ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 (Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1.642/Pid.B/2009/PN.Medan)
JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: DANIEL ANDREO NIM : 070200150
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
ANALISIS JURIDIS TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007
JURNAL ILMIAH Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh: DANIEL ANDREO NIM : 070200150 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Diketahui/Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
Liza Erwina SH, M.Hum NIP : 19730220200212001 Dosen Editor
Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum NIP : 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012
ABSTRAK
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Makanya tindak pidana perdagangan di Indonesia telah menjadi perhatian khusus bagi aparat penegak hukum. Hal ini disebabkan perdagangan orang di Indonesia dilakukan dengan terorganisasi oleh pelakunya sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengungkap tindak pidana perdagangan orang ini. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai pengaturan tentang tindak pidana perdagangan orang dalam peraturan perundang-udangan. Peraturan tentang perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1642/Pid.B/2009 PN.Mdn. Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam UndangUndang No. 21 Tahun 2007 merupakan peraturan khusus (Lex specialis) dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Perdagangan orang adalah salah satu bentuk dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, dan penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun di luar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi
Kata Kunci : Tindak Pidana Perdagangan Orang
1
A. PENDAHULUAN Trafficking bukanlah hal yang baru. Kasus trafficking telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, yaitu pada masa kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh Justinian, tahun 527-565M 1. Pada masa itu, Justinian menulis sebuah catatan tentang adanya pihak yang ingin mengambil keuntungan lebih banyak dari prostitusi. Pihak tersebut merayu para perempuan muda miskin dengan barangbarang mahal. Setelah itu, mereka menyekap dan memaksa para perempuan itu untuk terus bekerja dalam rumah bordil selama mucikari menghendakinya Trafficking in person atau perdagangan manusia mungkin bagi banyak kalangan merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk didengar oleh karena tingkat terjadinya trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi di Indonesia sendiri. Fenomena ini memang adalah hal yang sering menjadi pusat perhatian berbagai kalangan. Sebagaimana yang diketahui bahwa trafficking terhadap manusia adalah suatu bentuk praktek kejahatan kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang lemah secara ekonomi, sosial, politik, kultural, dan biologis. Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini digunakan secara resmi di dalam Undang-Undang No.21 tahun 2007 dengan sebutan Perdangangan Orang sebagai “the form of modern day slavery”. Sebutan tersebut sangat tepat karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern ini. Ia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang melanggar harkat dan martabat manusia. Penegakan hukum dewasa ini dapat dikatakan belum memenuhi harapan., bukan hanya karena masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang dipertanyakan tetapi juga masalah peraturan perundang-undangan serta masalah ketersediaan sarana dan prasarana pendukungnya2. Proses penegakan hukum tidak akan pernah terlepas dari upaya kebijakan politik kriminal, karena kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan itu merupakan bagian integral dari
1 Sietske Altink, Stolen Lives: Trading Women Into Sex And Slavery, (New York: Harrington Park Press, 1995), hal.8. dikututip dari buku Politik Perdagangan Perempuan karya Andy Yentriyani, (Yogyakarta: Galang Press, 2004), hal 18-19. 2 Satjipto Rarjo, Membedah Hukuman Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006). Hal. 122-12
2
upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat (social welfare)3. Upaya penegakan hukum terkait dangan tindak pidana perdagangan orang ini, maka pada tanggal 19 April 2007, Lembaran Negara No. 58, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang tentang Pemerantasa Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) No. 21 Tahun 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tanggal 19 April 2007, lahirlah Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, terbitnya undang-undang ini merupakan suatu prestasi, karena dianggap sangat komprehensif dan mencerminkan ketentuan yang diatur dalam Protokol PBB. Perdagangan orang (trafficking) adalah pelanggaran HAM yang paling kejam karena merupakan bentuk baru dari perbudakan dan tidak mengindahkan derajat dan martabat manusia. Di Indonesia, trafficking merupakan salah satu masalah kriminal yang sulit dicegah dan ditangkap pelakunya. Contoh kasus fenomenal yang berhasil ditangkap adalah kasus 600 anak perempuan dari Sumatera Utara yang dijual untuk dilacurkan ke Dumai, Kepulauan Riau. Sementara itu, Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisan Republik Indonesia mencatat, tahun 1999 hinggal Desember 2007 terdapat 514 kasus Trafficking4. Meskipun Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak Perdagangan Orang, masih banyak pelaku yang belum tertangkap. Kejahatan trafficking seringkali tak hanya berlokasi di negeri sendiri (Indonesia), tetapi juga melibatkan pihak asing yang bertempat di luar negeri (negara lain) sehingga sulit untuk diberantas. Oleh karena itu, harus ada kerja sama yang kuat antar negara untuk memberantas trafficking.
3 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 122-124 4 Barda Nawai Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.2
3
Trafficking manusia juga dikienal diseluruh dunia sebagai satu-satunya tindakan atau perbuatan pidana yang telah secara signifikan menjerumuskan jutaan korban ke dalam perbudakan dan memungkinkan jaringan kejahatan terorganisir
untuk
mengalihkan
mengoperasikan kejahatan terkait
dana
yang
besar
ke
berbagai
upaya
lainnya, seperti perdagangan narkotika,
pencucian uang dan lain sebagainya yang dapat berpotensi melumpuhkan sendisendi perekonomian negara dan sistem penegak hukum. Hal ini juga yang menyebabkan tindak pidana perdagangan orang ini masuk kedalam kejahatan lintas negara. B. PERMASALAHAN 1. Bagaimanakah yang dimaksud dengan konsep pertanggungjawaban pidana menurut perundang-undangan hukum pidana? 2. Bagaimanakah yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana
pelaku percobaan tindak
pidana perdagangan orang menurut Undang-Undang No.21 Tahun 2007 (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn)? C. METODE PENELITIAN Metode penelitian digunakan dalam suatu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ialah penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir atau logika yang tertentu dan yang menggabungkan metode induksi (empiris), karena penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian empiris dan hipotesis-hipotesis atau teori yang disusun secara deduktif5. Metode yang digunakan dalam penelitan ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang
5 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal. 105.
4
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judical process)6. Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatifteoritis dan analisis normatif-kualitatif. Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu tekni pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undagan, buku-buku, karaya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahasa oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupankan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya7. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibagun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum ini dikatakan juga penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, yang
dilakukan secara
horizontal. Ditelaah secara
dilihat bagaimana
vertikal berarti
vertikal dan hirarkisnya,
sedangkan secara horizontal adalah sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang itu mempunyai hubugan fungsional secara konsisten.
6 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penilitian Hukum, (Jakarta: Grafitti Press, 2006), hal 118. 7 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 57.
5
D. HASIL PENELITIAN 1. Konsep pertanggungjawaban pidana dalam perundang-undangan hukum pidana a.
Kemampuan Bertanggung Jawab Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa
pembuat mampu bertanggungjawab. Tidaklah mungkin seorang dapat dipertanggungjawabakan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Pertanyaan yang muncul adalah, bilamanakah seseorang itu dikatan mampu bertanggung jawab? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu? Dalam KUHP tidak ada
ketentuan tentang
arti kemampuan
bertanggung jawab, yang berhubungan denga itu Pasal 44:
“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit tindak di pidana.” Dari Pasal 44 tersebut dan dari beberapa pendapat sarjana hukum, Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada: 1) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; 2) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi8, yang pertama adalah faktor
8 Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Semarang: Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1990, hal. 165.
6
akal, yaitu dapat membedakan atara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyusaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas nama yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentan baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan.
Orang
yang
demikian
itu
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan. Menurut Pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinya cacat atau sakit dalam tubuhnya9. b. Kesengajaan Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
(Criminiel
Wetboek) tahun 1809 dicantumkan :”sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-XQGDQJ´_ Dalam Memorie
Van
Toelichting (MVT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel Wetboek tahun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915), di jelaskan: “sengaja diartikan: “dengan Sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”. Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak, dan perbuatan merupakan pelaksanaan
dari kehendak. De
will
(kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian
9 Ibid
7
“sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau Membayangkan10. Menurut teorei kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A mengarahkan pistol kepada B dan A menembak Mati B; A adalah “sengaja” apbila A benar-benar menghendaki kematian B. Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia
hanya
dapat
mengingiinkan,
mengharapkan
atau
membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja”apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketehui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. Dari kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada teori pengetahuan atau membayangkan. Alasannya adalah:11 Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu saja dikehendaki olehnya.
10 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Akasara, 1984), hal. 171-176. 11 Ibid, 172-173
8
Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah, bahwa ia menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, maka (1) harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang hendak dicapai; (2) antara motif,
perbuatan dan tujuan harus ada
hubungan kausal dalam batin terdakwa. Dari uraian tersebut, pembuktian terhadap teori kehendak itu tidak mudah dan memakan banyak waktu dan tenaga. Lain halnya kalau kesengajaan diterima sebagai pengetahuan. Dalam hal ini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsurunsur perbuatan yang dilakukannya saja. Tidak ada hubungan kausal antara
motif
dengan
perbuatan.
Hanya
berhubungan
dengan
pertanyaan, apakah terdakwa mengetahui, menginsafi, atau mengerti perbuatannya, baik kelakuan yang dilakukan maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Dalam perkembangannya kemudian, secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian dan, kesengajaan
dengan
sadar
kemungkinan
(dolus
eventualis)12.
Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik pengadilan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti
12 Ibid, hal. 174-175.
9
dalam praktik pengadilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusannya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Praktek peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan seusai dengan tingkat kesalahan terdakwa. c. Kealpaan Kealpaan adalah terdakwa
tidak bermaksud melanggar
larangan udangn-undang, tetapi ia tidak mengidahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebtu. Jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang obejktif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smidt yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut:13 Pada umumnnya bagi kejahatan-kejatahan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehigga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang teledor.
13 Ibid, hal 198.
10
Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya
hal yang
dilarang, tetapi kasalahannya,
kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, ialah ia kurang mengindahkan larangan itu. Dari apa yang diutarakan di atas, Moeljatno berkesimpulan bahwawa kesengajaan adalah yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi, dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang14. Selanjutnya,
dengan
mengutip
mengatakan kealpaan itu mengandung
Van
Hamel,
Moeljatno
dua syarat, yaitu tidak
mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan pengahati-hati sebagaimana diharuskan hukum15. d. Alasan Penghapusan Pidana Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I
Bab III
Tentang hal-hal yang
menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai alasan penghapus pidana,
14 Ibid 15 Ibid, hal. 201
yaitu alasan-alasan
yang memungkinkan orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi rumusan delik tindak pidana. Memorie van Toelichting (M.v.T) mengemukakan apa yang Disebut “alasan-alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya
seseorang” M.v.T´
menyebut 2 (dua) alasan: 1) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, dan 2) Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu. Disamping perbedaan yang dikemukakan dalam M.v.T, ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan sendiri terhadap alasan penghapus pidana, yaitu: 1) Alasan penghapus pidana yang umum, yaitu yang berlaku umum untuk tiap-tiap delik, hal ini diatur dalam Pasal 44, 48 s/d 51 KUHP. 2) Alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja, misal Pasal 221 ayat (2) KUHP: “menyimpan orang yang melakukan kejahatan dan sebagainya.” Di sini iat tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan dari isteri, suami dan sebagainya orang-orang yang masih adal Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembeedaan
antara dapat dipidananya
perbuatan dan
dapat dipidananya
pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2 (2) jenis alasan penghapus pidana yaitu: a) Alasan pembenar, dan b) Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan i.
Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini
telah memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemindanaan ii.
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah atau tidak
dapat
dipertanggungjawabkan,
meskipun
perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sisi lain ada alasan yang
menghapuskan kesalahan si pembuat,
sehingga tidak dipidana. 2. Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1) UU PTPPO berbunyi: Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau menfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang
tersebtu
terekploitasi. Penjelasan umum dari undang-undang ini menyebutkan bahwa perdangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Kemajuan
teknologi
informasi,
komunikasi
dan
transportasi
ini
dimanfaatkan oleh orang atau sekelompok orang utnk melakukan atau mengembangkan kejahatannya. Salah satu bentuk kejahatan yang berkembang itu adalah perbudakan atau perhambaan dalam bentuk yang baru yaitu perdagangan orang
(trafficking), yang
beroperasi secara
tertutup dan
terorganisasi dan disertai dengan semakin canggihnya peralatan dan modus operandinya 3. Pertanggungjawaban
Pidana
Pelaku
Percobaan
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Dikaitkan
Dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
Nomor
1.642/Pid.B/2009/PN.Medan Menganalisis
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No. 1.642/Pid.B/2009/PN.Mdn di atas, dari sisi pelaksanaan pidana, tidak
akan terlepas dari substansi UU, SDM aparat penegak hukum, sarana dan prasarana pendukung, kelompok kepentingan dalam masyarakat, dan budaya hukum masyarakat. Karena itu dalam mengadili dan menjatuhkan vonis, hakim tidak hanya berpedoman pada
hukum tertulis saja (corong undang-
undang), tapi harus memperhatikan nilai-nilai yang
ada dalam hidup
masyarakat. Atas dasar itu, penegakan hukum harus berpedoman pada cara-cara penyelesaian konflik berdasarkan aturan hukum, baik hukum tertulis (UU) ataupun hukum tidak tertulis (nilai-nilai yang berupa hukum adat). Tugas dari aparat penegak hukum sebaiknya tidak hanya sebagi penjaga ketertiban (social order) yang berfungsi sebagai mulut/corong undang-undang, tetapi harus didasarkan pada
kekuatan ratio
manusia dan nilai-nilai dalam
masyarakat, yang merupakan pengakuan atas hak asasi manusia. Dilihat dari segi hukum HAM, putusan terhadap pelaku harus memenuhi rasa keadialan masyarakat, dan nilai-nilaii yang hidup dalam masyarakat. Namun
rasa keadilan masyarakat tidak dapat terpenuhi
sepenuhnya, karena
tindak pidana
perdangangan orang yang
sangat
meresahkan dan menganggu tatanan dalam masyarakat, dalam realita juga didukung oleh masyarakat tertentu karena masih dianggap menguntungkan dari segi ekonomi (bagi pihak pelaku), tatapi secara umum TPPO harus diberantas. Karena itu, apabila putusan hakim dirasakan kurang adil dan tidak memenuhi
rasa
keadilan
masyarakat,
maka
akan
menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum, dan pada akhirnya akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastiaan,
bahkan tidak menutupi
kemungkinan akan terjadi peradilan jalanan. Selain itu prosess penegakan dan pelaksanaan hukum pidana yang telah dilaksanakan sebagaimana di atas, maka peranan hukum pidana tidak hanya berperan sebagai sarana mengatur ketertiban masyarakat (social order) dalam rangka menciptakan kebijakan sosial (social defence), dana baik secara preventif maupun refresif, maka putusan hakim akan sesuai dengan tujuan kebijakan hukum pidana, yaitu kesejahteraan masyarakat. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan uraian tersebut di atas adalah: 1. Tentang pertanggungjawaban pidana menurut perundang-undangan Hukum Pidana
yakni untuk adanya pertanggungjawaban
diperlukan syarat bahwa
pembuat mampu bertanggung
pidana jawab.
Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab ini dapat berupa kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi 2. Tindak pidana perdagangan orang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah yang dapat dikategorikan sebagai pelaku tidak hanya orang namun juga dapat berupa instansi. Dalam aspek tindakan, yang
dimaksud dengan tindak pidana
perdagangan orang adalah seluruh atau sebagian, langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan ketentuan perbuatan yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam aspek sanksi, terdapat dua jenis sanksi pokok yakni sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Selain itu terdapat juga sanksi tambahan dan pemberat 3. Tentang pertanggungjawaban Pidana Pelaku percobaan dalam Putusan No. 1642/Pid B/2009/PN Mdn vonis selama 3 (tiga) tahun dan dendan Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) terhadap terdakwa menurut penulis sudah sesuai dengan ketentuan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan tujuan dari pemidanaan, mengingat tidak selalu tuntutan pidana dari JPU harus dipenuhi, karena Hakim mempunyai dasar pertimbangan-pertimbangan dalam memutus dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa, tetapi juga terhadap pengenaan saksi dendan sudah sesuai dengan tuntutan dan ancaman dari Pasal yang didakwakan. Pengenaan sanksi
sebesar Rp. 120.000.000,-
(seratus dua puluh juta) dirasakan akan menimbulkan efek jera bagi para perekrut/penghubung/calo/Trafickker, mengingat dendan minimal dari Pasal yang didakwakan adalah sama dengan yang diputuskan oleh hakim.
2. Saran 1. Dalam menentukan kemampuan bertanggungjawab atas diri tersangka, aparat penegak hukum harus memperitmbangkan segala aspek baik penilaian baik fisik maupun psikis yang melekat pada diri terdakwa sebab tidak jarang ditemukan kasus dimana terdakwa yang notabene masuk dalam golongan yang tidak memiliki kemampuan bertanggung jawab dikategorikan sebaliknya dalam proses penegakan hukum.
2. Perlu dilakukan sosialisasi secara lebih luas atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 terhadap masyarakat, sebab berlakunya undang-undang ini secara kasat mata tidak memberikan perubahan yang signifikan atas identitas penurunan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia. Hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana perdagangan orang harus benar-benar memahami maksud dan tujuan diberikannya hukuman dan menerapkan makna tersebut secara komprehensif tanpa adanya intervensi maupun kecenderungan dari pihak manapun dan dalam kondisi apapun. F. DAFTAR PUSTAKA Achie Sudiarti Luhilima, “Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan”’ (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal. 38-39.
Ahmad Sofian, Misran Lubis, dan Rustam, Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak: Kasus Sumatera Utara, (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2004). Kasus ini diberitakan dalam harian Kompas tanggal 26 Maret 2000. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafiti Press, 2006), hal. 118 Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 2 Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 201), hal. 1, Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11 Harkristuti Harkriswono, Laporan Perdagangan Indonesia, (Jakarta: Sentra HAM UI, 2003) hal. 60.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), Hal. 57. Karen E. Bravo, “Human Trafficking: Global and Nation Responeses To The Cries for Freedom, Article, (Westlaw: University of St. Thomas Law Journal, 2009), hal. 2 Kathleen K. Hogan, Comment Slavery in The 21 st Century and in New York: What Has The State Legislature Done?” Westlaw: Albany Law School, 2008), hal. 2. Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta: Prenada Media, 1997), hal. 42. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. 1997. Bandung : CitraAditya. Bakti. Hlm. 536 Loebby Loqman. 1996. Percobaan,Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hal.171-173 Monsignor Franklyn M, “International Trafficking in Persons: Suggested ´Responses to a scourge of Humankid”,, (Westlaw: Intercultural Human Rights Law Review, 2008), hal. 1. Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2005), hal 141 Poerwodarminto dalam buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada Hlm. 1 Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Tesis, (Bandung: Bina Cipta, 2004), hal. 97. 5 XGKL 3UDVHW\D_ ³Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, Makalah Seminar Nasional Hukum Pidana, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Tanggal 12-24 November 1989, hal. 12. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cetakan Pertama, (Jakarta: Ghali Indonesia, 1982), hal. 98. Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Jakarta: Yayasan LBH, 1989, hal 79 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hal. 122-124 Sietske, Altink, Stolen Lives: Trading Women Into Sex and Slavery, (New York: Harrington Park Press 1995), hal. 8. Dikutip dari buku Politik Perdagangan Perempuan karya Andy Yentriyani, (Yogayakarta: Galang Press, 2004), hal. 18-19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Grafitti Press, 1990), hal. 14. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2006), hal. 225. Solidaritas Perempuan (Lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia). HAM dalam Praktik Paduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, hal 5
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua (Semarang: Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1990, hal 165. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung: Rineka Cipta, 1994), hal 105. United Nation Office on Drugs and Crime, Human Trafficking, New York, 2008 Widya Susanty, Skirpsi, Fenomena Kekerasan Seksual Korban Trafficking, 2002, hal 25-26