Studi komparasi pertanggungjawaban pidana Delik perdagangan orang ditinjau dari kuhp dan Uu ri no. 21 tahun 2007
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Tri Wahyu Setyanto NIM : E.1104209
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007
Disusun oleh : TRI WAHYU SETYANTO NIM : E 1104209
Disetujui untuk Dipertahankan
Pembimbing I
Pembimbing II
WINARNO BUDYATMOJO, S.H., M.S. NIP 131 658 559
ISMUNARNO, S.H., M.Hum. NIP 131 884 428
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007
Disusun oleh : TRI WAHYU SETYANTO NIM : E 1104209
Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada : Hari : Jumat Tanggal : 9 Mei 2008 TIM PENGUJI
1. R. Ginting, S.H., M.H. Ketua
:
2. Ismunarno, S.H., M.Hum. Sekretaris
:
3. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. Anggota
:
MENGETAHUI Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131570154
iii
ABSTRAK Tri Wahyu Setyanto, 2008. STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Fakultas Hukum UNS. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang siapa yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana perdagangan orang dan bagaimana Komparasi (perbandingan) pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Sedangkan perumusan kerangka pikiran dalam penulisan hukum ini bahwa subyek tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI NO 21 TAHUN 2007 berbeda. Dimana ditinjau dari KUHP subyek tindak pidana perdagangan orang adalah manusia dan dalam UU RI NO 21 TAHUN 2007 subyek tindak pidana perdagangan orang tidak hanya berupa manusia tetapi juga korporasi. Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis penelitian normatif, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder. Setelah data terkumpul kemudian data dianalisa dengan menggunakan metode analisa isi (content analysis). Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini dapat katakan bahwa pelaku tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari KUHP digolonglan menjadi : (1). pembuat tunggal (dader), (2). para pembuat (Mede dader) yang terdiri dari empat bentuk sebagaimana disebut dalam pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu : orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut serta melakukan (mede pleger),orang yang menganjurkan (uitloker). (3). pembuat pembantu (Medeplichtige) yaitu pada saat kejahatan dilakukan dan sebelum kejahatan dilakukan. Sedangkan dalam UU RI NO 21 TAHUN 2007 pelaku tindak pidana perdagangan orang digolongkan menjadi : (1). Setiap orang yang terdiri dari orang perorangan dan korporasi, (2). Penyelengara negara, (3). Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger), (4). Membantu melakukan (Medeplichtigheid) pembantuan tidak hanya sebelum atau pada saat kejahatan perdagangan orang dilakukan tetapi juga sesudah kejahatan perdagangan orang, (5). Orang yang turut melakukan (Mede pleger), (6). Pengguna, (7). Kelompok terorganisasi. Mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang bahwa ancaman hukuman atau sanksi pidana dalam UU RI NO. 21 TAHUN lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 dicantumkan pidana penjara minimal dan maksimal serta denda maksimal dan minimal terhadap pelakunya sesuai dengan penggolongan pelaku. Disamping itu dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 terdapat ketentuan yang menyimpang dari ketentuan KUHP seperti dalam hal pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus. Atas segala berkat dan kasih-Nya yang telah memberikan semangat dan kemudahan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. Dengan kasih karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan hukum ini sebagai syarat untuk meraih gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007”. Penulisan hukum ini membahas tentang Siapa sajakah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam delik perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 dan Bagaimana komparasi pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007, penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis dengan besar hati menerima segala kritik dan saran yang dapat memperkaya pengetahuan penulis di kemudian hari ini. Seiring dengan selesainya penulisan hukum ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi bantuannya dalam penulisan hukum ini : 1.
Bp. Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Bp. Winarno Budyatmojo, S.H., M.S. dan Bp. Ismunarno, S.H., M.Hum selaku dosen pembimbing Penulisan Hukum ini.
3.
Bp. Agus Rianto, S,H., M.Hum selaku pembimbing akademik.
4.
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selama ini telah memberikan bekal ilmu bagi penulis, selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5.
Keluargaku, Bapak, Ibu, mbak Ria, mas wawan yang selama ini telah memberikan kasih sayang serta doanya selama ini.
v
6.
Teman-temanku yang baik Tatag, Ronny, David terima kasih untuk semua bantuan dan dukungannya selama ini. Untuk Aji, Pesoy, Bandeng, Nugroho, Angga, Didit, Yani, wawan kalian temen-temen kumpul yang seru, terima kasih atas bantuan dan dukungannya selama ini dan yang lain tidak dapat saya sebutkan satu persatu terima kasih untuk semua bantuan dan doanya. Dan terakhir tidak lupa untuk seseorang yang selalu tersenyum ketika aku melihatnya, suatu keindahan yang mungkin akan terlupakan. Akhirnya penyusun berharap bahwa penulisan hukum ini dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Surakarta, Mei 2008 Penyusun
Tri Wahyu Setyanto
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..............................................
iii
ABSTRAK .............................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...........................................................................
v
DAFTAR ISI ..........................................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................
1
B. Perumusan Masalah ........................................................
4
C. Tujuan Penelitian ............................................................
4
D. Manfaat Penelitian ..........................................................
5
E. Metode Penelitian ...........................................................
6
F. Sistematika Skripsi ..........................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ...............................................................
11
1. Perdagangan Orang ...................................................
11
2. Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 ..............
22
3. Pengertian, Klasifikasi dan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana Ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 ................................
31
B. Kerangka Pemikiran ........................................................
46
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Yang Dapat Dipertanggungjawabkan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007........................................
49
1. KUHP ........................................................................
49
2. UU RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ........................... vii
52
3. Analisa Perbandingan (Komparasi) ...........................
59
B. Komparasi Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Perdagangan Orang Menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 .....................................................................
61
1. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Perdagangan Orang Menurut KUHP .............................................
61
2. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Perdagangan Orang Menurut UU RI No. 21 Tahun 2007 ..............
66
3. Analisa Perbandingan (Komparasi) ..........................
73
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .....................................................................
76
B. Saran ...............................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
80
LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Perdagangan orang terutama perempuan dan anak merupakan salah satu isu serius yang harus dihadapi dan ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Meskipun belum ada data resmi dan valid mengenai besaran masalahnya diperkirakan sekitar 700.000 sampai 1.000.000 anak dan perempuan diperdagangkan di Indonesia, dimana sebagian besar korban diperjualbelikan sebagai para pekerja seks komersial didalam negeri, pembantu rumah tangga, pengemis, pengedar narkotika dan obat-obat terlarang serta bentuk-bentuk lain dari eksploitasi kerja seperti di rumah makan dan perkebunan. Situasi perdagangan perempuan ke luar negeripun tidak kalah memprihatinkan, yang mana menurut catatan Kepolisian Rl, pada tahun 2000 terungkap 1400 kasus pengiriman perempuan secara ilegal ke luar negeri.
viii
Meningkatnya jumlah keluarga miskin dan angka putus sekolah di berbagai tingkat pendidikan, menurunnya kesempatan kerja dan maraknya konflik sosial di berbagai daerah yang muncul sebagai dampak krisis sangat potensial mendorong timbulnya perdagangan perempuan dan anak. Hal ini diperparah oleh kenyataan melemahnya peranan lembaga keluarga dan solidaritas antar warga masyarakat untuk melaksanakan fungsi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan psikologis sekaligus kontrol terhadap para anggotanya. Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pelanggaran dan kejahatan terhadap manusia. Perdagangan perempuan juga dapat menghambat pembangunan sumber daya manusia mengingat dampak sosial dan psikologis yang dialami para korban menghalangi mereka untuk berfungsi secara sosial, memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan melanjutkan proses regenerasi yang berkualitas. Pada masa sekarang, perkembangan perdagangan orang beralih pada jenis manusia yang lemah yakni perempuan dan anak. Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak dan termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan perempuan dan anak diberbagai negara, terutama negara-negara yang sedang berkembang telah menjadi perhatian masyarakat internasional dan organisasi internasional, terutama Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Perempuan dan anak adalah yang paling banyak menjadi korban perdagangan orang, menempatkan mereka pada posisi yang sangat beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spiritual, dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak
ix
dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Kondisi perempuan dan anak yang seperti itu akan mengancam kualitas ibu bangsa dan generasi penerus bangsa Indonesia. Banyak cara dan modus operandi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak, antara lain, dengan cara penipuan atau janji-janji bohong sehingga korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah obyek dari kejahatan perdagangan yang dilakukan oleh pelaku perorangan ataupun suatu jaringan yang luas dan terorganisasi baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Pihak anggota keluarga seperti orang tua yang mempunyai latar belakang sosial ekonomi rendah dengan berbagai faktor pendorong baik ekstern maupun intern memberikan peluang terjadinya perdagangan orang. Faktor keluarga yang lemah dan daya integrasi keluarga kurang kuat menyebabkan tidak dapat mencegah terjadinya perdagangan perempuan dan anak. Selain itu, kuatnya konsep budaya tertentu yang berlaku misalnya budaya filial piety (keharusan patuh pada orang tua) masih dianut oleh sebagian besar mayarakat Indonesia. Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang terutama perempuan dan anak pada dasarnya telah diatur dalam KUHP. Konsep pengaturan larangan ini seumur dengan pembentukan KUHP itu sendiri. Pasal 297 KUHP yang khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur yang menunjukkan bahwa pada masa penjajahanpun perdagangan perempuan dan anak sudah dikualifikasi sebagai suatu kejahatan atau dianggap sebagai tindakan yang tidak manusiawi dan layak mendapatkan sanksi pidana. Namun seiring dengan kemajuan tekhnologi, informasi, tranportasi yang mengakselerasi globalisasi pelaku (Trafficker) perdagangan orang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara yang dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak
x
berdaya untuk membebaskan diri. Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelengara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antar negara. Ketentuan Pasal 297 KUHP tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas dan memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Sehingga pada tanggal 17 April 2007 Pemerintah Indonesia akhirnya mensahkan dan mengundangkan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang yang mengatur secara khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum formil dan materiil sekaligus
untuk
mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk ekploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun secara antar negara, baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penyusun berharap lewat kajian perbandingan (studi komparasi) antara KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang menurut kedua perspektif aturan hukum tersebut, sehingga dapat tercapai suatu hasil yang obyektif dan sesuai dengan tujuan penelitian. Karena itulah yang mendorong dan memberikan motivasi kepada penyusun untuk melakukan penelitian dan menyusunnya sebagai suatu penulisan hukum dengan judul : “STUDI KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DELIK PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007.” xi
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka penyusun mengambil dua rumusan permasalahan yang akan dibahas yaitu : 1. Siapa
sajakah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
dalam
delik
perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007? 2. Bagaimana
komparasi
pertanggungjawaban
pidana
bagi
pelaku
perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007?
C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisa tentang siapa sajakah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007. 2. Untuk mengetahui dan memahami komparasi pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007.
D. MANFAAT PENELITIAN Berkaitan dengan tujuan penelitian, maka manfaat yang akan diperoleh dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Bagi Penyusun Penelitian ini memperluas wacana keilmuan perbandingan hukum pidana tentang sistem pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, baik dalam perspektif KUHP maupun UU RI No. 21 Tahun 2007, sehingga dapat memberikan kepuasan keilmiahan secara ilmiah terhadap kajian hukum pidana. xii
b. Bagi Akademisi 1) Menambah, mengembangkan, dan memperdalam pemahaman yang lebih baik terhadap sistem pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, baik dalam perspektif KUHP maupun UU RI No. 21 Tahun 2007, sehingga dapat membawa sikap yang lebih kritis dan tidak dogmatis terhadap sistem hukum nasional yang telah ada. 2) Memberikan pengetahuan, perbandingan hukum pidana secara ilmiah tentang persamaan dan perbedaaan antara KUHP dengan UU
RI
No.
21
Tahun
2007
didalam
permasalahan
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, sehingga nantinya dapat lebih mempermudah dan mempertajam proses peneltian hukum nasional didalam upaya pemecahan masalah-masalah hukum secara adil, bijaksana, dan tepat. 2. Manfaat Aplikatif Bagi Praktisi Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini bagi para praktisi antara lain: a. Memberikan bahan hukum tentang faktor-faktor hukum manakah yang perlu dikembangkan ataupun dihapuskan secara beragsur-angsur didalam kebijakan hukum nasional untuk menangani tindak pidana perdagangan orang demi integritas masyarakat; b. Mengembangkan dan memperdalam pemahaman secara obyektif tentang
hukum
nasional
yang
berkaitan
dengan
sistem
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, dengan cara melihat kelebihan dan kekurangan dua aturan hukum yang berbeda, sehingga akan berguna didalam usaha mengharmonisasikan aturan hukum nasional yang telah ada dan didalam upaya pembaharuan hukum pidana nasional yang lebih baik, berkeadilan, dan lebih menjunjung nilai-nilai kemanusiaan
xiii
E. METODE PENELITIAN Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap perbandingan hukum. Dalam penelitian ini memperbandingkan antara KUHP (UndangUndang yang bersifat umum) dengan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 (Undang-Undang
yang
bersifat
khusus)
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku delik perdagangan orang. 2. Sifat Penelitian Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teoriteori lama atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984:10). Jadi metode deskriptif ini digunakan untuk melaporkan atau menggambarkan suatu penelitian dengan cara mengumpulkan data, mengklasifikasikannya, menganalisa, dan menginterprestasikan data yang ada. 3. Pendekatan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan yang diangkat dalam penelitian ini, maka metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif normatif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mencari, meneliti, dan mengkaji secara mendalam rumusan norma dan aturan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang, baik yang terdapat dalam KUHP maupun UU RI No. 21 Tahun 2007, kemudian kedua norma dan aturan yang berbeda
xiv
tersebut diperbandingkan atau dikomparasikan dengan cara melihat sisisisi persamaan dan perbedaan diantara keduanya untuk memperoleh jawaban yang obyektif dan hasilnya sesuai dengan tujuan penelitian. 4. Jenis Data Dalam penelitian ini jenis data yang dipergunakan adalah data-data sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang melalui studi kepustakaan dan studi peraturan perundang-undangan, dari buku-buku, dan literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 5. Sumber Data Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Sumber data sekunder, yaitu data yang bersumber dari bahan hukum antara lain : a. Bahan hukum primer yang terdiri dari : bahan pustaka atau sumber data yang mengikat dan didapat langsung dari sumbernya yang terdiri dari : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan peraturan perundang-undangan yang terkait sebagai hukum positif Indonesia. b. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang menjelaskan analisa dan petunjuk pada bahan hukum primer yang terdiri dari : Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007, sumbersumber tulisan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang dalam perspektif KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007, yang terdapat dalam buku, hasil-hasil penelitian, dan lain-lain yang berguna bagi penelitian. 6. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data penulis melakukan dengan jalan studi pustaka. Hal ini dilakukan dengan identifikasi literatur buku, peraturan perundang-undangan, dan literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Menurut Soerjono Soekanto, studi kepustakaan adalah studi xv
dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan atas data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” atau biasa yang disebut dengan analisis muatan. Dalam hal ini, peneliti membaca, mempelajari, dan mengkaji dari buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan yang berhubungan dengan penelitian yang akan diadakan (Soerjono Soekanto, 1984: 21). 7. Teknik Analisis Data Teknik analisis data adalah tahap yang penting dalam menentukan suatu penelitian. Analisis data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat deskriptif (Heribertus Sutopo, 1998 : 8)
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengunakan metode analisa isi (content analysis) yaitu mendeskripsikan dan menganalisa materi isi dan keabsahan data yang diperoleh dari bahan pustaka melalui studi kepustakaaan dan studi peraturan perundang-undangan dengan cara mempelajari norma dan aturan hukum yang memperbandingkan antara KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang sesuai
dengan
tujuan
penelitian
dan
untuk menjawab
rumusan
permasalahan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM Penulisan hukum ini terbagi dalam empat bab yang setiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : BAB I
:
PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, xvi
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II
:
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka teori B. Kerangka pemikiran
BAB III
:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasannya, yang merupakan bagian yang pokok dari keseluruhan penulisan skripsi yang membahas, menguraikan, membandingkan, dan menganalisa rumusan permasalahan penelitian yang meliputi : (1) siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007, (2) komparasi pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang menurut KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007.
BAB IV
:
PENUTUP Dalam bab ini terbagi dalam dua bagian, yaitu kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xvii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
KERANGKA TEORI 1. Perdagangan Orang Perdagangan manusia (orang) adalah pelanggaran hak asasi manusia. Pada dasarnya, Perdagangan Manusia melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup, merdeka, dan bebas dari semua bentuk perbudakan. Perdagangan anak-anak merusak kebutuhan dasar seorang anak untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman dan merusak hak anak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi seksual. Perdagangan manusia (orang) meningkatkan kerusakan sosial. Hilangnya jaringan dukungan keluarga dan masyarakat membuat korban perdagangan sangat rentan terhadap ancaman dan keinginan para pelaku perdagangan, dan dalam beberapa cara menimbulkan kerusakan pada struktur-struktur sosial. Perdagangan merenggut anak secara paksa dari orang tua dan keluarga mereka, menghalangi pengasuhan dan perkembangan
moral
mereka.
Perdagangan
mengganggu
jalan
pengetahuan dan nilai-nilai budaya dari orang tua kepada anaknya dan dari generasi ke generasi, yang membangun pilar utama masyarakat. Keuntungan dari perdagangan seringkali membuatnya mengakar di masyarakat-masyarakat tertentu, yang kemudian dieksploitasi secara berulang-ulang sebagai sumber yang siap menjadi korban. Bahaya menjadi korban perdagangan seringkali membuat kelompok yang rentan seperti anak-anak dan perempuan muda bersembunyi dengan dampak merugikan bagi pendidikan dan struktur keluarga mereka. Hilangnya pendidikan mengurangi kesempatan ekonomis masa depan para korban dan meningkatkan kerentanan mereka untuk diperdagangkan di masa xviii
mendatang. Para korban yang kembali kepada komunitas mereka seringkali menemui diri mereka ternoda dan terbuang atau terasing, dan membutuhkan pelayanan sosial secara terus menerus.
Mereka juga
berkemungkinan besar menjadi terlibat dalam tindak kejahatan serta menunjukkan perilaku yang kejam. Perdagangan manusia (orang) mendanai kejahatan terorganisir. Keuntungan-keuntungan dari perdagangan manusia menjadi sumber dana bagi kegiatan kriminal lainnya. Menurut PBB, Perdagangan Manusia adalah perusahaan kriminal terbesar ketiga tingkat dunia yang menghasilkan sekitar 9.5 juta USD dalam pajak tahunan menurut masyarakat intelijen AS. Perdagangan manusia juga merupakan salah satu perusahaan kriminal yang paling menguntungkan dan sangat terkait dengan pencucian uang (money laundering), perdagangan narkoba, pemalsuan
dokumen,
dan
penyelundupan
manusia.
Bahkan
keterkaitannya dengan terorisme juga telah didokumentasikan. Dimana kejahatan terorganisir tumbuh subur, pemerintah dan peranan hukum justru melemah. Perdagangan manusia (orang) menghilangkan sumber daya manusia banyak negara. Perdagangan manusia memiliki dampak negatif pada pasar tenaga kerja, yang menimbulkan hilangnya sumber-sumber daya manusia yang tidak dapat diperoleh kembali. Beberapa dampak perdagangan manusia mencakup upah yang
kecil, hanya sedikit
individu yang tersisa untuk merawat orang tua yang jumlahnya semakin meningkat, dan generasi yang terbelakang dalam hal pendidikan. Dampak-dampak ini selanjutnya mengakibatkan hilangnya produktifitas dan kekuatan pendapatan di masa mendatang. Memaksa anak-anak untuk bekerja 10 hingga 18 jam per hari di usia-usia awal menghalangi mereka mendapat pendidikan dan memperkuat putaran kemiskinan dan buta huruf yang memperlambat perkembangan nasional.
xix
Perdagangan
manusia
(orang)
merusak
kesehatan
masyarakat. Para korban perdagangan seringkali mengalami kondisi yang kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Infeksi-infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, penyakit inflammatori pelvic, dan HIV/AIDS seringkali merupakan akibat dari prostitusi yang dipaksakan. Kegelisahan, insomnia, depresi dan penyakit pasca traumatis stres adalah wujud psikologis umum di antara para korban. Kondisi hidup yang tidak sehat dan sesak, ditambah makanan yang miskin nutrisi, membuat korban dengan mudah mengalami kondisi kesehatan yang sangat merugikan seperti kudis, TBC, dan penyakit menular lainnya. Anak-anak menderita masalah pertumbuhan dan perkembangan dan menanggung derita psikologi kompleks dan syaraf akibat kekurangan makanan dan hak-haknya serta mengalami trauma. Kekejaman yang paling buruk seringkali ditanggung oleh anak-anak yang lebih mudah dikendalikan dan dipaksa menjadi pelayan rumah, dilibatkan dalam konflik bersenjata, dan bentuk lain pekerjaan. Anakanak dapat menjadi sasaran eksploitasi yang progresif, misalnya dijual beberapa kali dan menjadi sasaran pertunjukan kekerasan fisik, seksual dan mental. Kekerasan ini memperumit rehabilitasi psikologis dan fisik mereka dan membahayakan reintegrasi mereka. Perdagangan
manusia
menumbangkan
wibawa
pemerintah. Banyak pemerintah yang berjuang untuk melaksanakan kendali penuh atas teritorial nasional mereka, khususnya dimana korupsi merupakan hal yang umum. Konflik-konflik bersenjata, bencana alam, dan perjuangan politik serta etnis seringkali menciptakan populasi besar orang-orang yang telantar. Para
pelaku perdagangan manusia lebih
lanjut
pemerintah
merusak
usaha-usaha
untuk
menggunakan
wewenangnya, mengancam keamanan penduduk yang rentan. Banyak pemerintah tidak dapat melindungi wanita dan anak-anak yang diculik dari rumah dan sekolah mereka atau dari camp penampungan. Selain itu,
xx
uang suap yang dibayarkan oleh para pelaku perdagangan menghalangi kemampuan pemerintah untuk memerangi korupsi yang dilakukan diantara para petugas penegak hukum, pejabat imigrasi, dan pejabat pengadilan. Perdagangan
manusia memakan biaya ekonomi yang sangat
besar. Ada manfaat ekonomis besar sekali yang akan diperoleh dengan terhapusnya
perdagangan manusia. Organisasi Buruh Internasional
(International Labor Organization) baru-baru ini menyelesaikan sebuah studi mengenai biaya dan keuntungan dari penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak yang definisinya meliputi perdagangan anak. ILO menyimpulkan bahwa perolehan ekonomis dari penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak sangat besar (puluhan jutaan dolar pertahun) karena pertambahan kapasitas produktifitas pada generasi tenaga kerja masa mendatang akan diperoleh dari peningkatan pendidikan dan kesehatan masyarakat yang membaik. Dampak sosial dan kemanusiaan dari perdagangan manusia seringkali mencerminkan bentuk-bentuk terburuk kerja paksa pada anak-anak tersebut. Perbudakan atau penghambaan pernah ada dalam sejarah Bangsa Indonesia sebagai bentuk dari perdagangan orang. Pada jaman raja-raja Jawa dahulu, perempuan merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai yang agung dan mulia. Raja mempunyai kekuasan penuh, antara lain tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan, sebagian lagi persembahan dari kerajaan lain, tetapi ada juga yang berasal dari lingkungan kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan keluarga istana. Sistem feodal ini belum menunjukkan xxi
keberadaan suatu industri seks tetapi telah membentuk landasan dengan meletakkan perempuan sebagai barang dagangan untuk memenuhi nafsu lelaki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran. Pada masa penjajahan Belanda, industri seks menjadi lebih terorganisir dan berkembang pesat yaitu untuk memenuhi kebutuhan pemuasan seks masyarakat Eropa seperti serdadu, pedagang dan para utusan yang pada umumnya adalah bujangan. Pada masa pendudukan Jepang (1941-1945), komersialisasi seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi dan perempuan Belanda menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia dan Hongkong untuk melayani para perwira tinggi Jepang Dalam era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai hak asasi manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir lebih jauh keberadaannya. Secara hukum bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdekaan orang. Namun kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi,
juga
dimanfaatkan
oleh
hamba
kejahatan
untuk
menyelubungi perbudakan dan penghambaan itu ke dalam bentuknya yang baru yaitu: perdagangan orang (trafficking in persons), yang beroperasi secara tertutup dan bergerak di luar hukum. Pelaku perdagangan orang (trafficker) yang dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan sangat halus menjerat mangsanya, tetapi dengan sangat kejam mengeksploitasinya dengan berbagai cara sehingga korban menjadi tidak berdaya untuk membebaskan diri. a. Pengertian Perdagangan Orang Perdagangan orang secara umum merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelangaran harkat dan martabat manusia.
xxii
Dalam
protokol
mendefinisikan
Persatuan
trafficking
sebagai:
Bangsa-Bangsa Perekrutan,
(PBB)
pengiriman,
pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman,
atau
penggunaan
kekerasan,
atau
bentuk-bentuk
pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Tabel di bawah ini yang disarikan dari Definisi PBB di atas adalah alat yang berguna untuk menganalisa masing-masing kasus untuk menentukan apakah kasus tersebut termasuk trafficking atau tidak. Agar suatu kejadian dapat dikatakan sebagai trafficking, kejadian tersebut harus memenuhi paling tidak satu unsur dari ketiga kriteria yang terdiri dari proses, jalan/cara dan tujuan. Process
+
Cara/Jalan
+
Tujuan
Perekrutan
D
Ancaman
D
Prostitusi
Atau
A
Atau
A
Atau
Pengiriman
N
Pemaksaan
N
Pornografi
Atau
Atau
Atau
Pemindahan
Penculikan
Kekerasan/Eksploitasi
Atau
Atau
Seksual
Penampungan
Penipuan
Atau
Atau
Atau
Kerja
Penerimaan
Kebohongan
upah yang tidak layak
Atau
Atau
Kecurangan
Perbudakan/Praktek-
Atau
praktek
Penyalahgunaan
perbudakan
Paksa/dengan
lain
serupa
Kekuasaan
Tabel 1. Unsur Perdagangan Orang dari Protokol PBB Jika satu unsur dari masing-masing ketiga kategori di atas muncul, maka hasilnya adalah trafficking
xxiii
Dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana pemberantasan perdagangan orang pengertian perdagangan orang dirumuskan dalam Pasal 1 ke-1, yang esensinya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan
bayaran
atau
manfaat,
sehingga
memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi, b. Unsur Perdagangan Orang Dari definisi Pasal 1 ke-1 UU RI No. 21 Tahun 2007 tersebut di atas maka dapat diuraikan beberapa unsur dari tindakan perdagangan orang yaitu : 1)
Perbuatan: merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima.
2)
Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara
3)
Tujuan: eksploitasi atau mengakibatkan ekploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.
c. Bentuk Trafficking (Perdagangan Orang) meliputi : 1)
Menjadikannya pembantu rumah tangga,
2)
Menjadikannya sebagai komoditas seksual (dilacurkan) dan pornografi. xxiv
3)
Menjadikannya tenaga perahan untuk pekerjaan-pekerjaan dalam kurungan, perbudakan, budak paksa atau tenaga kerja paksa, antara lain: pekerja Anak untuk jermal, perkebunan
4)
Menjadikannya pengemis, pengamen dan pekerjaan jalanan lainnya
5)
Adopsi palsu dan penjualan bayi yang diternukan di daerah konflik atau daerah miskin.
6)
Menjadikannya Isteri melalui pengantin pesanan (Mail Order Bride) yang kemudian dieksploitasi
7)
Menjadikannya alat untuk melakukan Perdagangan Narkotika
8)
Dipekerjakan di perkebunan dan pabrik-pabrik atau tenaga kasar dengan upah sangat murah
9)
Menjadikannya sebagai obyek atau sasaran eksploitasi seksual oleh orang yang mengidap pedofilia, atau orang-orang yang mempunyai kepercayaan tertentu yang hanya mau melakukan hubungan seksual dengan anak-anak.
10) Menjadikannya
obyek
percobaan
dibidang
ilmu
pengetahuan atau obyek pencangkokan organ tubuh 11) Menjadikannya komoditi dalam pengiriman tenaga kerja migrant 12) Menjadikannya sebagai alat bayar hutang 13) Pola-pola
tersebut
di atas
masih
mungkin
mengalami
perkembangan, seiring perkembangan jaman. d. Faktor Penyebab Trafficking (perdagangan orang) Tidak ada satupun yang merupakan sebab khusus terjadinya perdagangan orang di Indonesia. Perdagangan orang disebabkan oleh keseluruhan hal yang terdiri dari bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda termasuk didalamnya adalah : 1) Kurangnya kesadaran : banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia atau diluar negeri tidak mengetahui adanya bahaya perdagangan orang dan tidak xxv
mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan. 2) Kemiskinan : kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman. 3) Keinginan cepat kaya : keinginan untuk memiliki materi atau standart hidup yag lebuh tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat
orang-orang
yang
bermigrasi
rentan
terhadap
perdagangan orang. 4) Faktor budaya : faktor budaya berikut memberikan kontribusi terjadinya perdagangan orang : a)
Peran perempuan dalam keluarga : meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah dirumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan juga mencari nafkah tambahan atau pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tangggungjawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat mencukupi keluarga mereka.
b)
Peran anak dalam keluarga : kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anakanak rentan terhadap perdagangan orang. Buruh atau pekerja anak-anak bermigrasi untuk bekerja, dimana buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategistrategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
c)
Perkawinan dini : perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang xxvi
terbatas, gangguan perkembangan pribadi dan seringkali juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap perdagangan orang disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka. d)
Sejarah
pekerjaan
karena jeratan
hutang :
praktek
menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan. e)
Kurangnya pencatatan kelahiran : orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa perdagangan orang karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang diperdagangkan misalnya, lebih mudah diwalikan keorang dewasa manapun yang memintanya.
f)
Kurangnya pendidikan : orang yang berpendidikan terbatas memiliki lebih sedikit keahlian atau kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditarik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
g)
Korupsi dan lemahnya penegakan hukum : pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku perdagangan orang untuk tidak mempedulikan perbuatanperbuatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah juga dapat disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada Kartu Tanda Pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap
perdagangan
orang
karena
migrasi
ilegal.
Kurangnya budget atau anggaran dana negara untuk xxvii
menanggulangi
usaha-usaha
perdagangan
orang
menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif untuk menjerat dan menuntut pelaku perdagangan orang. e. Modus Operandi Perdagangan Orang 1) Modus operandi rekrutmen
perdagangan orang tersebut
biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan
wewenang,
menjerat
mengawini
memacari,
menculik,
atau
dengan
hutang,
menyekap,
atau
memperkosa. 2) Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. 3) Ibu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan utang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. 4) Anak-anak dibawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil
dengan
memberikan
memberikan
barang-barang.
keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan. 5) Memalsu
identitas
banyak
dilakukan
terutama
untuk
perdagangan orang ke luar negeri, RT/RW, Kelurahan dan Kecamatan dapat terlibat pemalsuan KTP atau Akte Kelahiran, karena adanya syarat umur tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan dokumen (paspor). Dalam pemrosesannya, juga melibatkan dinas-dinas yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas dengan subyeknya. 6) Agen dan calo perdagangan orang mendekati korbannya di rumah-rumah pedesaan, dikeramaian pesta-pesta pantai, mall, kafe atau di restauran. Para agen atau calo ini bekerja dalam xxviii
kelompok dan seringkali merayu sebagai remaja yang sedang bersenang-senang atau sebagai agen pencari tenaga kerja. Korban yang direkrut dibawa ke tempat transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen termasuk dalam penanganan masalah keuangan. Seringkali perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan korban untuk kembali pulang, mereka ditakut-takuti atau diancam. Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Tetapi kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah hiburan lain, dan mulai dilibatkan dalam kegiatan prostitusi. Mereka diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika menolak, korban diminta membayar kembali biaya perjalanan dan “tebusan” dari agen atau
calo
yang
membawanya.
Jumlah
yang
biasanya
membengkak itu menjadi hutang yang harus ditanggung oleh korban.
2. Tindak Pidana (delik) Perdagangan Orang Ditinjau Dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 a. Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau Dari KUHP Sebelum membahas tindak pidana perdagangan orang dalam KUHP terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian apa itu tindak pidana.
xxix
Pembentuk Undang-Undang telah menggunakan perkataan “strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” didalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaarfeit” tersebut. Perkataan “feit” itu sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan “strafbaar” berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkatan “strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan. Oleh karena itu seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk
Undang-Undang
kita
tidak
memberikan
sesuatu
penjelasan mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan “strafbaarfeit” maka timbulah didalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” tersebut. (P.A.F Lamintang. 1997 : 181). Simons menerangkan bahwa “strafbaarfeit” adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moelyatno. 1993 : 56). Menurut Pompe, tindak pidana atau “strafbaarfeit sebagai suatu pelangaran norma (gangguan tehadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (P.A.F Lamintang. 1997 : 182). xxx
Menurut Van Hattum,
tindak pidana atau “strafbaarfeit”
dikarenakan sebagai suatu tindakan yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum (P.A.F Lamintang. 1997 : 184). Perbuatan pidana atau tindak pidana dapat kita disamakan dengan istilah Inggris “criminal act” yang berarti kelakuan dan akibat, atau dengan kata lain perkataan : akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum (Moelyatno. 1993 : 57). Ada pembagian-pembagian dari tindak pidana salah satunya adalah delik formal dan delik material. Pada umumnya rumusanrumusan delik didalam Kitab Undang Hukum Pidana itu merupakan rumusan-rumusan dari apa yang disebut valtooid delik, yakni delik yang telah selesai dilakukan oleh pelaku yang sebenarnya. Delik formal
adalah
delik
yang
telah
dianggap
selesai
dengan
dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam oleh hukuman dengan Undang-Undang. Delik material adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang (P.A.F Lamintang. 1997 : 212-213). Tindak pidana perdagangan orang memang tidak dirumuskan secara jelas dalam KUHP tetapi ada beberapa Pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku tentunya yang ada kaitannya dengan perdagangan orang. Diantaranya akan dijelaskan sebagai berikut : 1) Perbudakan dan penghambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van Strafrecht
xxxi
yang terakhir diubah dengan Undang-undang RI No. 1 Tahun 1946) yang mengatur: a) Pasal 324: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. b) Pasal 333 (1): Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. c) Pasal 333 (2): Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. d) Pasal 333 (3): Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. e) Pasal 333 (4): Pidana yang ditentukan dalam Pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum
memberi
tempat
untuk perampasan
kemerdekaan. 2) Perbudakan dan penghambaan dalam bentuk perdagangan orang juga dikriminalisasi dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal
297
yang berbunyi
:
“Perdagangan
wanita dan
perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun” 3) Salah satu kegiatan yang mendorong timbulnya perdagangan orang adalah pelacuran. Di Indonesia ‘kegiatan melacur’ tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai tindak pidana, Namun mendapatkan keuntungan dan melacurkan orang lain adalah tindakan yang dianggap kejahatan terhadap kesusilaan atau xxxii
pelanggaran terhadap ketertiban umum, sebagaimana termaktub dalam KUHP sebagai berikut: a) Dalam Buku Kedua. Kejahatan, Bab XIV. Kejahatan terhadap Kesusilaan: (1) Pasal 289 :Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Pasal 296 : Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbutan cabul dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak seribu rupiah. b) Dalam Buku Ketiga. Pelanggaran, Bab II. Pelanggaran Ketertiban
Umum:
Pasal
506:
Barangsiapa
menarik
keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Secara umum dari penjelasan tersebut di atas tindak pidana yang terkait dengan perdagangan orang dalam KUHP dapat diklasifikasikan menjadi berbagai bentuk tindak pidana. Sebagai berikut : 1) Tindak pidana materiil, yang terdapat dalam Pasal 333 (2) yaitu mengakibatkan luka-luka berat, 333 (3) yaitu mengakibatkan mati. 2) Tindak pidana formil yang terdapat dalam Pasal 324, 333 (1), 297, 296, 289, dan 506.
xxxiii
3) Tindak pidana penyertaan (turut serta), yang terdapat dalam Pasal 324. 4) Tindak pidana pembantuan, yang terdapat dalam Pasal 333 (4). b. Tindak Pidana Perdagangan Orang Ditinjau Dari UU RI No. 21 Tahun 2007 Menurut perumusan dalam Undang-Undang ini, tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu tindak pidana
formil
dan tindak
pidana materiil. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya ditiikberatkan kepada perbuatan yang dilarang, tindak pidana ini selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam Undang-Undang sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang. Tindak pidana ini selesai apabila akibat yang dilarang itu timbul. Tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari UU RI No. 21 Tahun 2007 adapun pengertiannya terdapat dalam Pasal 1 ke-2, yaitu : “tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”. Yaitu Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 2 -7 UU RI No. 21 Tahun 2007. Berikut adalah Pasal-Pasal 2-7 dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang antara lain : 1) Pasal 2 ayat (1), yaitu setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, pengunaan kekerasan,
penculikan
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, xxxiv
atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengekploitasi orang tersebut diwilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit seratus dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana formil. 2) Pasal 2 ayat (2), yaitu jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang terekploitasi, maka pelaku dipidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal ini merupakan tindak pidana materiil karena mengakibatkan orang tereksploitasi. 3) Pasal 3, yaitu setiap orang yang memasukkan orang kewilayah negara Rebuplik Indonesia dengan maksud untuk diekploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau diekploitasi diwilayah negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana formil. 4) Pasal 4, yaitu setiap orang yang membawa warga negara Indonesia keluar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk diekploitasi diluar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana formil. 5) Pasal 5, setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda xxxv
paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana formil. 6) Pasal 6, yaitu setiap orang yang melakukan pengiriman anak kedalam atau keluar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana materiil karena mengakibatkan anak tereksploitasi. 7) Pasal 7 ayat (1), yaitu jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit ,menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya maka ancaman pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana materiil karena menimbulkan akibat kepada korban. 8) Pasal 7 ayat (2), yaitu jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal4, Pasal 5, Pasal 6, mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lam penjara seumur hidup dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 5 milyar rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana materiil karena mengakibatkan matinya korban. Selain dalam ketentuan Pasal 2-7 tersebut di atas, juga masih terdapat pembagian tindak pidana lainnya antara lain dalam Pasal : 1) Pasal 8 ayat (1) yaitu, setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 maka pidananya xxxvi
ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan. 2) Pasal 9, yaitu setiap orang yang berusaha mengerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 240 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana menggerakkan. 3) Pasal 10, yaitu setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana pembantuan dan percobaan. 4) Pasal 11, yaitu setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana perencanaan dan permufakatan jahat. 5) Pasal 12,
yaitu setiap orang
yang menggunakan atau
memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang, dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan
korban
tindak
pidana
perdagangan
orang,
mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 , Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal ini merupakan tindak pidana menggunakan atau memanfaatkan.
xxxvii
6) Pasal 23, yaitu setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan dengan cara : a) Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta benda, atau harta kekayaaan lainnya kepada pelaku; b) Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c) Menyembunyikan pelaku atau; d) Memyembunyikan informasi keberadaan pelaku Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 200 juta rupiah. Pasal ini merupakan tindak pidana pembantuan. Secara umum dari penjelasan tersebut di atas tindak pidana perdagangan orang dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 dapat diklasifikasi menjadi berbagai bentuk tindak pidana sebagai berikut : 1) Tindak pidana materiil yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), 6, 7 ayat (1), dan 7 ayat (2). 2) Tindak pidana formil yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1), 3, 4, dan 5. 3) Tindak pidana percobaan yang terdapat dalam Pasal 10. 4) Tindak pidana pembantuan yang terdapat dalam Pasal 10 dan 23. 5) Tindak pidana menyalahgunakan kekuasaan yang terdapat dalam Pasal 8. 6) Tindak pidana menggerakkan yang terdapat dalam Pasal 9. 7) Tindak pidana perencanaan dan permufakatan jahat yang terdapat dalam Pasal 11. 8) Tindak pidana menggunakan atau memanfaatkan yang terdapat dalam Pasal 12. 3. Pengertian, Klasifikasi, dan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana Ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 xxxviii
a. Pengertian pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 Dalam KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 tidak terdapat rumusan tentang pengertian pertanggungjawaban pidana dan kemampuan bertanggungjawab, oleh karena itu pengertian tersebut harus kita cari dalam dunia ilmu hukum (doktrin). Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan adanya tindak pidana. Tindak pidana tidak berdiri
sendiri,
itu
baru
bermakna
manakala
terdapat
pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana
harus
ada
pertanggungjawaban
pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah tiada pidana tanpa kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut (Dwidja Priyatno, 2004 : 30). Sudarto menyatakan “dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu
xxxix
adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perbuatan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut” (Dwidja Priyatno, 2004 : 31). Simon mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan pshikis orang yang melakuan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi (Roeslan Saleh, 1983 : 78). Jadi yang harus diperhatikan adalah (1). Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan itu. (2). Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan. Hal yang pertama yaitu mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan soal yang lazim disebut masalah kemampuan bertanggungjawab, hal yang kedua yaitu mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf,
sehingga
mampu
bertanggungjawab,
mempunyai
kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab, begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf apabila orang tidak mampu bertanggungjawab, dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan Karena
tidaklah
ada
mempertangungjawabkan terdakwa atas
xl
gunanya
untuk
perbuatannya apabila
perbuatan itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah (Roeslan Saleh, 1983 : 79) yaitu : 1). Melakukan perbuatan pidana 2). Mampu bertanggungjawab 3). Dengan kesengajaan atau kealpaan 4). Tidak adanya alasan pemaaf. Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan kebalikan secara negative dari kemampuan bertanggungjawab (Adami Chazawi.2002 : 142). Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana yang dirumuskan didalam pasal 44 ayat (1) KUHP, yakni jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan jiwanya terganggu karena penyekit. Orang yang dalam keadaan demikian jika melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana (Adami Chazawi,2002 : 143). Menurut Moelyatno ada dua syarat seseorang dikatakan mempunyai kemampuan bertanggungjawab, yaitu : 1).
Harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dengan perbuatan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2).
Harus ada kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. xli
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara yang baik dan yang buruk merupakan faktor akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan, sedangkan yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Konsekuensi bagi orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, ia tidak mempunyai kesalahan, sehingga perbuatan yang
dilakukan
merupakan
perbuatan
pidana,
tidak
dapat
dipertanggunngjawabkan kepadanya (Moeljatno, 1993 : 165-166). Menurut
Satocjid
Kartanegara
orang
yang
mampu
bertanggungjawab itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi (Adami Chazawi.2002 : 145) yaitu : 1)
Keadaan jiwa seseorang yang sedemikian rupa (normal) sehingga ia bebas atau mempunyai kemampuan dalam menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia akan lakukan.
2)
Keadaan jiwa orang itu yang sedemikian rupa, sehingga ia mempunyai kemampuan untuk dapat mengerti terhadap nilai perbuatannya beserta akibatnya.
3)
Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia mampu untuk menyadari, menginsyafi bahwa perbuatan yang akan dilakukannya itu adalah suatu kelakuan yang tercela, kelakuan yang tidak dibenarkan oleh hukum, atau oleh masyarakat maupun tata susila. Dalam Rancangan KUHP pasal 32 ayat (2) dimungkinkan
dalam hal tertentu seseorang dapat dipertanggungjwabakan atas
xlii
tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu Undang-Undang. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataannya orang tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal dengan asas
“Vicarious Liability” sering diartikan
pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (Dwidja Priyatno. 2004 : 49). Pengecualian lainya juga terdapat dalam pasal 32 ayat (3) Rancangan KUHP yang menyatakan untuk tindak pidana tertentu Undang-Undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan. Ketentuan ayat ini merupakan suatu pengecualian. Oleh karena itu tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana melainkan hanya untuk tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh UndangUndang. Untuk tindak pidana tertentu tersebut pembuat telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Disini kesalahan pembuat dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Ketentuan dalam ayat ini sering dikenal dengan asas “Strict Liability” atau disebut dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (Dwidja Priyatno. 2004 : 50).
xliii
b. Klasifikasi pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 1) Klasifikasi pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP Adapun klasifiksai pertanggungjawaban
pidana yang
dikenal dalam KUHP antara lain : a) Percobaan yaitu permulaan kejahatan yang tidak selesai. KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana yaitu dalam pasal 53 (1) yang berbunyi “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” (Barda Nawawi Arief, 1999 : 1). Dari rumusan pasal 53 (1) KUHP diatas jelas terlihat unsur-unsur percoban (Barda Nawawi Arief, 1999 : 4) adalah : (1) ada niat (2) ada permulaan pelaksanaan (3) pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri. b) Penyertaan Beberapa istilah penyertaan antara lain : turut campur dalam peristiwa pidana ( Tresna), turut berbuat delik (Karni). Turut serta (Utrech) (Barda Nawawi Arief, 1999 : 28). Pembagian penyertaan
menurut KUHP Indonesia
(Barda Nawawi Arief, 1999 : 29) adalah : (1) pembuat atau dader (Pasal 55) yang terdiri dari : (a) pelaku (Pleger) (b) yang menyuruh melakukan (Doen pleger) xliv
(c) yang turut serta (Mede Pleger) (d) penganjur (Uitloker). (2) pembantu atau mendeplectige (pasal 56) yang terdiri dari : (a) membantu pada saat kejahatan dilakukan (b) membantu sebelum kejahatan dilakukan. Mengenai
pengertian
pembuat
(Dader)
ada
dua
pandangan (Barda Nawawi Arief, 1999 : 29-30) : (1) pandangan yang luas (Ektensief) : pembuat ialah tiap orang yang menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan delik. Yaitu mereka yang disebut dalam pasal 55 KUHP diatas. (2) pandangan yang sempit (restrictif) : pembuat hanyalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik, jadi hanya pembuat materiil saja (pelaku atau Pleger). Pelaku (Pleger) adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik. Orang yang menyuruhlakukan (Doen Pleger) ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedangkan perantara itu hanya diumpamakan sebagai alat. Pada Doen Pleger terdapat unsur-unsur (Barda Nawawi Arief, 1999 : 31) sebagai berikut : (1) alat yang dipakai adalah manusia (2) alat yang dipakai itu berbuat (bukan alat yang mati) (3) alat yang dipakai itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Yang menyebabkan alat atau pembuat materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan ialah : (1) bila ia tidak sempurna pertumbuhan jiwanya (Pasal 44 KUHP)
xlv
(2) bila ia berbuat karena daya paksa (Pasal 48 KUHP) (3) bila ia melakukan atas perintah jabatan yang tidak sah (Pasal 51 ayat 2 KUHP) (4) bila ia keliru (sesat), menenai salah satu unsur delik. Misal A menyuruh B untuk menguangkan pos wesel yang tanda tangannya dipalsukan oleh A, sedangkan B tidak mengetahui pemalsuan itu. (5) bila ia tidak mempunyai maksud seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan itu. Misal A menyuruh B untuk mengambil barang dari suatu tempat. B mengambilnya untuk diserahkan kepada A dan ia tidak memilki maksud untuk memilki bagi dirinya sendiri. Menurut MVT orang yang turut serta (Mede Pleger) ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu (Barda Nawawi Arief, 1999 : 33). Menurut Pompe, turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana ada tiga kemungkinan : (1) mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. (2) salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lain tidak. (3) tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. Penganjur (Uitloker) ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan mengggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh UndangUndang (Barda Nawawi Arief, 1999 : 36).
xlvi
Sarana-sarana yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu berdasarkan pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP yang berbunyi “Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan , ancaman atau penyesatan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Jadi hampir sama dengan menyuruhlakukan (Doen pleger) pada penganjuran (Uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai pembuat materiil.Yang membedakan
menyuruhlakukan
(Doen
pleger) dengan
penganjuran (Uitlokking) adalah pada menyuruhlakukan sarana mengerakkannya tidak ditentukan (tidak limitatif) dan pembuat
materiil
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan.
Sedangkan pada penganjuran mengerakkannya dengan sarana-sarana tertentu (limitatif) dan pembuat materiilnya dapat dipertanggungjawabkan. Pembantu mendeplectige, menurut Pasal 56 KUHP ada dua jenis (Barda Nawawi Arief, 1999 : 42) yaitu : (1) pada saat kejahatan dilakukan, caranya tidak ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang. (2) sebelum kejahatan dilakukan, caranya ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang yaitu dengan cara memberi kesempatan, sarana, atau keterangan. 2) Klasifikasi pertanggungjawaban pidana ditinjau dari UU RI No. 21 Tahun 2007 Adapun klasifiksai penanggungjawab pidana yang dikenal dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 antara lain : a) Setiap orang yaitu orang perorangan dan korporasi (Pasal 1 ke 4 UU RI No. 21 Tahun 2007 xlvii
(1) Orang perorangan yaitu setiap individu atau perorangan yang secara langsung bertindak melakukan perbuatan pidana perdagangan orang. (2) Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik yang merupakan badan hukum maupun bukan merupakan badan hukum yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. b) Penyelengara negara adalah pejabat pemerintah, angggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan atau memepermudah tindak pidana perdagangan orang. c) Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger), supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 KUHP. d) Membantu melakukan (Medeplichtigheid) sama halnya dalam Pasal 56 KUHP dan percobaan (Poging) dalam Pasal 52 KUHP Dalam hal pembantuan dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 ada penambahan yaitu pembantuan tidak hanya sebelum atau pada saat kejahatan perdagangan orang dilakukan tetapi juga sesudah kejahatan perdagangan orang dilakukan, seperti yang disebutkan dalam Pasal 23 UU RI No. 21 Tahun 2007 yang berbunyi setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan dengan cara : (1) Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta benda, atau harta kekayaaan lainnya kepada pelaku; (2) Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; (3) Menyembunyikan pelaku atau; xlviii
(4) Memyembunyikan informasi keberadaan pelaku e) orang yang turut melakukan (Mede pleger) sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 (1) ke-1 KUHP. f) Pengguna adalah setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang. g) Kelompok terorganisasi adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan materiil atau financial baik langsung maupun tidak langsung. c. Hapusnya pertanggungjawaban pidana ditinjau dari KUHP dan UU RI No. 21 Tahun 2007 Undang-Undang (Bab III KUHP) menentukan ada tujuh dasar yang menyebabkan tidak dapat dipidanannya si pembuat ini (Adami Chazawi, 2002 : 18), yaitu : 1) Adanya
ketidakmampuan
bertanggungjawab
si
pembuat
(rekeningsvatbaarheid, pasal 44 ayat 1) 2) Adanya daya paksa (Overmach, pasal 48) 3) Adanya pembelaan terpaksa (Noodweer, pasal 49 ayat 1) 4) Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (pasal 49 ayat 2) 5) Adanya sebab menjalankan perintah Undang-Undang (pasal 50) 6) Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah, dan (pasal 51 ayat 1)
xlix
7) Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat 2) Menurut doktrin hukum pidana, tujuh hal penyebab tidak dapat
dipidananya
si
pembuat
tersebut
dibedakan
dan
dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni (1). Atas dasar pemaaf yang bersifat subyektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat dan (2). Atas dasar pembenar yang bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain diluar batin sipembuat. Pada umumnya pakar hukum memasukkan kedalam dasar pemaaf ialah : 1) Ketidakmampuan bertanggungjawab. 2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas. 3) Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik. Sedangkan yang masuk dalam kategori pembenar adalah : 1) Adanya daya paksa 2) Adanya pembelaan terpaksa 3) Sebab menjalankan perintah Undang-Undang 4) Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah. Adapun tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf ialah bahwa perbuatannya itu walaupun terbukti melanggar UU, yang artinya ialah pada perbuatan itu tetap bersifat melawan hukum, namun berhubung hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, maka perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, dia dimaafkan atas perbuatannya itu. Contoh orang gila memukul orang lain sampai luka berat. Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat atas dasar pembenar, karena pada perbuatan tersebut l
kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataan perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, maka si pembuatnya tidak dapat dipidana. Contohnya petinju yang bertanding diatas ring memukul lawannya hingga luka-luka bahkan sampai mati. Memorie Van Toelichting (MVT) tidak secara tegas membedakan antara dasar pemaaf dengan dasar pembenar, tetapi pada dasarnya membagi antara (1). Dasar peniadaan pidana yang berasal dari dalam batin si pembuat, yakni pasal 44 ayat (1), dan (2). Dasar peniadaan pidana yang berasal dari luar batin si pembuat, yakni pasal 48, 49, 50, dan 51 (Adami Chazawi, 2002 : 19), Dalam KUHP terdapat rumusan syarat-syarat kemampuan bertanggungjawab secara negatif, artinya dalam rumusan ini dikemukakan alasan-alasan yang ada dalam diri petindak yang digunakan sebagai dasar untuk menyatakan si petindak tidak mampu bertanggungjawab Rumusan tersebut tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sebagai berikut : “barang siapa melakukan perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau jiwanya terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Dari norma yang dirumuskan pada Pasal 44 ayat (1) KUHP, jelas ada dua penyebab tidak dipidananya berhubung dengan tidak mampu bertanggungjawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, (Adami Chazawi, 2002 : 20), yaitu : 1) Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya, dan 2) Karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit.
li
Jiwanya cacat dalam pertumbuhannya adalah suatu cacat jiwa (Abnormal) yang melekat pada seseorang sejak kelahirannya misalnya ambicili, idiot, bisu tuli sejak lahir, dan lain sebagainya. Sedangkan terganggu jiwanya karena penyakit, keadaan jiwa yang abnormal ini diderita bukan sejak lahir, melainkan setelah lahir misalnya gila, epilepsi. Gangguan jiwa ini baik fisik maupun pshikis (Adami Chazawi, 2002 : 26). Dua keadaan jiwa sebagaimana disebutkan dalam pasal 44 ayat (1) adalah keadaan jiwa sebagai penyebab tidak dapat dipertanggungjawabkan atas semua perbuatannya. Dengan kata lain keadaan jiwa disitu berlaku untuk segala macam bentuk kesalahan. Oleh karena itu sifatnya umum. Disamping itu ada pula keadaan jiwa yang orangnya tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya yang sifatnya khusus, artinya hanya berlaku untuk perbuatan tertentu saja, sedangkan pada perbuatan yang lain ia tetap dapat dipertanggungjawabkan. (Adami Chazawi, 2002 : 21-22). Keadaan bertanggungjawab
jiwa atas
yang
orangnya
perbuatannya
yang
tidak
mampu
sifatnya
khusus
contohnyanya (Adami Chazawi,2002 : 23),antara lain . 1) Kleptomania yaitu suatu penyakit jiwa yang sangat kuat mendorong untuk mengambil sesuatu benda tanpa keinsyafan bahwa perbuatan itu tercela, tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya terhadap tindak pidana pencurian dan tetap dapat dipertanggungjawabkan dalam hal melakukan tindak pidana yang lain. 2) Phyromania yaitu suatu kelainan jiwa yang sangat kuat mendorong untuk membakar tanpa keinsyafan bahwa perbuatan itu
sebagai
tercela.
Penderita
Phyromania
hanya
tidak
dipertanggungjawabkan atas perbuatan pembakaran saja, tetapi tetap bertanggungjawab pada perbuatan yang lainnya. lii
Keadaan jiwa cacat dalam pertumbuhannya atau keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit (pasal 44 ayat 1), keadaan daya paksa (48), pembelaan darurat (49 ayat ke 1), pembelaan darurat yang melampaui batas (49 ayat ke 2), menjalankan perintah UU (50 ayat ke-1), melaksanakan perintah jabatan (51 ayat ke-1), melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik(51 ayat ke-2) adalah dasar peniadaan pidana yang bersifat umum artinya berlaku untuk segala tindak pidana. Dalam KUHP juga ada dasar peniadaan pidana yang bersifat khusus yaitu hanya berlaku pada tindak pidana khusus tertentu, yang tersebar dalam beberapa pasal, misalnya 163 bis ayat (2), 166 jungto 164 dan 165, 221 (2), 310 (3) (Adami Chazawi, 2002 : 62-62). Dalam UU RI No. 21 Tahun 2007
mengenai hapusnya
pertanggungjawaban pidana disebutkan dalam pasal 18 dijelaskan bahwa alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana, karena korban yang melakukan tindak pidana dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang untuk melakukan tindak pidana.
B.
KERANGKA PEMIKIRAN Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pelanggaran dan kejahatan
terhadap
manusia.
Perdagangan
perempuan
juga
dapat
menghambat pembangunan sumber daya manusia mengingat dampak sosial dan psikologis yang dialami para korban menghalangi mereka untuk berfungsi secara sosial, memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan melanjutkan proses regenerasi yang berkualitas. Perkembangan perdagangan orang beralih pada jenis manusia yang lemah yakni perempuan dan anak. Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang liii
dialami perempuan dan anak dan termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia. Tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak mengalami peningkatan baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya. Jumlah korban dari tindak kejahatan ini terus menerus mengalami peningkatan. Disamping itu akibat dari kejahatan tersebut korban mengaiami penderitaan lahir dan batin, kehancuran masa depan, kecacatan seumur hidup bahkan berakibat pada kematian. Banyak cara dan modus operandi yang dilakukan oleh pelaku kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak, antara lain, dengan cara penipuan atau janji-janji bohong sehingga korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah obyek dari kejahatan perdagangan yang dilakukan oleh pelaku perorangan ataupun suatu jaringan yang luas dan terorganisasi baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Mengenai subyek tindak pidana, hal mendasar yang membedakan antara KUHP dengan UU RI No. 21 Tahun 2007,yaitu dalam KUHP subyek tindak pidana adalah manusia. Subyek tindak pidana perdagangan orang dalam KUHP yang hanya terdiri dari manusia, maka sifat sanksinya juga hanya dapat dikenakan kepada manusia saja, sedangkan dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 subyek tindak pidana perdagangan orang tidak hanya berupa manusia tetapi juga korporasi. Mengenai
pertanggungjawaban
pidana
hal
mendasar
yang
membedakan antara KUHP dengan UU RI No. 21 Tahun 2007,yaitu ancaman hukuman atau sanksi pidananya dimana dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 yang diancamkan kepada pelaku lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 dicantumkan pidana penjara minimal dan maksimal serta denda maksimal dan minimal terhadap pelakunya sesuai dengan penggolongan pelaku, sedangkan dalam KUHP hanya dicantumkan pidana penjara maksimalnya yaitu 6 tahun penjara dan liv
tidak dicantumkan pidana penjara minimalnya ataupun dendanya terhadap pelakunya, seperti yang disebutkan dalam Pasal 297 KUHP.
Perdagangan orang
Pertanggungjawaban pidana
KUHP
Pelaku yang dapat di Pertanggung jawabkan
UU RI No. 21 Th 2007
Pertanggung Jawaban pidana pelaku
Pelaku yang dapat di Pertanggung jawabkan
Pertanggung Jawaban pidana pelaku
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. YANG DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DITINJAU DARI KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007 1. KUHP lv
Menurut hukum pidana kita dapat diketahui perihal siapa-siapa yang dapat membuat tindak pidana dan atau terlibat dalam terwujudnya tindak pidana perdagangan orang,yaitu : a. Orang yang secara tunggal perbuatannya mewujudkan tindak pidana perdagangan orang, dan yang disebut dengan pembuat tunggal (dader). Kriterianya ialah : 1) Dalam mewujudkan tindak pidana perdagangan orang tidak ada keterlibatan orang lain baik secara phisik (obyektif), maupun secara psikis (subyektif); 2) Dia melakukan tindak pidana yang telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana perdagangan orang yang dirumuskan dalam UndangUndang, yaitu memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 324, 333 (1) (2) (3), 289, 297, dan 506 KUHP. Pelaku
tindak
pidana
perdagangan
orang
dapat
dimungkinkan berbentuk tunggal, meskipun pada kenyataannya sekarang ini bahwa tindak pidana perdagangan orang tidak hanya melibatkan
orang
perorangan
tetapi
juga
korporasi
dan
penyelengara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, selain itu bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi. b. Pelaku atau pembuat lebih dari 1 (penyertaan) atau biasa disebut para pembuat (Mede dader), yang dalam mewujudkan tindak pidana perdagangan orang terlibat banyak orang dan terdiri dari empat bentuk sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP. Orang ini melakukan perbuatan yang dipertanggungjawaban sama seperti pembuat tunggal yang berbeda dengan pembuat pembantu. Subyek tindak pidana atau pelaku tindak pidana perdagangan orang yang dalam mewujudkan tindak pidana terlibat banyak orang
lvi
berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP yang terdiri dari empat bentuk yaitu : 1) orang yang melakukan (pleger), ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik perdagangan orang dalam Pasal 324, 333 (1) (2) (3), 289, 297, dan 506 KUHP. Perbedaan antara pleger dengan dader adalah bagi seorang pleger masih diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psihkis misalnya terlibat dengan seorang pembuat penganjur atau terlibat secara phisik dengan pembuat peserta atau pembuat pembantu. Jadi seorang pleger diperlukan sumbangan dari peserta lain dalam mewujudkan tindak pidana perdagangan orang 2) orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) ialah orang yang melakukan perbuatan pidana dengan perantaraan orang lain, sedangkan perantara itu hanya diumpamakan sebagai alat dan alat yang dipakai itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini doen pleger mengerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terkait dengan perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324, 333 (1) (2) (3), 289, 297, dan 506 KUHP. 3) orang yang turut serta melakukan (mede pleger), ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana perdagangan orang. Pelaku tindak pidana perdagangan orang yang dikualifikasi sebagai (mede pleger), juga harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 324, 333 (1) (2) (3), 289, 297, dan 506 KUHP 4) orang
yang
menganjurkan
(uitloker),
ialah
orang
yang
menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana perdagangan orang dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh Undang-Undang. sarana-sarana yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu didasarkan pada Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP yang berbunyi “Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau lvii
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Dalam hal ini Uitloker menganjurkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terkait dengan perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324, 333 (1) (2) (3), 289, 297, dan 506 KUHP. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (2) KUHP Uitloker hanya bertanggungjawab
terhadap
perbuatan
yang sengaja
dianjurkan saja beserta akibat-akibatnya.
c. Orang yang disebut dengan pembuat pembantu (Medeplichtige) sebagaimana yang disebut dalam Pasal 56 KUHP. Pasal 56 KUHP yang berbunyi “ dipidana sebagai pembantu (Medeplichtige) dalam suatu kejahatan : 1) Mereka yang dengan sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan ; 2) Mereka sengaja memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Pasal 56 KUHP dapat dirinci (Barda Nawawi Arief, 1998 : 42) : a. Membantu pada saat kejahatan dilakukan, caranya tidak ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang. b. Membantu sebelum kejahatan dilakukan, caranya ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang yaitu dengan memberi kesempatan, sarana , dan keterangan. 2. UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Seperti halnya dalam KUHP, dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 juga mengenal pengolongan pelaku antara lain : a. Setiap orang yaitu orang perorangan dan korporasi
lviii
1) Orang perorangan yaitu setiap individu atau perorangan yang secara
langsung
bertindak
melakukan
perbuatan
pidana
perdagangan orang. 2) Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir baik yang merupakan badan hukum maupun bukan merupakan
badan
hukum
yang melakukan
tindak
pidana
perdagangan orang. Di Indonesia perkembangan Korporasi sebagai subyek tindak pidana terjadi diluar Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu dalam Perundang-undangan khusus, sedangkan KUHP sendiri masih menganut subyek tindak pidana berupa “orang” (lihat Pasal 59 KUHP), (Dwidja Priyatno, 2004 : 21). Pasal
59
KUHP
berbunyi
“dalam
hal-hal
karena
pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana”. Dengan melihat ketentuan tersebut diatas maka penyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dahulu dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest” yaitu badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Menurut Enschede dan A Heijder ketentuan “societas delinquere non potest” adalah contoh kas dari pemikiran secara dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan sifat individu KUHP. Dalam Pasal 59 KUHP apabila dikaji memuat alasan penghapusan pidana (strafuitsluitingsgrond) yang dapat dilihat dari bunyi rumusannya yang menyatakan “maka pengurus, anggota lix
badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana” (Dwidja Priyatno, 2004 : 25). Kesulitan yang dapat timbul dari rumusan Pasal 59 KUHP adalah sehubungan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang menimbulkan kewajiban bagi seorang pemilik atau seorang pengusaha. Dalam hal pemilik atau pengusahanya adalah suatu korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan bagaimana pertanggungjawabannya (Dwidja Priyatno, 2004 : 26). Menurut hukum pidana yang berlaku di negara kita dewasa ini yang menjadi dader suatu tindak tindak pidana itu hanyalah manusia. Hal mana dapat diketahui dari beberapa kenyataan sebagai berikut ini (P.A.F Lamintang, 1997 : 599), yaitu : a) Dari rumusan-rumusan tindak pidana didalam Kitab Undang Hukum Pidana yang sebagian besar dimulai dengan perkataan “Barang Siapa..” dan dari sejumlah unsur subyektif yang harus terdapat pada pelakunya (Opzet, Oogmerk, Culpa, dan Voornement). b) Dari jenis-jenis hukuman yang telah diancamkan oleh UndangUndang kepada para pelakunya seperti hukuman denda, hukuman penjara, atau hukuman kurungan yang semuanya itu hanya dapat dilaksanakan oleh manusia. c) Dari ketentuan-ketentuan didalam hukum acara pidana, dimana orang tidak dapat menjumpai suatu ketentuanpun yang mengatur masalah penuntutan terhadap badan-badan hukum.
lx
Subyek tindak pidana korporasi dapat ditemukan dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Korporasi
dapat
menjadi
pelaku
tindak
pidana
perdagangan orang, berdasarkan Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Adapun isi dari Pasal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : Pasal 13 ayat (1), “tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”. Pasal 13 ayat (2), “dalam hal tindak pidana perdagangan
orang
dilakukan
oleh
suatu
korporasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya”. Pasal 14, “dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus ditempat pengurus berkantor, ditempat korporasi itu beroperasi, atau ditempat tinggal pengurus”. Pasal 15 ayat (1), ”dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda lxi
dengan pemberian 3 kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,dan Pasal 6”. Pasal 15 ayat (2) “selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa : pencabutan izin usaha, perampasan hasil kekayaan tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus dan atau, pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama”. Dari penjelasan yang telah disebutkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa subyek pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007, dapat berupa orang perorangan (manusia) dan korporasi. b. Penyelengara negara yaitu pejabat pemerintah, angggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana perdagangan orang. Penyelengara negara dapat menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang, berdasarkan Pasal 8 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Adapun bunyinya : Pasal
8
ayat
(1),”
setiap
penyelengara
negara
yang
menyalahgunaakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat , Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 maka pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat , Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6”.
lxii
Pasal 8 ayat (2), “selain sanksi pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya”. Pasal 8 ayat (3), “pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan Pengadilan”. c. Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger), supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 KUHP. Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger),
dapat menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang,
berdasarkan Pasal 9 UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Adapun bunyinya : “setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 240 juta rupiah”. d. Membantu melakukan (Medeplichtigheid) sama halnya dalam Pasal 56 KUHP Membantu melakukan seperti yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 56 KUHP yaitu “saat” kejahatan dilakukan atau “sebelum” kejahatan dilakukan Dalam hal pembantuan dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 ada penambahan yaitu pembantuan tidak hanya sebelum atau pada saat kejahatan perdagangan orang dilakukan tetapi juga sesudah kejahatan perdagangan orang Membantu melakukan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 23 UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Pasal tersebut merupakan “pembantuan khusus “yang ketentuan umumnya terdapat dalam Pasal 56 KUHP.
lxiii
Adapun bunyi dari Pasal 10 dan dan Pasal 23 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang adalah : Pasal 10 “setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 , Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 23 “setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan dengan cara : 1) Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta benda, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; 2) Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; 3) Menyembunyikan pelaku atau; 4) Memyembunyikan informasi keberadaan pelaku Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 200 juta rupiah. Bentuk perbuatan pembantuan (medeplictiheid), dalam tindak pidana perdagangan orang yang telah disebutkan “secara khusus” dalam Pasal 10 dan Pasal 23 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, yaitu perbuatanperbuatan tersebut yang secara “limitatif” hanya dapat berupa empat macam saja yaitu : 1) Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta benda, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; 2) Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; 3) Menyembunyikan pelaku atau; 4) Memyembunyikan informasi keberadaan pelaku. e. Orang yang turut melakukan (Mede pleger) sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.
lxiv
Orang yang turut melakukan (Mede pleger) dapat menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang, berdasarkan Pasal 11 UU RI NO. 21 TAHUN 2007. adapun bunyinya “ setiap orang yang merencanakan atau atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. f. Pengguna adalah setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang Pengguna dapat menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang, berdasarkan Pasal 12 UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Adapun bunyinya “setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak
pidana
perdagangan
orang,
dengan
cara
melakukan
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 , Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. g. Kelompok terorganisasi adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam UU RI No. 21 Tahun 2007 dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung.
lxv
Kelompok terorganisasi dapat menjadi pelaku tindak pidana perdagangan orang, berdasarkan Pasal 16 UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Adapun bunyinya : “dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka pelaku setiap tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah sepertiga”. 3. Analisa perbandingan (Komparasi) Dalam analisa perbandingan ini antara KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN
2007
berkaitan
dipertanggungjwabkan
dalam
tentang tindak
“pelaku”
pidana
yang
dapat
perdagangan
orang”,
dibedakan menjadi dua yaitu : persamaan dan perbedaan. a. Analisa persamaan Pelaku
tindak
pidana
perdagangan
orang
yang
dapat
dipertanggungjawabkan ditinjau dari KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 mempunyai persamaan yaitu : 1) Subyek tindak pidana atau pelaku tindak pidana perdagangan orang, baik dalam KUHP maupun UU RI NO. 21 TAHUN 2007 dapat dimungkinkan berbentuk “Tunggal”, yaitu orang perorangan yang melakukan tindak pidana perdagangan orang secara tunggal atau sendirian. 2) Baik dalam KUHP maupun UU RI NO. 21 TAHUN 2007 juga dikenal Subyek tindak pidana atau pelaku tindak pidana perdagangan orang yang berupa para pembuat (Mede dader) yang dalam mewujudkan tindak pidana perdagangan orang terlibat banyak orang 3) Baik dalam KUHP maupun UU RI NO. 21 TAHUN 2007 juga dikenal pelaku pembantu dalam tindak pidana perdagangan orang b. Analisa perbedaan
lxvi
Pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana perdagangan orang ditinjau dari KUHP maupun UU RI NO. 21 TAHUN 2007 mempunyai beberapa perbedaan antara lain : 1) Subyek tindak pidana atau pelaku tindak pidana perdagangan orang yang dapat dipertanggungjawabkan dalam KUHP tidaklah sama dengan UU RI NO. 21 TAHUN 2007, karena dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007, pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat berupa “orang” (manusia) atau suatu “Korporasi”, sedangkan pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam KUHP
hanya
terbatas pada “manusia” 2) Subyek tindak pidana atau pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam KUHP meliputi : a) pembuat tunggal (dader); b) para pembuat (Mede dader) yang terdiri dari empat bentuk sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu : orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut serta melakukan (mede pleger) ,orang yang menganjurkan (uitloker). c) pembuat pembantu (Medeplichtige) yaitu pada saat kejahatan dilakukan dan sebelum kejahatan dilakukan. Subyek tindak pidana atau pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 meliputi : a) Setiap orang yang terdiri dari Orang perorangan dan korporasi; b) Penyelengara negara; c) Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger); d) Pembantu
(Medeplichtigheid),
pembantuan
tidak
hanya
sebelum atau pada saat kejahatan perdagangan orang dilakukan tetapi juga sesudah kejahatan perdagangan orang; e) Orang yang turut melakukan (Mede pleger); f) Pengguna; lxvii
g) Kelompok terorganisasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam KUHP tidak dikenal subyek tindak pidana atau pelaku tindak pidana perdagangan orang yang berupa korporasi, penyelengara negara, pembantu sesudah kejahatan perdagangan orang, pengguna, dan kelompok yang terorgansiasi.
B. KOMPARASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PELAKU PERDAGANGAN ORANG MENURUT KUHP DAN UU RI NO. 21 TAHUN 2007 1. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Perdagangan Orang Menurut KUHP Dalam Bab II telah disinggung bahwa, dalam KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tidak didapat rumusan tentang pengertian pertanggungjawaban pidana dan kemampuan bertanggungjawab, oleh kerena itu pengertian tersebut harus kita cari dalam dunia ilmu hukum (doktrin). Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan adanya tindak pidana. Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya
harus
dipidana.
Untuk
dapat
dipidana
harus
ada
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatan tersebut. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah tiada pidana tanpa kesalahan. Ini
lxviii
berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. ” (Dwidja Priyatno, 2004 : 30). Sudarto menyatakan “dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-Undang dan tidak dibenarkan, Namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perbuatan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut” (Dwidja Priyatno, 2004 : 31). Dalam Rancangan KUHP Pasal 32 ayat (2) dimungkinkan dalam hal tertentu seseorang dapat dipertanggungjwabakan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu UndangUndang. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataannya orang tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan orang lain yang berada dalam kedudukan yang sedemikian itu merupakan tindak pidana. Asas pertanggungjawaban yang bersifat pengecualian ini dikenal dengan asas “Vicarious Liability” sering diartikan pertanggungjawaban
lxix
menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (Dwidja Priyatno, 2004 : 49) Dalam KUHP memang tidak ada rumusan yang tegas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan kebalikan secara negative dari kemampuan bertanggungjawab (Adami Chazawi, 2002 : 142). Dua keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggungjawab sebagaimana yang dirumuskan didalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, yakni jiwanya cacat dalam pertumbuhannya dan jiwanya terganggu karena penyekit. Orang yang dalam keadaan demikian jika melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana (Adami Chazawi, 2002 : 143). Adapun pertanggungjawaban pidana bagi pelaku perdagangan orang menurut KUHP akan dijelaskan sebagai berikut : a. Orang yang secara tunggal perbuatannya mewujudkan tindak pidana perdagangan orang. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan pada orang ini adalah pidana penjara paling lama dua belas tahun (berdasarkan Pasal 324 KUHP,) pidana penjara paling lama delapan tahun. (Pasal 333 ayat 1), pidana penjara paling lama sembilan tahun (Pasal 333 ayat 2), pidana penjara paling lama dua belas tahun (Pasal 333 ayat 3), pidana penjara paling lama enam tahun (Pasal 297), pidana penjara paling lama sembilan tahun (Pasal 289), pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak seribu rupiah (Pasal 296), pidana kurungan paling lama satu tahun. (Pasal 506). b. Orang yang disebut dengan para pembuat (Mede dader) yang dalam mewujudkan tindak pidana perdagangan orang terlibat banyak orang dan terdiri dari empat bentuk yaitu orang yang melakukan (pleger), lxx
orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut serta melakukan (mede pleger), orang yang menganjurkan (uitloker). orang ini melakukan perbuatan yang dipertanggungjawaban sama seperti pembuat tunggal. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan pada orang ini adalah pidana penjara paling lama dua belas tahun (berdasarkan Pasal 324 KUHP), pidana penjara paling lama delapan tahun.(Pasal 333 ayat 1), pidana penjara paling lama sembilan tahun (Pasal 333 ayat 2), pidana penjara paling lama dua belas tahun (Pasal 333 ayat 3), pidana penjara paling lama enam tahun (Pasal 297), pidana penjara paling lama sembilan tahun (Pasal 289), pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak seribu rupiah (Pasal 296), pidana kurungan paling lama satu tahun. (Pasal 506).
c. Orang yang disebut dengan pembuat pembantu (Medeplichtige), baik membantu pada saat kejahatan dilakukan maupun sebelum kejahatan dilakukan. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan pada orang ini adalah maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dapat dikurangi sepertiga (berdasarkan Pasal 57 ayat 1 ). Jadi pidana seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 324, 333 (1) (2) (3), 297, 289, 296, dan 506 dikurangi sepertiga. Dalam KUHP terkait dengan tindak pidana perdagangan orang yaitu dalam
Pasal 333 ayat (4) ada pengecualian terhadap
pertanggungjawaaban pidana pembantu dimana pembantu dipidana sama dengan pembuat. Pasal 333 ayat (4) adalah membantu dengan sengaja memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan yang melawan hukum. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan pada pembantu ini adalah sama dengan pembuat yang melakukan tindak
lxxi
pidana dalam Pasal 333 (1), (2), (3) yaitu pidana penjara paling lama delapan tahun, sembilan tahun, dan dua belas tahun, tidak dijatuhi maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga Pasal-Pasal berkaitan
dengan
dalam
KUHP
sebagaimana
pertanggungjawaban
pidana
tersebut
diatas
bagi
pelaku
perdagangan orang memiliki banyak kelemahan yaitu : 1) Pasal 324 dapat dipergunakan untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang karena Pasal ini melarang perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia, Namun obyeknya disebutkan secara khusus yaitu budak belian sehingga keberlakuan Pasal ini menjadi sempit sekali. 2) Upaya penuntutan kepada para germo yang sering berlaku sebagai trafficker menggunakan Pasal 333 KUHP tentang ‘merampas kemerdekaan seseorang’ juga sulit dilakukan, karena ‘anak asuhan’ nya bersedia memberikan pernyataan tertulis bahwa mereka datang atas kemauan sendiri dan seiijin orang tua. 3) Pasal 289, Pasal 296, dan Pasal 506 yang mengatur kegiatan pelacuran dimana Pasal-Pasal KUHP tersebut masih memerlukan suatu penafsiran bahwa pelacuran adalah perbuatan cabul sehingga dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau pelanggaran terhadap ketertiban umum. Sebagaimana tertera dalam Pasal-Pasal tersebut di atas, maka kegiatan pemilik bordil atau pengelola, pelanggan, germo, dan penyelenggara yang seringkali melakukan tindak kekerasan, ancaman (secara halus), pemaksaan dan menyediakan fasilitas untuk berlangsungnya pelacuran telah dikriminalisasikan, Namun ancaman hukumannya sangat ringan (1 tahun, 1 tahun 4 bulan, paling lama 9 tahun atau denda) sehingga tidak mempunyai efek jera bagi pelakunya.
lxxii
4) Pasal 297 KUHP yang secara khusus mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki dibawah umur memiliki kelemahankelemahan antara lain : a) Pada unsur wanita dan anak laki-laki di bawah umur. Unsur ini menimbulkan multi tafsir mengenai pengertian di bawah umur, apakah hanya dikenakan kepada wanita dan anak laki-laki yang dibawah umur, atau wanitanya adalah wanita dewasa dan anak laki-laki di bawah umur, yang akibatnya anak perempuan tidak terlindungi. b) Unsur-unsur di dalam Pasal tersebut juga menunjukkan bahwa laki-laki dewasa tidak terlindungi oleh hukum apabila dia menjadi korban perdagangan. c) Permasalahan lain yang berkaitan dengan Pasal 297 KUHP adalah tentang batas usia belum dewasa (di bawah umur) bagi anak laki-laki yang diperdagangkan. Seperti diketahui, dalam KUHP tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum dewasa ataupun usia dewasa. d) Ancaman pidana maksimal 6 tahun bagi pelakunya dirasakan terlalu ringan dan tidak memenuhi rasa keadilan. Selain itu dalam ketentuan tersebut tidak diatur ancaman pidana minimalnya.
Ancaman
pidana
tersebut
dirasakan
tidak
memenuhi rasa keadilan, mengingat penderitaan yang dialami oleh para korban, harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang telah dirampas dan diinjak sedemikan rupa. 2. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Perdagangan Orang Menurut UU RI NO. 21 TAHUN 2007 Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa dalam KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tidak dikenal pengertian pertanggungjawaban pidana. oleh kerena itu pengertian tersebut harus kita cari dalam dunia ilmu hukum (doktrin).
lxxiii
Dalam
hal
pertanggungjawaban
pidana
unsur
yang
paling
fondamental adalah unsur kesalahan, sebab orang atau korporasi tidak dapat diminta pertanggungjawaban kalau tanpa adanya suatu kesalahan. Dalam hal ini berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang tentunya kesalahan yang dimaksud berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Dalam UndangUndang tersebut, terdapat klasifikasi tindak pidana perdagangan orang, yaitu tindak pidana materiil dan tindak pidana formil yang keduanya telah terdapat dalam Bab II Untuk
mengetahui
Pertanggungjawaban
pidana
bagi
pelaku
perdagangan orang dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 maka perlu mengklasifikasikannya dalam beberapa bagian : a. Bagian pertama yaitu mereka yang disebut dengan pelaku (Trafficker). Mereka yang disebut dengan (Trafficker) antara lain : 1) Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen atau calocalonya di daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks. 2) Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen. 3) Aparat pemerintah adalah trafficker manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal. 4) Majikan adalah trafficker manakala menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap
lxxiv
pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang. 5) Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar Pasal 289, 296, dan 506 KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjeratnya dalam libatan utang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak,
tidak
membayar
gajinya,
atau
merekrut
dan
mempekerjakan anak (dibawah 18 tahun). 6) Calo pernikahan adalah trafficker manakala pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan. 7) Orang tua dan sanak saudara adalah trafficker manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat anaknya dalam libatan utang. 8) Suami adalah trafficker manakala ia menikahi perempuan tetapi kemudian
mengirim
isterinya
ke
tempat
lain
untuk
mengeksploitirnya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku (trafficker) tersebut di atas antara lain : a) Untuk pelaku setiap orang (orang perorangan dan korporasi) yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada mereka adalah :
lxxv
(1) pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 2-6 UU RI NO. 21 TAHUN 2007), (2) ancaman pidana dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit ,menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya (berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU RI NO. 21 TAHUN 2007). (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 5 milyar rupiah. jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, (berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU RI NO. 21 TAHUN 2007). (4) ancaman pidanannya ditambah 1/3 (sepertiga) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak (berdasarkan Pasal 17 UU RI NO. 21 TAHUN 2007). (5) dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, juga dapat dijatuhkan pidana terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal,3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU RI NO. 21 TAHUN 2007). lxxvi
(6) korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa : pencabutan izin usaha, perampasan hasil kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus dan atau pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama (berdasarkan Pasal 15 ayat (2) UU RI NO. 21 TAHUN 2007). b) untuk pelaku aparat (penyelengara negara). Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan : (1) pidananya ditambah sepertiga dari ancaman pidana dalam Pasal
2 , Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU RI NO. 21 TAHUN 2007). (2) pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU RI NO. 21 TAHUN 2007). c) Untuk pelaku yang berupa kelompok terorganisasi. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga) (berdasarkan Pasal 16 UU RI NO. 21 TAHUN 2007). b. Bagian kedua yaitu mereka yang disebut dengan pengguna (usser) perdagangan orang baik yang secara langsung mengambil keuntungan dari korban, maupun yang tidak langsung melakukan eksploitasi. Mereka yang disebut dengan pengguna (usser) antara lain : 1) Germo dan pengelola rumah bordil yang membutuhkan perempuan dan anak-anak untuk dipekerjakan sebagai pelacur. 2) Laki-laki hidung belang, pengidap pedofilia dan kelainan seks lainnya serta para pekerja asing (ekspatriat) dan pebisnis internasional yang tinggal sementara di suatu negara. 3) Para pengusaha yang membutuhkan pekerja anak yang murah, penurut, mudah diatur dan mudah ditakut-takuti. lxxvii
4) Pengusaha bisnis hiburan yang memerlukan perempuan muda untuk dipekerjakan di panti pijat, karaoke dan tempat-tempat hiburan lainnya. 5) Para pebisnis di bidang pariwisata yang juga menawarkan jasa layanan wisata seks. 6) Agen penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab. 7) Sindikat narkoba yang memerlukan pengedar baru untuk memperluas jaringannya. 8) Keluarga menengah dan atas yang membutuhkan perempuan dan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. 9) Keluarga yang ingin mengadopsi anak. 10) Laki-laki China dari luar negeri yang menginginkan perempuan “tradisionil” sebagai pengantinnya. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pengguna (usser) perdagangan orang adalah pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 , Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 12 UU RI NO. 21 TAHUN 2007). c. Bagian ketiga yaitu mereka yang disebut Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger), atau biasa disebut dengan orang yang mengerakkan supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 KUHP. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada Penganjur (Uitlokker) dan menyuruhlakukan (Doen pleger), perdagangan orang adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 6 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 240 juta rupiah, dalam hal tindak pidana tidak terjadi (berdasarkan Pasal 9 UU RI NO. 21 TAHUN 2007). Jika tindak pidana terjadi dipidana
lxxviii
dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 d. Bagian keempat yaitu mereka yang disebut orang yang turut serta melakukan (Mede pleger) sebagaimana halnya yang dimaksud dalam Pasal 55 (1) ke-1 KUHP. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang turut serta melakukan (Mede pleger) adalah dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 11 UU RI NO. 21 TAHUN 2007). e. Bagian kelima yaitu mereka yang disebut Membantu melakukan (Medeplichtigheid), membantu pelaku tindak pidana perdagangan orang tidak hanya pada saat dan sebelum kejahatan dilakukan tetapi juga setelah kejahatan dilakukan. Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang membantu pelaku tindak pidana perdagangan orang pada saat dan sebelum kejahatan dilakukan adalah dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah (berdasarkan Pasal 10 UU RI NO. 21 TAHUN 2007). Ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang membantu pelaku tindak pidana perdagangan orang setelah kejahatan dilakukan (membantu pelarian) pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan cara memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta benda, atau harta kekayaaan
lxxix
lainnya kepada pelaku, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan
pelaku
atau,
memyembunyikan
informasi
keberadaan pelaku adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 200 juta rupiah (berdasarkan Pasal 23 UU RI NO. 21 TAHUN 2007). Ketentuan tentang pembantuan pada Pasal 10 dan 23 tersebut juga merupakan ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP. Dimana dalam KUHP disebutkan dalam Pasal 57 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal pembantuan maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga. 3. Analisa Perbandingan (Komparasi) Dalam analisa perbandingan ini antara KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 berkaitan tentang “pertanggungjawaban pidana” bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, dibedakan menjadi dua yaitu : persamaan dan perbedaan. a. Analisa persamaan Dalam KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 berkaitan tentang “pertanggungjawaban pidana” bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang mempunyai persamaan, yaitu : Bahwa dalam KUHP dan UU RI NO. 21 dalam hal pertanggungjawaban pidana unsur yang paling fondamental adalah unsur kesalahan, sebab orang atau korporasi tidak dapat diminta pertanggungjawaban kalau tanpa adanya suatu kesalahan. Dalam hal ini berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang tentunya kesalahan yang dimaksud berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 b. Analisa perbedaan
lxxx
Pada prinsipnya dalam KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 berkaitan tentang “pertanggungjawaban pidana” bagi pelaku tindak pidana perdagangan memilki perbedaan antara lain : 1) “Pertanggungjawaban
pidana”
bagi
pelaku
tindak
pidana
perdagangan orang dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 dinyatakan secara tegas dan jelas mengenai ancaman pidana atau sanksi pidananya terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang. Sanksi yang diancamkan kepada pelaku lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Pasal-Pasal dalam KUHP tidak memberikan sanksi yang tegas dan terlalu ringan serta mempunyai banyak kelemahan-kelemahan sehingga sulit untuk menjerat para pelaku perdagangan orang. Dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 dicantumkan pidana penjara minimal dan maksimal serta denda maksimal dan minimal terhadap pelakunya sesuai dengan penggolongan pelaku, sedangkan dalam KUHP hanya dicantumkan pidana maksimalnya dan tidak dicantumkan pidana minimalnya terhadap pelakunya karena ketentuan pidana minimal telah diatur secara tersendiri dalam Buku Ke-satu (aturan umum). 2) Berkaitan tentang “pertanggungjawaban pidana”
bagi pelaku
tindak pidana perdagangan dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 terdapat ketentuan khusus yang berbeda dengan KUHP yaitu dalam hal pembantuan. Ketentuan tentang pembantuan pada Pasal 10 dan 23 dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007
tersebut merupakan
ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP. Dimana dalam KUHP disebutkan dalam Pasal 57 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal pembantuan maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga sedangkan dalam Pasal 10 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 pembantu dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling lxxxi
sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Kemudian dalam Pasal 23 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 pembantu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 200 juta rupiah. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan analisis dari berbagai macam data sekunder mengenai komparasi (perbandingan) Pertanggungjawaban Pidana Delik Perdagangan Orang ditinjau dari KUHP dan UU RI NO 21 TAHUN 2007 maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut 1. Bahwa
pelaku
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
dalam
delik
perdagangan orang ditinjau dari KUHP dan UU RI NO 21 TAHUN 2007 memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah baik dalam KUHP dan UU RI NO 21 TAHUN 2007 sama-sama mengenal pelaku perdagangan orang yang berbentuk tunggal (orang perorangan), para pembuat (Mede dader) yang dalam mewujudkan tindak pidana perdagangan orang terlibat banyak orang, dan pelaku pembantu dalam tindak pidana perdagangan orang. Sedangkan perbedaannya adalah dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007, pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat berupa “orang” (Manusia) atau suatu “Korporasi”, sedangkan pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam KUHP hanya terbatas pada “manusia”. Perbedaan yang lain adalah mengenai pembagian golongan pelaku tindak pidana perdagangan orang. Menurut KUHP, pelaku tindak pidana perdagangan orang terdiri dari : (1) pembuat tunggal (dader), (2) para pembuat (Mede dader) yang terdiri dari empat bentuk sebagaimana disebut dalam pasal 55 ayat (1) KUHP yaitu : orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut serta melakukan (mede pleger),orang yang menganjurkan (uitloker). (3) lxxxii
pembuat pembantu (Medeplichtige) yaitu pada saat kejahatan dilakukan dan sebelum kejahatan dilakukan. Sedangkan menurut UU RI NO 21 TAHUN 2007 pelaku tindak pidana perdagangan orang terdiri dari : (1) Setiap orang yang terdiri dari Orang perorangan dan korporasi, (2) Penyelengara negara, (3) Penganjur (Uitlokker) dan atau menyuruhlakukan (Doen pleger), (4) Pembantu (Medeplichtigheid), pembantuan tidak hanya sebelum atau pada saat kejahatan perdagangan orang dilakukan tetapi juga sesudah kejahatan perdagangan orang, (5) orang yang turut melakukan (Mede pleger), (6) Pengguna, (7) Kelompok terorganisasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam KUHP tidak dikenal subyek tindak pidana atau pelaku tindak pidana perdagangan orang yang berupa korporasi, penyelengara negara, pembantu sesudah kejahatan perdagangan orang, pengguna, dan kelompok yang terorgansiasi. 2. a. KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 berkaitan tentang “pertanggungjawaban pidana” bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang mempunyai persamaan, yaitu : Bahwa dalam KUHP dan UU RI NO. 21 dalam hal pertanggungjawaban pidana unsur yang paling fondamental adalah unsur kesalahan, sebab orang atau korporasi tidak dapat diminta pertanggungjawaban kalau tanpa adanya suatu kesalahan. Dalam hal ini berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang
tentunya
kesalahan
yang
dimaksud
berkaitan
dengan
pelanggaran terhadap ketentuan KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007. Selain itu KUHP dan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 berkaitan tentang “pertanggungjawaban pidana” bagi pelaku tindak pidana perdagangan
orang
juga
mempunyai
perbedaan
yaitu
:
Pertanggungjawaban pidana” bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 dinyatakan secara tegas dan jelas
mengenai ancaman pidana atau sanksi pidananya terhadap
pelaku tindak pidana perdagangan orang. Sanksi yang diancamkan kepada pelaku lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Pasal-Pasal dalam KUHP tidak memberikan sanksi yang tegas dan terlalu ringan lxxxiii
serta mempunyai banyak kelemahan-kelemahan sehingga sulit untuk menjerat para pelaku perdagangan orang. Dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 dicantumkan pidana penjara minimal dan maksimal serta denda maksimal dan minimal terhadap pelakunya sesuai dengan penggolongan pelaku, sedangkan dalam KUHP hanya dicantumkan pidana maksimalnya dan tidak dicantumkan pidana minimalnya (baik penjara, denda, maupun kurungan) terhadap pelakunya karena ketentuan pidana minimal telah diatur secara tersendiri dalam Buku Ke-satu (aturan umum). 2. b. Perbedaan yang lain adalah bahwa dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 terdapat ketentuan khusus yang berbeda dengan KUHP yaitu dalam hal pembantuan. Pembantuan pada pasal 10 dan 23 dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 tersebut merupakan ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP. Dimana dalam KUHP disebutkan dalam pasal 57 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal pembantuan maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga sedangkan dalam pasal 10 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 pembantu dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 yaitu pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 120 juta rupiah dan paling banyak 600 juta rupiah. Kemudian dalam pasal 23 UU RI NO. 21 TAHUN 2007 pembantu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit 40 juta rupiah dan paling banyak 200 juta rupiah.
B. SARAN Pada akhir penulisan skripsi ini dengan berpegang pada hasil analis penelitian dari hasil studi kepustakaan, maka dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut : lxxxiv
1. Mengingat bahwa perdagangan orang melibatkan laki-laki, perempuan dan anak-anak bahkan bayi sebagai korban sebaiknya dalam hal menentukan subyek tindak pidana perdagangan orang menerapkan ketentuan yang ada dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus untuk mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk ekploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun secara antar negara, baik oleh pelaku perorangan (manusia) maupun korporasi. Karena selama ini Pasal-pasal KUHP mempunyai banyak kelemahan-kelemahan sehingga sulit untuk menjerat para pelaku perdagangan orang. 2. Penerapan pertanggungjawaban pidana hendaknya berdasarkan UU RI NO. 21 TAHUN 2007 karena didalam ketentuan-ketentuan sanksi pidananya tidak hanya dapat dikenakan kepada orang atau manusia saja tetapi juga dapat dikenakan kepada korporasi selain itu sanksi yang diancamkan dalam UU RI NO. 21 TAHUN 2007 lebih berat dibandingkan dengan KUHP mengingat bahwa KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan penderitaan yang diderita korban perdagangan orang. Dengan adanya sanksi yang lebih berat diharapkan agar dapat memberikan efek jera kepada pelaku perdagangan orang. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. _____________. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Bambang Sunggono. 1997. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Barda Nawawi Arief. 1999. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Semarang : Badan Penyediaaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Di Ponegoro Dwidja Priyatno. 2004. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia. Bandung : CV Utomo
lxxxv
Heribertus Sutopo. 1998. pengantar penelitian kualitatif. Surakarta : Puslitbang UNS Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta. P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. PT Citra Aditya Bakti. Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta : Aksara Baru. Soerjono Soekanto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesian Press. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta : Raja Grafisindo Persada. Peraturan Perundang-Undangan -
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
-
Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dari Internet http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf http://jakarta.usembassy.gov http://www.stoptrafiking.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=24 6&Itemid=23 Pk. 8:48 Pm
lxxxvi