap perempuan yang tersedia masih belum mampu dimanfaatkan oleh PHDA: – persepsi terhadap kekerasan yang dialami, – kurangnya informasi, – ketakutan untuk mengungkap pengalaman yang dialami karena terancam terungkapnya status HIV atau pekerjaan. – Hambatan dari pasangan atau keluarganya
Kesimpulan • Layanan yang terintegrasi bagi PHDA yang mengalami kekerasan belum bisa dilihat ujudnya karena: – Isu keterkaitan kekerasan dan AIDS belum menjadi agenda kebijakan di daerah itu – Fokus pada mandat karena terkait dengan penganggaran yang mendukung layanan tersebut – Belum ada prosedur formal yang menilai pengalaman kekerasan pada layanan HIV atau risiko penularan HIV akibat kekerasan pada layanan kekerasan – Ketersediaan tenaga menjadi kendala klasik yang mendukung tidak tersedianya layanan yang terintegrasi
• Ada potensi dan keinginan dari penyedia layanan untuk menyediakan layanan terintegrasi bagi PHDA yang mengalami kekerasan dengan bentuk integrasi struktural dan integrasi fungsional yang masing‐masing memiliki konsekuensi kebijakan dan administratif
11
27 Agust 2016
Rekomendasi • Tidak membebankan perubahan atas situasi kekerasan hanya pada PHDA, perlu dukungan untuk menyikapi konteks terjadinya kekerasan – Membangun keyakinan dan modal sosial PHDA agar memiliki kapasitas untuk memanfaatkan layanan – Memperkuat perluasan, keterjangkuan dan kualitas layanan anti kekerasan khususnya bagi kelompok yang terstigma (PHDA, pekerja seks, pecandu) – Memperkuat jaminan sosial (dalam bebagai bentuk) bagi kelompok miskin sebagai strategi untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan
• Perlunya untuk mendengar pengalaman PDHA untuk merumuskan kebijakan pengembangan layanan yang terintegrasi • Upaya untuk mendorong integrasi layanan bagi PDHA perlu dibarengi dengan peruban kerangka pikir secara programatik (sektoral multisektoral)
Rekomendasi Untuk membangun integrasi layanan bagi PHDA yang mengalami kekerasan maka beberapa hal yang perlu dilakukan: • Kemeneg PPA – Program anti kekerasan terhadap perempuan harus mempertimbangkan HIV sebagai sebab dan akibat dari kekerasan. Bukti bahwa prevalensi kekerasan lebih banyak dialami oleh PHDA dari pada perempuan pada umumnya
• Kementerian Kesehatan – Penerapan strategi Layanan Komprehensif dan Berkesinambungan seharusnya memasukkan komponen layanan kekerasan bagi PHDA atau populasi perempuan lain yang dinilai rentan terhadap penularan HIV
12
27 Agust 2016
Rekomendasi • Organisasi Masyarakat Sipil atau Organisasi Berbasis Masyarakat – Program dan pendaan yang mendukung kegiatan program selama ini seharusnya tidak bisa dikompromikan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhan konstituennya terhadap pencarian upaya kesehatan atau perlindungan hukum.
• Pemerintah Daerah – Sesuai dengan UU 23 tahun 2014, kesejahteraan dan kesehatan merupakan urusan wajib bagi pemerintah daerah sehingga perlu untuk memberikan komitmen politik dan anggaran yang lebih besar untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan terhadap perempuan termasuk PHDA. – Fungsi BPPM/BPMKB/Badan PPA sebagai koordinator untuk penanganan kekerasan perempuan perlu diperkuat agar mampu mendorong peran SKPD dan masyarakat dalam upaya mengurangi kekerasan terhadap perempuan secara lebih terpadu
TERIMA KASIH Jangan ada lagi perempuan HIV Positif yang harus meneteskan air mata dan darah karena dianggap tidak ada dan HAK nya diabaikan. HARUS !!
13