JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412
403
Studi Komparasi Pada Interior Klenteng Tien Kok Sie Di Surakarta Dan Klenteng Fuk Ling Miao Di Yogyakarta Ditinjau Dari Aspek Fengshui Dan Budaya Jawa Stephanie Clorinda Santosa; Martino Dwi Nugroho, S.Sn, M.A , Grace Mulyono, S.Sn, M.T Program Studi Desain Interior, Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto 121-131, Surabaya E-mail:
[email protected];
[email protected],
[email protected]
Abstrak- Klenteng adalah tempat ibadah bagi umat Tri dharma dan sebagai apresiasi bentuk budaya leluhur masyarakat Tionghoa memiliki keunikan dan seni arsitektur yang tinggi. Objek penelitian dipilih klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta. Keduanya adalah klenteng yang berdiri di pusat kebudayaan dan merupakan tempat ibadah masyarakat Tionghoa yang berdiri dengan dukungan dari pihak kraton. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap studi komparasi pada interior Klenteng Tien Kok Sie Di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miao Di Yogyakarta ditinjau dari aspek fengshui dan budaya Jawa. Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif komparatif. Data-data dikumpulkan dengan metode studi literatur, observasi langsung, dan wawancara. Berdasarkan analisis data ditemukan bahwa adanya akulturasi dari nilai-nilai feng shui dengan budaya Jawa pada klenteng Tien Kok Sie dan klenteng Fuk Ling Miau dari aspek lokasi ruang suci utama, jumlah pintu dan makna bentuk pintu, ragam hias, dan bentuk pemasangan konstruksi plafon. Namun akulturasi budaya Jawa dominan pada klenteng Fuk Ling Miau dari kesamaan lokasi, arah hadap, dan peninggian lantai. Ini membuktikan klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta lebih mengikuti nilai-nilai budaya Jawa.
Kata Kunci : Klenteng, Fengshui, Budaya Jawa, Komparasi Abstrac— Temple is a place of worship for the people of Tri dharma and as appreciation form the ancestral culture of Chinese community has a unique and high architectural art. The object of research selected Tien Sie Kok temple in Surakarta and Fuk Ling Miau temple in Yogyakarta. Both are temple stands at the cultural center and a place of worship of the Chinese community are standing with the support of the palace. The study was conducted with the aim to reveal comparative study of interior Tien Sie Kok temple in Surakarta and Fuk Ling Miau temple in Yogyakarta terms of aspects of feng shui and Javanese culture. Research using the comparative method of qualitative research. The data collected by literature study, direct observation, and interviews. Analysis found that acculturation of values feng shui with Javanese culture in Tien Sie Kok temple and Fuk Ling Miau temple of the sacred space location, number and shapes meaning of doors, decorative, construction and installation of ceiling forms. However acculturation dominant in Fuk Ling Miau temple of similarity location, direction toward, and the elevation of the floor. This proves Fuk Ling Miau temple in Yogyakarta more follow the values of javanese culture. Keywords: Temple, Fengshui, Javanese Traditional, Comparison
I. PENDAHULUAN tnis Cina mulai merantau dan berdagang di Surakarta dan Yogyakarta sebelum kota tersebut dibentuk. Para pedagang tersebut melakukan hubungan dagang dengan melakukan kontak sosial ekonomi dengan penduduk setempat. Barang dagangan yang dibawa adalah barang kelontong kebutuhan sehari-hari yang diangkut dari Tiongkok dengan mempergunakan kapal. Cina pedagang yang merantau ke Surakarta membawa berbagai kebudayaan nenek moyang. Salah satu bentuk kebudayaan itu adalah kepercayaan tradisional yang berupa agama. Etnis Cina membangun pula tempat ibadah yang disebut kelenteng yang dipergunakan pula sebagai tempat berkumpul. Perjanjian Giyanti memutuskan Mataram terbelah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Adinigrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Adiningrat. Separoh bagian dengan pusat kota Surakarta berada di bawah pemerintahan Sunan Paku Buwana III, sedangkan separoh bagian lainnya yakni Yogyakarta berada dibawah pemerintahan pamannya, Sultan Hamengku Buwana I. Pada waktu itu, kekuasaan politik kedua kerajaan kembar tersebut telah berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda. Kedua pemerintahan kerajaan itu menjadi pusat kebudayaan dengan mengetengahkan ciri khas masing-masing. (Gustami 43). Keraton Jawa sebagai pusat kekuasaan merupakan pusat dimana perkembangan permukiman urban di Jawa bermula. Dari sekian banyak keraton yang ada di Jawa, terdapat dua buah kota dengan embrio keraton yang masih memiliki elemen-elemen kota yang lengkap baik dari segi artefak maupun aktivitasnya, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kedua kota ini secara khusus memiliki banyak kemiripan latar belakanh dan konsep pembentukannya, sehingga secara umum akan terlihat sebagai dua kota yang kembar (the royal twin cities). Dengan nilai artefak yang cukup banyak serta kegiatan budaya Jawa yang hidup pada kedua kota, menjanjikan kedua kota ini sangat spesifik dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. (Wibawa 2002:23) Di Surakarta, terdapat dua buah bangunan klenteng yang telah berdiri ratusan tahun yang lalu dan memiliki banyak nilai sejarah. Kelenteng Tien Kok Sie merupakah salah satu kelenteng tertua di Kota Surakarta yang dibangun pada 1745.
E
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412 Berdirinya kelenteng ini mengikuti berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat, dan letaknya pun di dekat keraton. Di Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki Klenteng tua yang hingga saat ini masih hidup harmonis dengan kebudayaan Jawa. Kelenteng Fuk Ling Miau merupakan hadiah dari Sultan Hamengku Buwono II kepada permaisurinya yang berasal dari negeri tiongkok. Usia bangunan Kelenteng Gondomanan sudah mencapai 200-an tahun. Berdasarkan latar belakang, dipilih dua buah klenteng tersebut karena memiliki banyak nilai sejarah yang melambangkan keharmonisan antara etnis Jawa dan Tionghoa dan dapat menjawab beberapa pertanyaan yaitu bagaimana aplikasi nilai-nilai Feng Shui pada Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta dan bagaimana perbandingan aplikasi Jawa dan Cina dari Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta. Rumusan masalah yang dihadapi dalam penelitian ini adalah bagaimana aplikasi nilai-nilai Fengshui pada Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miao di Yogyakarta serta perbandingan aplikasi Jawa dan Cina dari Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miao di Yogyakarta Studi komparasi pada interior klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan klenteng Fuk Ling Miao di Yogyakarta ditinjau dari aspek fengshui dan budaya Jawa, dibatasi pada aspek; organisasi dan fungsi ruangan, nilai-nilai simbolis yang dimiliki klenteng, elemen interior ruang (pintu, jendela, plafon), dan posisi arah hadap klenteng. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan komparatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. (Moleong 6). Penyusunan teori dimulai dengan teori substantif melalui usaha menemukan kategori dengan kawasannya, mencari hubungan-hubungan yang logis sehingga dapat dirumuskan ke dalam hipotesis kerja dengan memanfaatkan metode analisis komparatif. (Moleong 89). Pengumpulan data sebagai penunjang penelitian dilakukan dengan 4 cara, yaitu: a. Studi Literatur Dilihat dari segi sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Buku disertai dan karya ilmiah lainnya, dan majalah ilmiah sangat berharga bagi peneliti guna menjajaki keadaan perseorangan atau masyarakat di tempat penelitian dilakukan. (Moleong 159) b. Observasi Langsung Observasi lapangan secara langsung pada kedua objek yaitu Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta. Dalam hal ini dilakukan pengukuran dan
404 pemotretan untuk mengetahui suasana ruang pada objek tersebut. pengambilan data dan bentuk perolehan pemahaman yang dianggap paling tepat. Hasil kegiatan observasi bisa berupa catatan, rekaman, atau vignette atas suatu peristiwa. (Maryaeni 68). c. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. (Moleong 186). Wawancara ini akan dilakukan dengan orang-orang yang memiliki keterkaitan secara langsung pada Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miau agar dapat memberikan data yang berguna bagi penyusunan penelitian. Narasumber: 1. Pengurus Klenteng Fuk Ling Miau: Ibu Bing Mei 2. Sekretaris Klenteng Tien Kok Sie : Bapak Lian Hong Siang Metode analisis data yang digunakan dengan metodologi kualitatif ini adalah metode analisis induktif. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui pengembangan tema-tema yang diikhtisarkan dari data kasar. (Moleong 298). III. ANALISA DATA Analisa klenteng berdasarkan fengshui a. Lokasi Klenteng Tien Kok Sie berada di simpang empat jalan atau disebut “tusuk sate” yang arah hadapnya frontal terhadap jalan raya. Dalam kepercayaan masyarakat Cina letak ”tusuk sate” merupakan letak yang kurang baik untuk dihuni, sehingga perlu sarana untuk membersihkan energi (chi) buruk tersebut dengan cara mendirikan klenteng. Klenteng Fuk Ling Miao terletak di ujung jalan didekat perempatan jalan Brigjend Katamso Yogyakarta. Penempatan klenteng tusuk sate dan di ujung jalan bertujuan untuk membersihkan energi negatif dari rumah-rumah yang ada di sekitarnya.
Gambar 3.1 Peta klenteng Tien Kok Sie di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miao di Yogyakarta
b. Arah Hadap Klenteng Tien Kok Sie memiliki arah hadap ke arah Utara. Wilayah Utara dianggap sebagai wilayah yang kurang menguntungkan karena darerah gurun yang gelap dan menghembuskan angin dingin (feng). Klenteng Fuk Ling Miao memiliki arah hadap ke arah barat. Menurut fengshui arah yang baik adalah arah yang menghadap ke laut, yang di negeri Cina terletak di Selatan. Di kota Surakarta, letak laut juga menghadap ke arah Selatan yaitu adalah pantai Baron.
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412
405
Oleh karena itu letak Klenteng tidak mengikuti nilai fengshui. c. Bentuk Lahan Lahan tempat kedua klenteng berdiri berbentuk trapesium, bagian belakang klenteng melebar ke samping kanan. Bentuk lahan ini menurut fengshui baik karena melebar pada bagian belakang (ngantong) dipercaya melambangkan kemakmuran jangka panjang. d. Ruang Suci Utama Altar dewa utama ditempatkan pada bagian tengah ruangan di ruang suci utama. Altar pemujaan untuk Dewa/ Dewi yang lain ditempatkan pada sisi kiri. Posisi tengah dalam fengshui (posisi ular/tanah) adalah unsur yang mengandung yang-yin yang seimbang (netral). Maka penempatan altar dewa utama sudah sesuai dengan nilai fengshui.
Ruang Suci Utama Altar utama
Sumber: dokumentasi pribadi
g. Peninggian Lantai Menurut nilai fengshui, bangunan di tanah yang tinggi memperesentasikan gunung atau ch’i naga dan melambangkan kesehatan yang baik. Makna dari area yang paling tinggi adalah sebagai tempat yang paling sakral. (Marcella 135). Nilai fengshui ini sudah diterapkan pada Klenteng Fuk Ling Miao karena pada klenteng terdapat peninggian yang sudah dimulai dari teras depan klenteng melambangkan bahwa saat semua bagian bangunannya adalah area yang sudah sakral, namun area yang paling sakral adalah ruang suci utama. Pada klenteng Tien Kok Sie peninggian lantai hanya terletak pada bagian tengah ruang Thia saja untuk melambangkan bahwa ruangan yang paling sakral.
Anak tangga
Altar utama
Gambar 3.4. Peninggian lantai pada klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao
Ruang Suci Utama Gambar 3.2 Denah klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao
e. Warna Warna merah sangat mendominasi di dalam maupun di luar klenteng Tien Kok Sie dan klenteng Fuk Ling Miao, karena warna ini melambangkan yang-besar (kekuatan, kejayaan, kemenangan, kemakmuran, kebahagiaan). Kemudian warna tambahan pada klenteng Tien Kok Sie adalah hijau dan kuning. Sedangkan warna tambahan klenteng Fuk Ling Miao adalah hitam dan putih. f. Pilar Pada kedua ruang suci utama klenteng terdapat pilar-pilar yang menopang berjumlah 8 buah. 8 buah pilar utama ini memiliki arti sebagai simbol kebangsawanan. Berjumlah 8 karena angka 8 dipercaya orang tionghoa sebagai angka keberuntungan. Penggunaan pilar tersebut pada bangunan klenteng ini adalah sebagai penopang kehidupan dengan kekuasaan yang mulia. (Marcella 135). Bentuk formasi penyusunan pilar yang terbagi menjadi 4 dikanan dan 4 dikiri untuk menyangga bangunan utama agar kuat.
Pilar merah
Pilar merah
Pilar kuning
Pilar hitam
Gambar 3.3 Pilar utama klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao
h. Pintu Pintu kedua klenteng terdiri dari 3 buah pintu. Pintu tengah untuk masuk Dewa, pintu kanan untuk masuk dan pintu kiri untuk keluar umat. Pintu terdiri dari satu panil yang berdaun ganda agar chi bisa masuk dan bersirkulasi secara leluasa. Pintu ini melambangkan keseimbangan. Kusen pintu bagian bawah dibuat menonjol dan menyebabkan orang mengangkat kakinya agak tinggi ketika masuk ke dalam klenteng. Hal ini sesuai dengan nilai fengshui.
pintu berdaun ganda
Gambar 3.5. Pintu keluar pada klenteng Tien Kok Sie
Pintu masuk dan keluar klenteng berdaun ganda
Gambar 3.6. Pintu pada Klenteng Fuk Ling Miao
i. Ragam Hias Ragam hias yang dimiliki klenteng Tien Kok Sie adalah naga, kilin, bambu, teratai, burung Phoenix, burung Bangau, kuda, rusa, kelelawar, kepiting, kupu-kupu, dan macan. Sedangkan pada klenteng Fuk Ling Miao yaitu naga, kilin,
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412 ikan, teratai, burung Phoenix, burung Bangau, kuda, kepiting. Makna dari ragam hias di klenteng yaitu: Naga pada pilar: naga yang memutari pilar penyangga bangunan mengandung makna menjauhkan bangunan dari bahaya kebakaran. Naga sebagai simbol kekuatan mampu menjaga dan melindungi maka ditempatkan pada pilar sebagai salah satu penopang. (Mulyono, Thamrin) Kilin : lambang kebajikan yang sempurna, umur panjang, kebesaran, kepatuhan, rasa hormat pada yang tua, keturunan cemerlang dan pemerintahan bijak mendatangkan kebahagiaan, keberuntungan dan berkat. Ki-lin juga lambang spiritualitas, hidup kesendirian dan kebiaraan. Bambu : melambangkan Dewi Kwan Se Im Po Sat. Lukisan teratai pada meja altar melambangkan kesucian dan kemurnian dari Mak Co untuk para umatnya yang bersembahyang kepada-Nya. Burung Phoenix : Dipercaya dapat membawa nasib baik dan keberuntungan. (Mulyono, Thamrin) Burung Bangau : Melambangkan kesejahteraan dan panjang umur. Simbol dari ajaran Taoisme Kelelawar : Melambangkan keberuntungan, kebahagiaan, nasib baik dan panjang umur di aplikasikan di sebelah pintu masuk agar umat mendapatkan kebahagiaan, nasib baik dan keberuntungan. Ukiran Rusa: Tanduk rusa memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Oleh karena itu melambangkan keabadian dan kesucian dari dunia tercemar. (Mulyono, Thamrin). Kuda : Melambangkan kekuatan dan keberanian dan perjalanan dari suatu hidup lama ke suatu hidup yang baru Kepiting : lambang dewi pelindung laut. (Ronnie Gunawan) dan sebagai simbol kecerdikan dan kelihaian. Kupu-kupu : Lambang dari kasih yang tak sampai Macan dipercaya sebagai pelindung untuk menahan angin dan pengaruh jahat. Ikan : Ikan Mas terutama yang berwarna merah sering dianggap sebagai lambang Rejeki j. Atap Bubungan pada atap melengkung ke atas mempunyai makna untuk menghindarkan hal-hal buruk, atap menjadi pelindung hal-hal dibawahnya. Sistem konstruksi penggabungan plafon kedua klenteng menggunakan balok vertikal dan horizontal, mempunyai makna perlambangan kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama. (Liu, p.30)
Atap melengkung Gambar 3.7. Bentuk atap klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao Sumber: dokumentasi pribadi
Konstruksi plafon
406 Gambar 3.8. Konstruksi plafon klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao Sumber: dokumentasi pribadi
Analisa Perbandingan Klenteng Dengan Arsitektur Budaya Jawa 1. Klenteng Tien Kok Sie di Surakarta a. Lokasi Lokasi bangunan mempengaruhi baik atau buruk terdapat pada nilai fengshui di Klenteng namun lokasi tusuk sate pada klenteng tidak ada pada arsitektur budaya Jawa Arsitektur budaya Jawa tidak melihat dari lokasi bangunan, namun melihat kepada tanah yang dipercaya baik untuk penghuninya. Arsitektur budaya Jawa memiliki syarat-syarat tanah yang baik dan yang buruk untuk mendirikan bangunan. Syarat-syarat tanah yang baik untuk bangunan tidak sesuai antara arsitektur budaya Jawa dan fengshui klenteng
Gambar 3.9. Contoh syarat tanah menurut arsitektur budaya Jawa. Sumber : Heinz Frick, hal 97
b. Arah Hadap Arah hadap Utara kurang baik namun mengandung arti yang dapat menetralkan energi negatif bagi klenteng Tien Kok Sie dan tidak sesuai dengan arah hadap yang baik bagi arsitektur budaya Jawa untuk bangunan ibadah yang baik adalah ke arah barat Orientasi terhadap sumbu kosmis dari arah barat-timur untuk rakyat biasa adalah tidak mungkin karena arah timur digunakan sebagai unsur bagian dari keraton. Arah timur juga merupakan tempat tinggal Dewa Yamadipati, yang dalam cerita pewayangan mempunyai tugas mencabut nyawa orang di tangan Yamadipati. (Frick, Heinz 84). c. Bentuk Lahan Bentuk lahan suatu bangunan hanya dipercaya pada nilainilai fengshui dan diterapkan pada klenteng. Bangunan arsitektur Jawa tidak terpacu pada nilai-nilai tertentu yang harus diyakini. Dalam membangun atau mendirikan rumah, masyarakat Jawa selalu mempertimbangkan tiga masalah, yaitu masalah tempat dimana bangunan itu akan di dirikan, bahan atau material yang digunakan dan waktu mendirikannya (Dakung, 1982: 76) d. Ruang Suci Utama Dalem agung dan ruang Thia adalah ruang utama dalam bangunan. Letak dalem agung dan ruang Thia sama-sama ditengah. Letak Dewi Kwan SeIm Po Sat dan Dewi Sri sama yaitu di tengah ruang utama bagian belakang. Penghayatan adanya suatu “pusat dunia”, atau poros sentrum merupakan penghayatan manusia berjiwa religius
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412
407
yang sangat dalam, lagi sangat wajar. Manusia tidak dapat hidup dalam angkasa kosong atau ruang homogen, seolah-olah segala titik dan arah itu sama saja. Namun bila ada timur dan barat, ada juga Utara dan Selatan, demikianlah spontan dirasakan setiap manusia. Tetapi langsung juga terasa, bahwa keempat arah kiblat itu menimbulkan suatu titik atau imajinasi tugu poros, pusat yang terjadi oleh persilangan garis-garis timur-barat dan UtaraSelatan. Dan titik atau tugu tengah itu “Pusering Jagat” poros pusat cakrawala. (Mangunwijaya 90)
Gambar 3.10. Moncapat yang bersemangat Sumber : Heinz Frick, hal 91
e. Warna Di dalam arsitektur budaya Jawa terdapat warna-warna yang digunakan pula untuk membuat sebuah bangunan. Makna warna merah, hijau, dan kuning antara fengshui klenteng dan budaya Jawa tidak saling berhubungan. Masing-masing memiliki makna yang berbeda bagi. Makna Warna dalam arsitektur Jawa: Merah: penolak rasa amarah Hijau : penolak rasa angkara murka Kuning: penolak rasa mengantuk (Frick, Heinz 184-185) f. Pilar Penempatan pilar utama berada di ruang utama bangunan. Pilar utama untuk klenteng berjumlah 8, sedangkan arsitektur budaya Jawa berjumlah 4 buah. Saka guru merupakan tiang-tiang yang menyediakan dirinya untuk menjadi tempat bagi balandar-pengeret/ pemidhangan. Sebutan saka-guru menunjukan bahwa dia adalah gelagar saka (=tiang struktural) yang letaknya di sektor guru, serta menjadi penopang dari balandar-pengeret/ pemidhangan. (Prijotomo, Josef 217) Pilar-pilar memiliki fungsi yang sama namun makna yang berbeda. Makna 4 saka guru adalah memberikan perlindungan bagi penghuninya, rasa aman dan nyaman (Sudarwanto) g. Peninggian Lantai Peninggian lantai pada kedua bangunan memiliki makna yang sama yaitu lantai yang lebih tinggi adalah ruang yang lebih sakral. Pusat sakral dalam konsepsi keruangan di zaman Jawa pertengahan (abad ke 8-12), tetapi bahkan merupakan keruangan di zaman Jawa pertengahan ditentukan dengan membangun „piramida bertingkat‟. (Santoso, Jo 113).
Peninggian lantai Gambar 3.11. Keraton Surakarta Hadiningrat
Sumber :https://farm3.staticflickr.com/2525/4063815450_395e307176_m.jpg
h. Pintu Fengshui dan arsitektur Jawa sama-sama menggunakan daun pintu berdaun ganda dan memiliki pintu berjumlah 3 dengan makna yang berbeda. Pintu arsitektur Jawa pintu dibuat rendah sehingga orang harus menunduk ketika melewati pintu, sedangkan pintu klenteng memiliki kusen bawah sehingga orang harus mengangkat kaki ketika masuk. Kedua hal ini membuat orang yang memasuki ruang terhenti karena memasuki ruang yang lebih sakral. Pada arsitektur Jawa dalam bentuk yang besar dan luas tetapi pintu selalu dalam bentuk yang relatif rendah, sehingga menuntut manusia yang melewati dalam posisi menunduk. Sikap tubuh menunduk dalam keadaan tertentu menunjukan sikap hormat bagi manusia Jawa (Sunarmi 83). i. Ragam hias Memiliki beragam jenis ragam hias. Ada yang memiliki makna dan bentuk yang sama seperti teratai dan naga. Ada ragam hias dengan makna yang sama namun bentuk berbeda seperti kilin dengan garuda, bangau dengan kluwih, naga dengan kemamang, macan dengan anak panak dan makara, kuda dengan jado. Masih banyak lagi ragam hias yang tidak memiliki makna yang sama maupun bentuk yang sama.
Gambar 4.53. Macam-macam ragam hias ( 1.Naga 2.Kemamang 3.Pesik Garuda 4.Anak Panah 5.Jago 6.Padma) Sumber : Ragam Hias, Herry Setiawan
j. Atap Bentuk atap pada klenteng Tien Kok Sie tidak sama dengan arsitektur budaya Jawa, makna nya juga berbeda. Konstruksi plafon dan maknanya pada Klenteng dan arsitektur budaya Jawa sama. Atap mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. gunung merupakan sesuatu yang tinggi dan disakralkan. gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa. Semakin banyak lapisan pada bentuk atapnya, semakin lengkap dan sempurna bentuk rumah Joglo. (Sunarmi 92)
Gambar 3.12. Bentuk atap dan konstruksi plafon arsitektur Jawa Sumber : http://arsitekarchira.com/wp-content/uploads/2012/12/JOgloKepuhan-Limolasan1.jpg
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412 2. Klenteng Fuk Ling Miao di Yogyakarta a. Lokasi Lokasi buruk dipojok perempatan jalan pada kepercayaan fengshui memiliki makna yang baik bagi arsitektur budaya Jawa. Bila kita membagi sebuah tempat menjadi empat (mrapat), maka pada titik tengahnya akan dapatkan sebuah perempatan. Dengan sendirinya perempatan ini sehari-harinya menjadi semacam orientasi arah (patokan) dalam bergerak bagi mereka yang bermukim di situ. Kemungkinan besar diperempatan inilah dahulu dilakukan rapat-rapat penting (rapat). (Santosa, Jo 51) Arsitektur budaya Jawa memiliki syarat-syarat tanah yang baik dan yang buruk untuk mendirikan bangunan. Syarat-syarat tanah yang baik untuk bangunan tidak sesuai antara arsitektur budaya Jawa dan fengshui klenteng
408 ditengah. Letak Dewa Amurwa Bhumi dan Dewi Sri sama yaitu di tengah ruang utama bagian belakang. Penghayatan adanya suatu “pusat dunia”, atau poros sentrum merupakan penghayatan manusia berjiwa religius yang sangat dalam, lagi sangat wajar. Manusia tidak dapat hidup dalam angkasa kosong atau ruang homogen, seolah-olah segala titik dan arah itu sama saja. Namun bila ada timur dan barat, ada juga Utara dan Selatan, demikianlah spontan dirasakan setiap manusia. Tetapi langsung juga terasa, bahwa keempat arah kiblat itu menimbulkan suatu titik atau imajinasi tugu poros, pusat yang terjadi oleh persilangan garis-garis timur-barat dan UtaraSelatan. Dan titik atau tugu tengah itu “Pusering Jagat” poros pusat cakrawala. (Mangunwijaya 90)
Gambar 3.14. Moncapat yang bersemangat Sumber : Heinz Frick, hal 91
Gambar 3.13. Contoh syarat tanah menurut arsitektur budaya Jawa. Sumber : Heinz Frick, hal 97
b. Arah Hadap Arah hadap barat tidak sesuai dengan nilai fengshui. Namun sesuai dengan nilai-nilai arsitektur budaya Jawa dimana rumah ibadah menghadap ke arah barat. Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun Utara. Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan Utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura. (wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat) c. Bentuk Lahan Bentuk lahan suatu bangunan hanya dipercaya pada nilainilai fengshui dan diterapkan pada klenteng. Bangunan arsitektur Jawa tidak terpacu pada nilai-nilai tertentu yang harus diyakini. Dalam membangun atau mendirikan rumah, masyarakat Jawa selalu mempertimbangkan tiga masalah, yaitu masalah tempat dimana bangunan itu akan di dirikan, bahan atau material yang digunakan dan waktu mendirikannya (Dakung, 1982: 76) d. Ruang Suci Utama Dalem agung dan ruang Thia adalah ruang utama dalam bangunan. Letak dalem agung dan ruang Thia sama-sama
e. Warna Di dalam arsitektur budaya Jawa terdapat warna-warna yang digunakan pula untuk membuat sebuah bangunan. Makna warna merah, putih, dan hitam antara fengshui klenteng dan budaya Jawa tidak saling berhubungan. Masing-masing memiliki makna yang berbeda bagi. Makna Warna dalam arsitektur Jawa: Merah: penolak rasa amarah Putih : penolak rasa birahi Hitam : penolak rasa lapar (Frick, Heinz 184-185) f. Pilar Penempatan pilar utama berada di ruang utama bangunan. Pilar utama untuk klenteng berjumlah 8, sedangkan arsitektur budaya Jawa berjumlah 4 buah. Saka guru merupakan tiang-tiang yang menyediakan dirinya untuk menjadi tempat bagi balandar-pengeret/ pemidhangan. Sebutan saka-guru menunjukan bahwa dia adalah gelagar saka (=tiang struktural) yang letaknya di sektor guru, serta menjadi penopang dari balandar-pengeret/ pemidhangan. (Prijotomo, Josef 217) Pilar-pilar memiliki fungsi yang sama namun makna yang berbeda. Makna 4 saka guru adalah memberikan perlindungan bagi penghuninya, rasa aman dan nyaman (Sudarwanto) g. Peninggian Lantai Peninggian lantai pada bangunan Klenteng sama dengan arsitektur Jawa karena dimulai bertahap dari memasuki bangunan dan memiliki makna yang sama yaitu lantai yang lebih tinggi adalah ruang yang lebih sakral. Pusat sakral dalam konsepsi keruangan di zaman Jawa pertengahan (abad ke 8-12), tetapi bahkan merupakan keruangan di zaman Jawa pertengahan ditentukan dengan membangun „piramida bertingkat‟. (Santoso, Jo 113).
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412
409
Peninggian lantai Gambar 3.15. Keraton Ngayogyakarta Sumber:https://coretanpetualang.files.wordpress.com/2011/04/keratonjogjakarta-taman-depan-kedhaton.jpg
h. Pintu Fengshui dan arsitektur Jawa sama-sama menggunakan daun pintu berdaun ganda dan memiliki pintu berjumlah 3 dengan makna yang berbeda. Pintu arsitektur Jawa pintu dibuat rendah sehingga orang harus menunduk ketika melewati pintu, sedangkan pintu klenteng memiliki kusen bawah sehingga orang harus mengangkat kaki ketika masuk. Kedua hal ini membuat orang yang memasuki ruang terhenti karena memasuki ruang yang lebih sakral. Pada arsitektur Jawa dalam bentuk yang besar dan luas tetapi pintu selalu dalam bentuk yang relatif rendah, sehingga menuntut manusia yang melewati dalam posisi menunduk. Sikap tubuh menunduk dalam keadaan tertentu menunjukan sikap hormat bagi manusia Jawa (Sunarmi 83). i. Ragam Hias Ragam Hias tidak terlalu banyak. Terdapat pula ragam hias yang memiliki makna dan bentuk yang sama, yaitu teratai dan naga. Adapula yang memiliki bentuk berbeda dengan makna sama yaitu bangau dengan kluwih, naga dengan kemamang, kuda dengan jago. Tersisa ragam hias kepiting, ikan mas, dan burung Phoenix yang tidak memiliki makna atau bentuk yang sama dengan arsitektur budaya Jawa.
Gambar. 3.16. Macam-macam ragam hias ( 1.Naga 2.Kemamang 3.Pesik Garuda 4. Jago 5.Padma) Sumber : Ragam Hias, Herry Setiawan
j. Atap Bentuk atap pada klenteng Fuk Ling Miao tidak sama dengan arsitektur budaya Jawa, makna nya juga berbeda. Konstruksi plafon dan maknanya pada Klenteng dan arsitektur budaya Jawa sama. Atap mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. gunung merupakan sesuatu yang tinggi dan disakralkan. gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para Dewa. Semakin banyak lapisan pada bentuk atapnya, semakin lengkap dan sempurna bentuk rumah Joglo. (Sunarmi 92)
Gambar 3.17. Bentuk atap dan konstruksi plafon arsitektur Jawa Sumber : http://arsitekarchira.com/wp-content/uploads/2012/12/JOgloKepuhan-Limolasan1.jpg
Analisa Perbandingan Klenteng Tien Kok Sie Di Surakarta dan Klenteng Fuk Ling Miao Di Yogyakarta Dengan Budaya Jawa a. Lokasi Letak lokasi kedua bangunan klenteng masih mengikuti nilai-nilai kepercayaan fengshui yang penempatannya buruk untuk rumah tinggal, namun dipercaya baik untuk tempat ibadah karena bertujuan membantu menetralisir energi negatif bagi rumah-rumah disekitarnya. Makna lokasi klenteng Fuk Ling Miao yang berada diperempatan berkebalikan dengan kebudayaan Jawa, dimana perempatan dipercaya mengandung makna lokasi yang baik untuk mendirikan bangunan. Oleh karena itu, adanya akulturasi budaya Jawa pada kletneg Fuk Ling Miao. Selain itu pada budaya Jawa dan fengshui terdapat syaratsyarat lanskap tanah untuk mendirikan bangunan, namun masing-masing memiliki syarat-syarat yang berbeda. Lanskap tanah pada kedua klenteng tidak sesuai dengan syarat dari fengshui dan juga tidak sesuai dengan syarat lanskap tanah yang baik atau buruk dari arsitektur budaya Jawa.
Gambar 3.18. Peta Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao Sumber : google map
b. Arah Hadap Arah hadap yang baik untuk klenteng yaitu ke arah sumber air, sedangkan klenteng Fuk Ling miao menghadap ke arah barat dan bangunan klenteng membelakangi sumber air yaitu pantai Parangtritis. Namun arah hadap barat sesuai dengan budaya arsitektur Jawa dimana tempat ibadah menghadap ke arah barat seperti yang ditreapkan oleh masjid Keraton. Sedangkan arah hadap kleteng Tien Kok Sie ke arah Utara, bangunan klenteng juga membelakangi sumber air yaitu pantai Baron. Disini dapat dilihat bahwa adanya akulturasi budaya pada lokasi arah hadap hanya pada klenteng Fung Ling Miao.
yogyakarta Pantai parangtritis
surakarta
Pantai baron
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412 Gambar 3.19. Peta Kota Surakarta dan DI Yogyakarta Sumber : google map
c. Bentuk Lahan Bentuk lahan yang menguntungkan menurut nilai-nilai fengshui yaitu bentuk lahan yang membesar dibagian belakangnya atau sering disebut „ngantong‟. Membesar di kanan atau kiri saja juga dipercaya membawa keberuntungan karena dapat menyimpan energi-energi baik. Untuk bentuk lahan pada kedua klenteng mengikuti kepercayaan fengshui yaitu bentuk lahan yang lebih besar di belakang (ngantong) dan pada budaya Jawa tidak ada syarat untuk bentuk lahan mendirikan bangunan. d. Ruang Suci Utama Adanya ruang suci utama yang menjadi pusat dari sebuah bangunan pada arsitektur budaya Jawa diterapkan pula pada nilai fengshui klenteng. letak posisi dan adanya ruang suci ini dimiliki oleh klenteng Tien Kok Sie dan klenteng Fuk Ling Miao. Di dalam ruang suci utama ini terdapat Dewa yang menjadi tuan rumah, yang dihormati dan dipercaya melindungi bangunan. Kedua hal ini sama-sama dimiliki oleh kedua klenteng dan juga dipercaya pada budaya Jawa dengan perbedaan hanya terletak di Dewa yang dipuja. Dewa yang dipuja oleh Klenteng Tien Kok Sie adalah Dewi Kwan Se Im Po Sat, sedangkan Dewa pada Klenteng Fuk Ling Miao adalah Dewa Amurwa Bhumi.
Ruang Suci Utama Altar utama
Gambar 3.20. Denah Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao Sumber: Penulis (2015)
410 warna pada klenteng berbeda dengan makna warna pada arsitektur Jawa. f. Pilar Pilar sebagai penyangga bangunan diterapkan pada setiap bangunan termasuk pula klenteng dan bangunan arsitektur Jawa yang meyakini wajib menerapkan pilar utama untuk bangunan. Namun perbedaan nya terletak pada jumlah dan makna. Jumlah pilar utama untuk arsitektur Jawa adalah 4 buah, dan 8 buah pilar utama untuk kedua klenteng. 8 buah pilar pada klenteng ini menandakan angka yang dipercaya membawa keberuntungan dan bermakna simbol kebangsawanan, penopang kehidupan dengan kekuasaan yang mulia. Sedangkan makna bagi arsitektur Jawa adalah perlindungan bagi penghuninya, rasa aman dan nyaman.
Gambar 3.22. Pilar-pilar utama di ruang Thia Klenteng Tien Kok Sie dan ruang suci utama pada Klenteng Fuk Ling Miao Sumber : Penulis (2015)
g. Peninggian Lantai Lantai bangunan yang ditinggikan memiliki makna yang sama dan dipercaya oleh arsitektur budaya Jawa serta fengshui pada klenteng. ruangan yang memiliki ketinggian lantai lebih tinggi bermakna ruang yang lebih sakral. Pada klenteng Fuk Ling Miao dan klenteng Tien Kok Sie keduanya menerapkan peninggian lantai. Hal ini juga diterapkan pada bangunan Keraton di Surakarta dan di Yogyakarta. Tetapi peninggian lantai pada klenteng Fuk Ling Miao lebih sesuai dengan arsitektur budaya Jawa karena peninggian lantai sudah diaplikasikan bertahap mulai dari awal masuk rumah dan paling tinggi pada ruang suci utama. Sedangkan pada klenteng Tien Kok Sie peninggian hanya ada pada ruang Thia saja, hal ini berbeda dengan pengaplikasian pada arsitektur budaya Jawa.
Anak tangga
Gambar 3.21. Altar Dewi Kwan Se Im Po Sat dan altar Dewa Amurwa Bhumi Sumber : dokumentasi pribadi
e. Warna Arsitektur budaya Jawa memiliki beragam warna yang diterapkan pada bangunan dan setiap warna memiliki makna tersendiri. Sedangkan penerapan warna pada klenteng terlalu banyak. Untuk klenteng Tien Kok Sie warna yang diaplikasikan adalah merah, hijau dan kuning. Sedangkan klenteng Fuk Ling Miao adalah warna hitam, merah, dan kuning. Setiap warna yang diaplikasikan pada kleteng juga memiliki makna yang baik bagi bangunan. Namun makna
Gambar 3.23. Peninggian lantai pada Klenteng Tien Kok Sie Sumber: dokumentasi pribadi
Anak tangga Gambar 3.24. Peninggian lantai pada Klenteng Fuk Ling Miao Sumber : dokumentasi pribadi
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412
411
h. Pintu Pintu masuk utama bangunan pada kedua klenteng dan arsitektur Jawa memiliki bentuk daun pintu dan jumlah yang sama yaitu 3 buah namun memiliki makna yang berbeda. Pada kedua klenteng, pintu kanan atau sering disebut dengan pintu naga digunakan untuk masuk dan pintu kiri yang disebut dengan pintu macan digunakan untuk keluar. Sedangkan pintu ditengah digunakan untuk Dewa keluar masuk klenteng. Hal ini berbeda makna dengan pintu pada arsitektur Jawa. bentuk pintu masuk ke ruang suci utama pada kedua klenteng memiliki kusen bawah yang terbuat dari kayu, dan pada arsitektur Jawa pintu ke ruang suci dibuat rendah. Bentuk yang berbeda ini memiliki makna yang sama agar orang yang ingin memasuki ke dalam lebih berhati-hati, terhenti dan sadar bahwa akan memasuki ruang yang suci.
Pintu daun ganda
Bentuk atap melengkung Gambar 3.26. Bentuk atap klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao Sumber: dokumentasi pribadi
Konstruksi plafon
Gambar 3.27. Konstruksi plafon klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao Sumber: dokumentasi pribadi
IV. KESIMPULAN Kusen bawah
Gambar 3.25. pintu pada Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao Sumber: dokumentasi pribadi
i. Ragam Hias Adanya akulturasi pada ragam hias dari kedua klenteng dengan arsitektur Jawa, terlihat dari terdapat ragam hias yang memiliki bentuk dan makna yang sama pada kedua klenteng yaitu naga dan teratai. Serta terdapat perkembangan dilihat dari adanya ragam hias dengan makna sama namun bentuk yang berbeda. Pada klenteng Tien Kok Sie ragam hias yang memiliki kesamaan bentuk dan perbedaan makna yaitu kilin dengan garuda, bangau dengan kluwih, naga dengan kemamang, macan dengan anak panak dan makara, kuda dengan jado. Pada klenteng Fuk Ling Miao ragam hias yang memiliki kesamaan bentuk dan perbedaan makna yaitu bangau dengan kluwih, naga dengan kemamang, kuda dengan jago. Ragam hias yang dimiliki oleh klenteng Tien Kok Sie lebih beragam karena setiap adanya elemen interior yang rusak, umat klenteng akan menyumbang sebuah ragam hias baru. Sedangkan ragam hias pada klenteng Fuk Ling Miao lebih sedikit, hanya menerapkan ragam hias penting saja. j. Atap Bentuk atap klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miao memiliki bentuk dan makna yang berbeda dengan budaya arsitektur Jawa. Makna bentuk atap kedua klenteng masih sesuai mengikuti nilai fengshui. Bubungan pada atap melengkung ke atas bermakna menghindarkan hal-hal buruk, menjadi pelindung hal-hal dibawahnya. Bentuk kontruksi plafon arsitektur Jawa dan kedua klenteng memiliki cara pemasangan dengan makna yang sama yaitu pemasangan dengan sistem konstruksi penggabungan balok vertikal dan horizontal yang bermakna perlambangan kedekatan hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama.
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan pada bab 4, diketahui bahwa: A. Akulturasi dari aplikasi nilai-nilai feng shui dengan arsitektur budaya Jawa pada klenteng Tien Kok Sie yaitu lokasi dipusat pada ruang suci utama dan Dewi yang menjadi tuan rumah, makna dan penempatan pilar utama di dalam ruang suci utama, makna peninggian lantai sebagai tempat yang lebih sakral, jumlah pintu yang sama dan makna bentuk pintu yang membuat umat terhenti ketika memasuki ruang lebih suci, kesamaan dari beberapa makna atau bentuk ragam hias, dan makna serta bentuk pemasangan konstruksi plafon bangunan menggunakan penggabungan balok vertikal dan horizontal. Sedangkan lokasi, arah hadap, bentuk lahan, warna, bentuk dan makna atap tidak memiliki akulturasi budaya Jawa. B. Adanya akulturasi budaya Jawa dan nilai-nilai feng shui pada Klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta terdiri dari aspek lokasi di perempatan yang diyakini baik untuk mendirikan bangunan bagi arsitektur budaya Jawa, arah hadap ke arah barat yang sesuai dengan arah hadap tempat ibadah budaya Jawa, kesamaan lokasi ruang suci utama di pusat bangunan dan penempatan Dewa yang menjadi tuan rumah, makna dan penempatan pilar utama di ruang suci utama, makna peninggian lantai untuk ruang yang lebih sakral dan dimulai dari awal memasuki bangunan, jumlah pintu dan makna bentuk pintu yang membuat umat sadar untuk memasuki ruang yang lebih sakral, dmakna serta pemasangan konstruksi plafon menggunakan penggabungan balok vertikal dan horizontal, kesamaan makna dan bentuk beberapa ragam hias. Namun kesamaan bentuk dan makna ragam hias tidak sebanyak yang dimiliki oleh Klenteng Tien Kok Sie. Sedangkan aspek yang tidak terjadi akulturasi arsitektur budaya Jawa yaitu bentuk lahan, warna dan bentuk atap. Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miau berada di Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan tempat dari perpecahan mataram dampak perjanjian giyanti. Perjanjian Giyanti membawa banyak pengaruh pada Surakarta dan Yogyakarta dari berbagai aspek
JURNAL INTRA Vol. 3, No. 2, (2015) 403-412 termasuk dari segi arsitektur bangunan. Komparasi yang terjadi pada Klenteng Tien Kok Sie dan Klenteng Fuk Ling Miau ditinjau dari aspek feng shui dan budaya Jawa juga terpengaruh dari dampak perjanjian giyanti. Hal ini terlihat dari hasil analisa yaitu Klenteng Fuk Ling Miau di Yogyakarta lebih banyak mengikuti nilai dari arsitektur budaya Jawa yaitu dari aspek lokasi diperempatan yang dianggap baik arsitektur Jawa, sedangkan lokasi tusuk sate pada Klenteng Tien Kok Sie tidak memiliki makna yang baik, arah hadap bangunan Klenteng Fuk Ling Miau yang sesuai dengan arah hadap tempat ibadah Keraton, peninggian lantai yang sudah dimulai bertahap dari saat memasuki bangunan, ragam hias yang hanya menerapkan ragam hias pokok saja, sedangkan ragam hias Klenteng Tien Kok Sie sudah berkembang menjadi lebih banyak. Berdasarkan hasil analisa, arsitektur pada Klenteng Fuk Ling Miau lebih banyak mengikuti budaya Jawa dan sesuai dengan dampak dari perjanjian Giyanti dimana kebudayaan di Surakarta sudah berkembang dan kebudayaan di Yogyakarta masih kental mengikuti nilai-nilai budaya.
412 DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]
[8] [9] [10] [11] [12] [13]
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis Stephanie Clorinda mengucapkan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah menyertai penulis dalam menyelesaikan jurnal ini. Tidak terlepas dari bantuan pihak lain, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain, yaitu: 1. Martino Dwi Nugroho, S.Sn, M.A dan Grace Mulyono, S.Sn, M.T , selaku dosen pembimbing. 2. Keluarga yang telah mendukung dan memberi bantuan dalam bentuk moril maupun material. Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca guna menunjang pengembangan dan perbaikan penulisan selanjutnya. Penulis berharap agar jurnal ini dapat berguna dan memberikan wawasan bagi para pembaca.
[14] [15]
Frick,Heinz.2001. Pola Struktural Dari Teknik Bangunan Di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Gustami, SP. (2000). Studi Komparasi Gaya Seni Yogya Surakarta. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia Liu, Laurence G. (1989). Chinese architecture. London: Academy edition. Mangunwijaya, Y.B. 1988. Wastu Citra. Jakarta: PT Gramedia Marcella S, Benedicta Sophie (2012). Penerapan Feng Shui Pada Kelenteng Sam Poo Kong Di Semarang. S2 thesis, UAJY. Moleong, Lexy J. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyono, Grace ., Thamrin, Diana. 2008. Makna Ragam Hias Binatang Pada Klenteng Kwan Sing Bio Di Tuban. Dimensi Interior. vol 6 no 1. Prijotomo, Josef . 2009. Ruang di Arsitektur Jawa. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika Prijotomo, Josef.1988. Ideas And Form Of Javanese Architecture. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Prijotomo, Josef. 2006. (Re-) Konstruksi Arsitektur Jawa. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika Santosa, Jo.2008. Arsitektur–kota Jawa. Jakarta: Centropolis-Magister Teknik Peremcanaan Universitas Tarumanegara. Setiawan, Herry. 2013. Ragam Hias. Academia.edu Sunarmi., Guntur &Utomo, Tri Prasetyo.2007. Arsitektur & Interior Nusantara.Surakarta: ISI Too, Lilian. Feng Shui. Jakarta: PT Elex Media Komputido. 2008. Wibawa, Bayu Arie. 2002. Perbandingan Elemen-Elemen Kota Surakarta dan Yogyakarta Ditinjau Dari Konsep Keraton (The Royal Twin Cities) . S2 thesis, Undip.